Upload
fairuz-gaza
View
271
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Citation preview
1
KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM
PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
TESIS
Sebagai Salah SatuSyaratUntukMemperolehGelar
Magister Hukum
Pada Program Studi Magister IlmuHukum
Program PascasarjanaUniversitasSyiah Kuala
Oleh :
TEUKU ISKANDAR SYAFEI
0909200030036
P R O G R A M P A S C A S A R J A N A
U N I V E R S I T A S S Y I A H K U A L A
B A N D A A C E H
2 0 1 2
2
ABSTRAK
KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM
PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
Oleh :
TeukuIskandarSyafei1)
HusniDjalil
EddyPurnama
Pasal 179 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) “salah satu pendapatan daerah bersumber dari dana
otonomi khusus”. Kemudian secara prinsip mengenai dan aotonomi khusus
disebutkan dalam Pasal 183 UUPA. Mengenai teknis bagaimana pengelolaannya
diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian
tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi
khusus. Dengan demikian timbul permasalahan yang perlu dikaji Apakah
pengelolaan dana otonomi khusus sudah sesuai dengan Peraturan PerUndang-
Undangan yang berlaku, dan apakah yang menjadi kendala bagi Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus.
Tujuan penulisan tesis ini untuk Mengkaji pengelolaan dan aotonomi khusus
apakah sudah sesuai dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku, dan
Menemukan kendala Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi
khusus.
Penulisan tesis ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif yang
menekankan pada hukum dan peraturan Perundang-undangan. Jenis-jenis data dan
bahan-bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan
dokumentasi hukum, lalu dianalisis menggunakan metode kualitatif
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa system pengelolaan dana
Otonomi Khusus sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Tata cara pengalokasian tambahan dan bagi hasil minyak dan gas bumi dan
penggunaan Dana otonomi khusus, yang menyatakan secara tegas bahwa Dana
Otonomi Khusus yang menjadi bagian setiap Kabupaten/Kota tidak diberikan secara
langsung (tunai) maupun transfer akan tetapi hanya diberikan dalam bentuk pagu,
dan untuk pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Aceh, sehingga Pemerintah
1Mahasiswa
KetuaKomisiPembimbing
AnggotaKomisiPembimbing
3
Kabupaten/Kota hanya mengusulkan saja berkaitan dengan program yang akan
dibiayai oleh Dana Otonomi. Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan dana
otonomi khsus diantaranya Pengelolaan yang sentralistik, Pembatasan peruntukan,
Sumber Daya Manusia, Birokrasi yang panjang, dan intervensi.
Disarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) harus
memprioritaskan pembahasan dan pengesahan perubahan Qanun Aceh Nomor 2
Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak
dan Gas Bumi, tentunya dengan memperluas kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus dengan memperhatikan
prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab, serta Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sebagaiacuanjugaaspirasi dari
kabupaten/kota maupun berbagai kajian ilmiah. Dan Pemerintah Kabupaten/Kota
harus berupaya mengatasi seluruh kendala yang selama ini dihadapi, tentu bukan
sesuatu yang mudah namun dapat dilakukan dengan skala prioritas, agar manfaat
dari dana otonomi khusus dapat dirasakan secara nyata dan adil oleh seluruh
masyarakat Aceh.
Kata kunci : Kewenangan, Pemerintah Kabupaten/Kota, Otonomi Khusus
.
4
ABSTRACT
AN ASSESSMENT ON DISTRICT/MUNICIPAL GOVERNMENTS
PRIVILAGE REGARDING SPECIAL AUTONOMY FUND
UNDER THE LAW ON GOVERNING OF ACEH
By
Teuku Iskandar Syafei*
Husni Djalil**
Eddy Purnama***
Article 179 paragraph (2) of Law No. 11 Year 2006 on the Governing of
Aceh (UUPA) "One of the revenue derived from the special autonomy funds". Then
in principle on and Autonomy specifically mentioned in Article 183 UUPA.
Technical about how the management set in Aceh Qanun No. 2 of 2008 concerning
procedures for the allocation of additional funds from oil and gas and the use of
special autonomy fund. Thus, problems arise that need to be studied this special
autonomy fund management is in accordance with the legislation in force, and what
are the obstacles for District/City Government in the management of special
autonomy funds.
Purpose of this thesis to Assess the management and special Autonomy if it
is in accordance with the legislation in force, and Finding constraints District /City
Government in the management and special Autonomy.
Thesis was performed with normative juridical approach that emphasizes
the legal and regulatory legislation. The types of data and legal materials used are
of primary legal materials, secondary and tertiary. Data was collected with the
study of literature and legal documents, and then analyzed using qualitative
methods
Based on the survey results revealed that the management system of special
autonomy fund as stipulated in the Qanun No. 2 of 2008 concerning the allocation
of additional procedures and for the oil and gas and the use of special autonomy fund,
expressly stating that SAF being part of any district / city is not given directly (cash)
and the transfer but will only be given in the form of ceiling, and its implementation
by the Government of Aceh, so the District / City Government proposes only be
associated with a program that will be funded by the SAF. Which is a constraint in
the implementation of the autonomy fund particular periodicals including centralized
* Postgraduate Student of Syiah Kuala Law School
** The Head of Supervision Commission
*** The Members of Commission
5
management, allocation restrictions, Human Resources, Bureaucracy long, and
intervention.
It is recommended that the House of Representatives Aceh (DPRA) should
prioritize discussion and endorsement changes Aceh Qanun No. 2 of 2008 on the
Procedure for Allocation of Additional Funds for Oil and Gas, course by extending
the authority of the Government of Regency / City in the management of SAF by
observing the principles of autonomy, real and responsible, and law-UndangNomor
11 Year 2006 concerning the Government of Aceh as a reference also the aspirations
of the district / city and the scientific literature. Government and Regency / City must
try to overcome all obstacles that have been faced, certainly not something easy but
can be done with the scale of priorities, so that the benefits of special autonomy funds
can be felt in a real and fair by all Acehnese.
Keywords: Authority, District / City Government, Special Autonomy
6
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan kuasanya, berkat dan
kehendak-Nya, tesis yang berjudul ”Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 Tentang Pemerintahan Aceh” telah dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan
salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusisa kealam
yang berilmupengetahuan.
Penulisan tesis ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pasca sarjana Univesitas Syiah Kuala. Penyusunan tesis ini tidak
mungkin berhasil diselesaikan tanpa kesempatan, bantuan bimbingan, arahan serta
dorongan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu disampaikan ucapan terimakasih
dan penghargaan setinggi-tinginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Husni Djalil, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum juga sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Eddy
Purnama, SH., M.H, sebagai Angota Komisi Pembimbing, yang telah
memberikan petunjuk, bimbingan dan nasihat dalam penulisan tesis ini
7
2. Bapak Prof. Dr. Syamsul Rizal selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Syiah Kuala, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan pada program pasca sarjanaUniversitas Syiah Kuala
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng. Selaku Pj. Rektor Universitas Syiah
Kuala yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi sampai
dengan memperoleh gelar Magister Hukum (M.H)
4. Seluruh Staf dan Dosen Pengajar yang telah mendidik dan memberikan ilmu
dengan tulus dan ikhlas.
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang setiap saat tanpa henti mencurahkan kasih
sayang dan melantunkan doa sehingga dapat terselesaikannya tesis ini dan juga
kepada Kakak dan Adik tersayang yang senantiasa memberikan pengertian dan
dukungan selama studi hingga selesainya tesis ini.
6. Teristimewa ucapan terima kasih kepada keluarga tercinta istri dan kedua putra
kami, sebagai sumber motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
7. Kepada semua teman-teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Syiah Kuala, Khususnya Angkatan 2009 yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, terimakasih atas bantuan dan dorongan semangatnya.
Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan mendapat balasan yang
lebih baik dari Allah SWT. Jaza-kumullah ah-sana al-jaza’. Dalam penulisan tesis
ini, disadari bahwa kesempurnaan hanyalah Milik Allah sehinga pada akhirnya,
segala saran dan masukan atas kekurangan tesis ini, diterima dengan pikiran terbuka
dan ucapan terima kasih.
8
Akhirnya mohon maaf kepada semua pihak yang telah berjasa dalam
penelitian dan penulisan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung,
karena tidak sempat mengucapkan terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan
mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.
Banda Aceh, 29 Oktober 2012
Teuku Iskandar Syafei
9
DAFTAR ISI
halaman
ABSTRAK ................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
DAFTAR TABEL...................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. LatarBelakang ................................................................... 1
B. IdentifikasiMasalah ........................................................... 5
C. TujuandanKegunaanPenelitian ....................................... 6
D. KeaslianPenelitian ............................................................. 7
E. KerangkaPikir ................................................................... 8
F. MetodePenelitian ............................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ....................................................... 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 20
A. PengertianPemerintahan Daerah ..................................... 20
B. Pemerintahan Aceh ........................................................... 28
C. Keuangan Daerah .............................................................. 33
BAB III DINAMIKA PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA 40
A. Pemerintahan Daerah padaMasaOrde Lama ................. 40
B. Pemerintahan Daerah padaMasaOrdeBaru ................... 46
C. Pemerintahan Daerah padaMasaOrdeReformasi .......... 48
BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA
DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
A. PengelolaandanaotonomikhususberdasarkanPeraturan
Perundang-undangan yang berlaku ................................
B. KendalabagiPemerintahKabupaten/Kota
dalampengelolaandanaotonomikhusus
BAB V PENUTUP .................................................................................... 102
A. Kesimpulan ........................................................................ 102
B. Saran ................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 105
58
86
58
10
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Estimasipenerimaandanaotsus Aceh
69
2. Penerimaan Dana OtonomiKhusus Prov. Aceh Tahun
2008 – 2010
70-71
3. AnggarandanRealisasiPenggunaan Dana Otsusuntuk
TA 2008 s.d TA 201
73
4. RincianPenerimaan Dana Otsus Aceh 87
11
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. SkemaPengelolaan Dana Otsus
62
2 SkemaPelaksanaKegiatan Dana Otsus
63
3 StrukturOrganisasiPengelola Dana Otsus
65
4 Skemaalokasidanaotonomikhusus
68
5 Skema Hubungan Koordinasi Pemerintah Daerah
80
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) yang disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006 telah banyak memberikan
kekhususan bagi Aceh dalam mengurus rumah tangganya secara mandiri dengan
kewenangan yang istimewa seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 UUPA,
sebagai berikut :
(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan
tertentu dalam bidang agama.
Berdasarkan luasnya kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
maka disebut otonomi khusus, tentunya berbeda dengan otonomi daerah pada
umumnya, dimana perbedaan antara otonomi khusus dan otonomi pada umumnya
adalah pada kewenangan yang diberikan. Otonomi daerah pada umumnya dibatasi
pada 6 (enam) kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu :
1. Politik luar negeri
2. Pertahanan
3. Keamanan
4. Yustisi
5. Moneter dan fiskal nasional
6. Urusan tertentu dalam bidang agama
13
Sedangkan pada otonomi khusus keenam kewenangan Pemerintah Pusat tersebut
tidak dibatasi secara mutlak, misalnya di bidang yustisi secara nasional dikenal
Pengadilan Agama namun untuk Aceh disebut dengan Mahkamah Syar’iyah,
kemudian di bidang keagamaan Aceh juga memberlakukan Syariat Islam.
Melalui otonomi khusus Aceh juga diberikan dana otonomi khusus dari
Pemerintah Pusat, seperti yang disebutkan dalam Pasal 179 ayat (2) UUPA
“salah satu pendapatan daerah bersumber dari dana otonomi khusus”. Penjelasan
lebih lanjut mengenai dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 183 ayat (1),
(2), (3), (4) dan (5) UUPA, sebagai berikut :
(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2)
huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk
membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan,
serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
(2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun
pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan
2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun
keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara
dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah
Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh
dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan
antarkabupaten/kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi
khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi
Aceh.
(5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam
Qanun Aceh.
14
Amanah dari pasal tersebut yaitu terkait dengan penggunaan dana Otsus
lebih lanjut diatur dalam Qanun Aceh. Oleh karena itu pada tanggal 22 Januari
2008 Pemerintah bersama DPRA telah mengesahkan Qanun Nomor 2 Tahun 2008
tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas
Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Melalui ketentuan tersebut
disinyalir telah menimbulkan penafsiran berbeda antara Pemerintah Aceh dan
Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan pengelolaan dana Otsus. Penjelasan
mengenai dana otsus disebutkan dalam Pasal 8 Qanun No.2 Tahun 2008
(1) Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan
penerimaan Pemerintah Aceh.
(2) Penerimaan Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun.
(3) Besarnya penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk tahun 2008 sampai dengan Tahun 2022 setara dengan 2% (dua
persen) pagu Dana Alokasi Umum Nasional.
b. untuk tahun 2023 sampai dengan tahun 2028 setara dengan 1% (satu
persen) pagu Dana Alokasi Umum Nasional.
Terkait dengan pengalokasian dana Otsus, sudah cukup rinci dijabarkan
dalam Qanun No.2 Tahun 2008, namun ada beberapa hal penting yang diatur
dalam Qanun tersebut yang mengakibatkan terhambatnya implementasi atau
pengunaan dana Otsus, Tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Aceh
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga antara Eksekutif dan Legislatif kerap
kali mewarnai pemberitaan diberbagai media massa.2
2 Masriadi Sambo, Konspirasi Kepentingan di APBA 2010, Kontras edisi 30 maret 2010
15
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut maka berbagai bentuk protes dari
hampir seluruh Kabupaten/Kota di Aceh yang merasa bahwa implementasi dana
otsus telah menyimpangi semangat desentralisasi yang telah terbangun karena
terkait dengan kewenangan dana tersebut sentralistik atau tidak diberikan kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 11 ayat
(6) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian
Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana
Otonomi Khusus . “Pengalokasian anggaran tidak diberikan dalam bentuk dana
tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh
Gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA.”
Ketentuan tersebut jelas bersifat sentralistik sehingga berdampak kepada
semakin panjangnya jalur birokrasi yang mengakibatkan terhambatnya proyek-
proyek yang dikerjakan dengan sumber dana Otsus, sehingga tidak tercapai tujuan
percepatan pembangunan yang diharapkan. Jika mengacu pada Pasal 43 ayat (1)
UUPA “(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, memiliki
tugas dan wewenang mengoordinasikan:
a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten/kota;
b. penyelenggaraan urusan Pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota;
c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Aceh
dan kabupaten/kota;
d. pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan dan keistimewaan Aceh;
dan
e. pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar
kabupaten/kota di Aceh.
16
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan pula bahwa kedudukan
Pemerintah Kabupaten/kota bukan bersifat vertikal atau hirarkis sehingga harus
tunduk dibawah Pemerintah Aceh, namun keduanya bersifat horizontal atau
sejajar sehingga Pemerintah Aceh hanya mengkoordinir Pemerintah
Kabupaten/Kota, begitupun dalam hal pengelolaan keuangan Pemerintah
kabupaten/kota. Dimana dana Otsus merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah seperti yang disebutkan dalam Pasal 179 ayat (2) UUPA “ Pendapatan
Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dana
Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah.”
Selain Pasal tersebut dalam UUPA juga tidak ditemukan justifikasi
terhadap praktik pengelolaan dana otsus yang sentralistik, dikaitkan juga dengan
asas-asas pengelolaan Pemerintahan yang baik atau prinsip-prinsip good
governance maka salah satu unsurnya adalah pelimpahan kewenangan agar
urusan-urusan pemerintah dapat berjalan dengan lancar karena tidak terfokus
pada satu tempat saja.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka berikut terdapat beberapa
permasalahan yang dapat diteliti :
1. Apakah pengelolaan dana otonomi khusus sudah sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku ?
17
2. Apakah yang menjadi kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
pengelolaan dana otonomi khusus ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka yang
menjadi tujuan penelitian adalah :
1. Mengkaji pengelolaan dana otonomi khusus apakah sudah sesuai dengan
Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku
2. Menemukan kendala Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana
otonomi khusus
Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis diharapkan dapat menjadi sumbangsih pikiran dalam kajian
ketatanegaraan khususnya berkaitan dengan Kewenangan pemerintah
Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
2. Secara Praktis diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengevaluasi
maupun terhadap perubahan Qanun Aceh yang terkait dengan pengelolaan
dana otonomi khusus. Serta penelitian ini merupakan sebuah kontribusi
terhadap permasalahan dalam mengimplementasikan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
18
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran berbagai literatur dan
hasil penelitian yang dilakukan sampai saat ini tidak ditemukan penelitian
dengan judul serupa, namun sebuah penelitian yang baik tentunya saling terkait
satu sama lainnya untuk itu dari hasil penelusuran pada pustaka magister ilmu
hukum terdapat juga beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan. Yaitu Thesis
yang disusun oleh Saudari Sutri Yanti pada tahun 2009 yang berjudul
“Pembagian Kewenangan Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Aceh dan
Kabupaten/Kota (Kajian Yuridis Normatif Terhadap Ketentuan UU No. 11
Tahun 2006)”
Perbedaan yang paling spesifik adalah pada penelitian tersebut bersifat
umum, atau saudari Sutri Yanti meneliti terhadap seluruh urusan yang terkait
dengan kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, tidak
khusus pada salah satu kewenangan semata, kemudian pada bagian rekomendasi
juga disebutkan mengenai perimbagan keuangan antara Pemerintah Aceh dengan
kabupaten/kota yang masih sentralistik. Sehingga menjadi penting untuk dikaji
lagi secara khusus terkait dengan perimbangan dana otonomi khusus antara
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
19
E. Kerangka Pikir
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan bergulirnya orde reformasi
dimana tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang demokratis dan dapat
mempercepat kesejahteraan rakyat, praktek pemerintahan pada masa orde baru
yang dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat banyak sehingga
kemudian dirasakan perlu untuk menetapkan asas-asas atau prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi
norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Pasal
2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Peran asas hukum
sangatlah penting karena asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, menjadi
titik tolak berpikir, pembentukan dan intepretasi hukum, dan peraturan hukum
merupakan patokan tentang perilaku yang seharusnya, berisi perintah, larangan,
dan kebolehan. Umumnya setiap negara memiliki asas-asas penyelengaraan
pemerintahan yang baik,3 misalnya:
1. Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke
Bestuur” (ABBB)
2. Di Inggris dikenal “The Principal of Natural Justice”
3. Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”
4. Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen”
5. Di Jerman “Verfassung Sprinzipien”
6. Di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”.
3 Nn, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, www.google.com, diakses 4 oktober 2010
20
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ada
beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi asas kepastian
hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas
keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.
a) asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perUndang-Undangan, kepatutan dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara
b) asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara
c) asas kepentingan umum, adalah yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif
d) asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara
e) asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara
f) asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku
g) asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.4
Secara Umum asas-asas Penyengaraan Pemerintah yang baik juga telah
disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Yaitu
4 ibid
21
“Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan
Negara yang terdiri atas:
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggara negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
e. asas proporsionalitas;
f. asas profesionalitas;
g. asas akuntabilitas;
h. asas efisiensi; dan
i. asas efektivitas.
Secara khusus UUPA juga mengadopsi hal tersebut, yaitu dalam Pasal 20
disebutkan “Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan
yang terdiri atas”:
a. asas ke-Islaman;
b. asas kepastian hukum;
c. asas kepentingan umum;
d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan;
e. asas keterbukaan;
f. asas proporsionalitas;
g. asas profesionalitas;
h. asas akuntabilitas;
i. asas efisiensi;
j. asas efektivitas; dan
k. asas kesetaraan.
Selain asas-asas penyelengaraan pemerintahan yang baik, yang telah
disebutkan, secara umum dikenal juga 10 prinsip good governance5, yaitu :
5 local Governance Support Program (LGSP), Reformasi Organisasi Pengelolaan Keuangan
Daerah, 2009. Hlm 14
22
1. Partisipasi
2. Penegakan Hukum
3. Transparasi
4. Kesetaraan
5. Daya Tanggap
6. Wawasan Kedepan
7. Akuntabilitas
8. Pengawasan
9. Efesiensi & Efektifitas
10. Profesionalisme
Kemudian terdapat pula prinsip good governance yang menambahkan syarat
Desentralisasi (decentralization) dalam penyelangaraan pemerintah, namun
kesemua asas-asas tersebut memiliki esensi maupun tujuan yang sama.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan
terjadinya pergeseran paradigma sentralistis ke arah desentralisasi nyata yang
ditandai dengan pemberian otonomi yang lebih luas dan nyata kepada daerah.
Desentralisasi ini diikuti dengan reformasi kebijaksanaan pemerintahan di
berbagai bidang yang mengatur masalah-masalah desentralisasi dan
penyelengaraan pemerintahan daerah secara otonom.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan kuat
bagi penyelengaran Pemerintah Daerah secara otonom karena melalui
amandemen tersebut, telah ditegaskan mengenai pembagian daerah dalam
Negara Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi terdapat daerah
kabupaten dan kota.6 Tersebut dalam Pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan daerah
6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2009. Hlm 302
23
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Menguatnya gagasan memperluas kewenangan dalam konteks
Pemerintahan Daerah berpangkal pada fakta-fakta yang terjadi sebelum era
reformasi antara lain :
1. Pengelolaan sumber daya alam yang dirasakan hanya memberikan
keuntungan pada sebagian kecil pejabat pemerintahan pusat sehingga
terjadi kesenjangan.
2. Tidak terakomodirnya potensi-potensi putra daerah yang berkualitas
karena pada faktanya jabatan-jabatan strategis baik jabatan politik
maupun profesi didominasi dari pusat.
3. Sulit terciptanya demokrasi karena adanya unifikasi peraturan
perUndang-Undangan.
4. Sulitnya mengembangkan budaya-budaya lokal karena semuanya
dikendalikan oleh pusat.7
Terikait dengan konsep Otonomi, Abu Daud Busroh mengatakan, negara
kesatuan ditinjau dari susunannya adalah negara yang tidak tersusun dari
beberapa negara, seperti halnya negara federasi, melainkan negara itu sifatnya
tunggal artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara dalam negara.8 Dengan
demikian bila dibanding dengan negara federal dan konfederasi, maka negara
kesatuan merupakan bentuk negara dimana ikatan serta integrasi paling kokoh.9
Menurut Carl J. Fedreich, pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pembagian kekuasaan secara territorial (territorial devision of power) adalah
7 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta
2010. Hlm 9 8 Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 64-65.
9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,
hlm.141.
24
pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan dan pembagian
kekuasaan ini dapat dengan jelas jika dibandingkan antara negara kesatuan,
federasi dan konfederasi.10
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
territorial division of power diwujudkan dengan adanya satuan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. 11
Berikut adalah beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan otonomi daerah :
1. Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang
menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan di dalam Undang-Undang.
2. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang
dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup,
dan berkembang sesuai degan kekhasan daerah. Dengan demikian,
isi dan jenis setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. 3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian
utama dari tujuan nasional.12
Menurut Nur Ri’fah Maskur ada tiga perubahan pokok yang dirasakan
oleh daerah pasca otonomi daerah yaitu :
1. Perubahan kewenangan pengelolaan sumber daya alam
2. Perubahan kewenangan pengelolaan sumber-sumber keuangan (pajak dan
retribusi)
10
ibid.
11
Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, 2004, hlm.
123 12
Widjaja HAW, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 131.
25
3. Perubahan alokasi anggaran dari pusat ke daerah dalam bentuk DAU dan
DAK.13
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan secara geografis merupakan
negara kepulauan sehingga sulit tentunya jika penyelengaraan pemerintahan
hanya terfokus pada satu titik saja (pusat) sehingga untuk memenuhi asas
efisiensi maka perlu untuk melimpahkan kewenangan pada perwakilan atau
perpanjangtanganan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan
selanjutnya kepada pemerintah kabupaten/kota. Juga disebutkan desentralisasi.
Untuk itu perlu dilihat mengenai teori-teori pelimpahan kewenangan,
diantaranya:
1. Sentralisasi yaitu sistem pemerintahan di mana segala kekuasaan
dipusatkan di pemerintah pusat.
2. Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
4. Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.14
Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau
legitimasi, Kewenangan diperoleh melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau
dengan pelimpahan wewenang.
13
Nur Ri’fah Maskur dalam Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia,
Pustaka Mandiri, Jakarta 2010. Hlm 10 14
Sadu Sasistiono, Dkk. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan
Legalistik,Teoritik dan Implementatif. Fokusmedia, Bandung
26
1. Atribusi
Atribusi ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah
dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang
dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini menunjuk pada
kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perUndang-
Undangan.
2. Pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan
tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang
ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur
komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan
secara khusus oleh peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.15
Mengacu kepada teori tersebut maka Pemerintah Daerah dalam hal ini
adalah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan atributif, hal itu atas dasar
kewenangan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 “Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Maka
selayaknya Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kepercayaan dalam mengelola
dana otonomi khusus secara mandiri, mengingat Pemerintah Kabupaten/Kota
yang lebih dekat serta memahami karakteristik daerahnya sehingga dengan
dikelolanya dana otonomi khusus secara langsung oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota bisa lebih terarah dan efektif karena fungsi pelayanan publik
(public service) secara langsung ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota
dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi.
15
Restu Maharani, Teori Kewenangan, www.restumaharani.co.cc, diakses tanggal 19 Agustus
2011.
27
F. Metode Penelitian
Objek kajian dalam penelitian ini adalah Kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti terlebih dahulu peraturan
perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
Dengan kata lain yaitu melihat hukum dari aspek normatif.
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti
penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi
Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dan analitis dalam arti bahwa terhadap hasil yang
didapat akan dianalisis dengan berbagai teori-teori maupun asas-asas hukum
yang ada, sehingga akan menghasilkan kesimpulan atas permasalahan yang
diteliti.
2. Jenis Bahan Hukum
Jenis-jenis data dan bahan-bahan hukum yang digunakan, dalam penelitian ini
adalah :
28
a. Bahan Hukum Primer
Data primer terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Qanun Nomor 2
Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil
Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. dan
aturan PerUndang-Undangan lain yang terkait dengan objek penelitian
ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan sekunder terdiri dari Buku-buku, surat kabar, majalah, hasil-
hasil penelitian, hasil karya ilmiah, jurnal-jurnal, artikel dan internet.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan hukum yang diambil peneliti sebagai bahan yang dapat
memberikan penjelasan data-data primer dan sekunder, yang terdiri dari
kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian tersebut teknik
pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan, adalah:
a. Studi Pustaka
Hal ini dilakukan dengan cara mencari literature, makalah, Koran, dan
data yang diperoleh di internet atau bahan hukum yang terkait dengan
materi pembahasan.
29
b. Dokumentasi Hukum
Hal ini dilakukan dengan cara mencari peraturan perUndang-Undangan
yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan materi
pembahasan.
4. Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, data tersebut diidentifikasi, diolah, dan
dianalisis, kemudian disusun ke dalam suatu bentuk karya dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif.16
F. Sistematika Penulisan
Guna memperoleh pemahaman terhadap isi tesis ini maka penulisannya
dibagi dalam empat bab yaitu sebagai berikut :
Pada bab pertama dengan judul pendahuluan berisikan sub-sub judul Latar
belakang masalah, Identifikasi masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Keaslian
penelitian, Kerangka pikir, Metode penelitian dan Sistematika penulisan
Bab kedua dengan judul Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah
berisikan sub-sub judul mengenai Pengertian pemerintahan daerah, Pemerintahan
Aceh dan Keuangan daerah
16
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
hal 2-3. Inti dari buku ini menyebutkan bahwa Sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa pengumpulan kata tertulis maupun lisan dari pihak-pihak yang bersangkutan dengan
penelitian dan prilaku yang diamati.
30
Bab ketiga dengan judul Dinamika Pemerintahan Daerah Indonesia
Berisikan tentang Pemerintahan daerah pada orde lama, Pemerintahan daerah pada
orde baru dan Pemerintahan daerah pada orde reformasi
Bab empat dengan judul Kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota Dalam
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berisikan tentang Kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus dan Kendala
bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus.
Bab lima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran
yang dapat bermanfaat dalam pemecahan masalah.
31
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Pengertian Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan
daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Masing-masing badan atau
lembaga menjalankan peranannya sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, dan
fungsinya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah atau
DPRD merupakan kesatuan integral yang memberikan pelayanan publik sesuai
dengan ketentuan hukum yang diamanatkan Undang-Undang Dasar.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan
DPRD provinsi.
20
32
2. Pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas pemerintah daerah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang atau peraturan
pemerintah daerah yang pernah berlaku dan yang berlaku sejak Indonesia
merdeka adalah :
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Ketentuan Keududukan Kominite Nasioanal Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950
4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah
5. Penetapan Pemerintah No. 6 Tahun 1959 Penyerahan Tugas-Tugas
Pemerintah Pusat Dalam Bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan
Pegawai dan Penyerahan Keuangan Kepada Pemerintah Daerah
6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah
Era reformasi dikenal Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22
Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam menghadapi
perkembangan keadaan baik didalam maupun diluar negeri serta tantangan
persaingan global dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada
daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,
pemanfaaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
33
pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang
dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.17
Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah harus sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan , keadilan, keistimewaan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi atau autonomie berasal dari bahasa Yunani yaitu kata auto
yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-Undang.18
Jadi Otonomi
berarti mengatur dengan Undang-Undang sendiri. Dengan demikian yang
dimaksud dengan otonomi adalah “pemberian hak dan kekuasaan perUndang-
Undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan
ataupun daerah”.
Pengertian Otonomi dalam lingkup suatu negara selalu dikaitkan dengan
daerah atau pemerintah daerah (local government). Otonomi dalam pengertian
ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke
17
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta
2010, hlm. 13 18
Silalahi, dalam Konsep Good Governance Dalam Konsep Otonomi Daerah, Alwi Hasyim
Batubara (Thesis Universitas Sumatra Utara) 2009
34
daerah juga berarti menghargai atau mengefektifkan kewenangan asli yang sejak
semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi sistem prosedur
pemerintahan negara di daerah.19
Pengertian otonomi daerah berdasarkan UUD 1945 adalah hak dan
wewenang daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan diberikan oleh
peraturan perundangundangan. Otonomi menurut UUD 1945 adalah otonomi
yang berkedaulatan rakyat dengan menerapkan pemerintahan daerah yang
bersendi atas dasar permusyawaratan rakyat. Daerah yang dimaksud dalam UUD
1945 adalah “daerah propinsi” dan “daerah yang lebih kecil dari daerah
propinsi”, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-
Undang. Otonomi daerah dalam pengertian UUD 1945 adalah desentralisasi
ketatanegaraan atau teritorial.
Otonomi daerah juga mengikuti ajaran sistem rumah tangga daerah,
dimana sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara-cara membagi tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut
yaitu daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan, baik atas
dasar penyerahan maupun atas pengakuan ataupun dibiarkan sebagai urusan
rumah tangga daerah.20
19
Sumitro, dalam Dasar Hukum, Prinsip Dan Titik Berat Otonomi Daerah, Amsali Sembiring
(Thesis Universitas Sumatra Utara) 2008 20
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 26.
35
Dalam kepustakaan dikenal tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu
sistem rumah tangga formal, sistem sumah tangga materiil, dan sistem rumah
tangga rill. Sistem rumah tangga formal (fomale huishoudingsbegrip). Menurut
bagir manna adalah suatu pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab
antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
tidak ditetapkan secara rinci.21
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam
sistem rumah tangga formal, urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah
tidak ditentukan secara limitative di dalam peraturan perUndang-Undangan.
Otonomi yang di dasarkan pada ajaran rumah tangga formal, dipandang
dari isi-sifat urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pusat dan daerah tidak
terdapat perbedaan.22
Hal tersebut disebabkan setiap satuan pemerintahan yang
diserahi urusan dapat dipastikan mampu mengerjakannya. Yang lebih ditekankan
pada pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam sistem rumah
tangga formal adalah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional
dan praktis, sehingga dapat dilaksanakan sebaik-baiknya dan berhasil guna serta
dapat dipertanggungjawabkan.
Persoalan yang muncul dalam sistem rumah tangga formal adalah
tingkat kemampuan dan sumber daya daerah yang berbeda-beda antara satu dan
yang lainnya. Padahal secara teoritis, sistem rumah tangga formal itu dapat
memperbesar wewenang, tugas dan kewajiban atas urusan-urusan yang berada di
21
idem, hlm. 27. 22
Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta,
1993, hlm. 6.
36
wilayahnya, sehingga sebenarnya ajaran rumah tangga formal lebih mendukung
pelaksanaan desentralisaisi.
Namun demikian hasil guna dan daya guna dari sistem rumah tangga
formal dalam praktiknya mengalami kesulitan untuk diwujudkan, hal ini
disebabkan karena :
1. Tinggkat hasil guna dan sistem rumah tangga formal sangat tergantung
pada kreativitas dan aktivitas daerah;
2. Hambatan lain adalah aspek keuangan daerah, meskipun daerah
mempunyai peluang yang luas untuk mengembangkan urusan rumah
tangga daerah, hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa ditopang oleh
sumber keuangan yang memadai.
3. tidak pua kalah pentingnya hambatan teknis. Daerah tidak dapat secara
mudah mengetahui urusan yang belum diselenggarakan pusat atau
Pemerintah Daerah tingkat lebih atas.23
Sistem rumah tangga materill (materiele
huishoudingsbegrip) berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada
perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah dianggap
memang mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang secara
material berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat.
Menurut sistem ini, pembagian tugas,wewenang dan tanggung jawab
antara pusat dan daerah ditentukan secara pasti atau limitative di dalam peraturan
perUndang-Undangan yang menjadi dasar pembentukanperaturan daerah.
Otonomi daerah menurut sistem rumah tangga materiil sifatnya terbatas
karena Daerah Otonom tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak disebut dalam
23
Bagir Manan, Hubungan Antara… , op.cit, hlm. 29.
37
Undang-Undang pembentukannya. Langkah kerja dari daerah tidak dapat keluar
dari ketentuan ketentuan yang berlaku.24
Berdasarkan hal tersebut, maka segala sesuatu urusan yang tidak
tercantum dalam peraturan perUndang-Undangan sebagai urusan daerah, tetap
menjadi urusan pusat. Dicantumkannya urusan-urusan pemerintahan yang dapat
dilaksanakan oleh daerah, menjadikan daerah yang bersangkutan tidak
mempunyaipeluang untuk berinisiatif atas pemanfaatan dan peruntukan sumber-
sumber keuangan daerah.
Hal tersebut disebabkan Daerah “hanya” dapat mengurus dan mengatur
hal-hal tertentu saja. Oleh karena itu sistem rumah tangga materiil mempunyai
kecendrungan kearah yang tidak menguntungkan untuk mewujudkan hubungan
pusat dan daerah yang baik, khususnya yang berkaitan dengan keuangan. Hal
tersebut disebabkan sistem rumah tangga materiil memiliki beberapa kelemahan
yaitu : 25
a. Sistem rumah tangga materiil berpangkal tolak pada pemikiran yang
keliru yaitu menganggap bahwa urusan pemerintahan dapat dirinci dan
karena itu dapat dibagi-bagi secara rinci pula.
b. Sistem rumah tangga material lebih terasa mengekang, karena terikat
pada urusan pemerintahan yang secara rinci ditetapkan sebagai urusan
rumah tangga;
c. Sistem rumah tangga material akan lebih banyak
mengandung spanning hubungan antara pusat dan daerah.
24
Tjahja Supriatna, op.cit, hlm. 4. 25
Bagir Manan, Hubungan Antara… , op.cit, hlm.31.
38
Sistem rumah tangga rill (riele huishoudingsbegrip) merupakan jalan
tengah atau midle range26
antara sistem rumah tangga formal dan sistem rumah
tangga materiil. Sistem ini sering disebut sebagai otonomi nyata atau otonomi
riil, karena isis rumah tangga daerah didasarkan kepada keadeaan daerah dan
faktor-faktor nyata.
Persoalan muncul adalah yang manakah yang dominan diantara kedua
teori itu ? Apakah keduanya berjalan secara seimbang ? menurut Bagirmanan
dari apa yang diuraikan Tresna, timbul kesan bahwa sebagai jalan tengah, sistem
rumah tangga riil ini lebih mengutamakan asas formalnya. Dalam sistem rumah
tangga formal terkandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kemandirian bagi
daerah, sedangkan sistem rumah tangga materiil akan merangsang timbulnya
ketidakpuasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah.27
Dalam sistem rumah tangga riil ini asas materil berperan memberikan
kepastian sejak awal mengenai urusan daerah, karena melalui sistem ini urusan
pangkal yang diserahkan untuk kemudian dikembangkan dengan sistem rumah
tangga formal yang lebih memberi kebebasan dan kemandirian. Aspek sistem
rumah tangga materiil dalam bentuk penyerahan urusan pangakal, disamping
aspek sistem rumah tangga formal, menjadi salah satu cirri yang membedakan
sistem rumah tangga riil dari teori otonomi lainnya.28
26
Tresna R, Bertamasya ke Taman Ke Tatanegaraan, Dibya, Bandung, tanpa tahun, hlm. 34. 27
Bagir Manan, Hubungan Antara… … , op. cit, hlm. 17. 28
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Di Negara Republik Indonesia, Jilid III,
Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 58.
39
B. Pemerintahan Aceh
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat
dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah
kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh
Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Pengakuan
Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan
melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN
2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan
Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan
merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan
sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Selain itu materi kekhususan dan
keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11/2006, sebagian
besar hampir sama dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh
40
karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah (sepanjang
hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh).
Daerah Aceh dibagi atas Kabupaten dan Kota. Kabupaten dan Kota
adalah bagian dari Daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum
yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perUndang-Undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945,
yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota. Kabupaten/Kota dibagi atas
kecamatan. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat
daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.
Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan
pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain:
1. Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung
dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus
dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
2. Dalam hal rencana pembentukan Undang-Undang oleh DPR yang
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
3. Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan
khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perUndang-
Undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh, yang akan
41
dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan Gubernur Aceh.
4. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama secara langsung dengan
lembaga atau badan di luar negeri sesuai kewenangannya, kecuali yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam naskah kerja sama
tersebut harus dicantumkan frasa “Pemerintah Aceh sebagai bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
5. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan
seni, budaya, dan olah raga internasional.
6. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk
lembaga, badan, dan/atau komisi menurut UU 11/2006 dengan
persetujuan DPRA/DPRK, yang pembetukannya diatur dengan Qanun.
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang
diatur dan diurus sendiri oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur
serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak
dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan
Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan, baik pada Pemerintahan di tingkat Aceh
maupun pemerintahan di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar pemerintahan di Aceh. Pembagian urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota diatur dengan Qanun Aceh.
42
Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang
merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh:
1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan
syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama;
2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi
muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;
4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
5. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan
perUndang-Undangan. 29
Urusan wajib yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan
Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh, yang meliputi:
1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan
syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama;
2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi
muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan
4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Kabupaten/Kota.30
Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan tambahan dalam
hal:
1. menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah
Tsanawiyah dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan31
dan
2. mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. Dalam menjalankan
kewenangan ini Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota.32
29
Pasal 16 ayat (2) huruf a sampai e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh 30
Pasal 17 ayat (2) huruf a sampai d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh 31
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh 32
Pasal 172 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh
43
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki
khususan yaitu dimasukkannya asas ke-Islaman. Penyelenggara Pemerintahan
Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan DPRA. Penyelenggara Pemerintahan
Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRK. Susunan
organisasi dan tata kerja Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota diatur lebih
lanjut dalam Qanun.
Gubernur atau Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang antara
lain melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara
menyeluruh. Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur antara lain
dalam pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at
Islam. Wakil Bupati/Wakil Walikota mempunyai tugas membantu
Bupati/Walikota antara lain dalam:
1. pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at
Islam;
2. pemberdayaan perempuan dan pemuda;
3. pemberdayaan adat;
4. pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan
kecamatan, Mukim, dan Gampong;33
Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh,
pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.
Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama
dengan DPRA. Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah
33
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh
44
mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan
rancangan Qanun. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan Qanun harus
terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal diperlukan untuk
pelaksanaan Qanun, Gubernur dan Bupati/Walikota dapat menetapkan
Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan Bupati/Walikota.
C. Keuangan daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara
optimal apabila penyelanggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yangc ukup kepada daerah dengan mengacu kepada
Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah.semua sumber keuangan
yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah
menjadi sumber keuangan.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan, antara lain
berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintahan yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan
pajak dan restibusi daerah dan hak hak untuk mendapatkan bagi hasil dari
sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan
lainnya, hak untuk mengelola kekayaan didaerah dan mendapatkan sumber-
45
sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.Hubungan
keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya secara
efektif.34
Untuk melakukan fungsi tersebut harus ada dukungan sumber-sumber
keuangan yang memadai, karena sangat menetukan kemandirian otonomi.
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan
negara sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUKN adalah sebagai
berikut:
1. Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan
dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Dari sisi subjek, yang dimaksud keuangan negara adalah meliputi seluruh
objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau
dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan
negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara.
3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggung jawaban.
4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan,
dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
34
Widjaja HAW Penyelengaraan Otonomi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2005, hlm. 143
46
Ketika berbicara mengenai hukum keuangan negara, berarti
membicarakan ruang lingkup keuangan negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup
keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUKN adalah :
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman.
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
3. Penerimaan negara.
4. Pengeluaran negara.
5. Penerimaan daerah.
6. Pengeluaran daerah.
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan
ertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan..35
dan
Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan
daerah. Kekuasaan umum pengelolaan Keuangan Daerah itu meliputi antara lain
35
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Gramedia Jakarta 2001
47
fungsi perencanaan umum, penyusunan anggaran, serta fungsi pengawasan dan
pertanggungjawaban.36
Sumber hukum konstitusional keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-
Undang dan dilaksankan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar kemakmuran rakyat.
(2) Rancangan Undang-Undang anggaran dan pendapatan belanja negara
diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah.
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan
anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden,
Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun
lalu.
Pasal 23 A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 23 B
Macam dan harga mata uang di tetapkan dengan Undang-Undang.
Pasal 23 C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 23 D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang.
36
Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi, Tantangan dan Hambatan,
Kemitraan, Jakarta 2005
48
Pasal 23 E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan
mandiri.
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang.
Adapun Undang-Undang yang terkait dengan keuangan negara adalah:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.
6. Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
ditetapkan setiap tahun. Kecuali ditolak Dewan Perwakilan Rakyat,
maka Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
lalu tetap digunakan.
Sumber Keuangan Negara
Pendapatan negara yang diperkenankan secara yuridis tersebar dalam berbagai
jenis. Hal ini dimaksudkan agar mudah dipahami substansi terhadap pendapatan
negara tersebut. Adapun jenis pendapatan negara sebagai sumber keuangan
negara adalah sebagai berikut:37
1. Pajak negara, yang terdiri dari:
a. Pajak penghasilan;
b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
c. Pajak penjualan atas barang mewah;
37
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008, hlm 13
49
d. Pajak bumi dan bangunan;
e. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan;
f. Bea materai.
2. Bea dan cukai yang terdiri dari:
a. Bea masuk;
b. Cukai gula;
c. Cukai tembakau.
3. Penerimaan negara bukan pajak yang terdiri dari
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan;
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah;
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari
pengenaan denda administrasi;
f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah;
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta
pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah, kewenangan
keuangan daerah yang melekat pada setiap daerah menjadi kewenangan daerah.
Dimana sumber-sumber penerimaan dalam pelaksanaan desentralisasi adalah
sebagai berikut :
1) Pendapatan asli daerah terdiri atas :
a. hasil pajak daerah
b. hasil restribusi daerah
50
c. hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah.
2) Dana perimbangan terdiri dari :
a. bagian daerah terdiri dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,
dan penerimaan dari sumber daya alam;
b. dana alokasi umum
c. dana alokasi khusus
d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Perihal keuangan menjadi hal yang sangat penting dan krusial dalam
konteks otonomi, oleh karena iti berkaitan dengan keuangan perlu dilaksanakan
secara profesional dan betangung jawab sebagaimana prinsip pengelolaan
keuangan negara.
51
BAB III
DINAMIKA PEMERINTAHAN DAERAH INDONESIA
A. Pemerintahan daerah pada orde lama
Formalitas dan secara normatif mengenai pembentukan Negara Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bentuk negara Republik Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945, didasarkan pada:
1. Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan
berlaku hukum nasional Indonesia menggantikan hukum kolonial
sebelumnya yaitu segenap aturan yang di buat oleh pemerintah Hindia
Belanda, dan pemerintah bala tentara Jepang serta peraturan yang melandasi
aturan tersebut, yang mulai tanggal 17 Agustus tahun 1945 harus
dilaksanakan sebagai aturan yang tunduk pada proklamasi kemerdekaan
Indonesia dimaksud (dikukuhkan dengan Peraturan Presiden RI No. 2
Tahun 1945).
2. Pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945 telah berfungsi lembaga kenegaraan
Indonesia, PPKI yang semula sebagai lembaga kebangsaan Indonesia sejak
tanggal 15 Agustus 1945, dengan kompetensi menerima kekuasaan negara
dari penguasa sebelumnya yaitu Jepang di Indonesia mewakili penguasa
Indonesia pada saat itu telah terbentuk Institusi Pemerintahan di
Wilayah/Daerah (Karesidenan, Kabupaten, Kota) dalam wilayah Indonesia
yang dinyatakan merdeka dengan proklamasi tersebut. Institusi
40
52
pemerintahan tersebut yang dimaksud telah dibentuk pada dan oleh
pemerintah sebelumnya yaitu pemerintah Hindia Belanda sampai
pemerintah bala tentara Jepang.
Masa kemerdekaan Indonesia dan masa UUD 1945 sebelum perubahan
atau amandemen, meliputi:
1. Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, UUD
1945 belum ditetapkan dan belum berlaku.
2. Masa berlaku I (kesatu) UUD negara Republik Indonesia 1945 setelah
ditetapkan PPKI, mulai tanggal 18 Agustus 1945 sampai tanggal 27
Desember 1949 berlaku seluruh Indonesia.
3. Masa mulai tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus
1950, yaitu masa negara Republik Indonesia Serikat, dalam negara bagian
Republik Indonesia proklamasi berlaku UUD negara Republik Indonesia
1945, sebagai masa berlaku I (kesatu).
4. Masa mulai tanggal 17 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959, yaitu masa
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD sementara Negara
Republik Indonesia.
5. Masa berlaku II (kedua) UUD negara Republik Indonesia 1945, sejak
tanggal 5 Juli 1959 (dekrit Presiden Indonesia) sampai tanggal 19 Oktober
1999.
53
6. Masa berlaku III(ketiga) UUD Negara Republik Indonesia 1945, sejak
tanggal 19 Oktober 1999, saat MPR RI mulai menetapkan dan menyatakan
dan berlaku perubahan atau amandemen terhadap beberapa ketentuan/pasal-
pasal UUD Republik Indonesia.
Landasan pembagian urusan pemerintahan dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945:
1. Pada ketentuan Pasal 1 Ayat (1) BAB I, tentang prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan pasal 18 lama BAB VI tentang Pemerintahan
Daerah, berikut penjelasan pasal-pasal tersebut. Dalam kaitan ini, urusan
pemerintah pusat pada dasarnya berlandasan pada pasal-pasal dalam BAB
III, kekuasaan pemerintah negara sedangkan urusan Pemerintah Daerah
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
2. Kemudian setelah perubahan/amandemen II dan IV, ketentuan tentang
Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1)
diperkuat dengan penyebutan NKRI dalam rumusan pasal 18 baru Ayat (1),
Pasal 18B Ayat (2), Pasal 25A dan kemudian dalam pasal 37 Ayat (5)
mengenai pengukuhan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
ketentuan pasal-pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B BAB VI mengenai
Pemerintahan Daerah dan Desa atau Prinsip Desentralisasi.
54
Pengaturan mengenai sistem pembagian urusan Otonomi Daerah mulai
pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah/KND
sampai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah mulai
tanggal 7 Mei 1999, kemudian mengenai amandemen terhadap pasal 18 lama
UUD 1945 sejak tanggal 18 Agustus 2000, dan TAP MPR RI No. IV/MPR/2000
Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, serta
TAP MPR RI No. 1/MPR/2003, khususnya rekomendasi tentang perubahan
terhadap UU No. 22 Tahun 1999 yang menjadi landasan tentang Pemerintahan
Daerah dimaksud, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku sampai.
Setiap Undang-Undang yang diberlakukan menandai terjadinya
perubahan dalam sitem pemerintahan daerah dan ini yang sangat erat kaitannya
dengan situasi politik nasional. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah
sebagaimana terurai berikut ini:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan
merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah
kemerdekaan. Undang-Undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Pada
dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda.
55
Sebuah Komite Nasional Daerah didirikan pada setiap level kecuali tingkat
Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-
anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Sistem ini mencerminnkan
kehendak pemerintah untuk menerapkan prinsip desentralisasi dan
dekonsentrasi dalam sistem pemerintah daerah, namun penekanan lebih
diberikan kepada prinsip dekonsentrasi.38
Status Kepala Daerah adalah diangkat dan diambil dari keanggotaaan Komite.
Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang
terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah dan bukan
dipilih.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang No.22
Tahun 1948 hanya mengatur daerah otonom dan sama sekali tidak
menyinggung daerah administratif. Undang-Undang tersebut hanya mengakui
3 tingkatan daerah otonom, yaitu: Propinsi, Kabupaten, atau Kotamadya dan
terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Eksekutif dipegang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan
oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku
38
Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2010,
hlm. 147
56
Ketua DPD, Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang
diusulkan oleh DPRD.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan yang lebih
jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-Undang ini adalah produk dari sistem
parlemen liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-partai
politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih
demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan dikalangan
Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintahan Pusat
di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau
Camat (Suryaningrat, 1980).
4. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
Pada tanggal 16 November 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,
Pemerintah mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 untuk mengatur
Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Kepala Daerah
mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil pusat di
daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Selaku Kepala
Daerah ia langsung bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak dapat
dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil pusat di daerah ia bertanggung
jawab kepada Pemerintah Pusat. Penpres No. 6 Tahun 1959 menandai
beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah ke arah prinsip Dekosentrasi.
57
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, kepala daerah tetap
memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil pusat di
daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam
sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap
saja walaupun diberi embel-embel vital.
B. Pemerintahan daerah pada orde baru
Adapun pokok-pokok pikiran yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
a. Otonomi daerah hendaknya memperkuat persatuan bangsa dan mendukung
pencapaian kesejahteraan rakyat.
b. Otonomi yang diberikan bersifat rill, dinamis dan bertanggung jawab.
c. Desentralisasi dan dekonsentrasi diterapkan secara bersamaaan dan tugas
perbantuan dapat dilaksanakan apabila diperlukan.
d. Pemberian otonomi adalah untuk tujuan yang bersifat administratif maupun
demokratis.
e. Pemberian otonomi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pemerintah daerah terutama dalam pelayanan umum dan pelaksanaan
pembangunan di daerah.
f. Bahwa suatu daerah administratif dapat menjadi daerah otonom dan juga
sebaliknya suatu daerah otonom dapat dirubah menjadi administratif
58
apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menjalankan otonominya
sebagaimana mestinya.
Prinsip Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tiga prinsip utama yang diterapkan dalam sistem pemerintahan daerah yaitu:
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Undang-Undang ini
memberikan pengertian desentralisasi sebagai pelimpahan urusan-urusan
pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah tingakat atasnya kepada
pemerintah daerah untuk menjadi urusan daerah yang bersangkutan. Sedangkan
dekonsentrasi diberikan definisi sebagai pelimpahan kewenangan dari
pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal kepada pejabat-
pejabatnya di daerah. Tugas pembantuan diartikan sebagai kewajiban dari
Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah tingkat atasnya.
Terdapat 19 urusan yang menjadi isi rumah tangga (otonomi) daerah tingkat I.
Urusan-urusan tersebut sebagai berikut:
1. Pertanian 11. Sosial
2. Peternakan 12. Tenaga kerja
3. Perikanan darat 13. Lalu lintas angkutan dan LLAJ
4. Perikanan laut 14. Perumahan
5. Perkebunan karet rakyat 15. Pemerintahan umum
6. Kehutanan 16. Pertambangan
7. Pendidikan 17. Perusahaan daerah
8. Kesehatan 18. Perkebunan
9. Pekerjaaan umum 19. Pariwisata
59
10. Perindustrian kecil
Adapun urusan-urusan yang dilimpahkan kepada daerah tingkat II yaitu:
1.Urusan Pemerintahan Umum 6.Urusan Peternakan
2.Urusan Kesehatan 7.Urusan Pendidikan
3.Urusan Pekerjaaan Umum 8.Urusan Perindustrian
4.Urusan Pertanian 9.Urusan pariwisata
5.Urusan Perikanan.
Secara keseluruhan organisasi pemerintahan daerah terdiri dari :
a. Kepala Daerah yang berperan selaku eksekutif daerah dan Wakil Pusat di
daerah yang bersangkutan.
b. Kantor Sekretariat Wilayah/Daerah yang dikepalai oleh Sekwilda.
c. DPRD yang berperan sebagai lembaga legislatif.
d. BAPPEDA yang berperan sebagai Lembaga Perencanaan Pembangunan
Daerah.
e. Dinas selaku unit pelaksana otonomi daerah .
f. Inspektorat yang bertindak selaku unit pengawas.
C. Pemerintahan daerah pada orde reformasi
Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Ada beberapa permasalahan mendasar yang patut dikemukakan
mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah.
1. Pertama , Undang-Undang ini telah menberikan peranan sentral kepada
DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan
besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala
Daerah dan bahkan Undang-Undang ini telah memposisikan Kepala daerah
untuk bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila pertanggungjawaban
60
Kepala Daerah tidak memuaskan, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian
Kepala Daerah.
2. Kedua, kewenangan pemerintah daerah sangat besar bahkan sebagian ahli
dan praktisi mengatakan bahwa Undang-Undang No.22 tahun 1999
merupakan semi negara federal. Secara teoritis terdapat 4 urusan pusat yang
tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan
diplomatik luar negeri, urusan peradilan, dan urusan keuangan dalam
pengertian mencetak uang.
3. Ketiga, Pemerintah Daerah berhak membentuk kelembagaan daerah. Dengan
dikeluarkannya PP No. 88 Tahun 2000 yang diganti dengan PP No. 8 Tahun
2003 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi Pemerintah Daerah dan UU
No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan, maka Pemda akan
mempunyai diskresi yang tinggi dalm menentukan kelembagaan yang
optimal bagi Pemda.
4. Keempat , Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan yang luas dalam
manajemen kepegawaian daerah mulai dari rekruitmen, promosi, penggajian,
pendidikan dan pelatihan.
5. Kelima, sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi (pasal
3 UU No. 22 Tahun 1999) adalah:
a. Pendapatan Asli Daerah.
b. Dana Perimbangan.
c. Pinjaman Daerah.
d. Lain-lain Penerimaan daeerah yang sah.
61
Dalam pasal 6, 7, dan 8 disebutkan sumber perimbangan sebagai berikut:
a. Bagian daerah sebanyak 90% dari penerimaan PBB.
b. Bagian daerah sebesar 80% dari Bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan.
c. Bagian daerah sebesar 80% dari sumber daya alam sektor kehutanan,
pertambangan umum, dan perikanan.
d. Bagian daerah sebesar 15% dari pertambangan minyak bumi ( setelah
dipotong pajak).
e. Bagian daerah sebesar 30% dari pertambangan gas alam ( setelah
dipotong pajak).
f. Dana alokasi umum 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan
dalam APBN dengan perincian 10% untuk Propinsi dan 90% untuk
Kabupaten/Kota.
g. Dana alokasi khusus untuk membantu membiayai kebutuhan khusus
ataupun kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Termasuk dalam dana alokasi khusus adalah 40% bagian daerah
penghasil dana reboisasi.
Keenam, Pemerintah memiliki peluang untuk meningkatkan manajemen
pelayanan umum. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
akuntabilitas Pemda dalam pelayanan adalah sebagai berikut;
a. Mewajibkan Pemda membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan
secara umum.
b. Melakukan temu wicara dengan masyarakat dan media massa.
c. Adanya pejabat yang diberi tugas dan bebas dari pengaruh birokrasi untuk
melakukan penilaian pelayanan.
d. Menciptakan keterkaitan antara kewajiban pembayar pajak dengan
pelayanan Pemda
Pada perjalanan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, muncul beberapa
Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang cukup signifikan bagi
perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Pertama, UU itu adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
62
Undang-Undang ini diterbitkan karena pelaksanaan Undang-Undang No. 44 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
perlu diselaraskan dengan penyelenggaraan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang ini disahkan pada
tanggal 9 Agustus Tahun 2001. Butir-butir yang perlu diperhatikan yang lebih
besar adalah sebagai berikut:
a. Pengertian:
1) Wilayah Propinsi terbagi menjadi daerah-daerah Kabupaten/Sagoe dan
Kota/Banda.
2) Wilayah Kabupaten terbagi menjadi daerah-daerah Kecamatan/Sagoe
Cut atau nama lain.
3) Wilayah Kecamatan/Sagoe Cut terbagi menjadi daerah-daerah
Gampoeng atau nama lain.
b. Susunan, kedudukan, penjenjangan dan penyebutan pemerintahan
ditetapkan dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
c. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki otonomi khusus dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, tetap
berlaku sesuai peraturan.
d. Keuangan . sumber penerimaaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
meliputi:
1) Pendapatan Asli Daerah yang terdiri atas pajak daerah, restribusi
daerah, zakat, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaaan daerah lainnya dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah
yang sah.
2) Dana perimbangan, bagian untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota, yang
terdiri dari:
a. 90% dari pajak bumi dan bangunan.
b. 80% bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
c. 20% pajak penghasilan pribadi.
d. 80% penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan.
e. 80% pada sektor pertambangan umum.
f. 80% pada perikanan.
g. 15% pada pertambanganu minyak bumi.
h. 30% pertambangan gas alam, setelah dikurangi pajak.
3) Dana Alokasi Umum ditentukan sesuai peraturan perUndang-
Undangan.
63
4) Dana Alokasi Khusus ditentukan sesuai peraturan perUndang-
Undangan.
5) Penerimaaan dalam rangka otonomi khusus, terdiri atas:
a. 55% penerimaan dari pertambangan minyak bumi setelah
dikurangi pajak.
b. 40% penerimaan dari gas alam setelah dikurangi pajak.
c. Untuk selama 8 tahun, setelah 8 tahun masing-masing menjadi
35% dan 20%.
d. Mahkamah Syar’iyah
1) Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah
yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syariat
Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut
dengan Qanun Propinsi NAD.
3) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diberlakukan bagi pemeluk
agama islam.
4) Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah tingkat
Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota
Propinsi.
5) Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi
dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
6) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman
setelah mendapat pertimbangan Gubernur Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
7) Sengketa antara Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan dalam
tingkat lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik
Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat akhir.
8) Ketentuan peralihan : semua peraturan perUndang-Undangan
yang ada sepanjang tidak diatur dengan Undang-Undang ini
dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
9) Ketentuan palaksanaan Undang-Undang ini secara bertahap
harus telah dibentuk paling lambat dalam masa satu tahun
setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi suatu
keniscayaan. Hal itu mendasarkan pada beberapa alasan :
64
a. Penyesuaian dengan perUndang-Undangan yang berlaku terutama setelah
adanya amandemen UUD 1945, UU Nomor 12 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang
susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan
UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Atas Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara
b. Munculnya permasalahan dalam pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999,
diantaranya:
1) Friksi antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah yang berkaitan
dengan perebutan kewenangan.
2) Munculnya ego-daerah dalam kehidupan politik, kepegawaian, dan
ekonomi.
3) Semakin rendahnya mutu pelayanan masyarakat.
4) Kurang harmonisnya hubungan antara Provinsi dengan
Kabupaten/Kota.
5) Kurang maksimalnya pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
akibat praktik demokrasi parlementer dalam hubungan antara Kepala
Daerah dan DPRD.
6) Terjadinya proliferasi kelembagaan yang ada dilingkungan
pemerintahan daerah.
7) Kuatnya intervensi politik dalam penyelenggaraan roda pemerintahan
terutama dalam pembuatan anggaran dan kepegawaian daerah.
8) Lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
9) Beberapa kebijakan daerah berseberangan dengan kebijakan
pemerintah pusat.
10) Adanya produk hukum daerah yang bertentangan dengan peraturan
perUndang-Undangan yang lebih tinggi.
Beberapa perubahan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah setelah diberlakukannya UU Nomor 32
Tahun 2004, diantaranya:
a. Terminologi pemberian kewenangan dirubah menjadi pembagian urusan
sehingga muncul urusan pemerintahan wajib atau mutlak yang menjadi
urusan pemerintah pusat yaitu: politik luar negeri, pertahan, keamanan,
65
moneter, yustisi, dan agama. Serta urusan concurrent atau urusan yang
menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota.
b. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara
proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah
kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian
hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
c. Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah
yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah
daerah dan DPRD. Laporan penyelengaraan pemerintahan daerah kepada
pemerintah disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
d. Pembagian urusan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota
lebih eksplisit dikemukakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004.
e. Lebih merinci syarat pembentukan daerah yaitu harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintahan
daerah yaitu;
1) Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang
diserahkan kepada daerah.
3) Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk
menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang
bersangkutan.
4) Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi
daerah.
5) Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil
rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6) Adanya manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara efisien,
efektif, ekonomis dan akuntabel.
Pergeseran yang sangat mendasar dalam pengaturan kewenangan dalam
Undang-Undang no. 22 tahun 1999, adalah perubahan dari model penyerahan
urusan ke model pengakuan kewenangan. Dengan pengakuan kewenangan ini,
66
daerah di beri kebebasan dan keleluasaan dalam penentuan bidang-bidang
pemerintah yang akan dilaksanakan, termasuk untuk kabupaten/kota dan
keleluasaan dalam penetapan kebijakan.
Dalam penjelasan pasal 9 UU Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota antara lain seperti
kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan
perkebunan. Kewenangan yang termasuk kewenangan pemerintahan tertentu
lainnya, yaitu:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro.
b. Pelatihan, bidang tertentu, alokasi, sumber daya manusia yang potensial,
dan penelitian yang mencakup wilayah provinsi.
c. Pengelolaan pelabuhan regional.
d. Pengendalian lingkungan hidup.
e. Promosi dagang dan budaya/pariwisata.
f. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman.
g. Perencanaan tata ruang provinsi.
Beberapa perubahan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah setelah diberlakukannya UU Nomor
32 Tahun 2004, diantaranya:
a. Terminologi pemberian kewenangan dirubah menjadi pembagian urusan
sehingga muncul urusan pemerintahan wajib atau mutlak yang menjadi
urusan pemerintah pusat yaitu: politik luar negeri, pertahan, keamanan,
moneter, yustisi, dan agama. Serta urusan concurrent atau urusan yang
menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota.
b. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara
proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah
kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian
hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
67
c. Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan
daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu
pemerintah daerah dan DPRD. Laporan penyelengaraan pemerintahan
daerah kepada pemerintah disampaikan kepada presiden melalui
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur
untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
d. Pembagian urusan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota
lebih eksplisit dikemukakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004.
e. Lebih merinci syarat pembentukan daerah yaitu harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintahan
daerah yaitu;
1) Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang
diserahkan kepada daerah.
3) Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk
menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah
yang bersangkutan.
4) Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan
otonomi daerah.
5) Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-
wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6) Adanya manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara
efisien, efektif, ekonomis dan akuntabel.
Pengertian dasar otonomi, yaitu kemandirian. Daerah harus memiliki
keleluasaan untuk menentukan sendiri mengenai cara mengatur dan mengurus
urusan rumah tangganya sendiri. Memperbesar sumber keuangan daerah
merupakan salah satu cara yang mesti dilakukan. Subsidi senantiasa diperlukan
dengan berbagai tujuan samping untuk mencukupi keuangan daerah.
Otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam, memberikan peluang
untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih luas, nyata dan
68
bertanggungjawab. Kewenangan yang lebih luas dan kemampuan menggali
sumber keuangan sendiri, didukung oleh perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota
merupakan prasyarat sistem Pemerintahan Daerah.
69
BAB IV
KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM
PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
A. Pengelolaan dana otonomi khusus berdasarkan Peraturan PerUndang-
Undangan yang berlaku
Tambahan Dana otonomi bagi Provinsi Aceh telah dikenal melalui
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam tersebut
dalam Pasal 4 ayat (1) Sumber penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
meliputi:
a. pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. dana perimbangan;
c. penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi
d. khusus;
e. pinjaman Daerah; dan
f. lain-lain penerimaan yang sah.
selanjutnya pada ayat (4) disebutkan bahwa penerimaan dalam rangka otonomi
khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c, berupa tambahan
penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya
alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak,
yaitu sebesar 55%(lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi
dan sebesar 40% (empat puluhpersen) untuk pertambangan gas alam selama
delapan tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
58
70
Melalui keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh (UUPA) yang sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. dimana penyalurannya dimulai sejak tahun
2008 sebagaimana disebut dalam Pasal 183 ayat (2) UUPA “Dana Otonomi
Khusus untuk tahun pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008”.dan
hingga tahun 2011 total dana otsus yang telah diterima oleh Provinsi Aceh adalah
sebesar Rp 15,4 triliun.
Pengelolaan dana otonomi khusus tidak diatur secara jelas dalam UUPA
dan tidak juga diatur dalam Undang-Undang lain, disamping itu juga dalam
ketentuan penutup UUPA yaitu pada Pasal 269 disebutkan ;
(1). Peraturan perUndang-Undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini
diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
(2). Peraturan perUndang-Undangan di bawah Undang-Undang yang
berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi
Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Secara umum ketentuan mengenai dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal
183 UUPA
(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2)
huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk
membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan,
serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
(2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun
pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan
2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun
keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara
dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
71
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah
Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
(4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh
dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan
antarkabupaten/ kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi
khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah
Provinsi Aceh.
(5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam
Qanun Aceh.
Pengelolaan dana otonomi khusus dilaksanakan berdasarkan Qanun Aceh
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil
minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus yang disahkan pada
tanggal 22 Januari 2008 oleh DPRA bersama dengan Gubernur Aceh, Qanun
tersebut lahir sebagai amanah dari Pasal 183 ayat (5) UUPA seperti tersebut di
atas.
Pengelolaan dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 9 Qanun
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil
minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus
1. Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 setiap
tahunnya ditransfer ke dalam rekening Kas Umum Aceh.
2. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diadministrasikan pada Pemerintah Aceh.
Ketentuan tersebut sama seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 183
ayat (4) UUPA, kemudian mengenai pengalokasian diatur dalam Pasal 11
khususnya ayat (6) “Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk
72
pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan
Pimpinan DPRA.” Sehingga jelas bahwa dana otonomi khusus yang diterima
oleh Pemerintah Aceh yang berada dalam rekening kas umum Aceh tidak
diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bentuk dana tunai tetapi
hanya berupa Pagu. Sementara pelaksanaannya dilaksanakan dilakukan oleh
Pemerintah Aceh, hal itu disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) “Program dan
kegiatan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a
yang telah dikaji dan disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota, dilaksanakan, diawasi dan dipertanggungjawabkan oleh
Pemerintah Aceh.”
Oleh karena kekhususan Aceh maka pelaksanaan Pemerintah Aceh
sepanjang diatur dalam UUPA maka tentu menjadi acuan utama dalam
pelaksanaan, sehingga begitupula dengan pengelolaan dana otonomi khusus
seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana
otonomi khusus, hal itu berarti pengelolaan dana otonomi khusus bersifat
sentralistik (terpusat pada Pemerintah Aceh), tentunya tidak sejalan dengan
prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang menitik beratkan kewenangan
pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pengelolaan dana otonomi khusus dapat digambarkan sebagai berikut :
73
Salah satu Pendapantan
Daerah yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat
yaitu Dana perimbangan
dan salah satunya dana
bagi hasil minyak dan
gas bumi.
Disamping itu Dana
Otsus juga termasuk
dalam Pendapatan
Daerah yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat
Disalurkan oleh Pemerintah
Pusat dan termasuk dalam
APBA, lalu diberikan PAGU-
nya kepada Pemkab/Pemkot
Pemkab/Pemkot bersama
DPRK merumuskan Program
sesuai dengan PAGU, lalu
dimusyawarahkan dan
disepakati bersama
Pemerintah Aceh
Program yang telah
disepakti tersebut
dijalankan/dilaksanakan
oleh Pemerintah Aceh
Pemerintah Pusat Pemerintah Aceh Pemkab/Kot +
DPRK
Pemkab/Pemkot +
Pemerintah Aceh
Pemerintah Aceh
Rencana pengunaan dana otsus
oleh Kabupaten/Kota kemudian
dimusyawarahkan dengan
Pemerintah Aceh untuk
disepakati bersama
Gambar I
Skema Pengelolaan Dana Otsus
61
74
Dana Otsus
Dilaksanakan, diawasi &
dipertanggung jawabkan oleh
Pemerintah Aceh
Pemerintah Aceh sbg
Eksekutor Pengawasan &
Evaluasi oleh DPRA
Pertanggung jawaban
dan Pelaporan kpd
Pemerintah Pusat
Diberikan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam
bentuk PAGU. Pasal 16 dan 17 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana
Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan
Dana Otonomi Khusus
Gambar II
Skema Pelaksana Kegiatan Dana Otsus
75
Dari ilustrasi diatas maka dapat dijelaskan bagaimana Kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh. UUPA merupakan landasan yuridis dalam pengelolaan dana otonomi
khusus, UUPA hanya mengatur secara prinsip bagaimana pengelolaan dana
otonomi khusus tersebut dan secara teknis pengelolaan diatur dalam Qanun
nomor 2 Tahun 2008. Berdasarkan Qanun tersebut diketahui bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota tidak diberikan kewenangan untuk mengelola dana otonomi
khusus secara penuh, karena Qanun tersebut telah membatasi pengalokasian dana
otonomi khusus, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Qanun Nomo2 Tahun
2008
(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditujukan
untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan, terutama
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi
rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan
kesehatan.
(2) Selain ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dana Otonomi Khusus dapat juga
dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka
pelaksanaan keistimewaan Aceh.
Selain pembatasan tersebut dana otonomi khusus tidak diberikan secara
langsung dalam bentuk sejumlah uang kepada Pemerintah Kabupaten/Kota,
tetapi hanya diberikan dalam bentuk pagu yang telah ditetapkan
jumlahnyasebelumnya dengan formula pembagian seperti disebutkan dalam
Pasal 11 Qanun Nomor 2 Tahun 2008
62
76
(1) Pengalokasian Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dilakukan dengan perimbangan sebagai berikut :
a. Paling banyak 40% (empat puluh persen) dialokasikan untuk
program dan kegiatan pembangunan Aceh;
b. Paling sedikit 60% (enam puluh persen) dialokasikan untuk
program dan kegiatan pembangunan Kabupaten/Kota.
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. dibagi antar
kabupaten/kota setiap tahun dengan menggunakan suatu formula yang
memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antar
kabupaten/kota
(3) Formula penghitungan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menggunakan beberapa indikator seperti jumlah penduduk, luas
wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK) dan indikator lainnya yang relevan.
(4) Formula penghitungan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan oleh Gubernur.
(5) Dalam memperhitungkan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pemerintah Aceh wajib menyiapkan data dan informasi yang
diperlukan.
(6) Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk
pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat
persetujuan Pimpinan DPRA.
Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pengalokasian TambahanDana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan
Penggunaan Dana Otonomi Khusus, strukturorganisasi pengelola dana otsus
adalah sebagai berikut :
Gambar III
Struktur Organisasi Pengelola Dana Otsus
77
Struktur pengelola dana otsus Aceh terdiri dari :
1. Gubernur Aceh
Gubernur Aceh merupakan Kepala Pemerintahan Provinsi Aceh yang
memperolehalokasi dana otsus dari Pemerintah Pusat. Gubernur bersama-
sama dengan DPRAmenetapkan alokasi penggunaan dana otsus untuk
Pemerintah Provinsi dan PemerintahKabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan usulan dari Bupati/Walikota dan DPRK.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
DPRA melakukan pembahasan usulan penggunaan dana otsus yang
diusulkan olehGubernur Aceh serta melakukan pengawasan penggunaan
dana otsus. Tim KoordinasiProvinsi Gubernur DPRA Aceh Bupati/Walikota
DPRKPengguna Anggaran(SKPA di Provinsi)Kuasa Pengguna
Anggaran(SKPA di Provinsi)Kuasa Pengguna Anggaran(SKPK di
Kabupaten/Kota)
3. Pengguna Anggaran (PA)
Pengguna Anggaran adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA)
yang ditunjukoleh Gubernur untuk mengelola anggaran yang berasal dari
dana otsus, baik yang menjadialokasi provinsi maupun kabupaten/kota.
Pengguna Anggaran berkedudukan di provinsi dan dibantu oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) yang berkedudukan di provinsi dan KPA yang
berkedudukan di kabupaten/kota.
78
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Provinsi
KPA Provinsi adalah pejabat SKPA yang ditunjuk oleh Gubernur untuk
membantuPengguna Anggaran dalam mengelola dana otsus yang menjadi
alokasi Provinsi.
5. Bupati/Walikota
Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan kabupaten/kota yang bersama-
sama DPRKmembuat usulan penggunaan dana otsus yang dialokasikan
kepada kabupaten/kota.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK)
DPRK melakukan pembahasan usulan penggunaan dana otsus yang diajukan
olehbupati/walikota dan hasil pembahasan ini akan disampaikan kepada
Pemerintah ProvinsiAceh.
7. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Kabupaten/Kota
KPA Kabupaten/Kota adalah pejabat Satuan Kerja Perangkat
Kabupaten/Kota (SKPK)yang ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan
Bupati/Walikota untuk membantu Pengguna Anggaran dalam mengelola
dana otsus yang menjadi alokasi Kabupaten/Kota.
8. Tim Koordinasi Provinsi
Tim Koordinasi Provinsi adalah tim yang dibentuk oleh gubernur untuk
membantuGubernur dalam merumuskan formula penghitungan alokasi dana
otsus, menyusun kriteriadan persyaratan seleksi program yang dapat didanai
dari dana otsus, menilai kesesuaian program yang diusulkan dan
79
menyediakan bantuan teknis yang diperlukan dalam pengelolaan dana otsus.
Tim Koordinasi Provinsi terdiri dari unsur Pemerintah Aceh,Pemerintah
Kabupaten/Kota dan tenaga ahli yang relevan.
Skema alokasi dana otonomi khusus dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar IV
Skema alokasi dana otonomi khusus
Anggaran dan Realisasi
Estimasi Jumlah penerimaan dana otsus Pemerintah Provinsi Aceh dari
Pemerintah Pusat dari tahun 2008 sampai dengan 2027 adalah sebagai berikut :
80
Tabel I
Estimasi penerimaan dana otsus Aceh39
Estimasi ketersediaan Dana Otsus Hingga tahun 2027
Tahun Jumlah
2008 Rp 3,590,142,897,000
2009 Rp 3,728,282,000,000
2010 Rp 3,849,806,840,000
2011 Rp 4,400,000,000,000
2012 Rp 4,444,000,000,000
2013 Rp 4,488,440,000,000
2014 Rp 4,533,324,400,000
2015 Rp 4,576,657,644,000
2016 Rp 4,624,444,220,440
2017 Rp 4,670,688,662,644
2018 Rp 4,717,395,549,271
2019 Rp 4,764,569,504,764
2020 Rp 4,812,215,199,811
2021 Rp 4,860,337,351,809
2022 Rp 4,908,940,725,327
2023 Rp 2,479,015,066,290
2024 Rp 2,503,805,216,953
2025 Rp 2,528,843,269,123
2026 Rp 2,554,131,701,814
2027 Rp 2,579,673,018,832
Jumlah Rp 79,614,713,268,078
untuk periode TA 2008 s.d.TA 2010 adalah sebagai berikut :
39
hermawan, makalah kebijakan dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil minyak
dan gas, dipresentasikan pada kegiatan fgd “review terhadap sistem dan implementasi otonomi khusus
di indonesia” oktober 2011
81
Tabel II
Penerimaan Dana Otonomi Khusus Prov. Aceh Tahun 2008 – 2010
No. TA Alokasi Otsus sesuai Permenkeu Diterima Kas Daerah Provinsi Aceh
No. & Tgl. Permenkeu Jumlah No. Tgl. Nota Kredit Jumlah (Rp)
1 2008 PMK No. 56/PMK.07/2008 Tgl : 22- Apr-2008
Rp 3,590,142,897,000.00 CN No. 4847/KPO.03/VIII/2008 11-Agus-2008
Rp 538,521,435,000.00
CN No. 4938/KPO.03/IX/2008 26-Sept-2008
Rp 1,077,042,869,000.00
CN No. 5028/KPO.03/XI/2008 5-Nov-2008
Rp 1,436,057,159,000.00
CN No. 5071/KPO.03/XIII/2008 11-Des-2008
Rp 538,521,434,000.00
Jumlah Rp 3,590,142,897,000.00
2 2009 PMK No. 204/PMK.07/2008 Tgl : 10-Des-08
Rp 3,728,282,000,000.00 CN No.200/KPO.03/IV/2009 30-Apr-2009
Rp 559,242,300,000.00
CN No.456/KPO.03/VIII/2009 30-Apr-2009
Rp 1,118,484,600,000.00
CN No.654/KPO.03/XI/2009 Rp 1,491,312,800,000.00 CN No.710/KPO.03/VII/200817 Des 09
Rp 559,242,300,000.00
Jumlah Rp 3,728,282,000,000.00
3 2010 PMK No. 160/PMK.07/2009 Tgl : 4-Nov-2009
Rp 3,849,806,840,000.00 CN No. 261/KPO.05/V/2010 Tgl : 1 May 2010
Rp 577,471,026,000.00
CN No.476/KPO.03/VIII/2010 Tgl : 3 Aug 2010
Rp 1,154,942,052,000.00
69
82
CN No.607/KPO.03/IX/2010 Tgl 21 Sept 2010
Rp 1,539,922,736,000.00
CN No…../KPO.05/…../2010 Tgl ; 20 Des 2010
Rp 577,471,026,000.00
Jumlah Rp 3,849,806,840,000.00
3 2011 PMK No. 160/PMK.07/2009 Tgl : 4-Nov-2009
Rp 4,400,000,000,000.00 CN No.
CN No.
CN No. CN No
Rp 4,400,000,000,000.00 Jumlah total Rp 15,568,231,737,000.00 Jumlah total Rp 15,568,231,737,000.00
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)
70
83
Penyaluran Dana Otonomi Khusus baik Aceh maupun Papua, dan Papua
Barat dilaksanakan secara bertahap, yaitu :
1. Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 15% dari alokasi.
2. Tahap II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30% dari alokasi.
3. Tahap III dilaksanakan pada bulan September sebesar 40% dari alokasi.
4. Tahap IV dilaksanakan pada bulan November sebesar 15% dari alokasi.
Dana otsus tersebut setiap tahun ditransfer ke rekening Kas Umum
Daerah Provinsi Aceh dan pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Aceh
melalui APBD untuk membiayai program dankegiatan
pembangunan/pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,
pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan serta
pembangunandalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh.
Pemanfaatan dana otsus tersebut dilakukan melalui mekanisme APBD
Provinsi Aceh dan dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh. Alokasi dana otsus ditetapkan dengan
Peraturan Gubernur setiap tahun. Rincian alokasi,anggaran dan realisasi
penggunaan dana otsus untuk TA 2008 s.d TA 2010 adalah sebagai berikut :
84
Tabel III
Anggaran dan Realisasi Penggunaan Dana Otsus untuk TA 2008 s.d TA 2010
No T.A Alokasi Pergub Aceh Pengunaan Dana Otsus
Anggaran Realisasi Sisa Dana Pergub Sisa Anggaran
1 2 3 4 5 6 = 3-5 7 = 4-5
1 2008 Rp 3,530,630,000,000.00 Rp 2,191,354,173,567.00 Rp 825,685,125,609.00 Rp 2,704,944,874,391.00 Rp 1,365,669,047,958.00
No. 50 Tahun 2008
2 2009 Rp 3,530,630,000,000.00 Rp 3,727,751,407,543.00 Rp 3,035,606,281,103.00 Rp 495,023,718,897.00 Rp 692,145,126,440.00
No. 56 Tahun 2009
3 2010 Rp 3,728,281,999,998.00 Rp 3,833,536,971,042.00 Rp 3,728,281,999,998.00 Rp 3,833,536,971,042.00
No. 903/4803 Th 2009
Jumlah Rp 10,789,541,999,998.00 Rp 9,752,642,552,152.00 Rp 3,861,291,406,712.00 Rp 6,928,250,593,286.00 Rp 5,891,351,145,440.00
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)
85
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Provinsi Aceh, BPK memberikan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan otonomi
khusus Provinsi Aceh, oleh Pemerintah Pusat diberikan sumber-sumber
keuangan kepada Pemerintah Aceh berupa pendapatan daerah dan pembiayaan,
termasuk melalui pemberian dana otonomi khusus yang ditujukan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sebagai tindak lanjut dari
pemberian dana otonomi khusus, oleh Pemerintah Aceh dibentuk Qanun Aceh
Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus dengan
sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh. “Namun sangat
disayangkan, sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh
dalam implementasinya tidak berjalan dengan efektif dan proses transparansi
keuangan tidakdijalankan sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance yang
menunjukkan buruknya pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.”40
Dana otonomi khusus pada dasarnya ditujukan bagi peningkatan
pemberian pelayanan kepada masyarakat (public service). Pemberian pelayanan
kepada masyarakat akan berjalan secara efektif dan efesien, apabila proses
pelayanan tersebut didekatkan kepada masyarakat dan bukan dijauhkan. Oleh
karena itu, proses pemberian pelayanan harus dapat didekatkan kepada
masyarakat melalui pelimpahan kewenangan pengelolaan dana otonomi khusus
kepada Kabupaten/Kota agar pelaksanaan dana otonomi khusus dapat berjalan
40
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, laporan Hasil Pemeriksaan atas
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada
Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011.
86
lebih efektif dan efesien sebagaimana tersebut dalam asas-asas umum
penyelengaraan pemerintahan yang baik maupun asas penyelengaraan pelayanan
publik seperti dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.. Selain itu,mengingat pentingnya fungsi anggaran
dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka dana otonomi khusus Provinsi Aceh
harus dapat dikelola dengan sebaik-baiknya melalui reformasi sistem
pengelolaan dana otonomi khusus yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good
Governance. Pembaruan sistem pengelolaan keuangan diperlukan agar
pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sejalan
dengan makna demokrasi berdasarkan konsep value for money sehingga tercipta
akuntabilitas publik.
Masalah koordinasi terhadap dana Otsus Aceh juga masih lemah.
Akibatnya DPRA menyarankan agar Gubernur Aceh dapat menyamakan persepsi
dengan pihak kabupaten kota dalam pemanfaatan dana otonomi khusus guna
mengarahkan pembangunan dengan terpadu dan terfokus untuk kesejahteraan
masyarakat.41
Merujuk Pasal 179 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh.
(1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah
dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
41
DPRA, 12 Rekomendasi LKPJ Gubernur Aceh, www.theglobejournal.com diakses 11 Februari
2012
87
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan;
c. Dana Otonomi Khusus; dan
d. lain-lain pendapatan yang sah.
Meskipun pada Pasal tersebut dana otonomi khusus disebutkan sebagai
salah satu sumber penerimaan kabupaten/kota, namun dana otonomi khusus
menurut pasal 183 ayat (1) dan ayat (4) UUPA, tidak langsung ditransfer oleh
pemerintah pusat kedalam penerimaan kabupaten/kota, melainkan ditransfer
menjadi penerimaan Pemerintah Aceh. Program pembangunan provinsi dan
program pembangunan kabupaten/kota, kewenangan dan tanggung jawabnya
berada pada masing-masing pemerintahan. Oleh karena itu Pasal 183 ayat (4)
dengan tegas mengatur bahwa dana otonomi khusus harus digunakan untuk
membiayai program pembangunan Provinsi, juga program pembangunan
kabupaten/kota. Dengan demikian, program pembangunan pemerintah aceh yang
didanai dengan dana otonomi khusus adalah dilaksanakan oleh pemerintah aceh,
sehingga demikian pula program pembangunan kabupaten/kota yang didanai
dengan dana otonomi khusus adalah dilaksanakan oleh kabupaten/kota masing-
masing.
Pasal 183 ayat (4) UUPA ditegaskan bahwa semua dana otonomi khusus
menjadi penerimaan transfer provinsi dari pemerintah pusat, yang kemudian
sebagian dari dana itu digunakan untuk membiayai program pembangunan
kabupaten/kota adalah kewenangan dari kabupaten/kota baik dari
penganggaranya maupun pelaksanaannya. Dengan demikian ketentuan pasal 183
88
ayat (4) merupakan penegasan terhadap ketentuan dalam Pasal 179 ayat (2) huruf
c, bahwa dana otonomi khusus adalah juga penerimaan kabupaten/kota. Untuk
melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota dengan dana otonomi
khusus.
Definisi kabupaten/kota berdasarkan pasal 1 angka 3 UUPA.
“Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.”
Pasal 18 UUD 1945 sebagai prinsip penyelengaraan Pemerintah Daerah
menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan. **)
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum. **)
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis. **)
89
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **)
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. **)
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang. **)
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **)
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan Undang-Undang. **)
Asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan
pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh
pemerintah daerah itu sendiri dan juga penugasan oleh pemerintah provinsi
kepada pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah
kabupaten/kota ke desa.
Pengertian Otonomi dalam lingkup suatu negara selalu dikaitkan dengan
daerah atau pemerintah daerah (local government). Otonomi dalam pengertian
ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke
daerah juga berarti menghargai atau mengefektifkan kewenangan asli yang sejak
semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi sistem prosedur
pemerintahan negara di daerah. “Manifestasi dari terselengaranya otnomi di
90
daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab
berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah”.42
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan
otonomi yang terbatas.
Muhammad Hatta43
mengemukakan gagasannya tentang Otonomi
Daerah sebagai berikut :
“ Apabila susunannya otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan
mengurus terlalu banyak tersangkut di atas sedikit yang sampai ke bawah.
Dalam ketentuan semacam ini sudah dapat diduga bahwa titik berat
daripada otonomi itu akan terletak pada propinsi. Dalam keadaan semacam
ini otonomi Kabupaten bisa terjepit, otonomi desa tidak akan hidup.
Lambat-laun orang didaerah memandang Propinsi itu sebagai suatu
konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat, sehingga berbagai bagiannya
ingin menjadi Propinsi tersendiri.
Lahirnya kebijakan Otonomi Daerah yaitu “untuk menyelamatkan
pemerintahan dan keutuhan Negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban
yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah
daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan”.44
Sejalan dengan
prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang diletakkan
42
Johan Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah :Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta Jakarta 2007 43
Muhammad Hatta Demokrasi dan Otonomi (Harian Keng Po, 27 April 1957) 44
Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ; Desentralisasi, Demokrasi dan
Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press Jakarta 2007
91
pada daerah kabupaten dan kota, maka pembinaaan, pengawasan, dan koordinasi
dengan pemerintah desa dan kelurahan sepanjang bukan lintas kabupaten dan
kota, dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten dan kota yang
bersangkutan, termasuk pengawasan terhadap peraturan desa dan kepala desa.
Hubungan Provinsi dengan Kabupaten/Kota Sebagai sesame daerah otonom
adalah hubungan koordinasi. Jadi bukan hubungan hirarki antara atasan dan
bawahan, seperti skema berikut :
Gambar V
Skema Hubungan Koordinasi Pemerintah Daerah
Garis putus-utus antara pemerintah daerah prvinsi dengan pemerintah
Kabupaten/Kota menunjukan hubungan koordinasi sesama daerah otonom
92
sedangkan garis lurus yang diperlihatkan antara wilayah administrasi Provinsi
dengan Pemda Kabupaten/Kota menunjukan hubungan hirarkis.45
Berdasarkan prinsip otonomi sebagaimana tersebut dalam UUD 1945
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah
pusat. Daerah memiliki kewenangan membentuk kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Muhamma
Hatta juga menebutkan :
Desentralisasilah, bukan sentralisasi, yang menjadi dasar bagi cita-
cita tolong-menolong dalam asas kolektivitisme yang tumbuh dalam
masyarakat Indonesia, pada bagian lain juga disebutkan bahwa Indonesia
yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu
mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan, kecil dan besar,
mendapatkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.46
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksankan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab. Nyata berarti daerah memiliki potensi untuk
merealisasikan isi dan jenis otonomi yang dilimpahkan. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun arti otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
45
Hanif Nurcholis, Teori danPraktik ; Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo Jakarta
2001 46
Syamsuddin Haris, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, LIPI Press Jakarta
2007
93
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya
(yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000). Disamping
itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas
dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan Pembangunan, maka Undang-Undang tersebut meletakkan titik
94
berat otonomi pada Daerah Kabupaten/Kota yang langsung berhubungan dengan
masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-
aspirasi masyarakat tersebut.
Dalam ketentuan umum, pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004,
dirumuskan, “ Otonomi daerah adalah, hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan”.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak :
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
b. Memilih pimpinan daerah.
c. Mengelola apratur daerah.
d. Mengelola kekayaan daerah.
e. Memungut pajak daerah dan restribusi daerah.
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah.
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, dan.
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perUndang-
Undangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban :
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengembangkan kehidupan demokratis.
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan.
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
f. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
g. Menyediakan fasilitas kesehatan.
95
h. Menyediakan sistem jaminan sosial.
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.
k. Melestarikan lingkungan hidup.
l. Mengelola administrasi kependudukan.
m. Melestarikan nilai sosial budaya.
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perUndang-Undangan sesuai
dengan kewenangannya, dan.
o. Kewajiban lain yang di atur dalam peraturan perUndang-Undangan.
Sebagai daerah otonomi propinsi dan kabupaten adalah dua bentuk
otonomi yang setara, tidak bersifat hirarkis atau subordinasi. Dalam kedudukan
sebagai daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan
yang setara pula.Propinsi selain merupakan daerah otonom, juga berkedudukan
sebagai wilayah administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari
pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. “Otonomi untuk daerah
Provinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas
Kabupatendan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan
tertentu lainnya”.47
Mengenai prinsip koordinasi antara Pemerintah Aceh dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota juga disebut dalam Pasal 14 ayat (1) “Pembagian
dan pelaksanaan urusan pemerintahan, baik pada Pemerintahan di Aceh maupun
pemerintahan di kabupaten/kota dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas,
47
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Membangun Format Baru Otonomi
Daerah Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001
96
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antarpemerintahan di Aceh.” Selain itu juga berdasarkan asas-asas umum
penyelengaraan pemerintahan yang baik good governance dan UUPA juga
menyebutkan dalam Pasal 20 Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan
pemerintahan yang terdiri atas:
a. asas ke-Islaman;
b. asas kepastian hukum;
c. asas kepentingan umum;
d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan;
e. asas keterbukaan;
f. asas proporsionalitas;
g. asas profesionalitas;
h. asas akuntabilitas;
i. asas efisiensi;
j. asas efektivitas; dan
k. asas kesetaraan.
Tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat. Ukuran keberhasilan otonomi daerah adalah
terwujudnya kehidupan yang lebih baik, lebih adil dalam memperoleh
penghasilan/pendapatan terlindungnya dari segala gangguan, dan tercipta rasa
aman serta lingkungan hidup yang lebih nyaman
Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaaan
masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan,
pelaksanaan , dan pengawasan serta memberikan pelayanan publik.
97
B. Kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana
otonomi khusus
Implementasi dana Otonomi Khusus sampai saat ini belum dapat
berjalan dengan baik tentunya terdapat hambatan dalam pengelolaannya sehingga
tidak terlaksana apa yang diharapkan yaitu untuk membiayai program dan
kegiatan pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan
pendidikan, sosial dan kesehatan. Disamping itu, dana otsus dapat juga
dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka pelaksanaan
keistimewaan Aceh yang dituangkan dalam program Pembangunan Provinsi dan
Kabupaten/Kota..
Misalnya yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara yang tidak terealisasi.
Total anggaran tahun 2009 mencapai Rp 32 miliar. Pada tahun 2008 lalu
sebetulnya persoalan dana Otsus ini telah mencuat, namun belum banyak pihak
yang mengetahui kendala utama dalam implementasinya. Kepala Dinas
Pendidikan Aceh Utara, M Jamil, menyebutkan persoalan teknis menjadi kendala
utama dana itu. Penelusuran Kontras, awalnya seluruh dinas di kabupaten
mengusulkan anggaran itu ke provinsi, termasuk disain dan rancangan anggaran
biaya (RAB) yang dibutuhkan.48
Setelah proses pengusulan tersebut selesai, maka dinas Provinsi yang
hanya memiliki wewenang. Mereka yang akan menyempurnakan RAB dan disain
48
Kontras, Gagalnya Realisasi Dana Otsus, Edisi 4 Januari 2010
98
bangunan. Menjadi permasalahan karena dinas pendidikan provinsi tidak hanya
menangani satu kabupaten saja. Namun, sebanyak 23 kabupaten/kota di Aceh
juga harus dilayani. Akibatnya, banyak disain dan RAB yang tidak selesai
dikerjakan sampai akhir tahun49
. Padahal sejak tahun 2008 sampai saat ini alokasi
dana otsus selalu meningkat sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel IV
Rincian Penerimaan Dana Otsus Aceh
Tahun Nominal
2008 Rp 3,5 triliun
2009 Rp 3,7 triliun
2010 Rp 3,8 triliun
2011 Rp 4,4 triliun
Jumlah yang telah diterima Rp 15,4 triliun
2012 Rp 5,4 triliun
Sumber ; Data Olahan
Bahkan banyak pihak yang mempertanyakan pengelolaan dana otsus dan
memberikan penilaian negatif terhadap Pemerintah Aceh karena dianggap tidak
serius dalam memanfaatkan dana Otsus.50
Seperti yang disebutkan oleh Mirwan
Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI.
“ Aceh sudah menerima dana Otsus sejak 2008 sampai 2010 dengan total Rp
11 triliun lebih. Namun, sampai saat ini tidak kelihatan pembangunan
signifikan yang dibiayai oleh dana Otsus dimaksud. “Angka kemiskinan
49
ibid 50
Serambi Indonesia, Pemerintah Aceh Belum Serius Kelola Dana Otsus, Edisi 8 Februari
2010
99
Aceh masih tetap tinggi. Ini membuktikan bahwa dana Otsus selama ini
tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan”.51
Dari hasil penelitian diketahui juga beberapa faktor penghambat
diantaranya :
1. Pengelolaan yang sentralistik
Pelaksanaan dana Otsus oleh Pemerintah Aceh merupakan bentuk yang
sentralistik karena Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dilibatkan secara
langsung dalam pelaksanaannya, atau tidak adanya pelimpahan kewenangan
dan tanggung jawab dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota sehingga terdapat beberapa permasalahan yang dapat
menghambat dalam pengelolaan dana otsus di Aceh, yaitu :
a. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan dana otsus secara
keseluruhanberada pada Pemerintah provinsi sehingga apabila terdapat
dana otsus yang tidak terserap, maka akan menjadi SiLPA bagi
Pemerintah provinsi Aceh. Pemerintah kabupaten/kota diberikan
kewenangan memanfaatkan dana otsus melalui mekanisme pengusulan
program kegiatan bukan pengelolaan dana otsus serta menjadi pelaksana
kegiatan program yang diusulkan melalui penunjukan KPA pada
masing-masing kabupaten/kota. Pembagian wewenang dan tanggung
jawab seperti ini berpotensi menimbulkan permasalahan, yaitu apabila
51
Serambi Indonesia, DPR dan DPD minta BPK Audit Dana Otsus Aceh,
www.aceh.tribunnews.com, diakses tanggal 21 januari 2011.
100
pemanfaatan SiLPA yang berasal dari dana otsus tidak diatur secara
tegas, maka Pemerintah provinsi berpotensi akan memanfaatkan SiLPA
yang berasal dari dana otsus untuk membiayai kegiatan di luar bidang-
bidang yang menjadi sasaran kegiatan otsus. Apabila hal ini terjadi,
maka target pembangunan seperti yang dirancang dalam rencana induk
akan sulit tercapai dan akan banyak kegiatan pembangunan yang
dibiayai dari dana otsus menjadi terbengkalai.
b. Apabila terdapat permasalahan dalam realisasi kegiatan dana otsus yang
menjadi alokasi kabupaten/kota, maka pihak pemerintah provinsi akan
cenderung menyatakan bahwa masalah tersebut menjadi tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, sementara itu
pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan menganggap bahwa
permasalahan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
Sebagai contoh apabila dalam pelaksanaan kegiatan dana otsus yang
dialokasikan kepada kabupaten/kota untuk pembangunan gedungsekolah
dan puskesmas, dan pembangunan gedung menjadi tidak tuntas dan
terbengkalai, maka pemerintah provinsi menyatakan bahwa yang harus
bertanggung jawab adalah pemerintah kabupaten/kota yang
bersangkutan karena usulan program dan pelaksanaannya dilakukan
oleh pemerintah kabupaten/kota,begitu pula pemerintah kabupaten/kota
juga akan menyatakan bahwa pemerintah provinsi yang harus
bertanggung jawab karena pemerintah provinsi yang berwenang
101
mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan kegiatan
pembangunanyang terbengkalai tersebut.
c. Status aset yang berasal dari kegiatan dana otsus yang dialokasikan
kepada pemerintah kabupaten/kota sebelum ada serah terima aset dari
pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota adalah milik
pemerintah provinsi dan apabila telah diserahterimakan (dihibahkan)
kepada pemerintah kabupaten/kota, maka status aset akan menjadi milik
pemerintah kabupaten/kota. Sebagian besar asset-aset hasil kegiatan
dana otsus yang dialokasikan kepada pemerintah kabupaten/kota belum
dilakukan proses serah terima, sehingga pihak kabupaten/kota belum
dapat mencatat aset tersebut dalam Neraca pemerintahkabupaten/kota
dan alokasi biaya pemeliharaan belum dianggarkan oleh pemerintah
kabupaten/kota. Kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah pada
pemanfaatan aset-aset hasil kegiatan dana otsus yang akan diserahkan
kepada kabupaten/kota, yaitu aset-aset tersebut akan cenderung
terbengkalai dan tidak diberikan biaya pemeliharaan oleh pemerintah
kabupaten/kota.
d. Jangkauan Pemerintah Aceh sangat terbatas karena dengan SDM yang
terbatas harus menjangkau 23 Kabupaten/Kota di Aceh, hal tersebut
berakibat tidak efektifnya proyek yang dikerjakan.hal itu terbukti dari
pengamatan Gubernur saat melakukan peninjauan secara langsung
102
keseluruh Kabupaten dan Kota di Aceh dan menemukan beberapa
proyek yang terlantar, telat rampung, tidak sesuai dan lain sebagainya.52
Kondisi tersebut juga berakibat pada hasil yang dikerjakan tidak sesuai
sebagaimana mestinya, tidak adanya kerjasama antara Pemerintah Aceh
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga menyebabkan banyaknya
kebocoran atau penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga dana yang telah
dianggarkan tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Dana Otonomi Khusus
yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh
yang mengungkap beberapa temuanya, diantaranya :53
1) Dinas Bina Marga dan Cipta Karya
a) Pekerjaan Lanjutan Pembangunan dan Rehabilitasi Drainase
Perkotaan Kabupaten Nagan Raya Lebih Bayar Sebesar
Rp157.666.980,00
b) Pembangunan Rumah Sederhana Sehat pada Kabupaten
Simeulue Sebanyak 46 UnitMengalami Keterlambatan
c) Realisasi Belanja Modal TA 2009 Sebesar Rp4.000.000.000,00
Dipergunakan untukBantuan Pembangunan Masjid Agung
Kabupaten Aceh Tamiang dan Sampai Dengan31 Desember
2010 Pembangunan Fisik Masjid Belum Terealisasi
d) Biaya Pemancangan pada Pembangunan Lanjutan Asrama
Mahasiswa IpelmajaKabupaten Aceh Jaya Lebih Bayar Sebesar
Rp17.431.555.20
e) Pelaksanaan Dua Paket Pekerjaan TA 2009 Senilai
Rp1.913.764.000,00 di KabupatenAceh Jaya Terbengkalai dan
52
Harian Serambi Indonesia, 11 Hari Memburu Kontraktor Nakal, (Edisi 2 Desember 2011) 53
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Ace, laporan Hasil Pemeriksaan atas
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada
Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011
103
Satu Paket Pekerjaan TA 2010 Senilai Rp1.727.411.000,00di
Kota Langsa Tidak Dapat Dimanfaatkan
f) Pekerjaan Pemeliharaan Jalan Nyak Adam Kamil Senilai
Rp1.269.596.000,00Terbengkalai
g) Hasil Pekerjaan Pembangunan Jalan dan Jembatan Senilai
Rp47.353.494.000,00 TidakDapat Dimanfaatkan Secara
Optimal
h) Kemajuan Fisik Paket Pekerjaan Pembangunan Jalan dan
Jembatan SenilaiRp3.397.917.000,00 Masih Rendah
i) Kekurangan Volume Pekerjaan Pembangunan Jalan dan
Jembatan TA 2010 SenilaiRp67.615.910,64
j) 16 Paket Pekerjaan Pembangunan Jalan Multi Years
Diselesaikan Tidak Sesuai denganNilai Kontrak Induk dan
Alokasi Anggaran yang Telah Ditetapkan
k) Terdapat Pekerjaan Pembangunan Jalan Panteraja–Cubo–Jiem–
Jiem-Pagu SenilaiRp158.575.361,00 pada TA 2010 yang Telah
Dikerjakan pada TA 2009
l) Pembangunan Dua Buah Tiang Pilar Untuk Rangka Baja
Jembatan Alue WakiKabupaten Nagan Raya Tahun 2008
senilai Rp859.571.995,46 Dipergunakan UntukJembatan Balley
Tidak Sesuai Rencana Awal
m) Terjadi Kelebihan Pembayaran Sebesar Rp118.969.196,50 atas
PekerjaanPembangunan Jalan Jantho-Bts. Aceh Jaya (Tahun
Jamak)
n) Pekerjaan Pembangunan Jembatan dan Gedung TA 2008
Sebanyak Tujuh PaketSenilai Rp29.851.098.000,00 pada Dinas
Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Aceh Terbengkalai
2) Dinas Pengairan
a) Pada 14 Paket Pekerjaan Sektor Pengairan Terdapat
Kekurangan Volume PekerjaanSenilai Rp116.095.692,87 dan
Pembayaran Melebihi Nilai Kontrak SebesarRp66.520.383,37
b) Enam Paket Pekerjaan Sektor Pengairan Terlambat
Diselesaikan dan BelumDikenakan Denda Keterlambatan
Senilai Rp176.724.958,00
c) Jaminan Pelaksanaan, Jaminan Uang Muka serta Jaminan
Pemeliharaan dari EmpatRekanan yang Wanprestasi Senilai
104
Rp1.388.316.450,00 Belum Dicairkan danDisetorkan ke Kas
Daerah
d) Dua Paket Hasil Pekerjaan Sektor Pengairan TA 2009 Senilai
Rp3.352.261.920,00Terbengkalai
e) Hasil Pekerjaan Senilai Rp1.840.371.223,23 dari Sembilan
Paket Pekerjaan SektorPengairan Mengalami Kerusakan
3) Dinas Pendidikan
a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan Pada Lima
Kabupaten TerjadiKelebihan Bayar/Kekurangan Volume
Pekerjaan Minimal Senilai Rp111.110.557,86
b) Penyelesaian Paket Pekerjaan Pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Gayo LuesTerlambat dan Belum Dikenakan Sanksi
Denda Keterlambatan SebesarRp84.592.200,00
c) Hasil Pekerjaan Pembangunan Gedung yang Dibiayai dari
Dana Otsus DinasPendidikan Provinsi Aceh TA 2008 senilai
Rp1.700.605.000,00 Terbengkalai
4) Dinas Kesehatan
a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Kesehatan TA 2010 pada
Delapan KabupatenKota Mengalami Kelebihan
Bayar/Kekurangan Volume Pekerjaan
SebesarRp834.674.069,01
b) Tagihan Pembayaran Kegiatan Non Fisik Yang Bersumber
Dari Dana Otsus padaDinas Kesehatan Kabupaten Aceh
Tamiang Sebesar Rp1.154.006.800,00 HanyaDidukung dengan
Bukti Pertanggungjawaban Proforma dan Berindikasi Fiktif
c) Hasil Pekerjaan Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Tidak
Sesuai KetentuanPerjanjian Kontrak dan Berpotensi Merugikan
Keuangan Daerah SebesarRp201.935.489,00
d) Hasil Pekerjaan Pembangunan Sarana dan Prasarana Bidang
Kesehatan pada LimaKabupaten/Kota Senilai
Rp20.556.764.200,00 Belum Dimanfaatkan
e) Penyelesaian Pekerjaan Penataan Lingkungan RSU Kota
Jantho Kabupaten AcehBesar Terlambat dan Belum Dikenakan
Sanksi Denda Keterlambatan Minimal
SebesarRp25.609.446,00
105
f) Biaya Langsung Non Personil pada Pekerjaan DED
Perencanaan dan Master PlanRSIA Subulussalam Kelebihan
Penganggaran dan Pembayaran SebesarRp6.387.500,00
5) Dinas Pertanian Tanaman Pangan
a) Kegiatan Konstruksi Perluasan Baku Sawah TA 2010 pada
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Subulussalam Senilai
Rp1.191.441.000,00 Tidak Dapat Diselesaikan TepatWaktu
b) Pembayaran Biaya Upah Kerja Kegiatan Optimasi Lahan Pola
Padat Karya SektorPertanian di Kabupaten Aceh Selatan
Sebesar Rp2.847.880.000,00 Tidak didukungdengan Bukti
Pertanggungjawaban yang Sah
6) Dinas Kehutanan dan Perkebunan
a) Pekerjaan Pengadaan Instalasi Jaringan Air Penyiram di
Kabupaten Aceh TimurTidak Sesuai Ketentuan dan Terjadi
Kelebihan Pembayaran Sebesar Rp35.617.000,00
b) Pembebanan PPN dalam Pengadaan Bibit Tanaman Pada Dinas
Perkebunan danKehutanan Memboroskan Keuangan Daerah
Sebesar Rp254.080.000,00
c) Perencanaan Pengadaaan Bibit Jernang pada Dinas Kehutanan
dan PerkebunanKabupaten Pidie Tidak Sesuai dengan
Kebutuhan sehingga Memboroskan KeuanganDaerah Sebesar
Rp181.350.000,00
d) Perencanaan Pekerjaan Pengadaan Tanaman Kopi pada Dinas
Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Bener Meriah
Mengandung Kelemahan Sehingga TerjadiKelebihan
Pengadaan Bibit Kopi dan memboroskan Keuangan Daerah
SebesarRp4.990.227.000,00
e) Pembebanan PPh dalam RAB Pengadaan Barang pada Dinas
Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Bireuen sebesar
Rp34.225.932,00 Tidak Sesuai Ketentuan
f) Enam Perusahaan Rekanan Tidak Dapat Menyelesaikan
Pekerjaan Land ClearingSesuai dengan Kesepakatan dalam
Kontrak dan Jaminan Pelaksanaan SenilaiRp1.213.912.850,00
Tidak Dicairkan dan Disetor Ke Kas Daerah
106
g) Pekerjaan Pembangunan Kebun Kelapa Sawit TA 2008 dan TA
2009 pada 13Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Senilai
Rp29.340.000.000,00 Tidak Mencapai Targetdan Bibit Sawit
Senilai Rp2.542.263.975,00 Belum Disalurkan kepada
Masyarakatpada Empat Kabupaten/Kota
h) Pengadaan Bibit Kelapa Sawit TA 2008 dan 2009 pada
Kabupaten Aceh Timur SenilaiRp2.996.610.000,00 dan
Pengadaan Bibit Kelapa Sawit TA 2009 pada Kabupaten
AcehSelatan Senilai Rp3.388.649.550,00 Tidak Sesuai dengan
Spesifikasi dalam Kontrak danBerindikasi Merugikan
Keuangan Daerah
7) Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)
a) Serah Terima Aset Tetap Hasil Pengadaan TA 2008 s.d. 2010
yang Dibiayai DanaOtonomi Khusus Senilai
Rp22.393.362.075,00 kepada Pemerintah
Kabupaten/KotaBelum Disertai dengan Bukti Kepemilikan
yang Sah
b) Penyerapan Dana Otonomi Khusus Tidak Mencapai Target dan
Sisa DanaDipergunakan untuk Membiayai Kegiatan Di Luar
Sasaran Kegiatan Otonomi Khusus
2. Pembatasan peruntukan
Selain Pengelolaannya yang sentralistik peruntukan dana Otsus mupun
dana Migas yang telah dibatasi juga disebut sebagai salah satu kendala
karena pada akhirnya Pemerintah Kabupaten/Kota dalam merumuskan
program/proyek harus merujuk pada pembatasan tersebut, sehingga
Pemerintah Kabupaten/Kota tidak boleh mengunakan dana tersebut diluar
batasan yang ada.
107
3. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia khususnya aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota
juga diakui belum sepenuhnya memadai sehingga tidak dapat bekerja
dengan optimal khususnya dalam menyusun program-program Kabupaten
yang akan diajukan kepada Pemerintah Aceh.
Kebijakan dan praktik yang terkait dengan sumber daya manusia
Rekrutmen dan penempatan pegawai di lingkungan pemerintah provinsi
dankabupaten/kota belum sesuai dengan kebutuhan masing-masing
dinas/unit kerja,sehingga tidak sedikit beberapa pegawai menempati posisi
yang tidak sesuai dengan keahlian dan latar belakang pendidikannya.
Selain itu, pola rotasi dan penggajian pegawai yang berbeda-beda juga
turut mendorong penyebaran pegawai yang tidak seimbang, yaitu terdapat
jumlah pegawai yang berlebihan/menumpuk pada suatu dinas/unit kerja
tertentu atau kabupaten/kota tertentu, namun di lain pihak terdapat
dinas/unit kerja atau kabupaten/kota yang mengalami kekurangan. Kondisi
ini akan menghambat pencapaian tujuan kegiatan dana otsus karena dana
otsus dikelola oleh pegawai yang tidak memiliki keahlian (tidak
profesional).
4. Birokrasi yang panjang
Birokrasi yang panjang juga dirasa sebagai hambatan dalam implementasi
dana otsus, karena sebagaima telah digambarkan diatas bahwa seluruh
program yang akan dibiayai melalui dana otsus harus terlebih dahulu
108
diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dimana pengajuan tersebut
harus telah melalui persetujuan bersama dengan DPRK, baru kemudian
akan dipelajari oleh Pemrintah Aceh.
Sebagaimana diketahui bahwa pada tingkat perumusan kegiatan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRK saja bisa memakan waktu yang panjang
belum lagi dengan Pemerintah Aceh.Contoh permasalahan yang terjadi
yaitu di Kabupaten Aceh Selatan, dimana DPRK Aceh Selatan meminta
agar Gubernur meninjau kembali usulan kegiatan yang diajukan oleh
Pemerintah Daerah karena dinilai menyalahi prosedur.54
Persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRK harus
dituangkan secara tertulis sebagai bukti tanda persetujuan yang harus
dilampirkan dalam pengajuan Program yang akan dibiayai oleh dana
Otsus. Pengajuan oleh setiap Kabupaten.Kota tersebut akan dibahas
bersama oleh Pokja Pemerintah Aceh dengan DPRA, jika tidak terdapat
bukti persetujuan bersama antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan
DPRK maka usulan tersebut akan ditolak oleh DPRA.55
5. Intervensi
Kendala lain yang dialami oleh Pemerintah Kota/Kabuten adalah adanya
intervensi dari Pemerintah Aceh dalam pemanfaatan dana otsus, hal ini
54
Harian Analisa, Pemprov diimbau Tinjau Ulang Usulan Kegiatan Otsus 2012 Aceh Selatan,
www.analisadaily.com (diakses Minggu 29 Januari 2012)
55 Gerak Aceh, Dokumen Pendukung Tak Tersedia: DPRA Tolak Bahas Proyek Otsus 2011,
www.gerakaceh.org
109
terjadi karena adanya ketergantungan dari Pemkab/Pemkot terhadap
Pemerintah Aceh yang berkuasa terhadap dana otsus, seperti halnya yang
terjadi pada Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, dimana Seorang oknum
pejabat di Dinas Bina Marga Provinsi Aceh di Kota Banda Aceh, diduga
telah melakukan pemerasan terhadap Pemerintah Kabupaten Aceh Barat
khususnya panitia pelaksana pembangunan di setdakab setempat sebesar
Rp 1,2 miliar atau sekitar 4 persen dari total pagu proyek dana Otonomi
Khusus (Otsus) sebesar Rp 40 Miliar, yang dianggarkan dalam tahun
2011.56
Intervensi lain yang sangat krusial adalah setiap usulan program yang
diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dapat saja ditolak baik
seluruhnya ataupun sebagaian juga dapat direvisi oleh Pemerintah
Provinsi, padahal program yang diajukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota tersebut sudah melalui pembahasan bersama dengan
DPRK dan telah disetujui bersama. Sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota
merasa bahwa pembahasan bersama DPRK prihal program atau kegiatan
yang akan dibiayai dengan dana otsus tidak terlalu berarti.
6. Tidak adanya RPJM
Hingga saat ini Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Aceh
belum tuntas sehingga pemanfaatan dana otonomi khusus belum maksimal
56
Harian Serambi Indonesia, Oknum Bina Marga Aceh Peras Pemkab Aceh Barat Rp 1,2
miliar (edisi rabu, 27 juli 2011).
110
hal tersebut karena tidak terdapat acuan mengenai arah pembangunan
yang sinergi sehingga program-program yang ada tidak memiliki visi
keberlanjutan.
7. Tidak adanya pengaturan tentang SILPA
Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai sisa dana yang tidak habis
terserap atau terpakai dalam tahun setiap tahun yang telah dianggarkan
menyebabkan banyaknya program yang tidak tuntas hal tersebut karena
sisa dana otsus yang tidak habis pakai menjadi silpa Pemerintah Aceh, dan
tidak adanya ketentuan mengenai bagaimana seharusnya silpa tersebut
dimanfaatkan sehingga menjadi silpa umum dan dapat digunakan untuk
keperluan apa saja tanpa ada keterikatan pengunaannya.
Berdasarkan kondisi-kondisi sebagaimana tersebut di atas maka
Seluruh Kabupaten/Kota sejak lama telah mengupayakan agar adanya perubahan
dalam sistem pengelolaan dana otonomi khusus dimana Pemerintah
Kabupaten/Kota diberikan kewenangan penuh untuk dapat mengelola dana
tersebut. Melalaui Forum Kabupaten Kota Aceh (FKKA) yang telah terbentuk
sejak tahun 2003 upaya-upaya agar pengelolaan dana otonomi khusus bisa
terlaksana dengan baik telah dilakukan sejak tahun 2009 sampai dengan saat ini,
tentu setelah melakukan evaluasi terhadap implementasi program yang dibiayai
oleh dana otsus tahun 2008, adapun upaya yang telah dilakukan diantaranya :
111
1. Advokasi
Advokasi yang dilakukan seperti melalui media masa, melalui diskusi-
diskusi baik skala nasional seperti dengan Dirjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga dengan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), juga seperti Rapat Dengar
Pendapat (RDP) dengan Kementerian Keuangan maupun Kementrian Dalam
Negeri. Sedangkan dalam skala local, yang melibatkan banyak unsur
Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi, SKPA, DPRA, Akademisi/Pakar,
NGO maupun kalangan masyarakat sipil.
Dimana berdasarkan diskusi maupun rapat dengar pendapat oleh berbagai
pihak kesimpulan yang didapat adalah “Kabupaten Kota dapat mengelola
dana otonomi khusus secara penuh dan hal tersebut sudah merupakan
haknya”.
2. Mengajukan legislative review
Sejak tahun 2009 FKKA telah berupaya untuk mengajukan perubahan
terhadap Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian
tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana
otonomi khusus, namun baru pada tahun 2010 Qanun tersebut masuk dalam
Prioritas (Proleg) namun sampai dengan saat ini perubahan atas Qanun
tersebut juga belum rampung, bahkan belum dilakukan pembahasannya
sama sekali.
112
Sekalipun sampai saat ini perjuangan Pemerintah Kabupaten Kota yang
dimotori oleh FKKA belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan,
namun upaya-upaya tersebut tetap dilakukan karena sebagaimana amanah UUPA
bahwa terkait dengan teknis pengelolaan dana Otonomi Khusus diatur dalam
Qanun Aceh, dan hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintahan Provinsi
(DPRA dan Gubernur) sehingga upaya Advokasi dan Lobi-lobi politik tetap
dilakukan.
113
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan dari permasalahan, maka telah didapat
beberapa kesimpulan yang diambil guna menjawab permasalahan dari penelitian.
Dalam bab ini juga berisikan saran yang merupakan solusi hukum terhadap
permasalahan yang diteliti secara akademik.
A. Kesimpulan
1. Pengelolaan dana otonomi khusus yang sentralistik sebagaimana diatur
dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian
tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana
otonomi khusus, disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak
diberikan dalam bentuk transfer namun diberikan dalam bentuk pagu, tentu
sistem seperti itu sangat bertentangan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya, nyata dan bertanggung jawab sebagaimana telah diadopsi dalam
peraturan-perundang undangan seperti Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Demikian juga dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh yang
menyebutkan bahwa Dana otonomi khusus juga merupakatan penerimaan
kabupaten/Kota yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah
Aceh sebagaimana disebutkan dalam pasal 179 UUPA.
2. Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kendala dalam praktik pengelolaan
dana otonomi khusus, hal itu diketahui dari banyaknya temuan Badan
102
114
Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah Aceh yang menunjukan belum
efektifnya pengelolaan Dana Otonomi Khusus yang telah berjalan sejak
tahun 2008 sampai dengan 2010. Beberapa kendala diantaranya, sistem
pengelolaan yang sentralistik, Pembatasan Peruntukan, Tidak adanya
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP/M), Birokrasi
yang panjang, Intervensi Pemerintah Aceh, sisa dana otsus yang tidak habis
pakai oleh setiap Kabupaten/Kota menjadi Silpa Pemerintah Aceh, dan juga
kendala klasik yaitu Sumber Daya Manusia (SDM). Kendala-kendala
tersebut tidak terlepas dari pengaturan sistem pengelolaan yang tidak
aspiratif atau tidak menggakomodir kepentingan pemerintah daerah.
B. Saran
1. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) harus memprioritaskan
pembahasan dan pengesahan perubahan Qanun Nomor 2 Tahun 2008
tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan
Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, tentunya dengan
memperluas kewenangan Perintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana
Otonmi Khusus dengan memperhatikan prinsip otonomi seluas-luasnya,
nyata dan bertanggung jawab, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh sebagai acuan juga aspirasi dari kabupaten/kota
maupun berbagai kajian ilmiah.
115
2. Pemerintah Kabupaten/Kota harus berupaya mengatasi seluruh kendala yang
selama ini dihadapi, tentu bukan sesuatu yang mudah namun dapat dilakukan
dengan skala prioritas, agar manfaat dari dana otonomi khusus dapat
dirasakan secara nyata dan adil oleh seluruh masyarakat Aceh.
116
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, Tahun 1993
---------------, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2009.
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Gramedia Jakarta 2001
Arief Mulyadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, Jakarta 2005.
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Membangun Format Baru
Otonomi Daerah Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001
Frits Bernard Ramendey, dkk, Profil Otonomi Khusus Papua, Aliansi Jurnalis
Independen Papua, 2005.
Hanif Nurcholis, Teori danPraktik ; Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Grasindo Jakarta 2001
Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV. Utomo Bandung 2005
Johan Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah :Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta Jakarta 2007
Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia : Menemukan
Kembali Masa Depan Bangsa, Mizan, Jakarta 2008
Local Governance Support Program (LGSP), Reformasi Organisasi Pengelolaan
Keuangan Daerah, 2009
Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta 2010
Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana,
Jakarta 2009
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998
105
117
Muhammad Djafar, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008
Murtir Jeddawi, Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah,
Total Media Yogyakarta 2011
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah : Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan
Problematika, Pustaka Pelajar, 2005
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka
Mandiri, Jakarta 2010
Nyoman Sumaryadi I, Otonomi Daerah Khusus dan Birokrasi Pemerintah
Indonesia, 2006
Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi, Tantangan dan
Hambatan, Kemitraan, Jakarta 2005
Piran Wiroatmojo, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Lembaga Administrasi
Daerah R.I 2005
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2010
Rizal Alfian, Otonomi Daerah : Perspektif, Teoritis dan Praktis, Bigraf, Malang
2001
Sadu Wasistiono, dkk. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan Legalistik, Teoritik dan
Implementatif. Bandung, Fokusmedia. 2006
Salamoen Soeharyo dan Nasri Effendi, Sistem Penyelengaraan Pemerintahan
Negara Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara R.I 2004
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Kontruksi sampai Implementasi,
Rajawali Pers, Jakarta 2009
Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ; Desentralisasi,
Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press Jakarta
2007
Syamsuddin Haris, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, LIPI Press
Jakarta 2007
Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, GI Jakarta 1983
118
Widjaja HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005
B. Peraturan PerUndang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana
Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi
C. Majalah dan Surat Kabar
Kontras, Gagalnya Realisasi Dana Otsus, edisi 4 Januari 2010
Masriadi Sambo, Konspirasi Kepentingan di APBA 2010, Kontras edisi 30 Maret
2010
Serambi Indonesia, Pemerintah Aceh Belum Serius Kelola Dana Otsus, Edisi 8
Februari 2010
D. Internet
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, laporan Hasil Pemeriksaan
atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus
Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda Aceh
dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011
DPRA : 12 Rekomendasi LKPJ Gubernur Aceh, www.theglobejournal.com
diakses 11 Februari 2012
119
Gerak Aceh, dokumen pendukung tak tersedia: dpra tolak bahas proyek otsus
2011, www.gerakaceh.org
Harian Analisa, Pemprov diimbau tinjau ulang usulan kegiatan otsus 2012 Aceh
selatan, www.analisadaily.com (diakses minggu 29 januari 2012)
Harian Serambi Indonesia, 11 Hari Memburu Kontraktor Nakal, (edisi 2
Desember 2011)
Harian Serambi Indonesia, Oknum Bina Marga Aceh Peras Pemkab Aceh Barat
Rp 1,2 miliar (edisi rabu, 27 juli 2011).
Muhammad Hatta demokrasi dan otonomi (harian keng po, 27 april 1957)
NN, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, www.google.com, diakses 4
Oktober 2010
Restu Maharani, Teori Kewenangan, www.restumaharani.co.cc, diakses tanggal
19 Agustus 2011.