KRITIK MODERNISASI PERTANIAN ORDE BARU PANDANGAN MAJALAH TRUBUS (1969-1978)
APRILIA DAN KASIJANTO
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH, FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA, UNIVERSITAS INDONESIA
Abstrak
Skripsi ini membahas pandangan kritis Majalah Trubus mengenai modernisasi pertanian pada masa Orde Baru. Modernisasi pertanian tersebut mencakup tiga kebijakan diantaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian. Trubus memandang bahwa modernisasi pertanian tersebut memang sudah berhasil mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984, namun sayangnya beberapa hal tidak diperhatikan oleh pemerintah salah satunya adalah kehidupan para petani. Oleh karena itu, skripsi ini menampilkan pandangan kritis Trubus sebagai bentuk kontrol terhadap kebijakan modernisasi pertanian Orde Baru yang dimuat dalam artikel yang terdapat pada rubrik pertanian Trubus. Melalui pengkajian terhadap sumber tertulis seperti majalah, surat kabar dan wawancara dapat menunjukan bagaimana Trubus mengkritisi upaya modernisasi tersebut.
Kata kunci : Majalah Trubus; modernisasi pertanian Orde Baru; Pandangan kritis.
Abstract
This thesis discusses a critical Trubus Magazine about agricultural modernization in New Order Era. The agricultural modernization includes three policies including intensification, extensification and agricultural mechanization. Trubus magazine considers that agricultural modernization is already successfully delivering Indonesia to self-sufficient in rice in 1984, but unfortunately some things are not considered by the government which one is about life of the farmers. Therefore, this thesis showing a critical view as a form of control on agricultural modernization policies of the New Order Era, published in the article contained in Trubus agriculture rubrics . Through assessment of written sources such as magazines , newspapers and interviews can show how Trubus criticized the agricultural modernization.
Keywords : agricultural modernization in New Order Era; Critics; Trubus Magazine.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Pendahuluan
Majalah sebagai salah satu media komunikasi massa di Indonesia telah mengalami
perkembangan dan perubahan sejak zaman kolonial (Edward C. Smith 1983). Sejak dekade
1970-an, perkembangan majalah menjadi semakin unik dan canggih. Melihat hal tersebut,
maka penelitian ini difokuskan pada salah satu jenis majalah khusus di Indonesia, yaitu
majalah pertanian. Majalah pertanian yang diterbitkan sebelum 1942 berasal dari penelitian
yang dikembangkan oleh kebun percobaan, pusat penelitian milik swasta maupun pemerintah,
organisasi swasta maupun usaha lainnya. Majalah pertanian tersebut mendapat dorongan dari
pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan pengetahuan guna menunjang perkembangan
tanaman ekspor, kebutuhan ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu yang mendalam di antara
para ilmuwan (Sulistyo Basuki 2014). Pertumbuhan majalah pertanian pada masa Kolonial
sangat pesat karena perhatian besar yang diberikan oleh pemerintah terhadap perkebunan di
Indonesia. Selain itu, status sosial penulis artikel pertanian pun dapat dipertimbangkan bila
menulis karya ilmiah, dalam pertanian pada umumnya dan perkebunan pada khususnya. Bila
dilihat secara keseluruhan, terbitnya majalah khusus pertanian tidak terlepas dari kepentingan
pemerintah Hindia Belanda karena bagi mereka perkebunan merupakan sumber devisa yang
utama.
Berbeda dengan majalah pertanian terbitan masa Hindia Belanda, majalah Trubus
(1969) merupakan anak perusahaan Yayasan Bina Swadaya. Yayasan Bina Swadaya
merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkecimpung dan peduli terhadap
pembangunan pertanian. Yayasan ini semula bernama Yayasan Sosial Tani Membangun
(YSTM) yang didirikan pada 1967. Motto Trubus adalah Majalah Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan. Melihat motto tersebut, maka Trubus sendiri memiliki kewajiban untuk
mengisi pelaksanaan pembangunan lima tahun yang dicanangkan pemerintah yang berfokus
pada pertanian dan ikut meletakkan dasar bagi pembangunan berikutnya. Pembangunan
pertanian yang direncanakan pemerintah Orde Baru dalam bentuk modernisasi pertanian
mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan dan media massa, tidak terkecuali Trubus.
Sebagai salah satu media massa yang berfokus pada pertanian, Trubus turut berperan dalam
pembangunan pertanian dalam hal pemberian informasi yang berguna bagi para petani dan
masyarakat. Di samping itu, Trubus juga memiliki pandangan dan kritik tersendiri terkait
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
program dan upaya pembangunan pertanian dalam memodernisasi pertanian di Indonesia
yang dituangkan oleh pemerintah Orde Baru. Kritik tersebut dituangkan dalam artikel pada
rubrik pertanian.
Pemilihan majalah Trubus sebagai topik penelitian ini adalah untuk melihat sejauh
mana Trubus memberikan kritik sebagai bentuk kontrol terhadap upaya pemerintah Orde
Baru dalam memodernisasi pertanian di Indonesia. Saya berharap studi mengenai majalah
Trubus dan pertanian Orde Baru ini dapat digunakan sebagai acuan lebih lanjut bagi studi
ilmu sejarah khususnya pada masa Orde Baru.
Masalah pokok yang dipelajari dalam skripsi ini ialah bagaimana Trubus memberikan
pandangan dan kritik mengenai upaya modernisasi pertanian dalam hal ini Intensifikasi,
Ekstensifikasi dan Mekanisasi pertanian masa Orde Baru. Meskipun upaya modernisasi
tersebut berhasil membawa Indonesia berswasembada beras pada 1984. Namun Trubus
memandang masih terdapat kekurangan di dalamnya terutama yang menyangkut kepada
kehidupan para petani. Kritik yang dikeluarkan oleh Trubus dapat dikatakan sebagai bentuk
kontrol atas jalannya praktek modernisasi pertanian itu sendiri.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang di dalamnya
terdapat heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Heuristik merupakan tahapan
mengumpulkan sumber-sumber terkait penelitian ini. Sumber yang digunakan adalah sumber
yang bersifat primer dan sekunder. Selanjutnya peneliti melakukan kritik terhadap sumber
yang telah didapatkan baik sumber primer maupun sekunder. Ada dua jenis kritik yang
dilakukan oleh peneliti, yaitu kritik internal dan eksternal. Dalam kritik internal, peneliti
menelaah sumber berdasarkan isinya, apakah sesuai atau tidak. Sedangkan kritik eksternal,
peneliti menelaah sumber berdasarkan sampul, bentuk, jenis kertas apabila sumbernya berupa
teks atau tulisan. Setelah melakukan kritik, peneliti melanjutkan penelitian dengan tahap
interpertasi. Pada tahap ini, peneliti mengemukakan pandangan secara objektif dari fakta-
fakta yang telah dikumpulkan. Peneliti akan menginterpretasikan fakta-fakta yang ada terkait
dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Historiografi menjadi tahap terakhir
dalam penelitian ini. Dalam historiografi berarti peneliti melakukan penelitian mengenai
penelitian ini. Dalam tulisan ini, peneliti akan merekonstruksi ulang peristiwa yang terkait
dengan permasalahan penelitian.
Sumber primer yang digunakan berupa artikel seperti majalah yang sezaman dengan
penelitian ini. Pencarian sumber dilakukan oleh peneliti dengan mengunjungi Perpustakaan
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
UI, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Wisma Hijau, Perpustakaan Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan Arsip Nasional.
Sumber lain yang menjadi acuan peneliti, yaitu sumber sekunder. Sumber sekunder
yang telah didapatkan oleh peneliti berupa buku-buku mengenai pembangunan pertanian,
pembangunan nasional di Indonesia, dan pers pada masa Orde Baru. Sumber sekunder yang
telah peneliti dapatkan berguna untuk membantu dalam penelitian. Selain itu, untuk
memperkaya pengetahuan dalam melakukan penelitian penelitian ini. Sumber sekunder juga
menjadi pelengkap dalam penelitian ini.
Pembahasan
Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak
Repelita I tahun 1969, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola
Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II
(1994-2019). Repelita tahun pertama ini menjadi rencana pembangunan nasional pertama
yang berencana, berkesinambungan, serta berjangka panjang. Repelita tahun pertama menjadi
tahap permulaan dari serangkaian Repelita selanjutnya. Melalui serangkaian Repelita yang
masing-masing berjangka waktu lima tahun tersebut, bangsa Indonesia berusaha mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Dept. Pertanian 1993).
Dalam PU-PJP I ini, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita
yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:
1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian. 2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah
bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.
Pelaksanaan Repelita I dimulai pada 1 April 1969 bertepatan dengan dimulainya
tahun anggaran baru 1969/70, dan berakhir pada 31 Maret 1974 bertepatan dengan berakhirnya
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
tahun anggaran 1973/74. Dengan demikian maka Repelita I meliputi tahun anggaran
1969/70 sampai dengan tahun anggaran 1973/74. Pelaksanaan Repelita I setiap tahunnya
dituangkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga
pelaksanaan tahun demi tahun termasuk penyediaan biayanya terlebih dahulu disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk Undang-undang.
Pada pelaksanaan Repelita 1, yang menjadi sasaran pembangunan adalah : pangan,
sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja,
dankesejahteraan rokhani. Pemerintah sangat memperhatikan kebutuhan pangan rakyat
banyak. Di antara beraneka ragam bahan-bahan makanan yang diperlukan, beras menduduki
tempat utama, yakni sebagai bahan makanan pokok bagi masyarakat pada umumnya.
Kedudukan beras menjadi bertambah penting dalam kehidupan penduduk juga disebabkan oleh
karena sebagian besar dari rakyat Indonesia memperoleh mata pencarian dengan jalan
menghasilkan beras. Hal-hal tersebut mendorong pemerintah untuk menempuh kebijaksanaan
khusus dalam bidang perberasan. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan sebagai upaya
sistematis untuk meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produksi pertanian bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, yang mana pada akhir-akhir
pemerintahan presiden Soekarno, pangan merupakan barang yang mahal. Oleh karenanya,
guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan tiga kebijakan penting dalam
memodernisasi pertanian Indonesia, di antaranya intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi
pertanian.
Tidak berbeda jauh dari Repelita 1, jalannya Repelita 2 yang dimulai pada 1 April
1974 hingga 31 Maret 1979 disesuaikan dengan GBHN. Tujuan Repelita II adalah meningkat-
kan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan yang kuat untuk
tahap pembangunan Repelita III dan selanjutnya. Di dalam mencapai tujuan tersebut Repelita
II melanjutkan usaha yang telah dijalankan selama Repelita I. Dalam hal pertanian,
pemerintah masih menerapkan intensifikasi di Jawa serta ekstensifikasi di luar jawa guna
mencapai target peningkatan produksi beras. Sasaran yang dituju selain melanjutkan pem-
bangunan pertanian dalam rangka meningkatkan produksi pangan, meningkatkan ekspor,
meningkatkan penghasilan petani dan memungkinkan hubungan yang sailing mendukung
dengan pembangunan industri, serta ditujukan dalam rangka pemerataan hasil-hasil
pembangunan dan memelihara kelestarian sumber-sumber alam.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Intensifikasi pertanian sering diterjemahkan sebagai penggunaan teknologi biologi,
kimia berupa pupuk, benih unggul, pestisida, herbisida, dan juga teknologi mekanis berupa
traktorisasi serta kombinasi dari manajemen irigasi atau drainase. Melalui intensifikasi
pertanian, pemerintah memperkenalkan cara-cara bertani yang dianggap efektif untuk
meningkatkan produksi pertanian, khususnya beras. Beras menjadi penting bagi pemerintahan
masa Presiden Soeharto untuk menjalankan kebijakan guna mewujudkan ambisi Swasembada
beras bagi Indonesia (Bustanul Arifin 2004).
Dalam usaha meningkatkan produksi pertanian, khususnya untuk tanaman padi yang
nantinya akan menghasilkan beras, maka diperlukan suatu sistem dan cara penyuluhan yang
secara langsung dapat menyentuh para petani. Cara tersebut dapat ditempuh melalui
pemberian penyuluhan dan bimbingan kepada petani, yang nantinya disebut sebagai Bimas
(Bimbingan Masyarakat) dan Inmas (Intensifikasi Massal).
Melalui program Bimas, perkembangan usaha tani diarahkan kepada :
1. praktek bertani yang lebih produktif,
2. berusaha tani yang lebih menguntungkan,
3. peri kehidupan yang lebih sejahtera, dan
4. tata kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
Dalam program Bimas, kegiatan utama yang tercakup di dalamnya adalah bimbingan
dalam bertani. Bimbingan dalam bertani tersebut menerapkan usaha-usaha yang kemudian
disebut panca usaha tani seperti yang tertera di bawah ini
1. penggunaan benih atau bibit unggul,
2. mengusahakan kultur teknik atau perbaikan cara bertani,
3. proteksi tanaman,
4. penggunaan pupuk,
5. penyediaan dan pengaturan air.
Dalam penggunaan bibit varietas unggul, dipilih bibit yang dapat berproduksi tinggi,
tahan hama dan penyakit, berkualitas baik. Tidak hanya itu, bibit varietas unggul diharapkan
dapat beradaptasi dan ramah dengan lingkungan. Sedangkan dalam mengusahakan kultur
teknik, cara bercocok tanamlah yang menjadi perhatian. Cara bercocok tanam yang dimaksud
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
seperti memperhatikan umur dari bibit yang akan dipindahkan ke tanah lapang, jarak tanam,
serta cara pemangkasan yang baik (Soetriono 2006).
Untuk memproteksi tanaman, diperlukan perawatan yang rutin. Tidak hanya itu,
penggunaan obat-obatan pestisida juga diperlukan untuk mencegah tanaman terserang
penyakit dan hama. Pemberian pupuk bagi tanaman juga diperlukan. Pemberian pupuk ini
berguna agar tanaman dapat tumbuh baik dan subur. Kelima usaha tersebut jika diterapkan
dengan baik dan benar dapat memberikan hasil yang memuaskan khususnya untuk tanaman
pangan, yaitu beras. Jalannya intensifikasi pertanian ini tidak semua berjalan sesuai rencana
pemerintah. Dalam tulisan Depot Tjutji Hati yang dimuat dalm Trubus edisi bulan Juli 1970,
terdapat kritik mengenai penyelewengan Bimas yang dilakukan oleh oknum-oknum pelaksana
Bimas. Perlu diketahui, Bimas (Bimbingan Masyarakat) merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah guna menaikkan produksi tanaman pangan khususnya beras.
Upaya tersebut dilakukan dengan cara memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada para
petani bagaimana cara bertani yang baik dan benar. Tidak hanya itu, petani juga dianjurkan
untuk melaksanakan panca usaha tani guna meningkatkan hasil panennya. Namun ternyata
dalam praktiknya, jalannya program bimas ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang
mana di dalamnya terdapat penyelewangan yang dilakukan oleh oknum-oknum pelaksana
bimas, meskipun memang untuk hasil produksi tanaman pangan mengalami peningkatan.
Penyelewengan yang dilakukan oleh oknum pelaksana Bimas ini dilakukan dengan
berbagai macam cara. Diantaranya dengan memperjualbelikan sarana produksi yang
dijatahkan oleh pemerintah dalam bimas, seperti luas lahan, pupuk dan juga benih unggul
yang dibimaskan. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang lurah di desa Tegallega, Warung
Kondang, Cianjur yang telah dijatuhi hukuman 1tahun 4bulan atas penyelewengan yang
dilakukannya. Lurah tersebut menjual jatah pupuk secara bebas kepada masyarakat luas.
Harusnya pupuk tersebut dibagikan kepada petani yang telah membimaskan lahan
pertaniannya.
Tidak hanya itu, dibeberapa daerah lainnya, terdapat pula oknum pelaksana bimas
yang menukar benih unggul atau bibit padi yang baik dengan bibit yang berkualitas rendah.
Penyelewengan-penyelewengan tersebut sangatlah merugikan petani. Penyelewengan tersebut
harusnya tidak terjadi bila saja ada ketegasan tanggung jawab di dalam pelaksanaannya, di
samping itu yang menyebabkan bimas tidak berjalan dengan benar adalah karena kurang
matangnya managemen di dalamnya.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Terdapat pula tulisan yang berjudul Sikap Petani Terhadap PB pada edisi September
1970 yang mengandung kritik terhadap anjuran penggunaan bibit unggul berjenis PB 5 dan
PB 8 yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam tulisan ini, terdapat nada sumbang yang
dikeluarkan oleh para petani di daerah Lampung Selatan. Salah seorang petani di daerah
tersebut menyatakan bahawa benih PB ini tidak dapat menghasilkan padi yang berkualitas
baik dikarenakan jenis benih PB ini tidak cocok untuk ditanam ditanah yang kering dan
kurang pengairannya. Di wilayah Lampung Selatan ini, sistem pengairannya masih
mengandalkan air hujan, karena tidak memungkinkan untuk membuat sistem irigasi yang
memadai.
Tidak hanya itu, dalam proses penanamannya, benih PB ini membutuhkan pupuk
buatan yang cukup banyak, meskipun pada akhirnya PB dapat menghasilkan beras lebih
banyak jika dibandingkan dengan benih lokal, namun tetap saja dari segi kualitas rasa, masih
sangatlah jauh tertinggal dari benih lokal. Penggunaan pupuk selama penanaman benih PB
ini, dirasakan cukup memberatkan oleh para petani, pasalnya mereka harus mengeluarkan
uang lebih untuk pembelian pupuk.
Padi PB minumnja harus dari selokan dan kami hanja bisa memberi minum dari langit makanja hasilnja beda dengan hasil PB di Djawa. Tidak hanja perlu minum jang banjak, PB ini juga menuntut lauk jang enak dan banjak dari kami. Djadi, kalau mau hasilnja baik, kasih sadja pupuk sekwintal pupuk urea untuk per-hektarnja, padahal kantong kami tipis.
Tidak hanya petani di daerah Lampung Selatan yang merasa diberatkan dengan
penanaman benih ini, salah seorang petani di daerah Kemusu yang merupakan daerah
kelahiran Presiden Soeharto, juga turut mengungkapkan masalah yang dirasakan ketika
menanam benih PB ini. Selain memerlukan pupuk yang banyak, dan membutuhkan biaya
ekstra untuk membelinya, petani juga merasa direpotkan seusai memanen padi PB tersebut.
Kontur tanah yang sebelumnya telah diberikan pupuk selama masa penanaman padi berubah
menjadi lebih keras sehingga petani membutuhkan tenaga ekstra untuk kembali
menggemburkan tanah dengan cara membajak sawah dengan sapinya.
Memang padi PB umurnja pendek, hanja 130 hari, tapi kami kan lalu enggak tempo lagi? Begitu padi sudah mulai muntjul satu-satu, kami sudah harus ngurit (tanam bibit). Begitu panen sudah harus membadjak. Tanahnja enggak sempet makan zat asam, akibatnja, tanah djadi keras.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Agaknya sebelum mengeluarkan anjuran untuk penggunaan benih jenis PB ini,
pemerintah meninjau kembali atau melakukan penelitian terlebih dahulu, apakah penanaman
benih jenis ini membutuhkan pengairan yang lebih banyak atau tidak, apakah membutuhkan
pupuk buatan yang banyak atau tidak, apakah jenis benih ini cocok untuk semua jenis tanah
atau tidak, apakah jenis ini dapat memberikan kualitas yang baik atau tidak. Hal tersebut
diperlukan agar petani mengetahui bagaimana gambaran ketika mereka menanam benih ini,
dan juga untuk menghidarkan petani dari kerugian yang akan ditimbulkan oleh benih ini.
Peningkatan hasil panen tanaman pangan terpenting selain padi sepanjang Repelita juga
dikarenakan perluasan lahan atau ekstensifikasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Ekstensifikasi pertanian dapat diartikan sebagai usaha perluasan lahan tanah yang dapat
ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru, misal mengubah lahan tandus menjadi lahan
yang dapat ditanami, membuka hutan dan lainnya. Kawasan yang menjadi sasaran dari
ekstensifikasi pertanian ini adalah kawasan hutan yang kurang produktif menjadi lahan
pertanian. Kawasan-kawasan tersebut dapat ditemui di daerah luar Jawa, seperti Kalimantan
yang memang memiliki jenis tanah gambut yang tidak cocok untuk pertanian padi atau beras.
Kawasan hutan yang kurang produktif tersebut kemudian di jadikan lahan pertanian tanaman
pangan lain dengan cara membangun atau membuat sawah pasang surut, dan pembukaan
lahan gambut. Untuk menyukseskan jalannya program ekstensifikasi ini, pemerintah turut
mengeluarkan kebijakan transmigrasi petani yang berada di pulau Jawa ke daerah
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Dalam rangka mendukung jalannya program kebijakan
pangan pemerintah Orde Baru, para petani yang bertransmigrasi ke luar Jawa ini akan
diberikan sebidang tanah yang diharapkan dapat digunakan untuk memproduksi tanaman
pangan. Dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, dijelaskan bahwa jumlah
penduduk di pulau Jawa yang bertransmigrasi ke tiga wilayah tersebut pada tahun 1971
berjumlah sekitar 2.060.406 dan jumlah tersebut meningkat menjadi 3.562.497 jiwa pada
tahun 1980 (BPS 1980).
Jalannya ekstensifikasi pertanian ini tidak semulus rencana pemerintah, hal tersebut
dapat dilihat pada tulisan yang berjudul Beras Melimpah di Sulawesi Selatan yang dimuat
pada majalah Trubus edisi Januari 1971, memuat kritik mengenai jalannya ektensifikasi di
Sulawesi. Dalam tulisan tersebut dikatakan meskipun hasil panen padi mengalami
peningkatan jumlah yang signifikan, namun masalah yang dihadapi justru semakin banyak.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Berita mengenai meningkatnja hasil produksi beras di Sulawesi Selatan sudah tersiar hingga ke seluruh pendjuru Indonesia. Namun seiring dengan tersebarnja berita tersebut, terdapat kabar selandjutnja mengatakan bahwa beras yang meningkat tersebut hanja tertumpuk sadja di Sulawesi Selatan, tertimbun tidak dimanfaatkan.
Beras yang dihasilkan di Sulawesi pada dasarnya kualitasnya memang kurang baik
hal tersebut di perparah dengan beberapa masalah dibawah ini yang semakin membuat mutu
beras yang dihasilkan makin rendah. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini:
- Kurangnya gudang untuk penyimpanan gabah dan beras. Terdapat beberapa gudang
penyimpanan hasil panen gabah dan beras, namun kondisi gudang yang kurang
memadai mengakibatkan beras dan gabah cepat membusuk.
- Masalah pengeringan gabah. Kalau di pulau Jawa, pengeringan gabah dapat dengan
mudah dilakukan, karena lahan pertanian yang ada dipulau Jawa cenderung lebih
sempit dan tenaga kerja yang tersedia cukup banyak, sehingga proses pengeringan
gabah dapat dengan mudah dilakukan. Berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi.
Lahan pertanian yang telah diekstensifikasi pemerintah cenderung lebih luas, namun
tenaga kerja yang tersedia tidak cukup jumlahnya. Di samping itu, faktor curah hujan
yang tinggi di Sulawesi mengakibatkan gabah yang dikeringkan dengan sinar matahari
tidak kering secara menyeluruh, hal itulah yang kemudian mengakibatkan ketika
dilakukan penggilingan, gabah yang masih lembab tersebut dapat cepat hancur.
- Masalah lainnya adalah masalah pada tahap penggilingan. Pemerintah menganjurkan
untuk menggunakan huller untuk menggiling gabah. Namun sayangnya, proses
penggilingan menggunakan huller ini justru membuat padi hasil gilingan tersebut
retak-retak.
Di samping ketiga masalah tersebut, transportasi atau pengangkutan padi juga menjadi
permasalahan. Kondisi jalan yang panjang dan rusak menyulitkan petani untuk
mendistribusikan dan memasarkan hasil panennya, di samping itu, maraknya pungutan di
pasar juga membuat petani kesulitan. Pungutan tersebut dinamakan ‘susun pasar’. Beras yang
masuk pasar dikenakan pungutan antara Rp. 1,- per kilonya. Beras yang dibeli Bulog
dikenakan biaya Rp. 1,- per kilo, sedangkan beras yang dibeli pihak swasta dikenakan Rp. 2,-
per kilonya. Hal tersebut yang kemudian membuat harga beras yang dijual keluar daerah
menjadi meningkat. Hal tersebut juga membuat daerah lain justru lebih memilih
mendatangkan beras dari luar negeri, disamping karena mutunya lebih baik, harganya pun
dapat bersaing.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Dari permasalahan di atas, pemerintah diharapkan lebih memperhatikan daerah yang
menjadi telah menjadi sasaran ektensifikasi. Tidak hanya perluasan atau pembukaan lahan
pertanian baru saja yang dikerjakan oleh pemerintah, namun petani berharap, pemerintah
memperhatikan faktor-faktor lainnya. Faktor lainnya adalah bagaimana ketersediaan gudang
penyimpanan gabah dan beras yang layak dan memadai, bagaimana pemerintah daerah
melalui Bulog dapat mengatasi kelebihan beras tersebut, apakah dengan membeli dan
menjualnya kembali dengan harga yang lebih murah jadi pemerintah disini memberikan
subsidi atau tidak. Ini diperlukan agar petani tetap bergairah untuk menaikkan produksi
seperti sebelumnya. Disamping itu sarana pendukung lainnya seperti kondisi jalan, peralatan
untuk penggilingan, fasilitas pengeringan juga perlu diperhatikan pemerintah.
Di dalam modernisasi pertanian, tidak hanya intensifikasi dan ekstensifikasi yang
dianggap penting, namun juga diperlukan mekanisasi pertanian di dalamnya guna menunjang
efisiensi dalam produksi pertanian. Dalam mekanisasi pertanian ini, diperkenalkan beberapa
peralatan baru yang nantinya akan digunakan oleh petani dalam menunjang kegiatan
menggarap sawah dan panennya, diantaranya traktor dan sabit. Traktor merupakan alat
pengganti dari luku-luku dalam proses pengolahan tanah. Penggunaan traktor dalam mengolah
tanah sangat efisien dari segi waktu jika dibandingkan dengan menggunakan luku-luku.
Ketika menggunakan luku-luku, petani membutuhkan waktu dua sampai tiga hari dalam
mengolah lahan, sedangkan jika menggunakan traktor, lahan dapat selesai diolah hanya dalam
waktu satu hari saja. Selain itu, jika petani beralih menggunakan traktor, akan lebih efisien
dari segi biaya yang harus dikeluarkan petani untuk membayar tenaga manusia yang
mengolah tanah tersebut dalam dua hingga tiga hari. Selain diperkenalkan dengan traktor,
penggunaan sabit dan arit untuk memanen padi menggantikan ani-ani atau ketam juga mulai
digalakkan kepada petani. Panen menggunakan ani-ani dianggap tidak efisien karena
membutuhkan banyak buruh tani untuk memanen.
Tidak hanya sabit dan traktor yang coba diterapkan dalam mekanisasi pertanian ini,
namun juga terdapat erek yaitu mesin perontok padi. Meskipun masih bersifat manual,
kehadiran mesin ini berguna untuk merontokkan padi yang telah dipanen. Sebelum
diperkenalkannya mesin ini, petani biasanya merontokkan padi dengan cara memukul-mukul
ikatan padi pada sebuah papan hingga padi-padi tersebut rontok. Setelah mesin ini
diperkenalkan, maka kegiatan merontokkan padi menjadi lebih mudah. Hal tersebut
dikarenakan penggunaan mesin erek ini tidak membutuhkan banyak tenaga buruh tani untuk
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
merontokkan padi, karena dalam penggunaanya hanya dibutuhkan dua hingga tiga orang saja
untuk menjalankan mesin ini.
Selain mesin erek, terdapat juga mesin huller yang menggeser cara tradisional petani
dalam menumbuk padi atau dalam mengupas gabah. Sebelum adanya mesin ini, petani
menggunakan lesung untuk menumbuk padi. Penggunaan mesin penggiling padi atau huller
ini ternyata mampu menghasilkan beras yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah
beras yang terkumpul yang dilakukan dengan cara menumbuk padi. Jika dibandingkan dengan
menumbuk padi, mesin huller mampu menghasilkan beras lebih banyak. Setiap 100 kilogram
padi yang digiling mampu menghasilkan 52 kilogram beras, sementara padi tumbuk hanya
menghasilkan beras 47 kilogram (Surat Kabar Mertju Suar 17 Januari 1968). Pengolahan padi
menggunakan huller menghasilkan beras lebih banyak 5 persen dibandingkan dengan
menumbuk. Selain itu, beras yang dihasilkan dengan cara menumbuk padi akan rusak atau
pecah berbeda jika menggunakan mesin huller. Dengan hasil tersebut tentu petani akan lebih
memilih menggunakan huller jika dibandingkan dengan menggunakan tenaga buruh
penumbuk padi. Hadirnya peralatan modern ini mendapat perhatian dari kalangan petani,
namun ternyata memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi petani, seperti yang
dimuat dalam Trubus yang berjudul Saja Tak Punja Modal, Nak edisi Maret 1970. 1
Tulisan tersebut merupakan hasil dari wawancara Trubus dengan salah seorang petani
di daerah kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Petani tersebut merupakan seorang lulusan dari
sekolah teknik mesin, namun dikarenakan sulit mendapatkan pekerjaan, orang ini
memutuskan untuk menjadi petani di lahan milik orang tuanya. Kegiatan pertanian yang
dilakukannya tergolong masih sederhana, meskipun sudah tergolong daerah kota. Sama
halnya dengan yang dilakukan oleh petani ini.
Petani di Bukittinggi jarang menggunakan sapi untuk membajak sawah dan jarang
menggunakan pupuk, dikarenakan jenis tanah yang terdapat di daerah tersebut tergolong lebih
lembut, maka tidak diperlukan sapi atau kerbau untuk membajak sawah, meskipun ada juga
petani yang menggunakan sapi untuk membajak sawahnya. Petani di Bukittinggi juga jarang
menggunakan pupuk, dikarenakan di dalam kandungan tanah tersebut sudah mengandung
kotoran hewan ternak seperti sapi dan kerbau, sehingga penggunaan pupuk jarang digunakan.
Dapat dilihat bahwa petani jarang menggunakan bajak untuk menggemburkan tanah, apalagi
menggunakan traktor.
1Majalah Trubus, No. 4 Tahun I, Maret 1970, hlm. 1-6.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Kalau sawahnja sedang lembut, maka saja tidak perlu menggunakan kerbau untuk membadjak. Kebanjakannja sawah di sini seperti itu, ada djuga jang menggunakan badjak, patjul dan garu seperti petani di daerah lainnja.
Di akui oleh petani, sudah ada beberapa petani di daerah tersebut yang menggunakan
alat-alat penunjang produksi pertanian seperti huller. Tidak semua petani menggunakan huller
untuk menggiling gabah mereka. Hal tersebut untuk memiliki huller dibutuhkan uang yang
tidak sedikit. Meskipun pemerintah telah memberikan kredit dengan tujuan petani dapat
membeli huller dan alat lainnya dengan bunga yang rendah, tetap saja petani enggan untuk
mengajukan kredit tersebut. Petani cenderung takut untuk mengajukan kredit dikarenakan
takut tidak bisa membayar cicilan kredit ketika datang masa jatuh tempo. Meskipun petani
memang mengetahui keuntungan bila memakai mesin tersebut. Beras yang dihasilkan dapat
lebih banyak, warna beras hasil dari penggilingan dengan menggunakan huller ini lebih putih
jika dibandingkan dengan cara menumbuk.
Huller memang bagus, berasnja djadi banjak dan putih-putih warnanja, tapi harganja mahal nak. Kebanjakkan dari petani di sini djarang pake huller karena harganja itu. Kalau ambil kredit di balai desa djuga susah bajar tjitjilannja. Saja sendiri takut ngga bisa bajar nak. Bukan dengan mesin saja bergulat tapi dengan otot-otot kaki dengan diindjak-indjak. Terus dengan bantuan tongkat-tongkat bergerak terus untuk mengirik padi supaja lepas padinja.
Namun, perlu dilihat juga bagaimana mesin tersebut bekerja. Dari beberapa petani,
banyak yang mengeluh karena mesin-mesin tersebut tidak berjalan dengan benar. Petani juga
mengeluh cara kerja alat ini yang dinilai lambat dan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh penyuluh di lapangan. Dikatakan kapasitas mencapai 100 kg/jam dalam sekali
penggilingan. Namun faktanya, 25 kg/jam saja sulit, dan petani memilih menggunakan
manual karena lebih mudah. Kapasitas 100 kg mungkin jika digunakan oleh petani yang
sudah terbiasa, namun bagi yang belum terbiasa, akan sulit.
Ada teman tani saja jang pakai huller tapi malah susah. Hullernja suka rusak, tjara pakainja djuga susah ngga seperti jang petugas bilang. Kalau rusak terus kasihan teman tani saja pada rugi beli huller. Mesin rusak, tjitjilan harus tetap bajar.
Disinilah perlunya pembiasaan penggunaan teknologi baru kepada para petani. Tidak
sedikit petani yang mengatakan bahwa alat tersebut tidak dapat digunakan dikarenakan
terbuat dari bahan mudah rusak. Oleh karenanya, pemerintah dinilai perlu membenahi
jalannya mekanisasi pertanian ini, dengan kembali melihat dan memeriksa kualitas dari alat
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
penunjang pertanian tersebut, agar setiap petani dapat mendapatkan manfaatnya dan merasa
diuntungkan dengan adanya penggunaan alat-alat pertanian ini bukan justru merasa terbebani
karena susahnya penggunaan alat tersebut dan juga karena beban biaya kreditnya.
Kesimpulan
Jalannya kebijakkan intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian di satu sisi
berhasil meningkatkan hasil produksi pertanian khususnya beras dalam kurun waktu kurang
lebih 11 tahun. Namun di sisi lain keberhasilan tersebut ternyata memberikan dampak
tersendiri bagi petani. Dampak yang dirasakan dan dialami oleh petani diantara, dalam upaya
intensifikasi pertanian, petani dianjurkan menggunakan benih unggul yang hasilnya memang
melimpah namun kualitas rasa beras yang dihasilkan buruk tidak seperti penggunaan benih
lokal terdahulu yang kualitas rasanya enak. Selain itu petani juga dianjurkan menggunakan
pupuk buatan guna menyuburkan tanaman padi yang mereka tanam. Namun pemakaian
pupuk yang berlebih dapat mengakibatkan kualitas tanah berkurang secara perlahan hingga
dapat mengakibatkan tanah menjadi tidak subur.
Di samping itu penggunaan pestisida sebagai proteksi tanaman terhadap hama juga
dirasakan merugikan oleh para petani. Memang tanaman padi yang mereka tanam terbebas
dari serangan hama, namun hal tersebut justru membuat tanaman padi menjadi
ketergantungan kapada pestisida. Hal tersebut juga berimbas pada pengeluaran petani yang
semakin membesar untuk membeli pupuk dan pestisida. Sehingga pendapatan petani dari
hasil menanam tanaman pangan kurang mensejahterakan mereka. Tidak hanya itu, praktik
penyelewengan yang di lakukan oleh oknum pelaksana Bimas pun tidak terhindarkan,
sehingga petanilah yang kembali menjadi korbannya.
Tidak hanya dampak intensifikasi yang dirasa kurang menguntungkan petani,
ekstensifikasi yang dijalankan pemerintah di luar pulau Jawa juga dinilai kurang berhasil.
Meskipun lahan baru telah dibuka dan mulai ditanami dengan tanaman pangan baik padi
maupun tanaman pangan selain padi, tetap saja, petani di luar Jawa masih merasakan
kesulitan untuk bertani di daerah tersebut. Sejalan dengan ekstensifikasi pertanian ini,
pemerintah turut meluncurkan program transmigrasi ke luar Jawa guna meratakan
pertumbuhan penduduk. Petani pun tidak luput dari program transmigrasi tersebut. Petani
merasakan kesulitan bertani di lahan yang baru dibuka oleh pemerintah melalui program
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
ekstensifikasi. Hal tersebut dikarenakan, petani kurang mendapatkan penyuluhan dari
pemerintah tentang bagaimana bertani yang baik dan benar di lahan yang kurang subur
tersebut.
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mekanisasi pertanian guna meningkatkan
produksi beras di Indonesia. Petani dianjurkan menggunakan peralatan yang nantinya dapat
memudahkan petani dari mulai menggemburkan tanah, proses penanaman hingga proses
panen. Pemerintah juga telah menyiapkan kredit dengan bunga yang rendah kepada para
petani agar dapat membeli peralatan tersebut. Sayangnya peralatan-peralatan tersebut kurang
mendapatkan perhatian dari para petani. Petani beranggapan, bahwa penggunaan alat-alat
tersebut memang memudahkan mereka dalam bertani, namun harga yang ditawarkan dirasa
cukup mahal oleh para petani. Kredit yang ditawarkan pemerintah memang menarik, namun
petani kembali berpikir ulang, karena pengeluaran mereka sudah cukup besar dikarenakan
pembelian pupuk buatan dan pestisida, mereka takut apabila mengajukan kredit, mereka tidak
dapat membayarnya jika sudah masuk jatuh tempo pembayaran.
Jalannya kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi dan mekanisasi pertanian tersebut
tertuang dalam bentuk artikel dalam rubrik pertanian Trubus. Beberapa tulisan tersebut
merupakan hasil dari penelitian Trubus mengenai jalannya modernisasi pertanian masa Orde
Baru. Trubus menyajikan bagaimana keadaan yang sebenarnya yang dirasakan dan dialami
oleh para petani dalam menjalankan kebijakkan-kebijakkan tersebut. Trubus memberikan
pandangan kritisnya sebagai bentuk kontrol terhadap upaya pemerintah dalam memodernisasi
pertanian yang pada satu sisi berhasil membawa hasil panen yang melimpah di Indonesia, tapi
di satu sisi lainnya belum berhasil mensejahterakan petani.
Daftar Referensi
Surat Kabar dan Majalah
Buletin Bina Swadaya, 2008,2009
Harian Kedaulatan Rakyat, 1979
Majalah Trubus 1969, 1970, 1971, 1973, 1978
Majalah Wacana, 1998
Prisma, 1990
Tempo, 1981
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Artikel
Lesmana, Teddy, “Bangkit Ditengah Krisis Pangan dan Energi,” LIPI.
Esje, Gudon,”Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru,” Wacana Juli-Agustus 1998.
Tjondronegoro, Sediono M.P, “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa,
1990,” Prisma1990.
Buku
Arifin, Dr.Bustanul. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia.Jakarta : Kompas, 2004.
Booth, Anne, (ed). Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1990.
Brown, Lester R. Seed of Change : The Green Revolution and Development in 1970’s. NewYork :Preanger Pubs, 1960.
Clifton R. Wharton, Jr. The Green Revolution Cornucopia of Pandora’s Box. Foreign Affairs, 1970.
Departemen Penerangan RI. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1983.
Departemen Pertanian RI . Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian RI, 1993.
. Repelita III Pertanian. Jakarta : Departemen Pertanian, 1979.
Guru Besar IPB. Merevolusi Revolusi Hijau. Bogor : IPB Press, 2012.
. Perspektif Ilmu-Ilmu Pertanian dalam Pembangunan Nasional. Depok : Penebar Swadaya, 2008.
Hill, Hal. Indonesia’s New Order : The dynamics of Socio-Economic Transformation. Australia : Allen & Unwin Pty Ltd. 1994.
Hutabarat, Arifin. Usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta : Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers, 1974.
Ismawan, Bambang. Meningkatkan Keberdayaan Masyarakat Berkelanjutan : 45 Tahun Bina Swadaya. Jakarta :Yayasan Bina Swadaya, 2012.
Junaedhie, Kurniawan.Rahasia Dapur Majalah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015
Kuntowijoyo, Gunawan S, dkk. Prospek Pedesaan 1987. Yogyakarta : Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan, UGM , 1987.
Mubyarto. Marketable Surplus Beras di Indonesia: Sebuah Studi Jawa dan Madura. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Ekonomi. Fakultas Ekonomi UGM, 1975.
Noertjahyo, JA. Dari Ladang sampai Kabinet : Menggugat Nasib Petani. Jakarta : Kompas, 2005.
Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta : PT. Intermasa,1997.
Ranutinoyo, Setiadi. 70 tahun Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik. Jakarta : Yayasan Bina Swadaya, 2008.
Sadono, Bambang. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Smith, Edward C. Pembredelan Pers di Indonesia. Jakarta : Grafiti Press, 1983.
Soekartawi. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta : UI Press, 1988.
Soetriono,dkk.Pengantar Ilmu Pertanian. Malang: Bayumedia Publising, 2006.
Tim Peneliti Bina Swadaya.Kemiskinan dan Kemandirian : Catatan Perjalanan dan Refleksi Bina Swaday.. Jakarta : Yayasan Bina Swadaya, 2003.
. Trubus 12 tahun 1969-1981: Sejarah dan Perkembangan. Jakarta : Yayasan Bina Swadaya, 1982.
Wawancara
Wawancara dengan F. Rahardi, Komplek Trubus, Jalan Tipar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, 2 Mei 2015.
Internet
http://niagaswadaya.co.id. Diaksespada 22 Mei 2013, pukul 19.10 WIB.
http://www.hidupkatolik.com/2013/07/19/didesain-untuk-umum. Diakses pada 21 November 2013, pukul 21.35 WIB.
www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9397/1770/. Diakses pada 3 April 2014, pukul 19.15 WIB.
www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9840/1800/. Diakses pada 3 April 2015, pukul 20.00 WIB.
Kritik modernisasi ..., Aprilia Dwi Darmawati, FIB UI, 2015