LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
BLOK CARDIO-VASKULAR
“OBAT ANTI HIPERTENSI DAN OBAT GAGAL JANTUNG”
Asisten :
Rahayu Normalia Fauziah
G1A012020
Kelompok D-3
M. Ricky Fachrurrozy G1A013011
Yupita Maya Sari G1A013045
Muhammad Mahdi Alattas G1A013056
Sisilia T.J.S.S. G1A013063
Sofyan Hardi G1A013069
Husnan Mujiburrahman G1A013071
Dzaki Luqmanul Hakim G1A013109
Hasan Mursidi G1A013130
Priambodo Jati Kuncoro G1A013136
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2015
1
Lembar Pengesahan
Dengan ini, Laporan Praktikum Farmakologi dengan judul “Obat Anti Hipertensi dan
Obat Gagal Jantung”
Tanggal Percobaan : Kamis, 16 April 2015
Tujuan Percobaan :
1. Mengetahui efek obat gagal jantung.
2. Mengamati perubahan denyut, irama, ukuran, dan warna jantung pada katak yang
diberi obat gagal jantung.
telah diperiksa, disetujui, diterima, dan disahkan.
Purwokerto, April 2015
Asisten,
Rahayu Normalia Fauziah
G1A012020
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang umum terjadi di Negara
berkembang dan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua di Indonesia. Tekanan
darah tinggi juga merupakan faktor resiko penting penyakit jantung koroner. Pada
beberapa penelitian di Indonesia, dilaporkan bahwa prevalensi hipertensi berkisar antara
10% (Noer Staffoeloh, 2009).
Peningkatan tekanan darah arteri dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal,
penyakit jantung, pengerasan dinding arteri yang biasa disebut atherosclerosis juga
terjadinya stroke. Komplikasi ini sering berakhir menjadi kerusakan atau kematian (Noer
Staffoeloh, 2009).
Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di
Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 %
kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639
juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025 (Noer
Staffoeloh, 2009).
Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat
badan,tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG.
Dalamaktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran
stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan
meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga (Noer Staffoeloh, 2009).
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan
dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita
kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi
yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya
kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan
mata (Noer Staffoeloh, 2009).
3
B. Tujuan praktikum
1. Mengetahui efek obat gagal jantung.
2. Mengamati perubahan denyut, irama, ukuran, dan warna jantung pada katak yang
diberi obat gagal jantung.
C. Manfaat praktikum
1. Praktikan mengetahui efek obat gagal jantung.
2. Praktikan dapat membedakan denyut, irama, ukuran, dan warna jantung pada katak
sebelum dan sesudah diberikan obat gagal jantung.
D. Tinjauan pustaka
1. Obat-obat Anti Hipertensi
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan untuk pengobatan
awal hipertensi, yaitu : i. Diuretik; ii. Penyekat reseptor beta adrenergik; iii.
Penghambat agiotensin converting enzyme; iv. Penghambat reseptor angiotensin; v.
Antagonis kalsium. Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik tidak dimasukan
ke dalam obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini pertama.
Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yatu : i.
penghambat saraf adrenergik; ii. Agonis α-2 sentral; dan iii. Vasodilator (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
a. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek
ini diduga akibat penurunan natrium di ruang intersitial dan di dalam sel otot
polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
1) Tiazid
a) Mekanisme Kerja
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara
lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan diuretik lain
yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja denga
menghambat transport bersama Na+ dan Cl- di tubulus distal ginjal, 4
sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi
hipertensi. Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik
dan antihipertensinya; untuk pasien ini dianjurkan penggunaan diuretik
kuat. Tiazid terutama efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin
yang rendah, misalnya pada orang tua (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi
ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain
bila TD tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabka
hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis.
Tiazid juga dapat menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesia serta
hiperkalsemia. Selain itu, tiazid dapat menghambat ekskresi asam urat
dari ginjal, dan pada pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan
gout akut (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Tiazid dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida,
tetapi kemaknaannya dalam peningkatan risiko penyakit jantung koroner
belum jelas. Pada pasien DM, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia
karena mengurangi sekresi insulin. Pada pasien pria, gangguan fungsi
seksual merupakan efek saping tiazid yang kadang-kadang cukup
mengganggu (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Contoh Obat
Obat Dosis
(mg)
Pemberian Sediaan
Hidroklorotiazid 12,5–25 1 x sehari Tab 25 dan 50
mg
5
Klortalidon 12,5–25 1 x sehari Tab 50 mg
Indapamid 1,25-2,5 1 x sehari Tab 2,5 mg
Bendroflumetiazid 2,5-5 1 x sehari Tab 5 mg
Metolazon 2,5-5 1 x sehari Tab 2,5; 5; dan
10 mg
Metolazon rapid
acting
0,5-1 1 x sehari Tab 0,5 mg
Xipamid 10-20 1 x sehari Tab 2,5 mg
2) Diuretik kuat
a) Mekanisme Kerja
Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara menghambat kotransport Na, K, Cl, dan menghambat
resorpsi air dan elektrolit (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
b) Indikasi
Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat
daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan
sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal atau gagal jantung (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali
bahwa diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan
kalsium darah, sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan
meningkatkan kadar kalsium darah (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis Pemberian Sediaan
6
(mg)
Furosemid* 20-80 2-3 x sehari Tab 40 mg; amp 20
mg
Torsemid** 2,5-10 1-2 x sehari Tab 5; 10; 20; 100
mg
Ampul 10 mg/mL (2
dan 5 mL)
Bumetanid 0,5-4 2-3 x sehari Tab 0,5; 1; dan 2 mg
As. etkrinat 25-100 2-3 x sehari Tab 25 dan 50 mg
* Dosis Furosemid untuk gagal jantung dan gagal ginjal dapat
ditingkatkan sampai 240 mg/hari.
** Dosis Torsemid untuk gagal jantung dapat ditingkatkan sampai
200 mg/hari.
3) Diuretik hemat kalium
a) Mekanisme Kerja
Amilorid, triamteren, dan spinorolakton merupakan diuretik
lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi diuretik lain untuk
mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan
hiperkalemia bila diberikan pada pasien gagal ginjal, atau bila
dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, β-bloker, AINS, atau
dengan suplemen kalium (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
b) Indikasi
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga
merupakan obat yang terpilih pada hiperaldosteronisme primer. Obat ini
sangat berguna pada pasien dengan hiperurisemua, hipokalemia, dan
dengan intoleransi glukosa. Berbeda dengan golongan tiazid,
spinorolakton tidak mempengaruhi kadar kalsium dan gula darah
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
7
c) Efek Samping Obat
Efek samping spinorolakton antara lain ginekomastia,
mastodinia, gangguan menstruasi, dan penurunan libido pada pria
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis
(mg)
Pemberian Sediaan
Amilorid 5-10 1-2 x sehari
Spironolakton
*
25-100 1 x sehari Tab 25 dan 100
mg
Triamteren 25-300 1 x sehari Tab 50 dan 100
mg
* Dosis Spironolakton untuk asites refrakter dapat ditingkatkan
sampai 400 mg/hari.
b. Penghambat Adrenergik
1) Penghambat Adrenoseptor Beta (β-Blocker)
a) Mekanisme Kerja
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian
β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain: (1)
penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel-sel
jugstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin
II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis,
perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron
adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung
lambat. efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah
terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2
8
minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi
ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Β-bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi
ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung
koroner, pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa
kelainan konduksi, pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan
pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Efektivitas antihipertesi berbagai β-bloker tidak berbeda satu
sama lain bila diberikan dalam dosis yang ekuipoten. Ada atau tidaknya
kardioselektivitas, aktivitas simpatomimetik intrinsik dan aktivitas
stabilisasi membran, menentukan pemilihan obat ini dalam kaitannya
dengan kondisi patologi pasien.Semua pasien dikontraindikasikan pada
pasien dengan asma bronkial. Bila harus diberikan pada pasien dengan
diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer, maka penghambat
selektif β1 adalah lebih baik dibandingkan reseptor β-bloker nonselektif,
karena efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor
β2 yang memperantarai vasodilatasi di otot rangka (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
β-bloker dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan
nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu
obat golongan ini dikontraindikaskan pada keadaan bradikardia, blokade
AV derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome, dan gagal jantung yang belum
stabil. Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien
dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Gangguan sirkulasi perifer lebih jarang terjadi dengan β-bloker
kardioselektif atau yang memiliki vasodilatasi. Efek sentral berupa
depresi, mimpi buruk. Halusinasi dapat terjadi dengan β-bloker yang
lipofilik. Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian β-
9
bloker terutama yang tidak selektif (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis
(mg)
Dosis
Maksimal
(mg)
Pemberia
n
Sediaan
Kardioselektif
Asebutolol 200 800 1-2 x
sehari
Cap 200
mg, Tab
400 mg
Atenolol 25 100 1 x sehari Tab 50 dan
100 mg
Bisoprolol 2,5 10 1 x sehari Tab 5 mg
Metoprolol
-biasa 50 200 1-2 x
sehari
Tab 50 dan
100 mg
-lepas
lambat
100 200 1 x sehari Tab 100
mg
Nonselektif
Alprenolol 100 200 2 x sehari Tab 50 mg
Karteolol 2,5 10 2-3 x
sehari
Tab 5 mg
Nadolol 20 160 1 x sehari Tab 40 dan
80 mg
Oksprenolol
-biasa 80 320 2 x sehari Tab 40 dan
10
80 mg
-lepas
lambat
80 320 1 x sehari Tab 80 dan
160 mg
Pindolol 5 40 2 x sehari Tab 5 dan
10 mg
Propanolol 40 160 2-3 x
sehari
Tab 10 dan
40 mg
Timolol 20 40 2 x sehari Tab 10 dan
20 mg
Karvedilol 12,5 50 1 x sehari Tab 25 mg
Labetalol 100 300 2 x sehari Tab 100
mg
2) Penghambat Adrenoseptor Alfa (α-Blocker)
a) Mekanisme Kerja
Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan
venula sehingga menurunkan resistensi primer. Di samping itu,
venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya
menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal, menyebabkan
refleks takikardia dan peningkatan akivitas renin plasma. Pada
pemakaian jangka panjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedagkan
efek anti hipertensi tetap bertahan (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Alfa-bloker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek
positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL, dan trigliserida serta
meningkatkan HDL) dan mengurangi retensi insulin, sehingga cocok
untuk pasien hipertensi dengan dislipidemia dan/atau diabetes melitus.
11
Alfa-bloker juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi
prostat, karena hambatan reseptor alfa-1 akan merelaksasi otot polos
prostat dan sfingter utera sehingga meretensi urin. Obat ini juga
memperbaiki insufisiensi vaskular perifer, tidak mengganggu fungsi
jantung, tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi
dengan AINS (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal
atau pada peningkatan dosis, terutama dengan obat yang kerjanya
singkat seperti prazosin. Pasien dengan deplesi cairan dan usia lanjut
lebih mudah mengalami fenomena dosis pertama ini. Gejalanya berupa
pusing sampai sinkop. Untuk menghindari hal ini, sebaiknya pengobatan
dimulai dengan dosis kecil dan diberikan sebelum tidur. Efek samping
lain antara lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat,
mual, dan lain-lain (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis
(mg)
Dosis
Maksimal
(mg)
Pemberian Sediaan
Prazosin 0,5 4 1-2 x sehari Tab 1 dan 2
mg
Terazosin 1-2 4 1 x sehari Tab 1 dan 2
mg
Bunazosin 1,5 3 3 x sehari Tab 0,5 dan
1 mg
Doksazosin 1-2 4 1 x sehari Tab 1 dan 2
mg
c. Vasodilator
12
1) Hidralazin
a) Mekanisme Kerja
Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos arteriol
dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan. Sedangkan otot polos
vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatas yang terjadi menimbulkan
reflek kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi
denyut jantung, peningkatan renin dan norepinefrin plasma. Hidralazin
menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif
bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang menimbulkan hipotensi
ortostatik (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Hidralazin tidak digunakan sebagai obat tunggal karena
takifilaksis akibat retensi cairan dan refleks simpatis akan mengurangi
efek antihipertensinya. Obat ini biasanya digunakan sebagai obat kedua
atau ketiga setelah diuretik dan β-bloker. Retensi cairan dapat diatasi
oleh diuretik dan reflek takikardia akan dihambat oleh β-bloker
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing,
hipotensi, takikardia, palpitasi, angina pektoris. Iskemia miokard dapat
terjadi pada pasien PJK, yang dapat dicegah dengan pemberian bersama
β-bloker. Retensi air dan natrium disertai edema dapat dicegah dengan
pemberian bersama diuretik. Efek samping lain adalah neuritis perifer,
diskrasia darah, hepatotoksisitas dan kolangitis akut (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Dosis pemberian oral 25-100 mg dua kali sehari. Untuk
hipertensi darurat seperti pada glomerulonefritis akut dan eklamsia,
dapat juga diberikan secara i.m. atau i.v. dengan dosis 20-40 mg. Dosis
maksimal 200 mg/hari (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
2) Minoksidil
13
a) Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP
dengan akibat terjadinya effluks kalium dan hiperpolarisasi membran
yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh darah dan vasodilatasi.
Efeknya lebih kuat pada arteriol daripada vena. Obat ini menurunkan
tekanan sistol dan diastol yang sebanding dengan tingginya tekanan
darah awal. Efek hipotensifnya minimal pada subjek yang normotensif.
Efekhipotensifnya diikuti oleh refleks takikardia danpeningkatan curah
jantung. Curah jantung dapat meningkat 3-4 kali lipat (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Obat ini efektif hampir di semua pasien, dan berguna untuk terapi
jangka panjang hipertensi berat yang refrakter terhadap kombinasi 3 obat
yag terdiri dari diuretik, penghambat adrenergik, dan vasodilator lain.
Minoksidil efektif untuk hipertensi akselerasi atau maligna dan pada
pasien dengan penyakit ginjal lanjut karena obat ini meningkatkan aliran
darah ginjal (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Tiga efek samping utama minoksidil, yaitu retensi cairan dan
garam, efek samping kardiovaskuler karena refleks simpatis, dan
hipertrikosis. Selain itu dapat terjadi gangguan toleransi glukosa dengan
tendensi hiperglikemia; sakit kepala, mual, erupsi obat, rasa lelah, dan
nyeri tekan di dada (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Sediaan minoksidil berbentuk krim sering digunakan untuk
penyubur rambut. Dosis dapat dimulai dengan 1,25 mg satu atau dua kali
seharian dapat ditingkatkan sampai 40 mg/hari (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
3) Diazoksid
14
a) Mekanisme Kerja
Obat ini merupakan derivat benzotiadiazid dengan struktur mirip
tiazid, tapi tidak meiliki efek diuresis. Mekanisme kerja,
farmakodinamik, dan efek samping diazoksid mirip dengan minoksidil
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Walaupun diabsorbsi dengan baik melalui oral, diazoksid hanya
diberikan secara intravena untuk mengatasi hipertensi darurat, hipertensi
maligna, hipertensi ensefalopati, hipertensi berat pada glomerulonefritis
akut dan kronik. Obat ini juga digunakan untuk mengendalikan
hipertensi pada preeklampsia yang refrakter terhadap hidralazin
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Retensi cairan dan hiperglikemia merupakan efek samping yang
paling sering terjadi pada pemberian diazoksid. Efek samping
hiperglikemia terjadi pada kira-kira 50% pasien yang mendapat
diazoksid. Hal ini terjadi karena hambatan sekresi insulin dari sel-sel β
pankreas akibat stimulasi kanal kalium sensitif ATP. Respon tubuh
terhadap pemberian insulin tidak dipengaruhi (Departemen Farmakologi
dan Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Pemberian bolus intravena akan menurunkan tekanan darah
dalam waktu 3-5 menit dan berlangsung kira-kira 30 menit. Dosis dapat
dimulai dengan 50-100 mg dengan interval 5-10 menit. Dapat juga
diberikan secara infus i.v. dengan dosis 15-30 mg/menit (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
d. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme dan Antagonis Reseptor
Angiotensin II
1) Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
a) Mekanisme Kerja
ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga
15
kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi kalium (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun
berat. Bahkan beberapa diantaranya dapat digunakan pada krisis
hipertensi seperti kaptopril dan enalaprilat. Obat ini efektif pada sekitar
70% pasien. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergistik,
sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat dicegah (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Kombinasi dengan β-bloker memberikan efek aditif. Kombinasi
dengan vasodilator lain, termasuk prazosin dan antagonis kalsium,
memberi efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat
adrenergik lain yang menghambat respon adrenergik α dan β sebaiknya
dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi berat dan berkepanjangan
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
Hipotensi, terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor terutama
pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Batuk kering, terjadi
segera atau setelah beberapa lama pengobatan berkaitan dengan
peningkatan kadar bradikinin dan substansi P serta prostaglandin.
Hiperkalemia, terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau
pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen
kalium atau β-bloker (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
Rash, gangguan pengecapan lebih sering pada penggunaan
kaptopril dan beberapa ACE-inhibtor lain. Edema angioneurotik, berupa
pembengkakan di hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan sumbatan jalan
napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping lainnya berupa gagal
ginjal akut, proteinuria, dan efek teratogenik (Departemen Farmakologi
dan Terapeutik FKUI, 2007).
16
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis
(mg)
Pemberian Sediaan
Kaptopril 25-100 2-3 x sehari Tab 12,5 dan 25 mg
Benazepril 10-40 1-2 x sehari Tab 5 dan 10 mg
Enalapril 2,5-40 1-2 x sehari Tab 5 dan 10 mg
Fosinopril 10-40 1 x sehari Tab 10 mg
Lisinopril 10-40 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg
Perindopril 4-8 1-2 x sehari Tab 4 mg
Quinapril 10-40 1 x sehari Tab 5; 10; dan 20
mg
Ramipril 2,5-20 1 x sehari Tab 10 mg
Trandolapril 1-4 1 x sehari
Imidapril 2,5-10 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg
2) Antagonis Reseptor Angiotensin II (ARB)
a) Mekanisme Kerja
Pemberian obat ini akan menghambat semua efek angiotensin II,
seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis,
efek sentral angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan haus),
stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrofi
otot polos pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB
menimbulkan efek yang mirip dengan ACE-inhibitor. Tapi karena tidak
mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak
memiliki efek samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering
terjadi dengan ACE-inhibitor (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
17
b) Indikasi
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular
dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan
aktivitas renin yang rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, dosis
ARB perlu diturunkan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid
dan glukosa darah (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
c) Efek Samping Obat
Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi
seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular, dan sirosis
hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti
insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasi dengan obat-obat yang
cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS
juga bila asupan kalium berlebihan serta bersifat fetotoksik yang
berbahaya untuk janin (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,
2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis
(mg)
Pemberian Sediaan
Losartan 25-100 1-2 x sehari Tab 50 mg
Valsartan 80-320 1 x sehari Tab 40 dan 80 mg
Irbesartan 150-300 1 x sehari Tab 75 dan 150 mg
Telmisartan 20-80 1 x sehari Tab 20; 40; dan 80
mg
Candesartan 8-32 1 x sehari Tab 4; 8; dan 16 mg
18
e. Antagonis Kalsium
1) Antagonis Kalsium
a) Mekanisme Kerja
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot
polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis
kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena
kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh
reflek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan
golongan dihidropirin kerja pendek (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
Sedangkan diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan
takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila
reflek takikardia kurang baik, seperti pada orang tua, maka pemberian
antagonis kalsium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
b) Indikasi
Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan
antihipertensi tahap pertama. Sebagai monoterapi antagonis kalsium
memberikan efektivitas yang sama dengan obat antihipertensi lainnya.
Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar
renin rendah seperti pada usia lanjut. Kombinasi dengan ACE-inhibitor,
metildopa, atau β-bloker (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007).
Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi
darurat. Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik,
baik terhadap lipid, gula darah, maupun asam urat. Pada pasien penyakit
jantung koroner, pemakaian nifedipin kerja singkat dapat meninggikan
risiko infark miokard dan stroke iskemik serta dalam jangka panjang
terbukti mempertinggi mortalitas (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI, 2007).
c) Efek Samping Obat
19
Nifedipin kerja singkat paling sering menyebabkan hipotensi dan
dapat menyebabkan iskemia miokard atau serebral. Refleks takikardia
dan palpitasi mempermudah terjadinya serangan angina pada pasien
dengan PJK. Hipotensi sering terjadi pada pasien usia lanjut, keadaan
deplesi cairan dan yang mendapat antihipertensi lain (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri
meningeal dan di daerah muka. Edema perifer terutama terjadi oleh
dihidropiridin, dan yang paling sering adalah nifedipin. Bradiaritmia dan
gangguan konduksi terutama terjadi akibat verapamil, kurang dengan
diltiazem dan tidak teradi dengan dihidropiridin. Serta efek samping
lainnya berupa efek inotropik negatif, kontipasi, retensi urin, dan
hiperplasia gusi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).
d) Dosis dan Bentuk Sediaan
Obat Dosis
(mg)
Pemberian Sediaan
Nifedipin 3-4 x sehari Tab 10 mg
Nifedipin
(long acting)
30-60 1 x sehari Tab 30; 60; dan 90
mg
Amlodipin 2,5-10 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg
Felodipin 2,5-20 1 x sehari Tab 2,5; 5; dan 10
mg
Isradipin 2,5-10 2 x sehari Tab 2,5 dan 5 mg
Nicardipin Cap 20 dan 30 mg
Nicardipin
SR
60-120 2 x sehari Tab 30; 45; da 60
mg
Amp 2,5 mg/mL
Nisoldipin 10-40 1 x sehari Tab 10; 20; 30;
20
dan 40 mg
Diltiazem 90-180 3 x sehari Tab 30 dan 60 mg
Amp 50 mg/mL
Diltiazem SR 120-540 1 x sehari Tab 90 dan 180
mg
Verapamil 80-320 2-3 x sehari Tab 40; 80; dan
120 mg
Amp 2,5 mg/mL
Verapamil
SR
240-480 1-2 x sehari Tab 240 mg
2. Obat Gagal Jantung
Gagal jantung adalah suatu kumpulan sindrom penyakit yang ditandai dengan
kegagalan dalam pemompaan jantung yang adekuat. Pemompaan jantung yang
inadekuat ini menyebabkan kongesti berat pada pembuluh darah vena yang berfungsi
sebagai reservoar darah sehingga akan terjadi kongesti di pembuluh darah vena yang
kemudian mengganggu pengisian jantung. Karena ada bendungan itulah biasanya
kasus gagal jantung ini disebut gagal jantung kongestif. Manifestasi penyakit yang
penting adalah terjadinya penurunan cardiac output berat dari jantung yang bisa
ditandai oleh adanya penurunan kontraktilitas, massa otot jantung, dan gangguan
sinergisitas konduksi-kontraksi otot jantung. Penyakit ini sering merupakan asosiasi
dengan penyakit infark miokard dan menjadi keadaan patologis akhir dimana perfusi
yang inadekuat akibat pompa jantung yang gagal sudah menimbulkan stress hipoksik
pada berbagai jaringan di area tubuh (Ganiswarna, 2009).
Secara klinis gagal jantung bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu gagal
jantung sistol dan gagal jantung diastol. Gagal jantung sistol terjadi karena
pemompaan dan kontraktilitas miosit jantung tidak adekuat sehingga volume End
Sistolic Volume (ESV) meningkat. Sedangkan gagal jantung diastol terjadi karena
pengisian volume ventrikel tidak sebanyak yang diharuskan sehingga membuat
21
volume End Diastolic Volume (EDV) menurun yang bisa disebabkan kekakuan otot
jantung sehingga compliance jantung turun. Pada banyak kasus, kedua kategori ini
terjadi bersamaan karena memang secara patofisiologis kedua kelainan ini saling
berkaitan. Ketika pengisian ventrikel berkurang maka volume yang dipompa keluar
jantung juga berkurang (forward failure) dan karena volume yang dipompa keseluruh
tubuh menurun maka akan kembali lagi terjadi penurunan pengisian ventrikel dan
darah akan terakumulasi dan terkongesti dalam sistem vena (Backward Failure).
Proses ini secara terus menurus akhirnya sampai pada tahap kekuatan pompa jantung
sudah benar-benar inadekuat dan menimbulkan kekurangan O2 di berbagai jaringan
(Ganiswarna, 2009 dan Brunton et al., 2012).
Forward failure dan Backward failure ini akan mengakibatkan keadaan yang
lebih parah jika terjadi pada sisi kiri jantung dibandingkan sisi kanan jantung. Jika
terjadi Backward failure pada sisi ventrikel kiri jantung maka akan terjadi bendungan
pada pembuluh kapiler paru dan meningkatkan risiko terjadinya edema paru yang bisa
mengganggu difusi pernafasan. Jika terjadi forward failure pada ventrikel kiri, maka
akan terjadi penurunan perfusi darah sistemik termasuk aliran darah ke ginjal
berkurang. Penurunan perfusi darah ke ginjal akan membuat ginjal menjaga volume
darah melalui sistem renin-angiotensin dengan menahan retensi air dan Na+ di plasma
darah sehingga bisa padahal pompa jantung tidak menghasilkan tekanan lebih untuk
mendorong darah tersebut sehingga justru bisa memperburuk kondisi kongesti darah
(Ganiswarna, 2009 dan Brunton et al., 2012).
Selain itu, gagal jantung kongestif juga bisa dibagi menajdi dua yaitu gagal
jantung terkompensasi, dan gagal jantung dekompensasi. Pada keadaan gagal jantung
terkompensasi, tubuh berhasil mempertahankan fungsi pompa jantung melalui
berbagai kompensasi. Jika terjadi penurunan cardiac output dari ventrikel kiri, maka
akan merangsang fungsi saraf simpatis dan dan sistem renin-angiotensin-aldosteron
yang kemudian akan menjaga perfusi darah tetap adekuat dan mengstabilkan preload
jantung dengan memicu inotropik positif otot jantung dan retensi volume darah.
Sesuai hukum Frank-Starkling, bahwa dalam keadan normal peregangan panjang
serat otot jantung akan menambah daya kontraksinya sehingga dengan semakin
besarnya preload yang kemudian akan meningkatkan EDV akan memicu
peningkatan kontraksis sistol ventrikel. Selain itu sistem RAA dan saraf simpatis juga
22
mengatur vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga tahanan perifer cukup kuat
yang mengakibatkan tekanan darah tetap terjadi dan redistribusi darah adekuat ke
jaringan. Dengan kompensasi ini kasus gagal jantung terkompensasi akan bisa tetapi
bekerja secara normal hanya pada tingkat kontraksi yang lebih tinggi dari normal
(Sherwood, 2011).
Namun, pada kasus dekompensasi kordis (gagal jantung dekompensasi) ,
mekanisme kompensasi tidak berjalan semudah itu. Mekanisme yang menjaga
homeostasis ini justru memperparah progresifitas penyakit. Peningkatan preload pada
otot jantung akrena ekspansi volume darah yang terus menerus menyebabkan
hipertrofi ventrikel terutama ventrikel kiri yang kerjanya paling berat. Dengan adanya
peningkatan afterload juga akibat vasokonstriksi pembuluh arteri maka tekanan pada
otot jantung semakin besar yang meningkatkan kebutuhan O2 dengan drastis.
Peningkatan kebutuhan O2 yang semakin lama tidak tercukupi maka akan semakin
memicu Norepinefrin dan Sistem RAA yang bersamaan terjadinya apoptosis miosit,
muncul ekspresi gen miosit abnormal, sampai pada perubahan matriks ekstraseluler
yang akan meningkatkan kekakuan ventrikel. Kalau sudah sampai tahap ini
kompensasi dari tubuh sudah tidak bisa mengembalikan fungsi karena pompa jantung
akan semakin kehilangan kontraktilitasnya dan mengakibatkan perfusi jantung ke
jaringan sistemik turun sampai tingkat yang sangat fatal yang bisa memicu kematian
(Sherwood, 2011).
Secara klinis gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahannya
oleh New York Heart Association, yaitu derajat satu yang ditandai oleh tidak adanya
batasan aktivitas , derajat dua yaitu aksus gagal jantung yang penderitanya sudah
sedikit terbatas dalam aktivitas namun keadaan palpitasi, dispneu dan gangguan lain
hilang saat istirahat. Pada derajat tiga, aktivitas sudah terbatas namun gejalanya
mereda saat istirahat. Pada derajat 4, kondisi semua aktivitas terganggu dan gejala
tidak mereda saat istirahat (McMurray, 2010).
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung (McMurray, 2010).
23
Secara klinis, terapi dan pemberian obat gagal jantung bertujuan untuk
mengurangi gejala akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja, serta
memperpanjang angka harapan hidup. Pada prinsip medisnya, target dalam
pengobatan adalah (Ganiswarna, 2009) :
a. Mengurangi beban kerja jantung
b. Menurunkan aktivitas kontratil miokardium
c. Menekan tingkat preload (tingkat peregangan otot jantung yang ditentukan
volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole) & afterload (tekanan
yang harus dilampaui jantung untuk dapat memompa darah ke system arteri).
d. Memperbaiki frekuensi irama dan frekuensi jantung dengan anti aritmia.
24
Berdasarkan efek kerjanya pada pengaturan tekanan dan volume darah tubuh ,
obat gagal jantung terbagi menjadi 3 kategori yaitu obat-obat inotropik, diuretik, dan
obat vasodilator (Ganiswarna, 2009).
Gambar 2. Alur Patofisiologi Gagal Jantung beserta Obat dan Target Kerjanya
(Brunton, 2012)
a. Obat-obatan Inotropik
Obat-obatan yang bersifat inotropik mampu meningkatkan kemampuan kontraksi
jantung dengan meningkatkan kandungan Ca2+ di sitoplasma sel sehingga bisa
meningkatkan stroke volume yang kemudian akan meningkatkan cardiac output
jantung (Ganiswarna, 2009).
1) Obat Digitalis / Glikosida Jantung
a) Contoh Obat
Digoksin, Digitoksin (Ganiswarna, 2009).
b) Mekanisme Kerja
i. Menghambat enzim Na+-K+ ATPase sehingga menurunkan hidrolisis
ATP untuk mengaktifkan pompa Na+-K+ yang mengakibatkan
25
peningkatan ion Na intrasel. Peningkatan Na ini akan memicu
peningkatan influx Ca ke dalam sel melalui Sistem karier Na+-Ca2+
ii. Peningkatan arus lamabat Ca2+ yang kemudian berefek pada
peningkatan daya kontraksi otot jantung
(Ganiswarna, 2009).
c) Farmakokinetik
i. Absorbsi
Efek absorbsi obat digitalis terhambat oleh adanya makanan. Daya
absorbsi digitoksi lebih besar dari digoksin (Ganiswarna, 2009).
ii. Distribusi
Dalam sirkulasi darah sebagian besar berikatan dengan protein
plasma. Kadar obat di jantung lebih besar daripada di otot dan plasma
(Ganiswarna, 2009).
iii. Metabolisme
Digitoksin mengalami metabolisme lintas pertama di hepar dan
menghasilkan metabolit yang salah satunya adalah digoksin.
Metabolisme digitoksi diperhambat oleh adanya obat fenobarbital,
fenitoin (Ganiswarna, 2009).
iv. Ekskresi
Obat diekskresikan lewat urin (Ganiswarna, 2009).
d) Farmakodinamik
Pada otot jantung memiliki efek inotropik positif yang berarti
meningkatkan kemampuan kontraksinya. Dan sekaligus meningkatkan
cardiac outputnya. Pada sistem saraf meningkatkan efek saraf
parasimpatis saraf vagus. Obat digitalis juga berperan dalam menurunkan
denyut ventrikel pada kasus fibrilasi dan flutter atrium (Ganiswarna,
2009).
e) Indikasi
Kasus gagal jantung, fibrilasi atrium, flutter atrium, dan takikardia
paroksismal (Ganiswarna, 2009).
f) Kontraindikasi
Blok AV total, Blok AV derajat 2 , dan sinus arrest (Ganiswarna,
2009).
26
g) Efek samping obat
Intoksikasi digitalis dengan disertai tanda dan gejala seperti mual,
muntah, anorexia, kelelahan , mengigau, gangguan penglihatan.
Intoksikasi bisa mengganggu konduksi Nodus SA dan AV sehingga bisa
mengganggu sistem listrik jantung dan berpotensi kematian (Ganiswarna,
2009).
h) Dosis dan sediaan
Sediaan digoksin ada dalam bentuk tablet 0,25 mg, 0,5 mg, ampul 2
ml : 0,4 mg, 4 ml : 0,8 mg. Dosis maintenance diberikan 3x 0,25 mg per
hari (3x sehari) (Ganiswarna, 2009).
b. Antagonis aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan
utama aldosteron ialah memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida di tubuli
serta memperbesar ekskresi kalium. Jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi
penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorpsi HCO3- dan
sekresi H+ yang bertambah (Ganiswarna, 2009).
1) Farmakokinetik
Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran cerna,
mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. lkatan
dengan protein cukup tinggi. Metabolit utamanya, kanrenon, memperlihatkan
aktivitas antagonis aldosteron dan turut berperan dailam aktivitas biologik
spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi
kanrenoat yang tidak aktif (Ganiswarna, 2009).
2) Mekanisme kerja
Obat yang juga tergolong diuretik ini menurunkan absorbsi Na+ di
tubulus dan ductus colligentes, sehingga menahan retensi Na+, air dan
beberapa zat lainnya (Ganiswarna, 2009).
3) Indikasi
Gagal jantung, hipertensi dan beberapa penyakit ginjal (Ganiswarna, 2009).
27
4) Kontraindikasi
Pasien dengan insufisiensi ginjal, dan keadaan hiperkalemia (Ganiswarna,
2009).
5) Efek samping
Elek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang
sering terjadi bila obat ini diberikan bersama- sama dengan asupan kalium
yang berlebihan. Tetapi elek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang
biasa diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal yang berat. Efek samping lain yang ringan dan reversibel
diantaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala saluran
cerna. (Ganiswarna, 2009).
6) Contoh Obat
Spironolakton, eplerenon
7) Sediaan dan dosis
Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis
dewasa berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100 mg
dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap
antara spironolakton 25 mg dan hidrokloroliazid 25 mg, serta antara
spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg (Ganiswarna, 2009).
3. Obat Antiaritmia
Obat aritmia dikelompokkan menurut efek elektrofisiologi dan mekanisme
kerjanya. Sebagian besar informasi yang digunakan untuk mengelompokkan obat
anti aritmia berasal dari kajian pada hewan. Obat-obat yang kelas I secara langsung
mengubah arus kation pada membran, khusunsya ion K+ . kelas II meliputi obat-obat
yang terutama mempunyai efek tak langsung terhadap parameter elektrofisiologis,
melalui kesanggupannya dalam menghambat reseptor beta. Obat-obat yang ada di
keals III adalah yang secara langsung mengubah arus kation ion Na+ . akhirnya, obat
yang ada di kelas IV mempunyai efek depresi yang relatif selektif terhadap kanal
Ca++, khususnya jenis L (Gunawan, 2012).
28
Tabel 1. : klasifikasi obat aritmia berdasarkan mekanisme kerjanya (Vaughan-Williams)
Kelas Mekanisme Kerja Obat
I Penyekat kanal Natrium
A Depresi sedang fase 0 dan
konduksi lambat (2+),
memanjangkan repolarisasi
Kuinidin, prokainamid,
disopiramid
B Depresi minimal fase 0,
konduksi lambat (0-1+),
mempersingkat repolarisasi
Lidokain, meksiletin,
fenitoin, tokainid
C Depresi kuat fase 0, konduksi
lambat (3+ - 4+), efek ringan
terhadap repolarisasi
Enkainid, flekainid,
indekanid, propafenon
II Penyekat adrenoseptor beta Propranolol, asebutolol,
esmolol
III Penyekat kanal Na Amoidaron, bretilium,
sotalol, dofetilid, ibutilid
IV Penyekat kanal Ca Verapamil, diltiazem
Besar efek relatif terhadap kecepatan dinyatakan dalam skala 1+ sampai 4+
a. Kelas IA : Kuinidin, Prokainamid, dan disopiramid
Tabel 2. : Rincian obat Kelas IA
Kuinidin Prokainamid Disopiramid
Sediaan Tablet lepas
lambat (324 mg,
330mg)
Tablet dan
kapsul (250-
500mg)
Tablet kerja
lambat (250-
Tablet (100 atau
150 mg basa)
29
1000mg)
IM & IV
(100/500 mg/dL)
Dosis 200-300 mg, 3-4
kali sehari
3-6 g per hari 400-800 mg
untuk 4 dosis
Efek
samping
obat
Gejala saluran cerna, penglihatan kabur, mulut kering,
hambatn miksi, tinitus, tuli, dan lain sebgainya.
b. Kelas IB : Lidokain, fenitoin, Tokainid
Tabel 3. : Rincian obat Kelas IB
Lidokain Meksiliten Tokainid
Sedian Poliampul 20 ml
2%, 2 ml 2%,
Jel 2%
Larutan semprot
10%
Kapsul (150 ;
200 ; 250 mg)
Tablet (400 ; 600
mg
Dois IV 0,7- 1,4
mg/kgBB
IM 4 – 5
mg/kgBB
200-300 mg, max
400 mg tiap 8
jam
400-600 mg tiap 8
jam
Efek smping
obat
Dinodius, ngantuk, kedutan otot, kejang, vertigo, tremor,
pusing, dan lain sebagainya.
c. Kelas IC : Flekainid, Enkainid, Profenon
1) Flekainid
30
Flekainid diabsorbsi hampir sempurna setelah pemberian oral dan
kadar puncak dalam plasma muncul dalam waktu 3 jam. Flekainid
dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan dalam urin dalam bentuk tak
berubah; metabolitnya tidak berkhasiat antiaritmia. Flekainid asetat
( Tambocor) tersedia dalam pemberian per oral sebagai tablet 50, 100, dan
150 mg. Dosis awal adalah 2 kali 100 mg/hari (Gunawan, 2012).
2) Enkainid
Enkainid diabsorbsi hampir sempurna setelah pemberian per oral, tetapi
bioavibilitasnya turun menjadi 30% melaui metabolisme lintas pertama di
hati. Enkaid dimetabolisme oleh sitokrom P450 hati dan mempunyai waktu
paruh 2-3 jam. Tersedia untuk pemmberian per oral sebagia kapsul 25, 35,
dan 50 mg. Dosisi awal adalah 25 mg, diberikan setiap tiga kali sehari, dosis
ini dapat dinaikkan tiap 3-5 hari sampai mencapai 4 kali 50 mg/hari
(Gunawan, 2012).
3) Efek samping obat
Flenikainid dan enkainid (seta propafenon dan indekainid)
diindikasikan untuk aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Semua obat
kelas IC menimbulkan efek samping yang sama pada jantung. Enkainid dan
flekainid meningkatkan risiko kematian mendadak dan henti jantung pada
pasien yang pernah mengalami infark miokard dan pasien dengan aritmia
ventrikel asimptomatik. Kedua obat ini juga dapat menimbulkan disfungsi
sinus dan gagal jantung juga dapat diperberat (Willacy, 2010).
d. Kelas II Beta Bloker
1) Propanolol
Pada pemberian per oral diabsorbsi sangat baik, tetapi metabolisme
lintas pertama menurunkan bioavaibilitasnya. Waktu paruh eliminasi adalah
sekitar 4 jam, namun eliminasinya banyak berkurang bila aliran darah ke hati
meurun. Propanolol terutama diberikan per oral untuk pengobatan aritmia
jangka lama. Biasanya diberikan 3 sampai 4 kali sehari, dosis berkisar dari 30
sampai 320 mg per hari untuk pengobatan aritmia yang sensitif terhadap obat
ini. Dalam keadaan darurat, propanolol dapat diberikan secar intravena
dengan dosis 1-3 mg diberikan dalam beberapa menit disertai pemantauan
EKG yang cermat (Gunawan, 2012).
31
2) Asebutolol
Asebutolol diaborbi dengan baik oleh saluran cerna. Metabolit
utamanya adalah N-asetil asebutolol (diasetolol) yang sama akuat efeknya
dengan asebutolol sebagai beta-bloker dan lebih selektif pada adrenoreseptor
beta-1. Diasetolol dieliminasi sebagian besar oleh ginjl, sehingga dosis
asebutolol peru disesuaikan pada gagal ginjal. Asebutolol peroral unruk
pengobatan aritmia jantung. Dosis awal adalah dua kali 200 mg (Willacy,
2010).
3) Esmolol
Esmolol memiliki waktu paruh hanya 2 menit. Ikatan esternya
dihidrolisis dalam darah dengan cepat oleh esterase sel darah merah. Waktu
eliminasi adalah 8 menit dan metabolitnya tidak aktif. Esmolol diberikan
sacara intravena untuk pengobatan jangka pendek dan sebagia pengobatan
kegawatan pada takikardi supraventrikel (Gunawan, 2012).
4) Efek samping obat
Beta bloker menghambat konduksi nodus AV maka dapat terjadi blok
AV atau asistol. Penghentian beta bloker pada pasien angina pectoris secara
mendadak dapat memperberat angina dan aritmia jantung dan menimbulkan
infark miokard akut (Gunawan, 2012).
e. Kelas III : Bretilium, Amiodaron, Sotalol, Dofetilid, dan Ibutilid
1) Bretilium
Absorbsi oral bretilium adalah buruk, karena merupakan amonium
kwatemer, dieliminasi hampir semuanya melaui ginjal tanpa dimetabolisme.
Waktu paruh adalah sekitar 9 jam, dan naik menjadi 15-30 menit pada pasien
gagal ginjal. Bretilium tosilat tersedia dalam larutan 50 mg/dL. Obat in perlu
diencerkan menjadi 10 mg/dL, dan dosisnya adalah 5-10mg/kgBB yang
diberikan per infus selama 10-30 menit. Untuk pemberian intramuskular
dosisnya dalah 5-10 mg/kgBB tanpa pengenceran dan diulangi aetiap 1-2 jam
bila aritmia belum teratasi atau dilanjutkan dengan pemberian setiap 6-8 jam
untuk pemeliharaan (Gunawan, 2012).
2) Amiodaron
32
Amidaron diabsorbsi secara lambat dan tidak sempurna pada
pemberian per oral, bioavaibilitasnya adalah sekitar 30% dan berbeda antar
individu. Amidoran terkait pada jaringan dan dimetabolisme secara lambat di
hati. Amidaron HCl tersedia sebagai tablet 200 mg. Karena memerlukan
beberapa bulan untuk mencapai efek penuh, diperlukan dosis muat 600-800
mg/hari (elama 4 minggu), sebelum dosis pemeliharaan dimulai dengan 400-
800 mg/hari (Yuniadi, 2009).
3) Sotalol
Pemberian per oral akan diabsorbsi dengan cepat dan bioavaibilitasnya
hampir 100%. Waktu paruhnya adalah sekitar 10-11 jam. Eliminasinya
adalah melalui urin dalam bentuk tka berubah sehingga dosisnya perlu
disesuaikan pada gagal ginjal. Sotalol untuk pengobatan aritmia ventrikel,
doisinya dalah 2 kali 80-320 mg. Keberhasilan terapi dinilai dengan
pencatatan EKG selama 24 jam atau dengan stimulasi ventrikel terprogram
(Gunawan, 2012).
4) Efek samping
Hipotensi adalah efek samping utama bretilium bila diberikan intravena
untuk pengobatan atrium akut. Amidaron menghambat konversi tiroksin
menjadi triidotironin dan menimbulkan kelainan uji fungsi tiroid, gejala
hipotiroid terjadi pada 5% pasien dan 2% paseien mengalami hipertiroid.
Pengobatan sotalol dilaporkan dapat menimbulkan gagal jantung (1%),
proaritmia (2,5%), dan bradikardi (3%) (Willacy, 2010).
f. Kelas IV (Antagonis Kalsium) : Verapamil dan Diltiazem
Verapamil dan diltiazem mempunyai efek langsung terhadap
elektrofisiologik dan mekanik otot jantung dan otot polos pembuluh darah.
Verapamil telah menjadi oabt pilihan pertama untuk pengobatan serangan akut
takikardi supraventrikel paroksismal yang disebabkan oleh arus balik pada
nodus AV. Verapamil juga bermanfaat untuk penurunan segera respon ventrikel
pada fibrilasi atau flutter atrium bila aritmia tidak disertai dengan sindrom
Wolff-Parkinson-White (Willacy, 2010).
Tabel 4. : Rincian Obat Kelas IV
33
Obat Indikasi Dosis
Verapamil Mengubah PSVT
menjadi irama sinus
5 – 10 mg, IV, selama 2-3
menit
Mengendalikan irama
ventrikel pada fibrilasi
atau flutter atrium
10 mg selama 2-5 menit,
diulangi dalam 30 menit
bila perlu
Mencegah kembalinya
PSVT
240-480 mg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis
Diltiazem Pencegahan PSVT 60-90 mg, diberikan tiap
6 jam
4. Obat Anti Angina
Obat yang digunakan untuk menanggulangi serangan akut angina pektoris dan
profilaksisnya meliputi (IONI, 2008):
1) Nitrat
2) Antagonis kalsium
3) β-Bloker
4) Antiangina lain
Nitrat, antagonis kalsium dan aktivator kanal kalium (potassium-channel
activators) mempunyai efek vasodilatasi. Pada gagal jantung, vasodilator bekerja
dengan mendilatasi arteri yang menurunkan resistensi vaskular perifer dan tekanan
sistolik ventrikel kiri sehingga mengakibatkan meningkatnya curah jantung, atau
dilatasi vena yang menyebabkan meningkatnya kapasitas vena, dan berkurangnya
aliran balik vena menuju jantung (menurunkan tekanan diastolik ventrikel kiri).
Angina. Angina stabil biasanya disebabkan oleh plak aterosklerosis pada arteri
koroner, sedangkan angina tidak stabil biasanya disebabkan oleh ruptur plak dan dapat
terjadi pada pasien dengan riwayat angina stabil atau pada pasien yang sebelumnya
menderita penyakit arteri koroner tanpa gejala. Penting untuk membedakan angina
tidak stabil dan angina stabil; ciri-ciri angina tidak stabil adalah angina yang baru 34
terjadi dan langsung berat atau angina stabil yang sebelumnya ada dan tiba-tiba
memburuk (IONI, 2008).
a. Nitrat
Senyawa nitrat berguna dalam pengobatan angina. Walaupun, senyawa nitrat
merupakan vasodilator koroner yang poten, manfaat utamanya adalah mengurangi
alir balik vena sehingga mengurangi beban ventrikel kiri. Efek samping senyawa
nitrat seperti sakit kepala, muka merah, dan hipotensi postural, dapat membatasi
pelaksanaan terapi, terutama pada angina yang berat atau pada pasien yang sangat
sensitif terhadap efek nitrat (IONI, 2008).
Gliseril trinitrat sublingual merupakan salah satu obat yang paling efektif
untuk mengurangi gejala angina dengan cepat. Namun, efeknya hanya 20-30 menit.
Pada pemberian pertama, biasanya diberikan tablet 300 mcg. Bentuk semprot
aerosol merupakan cara lain untuk mengurangi gejala-gejala angina dengan cepat
bagi pasien yang kesulitan untuk melarutkan sediaan sublingual. Lama kerja dapat
diperpanjang dengan modifikasi pelepasan obat dan sediaan transdermal (IONI,
2008).
Isosorbid dinitrat secara sublingual aktif dan merupakan sediaan yang lebih
stabil bagi pasien yang hanya kadang-kadang memerlukan nitrat. Senyawa ini juga
efektif secara oral untuk profilaksis. Walaupun mula kerjanya lebih lambat, tetapi
efeknya dapat bertahan beberapa jam. Aktivitas isosorbid dinitrat mungkin
bergantung pada produksi metabolit aktifnya, terutama isosorbid mononitrat.
Metabolit aktif ini juga tersedia untuk profilaksis angina, namun keuntungannya
dibanding isosorbid dinitrat masih belum jelas (IONI, 2008).
Gliseril trinitrat atau isosorbid dinitrat dapat diberikan secara intravena, bila
bentuk sublingualnya tidak efektif pada pasien nyeri dada akibat infark miokard
atau iskemia yang berat. Pemberian intravena juga bermanfaat dalam pengobatan
gagal ventrikel kiri akut (IONI, 2008).
Toleransi. Beberapa pasien yang diberi senyawa nitrat kerja panjang atau
transdermal dengan cepat mengalami toleransi (efek terapi berkurang). Jika
toleransi diperkirakan dapat terjadi setelah penggunaan sediaan transdermal,
sediaan tersebut harus dihentikan selama beberapa jam berurutan dalam setiap
35
kurun waktu 24 jam. Jika menggunakan sediaan isosorbid dinitrat lepas lambat
(atau formulasi konvensional isosorbid mononitrat), tablet kedua dapat diberikan 8
jam setelah tablet pertama, tidak perlu sampai 12 jam. Sediaan konvensional
isosorbid mononitrat tidak boleh diberikan lebih dari 2 kali sehari (kecuali bila
digunakan dosis kecil), sedangkan bentukretard hanya boleh sekali sehari (IONI,
2008).
Monografi (IONI, 2008):
1) Gliseril Trinitrat
a) Indikasi:
Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
b) Peringatan:
Gangguan hepar atau ginjal berat; hipotiroidisme, malnutrisi, atau
hipotermia; infrak miokard yang masih baru; sistem transdermal yang
mengandung logam harus diambil sebelum kardioversi atau diatermi;
toleransi (lihat keterangan di atas).
c) Interaksi:
Gliseril trinitrat.
d) Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia; kardiopati
obstruktif hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis
konstruktif, stenosis mitral; anemia berat, trauma kepala, perdarahan otak
glaukoma sudut sempit.
e) Efek Samping:
Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi postural, takikardi
(dapat terjadi bradikardi paradoksikal).
Injeksi. Efek samping yang khas setelah injeksi (terutama jika diberikan
terlalu cepat) meliputi hipotensi berat, mual dan muntah, diaforesis, kuatir,
gelisah, kedutan otot, palpitasi, nyeri perut, sinkop; pemberian jangka
panjang disertai dengan methemoglobinemia.
f) Dosis:
36
Sublingual, 0,3-1 mg, bila perlu diulang.
Oral profilaksis angina, 2,6-2,8 mg 3 kali sehari atau 10 mg 2-3 kali
sehari. Infus intravena, 10-200 mcg/menit.
2) Isosorbid Dinitrat
a) Indikasi:
Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri
b) Peringatan:
Gliseril Trinitrat
c) Kontraindikasi:
Gliseril Trinitrat
d) Efek Samping:
Gliseril Trinitrat
e) Dosis:
Sublingual, 5-10 mg.
Oral, sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120 mg; gagal jantung kiri 40-
160 mg, sampai 240 mg bila diperlukan. Infus intravena, 2-10 mg/jam; dosis
lebih tinggi sampai 20 mg/jam mungkin diperlukan.
3) Isosorbid Mononitrat
a) Indikasi:
Profilaksis angina; tambahan pada gagal jantung kongesif
b) Peringatan:
Gliseril Trinitrat
c) Kontraindikasi:
Gliseril Trinitrat
d) Efek Samping:
Gliseril Trinitrat
e) Dosis:
Dosis awal 20 mg 2-3 kali sehari atau 40 mg 2 kali sehari (10 mg 2 kali
sehari pada pasien yang belum pernah menerima nitrat sebelumnya); bila
perlu sampai 120 mg sehari dalam dosis terbagi
37
4) Pentaeritriol Tetranitrat
a) Indikasi:
Profilaksis angina
b) Peringatan:
Gliseril Trinitrat
c) Kontraindikasi:
Gliseril Trinitrat
d) Efek Samping:
Gliseril Trinitrat
e) Dosis:
Oral, 60 mg 3-4 kali sehari
b. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium menghambat arus masuk ion kalsium melalui saluran
lambat membran sel yang aktif. Golongan ini mempengaruhi sel miokard jantung,
dan sel otot polos pembuluh darah, sehingga mengurangi kemampuan kontraksi
miokard, pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung, dan tonus
vaskuler sistemik atau koroner. Pemilihan obat-obat golongan antagonis kalsium
berbeda-beda berdasarkan perbedaan lokasi kerja, sehingga efek terapetiknya tidak
sama, dengan variasi yang lebih luas daripada golongan beta-bloker. Terdapat
beberapa perbedaan penting di antara obat- obat golongan antagonis kalsium
verapamil, diltiazem, dan dihidropiridin (amlodipin, felodipin, isradipin, lasidipin,
lerkanidipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin, dan nisoldipin). Verapamil dan
diltiazem biasanya harus dihindari pada gagal jantung karena dapat menekan
fungsi jantung sehingga mengakibatkan perburukan klinis (IONI, 2008).
Verapamil digunakan untuk pengobatan angina, hipertensi, dan aritmia. Obat
ini merupakan antagonis kalsium dengan kerja inotropik negatif yang poten,
mengurangi curah jantung, memperlambat denyut jantung, dan mengganggu
konduksi AV. Dengan demikian verapamil dapat mencetuskan gagal jantung,
memperburuk gangguan konduksi, dan menyebabkan hipotensi pada dosis tinggi.
Karena itu obat ini tidak boleh digunakan bersama dengan beta-bloker. Efek
samping utamanya berupa konstipasi (IONI, 2008).
Nifedipin merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi arteri koroner
dan perifer. Obat ini lebih berpengaruh pada pembuluh darah dan kurang
38
berpengaruh pada miokardium dari pada verapamil. Tidak seperti verapamil,
nifedipin tidak mempunyai aktivitas antiaritmia. Nifedipin jarang menimbulkan
gagal jantung, karena efek inotropik negatifnya diimbangi oleh pengurangan kerja
ventrikel kiri. Sediaan nifedipin kerja pendek tidak dianjurkan untuk pengobatan
jangka panjang hipertensi, karena menimbulkan variasi tekanan darah yang besar
dan refleks takikardia (IONI, 2008).
Nikardipin memiliki efek serupa dengan nifedipin, dengan menghasilkan
sedikit pengurangan kontraktilitas miokard. Amlodipin dan Felodipin
menunjukkan efek yang serupa dengan nifedipin dan nikardipin, tidak mengurangi
kontraktilitas miokard dan tidak menyebabkan perburukan pada gagal jantung.
Obat ini mempunyai masa kerja yang lebih panjang, dan dapat diberikan sekali
sehari. Nifedipin, nikardipin, amlodipin, dan felodipin digunakan untuk
pengobatan angina atau hipertensi. Semuanya bermanfaat pada angina yang
disertai dengan vasospasme koroner. Efek samping akibat efek vasodilatasinya
adalah muka merah dan sakit kepala, dan edema pergelangan kaki (yang hanya
memberikan respons parsial terhadap diuretika) (IONI, 2008).
Diltiazem efektif untuk sebagian besar angina. Selain itu, sediaan kerja
panjangnya juga digunakan untuk terapi hipertensi. Senyawa ini dapat digunakan
untuk pasien yang karena sesuatu sebab tidak dapat diberikan beta-bloker. Efek
inotropik negatifnya lebih ringan dibanding verapamil dan jarang terjadi depresi
miokardium yang bermakna. Meskipun demikian, karena risiko bradikardinya,
tetap diperlukan kehati-hatian bila digunakan bersama beta-bloker (IONI, 2008).
Monografi (IONI, 2008):
1) Amlodipin
a) Indikasi:
Hipertensi, profilaksis angina
b) Peringatan:
Kehamilan, gangguan fungsi hati.
c) Interaksi:
Antagonis kalsium.
d) Kontraindikasi:
Syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan,
menyusui.
39
e) Efek Samping:
Nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema, gangguan tidur,
sakit kepala, pusing, letih; jarang terjadi, gangguan saluran cerna, mulut
kering, gangguan pengecapan, hipotensi, pingsan, nyeri dada, dispnea,
rhinitis, perubahan perasaan, tremor, paraestesia, gangguan kencing,
impoten, ginekomastia, perubahan berat badan, mialgia, gangguan
penglihatan, tinitus, pruritus, ruam kulit (termasuk adanya laporan eritema
multiform), alopesia, purpura dan perubahan warna kulit; sangat jarang,
gastritis, pankreatitis, hepatitis, jaundice, kolestasis, hiperplasia pada gusi,
infark miokard, aritmia, vaskulitis, batuk, hiperglikemia, trombositopenia,
angioedema dan urtikaria
f) Dosis:
Hipertensi atau angina, dosis awal 5 mg sekali sehari; maksimal 10 mg sekali
sehari
2) Diltiazem Hidroklorida
a) Indikasi:
Pengobatan angina pektoris; profilaksis angina pektoris varian; hipertensi
esensial ringan sampai sedang.
b) Peringatan:
Kurangi dosis pada pasien gangguan fungsi hati dan ginjal; gagal jantung
atau gangguan bermakna fungsi ventrikel kiri yang bermakna , bradikardi
(hindarkan jika berat), blokade AV derajat satu, atau perpanjangan interval
PR.
c) Interaksi:
Aantagonis kalsium.
d) Kontraindikasi:
Bradikardi berat, gagal jantung kongesti (denyut jantung di bawah 50
denyut/menit); gagal ventrikel kiri dengan kongesti paru, blokade AV derajat
dua atau tiga (kecuali jika digunakan pacu jantung), sindrom penyakit sinus
(sinus bradikardi, sinus ares, sinus atrial); kehamilan; menyusui; hipersensitif
terhadap diltiazem.
40
e) Efek Samping:
Bradikardi, blokade sino-atrial, blokade AV, jantung berdebar, pusing,
hipotensi, malaise, asthenia, sakit kepala, muka merah dan panas, gangguan
saluran cerna, edema (terutama pada pergelangan kaki); jarang terjadi ruam
kulit (termasuk eritema multiforme dan torn dermatitis), fotosensitif;
dilaporkan juga hepatitis, gynaecomastia, hiperplasia gusi, sindrom
ekstrapiramidal, dan depresi
f) Dosis:
Aritmia, 60 mg tiga kali sehari (usia lanjut awalnya dua kali sehari) jika perlu
tingkatkan hingga 360 mg sehari disesuaikan dengan usia dan gejala
hipertensi esensial ringan sampai sedang, dewasa oral 100-200 mg satu kali
sehari, angina varian, dewasa oral 100 mg sekali sehari, jika tidak ada
perubahan maka dapat ditingkatkan hingga 200 mg satu kali sehari.
3) Felodipin
a) Indikasi:
Hipertensi, angina.
b) Peringatan:
Hentikan bila terjadi nyeri iskemik; gangguan hati; menyusui; hindari sari
buah grape-fruit(mempengaruhi metabolisme).
c) Interaksi:
Antagonis kalsium.
d) Kontraindikasi:
Kehamilan.
e) Efek Samping:
Muka merah, sakit kepala, palpitasi, pusing, fatigue, edema kaki, ruam kulit
dan gatal, hiperplasia, demam, impoten.
f) Dosis:
Hipertensi, dosis awal 5 mg (usia lanjut 2,5 mg) sehari pada pagi hari; dosis
penunjang lazim 5-10 mg sekali sehari; jarang diperlukan dosis di atas 20 mg
sehari. Angina, dosis awal 5 mg sehari pada pagi hari, jika perlu tingkatkan
sampai 10 mg sekali sehari.
4) Dan Obat Antagonis Kalsium lainnya
41
c. β-Blocker
d. Anti Angina Lain
Monografi (IONI, 2008):
1) IVAbradin
a) Indikasi:
Arteri koroner, pengobatan simtomatik angina pektoris stabil kronik pada
pasien dengan ritme sinus normal yang tidak dapat mentoleransi penggunaan
beta-bloker, gagal jantung kronis (gagal jantung kronis kategori NYHA II
sampai IV dengan disfungsi sistolik, ritme sinus dan denyut jantung ≥ 75
detak/menit) dikombinasikan dengan terapi standar termasuk terapi yang
menggunakan beta-bloker atau tidak dapat mentoleransi penggunaan beta-
bloker.
b) Peringatan:
Gagal jantung ringan termasuk disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, pasien
dengan fibrilasi atrial atau aritmia lainnya dipantau (ketidakefektifan
pengobatan), hipotensi sedang,retinitis pigmentosa, lansia, gangguan fungsi
hati (sedang), gangguanfungsi ginjal apabila kreatinin klirens kurang dari 15
mL/menit.
c) Interaksi:
Tidak dianjurkan penggunaan bersama dengan diltiazem atau verapamil,
denyut jantung dimonitor pada penggunaan bersama inhibitor CYP3A4
seperti flukonazol, pemberian bersama amiodaron atau disopiramid
meningkatkan risiko aritmia ventrikular, pemberian bersama klaritromisin
dan telitromisin dapat meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian
bersama eritromisin meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian
bersama ketokonazol meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian
bersama flukonazol meningkatkan kadar plasma ivabradin- dosis awal
ivabradin diturunkan, pemberian bersama itrakonazol kemungkinan dapat
meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian bersama meflokuin
meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian bersama pimozid atau
sertindol meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian bersama
nelfinavir dan ritonavir kemungkinan dapat meningkatkan kadar plasma
ivabradin, pemberian bersama sotalol meningkatkan risiko aritmia ventrikel,
42
pemberian bersama diltiazem dan verapamil meningkatkan kadar plasma
ivabradin, pemberian bersama grapefruit juice meningkatkan kadar plasma
ivabradin sehingga harus dihindari, pemberian bersama pentamidin isetionat
meningkatkan risiko aritmia ventrikel.
d) Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap ivabradin, bradikardi (denyut jantung kurang dari
60 detak/menit), syok kardiogenik, infark miokard akut, sesaat setelah
stroke, sick-sinus syndrome, sino-atrial block, gagal jantung sedang sampai
berat, pasien dengan pacemaker, angina tidak stabil, blokade jantung derajat
dua dan tiga, congenital QT syndrome, gangguan fungsi hari berat, hipotensi
berat (tekanan darah < 90/50 mmHg), pemberian bersama inhibitor CYP3A4
seperti ketokonazol, itrakonazol, antibiotik makrolida (klaritromisin,
eritromisin, josamisin, telitromisin), inhibitor protease HIV (nelfinavir,
ritonavir) dan nefazodon, kehamilan, menyusui.
e) Efek Samping:
Sangat umum: gangguan penglihatan termasuk phosphenes umum: sakit
kepala (bulan pertama pengobatan), pusing (akibat bradikardi), pandangan
kabur, bradikardi, perpanjangan interval PQ pada EKG (AV 1st degree block),
ekstrasistol ventrikel; tidak umum: eosinofil, hiperurisemia, sinkop (akibat
bradikardi), vertigo, palpitasi, ekstrasistol supraventrikel, hipotensi (akibat
bradikardi), dispnea, mual, konstipasi, diare, angioedema, ruam, kram otot,
astenia (akibat bradikardi), letih, peningkatan kreatinin
darah. Jarang: eritema, pruritus, urtikaria, malaise (akibat bradikardi). Sangat
jarang: fibrilasi atrial, sick-sinus syndrome, AV 2nd degree block, AV
3rd degree block.
f) Dosis:
Arteri koroner: dosis awal 5 mg dua kali sehari, apabila diperlukan dosis
dapat ditingkatkan setelah 3-4 minggu pengobatan menjadi 7,5 mg dua kali
sehari, apabila pasien tidak dapat mentoleransi dosis ini (denyut jantung pada
saat istirahat kurang dari 50 detak/menit atau muncul gejala bradikardi
seperti pusing, kelelahan atau hipotensi) maka dosis diturunkan menjadi 2,5
mg dua kali sehari, pengobatan harus dihentikan apabila denyut jantung tetap
di bawah 50 detak/menit atau gejala bradikardi muncul, lansia dosis awal 2,5
43
mg dua kali sehari; gagal jantung kronis: dosis awal 5 mg dua kali sehari,
setelah 2 minggu pengobatan apabila diperlukan dosis dapat ditingkatkan
menjadi 7,5 mg dua kali sehari jika denyut jantung istirahat terus-menerus
lebih dari 60 detak/menit atau diturunkan menjadi 2,5 mg dua kali sehari jika
denyut jantung istirahat terus-menerus kurang dari 50 detak/menit atau
muncul gejala bradikardi seperti pusing, kelelahan atau hipotensi, pengobatan
harus dihentikan apabila denyut jantung tetap di bawah 50 detak/menit atau
gejala bradikardi tetap muncul.
2) Nesiritid
a) Indikasi:
Terapi intravena pada gagal jantung kongestif akut yang mengalami dispnea
pada saat istirahat atau dengan aktivitas yang minimal.
b) Peringatan:
Dapat terjadi reaksi alergi karena kandungan proteinnya yang diberikan
secara parenteral. Hindari pada pasien dengan cardiac filling pressure rendah
atau berpotensi mengalami cardiac filling pressure rendah. Tidak dianjurkan
pada kondisi valvular stenosis, kardiomiopati obstruktif atau restriktif,
perikarditis konstriktif, pericardial tamponade. Dapat menyebabkan
hipotensi, sehingga harus diikuti dengan monitoring tekanan darah secara
intensif. Risiko hipotensi meningkat jika diberikan bersamaan dengan obat
lain yang menyebabkan hipotensi atau pemberian dosis yang lebih tinggi
daripada yang dianjurkan. Dapat menyebabkan azotemia dan peningkatan
klirens kreatinin.
c) Interaksi:
Peningkatan efek hipotensi dengan pemberian bersamaan dengan
penghambat ACE atau obat lain yang menimbulkan efek hipotensi.
Inkompatibel secara fisika dan kimia dengan injeksi heparin, insulin,
etakrinat, bumetanid, enalaprilat, hidralazin dan furosemid.
d) Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap nesiritid. Tidak boleh digunakan sebagai terapi awal
pada kondisi syok kardiogenik atau pada pasien dengan tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg pada awal terapi.
44
e) Efek Samping:
Hipotensi, takikardi ventrikel, ekstrasistol ventrikel, bradikardi, angina
pektoris, sakit kepala, nyeri abdomen, nyeri punggung, insomnia, pusing,
ansietas, mual, muntah.
f) Dosis:
Injeksi bolus 2 mcg/kg bb diikuti dengan pemberian melalui infus 0,01
mcg/kg bb/menit.
3) Trimetazidin Dihidroklorida
a) Indikasi:
Terapi tambahan pada antiangina lain. Tidak digunakan sebagai terapi
tunggal.
b) Peringatan:
Kehamilan dan menyusui. Tidak sebagai terapi kuratif serangan angina, tidak
untuk pengobatan awal angina tidak stabil atau infark miokard; Gagal ginjal
dengan bersihkan kreatinin < 15 mL/menit, gagal hati berat.
c) Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap obat dan komponen obat, menyusui.
d) Efek Samping:
Jarang terjadi: mual, muntah.
e) Dosis:
Dua kali sehari pada pagi dan sore hari saat makan.
45
II. METODE PRAKTIKUM
A. Binatang Percobaan / Orang Percobaan
2 ekor katak
B. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Pisau bedah
b. Pinset
c. Gunting lurus
d. Pipet tetes
e. Alat perusak otak katak
f. Papan
g. Beker glass
h. Alat pengukur waktu
2. Bahan
a. Sulfas Atropin (Ampule)
b. Ringer Laktat
C. Cara Kerja
1. Rusak SSP masing – masing katak.
2. Terlentangkan masing – masing katak di atas papan.
3. Gunting kulit bagian ventral katak untuk membuka abdomen sampai thoraks dari
katak.
4. Buka selaput perikardium dari katak.
5. Jaga agar jantung katak tetap basah dengan diberikan larutan ringer laktat.
6. Pada katak pertama berikan 1 tetes larutan ringer laktat tiap 1 menit, sedangkan pada
katak kedua berikan sulfas atropin 1 tetes.
7. Catat denyut, ukuran, warna, irama atrium dan ventrikel selama 5 menit selama 15
menit.
46
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 3.1. Perubahan yang diamati dari jantung katak yang diberikan atropin
sulfat dan yang tidak diberikan atropin sulfat.
Tiga menit
ke-
Faktor yang
diamati
Katak yang tidak
diberikan atropin
sulfat
Katak yang diberikan
Atropin
1 Irama Atrium-
Ventrikel
Reguler Reguler
Denyut Atrium-
Ventrikel
43x/menit 84x/menit
Ukuran Atrium-
Ventrikel
Normal Normal
Warna Jantung Merah darah segar Merah darah
segar/merahtua
2 Irama Atrium-
Ventrikel
Reguler Irreguler
Denyut Atrium-
Ventrikel
43x/menit 80x/menit
Ukuran Atrium-
Ventrikel
Normal Mengecil
Warna Jantung Merah darah segar Merah darah
agakterang
3 Irama Atrium-
Ventrikel
Reguler Irreguler (Melemah)
Denyut Atrium-
Ventrikel
42x/menit 64x/menit
47
Ukuran Atrium-
Ventrikel
Normal Mengecil
Warna Jantung Merha darah segar Merah darah terang
B. Pembahasan
Praktikum kali ini menggunakan dua larutan yakni ringer laktat dan atropin sulfat.
Praktikum ini melihat hubungan atropin sulfat dengan jantung katak. Atropin sulfat
merupakan obat antimuskarinik golongan belladona. Atropin sulfat beraksi pada saraf
post ganglion. Dosis 0,25mg Atropin sulfat yang diberikan akan menimbulkan efek
hanya menurunkan sekresi air liur dan keringat, sementara pada dosis 0,5-1 mg Atropin
sulfat akan memberikan efek dilatasi pupil, penghambatan vagus pada jantung, dan lain-
lain (Handoko, et al, 2012).
Efek pemberian sulfat atropin dengan dosis sekitar 0,4-0,6 mg pada menit-menit
awal akan menurunkan denyut jantung. Namun, pada pemberian dosis yang semakin
tinggi dan menunggu sampai menit-menit berikutnya denyut jantung akan meningkat.
Tempat kerja sulfat atropin ini adalah di penghambatan jalan asetilkolin. Asetilkolin
memberikan efek untuk memberikan impuls untuk berkontraksi pada jantung. Efek
relaksasi didapatkan dari blokade jalan asetilkolin agar tidak menghantarkan impuls
(Brunton, et al,2008).
Atropin sulfat terbukti sebagai antimuskarinik dengan cara memblok hantaran
impuls melalui asetilkolin. Anestesi umum atropin sulfat juga digunakan untuk
merelaksasikan tubuh saat akan dilakukan operasi. Semuanya mengalami penurunan oleh
karena hambatan tersebut. Efek tersebut dibuktikan pada jantung katak di praktikum
farmakologi ini (Handoko,et al, 2012).
Denyut jantung sebanding dengan irama. Irama jantung semakin ireguler oleh
karena daya kompensasi jantung untuk mengirimkan darah ke jaringan yang semakin
menurun pasokan oksigennya. Sementara, pada warna jantung tidak terdapat perubahan
menjadi sianosis atau lainnya. Hal tersebut terjadi olehkarena mekanisme kompensasi
yang masih baik dan jantung belum sepenuhnya berhenti dari kerjanya. Sehingga oksigen
masih tersalurkan dengan baik. Bila oksigen masih tersalurkan dengan baik dan perfusi
tidak terganggu atau tidak ada obstruksi maka keadaan sianosis tidak akan nampak
(Sherwood, 2012).
48
Keadaan katak yang diberikan atropin sulfat sangat berbeda sekali dengan katak
yang tidak diberi perlakuan. Variabel yang paling mencolok yaitu dilihat dari denyut
jantung, irama, serta ukuran jantung. Denyut jantung katak cenderung dalam range yang
tidak berubah (normal). Irama dari jantungnya pun reguler, tidak melambat atau cepat
(reguler). Ukuran jantungnya pun dalam batas normal, tidak sekecil jantung yang
mengalami bradikardi. Walaupun dirusak otaknya, sinyal dari pacemaker tidak dihambat
oleh atropin sulfat sehingga denyutnya cendereung teratur. Sinyal yang dihantarkan baik
menuju atrium dan ventrikel akan setimbang, namun kedepannya akan melemah setelah
beberapa lama oleh karena pacemakernya pun kekurangan suplai nutrisi dan oksigen
untuk mempertahankan denyut. Penurunan denyutnya tidak sedrastis yang diberikan
atropin sulfat (namun secara perlahan) (Guyton and Hall, 2014).
49
IV. KESIMPULAN
1. Pemberian sulfas atropine pada katak dapat memberikan efek berup apeningkatan denyut
jantung yang disertai perubahan irama jantung menjadi ireguler.
2. Pemberian sulfas atropine membuat ukuran jantung katak membesar sebagai efek dari
kontraksi otot jantung yang mengalami peningkatan.
3. Terdapat rentang waktu dari pemberian sulfas atropin hingga menimbulkan reaksi pada
katak.
50
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta. Sagung Seto
Brunton , Laurence L. 2011. Goodman and Gilman : The Pharmacological Basis of Therapeutics 12th edition. United Stated of America : The McGraw Hill Companies , Inc.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi ed 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Ganiswarna, Sulistia G. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Bagian Penerbit FKUI.
Gunawan, Sulistia Gan. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit FKUIWillacy, halley. 2010. Anti-arrhytmic drug. Diakses dari :
http://www.ptient.co.uk/doctor/Anti-arrhytmic-Drugs.htm (diakses pada 18 April 2015)Handoko, T.S, dkk. 2012. Farmakologi Dan Terapi Edisi 7. Jakarta : Penerbit FKUIKatzung, B.G., et al. 2012. Basic And Clinial Pharmacology 12th Edition. New York:
McGraw Hill
McMurray, John JV. 2010. “Systolic Heart Failure”. New England Journal of Medicine. 36(2) : 228-238.
Noer Staffoeloh et la.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta :EGC.
Yuniadi, Yoga. 2009. Aplikasi Kinis Beberapa Trial Amiodaron. Jurnal Kardiologi Indonesia. 30; 25-31.
51
Recommended