PERAN PARTAI POLITIK DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN
NILAI-NILAI PANCASILA GUNA PENGUATAN ETIKA POLITIK
Jakarta, 17 Desember 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Timbulnya Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi,
dengan menggunakan sistem multipartai. Sistem multipartai ini merupakan salah
satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia, di mana
jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis dan mengikuti kompetisi mendapatkan
kekuasaan melalui pemilu, lebih dari dua partai politik.
Dinamika dan perkembangan politik dari masa ke masa menunjukkan
perubahan-perubahan yang signifikan, khususnya terkait dengan persoalan etika
politik. Di era reformasi ini tingkat partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu
mengalami degradasi. Pada Pemilu 1999 sebesar 93,3 persen, pada Pemilu 2004
turun menjadi 84,9 persen, kemudian pada Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99
persen. Dapat diketahui dalam 10 tahun, tingkat partisipasi pemilih sudah turun
sekitar 20 persen dari 93,3 persen menjadi 70,99 persen. Sementara itu, Pemilu 2014
ada yang meramalkan akan melorot lagi menjadi 60 persen, bahkan 50 persen.
Menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu ini merupakan
indikator makin lemahnya kepercayaan publik terhadap partai politik. Gejala ini
bukan terjadi di Indonesia saja, tetapi sudah merupakan fenomena global.
Berdasarkan kajian Pemilihan Umum di 13 negara demokrasi maju (AS dan
sebagian negara Eropa) pada tahun 1996-2000 menunjukkan bahwa hanya 30 persen
masyarakat berpendapat bahwa partai peduli dengan apa yang masyarakat pikirkan.
Pada survei Eurobaromater untuk 15 negara Uni Eropa pada 2004, tingkat
kepercayaan publik kepada partai politik rata-rata hanya 16 persen. Di Denmark
mencapai 32 persen, Tapi Inggris ternyata hanya 10 persen. Lainnya berkisar antara
15-16 persen. Padahal di sana angka korupsi politiknya rendah.
Di Indonesia sekitar 72 persen tidak mempercayai partai politik karena
partai tidak memperhatikan pendidikan politik bagi masyarakat dan
mencerdaskannya, kemudian sekitar 57 persen masyarakat Indonesia tidak percaya
kepada partai karena tidak melakukan kaderisasi, sehingga partai dinilai hanya
mementingkan kepentingan politik pihak tertentu saja.
Dengan gambaran partisipasi yang semakin rendah ini menunjukkan
legitimasi politik terhadap sistem demokrasi makin lama makin melemah. Belum
lagi, kondisi ini masih harus dipertahankan dengan adanya politik uang (money
politic). Padahal praktik politik uang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Parahnya lagi pembenaran terhadap politik uang dari masa ke masa juga
terus meningkat. Pada survei tahun 2005, hanya 11,9 persen responden yang
menyatakan politik uang dapat dibenarkan. Survei pada Oktober 2010 telah
meningkat hampir dua kali lipat dibanding lima tahun lalu, menjadi 20,8 persen.
Dan hasil survei yang dirilis Desember 2013 menemukan sebanyak 41,5 persen
responden di 39 dapil menganggap money politic sebagai hal yang wajar. Meskipun
55,7 persen responden yang menjawab wajar terhadap politik uang tetap memilih
calon yang ditentukan sendiri sesuai hati nurani.
Praktik politik uang ini diakibatkan oleh setidaknya oleh kedekatan pemilih
dengan partai politik, faktor pendidikan, dan kondisi ekonomi. Selain itu, dalam hal
kedekatan pemilih dan partai politik menunjukkan bahwa hanya 14,3 persen
responden yang mengaku dekat dengan salah satu partai politik. Sebaliknya,
sebanyak 85,5 persen responden mengaku tidak dekat dengan partai politik
manapun dan 0,2 persen tidak menjawab.
Di sisi lain, partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi yang
memiliki peran penting dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara fungsi, Partai politik berperan sebagai sarana komunikasi politik, sarana
sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sebagai sarana pengatur konflik.
Dari sini dapat dipahami bahwa masalah utama yang muncul adalah
menguatnya gejala pragmatisme politik, terutama politik uang, serta makin
tingginya krisis kepercayaan antara politisi dan konstituen/masyarakat. Jika kondisi
ini terus memburuk maka ancaman terjadinya kemacetan demokrasi yang menjadi
peluang lahirnya diktatorisme dan totalitarianisme sangat besar.
Dengan kondisi yang demikian, tampaknya peran partai politik dalam
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam penguatan etika politik sangat
dibutuhkan. Karena dengan adanya peran partai politik dalam
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dapat memperkuat etika politik di negeri
ini. Sehubungan dengan hal di atas, makalah ini mengakat topik “Peran Partai
Politik Dalam Mengimplementasikan Nilai-Nilai Pancasila Guna Penguatan
Etika Politik”.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan latar belakang dalam bab pendahuluan yang telah
disampaikan diatas dapat ditarik suatu permasalahan yang menjadi fokus
pembahasan dalam tulisan ini yaitu “Bagaimana Peran Partai Politik Dalam
Mengimplementasikan Nilai-Nilai Pancasila Guna Menguatkan Etika Politik?”
Permasalahan tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa persoalan yang meliputi ;
1. Masih lemahnya kualitas rekruitmen politik
Kondisi rekruitmen politik yang dilaksanakan oleh partai politik sampai saat ini
masih banyak menghasilkan para pemimpin yang dinilai belum mampu
menunjukkan komitmennya kepada rakyat. Kader-kader partai politik juga
banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Banyak partai politik yang
ternyata belum mempunyai aturan rekruitmen kader yang jelas, akibatnya partai
politik hanya menjadi kendaraan orang-orang yang memiliki modal matrial yang
besar, tanpa memiliki komitmen kebangsaan dan kerakyatan yang kuat. Di sisi
lain, masih banyak ditemukan kader-kader partai politik yang terkesan elitis atau
kurang bergaul dengan masyarakat awam, sehingga kesan jarak antara kader
partai politik dengan masyarakat masih cukup jauh, kecuali ketika dalam masa
ritual pemilihan umum.
2. Masih rendahnya pendidikan politik berbasis pada karakter bangsa.
Partai politik merupakan ujung tombak dalam pendidikan politik bagi
masyarakat. Sayangnya, masih banyak partai politik yang belum mempunyai
agenda dan kurikulum yang jelas dalam melaksanakan pendidikan politik bagi
warga masyarakat. Alih-alih melakukan pendidikan politik, justru sebaliknya
partai politik menjadi tersangka utama dalam pembodohan politik. Akibatnya,
ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan juga pemahaman
berbagai persoalan politik di tengah masyarakat sangat rendah.
3. Masih lemahnya kelembagaan partai politik.
Secara kelembagaan, partai politik sering kali hanya dijadikan oleh oligark
untuk menggapai kepentingan-kepentingan dalam perlindungan dan penguasaan
sumber daya material. Lemahnya kelembagaan ini di antaranya diakibatkan oleh
lemahnya penegakan aturan main yang telah disepakai bersama, seperti
AD/ART. Akibat dari lemahnya kelembagaan ini partai politik juga sering hanya
menjadi tunggangan para oportunis politik yang ingin meraih kepentingan-
kepentingan sesaat, tanpa adanya semangat perjuangan partai politik yang
sebenarnya. Kelemahan kelembagaan partai politik juga cenderung
menghasilkan partai politk yang kurang terbuka dan transparan, sehingga uang-
uang yang tidak jelas asal-usulnya sangat mudah keluar-masuk. Di samping itu,
dalam penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi dalam kelembagaan partai
politik yang lemah cenderung kurang mengedapankan asas musyawarah
mufakat. Banyak elit partai politik yang mengambil kebijakan secara sepihak
dan/atau mengedapankan suara terbanyak, sebagai akibat dari masuknya nilai-
nilai demokrasi liberal.
4. Belum terselenggaranya fungsi agregasi kepentingan yang berkeadilan.
Masih banyak partai politik yang belum mempunyai prosedur yang jelas tentang
pelaksanaan dalam menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Akibatnya, mekanisme agregasi berjalan tanpa ada arah kebijakan yang jelas,
dan tergantung pada kondisi lapangan yang berkembang saja. Padahal agenda-
agenda dalam penyerapan dan penindaklanjutan terhadap aspirasi masyarakat
harus dikelola dengan sistem perencanaan dan pengendalian yang terukur,
sehingga partai politik sebagai instrumen demokrasi dapat mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional.
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan permasalahan di bagian sebelumnya, pada bagian ini
akan dibahas berbagai alternatif pemecahan masalah, pengujian alternatif, dan
pemecahan masalah (strategis). Dengan demikian diharapkan permasalahan
mengenai peran partai politik dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
guna menguatkan etika politik dalam berjalan secara efektif, efisien, dan aplikatif.
A. Memperkuat Kualitas Rekruitmen Politik
Rekrutmen politik adalah proses ke arah pengisian peran politik yang telah
dirumuskan dalam sistem politik (Seligman, 1964). Proses rekrutmen politik
selalu bermakna ganda. Pertama, menyangkut seleksi untuk menduduki posisi
politik yang tersedia, seperti anggota legislatif, kepala negara, dan kepala
daerah. Kedua, menyangkut transformasi peran-peran nonpolitik warga yang
berasal dari aneka subkultur agar menjadi layak memainkan peran politik
(Cornelis Lay, Prisma Nomor 4, 1997).
Karena itulah rekrutmen politik menjadi urgen untuk dipertimbangkan,
karena rekrutmen politik dapat menjadi penentu dalam arah perjuangan partai ke
depan. Sebab, dalam teori perilaku organisasi, perilaku dan budaya anggota
organisasi secara otomatis akan menjadi perilaku serta budaya organisasi
tersebut. Maka, dapat disimpulkan, rekrutmen dengan mengesampingkan
pertimbangan ideal, dan mengedepankan pertimbangan "darah", uang, serta jasa
politik dapat dipastikan lambat-laun model rekrutmen ini akan menjadi bom
waktu yang akan merusak sebuah parpol dari dalam tubuhnya sendiri.
Faktor yang cukup signifikan untuk meningkatkan kepercayaan pada
partai politik adalah rekruitmen politik. Rekruitmen dianggap penting karena
partai politik adalah infrastruktur politik yang memproduk elit-elit politik. Partai
politik dapat dikatakan sebagai institusi yang secara formal melakukan proses
sosial politik lahirnya elit politik. Emile Durkheim menjelaskan bahwa sebab-
sebab suatu gejala sosial yang dapat menjadi proses lahirnya sebuah elit atau
pemimpin terdiri atas 2 macam: (1) sebab-sebab ateseden, dalam hal ini elit
harus dipelajari sebagai perluasan dari kasta penguasa, aristokrasi, dan kelas-
kelas penguasa yang menurut sejarah mandahului mereka, (2) sebab yang
mengiringinya kekuatan-kekuatan yang terus beroperasi dan mejalankan
pengaruhnya. Dalam hal ini, elit harus dipelajari dalam hubungan dengan
kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong perkembangan sosial. Indikator
kedua dari durkheim tersebut menunjukkan pentingnya penguatan rekrutiemen
politik oleh partai politik.
Dalam melakukan rekruitmen politik, partai politik juga perlu dilakukan
secara elegan dan transparan. Sebab di samping perkembangan politik yang
semakin maju juga kekuatan-kekuatan politik masyarakat telah berkembang
pesat sehingga partai politik dapat menampung seluruh elemen kekuatan-
kekuatan strategis dimasyarakat. Suzanne Keller yang menjelaskan bahwa
golongan elite berkembang disebabkan oleh empat proses sosial yang utama: (1)
pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan; (3) pertumbuhan
organisasi formal atau birokrasi; dan (4) perkembangan keragaman moral.
Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite pun menjadi semakin
banyak, semakin beraneka ragam dan lebih bersifat otonom.
Setidaknya ada tiga pertimbangan dalam melakukan rekrutmen politik.
Pertama, rekrutmen politik merupakan indikator yang sensitif dalam melihat
nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat politik.
Kedua, pola-pola rekrutmen politik merefleksikan sekaligus mempengaruhi
masyarakat. Ketiga, pola-pola rekrutmen politik juga merupakan indikator yang
penting untuk melihat pembangunan serta perubahan dalam sebuah masyarakat.
Tiga pertimbangan ini mengharuskan rekrutmen politik melihat basis legitimasi
politik, latar politik, rekam jejak politik, keterwakilan politik, hubungan antara
rekrutmen politik dan perubahan politik, serta akibat-akibat bagi masa depan
politik.
Mengikuti tren dan pola rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik,
serta perilaku kader-kader parpol, baik di parlemen maupun di eksekutif, pola
koalisi yang dibangun sesama parpol seolah memaksa kita mengatakan bahwa
eksistensi parpol tak ubahnya hanyalah kerumunan (mob) orang. Pengertian
kerumunan ditandai dengan hukum relasi yang sangat longgar atau bahkan tidak
ada aturan sama sekali. Siapa pun, tanpa adanya kualifikasi khusus, tanpa
melalui seleksi terstruktur, bisa datang dan pergi atau menjadi bagian dari
kerumunan, dengan tetap membawa serta memperjuangkan tujuan masing-
masing. Adapun dalam partai politik, semua aktivitas, termasuk rekrutmen
kader, diatur secara tegas berdasarkan tujuan jangka panjang yang ditetapkan
bersama (visi dan misi partai), yang semua itu disarikan dari ideologi partai.
Sejauh ini rekrutmen parpol selalu dilandasi oleh merit system, sedangkan
rekrutmen kerumunan hanya didasari oleh kepemilikan sumber daya,
popularitas, modal ekonomi, serta garis keturunan yang mampu menjadi
magnitude bagi dukungan massa. Uraian di atas semakin menguatkan bahwa
eksistensi parpol tak ubahnya sekelompok kerumunan orang dengan tujuan
berbeda. Dialektika yang terjadi di tubuh parpol merupakan perwujudan
mentalitas "politikus tukang" yang ingin bertransformasi menjadi negarawan
"instan". Dalam konteks ini, dapat dipastikan bahwa ego politik ala
Machiavellianisme akan tumbuh subur dalam diri politikus, dan ego politik ini
lambat-laun akan tumbuh menjadi laku partai politik. Jika hal ini dibiarkan,
lambat-laun akan meluluhlantakkan tatanan sebuah parpol dan kehidupan
bangsa.
Untuk itulah, maka partai politik harus melakukan rekruitmen politik
secara adil, partisipatif, dan demokratis. Partai politik harus melakukan upaya-
upaya sebagai berikut:
1. Partai politik harus mempunyai aturan rekruitmen kader yang jelas. Aturan
rekruitmen itu diumumkan kepada publik melalui media yang
memungkinkan, sehingga masyarakat mengetahui cara-cara menjadi
anggota parpol dan aktif dalam kegiatan partai politik.
2. Partai politik semaksimal mungkin membuka keanggotaan secara terbuka
untuk seluruh masyarakat. Dengan demikian, partai politik bersifat inklusif
bagi masyarakat lintas etnis dan lintas suku. Selanjutnya, perbedaan antar
partai politik ditentukan oleh perbedaan ideologis dan perbedaan dalam
mengartikulasikan ideologi itu dalam mewujudkan aspirasi masyarakat;
B. Pendidikan Politik
Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang
hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik merupakan usaha sadar dan
sistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan
perjuangan sebuah partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada individu. Ia meliputi keyakinan
konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan
politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang
memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Pendidikan
politik bertujuan untuk:
1. Membentuk kepribadian negarawan. Pendidikan politik ditujukan untuk
membentuk insan Indonesia yang negarawan, yaitu manusia yang selalu
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kepentingan
partai, dan kepentingan golongan sendiri.
2. Membangun kesadaran politik. Pendidikan politik harus mampu membangun
kesadaran masyarakat untuk selalu terlibat secara langsung atau tidak
langsung dalam proses politik, agar menghasilkan hal-hal yang
menguntungkan rakyat, bukan menghasilkan hal-hal yang merugikan rakyat.
3. Meningkatkan partisipasi politik. Pendidikan politik harus mampu
meningkatkan partisipasi politik rakyat untuk mengawal keputusan politik
agar selalu sesuai dengan kepentingan rakyat. Tanpa partisipasi politik dari
rakyat, maka proses politik sering dibajak oleh kelompok tertentu, seringkali
kelompok ekonomi, untuk kepentingan diri sendiri.
Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta Pemilu untuk meyakinkan para
pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilu, pada
prakteknya kampanye terbuka hanya bermodalkan hiburan yang menyebabkan
kurang terdidiknya warga negara secara politik ini. Hal tersebut disertai dengan
kecenderungan pasif dan mudahnya dimobilisasi untuk kepentingan pribadi dari
para elite politik. Berakhirnya kemeriahan kampanye terbuka atau rapat umum
partai politik, meninggalkan persoalan yang belum terselesaikan pada pesta
demokrasi kali ini yaitu proses pendidikan politik bagi warga negara. Padahal,
kampanye rapat umum merupakan sarana kontrak politik melalui tatap muka,
bukan menjadi pesta hiburan musik atau goyang erotis lima tahunan.
Hingga kini, masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa sistem
politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga
masyarakat masih ada yang dibodoh-bodohi atau terbuai dengan janji–janji
manis. Untuk mencegah hal–hal yang tidak diinginkan kembali terulang,
sehingga diberikanlah pendidikan politik kepada masyarakat oleh partai politik
di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
Pengembangan pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk
meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan, guna
menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa.
Pendidikan politik juga merupakan konsep bagian dari proses perubahan
kehidupan politik yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha
menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif,
dan efisien. Oleh karena itu, memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti
pilihan tokohnya.Pendidikan politik ini berfungsi untuk memberikan isi dan arah
serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung.
Untuk dapat melaksanakan pendidikan politik dengan baik, maka setiap
partai politik harus melakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Parpol mempunyai sistem pelatihan dan pengembangan kader. Setiap
partai politik harus mempunyai blue print (cetak biru) yang jelas
berkenaan dengan pelatihan dan pengembangan kadernya. Sebagai pintu
masuk untuk jabatan publik, partai politik harus mampu melahirkan kader-
kader politik yang handal dan merakyat.
2. Partai politik harus melakukan pelatihan kader secara sistematis dan
berkesinambungan, dengan materi-materi kebangsaan yang bersumber dari
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Setelah itu,
partai politik dapat memberikan materi-materi pokok lainnya yang
berkaitan dengan ideologi partai, strategi pemenangan Pemilu, dan lain
sebagainya.
3. Partai politik harus melakukan pendidikan politik untuk pencerahan
rakyat. Dengan pendidikan politik itu, rakyat dapat mengetahui hak dan
kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Penguatan Kelembagaan Partai Politik
Partai politik merupakan unsur penting dalam demokrasi. Penguatan
kelembagaan partai politik memiliki nilai penting untuk membentuk suatu
sistem kepartaian yang demokratis sebagaimana fungsi dan tujuan partai politik.
Sedangkan masalah partai terbagi menjadi dua, yaitu masalah internal dan
eksternal. Untuk menciptakan sistem kepartaian yang demokratis, maka persolan
manajemen organisatoris yang harus sudah diselesaikan terlebih dahulu,
sehingga partai politik akan bisa menjalankan fungsi dan tujuan partai politik
tersebut.
Untuk itu, partai politik harus membuat konstitusi partai yang benar-benar
mencerminkan bagaimana fungsi partai dijalankan agar partai berjalan lebih
demokratis. Sementara penataan dari luar melalui kontrol dari masyarakat yang
jelas serta melalui proses perundang-undagan.
Menurut AA GN Ari Dwipayana, partai politik merupakan sebuah
institusi penting dan diperlukan, tetapi juga paling tidak disukai oleh
masyarakat. Penurunan tingkat kepercayaan terhadap partai politik karena publik
melihat partai identik dengan konflik, akrtel, patronase dan pragmatisme
kekuasaan. Oleh karena itu penguatan kelembagaan partai menjadi agenda yang
mendesak. Dimulai dengan proses pemantapan parpol baik organisasi maupun
individu-individu dalam partai dalam rangka menciptakan pemolaan
perilaku/budaya untu menghasilkan parpol yang representatif dan mampu
menjalankan fungsinya.
Salah satu persoalan pelik dalam partai politik adalah kaderisasi. Meskipun
ada beberapa partai politik sudah melakukan kaderisasi berjenjang, namun
proses kaderisasi dan pendidikan politik kebanyakan partai saat ini masih lemah.
Fenomena kader partai yang pindah dari satu partai ke partai lain menunjukkan
bahwa kaderisasi yang dilakukan partai politik belum berhasil menanamkan
loyalitas yang kuat. Sedangkan problem untuk mengkader dan memberikan
pendidikan politik pada anggota bukan persoalan yang mudah dan
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Fungsi kaderisasi lemah karena partai politik hanya dijadikan kendaraan
politik dan memunculkan kader instan. Penguatan kelembagaan partai politik ini
merupakan entitas penting dalam membangun budaya demokrasi. Budaya
demokrasi dapat dibangun kalau kelembagaan partai politik juga kuat. Selain
sebagai pilar penting dalam membangun budaya demokrasi di Tanah Air, parpol
juga dilihat sebagai wahana yang memiliki fungsi memberikan pendidikan
politik, fungsi kaderisasi, serta fungsi yang menjembatani aspirasi rakyat dengan
pemerintah atau negara. Parpol bahkan memiliki peran penting dalam
mempengaruhi kebijakan publik dan mengelola konflik.
Selain itu, keuangan partai politik sebagai bagian dari aktivitas belakang
panggung jarang sekali membicarakan sumber dan penggunaan dana Partai
politik secara transparan kepada publik. Bagi Partai Politik, keuangan Partai
Politik ibarat aurat yang tidak boleh diumbar. Meskipun, dalam berbagai pidato
dan media massa yang merupakan panggung para politisi, mereka teriak dan
bicara akuntabilitas dan transparansi, dan anti korupsi.
Menurut Zsolt Enyedi, dari Universitas Glasgow (2006) dalam artikelnya
“Accounting for organization and financing. A comparation of four Hungarian
parties”. Ada tiga dimensi kerja utama Partai Politik yakni; Pertama, menebar
“nilai” (value). Kedua, menawarkan politisi sebagai eksekutif dan legislatif .
Ketiga, mendorong dan mengawal kebijakan publik. Selama ketiga dimensi ini
dikerjakan dengan akuntabel, maka permasalahan keuangan Partai Politik
menjadi permasalahan aurat yang tidak perlu disingkap.
Untuk itulah, partai politik perlu melakukan penguatan kelembagaan partai
partai politik dengan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Partai politik harus mempunyai dan menegakkan aturan main, seperti
AD/ART, agar partai politik solid dalam melakukan upaya penampungan
dan penyaluran aspirasi masyarakat. Jika partai politik secara internal tidak
solid, sulit bagi partai politik itu untuk menjadi penampung dan penyalur
aspirasi rakyat.
2. Struktur organisasi partai politik harus sampai tingkat desa agar mudah
untuk menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat.
3. Akuntabilitas dan kemandirian Keuangan partai politik. Partai politik harus
mempunyai kemandirian dalam bidang keuangan, sehingga tidak terjebak
dalam tindakan koruptif dan penyalahgunaan kewenangan dalam
menghidupi roda organisasi kepartaiannya.
4. Sistem permusyawaratan dalam parpol mengedepankan asas musyawarah
dan mufakat. Hal ini karena asas musyawarah mufakat merupakan kearifan
yang bersumber dari budaya dan adat istiadat berbagai macam suku bangsa
yang ada di Indonesia.
D. Memperkuat Terselenggaranya Fungsi Agregasi Kepentingan Yang
Berkeadilan
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang
dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi
alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah. Bahasa yang sering digunakan
untuk agregasi kepentingan adalah menghimpun dan menyalurkan aspirasi
politik, lalu menindaklanjutinya sesuai dengan saluran yang memungkinkan.
Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah
pengajuan permohonan secara individual atau kolektif kepada para anggota
dewan (legislatif), atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya.
Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan dan
kepentingan kelompoknya, mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan
tuntutan kemudian menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan dengan
kelompok yang diwakilinya. Artikulasi kepentingan sudah ada sepanjang sejarah
dan kelompok kepentingan akan semakin tumbuh seiring semakin bertambahnya
kepentingan manusia, jadi kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi
pembuatan keputusan dari luar, sedangkan partai politik dari dalam.
Sementara itu agregasi kepentingan dalam sistem politik di Indonesia
berlangsung dalam diskusi lembaga legislatif. DPR berupaya merumuskan
tuntutan dan kepentingan-kepentingan yang diwakilinya. Semua tuntutan dan
kepentingan seharusnya tercakup dalam usulan kebijaksanaan untuk selanjutnya
ditetapkan sebagai Undang-Undang. Namum penetapan kebijaksanna (UU)
bukanlah hak semata-mata pihak legislatif. DPR bersama Presiden memiliki hak
untuk mengesahkan Undang-Undang. Kedudukan DPR dan Presiden dalam
fungsi agregasi kepentingan adalah sama, sebab kedua lembaga ini berhak untuk
menolak Rancangan Undang-Undang (RUU). Tentu saja akan terjadi persaingan
ketat untuk mengangkat gagasan dan memenuhi tuntutan-tuntutan kelompoknya,
akan tetapi dengan adanya prinsip musyawarah dan mufakat, sangat banyak
membantu persaingan antara wakil partai dalam agregasi kepentingan.
Aksi massa yang menolak kenaikan BBM bisa dikategorikan sebagai
bentuk artikulasi kepentingan rakyat yang disampaikan kepada pemerintah.
Demonstrasi merupakan aksi yang paripurna oleh masyarakat ketika artikulasi
kepentingan mereka yang menolak kenaikan BBM tidak dapat diakomodir
dalam agregasi kepentingan. Apa yang diidealkan rakyat tidak sesuai yang
diorientasikan pemerintah serta sulit dipenuh dalam diskusi legislative. Orang-
orang yang diwakili di parlemen tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam
menggagalkan rangan pemerintah. Sampai pada titik ini , kita bisa berasumsi
bahwa aksi rakyat yang dimotori mahasiswa ini sebagai bentuk perlawanan
terhadap lembaga public (baik pemerintah maupun parlemen) yang secara
filosofi untuk melayani kepentingan masyarakat, tetapi justru berlaku
sebaliknya. Penguasa yang bertindak atas dasar ambisi dan rasionalisasi mereka
dan mengeyampingkan harapan akan rakyat atas kebijakan yang populis.
Di sisi lain, pertentangan ini juga tidak terlepas dari kepentingan elitis
yang ingin menunjukan superioritas. Artikulasi kepentingan public pun tidak
luput dari komoditas politik yang strategis. Namun demikian, terlepas dari
orientasi ego mereka, kita perlu memberikan apresiasi kepada pihak yang
menyuarakan kepentingan publik termasuk Penolakan kenaikan BBM ini. Kita
juga perlu mendukung aktivis mahasiswa dan rakyat yang kemudian berinisiatif
membangun parlemen jalanan untuk menolak kenaikan BBM. Tentunya dengan
harapan aksi demonstrasi yang dilancarkan berjalan dengan damai, kondusif
tanpa harus anarkis.
Masalahnya, partai politik di Indonesia belum mempunyai prosedur yang
jelas untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, sehingga
rakyat juga belum mempunyai saluran yang jelas untuk menyampaikan
aspirasinya di Indonesia. Pada saat bersamaan masyarakat sipil di Indonesia
belum terorganisasikan dengan baik, sehingga sulit bagi partai politik untuk
menindaklanjuti aspirasi mereka. Sebagai contoh, organisasi buruh di Indonesia
berjumlah puluhan dan seringkali antara satu dengan lainnya mempunyai
aspirasi yang berbeda. Sulit bagi parpol untuk mengagregasikan kepentingan
mereka dengan baik jika aspirasi yang berkembang berbeda satu sama lain.
Berdasarkan kenyataan itu, dalam rangka mengagregasikan kepentingan
maka partai politik harus mengupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Partai politik harus membuat dan mempunyai prosedur yang jelas untuk
menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Prosedur itu harus
diumumkan dan dijelaskan kepada masyarakat atau kepada konstituen
secara transparan, sehingga mereka mempunyai saluran yang jelas untuk
menyalurkan aspirasinya. Jadi, masyarakat yang mempunyai aspirasi
tahu ke mana aspirasi itu disalurkan agar mendapatkan tindak lanjut
secepat mungkin.
2. Setelah prosedur untuk agregasi kepentingan jelas, maka parpol harus
memperjuangkan dan Menindaklanjuti aspirasi masyarakat itu
semaksimal mungkin, melalui saluran yang ada, baik itu di bidang
legislasi, anggaran, pengawasan, atau melalui saluran lain yang
memungkinkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan uraian di atas, maka ada beberapa kesimpulan yang harus
diperhatikan bersama, yaitu:
1. Partai politik harus menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal,
terutama dalam bidang rekuitmen politik, pendidikan politik, penguatan
kelembagaan, dan agregasi kepentingan.
2. Partai politik berkewajiban mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga arah dan perjalan
partai politik sesuai dengan cita-cita bangsa.
3. Partai politik harus berada di garda terdepan untuk melakukan
pendidikan politik guna pencerahan warga negara.
B. Saran
1. Parpol harus memasukkan nilai-nilai kebangsaan (Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dalam pendidikan dan
pelatihan kadernya;
2. Lemhannas berkewajiban memberikan kesempatan lebih luas kepada
parpol untuk mengikuti pendidikan kebangsaan
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan; Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, dan Demokrat Sejati, (Jakarta: Kompas, 2011), Halaman 23.
Anshari, Endang Saifuddin; Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekular tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1981).
Fadil, Iqbal; Soekarno Menipu Belanda dengan Telur dan Alqur’an, www.merdeka.com, 15 Juni 2012.
Hatta, Mohammad; Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1979).
Hidayat, Rahmat; “Belajar dari Tempoe Doeloe: Ketika PSSI Mengungguli NIVB”, Harian Umum Republika, 30 Desember 1995
Jualianto, dan C.S.T. Kansil, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1984).
Kartodirdjo, Sartono; Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Kompas, “Di Yogya 50 Tahun Lalu Mereka Lahirkan PSSI”, 19 April 1980
Kusuma, RM. A.B.; Lahirnya Undang-Undang Dasar, (Jakarta: Badan Penerbit Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Maladi, R.; Jawaban dan Lampiran Sejarah Sepakbola di Jawa Tahun 1930-1942, (Jakarta: tanpa penerbit, 1997), Halaman 8.
Masmimar, Abidin Pentjetak Gol, (Jakarta: Djakarta Press, TT).
Miert, Hans van; Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pe-muda di Indonesia, 1918-1930, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003).
Ricklefs, M.C.; Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1995).
Sekretariat Negara, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 28 Mei-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995).
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010).
Toer, Pramoedya Ananta; Jejak Langkah, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2012).
www.tokohindonesia.com, “Politikus yang Santun”, diunduh 1 Agustus 2013.
Widodo, Dukut Imam; “Heboh Pertandingan Sepakbola Tahun 1932”, dalam Soerabaia Tempo Doeloe II (Surabaya: Dinas Pariwisata, 2002), Halaman 263-268.
Yamin, Muhammad; Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Siguntang, Cet. II 1971).