PERKEMBANGAN PESERTA DIDIKTENTANG
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAP
Oleh:
RAMADHAN FITRIA
EKO DHARMA SATRIA
IRVAN GUSTIAN
Dosen Pembimbing:
DARMANELLA DIAN EKA WATI,S.Si,M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN
SOLOK
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat kesehatan dan
Kesempatan yang telah diberikan sehingga makalah yang berjudul Perkembangan
Nilai,Moral dan Sikap dapat selesai pada tepat waktu.
Makalah ini kami susun berdasarkan buku-buku yang pernah kami baca,makalah ini
dapat dijadikan acuan bagi teman-teman khususnya kelompok kami dan umummnya bagi
kita semua Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan,oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang tentunya bersifat membangun demi kelengkapan makalah yang kami susun.
Akhir kata kami ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada semua pihak yang
menyempatkan diri membuka dan membaca makalah ini semoga dapat bermanfaat.
Solok, 21 Juni 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Tujuan.......................................................................................................................
BAB II PERKEMBANGAN NILAI,MORAL DAN SIFAT............................................
A. Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap........................................................................
B. Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap............................................................
C. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.....................................................
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral,
dan Sikap...................................................................................................................
E. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap..............................................
F. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya
bagi Pendidikan........................................................................................................
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................
A. Kesimpulan...............................................................................................................
B. Saran..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perkembangan individu:
1. faktor-faktor dalam diri individu sendiri meliputi faktor-faktor endogen terdiri
komponen hereditas (keturunan) dan faktor konstitusi.
2. faktor-faktor berasal dari luar individu (faktor eksogen) terdiri lingkungan keluarga.
Lingkungan sosial, lingkungan geografis.
Jadi dalam makalah ini saya akan membahas tentang perkembangan Nilai, Moral, dan
Sikap. Dalam perkembangan remaja juga mengenal Nilai, Moral, dan Sikap yang
merupakan tiga aspek yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja.
B. Tujuan
1. Mengetahui hakikat nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia.
2. Memahami hubungan antara nilai, moral dan sikap dalam kehidupan manusia.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai, moral dan sikap manusia.
4. Mengetahui karakteristik remaja berdasarkan nilai, moral dan sikap.
5. Mengetahui dan menyikapi problematika remaja yang berkaitan dengan nilai, moral dan
sikap.
BAB II
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAP
A. Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap
Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
1. Nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Menurut
Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam
perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai
dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam
kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal
dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya
merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala
didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan
berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial
membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan
oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan
standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam
menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:
a. nilai teori atau nilai keilmuan (I)
b. nilai ekonomi (E)
c. nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)
d. nilai agama (A)
e. nilai seni (S)
f. nilai politik atau nilai kuasa (K)
2. Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum
diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah
norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan
kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan
bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang
diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan
seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh
keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-
konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat
umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan
mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani
Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan
perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Melalui desertasinya yang
sangat monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and
Choice in the Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlbert (1995) menarik
sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a. penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal
harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah
mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai
kodeprilaku.
c. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang
dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih
ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik
berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan.
Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik
buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat
tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk
pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang
merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan
kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia
diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-
rugi.
b. Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-
ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau
masyarakat.
Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang
menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh
mereka.
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap,
penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata
melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap,
dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang
sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki
keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan
kelompok tersebut.
Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian.
Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka
hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran
yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai
dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan
prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah
disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah
masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada
sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai
manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak
merupakan unsur pengikat kewajiban .
Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-
prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada
komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-
prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral
konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan,
resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada
manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral, kohlberg (1995)
menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral.
Sesuai dengan harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia
adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman
dan suara hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2: perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat
ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan
hukuman dipandang secara pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa
sakit dari akibat hukuman).
Tahap 3: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang
lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
Tahap 4: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang
mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa
bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya
mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat
yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi ,
keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk
menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang
tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan).
Tahap 6: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap
mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri.
Individu cenderung membedakan rasa hormat dari diri sendiri. Selain
itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai
rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu
mempertahankan prinsip-prinsip moral.
3. Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari
untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten
yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan
respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat
disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap
dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan
pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural,
familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan
berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada
semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok
budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke
generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu
juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para
ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu
adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan
lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan
perilaku individu.
Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas,
baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
a. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap
dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
b. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu
merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan
kepada anaknya.
c. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa
perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu
tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana
atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita,
situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk
perkembangan sikap individu.
Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena
sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai
perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun
jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam
kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan
instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan
untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat
umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.
Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang
utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
a. Skala Likert
Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian
responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan
jawaban yang telah disediakan. Yaitu:
1) Sangat setuju
2) Setuju
3) Ragu-ragu/netral
4) Tidak setuju, dan
5) Sangat tidak setuju.
b. Skala Thurstone
Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-
beda dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau
penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih
sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang
sangat menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.
B. Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan
perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi
atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek
debagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai
mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan
sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan
dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus
dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem
nilai dan moral yang mendasarinya.
Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori
psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-
bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga,
yaitu:
1. Id atau Das Es
2. Ego atau Das Ich
3. Super Ego atau Da Uber Ich.
Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat
memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang
memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah
mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar.
Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu
yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk,
benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta
mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah
menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya
dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral
tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena
superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan
naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya
superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur
dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan
kenyataannya di dunia sekelilingnya.
C. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode
penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol
berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat diperlukan sebagai pedoman,
pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri
menuju kepribadian yang semakin matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai
dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang
bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi
terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar
hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh
kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap
sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.
Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan
sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah
satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang
dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai
yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan
oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir
kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada
remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang
lebih matang dan mandiri.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat
dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi,
pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu
yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola
asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki
budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya insividu ytang
tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola
interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan
agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai
luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.
E. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.
Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok
masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama
halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga
tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan
para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang
bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang
lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang
sedang merak dikalangan selebritis.
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau
kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan
individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu.
Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap
individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan
pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu
kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada
waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.
F. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan
Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai,
moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan
orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki
sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan
agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan,
hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai
luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi
generasi penerus yang diharapkan.
Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara
efektif di lingkungan sekolah.
BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN
A. KesimpulanDari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
1. NilaiNilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.2. Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.3. Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.
B. Saran
Dari hasil makalah yang penulis buat ini, maka masih banyak kekurangannya baik dari sisi isi maupun dari sumber-sumber yang diambil, oleh karena itu untuk kelanjutannya penulis mengharapkan pembaca dapat meningkatkan dan mengembangkan lagi mengenai hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad dan Asrori. Muhammad. 2006. Psikologi Remaja.Jakarta:PT Bumi
Aksara.
Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI.Bandung: PT
Refika Aditama
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Panuju, Panut dan Umami, Ida. 1999. Psikologi Remaja.Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Setyoningtyas, Emila. Kamus Trendy Bahasa Indonesia. Surabaya: Apollo.
Recommended