1. Pendahuluan
Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun
yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain
dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis
dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh
karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati
(hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama
peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya
nekrosis pada sel-sel hati. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis
akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus
hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C.
Sebelum ditemukannya virus hepatitis C (VHC), dunia medis mengenal 2 jenis virus
sebagai penyebab hepatitis. Namun demikian, terdapat juga peradangan hati yang tidak
disebabkan oleh kedua virus ini dan tidak dapat dikenali pada saat itu sehingga dikenal
dengan hepatitis Non A dan Non B (Hepatitis NANB).
Hepatitis NANB menyerupai hepatitis B yaitu didapatkan pasca transfusi darah.
Sehingga pencarian terus dilakukan untuk mencari tahu jenis virus apakah ini. Choo dan
kawn-kawan dengan cara amplifikasi dan identifikasi genetik berhasil mendapatkan
penyebab virus hepatitis yang baru ini. Virus baru ini kemudian dikenal dengan virus
hepatitis C.
Penemuan VHS didapatkan dengan melaukan idenktifikasi gen virus ini, hal yang
biasanya terbalik dalam mengidentifikasi mikroorganisme dimana identifikasi gen baru
dilakukan setelah mikroorganisme ditemukan secara fisis.
Infeksi HVC merupakan masalah yang besar karena pada sebagian besar kasus menjadi
hepatitis kronik yang dapat membawa pasien pada sirosis dan kanker hati. Dimana pada
negara maju hepatitis tipe ini menjadi salah satu indikasi untuk transplantasi hepar.
2. Anatomi dan Histologi Hepar
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia
terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas,
yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan
atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas
organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan
dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan
v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen
anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen.
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen dan
terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig. falciformis ;
merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan bagian dari
omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sebelah
proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan
duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari
Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri–kanan dan Lig coronaria posterior kiri-kanan :
Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri-kanan : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior
dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan
melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang
normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus
kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi
hepar secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.
2.1 Hepar Secara Mikroskopis
Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan
elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenchym hepar
mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar seperti spons
yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk
ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut
berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang
meliputinya terediri dari sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang
artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain . Lempengan
sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada
pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli. Di tengah-tengah
lobuli terdapat 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang
menyalurkan darah keluar dari hepar). Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap
tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang
mengandung cabang-cabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan
A.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak
percabangan Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-
sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke
dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar, air keluar dari saluran empedu
menuju kandung empedu.
3. Fisiologi Hepar
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh
sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hati yaitu :
a. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein saling
berkaitan 1 sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus
menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati
kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen
menjadi glukosa disebut glikogenelisis. Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber
utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa
monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa
tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan
membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan
dalam siklus krebs).
b. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis
asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol.
Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.
c. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses deaminasi,
hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan proses transaminasi,
hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya
organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea.
Urea merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di dalam hati,
juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang. β – globulin hanya dibentuk di dalam hati.
Albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000.
d. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda
asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsik, bila ada
hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer
biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan
untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.
e. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
f. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi,
reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun,
obat over dosis.
g. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui
proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai imun
livers mechanism.
h. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/
menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di
dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh
faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu
exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran
darah
4. Hepatitis C
4.1 Etiologi
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C, virus ini
merupakan jenis virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Terdapat 6 genotip HCV dan lebih
dari 50 subtipe. Respons limfosit T yang menurun dan kecenderungan virus untuk bernutasi
nampaknya menyebabkan tingginya angka infeksi kronis.
Virus hepatitis C paling berbahaya dibandingkan dengan virus hepatitis lainnya, karena
80% penderita terinfeksi bisa menjadi infeksi yang menahun dan bisa berkelanjutan menjadi
hepatitis kronik kemudian sirosis hati, kanker hati dan kematian. Proses perjalanan ini
memerlukan waktu yang panjang hingga belasan atau puluhan tahun. Virus ini dapat
bermutasi dengan cepat, perubahan-perubahan protein kapsul yang membantu virus
menghindarkan sistim imun. Genotip genotip yang berbeda mempunyai perbedaan distribusi
geografi. Genotipe 1a dan 1b paling banyak di Amerika, kira-kira 75% dari kasus. Genotip 2,
3 dan 4 hanya 30% dari kasus. Di Jepang dan Cina tipe 2 lebih sering dijumpai , tipe 3 sering
dijumpai di Eropa dan Inggris, tipe 4 banyak ditemui di Timur Tengah dan Afrika. Tipe 5
banyak di Afrika dan sedikit di Amerika Utara, jenis tipe 6 banyak ditemukan di Hongkong
dan Macau. Genotipe 1a dan 1b merupakan jenis yang resisten terhadap pengobatan dan
manifestasi penyakit umumnya berat.(Sulaiman HA, Julitasari, 2004,hal 12).
Gambar virus hepatitis C (http://www.medicastore.com/hepatitisC/infeksihepatitis.htm)
Keberagaman genetik HCV memiliki implikasi diagnostik dan respon terapi sedikit. Pada genotip 1 bertanggung jawab hingga 60-65% semua infeksi virus hepatitis C di Indonesia. Genotip ini memiliki respon pengobatan lebih rendah dibandingkan genotip
lainnya. Karena keberagaman ini yang menyebabkan sulit untnk mengembangkan vaksin dan respon terapi.(PPHI, 2003, hal 8)
Kira-kira sepertiga kanker hati disebabkan oleh hepatitis C. Hepatitis C yang menjadi kanker hati terus meningkat diseluruh dunia karena banyak orang terinfeksi virus hepatitis C tiap tahunnya. Saat hati menjadi rusak, maka hati tersebut akan memperbaiki sendiri dengan membentuk jaringan parut, jaringan parut ini disebut fibrosis. Semakin banyaknya jaringan parut menunjukan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis.
Mengingat pada penderita hepatitis C cenderung menjadi kronik dan mengarah ke kanker hati, serta belum ditemukannya vaksin maka penulis ingin mengupas seputar penyakit hepatitis C.
4.2 Epidemiologi Infeksi HVC
Infeksi HVC didapatkan diseluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi HVC ini berbeda-beda diseluruh dunia. Di
Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi HVC tetapi dari laporan pada lembaga
transfusi darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi HVC. Pada studi populasi
umum di Jakarta prevalensi HVC lebih kurang 4%.
Umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi darah terutama yang
didapatkan sebelum dilakukannya penapisan donor darah untuk HVC oleh PMI. Infeksi HVC
juga didapatkan secara sporadik atau tidak diketahui asal infeksinya. Hal ini berhubungan
dengan ekonomi yang rendah, pendidikan kurang, perilaku seksual yang beresiko tinggi.
Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan walaupun masih jarang. Biasanya dihubungkan
dengan HIV, karena jumlah HVC dikalangan ibu yang menderita HIV biasanya tinggi.
Dilaporkan pula terjadinya infeksi HVC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi,
perawatan gigi, dialisis, maupun operasi. HVS dapat ditransmisi melalui luka tusukan jarum
namun diketahui resikonya relatif lebih kecil daripada HVB.
Umunya genotipe yang didapatkan di Indonesia adalah genotipe 1 (lebih kurang 60-
70%) diikuti oleh genotipe 2 dan 3. Dilaporkan adanya genotipe khas untuk Indonesia yaitu
genotipe 1c tetapi sebagian ahli menganggap gen ini sama saja dengan genotipe 1 lainnya
yang telah dilaporkan hanya saja laporan terdahulu menggunakan metode yang hanya melihat
sebagian kecil gen HVC saja.
Prevalensi tinggi didapatkan pada beberapa kelompok pasien seperti pengguna
narkotika suntik (>80%) dan pasien hemodialisa (70%). VHC didapatkan pada saliva dan
kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk terjadinya
infeksi dan transmisi HVC sehingga amat jarang ditemukan adanya transmisi HVC melalui
hubungan dalam rumah tangga.
4.3 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati HVC masih sulit dilakukan karena
terbatasnya kultur sel untuk HVC. Kerusakan sel hati akhibat HVC atau partikel virus secara
langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme
imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya dicurigai dapat
menyebabkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini juga
diketahui mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan
dnegan regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi
apakah HVC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung.
Reaksi cytotoxin T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh HVC pada infeksi akut. Pada infeksi kronis, reaksi CTL yang relatif lemah masih
mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi dihati tetapi tidak bisa
menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati
terus berlanjut. Kemampuan CTL dihubungkan dengan aktifitas limfosit sel Th spesifik
HVC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakhibat pada reaksi
toleransi dan melemahnya respon CTL.
Reaksi inflamasi melibatkan sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, TGF-β1 akan
menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebakan aktivasi sel-sel stelata
diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan’tenang’ kemudian
berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matrik
kolagen sehinnga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin
proinflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karna proses inflamasi terjadi terus
menerus sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati semakin sedikit.
Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.
Pada gambaran histopatologi pasien hepatitis C kronik dapat ditemukan proses
inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai fibrosis didaerah portal
yang lebih lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian menyebabkan
nekrosis dan fibrosis jembatan. Gambaran yang agak khas untuk infeksi HVC adalah agregat
limfosit dilobulus hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat HVC.
Gambaran histopathologi pada infeksi HVC kronik sangat berperan dalam menentukan
prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologi dapat dilakukan skoring untuk
inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi., evaluasi pasien
maupun komunikasi antar ahli patologi.
4.4 Gejala Klinis
Sering kali orang yang menderita hepatitis C tidak menunjukkan gejala walaupun
infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Gejala-gejala di bawah ini mungkin samar,
misalnya lelah, perasaan tidak enak pada perut kanan atas, hilang selera makan, sakit perut,
mual, muntah ,pemeriksaan fisik seperti normal atau menunjukan pembesaran hepar sedikit.
Beberapa pasien didapatkan spidernevi, atau eritema Palmaris. (Bell B, 2009)
Hasil laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT yang terjadi
pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara hepatitis
akut A dan hepatitis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 minggu setelah terkena
infeksi. (Sulaiman HA, Julitasari, 2004, hal 17)
Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita yang
dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan
hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada penderita
resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun dan penderita
dengan koinfeksi HBV (Hernomo K, 2003, hal. 22)
Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang menjadi penyakit
hati menahun. Infeksi HCV dinyatakan kronik kalau deteksi RNA HCV dalam darah menetap
sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B.
Gejala awal tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan ikterus dan kemudian
diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus. ( PPHI, 2003, hal 21)
Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat dibanding
infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup,
meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan komplikasi ekstra
hepatik. (Hernomo K, 2003, hal 20) Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi
gejala ekstrahepatik yang biasanya disebabkan respon imun seperti gejala rematoid,
keratoconjungtivitis sicca, lichen planus, glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia
esensial campuran. Krioglobulin telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien dengan
hepatitis C kronik (Mauss S, et al ,2009, p.45)
4.5 Diagnostik
Infeksi oleh HVC dapat diindentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk
tubuhterhadap HVC bila virus ini menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama
setelah terjadinya infeksi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat
menghulangkan infeksi HVC pada infeksi akut, namun antibodi terhadap HVC masih terus
bertahan bertahun-tahun (18-20 tahun).
Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan teknik enzym immuno assy (EIA). Antigen
yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini ialah antigen C-100 dan beberapa antigen non
struktural (NS 3,4 dan 5) sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari HVC. Antibodi
HVC dapat dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensitivitas mencapai 99% dan spesifisitas
lebih dari 90%. Teknik Polymerasi Chain Reaction (PCR) atau Transcription – Mediated
Amplification (TMA) sebagai test kualitatif untuk HCV RNA, sementara amplifikasi target
(PCR) dan teknik amplifikasi sinyal( Branched DNA) dapat dipakai untuk mengukur muatan
virus
Pendekatan paling baik untuk diagnosa hepatitis C adalah test HCV RNA yang
merupakan tes yang sensitive seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) atau Transcription
Mediated Amplification (TMA). Dengan adanya HCV RNA diserum menandakan infeksi
aktif. Test untuk HCV RNA adalah membantu pasien pasien yang dengan test EIA dengan
hasil anti HCV nya tidak dapat dipercaya, misalnya pasien dengan gangguan imun yang mana
hasil anti HCV nya negative, sebab mereka tidak cukup memproduksi antibody. Pasien-
pasien dengan akut hepatitis C, test anti HCV negative karena antibody baru muncul setelah
satu bulan fase akut.(Bell B, 2009)
Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif menggunakan
PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA yang dilakukan untuk
konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test kuantitatif dibagi dua yaitu: metode
dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik Reverse Transcription PCR.Test kuantitatif
ini berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada test kuantitatif ini pula dapat
diketahui derajat viremia. (Sulaiman HA, Julitasari,2004, hal 20)
Sesuai dengan rekomendasi konsensus penatalaksanaan HCV di Indonesia :
1. Pemeriksaan HCV RNA yang positif, dapat memastikan diagnosis
2. Bila HCV – RNA tidak dapat diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N, dengan anti HCV (+)
3. Pemeriksaan genotip tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif diperlukan pada anak dan dewasa untuk
penentuan pengobatan.
5. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya terapi.
6. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska terapi.
7. Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien genotip 1
dengan pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi dilanjutkan atau
dihentikan. (PPHI, 2003, hal 13)
Test faal hati rutin untuk skrining HCV kronik memiliki keterbatasan, karena sekitar
50% penderita yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase normal. Meskipun test
faal hatinya normal , penderita ini ternyata menunjukkan kelainan histology penyakit hati
berupa nekroinflamasi dengan atau tanpa sirosis. Pemantauan dengan menggunakan kadar
transaminase sifatnya terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar normal sampai
ke abnormal dengan perjalanan waktu (Hernomo K, 2003, hal 23).
Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai pengobatan anti virus dan tetap
merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mengetahui perkembangan penyakit hati. Biopsi
hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi kronik HCV. Dengan transaminase
abnormal yang direncanakan pengobatan antiviral, pemeriksaan histologi juga dibutuhkan
bila ada dugaan diagnosis penyakit hati akibat alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi
untuk penilaian fibrosis dan histologi. Biopsis hati memberikan informasi tentang kontribusi
besi, steatosis dan penyakit penyerta hati alkoholik terhadap perjalanan hepatitis C kronik
menuju sirosis. Informasi yang didapat pada biopsi hati memungkinkan pasien mengambil
keputusan tentang penundaan atau dimulainya pemberian terapi antivirus, karena mengingat
efek samping pengobatan. (PPHI, 2003, hal 14)
4.6 Penatalaksanaan
Pasien telah diketahui terkena infeksi HVC melalui biasanya tes antibodi HCV yang
positif. Indikasi terapi pada hepaitis C kronik apabila peningkatan nilai ALT lebih dari atas
batas normal (2x batas atas normal). Tetapi hal ini tidaklah mutlak karena berapa pun nilai
ALT bila sudah meningkat maka itu menandakan sudah terjadi fibrosis yang nyata bila
dilakukan biopsi. Nilai ALT yang didapat juga harus dikaji lagi, apakah nilainya meningkat
menetap atau fluktuasi. Jika nilai ALT yang flutuasi merupaka indikasi untuk melakukan
terapi, namun bila nilai ALT menetap maka perlu dilakukan biopsi hati agar lebih jelas
diketahui fibrosis yang telah terjadi.
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati atau dengan fibrosis ringan, mungkin terapi
tidak perlu dilakukan karena biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun
mengidap hepatitis C. Nilai fibrosis tingkat menengah atau tinggi sudah merupakan indikasi
untuk terapi.
Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan
ribavirin. Umunya disepakati bila genotipe 1 dan 4 maka dibutuhkan pengobatan selama 48
minggu. Dan bila genotipe 2 dan 3 cukup diberikan 24 minggu. Untuk interveron
konvensional diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan
setiap kali pemberian. Peg-Interferon diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/KgBB/kali
(untuk peg-interferon 12KD) atau 180 ug (untuk Peg-interferon 40 KD). Pemberian
interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien dengan berat badan <
50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000 mg setiap hari , dan >70 kg 1200 mg setiap hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon perlu dilakukan pemeriksaan RNA HVC secara
kualitatif untuk mengetahui apakah HVC resisten terhadap pengobatan dengan interferon.
Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan melakukan
pemeriksaan RNA HVC kualitatif. Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan
gejala-gejala menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya, depresi
dan gangguan emosi. Ribovlavin dapat menyebabkan penurunan Hb.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavlavin untuk eradikasi HVC lebih kurang
60 %. Pada hepatitis c akut, keberhasilan pengobatan interferon lebih baik dari pada pasien
hepatitis C kronis hingga mencapai 100% .
4.7 Pencegahan
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah
hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis C dengan cara jarum
suntik harus steril. Melakukan kehidupan sex yang aman. Bila memiliki pasangan yang lebih
dari satu atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri misalnya dengan
pemakaian kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan
gunting kuku. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang
dipakai steril. Orang yang terpapar darah dalam pekerjaannya [misalnya dokter, perawat,
perugas laboratorium] harus hati-hati agar tidak terpapar darah yang terkontaminasi, dengan
cara memakai sarung tangan, jika ada tetesan darah meskipun sedikit segera dibersihkan.
Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau RNA HCV
setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit hepatitis
C. Pernah sembuh dari salah satu penyakit hepatitis, tidak mencegah penularan penyakit
hepatitis lainnya. Dengan demikian dokter sangat merekomendasikan penderita hepatitis C
juga melakukan vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B.
5. Penutup
Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hati akut atau kronis yang paling berbahaya
dibandingkan dengan virus hepatitis lainnya. Mengingat bahwa virus hepatitis C ini dapat
menyebabkan kerusakan hati yang parah, sirosis dan kanker hati / hepatoma maka upaya
pencegahan merupakan hal yang sangat penting, melalui pendidikan untuk mengenal cara-
cara penularan yaitu menghindari pemakaian narkoba, penyuntikan yang aman, mencegah
perilaku seksual beresiko tinggi dan menghindari pemakaian alat-alat pribadi bersama.
Karena infeksi hepatitis C dapat menyebabkan kerusakan hati tanpa gejala, sangat
penting untuk melakukan pemeriksaan sedini mungkin. Penelitian menunjukkan pasien yang
diobati sebelum hatinya rusak secara signifikan memiliki respon yang lebih baik terhadap
pengobatan dibandingkan pada pasien yang menunda pengobatannya. Tujuan pengobatan
hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh sedini mungkin untuk mencegah
perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati.
Ada tiga macam obat yang digunakan dalam mengobati hepatitis C yaitu Interferon
Alfa, Pegylated Interferon Alfa, Ribavirin .pengobatan ini sudah diterima dalam
kemampuannya untuk melawan vir
Daftar Pustaka
Anonim. 2009. Power to beat HCV. http://www.medicastore.com. Diakses pada 25 Agustus 2014
Bals,M. 2006. Acut Hepatitis C Virus Infection. Romania.
Bell, B. 2009. Chronic Hepatitis C. http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/p.
diakses pada 25 Agustus 2014
Mauss. S. et al. 2009. Hepatology A Clinical Textbook. Germany.
Sacher,RA. Mc Pherson, RA. 2000. Widman’s Clinical Interpretation of laboratory Tests. Philadelphia: FA Davis Company.
Sudoyo,A., Setiyohardi,B.,Idrus,A.dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Pustaka: Jakarta
Sulaiman,HA. Julitasari. 2004. Selayang Pandang Hepatitis C. Jakarta
Toni. 2008. Deteksi Hepatitis C. Artikel Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. (elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/.../ DETEKSI %20 HEPATITIS %20C.pdf) Diakses pada 25 Agustus 2014
REFERAD
BLOK 26 Tropical dan Travel Medicine
Hepatitis C Pada Dewasa
Oleh:
Hajrini Andwiarmi Adfirama
04111001047
F A K U L T A S K E D O K T E R A N
UNIVERSITAS SRIWIJAYA