PENGGUNAAN REKAMAN VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI
ELEKTRONIK TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT
RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
M. RIFQI ADJOMI
NIM: 11150450000041
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
PENGGUNAAN REKAMAN VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI
ELEKTRONIK TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT
RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
M. RIFQI ADJOMI
NIM: 11150450000041
Pembimbing
Afwan Faizin, M.A.
NIP. 197210262003121001
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PENGGUNAAN REKAMAN VIDEO SEBAGAI
ALAT BUKTI ELEKTRONIK TINDAK PIDANA PERZINAAN
MENURUT RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA
PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi
Hukum Pidana Islam.
9 April 2020
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Qasim Arsadani, M.A. (..........................)
NIP. 196906292008011016
Sekrertaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (..........................)
NIP. 197604082007101001
Pembimbing : Afwan Faizin, M.A. (..........................)
NIP. 197210262003121001
Penguji I : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, SH., M.A. (..........................)
NIP. 197112121995031001
Penguji II : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum (..........................)
NIP. 197202032007011034
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 April 2020
M. Rifqi Adjomi
v
ABSTRAK
Muhammad Rifqi Adjomi. NIM 11150450000041. PENGGUNAAN
REKAMAN VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK TINDAK
PIDANA PERZINAAN MENURUT RANCANGAN KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.
Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syari‟ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H / 2020 M.
Adanya Skripsi ini di tulis oleh penulis, penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran bagaimana konsepsi hukum mengenai rekaman video
sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan menurut Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara pidana dan Hukum Pidana Islam. Selain itu, yang lebih
penting adalah bagaimana perbandingan konsepsi hukum sistem pembuktian
menurut hukum Islam dan hukum Positif.
Metode penelitian yang digunakan dalam Skripsi ini adalah metode
pendekatan yuridis - normatif dan komperatif serta studi kepustakaan (library
research), Sehingga penelitian hukumnya menekankan pada penelaahan sebagai
norma dan dapat menggambarkan perbandingan pembuktian tindak pidana
perzinaan menurut hukum Islam dan hukum positif. Tindak pidana perzinaan
menurut hukum positif yang dapat dikenakan hukuman hanya pada seseorang
yang sudah mempunyai ikatan perkawinan saja, sedangkan menurut hukum Islam
pezina yang dapat dihukum yaitu pezina muhshan dan ghairu muhshan. Sistem
pembuktian untuk tindak pidana perzinaan menurut hukum positif itu dapat
diproses dengan menggunakan alat-alat bukti sesuai dengan hukum acara pidana
positif, dalam hukum islam, sistem pembuktian tindak pidana perzinaan dapat
diproses dengan alat-alat bukti yang sesuai dengan hukum acara pidana Islam,
baik pezina muhshan maupun ghairu muhshan.
Sumber data dalam penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh para ahli
hukum Islam seperti Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili,
Hukum Acara Peradilan Islam karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, al-Ťasyrȋ al-Jinȃi
karya Abdul al-Qadir Audah, Peradilan dan Hukum Acara Islam karya Hasbi Ash
Shiddieqy dan lain-lain. Sedangkan data dalam bidang hukum positif adalah
seperti KUHAP, Jurnal, dan Undang-undang yang membahas tentang kedudukan
alat bukti Elektronik.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa bukti elektronik berupa visualisasi
gambar atau rekaman video bisa di jadikan sebagai alat bukti tindak pidana
perzinaan dengan melihat bahwa data atau dokumen elektronik tersebut benar dan
asli tanpa adanya rekayasa. dalam hukum islam pembuktian dengan menggunakan
rekaman video tindak pidana perzinaan, dapat di kategorikan sebagai salah satu
bentuk qarȋnah yaitu definisi dari alat bukti qarȋnah (petunjuk). Sedangkan dalam
hukum positif klasifikasi mengenai alat bukti elektronik telah ditentukan
muatannya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menurut pasal 5 ayat (1). Kemudian dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga dirancangkan akan diakomodirnya
pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan pidana menurut
pasal 177 ayat (1) huruf c yaitu “Bukti Elektronik”.
vi
(Kata Kunci : Alat Bukti Elektronik, Tindak Pidana Perzinaan, RUU KUHAP)
Pembimbing : Afwan Faizin, M.A.
Daftar Pustaka : 1976 s.d 2018
vii
بسى الله انره ح انره حيى
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa Umat Islam dari zaman kebodohan,
hingga ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Dengan selesainya skripsi ini yang berjudul “PENGGUNAAN REKAMAN
VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK TINDAK PIDANA
PERZINAAN MENURUT RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM”, yang disusun
sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program Strata Satu (S1)
di Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat keilmuan
khususnya di Fakultas Syari‟ah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah). Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari
kawan-kawan serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan
memberikan sumbangsih ide serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh
karena itu, penulis merasa sangat perlu untuk mengucapkan terima kasih sebagai
bentuk penghargaan kepada :
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.A., M.H., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Qasim Arsadani, M.A., ketua prodi Hukum Pidana Islam yang
selalu berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya
untuk memberikan pencerahan serta pengarahan yang begitu baik bagi
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Mohammad Mujibur Rohman, M.A., sekretaris prodi Hukum
Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
viii
4. Bapak Afwan Faizin, M.A., dosen pembimbing yang senantiasa sabar,
peduli, dan selalu memberikan pengarahan yang begitu baik bagi penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis
memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang senantiasa memberikan fasilitas dan
pelayanan kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan berupa
buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang
diperlukan.
7. Pimpinan dan karyawan akademik Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang senantiasa memberikan fasilitas dan
pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan keperluan administrasi
selama menyelesaikan skripsi ini.
8. Dr. Isnawati Rais, M.A., dosen Penasihat Akademik yang dalam hal ini
selalu memberikan arahan dan motivasi demi terselesaikannya skripsi ini.
9. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak mencurahkan ilmu pengetahuan
kepada penulis selama menjalani masa studi berlangsung.
10. Kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Papah (Alm) H. Cecep
Khoeruddin dan Ibunda tercinta ibu Hj. Siti Mahbubatul Alawiyah yang
selalu memberikan dukungan, semangat, nasihat, dan doa yang tiada
henti-hentinya selama penulis menempuh kuliah Strata 1 (S1). Semoga
Almarhum Papah H. Cecep Khoeruddin diberikan tempat yang terbaik di
sisi Allah Subhanahu wa ta‟ala, dan semoga Mamah Hj. Siti Mahbubatul
Alawiyah senantiasa diberikan umur yang panjang dan kesehatan selalu
oleh Allah Subhanahu wa ta‟ala.
11. Semua Anggota keluarga penulis, yaitu Hanidah Rahmah sebagai kakak
perempuan pertama, H. Jamaludin Al-Maliki sebagai kakak kedua, Halwa
ix
Nabilla sebagai kakak perempuan ketiga, Aden Anbari sebagai kakak ke
empat, kedua adik penulis yaitu Hilal Al-Munawwar dan Dhiaulhaq yang
semuanya itu tiada hentinya untuk selalu memberikan dorongan dan do‟a
kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.
12. Bapak H. Ibnu Afwan Al-Akromi selaku kakak ipar dari penulis, yang
telah membantu memberikan dorongan dan do‟a sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
13. Seluruh rekan-rekan Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Angkatan 2015, selaku kawan-kawan seperjuangan selama di
bangku perkuliahan yang selama ini selalu mengajarkan arti sebuah
pertemanan, yang selalu ada di saat suka, duka, ceria, tawa, dan bahagia
kepada penulis. Terimakasih atas kebersamaan dan waktu yang telah kita
alami bersama, semoga kelak kita dipertemukan kembali sebagai orang-
orang yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.
14. Semua sahabat seperjuangan NANO-NANO CREW (NNC), diantaranya
Sahabat Burhanuddin, S.H., Ali Maksum Asngari, Riyadhul Fikri,
Muhammad Nur Oktapian, S.H., Awaludin Fikri, Muhammad Galih
Prakoso, S.H., Muhammad Aldi Fayed S. Arief, Hasin Abdullah,
Muhammad Anggi Prabowo, Adam Ridho Muzakki, Kaharudin Aldian
Saputra dan Rifqi Faris yang dalam hal ini telah memberikan arti sebuah
persahabatan. Suka, duka, dan berbagi keceriaan bersama sudah menjadi
hal yang rutin untuk dilakukan, dan menjadi sebuah penghibur dikala
penat melanda penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
sahabat atas dukungan, motivasi, dan nasihat yang selama ini telah
dicurahkan, semoga kita dapat dipertemukan kembali sebagai orang yang
sukses dengan pekerjaan yang ditekuni.
15. Seluruh kader dan anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (PMII KOMFAKSYAHUM)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu dalam
merasakan sebuah proses dan pengalaman dalam keorganisasian kepada
penulis.
x
16. Seluruh Anggota Ikatan Warga Alumni Tanwiriyyah (IKAWARTA) yang
telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
17. Seluruh Anggota Himpunan Mahasiswa Alumni Darut Tafsir (HIMADA)
yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
18. Seluruh kawan-kawan Kuliah Kerja Nyata, yakni KKN SEMARAK
DELAPAN, yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
19. Seluruh kawan-kawan Perkopian Komplek Palem Raya (PKPR),
diantaranya sahabat Fadhli Naufal, Faiz Watsiqul Umam, Daffa Aditya,
Syariful Alam S. Siradj, Lukman Hakim, Adly, Novaldi Ferdiansyah,
Andika Dwi Febrian, Muhammad Reza dan Hasby yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
20. Seluruh pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
turut membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi ini.
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil
„Alamiin dan Terima Kasih yang sebesar-besarnya. Besar harapan semoga skripsi
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya,
ȃmȋn yȃ Rabbal ȃlamȋn.
Jakarta, 26 Januari 2020 M
2 Jumadil Akhir 1441 H
M. Rifqi Adjomi
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL ................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI.. ................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK......... ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI...... ....................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...................................................... 8
C. Perumusan Masalah ................................................................................. 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 9
E. Tinjauan Studi Terdahulu ......................................................................... 10
F. Metode Penelitian..................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TEORI PEMBUKTIAN ......................................... 15
A. Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana ....................................... 15
1. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana ...................................... 15
2. Macam-Macam Pembuktian .............................................................. 19
B. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana ........................................... 21
C. Kedudukan Saksi dalam Hukum Acara Pidana ....................................... 22
D. Kedudukan Saksi Ahli/Keterangan Ahli Menurut Hukum Acara Pidana 24
E. Teori Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Islam ......................... 26
1. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Islam................................. 26
2. Dasar Hukum Pembuktian ................................................................. 29
3. Saksi Ahli dalam Hukum Acara Pidana Islam ................................... 30
4. Kedudukan Saksi Dalam Hukum Acara Pidana Islam ....................... 32
BAB III REKAMAN VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK
DALAM KASUS PERZINAAN MENURUT HUKUM POSITIF ...................... 36
xii
A. Pandangan Hukum Positif Mengenai Alat Bukti Elektronik Rekaman
Video ........................................................................................................ 36
B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik dalam Persidangan ........... 39
C. Kedudukan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana
Perzinaan Menurut Pandangan Hukum Pidana Positif ............................ 42
BAB IV KEDUDUKAN BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT RUU-KUHAP DAN HUKUM
PIDANA ISLAM ...................................................................................................... 44
A. Alat Bukti Elektronik Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana ............................................................................... 44
B. Kedudukan Bukti Elektronik (Rekaman Video) Dalam Fiqh Jinayah .... 47
C. Kedudukan Bukti Elektronik (Rekaman Video) Menurut Pandangan
Hukum Islam ............................................................................................ 50
D. Analisis Penulis Tentang Alat Bukti Elektronik (Rekaman Video) ........ 54
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 58
A. Simpulan................................................................................................... 58
B. Rekomendasi ............................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepatnya telah
membawa dunia memasuki era baru yang lebih cepat dari yang pernah
dibayangkan sebelumnya. Perkembangan ini membawa perubahan dalam berbagai
bidang kehidupan manusia. Berkembangnya alat-alat telekomunikasi, elektronik,
dan telematika. Semua teknologi tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan masyarakat Indonesia sekarang. Perkembangannya seakan memaksa
masyarakat untuk selalu siap menerima dan mengikutinya.
Penggunaan sistem dan alat elektronik telah menciptakan suatu cara
pandang baru dalam menyikapi perkembangan teknologi. Perubahan paradigma
dari paper based menjadi electronic based. Dalam perkembangannya, electronic
based semakin diakui keefisienannya, baik dalam hal pembuatan, pengolahan,
maupun dalam bentuk penyimpanan.1 Dengan semakin berkembangnya teknologi
tersebut maka berpengaruh dengan semakin beragamnya tindak pidana yang ada
di tengah masyarakat. perkembangan masyarakat yang sangat cepat
mengharuskan adanya kemampuan hukum untuk beradaptasi dengan kemampuan
yang ada.
Sehingga anggapan bahwa hukum selalu tertinggal dari perubahan
masyarakat bisa di bantah. Tindak kejahatan susila seperti kasus zina,2 merupakan
suatu perbuatan yang tercela. Semua norma di masyarakat menganggap bahwa
perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran. Tindak pidana zina dianggap
sebagai perbuatan kotor dan tercela dan dalam konteks agama merupakan
perbuatan yang harus dikenakan hukuman had.3
Zina ialah perbuatan
1 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo
persada), hlm. 447.
2 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm. 6-8.
3 Abdul al-Qadir Audah, al-Ťasyrȋ‟ al-Jinȃi al-Islȃmi (Beirut: Dȃr al-Kitâb al-Arabȋ), hlm
79.
2
bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan
pernikahan (perkawinan) atau perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang
terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang
perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan
suaminya.4
Mengenai kekejian zina ini, Muhammad Ali As-sabuni berpendapat
“persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan
melalui (pada) vagina di luar nikah dan bukan nikah syubhat”. Kemudian Al-
Khatib Al-Syarbini mengatakan zina termasuk dosa-dosa besar yang paling keji,
Sanksi nya juga sangat berat karena mengancam kehormatan dan hubungan
nasab.5 Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwasannya perbuatan zina itu
termasuk perbuatan yang diharamkan oleh agama, tidak satu agama pun yang
menghalalkannya.
Semakin berkembangnya teknologi di Indonesia maka alat bukti yang bisa
digunakan dalam pembuktian kasus perzinaan semakin canggih. Dapat kita lihat
diberbagai kasus persidangan bahwa rekaman video atau bukti elektronik sudah
mulai dapat di jadikan alat bukti dalam kasus tindak pidana perzinaan. Sementara
itu alat bukti yang sah menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
adalah 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; dan 5)
Keterangan terdakwa.6
Alat bukti dalam Hukum pidana Islam menurut Usman Hasyim dan Ibnu
Rachman adalah yaitu: 1) Syahâdah (saksi) 2) Al-Iqrâr (pengakuan) 3) Alqarȃin
(Tanda-tanda) 4) Maklumatul Qadli (Pengetahuan Hakim) 5) Al-Kitabah
(Tulisan/surat) 6) Al yamin (Sumpah). Dari alat-alat bukti tersebut hanya ada tiga
yang bisa digunakan dalam pembuktian tindak pidana perzinaan, yaitu pengakuan
4 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI), hlm. 1136.
5 Muhammad Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
cet. Ke-1 hlm. 18.
6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184
3
(iqrār), kesaksian (syahādah) dan petunjuk (qarȋnah).7 Tindak pidana perzinaan
dalam hukum Islam hukuman dapat ditetapkan dan dilaksanakan dengan salah
satu dasar-dasar penetapan hukuman yaitu pengakuan pihak tertuduh itu sendiri
dan persaksian orang lain. Pengakuan merupakan dasar utama bagi penetapan
hukuman.
Sedangkan dalam hal persaksian tindak pidana perzinaan dalam hukum
islam harus memenuhi empat saksi. Kaitannya dengan alat bukti qarȋnah, dalam
perkembangan teknologi ditemukan penggunaan bukti elektronik seperti rekaman
video yang dapat dikategorikan dalam alat bukti qarȋnah. Dimana bukti elektronik
ini setidaknya mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap para praktisi
hukum dalam mencapai suatu kebenaran perkara baik dalam perkara perdata
maupun pidana.
Dalam tindak pidana perzinaan seringkali terungkap karena beredarnya
bukti elektronik seperti rekaman video. Tentunya ini bisa dijadikan alat bukti yang
kuat namun harus melalui proses pemeriksaan dan identifikasi terlebih dahulu
yaitu apakah hasil rekaman video itu benar-benar asli atau rekayasa. Disini
diperlukan orang yang ahli dalam bidang telematika.
Kedudukan alat bukti elektronik maupun rekaman video sendiri dalam
hukum pidana Indonesia masih belum jelas statusnya. Walaupun didalam pasal
184 KUHAP jelas bahwa bukti elektronik atau yang dimaksud dengan rekaman
video tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Namun dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut pasal
5 ayat (1) yaitu :
“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian
hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik,
terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang
dilakukan melalui Sistem Elektronik”
Dengan demikian melihat pasal di atas rekaman video jelas bisa dijadikan
alat bukti yang sah. Kemudian dalam RUU-KUHAP juga dirancangkan akan
diakomodirnya pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan
7 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 41.
4
pidana. Menurut pasal 177 RUU-KUHAP ayat (1) Alat bukti yang sah
mencakup: a) Barang bukti ; b) Surat-surat; c) Bukti elektronik; d) Keterangan
seorang ahli; e) Keterangan seorang saksi; f) Keterangan terdakwa; dan g)
pengamatan Hakim.
Klasifikasi mengenai alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan
pidana telah ditentukan muatannya dalam UU ITE. Menurut penjelasan pasal 177
ayat (1) huruf c RUU-KUHAP yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa
tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.8
Setelah kita mengetahui bagaimana alat bukti elektronik dalam pandangan
hukum positif yang sudah mengukuhkan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu
sudah ditetapkan sebagai alat bukti yang nyata atau alat bukti yang sah di
persidangan. kemampuan teknologi untuk merekam dapat menunjang dan
membantu proses pembuktian tentu tidak dapat diragukan lagi. Tidak seperti
ingatan manusia yang berubah-ubah dalam memberikan keterangan sesuai kondisi
tertentu di bawah tekanan mental dan fisik. Maka mengenai hal ini dapat
dihubungkan dengan salah satu tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk mencari
dan menemukan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari terjadinya suatu tindak pidana. Rekaman video memiliki kelebihan dalam
memberikan petunjuk karena didalamnya terdapat teknologi yang dapat
digunakan untuk merekam semua kejadian-kejadian baik hal yang terkecil
sekalipun. Tidak seperti ingatan manusia yang dapat berubah-ubah memberikan
keterangan sesuai dengan kondisi ingatan dan situasi kondisi tertentu dibawah
tekanan mental dan fisik.
8
Darus harizona, “Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut
Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam (Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit
Television)”. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains. Vol. 7. No. 1, Juni 2018.
5
Dalam hal ini rekaman video dapat dijadikan oleh penyidik sebagai bukti
permulaan dalam proses penyidikan untuk menentukan tersangkanya yaitu
sebagai bukti petunjuk. Meskipun tidak mutlak menjadi bukti petunjuk, karena
petunjuk harus dipersesuaikan dengan alat bukti lain agar dapat digunakan oleh
hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan pidana. Petunjuk hanya dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Terlebih jika
diperhatikan pada Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Pengertian petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHAP ayat
(1) yaitu:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana
itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya”.
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap memberikan pengertian petunjuk
dengan menambah beberapa kata, petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat
“ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi
mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi
mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang
bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang
“membentuk kenyataan” terjadi suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.
Berdasarkan pengertian petunjuk yang disampaikan oleh M Yahya Harahap,
apabila dikiatkan dengan rekaman video bisa menjadi petunjuk apabila memiliki
persesuaian dengan bukti lain. Rekaman video dapat memiliki persesuaian dengan
bukti lain, karena rekaman video dapat memperlihatkan dan menghubungkan
keterangan yang ada sehingga timbul suatu kenyataan melalui hasil rekaman yang
bisa memperkuat bukti lain misalnya, keterangan saksi bisa dibenarkan melalui
rekaman video tersebut.
Namun bagaimanakah dengan hukum islam. Seperti yang diketahui bahwa
Hukum Islam bertujuan untuk memenuhi kepentingan kebahagian, kesejahteraan
6
dan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini, rekaman video bisa
menjadi salah satu alat untuk tujuan Hukum Islam tersebut, apabila rekaman video
tersebut mampu merekam dengan resolusi gambar yang baik. Dalam hal ini
apabila seseorang dituduh melakukan tindak pidana perzinaan maka diperlukan
pembuktian secara adil. Oleh sebab itu, rekaman video berperan sebagai suatu
petunjuk apakah terdapat suatu tindak pidana, namun sebagai petunjuk sendiri
harus ditentukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana mengenai apakah bisa atau
tidak menjadi petunjuk didalam persidangan menurut Hukum Acara pidana.
Apakah hukum islam mengakui adanya alat bukti elektronik? Menurut
Abduh Malik dalam bukunya Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan
KUHP.9 Pada kasus perzinahan, yang biasa terjadi dengan menggunakan kamera
atau media elektronik lainnya, karena itu diperlukan bantuan teknologi lain untuk
mengetahui keaslian atau kepalsuan video atau gambar yang dilihat jadi
kebenaran yang diperoleh amat bergantung kepada kecanggihan alat lain untuk
meneliti kebenarannya. Dengan demikian tingkat kebenaran gambar yang
diperoleh tidak cukup meyakinkan dan tidak langsung dipercaya. Beliau
menyimpulkan bahwa pembuktian dengan menggunakan rekaman video atau
media elektronik lainnya bisa di sahkan apabila sudah meneliti terlebih dahulu
dengan menggunakan alat elektronik yang lebih canggih.
Pembuktian merupakan salah satu tahapan yang menjadi prioritas yang
harus dipenuhi dalam penyelesaian suatu tindak pidana. hal ini karena dalam
penyelesaian sengketa pidana terdapat kemaslahatan serta akan menolak
kemudaratan, karena dengan pembuktian menghidarkan seseorang yang tidak
bersalah dihukum, hal ini sesuai dengan kaidah Fiqh Jinayah :
با ث إ د رء ا انحد د با نشه
Artinya: “Hindari lah hukuman Had jika terdapat syubhat”10
Bukti dalam kaidah Hukum Acara menurut syariat Islam dalam
pembuktian ini lah yang digunakan sebagai Hujjah (alasan Hukum) berdampak
9 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan Kuhp, (Jakarta:
PT. Bulan Bintang. 2003), hlm. 133.
10 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset), hlm. 77.
7
kepada terkena atau tidaknya hukuman, serta dalam menghidarkan dalam perkara
syubhat, alat bukti dan barang bukti dalam Hukum Islam tidak memiliki
perbedaan karena dalam Hukum Islam segala sesuatu yang menerangkan dan
menjelaskan yang Haq (kebenaran) ialah Al Bayyinah sebagai pembuktian.11
Sedangkan penggunaan rekaman video didalam Fiqh Jinayah dapat
dijelaskan di dalam proses pembuktian Fiqh Jinayah yaitu merupakan sesuatu hal
yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan esensi dari suatu persidangan
guna mendapatkan kebenaran yang mendekati kesempurnaan. Al-Bayyinah adalah
sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang haq (benar)
di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang
dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada
pemiliknya. Mengenai alat bukti rekaman video seperti yang telah diketahui
bahwa didalam Hukum Acara Pidana ditindak pidana umum dijadikan sebagai
petunjuk yang harus di persesuaikan dengan alat bukti lain, sedangkan di dalam
tindak pidana khusus rekaman video dijadikan sebagai alat bukti elektronik. Hal
ini tidak berbeda dengan Hukum Islam bahwa rekaman video di jadikan sebagai
petunjuk.
Meskipun dalam perkara pidana bahasannya masih sedikit. Edmon
Makarim mengemukakan bahwa keberadaan alat bukti elektronik masih sangat
rendah. Dalam mengemukakan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah
dan berdiri sendiri, harus dapat menjamin bahwa rekaman atau data berjalan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Melihat kondisi yang demikian, maka
butuh pengkajian mengenai permasalahan alat bukti dalam tindak pidana
perzinaan, apakah alat elektronik atau audio visual dapat dijadikan alat bukti lain
dalam tindak pidana perzinaan didalam hukum Islam maupun dalam hukum
positif.12
11
Darus Harizona, “Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut
Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam” (Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit
Television)”. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains. Vol. 7. No. 1, Juni 2018
12 Edmon Mukarim, Pengantar hukum telematika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.
456
8
B. Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah
Identifikasi Masalah 1.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah
diatas, penulis mengidentifikasi beberapa pokok permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a. Rekaman video sebagai bukti elektronik dalam tindak pidana
perzinaan menurut rancangan kitab Undang-undang hukum acara
pidana.
b. Komparasi antara hukum Islam dan hukum Positif mengenai rekaman
video sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan.
c. Tinjauan hukum Islam mengenai alat bukti elektronik dalam tindak
pidana perzinaan.
d. Kekuatan rekaman video sebagai alat bukti elektronik dalam tindak
pidana perzinaan menurut hukum acara pidana dan hukum Islam.
e. Teknologi memberi warna baru untuk mengungkap kebenaran
khususnya dalam tindak pidana perzinaan.
Pembatasan Masalah 2.
Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang ada dalam
pembahasan tindak pidana perzinaan, maka penulis membatasi ruang lingkup
skripsi ini hanya pada pokok masalah yang akan dikaji yaitu: 1). kedudukan
alat bukti elektronik seperti rekaman video dalam tindak pidana perzinaan
menurut rancangan kitab Undang-undang hukum acara pidana dalam pasal
177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP yaitu “bukti elektronik”. 2). Tinjauan
hukum pidana islam mengenai rekaman video sebagai alat bukti elektronik
tindak pidana perzinaan. Sehingga pembatasan masalah yang akan dibahas
tidak keluar dari sasaran yang akan dicapai.
9
C. Perumusan Masalah
Untuk memberikan kejelasan batasan masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka perlu
adanya penyusunan atau perumusan masalah dalam penelitian ini. Oleh karena itu
penulis merumuskan masalah dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana pandangan hukum positif mengenai alat bukti elektronik
dalam tindak pidana perzinaan?
b. Bagaimana komparasi antara hukum pidana Islam dan hukum Positif
mengenai rekaman video sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan-permasalahan yang telah di kemukakan
diatas, maka tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis pandangan hukum positif RUU-KUHAP
mengenai alat bukti rekaman video dalam tindak pidana perzinaan.
b. Untuk menganalisis kajian komparatif mengenai alat bukti audio visual
dalam tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam dan hukum
positif, untuk dicari persamaan dan perbedaan dalam alat bukti
tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk
penulis sendiri maupun bagi masyarakat umum tentunya. Adapun manfaat
yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Sebagai sumbangan sederhana pemikiran dan informasi seputar kajian
hukum pidana Islam dan hukum Positif, serta komparasi antara kedua
hukum tersebut, khususnya mengenai kedudukan rekaman video
sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan.
10
b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi Positif bagi praktisi hukum
dalam upaya merangsang penggalian hukum yang sesuai dengan
keadilan.
E. Tinjauan Studi Terdahulu
Mendukung penelaahan yang lebih komprehensif penulis melakukan
kajian awal terhadap literatur pustaka atau karya-karya yang mempunyai relevansi
terhadap topik yang akan diteliti. Telaah pustaka yang akan dilakukan oleh
penulis adalah dari berbagai karya ilmiah selain berbentuk buku yang berbentuk
jurnal, dan skripsi-skripsi yang sudah ada. Berikut pemaparannya:
Darus Harizona dalam penelitiannya yang berjudul, “Kekuatan Bukti
Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut Hukum Acara Pidana dan
Hukum Islam (Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit Television)”
berkesimpulan bahwa Kedudukan rekaman gambar CCTV, menurut sistem
pembuktian hukum acara pidana dalam Pasal 181 KUHAP. Dalam prakteknya
didapati sebagai alat bukti, namun bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri tetapi
alat bukti yang ditentukan oleh hakim. Hakim dalam menetukan keputusannya
berdasarkan ukuran yuridis, filosofis dan sosiologis yaitu secara arif dan
bijaksana.13
Syaibatul Hamdi dalam penelitiannya yang berjudul, “Bukti Elektronik
Dalam Sistem Pembuktian Pidana” berkesimpulan bahwa Pengaturan alat bukti
elektronik di dalam Hukum Acara Pidana secara spesifik belum dapat ditemukan
dalam KUHAP. Namun, terkait dengan berkembangnya zaman dan
berkembangnya tindak pidana, maka pengaturan alat bukti elektronik dinilai
penting.14
Muhammad Hilmi Farid, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsinya yang berjudul “Kekuatan
13
Darus harizona, “Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut
Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam (Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit
Television)”. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains. Vol. 7. No. 1, Juni 2018
14 Syaibatul hamdi, “Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana” Jurnal Ilmu
Hukum. Vol. 1. No. 4, November 2013
11
Alat Bukti Elektronik Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”
Secara tegas di skripsi tersebut memaparkan tentang kekuatan bukti-bukti
elektronik yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan hukum Islam.
Berdasarkan acuan dari beberapa bahan penelitian yang telah
dikemukakan di atas, di sini penulis mencoba untuk membandingkan dan
menambahkan. Penulis mencoba membandingkan dari beberapa alternatif alat
bukti, yaitu alat bukti elektronik seperti rekaman video yang dijadikan sebagai alat
bukti tindak pidana perzinaan menurut perspektif hukum pidana Islam dan hukum
positif. Disisi lain, penulis juga melihat dalam RUU-KUHAP telah dirancangkan
akan diakomodirnya pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam
persidangan pidana yang kebanyakan dari penelitian di atas belum ada yang
mebahasnya. khususnya mengenai sistem atau alat elektronik yaitu rekaman
video.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut
metode penelitian, yang dimaksud dengan metode penelitian adalah cara
meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai
suatu tujuan.15
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah library research (penelitian
kepustakaan yang terkait dengan obyek penelitian), yaitu penelitian yang
menggunakan buku-buku, internet, dan lain sebagainya yang memuat materi-
materi terkait yang dibahas sebagai sumber datanya.16
15
Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi
Pustaka, 1997), hlm. 1.
16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 9.
12
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif - komparatif. Deskriptif yaitu memaparkan
dan mendeskripsikan objek penelitian secara sistematis.17
Penelitian ini berupaya
untuk mengidentifikasi kemudian memaparkan data mengenai rekaman video atau
alat elektronik sebagai alat bukti perzinaan, baik dalam hukum Islam maupun
hukum positif. Sedangkan komparatif adalah penelitian dengan membandingkan
dua objek kajian sehingga dapat memberikan pandangan baru dan menjelaskan
unsur-unsur dari pandangan objek tersebut.18
Dalam hal ini penyusun berusaha
untuk membandingkan kedudukan rekaman video sebagai alat bukti dalam kasus
perzinaan menurut perspektif hukum positif dan hukum pidana islam dengan
melihat keabsahan dan kekuatan rekaman video sebagai alat bukti di dalam kedua
hukum tersebut. sebagai alat bukti perzinaan, baik dalam hukum Islam maupun
hukum positif. Sedangkan komparatif adalah penelitian dengan membandingkan
dua objek kajian sehingga dapat memberikan pandangan baru dan menjelaskan
unsur-unsur dari pandangan objek tersebut Dalam hal ini penyusun berusaha
untuk membandingkan kedudukan audio visual sebagai alat bukti dalam kasus
perzinaan menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif dengan melihat
keabsahan dan kekuatan audio visual sebagai alat bukti didalam kedua hukum
tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif- yuridis, yaitu penelitian yang mencakup tentang asas-asas hukum,
sistematika hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, dan taraf sinkronisasi
hukum. Menurut Bernard Arif Sidharta normatif-yuridis adalah penelitian yang
mencakup kegiatan memaparkan, mensistematiskan, dan mengevaluasi hukum
positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat, dan diupayakan untuk
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2007), hlm. 35-38.
18Anton Bakker dan Ahmad Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 85-87.
13
menemukan penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum.19
Pendekatan ini
penyusun gunakan untuk memahami kedudukan rekaman video sebagai alat bukti
tindak pidana perzinaan di dalam hukum positif dan hukum pidana islam.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data di dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa
bagian yaitu bahan data primer berupa al-Qur‟an, Hadits, KUHAP, dan
undang-undang yang membahas tentang bukti elektronik sebagai alat bukti
tindak pidana perzinaan. Bahan sekunder berupa kitab ushul fiqh, buku-buku,
dan artikel yang membahas tentang rekaman video sebagai alat bukti elektronik.
Kemudian bahan data tersier berupa kamus-kamus yang dapat menjelaskan
tentang arti, maksud, dan istilah yang terkait dengan pembahasan.
5. Analisis data
Adapun analisis data yang digunakan dalam pembahasan dengan
metode induktif komparatif. Induktif adalah metode analisis dengan
menampilkan pernyataan yang bersifat khusus dan kemudian di tarik
kesimpulan bersifat umum. Metode induktif digunakan untuk menganalisis data
dengan pembahasan kedudukan audio visual sebagai alat bukti perzinaan.
Sedangkan komparatif digunakan untuk menentukan persamaan dan perbedaan
antara kedua hukum tersebut mengenai kedudukan audio visual sebagai alat bukti
tindak pidana perzinaan.
G. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini mudah di pahami, maka penulis membagi penulisan
menjadi lima bab, yaitu:
BAB I Merupakan bab pendahuluan memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah tujuan penelitian,
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
19
Sulistyo Irianto dkk, Metode Penelitian Hukum, cet. Ke-1 (Jakarta: Obor, 2009), hlm.
142.
14
BAB II Pada bab ini peneliti membahas tentang gambaran umum tentang
pembuktian dan alat bukti. sehingga dari pembahasan ini bisa melihat gambaran
umum mengenai pengertian dasar hukum pembuktian dan macam-macam alat
bukti dalam hukum positif dan hukum pidana islam.
BAB III Pada bagian ini peneliti membahas tentang penggunaan rekaman
video sebagai alat bukti elektronik dalam kasus perzinaan menurut hukum positif.
BAB IV Pada bab ini peneliti membahas mengenai analisis komparatif
tentang kedudukan rekaman video sebagai alat bukti elektronik tindak pidana
perzinaan menurut RUU-KUHAP dan hukum pidana islam. Untuk melihat
persamaan dan perbedaan kedudukan rekaman video sebagai alat bukti dalam
kasus perzinaan. Persamaan dan perbedaan itu dilihat dari legalitas dan
kekuatan rekaman video sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan dalam hukum
Islam dan Positif, serta melakukan analisis perbandingan dua hukum tersebut.
BAB V Memuat simpulan yang berisi jawaban dari pokok permasalahan
dan saran-saran.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TEORI PEMBUKTIAN
Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana A.
1. Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam
perkara perdata. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara pidana)
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati atau
yang sesungguhnya, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata (hukum
acara perdata) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran formil, artinya
hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan
dengan ‛preponderance of evidence‟, sedangkan hakim pidana dalam mencari
kebenaran materil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable
doubt)1
Pembuktian secara bahasa (terminologi), menurut kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah suatu proses perbuatan, cara membuktian, suatu
usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang
pengadilan.2 Dalam hal ini pembuktian merupakan salah satu unsur yang
penting dalam hukum acara pidana. dimana menentukan antara bersalah atau
tidaknya seorang terdakwa di dalam persidangan.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, bahwa pembuktian adalah
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu
peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka
mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang menetapkan tahapan dalam
mencari kebenaran sejati yaitu melalui:
a. Penyidikan.
1
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang
Education, 2013), hlm. 241.
2 Ebta Setiawan, arti atau makna pembuktian‛ dalam http:// KBBI.web.id/arti atau makna
pembuktian. diakses pada 10 Maret 2017.
16
b. Penuntutan.
c. Pemeriksaan di persidangan.
d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase atau
prosedur dalam pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan. Yang
sebagaimana diatur di dalam KUHAP.3 Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa
pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada
hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang
bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk
memberikan keputusan seperti perkara tersebut. Sedangkan menurut Darwan,
bahwa pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana
telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakaukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.
Menurut Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah membuktikan,
dengan memberikan pengertian, sebagai berikut:4
a. Kata membuktikan dalam arti logis, artinya memberi kepastian yang
bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti-bukti lain.
b. Kata membuktikan dalam arti konvensional, yaitu pembuktian yang
memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan
kepastian yang nisbi atau relatif, sifatnya yang mempunyai tingkatan
tingkatan:
1) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, maka kepastian
ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime.
2) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut
conviction raisonnee.
3 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia,
1983), hlm. 12.
4 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia,
1983), hlm. 14.
17
3) Kata membuktikan dalam arti yuridis, yaitu pembuktian yang
memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peristiwa yang terjadi.
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang
dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti
tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai
suatu pembuktian. Adapun sumber-sumber hukum pembuktian adalah,
sebagai berikut:
a. Undang-undang.
b. Doktrin atau ajaran.
c. Yurisprudensi.5
Kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana terletak didalam
Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara pidana harus berdasarkan minimal dua alat bukti
yang sah. Apabila sebaliknya maka terdakwa tidak dapat diajutuhi hukuman
atas tindakannya.
Menurut Andi Hamzah, teori dalam sistem pembuktian, yakni sebagai
berikut:
a. Sistem atau teori berdasarkan Undang-undang secara positif (positive
wetteljik bewijstheorie).
b. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja
(conviction intime).
5 Hari Sasongko dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk
Mahasiswa dan Praktisi (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 10.
18
c. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan
yang logis (laconviction raisonnee).
d. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai keempat teori
dalam sistem pembuktian hukum acara pidana, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh pakar ahli hukum pidana, yakni sebagai berikut:
a. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive
wetteljik bewijstheorie).
Menurut Simons, bahwa sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie). “untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat
hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras”.6
b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime)
Merupakan suatu pembuktian dimana proses-proses
menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh
penilaian keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-
macam alat bukti yang ada, hakim dapat memakai alat bukti tersebut
untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa, atau
mengabaikan alat bukti dengan hanya menggunakan keyakinan yang
disimpulkan dari keterangan saksi dan pengakuan terdakwa.7
c. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction
raisonnee)
Bahwa suatu pembuktian yang menekankan kepada keyakinan
seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian
conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa
adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan
pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu
6
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang
Education, 2013), hlm. 245.
7 Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di
Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 171.
19
pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim
haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya
atas kesalahan seorang terdakwa.
d. Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief
wettellijk bewijs theotrie).
Merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction
raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-undang secara
positif. Rumusan dari sitem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya
seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184
ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, yakni sebagai berikut:
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang
sama dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masing-
masing alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam
pasal tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan
persidangan.
2. Macam-Macam Pembuktian
Bukti res upsa loquiter adalah fakta berbicara atas dirinya sendiri. Dan
bukti res upsa loquiter ada tiga macam, yaitu:
1. Barang hasil kejahatan dan penipuan.
Jika suatu barang berada dalam kekuasaan seseorang lalu indikasi-
indikasi yang nyata menunujukkan barang tersebut hasil kejahatan atau
20
penipuannya, maka pengakuan orang yang menguasainya sebagai barang
miliknya tidak dapat diterima.
2. Barang itu diketahui milik sah orang yang menguasainya.
Jika diketahui sesuatu barang yang berada dalam kekuasaan seseorang
sebagai miliknya yang sah, maka gugatan orang terhadapnya tidak diterima.
Jika kita mempertimbangkan lamanya waktu kedaluwarsa, maka Ibnu
Qayyim, Ibnu Wahab, Ibnu Abdul Hakim, dan Ashbagh, menentukan bahwa
lamanya waktu kedaluwarsa itu sepuluh tahun.
3. Bukti Res Upsa Loquiter Yang Mengandung Dua Kemungkinan.
Bukti res upsa loquiter ada yang mengandung dua kemungkinan, yaitu
kemungkinan ia milik sah pihak yang menguasainya, dan kemungkinan
penguasaannya iru dilakukan secara melawan hukum. Dalam hal yang
demikian, maka gugatan dapat didengar berdasarkan bukti-bukti yang
diajukan oleh penggugat. Dan jika tidak ada bukti lawan yang lebih kuat,
maka barang itu ditetapkan milik penggugat, karena syari'at tidak mengubah
barang yang berada dalam kekuasaan seseorang yang diakui oleh adat dan
oleh rasa hukum masyarakat setempat dinyatakan sebagai miliknya, untuk
dinyatakan sebagai miliknya yang tidak sah.
Muncullah suatu sistem yang bukan berdasarkan keyakinan Individu
seorang hakim yang bebas menentukan putusan buat terdakwa. Teori ini
disebut teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.
Dalam teori ini terdapat suatu system, di mana hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang berlandaskan kepada
peraturan pembuktian tertentu.
Jadi dalam hal ini putusan hakim tersebut dijatuhkan dengan suatu
motivasi.8 Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya. Sistem
ini kemudian terpecah menjadi dua jurusan, antara lain:
8
Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia,
(Jakarta: Melton Putra, 1987), hlm. 240.
21
1. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis.
2. Sistem pembuktian yang logis berdasarkan Undang-Undang secara
negatif.
Kedua jurusan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan
hakim telah dibatasi dengan suatu ketentuan tidak bebas seperti dalam sistem
sebelumnya, sehingga tidak memberi kesempatan kepada terdakwa untuk
membela hak asasinya sebagai tersangka. Dimana batasan-batasan tersebut
dapat dibedakan, antara lain:
1. Batasan kekuasaan yang berpangkal tolak pada keyakinan yang
berdasarkan alasan logis.
2. Batasan kekuasaan yang berpangkal tolak pada keyakinan berdasarkan
kepada Undang-Undang.
Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana B.
Hukum pembuktian merupakan seperangkatan kaidah hukum yang
mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dan dilakukan dengan tindakan-tindakan dengan prosedur khusu
guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam
pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta
kewenangan hakim menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.9
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentunkan dengan undang-
undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang di dakwakan kepada
terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman sesuai pasal 191 (1) KUHAP
yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang
kesalahan terdakwa atas perbuatannya yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas.
9 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011) hlm. 21.
22
Sebaliknya, kalau kesalahan dakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang sebut dalam pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan
dijatuhkan hukuman, yang sesuai dengan pasal 193 (1) KUHAP yang berbunyi:
jika pengadilan yang berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh
karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai serta
mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum
“kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut
dalam pasal 184 KUHAP. Tujuan dan kegunaan pembuktian bagi para pihak yang
terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan
seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah merupakan usaha
sebaliknya untuk meyakinkan hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada
agar menyatakan seorang terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntunan
hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu, terdakwa atau penasihat
hukum jika mungjin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan
atau meringankan pihaknya. Biasanya, bukti tersebut bukti kebalikan.
3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut, yakni dengan adanya alat-alat
bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari penuntut umum
maupun penasihat hukum atau terdakwa dibuat atas dasar untuk memuat
keputusan.10
Kedudukan Saksi dalam Hukum Acara Pidana C.
Pengertian keterangan saksi sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1 ayat
(27) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Bahwa
“keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
10
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011) hlm. 25.
23
lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu”
Sebagaima yang telah dijelaskan diatas bahwa diakatakan sebagai seorang saksi
memiliki tiga kriteria yakni:11
1) dengar sendiri.
2) lihat sendiri.
3) alami sendiri.
Sebagai alat bukti, tidak semua keterangan saksi dapat di nilai sebagai alat
bukti dalam suatu persidangan, terdapat syarat-syarat tertentu agar keterangan
saksi dapat di nilai sebagai alat bukti di dalam persidangan untuk membuat
ketarangan dalam suatu perkara. Adapun syarat-syarat tersebut yakni sebagai
berikut:
1) dinyatakan di dalam sidang pengadilan secara langsung.
2) keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah.
3) keterangan seorang saksi bukan saksi, bahwa pada prinsipnya KUHAP
mensyaratkan lebih dari seorang saksi, akan tetapi prisip ini dapat
disimpangi apabila keterangan seorang saksi tersebut didukung oleh alat
bukti yang lainnya.
4) Dalam hal keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat dinilai sebagai alat bukti apabila keterangan para saksi
tersebut saling terkait dan berhubungan satu dengan lainnya.
5) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.
6) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.
7) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi atau tidaknya keterangan itu dipercaya patut
dipertimbangkan oleh hakim dalam menilai keterangan saksi.
Saksi menurut sifatnya dalam sidang pembuktian dapat dibagi menjadi dua
golongan , yaitu sebagai berikut:12
11
Tinjau lebih dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. 12
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang
Education, 2013), hlm. 254-255.
24
a) Saksi a charge (saksi yang memberatkan terdakwa) Saksi ini adalah saksi
yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan
atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan terdakwa, sebagaimana
yang diatur di dalam Pasal 160 Ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
b) Saksi a de charge (saksi yang meringankan atau mengutungkan terdakwa)
Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan
akan meringankan atau mengutungkan terdakwa, sebagaimana yang diatur
di dalam Pasal 160 Ayat (1) Huruf C Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Kedudukan Saksi Ahli/ keterangan ahli menurut Hukum Acara Pidana D.
Kehadiran seorang ahli dalam memberikan keterangan suatu penyidikan
terjadinya tindak pidana menjadi sangat penting dalam semua tahap-tahap
penyidikan, baik dalam tahap penyelidikan, penindakan, pemeriksaan maupun
penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Tanpa kehadiran seorang ahli
dalam memberikan atau menjelaskan suatu masalah akandapat dibayangkan
bahwa penyidik akan mengalamai kesulitan dalam usaha mengungkap suatu
tindak pidana, terutama tindak pidana berdimensi tinggi.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara (Pasal 1 Ayat
28 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Pengaturan dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana tidak mensyaratkan dalam
mengkualifikasi sebagai ahli, namun beberapa pasal dalam KUHAP telah
mengkualifikasikan.13
Kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan
kedudukan saksi lainnya, yakni sebagai alat bukti yang sah menurut undang-
13
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan
di Indonesia) (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 176.
25
undang. Penentuan sebagai seorang ahli dalam persidangan ditentukan diputuskan
oleh hakim dengan proses pemeriksaan pendahuluan.14
Menurut A Nasution bahwa pengertian tentang ahli tidak harus merujuk
pada sesorang yang memperoleh pendidikan khusus atau orang-orang yang
mempunyai ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat
diangkat sebagai ahli, asal saja mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang
khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki pengetahuan atau pengalaman
tentang hal tersebut.15
Seorang ahli forensik tidak mesti menyaksikan atau mengalami peristiwa
secara langsung suatu tindak pidana, akan tetapi berdasarkan keahlian,
ketrampilan, pengalaman maupun pengetahuan yang ia miliki dapat memberikan
keteranganketerangan sebab akibat suatu peristiwa atau fakta tertentu dari alat
bukti yang ada, kemudian menyimpulkan pendapatnya untuk membantu membuat
terangnya suatu perkara.
Dalam hal saksi ahli tanpa dasar yang sah menolak untuk bersumpah atau
berjanji, maka pemeriksaan tetap dilakukan, sedangkan saksi ahli dengan surat
penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan
Negara paling lama 14 hari (Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP). Sesuai ketentuan
pasal ini keterangan ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat
(1) huruf b KUHAP, tetapi hanyalah keterangan yang dapat menguatkan
keyakinan hakim.
Persyaratan dan kriteria sebagai seorang saksi ahli tidak diatur lebih lanjut
dalam KUHAP. Seseorang dapat menjadi saksi ahli apabila mempunya keahlian
khusus dibidangnya, keahlian khusus tersebut dapat diperolehnya baik itu dari
pendidikan formal ataupun dari pendidikan non formal, nantinya pertimbangan
hakim berdasarkan pertimbangan hukum yang menentukan seseorang tersebut
14
Harrys Pratama dan Usep Saepullah, Hukum Acara Pidana Khusus (Penundaan
Eksekusi Mati Bagi Terpidana Mati di Indonesia, Kasus Tipikor, Narkoba, Teroris, Pembunuhan,
dan Politik) (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 235.
15 Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan
di Indonesia), hlm. 176.
26
dapat dikatakan menjadi saksi ahli. Namun biasanya, latar belakang pendidikan
dan sertifikasi yang dimiliki seseorang serta pengalaman yang dimilikinya dapat
menjadi pertimbangan oleh hakim. Sebagai contoh hakim akan
mempertimbangkan seseorang dapat dikatakan sebagai saksi ahli digital forensik
apabila ia mempunyai sertifikasi di bidang digital forensik dan banyak berurusan
di dunia digital forensik tersebut. Debra Shinder mengungkapkan beberapa faktor
dan kriteria yang harus dimiliki oleh saksi ahli, antara lain adalah:
1) Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di bidang tertentu.
2) Mempunyai spesialisasi tertentu.
3) Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih di bidang tertentu.
4) Lisensi Profesional, jika masih berlaku.
5) Ikut sebagai keanggotan dalam suatu organisasi profesi, posisi
kepemimpinan dalam organisasi tersebut lebih bagus.
6) Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan bisa juga sebagai
reviewer. Ini akan menjadi salah satu pendukung bahwa saksi ahli
mempunyai pengalaman jangka panjang.
7) Sertifikasi teknis.
8) Penghargaan atau pengakuan dari industri. Namun apabila kehadiran
seorang saksi ahli dalam persidangan tersebut kapabilitasnya atau hasil
keterangan ahlinya diragukan oleh salah satu pihak, maka pihak tersebut
dapat mengajukan keberatan kepada hakim untuk selanjutnya berdasarkan
penilaian hakim untuk menerima keberatan tersebut atau tidak. Dan jika
keberatan tersebut diterima, maka harus dicari saksi ahli lain yang lebih
mempunyai kapabilitas tersebut. Oleh karena itu, pemilihan seorang saksi
ahli harus selektif sehingga hasil kesaksiannya tidak diragukan.
Teori Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Islam E.
Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Islam 1.
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut juga dengan
al-bayyinah, secara etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar). Al-bayyinah di
27
definisikan oleh para ulama fiqh sesuai dengan pengertian etimologisnya,
secara terminologi adalah membuktikan suatu perkara dengan mengajukan
alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas meyakinkan.
Menurut Hasbi As-Shidiqiy, membuktikan suatu perkara adalah:
“memberikan keterangan dan dalil hingga dapat menyakinkan orang lain”.16
Menurut Sobhi Mahmasoni yang ditulis oleh Anshoruddin, yang dimaksud
dengan membuktikan suatu perkara adalah: “Mengajukan alasan dan
memberikan dalil sampai kepada batas yang meyakinkan”. Yang dimaksud
menyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar
penelitian dan dalil-dalil itu.17
Karena itu hakim harus mengetahui apa yang
menjadi gugatan dan mengetahui hukum allah terhadap gugatan itu, sehingga
keputusan hakim benar-benar mewujudkan keadilan.
Menurut Roihan yang di maksud dengan membuktikan suatu perakara
adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan di muka persidangan dalam suatu perkara.18
Dalam sistem
pembuktian, yaitu pengaturan tentang macam- macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat bukti
tersebut dipergunakan dan bagaimana hakim harus membentuk
keyakinannya.19
Dimana hakim agar dapat menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya dan penyelesaian itu memenuhi tuntutan keadilan, maka
wajib mengetahui hakekat dakwaan atau gugatan, dan mengetahui hukum
Allah terhadap kasus tersebut.
Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah alat bukti adalah bukti yang
diajukan di depan pengadilan untuk menguatkan gugatan. Untuk memberikan
dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan para pihak yang
16
Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), hlm. 129. 17
Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 114.
18 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo, 2015),
hlm. 144.
19 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana (Surabaya:
Sinar Wijaya, 1996), hlm. 7.
28
dibebani pembuktian diwajibkan mengajukan alat-alat bukti untuk
membuktikan peristiwa-peristiwa di muka persidangan. Suatu persengketaan
atau perkara tidak bisa diselesaikan tanpa adanya alat bukti, artinya kalau
gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan
diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolak gugatan karena tidak terbukti.
Menurut Nashr Fariid washil yang dikutip oleh Anshoruddin macam-
macam alat bukti ada sebelas dengan urutan sebagai berikut:
a. Pengakuan.
b. Saksi.
c. Sumpah.
d. Pengambilan sumpah.
e. Penolakan sumpah.
f. Tulisan.
g. Saksi ahli.
h. Qorinah.
i. Pendapat ahli.
j. Pemeriksaan setempat.
k. Permintaan orang yang bersengketa.
Sedangkan menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah macam-macam
alat bukti ada dua puluh eman dengan urutan sebagai berikut:20
a. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan
sumpah.
b. Pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat.
c. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai sumpah
pemegangnya.
d. Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka.
e. Penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan.
f. Saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah penggugat.
g. Saksi satu orang laki-laki dengan sumpah dengan sumpah penggugat.
20
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam. (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 194-365.
29
h. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
i. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk
bersumpah.
j. Keterangan saksi/ dua orang perempuan dan sumpah penggugat.
k. Saksi dua orang perempuan tanpa sumpah.
l. Saksi tiga orang laki-laki.
m. Saksi empat orang laki-laki.
n. Kesaksian budak.
o. Kesaksian anak-anak di bawah umur (sudah mumayyiz).
p. Kesaksian orang yang fasiq.
q. Kesaksian orang non muslim.
r. Bukti pengakuan.
s. Pengetahuan hakim.
t. Berdasarkan berita mutawatir.
u. Berdasarkan berita tersebar (khobar istifadloh).
v. Berdasarkan berita orang perorangan.
w. Bukti tulisan.
x. Berdasarkan indikasi-indikasi yang nampak.
y. Berdasarkan hasil undian.
z. Berdasarkan penelusuran jejak.
Dasar Hukum Pembuktian 2.
Dalam hukum Islam terdapat banyak ayat al-Qur'an sebagai landasan
berpijak tentang pembuktian. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Artinya : “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
30
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”. (QS. Al-
Baqarah : 282)
Dan firman Allah SWT:
Artinya : "kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu)
bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)".
(QS. An-Nisa' : 6)
Firman Allah SWT:
Artinya : "dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”
(Q.S Ath-Thalaq : 2)21
Saksi Ahli Dalam Hukum Acara Pidana Islam 3.
Saksi Ahli adalah setiap pendapat orang yang mempunyai keahlian
dalam bidang tertentu, dan hakim boleh meminta bantuan kepadanya dalam
berbagai masalah yang dihadapi agar lebih terang dan memperoleh kebenaran
yang meyakinkan. Lalu menurut pendapat lain Saksi Ahli ialah kesaksian
mengenai sesuatu yang khusus diketahui oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan dan
kedokteran seperti mengenai luka yang telah terbelah sampai menampakkan
tulang, dan yang serupa, kemudian obat-obatan yang hanya diketahui oleh
para dokter, obat-obatan hewan yang hanya diketahui oleh para dokter hewan,
dan lain sebagainya. Maka, dalam hal-hal tersebut, kesaksian satu orang ahli
21
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika Offset), hlm. 231.
31
dibidangnya dapat diterima, apabila tidak didapati yang selainnya. 22
Sedangkan menurut Roihan A. Rasyid Saksi Ahli merupakan bantuan dari
orang ketiga, yaitu dari orang yang ahli pada bidangnya untuk memperoleh
kejelasan objektif bagi hakim, atas peristiwa yang dipersengketakan dalam
suatu perkara.
Inisiatif untuk meminta bantuan seorang pendapat ahli atau beberapa
orang pendapat ahli, bisa datang dari hakim atau dari orang yang berperkara,
misalnya untuk menetapkan harga tanah dan nilainya, dan atas keterangan nya
wajib disumpah dimuka hakim. Misalnya pendpat ahli di bidang Hukum,
kedokteran, di bidang teknologi, di bidang pertanian, tanaman, tanah dll.
Keterangan saksi ahli diberikan secara lisan di depan sidang tetapi ada
pula yang diberikan secara tertulis yang kemudian dibacakan di depan sidang.
Karena dibacakan di depan sidang maka statusnya sama dengan keterangan
lisan di depan sidang. Hasil pemeriksaan dokter misalnya, biasanya selalu
diberikan dengan tertulis dan ditandatangani oleh tim. Jika hakim setuju
dengan pendapat ahli tersebut maka pendapat itu diambil alih oleh hakim dan
dianggap sebagai pendapatnya sendiri. Jadi pendapat saksi ahli tersebut, hakim
bebas menilai pendapat ahli yang disetujui, lalu di jadikan sebagai pendapat
hakim itu sendiri, dapat dijadikan dasar pemutus. Itulah sebabnya keterangan
ahli dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
Dasar hukum terhadap perlunya meminta keterangan pendapat ahli,
telah terjadi pada masa Rasulullah Saw, beliau senang mendengarnya dan
bahkan memberitahukannya kepada Aisyah (isterinya) seperti diriwayatkan
dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut:
الله عائشت ع ا اانج د دلم رض ع عه له الله الله صهرسه سهى عهي را , يسر
حبرق ج حر انى فقال . اساريره سزا أ ج د يه ه نج ان فرا زي دا اهسايت دلم عه
22
Ibnu Qayyim Al- Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2005), hlm. 227.
32
ا عهي ت ا بدث رء سا غطيا اد فطي , أاداي ا ي الا ا داو بعضه د فقال د ا
( يسهى را) بع ض 23
Artinya: “Dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah saw menemuiku dan
nampak air mukanya memancarkan kegembiraan yang sangat dalam,
kemudian beliau bersabda: “Wahai Aisyah, tidaklah kamu melihat si
pembantai landak (ahli menelusuri jejak) telah masuk dan melihat Usmah dan
Zaid berbaring, ketika dia melihat keduanya terbaring dengan kepala tertutup
kain dan kakinya terbuka, dia berkata, telapak kaki- telapak kaki ini,
sebagiannya dari sebagian yang lain”. (H.R. Muslim)
Hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa penelusuran jejak telapak
kaki adalah memberi faedah ketetapan nasab, sehingga Rasulullah Saw, sangat
bergembira mendengar ucapan pendapat ahli penelusuran jejak telapak kaki
tersebut, dan ini merupakan pengakuan beliau serta merestui kesaksiannya.
Sekiranya penelusuran jejak telapak kaki perkara bathil, tentu beliau tidak akan
mengakuinya dan tidak pula merestuinya.
Dasar Hukum mengenai perlunya meminta keterangan atau pendapat
ahli dalam Al-Qur‟an surat An- Nahl ayat 43 berbunyi:
Artinya: ”Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Kedudukan Saksi Dalam Hukum Acara Pidana Islam 4.
Saksi atau al-shahâdah yaitu orang yang mengetahui atau melihat,
yaitu orang yang diminta hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan
keterangan yang membenarkan atau menguatkan bahwa peristiwa itu terjadi.
23
Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dâr al-Muassat al-Risâlah, t.th), no.
Hadits. 1275, hlm. 365.
33
Kesaksian dalam Hukum Peradilan Acara Islam dikenal dengan
sebutan al-shahadah, menurut bahasa antara lain artinya:
a. Pernyataan atau pemberitaan yang pasti.24
b. Pemberitahuan seseorang tentang apa yang ia ketahui dengan lafadz
“aku menyaksikan” atau “aku telah menyaksikan” (asyhadu atau
shahadtu).
Sedangkan menurut syara‟ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti
yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau
dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah
tersebar. Definisi lain juga dpat dikemukakan dengan pemberitaan akan hak
seseorang atas orang lain dengan lafat kesaksian di depan sidang pengadilan
yang diperoleh dari penyaksian langsung bukan karena dugaan atau
perkiraan. Lalu Ibnu Imam Taqiyuddin Abi Bakar dalam kitab Kifayatul
Akhyar menyatakan bahwa syahadah adalah khabar atau sesuatu yang telah
dilihat.25
Menurut istilah fuqaha bayyinah dengan syahadah sama artinya
yaitu kesaksian, tetapi Ibnu Qoyyim mengartikan bayyinah dengan segala
yang dapat menjelaskan perkara, Memberikan kesaksian asal hukumnya
fardhu kifayah, artinya jika dua orang telah memberikan kesaksian maka
semua orang telah gugur kewajibannya. Dan jika semua orang menolak tidak
ada yang mau untuk menjadi saksi maka berdosa semuanya, karena maksud
kesaksian itu adalah untuk memelihara hak.26
Hukumnya dapat beralih
menjadi fardhu „ain, jika tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua yang
mengetahui suatu kasus itu. Terhadap saksi seperti ini, jika menolak untuk
menjadi saksi, maka boleh dipanggil paksa.
24
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum keluarga, Hukum Pembuktian menurut BW ( Jakarta:
Bina Aksara, 1986), hlm. 203. 25
Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, Khifayatul Akhyar , Juz 1-2
(Semarang: Cipta Grafik, t.t), hlm. 275.
26 Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif ,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 74.
34
Dasar hukum kewajiban menjadi saksi dalam persidangan didasarkan
dalam firman Allah Al-Baqarah ayat (2) 282 yang berbunyi:27
ا داءه إذا يا دهعه لا يأ ب انش ) ٢٧٢ انبقرة ( ….
Artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka di panggil”
Selain itu dasar hukum untuk menjadi saksi didasarkan pada hadits
Nabi yang berbunyi:
يا ه انشادة ا ه اال د يان كبائر كخ ه اه ه ع الله عباش رض اب ع ره
Artinya: “apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai
kepadanya, bahwa ia berkata, tergolong dosa besar yaitu orang yang
menyembunyikan kesaksian".
Seseorang yang hendak memberikan kesaksian menurut Abdul Karim
Zaidan yang dikutip oleh Anshoruddin harus dapat memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Dewasa.
b. Berakal.
c. Mengetahui apa yang disaksikan.
d. Beragama islam.
e. Adil.
f. Saksi itu harus dapat melihat.
g. Saksi itu harus dapat berbicara.
Nashir Farid Wahil, menambahkan tidak adanya paksaan. Dan Sayyid
Sabiq, menambahkan pula yaitu saksi harus memiliki ingatan yang baik dan
bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).28
Syarat tidak adanya
paksaan bagi saksi maksudnya orang yang memberikan kesaksian atas dasar
intimidasi demi orang lain bisa mendorongnya untuk mempersaksikan hal
yang bukan pengetahuanya. Oleh karenanya dapat mempengaruhi
kepercayaan terhadap kesaksiasnnya.
27
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya. 28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Semarang: Cipta Grafik, 2008), hlm. 63.
35
Anshoruddin mengungkapkan masalah saksi yang hanya dianggap
penting saja antara lain:
a. Saksi satu orang laki-laki tanpa dikuatkan dengan sumpah salah satu
pihak berperkara.
b. Saksi satu orang laki-laki dikuatkan dengan sumpah.
c. Saksi non muslim.
d. Saksi istifadlah (berita tersebar atau testimonium de auditu).
e. Saksi wanita.
36
BAB III
REKAMAN VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM
KASUS PERZINAAN MENURUT HUKUM POSITIF
A. Pandangan Hukum Positif Mengenai Alat Bukti Elektronik Rekaman
Video
1. Pengertian Alat Bukti Elektronik
Perkembangan teknologi tidak mengurangi perkembangan tindak pidana.
Justru dengan adanya teknologi setiap tindak pidana dapat dilakukan hampir
disetiap kesempatan. Pengaturan regulasi hukum terkait tindak pidana bidang
elektronik atau yang disebut dengan cyber crime, masih dirasa sangat minim.
Bahkan interpretasi dilakukan dengan mengaitkan beberapa aturan hukum yang
lama. Rapin Mudiardjo menyebutkan bahwa penggunaan data elektronik
sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya.
Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat
bukti yang sah memang belum biasa digunakan. Padahal di beberapa negara,
data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim
dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana).1 Kiranya, tidak perlu
menunggu lama agar persoalan bukti elektronik, termasuk e-mail, untuk
mendapatkan pengakuan secara hukum sebagai alat bukti yang sah di
pengadilan, Dalam penjelasan UU ITE, paragraf kedua menegaskan Saat ini
telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau
hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan
untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan
dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.
Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of
information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum
mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan
1 Syaibatul hamdi, “Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana,” Jurnal Ilmu
Hukum. Vol. 1. No. 4, November 2013
37
melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup
lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi
berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat
secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika
terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara
elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.2
2.Pengertian Alat Bukti Rekaman Video
Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah penerapan teknologi
perekam video dalam pengungkapan tindak pidana. Kamera perekam (bahasa
Inggris: Camera Recorder, disingkat Camcorder) adalah sebuah alat elektronik
yang menggabungkan kamera video dan perekam video ke dalam satu unit.
Tampaknya tidak ada aturan khusus yang mengatur nama dari alat ini. Dari segi
pemasaran alat ini diberi nama camcorder atau camera recorder (kamera
perekam), namun jika dilihat dari konten serta fungsinya alat ini lebih dikenal
dengan kamera perekam video. Dalam rangka untuk membedakan kamera
perekam dengan alat lain yang memiliki fungsi sebagai perekam video, seperti
ponsel dan kamera digital, kamera perekam umumnya diidentifikasi sebagai
perangkat portabel, dengan aplikasi pengambil dan perekam video sebagai
fungsi utamanya.
Penerapan teknologi ini merupakan kemajuan dari penegakan hukum
dan salah satu wujud Asas Presumption of Innocent yang diartikan sebagai Asas
Praduga Tidak Bersalah artinya, seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan mempunyai kekuatan hukum
tetap, dengan adanya rekaman video tersebut, akan membuat penyidik lebih
yakin bahwa sesorang tersebut bersalah dan sebagai bukti permulaan yang
cukup, sehingga meminimalisir penyelewengan Asas Presumption of Innocent.
Dalam penegakan hukum di Indonesia dikenal mengenai alat bukti yang diatur
2 Syaibatul hamdi, “Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana,” Jurnal Ilmu
Hukum. Vol. 1. No. 4, November 2013
38
didalam beberapa undang-undang yang bernafaskan pidana khusus (lex spesialis
derogat legi generali), misalnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam undang-undang khusus tersebut sudah
diatur mengenai alat bukti rekaman data elektronik ini, namun bagaimana
dengan tindak pidana umum yang acara pidananya menggunakan KUHAP.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang diterima
oleh Pengadilan dalam pembuktian bersifat limitatif terhadap hal-hal sebagai
berikut :
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Selain alat bukti yang ditetapkam undang-undang tersebut, alat bukti
apapun tidak sah. Maka dari itu, dengan diakomodasinya penggunaan dokumen
elektronik sebagai alat bukti dalam Undang-Undang yang bersifat khusus atau
lex spesialis derogat legi generali. Misalnya dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Merupakan langkah maju dalam penegakan hukum di Indonesia. Sayangnya,
ketentuan tersebut khusus (Lex Specialist) diperuntukkan bagi tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga alat bukti rekaman, video,
sms, email, dan lain-lain tidak bisa digunakan untuk pembuktian tindak pidana
umum. Melihat dari realitanya, maka hasil rekaman video tindak kejahatan.
Tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti didalam peradilan umum, karena
didalam pasal 184 ayat 1 KUHAP telah diatur alat bukti secara secara limitatif,
sehingga hasil rekaman video hanya dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk
untuk melengkapi alat bukti lain yang tidak dapat berdiri sendiri, yang dipakai
hakim sebagai alat bukti petunjuk. Terhadap alat bukti petunjuk dituntut
kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam memberikan penilaiannya,
39
terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian antara suatu kejadian atau
keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan
jaksa penuntut umum (JPU). Sudah tentu untuk kesempurnaan pembuktian
melalui bukti elektronik (electronic evidence) sehingga hakim memiliki
keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya,
hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan ahli), kecuali pelaku
tersebut mengakuinya bahwa suara dan orang didalam gambar yang
diperdengarkan dimuka sidang pengadilan adalah suara dirinya.3 Setelah hakim
memiliki keyakinan, maka hakim akan menjatuhkan pidana kepada terdakwa
sesuai dengan perbuatanya.
B. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik dalam Persidangan
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, alat bukti
yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa, dan dengan sistem pembuktian negatife wetterlijke dalam persidangan
pidana. Maka, ketentuan tersebut menempatkan hakim sebagai pemutus perkara
bahwa dalam membuktikan suatu tindak pidana diharuskan ada dua alat bukti
yang disertai dengan keyakinan hakim. Klasifikasi mengenai alat elektronik
sebagai alat bukti dalam persidangan pidana telah ditentukan muatannya dalam
UU ITE. Kemudian dalam RUU-KUHAP juga direncanakan akan diakomodirnya
pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan pidana. Menurut
penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP yang dimaksud dengan “bukti
elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap
rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.
3
Alat Bukti Rekaman dalam http://www.tokoh indonesia.com/publikasi/article/322
opini/2434- rekaman-perkara-korupsi.diunduh kamis 19 Desember 2019 pukul 16:15.
40
Andi Hamzah menjelaskan bahwa yang termasuk alat bukti surat,
diantaranya yaitu pesan pendek melalui SMS (Short Message Services), surat
elektronik (e-mail) dan data dalam VCD serta CD, seperti halnya keterangan
saksi, alat bukti surat tidak dapat berdiri sendiri kecuali diperkuat dengan alat
bukti lain. Jadi tidak serta merta alat bukti surat elektronik (e-mail) karena tidak
ditegaskan secara spesifik sehinggatidak bisa diterima sebagai alat bukti yang sah
di pengadilan. Secara hukum, sepanjang tidak ada penyangkalan terhadap isi dari
dokumen, surat elektronik (e-mail) tersebut harusnya diterima layak bukti tulisan
konvensional, Untuk kesempurnaan pembuktian melalui bukti elektronik
(electronic evidence) sehingga hakim memiliki keyakinan atas terjadinya suatu
tindak pidana dan seseorang adalah pelakunya, hakim memerlukan bantuan
seorang ahli (keterangan ahli), kecuali pembicara dalam rekaman tersebut
mengakuinya bahwa suara yang diperdengarkan di muka sidang pengadilan
adalah suara dirinya sendiri.
Dalam praktik hukum, penggunaan alat perekam dan hasil rekaman telah
merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana.4 Di dalam KUHAP tidak
diatur mengenai hasil rekaman sebagai alat bukti (Pasal 184) kecuali keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Di dalam UU
No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditegaskan, setiap orang dilarang
melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apa pun (Pasal 40) kecuali untuk keperluan proses
peradilan pidana rekaman pembicaraan melalui jaringan telekomunikasi tidak
dilarang (Pasal 42 ayat [2]). Dalam UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan atas UU
No. 31 Tahun l999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hasil rekaman
termasuk alat bukti petunjuk, Pasal 26 A UU tersebut memperluas bukti petunjuk,
termasuk alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002)
41
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.5
Pada perkara Cybercrime alat bukti yang digunakan adalah alat bukti yang
dihasilkan dan mengandung unsur teknologi informasi. Informasi dan atau
dokumen elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti elektronik selain memang
ditentukan sebagai perluasan alat bukti pada hukum acara yang berlaku
berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE,
juga terhadap alat-alat bukti tersebut dapat dilakukan penafsiran secara
ekstensif/diperluas, sehingga informasi dan atau dokumen elektronik termaksud
kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti pada perkara pidana biasa
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, Penilaian atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk sepenuhnya diserahkan kepada hakim setelah mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya (Pasal 188 ayat 3).
Pembentuk UU memasukkan ketentuan ayat (3) tersebut karena alat bukti
petunjuk merupakan alat bukti yang masih memerlukan alat bukti lain untuk
kesempurnaan pembuktian. Kesempurnaan pembuktian dimaksud tersirat dalam
KUHAP (Pasal 183) yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dari dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selain itu, terhadap
alat bukti petunjuk dituntut kecermatan dan ketelitian seorang hakim di dalam
memberikan penilaiannya, terutama terhadap ada atau tidak adanya persesuaian
antara suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang
menjadi dasar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). maka untuk kesempurnaan
pembuktian melalui bukti elektronik (electronic evidence), hakim harus memiliki
keyakinan atas terjadinya suatu tindak pidana, dalam hal ini agar hakim memiliki
keyainan maka hakim memerlukan bantuan seorang ahli (keterangan ahli), kecuali
5 Syaibatul hamdi, “Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana,” dalam Jurnal
ilmu hukum. Vol. 1. No. 4, November 2013.
42
pembicara dalam rekaman tersebut mengakuinya bahwa suara yang
diperdengarkan di muka sidang pengadilan adalah suara dirinya.
C. Kedudukan Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Tindak Pidana
Perzinaan Menurut Pandangan Hukum Pidana Positif
Tindak kejahatan susila seperti kasus zina,6 merupakan suatu perbuatan
yang tercela. Semua norma di masyarakat menganggap bahwa perbuatan tersebut
merupakan suatu pelanggaran. Tindak pidana zina dianggap sebagai perbuatan
kotor dan tercela dan dalam konteks agama merupakan perbuatan yang harus
dikenakan hukuman hadd.7 Dalam tindak pidana perzinaan seringkali terungkap
karena beredarnya bukti elektronik seperti rekaman video. Tentunya ini bisa
dijadikan alat bukti yang kuat namun harus melalui proses pemeriksaan dan
identifikasi terlebih dahulu yaitu apakah hasil Audio visual itu benar-benar asli
atau rekayasa. Disini diperlukan orang yang ahli dalam bidang telematika.
Dalam hukum Positif sendiri, alat bukti yang dapat digunakan dalam
sebuah tindak pidana tertera dalam KUHAP pasal 184 ayat 1 menyatakan bahwa
alat bukti yang sah dalam perkara pidana keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa.8 Posisi rekaman video atau bisa kita sebut
dengan audio visual dalam KUHAP sendiri tidak dapat diajukan sebagai alat
bukti, KUHAP juga tidak mengatur bagaimana legalitas print out (hasil cetak)
sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik
sebagai alat bukti. Mengingat bahwa dari rekaman tesebut dapat direkayasa.
Rekaman video sendiri masuk kedalam alat bukti elektronik. Dalam pasal
1 angka 4 Undang-Undang No. 19 tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik berbunyi sebagai berikut:
Dokumen elektronik adalah berupa dokumen elektronik dan informasi
elektronik yang merupakan hasil produksi dari alat-alat elektronik., yaitu setiap
informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan
6 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 6-8.
7 Abd al-Qadir Audah, At-Tasyr‟i al-Jinai al-Islami (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t,t.),
I:79.)
8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184
43
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang
dapat dilihat, ditampilkan, dan atau didengar melalui komputer atau system
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi
yang memiliki makna atau arti, dan hanya dipahami oleh yang mampu
memahaminya.9
Undang-undang diatas menjelaskan bahwa dalam pembuktian di dalam
persidangan dengan alat bukti elektronik termasuk rekaman video yang bisa kita
sebut juga dengan audio visual sangat berkaitan erat dengan keterangan ahli.
Selain karena adanya undang-undang yang mengatur, keterangan seorang ahli
seakan tidak dapat terlepas dari bukti elektronik termasuk visualisasi suara atau
rekaman video karena kerumitan memahami dan sistem alat bukti tersebut.
Sehingga dapat dipastikan untuk zaman sekarang aparatur hukum di pengadilan
masih kesulitan dengan hal itu.
Berkenaan dengan hukum pembuktian dalam proses peradilan baik dalam
perkara pidana maupun perdata, akibat kemajuan teknologi khususnya teknologi
informasi, ada suatu persoalan bagaimana kedudukan produk teknologi.
Khususnya catatan elektronik, sebagai alat bukti sebagai contoh, pengguna
teleconference dalam persidangan oleh beberapa kalangan di pandang sebagai
terobosan hukum atau penemuan hukum karena pengguna teknologi ini belum
diatur dalam KUHAP. Namun keresahan diatas nampaknya hilang karena sudah
disahkannya undang-undang mengenai informasi dan Transaksi Elektronik, yang
menguatkan bahwa alat bukti elektronik adalah sah diajukan dipersidangan.
Setelah kita mengetahui bagaimana alat bukti elektronik dalam pandangan
hukum positif yang sudah mengukuhkan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu
sudah di tetapkan sebagai alat bukti yang nyata atau alat bukti yang sah di
persidangan. kemampuan teknologi untuk merekam dapat menunjang dan
membantu proses pembuktian tentu tidak dapat diragukan lagi. Tidak seperti
ingatan manusia yang berubah-ubah dalam memberikan keterangan sesuai kondisi
tertentu dibawah tekanan mental dan fisik. Maka mengenai hal ini dapat
dihubungkan dengan salah satu tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk mencari
9 Undang-Undang No. 19 tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal
1 angka 4
44
dan menemukan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari terjadinya suatu tindak pidana. Rekaman video memiliki kelebihan dalam
memberikan petunjuk karena didalamnya terdapat teknologi yang dapat
digunakan untuk merekam semua kejadian-kejadian baik hal yang terkecil
sekalipun. Tidak seperti ingatan manusia yang dapat berubah-ubah memberikan
keterangan sesuai dengan kondisi ingatan dan situasi kondisi tertentu dibawah
tekanan mental dan fisik.
Peristiwa yang cukup menyita perhatian masyarakat sembilan tahun yang
lalu adalah beredarnya video zina antara Ariel vokalis band Peterpan dengan artis
Luna Maya. Tidak lama kemudian, video Ariel yang sama juga beredar namun
dengan wanita yang berbeda, yaitu artis Cut Tari. Keaslian video itu sudah
dibuktikan oleh ahli telematika waktu itu, yaitu Roy Suryo. Pertanyaannya, kalau
syariat Islam diterapkan, apakah video itu bias dijadikan sebagai saksi pengganti
dari empat orang laki-laki sebagaimana yang terdapat dalam nash? Berangkat dari
analisis masalah inilah penulis merasa perlu untuk mengkaji dan meneliti
permasalahan yang berkaitan dengan judul penulis.
45
BAB IV
ANALISIS KEDUDUKAN BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT
BUKTI TINDAK PIDANA PERZINAAN MENURUT RUU-KUHAP DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
Alat Bukti Elektronik Dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum A.
Acara Pidana
Saat ini hukum pidana Indonesia belum mengatur tentang kekuatan bukti
elektronik pada proses pembuktian di persidangan. Ketika bukti elektronik
dihadirkan di persidangan akan mengundang perdebatan mengenai bagaimana
teknis penilaian terhadap bukti elektronik tersebut. Belum adanya undang-undang
yang mengatur teknis penilaian bukti elektronik maka hakim diharapkan mampu
menentukan teknis penilaian terhadap kekuatan bukti elektronik.
Ketentuan mengenai alat bukti elektronik belum diatur secara khusus
dalam KUHAP, sehingga hakim harus melakukan penemuan hukum untuk
mencegah terjadinya kekosongan hukum. Hakim sebagai aparat penegak hukum
yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tidak boleh menolak perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap atau
tidak jelas, sehingga hakim dapat menggunakan metode argumentasi karena
KUHAP belum mengatur secara khusus mengenai ketentuan bukti elektronik.1
Hakim sebagai aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk
melakukan penemuan hukum dapat menginterpretasikan bukti elektronik sebagai
perluasan dari alat bukti surat atau petunjuk yang merupakan alat bukti yang sah
menurut Pasal 184 KUHAP. Pada saat bukti elektronik dinyatakan oleh hakim
sebagai perluasan dari alat bukti surat atau petunjuk, maka bukti elektronik dapat
dikatakan sebagai alat bukti yang sah dan dapat dihadirkan di persidangan.
Kemudian dalam RUU-KUHAP juga dirancangkan akan diakomodirnya
pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan pidana. Menurut
pasal 177 RUU-KUHAP ayat (1) Alat bukti yang sah mencakup: a) Barang bukti
1 Wisnubroto Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005), hlm. 29.
46
; b) Surat-surat; c) Bukti elektronik; d) Keterangan seorang ahli; e) Keterangan
seorang saksi; f) Keterangan terdakwa; dan g) pengamatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU-KUHAP yang
dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun
yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.2
Setelah kita mengetahui bagaimana alat bukti elektronik dalam pandangan
hukum positif yang sudah mengukuhkan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu
sudah di tetapkan sebagai alat bukti yang nyata atau alat bukti yang sah di
persidangan. kemampuan teknologi untuk merekam dapat menunjang dan
membantu proses pembuktian tentu tidak dapat diragukan lagi. Tidak seperti
ingatan manusia yang berubah-ubah dalam memberikan keterangan sesuai kondisi
tertentu dibawah tekanan mental dan fisik. Maka mengenai hal ini dapat
dihubungkan dengan salah satu tujuan Hukum Acara Pidana yaitu untuk mencari
dan menemukan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari terjadinya suatu tindak pidana. Rekaman video memiliki kelebihan dalam
memberikan petunjuk karena didalamnya terdapat teknologi yang dapat
digunakan untuk merekam semua kejadian-kejadian baik hal yang terkecil
sekalipun. Tidak seperti ingatan manusia yang dapat berubah-ubah memberikan
keterangan sesuai dengan kondisi ingatan dan situasi kondisi tertentu dibawah
tekanan mental dan fisik.
Dalam penilaian mengenai keabsahan bukti elektronik yang dihadirkan
dalam persidangan, hakim mengacu pada keterangan ahli untuk
mempertimbangkan dan menjamin keabsahan bukti elektronik tersebut. Ahli
sebagai orang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
2 Darus harizona, “Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut
Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam” (Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit
Television)”. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains. Vol. 7. No. 1, Juni 2018.
47
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan,
memberikan pendapatnya kepada hakim mengenai sah atau tidaknya alat bukti
yang dihadirkan ke persidangan tersebut. Ketika ahli menyatakan bahwa alat bukti
tersebut adalah sah, maka hakim dapat mengakui bahwa alat bukti tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.3
Kedudukan Bukti Elektronik (Rekaman Video) dalam Fiqh Jinayah B.
Seperti yang diketahui bahwa Hukum Islam bertujuan untuk memenuhi
kepentingan kebahagian, kesejahteraan dan keselamatan hidup didunia dan
diakhirat. Dalam hal ini, rekaman video bisa menjadi salah satu alat untuk tujuan
Hukum Islam tersebut, karena rekaman video mampu merekam dengan resolusi
gambar yang baik. Dalam hal ini apabila seseorang dituduh melakukan tindak
pidana maka diperlukan pembuktian secara adil. Oleh sebab itu, rekaman video
dapat berperan sebagai suatu petunjuk apakah terdapat suatu tindak pidana, namun
sebagai petunjuk sendiri harus ditentukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana
mengenai apakah bisa atau tidak menjadi petunjuk di dalam persidangan menurut
Hukum Acara pidana.4 meskipun demikian alat bukti Rekaman video harus diteliti
lebih dahulu apakah terdapat rekayasa di dalam rekaman video tersebut agar bisa
digunakan menjadi bukti yang sah dalam proses pembuktian dipersidangan
sebagaimana penelitian terdahulu jelaskan. Sedangkan penggunaan rekaman video
di dalam Fiqh Jinayah dapat dijelaskan didalam proses pembuktian fiqh jinayah
yaitu merupakan sesuatu hal yang sangat penting, sebab pembuktian merupakan
esensi dari suatu persidangan guna mendapatkan kebenaran yang mendekati
kesempurnaan (Al- Bayyinah) adalah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menjelaskan yang haq (benar) didepan majelis hakim, baik berupa
keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh
majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya. Pembuktian
3
Hari Sasangka, Rosita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung:
Mandar Maju, 2003), hlm. 35.
4Darus harizona, “Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan Menurut
Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam” (Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit
Television)”. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains. Vol. 7. No. 1, Juni 2018
48
merupakan salah satu tahapan yang menjadi prioritas yang harus dipenuhi dalam
penyelesaian suatu sengketa pidana. hal ini karena dalam penyelesaian sengketa
pidana terdapat kemaslahatan serta akan menolak kemudaratan, karena dengan
pembuktian menghidarkan seseorang yang tidak bersalah di hukum, hal ini sesuai
dengan kaidah Fiqh Jinayah:
با ث إ د رء ا انحد د با نشه
Artinya: “Hindari lah hukuman Had jika terdapat syubhat”5
Bukti dalam kaidah Hukum Acara menurut syariat Islam dalam
pembuktian ini lah yang digunakan sebagai Hujjah (alasan Hukum) berdampak
kepada terkena atau tidaknya hukuman, serta dalam menghidarkan dalam perkara
syubhat, alat bukti dan barang bukti dalam Hukum Islam tidak memiliki
perbedaan karena dalam Hukum Islam segala sesuatu yang menerangkan dan
menjelaskan yang Haq (kebenaran) ialah Al Bayyinah sebagai pembuktian.
Mengenai alat bukti rekaman video seperti yang telah diketahui bahwa di dalam
Hukum Acara Pidana ditindak pidana umum dijadian sebagai petunjuk yang harus
di persesuaikan dengan alat bukti lain, sedangkan di dalam tindak pidana khusus
rekaman video di jadikan sebagai alat bukti elektronik. Hal ini tidak berbeda
dengan Hukum Islam bahwa rekaman video di jadikan sebagai petunjuk. Menurut
pandangan Muhammad Az-Zuhaili, qarȋnah mengalami perkembangan sesuai
dengan kondisi dan situasi juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Contoh-contoh qarȋnah antara lain; analisa, sidik jari, foto, rekaman suara,
rekaman suara dan gambar seperti rekaman video, sidik jari genetis, DNA dan
lain-lain Az-Zuhaili berpendapat bahwa qarȋnah hanya sebagai sarana pelengkap
ketika hakim tidak bisa menemukan bukti-bukti lain yang jelas, atau ketika bukti-
bukti yang ada tidak mencukupi atau memuaskan. Dengan demikian, qarinah
selalu bergandengan dengan alat bukti utama, fungsinya untuk lebih memperkuat
dan meyakinkan. Hal ini tidak terlepas dari kurang meyakinkannya rekaman
5 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset), hlm. 77.
6 Hasyim Ustman, Teori pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam, (Yogyakarta : Andi
Offset, 1981), hlm. 51.
49
video. Sedangkan dalam memvonis sebuah kasus, apalagi dalam kasus pidana
harus didasarkan kepada bukti yang meyakinkan.6 Persoalan ini, sejalan dengan
kaidah yang dikutip dari hadits lebih baik salah memaafkan dari pada salah
menghukum. Al Qarȃin atau Qarinah diambil dari kata muqaranah (penyertaan).
Dalam Thuruqul Qadla Pentujuk itu bisa kuat atau lemah, dan bisa ketingkatan
pasti. Ukuran dalam menetapkannya, ialah kepada kuat pikiran, kecerdasan dan
kebajikan. Sedangkan secara istilah dapat diartikan tanda-tanda yang merupakan
hasil kesimpulan hakim dalam menangani berbagai kasus melalui ijtihad. Al-
majalah al-adliyah mempergunakan Qarȋnah sebagai bukti. Berbeda dengan Az-
Zuhaili, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
definisi bayyinah. Qarȋnah atau rekaman video, menurut Ibnu Qayyim dapat
dijadikan sebagai alat bukti dalam berbagai kasus baik perdata maupun pidana.
Lebih lanjut Ibnu Qayyim menegaskan bahwa jika hakim mengabaikan qarȋnah
sebagai alat bukti, maka ia telah melukai rasa keadilan dan telah melakukan
kesalahan yang sangat fatal. Penggunaan alat bukti qarȋnah itu sendiri
dikemukakan dalam al-Qur‟an, dalam kisah nabi Yusuf dengan putri Zulaikha
tentang bagaimana alat bukti petunjuk berperan untuk membuktikan dakwaan
berbuat tidak senonoh yang dituduhkan Zulaikha kepada yusuf. Dalam hal ini
yang menjadi petunjuk adalah robekan baju di bagian punggung Yusuf. Dalam
suatu sengketa anak antara dua orang ibu yang sama-sama mengaku bahwa anak
tersebut adalah miliknya. Kemudian kasus ini dibawa kapada nabi Daud dan
kemudian nabi Daud memutuskan anak itu untuk yang lebih tua.sulaiman yang
hadir pada saat itu meminta sebilah pisau dan mengatakan akan membelah anak
tersebut menjadi dua. Melihat hal itu ibu yang lebih muda memilih membiarkan
anak tersebut diberikan kepada yang lebih tua. Melihat hal ini kemudian anak itu
diputuskan milik ibu yang lebih muda. Dalam hal ini yang menjadi qarȋnah dan
menjadi bukti kebohongan adalah teganya seorang ibu akan kematian anaknya,
padahal sebelumnya mereka bersengketa tentang hak siapa anak tersebut. Anak
yang disengketakan tersebut diberikan oleh Sulaiman kepada ibu yang lebih muda
karena sikapnya yang menunjukkan bahwa dialah ibu yang berhak terhadap anak
6 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm 25.
50
itu. Keberadaan alat bukti qarȋnah itu sendiri sering dilalaikan oleh pihak-pihak
yang bersengketa maupun pihak pengadilan. Dari paparan diatas penulis dapat
disimpulkan bahwa dalam menyikapi kedudukan rekaman video didalam Fiqh
jinayah, rekaman video dapat dijadikan alat bukti pendukung yaitu sebagai
petunjuk yang menguatkan bukti lain, serta dengan pengertian kata bayyinah yang
bermakna bukti memiliki medan makna yang sangat luas bukan hanya manusia
sebagai saksi atau alat bukti. Namun juga bermakna segala sesuatu yang bisa
menunjukan kebenaran suatu peristiwa atau tindakan. Serta penggunaan rekaman
video juga harus diteliti oleh ahli apakah terdapat rekayasa atau tidak agar bisa
menjadi petunjuk.
Kedudukan Bukti Elektronik (Rekaman Video) Menurut Pandangan C.
Hukum Islam
Secara global hukum Islam dibentuk dengan tujuan untuk menjamin
dan kemaslahatan manusia. Untuk merealisir kemaslahatan tersebut Islam
memiliki dua sumber hukum pokok berupa nas al-Qur‟an dan as-Sunnah.
Kedua sumber hukum Islam ini sesungguhnya memuat prinsip dan aturan hidup
yang komprehensif dan berlaku secara universal. Tetapi dengan berjalannya
waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan itu berpengaruh dengan tataran
praktis hukum Islam. Maka dari itu dengan adanya perubahan tersebut, Islam
harus mulai bisa menyesuaikan diri dengan kondisi zaman. Dengan adanya
perubahan tersebut hukum Islam membuka peluang untuk memperbaharui aturan,
tetapi dengan syarat bahwa pembaharuan tersebut tidak keluar dari aturan nas
al-Quran dan as-Sunnah.
Pembaharuan tersebut yang terpenting bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat manusia. Upaya pembaharuan tersebut pernah dilakukan
oleh Umar Ibn Khattab, beliau pernah mengadakan penyimpangan terhadap
asas legalitas di dalam hukum potong tangan pada masa paceklik. Umar bukan
bermaksud untuk mengkhianati hukum Allah SWT, Melainkan semangat untuk
menangkap ruh-ruh syari‟at Islam dengan pemahaman kontekstual.
51
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Beliau
tidak menghukum orang yang bersalah secara absolute (letterlijk), melainkan
lebih bersifat kondisiona.7
Dalam proses peradilan, seorang hakim dalam
memutus suatu perkara harus benar-benar menjunjung tinggi keadilan, sehingga
putusannya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti sendiri
merupakan unsur penting di dalam pembuktian persidangan. Karena hakim
menggunakannya sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara. Alat bukti
sendiri adalah alat atau upaya yang diajukan pihak berperkara yang digunakan
hakim sebagai dasar dalam memutus perkara. Sedangkan dari pihak berperkara
alat bukti adalah alat atau upaya yang digunakan untuk meyakinkan hakim
dimuka sidang pengadilan. Sedangkan dilihat dari segi pengadilan yang
memeriksa perkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa digunakan hakim
untuk memutus perkara.8
Perkembangan teknologi yang terjadi dalam masyarakat saat ini
mengharuskan terjadinya perubahan dalam tatanan sistem hukum pidana, baik
hukum Islam maupun hukum positif. Guna memberikan respon tuntutan
masyarakat saat ini, termasuk mengenai kedudukan rekaman video sebagai alat
bukti. Dalam hukum Islam sendiri yang dapat dijadikan alat bukti dalam tindak
pidana perzinaan hanya ada tiga yaitu pengakuan (iqrȃr), kesaksian (syahādah)
dan petunjuk (qarȋnah). Dari beberapa alat bukti tersebut yang menjadi pokok
bahasan dalam skripsi ini adalah alat bukti qarȋnah. Orang sering menyebut alat
bukti qarȋnah dalam persangkaan (vermoeden) atau dalam lingkungan peradilan
umum disebut dengan petunjuk-petunjuk (aanwijzingen), sedangkan Hasbi ash-
Shidieqy mengartikan qarȋnah sebagai tanda-tanda yang dapat menimbulkan
keyakinan.9
7
Makhrus Munajat, Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta:
Cakrawala, 2006), hlm. 93-95.
8 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan hukum positif, cet.
Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.
9 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara, (Bandung: Al-Ma‟arif , t,t.)
hlm. 134
52
Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa qarȋnah hanya sebagai sarana
pelengkap ketika hakim tidak bisa menemukan bukti-bukti lain yang jelas, atau
ketika bukti- bukti yang ada tidak mencukupi atau memuaskan. Dengan demikian,
qarȋnah selalu bergandengan dengan alat bukti utama, fungsinya untuk lebih
memperkuat dan meyakinkan. Hal ini tidak terlepas dari kurang meyakinkannya
rekaman video. Sedangkan dalam memvonis sebuah kasus, apalagi dalam kasus
pidana harus didasarkan kepada bukti yang meyakinkan. Persoalan ini, sejalan
dengan kaidah yang dikutip dari hadits lebih baik salah memaafkan dari pada
salah menghukumi. Al-qarȃin atau qarȋnah diambil dari kata muqaranah
(penyertaan). Dalam Thuruqul Qadla Petunjuk itu bisa kuat atau lemah, dan bisa
ketingkatan pasti. Ukuran dalam menetapkannya, ialah kepada kuat pikiran,
kecerdasan dan kebajikan. Sedangkan secara istilah dapat diartikan tanda-tanda
yang merupakan hasil kesimpulan hakim dalam menangani berbagai kasus
melalui ijtihad. Al-majalah al-adliyah mempergunakan qarȋnah sebagai bukti.
Berbeda dengan Az-Zuhaili, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian definisi bayyinah. Qarȋnah atau rekaman video, menurut
Ibnu Qayyim dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam berbagai kasus baik perdata
maupun pidana. Lebih lanjut Ibnu Qayyim menegaskan bahwa jika hakim
mengabaikan qarȋnah sebagai alat bukti, maka ia telah melukai rasa keadilan dan
telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.10
Jika dilihat dari macam-macam alat bukti yang termasuk dalam alat
bukti dalam kasus perzinaan, audio visual seperti rekaman video dapat diqiyaskan
dalam alat bukti qarȋnah. Di sini yang digunakan adalah qiyas musawi, yaitu qiyas
hukum yang ditetapkan pada furu‟ sebanding dengan hukum yang ditetapkan
pada asal. Sesuai dengan qiyas itu, rekaman ini mempunyai „illat hukum yang
sama dengan qarȋnah, yaitu sama-sama membaca petunjuk-petunjuk atau
tanda-tanda. Hanya saja rekaman video lebih bersifat spesifik yakni membaca
petunjuk-petunjuk atau indikator-indikator dalam rekaman-rekaman. Alat bukti
qarȋnah sendiri dalam tindak pidana perzinaan dapat dijadikan bukti petunjuk.
10
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet ke-2 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 79.
53
Dengan adanya audio visual atau rekaman video, bisa dijadikan bukti yang kuat
setelah melalui proses pemeriksaan. Pada proses selanjutnya alat bukti al-khibrah
memegang peranan penting, karena untuk memeriksa audio visual atau rekaman
video tersebut tentunya diperlukan seorang ahli telematika yang bisa memeriksa
apakah rekaman video tersebut tidak direkayasa. Meskipun qarȋnah merupakan
alat bukti namun tidak semua qarinah dapat dijadikan alat bukti. Qarȋnah yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti yaitu qarȋnah tersebut harus jelas dan
meyakinkan sehingga tidak bisa dibantah oleh manusia normal yang berakal.
Kriteria lainnya adalah semua qarȋnah menurut Undang-Undang dilingkungan
peradilan sepanjang tidak jelas-jelas bertentangan dengan hukum islam. Qarȋnah-
qarinah yang demikian merupakan qarȋnah wadihah saja, tanpa didukung oleh
bukti lainnya. 11
Dalam al-Qur‟an sendiri terdapat kisah pembuktian dengan menggunakan
alat bukti qarȋnah. Dalam surat Yusuf (12) ayat 26-29. Menceritakan tentang
Nabi Yusuf yang difitnah oleh Zulaikha yang menuduh Yusuf melakukan
perbuatan mesum dengannya saat suaminya pergi. Dalam riwayat ini dijelaskan
bagaimana kebohongan Zulaikha dibuktikan dengan qarȋnah mempunyai peranan
yang sangat penting dalam tindak pidana, dimana petunjuk yang ada bisa
diposisikan sama dengan kesaksian karena memberikan indikasi yang kuat. Ibn al-
Qayyim pernah mengungkapkan bahwa qarȋnah sebagai alat bukti sama
kedudukannya dengan saksi.12
Pembuktian dengan menggunakan audio visual
adalah salah satu langkah merespon perkembangan zaman, dimana format
qarinah telah termaktub dalam Al-Qur‟an dan As-sunnah dapat di aktualisasikan
agar bersifat responsive terhadap perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan
kaidah ushul fiqih:
13الأزيابخغير لايكرحغيرالأحكاو
11
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. Ke-3 (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1994), hlm. 175-176
12 Muhammad Salam Madkur, al-Qada Fil Islam, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm.
121. 13
Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm.
107.
54
Artinya: “Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”
Kaidah ushul fiqh tersebut mengindikasikan bahwa setiap perubahan masa,
menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan masa itu. Hal ini mempunyai
pengaruh besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang didasarkan pada
kemaslahatan itu. Karena bagaimana pun juga hukum mampu mengakomodasi
problematika seiring dengan perkembangan zaman.
Analisis Penulis Tentang Alat Bukti Elektronik (Rekaman video) D.
Dalam menyikapi perihal tentang suatu media elektronik dapat dijadikan alat
bukti adalah suatu hal yang mutlak adanya, penulis berpendapat bahwa bukti
elektronik atau visualisasi yang berisi rekaman video tersebut haruslah terlihat
sama seperti apa yang telah diklaim atau dikatakan. Penulis berpendapat
bahwasannya keaslian mengenai rekaman video khususnya dalam tindak pidana
perzinaan tentunya ini bisa dijadikan alat bukti yang kuat namun harus melalui
proses pemeriksaan dan identifikasi terlebih dahulu yaitu apakah hasil rekaman
video itu benar-benar asli atau hasil rekayasa. Oleh karena itu, untuk mengetahui
hal tersebut disini diperlukan orang yang ahli dalam bidang telematika.
Penulis berpandangan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu sama halnya
dengan bukti nyata (real avidence) walaupun dengan itu harus melalui proses
pemeriksaan dan identifikasi terlebih dahulu apakah suatu rekaman tersebut
memang bukan hasil dari rekayasa. Kemudian diperkuat lagi yaitu dengan cara
memperdengarkan keterangan para saksi, mendengarkan keterangan ahli dan
menunjukan rekaman video atau bukti elektronik tersebut. Hingga bukti itu sah
kebenarannya, dan sah dijadikan alat bukti berupa media elektronik.
Setelah kita mengetahui bagaimana alat bukti elektronik dalam pandangan
hukum positif yang sudah mengukuhkan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu
sudah di tetapkan sebagai alat bukti yang nyata atau alat bukti yang sah di
persidangan. Menyikapi kedudukan alat bukti elektronik maupun rekaman video
sendiri dalam hukum pidana Indonesia telat di perkuat dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut pasal
5 ayat (1) yaitu :
55
“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian
hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik,
terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang
dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Dengan demikian melihat pasal diatas rekaman video jelas bisa dijadikan alat
bukti yang sah. Kemudian dalam RUU-KUHAP juga dirancangkan akan
diakomodirnya pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan
pidana. Menurut pasal 177 RUU-KUHAP ayat (1) Alat bukti yang sah
mencakup: a) Barang bukti ; b) Surat-surat; c) Bukti elektronik; d) Keterangan
seorang ahli; e) Keterangan seorang saksi; f) Keterangan terdakwa; dan g)
pengamatan Hakim. Klasifikasi mengenai alat elektronik sebagai alat bukti dalam
persidangan pidana telah ditentukan muatannya dalam UU ITE. Menurut
penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU-KUHAP yang dimaksud dengan
“bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu,
termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang
terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Penulis berpandangan bahwa Rekaman video memiliki kelebihan dalam
memberikan petunjuk karena di dalamnya terdapat teknologi yang dapat
digunakan untuk merekam semua kejadian-kejadian baik hal yang terkecil
sekalipun. Tidak seperti ingatan manusia yang dapat berubah-ubah memberikan
keterangan sesuai dengan kondisi ingatan dan situasi kondisi tertentu dibawah
tekanan mental dan fisik. Pengertian petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal
188 KUHAP yang merumuskan bahwa: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap memberikan
pengertian petunjuk dengan menambah beberapa kata, petunjuk ialah suatu
56
“isyarat” yang dapat “di tarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana
isyarat tadi mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun
isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari
isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu
petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadi suatu tindak pidana dan
terdakwalah pelakunya. Berdasarkan pengertian petunjuk yang disampaikan oleh
M Yahya Harahap, apabila dikaitkan dengan rekaman video bisa menjadi
petunjuk apabila memiliki persesuaian dengan bukti lain. Rekaman video dapat
memiliki persesuaian dengan bukti lain, karena rekaman video dapat
memperlihatkan dan menghubungkan keterangan yang ada sehingga timbul suatu
kenyataan melalui hasil rekaman yang bisa memperkuat bukti lain misalnya,
keterangan saksi bisa dibenarkan melalui rekaman video tersebut.14
Hukum Islam dalam menyikapi pembuktian tindak pidana perzinaan telah
mempunyai beberapa konsep alat bukti yaitu pengakuan (iqrār), kesaksian
(syahādah) dan petunjuk (qarȋnah). Dari ketiga konsep alat bukti tersebut ada satu
yang bisa dikategorikan sebagai alat bukti qarȋnah (petunjuk). Sedangkan Hasbi
Ash-Shidieqy mengartikan qarȋnah sebagai tanda-tanda yang dapat menimbulkan
keyakinan. Dalam hal ini, rekaman video bisa menjadi salah satu alat untuk tujuan
Hukum Islam tersebut, apabila rekaman video tersebut mampu merekam dengan
resolusi gambar yang baik. Dalam hal ini apabila seseorang dituduh melakukan
tindak pidana perzinaan maka diperlukan pembuktian secara adil. Oleh sebab itu,
rekaman video berperan sebagai suatu petunjuk apakah terdapat suatu tindak
pidana, namun sebagai petunjuk sendiri harus ditentukan oleh hakim dengan arif
dan bijaksana mengenai apakah bisa atau tidak menjadi petunjuk didalam
persidangan menurut Hukum Acara Pidana.
Dalam proses peradilan, seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus
benar-benar menjunjung tinggi keadilan, sehingga putusannya bisa
dipertanggung-jawabkan secara hukum. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
14
Syaibatul hamdi, “Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Pidana” Jurnal Ilmu
Hukum. Vol. 1. No. 4, November 2013
57
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S An-Nisa: 58)
Seorang hakim harus memperhatikan bukti-bukti yang ada sehingga dalam
memberikan putusan tidak akan ada sebuah kesalahan dan benar benar
memberikan suatu putusan yang adil. Dari ketiga konsep diatas maka penulis
beranggapan dengan dalil-dalil yang telah diperkuat dalam Bab-Bab sebelumnya,
bahwa ternyata tiga alat bukti tersebut secara dan meyakinkan untuk bisa diterima
khususnya dalam tindak pidana perzinaan. Menyikapi kedudukan rekaman video
dalam Hukum Islam dapat dijadikan alat bukti pendukung, yaitu sebagai petunjuk
yang menguatkan bukti lain. Serta dengan pengertian kata bayyinah yang
bermakna bukti memiliki medan makna yang sangat luas bukan hanya manusia
sebagai saksi atau alat bukti. Namun juga bermakna segala sesuatu yang bisa
menunjukan kebenaran suatu peristiwa atau tindakan. Dalam hal ini, penggunaan
rekaman video juga harus diteliti oleh ahli apakah terdapat rekayasa atau tidak,
agar bisa menjadi petunjuk. Bukti yang harus diteliti secara mendetail ini
tercantumkan dalam Al-Qur‟an yaitu firman Allah dalam surat Al-hujurat ayat 6:
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas berbuatan itu” (Q.S Al-Hujurât: 6)
58
BAB V
PENUTUP
Simpulan A.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan oleh penulis dapat dipaparkan dalam bab
yang telah dijelaskan sebelumnya, mengenai rekaman video sebagai alat bukti
elektronik Tindak Pidana perzinaan dalam RUU-KUHAP dan Hukum Pidana
Islam maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pandangan Hukum Positif mengenai rekaman video sebagai alat bukti tindak
pidana perzinaan bisa diterima sebagai alat bukti, seperti pemaparan yang
penulis paparkan dalam pembahasan bab sebelumnya. Klasifikasi mengenai
alat bukti elektronik telah ditentukan muatannya dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut
pasal 5 ayat (1). Kemudian dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana juga dirancangkan akan diakomodirnya pengaturan alat elektronik
sebagai alat bukti dalam persidangan pidana menurut pasal 177 ayat (1) huruf c
yaitu “Bukti Elektronik”. Dengan demikian setelah kita mengetahui pasal di
atas bahwasannya dalam pandangan hukum positif yang sudah mengukuhkan
ternyata alat bukti elektronik itu sudah di tetapkan sebagai alat bukti yang
nyata atau alat bukti yang sah dalam persidangan. Hanya saja belum tertulis
dalam KUHAP, melainkan sebagai perluasan dari alat bukti yang sah menurut
KUHAP.
2. Komparasi antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif mengenai alat bukti
rekaman video dalam tindak pidana perzinaan, dari segi keabsahan, alat bukti
elektronik (rekaman video) sah sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan
dalam hukum islam dan hukum positif. keduanya tidak bisa dipisahkan lagi
dengan alat bukti pendapat ahli. Karena kerumitan dalam memahami dan
menganalisa keaslian dari rekaman video. Maka kedua hukum tersebut
membutuhkan keahlian dari seorang profesional dalam bidang tersebut. Titik
tekan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif mengenai rekaman
video sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan adalah pijakan dasar dalam
59
penetapan hukum. Dalam hukum islam menggunakan metode qiyas, sedangkan
hukum positif berdasarkan Undang-undang.
Letak persamaan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif
mengenai alat bukti rekaman video. Pertama, persamaan yang
memperbolehkan rekaman video sebagai alat bukti tindak pidana perzinaan,
dalam hukum islam pembuktian dengan menggunakan rekaman video dalam
tindak pidana perzinaan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk qarinah.
Sedangkan dalam hukum positif dijelaskan dalam pasal 184 KUHAP yang
didukung oleh pasal 5 ayat (1) undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang
informasi dan transaksi elektronik. Kemudian dalam RUU-KUHAP juga
dirancangkan akan diakomodirnya pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti
dalam persidangan pidana. Menurut pasal 177 RUU-KUHAP ayat (1) huruf c
yaitu “Bukti elektronik”. Kedua, perbedaan dalam hal sumber yang signifikan
antara hukum islam dan hukum positif mengenai rekaman video sebagai alat
bukti tindak pidana perzinaan yaitu bahwa hukum Islam bersumber kepada
wahyu Allah dengan menggunakan metode qiyas, sedangkan hukum positif
bersumber kepada realita kehidupan masyarakat berdasarkan undang-undang.
Serta ada perbedaan yang mendasar lagi, yaitu hukum Islam dan hukum positif
berbeda dalam menganut sistem pembuktian.
Rekomendasi B.
Berdasarkan uraian diatas, penulis merekomendasikan kepada aparat penegak
hukum baik dari pihak kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman agar lebih
ditingkatkan lagi kesadaran hukumnya dalam menangani kasus-kasus khususnya
tindak pidana perzinaan. Pembuktian perzinaan, baik menurut hukum positif dan
hukum Islam, sampai sekarang belum ada yang proses sampai persidangan karena
dalam membuktikan suatu tindak pidana perzinaan itu sulit apalagi dalam hukum
positif yang cara pembuktiannya sama dengan pembuktian tindak pidana yang
lain. Banyak terjadi peristiwa perzinaan yang sangat merugikan masyarakat, akan
tetapi masyarakat kita menganggap itu hal yang biasa, padahal dalam segi hukum
itu merupakan tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman yang sangat
60
berat. Apalagi dalam segi hukum islam yang hukumannya tidak bisa dirubah sama
sekali, karena semua itu hukum Allah. Oleh karena itu penulis merekomendasikan
kepada seluruh aparat penegak hukum untuk lebih ditingkatkan lagi dalam
menangani kasus-kasus khususnya tindak pidana perzinaan.
.
61
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahan.
Buku:
Audah, Abdul Qadir. (1992). al-Tasyri' al-Jina'i al-Islami. Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi.
Anshoruddin. (2004). Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan
Hukum Positif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Afandi, Ali. (1986). Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian
Menurut BW. Jakarta: Bina Aksara.
Alfitra, (2011) Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan
Korupsi di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Husaini Al, Imam Taqiyuddin. (1996). Khifayatul Akhyar. Semarang: Cipta
Grafika.
Jauziyah Al, Ibnu Qayyim. (2005). Hukum Acara Peradilan Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Abdurrahman, Asjmuni. (1976). Qaidah-Qaidah Fiqh . Jakarta: Bulan Bintang.
Bakker, Anton & Ahmad Zubeir. (1990). Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Effendi, Tolib. (2014). Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan
Pembaharuan di Indonesia). Malang: Setara Press.
Hadi, Sutrisno. (1990). Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Hamzah, Andi. (2002). Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. (2014). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Irfan, Muhammad Nurul & Masyrofah. (2013). Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah.
Irianto, sulistyo Dkk. (2009). Metode Penelitian Hukum . Jakarta: Obor.
Malik, Muhammad Abduh. (2003). Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan
Kuhp. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Muslih, Ahmad Wardi. (2005). Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Makarim, Edmon. (2005). Pengantar Hukum Telematika. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
62
Madkur, Muhammad Salam. (1993). Al-Qada Fil Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Munajat, Makhrus. (2006). Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta: Cakrawala.
Narboko, Cholid & Abu Achmadi. (1997). Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta:
Bumi Pustaka.
Prodjohamidjojo, Martiman. (1983). Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti .
Jakarta: Ghalia.
Pratama, Harrys & Usep Saepullah. (2016). Hukum Acara Pidana Khusus
(Penundaan Eksekusi Mati Bagi Terpidana Mati di Indonesia, Kasus
Tipikor, Narkoba, Teroris, dan Politik). Bandung: Pustaka Setia.
Rasyid, Roihan A. (2015). Hukum Pembuktian Dakam Perkara Pidana . Jakarta:
Raja Grafindo.
Sunggono, Bambang. (2007). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sasangko, Hari & Lili Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Sofyan, Andi. (2013). Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Rangkang Education.
Shiddieqy, Hasbi Ash. (2006). Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Sabiq, Sayyid. (2008). Fiqh Sunnah . Semarang : Cipta Grafik.
Sasangka, Hari & Lili Rosita. (1996). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Surabaya: Sinar Wijaya.
Ustman, Hasyim. (1981). Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayah Islam.
Yogyakarta: Andi Offset.
Widiartana, Wisnubroto. (2005). Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Yudowidagdo, Hendrastanto. (1987). Kapita Selekta Hukum Acara Pidana
Indonesia . Jakarta : Melton Putra.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana No 1 Tahun 1946 (KUHP)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
63
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)
Jurnal:
Harizona, D. (2018). Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di Pengadilan
Menurut Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam. Jurnal Intelektualita
Keislaman, Sosial dan Sains, Vol.7. No. 1.
Hamdi, S. (2013). Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Pidana. Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 1. No. 4.
Karya Ilmiah:
Farid, Muhammad Hilmi. (2012). Skripsi: "Kekuatan Bukti Alat Bukti Elektronik
dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif" Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.
Harizona, Darus. (2018). Jurnal: "Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti di
Pengadilan Menurut Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam
(Penggunaan Rekaman Gambar closed Circuit Television) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Palembang.
Fitriana, Dana. (2013). Skripi: "Rekaman Video Sebagai Alat Bukti Perzinaan
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif" Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta.