BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Nama : An. W
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 2 Tahun
Alamat : Panyaweuyan, Ciherang
Tanggal Masuk RS : 21 Juni 2012
Bangsal : Samolo 3
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan ibu pasien di bangsal Samolo 3
pada tanggal 21 Juni 2012.
- Keluhan Utama : Kejang
- Keluhan Tambahan : Demam (+), batuk (+), muntah (+)
- Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan kejang 1 hari sebelum masuk RS.
Kejang terjadi sebanyak 1 kali, kejang berlangsung selama ± 30 menit, kejang pada
seluruh tubuh, mata mendelik ke atas, disertai dengan lengan dan kedua tungkai kaku.
Selama kejang pasien tidak sadar. Setelah kejang pasien lalu tertidur. Keluhan kejang
didahului oleh panas badan sejak 1 hari sebelum masuk RS, panas dirasakan
mendadak tinggi dan terus menerus. Keluhan disertai dengan muntah 1 hari sebelum
masuk rumah sakit sebanyak 1 kali, ± ¼ gelas belimbing berisi makanan. Pasien juga
mengeluh batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk mendahului demam..
Batuk tidak disertai dahak. Keluhan tidak disertai dengan mencret, sesak, maupun
penurunan kesadaran. Gejala mimisan atau gusi berdarah disangkal. Dirumah tidak
ada yang menderita demam berdarah dan tidak ada penyemprotan pada hari – hari
terakhir. Buang air kecil tidak ada kelainan
- Riwayat penyakit dahulu :
Sebelumnya pasien belum pernah kejang baik dengan atau tanpa demam.
1
Riwayat asma disangkal.
Riwayat batuk lama disangkal.
Riwayat trauma disangkal
- Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat epilepsi atau kejang di keluarga disangkal
Riwayat alergi di keluarga disangkal
Riwayat asma di keluarga disangkal
Riwayat TBC di keluarga disangkal.
- Riwayat pengobatan
Pasien belum pernah menkonsumsi obat selama menderita gejala ini
- Riwayat Alergi
Alergi obat disangkal.
Alergi makanan disangkal
Alergi udara disangkal
- Riwayat kehamilan :
Pasien merupakan anak kedua, selama hamil ibu pasien sering memeriksakan
kehamilan ke bidan. Selama hamil ibu tidak menderita hipertensi, diabetes melitus,
eklamsia, atau penyakit berat lainnya.
- Riwayat Kelahiran :
An. W lahir cukup bulan ( 9 bulan) ditolong oleh bidan. Pasien merupakan anak
kedua. Pasien lahir spontan dan langsung menangis. Berat lahir 3500 gr, panjang
badan ibu lupa dan lingkar kepala ibu tidak tahu. Warna air ketuban ibu juga tidak
tahu. Diakui ibu tidak terdapat penyulit saat persalinan.
- Riwayat pemberian makanan :
Pasien diberikan ASI dari lahir sampai usia 1.5 tahun, lalu pasien diberikan susu
formula sampai sekarang. Cara pembuatan susu formula dengan cara memasukkan
susu dulu baru kemudian dituangkan air panas. Sebelum membuat susu, botol susu
direbus terlebih dahulu. Setiap selesai menggunakan botol susu, botol susu dicuci.
2
Pada umur 6 bulan, pasien diberi makan bubur nestle. Sekarang pasien menkonsumsi
bubur nasi dan susu formula. Cara pembuatan makanan dengan cara dimasak sendri
oleh ibu pasien. Sumber air dirumah dari air sumur
Kesan : pemberian makanan sesuai dengan usia.
- Riwayat perkembangan
Motorik kasar :
Usia 3 bulan sudah bisa mengangkat kepala
Usia 7 bulan sudah bisa merangkak
Usia 10 bulan sudah bisa duduk bangun sendiri
Usia 18 bulan sudah bisa berjalan sendiri
Usia 24 bulan sudah bisa berlari
Motorik halus :
Usia 6 bulan sudah bisa menggapai benda
Bahasa :
Usia 9 bulan sudah bisa mengucapkan suara konsonan yang berulang
(ma-ma, pa-pa)
Usia 24 bulan sudah bisa berbicara beberapa kata
Sosial :
Usia 12 bulan berespon terhadap suara ma-ma dan memainkan
permainan cilukba.
Usia 24 bulan sudah bisa diajak ngobrol
Kesan : perkembangan sesuai usia
- Riwayat imunisasi :
BCG 1x, hepatitis 3x, polio 4x, DPT 4x, campak 1x.
Kesan : Sesuai usia imunisasi lengkap sesuai usia.
PEMERIKSAAN FISIK
3
• Keadaan Umum : Tampak rewel, kejang (-)
• Kesadaran : Composmentis
Status Antropometri
• Panjang Badan : 88 cm
• Berat Badan : 12 kg
• BB/U = ± 2 SD (normal)
• TB/U = ± 2 SD (normal)
• BB/TB = ± 2 SD (normal)
Kesan: Status gizi baik
(status gizi menurut WHO Child Growth Standards)
Tanda Vital
• Suhu : 36.7 oC
• Nadi : 90 x/menit
• Pernapasan : 24x/menit
Status Generalis
Kepala
• Bentuk : Normocephal.
• Mata : Kelopak mata cekung (-), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, strabismus (-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor ± 3 mm
• Hidung : Bentuk normal, simetris, sekret (-), epistaksis (-) , pernapasan cuping
hidung (-)
• Telinga : Sekret (-)
• Mulut : Peri Oral Cyanotic (-)
Leher
• Pembesaran KGB (-)
• Retraksi suprasternal (-)
• Tonsil T1 T1 tenang
• Faring hiperemis (-)
Thoraks
4
• Pulmo
• Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris, tidak ada bekas
luka, retraksi intercosta (-)
• Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri
• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan
• Auskultasi : Suara nafas vesikuler diseluruh lapang paru kiri-kanan.
Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
• Cor
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 linea midklavikula sinistra.
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Supel, datar, retraksi epigastrium (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
• Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Ekstremitas :
• Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
• Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Brudzinky I : (-)
Brudzinky II : (-)
Kernig : (-)
Saraf Cranial
N III, IV, VI : pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), gerakan bola mata
simetris.
N VII : wajah meringis saat diberi rangsang nyeri
Fungsi motorik : 5 5
5
5 5
Fungsi sensorik
Rangsang nyeri (+)
Pemeriksaan Reflex Fisiologis
Reflex Babinsky : (-)
Reflex Chadok : (-)
Reflex Oppenheim : (-)
Reflex Hoffman Trommer : (-)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 12.8 103 µ/L 6.0 – 15.0
Hemoglobin 11.1 gr/dl 10.5 – 13.5
Hematokrit 34.3 gr% 30.0 – 40.0
Trombosit 193 ribu/ µL 150 - 450
Elektrolit :
- Na : 141.2 mEq/L
- K : 3.96 mEq/L
- Ca : 1.06 mEq/L
GDS : 102 mg%
Follow Up
22 juni 2012 S = kejang (-), batuk (+), IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10
6
dahak (-), muntah (+) 3x,
susah makan
O = KU : CM
HR : 89x/menit
RR : 23x/menit
Suhu : 36.6
A = kejang demam
kompleks
Tetes/menit
Diazepam 6 mg iv (jika
kejang)
Fenitoin loading dose 200mg
iv
Rumatan 2x30 mg iv
Cefotaxime 2 x 600 mg iv
Propyretic supp 160 mg
Puyer batuk 3 x 1 bungkus
23 juni 2012 S = kejang (-), batuk (+),
dahak (-), muntah (-), susah
makan
O = KU : CM
HR : 90x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 37.1
A = kejang demam
kompleks
IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10
Tetes/menit
Diazepam 6 mg iv (jika
kejang)
Rumatan 2x30 mg iv
Cefotaxime 2 x 600 mg iv
Propyretic supp 160 mg
Puyer batuk 3 x 1 bungkus
25 juni 2012 S = kejang (-), batuk (+),
dahak (-), muntah (-)
O = KU : CM
HR : 89x/menit
RR : 23x/menit
Suhu : 36.7
A = kejang demam
kompleks
IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10
Tetes/menit
Diazepam 6 mg iv (jika
kejang)
Rumatan 2x30 mg iv
Cefotaxime 2 x 600 mg iv
Propyretic supp 160 mg
Puyer batuk 3 x 1 bungkus
RESUME:
7
An. W usia 2 tahun datang dengan keluhan kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang
sebanyak 1 kali, selama 15 menit. Saat kejang pasien tidak sadar, mata mendelik ke atas,
tangan dan kaki kaku. Setelah kejang pasien sadar lalu tertidur. Kejang didahului oleh demam
dan batuk. Muntah 1 kali sebanyak ¼ gelas belimbing berisi makanan. Pemeriksaan fisik
dalam batas normal, dan tidak didapatkan tanda kelainan neurologis.
Diagnosa
Kejang demam kompleks
Rencana penatalaksanaan:
IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10 Tetes/menit
Diazepam 6 mg iv (jika kejang)
Cefotaxime 2 x 600 mg iv
Propyretic supp 160 mg
Puyer batuk 3 x 1 bungkus
Prognosis
• Quo ad vitam : bonam
• Quo ad Functionam : bonam
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Anak usia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun yang mengalami kejang
dengan demam, dapat dipikirkan kemungkinan infeksi sistim saraf pusat (SSP) atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.
Definisi ini menyingkirkan diagnosa kejang pada penyakit saraf lainnya
seperti meningitis, ensefalitis, atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis yang berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistim susunan saraf pusat. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang yang berulang tanpa disertai demam.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus
statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau
anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi
berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam
harus dibedakan dengan epilepsi,yaitu yang ditandai denagn kejang berulang tanpa
demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu Livingston membagi kejang demam
menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan
epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever).
Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari
percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya bangkitan kejang.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta
cepatnya suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor
hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa
kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan
9
dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2%
anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal
hanya 3%.
2. Klasifikasi Kejang Demam
Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu kejang
demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh
demam (epilepsy triggered off by fever). Namun definisi ini tidak lagi digunakan
karena suatu studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko
berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang
diperkirakan.
Sekarang ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks.
- Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) adalah kejang yang
berlangsung kurang dari 15 menit, gerakan umum (tonik, klonik, tonik-klonik,
atau tanpa gerakan fokal), serta bersifat tunggal (tidak berulang dalam waktu 24
jam).
- kejang demam kompleks (complex febrile convulsion) adalah kejang yang
berlangsung lebih dari 15 menit, gerakan fokal, dan bersifat berulang (dapat lebih
dari 2 kali dalam waktu 24 jam).
3. Factor Resiko
- Faktor risiko kejang demam pertama
Studi telah memperlihatkan bahwa tingginya temperature merupakan
faktor risiko untuk terjadiya kejang demam, seperti halnya riwayat kejang demam
pada orangtua atau saudara kandung. Perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, dan anak yang dalam perawatan khusus juga merupakan faktor
risiko. Rendahnya kadar natrium serum juga mempunyai korelasi dengan kejadian
kejang demam.
Bila seseorang anak mempunyai 2 atau lebih dari faktor diatas, maka risiko
untuk mendapatkan kejang demam kira-kira 30%. Setelah kejang demam pertama,
kira-kira 33 anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira
9 anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada
10
usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature
yang sangat rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat
keluarga epilepsi.
- Faktor risiko kejang demam berulang
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu
kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau
lebih. Makin muda usia anak ketika kejang demam pertama, makin besar
kemungkinan rekurensinya. 50% rekurensi terjadi dalam 6 bulan pertama, 75%
berulang pada tahun pertama, dan 90% rekurensi terjadi pada tahun kedua. 6,7
Risiko rekurensi juga berhubungan dengan cepatnya anak mendapat kejang
setelah demam timbul, dan rendahnya temperatur. Riwayat keluarga dengan
kejang demam juga merupakan faktor risiko. Usia dini saat kejang demam dan
riwayat kejang dalam keluarga merupakan factor risiko yang kuat untuk timbulnya
rekurensi. Rekurensi lebih sering bila serangan pertama pada bayi berumur kurang
dari 1 tahun.
- Faktor risiko menjadi epilepsi
Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasus epilepsi didahului kejang
demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian
epilepsi. Kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi
epilepsi.Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik klonik umum, dan parsial
kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. National
Institute of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal Collaborative
Projecy (NCPP) melaporkan tingginya risiko epilepsi adalah diantara anak-anak
dengan perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat
orangtua atau saudara kandung dengan epilepsi, dan anak dengan kejang demam
kompleks.
- Faktor genetik
11
Faktor genetic tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya
belum jelas, tetapi diduga adalah dengan cara autosomal dominan sederhana.
Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui
cara menurunkannya. Pada anak dengan kejang demam sering dijumpai
keluarganya mempunyai riwayat kejang demam. Dua puluh sampai 25% penderita
kejang demam mempunyai keluarga dekat (orang-tua dan saudara kandung) yang
juga pernah menderita kejang demam. Tsuboi mendapatkan bahwa insiden kejang
demam pada orang tua penderita kejang demam ialah 17% dan pada saudara
kandungnya 22%. Delapan-puluh persen dari kembar monosigot dengan kejang
demam adalah konkordans untuk kejang demam. Kebanyakan peneliti mendapat
kesan bahwa kejang demam diturunkan secara dominan dengan penetrasi yang
mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau melalui modus poligenik. Pada
penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat
kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara
pernah pula mengalami KD, kemungkinan ini meningkat menjadi 50% .
Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat
keluarga pada 231 penderita KD Dari mereka ini 60 penderita merupakan anak
tunggal waktu diperiksa. Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu
atau lebih saudara kandung - 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih
saudara kandung yang pemah mengalami kejang yang disertai demam. Jumlah
seluruh saudara kandung dari 221 penderita ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%)
di antaranya pernah mengalami kejang yang disertai demam.
4. Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:
- Demamnya sendiri
- Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
- Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
- Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
- Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui
atau ensefalopati toksik sepintas
12
- Gabungan semua faktor diatas
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi
pertusis (DPT) dan morbili (campak).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66 (22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya.
Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada pendenta
yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-
faringitis dan otrtis media akut. (lihat tabel).
Penyebab demam pada 297 penderita KD
Penyebab demam Jumlah penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis
Otitis media akut (radang liang telinga tengah)
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)
Enteritis/gaastroenteritis disertai dehidrasi
Bronkitis (radang saiuran nafas)
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)
Morbili (campak)
Varisela (cacar air)
Dengue (demam berdarah)
Tidak diketahui
100
91
22
44
17
38
12
1
1
66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada infeksi
lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman Shigella mengaiami
13
KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian
KD hanya sekitar 1%,
5. Patofisiologi
Demam mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling
umum diketahui. Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh sebagai akibat
dari infeksi atau peradangan. Sebagai respons terhadap invasi mikroba, sef-sel
darah putih tertentu mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
endogen, yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi dan juga bekerja
pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat.
Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan
bukan di suhu tubuh normal. Jika, sebagai contoh, pirogen endogen
meningkatkan titik patokan menjadi 38,9°C (102°F; seperti catatan suhu per
oral), hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37°C (98,6°F)
terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respons-dingin
untuk meningkatkan suhu menjadi 38,9°C. Menggigil ditimbulkan agar dengan
cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga
berlangsung untuk dengancepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme
tersebut mendorong suhu naik. Mekanisme-mekanisme tersebut menyebabkan
timbulnya rasa dingin menggigil yang mendadak pada permulaan demam. Karena
merasa kedinginan, orang yang bersangkutan mungkin memakai selimut sebagai
mekanisme volunter untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan
mengkonservasi panas. Setelah suhu baru tercapai, suhu tubuh diatur seperti pada
keadaan normal sebagai respons terhadap pajanan dingin atau panas, tetapi dengan
patokan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respons terhadap infeksi
adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme
termoregulasi. Walaupun makna fisiologis dari demam masih belum jelas, banyak
pakar medis ber-pendapat bahwa peningkatan suhu tubuh bersifat menguntungkan
untuk melawan infeksi. Demam memperkuat respons peradangan dan mungkin
mengganggu multiplikasi bakteri
Prichard dan Mc Greal mengemukakan pendapat bahwa anoksia relative
(keadaan kekurangan oksigen) yang terjadi sewaktu demam mungkin merupakan
14
penyebab daripada kejang. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 – 15 dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65%
dari seluruh tubuh, dibanding orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan daripada membran sel
neuron dan dalam waktu yang sangat singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
ion natrium melalui membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Meskipun mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada
beberapa faktor fisiologi yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai
kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge
yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang
akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glutamaterik. Bukti baru-baru ini
menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam amino (glulamal, aspartat) dapat
memainkan peran dalam menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada reseptor
sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan
bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru
yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis (termasuk
glioma tumbuh lambat, hematoma, dll) menyebabkan kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 38C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya
kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
pengulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang. Ej Radhi dkk
198925 mengemukakan banwa anak yana sudah mengalami kejang demam pada
demam yanq lebih rendah lebih besar kemungkinannya mengalami kambuh dibanding
dengan yang kejang pada demam yang lebih tinggi. Mungkin ada semacam ambang
suhu untuk KD.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15
15 menit) bisanya disertai terjadinya apnoe, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobic, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat.
6. Manisfestasi klinis
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering diperkirakan bahwa
cepatnya peningkatan temperatur merupakan pencetus untuk terjadinya kejang,
meskipun belum ada data yang menunjangnya. Umumnya serangan kejang tonik
klonik awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekauan
otot. Selama fase tonik mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian
diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya setelah kejang letargi atau tidur.
Gejala klinis lain yang timbul adalah mata terbalik ke atas dengan disertai
kekauan atau kelemahan otot, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan,
atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Serangan dalam bentuk absens atau
mioklonik sangat jarang. Sebagian kejang berlangsung kurang dari 5 menit, sebanyak
8% kejang berlangsung lebih dari 15 menit, dan sebanyak 4% kejang berlangsung
lebih dari 30 menit. Bila anak kejang, perlu diidentifikasi apakah ada penyakit lain
yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu juga diketahui mengenai pengobatan
sebelumnya, ada tidaknya trauma, perkembangan psikomotor, dan riwayat keluarga
dengan epilepsi atau kejang demam.
Deskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya didapat dari orang yang
melihatnya. Dari pemeriksaan fisik tentukan derajat kesadaran, adanya meningismus,
fontanela anterior yang tegang atau membonjol, Kernig atau Brudzinski sign,
kekuatan dan tonus otot harus diperiksa dengan teliti dan dievaluasi secara periodik.
Penyebab lain dari kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
ensefalitis atau meningitis. Untuk menyingkirkan hal tersebut maka diperlukan
adanya pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
kejang demam antara lain:
16
- Pemeriksaan laboratorium darah; pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. Biasanya
hanya untuk mengevaluasi sumber infeksi dari demam seperti adanya
gastroenteritis karena Shigella, obat-obatan tertentu seperti difenhidramin,
antidepressant trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
- Pungsi lumbal; indikasi dilakukan apabila ada kecurigaan klinis meningitis. Tanda
klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit didapatkan pada bayi yang kurang
dari 12 bulan, sehingga pemeriksaan pungsi lumbal pada bayi usia kurang dari 12
bulan yang dicurigai meningitis ini sangat dianjurkan. Pada bayi usia 12-18 bulan
dianjurkan, sedangkan untuk bayi usia lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan
terlebih jika gejala klinis meningitis sudah sangat terlihat.
- Pencitraan (CT scan atau MRI); diindikasikan pada keadaan adanya riwayat dan
tanda klinis trauma kepala, kemungkinan adanya lesi struktural di otak, adanya
tanda peningkatan TIK (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanela anterior
menonjol, paresis N.VI, papiledema).
- Elektroensefalografi (EEG); alat ini tidak memperlihatkan kegunaan dalam
mengevaluasi kejang demam. EEG yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang
demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan di posterior. 95% kasus
kejang demam menunjukkan gambaran EEG abnormal bila dikerjakan segera
setelah kejang demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan gambaran
perlambatan di posterior dan akan menghilang 7-10 hari kemudian.4 Walaupun
ada abnormalitas gambaran EEG yang tinggi pada pasien anak dengan kejang
demam, namun EEG tidak dapat memprediksi rekurensi terjadinya kejang demam
ataupun risiko untuk terjadinya epilepsi di kemudian hari. 2,5,6
7. Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang
telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf
Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
- Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
- Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit
- Kejang bersifat umum
- Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
17
- Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
- Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
- Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak
didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi
perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada
kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak
(ensefalitis). Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai prognostic, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang dikemudian hari. Saat
ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan keseimbangan
cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan
elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari
penyebab timbulnya demam
Untuk mendiagnosa kejang demam dilakukan anamnesis. Sewaktu melakukan
anamnesis harus ditanyakan : (NINDS, 2011)
Biodata / identitas anak dan orang tua atau pendamping
Riwayat penyakit (kejang disertai demam, jarak antara timbulnya kejang dengan
demam, lama serangan, pola serangan untuk mengetahui jenis kejang atau spasme
infantile, frekuensi serangan, awal terjadinya serangan, keadaan sebelum serangan
dan sesudah serangan.
Riwayat penyakit yang disertai misalnya muntah, diare dan lain-lain
Riwayat penyakit terdahulu (apakah pernah kejang)
Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat imunisasi
18
Riwayat perkembangan anak
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat sosial (siapa yang mengasuhnya)
Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan (gaya hidup, nutrisi, eliminasi seperti BAK
dan BAB, aktivitas dan lain-lain
Dilakukan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan rangsangan meningeal,
refleks fisiologis dan patologis serta saraf kranialis untuk menyingkirkan penyebab
kejang yang lain. (Campfield P, 2000) Sebagai pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan pemeriksan darah, lumbal punksi, elektroensefalogram, dan Magnetic
Resonance Image atau Computed Topography Scan. (NINDS, 2011) Pada
pemeriksaan darah dinilai glukosa darah karena hipoglikemia merupakan salah satu
faktor penyebab kejang. Peningkatan blood urea nitrogen (BUN) mempunyai potensi
kejang dan merupakan indikasi nefrotoksik akibat dari pemberian obat. Pemeriksaan
elektrolit juga penting untuk melihat sekiranya terdapat ketidakseimbangan elektrolit.
(Campfield P, 2000)
Pungsi lumbal pada bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
pungsi lumbal. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal.
Bayi lebih dari 18: pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin. Pungsi lumbal
dilakukan bila secara klinis dicurigari mengalami meningitis atau bila ada keragu-
raguan dianjurkan pada umur 12 hingga 18 bulan serta kepada yang dicurigai
meningitis. Hasil EEG biasanya normal. CT scan pula hanya dikerjakan sekiranya
terdapat indikasi seperti dicurigai adanya lesi intrakranial. (Tejani NR, 2010)
Pemeriksaan neurologis pada anak meliputi :
Nervus Cranial
Nervus Cranial Uji yang dilakukan
Saraf I (Olfaktorius) Uji penciuman (sensasi bau) dengan menguji pada setiap
lubang hidung secara terpisah dan mata tertutup
menggunakan bahan uji yang baunya tidak merangsang dan
dikenal oleh pasien, dapat dilakukan pada anak yang berumur
19
lebih dari 5-6 tahun.
Saraf II (Optikus) Uji ketajaman penglihatan, perimetri, dan pemeriksaan
fundus (funduskopi).
Saraf III, IV, VI
(Okulomotorius,
Troklearis, dan
abdusen)
Uji gerakan kedua mata, uji akomodasi dan refleks cahaya.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan mainan yang
digayangkan ke samping, diagonal ke atas dan ke bawah di
garis tengah, kemudian mendekat dan menjauh.
Saraf V (Trigeminus) Uji perasaan (sensori) dengan mengusapkan kapas,
menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau dingin di
daerah wajah kuadran atas, tengah atau bawah. Refleks
kornea dengan menyentuhkan kapas bersih pada kornea
mata. Refleks rahang dengan mengetuk bagian tengah dagu.
Saraf VII (Fasialis) Uji saraf fasialis yaitu dengan menyuruh pasien tersenyum,
meringis, bersiul, membuka dan memejamkan mata, serta
refleks kornea dan uji pengecap.
Saraf VIII
(Akustikus)
Uji pendengaran, yaitu melihat reaksi pasien terhadap suara.
Uji keseimbangan, pada bayi dapat dilakukan dengan
memegang pasien vertikal berhadapan dengan pemeriksa
kemudian diputar beberapa kali searah jarum jam dan
berlawanan arah jarum jam, selain itu dapat dilakukan uji
kalorik pada kedua telinga secara bergantian (uji kalorik
tidak boleh dilakukan pada pasien dengan perforasi membran
timpani dan telinga dengan sumbatan serumen).
Saraf IX
(Glosofaringeus)
Saraf ini diuji dengan mengamati respons tercekik terhadap
rangsang taktil dinding faring posterior.
Saraf X (Vagus) Gangguan saraf otak ini dapat berupa gangguan motor,
sensori dan vegetatif.
Saraf XI (Aksesorius) Uji kemampuan untuk mengangkat bahu dan memutar kepala
melawan tahanan pemeriksa.
20
Saraf XII
(Hipoglosus)
Uji untuk menilai kekuatan lidah dengan menyuruh pasien
menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri
melawan tahanan jari pemeriksa.
Sistem Motor
Sebelum melakukan pemeriksaan formal perhatikan posturnya pada waktu berdiri,
perhatikan jalannya, larinya, pada waktu bermain pasien disuruh mengambil bola.
Dari pengamatan ini dapat diambil kesimpulan keadaaan motornya. Evaluasi sistem
motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal, dan biasanya cukup
pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan otot hanya
dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan
kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif hanya dapat dinilai kesan
keseluruhan saja. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan tungkai bawah
tergantung. Ia diminta untuk menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa
menahan gerakan-gerakannya (kekuatan kinetik), dan setelah itu disuruh menahan
anggota badan yang diuji tetap di tempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-
gerakan yang dilakukan pemeriksa (kekuatan statik). Penilaian derajat kekuatan otot
ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai 100% sampai 0%, ada yang
menggunakan huruf, ada yang menilai dengan angka 5 sampai 0.
21
Penilaian dengan Huruf Penilaian dengan Angka
N = NORMAL 5: Normal
G = GOOD 4: Dapat menggerakkan sendi dengan
aktif untuk menahan berat dan melawan
tahanan secara simultan
F = FAIR 3: Dapat menggerakkan anggota gerak
untuk menahan berat, tetapi tidak dapat
menggerakkan anggota badan untuk
melawan tahanan pemeriksa
P = POOR 2: Dapat menggerakkan anggota gerak,
tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak
dapat melawan tahanan pemeriksa.
T = TRACE 1: Terlihat atau teraba ada getaran
kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
anggota gerak sama sekali.
O = ZERO 0: Paralisis, tidak ada kontraksi otot sama
sekali
Pemeriksaan Sensori
Pemeriksaan sensori yang tepat sangat sukar dilakukan pada anak, dan pada bayi atau
toddler hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Pada anak yang berumur 6 tahun ke
atas baru dapat dilakukan uji sensibilitas yang sebenarnya. Sebelum dilakukan
pemeriksaan yang sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu cara yang akan dikerjakan
kepada pasien.
Uji sentuhan: sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa
dan anak disuruh menjawab apakah terasa sentuhan.
Uji rasa nyeri: pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum yang tajam
dan tumpul. Dilakukan dulu dengan mata terbuka, anak diminta membedakan
22
ujung jarum tajam dan tumpul. Setelah itu anak disuruh menutup mata,
kemudian uji dilakukan di kulit tangan, kaki, pipi, rahang.
Uji rasa vibrasi: uji dilakukan dengan garpu tala yang bergetar yang
ditempelkan pada sendi jari, ibu jari kaki, serta maleolus lateral dan medial.
Pasien boleh membuka mata, tetapi tidak boleh melihat, kemudian ditanyakan
apakah terasa ada getaran
Uji posisi: sambil menutup mata, anak disuruh mengatakan apakah jari
tangana/kakinya digerakkan ke atas atau ke bawah.
Uji stereognosis: dengan mata tertutup pasien diminta menebak benda yang
sudah dikenal dengan diletakkan di tangannya.
Uji grafestesia: setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian
pasien disuruh menutup mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol
yang dikenal pasien di telapak tangan atau lengan bawah pasien, dan pasien
diminta menebaknya.
Pemeriksaan Refleks
1. Refleks superfisial: refleks dinding abdomen diperiksa dengan menggores
kulit abdomen dengan 4 goresan yang membentuk segi empat (belah ketupat)
dengan titik-titik sudut dibawah xifoid, di atas simpisis dan kanan kiri
umbilikus. Umbilikus akan bergerak pada tiap goresan. Pada bayi kurang dari
1 tahun refleks ini belum ada; pada anak dengan poliomielitis atau anak
dengan lesi sentral atau piramidal refleks ini negatif. Refleks kremaster
diperiksa dengan menggores kulit paha bagian dalam. Dalam keadaan normal
testis akan naik di dalam kanalis inguinalis.
2. Refleks tendon dalam: diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela dan
achilles. Pada refleks biseps akan terjadi fleksi sendi siku bila tendon biseps
diketuk; pada refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon triseps
diketuk; pada refleks patela akan terjadi ekstensi sendi lutut; pada refleks
achilles akan terjadi fleksi plantar kaki.
3. Refleks patologis: refleks Babinski (normal pada bayi sampai umur 18 bulan)
dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki, refleks Oppenheim
dengan menekan tulang kering dengan jari-jari dan digeser ke arah bawah,
refleks Chaddok dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, refleks
Gordon dilakuakn dengan memencet betis, refleks Hoffman dilakukan dengan
menyentil kuku (falang terakhir) jari kedua atau ketiga pasien ke bawah.
23
4. Tanda Chvostek (tanda tetani): dilakukan pengetukan di depan telinga dengan
jari atau pengetuk refleks. Tes tersebut positif apabila terdapat kontraksi
sebagian atau seluruh otot yang dipersarafi oleh N. Fasialis ipsilateral.
5. Tanda rangsang meningeal:
Tanda Brudzinski I (Brudzinski’s Neck Sign): satu tangan pemeriksa
diletakkan di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di dada pasien untuk
mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien di fleksikan ke
dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat rangsang meningeal maka
kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
Tanda Brudzinski II (Brudzinski’s Contralateral Leg Sign): fleksi tungkai
pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya
pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan lebih jelas apabila pada waktu
fleksi panggul, sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi.
Tanda Kernig: pasien dalam posisi terlentang dilakukan fleksi tungkai atas
tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut,
pada keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135R
terhadap tungkai atas.
DIAGNOSIS BANDING
- Epilepsi
- Meningitis
- Ensefalitis
8. Penatalaksanaan
Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta, dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu, tindakan
awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat.
Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara
gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah
lidahnya tergigit. Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah
atau jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan
mencoba menahan gerakan anak. Turunkan demam dengan membuka baju dan
menyeka anak dengan air sedikit
24
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:
Pengobatan fase akut
Mencari dan mengobati penyebab
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin.
Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan
fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik. Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan
utama pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu
pemberian obat – obatan antipiretik sanagt diperlukan. Obat – obat yang dapat
digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6
jam atau ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek
terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek
toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis
tidak melebihi 50 mg persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan
intrarectal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2
mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam
habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum
dicabut. Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali
menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah
dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981).
Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan
rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke
rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan
selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan
kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg
(BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang
5 menit kemudian, bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20
25
mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian
fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat
basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital yang
langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan – 1 tahun
50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4 jam kemudian
diberikan fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara
suntikan dan setelah membaik peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak
boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan
kesadaran, dan depresi pernafasan.
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus
yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila
kejang demam berlangsung lama.
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:
Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari,
penderita yang menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara
oral untuk profilaksis intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat juga diberikan secara
intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap
pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5C. Efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk, iritabel, dan hipotonia. Obat antipiretik sering dianjurkan
26
meskipun tidak terbukti dapat mengurangi risiko rekurensi, tetapi efektif
menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi tenang. 7
Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis
terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak
tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Kontroversi
masih terus berlanjut mengenai pemberian profilaksis terus menerus pada anak
dengan kejang demam. Mengingat sebagian besar penderita kejang demam
mempunyai prognosis baik dan sangat rendahnya komplikasi yang diakibatkan
oleh kejang demam serta pertimbangan akan efektifitas dan efek samping obat
antikonvulsan, maka pemberian profilaksis terus menerus hanya diberikan
secara individual atau pada kasus tertentu saja. 1,2 American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk tidak memberikan profilaksis
terus menerus pada kejang demam sederhana atau yang berulang tanpa faktor
risiko.
Obat profilaksis terus menerus yang biasa diberikan adalah
fenobarbital 3-5 mg/kgBB.hari, tetapi obat ini tidak efektif untuk profilaksis
intermiten. Obat lain yang digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah
asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan fenobarbital.
Dosis asam valproat yang diberikan adalah 15-40 mg/kgBB/hari. Fenitoin dan
karbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria
(termasuk poin 1 atau 2) yaitu:
Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis
atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi
mental).
Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
27
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan
jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam
dengan diazepam oral alau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik
9. Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik
dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal
(1973) mendapatkan:
Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50%
dan pria 33%.
Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.
28
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian,
misalnya Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan
Living-ston (1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9%
yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
temyata 97% yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor:
Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian
hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam
hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada
penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project di
Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca kejang demam diikuti
perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai akibat
kejang demam. Anak dengan kejang demam ini lalu dibandingkan dengan
saudara kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan menggunakan WISC.
Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat kejang
demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya (kontrol). Anak
yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau dicurigai menunjukkan
gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada saudara
kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative Perinatal Project ini
hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The National Child
Development-Study* Didapatkan bahwa anak yang pernah mengaiami KD kinerjanya
tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun. Pada
penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ waktu diperiksa
pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang tanpa kejang
demam.
29