119
1 KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TESIS Sebagai Salah SatuSyaratUntukMemperolehGelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister IlmuHukum Program PascasarjanaUniversitasSyiah Kuala Oleh : TEUKU ISKANDAR SYAFEI 0909200030036 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2012

PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Citation preview

Page 1: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

1

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM

PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

TESIS

Sebagai Salah SatuSyaratUntukMemperolehGelar

Magister Hukum

Pada Program Studi Magister IlmuHukum

Program PascasarjanaUniversitasSyiah Kuala

Oleh :

TEUKU ISKANDAR SYAFEI

0909200030036

P R O G R A M P A S C A S A R J A N A

U N I V E R S I T A S S Y I A H K U A L A

B A N D A A C E H

2 0 1 2

Page 2: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

2

ABSTRAK

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM

PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

Oleh :

TeukuIskandarSyafei1)

HusniDjalil

EddyPurnama

Pasal 179 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh (UUPA) “salah satu pendapatan daerah bersumber dari dana

otonomi khusus”. Kemudian secara prinsip mengenai dan aotonomi khusus

disebutkan dalam Pasal 183 UUPA. Mengenai teknis bagaimana pengelolaannya

diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian

tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi

khusus. Dengan demikian timbul permasalahan yang perlu dikaji Apakah

pengelolaan dana otonomi khusus sudah sesuai dengan Peraturan PerUndang-

Undangan yang berlaku, dan apakah yang menjadi kendala bagi Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus.

Tujuan penulisan tesis ini untuk Mengkaji pengelolaan dan aotonomi khusus

apakah sudah sesuai dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku, dan

Menemukan kendala Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi

khusus.

Penulisan tesis ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif yang

menekankan pada hukum dan peraturan Perundang-undangan. Jenis-jenis data dan

bahan-bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder dan

tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan

dokumentasi hukum, lalu dianalisis menggunakan metode kualitatif

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa system pengelolaan dana

Otonomi Khusus sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Tata cara pengalokasian tambahan dan bagi hasil minyak dan gas bumi dan

penggunaan Dana otonomi khusus, yang menyatakan secara tegas bahwa Dana

Otonomi Khusus yang menjadi bagian setiap Kabupaten/Kota tidak diberikan secara

langsung (tunai) maupun transfer akan tetapi hanya diberikan dalam bentuk pagu,

dan untuk pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Aceh, sehingga Pemerintah

1Mahasiswa

KetuaKomisiPembimbing

AnggotaKomisiPembimbing

Page 3: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

3

Kabupaten/Kota hanya mengusulkan saja berkaitan dengan program yang akan

dibiayai oleh Dana Otonomi. Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan dana

otonomi khsus diantaranya Pengelolaan yang sentralistik, Pembatasan peruntukan,

Sumber Daya Manusia, Birokrasi yang panjang, dan intervensi.

Disarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) harus

memprioritaskan pembahasan dan pengesahan perubahan Qanun Aceh Nomor 2

Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak

dan Gas Bumi, tentunya dengan memperluas kewenangan Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus dengan memperhatikan

prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab, serta Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sebagaiacuanjugaaspirasi dari

kabupaten/kota maupun berbagai kajian ilmiah. Dan Pemerintah Kabupaten/Kota

harus berupaya mengatasi seluruh kendala yang selama ini dihadapi, tentu bukan

sesuatu yang mudah namun dapat dilakukan dengan skala prioritas, agar manfaat

dari dana otonomi khusus dapat dirasakan secara nyata dan adil oleh seluruh

masyarakat Aceh.

Kata kunci : Kewenangan, Pemerintah Kabupaten/Kota, Otonomi Khusus

.

Page 4: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

4

ABSTRACT

AN ASSESSMENT ON DISTRICT/MUNICIPAL GOVERNMENTS

PRIVILAGE REGARDING SPECIAL AUTONOMY FUND

UNDER THE LAW ON GOVERNING OF ACEH

By

Teuku Iskandar Syafei*

Husni Djalil**

Eddy Purnama***

Article 179 paragraph (2) of Law No. 11 Year 2006 on the Governing of

Aceh (UUPA) "One of the revenue derived from the special autonomy funds". Then

in principle on and Autonomy specifically mentioned in Article 183 UUPA.

Technical about how the management set in Aceh Qanun No. 2 of 2008 concerning

procedures for the allocation of additional funds from oil and gas and the use of

special autonomy fund. Thus, problems arise that need to be studied this special

autonomy fund management is in accordance with the legislation in force, and what

are the obstacles for District/City Government in the management of special

autonomy funds.

Purpose of this thesis to Assess the management and special Autonomy if it

is in accordance with the legislation in force, and Finding constraints District /City

Government in the management and special Autonomy.

Thesis was performed with normative juridical approach that emphasizes

the legal and regulatory legislation. The types of data and legal materials used are

of primary legal materials, secondary and tertiary. Data was collected with the

study of literature and legal documents, and then analyzed using qualitative

methods

Based on the survey results revealed that the management system of special

autonomy fund as stipulated in the Qanun No. 2 of 2008 concerning the allocation

of additional procedures and for the oil and gas and the use of special autonomy fund,

expressly stating that SAF being part of any district / city is not given directly (cash)

and the transfer but will only be given in the form of ceiling, and its implementation

by the Government of Aceh, so the District / City Government proposes only be

associated with a program that will be funded by the SAF. Which is a constraint in

the implementation of the autonomy fund particular periodicals including centralized

* Postgraduate Student of Syiah Kuala Law School

** The Head of Supervision Commission

*** The Members of Commission

Page 5: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

5

management, allocation restrictions, Human Resources, Bureaucracy long, and

intervention.

It is recommended that the House of Representatives Aceh (DPRA) should

prioritize discussion and endorsement changes Aceh Qanun No. 2 of 2008 on the

Procedure for Allocation of Additional Funds for Oil and Gas, course by extending

the authority of the Government of Regency / City in the management of SAF by

observing the principles of autonomy, real and responsible, and law-UndangNomor

11 Year 2006 concerning the Government of Aceh as a reference also the aspirations

of the district / city and the scientific literature. Government and Regency / City must

try to overcome all obstacles that have been faced, certainly not something easy but

can be done with the scale of priorities, so that the benefits of special autonomy funds

can be felt in a real and fair by all Acehnese.

Keywords: Authority, District / City Government, Special Autonomy

Page 6: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

6

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بسم هللا الر

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan kuasanya, berkat dan

kehendak-Nya, tesis yang berjudul ”Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam

Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 Tentang Pemerintahan Aceh” telah dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan

salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusisa kealam

yang berilmupengetahuan.

Penulisan tesis ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) pada Program Studi Magister Ilmu

Hukum Program Pasca sarjana Univesitas Syiah Kuala. Penyusunan tesis ini tidak

mungkin berhasil diselesaikan tanpa kesempatan, bantuan bimbingan, arahan serta

dorongan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu disampaikan ucapan terimakasih

dan penghargaan setinggi-tinginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Husni Djalil, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum juga sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Eddy

Purnama, SH., M.H, sebagai Angota Komisi Pembimbing, yang telah

memberikan petunjuk, bimbingan dan nasihat dalam penulisan tesis ini

Page 7: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

7

2. Bapak Prof. Dr. Syamsul Rizal selaku Direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Syiah Kuala, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti

pendidikan pada program pasca sarjanaUniversitas Syiah Kuala

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng. Selaku Pj. Rektor Universitas Syiah

Kuala yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi sampai

dengan memperoleh gelar Magister Hukum (M.H)

4. Seluruh Staf dan Dosen Pengajar yang telah mendidik dan memberikan ilmu

dengan tulus dan ikhlas.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang setiap saat tanpa henti mencurahkan kasih

sayang dan melantunkan doa sehingga dapat terselesaikannya tesis ini dan juga

kepada Kakak dan Adik tersayang yang senantiasa memberikan pengertian dan

dukungan selama studi hingga selesainya tesis ini.

6. Teristimewa ucapan terima kasih kepada keluarga tercinta istri dan kedua putra

kami, sebagai sumber motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

7. Kepada semua teman-teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

Syiah Kuala, Khususnya Angkatan 2009 yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu, terimakasih atas bantuan dan dorongan semangatnya.

Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan mendapat balasan yang

lebih baik dari Allah SWT. Jaza-kumullah ah-sana al-jaza’. Dalam penulisan tesis

ini, disadari bahwa kesempurnaan hanyalah Milik Allah sehinga pada akhirnya,

segala saran dan masukan atas kekurangan tesis ini, diterima dengan pikiran terbuka

dan ucapan terima kasih.

Page 8: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

8

Akhirnya mohon maaf kepada semua pihak yang telah berjasa dalam

penelitian dan penulisan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung,

karena tidak sempat mengucapkan terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan

mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.

Banda Aceh, 29 Oktober 2012

Teuku Iskandar Syafei

Page 9: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

9

DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ................................................................................................. i

ABSTRACT ............................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ............................................................................... v

DAFTAR TABEL...................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ix

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. LatarBelakang ................................................................... 1

B. IdentifikasiMasalah ........................................................... 5

C. TujuandanKegunaanPenelitian ....................................... 6

D. KeaslianPenelitian ............................................................. 7

E. KerangkaPikir ................................................................... 8

F. MetodePenelitian ............................................................... 16

G. Sistematika Penulisan ....................................................... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 20

A. PengertianPemerintahan Daerah ..................................... 20

B. Pemerintahan Aceh ........................................................... 28

C. Keuangan Daerah .............................................................. 33

BAB III DINAMIKA PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA 40

A. Pemerintahan Daerah padaMasaOrde Lama ................. 40

B. Pemerintahan Daerah padaMasaOrdeBaru ................... 46

C. Pemerintahan Daerah padaMasaOrdeReformasi .......... 48

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA

DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

A. PengelolaandanaotonomikhususberdasarkanPeraturan

Perundang-undangan yang berlaku ................................

B. KendalabagiPemerintahKabupaten/Kota

dalampengelolaandanaotonomikhusus

BAB V PENUTUP .................................................................................... 102

A. Kesimpulan ........................................................................ 102

B. Saran ................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 105

58

86

58

Page 10: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

10

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Estimasipenerimaandanaotsus Aceh

69

2. Penerimaan Dana OtonomiKhusus Prov. Aceh Tahun

2008 – 2010

70-71

3. AnggarandanRealisasiPenggunaan Dana Otsusuntuk

TA 2008 s.d TA 201

73

4. RincianPenerimaan Dana Otsus Aceh 87

Page 11: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

11

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. SkemaPengelolaan Dana Otsus

62

2 SkemaPelaksanaKegiatan Dana Otsus

63

3 StrukturOrganisasiPengelola Dana Otsus

65

4 Skemaalokasidanaotonomikhusus

68

5 Skema Hubungan Koordinasi Pemerintah Daerah

80

Page 12: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

(UUPA) yang disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006 telah banyak memberikan

kekhususan bagi Aceh dalam mengurus rumah tangganya secara mandiri dengan

kewenangan yang istimewa seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 UUPA,

sebagai berikut :

(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,

pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan

tertentu dalam bidang agama.

Berdasarkan luasnya kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota

maka disebut otonomi khusus, tentunya berbeda dengan otonomi daerah pada

umumnya, dimana perbedaan antara otonomi khusus dan otonomi pada umumnya

adalah pada kewenangan yang diberikan. Otonomi daerah pada umumnya dibatasi

pada 6 (enam) kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu :

1. Politik luar negeri

2. Pertahanan

3. Keamanan

4. Yustisi

5. Moneter dan fiskal nasional

6. Urusan tertentu dalam bidang agama

Page 13: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

13

Sedangkan pada otonomi khusus keenam kewenangan Pemerintah Pusat tersebut

tidak dibatasi secara mutlak, misalnya di bidang yustisi secara nasional dikenal

Pengadilan Agama namun untuk Aceh disebut dengan Mahkamah Syar’iyah,

kemudian di bidang keagamaan Aceh juga memberlakukan Syariat Islam.

Melalui otonomi khusus Aceh juga diberikan dana otonomi khusus dari

Pemerintah Pusat, seperti yang disebutkan dalam Pasal 179 ayat (2) UUPA

“salah satu pendapatan daerah bersumber dari dana otonomi khusus”. Penjelasan

lebih lanjut mengenai dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 183 ayat (1),

(2), (3), (4) dan (5) UUPA, sebagai berikut :

(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2)

huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk

membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan,

serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

(2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku

untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun

pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan

2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun

keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara

dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah

Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3.

(4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh

dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan

antarkabupaten/kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi

khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi

Aceh.

(5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam

Qanun Aceh.

Page 14: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

14

Amanah dari pasal tersebut yaitu terkait dengan penggunaan dana Otsus

lebih lanjut diatur dalam Qanun Aceh. Oleh karena itu pada tanggal 22 Januari

2008 Pemerintah bersama DPRA telah mengesahkan Qanun Nomor 2 Tahun 2008

tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas

Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Melalui ketentuan tersebut

disinyalir telah menimbulkan penafsiran berbeda antara Pemerintah Aceh dan

Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan pengelolaan dana Otsus. Penjelasan

mengenai dana otsus disebutkan dalam Pasal 8 Qanun No.2 Tahun 2008

(1) Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan

penerimaan Pemerintah Aceh.

(2) Penerimaan Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun.

(3) Besarnya penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. untuk tahun 2008 sampai dengan Tahun 2022 setara dengan 2% (dua

persen) pagu Dana Alokasi Umum Nasional.

b. untuk tahun 2023 sampai dengan tahun 2028 setara dengan 1% (satu

persen) pagu Dana Alokasi Umum Nasional.

Terkait dengan pengalokasian dana Otsus, sudah cukup rinci dijabarkan

dalam Qanun No.2 Tahun 2008, namun ada beberapa hal penting yang diatur

dalam Qanun tersebut yang mengakibatkan terhambatnya implementasi atau

pengunaan dana Otsus, Tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Aceh

dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga antara Eksekutif dan Legislatif kerap

kali mewarnai pemberitaan diberbagai media massa.2

2 Masriadi Sambo, Konspirasi Kepentingan di APBA 2010, Kontras edisi 30 maret 2010

Page 15: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

15

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut maka berbagai bentuk protes dari

hampir seluruh Kabupaten/Kota di Aceh yang merasa bahwa implementasi dana

otsus telah menyimpangi semangat desentralisasi yang telah terbangun karena

terkait dengan kewenangan dana tersebut sentralistik atau tidak diberikan kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 11 ayat

(6) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian

Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana

Otonomi Khusus . “Pengalokasian anggaran tidak diberikan dalam bentuk dana

tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh

Gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA.”

Ketentuan tersebut jelas bersifat sentralistik sehingga berdampak kepada

semakin panjangnya jalur birokrasi yang mengakibatkan terhambatnya proyek-

proyek yang dikerjakan dengan sumber dana Otsus, sehingga tidak tercapai tujuan

percepatan pembangunan yang diharapkan. Jika mengacu pada Pasal 43 ayat (1)

UUPA “(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, memiliki

tugas dan wewenang mengoordinasikan:

a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

kabupaten/kota;

b. penyelenggaraan urusan Pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota;

c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Aceh

dan kabupaten/kota;

d. pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan dan keistimewaan Aceh;

dan

e. pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar

kabupaten/kota di Aceh.

Page 16: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

16

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan pula bahwa kedudukan

Pemerintah Kabupaten/kota bukan bersifat vertikal atau hirarkis sehingga harus

tunduk dibawah Pemerintah Aceh, namun keduanya bersifat horizontal atau

sejajar sehingga Pemerintah Aceh hanya mengkoordinir Pemerintah

Kabupaten/Kota, begitupun dalam hal pengelolaan keuangan Pemerintah

kabupaten/kota. Dimana dana Otsus merupakan salah satu sumber pendapatan

daerah seperti yang disebutkan dalam Pasal 179 ayat (2) UUPA “ Pendapatan

Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dana

Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah.”

Selain Pasal tersebut dalam UUPA juga tidak ditemukan justifikasi

terhadap praktik pengelolaan dana otsus yang sentralistik, dikaitkan juga dengan

asas-asas pengelolaan Pemerintahan yang baik atau prinsip-prinsip good

governance maka salah satu unsurnya adalah pelimpahan kewenangan agar

urusan-urusan pemerintah dapat berjalan dengan lancar karena tidak terfokus

pada satu tempat saja.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka berikut terdapat beberapa

permasalahan yang dapat diteliti :

1. Apakah pengelolaan dana otonomi khusus sudah sesuai dengan Peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku ?

Page 17: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

17

2. Apakah yang menjadi kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam

pengelolaan dana otonomi khusus ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka yang

menjadi tujuan penelitian adalah :

1. Mengkaji pengelolaan dana otonomi khusus apakah sudah sesuai dengan

Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku

2. Menemukan kendala Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana

otonomi khusus

Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis diharapkan dapat menjadi sumbangsih pikiran dalam kajian

ketatanegaraan khususnya berkaitan dengan Kewenangan pemerintah

Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

2. Secara Praktis diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengevaluasi

maupun terhadap perubahan Qanun Aceh yang terkait dengan pengelolaan

dana otonomi khusus. Serta penelitian ini merupakan sebuah kontribusi

terhadap permasalahan dalam mengimplementasikan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 18: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

18

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran berbagai literatur dan

hasil penelitian yang dilakukan sampai saat ini tidak ditemukan penelitian

dengan judul serupa, namun sebuah penelitian yang baik tentunya saling terkait

satu sama lainnya untuk itu dari hasil penelusuran pada pustaka magister ilmu

hukum terdapat juga beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan. Yaitu Thesis

yang disusun oleh Saudari Sutri Yanti pada tahun 2009 yang berjudul

“Pembagian Kewenangan Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Aceh dan

Kabupaten/Kota (Kajian Yuridis Normatif Terhadap Ketentuan UU No. 11

Tahun 2006)”

Perbedaan yang paling spesifik adalah pada penelitian tersebut bersifat

umum, atau saudari Sutri Yanti meneliti terhadap seluruh urusan yang terkait

dengan kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, tidak

khusus pada salah satu kewenangan semata, kemudian pada bagian rekomendasi

juga disebutkan mengenai perimbagan keuangan antara Pemerintah Aceh dengan

kabupaten/kota yang masih sentralistik. Sehingga menjadi penting untuk dikaji

lagi secara khusus terkait dengan perimbangan dana otonomi khusus antara

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 19: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

19

E. Kerangka Pikir

Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan bergulirnya orde reformasi

dimana tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang demokratis dan dapat

mempercepat kesejahteraan rakyat, praktek pemerintahan pada masa orde baru

yang dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat banyak sehingga

kemudian dirasakan perlu untuk menetapkan asas-asas atau prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik.

Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi

norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Pasal

2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Peran asas hukum

sangatlah penting karena asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, menjadi

titik tolak berpikir, pembentukan dan intepretasi hukum, dan peraturan hukum

merupakan patokan tentang perilaku yang seharusnya, berisi perintah, larangan,

dan kebolehan. Umumnya setiap negara memiliki asas-asas penyelengaraan

pemerintahan yang baik,3 misalnya:

1. Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke

Bestuur” (ABBB)

2. Di Inggris dikenal “The Principal of Natural Justice”

3. Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”

4. Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen”

5. Di Jerman “Verfassung Sprinzipien”

6. Di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”.

3 Nn, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, www.google.com, diakses 4 oktober 2010

Page 20: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

20

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ada

beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi asas kepastian

hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas

keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

a) asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perUndang-Undangan, kepatutan dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara

b) asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan

keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara

c) asas kepentingan umum, adalah yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif

d) asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan

rahasia negara

e) asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban penyelenggara negara

f) asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perUndang-Undangan

yang berlaku

g) asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.4

Secara Umum asas-asas Penyengaraan Pemerintah yang baik juga telah

disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Yaitu

4 ibid

Page 21: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

21

“Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan

Negara yang terdiri atas:

a. asas kepastian hukum;

b. asas tertib penyelenggara negara;

c. asas kepentingan umum;

d. asas keterbukaan;

e. asas proporsionalitas;

f. asas profesionalitas;

g. asas akuntabilitas;

h. asas efisiensi; dan

i. asas efektivitas.

Secara khusus UUPA juga mengadopsi hal tersebut, yaitu dalam Pasal 20

disebutkan “Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan

kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan

yang terdiri atas”:

a. asas ke-Islaman;

b. asas kepastian hukum;

c. asas kepentingan umum;

d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan;

e. asas keterbukaan;

f. asas proporsionalitas;

g. asas profesionalitas;

h. asas akuntabilitas;

i. asas efisiensi;

j. asas efektivitas; dan

k. asas kesetaraan.

Selain asas-asas penyelengaraan pemerintahan yang baik, yang telah

disebutkan, secara umum dikenal juga 10 prinsip good governance5, yaitu :

5 local Governance Support Program (LGSP), Reformasi Organisasi Pengelolaan Keuangan

Daerah, 2009. Hlm 14

Page 22: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

22

1. Partisipasi

2. Penegakan Hukum

3. Transparasi

4. Kesetaraan

5. Daya Tanggap

6. Wawasan Kedepan

7. Akuntabilitas

8. Pengawasan

9. Efesiensi & Efektifitas

10. Profesionalisme

Kemudian terdapat pula prinsip good governance yang menambahkan syarat

Desentralisasi (decentralization) dalam penyelangaraan pemerintah, namun

kesemua asas-asas tersebut memiliki esensi maupun tujuan yang sama.

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan

terjadinya pergeseran paradigma sentralistis ke arah desentralisasi nyata yang

ditandai dengan pemberian otonomi yang lebih luas dan nyata kepada daerah.

Desentralisasi ini diikuti dengan reformasi kebijaksanaan pemerintahan di

berbagai bidang yang mengatur masalah-masalah desentralisasi dan

penyelengaraan pemerintahan daerah secara otonom.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan kuat

bagi penyelengaran Pemerintah Daerah secara otonom karena melalui

amandemen tersebut, telah ditegaskan mengenai pembagian daerah dalam

Negara Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi terdapat daerah

kabupaten dan kota.6 Tersebut dalam Pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan daerah

6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2009. Hlm 302

Page 23: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

23

provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Menguatnya gagasan memperluas kewenangan dalam konteks

Pemerintahan Daerah berpangkal pada fakta-fakta yang terjadi sebelum era

reformasi antara lain :

1. Pengelolaan sumber daya alam yang dirasakan hanya memberikan

keuntungan pada sebagian kecil pejabat pemerintahan pusat sehingga

terjadi kesenjangan.

2. Tidak terakomodirnya potensi-potensi putra daerah yang berkualitas

karena pada faktanya jabatan-jabatan strategis baik jabatan politik

maupun profesi didominasi dari pusat.

3. Sulit terciptanya demokrasi karena adanya unifikasi peraturan

perUndang-Undangan.

4. Sulitnya mengembangkan budaya-budaya lokal karena semuanya

dikendalikan oleh pusat.7

Terikait dengan konsep Otonomi, Abu Daud Busroh mengatakan, negara

kesatuan ditinjau dari susunannya adalah negara yang tidak tersusun dari

beberapa negara, seperti halnya negara federasi, melainkan negara itu sifatnya

tunggal artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara dalam negara.8 Dengan

demikian bila dibanding dengan negara federal dan konfederasi, maka negara

kesatuan merupakan bentuk negara dimana ikatan serta integrasi paling kokoh.9

Menurut Carl J. Fedreich, pembagian kekuasaan secara vertikal atau

pembagian kekuasaan secara territorial (territorial devision of power) adalah

7 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta

2010. Hlm 9 8 Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 64-65.

9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,

hlm.141.

Page 24: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

24

pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan dan pembagian

kekuasaan ini dapat dengan jelas jika dibandingkan antara negara kesatuan,

federasi dan konfederasi.10

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,

territorial division of power diwujudkan dengan adanya satuan pemerintah pusat

dan pemerintah daerah. 11

Berikut adalah beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam

pelaksanaan otonomi daerah :

1. Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan

mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang

menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan di dalam Undang-Undang.

2. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani

urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang

dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup,

dan berkembang sesuai degan kekhasan daerah. Dengan demikian,

isi dan jenis setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. 3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan

maksud otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah

termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian

utama dari tujuan nasional.12

Menurut Nur Ri’fah Maskur ada tiga perubahan pokok yang dirasakan

oleh daerah pasca otonomi daerah yaitu :

1. Perubahan kewenangan pengelolaan sumber daya alam

2. Perubahan kewenangan pengelolaan sumber-sumber keuangan (pajak dan

retribusi)

10

ibid.

11

Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, 2004, hlm.

123 12

Widjaja HAW, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2005, hlm. 131.

Page 25: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

25

3. Perubahan alokasi anggaran dari pusat ke daerah dalam bentuk DAU dan

DAK.13

Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan secara geografis merupakan

negara kepulauan sehingga sulit tentunya jika penyelengaraan pemerintahan

hanya terfokus pada satu titik saja (pusat) sehingga untuk memenuhi asas

efisiensi maka perlu untuk melimpahkan kewenangan pada perwakilan atau

perpanjangtanganan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan

selanjutnya kepada pemerintah kabupaten/kota. Juga disebutkan desentralisasi.

Untuk itu perlu dilihat mengenai teori-teori pelimpahan kewenangan,

diantaranya:

1. Sentralisasi yaitu sistem pemerintahan di mana segala kekuasaan

dipusatkan di pemerintah pusat.

2. Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu.

4. Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah

dan/atau desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau

desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan

tugas tertentu.14

Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau

legitimasi, Kewenangan diperoleh melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau

dengan pelimpahan wewenang.

13

Nur Ri’fah Maskur dalam Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia,

Pustaka Mandiri, Jakarta 2010. Hlm 10 14

Sadu Sasistiono, Dkk. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan

Legalistik,Teoritik dan Implementatif. Fokusmedia, Bandung

Page 26: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

26

1. Atribusi

Atribusi ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah

dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang

dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini menunjuk pada

kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perUndang-

Undangan.

2. Pelimpahan wewenang

Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang

pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan

tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang

ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur

komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan

secara khusus oleh peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.15

Mengacu kepada teori tersebut maka Pemerintah Daerah dalam hal ini

adalah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan atributif, hal itu atas dasar

kewenangan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 “Pemerintahan

daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Maka

selayaknya Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kepercayaan dalam mengelola

dana otonomi khusus secara mandiri, mengingat Pemerintah Kabupaten/Kota

yang lebih dekat serta memahami karakteristik daerahnya sehingga dengan

dikelolanya dana otonomi khusus secara langsung oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota bisa lebih terarah dan efektif karena fungsi pelayanan publik

(public service) secara langsung ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota

dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi.

15

Restu Maharani, Teori Kewenangan, www.restumaharani.co.cc, diakses tanggal 19 Agustus

2011.

Page 27: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

27

F. Metode Penelitian

Objek kajian dalam penelitian ini adalah Kewenangan Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dan

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu

pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti terlebih dahulu peraturan

perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

Dengan kata lain yaitu melihat hukum dari aspek normatif.

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti

penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang

Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi

Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Dan analitis dalam arti bahwa terhadap hasil yang

didapat akan dianalisis dengan berbagai teori-teori maupun asas-asas hukum

yang ada, sehingga akan menghasilkan kesimpulan atas permasalahan yang

diteliti.

2. Jenis Bahan Hukum

Jenis-jenis data dan bahan-bahan hukum yang digunakan, dalam penelitian ini

adalah :

Page 28: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

28

a. Bahan Hukum Primer

Data primer terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Qanun Nomor 2

Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil

Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. dan

aturan PerUndang-Undangan lain yang terkait dengan objek penelitian

ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan sekunder terdiri dari Buku-buku, surat kabar, majalah, hasil-

hasil penelitian, hasil karya ilmiah, jurnal-jurnal, artikel dan internet.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum yang diambil peneliti sebagai bahan yang dapat

memberikan penjelasan data-data primer dan sekunder, yang terdiri dari

kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian tersebut teknik

pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan, adalah:

a. Studi Pustaka

Hal ini dilakukan dengan cara mencari literature, makalah, Koran, dan

data yang diperoleh di internet atau bahan hukum yang terkait dengan

materi pembahasan.

Page 29: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

29

b. Dokumentasi Hukum

Hal ini dilakukan dengan cara mencari peraturan perUndang-Undangan

yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan materi

pembahasan.

4. Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, data tersebut diidentifikasi, diolah, dan

dianalisis, kemudian disusun ke dalam suatu bentuk karya dengan

menggunakan metode penelitian kualitatif.16

F. Sistematika Penulisan

Guna memperoleh pemahaman terhadap isi tesis ini maka penulisannya

dibagi dalam empat bab yaitu sebagai berikut :

Pada bab pertama dengan judul pendahuluan berisikan sub-sub judul Latar

belakang masalah, Identifikasi masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Keaslian

penelitian, Kerangka pikir, Metode penelitian dan Sistematika penulisan

Bab kedua dengan judul Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah

berisikan sub-sub judul mengenai Pengertian pemerintahan daerah, Pemerintahan

Aceh dan Keuangan daerah

16

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,

hal 2-3. Inti dari buku ini menyebutkan bahwa Sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa pengumpulan kata tertulis maupun lisan dari pihak-pihak yang bersangkutan dengan

penelitian dan prilaku yang diamati.

Page 30: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

30

Bab ketiga dengan judul Dinamika Pemerintahan Daerah Indonesia

Berisikan tentang Pemerintahan daerah pada orde lama, Pemerintahan daerah pada

orde baru dan Pemerintahan daerah pada orde reformasi

Bab empat dengan judul Kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota Dalam

Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berisikan tentang Kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus dan Kendala

bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus.

Bab lima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran

yang dapat bermanfaat dalam pemecahan masalah.

Page 31: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

31

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

A. Pengertian Pemerintahan Daerah

Pemerintahan Daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan

daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Masing-masing badan atau

lembaga menjalankan peranannya sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, dan

fungsinya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah atau

DPRD merupakan kesatuan integral yang memberikan pelayanan publik sesuai

dengan ketentuan hukum yang diamanatkan Undang-Undang Dasar.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan Pemerintahan daerah

adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan

DPRD provinsi.

20

Page 32: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

32

2. Pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas pemerintah daerah

kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.

Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang atau peraturan

pemerintah daerah yang pernah berlaku dan yang berlaku sejak Indonesia

merdeka adalah :

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai

Ketentuan Keududukan Kominite Nasioanal Daerah

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah

3. Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950

4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah

5. Penetapan Pemerintah No. 6 Tahun 1959 Penyerahan Tugas-Tugas

Pemerintah Pusat Dalam Bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan

Pegawai dan Penyerahan Keuangan Kepada Pemerintah Daerah

6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah

7. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah

Era reformasi dikenal Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22

Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam menghadapi

perkembangan keadaan baik didalam maupun diluar negeri serta tantangan

persaingan global dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan

memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada

daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,

pemanfaaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan

daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

Page 33: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

33

pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang

dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.17

Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah harus sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta

peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerataan , keadilan, keistimewaan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi atau autonomie berasal dari bahasa Yunani yaitu kata auto

yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-Undang.18

Jadi Otonomi

berarti mengatur dengan Undang-Undang sendiri. Dengan demikian yang

dimaksud dengan otonomi adalah “pemberian hak dan kekuasaan perUndang-

Undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan

ataupun daerah”.

Pengertian Otonomi dalam lingkup suatu negara selalu dikaitkan dengan

daerah atau pemerintah daerah (local government). Otonomi dalam pengertian

ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke

17

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta

2010, hlm. 13 18

Silalahi, dalam Konsep Good Governance Dalam Konsep Otonomi Daerah, Alwi Hasyim

Batubara (Thesis Universitas Sumatra Utara) 2009

Page 34: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

34

daerah juga berarti menghargai atau mengefektifkan kewenangan asli yang sejak

semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi sistem prosedur

pemerintahan negara di daerah.19

Pengertian otonomi daerah berdasarkan UUD 1945 adalah hak dan

wewenang daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan diberikan oleh

peraturan perundangundangan. Otonomi menurut UUD 1945 adalah otonomi

yang berkedaulatan rakyat dengan menerapkan pemerintahan daerah yang

bersendi atas dasar permusyawaratan rakyat. Daerah yang dimaksud dalam UUD

1945 adalah “daerah propinsi” dan “daerah yang lebih kecil dari daerah

propinsi”, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-

Undang. Otonomi daerah dalam pengertian UUD 1945 adalah desentralisasi

ketatanegaraan atau teritorial.

Otonomi daerah juga mengikuti ajaran sistem rumah tangga daerah,

dimana sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan

cara-cara membagi tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut

yaitu daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan, baik atas

dasar penyerahan maupun atas pengakuan ataupun dibiarkan sebagai urusan

rumah tangga daerah.20

19

Sumitro, dalam Dasar Hukum, Prinsip Dan Titik Berat Otonomi Daerah, Amsali Sembiring

(Thesis Universitas Sumatra Utara) 2008 20

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, hlm. 26.

Page 35: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

35

Dalam kepustakaan dikenal tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu

sistem rumah tangga formal, sistem sumah tangga materiil, dan sistem rumah

tangga rill. Sistem rumah tangga formal (fomale huishoudingsbegrip). Menurut

bagir manna adalah suatu pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab

antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

tidak ditetapkan secara rinci.21

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam

sistem rumah tangga formal, urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah

tidak ditentukan secara limitative di dalam peraturan perUndang-Undangan.

Otonomi yang di dasarkan pada ajaran rumah tangga formal, dipandang

dari isi-sifat urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pusat dan daerah tidak

terdapat perbedaan.22

Hal tersebut disebabkan setiap satuan pemerintahan yang

diserahi urusan dapat dipastikan mampu mengerjakannya. Yang lebih ditekankan

pada pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam sistem rumah

tangga formal adalah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional

dan praktis, sehingga dapat dilaksanakan sebaik-baiknya dan berhasil guna serta

dapat dipertanggungjawabkan.

Persoalan yang muncul dalam sistem rumah tangga formal adalah

tingkat kemampuan dan sumber daya daerah yang berbeda-beda antara satu dan

yang lainnya. Padahal secara teoritis, sistem rumah tangga formal itu dapat

memperbesar wewenang, tugas dan kewajiban atas urusan-urusan yang berada di

21

idem, hlm. 27. 22

Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta,

1993, hlm. 6.

Page 36: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

36

wilayahnya, sehingga sebenarnya ajaran rumah tangga formal lebih mendukung

pelaksanaan desentralisaisi.

Namun demikian hasil guna dan daya guna dari sistem rumah tangga

formal dalam praktiknya mengalami kesulitan untuk diwujudkan, hal ini

disebabkan karena :

1. Tinggkat hasil guna dan sistem rumah tangga formal sangat tergantung

pada kreativitas dan aktivitas daerah;

2. Hambatan lain adalah aspek keuangan daerah, meskipun daerah

mempunyai peluang yang luas untuk mengembangkan urusan rumah

tangga daerah, hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa ditopang oleh

sumber keuangan yang memadai.

3. tidak pua kalah pentingnya hambatan teknis. Daerah tidak dapat secara

mudah mengetahui urusan yang belum diselenggarakan pusat atau

Pemerintah Daerah tingkat lebih atas.23

Sistem rumah tangga materill (materiele

huishoudingsbegrip) berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada

perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah dianggap

memang mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang secara

material berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat.

Menurut sistem ini, pembagian tugas,wewenang dan tanggung jawab

antara pusat dan daerah ditentukan secara pasti atau limitative di dalam peraturan

perUndang-Undangan yang menjadi dasar pembentukanperaturan daerah.

Otonomi daerah menurut sistem rumah tangga materiil sifatnya terbatas

karena Daerah Otonom tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak disebut dalam

23

Bagir Manan, Hubungan Antara… , op.cit, hlm. 29.

Page 37: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

37

Undang-Undang pembentukannya. Langkah kerja dari daerah tidak dapat keluar

dari ketentuan ketentuan yang berlaku.24

Berdasarkan hal tersebut, maka segala sesuatu urusan yang tidak

tercantum dalam peraturan perUndang-Undangan sebagai urusan daerah, tetap

menjadi urusan pusat. Dicantumkannya urusan-urusan pemerintahan yang dapat

dilaksanakan oleh daerah, menjadikan daerah yang bersangkutan tidak

mempunyaipeluang untuk berinisiatif atas pemanfaatan dan peruntukan sumber-

sumber keuangan daerah.

Hal tersebut disebabkan Daerah “hanya” dapat mengurus dan mengatur

hal-hal tertentu saja. Oleh karena itu sistem rumah tangga materiil mempunyai

kecendrungan kearah yang tidak menguntungkan untuk mewujudkan hubungan

pusat dan daerah yang baik, khususnya yang berkaitan dengan keuangan. Hal

tersebut disebabkan sistem rumah tangga materiil memiliki beberapa kelemahan

yaitu : 25

a. Sistem rumah tangga materiil berpangkal tolak pada pemikiran yang

keliru yaitu menganggap bahwa urusan pemerintahan dapat dirinci dan

karena itu dapat dibagi-bagi secara rinci pula.

b. Sistem rumah tangga material lebih terasa mengekang, karena terikat

pada urusan pemerintahan yang secara rinci ditetapkan sebagai urusan

rumah tangga;

c. Sistem rumah tangga material akan lebih banyak

mengandung spanning hubungan antara pusat dan daerah.

24

Tjahja Supriatna, op.cit, hlm. 4. 25

Bagir Manan, Hubungan Antara… , op.cit, hlm.31.

Page 38: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

38

Sistem rumah tangga rill (riele huishoudingsbegrip) merupakan jalan

tengah atau midle range26

antara sistem rumah tangga formal dan sistem rumah

tangga materiil. Sistem ini sering disebut sebagai otonomi nyata atau otonomi

riil, karena isis rumah tangga daerah didasarkan kepada keadeaan daerah dan

faktor-faktor nyata.

Persoalan muncul adalah yang manakah yang dominan diantara kedua

teori itu ? Apakah keduanya berjalan secara seimbang ? menurut Bagirmanan

dari apa yang diuraikan Tresna, timbul kesan bahwa sebagai jalan tengah, sistem

rumah tangga riil ini lebih mengutamakan asas formalnya. Dalam sistem rumah

tangga formal terkandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kemandirian bagi

daerah, sedangkan sistem rumah tangga materiil akan merangsang timbulnya

ketidakpuasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah.27

Dalam sistem rumah tangga riil ini asas materil berperan memberikan

kepastian sejak awal mengenai urusan daerah, karena melalui sistem ini urusan

pangkal yang diserahkan untuk kemudian dikembangkan dengan sistem rumah

tangga formal yang lebih memberi kebebasan dan kemandirian. Aspek sistem

rumah tangga materiil dalam bentuk penyerahan urusan pangakal, disamping

aspek sistem rumah tangga formal, menjadi salah satu cirri yang membedakan

sistem rumah tangga riil dari teori otonomi lainnya.28

26

Tresna R, Bertamasya ke Taman Ke Tatanegaraan, Dibya, Bandung, tanpa tahun, hlm. 34. 27

Bagir Manan, Hubungan Antara… … , op. cit, hlm. 17. 28

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Di Negara Republik Indonesia, Jilid III,

Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 58.

Page 39: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

39

B. Pemerintahan Aceh

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat

dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah

kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh

Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Pengakuan

Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan

melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN

2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota

Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan

Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan

merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan

sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.

UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-Undang

Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Selain itu materi kekhususan dan

keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11/2006, sebagian

besar hampir sama dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh

Page 40: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

40

karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah (sepanjang

hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh).

Daerah Aceh dibagi atas Kabupaten dan Kota. Kabupaten dan Kota

adalah bagian dari Daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum

yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perUndang-Undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945,

yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota. Kabupaten/Kota dibagi atas

kecamatan. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat

daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.

Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan

pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain:

1. Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung

dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus

dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.

2. Dalam hal rencana pembentukan Undang-Undang oleh DPR yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan

konsultasi dan pertimbangan DPRA.

3. Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan

Pemerintahan Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan

khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perUndang-

Undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh, yang akan

Page 41: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

41

dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan Gubernur Aceh.

4. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama secara langsung dengan

lembaga atau badan di luar negeri sesuai kewenangannya, kecuali yang

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam naskah kerja sama

tersebut harus dicantumkan frasa “Pemerintah Aceh sebagai bagian

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

5. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan

seni, budaya, dan olah raga internasional.

6. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk

lembaga, badan, dan/atau komisi menurut UU 11/2006 dengan

persetujuan DPRA/DPRK, yang pembetukannya diatur dengan Qanun.

Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang

diatur dan diurus sendiri oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan

Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur

serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak

dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan

Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang terdiri atas

urusan wajib dan urusan pilihan, baik pada Pemerintahan di tingkat Aceh

maupun pemerintahan di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan berdasarkan kriteria

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian

hubungan antar pemerintahan di Aceh. Pembagian urusan pemerintahan yang

berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan

Kabupaten/Kota diatur dengan Qanun Aceh.

Page 42: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

42

Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang

merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh:

1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan

syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga

kerukunan hidup antarumat beragama;

2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;

3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi

muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;

4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan

5. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan

perUndang-Undangan. 29

Urusan wajib yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan

Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh, yang meliputi:

1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan

syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga

kerukunan hidup antarumat beragama;

2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;

3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi

muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan

4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Kabupaten/Kota.30

Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan tambahan dalam

hal:

1. menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah

Tsanawiyah dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan31

dan

2. mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. Dalam menjalankan

kewenangan ini Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan

Pemerintah Kabupaten/Kota.32

29

Pasal 16 ayat (2) huruf a sampai e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah

Aceh 30

Pasal 17 ayat (2) huruf a sampai d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah

Aceh 31

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh 32

Pasal 172 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh

Page 43: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

43

Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki

khususan yaitu dimasukkannya asas ke-Islaman. Penyelenggara Pemerintahan

Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan DPRA. Penyelenggara Pemerintahan

Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRK. Susunan

organisasi dan tata kerja Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota diatur lebih

lanjut dalam Qanun.

Gubernur atau Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang antara

lain melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara

menyeluruh. Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur antara lain

dalam pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at

Islam. Wakil Bupati/Wakil Walikota mempunyai tugas membantu

Bupati/Walikota antara lain dalam:

1. pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at

Islam;

2. pemberdayaan perempuan dan pemuda;

3. pemberdayaan adat;

4. pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan

kecamatan, Mukim, dan Gampong;33

Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh,

pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.

Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama

dengan DPRA. Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah

33

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh

Page 44: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

44

mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan

masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan

rancangan Qanun. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan Qanun harus

terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal diperlukan untuk

pelaksanaan Qanun, Gubernur dan Bupati/Walikota dapat menetapkan

Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan Bupati/Walikota.

C. Keuangan daerah

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara

optimal apabila penyelanggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian

sumber-sumber penerimaan yangc ukup kepada daerah dengan mengacu kepada

Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan

pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah.semua sumber keuangan

yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah

menjadi sumber keuangan.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan, antara lain

berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan

pemerintahan yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan

pajak dan restibusi daerah dan hak hak untuk mendapatkan bagi hasil dari

sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan

lainnya, hak untuk mengelola kekayaan didaerah dan mendapatkan sumber-

Page 45: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

45

sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.Hubungan

keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan

memberikan kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya secara

efektif.34

Untuk melakukan fungsi tersebut harus ada dukungan sumber-sumber

keuangan yang memadai, karena sangat menetukan kemandirian otonomi.

Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan

negara sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUKN adalah sebagai

berikut:

1. Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan

dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan

negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun

berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

2. Dari sisi subjek, yang dimaksud keuangan negara adalah meliputi seluruh

objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau

dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan

negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan

negara.

3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan

yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas

mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai

dengan pertanggung jawaban.

4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan,

dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau

penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara.

34

Widjaja HAW Penyelengaraan Otonomi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2005, hlm. 143

Page 46: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

46

Ketika berbicara mengenai hukum keuangan negara, berarti

membicarakan ruang lingkup keuangan negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup

keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUKN adalah :

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman.

2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.

3. Penerimaan negara.

4. Pengeluaran negara.

5. Penerimaan daerah.

6. Pengeluaran daerah.

7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak

lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang

dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada

perusahaan negara/perusahaan daerah.

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.

Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan

ertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan..35

dan

Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan

daerah. Kekuasaan umum pengelolaan Keuangan Daerah itu meliputi antara lain

35

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, Gramedia Jakarta 2001

Page 47: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

47

fungsi perencanaan umum, penyusunan anggaran, serta fungsi pengawasan dan

pertanggungjawaban.36

Sumber hukum konstitusional keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari

pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-

Undang dan dilaksankan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk

sebesar kemakmuran rakyat.

(2) Rancangan Undang-Undang anggaran dan pendapatan belanja negara

diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan

Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan

Daerah.

(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan

anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden,

Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun

lalu.

Pasal 23 A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 23 B

Macam dan harga mata uang di tetapkan dengan Undang-Undang.

Pasal 23 C

Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 23 D

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,

tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang.

36

Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi, Tantangan dan Hambatan,

Kemitraan, Jakarta 2005

Page 48: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

48

Pasal 23 E

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan

negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan

mandiri.

(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah sesuai dengan

kewenangannya.

(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan

dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang.

Adapun Undang-Undang yang terkait dengan keuangan negara adalah:

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa

Keuangan.

6. Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang

ditetapkan setiap tahun. Kecuali ditolak Dewan Perwakilan Rakyat,

maka Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang

lalu tetap digunakan.

Sumber Keuangan Negara

Pendapatan negara yang diperkenankan secara yuridis tersebar dalam berbagai

jenis. Hal ini dimaksudkan agar mudah dipahami substansi terhadap pendapatan

negara tersebut. Adapun jenis pendapatan negara sebagai sumber keuangan

negara adalah sebagai berikut:37

1. Pajak negara, yang terdiri dari:

a. Pajak penghasilan;

b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa;

c. Pajak penjualan atas barang mewah;

37

Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008, hlm 13

Page 49: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

49

d. Pajak bumi dan bangunan;

e. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan;

f. Bea materai.

2. Bea dan cukai yang terdiri dari:

a. Bea masuk;

b. Cukai gula;

c. Cukai tembakau.

3. Penerimaan negara bukan pajak yang terdiri dari

a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;

b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang

dipisahkan;

d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh

pemerintah;

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari

pengenaan denda administrasi;

f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah;

g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

Perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem

pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup

pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta

pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan

dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.

Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah, kewenangan

keuangan daerah yang melekat pada setiap daerah menjadi kewenangan daerah.

Dimana sumber-sumber penerimaan dalam pelaksanaan desentralisasi adalah

sebagai berikut :

1) Pendapatan asli daerah terdiri atas :

a. hasil pajak daerah

b. hasil restribusi daerah

Page 50: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

50

c. hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah

lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang

sah.

2) Dana perimbangan terdiri dari :

a. bagian daerah terdiri dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,

dan penerimaan dari sumber daya alam;

b. dana alokasi umum

c. dana alokasi khusus

d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Perihal keuangan menjadi hal yang sangat penting dan krusial dalam

konteks otonomi, oleh karena iti berkaitan dengan keuangan perlu dilaksanakan

secara profesional dan betangung jawab sebagaimana prinsip pengelolaan

keuangan negara.

Page 51: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

51

BAB III

DINAMIKA PEMERINTAHAN DAERAH INDONESIA

A. Pemerintahan daerah pada orde lama

Formalitas dan secara normatif mengenai pembentukan Negara Indonesia

pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bentuk negara Republik Indonesia pada

tanggal 18 Agustus 1945, didasarkan pada:

1. Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan

berlaku hukum nasional Indonesia menggantikan hukum kolonial

sebelumnya yaitu segenap aturan yang di buat oleh pemerintah Hindia

Belanda, dan pemerintah bala tentara Jepang serta peraturan yang melandasi

aturan tersebut, yang mulai tanggal 17 Agustus tahun 1945 harus

dilaksanakan sebagai aturan yang tunduk pada proklamasi kemerdekaan

Indonesia dimaksud (dikukuhkan dengan Peraturan Presiden RI No. 2

Tahun 1945).

2. Pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945 telah berfungsi lembaga kenegaraan

Indonesia, PPKI yang semula sebagai lembaga kebangsaan Indonesia sejak

tanggal 15 Agustus 1945, dengan kompetensi menerima kekuasaan negara

dari penguasa sebelumnya yaitu Jepang di Indonesia mewakili penguasa

Indonesia pada saat itu telah terbentuk Institusi Pemerintahan di

Wilayah/Daerah (Karesidenan, Kabupaten, Kota) dalam wilayah Indonesia

yang dinyatakan merdeka dengan proklamasi tersebut. Institusi

40

Page 52: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

52

pemerintahan tersebut yang dimaksud telah dibentuk pada dan oleh

pemerintah sebelumnya yaitu pemerintah Hindia Belanda sampai

pemerintah bala tentara Jepang.

Masa kemerdekaan Indonesia dan masa UUD 1945 sebelum perubahan

atau amandemen, meliputi:

1. Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, UUD

1945 belum ditetapkan dan belum berlaku.

2. Masa berlaku I (kesatu) UUD negara Republik Indonesia 1945 setelah

ditetapkan PPKI, mulai tanggal 18 Agustus 1945 sampai tanggal 27

Desember 1949 berlaku seluruh Indonesia.

3. Masa mulai tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus

1950, yaitu masa negara Republik Indonesia Serikat, dalam negara bagian

Republik Indonesia proklamasi berlaku UUD negara Republik Indonesia

1945, sebagai masa berlaku I (kesatu).

4. Masa mulai tanggal 17 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959, yaitu masa

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD sementara Negara

Republik Indonesia.

5. Masa berlaku II (kedua) UUD negara Republik Indonesia 1945, sejak

tanggal 5 Juli 1959 (dekrit Presiden Indonesia) sampai tanggal 19 Oktober

1999.

Page 53: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

53

6. Masa berlaku III(ketiga) UUD Negara Republik Indonesia 1945, sejak

tanggal 19 Oktober 1999, saat MPR RI mulai menetapkan dan menyatakan

dan berlaku perubahan atau amandemen terhadap beberapa ketentuan/pasal-

pasal UUD Republik Indonesia.

Landasan pembagian urusan pemerintahan dalam UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945:

1. Pada ketentuan Pasal 1 Ayat (1) BAB I, tentang prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan pasal 18 lama BAB VI tentang Pemerintahan

Daerah, berikut penjelasan pasal-pasal tersebut. Dalam kaitan ini, urusan

pemerintah pusat pada dasarnya berlandasan pada pasal-pasal dalam BAB

III, kekuasaan pemerintah negara sedangkan urusan Pemerintah Daerah

diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

2. Kemudian setelah perubahan/amandemen II dan IV, ketentuan tentang

Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1)

diperkuat dengan penyebutan NKRI dalam rumusan pasal 18 baru Ayat (1),

Pasal 18B Ayat (2), Pasal 25A dan kemudian dalam pasal 37 Ayat (5)

mengenai pengukuhan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta

ketentuan pasal-pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B BAB VI mengenai

Pemerintahan Daerah dan Desa atau Prinsip Desentralisasi.

Page 54: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

54

Pengaturan mengenai sistem pembagian urusan Otonomi Daerah mulai

pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah/KND

sampai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah mulai

tanggal 7 Mei 1999, kemudian mengenai amandemen terhadap pasal 18 lama

UUD 1945 sejak tanggal 18 Agustus 2000, dan TAP MPR RI No. IV/MPR/2000

Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, serta

TAP MPR RI No. 1/MPR/2003, khususnya rekomendasi tentang perubahan

terhadap UU No. 22 Tahun 1999 yang menjadi landasan tentang Pemerintahan

Daerah dimaksud, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku sampai.

Setiap Undang-Undang yang diberlakukan menandai terjadinya

perubahan dalam sitem pemerintahan daerah dan ini yang sangat erat kaitannya

dengan situasi politik nasional. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah

sebagaimana terurai berikut ini:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan

merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah

kemerdekaan. Undang-Undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Pada

dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah

Kolonial Belanda.

Page 55: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

55

Sebuah Komite Nasional Daerah didirikan pada setiap level kecuali tingkat

Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-

anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Sistem ini mencerminnkan

kehendak pemerintah untuk menerapkan prinsip desentralisasi dan

dekonsentrasi dalam sistem pemerintah daerah, namun penekanan lebih

diberikan kepada prinsip dekonsentrasi.38

Status Kepala Daerah adalah diangkat dan diambil dari keanggotaaan Komite.

Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang

terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah dan bukan

dipilih.

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti

Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi

dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang No.22

Tahun 1948 hanya mengatur daerah otonom dan sama sekali tidak

menyinggung daerah administratif. Undang-Undang tersebut hanya mengakui

3 tingkatan daerah otonom, yaitu: Propinsi, Kabupaten, atau Kotamadya dan

terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Eksekutif dipegang oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan

oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku

38

Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2010,

hlm. 147

Page 56: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

56

Ketua DPD, Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang

diusulkan oleh DPRD.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan yang lebih

jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-Undang ini adalah produk dari sistem

parlemen liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-partai

politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih

demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan dikalangan

Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintahan Pusat

di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No. 27

Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau

Camat (Suryaningrat, 1980).

4. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 November 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,

Pemerintah mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 untuk mengatur

Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Kepala Daerah

mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil pusat di

daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Selaku Kepala

Daerah ia langsung bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak dapat

dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil pusat di daerah ia bertanggung

jawab kepada Pemerintah Pusat. Penpres No. 6 Tahun 1959 menandai

beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah ke arah prinsip Dekosentrasi.

Page 57: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

57

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, kepala daerah tetap

memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil pusat di

daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam

sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap

saja walaupun diberi embel-embel vital.

B. Pemerintahan daerah pada orde baru

Adapun pokok-pokok pikiran yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

a. Otonomi daerah hendaknya memperkuat persatuan bangsa dan mendukung

pencapaian kesejahteraan rakyat.

b. Otonomi yang diberikan bersifat rill, dinamis dan bertanggung jawab.

c. Desentralisasi dan dekonsentrasi diterapkan secara bersamaaan dan tugas

perbantuan dapat dilaksanakan apabila diperlukan.

d. Pemberian otonomi adalah untuk tujuan yang bersifat administratif maupun

demokratis.

e. Pemberian otonomi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

pemerintah daerah terutama dalam pelayanan umum dan pelaksanaan

pembangunan di daerah.

f. Bahwa suatu daerah administratif dapat menjadi daerah otonom dan juga

sebaliknya suatu daerah otonom dapat dirubah menjadi administratif

Page 58: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

58

apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menjalankan otonominya

sebagaimana mestinya.

Prinsip Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

tiga prinsip utama yang diterapkan dalam sistem pemerintahan daerah yaitu:

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Undang-Undang ini

memberikan pengertian desentralisasi sebagai pelimpahan urusan-urusan

pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah tingakat atasnya kepada

pemerintah daerah untuk menjadi urusan daerah yang bersangkutan. Sedangkan

dekonsentrasi diberikan definisi sebagai pelimpahan kewenangan dari

pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal kepada pejabat-

pejabatnya di daerah. Tugas pembantuan diartikan sebagai kewajiban dari

Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah tingkat atasnya.

Terdapat 19 urusan yang menjadi isi rumah tangga (otonomi) daerah tingkat I.

Urusan-urusan tersebut sebagai berikut:

1. Pertanian 11. Sosial

2. Peternakan 12. Tenaga kerja

3. Perikanan darat 13. Lalu lintas angkutan dan LLAJ

4. Perikanan laut 14. Perumahan

5. Perkebunan karet rakyat 15. Pemerintahan umum

6. Kehutanan 16. Pertambangan

7. Pendidikan 17. Perusahaan daerah

8. Kesehatan 18. Perkebunan

9. Pekerjaaan umum 19. Pariwisata

Page 59: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

59

10. Perindustrian kecil

Adapun urusan-urusan yang dilimpahkan kepada daerah tingkat II yaitu:

1.Urusan Pemerintahan Umum 6.Urusan Peternakan

2.Urusan Kesehatan 7.Urusan Pendidikan

3.Urusan Pekerjaaan Umum 8.Urusan Perindustrian

4.Urusan Pertanian 9.Urusan pariwisata

5.Urusan Perikanan.

Secara keseluruhan organisasi pemerintahan daerah terdiri dari :

a. Kepala Daerah yang berperan selaku eksekutif daerah dan Wakil Pusat di

daerah yang bersangkutan.

b. Kantor Sekretariat Wilayah/Daerah yang dikepalai oleh Sekwilda.

c. DPRD yang berperan sebagai lembaga legislatif.

d. BAPPEDA yang berperan sebagai Lembaga Perencanaan Pembangunan

Daerah.

e. Dinas selaku unit pelaksana otonomi daerah .

f. Inspektorat yang bertindak selaku unit pengawas.

C. Pemerintahan daerah pada orde reformasi

Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Ada beberapa permasalahan mendasar yang patut dikemukakan

mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah.

1. Pertama , Undang-Undang ini telah menberikan peranan sentral kepada

DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan

besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala

Daerah dan bahkan Undang-Undang ini telah memposisikan Kepala daerah

untuk bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila pertanggungjawaban

Page 60: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

60

Kepala Daerah tidak memuaskan, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian

Kepala Daerah.

2. Kedua, kewenangan pemerintah daerah sangat besar bahkan sebagian ahli

dan praktisi mengatakan bahwa Undang-Undang No.22 tahun 1999

merupakan semi negara federal. Secara teoritis terdapat 4 urusan pusat yang

tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan

diplomatik luar negeri, urusan peradilan, dan urusan keuangan dalam

pengertian mencetak uang.

3. Ketiga, Pemerintah Daerah berhak membentuk kelembagaan daerah. Dengan

dikeluarkannya PP No. 88 Tahun 2000 yang diganti dengan PP No. 8 Tahun

2003 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi Pemerintah Daerah dan UU

No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan, maka Pemda akan

mempunyai diskresi yang tinggi dalm menentukan kelembagaan yang

optimal bagi Pemda.

4. Keempat , Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan yang luas dalam

manajemen kepegawaian daerah mulai dari rekruitmen, promosi, penggajian,

pendidikan dan pelatihan.

5. Kelima, sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi (pasal

3 UU No. 22 Tahun 1999) adalah:

a. Pendapatan Asli Daerah.

b. Dana Perimbangan.

c. Pinjaman Daerah.

d. Lain-lain Penerimaan daeerah yang sah.

Page 61: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

61

Dalam pasal 6, 7, dan 8 disebutkan sumber perimbangan sebagai berikut:

a. Bagian daerah sebanyak 90% dari penerimaan PBB.

b. Bagian daerah sebesar 80% dari Bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan.

c. Bagian daerah sebesar 80% dari sumber daya alam sektor kehutanan,

pertambangan umum, dan perikanan.

d. Bagian daerah sebesar 15% dari pertambangan minyak bumi ( setelah

dipotong pajak).

e. Bagian daerah sebesar 30% dari pertambangan gas alam ( setelah

dipotong pajak).

f. Dana alokasi umum 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan

dalam APBN dengan perincian 10% untuk Propinsi dan 90% untuk

Kabupaten/Kota.

g. Dana alokasi khusus untuk membantu membiayai kebutuhan khusus

ataupun kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Termasuk dalam dana alokasi khusus adalah 40% bagian daerah

penghasil dana reboisasi.

Keenam, Pemerintah memiliki peluang untuk meningkatkan manajemen

pelayanan umum. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

akuntabilitas Pemda dalam pelayanan adalah sebagai berikut;

a. Mewajibkan Pemda membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan

secara umum.

b. Melakukan temu wicara dengan masyarakat dan media massa.

c. Adanya pejabat yang diberi tugas dan bebas dari pengaruh birokrasi untuk

melakukan penilaian pelayanan.

d. Menciptakan keterkaitan antara kewajiban pembayar pajak dengan

pelayanan Pemda

Pada perjalanan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, muncul beberapa

Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang cukup signifikan bagi

perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.

Pertama, UU itu adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 62: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

62

Undang-Undang ini diterbitkan karena pelaksanaan Undang-Undang No. 44 Tahun

1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh

perlu diselaraskan dengan penyelenggaraan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang ini disahkan pada

tanggal 9 Agustus Tahun 2001. Butir-butir yang perlu diperhatikan yang lebih

besar adalah sebagai berikut:

a. Pengertian:

1) Wilayah Propinsi terbagi menjadi daerah-daerah Kabupaten/Sagoe dan

Kota/Banda.

2) Wilayah Kabupaten terbagi menjadi daerah-daerah Kecamatan/Sagoe

Cut atau nama lain.

3) Wilayah Kecamatan/Sagoe Cut terbagi menjadi daerah-daerah

Gampoeng atau nama lain.

b. Susunan, kedudukan, penjenjangan dan penyebutan pemerintahan

ditetapkan dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

c. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki otonomi khusus dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, tetap

berlaku sesuai peraturan.

d. Keuangan . sumber penerimaaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

meliputi:

1) Pendapatan Asli Daerah yang terdiri atas pajak daerah, restribusi

daerah, zakat, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan

kekayaaan daerah lainnya dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah

yang sah.

2) Dana perimbangan, bagian untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota, yang

terdiri dari:

a. 90% dari pajak bumi dan bangunan.

b. 80% bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

c. 20% pajak penghasilan pribadi.

d. 80% penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan.

e. 80% pada sektor pertambangan umum.

f. 80% pada perikanan.

g. 15% pada pertambanganu minyak bumi.

h. 30% pertambangan gas alam, setelah dikurangi pajak.

3) Dana Alokasi Umum ditentukan sesuai peraturan perUndang-

Undangan.

Page 63: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

63

4) Dana Alokasi Khusus ditentukan sesuai peraturan perUndang-

Undangan.

5) Penerimaaan dalam rangka otonomi khusus, terdiri atas:

a. 55% penerimaan dari pertambangan minyak bumi setelah

dikurangi pajak.

b. 40% penerimaan dari gas alam setelah dikurangi pajak.

c. Untuk selama 8 tahun, setelah 8 tahun masing-masing menjadi

35% dan 20%.

d. Mahkamah Syar’iyah

1) Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD sebagai bagian dari

sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah

yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syariat

Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut

dengan Qanun Propinsi NAD.

3) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diberlakukan bagi pemeluk

agama islam.

4) Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah Syar’iyah

Kabupaten/sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai

pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah tingkat

Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota

Propinsi.

5) Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi

dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

6) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman

setelah mendapat pertimbangan Gubernur Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.

7) Sengketa antara Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan dalam

tingkat lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik

Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat akhir.

8) Ketentuan peralihan : semua peraturan perUndang-Undangan

yang ada sepanjang tidak diatur dengan Undang-Undang ini

dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

9) Ketentuan palaksanaan Undang-Undang ini secara bertahap

harus telah dibentuk paling lambat dalam masa satu tahun

setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi suatu

keniscayaan. Hal itu mendasarkan pada beberapa alasan :

Page 64: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

64

a. Penyesuaian dengan perUndang-Undangan yang berlaku terutama setelah

adanya amandemen UUD 1945, UU Nomor 12 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang

susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan

UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Atas Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Negara

b. Munculnya permasalahan dalam pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999,

diantaranya:

1) Friksi antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah yang berkaitan

dengan perebutan kewenangan.

2) Munculnya ego-daerah dalam kehidupan politik, kepegawaian, dan

ekonomi.

3) Semakin rendahnya mutu pelayanan masyarakat.

4) Kurang harmonisnya hubungan antara Provinsi dengan

Kabupaten/Kota.

5) Kurang maksimalnya pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan

akibat praktik demokrasi parlementer dalam hubungan antara Kepala

Daerah dan DPRD.

6) Terjadinya proliferasi kelembagaan yang ada dilingkungan

pemerintahan daerah.

7) Kuatnya intervensi politik dalam penyelenggaraan roda pemerintahan

terutama dalam pembuatan anggaran dan kepegawaian daerah.

8) Lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan otonomi daerah.

9) Beberapa kebijakan daerah berseberangan dengan kebijakan

pemerintah pusat.

10) Adanya produk hukum daerah yang bertentangan dengan peraturan

perUndang-Undangan yang lebih tinggi.

Beberapa perubahan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di daerah setelah diberlakukannya UU Nomor 32

Tahun 2004, diantaranya:

a. Terminologi pemberian kewenangan dirubah menjadi pembagian urusan

sehingga muncul urusan pemerintahan wajib atau mutlak yang menjadi

urusan pemerintah pusat yaitu: politik luar negeri, pertahan, keamanan,

Page 65: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

65

moneter, yustisi, dan agama. Serta urusan concurrent atau urusan yang

menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten/kota.

b. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara

proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah

kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian

hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

c. Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah

yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah

daerah dan DPRD. Laporan penyelengaraan pemerintahan daerah kepada

pemerintah disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri,

dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1

(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

d. Pembagian urusan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota

lebih eksplisit dikemukakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004.

e. Lebih merinci syarat pembentukan daerah yaitu harus memenuhi syarat

administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintahan

daerah yaitu;

1) Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

2) Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang

diserahkan kepada daerah.

3) Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk

menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang

bersangkutan.

4) Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi

daerah.

5) Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil

rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

6) Adanya manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara efisien,

efektif, ekonomis dan akuntabel.

Pergeseran yang sangat mendasar dalam pengaturan kewenangan dalam

Undang-Undang no. 22 tahun 1999, adalah perubahan dari model penyerahan

urusan ke model pengakuan kewenangan. Dengan pengakuan kewenangan ini,

Page 66: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

66

daerah di beri kebebasan dan keleluasaan dalam penentuan bidang-bidang

pemerintah yang akan dilaksanakan, termasuk untuk kabupaten/kota dan

keleluasaan dalam penetapan kebijakan.

Dalam penjelasan pasal 9 UU Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan

pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota antara lain seperti

kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan

perkebunan. Kewenangan yang termasuk kewenangan pemerintahan tertentu

lainnya, yaitu:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro.

b. Pelatihan, bidang tertentu, alokasi, sumber daya manusia yang potensial,

dan penelitian yang mencakup wilayah provinsi.

c. Pengelolaan pelabuhan regional.

d. Pengendalian lingkungan hidup.

e. Promosi dagang dan budaya/pariwisata.

f. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman.

g. Perencanaan tata ruang provinsi.

Beberapa perubahan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di daerah setelah diberlakukannya UU Nomor

32 Tahun 2004, diantaranya:

a. Terminologi pemberian kewenangan dirubah menjadi pembagian urusan

sehingga muncul urusan pemerintahan wajib atau mutlak yang menjadi

urusan pemerintah pusat yaitu: politik luar negeri, pertahan, keamanan,

moneter, yustisi, dan agama. Serta urusan concurrent atau urusan yang

menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten/kota.

b. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara

proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah

kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian

hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

Page 67: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

67

c. Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan

daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu

pemerintah daerah dan DPRD. Laporan penyelengaraan pemerintahan

daerah kepada pemerintah disampaikan kepada presiden melalui

Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur

untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

d. Pembagian urusan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota

lebih eksplisit dikemukakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004.

e. Lebih merinci syarat pembentukan daerah yaitu harus memenuhi syarat

administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintahan

daerah yaitu;

1) Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan

daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

2) Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang

diserahkan kepada daerah.

3) Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk

menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah

yang bersangkutan.

4) Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan

otonomi daerah.

5) Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-

wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

6) Adanya manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara

efisien, efektif, ekonomis dan akuntabel.

Pengertian dasar otonomi, yaitu kemandirian. Daerah harus memiliki

keleluasaan untuk menentukan sendiri mengenai cara mengatur dan mengurus

urusan rumah tangganya sendiri. Memperbesar sumber keuangan daerah

merupakan salah satu cara yang mesti dilakukan. Subsidi senantiasa diperlukan

dengan berbagai tujuan samping untuk mencukupi keuangan daerah.

Otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam, memberikan peluang

untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih luas, nyata dan

Page 68: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

68

bertanggungjawab. Kewenangan yang lebih luas dan kemampuan menggali

sumber keuangan sendiri, didukung oleh perimbangan keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota

merupakan prasyarat sistem Pemerintahan Daerah.

Page 69: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

69

BAB IV

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM

PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

A. Pengelolaan dana otonomi khusus berdasarkan Peraturan PerUndang-

Undangan yang berlaku

Tambahan Dana otonomi bagi Provinsi Aceh telah dikenal melalui

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi

Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam tersebut

dalam Pasal 4 ayat (1) Sumber penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

meliputi:

a. pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

b. dana perimbangan;

c. penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi

d. khusus;

e. pinjaman Daerah; dan

f. lain-lain penerimaan yang sah.

selanjutnya pada ayat (4) disebutkan bahwa penerimaan dalam rangka otonomi

khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c, berupa tambahan

penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya

alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak,

yaitu sebesar 55%(lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi

dan sebesar 40% (empat puluhpersen) untuk pertambangan gas alam selama

delapan tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

58

Page 70: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

70

Melalui keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh (UUPA) yang sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 18

tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. dimana penyalurannya dimulai sejak tahun

2008 sebagaimana disebut dalam Pasal 183 ayat (2) UUPA “Dana Otonomi

Khusus untuk tahun pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008”.dan

hingga tahun 2011 total dana otsus yang telah diterima oleh Provinsi Aceh adalah

sebesar Rp 15,4 triliun.

Pengelolaan dana otonomi khusus tidak diatur secara jelas dalam UUPA

dan tidak juga diatur dalam Undang-Undang lain, disamping itu juga dalam

ketentuan penutup UUPA yaitu pada Pasal 269 disebutkan ;

(1). Peraturan perUndang-Undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini

diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-

Undang ini.

(2). Peraturan perUndang-Undangan di bawah Undang-Undang yang

berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi

Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Secara umum ketentuan mengenai dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal

183 UUPA

(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2)

huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk

membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan,

serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

(2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku

untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun

pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan

2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun

keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara

dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.

Page 71: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

71

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah

Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3.

(4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh

dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan

antarkabupaten/ kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi

khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah

Provinsi Aceh.

(5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam

Qanun Aceh.

Pengelolaan dana otonomi khusus dilaksanakan berdasarkan Qanun Aceh

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil

minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus yang disahkan pada

tanggal 22 Januari 2008 oleh DPRA bersama dengan Gubernur Aceh, Qanun

tersebut lahir sebagai amanah dari Pasal 183 ayat (5) UUPA seperti tersebut di

atas.

Pengelolaan dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 9 Qanun

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil

minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus

1. Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 setiap

tahunnya ditransfer ke dalam rekening Kas Umum Aceh.

2. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diadministrasikan pada Pemerintah Aceh.

Ketentuan tersebut sama seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 183

ayat (4) UUPA, kemudian mengenai pengalokasian diatur dalam Pasal 11

khususnya ayat (6) “Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk

Page 72: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

72

pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan

Pimpinan DPRA.” Sehingga jelas bahwa dana otonomi khusus yang diterima

oleh Pemerintah Aceh yang berada dalam rekening kas umum Aceh tidak

diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bentuk dana tunai tetapi

hanya berupa Pagu. Sementara pelaksanaannya dilaksanakan dilakukan oleh

Pemerintah Aceh, hal itu disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) “Program dan

kegiatan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a

yang telah dikaji dan disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Kabupaten/Kota, dilaksanakan, diawasi dan dipertanggungjawabkan oleh

Pemerintah Aceh.”

Oleh karena kekhususan Aceh maka pelaksanaan Pemerintah Aceh

sepanjang diatur dalam UUPA maka tentu menjadi acuan utama dalam

pelaksanaan, sehingga begitupula dengan pengelolaan dana otonomi khusus

seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana

otonomi khusus, hal itu berarti pengelolaan dana otonomi khusus bersifat

sentralistik (terpusat pada Pemerintah Aceh), tentunya tidak sejalan dengan

prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang menitik beratkan kewenangan

pada Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pengelolaan dana otonomi khusus dapat digambarkan sebagai berikut :

Page 73: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

73

Salah satu Pendapantan

Daerah yang diberikan

oleh Pemerintah Pusat

yaitu Dana perimbangan

dan salah satunya dana

bagi hasil minyak dan

gas bumi.

Disamping itu Dana

Otsus juga termasuk

dalam Pendapatan

Daerah yang diberikan

oleh Pemerintah Pusat

Disalurkan oleh Pemerintah

Pusat dan termasuk dalam

APBA, lalu diberikan PAGU-

nya kepada Pemkab/Pemkot

Pemkab/Pemkot bersama

DPRK merumuskan Program

sesuai dengan PAGU, lalu

dimusyawarahkan dan

disepakati bersama

Pemerintah Aceh

Program yang telah

disepakti tersebut

dijalankan/dilaksanakan

oleh Pemerintah Aceh

Pemerintah Pusat Pemerintah Aceh Pemkab/Kot +

DPRK

Pemkab/Pemkot +

Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh

Rencana pengunaan dana otsus

oleh Kabupaten/Kota kemudian

dimusyawarahkan dengan

Pemerintah Aceh untuk

disepakati bersama

Gambar I

Skema Pengelolaan Dana Otsus

61

Page 74: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

74

Dana Otsus

Dilaksanakan, diawasi &

dipertanggung jawabkan oleh

Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh sbg

Eksekutor Pengawasan &

Evaluasi oleh DPRA

Pertanggung jawaban

dan Pelaporan kpd

Pemerintah Pusat

Diberikan kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam

bentuk PAGU. Pasal 16 dan 17 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008

Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana

Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan

Dana Otonomi Khusus

Gambar II

Skema Pelaksana Kegiatan Dana Otsus

Page 75: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

75

Dari ilustrasi diatas maka dapat dijelaskan bagaimana Kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan

Aceh. UUPA merupakan landasan yuridis dalam pengelolaan dana otonomi

khusus, UUPA hanya mengatur secara prinsip bagaimana pengelolaan dana

otonomi khusus tersebut dan secara teknis pengelolaan diatur dalam Qanun

nomor 2 Tahun 2008. Berdasarkan Qanun tersebut diketahui bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kota tidak diberikan kewenangan untuk mengelola dana otonomi

khusus secara penuh, karena Qanun tersebut telah membatasi pengalokasian dana

otonomi khusus, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Qanun Nomo2 Tahun

2008

(1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditujukan

untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan, terutama

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi

rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan

kesehatan.

(2) Selain ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dana Otonomi Khusus dapat juga

dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka

pelaksanaan keistimewaan Aceh.

Selain pembatasan tersebut dana otonomi khusus tidak diberikan secara

langsung dalam bentuk sejumlah uang kepada Pemerintah Kabupaten/Kota,

tetapi hanya diberikan dalam bentuk pagu yang telah ditetapkan

jumlahnyasebelumnya dengan formula pembagian seperti disebutkan dalam

Pasal 11 Qanun Nomor 2 Tahun 2008

62

Page 76: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

76

(1) Pengalokasian Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 dilakukan dengan perimbangan sebagai berikut :

a. Paling banyak 40% (empat puluh persen) dialokasikan untuk

program dan kegiatan pembangunan Aceh;

b. Paling sedikit 60% (enam puluh persen) dialokasikan untuk

program dan kegiatan pembangunan Kabupaten/Kota.

(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. dibagi antar

kabupaten/kota setiap tahun dengan menggunakan suatu formula yang

memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antar

kabupaten/kota

(3) Formula penghitungan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) menggunakan beberapa indikator seperti jumlah penduduk, luas

wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan

Konstruksi (IKK) dan indikator lainnya yang relevan.

(4) Formula penghitungan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) ditetapkan oleh Gubernur.

(5) Dalam memperhitungkan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

Pemerintah Aceh wajib menyiapkan data dan informasi yang

diperlukan.

(6) Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk

pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat

persetujuan Pimpinan DPRA.

Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara

Pengalokasian TambahanDana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan

Penggunaan Dana Otonomi Khusus, strukturorganisasi pengelola dana otsus

adalah sebagai berikut :

Gambar III

Struktur Organisasi Pengelola Dana Otsus

Page 77: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

77

Struktur pengelola dana otsus Aceh terdiri dari :

1. Gubernur Aceh

Gubernur Aceh merupakan Kepala Pemerintahan Provinsi Aceh yang

memperolehalokasi dana otsus dari Pemerintah Pusat. Gubernur bersama-

sama dengan DPRAmenetapkan alokasi penggunaan dana otsus untuk

Pemerintah Provinsi dan PemerintahKabupaten/Kota dengan

mempertimbangkan usulan dari Bupati/Walikota dan DPRK.

2. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

DPRA melakukan pembahasan usulan penggunaan dana otsus yang

diusulkan olehGubernur Aceh serta melakukan pengawasan penggunaan

dana otsus. Tim KoordinasiProvinsi Gubernur DPRA Aceh Bupati/Walikota

DPRKPengguna Anggaran(SKPA di Provinsi)Kuasa Pengguna

Anggaran(SKPA di Provinsi)Kuasa Pengguna Anggaran(SKPK di

Kabupaten/Kota)

3. Pengguna Anggaran (PA)

Pengguna Anggaran adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA)

yang ditunjukoleh Gubernur untuk mengelola anggaran yang berasal dari

dana otsus, baik yang menjadialokasi provinsi maupun kabupaten/kota.

Pengguna Anggaran berkedudukan di provinsi dan dibantu oleh Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA) yang berkedudukan di provinsi dan KPA yang

berkedudukan di kabupaten/kota.

Page 78: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

78

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Provinsi

KPA Provinsi adalah pejabat SKPA yang ditunjuk oleh Gubernur untuk

membantuPengguna Anggaran dalam mengelola dana otsus yang menjadi

alokasi Provinsi.

5. Bupati/Walikota

Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan kabupaten/kota yang bersama-

sama DPRKmembuat usulan penggunaan dana otsus yang dialokasikan

kepada kabupaten/kota.

6. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK)

DPRK melakukan pembahasan usulan penggunaan dana otsus yang diajukan

olehbupati/walikota dan hasil pembahasan ini akan disampaikan kepada

Pemerintah ProvinsiAceh.

7. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Kabupaten/Kota

KPA Kabupaten/Kota adalah pejabat Satuan Kerja Perangkat

Kabupaten/Kota (SKPK)yang ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan

Bupati/Walikota untuk membantu Pengguna Anggaran dalam mengelola

dana otsus yang menjadi alokasi Kabupaten/Kota.

8. Tim Koordinasi Provinsi

Tim Koordinasi Provinsi adalah tim yang dibentuk oleh gubernur untuk

membantuGubernur dalam merumuskan formula penghitungan alokasi dana

otsus, menyusun kriteriadan persyaratan seleksi program yang dapat didanai

dari dana otsus, menilai kesesuaian program yang diusulkan dan

Page 79: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

79

menyediakan bantuan teknis yang diperlukan dalam pengelolaan dana otsus.

Tim Koordinasi Provinsi terdiri dari unsur Pemerintah Aceh,Pemerintah

Kabupaten/Kota dan tenaga ahli yang relevan.

Skema alokasi dana otonomi khusus dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar IV

Skema alokasi dana otonomi khusus

Anggaran dan Realisasi

Estimasi Jumlah penerimaan dana otsus Pemerintah Provinsi Aceh dari

Pemerintah Pusat dari tahun 2008 sampai dengan 2027 adalah sebagai berikut :

Page 80: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

80

Tabel I

Estimasi penerimaan dana otsus Aceh39

Estimasi ketersediaan Dana Otsus Hingga tahun 2027

Tahun Jumlah

2008 Rp 3,590,142,897,000

2009 Rp 3,728,282,000,000

2010 Rp 3,849,806,840,000

2011 Rp 4,400,000,000,000

2012 Rp 4,444,000,000,000

2013 Rp 4,488,440,000,000

2014 Rp 4,533,324,400,000

2015 Rp 4,576,657,644,000

2016 Rp 4,624,444,220,440

2017 Rp 4,670,688,662,644

2018 Rp 4,717,395,549,271

2019 Rp 4,764,569,504,764

2020 Rp 4,812,215,199,811

2021 Rp 4,860,337,351,809

2022 Rp 4,908,940,725,327

2023 Rp 2,479,015,066,290

2024 Rp 2,503,805,216,953

2025 Rp 2,528,843,269,123

2026 Rp 2,554,131,701,814

2027 Rp 2,579,673,018,832

Jumlah Rp 79,614,713,268,078

untuk periode TA 2008 s.d.TA 2010 adalah sebagai berikut :

39

hermawan, makalah kebijakan dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil minyak

dan gas, dipresentasikan pada kegiatan fgd “review terhadap sistem dan implementasi otonomi khusus

di indonesia” oktober 2011

Page 81: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

81

Tabel II

Penerimaan Dana Otonomi Khusus Prov. Aceh Tahun 2008 – 2010

No. TA Alokasi Otsus sesuai Permenkeu Diterima Kas Daerah Provinsi Aceh

No. & Tgl. Permenkeu Jumlah No. Tgl. Nota Kredit Jumlah (Rp)

1 2008 PMK No. 56/PMK.07/2008 Tgl : 22- Apr-2008

Rp 3,590,142,897,000.00 CN No. 4847/KPO.03/VIII/2008 11-Agus-2008

Rp 538,521,435,000.00

CN No. 4938/KPO.03/IX/2008 26-Sept-2008

Rp 1,077,042,869,000.00

CN No. 5028/KPO.03/XI/2008 5-Nov-2008

Rp 1,436,057,159,000.00

CN No. 5071/KPO.03/XIII/2008 11-Des-2008

Rp 538,521,434,000.00

Jumlah Rp 3,590,142,897,000.00

2 2009 PMK No. 204/PMK.07/2008 Tgl : 10-Des-08

Rp 3,728,282,000,000.00 CN No.200/KPO.03/IV/2009 30-Apr-2009

Rp 559,242,300,000.00

CN No.456/KPO.03/VIII/2009 30-Apr-2009

Rp 1,118,484,600,000.00

CN No.654/KPO.03/XI/2009 Rp 1,491,312,800,000.00 CN No.710/KPO.03/VII/200817 Des 09

Rp 559,242,300,000.00

Jumlah Rp 3,728,282,000,000.00

3 2010 PMK No. 160/PMK.07/2009 Tgl : 4-Nov-2009

Rp 3,849,806,840,000.00 CN No. 261/KPO.05/V/2010 Tgl : 1 May 2010

Rp 577,471,026,000.00

CN No.476/KPO.03/VIII/2010 Tgl : 3 Aug 2010

Rp 1,154,942,052,000.00

69

Page 82: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

82

CN No.607/KPO.03/IX/2010 Tgl 21 Sept 2010

Rp 1,539,922,736,000.00

CN No…../KPO.05/…../2010 Tgl ; 20 Des 2010

Rp 577,471,026,000.00

Jumlah Rp 3,849,806,840,000.00

3 2011 PMK No. 160/PMK.07/2009 Tgl : 4-Nov-2009

Rp 4,400,000,000,000.00 CN No.

CN No.

CN No. CN No

Rp 4,400,000,000,000.00 Jumlah total Rp 15,568,231,737,000.00 Jumlah total Rp 15,568,231,737,000.00

Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)

70

Page 83: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

83

Penyaluran Dana Otonomi Khusus baik Aceh maupun Papua, dan Papua

Barat dilaksanakan secara bertahap, yaitu :

1. Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 15% dari alokasi.

2. Tahap II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30% dari alokasi.

3. Tahap III dilaksanakan pada bulan September sebesar 40% dari alokasi.

4. Tahap IV dilaksanakan pada bulan November sebesar 15% dari alokasi.

Dana otsus tersebut setiap tahun ditransfer ke rekening Kas Umum

Daerah Provinsi Aceh dan pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Aceh

melalui APBD untuk membiayai program dankegiatan

pembangunan/pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,

pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan serta

pembangunandalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh.

Pemanfaatan dana otsus tersebut dilakukan melalui mekanisme APBD

Provinsi Aceh dan dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh. Alokasi dana otsus ditetapkan dengan

Peraturan Gubernur setiap tahun. Rincian alokasi,anggaran dan realisasi

penggunaan dana otsus untuk TA 2008 s.d TA 2010 adalah sebagai berikut :

Page 84: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

84

Tabel III

Anggaran dan Realisasi Penggunaan Dana Otsus untuk TA 2008 s.d TA 2010

No T.A Alokasi Pergub Aceh Pengunaan Dana Otsus

Anggaran Realisasi Sisa Dana Pergub Sisa Anggaran

1 2 3 4 5 6 = 3-5 7 = 4-5

1 2008 Rp 3,530,630,000,000.00 Rp 2,191,354,173,567.00 Rp 825,685,125,609.00 Rp 2,704,944,874,391.00 Rp 1,365,669,047,958.00

No. 50 Tahun 2008

2 2009 Rp 3,530,630,000,000.00 Rp 3,727,751,407,543.00 Rp 3,035,606,281,103.00 Rp 495,023,718,897.00 Rp 692,145,126,440.00

No. 56 Tahun 2009

3 2010 Rp 3,728,281,999,998.00 Rp 3,833,536,971,042.00 Rp 3,728,281,999,998.00 Rp 3,833,536,971,042.00

No. 903/4803 Th 2009

Jumlah Rp 10,789,541,999,998.00 Rp 9,752,642,552,152.00 Rp 3,861,291,406,712.00 Rp 6,928,250,593,286.00 Rp 5,891,351,145,440.00

Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)

Page 85: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

85

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Provinsi Aceh, BPK memberikan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan otonomi

khusus Provinsi Aceh, oleh Pemerintah Pusat diberikan sumber-sumber

keuangan kepada Pemerintah Aceh berupa pendapatan daerah dan pembiayaan,

termasuk melalui pemberian dana otonomi khusus yang ditujukan bagi

peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sebagai tindak lanjut dari

pemberian dana otonomi khusus, oleh Pemerintah Aceh dibentuk Qanun Aceh

Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus dengan

sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh. “Namun sangat

disayangkan, sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh

dalam implementasinya tidak berjalan dengan efektif dan proses transparansi

keuangan tidakdijalankan sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance yang

menunjukkan buruknya pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.”40

Dana otonomi khusus pada dasarnya ditujukan bagi peningkatan

pemberian pelayanan kepada masyarakat (public service). Pemberian pelayanan

kepada masyarakat akan berjalan secara efektif dan efesien, apabila proses

pelayanan tersebut didekatkan kepada masyarakat dan bukan dijauhkan. Oleh

karena itu, proses pemberian pelayanan harus dapat didekatkan kepada

masyarakat melalui pelimpahan kewenangan pengelolaan dana otonomi khusus

kepada Kabupaten/Kota agar pelaksanaan dana otonomi khusus dapat berjalan

40

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, laporan Hasil Pemeriksaan atas

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada

Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011.

Page 86: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

86

lebih efektif dan efesien sebagaimana tersebut dalam asas-asas umum

penyelengaraan pemerintahan yang baik maupun asas penyelengaraan pelayanan

publik seperti dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik.. Selain itu,mengingat pentingnya fungsi anggaran

dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka dana otonomi khusus Provinsi Aceh

harus dapat dikelola dengan sebaik-baiknya melalui reformasi sistem

pengelolaan dana otonomi khusus yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good

Governance. Pembaruan sistem pengelolaan keuangan diperlukan agar

pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sejalan

dengan makna demokrasi berdasarkan konsep value for money sehingga tercipta

akuntabilitas publik.

Masalah koordinasi terhadap dana Otsus Aceh juga masih lemah.

Akibatnya DPRA menyarankan agar Gubernur Aceh dapat menyamakan persepsi

dengan pihak kabupaten kota dalam pemanfaatan dana otonomi khusus guna

mengarahkan pembangunan dengan terpadu dan terfokus untuk kesejahteraan

masyarakat.41

Merujuk Pasal 179 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh.

(1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah

dan Pembiayaan.

(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber

dari:

41

DPRA, 12 Rekomendasi LKPJ Gubernur Aceh, www.theglobejournal.com diakses 11 Februari

2012

Page 87: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

87

a. Pendapatan Asli Daerah;

b. Dana Perimbangan;

c. Dana Otonomi Khusus; dan

d. lain-lain pendapatan yang sah.

Meskipun pada Pasal tersebut dana otonomi khusus disebutkan sebagai

salah satu sumber penerimaan kabupaten/kota, namun dana otonomi khusus

menurut pasal 183 ayat (1) dan ayat (4) UUPA, tidak langsung ditransfer oleh

pemerintah pusat kedalam penerimaan kabupaten/kota, melainkan ditransfer

menjadi penerimaan Pemerintah Aceh. Program pembangunan provinsi dan

program pembangunan kabupaten/kota, kewenangan dan tanggung jawabnya

berada pada masing-masing pemerintahan. Oleh karena itu Pasal 183 ayat (4)

dengan tegas mengatur bahwa dana otonomi khusus harus digunakan untuk

membiayai program pembangunan Provinsi, juga program pembangunan

kabupaten/kota. Dengan demikian, program pembangunan pemerintah aceh yang

didanai dengan dana otonomi khusus adalah dilaksanakan oleh pemerintah aceh,

sehingga demikian pula program pembangunan kabupaten/kota yang didanai

dengan dana otonomi khusus adalah dilaksanakan oleh kabupaten/kota masing-

masing.

Pasal 183 ayat (4) UUPA ditegaskan bahwa semua dana otonomi khusus

menjadi penerimaan transfer provinsi dari pemerintah pusat, yang kemudian

sebagian dari dana itu digunakan untuk membiayai program pembangunan

kabupaten/kota adalah kewenangan dari kabupaten/kota baik dari

penganggaranya maupun pelaksanaannya. Dengan demikian ketentuan pasal 183

Page 88: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

88

ayat (4) merupakan penegasan terhadap ketentuan dalam Pasal 179 ayat (2) huruf

c, bahwa dana otonomi khusus adalah juga penerimaan kabupaten/kota. Untuk

melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota dengan dana otonomi

khusus.

Definisi kabupaten/kota berdasarkan pasal 1 angka 3 UUPA.

“Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan

masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dalam sistem dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.”

Pasal 18 UUD 1945 sebagai prinsip penyelengaraan Pemerintah Daerah

menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang

tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. **)

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum. **)

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis. **)

Page 89: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

89

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **)

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan. **)

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang. **)

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan

kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **)

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras

berdasarkan Undang-Undang. **)

Asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan

pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh

pemerintah daerah itu sendiri dan juga penugasan oleh pemerintah provinsi

kepada pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah

kabupaten/kota ke desa.

Pengertian Otonomi dalam lingkup suatu negara selalu dikaitkan dengan

daerah atau pemerintah daerah (local government). Otonomi dalam pengertian

ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke

daerah juga berarti menghargai atau mengefektifkan kewenangan asli yang sejak

semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi sistem prosedur

pemerintahan negara di daerah. “Manifestasi dari terselengaranya otnomi di

Page 90: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

90

daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab

berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah”.42

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam

penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah :

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan

keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertanggung jawab

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah

kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan

otonomi yang terbatas.

Muhammad Hatta43

mengemukakan gagasannya tentang Otonomi

Daerah sebagai berikut :

“ Apabila susunannya otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan

mengurus terlalu banyak tersangkut di atas sedikit yang sampai ke bawah.

Dalam ketentuan semacam ini sudah dapat diduga bahwa titik berat

daripada otonomi itu akan terletak pada propinsi. Dalam keadaan semacam

ini otonomi Kabupaten bisa terjepit, otonomi desa tidak akan hidup.

Lambat-laun orang didaerah memandang Propinsi itu sebagai suatu

konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat, sehingga berbagai bagiannya

ingin menjadi Propinsi tersendiri.

Lahirnya kebijakan Otonomi Daerah yaitu “untuk menyelamatkan

pemerintahan dan keutuhan Negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban

yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah

daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan”.44

Sejalan dengan

prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang diletakkan

42

Johan Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah :Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan

Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta Jakarta 2007 43

Muhammad Hatta Demokrasi dan Otonomi (Harian Keng Po, 27 April 1957) 44

Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ; Desentralisasi, Demokrasi dan

Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press Jakarta 2007

Page 91: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

91

pada daerah kabupaten dan kota, maka pembinaaan, pengawasan, dan koordinasi

dengan pemerintah desa dan kelurahan sepanjang bukan lintas kabupaten dan

kota, dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten dan kota yang

bersangkutan, termasuk pengawasan terhadap peraturan desa dan kepala desa.

Hubungan Provinsi dengan Kabupaten/Kota Sebagai sesame daerah otonom

adalah hubungan koordinasi. Jadi bukan hubungan hirarki antara atasan dan

bawahan, seperti skema berikut :

Gambar V

Skema Hubungan Koordinasi Pemerintah Daerah

Garis putus-utus antara pemerintah daerah prvinsi dengan pemerintah

Kabupaten/Kota menunjukan hubungan koordinasi sesama daerah otonom

Page 92: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

92

sedangkan garis lurus yang diperlihatkan antara wilayah administrasi Provinsi

dengan Pemda Kabupaten/Kota menunjukan hubungan hirarkis.45

Berdasarkan prinsip otonomi sebagaimana tersebut dalam UUD 1945

kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah

pusat. Daerah memiliki kewenangan membentuk kebijakan daerah untuk

memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Muhamma

Hatta juga menebutkan :

Desentralisasilah, bukan sentralisasi, yang menjadi dasar bagi cita-

cita tolong-menolong dalam asas kolektivitisme yang tumbuh dalam

masyarakat Indonesia, pada bagian lain juga disebutkan bahwa Indonesia

yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu

mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan, kecil dan besar,

mendapatkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.46

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksankan pula prinsip otonomi yang

nyata dan bertanggung jawab. Nyata berarti daerah memiliki potensi untuk

merealisasikan isi dan jenis otonomi yang dilimpahkan. Dengan demikian isi dan

jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Adapun arti otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

45

Hanif Nurcholis, Teori danPraktik ; Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo Jakarta

2001 46

Syamsuddin Haris, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, LIPI Press Jakarta

2007

Page 93: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

93

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud

pemberian otonomi.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk

menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya

(yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000). Disamping

itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam

penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

pengendalian dan evaluasi.

Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan

kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan

diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Otonomi yang

bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai

konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas

dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian

otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang

semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan

serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar

daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan

pelaksanaan Pembangunan, maka Undang-Undang tersebut meletakkan titik

Page 94: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

94

berat otonomi pada Daerah Kabupaten/Kota yang langsung berhubungan dengan

masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-

aspirasi masyarakat tersebut.

Dalam ketentuan umum, pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004,

dirumuskan, “ Otonomi daerah adalah, hak, wewenang dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndang-

Undangan”.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak :

a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.

b. Memilih pimpinan daerah.

c. Mengelola apratur daerah.

d. Mengelola kekayaan daerah.

e. Memungut pajak daerah dan restribusi daerah.

f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya yang berada di daerah.

g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, dan.

h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perUndang-

Undangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban :

a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan

nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.

c. Mengembangkan kehidupan demokratis.

d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan.

e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.

f. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.

g. Menyediakan fasilitas kesehatan.

Page 95: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

95

h. Menyediakan sistem jaminan sosial.

i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.

j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

k. Melestarikan lingkungan hidup.

l. Mengelola administrasi kependudukan.

m. Melestarikan nilai sosial budaya.

n. Membentuk dan menerapkan peraturan perUndang-Undangan sesuai

dengan kewenangannya, dan.

o. Kewajiban lain yang di atur dalam peraturan perUndang-Undangan.

Sebagai daerah otonomi propinsi dan kabupaten adalah dua bentuk

otonomi yang setara, tidak bersifat hirarkis atau subordinasi. Dalam kedudukan

sebagai daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan

yang setara pula.Propinsi selain merupakan daerah otonom, juga berkedudukan

sebagai wilayah administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari

pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. “Otonomi untuk daerah

Provinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas

Kabupatendan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan

tertentu lainnya”.47

Mengenai prinsip koordinasi antara Pemerintah Aceh dengan

Pemerintah Kabupaten/Kota juga disebut dalam Pasal 14 ayat (1) “Pembagian

dan pelaksanaan urusan pemerintahan, baik pada Pemerintahan di Aceh maupun

pemerintahan di kabupaten/kota dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas,

47

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Membangun Format Baru Otonomi

Daerah Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001

Page 96: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

96

akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan

antarpemerintahan di Aceh.” Selain itu juga berdasarkan asas-asas umum

penyelengaraan pemerintahan yang baik good governance dan UUPA juga

menyebutkan dalam Pasal 20 Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan

pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan

pemerintahan yang terdiri atas:

a. asas ke-Islaman;

b. asas kepastian hukum;

c. asas kepentingan umum;

d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan;

e. asas keterbukaan;

f. asas proporsionalitas;

g. asas profesionalitas;

h. asas akuntabilitas;

i. asas efisiensi;

j. asas efektivitas; dan

k. asas kesetaraan.

Tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan dan

kesejahteraan masyarakat. Ukuran keberhasilan otonomi daerah adalah

terwujudnya kehidupan yang lebih baik, lebih adil dalam memperoleh

penghasilan/pendapatan terlindungnya dari segala gangguan, dan tercipta rasa

aman serta lingkungan hidup yang lebih nyaman

Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaaan

masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan,

pelaksanaan , dan pengawasan serta memberikan pelayanan publik.

Page 97: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

97

B. Kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana

otonomi khusus

Implementasi dana Otonomi Khusus sampai saat ini belum dapat

berjalan dengan baik tentunya terdapat hambatan dalam pengelolaannya sehingga

tidak terlaksana apa yang diharapkan yaitu untuk membiayai program dan

kegiatan pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,

pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan

pendidikan, sosial dan kesehatan. Disamping itu, dana otsus dapat juga

dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka pelaksanaan

keistimewaan Aceh yang dituangkan dalam program Pembangunan Provinsi dan

Kabupaten/Kota..

Misalnya yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara yang tidak terealisasi.

Total anggaran tahun 2009 mencapai Rp 32 miliar. Pada tahun 2008 lalu

sebetulnya persoalan dana Otsus ini telah mencuat, namun belum banyak pihak

yang mengetahui kendala utama dalam implementasinya. Kepala Dinas

Pendidikan Aceh Utara, M Jamil, menyebutkan persoalan teknis menjadi kendala

utama dana itu. Penelusuran Kontras, awalnya seluruh dinas di kabupaten

mengusulkan anggaran itu ke provinsi, termasuk disain dan rancangan anggaran

biaya (RAB) yang dibutuhkan.48

Setelah proses pengusulan tersebut selesai, maka dinas Provinsi yang

hanya memiliki wewenang. Mereka yang akan menyempurnakan RAB dan disain

48

Kontras, Gagalnya Realisasi Dana Otsus, Edisi 4 Januari 2010

Page 98: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

98

bangunan. Menjadi permasalahan karena dinas pendidikan provinsi tidak hanya

menangani satu kabupaten saja. Namun, sebanyak 23 kabupaten/kota di Aceh

juga harus dilayani. Akibatnya, banyak disain dan RAB yang tidak selesai

dikerjakan sampai akhir tahun49

. Padahal sejak tahun 2008 sampai saat ini alokasi

dana otsus selalu meningkat sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel IV

Rincian Penerimaan Dana Otsus Aceh

Tahun Nominal

2008 Rp 3,5 triliun

2009 Rp 3,7 triliun

2010 Rp 3,8 triliun

2011 Rp 4,4 triliun

Jumlah yang telah diterima Rp 15,4 triliun

2012 Rp 5,4 triliun

Sumber ; Data Olahan

Bahkan banyak pihak yang mempertanyakan pengelolaan dana otsus dan

memberikan penilaian negatif terhadap Pemerintah Aceh karena dianggap tidak

serius dalam memanfaatkan dana Otsus.50

Seperti yang disebutkan oleh Mirwan

Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI.

“ Aceh sudah menerima dana Otsus sejak 2008 sampai 2010 dengan total Rp

11 triliun lebih. Namun, sampai saat ini tidak kelihatan pembangunan

signifikan yang dibiayai oleh dana Otsus dimaksud. “Angka kemiskinan

49

ibid 50

Serambi Indonesia, Pemerintah Aceh Belum Serius Kelola Dana Otsus, Edisi 8 Februari

2010

Page 99: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

99

Aceh masih tetap tinggi. Ini membuktikan bahwa dana Otsus selama ini

tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan”.51

Dari hasil penelitian diketahui juga beberapa faktor penghambat

diantaranya :

1. Pengelolaan yang sentralistik

Pelaksanaan dana Otsus oleh Pemerintah Aceh merupakan bentuk yang

sentralistik karena Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dilibatkan secara

langsung dalam pelaksanaannya, atau tidak adanya pelimpahan kewenangan

dan tanggung jawab dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota sehingga terdapat beberapa permasalahan yang dapat

menghambat dalam pengelolaan dana otsus di Aceh, yaitu :

a. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan dana otsus secara

keseluruhanberada pada Pemerintah provinsi sehingga apabila terdapat

dana otsus yang tidak terserap, maka akan menjadi SiLPA bagi

Pemerintah provinsi Aceh. Pemerintah kabupaten/kota diberikan

kewenangan memanfaatkan dana otsus melalui mekanisme pengusulan

program kegiatan bukan pengelolaan dana otsus serta menjadi pelaksana

kegiatan program yang diusulkan melalui penunjukan KPA pada

masing-masing kabupaten/kota. Pembagian wewenang dan tanggung

jawab seperti ini berpotensi menimbulkan permasalahan, yaitu apabila

51

Serambi Indonesia, DPR dan DPD minta BPK Audit Dana Otsus Aceh,

www.aceh.tribunnews.com, diakses tanggal 21 januari 2011.

Page 100: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

100

pemanfaatan SiLPA yang berasal dari dana otsus tidak diatur secara

tegas, maka Pemerintah provinsi berpotensi akan memanfaatkan SiLPA

yang berasal dari dana otsus untuk membiayai kegiatan di luar bidang-

bidang yang menjadi sasaran kegiatan otsus. Apabila hal ini terjadi,

maka target pembangunan seperti yang dirancang dalam rencana induk

akan sulit tercapai dan akan banyak kegiatan pembangunan yang

dibiayai dari dana otsus menjadi terbengkalai.

b. Apabila terdapat permasalahan dalam realisasi kegiatan dana otsus yang

menjadi alokasi kabupaten/kota, maka pihak pemerintah provinsi akan

cenderung menyatakan bahwa masalah tersebut menjadi tanggung jawab

pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, sementara itu

pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan menganggap bahwa

permasalahan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.

Sebagai contoh apabila dalam pelaksanaan kegiatan dana otsus yang

dialokasikan kepada kabupaten/kota untuk pembangunan gedungsekolah

dan puskesmas, dan pembangunan gedung menjadi tidak tuntas dan

terbengkalai, maka pemerintah provinsi menyatakan bahwa yang harus

bertanggung jawab adalah pemerintah kabupaten/kota yang

bersangkutan karena usulan program dan pelaksanaannya dilakukan

oleh pemerintah kabupaten/kota,begitu pula pemerintah kabupaten/kota

juga akan menyatakan bahwa pemerintah provinsi yang harus

bertanggung jawab karena pemerintah provinsi yang berwenang

Page 101: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

101

mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan kegiatan

pembangunanyang terbengkalai tersebut.

c. Status aset yang berasal dari kegiatan dana otsus yang dialokasikan

kepada pemerintah kabupaten/kota sebelum ada serah terima aset dari

pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota adalah milik

pemerintah provinsi dan apabila telah diserahterimakan (dihibahkan)

kepada pemerintah kabupaten/kota, maka status aset akan menjadi milik

pemerintah kabupaten/kota. Sebagian besar asset-aset hasil kegiatan

dana otsus yang dialokasikan kepada pemerintah kabupaten/kota belum

dilakukan proses serah terima, sehingga pihak kabupaten/kota belum

dapat mencatat aset tersebut dalam Neraca pemerintahkabupaten/kota

dan alokasi biaya pemeliharaan belum dianggarkan oleh pemerintah

kabupaten/kota. Kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah pada

pemanfaatan aset-aset hasil kegiatan dana otsus yang akan diserahkan

kepada kabupaten/kota, yaitu aset-aset tersebut akan cenderung

terbengkalai dan tidak diberikan biaya pemeliharaan oleh pemerintah

kabupaten/kota.

d. Jangkauan Pemerintah Aceh sangat terbatas karena dengan SDM yang

terbatas harus menjangkau 23 Kabupaten/Kota di Aceh, hal tersebut

berakibat tidak efektifnya proyek yang dikerjakan.hal itu terbukti dari

pengamatan Gubernur saat melakukan peninjauan secara langsung

Page 102: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

102

keseluruh Kabupaten dan Kota di Aceh dan menemukan beberapa

proyek yang terlantar, telat rampung, tidak sesuai dan lain sebagainya.52

Kondisi tersebut juga berakibat pada hasil yang dikerjakan tidak sesuai

sebagaimana mestinya, tidak adanya kerjasama antara Pemerintah Aceh

dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga menyebabkan banyaknya

kebocoran atau penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga dana yang telah

dianggarkan tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Dana Otonomi Khusus

yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh

yang mengungkap beberapa temuanya, diantaranya :53

1) Dinas Bina Marga dan Cipta Karya

a) Pekerjaan Lanjutan Pembangunan dan Rehabilitasi Drainase

Perkotaan Kabupaten Nagan Raya Lebih Bayar Sebesar

Rp157.666.980,00

b) Pembangunan Rumah Sederhana Sehat pada Kabupaten

Simeulue Sebanyak 46 UnitMengalami Keterlambatan

c) Realisasi Belanja Modal TA 2009 Sebesar Rp4.000.000.000,00

Dipergunakan untukBantuan Pembangunan Masjid Agung

Kabupaten Aceh Tamiang dan Sampai Dengan31 Desember

2010 Pembangunan Fisik Masjid Belum Terealisasi

d) Biaya Pemancangan pada Pembangunan Lanjutan Asrama

Mahasiswa IpelmajaKabupaten Aceh Jaya Lebih Bayar Sebesar

Rp17.431.555.20

e) Pelaksanaan Dua Paket Pekerjaan TA 2009 Senilai

Rp1.913.764.000,00 di KabupatenAceh Jaya Terbengkalai dan

52

Harian Serambi Indonesia, 11 Hari Memburu Kontraktor Nakal, (Edisi 2 Desember 2011) 53

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Ace, laporan Hasil Pemeriksaan atas

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada

Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011

Page 103: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

103

Satu Paket Pekerjaan TA 2010 Senilai Rp1.727.411.000,00di

Kota Langsa Tidak Dapat Dimanfaatkan

f) Pekerjaan Pemeliharaan Jalan Nyak Adam Kamil Senilai

Rp1.269.596.000,00Terbengkalai

g) Hasil Pekerjaan Pembangunan Jalan dan Jembatan Senilai

Rp47.353.494.000,00 TidakDapat Dimanfaatkan Secara

Optimal

h) Kemajuan Fisik Paket Pekerjaan Pembangunan Jalan dan

Jembatan SenilaiRp3.397.917.000,00 Masih Rendah

i) Kekurangan Volume Pekerjaan Pembangunan Jalan dan

Jembatan TA 2010 SenilaiRp67.615.910,64

j) 16 Paket Pekerjaan Pembangunan Jalan Multi Years

Diselesaikan Tidak Sesuai denganNilai Kontrak Induk dan

Alokasi Anggaran yang Telah Ditetapkan

k) Terdapat Pekerjaan Pembangunan Jalan Panteraja–Cubo–Jiem–

Jiem-Pagu SenilaiRp158.575.361,00 pada TA 2010 yang Telah

Dikerjakan pada TA 2009

l) Pembangunan Dua Buah Tiang Pilar Untuk Rangka Baja

Jembatan Alue WakiKabupaten Nagan Raya Tahun 2008

senilai Rp859.571.995,46 Dipergunakan UntukJembatan Balley

Tidak Sesuai Rencana Awal

m) Terjadi Kelebihan Pembayaran Sebesar Rp118.969.196,50 atas

PekerjaanPembangunan Jalan Jantho-Bts. Aceh Jaya (Tahun

Jamak)

n) Pekerjaan Pembangunan Jembatan dan Gedung TA 2008

Sebanyak Tujuh PaketSenilai Rp29.851.098.000,00 pada Dinas

Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Aceh Terbengkalai

2) Dinas Pengairan

a) Pada 14 Paket Pekerjaan Sektor Pengairan Terdapat

Kekurangan Volume PekerjaanSenilai Rp116.095.692,87 dan

Pembayaran Melebihi Nilai Kontrak SebesarRp66.520.383,37

b) Enam Paket Pekerjaan Sektor Pengairan Terlambat

Diselesaikan dan BelumDikenakan Denda Keterlambatan

Senilai Rp176.724.958,00

c) Jaminan Pelaksanaan, Jaminan Uang Muka serta Jaminan

Pemeliharaan dari EmpatRekanan yang Wanprestasi Senilai

Page 104: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

104

Rp1.388.316.450,00 Belum Dicairkan danDisetorkan ke Kas

Daerah

d) Dua Paket Hasil Pekerjaan Sektor Pengairan TA 2009 Senilai

Rp3.352.261.920,00Terbengkalai

e) Hasil Pekerjaan Senilai Rp1.840.371.223,23 dari Sembilan

Paket Pekerjaan SektorPengairan Mengalami Kerusakan

3) Dinas Pendidikan

a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan Pada Lima

Kabupaten TerjadiKelebihan Bayar/Kekurangan Volume

Pekerjaan Minimal Senilai Rp111.110.557,86

b) Penyelesaian Paket Pekerjaan Pada Dinas Pendidikan

Kabupaten Gayo LuesTerlambat dan Belum Dikenakan Sanksi

Denda Keterlambatan SebesarRp84.592.200,00

c) Hasil Pekerjaan Pembangunan Gedung yang Dibiayai dari

Dana Otsus DinasPendidikan Provinsi Aceh TA 2008 senilai

Rp1.700.605.000,00 Terbengkalai

4) Dinas Kesehatan

a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Kesehatan TA 2010 pada

Delapan KabupatenKota Mengalami Kelebihan

Bayar/Kekurangan Volume Pekerjaan

SebesarRp834.674.069,01

b) Tagihan Pembayaran Kegiatan Non Fisik Yang Bersumber

Dari Dana Otsus padaDinas Kesehatan Kabupaten Aceh

Tamiang Sebesar Rp1.154.006.800,00 HanyaDidukung dengan

Bukti Pertanggungjawaban Proforma dan Berindikasi Fiktif

c) Hasil Pekerjaan Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Tidak

Sesuai KetentuanPerjanjian Kontrak dan Berpotensi Merugikan

Keuangan Daerah SebesarRp201.935.489,00

d) Hasil Pekerjaan Pembangunan Sarana dan Prasarana Bidang

Kesehatan pada LimaKabupaten/Kota Senilai

Rp20.556.764.200,00 Belum Dimanfaatkan

e) Penyelesaian Pekerjaan Penataan Lingkungan RSU Kota

Jantho Kabupaten AcehBesar Terlambat dan Belum Dikenakan

Sanksi Denda Keterlambatan Minimal

SebesarRp25.609.446,00

Page 105: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

105

f) Biaya Langsung Non Personil pada Pekerjaan DED

Perencanaan dan Master PlanRSIA Subulussalam Kelebihan

Penganggaran dan Pembayaran SebesarRp6.387.500,00

5) Dinas Pertanian Tanaman Pangan

a) Kegiatan Konstruksi Perluasan Baku Sawah TA 2010 pada

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Subulussalam Senilai

Rp1.191.441.000,00 Tidak Dapat Diselesaikan TepatWaktu

b) Pembayaran Biaya Upah Kerja Kegiatan Optimasi Lahan Pola

Padat Karya SektorPertanian di Kabupaten Aceh Selatan

Sebesar Rp2.847.880.000,00 Tidak didukungdengan Bukti

Pertanggungjawaban yang Sah

6) Dinas Kehutanan dan Perkebunan

a) Pekerjaan Pengadaan Instalasi Jaringan Air Penyiram di

Kabupaten Aceh TimurTidak Sesuai Ketentuan dan Terjadi

Kelebihan Pembayaran Sebesar Rp35.617.000,00

b) Pembebanan PPN dalam Pengadaan Bibit Tanaman Pada Dinas

Perkebunan danKehutanan Memboroskan Keuangan Daerah

Sebesar Rp254.080.000,00

c) Perencanaan Pengadaaan Bibit Jernang pada Dinas Kehutanan

dan PerkebunanKabupaten Pidie Tidak Sesuai dengan

Kebutuhan sehingga Memboroskan KeuanganDaerah Sebesar

Rp181.350.000,00

d) Perencanaan Pekerjaan Pengadaan Tanaman Kopi pada Dinas

Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Bener Meriah

Mengandung Kelemahan Sehingga TerjadiKelebihan

Pengadaan Bibit Kopi dan memboroskan Keuangan Daerah

SebesarRp4.990.227.000,00

e) Pembebanan PPh dalam RAB Pengadaan Barang pada Dinas

Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Bireuen sebesar

Rp34.225.932,00 Tidak Sesuai Ketentuan

f) Enam Perusahaan Rekanan Tidak Dapat Menyelesaikan

Pekerjaan Land ClearingSesuai dengan Kesepakatan dalam

Kontrak dan Jaminan Pelaksanaan SenilaiRp1.213.912.850,00

Tidak Dicairkan dan Disetor Ke Kas Daerah

Page 106: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

106

g) Pekerjaan Pembangunan Kebun Kelapa Sawit TA 2008 dan TA

2009 pada 13Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Senilai

Rp29.340.000.000,00 Tidak Mencapai Targetdan Bibit Sawit

Senilai Rp2.542.263.975,00 Belum Disalurkan kepada

Masyarakatpada Empat Kabupaten/Kota

h) Pengadaan Bibit Kelapa Sawit TA 2008 dan 2009 pada

Kabupaten Aceh Timur SenilaiRp2.996.610.000,00 dan

Pengadaan Bibit Kelapa Sawit TA 2009 pada Kabupaten

AcehSelatan Senilai Rp3.388.649.550,00 Tidak Sesuai dengan

Spesifikasi dalam Kontrak danBerindikasi Merugikan

Keuangan Daerah

7) Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)

a) Serah Terima Aset Tetap Hasil Pengadaan TA 2008 s.d. 2010

yang Dibiayai DanaOtonomi Khusus Senilai

Rp22.393.362.075,00 kepada Pemerintah

Kabupaten/KotaBelum Disertai dengan Bukti Kepemilikan

yang Sah

b) Penyerapan Dana Otonomi Khusus Tidak Mencapai Target dan

Sisa DanaDipergunakan untuk Membiayai Kegiatan Di Luar

Sasaran Kegiatan Otonomi Khusus

2. Pembatasan peruntukan

Selain Pengelolaannya yang sentralistik peruntukan dana Otsus mupun

dana Migas yang telah dibatasi juga disebut sebagai salah satu kendala

karena pada akhirnya Pemerintah Kabupaten/Kota dalam merumuskan

program/proyek harus merujuk pada pembatasan tersebut, sehingga

Pemerintah Kabupaten/Kota tidak boleh mengunakan dana tersebut diluar

batasan yang ada.

Page 107: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

107

3. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia khususnya aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota

juga diakui belum sepenuhnya memadai sehingga tidak dapat bekerja

dengan optimal khususnya dalam menyusun program-program Kabupaten

yang akan diajukan kepada Pemerintah Aceh.

Kebijakan dan praktik yang terkait dengan sumber daya manusia

Rekrutmen dan penempatan pegawai di lingkungan pemerintah provinsi

dankabupaten/kota belum sesuai dengan kebutuhan masing-masing

dinas/unit kerja,sehingga tidak sedikit beberapa pegawai menempati posisi

yang tidak sesuai dengan keahlian dan latar belakang pendidikannya.

Selain itu, pola rotasi dan penggajian pegawai yang berbeda-beda juga

turut mendorong penyebaran pegawai yang tidak seimbang, yaitu terdapat

jumlah pegawai yang berlebihan/menumpuk pada suatu dinas/unit kerja

tertentu atau kabupaten/kota tertentu, namun di lain pihak terdapat

dinas/unit kerja atau kabupaten/kota yang mengalami kekurangan. Kondisi

ini akan menghambat pencapaian tujuan kegiatan dana otsus karena dana

otsus dikelola oleh pegawai yang tidak memiliki keahlian (tidak

profesional).

4. Birokrasi yang panjang

Birokrasi yang panjang juga dirasa sebagai hambatan dalam implementasi

dana otsus, karena sebagaima telah digambarkan diatas bahwa seluruh

program yang akan dibiayai melalui dana otsus harus terlebih dahulu

Page 108: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

108

diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dimana pengajuan tersebut

harus telah melalui persetujuan bersama dengan DPRK, baru kemudian

akan dipelajari oleh Pemrintah Aceh.

Sebagaimana diketahui bahwa pada tingkat perumusan kegiatan oleh

Pemerintah Daerah dan DPRK saja bisa memakan waktu yang panjang

belum lagi dengan Pemerintah Aceh.Contoh permasalahan yang terjadi

yaitu di Kabupaten Aceh Selatan, dimana DPRK Aceh Selatan meminta

agar Gubernur meninjau kembali usulan kegiatan yang diajukan oleh

Pemerintah Daerah karena dinilai menyalahi prosedur.54

Persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRK harus

dituangkan secara tertulis sebagai bukti tanda persetujuan yang harus

dilampirkan dalam pengajuan Program yang akan dibiayai oleh dana

Otsus. Pengajuan oleh setiap Kabupaten.Kota tersebut akan dibahas

bersama oleh Pokja Pemerintah Aceh dengan DPRA, jika tidak terdapat

bukti persetujuan bersama antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan

DPRK maka usulan tersebut akan ditolak oleh DPRA.55

5. Intervensi

Kendala lain yang dialami oleh Pemerintah Kota/Kabuten adalah adanya

intervensi dari Pemerintah Aceh dalam pemanfaatan dana otsus, hal ini

54

Harian Analisa, Pemprov diimbau Tinjau Ulang Usulan Kegiatan Otsus 2012 Aceh Selatan,

www.analisadaily.com (diakses Minggu 29 Januari 2012)

55 Gerak Aceh, Dokumen Pendukung Tak Tersedia: DPRA Tolak Bahas Proyek Otsus 2011,

www.gerakaceh.org

Page 109: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

109

terjadi karena adanya ketergantungan dari Pemkab/Pemkot terhadap

Pemerintah Aceh yang berkuasa terhadap dana otsus, seperti halnya yang

terjadi pada Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, dimana Seorang oknum

pejabat di Dinas Bina Marga Provinsi Aceh di Kota Banda Aceh, diduga

telah melakukan pemerasan terhadap Pemerintah Kabupaten Aceh Barat

khususnya panitia pelaksana pembangunan di setdakab setempat sebesar

Rp 1,2 miliar atau sekitar 4 persen dari total pagu proyek dana Otonomi

Khusus (Otsus) sebesar Rp 40 Miliar, yang dianggarkan dalam tahun

2011.56

Intervensi lain yang sangat krusial adalah setiap usulan program yang

diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dapat saja ditolak baik

seluruhnya ataupun sebagaian juga dapat direvisi oleh Pemerintah

Provinsi, padahal program yang diajukan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota tersebut sudah melalui pembahasan bersama dengan

DPRK dan telah disetujui bersama. Sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota

merasa bahwa pembahasan bersama DPRK prihal program atau kegiatan

yang akan dibiayai dengan dana otsus tidak terlalu berarti.

6. Tidak adanya RPJM

Hingga saat ini Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Aceh

belum tuntas sehingga pemanfaatan dana otonomi khusus belum maksimal

56

Harian Serambi Indonesia, Oknum Bina Marga Aceh Peras Pemkab Aceh Barat Rp 1,2

miliar (edisi rabu, 27 juli 2011).

Page 110: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

110

hal tersebut karena tidak terdapat acuan mengenai arah pembangunan

yang sinergi sehingga program-program yang ada tidak memiliki visi

keberlanjutan.

7. Tidak adanya pengaturan tentang SILPA

Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai sisa dana yang tidak habis

terserap atau terpakai dalam tahun setiap tahun yang telah dianggarkan

menyebabkan banyaknya program yang tidak tuntas hal tersebut karena

sisa dana otsus yang tidak habis pakai menjadi silpa Pemerintah Aceh, dan

tidak adanya ketentuan mengenai bagaimana seharusnya silpa tersebut

dimanfaatkan sehingga menjadi silpa umum dan dapat digunakan untuk

keperluan apa saja tanpa ada keterikatan pengunaannya.

Berdasarkan kondisi-kondisi sebagaimana tersebut di atas maka

Seluruh Kabupaten/Kota sejak lama telah mengupayakan agar adanya perubahan

dalam sistem pengelolaan dana otonomi khusus dimana Pemerintah

Kabupaten/Kota diberikan kewenangan penuh untuk dapat mengelola dana

tersebut. Melalaui Forum Kabupaten Kota Aceh (FKKA) yang telah terbentuk

sejak tahun 2003 upaya-upaya agar pengelolaan dana otonomi khusus bisa

terlaksana dengan baik telah dilakukan sejak tahun 2009 sampai dengan saat ini,

tentu setelah melakukan evaluasi terhadap implementasi program yang dibiayai

oleh dana otsus tahun 2008, adapun upaya yang telah dilakukan diantaranya :

Page 111: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

111

1. Advokasi

Advokasi yang dilakukan seperti melalui media masa, melalui diskusi-

diskusi baik skala nasional seperti dengan Dirjen Otonomi Daerah

Kementerian Dalam Negeri, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga dengan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), juga seperti Rapat Dengar

Pendapat (RDP) dengan Kementerian Keuangan maupun Kementrian Dalam

Negeri. Sedangkan dalam skala local, yang melibatkan banyak unsur

Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi, SKPA, DPRA, Akademisi/Pakar,

NGO maupun kalangan masyarakat sipil.

Dimana berdasarkan diskusi maupun rapat dengar pendapat oleh berbagai

pihak kesimpulan yang didapat adalah “Kabupaten Kota dapat mengelola

dana otonomi khusus secara penuh dan hal tersebut sudah merupakan

haknya”.

2. Mengajukan legislative review

Sejak tahun 2009 FKKA telah berupaya untuk mengajukan perubahan

terhadap Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian

tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana

otonomi khusus, namun baru pada tahun 2010 Qanun tersebut masuk dalam

Prioritas (Proleg) namun sampai dengan saat ini perubahan atas Qanun

tersebut juga belum rampung, bahkan belum dilakukan pembahasannya

sama sekali.

Page 112: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

112

Sekalipun sampai saat ini perjuangan Pemerintah Kabupaten Kota yang

dimotori oleh FKKA belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan,

namun upaya-upaya tersebut tetap dilakukan karena sebagaimana amanah UUPA

bahwa terkait dengan teknis pengelolaan dana Otonomi Khusus diatur dalam

Qanun Aceh, dan hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintahan Provinsi

(DPRA dan Gubernur) sehingga upaya Advokasi dan Lobi-lobi politik tetap

dilakukan.

Page 113: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

113

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan dari permasalahan, maka telah didapat

beberapa kesimpulan yang diambil guna menjawab permasalahan dari penelitian.

Dalam bab ini juga berisikan saran yang merupakan solusi hukum terhadap

permasalahan yang diteliti secara akademik.

A. Kesimpulan

1. Pengelolaan dana otonomi khusus yang sentralistik sebagaimana diatur

dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian

tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana

otonomi khusus, disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak

diberikan dalam bentuk transfer namun diberikan dalam bentuk pagu, tentu

sistem seperti itu sangat bertentangan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya, nyata dan bertanggung jawab sebagaimana telah diadopsi dalam

peraturan-perundang undangan seperti Undang-Undang Pemerintahan

Daerah. Demikian juga dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh yang

menyebutkan bahwa Dana otonomi khusus juga merupakatan penerimaan

kabupaten/Kota yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah

Aceh sebagaimana disebutkan dalam pasal 179 UUPA.

2. Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kendala dalam praktik pengelolaan

dana otonomi khusus, hal itu diketahui dari banyaknya temuan Badan

102

Page 114: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

114

Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah Aceh yang menunjukan belum

efektifnya pengelolaan Dana Otonomi Khusus yang telah berjalan sejak

tahun 2008 sampai dengan 2010. Beberapa kendala diantaranya, sistem

pengelolaan yang sentralistik, Pembatasan Peruntukan, Tidak adanya

Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP/M), Birokrasi

yang panjang, Intervensi Pemerintah Aceh, sisa dana otsus yang tidak habis

pakai oleh setiap Kabupaten/Kota menjadi Silpa Pemerintah Aceh, dan juga

kendala klasik yaitu Sumber Daya Manusia (SDM). Kendala-kendala

tersebut tidak terlepas dari pengaturan sistem pengelolaan yang tidak

aspiratif atau tidak menggakomodir kepentingan pemerintah daerah.

B. Saran

1. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) harus memprioritaskan

pembahasan dan pengesahan perubahan Qanun Nomor 2 Tahun 2008

tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan

Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, tentunya dengan

memperluas kewenangan Perintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana

Otonmi Khusus dengan memperhatikan prinsip otonomi seluas-luasnya,

nyata dan bertanggung jawab, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintah Aceh sebagai acuan juga aspirasi dari kabupaten/kota

maupun berbagai kajian ilmiah.

Page 115: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

115

2. Pemerintah Kabupaten/Kota harus berupaya mengatasi seluruh kendala yang

selama ini dihadapi, tentu bukan sesuatu yang mudah namun dapat dilakukan

dengan skala prioritas, agar manfaat dari dana otonomi khusus dapat

dirasakan secara nyata dan adil oleh seluruh masyarakat Aceh.

Page 116: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

116

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, Tahun 1993

---------------, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2009.

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, Gramedia Jakarta 2001

Arief Mulyadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara

Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, Jakarta 2005.

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Membangun Format Baru

Otonomi Daerah Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001

Frits Bernard Ramendey, dkk, Profil Otonomi Khusus Papua, Aliansi Jurnalis

Independen Papua, 2005.

Hanif Nurcholis, Teori danPraktik ; Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Grasindo Jakarta 2001

Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Dalam Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV. Utomo Bandung 2005

Johan Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah :Suatu Solusi Dalam Menjawab

Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta Jakarta 2007

Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia : Menemukan

Kembali Masa Depan Bangsa, Mizan, Jakarta 2008

Local Governance Support Program (LGSP), Reformasi Organisasi Pengelolaan

Keuangan Daerah, 2009

Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta 2010

Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana,

Jakarta 2009

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1998

105

Page 117: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

117

Muhammad Djafar, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008

Murtir Jeddawi, Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah,

Total Media Yogyakarta 2011

Ni’matul Huda, Otonomi Daerah : Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan

Problematika, Pustaka Pelajar, 2005

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka

Mandiri, Jakarta 2010

Nyoman Sumaryadi I, Otonomi Daerah Khusus dan Birokrasi Pemerintah

Indonesia, 2006

Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi, Tantangan dan

Hambatan, Kemitraan, Jakarta 2005

Piran Wiroatmojo, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Lembaga Administrasi

Daerah R.I 2005

Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2010

Rizal Alfian, Otonomi Daerah : Perspektif, Teoritis dan Praktis, Bigraf, Malang

2001

Sadu Wasistiono, dkk. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan Legalistik, Teoritik dan

Implementatif. Bandung, Fokusmedia. 2006

Salamoen Soeharyo dan Nasri Effendi, Sistem Penyelengaraan Pemerintahan

Negara Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara R.I 2004

Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Kontruksi sampai Implementasi,

Rajawali Pers, Jakarta 2009

Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ; Desentralisasi,

Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press Jakarta

2007

Syamsuddin Haris, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, LIPI Press

Jakarta 2007

Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, GI Jakarta 1983

Page 118: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

118

Widjaja HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2005

B. Peraturan PerUndang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana

Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi

C. Majalah dan Surat Kabar

Kontras, Gagalnya Realisasi Dana Otsus, edisi 4 Januari 2010

Masriadi Sambo, Konspirasi Kepentingan di APBA 2010, Kontras edisi 30 Maret

2010

Serambi Indonesia, Pemerintah Aceh Belum Serius Kelola Dana Otsus, Edisi 8

Februari 2010

D. Internet

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, laporan Hasil Pemeriksaan

atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus

Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda Aceh

dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011

DPRA : 12 Rekomendasi LKPJ Gubernur Aceh, www.theglobejournal.com

diakses 11 Februari 2012

Page 119: PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

119

Gerak Aceh, dokumen pendukung tak tersedia: dpra tolak bahas proyek otsus

2011, www.gerakaceh.org

Harian Analisa, Pemprov diimbau tinjau ulang usulan kegiatan otsus 2012 Aceh

selatan, www.analisadaily.com (diakses minggu 29 januari 2012)

Harian Serambi Indonesia, 11 Hari Memburu Kontraktor Nakal, (edisi 2

Desember 2011)

Harian Serambi Indonesia, Oknum Bina Marga Aceh Peras Pemkab Aceh Barat

Rp 1,2 miliar (edisi rabu, 27 juli 2011).

Muhammad Hatta demokrasi dan otonomi (harian keng po, 27 april 1957)

NN, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, www.google.com, diakses 4

Oktober 2010

Restu Maharani, Teori Kewenangan, www.restumaharani.co.cc, diakses tanggal

19 Agustus 2011.