KAJIAN ATAS PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN DANA
OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA, PAPUA BARAT DAN PROVINSI ACEH
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebijakan Otsus
Otonomi Khusus mulai diberlakukan di Provinsi Papua pada tahun 2002
berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua, kemudian untuk Provinsi Papua Barat pemberlakuan
otonomi khusus diberikan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang. Di samping itu, dalam
rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat juga dialokasikan dana tambahan infrastruktur. Besaran
dana tambahan infrastruktur ini disepakati antara Pemerintah dengan
DPR, dan penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan
infrastruktur. Dana otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2%
dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, terutama ditujukan
untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; yang masing–masing
minimal 30% (tiga puluh persen) dan 15% (lima belas persen).
Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus untuk Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dilaksanakan mulai tahun
2008, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.Dana otsus tersebut dialokasikan untuk jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama
sampai dengan tahun kelima belas, yang besarnya setara dengan 2%
(dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dan untuk
tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya
setara dengan 1% (satu persen) dari plafon DAU nasional, dan
ditujukan untuk membantu daerah dalam rangka membiayai
pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta
pendanaan pendidikan, kesehatan dan sosial.
Dana otsus yang sudah diberikan pemerintah pusat kepada tiga provinsi
tersebut sangat besar dan terus meningkat. Berdasarkan data dari
1
Kementerian Keuangan, dana otsus dan penyesuaian untuk Provinsi
Papua & Papua Barat dari tahun 2002 s.d. 2010 sebesar Rp28,8 triliun,
sedangkan untuk Pemerintah NAD dari tahun 2008 s.d. 2010 sebesar
Rp10,6 triliun. Tetapi kesejahteraan hidup masyarakat papua masih
belum memadai, tingkat pendidikan & kesehatan masih sangat rendah.
Sementara yang terjadi di Aceh adalah realisasi penyerapan dana otsus
yang masih rendah, yaitu sebesar Rp6,9 triliun atau 65% dari total
dana otsus Rp10,6 trliun, dimana sisa dana otsus yang tidak terserap
tersebut berpotensi digunakan tidak sesuai dengan maksud & tujuan
kebijakan otsus.
Dari temuan BPK terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban atas
dana otsus tersebut diketahui adanya berbagai penyimpangan dalam
penggunaannya dan tidak sesuai ketentuan atau menyimpang dari
tujuan kebijakan otsus.
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan pendalaman atas temuan BPK
tentang Papua, Papua Barat & NAD, khususnya mengenai Hasil
Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2011 terhadap Pengelolaan &
Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus TA. 2002 – 2010 pada
Provinsi Papua & Papua Barat, dan Hasil Pemeriksaan BPK Semester II
Tahun 2011 terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana
Otonomi Khusus TA. 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda
Aceh dan Kabupaten/Kota terkait.
BAB II REVIU KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Khusus
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008;
2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3. UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan atara
Pemerintah Pusat dan daerah;
2
5. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
6. PP No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
7. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah;
8. Perpres No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka
Menengan Nasional tahun 2004-2009;
9. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri
No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri No. 13
tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah.
B. Perbedaan Kebijakan Otonomi Khusus
Dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua merupakan pelaksanaan
UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua. UU ini kemudian direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua menjadi undang-undang yang mengamanatkan pemberian
otonomi khusus dan pengalokasian dana otonomi khusus kepada
Provinsi Papua Barat. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga
dialokasikan dana tambahan infrastruktur. Besaran dana tambahan
infrastruktur ini disepakati antara Pemerintah dengan DPR, dan
penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan
infrastruktur.
Sementara, sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi
khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang
dilaksanakan mulai tahun 2008.
1. Tabel dibawah ini menunjukan analisa perbandingan kebijakan
otonomi khusus Provinsi Papua, Papua Barat & Provinsi NAD :
No. Keterangan Prov. Papua & Papua Barat Prov. NAD
1 Landasan Hukum
Undang‐Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sebagaimana diubah dengan Undang‐Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2008;
UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
3
2 Mulai Berlaku Papua : 2002 Papua Barat : 2008 NAD : 2008
3 Jangka Waktu 20 Tahun (UU N.0 21 Thn 2001)
20 Tahun (UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)
2. Adapun sumber dana, besaran, pemanfaatan dan pembagian
dana otsus bagi Provinsi Papua, Papua Barat dan NAD adalah sbb
:
No. Keterangan Prov. Papua & Papua Barat Prov. NAD
1 Sumber Dana
a) Bagi Hasil Pajak; b) Bagi Hasil Sumber Daya Alam c) Perimbangan SDA minyak bumi
70%; d) Perimbangan SDA gas 70%; e) Dana otsus 2% plafon DAU
nasional terutama ditujukan untuk pendidikan dan kesehatan; dan
f) Dana tambahan otonomi khusus untuk infrastruktur.
Sumber Dana Otsus Aceh Dana perimbangan bagian dari provinsi dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus terdiri atas: A. Dana Bagi Hasil pajak, yaitu:
1) Bagian dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90%.
2) Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3) Bagian dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21) sebesar 20%.
B. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari
hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu: 1) Bagian dari kehutanan sebesar 80%. 2) Bagian dari perikanan sebesar 80%. 3) Bagian dari pertambangan umum
sebesar 80%. 4) Bagian dari pertambangan panas
bumi sebesar 80%. 5) Bagian dari pertambangan minyak
sebesar 15%. 6) Bagian dari pertambangan Gas Bumi
sebesar 30%. C. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus. D. Pemerintah Aceh mendapat tambahan
Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu: 1) bagian dari pertambangan minyak
sebesar 55%. 2) bagian dari pertambangan gas bumi
sebesar 40%. 3) Alokasi Dana otonomi Khusus
berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAU) dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
2 Besaran Dana Otsus
2% dari plafon DAU Nasional (UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pasal 34 ayat (3) huruf (e)
Tahun ke‐1 s.d thn ke‐15, 2% dari DAU Nasional. Tahun ke‐16 s.d. thn ke‐20, 1% dari DAU Nasional. (UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)
4
3 Pemanfaatan dana Otsus
Pendidikan 30%, Kesehatan 15% (Perda. Provinsi No. 2 tahun 2004 tentang Pembagian Penerimaan Dalam Rangka Otonomi Khusus, Pasal 4 ayat (1) huruf (b))
Mendanai pembangunan & pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. (UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh)
4 Pembagian Dana Otsus
Papua : 60% : Kabupaten/Kota dan 40% : Provinsi. Papua barat : 70% Kabupaten/kota dan 30% Provinsi (Peraturan Daerah Provinsi Papua dan Surat Keputusan Gubernur)
60% : Kabupaten/Kota dan 40% : Provinsi. (pengalokasiannya didasarkan pada Peraturan Gubernur (Pergub)
BAB III KAJIAN DAMPAK PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
A. Kajian Sosial Politik
Akar Masalah
Ada beberapa akar masalah di balik kegagalan implementasi otsus di
Papua dan Papua Barat khususnya, serta kegagalan penyelesaian
secara menyeluruh atas berbagai persoalan Tanah Papua pada
umumnya.Tim Kajian Papua LIPI melalui Papua Road Map, pernah
mendeskripsikan 4 (empat) kelompok isu sebagai akar masalah Papua
berikut empat rekomendasi penyelesaiannya.
Pertama, masalah marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli
Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan deimigrasi
massal ke Papua sejak tahun 1970.Untuk menjawab masalah ini,
diperlukan adanya kebijakan afirmatif relogvisi untuk pemberdayaan
orang Asli Papua.Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang
pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat.Untuk itu
diperlukan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada
perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli
Papua.Ketiga, adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi
identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa
diselesaikan melalui dialog seperti yang sudah dilakukan untuk
penyelesaian konflik Aceh. Keempat, pertanggungjawaban atas
kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di
Papua. Tim LIPI menyimpulkan bahwa keempat isu dan agenda
tersebut dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling
terkait untuk penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam
jangka panjang.
5
Tidak ada keseriusan pemerintah melaksanakan amanat UU Otsus
secara konsisten. Hal ini tercermin dari tidak kunjung terbentuknya
sejumlah lembaga yang diamanatkan UU Otsus seperti komisi
kebenaran dan rekonsiliasi, komisi hukum ad hoc, parpol local, serta
pengadilan HAM dan peradilan adat. Belum lagi soal tumpang-tindih
antara kebijakan dan peraturan perundangan yang diterbitkan
pemerintah pusat dan peraturan daerah khusus (Perdasus); 1
1. Belum didukung oleh Perangkat Peraturan Yang Memadai &
Lembaga Lain diamanahkan UU; Perdasus mengenai pembagian
dana alokasi khusus pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
belum ditetapkan; Evaluasi secara komprehensif terhadap UU No.
21/2001 belum pernah dilaksanakan.
2. Belum ditetapkan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Secara
Berkesinambungan
3. Keterlambatan dalam Evaluasi secara Komprehensif
Hambatan Pelaksanaan Otsus : Sosial Politik
Kecenderungan yang sama berlaku di lingkungan orang-orang dan
para pemimpin Tanah Papua. Para pemimpin atau elite Papua tidak
hanya terbelah secara vertikal, yakni antara mereka yang menikmati
kebijakan otsus (mulai gubernur, para bupati, pejabat dan birokrasi
daerah) dan kalangan yang tidak turut menikmatinya (rakyat pada
umumnya), melainkan juga secara horizontal, yakni di antara sesama
tokoh Papua yang berada di luar pemerintahan. Kepemimpinan lokal
Papua yang sangat fragmentatif merupakan persoalan tersendiri yang
menjadi kendala berbagai upaya penyelesaian atas aneka masalah
Tanah Papua.Realitas Papua seperti inilah yang membedakannya
dengan kenyataan di Aceh yang kepemimpinan lokalnya relatif
terkonsolidasi dibandingkan Papua.
Namun setelah berlangsung lebih dari sepuluh tahun di Provinsi Papua
dan hampir lima tahun di Papua Barat, sulit dipungkiri bahwa dalam
implementasinya kebijakan otsus cenderung berlangsung “setengah
hati”. Banyak faktor yang bisa didaftar yang mengindikasikan
implementasi otsus setengah hati tersebut, di antaranya adalah:
1 Syamsuddin Haris, Masalah Pengelolaan Dan Akuntabilitas Dana Otsus. LIPI
6
1. Tak lama setelah kebijakan otsus Papua disetujui pemerintahan
Abdurrahman Wahid dan DPR melalui UU No. 21 Tahun 2001,
pemerintah berikutnya di bawah Megawati Soekarnoputeri justru
mengeluarkan instruksi percepatan pemekaran Papua (Inpres No.
1 Tahun 2003), yang akhirnya menjadi Papua dan Papua Barat.
Padahal sebelumnya, DPRD Irian Jaya pada pertengahan Oktober
1999 telah menolak pemekaran provinsi tersebut menjadi tiga
seperti diinginkan pemerintah dan DPR melalui UU No. 45 Tahun
1999;
2. Penundaan dan tarik-ulur pembentukan Majelis Rakyat Papua
(MRP) akibat kuatnya intervensi pemerintah pusat, termasuk
pembatasan wewenang MRP yang besar, padahal sudah diatur
dalam UU No. 21 Tahun 2001, serta pemberlakuan“litsus” bagi
tokoh-tokoh yang tidak disukai pemerintah. Peraturan Pemerintah
tentang pembentukan MRP baru diterbitkan pemerintah pada akhir
2004. Terakhir, pemerintah bahkan membentuk dua lembaga MRP,
masing-masing di Papua, dan Papua Barat atau Irian Jaya Barat;2
B. Kajian Perkembangan Dana Otonomi Khusus
Pengertian & Mekanisme Penyaluran Dana Otsus & Dana
Penyesuaian
Penyaluran dana otonomi khusus dari pemerintah provinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota dilakukan atas dasar nota kesepakatan
antara gubernur dan Bupati/walikota. Pencairan dana otonomi khusus
dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota diatur dalam
peraturan gubernur menyesuaikan dengan pencairan dana otonomi
khusus dari Pemerintah Pusat.
Dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus disalurkan
dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Dana tambahan infrastruktur yang besarnya ditetapkan antar
pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan provinsi pada setiap
tahunnya;
2 Syamsuddin Haris, Masalah Pengelolaan Dan Akuntabilitas Dana Otsus. LIPI
7
2. Dana tambahan infrastruktur disalurkan kepada pemerintah
provinsi Papua dan Papua Barat dengan pemindahbukuan ke
rekening kas umum daerah (RKUD).
Dana tambahan Infrastruktur ini digunakan khususnya untuk
pembangunan jalan yang terisolir sehingga membuka akses antar
kampung dan distsrik untuk meningkatan jalur lintasan
perekonomian.
Kesimpulannya adalah ketika dana otsus dan dana tambahan
infrastruktur dianggarkan kedalam APBD, maka mekanisme
pengelolaam keuangan daerah berlaku sama dengan daerah lain yaitu
mempedomani PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Keuangan Daerah
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No 59 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dana Otsus = 2% x DAU Nasional. Alokasi Dana Otsus setiap tahun
meningkat sejalan dengan kenaikan pendapatan negara.
Direncanakan Th 2013 Dana Otsus mengalami kenaikan 10,8% dari
Rp11,9 Triliun menjadi Rp13,2 Triliun. Adapun Besaran Dana
Tambahan Dana Otsus untuk Infrastruktur ditetapkan berdasarkan
kesepakatan Pemerintah dan DPR disesuaikan dengan kemampuan
keuangan Pemerintah, sedangkan tahun 2013 Dana tambahan
infrastruktur tidak mengalami perubahan/tetap seperti tahun
sebelumnya, yakni Rp1,0 Triliun.3
C. Kajian Dampak Dana Otonomi Khusus Terhadap Pembangunan
Sektor
1. Trend Alokasi Dana Otonomi Khusus
3 Acep, Dana Otonomi Khusus. Kementerian Keuangan
8
Note : Dana Otsus & Dana Penyeimbang (Tahun 2002 – 2003)
Dana Otsus & Dana Penyesuaian (Tahun 2004 – 2010)
Sumber : diolah dari data Kemenkeu (LHP-Hapsem I/2011)
2. a) Realisasi Dana Otsus Untuk Pendidikan
Menurut aturan Perda Provinsi bahwa alokasi anggaran untuk
pendidikan sebesar 30%, namun berdasarkan Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK RI (lampiran-Hapsem I Tahun 2011),
realisasinya alokasi dana Otsus untuk bidang Pendidikan tersebut,
baik di Papua maupun Papua Barat masih jauh dibawah ketentuan
Perda, seperti dalam tabel dibawah ini :
No. Entitas Tahun Anggaran
Bidang Pendidikan
Nilai % 30% (Perda) Selisih
1 Kabupaten Jayawijaya
TA. 2007 10.953.903.875 16.94% 30% -13.06%
TA. 2008 5.492.089.462 7.98% 30% -22.02%
TA. 2009 10.502.894.793 17.63% 30% -12.37%
2 Kabupaten Nabire
TA. 2007 9.145.596.175 16.41% 30% -13.59%
TA. 2008 4.592.860.092 7.75% 30% -22.25%
TA. 2009 7.600.516.400 14.80% 30% -15.20%
3 Prov. Papua TA. 2007 82.217.504.400 7.13% 30% -22.87%
9
TA. 2008 73.302.762.786 5.79% 30% -24.21%
Realisasi yang rendah tersebut membawa dampak terhadap
kinerja atas pelayanan pendidikan. Berdasarkan data dari BPS-RI,
Susenas 2003-2010, terhadap Tren pelayanan pendidikan Propinsi
Papua tahun 2003 s.d. 2010, diketahui bahwa laju pertumbuhan
Angka Partisipasi Murni (APM) APM SD justru mengalami
penurunan. Perlu kajian atas tren ini.
Sementara untuk SMP dan SMA relatif baik dengan kenaikan dari
30,11 ke 36,06 sedangkan SMP dari 47,81 ke 49,62 selama 8
tahun pelaksanaan Otsus. Meskipun demikian bila dibandingkan
laju pertumbuhan APM nasional, relatif lebih tinggi.
Sedangkan untuk Papua Barat, laju pertumbuhan Angka Partisipasi
Murni (APM) SD cukup signifikan dengan rata-rata 1,03% pertahun.
Demikian juga untuk APM SMA. Meskipun masih jauh dibanding rata-
rata nasional yang sebesar 0,46 tahun 2010, tetapi selama program
otsus terjadi laju peningkatan APM yang cukup tajam dari 35,31 ke
44,75. Sementara untuk SMP, angka APM relatif tetap di angka 50.
10
Untuk otsus NAD tidak ada aturan tentang pengalokasian anggaran
untuk pendidikan dan kesehatan sebagaimana Propinsi Papua dan
Papua Barat. Salah satunya karena APM NAD relatif bagus.Untuk SD
sudah mendekati 100, SMP 80 dan SMA 60.
Angka-angka ini tidak jauh dari APM nasional baik untuk SD, SMP
dan SMA.
11
b) Kesehatan
Begitupun dengan realisasi dana otsus untuk bidang kesehatan
masih jauh dibawah ketentuan perda yang menetapkan besarnya
dana alokasi otsus untuk bidang kesehatan sebesar 15%.
Berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI
Semester I Tahun 2011, terdapat selisih antara realisasi & aturan
perda, sebagaimana dapat dapat dilihat dalam table dibawah ini :
No.
Entitas
Tahun
Anggaran
Bidang Kesehatan
Nilai % 15% (Perda)
Selisih
1 Kabupaten Sami TA. 2007 4.057.473.200 6.71% 15% ‐8.29%
TA. 2008 9.346.752.000 14.54% 15% ‐0.46%
TA. 2009 5.442.426.600 9.78% 15% ‐5.22%
2 Kabupaten Waropen
TA. 2007 4.237.135.579 7.20% 15% ‐7.80%
TA. 2008 3.952.926.000 6.31% 15% ‐8.69%
TA. 2009 7.857.215.000 14.49% 15% ‐0.51%
3 Kabupaten Kaimana
TA. 2007 26.538.715.240 11.17% 15% ‐3.83%
TA. 2008 5.911.750.485 9.49% 15% ‐5.51%
TA. 2009 2.880.930.100 3.30% 15% ‐11.70%
4 Provinsi Papua TA. 2007 122.998.261.200 1 0.66% 15% ‐4.34%
TA. 2008 109.137.209.667 8.62% 15% ‐6.38%
TA. 2009 170.862.181.357 6.07% 15% ‐8.93%
12
Realisasi anggaran yang rendah tersebut berdampak pada
Indikator Kesehatan Papua dan Papua Barat. Di Papua misalnya
terjadi penurunan fasilitas kesehatan, seperti dapat dalam tabel
dibawah ini :
Tahun
Posyandu
Puskesmas
Tenaga Medis
Perawat dan Bidan
Papua Barat Papua Papua Barat Papua Papua Barat Papua Papua Barat Papua
2006 1055 2648 81 236 69 302 2004 4184
2009 1122 2190 105 266 279 300 2981 4098
Tambah (kurang) 67 (458) 24 30 210 (2) 977 (86)
• Sebagai gambaran tahun 2012 Provinsi Papua masih
membutuhkan 2.524 tenaga bidan, 427 perawat, 241 ahli
kesehatan lingkungan, 280 ahli farmasi dan itu belum termasuk
dokter
• Saat ini angka kematian ibu melahirkan juga cukup besar 362
per 100,000 kelahiran hidup (tergolong tertinggi di Indonesia).
Begitupun kinerja kesehatan di Papua Barat, Persentase Balita
dengan status gizi meningkat
13
Kinerja Kesehatan Papua Barat:
Semakin banyak ibu melahirkan dengan fasilitas kesehatan
c) Infrastruktur
Meskipun belum ada aturan mengenai alokasi dana otsus untuk
bidang infrastruktur dan Ekonomi bagi Provinsi Papua dan Papua
Barat, namun alokasi anggaran untuk bidang tersebut mendapat
porsi terbesar dibanding alokasi anggaran untuk bidang pendidikan
& kesehatan, yaitu pengalokasiannya rata-rata diatas 50%, seperti
dalam table dibawah ini :
No.
Entitas
Tahun Anggaran
Bidang Infrastruktur & Ekonomi
Nilai
%
1 Kabupaten Jayawijaya TA. 2007 45.351.205.840 70.14%
TA. 2008 51.672.035.383 75.12%
TA. 2009 28.077.390.559 47.14%
2 Kabupaten Supiori TA. 2008 38.039.982.600 67.19%
TA. 2009 24.787.693.943 50.56%
3 Kabupaten Sorong TA. 2007 49.547.653.950 88.14%
TA. 2008 32.104.656.370 53.68%
TA. 2009 57.810.369.550 60.50%
4 Provinsi Papua TA. 2007 888.102.112.400 76.98%
14
TA. 2008 753.626.298.327 59.53%
TA. 2009 1.548.216.052.863 55.02%
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa alokasi anggaran untuk
infrastruktur sangat besar tetapi dalam kenyataannya kondisi
infrastruktur tidak mengalami peningkatan, yang terjadi justru
sebaliknya, seperti misalnya baik kuantitas maupun kualitas jalan
jauh lebih buruk dibanding sebelum diberlakukannya otsus. Hal ini
dapat dilihat dari grafik tren kondisi jalan di Papua Barat tahun
2005-2010 :
Panjang jalan provinsi dari tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami
penurunan, begitu juga jalan nasional pada tahun yang sama
mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini menunjukan
bahwa besarnya alokasi dana otsus untuk infrastruktur tidak
membawa dampak pada peningkatan kuantitas jalan.
Begitupun kualitas jalan di Papua Barat, berdasarkan data dari BPS
Prov. Papua Barat tahun 2007-2009 menunjukan jalan dengan
kondisi rusak mengalami peningkatan yang signifikan dari 0% di
tahun 2007 menjadi 22% di tahun 2008, sedangkan kondisi jalan
rusak berat meningkat dari 26% menjadi 27%
15
3. Sisa Anggaran Dana Otonomi Khusus
No
Keterangan
Papua & Papua Barat
(2002 – 2010)
NAD
(2008 - 2010)
1 Total Alokasi Rp28.842.036.297.420,00,- Rp10.628.710.303.000,00,-
2 Total Realisasi Rp28.842.036.297.420,00,- Rp6.926.290.071.720,00,-
3 Realisasi Penyerapan
100% 65%
Ada beberapa kemungkinan penyebab rendahnya realisasi dana
otsus di NAD:
− Di NAD tidak ada UU atau peraturan dibawahnya yg tegas
mengatur penggunaan dana otsus sebagaimana di Papua &
Papua Barat.
− Dana otsus di NAD masih dilihat hanya dari sisi “sumber
dana”, tetapi belum dari sisi “peruntukan dana”. Sehingga
tidak ada perencanaan secara terpisah.
BAB IV KESIMPULAN & REKOMENDSI
Otsus telah cukup lama dijalankan (tahun 2002 untuk Papua, 2009 untuk
Papua Barat, serta 2008 untuk NAD).
Dana yang telah dialokasikan juga sudah relatif besar yakni (Rp35,4 T
selama 10 tahun). Dana ini akan terus meningkat karena dialokasikan
16
17
mengikuti besaran DAU. Namun demikian dana otsus yg relatif besar blm
memberikan dampak signifikan utk mencapai tujuan otsus.
Ada beberapa temuan menarik dalam pelaksanaan Otsus:
Pertama, kelemahan dukungan aturan perundangan terjadi hingga saat
ini.Masih banyak aturan yang seharusnya ada tetapi belum ada meskipun
Otsus telah dimulai thn 2002.Misal hingga saat ini belum ada Rencana
Induk Percepatan Pembangunan secara berkesinambungan.
Kedua, meski ada aturan alokasi dana Otsus yang sudah diatur dalam
Perda, namun tidak ada aturan yang mengatur sanksi bila tidak
dijalankan.
Ketiga, daerah seolah belum memahami dengan baik tujuan dana
Otsus. Di NAD hanya dipahami sebagai dana tambahan bagi APBD
sehingga tidak ada program-program khusus sebagai implementasi
Otsus.
Keempat, efektifitas dana Otsus berpotensi rendah karena tidak ada
strategi (Renstra), tidak ada sanksi terinci dan tegas (kasus Papua),
sehingga berpotensi diselewengkan karena SiLPA Otsus makin lama
makin besar tanpa aturan dalam pemanfaatannya (NAD).