PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ORANG YANG
MENYURUH MELAKUKAN PENGANIAYAAN TERHADAP ORANG
LAIN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Dalam Hukum Pidana Islam
OLEH:
WIDIA ASTUTI
SHP 162206
PEMBIMBING:
Dr. H. Ishaq, S.H.,M.Hum
Edi Kurniawan, S.Sy.,M.Phil
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI TAHUN 202
i
ii
Pembimbing I : Dr. H. Ishaq., SH., M.Hum
Pembimbing II : Edi Kurniawan., S.Sy., M.Phil
Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi
Jl. Jambi-Muara Bulian KM. 16 Simp. Sei Duren
Jaluko Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021
Kepada Yth. Jambi, April 2020
Dekan Fakulltas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Di-
JAMBI
NOTA DINAS
Assalamu’alaikum wr. wb.
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi
saudari Widia Astuti yang berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Orang Yang Menyuruh Melakukan Penganiayaan Terhadap Orang Lain
Menurut Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)” telah disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna
melengkapi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) dalam program
studi Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi
kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Ishaq., SH., M.Hum Edi Kurniawan., S.Sy., M.Phil
NIP.19631218199403 1 001 NIDN. 2018028801
iii
iv
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil ‘alamin
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat kesehatan sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
(SH). Shalawat beserta salam tidak lupa pula saya haturkan kepada baginda
Rasulullah SAW, manusia terbaik yang pernah ada di dunia ini, yang selalu
menjadi sumber inspirasi saya untuk menjadi lebih baik didalam berbagai hal.
Kuibaratkan karya kecilku ini bak serantai mawar yang wanginya akan tetap
teringat sepanjang hayat, meski kelak raganya akan lekang terlengser waktu, dan
kupersembahkan mawar ini untuk:
Pahlawan terhebatku ayahanda Fahmi dan malaikat tak bersayapku ibunda Rosini
yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kegigihan dan kesabaran,
yang tiada hentinya berjuang dan selalu menyelipkan namaku disetiap doanya.
Terima kasih untuk semua perjuangan yang ayah ibu berikan selama ini, berkat
do’a dan dorongan kalian berdualah saya dapat menyelesaikan skripsi ini, harapan
terbesarku semoga skripsi ini bisa menjadi hadiah terindah bagi ayah dan ibu.
Kakak-kakakku tersayang Imran Edi, Heriyanto, dan Sopiyan penyemangat
dalam setiap langkahku dan mendoakan keberhasilanku
Semua keponakanku tersayang yang tak bisa kusebutkan namanya satu persatu,
yang sudah memberikan semangat untukku
Teman-teman seperjuangan dijurusan Hukum Pidana Islam (HPI) angkatan 2016,
Fakultas Syariah UIN STS Jambi yang telah menyumbangkan bantuan dan do’a
untuk saya, semoga persahabatan kita menjadi persaudaraan yang abadi
selamanya.
Sahabat-sahabat terbaikku dan teman seperjuanganku selama menimba ilmu
pendidikan.
Almamaterku tercinta Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
tempat penulis menimba ilmu.
v
MOTTO
Artinya:
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat
zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S Al-Zalzalah ayat 7-8).
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayahnya yang telah memberikan kesehatan dan kesabaran,
serta tak lupa penulis haturkan shalawat serta salam kepada Nabi besar Muhammad
SAW, sehingga penulis dapat menyeleaikan skripsi ini dengan judul
“Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang Menyuruh Melakukan
Penganiayaan Terhadap Orang Lain Menurut Hukum Pidana Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”.
Adapun maksud dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar
sarjana strata satu di jurusan Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat
selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui
kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan perasaan terdalam kepada semua
orang yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Dengan segenap
kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan rasa bangga dan ribuan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof Dr. H. Suaidi Asyari MA, Ph.D selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
2. Bapak Dr. Sayuti Una, S.Ag., M.H selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
vii
3. Bapak Agus Salim, S.Th. I., MA., M. IR., Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik, Bapak Dr. Ruslan Abdul Ghani, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan
Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, Bapak Dr. H. Ishaq,
S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, dan Kerja Sama
Dilingkungan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Ibu Dr. Robi’atul Adawiyah, M.HI selaku ketua Jurusan Hukum Pidana Islam
Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Bapak Dr. H. Ishaq, S.H., M.Hum selaku pembimbing I dan Bapak Edi
Kurniawan, S.Sy., M.Phil selaku pembimbing II yang dengan tulus telah
meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan, dan memotivasi,
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan karyawan Fakultas Syariah UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan
kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
7. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan, mahasiswa-mahasiswi HPI
angkatan 2016 yang sudah banyak memberikan dukungan dan motivasi sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman KKN desa Teluk Rendah, Kecamatan Cerminan Gedang,
Kabupaten Sarolangun. Yang telah banyak mengajarkan penulis arti
kebersamaan dan kekeluargaan meski dalam waktu yang singkat selama satu
bulan penuh namun sangat bermanfaat.
9. Teman-teman PPL di Lapas Kelas II A Jambi yang telah mengajarkan penulis
arti disiplin, dan kesabaran, serta kerja samanya selama satu bulan penuh.
viii
10. Sahabat-sahabatku, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya, semoga kita selalu
menjadi sahabat dan saudara untuk selamanya. Serta semua pihak yang terlibat
dalam penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua
pihak dalam proses menerapkan ilmu yang penulis dapatkan di bangku kuliah,
semoga skripsi ini mampu membantu kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk lebih
menyempurnakan skripsi ini dimasa mendatang penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak dengan harapan agar dapat bermanfaat bagi yang
berkepentingan.
Jambi, 12 April 2020
Penulis,
Widia Astuti
ix
ABSTRAK
Baik Hukum Pidana Islam maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), keduanya bertujuan untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak
pidana agar tidak mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak menirunya. Namun
perbedaan keduanya terletak pada sumber hukum dan sanksi kepada pelaku tindak
pidana. Dengan demikian, skripsi ini membahas pertanggung pidana terhadap orang
yang menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut kedua
hukum ini. Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap pertanggungjawaban pidana
terhadap orang yang menyuruh melakukan tindak pidana penganiayaan dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif. Permasalahan yang timbul dari
penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban terhadap orang yang
menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut kedua hukum
tersebut serta persamaan dan perbedaannya. Penelitian ini menggunakan cara
pengumpulan data dengan mencari referensi dari studi pustaka, dokumen dan studi
arsip serta menggunakan teori perbandingan pidana dalam penelitiannya. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa: pertama, dalam hukum Islam penyuruh akan dikenakan
hukuman ta’zir, kedua menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
penyuruh pelaksana dapat dipidana dengan pidana dengan pasal 55 KUHP. Dimana
orang yang menyuruh melakukan sama dengan orang yang melakukan, ketiga
adalah persamaan dan perbedaannya, kedua hukum tersebut memberikan
kedudukan pertanggungjawaban yang berbeda-beda terhadap pelaku turut serta
dalam melakukan suatu jarimah namun terdapat persamaan diantara keduanya,
yaitu dalam KUHP dan hukum Islam mengenal orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (terganggu karena penyakit atau cacat
kejiwaan dan pengaruh daya paksa). Saran dari penulis, pemerintah harus
melakukan gerakan sadar hukum kepada masyarakat terhadap suatu
pertanggungjawaban pidana.
Kata Kunci: Penganiayaan, Tanggungjawab, Menyuruh.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... i
NOTA DINAS ............................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iii
PERSEMBAHAN ........................................................................................ iv
MOTTO ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 3
C. Batasan Masalah................................................................... 3
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................... 3
E. Kerangka Teori.................................................................... 5
F. Kerangka Koseptual ............................................................. 6
G. Tinjauan Pustaka ................................................................. 9
H. Metode Penelitian................................................................. 11
I. Sistematika Penulisan .......................................................... 16
BAB II. PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP)
A. Pengertian Penganiayaan ......................................................18
1. Hukum Pidana Islam ........................................................18
2. Hukum Pidana KUHP ......................................................21
B. Macam-Macam Penganiayaan .............................................22
1. Hukum Pidana Islam ........................................................22
2. Hukum Pidana KUHP ......................................................25
BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG TURUT SERTA
MELAKUKAN INDAK PIDANA MENURUT HUKUM
PIDANA ISLAM DAN DAN KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
A. Pengertian Turut Serta...........................................................28
1. Menurut Hukum Pidana Islam .........................................29
2. Menurut Hukum KUHP ...................................................30
B. Bentuk-Bentuk Turut Serta ...................................................33
1. Menurut Hukum Pidana Islam .........................................33
2. Menurut Hukum KUHP ...................................................40
BAB IV. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang
Menyuruh Melakukan Tindakan Pidana Menurut Hukum
Pidana Islam ....................................................................... 47
xi
B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang
Menyuruh Melakukan Tindakan Pidana Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) .......................... 52
C. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Orang yang
Menyuruh Melakukan Menurut Hukum Pidana Islam dan
KUHP ................................................................................. 60
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................63
B. Saran ......................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................66
LAMPIRAN ....................................................................................................
CURRICULUM VITAE ................................................................................
xii
DAFTAR SINGKATAN
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
MvS : Wetbooek van Strafrecht
MvT : Memori van Toelochting
QS : Al-Quran SuraH
RI : Republik Indonesia
UU : Undang-Undang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Pidana Islam merupakan peraturan Allah SWT yang bersumber
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia disebut juga dengan fiqh jinayah, yaitu segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang
bersumber dari al-Qur'an dan hadis serta ijtihad para ulama.1 Sedangkan Hukum
Pidana Positif merupakan sekumpulan asas dan kaidah hukum yang berlaku saat
ini, berbentuk lisan maupun tulisan yang memberlakukan hukum tersebut
bersifat mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan oleh lembaga
peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara.
Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif, keduanya
bertujuan untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak pidana agar tidak
mengulangi perbuatannya dan orang lain tidak menirunya. Namun perbedaan
keduanya terletak pada sumber hukum dan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
Dengan demikian, skripsi ini membahas pertanggung pidana terhadap orang
yang menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut kedua
hukum ini. Tema ini menjadi menarik karena delik atau jarimah atau jinayah
merupakan perbuatan pidana terhadap orang lain, baik dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung, yakni menyuruh orang lain untuk
melakukannya, terlebih hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
1 Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 1.
2
Dalam kasus menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, seperti A
menyuruh B menganiaya C, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, hukum
pidana Islam dan hukum pidana positif memberikan sanksi yang berbeda.
Hukum pidana Islam memberikan sanksi ta’zir, yakni hukuman yang sifatnya
mendidik yang ditentukan oleh penguasa bisa berupa penjara, skorsing atau
pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata dan lain-lain.
Sementara dalam hukum pidana postif, sanksinya ditetapkan berdasarkan
KUHP, yakni apabila mengakibatkan luka-luka, dipidana dengan pidana penjara
selama delapan tahun (pasal 354 ayat 1). Apabila mengakibatkan kematian,
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun (pasal 354 ayat 2
KUHP).
Dari uraian di atas, timbul masalah, bagaimana hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif memberikan sanksi secara lengkap dan utuh berserta
sumber-sumber atau dasar-dasar pijakannya kepada mereka yang menyuruh
orang lain melakukan tindak pidana terhadap orang lain. Dengan demikian,
skripsi ini akan membahas: Pertanggungjawaban Pidana terhadap Orang yang
Menyuruh Melakukan Penganiayaan terhadap Orang Lain Menurut Hukum
Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3
B. Rumusan Masalah
Setelah menguraikan latar belakang yang disebutkan sebelumnya maka
dapat dirumuskan pokok permasalahan dari penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh
melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Hukum Pidana Islam?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh
melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)?
3. Apa saja persamaan dan perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pertanggungjawaban
pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan?
C. Batasan Masalah
Seperti diketahui bahwa dalam ranah tindak pidana dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana banyak sekali yang dapat dikenakan delik atau tindak
pidana terkait yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mengakibatkan
kerugian disalah satu pihak. Maka fokus penelitian ini adalah sanksi bagi orang
yang menyuruh melakukan dan pihak yang turut serta dalam penganiayaan
dengan perspektif Hukum Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pasal 55 KUHP sebagai landasan konstruktif berpikirnya
penelitian ini.
4
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai
oleh peneliti. Setelah diketahui rumusan masalah yang ingin dicapai, maka
penelitian ini bertujuan:
1. Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang
menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Hukum
Pidana Islam
2. Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang
menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan
penganiayaan terhadap orang lain
b. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademis diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
masyarakat mengenai tindak pidana dalam hukum Islam dan hukum
positif, khususnya yan berkenaan dengan penganiayaan dan sanksi-sanksi
yang diterma bagi orang yang menyuruh melakukan dan termasuk pihak
yang turut serta didalamnya.
5
2. Secara praktis, kajian ini diharapkan mempunyai nilai tambah dalam
meningkatkan kesadaran bagi siapa saja dalam bertindak ditengah
kehidupannya sehari-hari. Karena, kesalahan dalam bertindakyang dapat
merugikan pihak lain akan berujung maslah hukum yang selanjutnya dapat
ditindak secara pidana.
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada
Hukum Pidana Islam (HPI) Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin
Jambi.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teori-teori
yang digunakan. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori
Perbandingan Hukum Pidana.
Perbandingan hukum adalah cabang dari ilmu hukum yang
memperbandingkan sistem-sistem hukum yang berlaku di dalam satu atau
beberapa masyarakat. Alasan dari timbulnya perbandingan hukum adalah
karena hukum merupakan gejala sosial dan bagian dari kebudayaan bangsa. Tiap
bangsa mempunyai kebudayan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa
yang lainnya dan akhirnya melahirkan hukum tersendiri, sehingga sistem hukum
dari negara yang satu akan berbeda dengan sistem hukum negara yang lain
sehingga perlu adanya suatu perbandingan dari beberapa sistem hukum tersebut.
Kegunaan dari penerapan perbandingan hukum adalah untuk
memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara berbagai
bidang dan sistem hukum, serta pengertian dan dasar sistem hukum. Dengan
6
pengertian tersebut akan mudah untuk melakukan unifikasi, kepastian hukum,
dan penyederhanaan hukum. Hasil-hasil perbandingan hukum akan bermanfaat
bagi penerapan hukum dalam masyarakat, terutama untuk mengetahui bidang-
bidang hukum yang dapat diunifikasikan dan bidang mana yang harus diatur
dengan hukum antar tata hukum.
F. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kerangka konsep yang terdapat dalam judul, yaitu:
1. Pertanggungjawaban Pidana
Tanggung jawab berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keaadan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Tanggung jawab juga
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai akibat dari sebuah
perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab dibebani kepada setiap manusia
yang sudah menjadi kodrat dari hidupnya.2
Tanggung jawab merupakan salah satu ciri dari manusia yang
memiliki adab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari
akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa ada pihak
lain yang memerlukan keadilan.3 Tanggung jawab timbul berdasarkan prinsip
manusia itu hidup bermasyarakat dan manusia tidak boleh berbuat semaunya
2 http://kbbi.web.id/tanggungjawab.com(akses tanggal 13 januari 2020) 3 http:/baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20,manusia-dan-tanngungjawab
(akses tanggal 20 juni 2019)
7
terhadap manusia lain, harus menghormati dan melindungi haknya maupun
hak orang lain.4
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap
pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan
keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan
pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur
tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor
penentu pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana
mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau
melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka
orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan
kesalahannya.5 Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat
pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat
dipidana berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena
kelakuannya itu.
Dengan kata lain hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan
yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Menurut
Rachmat pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, unsur-unsur
kesalahan yakni:
a) Mampu bertanggungjawab;
Mempunyai kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa); dan
4 http:/mhaidarharif.wordpress.com/2012/05/02/manusia-dan-tanggungjawab (akses tanggal
20 juni 2019) 5 Rachmat, Akuntasi Pemerintahan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 42.
8
b) Tidak adanya alasan pemaaf.6
2. Orang Yang Menyuruh Melakukan
Orang yang menyuruh melakukan, yaitu seseorang ingin melakukan
suatu tindak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia
menyuruh orang lain untuk melaksanakannya, dengan syarat orang yang
disuruh tersebut adalah anak kecil, orang gila, dalam pengaruh daya paksa
dan lain sebagainya. Dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan
dipidana, sedangkan orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya.
Dialah yang bertanggung jawab atas peristiwa pidana karena atas
suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.
3. Penganiayaan
Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti:
perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni
termasuk yang menyangkut perasaan atau batiniah.7 Penganiayaan yang
dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh
manusia. Arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan
diantara ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
(pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.8
6 Ibid, hlm 43 77 http://kbbi.web.id/penganiayaan.com(akses tanggal 13 januari 2020) 8 Dirdjosisworo Soejono, Hukum-Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
hlm 13.
9
Menurut yurisprudensi, yang disebut dengan penganiayaan yaitu
sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
Menurut ayat 4 pasal 351, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah
sengaja merusak kesehatan orang lain.9
4. Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam merupakan peraturan Allah SWT yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum pidana Islam sering juga
dikenal dengan kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan
hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal.10
5. Hukum Pidana Positif
Hukum Pidana Positif merupakan sekumpulan asas dan kaidah hukum
yang berlaku saat ini, berbentuk lisan maupun tulisan yang memberlakukan
hukum tersebut bersifat mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan
oleh lembaga peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara.11
G. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap beberapa lteratur
terdahulu, maka peneliti menemukan adanya beberapa literatur yang memiliki
relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan sebagai berikut:
1. Rosa Hoirisma Zulka12, dengan judul skripsinya “ Penyelesaian Tindak
Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Adat dan Hukum Pidana”. Dalam
9 Ibid, hlm 14. 10 Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 1. 11 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 5. 12 Mahasiswa Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
tahun 2017
10
skripsi ini membahas tentang cara penyelesaian tindak pidana penganiayaan
menurut hukum adat dan hukum pidana.
2. Ardiansyah13, dengan judul skripsinya “Tinjauan Yuridis Terhadap Delik
Penganiayaan Studi Kasus Putusan PN No. 707/Pid.B/2013 PN.Mks”. Dalam
skripsi ini mebahas tentang penerapan hukum pidana dan sanksi pidana
terhadap kasus delik penganiayaan apakah telah sesuai dengan norma hukum
yang telah berlaku.
3. Rizki Febrian14, dengan judul skripsinya “Sanksi Terhadap Pelaku
Penganiayaan Ibu Hamil Yang Menyebabkan Kematian Janin Dilihat
Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”. Dalam skripsi membahas
tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana penganiayaan menurut hukum
posistif dan hukum Islam.
4. Mutmainnah15, yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Orang Yang
Melakukan dan Menyuruh Melakukan Dalam Kasus Penganiayaan Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Dalam skripsi ini membahas tentang
pertanggungjawaban terhadap orang yang melakukan atau disuruh
melakukan tindak pidana penganiayaan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Dari hasil analisis terhadap karya tersebut di atas, maka akan menjadi
jelas arah dan tujuan dari masing-masing penenelitian di atas demikian juga yang
13 Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2014 14 Mahasiswa Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
tahun 2015 15 Mahasiswa Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
tahun 2013
11
dimaksud dalam penelitian ini. Atas dasar itu peluang untuk mewujudkan
penelitian ini juga menjadi sangat terbuka karena masing-masing penelitian
tersebut dengan perspektif yang berbeda. Jadi, antara peneliti terdahulu dengan
penulis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama
meneliti tentang penganiayaan sedangkan perbedaannya seperti bagaimana telah
disebutkan di atas.
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian
untuk mengadakan hubungan dengan yang diteliti atau metode-metode untuk
mencapai pengertian tentang masalah penelitian.16
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif atau pendekatan undang- undang, sebuah penelitian yang
menggunakan metode alamiah yang bertujuan untuk menafsirkan fenomena
yang terjadi dan dilakukan dengan berbagai metode yang ada.17 Pendekatan
yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan yang meninjau
dan menganalisa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan hukum pidana
Islam tentang Turut serta melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan
dengan pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah
membandingkan dan memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang
16 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi, (Bandung:
Alfabeta, 2017), hlm 68-69. 17 Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm
157.
12
berbeda mengenai sanksi bagi orang yang menyuruh melakukan
penganiayaan terhadap orang lain.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan yang disebut pula dengan istilah Library Research
yang menggambarkan secara sistematis, normatif, dan akurat terhadap objek
yang menjadi pokok permasalahan.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah data
sekunder saja karena penelitiannya adalah penelitian hukum normatif atau
pustaka.18
b. Sumber Data
Sumber data sekunder diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
atau literatur yang ada hubungannya dengan objek penelitian.19 Data
sekunder jika dilihat hubungannya dengan objek penelitian terdiri atas:
1. Bahan Hukum Primer
Menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan hukum
yang bersifat otoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-
bahan hukum primer terdiri atas perundang-perundangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
18 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi, (Bandung:
Alfabeta, 2017), hlm 67. 19 Ibid, hlm 67.
13
perundangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penulisan ini
yang penulis anggap sebagai data primer yaitu: peraturan
perundang-perundangan RI (KUHP) dan Al-Quran serta Hadist.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dikumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya kamus-kamus hukum, kamus besar bahasa
indonesia (KBBI), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
sebagainya.20
4. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data adalah alat yang digunakan dalam
mengumpulkan data dan fakta penelitian. Dalam penelitian kualitatif, alat
utama yang digunakan adalah si penulis itu sendiri (human instrument).21
Pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif terdapat 3 (tiga)
jenis metode pengumpulan data sekunder, yaitu:
20 Ibid, hlm 68. 21 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi, (Jambi: Syariah Press, 2012), hlm
25.
14
a. Studi Pustaka
b. Dokumen
c. Studi arsip22
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
pustaka ini dengan masalah penganiayaan yaitu melakukan beberapa langkah
sebagai berikut: (1) mencari dan mengumpulkan data dari buku-buku yang
menjadi sumber utama dalam penyusunan proposal; (2) data yang dihimpun
bersumber dari data hukum primer, jika tidak ditemukan maka data hukum
sekunder dapat dijadikan sumber tambahan sebagai pelengkap materi
pembahasannya; dan (3) sumber data yang terkumpul dikodifikasikan dengan
tambahan buku yang sesuai dengan kerangka acuan; serta (4) terakhir, setelah
itu diadakan penelaahan untuk meneliti kelengkapan data yang akurat dan
tepat.23
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menjelaskan cara menganalisa data hasil
penelitian dan data mentah yang peneliti diperoleh harus diubah menjadi data
yang dapat terbaca dengan baik dan pengolahan data juga harus didasarkan
pada kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi. Jika dalam penelitian
kualitatif data yang diperoleh harus diolah dan disusun ulang agar dapat
menjadi bagian yang menyatu dari teks-teks skripsi. Pengolahan data dimulai
22 Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi, (Bandung:
Alfabeta, 2017), hlm 69. 23 Lexy J Moleong. Metode Penelitian..., hlm 157.
15
dengan melakukan pengkodean data untuk melakukan kategorisasi melalui
lembar kertas bantu (short card).24
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif
adalah analisis kualitatif, yakni analisis data dengan cara menguraikan data
secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak
tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan
pemahaman hasil analisis. Dengan kata lain bahwa analisis kualitatif adalah
cara menganalisis data yang bersumber dari bahan hukum berdasarkan
kepada konsep, teori, peraturan perundang-perundangan, doktrin, prinsip
hukum, pendapat pakar atau pandangan peneliti sendiri.25
Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis data dengan
menggunakan kerangka berfikir: induktif, yaitu suatu pola pikir yang diawali
dari teori-teori yang bersifat khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat
umum;26 deduktif, yaitu suatu pola atau cara berfikir yang diawali dengan
mengemukakan judul-judul yang bersifat umum kemudian menuju kepada
suatu kesimpulan yang bersifat khusus; dan komparatif, yaitu suatu pola pikir
yang bersifat membandingkan antara kerangka pikir atau pendapat yang satu
dengan pendapat yang lain. Kemudian baru ditarik suatu kesimpulan yang
paling kuat dan diyakini kebenarannya.27 Dan historis, yaitu merupakan
24 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan..., hlm 14. 25 Ishaq, Metode Penelitian Hukum..., hlm 69-70. 26 Sudarto. Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 57. 27 Ibid, hlm 59.
16
penelaahan dokumen serta sumber-sumber lain yang berisi informasi
mengenai masa lampau dan dilaksanakan secaea sistematis.28
I. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, antar babnya ada yang
terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan tersendiri,
tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Utnuk
memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan jelas mengenai
pembahasan skripsi ini menyusun menggunakan sistematika dengan membagi
pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka
teori, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua, menguraikan penjelasan tentang penganiayaan menurut
Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam yang berisi tentang pengertian
dan macam-macamnya.
Bab ketiga, menguraikan tentang tinjauan umum tentang orang yang
menyuruh melakukan tindak pidana penganiayaan menurut Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam yang berupa bentuk-bentuk, serta syarat-
syaratnya.
Bab keempat, bab ini adalah analisis dalam pertanggungjawaban pidana
dari tiap-tiap pelaku langsung maupun tidak langsung serta mencari dan
28 Suharsini Arikunto. Manajemen Penelitian, (Jakarta: Reineka Cipta, 2000), hlm 332.
17
menjelaskan titik tentu dari perbandingan dan dalam kasus menyuruh melakukan
tindak pidana menurut hukum pidana pidan Islam dan hukum pidana positif.
Bab kelima, merupakan bab terakhir atau bab penutup yang berupa atau
berisi kesimpulan dari penulisan judul skripsi ini sebagai jawaban dari pokok
masalah yang dibahas sebelumnya, dan diakhiri dengan saran-saran untuk
memudahkan penelitian selanjutnya.
18
BAB II PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
A. Pengertian Penganiayaan dan Unsur-Unsurnya
1. Menurut Hukum Pidana Islam
Pengertian istilah delik dalam hukum pidana positif sama dengan istilah
jarimah dalam hukum Islam, hanya saja tedapat perbedaan yaitu kalau
jarimah itu hukum Allah sedangkan delik merupakan hukum manusia.
Jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara’ yang diancam dengan
hukuman had, qishas, atau ta’zir.29 Larangan yang dimaksud adalah
mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan, karena perintah dan larangan tersebut datang dari syara’.30
Yang dimaksud dengan penganiayaan dalam hukum Islam adalah dengan
sengaja melakukan perbuatan yang menimbulkan cidera atau cacat pada
seseorang.31
Para fuqaha’ sering menggunakan kata jinayah untuk jarimah, mereka
mengartikan jinayah dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik
perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lain sebagainya.32
Penganiayaan sebagai bentuk kejahatan (jarimah) oleh fuqaha dibawa
dalam satu bab (kitab) khusus yang dimasukan dalam kitab jinayat, termasuk
dalam pembahasan mengenai masalah pembunuhan, pencurian, prostitusi,
penganiayaan, perampokan dan bentuk kriminal lainnya. Penganiayaan
29A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm
9. 30 Ibid, hlm 9 31 Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV Amelia, 1980), hlm 35. 32 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1990), hlm 526
19
diidentikkan dengan melukai, yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah
jirahah yang artinya melukai. Istilah jirah ini dipergunakan dalam lapangan
ilmu fiqh pada perbuatan yang melukai badan, menghilangkan nyawa, baik
disertai dengan luka atau tidak, seperti membunuh dengan racun, serta
tindakan-tindakan lain yang menghilangkan manfaat alat tubuh manusia,
seperti menjadi buta, tuli dan lainnya.33
Untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah
dan pelakunya dapat dikenai pertanggung jawaban pidana apabila telah
terpenuhi beberapa unsur, yaitu :
1. Unsur formiil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang
menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang diancam
hukuman.
2. Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik
itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau sikap tidak berbuat.
3. Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah
haruslah mukallaf34, yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.35
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, kata jinayat adalah bentuk jamak,
adapun bentuk tunggalnya adalah jinayah yang diambil dari kata jana, yajni
yang artinya memetik. Dikatakan : “Jana as-Samara” yang artinya: bilamana
33 Ibid, hlm 554. 34 Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan
agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai pertanggungjawaban hukum). Seseorang berstatus
mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. 35A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm
6.
20
ia mengambil buah dari pohonnya. Dan dikatakan pula: “Jana ‘Ala Qawmihi
Jinayatan” yang artinya: ia telah melakukan tindakan kriminalitas terhadap
kaumnya, karena itu ia dipidana.36
Para ahli fiqh Islam telah membuat terminologi khusus untuk
mengkategorikan tindakan-tindakan pidana, yaitu menjadi 2 (dua) macam :
- Pertama : Jaraim al-Hudud, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan
hukum had.
- Kedua : Jaraim al-Qishas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan
hukum qishas.
Penganiayaan merupakan tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan
jiwa, menderita musibah dalam bentuk luka atau terpotong organ tubuh.37
Dalam hukum pidana Islam istilah penganiayaan tidak dipakai, yang
ada dalam hukum pidana Islam adalah jarimah/jinayah terhadap selain jiwa.
Pembunuhan didefinisikan sebagai suatu perbuatan mematikan; atau
perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan bangunan kemanusiaan.
Suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa; menghilangkan ruh
atau jiwa orang lain.38 Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke
dalam jaraim qishas (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qishas),
yaitu tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita
musibah dalam bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong organ tubuhnya.39
36Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III (Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hlm 5. 37Ibid., hlm 5. 38Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’I al-Jina’I al-Islami, II (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t),
hlm 6. 39Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III (Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al’Arabi, 1990), hlm 263.
21
Kejahatan atas fisik tetapi tidak menimbulkan kematian, dalam literatur
fiqh jinayah disebut dengan الجناية على ما دون النفس baik dilakukan secara
sengaja atau tidak sengaja.40
2. Menurut Hukum Pidana Positif
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh dalam KUHP disebut
penganiayaan. Dari segi bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau
kata sifat yang berasal dari kata dasar “aniaya” yang mendapat awalan “pe”
dan akhiran “an”. Penganiayaan adalah tindak kejahatan/delict yang
merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang
disertai ancaman, yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan “sebagai perlakuan yang sewenang-wenang (penyiksaan,
penindasan, dan sebagainya)”. 41 Dengan kata lain untuk menyebut seseorang
telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki
kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit
pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun dalam perbuatannya
merugikan kesehatan orang lain. Pengertian penganiayaan yang dimuat
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengertian dalam arti luas: yakni yang
menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam
ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.42
40 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana 2003), hlm 269. 41 http://kbbi.web.id/penganiayaan.com(akses tanggal 13 maret 2020) 42 Siti Badriah, “Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Islam Hukum Positif: Studi
Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan”, skripsi (UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm 39.
22
Tirtamidjaja membuat pengertian penganiayaan sebagai perbuatan atau
tindakan yang dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka terhadap orang
lain. Akan tetapi, suatu perbuatan semacam ini tidak dapat dianggap sebagai
penganiayaan jika dilakukan untuk menambah keselamatan badan.43
Penganiayaan dalam pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), tidak ada uraian tentang unsur-unsurnya, hanya disebutkan tentang
penganiayaan saja, yang berbunyi “Barang siapa yang dengan sengaja dan
tanpa hak menyakiti atau melukai badan orang lain karena penganiayaan,
diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan atau
denda tiga ratus rupiah”. Sedangkan menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula
dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang lain.44
B. Macam-Macam Penganiayaan
1. Menurut Hukum Pidana Islam
Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana
penganiayaan, yaitu:
a. Ditinjau dari Segi Niatnya
Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana penganiayaan dibagi
menjadi dua macam:
1) Penganiayaan Sengaja
Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan dimana pelaku sengaja
melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum. Dari defenisi
43 Tirtamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fresco, 1995), hlm 70. 44 Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
23
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana penganiayaan
dengan sengaja yaitu pelaku sengaja melakukan perbuatan yang
dilarang dengan maksud untuk mengenai dan menyakiti orang lain.
Misalnya pemukulan terhadap korban itu disertai dengan kemarahan
dan menggunakan alat yang pada galibnya dapat melukai.45
2) Penganiayaan Tidak Sengaja
Penganiayaan tidak sengaja adalah suatu perbuatan yang tidak
disengaja, akan tetapi karena kealpaannya yang mengakibatkan ia
menyakiti atau melukai orang lain tanpa sepengetahuannya.46
b. Ditinjau dari Segi Objek (Sasarannya)
Ditinjau dari segi objek atau sasarannya, tindak pidana penganiayaan
baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi kepada lima macam, yaitu:
1) Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya (Ibanat al-Atraf)
Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya (Ibanat al-
Atraf) adalah tindakan perusakan terhadap anggota badan seseorang
yang berupa pemotongan maupun pelukaan. Dalam kelompok ini
termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar,
telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan
rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan,
dan lidah.47
45 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, hlm 554. 46 http://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56ef342d8a5e6/penganiayaan -tidak-
sengaja/(akses tanggal 10 maret 2020) 47 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah cet ke-4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012), hlm 321.
24
2) Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih
tetap utuh (Izhab ma’a al-Atraf)
Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang
merusak manfaat dari anggota badan sedangkan jenis anggota
badannya masih tetap ada ataupun masih utuh. Misalnya pelukaan
terhadap mata yang mengakibatkan seseorang menjadi buta,
walaupun ia buta tetapi matanya masih ada dan tidak menghilangkan
jenis mata tersebut.48
3) Asy-Syijaj
Yang dimaksud As-syijaj adalah pelukaan khusus pada bagian
muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka dan
kepala termasuk kelompok yang keempat, yaitu jirah. Imam abu
Hanifah berpendapat bahwa syijaj adalah pelukaan pada bagian
muka dan kepala, tetapi khusus dibagian tulang, seperti dahi.
Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syijaj,
namun para ulama lain berpendapat bahwa syijaj adalah pelukaan
pada bagian muka dan kepala secara mutlak.49
4) Al-Jirah
Al-jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, dan
kepala. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini
meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul.50
5) Tindakan selain yang telah disebutkan di atas
48 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm 181. 49 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, hlm 583. 50 Ibid, hlm 583.
25
Adapun yang termasuk kedalam kelompok ini adalah setiap
tindakan pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak
atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka
syajaj atau jirah.51
2. Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam hukum pidana positif, menurut KUHP penganiayaan dibagi
menjadi 6 macam, yaitu sebagai berikut:
a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)
Penganiayaan biasa adalah suatu tindakan hukum karena
kesengajaan. Kesengajaan ini berarti akibat suatu perbuatan tersebut
dikehendaki untuk menyebabkan seseorang mengalami rasa sakit, luka,
sehingga bisa menimbulkan kematian.52
b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)
Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak
menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak
menjalankan aktivitas sehari-harinya.53
c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP)
Penganiayaan berencana adalah suatu perbuatan yang direncanakan
terlebih dahulu, oleh sebab itu terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu
(meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, berencana adalah
bentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan pemberat pidana
51 Ibid, hlm 584. 52 Nanda Indiati, "Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Menurut Hukum Islam
Dan Hukum Positif." (2012), hlm 54. 53 Ibid, hlm 54.
26
pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada
pembunuhan berencana.54
d. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)
Penganiayaan berat adalah penganiayaan yang menimbulkan luka
berat. Adapun unsurnya, yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang
menjadi alasan diadakan larangan itu dan perbuatan itu melanggar hukum.
Misalnya menusuk dengan pisau yang mengakibatkan luka berat.55
e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP)
Bila kita lihat penjelasan yang telah ada di atas tentang kejahatan
yang berupa penganiayaan berencana dan penganiayaan berat, maka
penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara
penganiayaan berat dengan penganiayaan berencana. Dengan kata lain
suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana,
kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak atau
bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi
unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.56
54 Ibid, hlm 55. 55 http://www.gresnews.com/mobile/berita/tips/81865-mengenal-tindak-pidana-
penganiayaan-berat/ (diakses tanggal 7 februari 2020) 56 Siti Badriah, “Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Islam Hukum Positif: Studi
Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan”, skripsi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), hlm
42.
27
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TURUT SERTA MELAKUKAN
TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
A. Pengertian Turut Serta
1. Penyertaan Melakukan Jarimah Menurut Hukum Islam
a) Pengertian Jarimah dan Ruang Lingkupnya
Secara bahasa jarimah berasal dari kata jarama, yajrimu, jarimatan
yang berarti “berbuat” dan “memotong”. Kemudian secara khusus
dipergunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang
dibenci”. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama yajrimu yang berarti
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan
menyimpang dari jalan yang lurus.57
Secara istilah Jarimah adalah melakukan perbuatan yang
diharamkan yang apabila melakukannya mengakibatkan ancaman sanksi
hukum tertentu apabila tidak melakukan atau meninggalkan perbuatan
yang keharamannya telah ditetapkan oleh syariat dan adanya ancaman
hukuman tertentu.58 Pada dasarnya kata jarimah mengandung arti
perbuatan buruk, jelek dan dosa. Jadi secara harfiyah sama dengan
pengertian jinayah, yaitu larangan-larangan syara’ yang apabila
melanggar diancam oleh Allah dengan hukuman had dan ta’zir.59
Berikut adalah pengertian jarimah menurut para ahli, yaitu:
57 Abdi, F. “Keluwesan Hukum Pidana Islam Dalam Jarimah Hudud Pencurian (Pendekatan
Pada Jarimah Hudud Pencurian)”. Al-Risalah 14, no. 2 (2014): hlm 5. 58 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm
14. 59 Ibid, hlm 19.
28
1. Menurut Al-Mawardi, jarimah adalah jaraim (tindakan kriminal) yang
merupakan semua tindakan yang diharamkan oleh syariat, Allah ta’ala
mencegah terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud atau
ta’zir kepada pelakunya.
2. Menurut Ahmad Warson Munawir, jarimah secara etimologis berarti
berbuat dosa atau kesalahan, berbuat kejahatan dan delik.
3. Menurut Ahmad Hanafi, jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.60
Dari beberapa defenisi di atas dapat dirumuskan bahwa jarimah
adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yang apabila
dilanggar akan dikenai hukuman had atau ta’zir.
b) Pengertian Turut Serta dan Ruang Lingkupnya
Perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara
perseorangan atau secara kelompok. Sehingga pengertian turut serta
melakukan jarimah dalam hukum Islam adalah melakukan jarimah secara
bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut,
menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai
bentuk sehingga terjadinya suatu tindak pidana. Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan turut serta meliputi yang
pertama, baik dikehendaki bersama secara kebetulan sama-sama
melakukan perbuatan tersebut; kedua, menyuruh atau menghasut orang
60 Mardani, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 110.
29
lain serta memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu perbuatan
jarimah.61
Turut serta melakukan jarimah dalam hukum Islam berada dalam
empat lingkup, yakni:
1) Pelaku melakukan jarimah bersama orang lain (mengambil
bagian dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan
melakukan bersama-sama.
2) Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk
melakukan jarimah
3) Orang yang memberi bantuan atau kesempatan terjadinya suatu
jarimah dengan berbagai cara tanpa turut serta melakukannya.
4) Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan
jarimah.62
2. Penyertaan Melakukan Perbuatan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
a) Pengertian Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) kepada mereka yang
melanggar larangan tersebut.63 Dikatakan sebagai perbuatan pidana karena
alasan: Pertama, karena perbuatan tersebut dilarang, apabila dilanggar
akan mendapatkan sanksi pidana. Kedua, karena antara larangan dan
ancaman memiliki hubungan yang erat.64
Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih
tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang
61 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm
217. 62 Ibid, hlm 225. 63 Ismu Gunadi, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), hlm 35. 64 Ibid, hlm 35.
30
menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu pertama, adanya kejadian
tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang
menimbulkan kejadian itu. Pandangan yang memisahkan antara perbuatan
dan orang yang melakukan hal tersebut sering disebut dengan pandangan
dualisme.65
Berdasarkan pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang
berisi larangan untuk tidak melakukan sesuatu secara melawan hukum
dengan kesalahan dan diberikan sanksi, baik dalam Undang-Undang
maupun dalam Peraturan Daerah.66
b) Pengertian Turut Serta
Kata penyertaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti proses, cara, perbuatan menyertai atau menyertakan.67 Hal tersebut
menjelaskan bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak
pidana atau dengan kata lain dua orang atau lebih turut mewujudkan suatu
tindak pidana.68
Secara luas dapat disebutkan bahwa:
Seseorang turut serta mengambil bagian dalam hubungannya
dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana,
mungkin jauh sebelum terjadinya hal tersebut (misalnya:
merencanakan), dekat sebelum terjadinya (seperti menyuruh atau
menggerakkan untuk melakukan, memberikan keterangan atau
65 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm
71. 66 Rahman Syamsuddin, Mengenal Hukum Indonesia, hlm 197. 67 http://kbbi.web.id/penyertaan.com(akses tanggal 25 februari 2020) 68 Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia
Grafika, 2002), hlm 336.
31
seorang itu dibantu oleh orang lain), atau setelah terjadinya suatu
tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana
pelaku).69
Pengertian turut serta (ikut serta, bersama-sama) melakukan
perbuatan pidana (delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-
sama. Turut serta (delneeming) dari beberapa orang dalam perbuatan
pidana dapat merupakan kerjasama, yang masing-masing dapat berbeda-
beda sifat dan bentuknya.70
Dalam proses penegakan hukum pidana, aturang yang sering
digunakan adalah pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang lazim digunakan dalam
penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dan melibatkan lebih dari satu
orang pelaku. Pasal 55 KUHP secara teoritik dikenal dengan istilah
delneeming atau penyertaan. Dalam konteks ini delneeming merupakan
suatu yang berkaitan dengan peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari
satu orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggungjawab masing-
masing pelaku dalam perbuatan pidana tersebut.71
Dalam masalah penyertaan ini terdapat seorang pelaku psikis
(aktor intelektual) dan pelaku materiil (fisik) dari suatu tindak pidana.
Penyertaan memungkinkan seseorang dapat dihukum atas perbuatannya,
walaupun perbuatan tersebut hanya memenuhi sebagian saja dari
perumusan tindak pidana, atau ia hanya memberikan sumbangan maupun
69 Ibid, hlm 336. 70 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015),
hlm 243. 71 Loebby Loqman. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta:
Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hlm 59.
32
bantuan dalam bentuk perbuatan-perbuatan tertentu kepada orang lain
untuk melaksanakan tindak pidananya.72
Hubungan antara peserta dalam penyelesaian tindak pidana
tersebut dapat bermacam-macam, yakni sebagai berikut:
a. Bersama-sama melakukan suatu kejahatan;
b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan,
sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan
tindak pidana tersebut;
c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana tersebut.
Karenanya ajaran penyertaan berpokok kepada penentuan
pertanggungjawaban daripada setiap pelaku atas perbuatan
masing-masing dalam melaksanakan tindak pidana
(pertanggungjawaban atas bantuan yang diberikan oleh tiap-tiap
pelaku dalam pelaksanaan terwujudnya tindak pidana tersebut.73
B. Bentuk-Bentuk Turut Serta
1. Menurut Hukum Islam
Hukum pidana dalam hukum Islam disebut dengan fiqh jinayah yang
merupakan hukum mengenai tindak kejahatan yang berkaitan dengan
kejahatan manusia atas manusia lainnya ataupun atas benda yang merupakan
harta benda hak orang lain. Suatu kejahatan atau perbuatan jarimah kadang-
kadang dilakukan oleh satu orang dan ada kalanya dilakukan oleh beberapa
orang.74 Perbuatan jarimah yang dalam kaitannya dengan turut serta berbuat
jarimah memiliki beberapa bentuk sebagai berikut: (a) Turut Berbuat
Jarimah Langsung (Isytirakul al-Mubasyir); (b) Turut Berbuat Jarimah
Secara Tidak Langsung (Isytirak Ghairi al- Mubasyir).
72 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm
595. 73 Abdul Salam Siku, Hukum Pidana II, (Ciputat: Pustaka Rabbani Indonesia, 2015), hlm 45. 74 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV.ASY-SYIFA, 1990), hlm 526.
33
Penjelasan dari kedua bentuk turut serta tersebut di atas bisa dilihat
dibawah ini:
a) Turut Berbuat Jarimah Langsung (Isytirakul al-Mubasyir)
Turut berbuat jarimah langsung (isytirakul al-mubasyir) adalah
orang yang melakukan perbuatan tindak pidana (jarimah) sendirian atau
bersama-sama dengan orang lain. Misalnya, tiga orang mengarahkan
tembakan kepada seseorang yang mengakibatkan kematian, maka mereka
dianggap melakukan pembunuhan.75 Seseorang yang melakukan
pembunuhan akan mendapatkan balasan neraka jahannam oleh Allah SWT
sebagaimana telah dijelaskan dalam Q.S an-nissa ayat ke 93 sebagai
berikut:
Artinya:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan allah murka
kepadanya, dang mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya.”76
Dalam hal ini fuqaha juga memisahkan apakah kerjasama itu
dilakukan secara tidak sengaja atau kebetulan (tawafuq) atau memang
75 Sukmawati, “Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Hukum Islam (Studi Perbandingan)”, skripsi (UIN Alauddin Makassar, 2016), hlm
53. 76 Kementerian Agama RI, Al-Quran Terjemah Tafsiryah, (Bandung: Syaamil, 2013), hlm
93.
34
sengaja bahkan sudah direncanakan bersama-sama (tamalu). Menurut
kebanyakan fuqaha, ada perbedaan pertanggungjawaban peserta antara
tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya
bertanggungjawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak
bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Dengan demikian istilah al-
tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara
bersama-sama tanpa kesepakatan atau tanpa ada perencanaan
sebelumnya.77 Namun dalam al-Quran selalu mengirinya dengan
pernyataan yang sesuai dengan Q.S An-Nissa ayat 16 sebagai berikut:
Artinya:
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuaan keji diantara kamu,
maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya
bertaubat dan memperbaiki diri. Maka biarkanlah mereka, sesungguhnya
Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.”78
Kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan
pemikiran yang datang secara tiba-tiba. Contoh kejahatan yang datang
secara tiba-tiba pada saat memuncak demonstrasi, karena pengaruh emosi
massa maka kejahatan terjadi secara tiba-tiba tanpa direncanakan terlebih
dahulu. Dalam kasus ini para pelaku tindak pidana masing-masing
77 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm
225. 78 Kementerian Agama RI, Al-Quran Terjemah Tafsiryah, (Bandung: Syaamil, 2013), hlm
80.
35
bertanggungjawab atas perbuatannya.79 Akan tetapi pada tamalu, para
peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya sebagai
keseluruhan. Jika korban meninggal maka masing-masing peserta
dianggap sebagai pembunuh. Jadi tamalu, adalah kejahatan yang
dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama dan terencana.
Misalnya pembunuhan atas seorang oleh sekelompok orang secara
terencana, ada yang mengikatnya, memukulnya atau menembaknya, maka
semua pelaku bertanggungjawab atas kematian korban.80 Seperti yang
dipertegaskan dalam Q.S Al-Mudatzir ayat ke 38 sebagai berikut:
Artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.”81
Ayat tersebut diatas, kemudian dijelaskan oleh Mustafa Hasan
dalam bukunya, ayat tersebut menegaskan apabila perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang, maka pertanggungjawabannya akan
dikenakan pada masing-masing orang tersebut. Menurut Abu
Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu
masing-masing orang hanya bertanggungjawab atas perbuatannya
sendiri dan tidak bertanggungjawab atas akibat perbuatan secara
keseluruhan. Ketentuan turut berbuat langsung adalah hadist dari
Abu Hurairah r.a dari Nabi Muhammad SAW, “Apabila seorang
laki-laki memegangi (korban), sedangkan laki-laki lain
membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang membunuhnya dan
dikurung bagi orang yang memeganginya.”82
79 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm 139. 80 Ibid, hlm 140. 81 Kementerian Agama RI, Al-Quran..., hlm 283. 82 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm
227.
36
Di samping itu, juga dipandang sebagai turut berbuat langsung
orang yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat langsung
hanya kaki tangannya semata-mata. Misalnya jika seseorang menyuruh
anak dibawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian suruhan itu
dilaksanakan, maka menurut imam Maliki, Syafi’i dan Ahmad orang yang
menyuruh itu dipandang sebagai pembuat langsung karena orang yang
disuruh hanya merupakan alat semata-mata.83
b) Turut Berbuat Jarimah Secara Tidak Langsung (Isytirak Ghairi al-
Mubasyir)
Berbuat jarimah secara tidak langsung adalah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan pidana. Setiap orang mengadakan perjanjian dengan orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum ataupun suatu
perbuatan yang dilarang oleh syariat, menyuruh orang lain, atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai
kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.84
Adapun unsur-unsur turut berbuat jarimah secara tidak langsung adalah
sebagai berikut:
1) Adanya perbuatan yang dapat dihukum. Untuk terwujudnya turut serta
tidak langsung, disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dihukum.
Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak perlu harus selesai melainkan
83 Ibid, hlm 228. 84 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: CV.ASY-SYIFA, 1990), hlm 530.
37
cukup walaupun baru percobaan saja. Juga tidak disyaratkan pelaku
langsung harus dihukum pula.85
2) Dengan kesepakatan, bujukan, atau bantuan, dimaksudkan agar
kejahatan tertentu dapat terlaksana. Jika tidak ada kejahatan tertentu
yang dimaksudkan, maka pelaku dianggap turut berbuat dalam segala
tindak pidana yang terjadi.86
3) Cara mewujudkan perbuatan adalah dengan mengadakan kesepakatan,
menyuruh, dan memberi bantuan. Adapun cara mewujudkan perbuatan
turut berbuat tidak langsung atau Isytirak Ghairi al-Mubasyir
dijelaskan sebagai berikut:
a. Kesepakatan, bisa terjadi karena adanya saling pengertian dan
kesamaan kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana (jarimah),
jika tidak ada kesepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut
berbuat.
b. Suruhan atau hasutan, menyuruh atau menghasut adalah membujuk
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana (jarimah) dan
bujukan itu menjadi pendorong untuk dilakukan tindak pidana itu.
Dalam tingkatan paling rendah, dorongan bisa berupa materi
ataupun memberi semangat kepada orang lain untuk melakukan
tindak pidana. Sedangkan paksaan merupakan tingkatan yang lebih
tinggi lagi.87
85 Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’I al-Jina’I al-Islami, II (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi,
t.t), hlm 356. 86 Ibid, hlm 356. 87 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm 150.
38
c. Memberi bantuan, orang yang memberi bantuan kepada orang lain
dalam melaksanakan suatu tindak pidana (jarimah) dianggap
sebagai pelaku tidak langsung. Meskipun tidak ada kesepakatan
sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan
orang untuk melakukan kejahatan seperti penganiayaan, maka secara
tidak langsung orang tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku
jarimah.88
Menurut hukum pidana Islam, apabila perbuatan langsung, yaitu
penganiayaan terjadi secara bersamaan dengan perbuatan tidak langsung,
seperti yang menyuruh melakukan suatu tindak pidana, maka keduanya
terdapat 2 kemungkinan, yaitu:
1) Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang
berlawanan dengan hukum, seperti kesaksian palsu yang
mengakibatkan adanya putusan hakim untuk menjatuhkan
hukuman qishas atas tersangka.
2) Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung dapat memutus daya
kerja perbuatan tidak langsung, dan perbuatan tidak langsung itu
sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi
seperti orang yang mengikat tangan seseorang, kemudian ada
seorang lagi yang memukul atau menganiaya orang yang sedang
diikat tersebut. 89
88 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm 71. 89 Ibid, hlm 72.
39
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam hukum pidana di Indonesia, yakni Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau diringkas dengan KUHP, bentuk-bentuk penyertaan
terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan
yang disebut mededader (disebut para peserta atau para pembuat) dan pasal
56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).
Pasal 55 dijelaskan sebagai berikut:
a) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan.
2. Mereka yang memberi dan menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan
acaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan pidana.
b) Terhadap penganjur, hanya perbuatan sengaja yang dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.90
Pasal 56 dijelaskan sebagai pembantu kejahatan sebagai berikut:
a) Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan.
b) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.91
Dari kedua pasal 55 dan 56 di atas dapat diketahui bahwa menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penyertaan itu dibedakan
dalam dua kelompok yang terdiri dari lima bentuk yaitu:
90 Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 91 Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
40
a) Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal 55 ayat
(1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah
mereka:
1. Yang melakukan (pleger);
2. Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan
pembuat penyuruh (doenpleger);
3. Yang turut serta melakukan (medeplegen), orangnya disebut dengan
peserta (medepleger).
4. Yang sengaja menganjurkan (uitlokken), yang orangnya disebut dengan
pembuat penganjur (uitlokker).
b) Orang yang disebut dengan pembantu kejahatan (medeplichtige)
kejahatan, yang dibedakan menjadi:
1. Pemberian bantuan pada saat pelaksaan kejahatan; dan
2. Pemberian bantuan pada saat sebelum pelaksanaan kejahatan.92
Dengan diketahuinya dua kelompok penyertaan tersebut, maka kini
dapatlah diketahui bahwa menurut sistem hukum pidana yang berlaku di
Indonesia, bahwa siapa saja yang terlibat dalam mewujudkan suatu tindak
pidana, sebagai berikut:
1. Mereka yang melakukan (pelaksana atau pleger)
Dalam tindak pidana formiil, wujud perbuatan pidananya ialah
sama dengan perbuatan apa yang dirumuskan dalam tindak pidana.
92 Ahmad Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm 79.
41
Sedangkan dalam tindak pidana materiil, yang dilihat adalah akibat yang
timbul atas perbuatan tersebut.93
Dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formiil, pembuat
pelaksananya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan
terlarang yang diatur dalam tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan
dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya
menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang.94
2. Mereka yang menyuruh untuk melakukan (pembuat penyuruh atau
doenpleger).
Mereka yang menyuruh untuk melakukan adalah mereka yang juga
melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan
melalui perantara orang lain sebagai alat dalam tangannya.95 Apabila
orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan, atau tanpa
tanggungjawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau
tunduk pada kekerasan dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat
penyuruh, yaitu: Pertama, Melakukan tindak pidana dengan perantara
orang lain sebagai alat. Kedua, Orang lain itu yang berbuat tanpa
kesengajaan, tanpa kealpaan dan tanpa tanggungjawab. Kedua bentuk
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Melakukan tindak pidana dengan perantara orang lain sebagai alat.
Orang yang menguasai orang lain sebagai alat untuk mewujudkan
suatu tindak pidana, dengan memberikan atau menjanjikan sebuah upah
93 Ibid, hlm 82. 94 Ibid, hlm 82. 95 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 213.
42
atau hadiah. Penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan aktif,
akan tetapi ia menjadi otak dari terjadinya tindak pidana tersebut.96
b. Orang lain itu yang berbuat:
1) Tanpa kesengajaan (manus ministra);
Perbuatan manus ministra adalah perbuatan yang telah
mewujudkan suatu tindak pidana, namun tidak ada kesalahan
didalamnya, baik karena kesengajaan maupun kealpaan. Contoh
karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu
menyuruh pembantunya berbelanja dipasar dengan menyerahkan 10
lembar uang yang diketahuinya palsu. Dimana pembantu tersebut
sebagai manus ministra dalam kejahatan mengedarkan uang palsu.
Keadaan yang tidak diketahuinya itu yang berarti pada dirinya tidak
ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan).97
2) Tanpa kealpaan;
Kealpaan adalah kelalaian atau keteledoran. Contohnya
seorang ibu membenci seorang pemulung karena seringnya mencuri
benda-benda yang diletakkan dipekarangan rumah. Pada suatu hari
ia membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh
pembantunya untuk menumpahkan air panas dari atas jendela dan
mengenai pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak ada
kelalaian, diketahuinya selama ini bahwa karena keadaan tidaklah
96 Ibid, hlm 213. 97 Ibid, hlm 214.
43
mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada dibawah
jendela dan perbuatan seperti ini sudah sering pula dilakukannya.
3) Tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan, seperti: yang tidak
diketahuinya, karena disesatkan atau karena tunduk pada kekerasan.
Sebagai hal yang juga penting, bahwa orang yang disuruh tidak
dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif
(batin: tanpa kesalahan atau tersesatkan) dan tidak berdaya karena
pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif). Walaupun
tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif, yakni dalam
hal tidak dipidananya pembuat materiil (orang yang disuruh
melakukan) karena ia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal yang
tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang-orang
yang dipakai sebagai alat, yakni tidak tau dan tersesatkan,
merupakan sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk
pada kekerasan adalah bersifat objektif.98
3. Mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta atau medepleger)
Turut serta melakukan ialah orang yang sengaja turut berbuat
dalam melakukan suatu tindak pidana. Pada mulanya disebut dengan turut
berbuat itu pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang
sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan.99
Misalnya, dua orang A dan B mencuri sebuah televisi disebuah kediaman
98 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm
542. 99 Ibid, hlm 543.
44
dimana mereka berdua sama-sama masuk melalui jendela yang tidak
terkunci dan sama-sama pula mengangkat objek televisi tersebut kedalam
mobil yang telah disediakan dipinggir jalan. Pada contoh ini perbuatan A
dan B sama-sama melakukan pencurian, sehingga jelas bahwa perbuatan
mereka memenuhi rumusan tindak pidana.
4. Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur atau uitlokker)
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur), sama
juga dengan orang yang menyuruh melakukan, ia tidak mewujudkan
tindak pidana secara materiil tetapi melalui orang lain. Terdapat beberapa
unsur dari uitlokker yaitu:
a. Unsur-unsur obyektif terdiri dari:
1) Unsur perbuatan, yaitu menganjurkan orang lain untuk melakukan
perbuatan;
2) Caranya, ialah dengan memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu,
dengan menyalahgunakan kekuasaan dan martabat, dengan ancaman
kekerasan, penyesatan, memberi kesempatan, memberikan saran,
dan dengan memberikan keterangan.
b. Unsur-unsur subyektif yakni:
1) Tentang kesengajaan si pembuat penganjur, yang harus ditujukan
pada 4 hal yaitu:
a) Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;
b) Mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya;
45
c) Pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang
dianjurkan);
d) Pada orang lain yang mampu bertanggungjawab atau dapat
dipidana.
2) Dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan
cara-cara menganjurkan, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal
55 ayat 1 angka 2 KUHP.100
3) Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan untuk melakukan
tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan yang disebabkan
langsung oleh upaya-upaya penganjuran.
4) Orang yang dianjurkan telah melaksanakan tindak pidana sesuai
dengan yang dianjurkan
5) Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan
bertanggungjawab.
5. Pembantuan (medeplichtige)
Berikut adalah syarat-syarat pembantuan:
a. Dari sudut subyektif
Kesengajaan pembuat pembantu ini tidak ditujukan pada
pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, melainkan pada
mempermudah pelaksanaan kejahatan saja. Artinya ialah sikap batin
100 Dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan.
46
pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama dengan sikap batin
dari pembuat pelaksananya.
b. Dari sudut obyektif
Wujud dari perbuatan yang dilakukan oleh pembuat pembantu
hanyalah bersifat mempermudah atau memperlancar pelaksanaan
kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman manusia pada
umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh
pembuat pembantu berperan atas mempunyai andil, atau memberi
sumbangan dalam hal mempermudah atau memperlancar penyelesaian
kejahatan. Artinya, wujud dari perbuatan pembuat pembantu itu
tidaklah dapat menyelesaikan kejahatan, yang menyelesaikan kejahatan
itu adalah wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri oleh pembuat
pelaksananya.
Berikut adalah bentuk-bentuk pembantuan menurut Undang-
Undang pasal 56 KUHP ada dua bentuk pembantuan, yaitu:
a. Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, dan
b. Pembantuan pada saat dan sesudah pelaksanaan kejahatan.101
101 Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
47
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menyuruh Melakukan Penganiayaan
Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban dikenal dengan istilah
pembebanan seseorang sebagai akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban pidana
ditegakkan atas tiga hal, yaitu:
1) Adanya perbuatan yang dilarang
2) Dikerjakan dengan kemauan sendiri
3) Pelakunya mengetahui akibat perbuatan tersebut.
Apabila terdapat tiga keadaan tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawaban pidana, apabila tidak terdapat, maka tidak ada pula
pertanggungjawaban pidana. Karena itu, orang gila, anak dibawah umur, orang
yang dipaksa atau terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, sebab
dasar pertanggungjawaban pidana pada kelompok tersebut tidak ada.102 Jadi,
pelaku harus mukallaf, pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya berlaku bagi
individu, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Selanjutnya, besar kecilnya
hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, selain ditentukan oleh akibat
yang ditimbulkan juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri
pelaku tindak pidana. Karena perbuatan melawan adakalanya disepakati
bersama-sama, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dan lain
102 Hamzah Hasan, Hukum..., hlm 18.
sebagainya. Adanya perbedaan antara bentuk-bentuk perlawanan terhadap
hukum mengakibatkan adanya tingkatan dalam pertanggungjawaban pidana.103
Dalam hukum islam, pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena
adanya sebab tertentu, baik yang berkaitan dengan perbuatan pelaku tindak
pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat jarimah.
Terhapusnya pertanggungjawaban pidana karena perbuatan yang dilakukan itu
diperbolehkan oleh syara’. Seperti seseorang yang terpaksa membunuh
seseorang pencuri untuk menyelamatkan jiwa serta hartanya. Selain itu,
perbuatan yang dilakukan termasuk dalam kategori kedua, yang berhubungan
dengan kondisi pelaku karena perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang,
namun pelakunya tidak dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada dalam
dirinya.104
Para ulama sepakat bahwa pelaku langsung itu harus dikenai hukuman
meskipun ia melaksanakan perbuatan itu bersama orang lain dengan menyuruh
orang lain, hanya saja hukuman yang dikenakan kepada setiap pelaku itu sangat
tergantung kepada sifat perbuatannya, sifat pelakunya dan niat daripada si
pelaku tersebut. Misalnya bagi seorang pelaku perbuatan itu dilakukan sebagai
pembelaan terhadap diri sendiri, sedangkan bagi orang yang menyuruh
merupakan suatu kejahatan. Bagi seorang pelakunya hal itu merupakan suatu
tindakan kesalahan atau kealpaan, sedangkan bagi orang yang menyuruh
merupakan tindakan sengaja.105
103 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam..., hlm 588. 104 Ibid, hlm 589. 105 Dzajuli, Fiqh Jinayah..., hlm 18-19.
Mengenai turut serta dalam melakukan perbuatan jarimah, dalam hukum
Islam ada dua bentuk penyertaan dengan pertanggungjawaban dari masing-
masing bentuk penyertaan tersebut, yang pembagiannya sebagai berikut:
Pertama, turut berbuat jarimah langsung. Kedua, turut berbuat jarimah tidak
langsung. Jika dilihat kedua bentuk tersebut diatas dapat dilihat penjelasan
dibawah ini:
1. Turut berbuat jarimah langsung (isytirakul al-mubasyir)
Perbuatan jarimah secara langsung dalam pelaksananaannya terbagi
menjadi dua bentuk, yakni: pertama, pelaku jarimah berbuat secara kebetulan
(tawafuq) dan kedua adanya kesepakatan para pelaku untuk melakukan
kejahatan tersebut (tamalu).106 Oleh karena itu, dalam hal
pertanggungjawaban jarimah turut serta secara tawafuq, pelaku
bertanggungjawab tanpa dibebani hasil perbuatan yang dilakukan oleh orang
lain, seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-An’am ayat 164 sebagai berikut:
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), Apakah (patut) aku akan mencari Tuhan
selain Allah. Padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap
perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggungjawab.
Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian
106 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013),
hlm 227.
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukannya
kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.”107
Yang berarti bahwa orang yang melakukan suatu jarimah tersebut,
maka pertanggungjawaban hukumannya akan kembali pada dirinya sendiri
atau pembuat jarimah tersebut.
Berbeda dengan turut serta tamalu, semua pelaku turut serta dalam
berbuat jarimah, bertanggungjawab atas apa yang terjadi, sehingga
menetapkan hukumannya itu dipandang adil, seperti firman Allah Swt dalam
Q.S An-Nisa ayat 58 sebagai berikut:
Artinya:
“Sesungguhnya allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya allah sebaik-baik yang
memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya allah adalah maha
mendengar lagi maha melihat.”108
Maksud dari ayat tersebut bahwa pelaku jarimah secara tamalu, dalam
hal bahwa hukuman atas apa yang telah mereka lakukan harus dikenakan
secara adil tanpa terkecuali. Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa pelaku
jarimah berbuat secara kesepakatan (tamalu), sudah tentu ia melakukan
dengan sengaja.
107 Kementerian Agama RI, Al-Quran Terjemah Tafsiryah, (Bandung: Syaamil, 2013), hlm
150 108 Ibid, hlm 87.
2. Berbuat jarimah secara tidak langsung (Isytirak Ghairi al-Mubasyir)
Setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk
melakukan suatu jarimah, menyuruh orang serta pembantuan. Sebagaimana
dalam hukum Islam menetapkan mengenai pertanggungjawaban terhadap
hukuman bagi pelaku turut serta berbuat jarimah tidak langsung yakni pidana
ta’zir109. Adapun jarimah yang ditentukan syara’ hanya jarimah hudud110,
qishas111, dan diyat112. Sebab, dalam turut serta melakukan jarimah tidak
langsung, tidak ditentukan oleh syara’ (baik bentuk maupun macam
hukumnya). Oleh karena itu, sanksi pelaku turut serta dalam berbuat jarimah
secara tidak langsung, maka hukumannya adalah ta’zir..113
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban
dalam hukum Islam terhadap orang yang menyuruh melakukan adalah
dikenakan hukuman ta’zir. Sebagaimana diketahui bahwa hukuman ta’zir
yang sifatnya mendidik dimana pelakunya tidak dikenai had114. Ancaman
hukuman ta’zir ditentukan oleh penguasa atau dalam hal ini biasanya disebut
hakim untuk memberikan pelajaran bagi pelakunya. Dalam memberikan
hukuman tersebut berupa hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti
109 Ta’zir secara etimologi berarti menolak atau mencegah, yang bertujuan untuk mencegah
yang bersangkutan mengulangi kembali perbuatannya dan menimbulkan efek jera pada pelaku. 110 Hudud berarti sanksi-sanksi yang ditetapkan kadarnya untuk memenuhi hak Allah SWT. 111 Qishas adalah pembalasan yang sepadan atau setimpal dengan kadar kejahatan. 112 Diyat adalah harta yang dibebankan karena adanya tindak kriminal atau yang sering
disebut dengan denda. 113 Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2013),
hlm 593. 114 Had adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ dalam rangka mencegah seseorang
untuk melakukan tindakan kriminal yang menyebabkan timbulnya hukuman tersebut.
rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata dan jenis hukuman lainnya akan
diberikan kepada pelakunya sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.115
B. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menyuruh Melakukan Penganiayaan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Tanggung jawab merupakan salah satu ciri dari manusia yang memiliki
adab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau
buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa ada pihak lain yang
memerlukan keadilan.116 Tanggung jawab timbul berdasarkan prinsip manusia
itu hidup bermasyarakat dan manusia tidak boleh berbuat semaunya terhadap
manusia lain, harus menghormati dan melindungi haknya maupun hak orang
lain.117
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap
pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan
yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada
kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak
pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna
bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum,
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.118 Dasar
115 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah cet ke-4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012), hlm 392. 116 http:/baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20,manusia-dan-tanngungjawab
(akses tanggal 20 juni 2019) 117 http:/mhaidarharif.wordpress.com/2012/05/02/manusia-dan-tanggungjawab (akses
tanggal 20 juni 2019) 118 Rachmat, Akuntasi Pemerintahan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 42.
pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam
hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana berdasarkan
kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya itu.
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Kesalahan dalam arti sempit dapat
berbentuk sengaja (opzet) atau lalai (culpa). Dalam bahasa latin ajaran kesalahan
ini disebut dengan sebutan “mens rea”. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
seseorang itu jahat. Pertanggungjawaban pidana adalah penilaian apakah
seseorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana yang terjadi.119
Seseorang tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu tindak pidana yang dilakukan dan dapat dipidana jika mempunyai
kesalahan, yakni apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari
segi masyarakat, dia dapat dicela, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika
memang tidak ingin berbuat demikian. Pertanggungjawaban pidana pada
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu
perbuatan tertentu.120
Seseorang dapat dipidana jika orang tersebut telah melakukan perbuatan
yang bersifat melawan hukum, serta mempunyai kesalahan dan mampu
119 Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020), hlm 93. 120 Ibid, hlm 94.
bertanggungjawab. Kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada
orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan
tersebut dengan perbuataan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga orang itu
dapat dicela karena melakukan perbuatan. Berdasarkan hal tersebut diatas untuk
adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan
pidana, yaitu pertama, adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu, dan kedua,
adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan
yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.121
Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas mengenai
kemampuan bertanggungjawab pidana. KUHP diseluruh dunia pada umumnya
tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab yang diatur ialah
ketidakmampuan bertanggungjawab. Seperti pada pasal 44 ayat (1) KUHP justru
merumuskan keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu
beranggungjawab untuk tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan
dari kemampuan bertanggungjawab. Doktrin hukum pidana, mengenal dua
sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana pada penyertaan, yaitu:
1) Mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama kedalam
suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara
sama dengan orang yang sendirian melakukan tindak pidana tanpa
dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa
yang ada dalam sikap batinnya.
2) Mengatakan bahwa masing-masing orang yang secara bersama
terlibat dalam suatu tindak pidana dipandang dan
dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yaitu berat ringannya sesuai
dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang
dalam mewujudkan tindak pidana.122
121 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm 158. 122 Kanter, Asas-Asas..., hlm 253.
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia pertanggungjawaban (pidana)
menjurus kepada pemidanaan pelaku yang telah melakukan suatu tindak pidana
dan memenuhi unsur-unsurnya yang sudah dirumuskan dalam Undang-Undang.
Sebagaimana diketahui, bahwa terjadinya suatu tindakan terlarang yang
kemudian mengharuskan pelaku tersebut untuk mempertanggungjawabkan
tindakan yang telah dilakukannya tersebut. Orang yang telah melanggar hukum
akan dikenakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.
Dalam doenplegen terdapat dua pihak, yaitu pelaku langsung (orang yang
disuruh) dan pelaku tidak langsung (orang yang menyuruh). Pelaku langsung
tidak dapat dipidana karena ia hanya digunakan sebagai alat dalam perbuatan
pidana tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 44 KUHP, bahwa pelaku
tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya jika terganggu jiwanya, dimana
dalam hal ini orang yang disuruh hanya sebagai alat. Ada beberapa alasan yang
menghilangkan kesalahan yaitu: kurang sempurna akalnya, diancam, tidak
bersalah sama sekali, belum dewasa dan menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh pimpinan.
Apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan, atau tanpa
tanggungjawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk
pada kekerasan dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. Melakukan tindak pidana dengan perantara orang lain sebagai alat.
Orang yang menguasai orang lain sebagai alat untuk mewujudkan
suatu tindak pidana, dengan memberikan atau menjanjikan sebuah
upah atau hadiah. Penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan
aktif, akan tetapi ia menjadi otak dari terjadinya tindak pidana
tersebut.123
2. Orang lain itu yang berbuat:
a. Tanpa kesengajaan (manus ministra);
Perbuatan manus ministra adalah perbuatan yang telah
mewujudkan suatu tindak pidana, namun tidak ada kesalahan
didalamnya, baik karena kesengajaan maupun kealpaan. Contoh
karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu
menyuruh pembantunya berbelanja dipasar dengan menyerahkan
10 lembar uang yang diketahuinya palsu. Dimana pembantu
tersebut sebagai manus ministra dalam kejahatan mengedarkan
uang palsu. Keadaan yang tidak diketahuinya itu yang berarti pada
dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan).124
b. Tanpa kealpaan;
Kealpaan adalah kelalaian atau keteledoran. Contohnya
seorang ibu membenci seorang pemulung karena seringnya
mencuri benda-benda yang diletakkan dipekarangan rumah. Pada
suatu hari ia membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia
menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari atas
jendela dan mengenai pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak
ada kelalaian, diketahuinya selama ini bahwa karena keadaan
123 Ibid, hlm 213. 124 Ibid, hlm 214.
tidaklah mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada
dibawah jendela dan perbuatan seperti ini sudah sering pula
dilakukannya.
Tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan, seperti: yang tidak
diketahuinya, karena disesatkan atau karena tunduk pada kekerasan. Sebagai
hal yang juga penting, bahwa orang yang disuruh tidak dapat dipidana, sebagai
konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin: tanpa kesalahan atau
tersesatkan) dan tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada
kekerasan (objektif). Walaupun tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata
subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiil (orang yang
disuruh melakukan) karena ia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal yang tidak
dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang-orang yang dipakai sebagai
alat, yakni tidak tau dan tersesatkan, merupakan sesuatu yang subjektif.
Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.125
Misalnya, dengan upah Rp. 5.000.000, A menyuruh B untuk menganiaya
C. Setelah B melaksanakan penganiayaan ternyata menimbulkan akibat
kematian pada C, maka B sebagai pembuat pelaksana pada penganiayaan yang
menimbulkan kematian. Atas perbuatannya, maka B diancam dengan pasal 351
ayat 3 KUHP yang berbunyi:
125 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm
542.
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.126
Dan jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang berbunyi:
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.127
Dan A disebut sebagai berkualias karena pembuat pelaksana (pleger)
pada penganiayaan yang menimbulkan kematian dipidana dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun, sebagaimana pada pasal 351 ayat 3 KUHP, dan
jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Akan tetapi bila pelaku melakukan penganiayaan
dengan mengakibatkan luka-luka, maka penyuruh pelaksana dapat dipidana
126 Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 127 Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dengan pidana penjara selama delapan tahun, disebutkan pada pasal 354 ayat 1
KUHP, yang berbunyi:
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam
karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling
lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.128
Dan bila mengakibatkan kematian, maka orang yang menyuruh
pelaksanaan penganiayaan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun, seperti yang disebutkan pada pasal 354 ayat 2 KUHP di
atas.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban
terhadap orang yang menyuruh melakukan tindak pidana penganiayaan menurut
hukum pidana positif tergantung pada perbuatan itu sendiri. Orang yang
menyuruh melakukan pertanggungjawabannya sama dengan orang yang
melakukan, karena orang yang menyuruh melakukan merupakan aktor
intelektual dibelakang perbuatan tersebut. Karena tanpa ada yang menyuruh,
seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan melawan hukum.
128 Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
C. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Orang yang Menyuruh
Melakukan Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP
Setelah dianalisa secara mendalam, ditemukan bahwa baik Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia maupun hukum
Pidana Islam, memberikan kedudukan pertanggungjawaban yang berbeda-beda
terhadap pelaku turut serta dalam melakukan suatu jarimah. Adapun Persamaan
dan Perbedaan dari keduanya adalah sebagai berikut:
1. Persamaannya
Memberikan efek jera kepada pelaku
Dilakukan oleh lebih dari satu orang (pelaku) atau beberapa orang
Terjadi secara kebetulan ataupun melalui kesepakatan
Merupakan suatu perbuatan jarimah/delict
Suatu ajaran tentang pertanggungjawaban
Memiliki pelaku langsung dan tidak langsung
Masing-masing pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya
Dalam KUHP dan hukum Islam mengenal orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (terganggu karena penyakit
atau cacat kejiwaan dan pengaruh daya paksa).
2. Perbedaanya
Dalam hukum pidana Islam hukuman bagi orang yang melakukan
penganiayaan adalah dikenakan sanksi qishas sedangkan orang yang
menyuruh melakukan penganiayaan terhadap orang lain adalah dikenakan
hukuman takzir yang jumlah atau jenis hukumannya ditentukan oleh
penguasa atau hakim. Hukuman tersebut dapat berupa penjara, kurungan,
denda, skorsing, pemecatan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana orang yang menyuruh melakukan
penganiayaan terhadap orang lain hukumannya sama dengan orang yang
melakukan, sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 55 KUHP. Jika
penganiayaan tersebut mengakibatkan luka-luka maka orang yang menyuruh
tersebut dipidana dengan pidana penjara selama delapan tahun, sebagaimana
yang disebutkan dalam pasal 354 ayat 1. Dan bila mengakibatkan kematian,
maka orang yang menyuruh tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun, seperti yang disebutkan dalam pasal 354 ayat 2
KUHP.
Dalam hukum Islam, batas hukumannya ditentukan oleh hakim. Sedangkan
dalam hukum positif sudah diatur dalam Undang-Undang.
Penyertaan dalam KUHP memiliki 5 bentuk (mereka yang melakukan,
menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan dan membantu
melakukan) sedangkan dalam hukum islam ada 2 bentuk (turut berbuat
jarimah langsung dan turut berbuat jarimah tidak langsung).
Pertanggungjawaban terhadap pelaku turut serta menurut KUHP mengenal 2
sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana yakni, pertama
pertanggungjawaban secara bersama-sama tanpa melihat besar kecilnya
peran pelaku dalam melakukan perbuatan pidana, kedua pertanggungjawaban
masing-masing pelaku atas perbuatan pidana yang dilakukan. Sedangkan
dalam hukum Islam hanya dikenakan satu pertanggungjawaban bagi orang
yang turut serta dalam perbuatan pidana, yaitu dikenakan hukuman ta’zir.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka
akhirnya sampailah penulis untuk mengemukakan beberapa kesimpulan yang
merupakan inti dari skripsi ini, adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan
dalam hukum Islam memberikan kedudukan pertanggungjawaban terhadap
mereka yang menyuruh melakukan tindak pidana dikenakan sanksi ta’zir,
yaitu: suatu hukuman yang ditentukan oleh penguasa, atau dalam hal ini
biasanya disebut hakim untuk memberikan pelajaran bagi pelakunya. Sanksi
tersebut bisa berupa hukuman penjara, skorsing atau pemecatan, ganti rugi,
pukulan, teguran dan kata-kata yang diberikan kepada pelakunya.
2. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh melakukan
tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenakan pasal 55 KUHP, yaitu tergantung pada perbuatan itu sendiri. Pada
penganiayaan dengan mengakibatkan luka-luka, maka penyuruh pelaksana
dapat dipidana dengan pidana penjara selama delapan tahun, disebutkan pada
pasal 354 ayat 1. Dan bila mengakibatkan kematian, maka orang yang
menyuruh pelaksanaan penganiayaan tersebut dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun, seperti yang disebutkan pada pasal 354
ayat 2 KUHP.
3. Setelah dianalisa secara mendalam, ditemukan bahwa baik Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia maupun hukum
Islam, memberikan kedudukan pertanggungjawaban yang berbeda-beda
terhadap pelaku turut serta dalam melakukan suatu jarimah. Persamaannya
yaitu, sama-sama memberikan efek jera kepada pelaku, dilakukan lebih dari
satu orang, terjadi secara kebetulan ataupun melalui kesepakatan, serta dalam
KUHP dan hukum Islam mengenal orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (terganggu karena penyakit atau
cacat kejiwaan dan pengaruh daya paksa). Sedangkan perbedaannya adalah
dalam hukum Islam, batas hukumannya ditentukan oleh hakim, yaitu
dikenakan hukuman ta’zir.sedangkan dalam hukum positif sudah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
pertanggungjawabannya dikenakakan Pasal 55 KUHP.
B. Saran
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang terdapat didalam pembahasan
skripsi yang penulis susun dan dihubungkan dengan kondisi kehidupam pada
Abad ke-21 ini, kejahatan semakin meningkat dan semakin bervariasi sesuai
dengan perkembangan zaman, maka penulis ingin memberikan saran-saran
yaitu:
1. Memberikan sosialisasi hukum yang berkesinambungan dengan masyarakat
setempat dengan menggunakan teknik-teknik tertentu seperti mengadakan
seminar, penyuluhan dan lain-lain.
2. Melakukan gerakan sadar hukum. Dengan melakukan gerakan sadar hukum
dapat memberikan pengarahan terhadap masyarakat bahwa segala sesuatunya
mempunyai kekuatan hukum dan suatu pertanggungjawaban.
3. Melakukan pendekatan secara persuasive kepada masyarakat mengenai
pertangungjawaban atas tindakan apa yang dilakukan.
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
A. Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang.
1976.
Abdul Qadir ‘Audah. at-Tasyri’I al-Jina’I al-Islami. II Beirut : Dar al-Kitab al-
‘Arabi, t.t. 1990.
Abdul Salam Siku. Hukum Pidana II. Ciputat: Pustaka Rabbani Indonesia.
2015.
Adami Chazawi. Percobaan dan Penyertaan. Jakarta: Rajawali Press. 2011.
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Rajawali Pers.
2014.
Ahmad Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian III. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2002.
Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Sinar Grafika. 2006.
Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana. 2003.
As-Sayyid Sabiq. Fiqh as-Sunnah. III Kairo : Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi.
1990.
Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan. 1992.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 1990.
Dirdjosisworo Soejono. Hukum-Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 1990.
Hendra Alkhadhiat. Psikologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 2014.
Ibnu Rusyd. Bidayatu’l Mujtahid. Semarang: CV.ASY-SYIFA. 1990.
Ishaq. Hukum Pidana. Depok: PT RajaGrafindo Persada. 2020.
Ishaq. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi.
Bandung: Alfabeta. 2017.
Ismu Gunadi. Hukum Pidana. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri. 2014.
Kanter. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:
Storia Grafika. 2002.
Kementerian Agama RI. Al-Quran Terjemah Tafsiryah. Bandung: Syaamil.
2013.
Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
2014.
Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2004.
Loebby Loqman. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana.
Jakarta: Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan. 1995.
Madjloes. Pengantar Hukum Pidana Islam. Jakarta: CV Amelia. 1980.
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Mardani. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Masdar Farid Mas’udi. Syarah UUD 1945 Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka
Alvabet. 2013.
Muhammad Ainul Syamsu. Pergeseran Turut Serta dalam Ajaran Penyertaan.
Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri. 2014.
Mustofa Hasan. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia.
2013.
R. Soenarto Soerodibroto. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Pustaka Buana. 2014.
Rachmat. Akuntasi Pemerintahan. Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia.
2000.
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah cet ke-4. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2012.
Sudarto. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001.
Suharsini Arikunto. Manajemen Penelitian. Jakarta: Reineka Cipta. 2000.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi. Jambi: Syariah Press.
2012.
Tirtamidjaja. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fresco. 1995.
Umar Said Sugiarto. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta Timur: Sinar
Grafika. 2015.
Wiryono Projodikoro. Tindak-Tindak Pidana Khusus di Indonesia. Bandung:
Eresco. 1986.
Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
B. Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
C. Skripsi
Ardiansyah. Tinjauan Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Studi Kasus
Putusan PN No. 707/Pid.B/2013 PN.Mks, Fakultas Hukum, Universitas
Hasanuddin Makassar tahun 2014
Badriyah, Siti. "Tindak Pidana Penganiayaan Menurut Hukum Islam Hukum
Positif: Studi Kasus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan."
Indiati, Nanda. 2012. "Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif."
Indriani, Novia Eka Putri. Sanksi Tindak Pidana Penganiayaan Ibu Hamil
Yang Mengakibatkan Kematian Janin Oleh Suami Terhadap Istri
Perspektif Hukum Pidana Islam.
Mutmainnah, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Yang Melakukan
dan Menyuruh Melakukan Dalam Kasus Penganiayaan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi tahun 2013.
Rizki Febrian, Sanksi Terhadap Pelaku Penganiayaan Ibu Hamil Yang
Menyebabkan Kematian Janin Dilihat Perspektif Hukum Positif Dan
Hukum Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi tahun 2015.
Rosa Hoirisma Zulka, Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Menurut
Hukum Adat dan Hukum Pidana, Fakultas Syariah, Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi tahun 2017.
D. Website
http://kbbi.web.id/tanggungjawab.com akses tanggal 13 januari 2020
http:/baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20,manusia-dan-
tanngungjawab akses tanggal 20 juni 2019
http:/mhaidarharif.wordpress.com/2012/05/02/manusia-dan-tanggungjawab
akses tanggal 20 juni 2019
http:/wulanpradnyasari.blogspot.co.id/2012/10/09penyertaan-dan
pembantuan_7244.html akses tanggal 17 februari 2020
http://www.gresnews.com/mobile/berita/tips/81865-mengenal-tindak-pidana-
penganiayaan-berat/ diakses tanggal 7 februari 2020
CURRICULUM VITAE
Nama : WIDIA ASTUTI
Tempat Tanggal Lahir : SEMABU, 31 Desember 1998
Email : [email protected]
No. Kontak HP : 0821-8407-2431
Alamat : Desa Semabu, Rt.02, Kec. Tebo Tengah, Kab. Tebo
Fendidikan Formal
1. SDN 12 Ds. Semabu, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo, Provinsi
Jambi
2. SMP N 28 KABUPATEN TEBO
3. SMA N 3 TEBO
Pengalaman Organisasi
1. Karang Taruna ( 2016-2020)
Moto hidup : Jangan pernah berhenti untuk berjuang hanya karena
satu kegagalan, karena masih banyak kesuksesan yang
menanti untuk kau temui dimasa yang akan datang.
Jambi, 20 Mei 2020
WIDIA ASTUTI
SHP.162206