Upload
abu-hafshoh-abdulah
View
340
Download
40
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Buku ini berisi kumpulan tulisan asatidz ahlus sunnah, yang kami susun untuk mengkoreksi berbagai tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dilengkapi juga penjelasan aqidah ahlus sunnah wal jama'ah menurut para ulama salafush shalih, seperti Ibnu Hatim dan Imam Ahmad rahimahumallahu
Citation preview
KOREKSI BUKU I’TIQAD AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH KARYA KH. SIRAJUDDIN ABBAS
Bersikap Objektif terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Disertai Penjelasan Shahih Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Menurut Manhaj Salafush Shalih
PUSTAKA ASY-SYAUKANI
Jl. Raya Jalupang-Kalijati
Web: Yufid.com
manhaj.or.id muslim.or.id
abuljauza-blogspot.com dsb.
Disusun:
Abdullah Abu Hafshoh
Kumpulan Makalah Koleksi untuk Pribadi
Dari tulisan Asatidz:
Abdul Hakim bin Amir Abdat
Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas
Abu Ubaidah al-Atsari
Abul Jauza
Lampiran:
Kitab Ushulus Sunnah Wa I’tiqaduddin karya Imam Abi Hatim Rahimahullah
Kitab Ushulus Sunnah Karya Imam Ahmad al-Hambali
1 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
JAWABAN ATAS TUDUHAN-TUDUHAN KH. SIROJUDDIN ABBAS
KEPADA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH RAHIMAHULLAH
Bismillahirrahmanirrahim
Muqaddimah:
Syaikh Masyhur bin Hasan Salman-hafizhahullah- mengatakan: “Para pencela Syaikhul Islam
lbnu Taimiyyah sangat banyak sekali. Nenek moyang mereka sangatlah populer bagi orang
yang mau membaca kitab-kitab para ulama kita. Dan bibit merekapun telah berkembang di
sekitar kita sekarang ini. Mereka tidak membicarakan selain celaan kepada Ibnu Taimiyyah
beserta orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan para sahabat, tabiin serta orang-
orang yang berjalan di atas petunjuk mereka.
Sesungguhnya penyebab permusuhan yang mereka lancarkan hanyalah karena aqidah yang
shahih. Yaitu, ketika mereka tidak sanggup berhadapan langsung dengan al-haq, merekapun
mengganggap bahwa dengan mencela tokoh-tokoh pembela kebenaran lebih mudah untuk
melunturkan al-haq itu sendiri.
Hal tersebut telah mereka lakukan dengan berbagai cara di setiap tempat dan kesempatan
baik melalui pernyebaran kitab, tulisan, kedustaan maupun tuduhan” [Kutub hadzara Minha
Ulama’ 1/229-230, Daar As–Suma’i cet. I th. 1415H]
Kami Katakan:
Salah satu contoh buku yang berisi tuduhan dan celaan terhadap syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah adalah buku “Aqidab Ahlus Sunnah Wal Jamaah” karya KH Sirajuddin Abbas.
2 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
BERIKUT BEBERAPA TUDUHAN KH. SIRAJUDDIN ABBAS TERHADAP SYAIKHUL ISLAM IBNU
TAIMIYYAH-RAHIMAHULLAH- DI DALAM BUKU BELIAU I’TIQAD AHLUS SUNNAH WAL
JAMA’AH:
Hal 270 : “Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas arsy serupa dengan
duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri, faham ini beberapa kali diulanginya di atas mimbar
masjid Bani Umayah di Damsyik Syiria dan di Mesir”
Hal 270 : “Jadi Ibnu Taimiyyah boleh digolongan kaum Dhahiriyyah yaitu kaum yang
mengartikan ayat.ayat Al Qur’an dan hadits nabi secara lahirnya saja”.
Hal, 271 : “Ulama-ulama salaf menyerahkan arti yang hakiki dari perkataan istiwa’ itu kepada
Allah, memang dalam bahasa arab istiwa’ artinya duduk tetapi ayat-ayat sifat istiwa’ lebih baik
dan lebih aman bagi kita, tidak diartikan, hanya diserahkan artinya kepada Tuhan sambil kita
i’tiqadkan bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluk”.
Setelah membawakan hadits tentang nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), pada hal : 275.
penulis berkata: “Ketika menerangkan hadits ini, Ibnu Taimiyyah mencobakan bagaimana
turunnya tuhan dari langit, yaitu seperti ia turun dari mimbar”
Hal, 274 : “Ibnu Taimiyyah mengharamkan orang yang ziarah ke makam nabi di Madinah, dan
perjalanan itu (kalau dilakukan) dianggap ma’siat menurut Ibnu Taimiyyah”
Hal, 278 : “Walaupun kebanyakan umat Islam tidak mau mengikut, tapi sejarah Islam telah
mencatat bahwa ada seorang ulama’ Islam di Damsyik pada abad 7H, yang mengharamkan
ziarah ke makam nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Ibnu Taimiyyah”
Pasal 1. IBNU TAIMIYYAH DAN MASALAH SIFAT ISTIWA’
KH. SIROJUDIN ABBAS BERKATA di Hal 270 :
“Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas arsy serupa dengan duduk
bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri, faham ini beberapa kali diulanginya di atas mimbar masjid
Bani Umayah di Damsyik Syiria dan di Mesir”
JAWAB:
“PenuIis-YAITU KH. SIROJUDIN ABBAS- Tidak menerangkan sumber riwayatnya, sehingga kita
bertanya-tanya: “Dari manakah penulis menukil perkataan itu?” Di kitab apa dan siapa
pengarangnya?! Semua pertanyaan, itu selalu terngiang-ngiang di telinga kita yang tentunya
membutuhkan jawaban.
Kami katakan: “Maha suci Allah dari apa yang dituduhkan!! Sesungguhnya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah sangat jauh dari tuduhan seperti ini. Bagaimana tidak? Perhatikanlah
perkataan beliau berikut ini baik-baik! lalu bandingkan dengan tuduhan penulis ini. Beliau
berkata:
3 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Demikian juga apabila ada seorang yang menjadikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala
serupa dengan sifat makhluk-Nya, Seperti mengatakan istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta'ala
serupa dengan istiwa’ makhluk-Nva atau turunnya Allah Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan
turunnya makhluk, Maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Karena Al
Qur’an dan As-Sunnah serta akal menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-
Nya dalam segala segi” [Majmu’ Fatawa 5/252]
Lihatlah wahai saudaraku alangkah jelasnya perkataan-Syaikhul Islam-yang bagus ini!
Di Mana Allah?
Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHI WASALLAM pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang
budak perempuan milik Mua'wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum
ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu'awiyah :
؟اين:لهافقال فأ نهاأعت قها:قال.الله رسولأنتقالتانا؟من:قال.السماء فى :قالتالله
نة غيرهومسلمرواه-مؤم -
Artinya :
"Beliau bertanya kepadanya : "Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : "Di atas langit.
Beliau bertanya (lagi) : "Siapakah Aku ..?". Jawab budak itu : "Engkau adalah Rasulullah". Beliau
bersabda : "Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu'minah (seorang perempuan yang
beriman)".
Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama'ah ahli hadits, diantaranya :
1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa'i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya "Al-Muntaqa" (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya "Sunanul Kubra" (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya "Tauhid" (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi 'Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar
Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
12. Imam Utsman bin Sa'id Ad-Daarimi di Kitabnya "Ar-Raddu 'Alal Jahmiyyah" (No. 60,61,62
halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya "As-Sunnah " (No. 652).
4 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
PEMBAHASAN
Pertama
Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid'ah
dari kaum Jahmiyyah dan Mu'tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu ; dari kaum yang
menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary-
rahimahullah-[padahal Imam Abul Hasan alAsy’ary berlepas diri dari keyakinan mereka], yaitu
; mereka mempunyai i'tiqad (berpendapat) :
"ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?"
Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka
Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya
!?.
Jawablah kepada mereka dengan firman Allah 'Azza wa Jalla :
Artinya :
"Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar" (An-Nur : 16)
"Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan " (Al-Mu'minun : 91)
"Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan
ketinggian yang besar". (Al-Isra : 43)
Berkata Imam Adz-Dzahabi rahimahullah setelah membawakan hadits ini, di kitabnya "Al-
Uluw" (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
Artinya :
"Dan demikian ra'yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : "Dimana Allah ?
"Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit ! Didalam hadits ini ada dua masalah :
Pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ? Kedua : Jawaban orang
yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini
berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) SHALALLAHU’ALAIHI WASALLAM".
Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi rahimahullah setelah membawakan hadits ini di
kitabnya "Ar-Raddu 'Alal Jahmiyah (hal: 39): "Di dalam hadits Rasulullah
SHALALLAHU’ALAIHI WASALLAM ini, ada dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui
sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berada di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang
mu'min".
Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHI WASALLAM telah
menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang pengetahuannya
sesungguhnya Allah di atas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHI
WASALLAM (kepada budak perempuan): "Dimana Allah ?". Mendustakan perkataan orang
yang mengatakan : "Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh disifatkan dengan
(pertanyaan) : Dimana .?
Kedua
Lafadz 'As-Samaa" menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang tinggi dan berada di
atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) :
5 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Artinya : "(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap yang tinggi dan
berada di atas. Dikatakan : atap rumah langit-langit rumah".
Dinamakan "Awan" itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia. Firman Allah 'Azza
wa Jalla.
Artinya :
"Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)" (Al-Baqarah : 22).
Adapun huruf "Fii" dalam lafadz hadits "Fiis-Samaa" bermakna " 'Alaa" seperti firman Allah
'Azza wa Jalla :
Artinya :
"Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi" (At-Taubah : 2)
"Mereka tersesat di muka bumi" (Al-Maa'idah : 26)
Lafadz "Fil Arldhii" dalam dua ayat diatas maknanya " 'Alal Arldhii", Maksudnya : Allah 'Azza
wa Jalla berada di pihak/di arah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas 'Arsy-Nya yang sesuai
dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak satupun
mahluk menyerupai-Nya.
Firman Allah 'Azza wa Jalla :
Artinya : "Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha Mendengar (dan) Maha Melihat". (As-Syura : 4)
"Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya" (Al-Ikhlas : 4)
"Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa (bersemayam)". (Thaha : 5)
"Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy".(Al-A'raf :54).
Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik,
Syafi'iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy'ari
sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah 'Azza wa Jalla ISTIWAA diatas 'Arsy-Nya
sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
Mereka tidak menta'wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa. Seperti
halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan "Allah istiwaa di
atas 'Arsy" itu maknanya : Allah menguasai 'Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni
di atas 'Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?.. Mereka ini telah merubah
perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah
kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59).
Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah 'Azza
wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai 'Arsy. Ia menguasai langit dan
bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah dinamakan
mahluk). Allah 'Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas 'Arsy-Nya dalam
tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur'an. Dan semuanya dengan lafadz "istawaa". Ini
menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa ialah secara hakekat,
bukan "istawla" dengan jalan menta'wilnya.
6 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Telah berfirman Allah 'Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya.
Artinya :
"Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istawaa" (Thaha : 5)
"Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas 'Arsy".
Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu :
1. Surat Al-A'raf ayat 54
2. Surat Yunus ayat 3
3. Surat Ar-Ra'du ayat 2
4. Surat Al-Furqaan ayat 59
5. Surat As-Sajdah ayat 4
6. Surat Al-Hadid ayat 4
Menurut lughoh/bahasa, apabila fi'il istiwaa dimuta'adikan oleh huruf 'Ala, tidak dapat
dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya.
Firman Allah 'Azza wa Jalla :
Artinya :
"Dan berhentilah kapal (Nuh) di atas gunung/bukit Judi" (Hud : 44).
Di ayat ini fi'il "istawaa" dimuta'addikan oleh huruf 'Ala yang tidak dapat dipahami dan
diartikan kecuali kapal Nabi Nuh AS secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas
gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa "Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi" yakni
menta'wil lafadz "istawat" dengan lafadz "istawlat" yang berada di tempat yang lain bukan di
atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas, baca surat Az-Zukhruf : 13).
Berkata Mujahid (seorang Tabi'in besar murid Ibnu Abbas).
Artinya :
"Ia istawaa (bersemayam) di atas "Arsy" maknanya :
"Ia berada tinggi di atas "Arsy" (Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya "At-Tauhid" (hal: 101):
Artinya :
"Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A'laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi)
sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas 'Arsy-Nya. Kami tidak akan
mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan
yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (kaum) Jahmiyyah yang
menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan "Sesungguhnya Ia (Allah) istawla
(menguasai) 'Arsy-Nya tidak istawaa!". Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak
pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah
mengucapkan : "Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)" Tetapi mereka mengucapkan :
"Hinthah (gandum).?". Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Besar
dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah".
7 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia istiwaa
di atas 'Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas 'Arsy-Nya yang sesuai dengan
kebesaran-Nya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak
satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah
mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai 'Arsy sedangkan Dzat Allah
berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang disifatkan kaum
Jahmiyyah !
Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas 'Arsy-Nya tanpa :
1. Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya.
2. Ta'wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain.
3. Ta'thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara
keseluruhannya.
4. Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk.
5. Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ?
Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya :
"Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy ?. Beliau menjawab :
Artinya :
"Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi
bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa
Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid'ah".
(baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46)
Ketiga
Hadits-hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam yang mengkisahkan tentang peristiwa
MI’RAJ nya Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam {yang merupakan awal dari perintah shalat 5
waktu} merupakan dalil yang mempertegas, bahwa Allah di atas ‘Arsy sesuai dengan
keagungan dan kebesaran-Nya.
Di mana Allah? (Menurut 4 madzhab ahlus sunnah)
Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita ‘dimanakah
Allah’, dengan mudah dijawab : ‘Di atas langit’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun
membenarkannya (Lihat Shahih Muslim juz 2 hal 70-71, Imam Abu Dawud no.930-931, Imam
Nasa'i juz 3 hal.13-14, Imam Ahmad juz 5 hal 447, 448, 449; Imam Ad-Darimi juz 1 hal 353-354
dll)
8 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
1. Telah berkata Imam Abu Hanifah:
أن أن كرمن كفرفقد الس ماءفيالل
Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah di atas langit, maka sesungguhnya
telah kafir.
Imam Abu Hanifah rahimahullah juga berkata:
Siapa yang mengatakan'aku tidak tahu Rabbku di langit atau di bumi maka ia telah kafir.
Begitupula siapa yang mengatakan bahwa Allah di atas Arsy tetapi aku tidak tahu apakah
arys itu di langit atau di bumi." (Lihat al-Fiqh al-Absath, hal 46, serupa dengan lafal ini dinukil oleh Imam adz-dzahabi dalam al-uluw hal 101-102, Ibnu Qudamah dalam al-Uluw hal 116, dan Ibnu abil 'Iz dalam Syarh ath-thahawiyah hal 301)
2. Imam Daaril-Hijrah, Maalik bin Anas rahimahullah. Beliau pun – sebagaimana salaf beliau
dari kalangan shahabat dan taabi’iin – menjawab dengan jawaban yang mudah, ringkas,
dan jelas. Berikut riwayatnya :
االيمانيقولأنسبنمالككانقالنافعبنعبدهللاحدثناالنعمانبنسريجحدثناهللارحمهأبيحدثني
شيءمنهيخلوالمكانكلفيوعلمهالسماءفيهللامالكوقالموسىهللاكلمويقولوعملقول
Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami
Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata :
“Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah
berbicara kepada Muusaa, Allah berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak
ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-
Sunnah, hal. 280 no. 532; shahih].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah (Fuqoha dan ahlul hadits madzhab maalikiyah) menjelaskan
ijma’ perkataan Al-Imaam Maalik di atas dengan perkataannya :
وىمن يكونما)وجلعزقولهتأويلفيقالواالتأويلعنهمحملالذينوالتابعينالصحابةعلماء نج
بقولهيحتجأحدذلكفيخالفهمومامكان،كلفيوعلمهالعرش،علىهو(رابعهم هوإالثالثة
“Ulama dari kalangan shahabat dan taabi’iin yang diambil ta’wil mereka berkata tentang
ta’wil firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7) : ‘Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya
berada di setiap tempat’. Tidak ada seorangpun yang dijadikan hujjah perkataannya yang
menyelisihi mereka” [Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah, hal. 166 no. 77].
3. Imam Syafi’i mengatakan:
مثلعنهموأخذترأيتهم،الذينالحديثأهلعليها،أصحابناورأيتعليها،اأنالتيالسنةفيالقول
علىتعالىهللاوأنهللا،رسولمحمدا وأنهللا،إالإلهالأنبشهادةاإلقرار:وغيرهماومالك،سفيان،
شاءكيفالدنياسماءإلىينزلتعالىهللاوأنشاء،كيفخلقهمنيقربسمائهفيعرشه .
9 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Perkataan dalam sunnah yang aku berjalan di atasnya, dan aku lihat para sahabat kami juga
berjalan di atasnya, -yakni para ahlul hadits yang ku temui dan ku ambil ilmu dari mereka,
seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik, yang lainnya-, adalah: Berikrar dengan persaksian bahwa
tiada sesembahan yang berhak disembah selain Alloh, sesungguhnya Muhammad itu
Rosululloh, sesungguhnya ALLOH DI ATAS ARSY-Nya, di atas langit-Nya, Dia mendekat
kepada makhluknya bagaiamanapun Dia kehendaki, dan Alloh juga turun ke langit dunia
sesuai kehendaknya.
(Ijtima’ul juyusyil islamiyah libnil qoyyim, hal: 165. Itsbatu Shifatil Uluw, hal:124. Majmu’ul Fatawa 4/181-183. Al-Uluw lidz Dzahabi, hal: 120. Mukhtashorul Uluw lil Albani, hal: 176)
4. Adapun Al-Imaam Ahmad, maka beliau menyepakati apa yang dikatakan Al-Imaam Maalik
bin Anas rahimahullah dengan periwayatan dari ‘Abdullah bin Naafi’ .
أحمدهللاعبدأباسمعت:قالزيادبنالفضلحدثنا:قالالصندلىمحمدبنجعفرالفضلأبوحدثنا
،مكانمنهيخلوال،مكانكلفيوعلمهالسماءفيوجلعزهللا:أنسبنمالكقال:يقولحنبلبن
:فقلت نافعبنهللاعبدعن،النعمانبنشريحمنسمعته:قال؟بهذامالكعنأخبركمن
Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Ja’far bin Muhammad Ash-Shandaliy, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Aku mendengar
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata : Telah berkata Maalik bin Anas : “Allah ‘azza wa
jalla berada di langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat. Tidak ada sesuatupun yang luput
dari-Nya”. Lalu aku (Al-Fadhl bin Ziyaad) berkata : “Siapakah yang mengkhabarkan
kepadamu dari Maalik perkataan ini ?”. Ahmad berkata : “Aku mendengarnya dari Syuraih
bin An-Nu’maan, dari ‘Abdullah bin Naafi’” [Diriwayatkan oleh Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, no. 696].
Dan kemudian Imam Ahmad berhujjah dalam masalah ‘aqidah ini seperti dikatakan Maalik,
sebagaimana terdapat dalam riwayat :
علىالسابعةالسماءفوقهللا:هللاعبدألبيقيلالخاللبكرأبيشيخالقطانموسىبنيوسففقال
علمهمنشيءيخلووالعرشهعلىهونعم:قالمكانبكلوعلمهوقدرتهخلقهمنبائنعرشه
Telah berkata Yuusuf bin Muusaa Al-Qaththaan, syaikh Abu Bakr Al-Khallaal : Dikatakan
kepada Abu ‘Abdillah : “Apakah Allah berada di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya, serta kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya ada di setiap tempat ?”. Ia
(Ahmad) menjawab : “Benar, Allah ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak ada sesuatupun yang luput dari
ilmu-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-‘Ulluw hal. 130; shahih].
KH. SIROJUDDIN ABBAS Berkata di Hal 270 :
“Jadi Ibnu Taimiyyah boleh digolongan kaum Dhahiriyyah yaitu kaum yang mengartikan
ayat.ayat Al Qur’an dan hadits nabi secara lahirnya saja”.
Jawaban : “Ya, boleh-boleh saja tuan (SIROJUDIN ABBAS) golongkan lbnu Taimiyyah kepada
kaum Dhahiriyyah. Tapi apakah Ibnu Taimiyyah salah dan sesat karena dia termasuk kaum
10 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Dhahiriyyah? jika tuan menyalahkan Ibnu Taimiyyah karena dia mengartikan ayat Al-Qur’an
dan As-Sunnah secara lahirnya saja, maka tuan juga harus menyalahkan ulama-ulama salaf
pendahulu lbnu Taimiyyah yang telah sepakat mengartikan ayat-ayat dan hadits tentang sifat
Allah Subhanahu wa Ta'ala secara lahirnya. Kami nukilkan di sini dua penukilan saja:
1. Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Malik bin Anas, Sufyan Ats-
Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits masalah sifat? Mereka semuanya
mengatakan kepadaku: “Jalankanlah sebagaimana datangnya tanpa tak’yif
(menggambarkan bagaimananya/bentuknya)”
[Dikeluarkan Ash-Shabuni dalam “Aqidah Salaf”.no. 90, Imam Adz-Dzahabi dalam “Al’Uluw.
137 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam “Mukhtashar” Hal. 142-14]
2. Al Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata: “Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk
menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta
mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan
bagaimananya/bentuknya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan
Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak
mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka menyangka bahwa orang yang
menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah dengan
makhluk” [Mukhtashar al-Uluw” Hal. 278-279]
Cukuplah dua nukilan ini saja, kalau kami turunkan seluruh perkataan salaf dalam masalah ini
maka akan terlalu panjang. Inilah pendahulu lbnu Taimiyyah yaitu ulama-ulama salaf ahlu As
Sunnah wal jamaah, lalu siapakah pendahulumu wahai tuan? Tunjukkan siapa Ahlus Sunnah
yang tidak mengartikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala secara dhahirnya!.
KH. SIROJUDDIN ABBAS Berkata di Hal 271 :
“Ulama khalaf menta’wilkan kata istawa’ itu dengan istaula yakni menguasai atau memerintah”
Jawaban :
Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik, Syafi'iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy'ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah 'Azza wa Jalla ISTIWAA diatas 'Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
Mereka tidak menta'wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa. Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan "Allah istiwaa di atas 'Arsy" itu maknanya : Allah menguasai 'Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni di atas 'Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?... Mereka ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59).
11 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Sungguh amat jauh penyimpangan penulis ini!!! Karena jelas-jelas bertentangan dengan
pemahaman salafus shaleh. Kami tidak ingin memperpanjang bantahan syubhat ini, karena
masih banyak lagi syubhat yang masih perlu dijawab.
Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah telah membantah secara panjang lebar dalam “Maj’mu Fatawa”
5/144-149, demikian juga Ibnu Qayyim, muridnya, di dalam Mukhtashar Shawa’iqul Al Mursalah” hal 353-366. Kami cukupkan di sini dengan tiga point saja.
1. Penafsiran ini tidak dinukil dari kalangan salaf, baik dari kalangan sahabat maupun
tabi’in. Tidak ada seorangpun dari mereka yang menafsirkan seperti penafsiran ini,
bahkan orang pertama kali yang menafsirkan istawa’ dengan istaula adalah sebagian
kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah sebagaimana diceritakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari
dalam bukunya “Al Maqalat” dan Al Ibanah”1
2. Sesungguhnya menafsirkan kitab Allah dengan penafsiran yang baru dan menyelisihi
penafsiran Salaf As shaleh, mengharuskankan dua perkara, yaitu: entah dia yang salah,
atau Salaf As-shaleh yang salah. Seorang yang berakal sehat tidak akan ragu bahwa
penafsiran baru yang menyelisihi Salaf As-shaleh ini yang pasti salah [Mukhtashar
Shawa’iqul Mursalah” Hal. 353].
3. Tidak ada di dalam bahasa arab kalau kata istawa’ berarti istaula, bahkan hal ini
diingkari oleh pakar bahasa yaitu Ibnu ‘A’rabi [Mukhtashar Al-Uluw” hal. 195-196]
Orang-orang yang menta’wil istawa’ dengan istaula tidak mempunyai hujah kecuali suatu bait
syair terkenal [Seperti kitab-milik sirojuddin abbas- ini juga pada hal. 273]
مهراق دم ول سيف غير من العراق على بشر استوى ثم
“Kemudian Bisyr menguasai Irak tanpa pedang dan tanpa pertumpahan darah”
Padahal tidak ada penukilan yang sangat jelas bahwa bait ini termasuk bait syair arab. Oleh
karena itu para pakar bahasa mengingkari bait ini seraya mengatakan: “Ini adalah bait yang
dibuat-buat, tidak dijumpai dalam bahasa”.
Bukankah kalau seorang hendak berhujjah dengan hadits, ia harus mengetahui lebih dahulu
keabsahan hadits tersebut? Maka bagaimana dengan bait syair yang tidak diketahui sanadnya
ini !!! [Majmu' Fatawa 5/146]
KH. SIROJUDDIN ABBAS BERKATA di Hal, 271 :
“Karena itu Ibnu Taimiyyah bukanlah pengikut ulama’-ulama salaf dan juga ulama’-ulama’
khalaf, ini harus dicamkan benar-benar. Karena di Indonesia terdengar desus-desus bahwa
Ibnu Taimiyyyah itu pengikut faham salaf”
1 Tapi lucunya mereka mengingkari keabsahan penisbatan dua kitab ini kepada Imam Al-Asy’ari dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba
12 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Jawaban : Ya, kalau arti salaf seperti arti salafnya tuan, maka benar. Karena antara Syeikhul
Islam dengan orang-orang seperti tuan amat jauh sekali! Tetapi, jika maksud salaf adalah
mereka yang mengikuti manhaj Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabatnya, para
tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka kami katakan kepada tuan
dengan bait syair:
ة سشأ ن أئم افمااشتهارهم كالشمو عميبهمن إال ان طمسو
“Kemasyhuran para imam kebenaran itu seperti matahari
Tidaklah terhapuskan melainkan orang yang buta matanya”
Seorang penyair lain mengatakan:
ب حأن قل توهبني نأيع مىلي ل الص ياءعنال مب صرو الض
“Dia memberitahuku bahwa engkau mengatakan: “Sesungguhnya subuh adalah malam”.
Apakah orang-orang yang mempunyai penglihatan telah buta dari sinar?“
Terus terang saja, perkataan seperti ini sebenarnya tidaklah layak untuk ditangggapi. Karena
sebagaimana kata penyair:
ذ هانفييصحولي س ء األ تاجإذاشي دلي ل إلىالنهاراح
“Tidaklah masuk akal sedikitpun,
jika siang hari membutuhkan dalil (penunjuk jalan)”
Tetapi sebagai jawaban, cukuplah di sini disebutkan dua point saja:
1. Al-Hafidz Ad-Dzahaby berkata menyifati syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Beliau telah
menolong sunnnah nabawiyyah, dan manhaj salaf, beliau juga berhujjah dengan hujjah
yang sulit dicari tandingannya” [Dzail Thabaqat Hanabilah” 2/394]
2. Fatwa Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Saudi) yang diketuai oleh Syeikh AI-Allamah Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baz, terhadap pertanyaan sebagai berikut: “Sebagian orang
mengatakan bahwa lbnu Taimiyyah bukanlah termasuk Ahlus Sunnah wal
jama’ah, sesat dan menyesatkan. Betulkah ini?”
13 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Jawaban: “Sesungguhnya Syeikh Ahmad bin Abdul Halim lbnu Taimiyyyah termasuk
imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal jama’ah, berda’wah menuju kebenaran
dan jalan yang lurus, dengannya Allah menolong As-Sunnah dan menghancurkan
bid’ah. Barangsiapa menghukumi Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah bukan seperti di atas,
maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Dia telah buta tentang
sejarah Islam sehingga yang benar disangka bathil dan yang bathil disangka benar. Semua ini dapat diketahui bagi siapa yang Allah terangkan pandangannya, serta mau
membaca buku-buku karangannya, lalu membandingkannya dengan kitab-kitab
musuh-musuhnya” [Fatawa Lajnah Daimah” 2/173]
Wahai pembaca, camkanlah fatwa ini baik-baik karena di Indonesia terdengar desas-desus
bahwa Ibnu Taimiyyah bukan pengikut Ahlus Sunnah wal jama’ah. Janganlah tertipu oleh
mereka! karena sesungguhnya mereka berada di dalam penyimpangan dan kebatilan yang
sangat jauh.
KH. SIROJUDDIN ABBAS BERKATA pada Hal. 274 :
“Andai kata diterima faham Ibnu Taimiyyah, yang berpendapat bahwa tuhan itu bersila di
atas Arsy, maka bagaimana lagi ayat al-Al Qur’an: “Allah bersama kalian dimanapun kalian
berada” Faham lbnu Taimiyyah ini menimbulkan kesan seolah-olah tuhan itu dua atau yang
satu duduk bersila di atas arsy’ dan yang lain berjalan-jalan bersama manusia, alangkah
kelirunya faham ini”
Jawaban :
Sungguh benar kata penyair:
ضىوعي ن طعي نأن كماكلي لة عي ب كلعن الر ال مساويتب دىالسخ
“Pandangan simpati menutup segala cacat, Sebagaimana pandanganpun kebencian
menampakkan segala kecacatan”
Bukankah pemikiran ini hanyalah muncul dari fikiran tuan-Sirajuddin abbas- belaka? Mengapa
tuan begitu hasad terhadap Ibnu Taimiyyah? padahal lbnu Taimiyyah sangatlah jauh dari apa
yang tuan bayangkan. Bahkan beliau berkata: “Janganlah seorang menyangka bahwa ayat-ayat Allah saling bertentangan. Seperti mengatakan: ”Ayat yang menerangkan bahwa Allah
berada di atas arsy’ bertentangan dengan ayat: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian
berada” atau selainnya. Maka ini merupakan kekeliruan.
Karena Allah bersama kita secara hakekat dan Allah juga berada diatas arsy’ secara hakekat
pula. Sebagaimana Allah menggabungkan hal ini dalam firmanNya:
ضالس ماواتخلقال ذيهو توىثم أي ام ست ةفيوا ألر شعلىاس ضفييلجمايع لمال عر رجوماا ألر يخ
بصير تع ملونبماوهللاكنتم ماأي نمعكم وهوفيهايع رجوماالس مآءمنينزلومامن ها
14 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas arsy’. Dia mengetahui apa yang masuk pada bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada, Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadid:4]
Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Dia berada di atas arsy’, mengetahui segala
sesuatu, dan Dia-pun bersama kita di manapun kita berada. Inilah ma’na perkataan salaf:
“Sesungguhnya Allah bersama hamba dengan ilmunya” [Aqidah Washitiyah” hal. 22-23]
Pasal 2. IBNU TAIMIYYAH DAN MASALAH SIFAT NUZUL
Setelah membawakan hadits tentang nuzul (turunnya Allah ke langit dunia),
KH. SIROJUDDIN ABBAS BERKATA pada hal 275:
“Ketika menerangkan hadits ini, Ibnu Taimiyyah mencobakan bagaimana turunnya tuhan dari
langit, yaitu seperti ia turun dari mimbar”
Jawaban : Sebelum kita menjawab tuduhan ini, sangatlah baik sekali kita mengetahui terbih
dahulu hadits nuzul tersebut.
لأن هري رةأبيعن الس ماءإلىلي لة كل تعالىوتباركربناين زل:قال وسلمعليههللاصلى هللارسو
يا لاألخي رثلثيب قىحي نالدن نيمن :يقو تجي بيد عو ألنيمن ,لهفأس طيهفيس تغ فرمن أع فرنييس لهفأغ
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, akan Kuberi, Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Kuampuni” [HR. Bukhari No. 1145
dan Muslim No. 758]
HADITSNYA MUTAWATIR
Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits
menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama
ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:
1. Imam Abu Zur’ah berkata[Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).]: “Hadits-hadits tentang
turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan
oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan
kuat”.
2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga
lebih sahabat dari Nabi”.[ Lihat Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya
Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya,
pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif
15 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
(membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil
(menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[ Lihat Al-
Iqtishad fil I’tiqad hal. 100]
4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan
pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits
ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-
orang yang adil dari Nabi”.[Lihat At-Tamhid 3/338]
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari
generasi ke generasi selanjutnya[Majmu Fatawa 5/372]. Beliau juga berkata: “Hadits
masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[ Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421]
6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya
Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani
menetapkannya mutawatir”.[ Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-]
7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia
telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh
kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [lihat Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -
Mukhtashar Al-Mushiliy-]
8. Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi [lihat Ash-Sharimul Munki hal.
229], Al-Kattani [lihat Nadhmul Mutanasir hal. 192]dan Al-Albani[lihat Silsilah Ash-
Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365 ].
Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya
Abu Bakar Ash-Shiddiq,Ali bin Abi Thalib,Abu Hurairah,Jubair bin Muth’im,Jabir bin
Abdullah,Abdullah bin Mas’ud,Abu Sa’id Al-Khudri,Amr bin ‘Abasah,Rifa’ah bin ‘Arabah Al-
Juhani, Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi, Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari
kakeknya,Abu Darda’,Mu’adz bin Jabal,Abu Tsa’labah Al-Khusyani,Aisyah,Abu Musa Al-
Asy’ari,Ummu Salamah,Anas bin Malik,Hudzaifah bin Yaman,Laqith bin Amir Al-
‘Uqaili,Abdullah bin Abbas,Ubadah bin Shamith,Asma’ binti Yazid,Abul Khaththab,‘Auf bin
Malik, Abu Umamah Al-Bahili,Tsauban,Abu Haritsah, dan Khaulah binti Hakim.
[ Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab
Nuzul Ad-Daruqutni]
BAGAIMANA SYARH DARI HADITS DI ATAS MENURUT ULAMA AHLUS SUNNAH??
Imam al-Ajurri Rahimahullah berkata: “Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi
seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini
kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya
adalah wajib tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari
Rasulullah bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang
meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang
hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama
menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka
menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada
darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [Lihat Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq
Walid bin Muhammad-.]
Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq
meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi
16 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan
hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa
membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat
turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun,
sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang
dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan hadits-hadits ini
yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan sifat
turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.[16]
Setelah kita mengetahui keabsahan hadits ini, maka kita jawab tuduhan penulis tersebut
terhadap lbnu Taimiyyah, dengan bertanya kepadanya: “Dari manakah tuduhan ini? Dikitab
apa? Siapa yang menceritakannya? Siapa ulama’ yang mencatat kisah ini? Mana murid-
muridnya? Siapa ahli sejarah yang mencatatnya?”[Lihat Kitab Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat
Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras]
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah berkata:
“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh
Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”.[Lihat At-
Tamhid 3/349]
Adapun Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah setelah membawakan hadits di atas,
beliau berkata: “Para salaf, para imam, dan para ahlu ilmu dan hadits telah bersepakat
membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul,
maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits yang
sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan
sifat makhluq, dan menyifatiNya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu
madzhab salaf meyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak
menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat terpuji dan suci
dari penyerupaan dengan makhlukNya” [Syarah Hadits Nuzul” Hal. 69-70]
Adapun KH. SIROJUDDIN ABBAS setelah membawakan hadits Nuzul berkata pada hal 275:
“Ketika menerangkan hadits ini, Ibnu Taimiyyah mencobakan bagaimana turunnya
tuhan dari langit, yaitu seperti ia turun dari mimbar”
Subhanallah.....maka Kita sampaikan kepada beliau atau orang yang mendukung pernyataan
beliau, dari manakah rujukan mereka sampai menuduh syaikhul islam berkata demikian????
Di Kitab manakah Syaikhul Islam berkata seperti itu???
Barangkali penulis mengambil warisan dari nenek moyang pendusta yang bernama Ibnu
Bathuthah yang telah dibongkar kedustaannya oleh para ahlu ilmu [Lihat : Misalnya kitab “At-
Tasfhiyah Wa Tarbiyah” Hal. 68-69 oleh Syeikh Ali bin Hasan dan kitab “Qashahshun laa tats-
butu” 1/66-69 Oleh Syeikh Yusuf Ibnu Muhammad Atyq].
Terkait hal ini, penggalan hikayat dari Ibnu Bathuthah yang menceritakan kisah ibnu Taimiyah
menjadi buah bibir di kalangan para pembela dan musuhnya, yang terdapat dalam kitab
berikut:
17 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
18 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
19 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
20 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Dalam penggalan kisah tersebut ibnu Bathutah menyebutkan:
“Saat itu aku di Damaskus, lalu aku menghadiri majelisnya (Ibnu Taimiyah) pada hari Jum’at,
saat ia berada di atas mimbar Masjid Jami’ sedang menasehati kaum muslimin dan
mengingatkan mereka. Adapun dari sekian perkataannya, ia (Ibnu Taimiyyah) berkata,
‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia seperti turunku ini’, lalu ia turun satu tangga dari mimbar. Maka seorang ahli fikih bermadzhab Maliki yang dikenal dengan nama Ibnu azZahra menentangnya”[ Rihlah Ibnu Bathuthah 1/217]
Dari penggalan kalimat tersebut bertambahlah keyakinan musuh-musuh Ibnu Taimiyah bahwa
beliau menyamakan Allah dengan makhluk dan beraqidah Tajsim atau yang terkenal
dengan golongan Mujassimah.
Jika para penentang Ibnu Taimiyah-rahimahullah-mau jujur dan obyektif, maka tulisan-
tulisannya yang beratus-ratus jilid menjadi saksi bahwa beliau justeru menentang Aqidah
Tajsim dan bahkan Mengkafirkannya.Lalu bagaimana dengan penuturan Ibnu Bathutah? Apa
buktinya bahwa dia telah berdusta?
Kebohongan itu bangkai dan bau busuknya pasti tercium.Meskipun menjijikan, saya terpaksa
mengajak pembaca untuk mencium bau itu dari 2 Aspek:
Pertama: Ibnu Bathuthah
Imam Al-Haafizh Ibnu Hajar Al Atsqalani –rahimahullah-telah menorehkan pena untuk menulis
Biografi Ibnu Bathutah dalam kitabnya Durarul Kamina.
Beliau menyebutkan:
رقم84:ص3:جالكامنةالدررفيحجرابنقال (1285) :
قال.بطوطةابنهللاعبدأبوالطنجياللوائييوسفبنابراهيمبنمحمدبنابراهيمبنهللاعبدبنمحمد
فيوتوغلالبالدفجال،25سنةرجبفيالمشرقإلىورحليسيرشىءفيمشاركاكان:الخطيبابن
والمشايخالملوكمنولقى،26سنةفحجاليمنعلىورجعوالصينوالسندالهنددخلثمالعجم،عراق
أحوالهبهافحكىالمغربالىفرجعخلصثمالقضاء،ملكهافوالهالهندإلىرجعثموجاوركثيرا،خلقا
:ذلكفمنرآه،ممابغرائبحدثنا:البلفيقيابنالبركاتأبوشيخناقال.أهلهامناستفادومالهاتفقوما
بالدودخلالعدوةإلىانتقلثمأسقف،ألفعشراثنيكنيستهافيفرأىيةالقسطنطيندخلانهزعمأنه
السودان،ثماستدعاهصاحبفاس،وأمرهبتدوينرحلته.انتهى.وقرأتبخطابنمرزوق:إنأباعبدهللا
قهاوحررهابأمرالسلطانأبيعنان،وكانالبلفيقيرماهبالكذبفبرأهابن بنجزي)ت756هـ(نم
وال:مرزوقابنقال.البالدببعضالقضاءمتولىوهووماتسبعين،سنةإلىبقىإنه:وقالرزوقم
انتهى.محسنا جواداذلكمعوكانكرحلته،البالدجالأحدااعلم
21 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Arti yang bergaris bawah:
Aku telah membaca tulisan ibnu Marzuq, : “Sesungguhnya Abu Abdillah bin Jizy Al kalbi
menulisnya dan mengeditnya atas perintah sulthan Abi Annan, sedangkan Al Balfiqy
menuduhnya sebagai pendusta”
Dari penuturan Ibnu Hajar yang membaca tulisan Ibnu Marzuq diatas terlihat bahwa Rihlah
Ibnu Bathutah bukan ditulis Ibnu bathutah sendiri, namun ditulis oleh Abu Abdillah bin Jizy Al
kalbi sedangkan guru beliau yang bernama Al Imam Al Balfiqi menuduh pria ini sebagai
pendusta. Dari perkataan Al Balfiqi juga mengandung isyarat bahwa beliau mendustakan
cerita ibnu Bathutah dengan memilih kata Zaama ketika menceritakan kisahnya di Konstantin.
Siapapun yang mengerti ilmu ushul pasti mengetahui bahwa zaama digunakan sebagai isyarat
untuk melemahkan sebuah riwayat atau pendapat.
Dalam tempat lain sejarawan Muslim Kontemporer yang bernama Ibnu Khaldun
menceritakan dalam Muqaddimahnya bahwa banyak cerita aneh ditampilkan ibnu Bathutah ,
sebagai contoh ia mengatakan bahwa raja di India itu kalau ingin bepergian jauh maka ia akan
memberikan bekal kepada rakyat yang ia tinggalkan seukuran untuk 6 bulan. Bahkan di dalam
kitab tersebut Ibnu Bathutah juga menyebutkan bahwa ia mengunjungi sebagian jazirah dan
negeri dimana wanitanya hanya memiliki satu payudara.
Dari beberapa keanehan ini terlihat bahwa Rihlah ibnu Bathutah kurang memiliki nilai Ilmiyah
untuk dijadikan sandaran.
Kedua : Konten Cerita
Dalam kitab tersebut Ibnu Bathutah menyebutkan:
“Saat itu aku di Damaskus,lalu aku menghadiri majelisnya (Ibnu Taimiyyah) pada hari Jum’at, saat ia berada di atas mimbar Masjid Jami’ sedang menasehati kaum muslimin dan mengingatkan mereka”
Sangat jelas nukilan dari Ibnu Bathutah bahwa dia menghadiri majelis tersebut di Damaskus,
namun kebohongannya terkuak lewat tulisannya sendiri pada halaman-halaman sebelumnya
yang menceritakan rentetan kejadian di Damaskus dimana dia mengatakan:
“Aku masuk Ba’labak siang hari, lalu aku keluar darinya pada pagi hari, karena sangat rinduku terhadap kota Damaskus. Dan aku sampai ke kota Damaskus, Syam, pada hari Kamis, 9 Ramadhan yang agung tahun 726 H. Aku pun singgah disana, di Madrasah al Malikiyah yang dikenal dengan asy Syarabisyiyah.”[Rihlah Ibnu Bathuthah 1/187]
Jika kita bandingkan dengan tulisan para ahli dan murid-murid Ibnu Taimiyah rahimahullah
maka kan terlihat kontradiksinya. Perhatikan!
Pada Kitab Syarah Qashiidah Ibnul Qayyim (Juz 1, hal. 497) dikatakan,
“Kebohongannya sudah tampak jelas, tidak memerlukan lagi berpanjang ulasan. Dan Allah-lah Yang Maha Penghitung kebohongan pendusta ini. Dia (Ibnu Bathuthah) menyebutkan dia masuk ke Damaskus 9 Ramadhan 726 H, padahal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika itu sudah ditahan di benteng (al Qal’ah) sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama terpercaya, seperti murid beliau sendiri, Al Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul Hadi dan juga oleh Al Hafizh Abil Faraj ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab dalam kitab Thabaqat Hanabilah atau Imam Ibnu Rajab rahimahullah]
22 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Ia berkata mengenai biografi Syaikh (Ibnu Taimiyyah) dalam Thabaqat-nya tersebut:
‘Syaikh telah ditahan di benteng itu dari bulan Sya’ban tahun 726 H sampai Dzulqa’dah tahun
728 H’.
Imam Ibnu ‘Abdul Hadi menambahkan:
‘Ia (Ibnu Taimiyyah) memasuki (tahanan) di benteng itu pada 6 Sya’ban’
Maka lihatlah pendusta ini (Ibnu Bathuthah) yang menyebutkan bahwa dia telah menyaksikan Ibnu Taimiyyah sedang memberi nasihat kepada kaum muslimin di atas mimbar mesjid jami’. Padahal Syaikh (Ibnu Taimiyyah) rahimahullah setelah masuk ke benteng (tahanan) tersebut pada tanggal tersebut pula, maka beliau tidak pernah keluar darinya kecuali di atas kereta jenazah (pada hari wafatnya, Dzulqa’dah 728 H)”
Cerita-cerita penahanan ibnu Taimiyah yang membawanya kepada Azal ini amat terkenal
dikalangan para Sejarawan. Bahkan Ibnu hajar Tak ketinggalan menuliskan cerita ini di Durarul
Kaminah dengan menukil dari As Shafadi beliau mengatakan:
بسبب مسألة الطالق وأكد عليه المنع من الفتيا ثم عقد له مجلس آخر في رجب سنة
عشرين ثم حبس بالقلعة ثم أخرج في عاشوراء سنة 127 ثم قاموا عليه مرة أخرى في
شعبان سنة 127 بسبب مسألة الزيارة واعتقل بالقلعة فلم يزل بها إلى أن مات في ليلة
االثنين العشرين من ذي القعدة سنة
Artinya: kemudian mereka mengadilinya pada bulan Ramadhan tahun 719 Hijriah disebabkan
fatwanya terkait thalaq (thalaq tiga satu majelis, red) dan dilarang untuk berfatwa. Kemudian
diadakan persidangan lagi di Pengadilan lain pada bulan rajab tahun 720 dan ia ditahan
dibenteng, kemudian dikeluarkan pada bulan Asyura tahun 721. kemudian mereka mengadili
lagi untuk kesekian kali lagi pada bulan sya’ban tahun 726 disebabkan Fatwanya tentang
Ziyarah kemudian iapun dipenjara di dalam benteng hingga ia Wafat pada malam senin
tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 Hijriah.
Jadi jelas bahwa Ibnu Bathutah tidak mungkin bertemu Ibnu Taimiyah pada tahun tersebut,
apalagi diceritakan oleh para Ahli Sejarah bahwa jangankan keluar dari Penjara, menulis dan
membaca buku serta berfatwa saja beliau dilarang, hingga beliau menghabiskan masa
penahanannya hanya dengan membaca qur’an dan dalam penahanan tersebut beliau
menghatamkan qur’an sebanyak 81 kali.
Bau busuk kebohongan tersebut makin bertambah dengan Fakta berikut :
Berdasarkan periwayatan para Huffadz dan Ibnu Hajar sendiri, penahanan Ibnu
Taimiyah ditahun 726 itu disebabkan oleh fatwanya terkait Ziarah kekubur Rasululullah
bukan tentang Nuzul (turunnya Allah Kelangit dunia.
Disitu juga disebutkan bahwa dipenjara sebelumnya Ibnu Taimiyah pernah mengarang
Kitab Tafsir yang bernama Bahrul Muhith sebanyak 40 jilid padahal Al Imam At Thabari
mengarang Tafsir puluhan tahun dan tidak sampai 40 jilid, dan Ibnu Hajar sendiri
mengarang Fathul bari Selama 25 tahun, itupun mereka berada diluar penjara. dari
cerita Ibnu Hajar bisa diketahui bahwa Ibnu taimiyah dipenjara sebelumnya pada bulan
Rajab tahun 720 Hijriah hingga bulan Asyura tahun 721 Hijriah atau sekitar 5 bulan
saja, atau kalaupun ditahun-tahun sebelumnya, maka pemenjaraan beliau tidak lebih
23 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
dari 2 tahun, lalu bagaimana beliau menyelesaikan 40 jilid tafsir dipenjara secepat itu.
Mustahil.
Dalam cerita itu disebutkan pula bahwa panggilan Qadhi Hanabilah Adalah Izzuddin,
padahal panggilannya yang benar adalah Syamsuddin dan nama lengkapnya adalah
Abu Muhammad Syamsuddin ibnu Musallam As Shalihi. Adapun panggilan Izzuddin
adalah panggilan untuk Qadhi Muhammad bin At Taqiy Sulaiman yang Wafat tahun
731 Hijriah yang menjadi Qadhi menggantikan Ibnu Musallam selanjutnya.
Hal yang juga seru dari kitab Rihlah ibnu Bathutah yang saya dapatkan adalah
pentahqiqnya yang juga mengingkari cerita tentang Ibnu Taimiyah Ini seperti yang ia
jabarkan dalam footnotenya.
Dengan Fakta-fakta ini, maka Semoga Allah mensucikan ruh Ibnu Taimiyah dari fitnah,
layaknya Gaharu, wanginya tak akan tercium kecuali telah dibakar sebelumnya.
[dengan penjelasan ini, maka dapat kita simpulkan, bahwa apa yang disampaikan KH.
Sirajudin Abbas terkait Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan merujuk kepada Ibnu Bathuthah,
telah terjawab, Insyaallah]
KH. SIROJUDDIN ABBAS BERKATA pada hal 276 :
“Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang
lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru
pukul dua belas siang. Kalau di lndonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi,
maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan
turun ke bawah pada sepertiga malam terakhir, sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah,
maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk
dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang
tuhan hanya satu.”
Jawaban : Demikianlah jika seorang telah dimotori dengan akal, mengapakah tuan
menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tidak pasrah terhadap hadist
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang yang shahih? Bukankah Allah berfirman:
موك حت ى يؤمنون ل ورب ك فل ا حرجا أنفسهم في وايجد ل ثم بينهم شجر فيما يحك م سل مواوي قضيت م
تسليما
Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap hukummu, dan mereka pasrah dengan sebenar-benarnya. [An-Nisa’:65]
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari imam Az-Zuhri, dia mengatakan: “Wahyu itu dari Allah,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyampaikan, kewajiban kita hanya pasrah
dan tunduk” [Fathul Baari” 13/512]
Imam Ath-Thahawy berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali
apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya shalallahu’alaihi wasallam , dan
24 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
mengembalikan segala kesamaran kepada yang Maha Mengetahui” [Syarah Aqidah
Thahawiyah” Hal. 199 Cet. Makhtab Islamy].
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
1. Beriman terhadap nash-nash yang shahih.
2. Tidak bertanya bagaimana serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi
dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap AIllah tanpa ilmu,
sedangkan Allah tidak dapat dijangkau oleh fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman:
البصير الس ميع وهو شيء كمثله ليس
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [As-Syura:11]
Jika kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul
atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tiba sepertiga malam
terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam [lihat. Majmu’ Fatawa Wa Maqalaat Syaikh Ibnu Utsaimin” 1/216]
PASAL 3. MADZHAB (PENDAPAT) IBNU TAIMIYYAH DALAM ZIARAH KUBUR
KH. Sirajuddin Abbas Berkata pada Hal, 274 :
“Ibnu Taimiyyah mengharamkan orang yang ziarah ke makam nabi di Madinah, dan
perjalanan itu (kalau dilakukan) dianggap ma’siat menurut Ibnu Taimiyyah”
Hal, 278 :
“Walaupun kebanyakan umat Islam tidak mau mengikut, tapi sejarah Islam telah mencatat
bahwa ada seorang ulama’ Islam di Damsyik pada abad 7H, yang mengharamkan ziarah ke
makam nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Ibnu Taimiyyah”
Jawaban: “Masalah ini bukanlah masalah baru, dan tuduhan ini bukanlah tuduhan yang baru
pula, pada masa beliau sudah ada yang membuat kedustaan atas beliau dalam hal ini.
Agar tidak ada salah faham dalam maslah ini, maka hendaklah dicermati baik-baik. Kami
katakan: “Sesungguhnya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkan ziarah
kubur yang syar’i, baik kuburan Nabi shalallahu’alaihi wasallam atau lainnya. Akan
tetapi yang beliau larang adalah ziarah kubur bid’i (secara bid’ah), seperti mengadakan
penjalanan dengan tujuan ziarah kubur, sebagaimana sering dilakukan banyak orang,
terutama di Indonesia ini. Larangan itu berdasarkan hadits, bahwasanya Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
25 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
حال تشد ل األقصى المسجد و هذا مسجدي و الحرام المسجد مساجد ثلثة إلى إل الر
Janganlah mengadakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (masjid Nabawi) dan masjidil Aqsha. [HR. Bukhari No. 1189 dan Muslim No. 827]
Sesungguhnya orang yang mau membaca kitab-kitab Syeikhul Islam lbnu Taimyyah dengan
adil dan jujur, niscaya ia akan mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak mengharamkan
ziarah kubur sebagaimana tuduhan penulis ini. Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini
baik-baik: “Telah aku jelaskan dalam kitabku tentang manasik haji, bahwa bepergian ke masjid Nabawi dan menziarahi kubur beliau – sebagaimana diterangkan imam kaum muslimin dalam manasik- merupakan amal shaleh yang dianjurkan…” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang bepergian ke Masjid Haram, Masjid Aqsha atau Masjid Nabawi, kemudian shalat di masjidnya, lalu menziarahi kubur beliau sebagaimana Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ini merupakan amal shaleh. Barangsiapa mengingkari safar seperti ini, maka dia kafir diminta taubat, jika bertaubat itulah yang diharapkan. Jika tidak maka dibunuh. “
Adapun seseorang yang melakukan perjalanan hanya untuk ziarah kubur semata, sehingga
apabila sampai di Madinah, ia tidak shalat di masjidnya, tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi
shalallahu’alaihi wasallam lalu pulang, maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dan
menyesatkan karena menyelisihi Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan para ulama’ umat ini”
[Majmu’ Fatawa” 26/329-344]
Barangsiapa yang membaca kitab “Ar Raddu ‘ala Al-Akhna’i” dan “Al-Jawabul Al-Baahir Liman
Sa’ala ‘an Ziyaratil Kubur” karya Ibnu Taimiyyah, ia akan yakin dengan apa yang kami uraikan.
Hal ini dikuatkan oleh murid-murid beliau di antaranya.
1. Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi, beliau berkata dalam ‘As Sharim Al-Munky” Hal; 15:
“Hendaklah diketahui, sebelum membantah orang ini (as-Subkiy) bahwasanya
Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkam ziarah kubur yang syar’i
dalam kitab-kitabnya. Bahkan beliau sangat menganjurkannya. Karangan-karanganya
serta manasik hajinya adalah bukti atas apa yang saya katakan”
2. Al-Hafidz lbnu Katsir, beliau berkata dalam “Al Bidayah Wa An-Nihayah” 14/123:
“Dan Syeikh lbnu Taimiyyah tidaklah melarang ziarah kubur yang bersih dari
kebid’ahan, seperti (bid’ahnya) bepergian/safar untuk ziarah kubur. Bahkan beliau
mengatakan sunnahnya ziarah kubur, kitab-kitabnya dan manasik-manasik hajinya
adalah bukti hal itu, beliau juga tidak pernah mengatakan haramnya ziarah kubur
dalam fatwa-fatwanya, beliau juga tidak jahil dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Ziarahlah karena hal itu dapat mengingatkan kalian dengan akherat”. Tetapi
yang beliau larang adalah bepergian/safar untuk ziarah. Jadi ziarah kubur itu suatu
masalah dan bepergian dalam rangka ziarah kubur itu masalah lain lagi”
Sebagai penutup pembahasan ini kami kutipkan pula perkataan Al-‘Allamah Al-Muhaddits
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau berkata dalam “Silsilah Ahadits adh-
Dhaifah” 1/124, no: 47: “Perhatian: Banyak orang menyangka bahwa Syeikhul Islam Ibnu
Iaimiyyah dan orang-orang yang sejalan dengannya di kalangan salafiyin melarang ziarah
kubur nabi. Ini merupakan kedustaan dan tuduhan palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah perkara
yang baru. Orang yang mau menelaah kitab-kitab lbnu Taimiyyah akan mengetahui bahwa
beliau mengatakan disyariatkannya ziarah kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
syarat tidak diiringi dengan kemungkaran-kemungkaran dan kebid’ahan-kebid’ahan seperti
26 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
bepergian/safar ke sana, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Janganlah
mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan
kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa
masjid, kuburan, atau selainnya. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia
berkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya
kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku
mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku
mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa para sahabat memahami hadits ini dengan
keumumannya. Hal ini juga dikuatkan dengan tidak adanya penukilan dari seorang
sahabatpun bahwa mereka mengadakan perjalanan ke kuburan siapapun. Semoga Allah
merahmati orang yang mengatakan:
سلف من ات باع في خير وكل
خلف من ابتداع في شر وكل
“Setiap kebaikan adalah dengan mengikuti kaum salaf.
Dan setiap kejelekan adalah dengan mengikuti kaum khalaf”
27 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
MENGENAL AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
KH. Sirajuddin Abbas berkata pada hal 16:
“I’tiqod Nabi dan sahabat–sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam sunah
Rasul secara terpencar–pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian
dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin besar, yaitu
Syeikh Abu Hasan Al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H. wafat di Bashrah juga tahun 324 H
dalam usia 64 tahun, yang benar beliau meninggal di Baghdad –Pen) karena itu ada orang
yang memberi nama kepada kaum Alhussunah Wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah jama’
dari Asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari tersebut. (I’tiqad Ahlussunah Wal
Jama’ah, hal. 16).
Sedangkan Abu Mansur Al-Maturidi adalah seorang ulama ushuluddin juga. Yang faham dan
I’tiqadnya sama atau hampir sama dengan Abu Hasan Al-Asy’ari, beliau wafat di sebuah desa
bernama Maturudin Samarqand. Di Asia tengah pada tahun 333 H. Terkemudian 9 tahun dari
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (hal 17).
Inilah yang dinamakan oleh kaum Ahlusunah wal jama’ah dengan “Sifat tuhan dua puluh
yang wajib diketahui dan diyakini seyakin–yakinnya oleh setiap orang muslim yang baligh –
beraqal (lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, hal 36 – 45). “
Jadi KH. Sirajuddin Abbas memahami bahwa: Ahlus sunnah sebagai penganut sunnah Nabi
dan penganut i’tiqad jama’ah para shahabat. Jadi Kaum ahlus sunnah adalah kaum yang
menganut i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam dan shahabat-
shahabat beliau” Namun, Pada hal. 17 Beliau memutlakkan bahwa ahlus sunnah wal jama’ah
adalah Asy-‘Ariyah dan Maturidiyah
Jawaban:
Pengertian ahlus sunnah wal jama’ah di awal pembahasan beliau memang benar adanya.
Namun pada halaman berikutnya (hal. 17) mengenai pemutlakan beliau bahwa “ahlus sunnah
wal jama’ah adalah asy’ariyah dan maturidiyah”, maka ini perlu ditinjau kembali. Untuk itu, ada
baiknya kita mengenal dahulu, apa dan siapakah Asy’ariyah dan Maturidiyah?
APAKAH AL ASY'ARIYYAH TERMASUK AHLU SUNNAH?
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para
penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy'ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal
Jama'ah.
Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya madzhab Al Asy'ariyyah yang berkembang
sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy'ari sendiri
telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu'tazilah. Tujuh sifat yang
ditetapkan dalam madzhab Al Asy'ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar'i,
28 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan
prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.
ULAMA-ULAMA SYAFI'IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY'ARIYYAH
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy'ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu
Sunnah Wal Jama'ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Abul Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam
Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk
diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam
hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta'thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas,
Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab
imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi'iyyah menolak dinisbatkan kepada
madzhab Asy'ariyyah.
Berikut ini, mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Id Al Hilali dalam
kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama'ah-jama'ah Islam Ditimbang
Menurut Al Qur'an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau
membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama'ah
dengan istilah Al Asy'ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy'ariyyah bukan termasuk
Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:
Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy'ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy'ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah. Berdasarkan
persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (pengikut Salafush Shalih), mereka bukan
termasuk Ahlus Sunnah
1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu
kalam, (maka ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian
dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-
nash syar'iyyah [Silakan lihat Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, karangan
Al Laalikaai (I/157-165).]. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama
dalam madzhab Asy'ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asya'riyah telah menegaskan hal
itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila
terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar'u Ta'arudh Aql Wan Naql,
beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana
terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[ Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan
lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al
Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40]
2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil
perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: "Tidak diterima
persaksian Ahli Ahwa' (Ahli Bid'ah)." Ia menjelaskan: "Yang dimaksud Ahli Ahwa' oleh
Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk
Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa' wal bida'; baik ia seorang pengikut madzhab
Asy'ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-
lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid'ahnya. Jika ia masih
29 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat." [Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi
(II/96).]
3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi'i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil
Mu'tazilah, Asy'ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan
Mukayyifah [Ini semua adalah nama-nama aliran]. Namun kami menerima nash-nash
sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil." [Ijtima' Juyusy Islamiyah,
hlm. 62.]
4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi'iyyah berkata: "Para imam
dan alim ulama Syafi'iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada
Asy'ariyah. Mereka justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan
Al Asy'ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka
melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri
majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [Yakni Syaikh Abu
Hamid Al Isfaraini.] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi'i
dari prinsip-prinsip Al Asy'ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan
buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua
kitabnya, yakni Al Luma' dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya
perkataan Al Asy'ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab
Asy Syafi'i), beliau membedakannya. Beliau berkata: "Ini adalah pendapat sebagian
rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy'ariyah." Beliau tidak memasukkan
mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi'i. Mereka menolak disamakan
dengan Al Asy'ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak dinisbatkan kepada
madzhab Al Asy'ariyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin." [At Tis'iniyyah, hlm.
238-239.]
KESIMPULAN:
Pendapat yang benar adalah, Al Asy'ariyah {Pada awalnya dan yang berkembang di Indonesia}
termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah {bacalah-pada halaman berikutnya- biografi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan kisah
taubatnya beliau, dari pemahaman asy’ariyah-nya}. Ketika para tokoh dan pembesar Al
Asy'ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy'ariyah. Diantaranya
adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As
Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan kenapa mereka
keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.
A. BIOGRAFI IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI
Nama beliau adalah Ali bin Ismail bin Abi Sisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdilah bin Musa bin Amir Bashroh Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdulloh bin Qois bin Hadhor Al-Asy’ari Al-Yamani, Sahabat Rasulullah. Populer dengan nama Abu Hasan Al-Asy’ari. Dilahirkan di Basroh lalu menetap di Baghdad setelah melepas faham Mu’tazilah. Tahun kelahirannya diperselisihkan, namun mayoritas sejarawan menetapkan tahun 260 H, sebagaimana di tetapkan oleh Adz-Dzahabi, dan wafat tahun 324 H. di Baghdad, perlu diperhatikan bahwa beliau menjalani tiga fase kehidupan.
30 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
A.1. Fase Awal Beliau mengikuti faham Mu’tazilah. Karena sejak kecil sampai umur empat tahun dalam naungan didikan bapak tirinya, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al Juba’i (wafat 303 H. seorang tokoh Mu’tazilah), seperti dikisahkan oleh Ibnu Nadim (wafat 385 H). ”Awalnya beliau adalah berfaham Mu’tazilah lalu bertobat dari faham tersebut dengan berpidato di masjid jam’i di Bashroh pada hari Jum’at. Beliau naik kursi dan bersuara lantang: “siapa yang telah mengenalku berarti dia telah betul – betul mengenalku, dan siapa yang belum pernah mengenalku maka saya mengetahui diri saya sendiri. Saya adalah Fulan bin Fulan. Saya dulu berpendapat bahwa al Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat dengan mata (pada hari Kiamat). Dan perbuatan jelek itu saya sendiri yang berbuat (Allah tidak berperan) sekarang saya taubat dan melepas keyakinan tersebut untuk membantah faham Mu’tazilah” lalu beliau turun dan keluar, meninggalkan kejelekan dari aib mereka” (al Fahrosat, hal 257) Ibnu ‘Asakir menambahkan, bahwa Abul hasan al-asya’ri berkata: ”wahai seluruh manusia, saya menghilang dari hadapan kalian beberapa waktu karena saya mendapati beberapa dalil dan belum bisa membedakan mana yang hak dan yang batil. Lalu saya meminta petunjuk kepada Allah dan Allah memberikan petunjuk-Nya, untuk meninggalkan semua yang kutulis di buku–buku saya. Maka saya ditinggalkan semua yang dulu saya yakini seperti saya melepaskan baju saya ini” lalu beliau melepaskan bajunya dan melemparknya. (Tabyiini Kadzibil Muftari, hal 39) Adapun sebabnya ada dua, seperti disebutkan Ibnu Asakir, Pertama: bermimpi melihat Rasulullah kata Abul Hasan Al-Asy’ari: penyebab saya keluar dari faham Mu’tazilah adalah saya bermimpi melihat Rasulullah pada awal bulan Ramadhan, Kedua: pertanyaan yang disodorkan kepada para gurunya, tetapi mereka tidak mampu menjawab “(Tabyiin hal. 38 – 42) A.2. Fase kedua Setelah keluar dari faham Mu’tazilah beliau menganut faham Kullabiyah, yang dimotori oleh Abdulloh bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mulailah beliau membantah golongan Mu’tazilah dengan berpijak kepada faham Kullabiyah ini. Ibnu Taimiyah berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari dahulunya adalah seorang Mu’tazilah, ketika keluar darinya dia mengikuti faham Muhammad bin Kullab” (Majmu‘Fatawa 5 /556) hal ini diakui pula oleh Ad Dzahabi dan selainnya (lihat Siyar A’laminubala 2/228) Mengenai Ibnu Kullab, Ibnu Taimiyah berkata: “Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, Mu’tazilah dan firqoh lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat–sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul hadits dan sunah, namun masih termuat cara–cara bid’ah. Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah dikarenakan mereka menolak sifat dzatiyah dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi), sarat dengan hujjah dan dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang dikemukakan itu menyapu bersih syubhat Mu’tazilah. Dan ini membantu bagi kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan bagi orang yang muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang menafikannya. Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan yang dibantahnya masih ada persamaan dalam kaidah–kaidah pokok. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka munculkan. Menjadi batil dilihat dari kaca mata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah “. (Majmu’fatwa 12/ 366).
31 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Lanjut beliau : ”…namun tatkala Muhammad bin Kullab berbicara dan berdialog dengan Mu’tazilah menggunakan cara berfikir Qiyas (analogi), dia menerima kaidah yang dicipta oleh Mu’tazilah yaitu menolak bahwa Allah berbicara dengan huruf, melekatnya sifat–sifat ikhtiariyah yang berkaitan dengan kehendak/ kekuasaan Allah berupa perbuatan, kalam dan selainnya. Dengan beranggapan bahwa penetapan sifat ikhtiariyah itu berkonsekuensi: Allah mempunyai sifat yang hadits (baru), padahal sesuatu yang tidak terbebas dari sifat hadits berarti dia hadits (baru). Implikasinya dia berpendapat bahwa kalam Allah itu hanya berupa makna, dan huruf (ketika Allah berbicara) tidak termasuk kalam Allah. Pendapat ini diikuti oleh Abul Hasan Al-Asy’ari” (Majmu’Fatawa 12/366) Disinilah Abul Hasan Al-Asy’ari tidak menyadari. Ketika Ibnu Kullab membantah Mu’tazilah dan menetapkan sifat Lazimah Allah sifat yang selalu melekat pada dzat Allah (dia juga menafikan sifat–sifat ikhtiariyah Allah seperti sifat ridho, marah, benci senang dan lain–lainnya). Memang dalam penetapan sifat lazimah ini Ibnu Kullab mencocoki madzhab Ahlususunnah seperti sifat Hidup, Ilmu, Qudroh dan lainnya namun juga menyelisihinya dengan menolak sifat Ikhtiyariyah tadi. Sehingga bisa dikatakan dia membentuk madzhab baru yang sebagiannnya sesuai dengan madzhab ahlussunnah dan sebagiannya menyelisihinya. Berikut ini metode penetapan sifat Ibnu Kullab yang diikuti oleh Abul Hasan Al-Asy’ari:
1. Menetapkan sifat lazimah, semisal : Ilmu, Qudrah 2. Menafikan sifat ikhtiariyah yang berkatian dengan Masyi’ah (kehendak) dan Qudrah
Allah. 3. Kalam Allah adalah makna yang melekat tersimpan pada dzat (dalam ungkapan kita:
ungkapan yang masih terpendam di hati), jika diungkapkan dengan bahasa Arab disebut Al Qur’an, bila dalam bahasa Ibrani disebut Taurat, dalam bahasa Suryaniyah disebut Injil
4. Al Qur’an bukanlah kalam Allah tetapi kalam Jibril atau yang lain, Jibril mengungkapkan makna yang tersimpan dalam dzat Allah dengan ungkapan dia sendiri.
5. Menafikan Allah bersifat senang, ridho kepada kaum mukminin setelah merek beriman, dan memurkai kaum kafirin setelah mereka kafir.
Adapun ahlussunnah wal jama’ah atau salafiyah menetapkan seluruh sifat ikhtiariyah yang
Allah tetapkan bagi diri-Nya tanpa ditakyif, tamtsil, tahrif dan ta’thil. Sebagai contoh, Allah beristiwa di atas arsy, Allah turun, datang dan lainnya. Allah juga bersifat marah, senang, murka, ridho dan sifat lainnya yang ditetapkan oleh Rasulullah. Allah juga berbicara, namun kalam Allah adalah qodimun nau’ dan haditsul aahad, maksudnya adalah selalu bersifat bicara (sifat kalam ini selalu melekat pada Allah), dan kalam perkalamnya adalah baru, kalam Allah kepada Adam bukanlah kalam-Nya kepada Nuh, kalam-Nya kepada Nuh bukanlah kalam-Nya kepada Ibrohim, juga bukan pula kalam-Nya kepada Muhammad dan seterusnya. A.3. Fase ketiga Setelah sekaian lama bergelut dengan faham Kullabiyah, meyakini dan menyebarkannya, beliau sadar dan kembali kepada manhaj yang benar, manhaj salaf ahlussunnah wal jama’ah dengan menisbatkan diri kepada Imam Ahmad bin Hanbal karena hidayah Allah, kesadaran dan kembalinya beliau ke manhaj Ahlussunnah wal jama’ah dibuktikan dengan tiga hal :
32 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
1. Perkataan Para Ulama Banyak sekali ulama yang mempersaksikan kembalinya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari kepada madzhab salaf Ahlusunnah wal jama’ah, persaksian mereka itu diikrarkan setelah meneliti kehidupan Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Diantara mereka adalah: a. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah b. Imam Ibnul Qoyyim c. Imam Ad Dzahabi d. Imam Ibnu Katsir, beliau berkata: “Mereka (para ulama) menyebutkan tiga fase kehidupan Abul Hasan Al-Asy’ari, Fase pertama, berfaham Mu’tazilah. Fase kedua: penetapan sifat tujuh yaitu hayat, ilmu, qudroh, irodah, sam’u, bashar, dan kalam dengan berdasarkan kaidah akal. Adapun sifat Khobariyah, seperti wajah, dua tangan, kaki, betis dan lainnya dita’qil (ditahrif). Fase ketiga, menetapkan semua sifat khobariyah tadi dengan tanpa ditakyif dan tasybih menurut faham salaf. Inilah metode yang beliau tempuh seperti dijabarkan dalam kitab al Ibanah, karya terakhir beliau” (Ithaf Sadatil Muttaqin, Murtadho Az- Zabidi, 2/5 cet. Darul Fikr). e. Syaik Nu’man Al-Alusi rahimahullah f. Syaikh Abul Ma’ali Mahmud Al Alusi rahimahullah g. Al Allammah Muhibudiin Al Khotibb, beliau berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari Ali bin Ismail termasuk pembesar imam ahlu kalam dalam Islam. Pada awal kehidupannya dia menganut faham Mu’tazilah, dengan berguru kepada Abu Ali Al Jubba’i kemudian Allah menyadarkannya ketika beliau menginjak usia paruh baya dan awal kematangannya. Beliau mengumumkan kesadaran? Keinsyafannya dan membeberkan kesesatan faham Mu’tazilah. Pada fase ini beliau banyak menulis, berdebat dan mengajar dengan membantah faham Mu’tazilah berlandaskan metode jidal (debat) ta’wil (tahrif) dan metode salaf. Akhirnya beliau benar–benar kembali ke manhaj salaf dengan mengistbatkan semua perkara–perkara ghoib (termasuk sifat–sifat Allah) yang wajib diimani oleh para hamba-Nya dengan berdasarkan pada Nash (al Qur’an dan Hadits) buktinya beliau menulis kitabnya yang paling akhir yang sudah banyak dibaca orang yaitu Al Ibanah. Para penulis biografi beliau memastikan bahwa al Ibanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan. Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Adapun yang menyelisihi hal di atas dan dinisbatkan kepada beliau atau apa yang diada-adakan oleh Asy’iroh, sesungguhnya Abul Hasan Al-Asy’ari telah menyadari bahwa itu salah dan beliau telah meninggalkannya serta kembali ke manhaj salaf ahlussunah wal jama’ah seperti yang ditulis dalam kitab al Ibanah dan kitab lainnya”. (Lihat komentar no. 2 pada Muntaqo Minhajul I’tidal milik Adz Dzahabi). 2. Perjumpaan Beliau Dengan Al Hafidz Zakaria As-Saaji
Setelah Abul Hasan Al-Asy’ari melepas faham Mu’tazilah dan Kullabiyah, mulailah beliau menemui para imam ahlul hadits yang selamat aqidahnya guna mengambil dan mengikuti metode yang ditempuh oleh mereka. Yang paling mashyur adalah pertemuannya dengan ahli hadits negri Bahsrah Al Hafidz Zakaria As-Saaji rahimahullah. Para ulama begitu memperhatikan pertemuan ini karena merupakan point penting seputar keterusterangan Abul Hasan Al-Asy’ari untuk kembali ke manhaj salaf dan dan penisbatannya kepada Ahmad bin Hanbal. Ibnu Taimiyah berkata: “Abu Hasan Al-Asy’ari mengambil dasar–dasar ilmu hadits dari Zakaria as-Saaji di Bashrah lalu setelah datang ke Baghdad menimba
33 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
ilmu lainya dari pada ulama Hanbaliyah. Ini adalah fase terakhir dikehidupannya seperti disebutkan oleh para sahabatnya (muridnya) di kitab mereka” (Majmu Fatwa 3/ 288). Kata Ibnu Taimiyah selanjutnya : “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ushul (pokok–pokok) ahlussunah dan hadits dari Zakaria As-Saaji. Hal ini banyak dijumpai di kitabnya Maqolatul Islamiyyin. Dia menyebutkan pendapat imam ahlussunnah sebagaimana juga pendapat Hammad bin Zaid bahwa Allah berada di atas arsy dan dia mendekat kepada hamba-Nya sekehendak-Nya” (Majmu’ Fatawa 5/ 386) Imam Adz–Dzahabi rahimahullah sangat menaruh perhatian terhadap pertemuan dua orang ini. Ketika Adz-Dzahabi menulis biografi As-Saaji beliau berkata : “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil dari Al Hafidz As-Saaji perkataan ahlul hadits dan salaf“. (Tadzkirotul Hufadz 2/709). Pada Syiar A’lamun Nubala’ 14/198, Ad Dzahabi berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil dari Al Hafidz as-Saaji perkataan salaf dalam masalah sifat–sifat Allah. Lalu dijadikan pijakan dalam kitab–kitabnya”. Termasuk ulama yang memastikan adanya pertemuan antar Al Hafidz As-Saaji dengan Abul Hasan Al-Asy’ari adalah dua orang imam: Ibnul Qoyyim dan Ibnu Katsir (lihat Ijtima’u Juyus Islamiyah hal 97, Al Bidayah Wan Nihayah 11/131 dan Ghoyatul Amani oleh Al Alusi 1/480) 3. Penulisan Kitab Al Ibanah Dan Pemastian Bahwa Kitab Itu Karya Beliau
Banyak sekali ulama yang memastikan bahwa kitab Al Ibanah merupakan karya terakhir
Abu Hasan Al-Asy’ari, baik ulama terdahulu atau yang belakangan, yang paling dekat masa hidupnya dengan Abu Hasan adalah Ibnu Nadim, dalam kitabnya, al Fahrosat hal. 257, Ibnu Nadim menyebutkan biografi Abu Hasan dan karya–karyanya. Di antara karyanya adalah kitab At–Tabyiin an Ushulludin. Setelah itu Ibnu Asakir, beliau membela Abu Hasan dan memastikan bahwa kitab Al-Ibanah adalah kitab karya Abu Hasan, lalu Ibnu Asakir menyebut–nyebut dari kitab Al Ibanah dalam kitabnya At Tabyiin untuk memuji akidah Abu Hasan Al-Asy’ari, Ibnu Asakir berkata: “Karya Abu Hasan Al-Asy’ari telah mashur di kalangan ulama, menurut ulama peneliti, kitab tersebut sangat baik dan benar, siapa yang meneliti Al Ibanah niscaya mengerti isinya yang sarat dengan ilmu dan ketaatan”. (Tabyiin Kadzabul Muftari, hal 28) disebutkan bahwa Imam Abu Utsman as-Shobuni tidak akan keluar ke majlis kecuali membawa kita Al Ibanah karya Abul Hasan Al-Asy’ari, beliau sangat terkesan dengan kitab itu, hingga berujar: “apa–apa yang dingkarkan kepada saya tentang isi kitab ini maka akan terbongkarlah madzab orang tersebut” Lalu Ibnu Asakir berkomentar: “Ini adalah ucapan Imam Abu Utsman, sedang dia adalah tokoh ahli hadits di Khurosan” (Tabyiin Kadzbul Muftari, hal 389) Berikutnya, Ibnu Darbas (wafat 659 H) mengarang sebuah kitab untuk membela Abu Hasan Al-Asy’ari dan memastikan bahwa kitab al Ibanah adalah karya Abu Hasan. Dia berkata: “Adapun sesudah itu, ketahuilah wahai saudara–saudara, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada kita menapaki dien yang lurus dan untuk meniti jalan lurus, sesungguhnya kitab Al Ibanah An Ushulid Diyanah buah karya imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari adalah kitab dimana akidah beliau tertancap mantap padanya. Dan dengannya beliau beribadah kepada Allah setelah melepas paham I’tizal (Mu’tazilah) karena karunia Allah dan kelembutan-Nya, adapun perkataan yang muncul sekarang dan dinisbatkan kepada beliau namun menyelisihi akidahnya, beliau telah meninggalkannya dan beliau minta pembebasan kepada Allah dari perkataan tersebut. Bagaimana tidak, beliau telah menyatakan bahwa akidah tersebut adalah keyakinannya guna beribadah kepada Allah. Dan dia telah meriwayatkan dan memastikan keyakinan sahabat, Tabi’in para imam ahlul hadits yang telah berlalu, dan ucapan Ahmad bin Hanbal– semoga Allah merohmati mereka semua. Tambahan lagi keyakinan itu
34 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Apakah mungkin beliau kembali kepada kayakinan lain? Lalu kepada apa beliau kembali? Mungkinkah beliau berpaling dari kitab dan Sunnah, menyelisihi pemahaman sahabat Tabi’in dan para imam hadits yang telah lalu? Padahal telah diketahui bahwa itulah madzab beliau dan beliau sendiri telah meriwiyatkan dari mereka (imam ahlul hadits, tabi’in dan sahabat). Demi Allah, ini tidak patut dinisbatkan kepada orang awam apalagi kepada pemuka agama ini! Sekelompok imam dunia, para fuqoha Islam, imam ahli Qiro’at, ahli Hadits dan selain mereka telah menyebut kitab Al Ibanah ini, mereka jadikan pijakan dan pastikan bahwa kitab ini karya Abu Hasan Al-Asy’ari, mereka juga memujinya, membersihkanya dari bid’ah–bid’ah yang dinisbatkan kepada beliau. Dan menukil perkataan beliau dari Al Ibanah dalam tulisan–tulisan mereka”. (Risalatul Dzahabbi An Abil Hasan Al-Asy’ari, hal 107, peneliti Dr. Ali bin Nashir Al Fakihi). Kemudian Ibnu Darbas Menyebutkan nama–nama mereka:
Imam ahli Qiro’at al Qur’an, Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Ibroihim Al Farisi (wafat 446)
Al Hafidz Abu Utsman As Shobuni (wafat 449H)
Al Faqih Al Hafiz Aabu Bakr Al Baihaqi (wafat 458 H)
Imam Abul Fath Nashr Al Maqdisi (wafat 490H)
Al Faqih Abul Ma’ali Mujalli, penyusun kitab Ad Dzakhooir (wafat 550H) Ulama lainnya yang tidak disebutkan Ibnu Darbas semisal:
Imam Ibnu Timiyah
Al Hafiz Ad Dzahabi, beliau berkata: “Kitab al Ibanah adalah termasuk karangan Abu Hasan yang termashur. Dipopulerkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dan dijadikan rujukan dan disalin oleh Imam Nawawi (Mukhtashor Al Uluw, hal 239)
Imam Ibnul Qoyyim
Al Hafidz Ibnu Katsir.
Al Allmah Ibnu Farhun Al Maliki (wafat 799)
dan masih banyak lagi Kesimpulannya: Abu Hasan Al-Asy’ari pada awal kehidupannya menganut faham Mu’tazilah kemudian berlepas diri. Setelah itu menganut faham Kullabiyah. Masa inilah beliau menetapkan sebagian sifat (yang tujuh dan menta’wil sifat yang lain). Akhirnya beliau Ruju’ (kembali) kepada faham salaf, membelanya dan berpendapat sesuai pendapat salaf beliau mengambil dari pada ahlu hadits pendapat ahlussunnah wal jama’ah, lalu mengarang kitab Al Ibanah dan meyakini apa yang ditulisnya. Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya. (lihat bahasan ini dari hal 1 – 55)
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab
beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin.
Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah hal 17–19, beliau
berkata;
35 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Apabila seseorang bertanya: “kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Harruriyyah, Rodidhoh dan Murji’ah, maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang mengaku beribadah kepada Allah dengannya! Jawablah: “Pendapat dan keyakinan kami yang kami pegangi adalah perpegang teguh dengan kitab rabb kita azza wajalla, sunnah Nabi kita dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in dan para ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya,
para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan
oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun,
sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa
dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang
benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran
sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas
Arsy, seperti firman-nya. مان ح شعلىالر تواىال عر اس (Thoha ayat 5) Allah mempunyai dua tangan,
tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: ي بيدخلق ت (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya: داهبل ي
طتان Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al (QS. Al Maidah: 64) مب سو
Qomar: 14), siapa yang menyangka bahwa nama–nama Allah bukanlah Allah maka dia telah
sesat, Allah mempunyai ilmu, firmanya (QS. An Nisa 166) firmannya: مل عأن ثىمن وماتح بعل مهإال والتض
tidak ada seorang perempuan –perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan
melainkan dengan sepengetahuan-Nya. (QS. Al Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikanya seperti
dilakukan oleh Mu’tazilah, Jahmiyah dan Khowarij, kita juga menetapkan bahwa Allah
mempunyai Quwwah (kekuatan), seperti firman-Nya : اأولم ة من هم أشدهوخلقهم ال ذيهللاأن يرو قو (QS.
Fushilat: 15), kita katakan bahwa kalam Allah bukan makhluk, Allah tidak menciptakan
sesuatupun kecuali akan mengatakan jadilah! Seperti firmannya لناإن ما لأن إذاأرد ناهلشىء قو كن لهنقو
ن Tidak ada satu kebaikan atau kejelekan pun di bumi ini kecuali telah (QS. An Nahl: 40) فيكو
dikehendaki oleh Allah, sebab sesuatu itu terjadi karena kehendak-Nya azza wajalla seseorang
tidak mampu berbuat suatu perbuatanpun sebelum Allah menentukannya dan dia pasti butuh
kepada Allah, tidak ada seorangpun yang mampu keluar dari ilmu Allah azza wa jalla
sesungguhnya tidak ada pencipta kecuali Allah, amal perbuatan hamba itu diciptakan dan
ditentukan oleh Allah, seperti firmannya: نخلقكم هللاو ملو ع ومات (Qs.Ash Shofat: 96) seorang
hamba tidak mampu menciptakan sesuatupun, bahwa mereka diciptakan, seperti firman-Nya: هللاغي رخالق من هل (QS. Fathir: 3) ن لقو نوهم شي ئ االيخ لقو يخ (QS An Nahl: 20) لقأفمن لقكمن يخ نأفالاليخ تذك رو
(Qs. An Nahl; 17) اأم نهمأم شىء غي رمن خلقو ال خالقو (QS At Thur: 35) dan masih banyak lagi ayat yang
lain dalam kitab Allah.”
36 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan
ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka.
Kemudian pada akhir Bab beliau berkata:
“Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah
pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan
pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang
mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan,
kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!”
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktub dalam kitab-Nya dan dalam sunah nabi-Nya
secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah
mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan
bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran,
penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam
Allah, Allah turun ke langit dunia. Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa
pengahalng.Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris
)Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma’
(kesepakatan) salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh
(menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam
yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian)
dan Allah berada di atas arsy.
Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata
mereka, (hal 210 – 225)
Kemudian beliau menyebutkan beberap ijma’ lainnya, lalu menutup dengan ijma’ yang
menyeluruh sebagai kaidah terpenting bagi salaf, katanya:
“para salaf telah bersepakat untuk menetapkan sifat–sifat bagi Allah sebagaimana Allah telah
mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dan pensifatan oleh Nabi-Nya tanpa pemalingan dan tanpa ditakyif, iman kepada sifat–sifat tersebut adalah wajib, demikian pula tidak bolehnya takhif juga wajib” (hal 224)
Semakin jelas kiranya bahwa akidah imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah asma’ dan
sifat berdasarkan:
Kitab Allah ta’ala yaitu al Qur’an dimana Allah menetapkan di dalamnya sifat–sifat bagi
diri-nya
Hadits – hadits Rasululah yang shohih yang menetapkan sifat
Perkatan salaf dan para imam hadits. Karena aqidah mereka adalah aqidah yang
selamat dan motode mereka adalah lurus, yang menetapkan sifat-sifat yang baik bagi
Allah, tanpa ditakyif, tanpa tamsil, tanpa tahrif, tanpa ta’thil, panutan dalam masalah
ini adalah imam Ahmad bin Hambal
37 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Berbeda dengan apa yng diyakini oleh sementara orang yang mengaku mengikuti beliau,
dikenal dengan nama Asya’iroh, ternyata yang mereka klaim itu tidak benar sama sekali,
sehingga terlihat nyata perbedaan antara imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Asy’iroh, dimana
beliau menetapkan semua sifat bagi Allah yang tertera dalam al Qur’an sedangkan Asya’iroh
hanya menetapkan dua puluh sifat saja, uraian ini sebenarnya sudah cukup membuktikan
kesalahan mereka dan sebagai bantahan kepada mereka, karena beliau telah ruju’ (berlepas
diri) dari faham Mu’tazilah dan faham Kullabiyah. Membuktikan bahwa faham tadi itu salah
dan sesat, selain itu mereka telah berbuat lancang dzolim kepada imam Abu Hasan Al-Asy’ari,
jika mereka mengaku ittiba’ kepada beliau seharusnya juga bertaubat dari keyakinan mereka
dan ruju’ kepada faham salaf, ahlussunnah wal jama’ah yang hakiki, Allahu a’lam.
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan
Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan
Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-
Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-
Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau
masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui,
Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy
atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah mengumpulkan beberapa
riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw
lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul
: Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar
halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-
Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H).
1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy,
seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa
Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang
lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-
Hadiits (dalam ‘aqidah) :
صلىهللارسولعنالثقاترواهوماهللاعنجاءوبماورسلهوكتبهومالئكتهباهللاإلقرارقولهمملةج
(استوىالعرشعلىالرحمن)قالكماعرشهعلىهللاوأن.شيئاذلكمنيردونالوسلمعليههللا
قالتكماهللاغيرإنهايقالالهللاأسماءوأن(.بيديخلقتلما:)قالكماكيفباليدينلهوأنه
إالتضعوالأنثىمنتحملوما()بعلمهأنزله:)قالكماعلماهللأنوأقروا.والخوارجالمعتزلة
األرضفييكونال:وقالوا.المعتزلةنفتهكماهللاعنذلكينفواولموالبصرالسمعوأثبتوا(.بعلمه
(هللايشاءأنإالتشاؤونوما:)تعالىقالكمابمشيئتهتكونشياءاألوأنهللاشاءماإالوشرخيرمن
مخلوقغيرهللاكالمالقرآن[إن:]ويقولون:قالأنإلى .
38 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
الدنياالسماءإلىينزلهللاإن:)وسلمعليههللاصلىهللارسولعنجاءتالتيباألحاديثويصدقون
والملكربكوجاء:)قالكماالقيامةيوميجيءهللاأننويقرو.الحديثجاءكما(مستغفرمنهلفيقول
فهذا:قالأنإلى(الوريدحبلمنإليهأقربونحن:)قاليشاءكماخلقهمنيقربهللاوأن(صفاصفا
باهللإالتوفيقناومانذهبوإليهنقولقولهممنذكرناماوبكلويرونهويستعملونهبهيأمرونماجملة .
“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah
pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-
apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan
bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang
Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua
tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’
(QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah
seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai
ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ :
166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan
melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak
menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-
Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang
terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi
dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan
berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana
disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat
sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-
Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki,
sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf
: 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari
apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka
amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga
yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq
kepada kita melainkan Allah”.[3]
2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-
Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada
di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
يشبهوالبجسمليسإنهالحديثوأصحابالسنةأهلقالمنهامقالةعشرةسبععلىذلكفيإختلفوا
بلبالقول،هللايديبيننتقدموال(.استوىالعرشعلىالرحمن:)قالكماالعرشعلىوإنهاألشياء
39 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
فيجاءكمادنياالسماءإلىينزلوإنه(بيديخلقت:)قالكمايدينلهوإنكيفبالاستوىنقول
.الحديث
بأعينناتجريوقولهالنعمةبمعنىاليدوتأولواإستولىبمعنىعرشهعلىاستوىالمعتزلةوقالت:قالثم
بعلمناأي
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas
pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan
Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti
makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya
Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu
perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa
menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana
firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan
bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam
(istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan
pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar
dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]
3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-
Maqaalaat :
والمعنىاإلطالةخوفألفاظهإيرادتركت.الحديثأصحابمقالةفيالكالمهذامننحوافسردشاذانبنعليأبيالمحدثبخطرأيته
واحد
“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang
semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan
lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah
satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii
Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
وقال(استوىالعرشعلىالرحمن:)قالكماعرشهعلىمستوهللاإننقول:نقول[له]قيل.؟اإلستواءفيتقولونما:قائلقالفإن
أبلغلعليصرحاليابنهامانيافرعونوقال:)فرعونعنحكايةوقال(إليههللارفعهبل:)وقال(الطيبالكلميصعدإليه:)
:عزوجلوقال.السمواتفوقهللاإن:قولهفيموسىذبفك(.كاذباألظنهوإنيموسىإلهإلىفأطلعالسمواتأسباباألسباب
وليسسماء،فهوعالماوكل.السمواتفوقالعرشكانفلماالعرش،فوقهافالسموات(األرضبكميخسفأنالسماءفيمنأأمنتم)
:فقالالسمواتذكرأنهترىأال،السمواتأعلىهوالذيالعرشأرادوإنماالسموات،جميعيعني(السماءفيمنأأمنتم:)قالإذا
-دعواإذا-أيديهميرفعونجميعاالمسلمينورأينا:قال[.جميعافيهنوأنه]جميعا،يمألهنأنهيردولم(نورافيهنالقمروجعل)
العرشحونأيديهميرفعوالمالعرشعلىهللاأنالفلوالسماوات،فوقهوالذيالعرشعلىمستوهللاألنالسماءنحو .
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka
dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas
‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam
di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir
: 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158).
Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
40 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang
mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan
bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah
bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu
yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan :
‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang
dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat
bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan
padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan
memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum
muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka
berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit.
Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka
ke arah ‘Arsy”.
يكونأنوجحدوامكان،كلفيتعالىوأنهوقهر،وملكإستولىاستوىمعنىإن:والحروريةوالجهميةلمعتزلةامنقائلونقالوقد
ألنهالسابعةاألرضوبينالعرشبينفرقالكانقالواكماكانفلوالقدرة،إلىاإلستواءفيوذهبواالحق،أهلقالكماعرشه،على
الحشوشوعلىعليهاقادرفاهللشيء،واألرضشيء،كلعلىقادر .
يقولأنالمسلمينمنأحدعنديجزولمكلهااألشياءعلىمستوهو:يقالأنلجازاإلستيالء،بمعنىالعرشعلىمستوياكانلووكذا
اإلستيالء[:العرشعلى]اإلستواءيكونأنفبطلوالحشوش،األخليةعلىمستوهللاإن: .
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah
(Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan
mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di
atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka
(Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada
kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak
akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala
sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan
berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’.
Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata :
‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu,
terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’
(menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-
Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
5. Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-
Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi
Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu
Faurak) berkata :
أنهآخرهفيأبانوماالحديثأصحابمذاهبجملمنالمقاالتكتابفيعنههللارضيالحسنأبوحكىماذكرفياألولالفصل
ذلكبجميعيقول .
41 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu
dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang
Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian
akhirnya :
توحيدهموأساسالحديثأصحابقواعدهيالتياألصوللهذهمعتقدأنهألفاظهمنلكتحقيقفهذا
“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau
berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh
Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah
membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang
menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
بسبعإحتجبوالذيال:حلفهمومنالعرشساكنيا:يقولونهللاإلىرغبواهمإذااإلسالمأهلدعاءومن .
“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata :
‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan)
: ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6. Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-
Sunnah :
وبصره،وسمعه،وحياته،وعلمه،قدرته،منهلل،الجاللصفاتوإثباتالقدر،بإثباتقالأنهإالاألشعريالحسنأبيمننقمواما
مخلوقغيركالمهالقرآنوأنويده،ووجهه، .
حالفيشيئايقولفكانحجريفيورأسههللارحمهاألشعريماتيقولالفقيهأحمدبنزاهرسمعت:يقولالدقاقعليأباسمعت
ومخرقواموهواالمعتزلةهللالعننزعه
“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan
adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya,
hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya
Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin
Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada
di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah
tertipu dan telah berdusta”.[8]
7. Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu
Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
يذهبماأكثرفييوافقهواإلنتقاد،المعرفةأهلعندالمذهبمستصوبتقاد،اإلعحسنمنعنهذكركماهللارحمهالحسنأبوكانفإذا
صحةفيحالهليعلمباألمانة،وجههعلىمعتقدهعنهيحكىأنبدفالوالعناد،الجهلأهلغيرمذهبهفييقدحوالالعباد،أكابرإليه
بالتمجيد،المتمجدبالتوحيد،المتفردالماجد،العزيزالواحدهلللحمدا:))قالفإنهاإلبانةكتابفيذكرهمافاسمعالديانة،فيعقيدته
:قالأنإلى.والرافضة]والجهميةوالقدريةالمعتزلةعلىخطبتهفيفرد....((.نديدوالمثللهوليسالعبيد،صفاتتبلغهالالذي
وديانتكمتقولون،الذيقولكممافعرفوناوالمرجئة،والرافضةةوالحروري[والجهميةوالقدريةالمعتزلةقولتمأنكرقد:قائلقالفإن
عنرويوماوسلم،عليههللاصلىنبيهوسنةهللابكتابالتمسكندين،بهاالتيوديانتنانقول،بهالذيقولنا:لهقيل؟تدينونبهاالتي
قولهخالفولمنقائلون،وجهههللانضرحنبلبنحمدأعليهكانوبمامعتصمون،بذلكونحنالحديث،وأئمةوالتابعينالصحابة
المبتدعين،بهوقمعالمنهاج،بهوأوضحالضالل،ظهورعندالحقبههللاأبانالذيالكامل،والرئيسالفاضل،اإلمامألنهمجانبون،
المسلمينأئمةجميعوعلىمفهموكبيرمقدم،إماممنهللافرحمه .
42 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah
seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang
ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka
(para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang
bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i'tiqadnya
disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka,
dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala
puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-
Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak
ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah,
dan Raafidlah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika
engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah,
Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidlah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami
tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya :
‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada
Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang
diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh
terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di
atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya
(Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena ia adalah seorang imam yang utama
dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui
perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah
menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum
muslimin.
نردالوسلم،عليههللاصلىهللارسولعنالثقاترواهوماهللا،عندمنجاءوماورسله،وكتبهومالئكتهباهللنقرأن:قولناوجملة
ريبالآتيةالساعةوأنحق،لنارواالجنةوأنورسوله،عبدهمحمداوأنغيره،إلهالصمد،فردواحدإلههللاوأنشيئا،ذلكمن
:قالكماوجهالهوأن(استوىالعرشعلىالرحمن:)قالكماعرشهعلىمستوتعالىهللاوأنالقبور،فيمنيبعثهللاوأنفيها،
اسمأنزعممنوأن(بأعينناتجري:)قالكماكيفبالعينينلهوأن(مبسوطتانيداهبل:)قالكمايدينلهوأنه(ربكوجهويبقى)
قالأنإلى-المؤمنونيراهالبدر،ليلةالقمريرىكماالقيامةيومباألبصاريرىهللاأنوندينضاال،كانغيرههللا :
إلى-الحديث،فيجاءكماإصبع،علىواألرضالسمواتيضعوأنهأصابعه،منإصبعينبينالقلوبوأنالقلوب،يقلببأنهوندين
قالأن : -
ونرى(أدنىأوقوسينقابفكانفتدلىدناثم:)قالوكما(الوريدحبلمنإليهأقربونحن:)قالكماشاءكيفخلقهمنيقربوأنه
شيئاوشيئابابا،بابا[منه]بقيوماقولنامنذكرناهلماوسنحتجاألهواء،أهلومجانبةبدعة،إلىداعيةكلمفارقة .
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang
diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak
menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa,
tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya
Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat
akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari
kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya :
‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah
mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-
Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan
Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan
43 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-
Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia
adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan
(mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam
purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu
berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua
langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-
Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya,
sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf
: 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9).
Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu
(dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan
apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :
وبينهشرحهالذياإلمامهذابفضلواعترفواوأبينه،أوضحهمااإلعتقادهذاهللارحمكمفتأملوا .
“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan
ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan
imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada
kalian semua)”.[10]
8. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata
dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
فيوواليدين،الوجهإثباتفيالصفاتمنكثيرةفنونفيهوالجهمية،المعتزلةأصنافعلىفيهتكلمناالصفاتفيكبيراكتاباألفنا
العرشعلىإستوائه .
ماجمهورفيالحديثأئمةووافقللسنة،متكلماوصارعليه،وردنابذهثمالجبائي،عليأبيعنأخذمعتزلياأوالالحسنأبوكان
.الساجيزكرياالحافظعناألثرعلمأخذذكاء،يتوقدوكان.موافقهموأنهذلكعلىإجماعهمنقلأنهمنعنهسقناهماوهويقولونه،
تعالىهللارحمهسنةوستونأربعولهوثالثمائة،وعشرينأربعسنةوتوفي .
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami
berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat
berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-
Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman
dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling
menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati
sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau,
bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau
adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-
Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat
kepada beliau”.
44 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Kesimpulan:
Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan
sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah
sebagaimana dhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun,
dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan
kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’
(menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana
beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum
Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan
ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau
tinggalkan sebelum taubatnya.
‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah.
Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-
Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan
bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka
beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit
contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf
: Abu Syafiq Al-Ahbasyiy - yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang
menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-
muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskah yang telah
dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajiban untuk mencetak semula
sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong
pandangan al-Kauthari dengan katanya :
Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab
al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy)
mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak
melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain
ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para
peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini,
sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah
sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-
bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa
45 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu
jumlahnya sedikit. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi
S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah
diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di
Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah
‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah,
nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr.
Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-
Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) :
“Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah”
adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak
mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan
yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia
mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-
tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet.
Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan
perbandingan dan penelitian ?
Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah oleh Imam Abu Hasan Al-
Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam
Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu
Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan
mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat, bukanlah Allah diangkat
oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan
kekuasaan-Nya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”
Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas pernyataan bahwa Abu Syafiq
bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai kemampuan melakukan penelitian
terhadap kitab para ulama. Ia hanya membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan
yang berkesesuaian dengan hawa nafsunya.
Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil – dan kemudian ia
benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat banyak kekeliruan. Termasuk
diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan
tambahan yang tidak terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr.
Fauqiyyah di bawah :
والتمكنواالستقرارالممارسةعنمنزهااستواءأرادهالذيوبالمعنىقالهالذيالوجهعلىالعرشعلىاستوىتعالىهللاوأن
كلوفوقالعرشفوقوهوقبضتهفيومقهورونقدرتهبلطفمحمولونوحملتهالعرشبلالعرش،يحملهالواالنتقالوالحلول
الثرىعنالدرجاترفيعأنهكماالعرشعنالدرجاترفيعهوبلوالسماءالعرشإلىقرباهتزيدالفوقيةالثرىتخومإلىشيء
شهيدشيءكلعلىوهوالوريدحبلمنالعبدإلىأقربوهوموجودكلمنقريبذلكمعوهو
“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam bentuk sebagaimana yang Ia
firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari
bersentuhan, menetap, bertempat tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat). ‘Arsy tidak
membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang
46 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam genggaman-Nya;
sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah
di atas segala sesuatu (fauqiyyah) tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun
hal itu menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga
ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah sangat dekat
dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari urat lehernya. Dan Allah Maha
Menyaksikan atas segala sesuatu” [selesai].
Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
sebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Shaalih
bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya – adalah sebagai berikut :
(استوىالعرشعلىالرحمن:)قالكماعرشهعلىاستوىهللاوأن .
“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan
Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an
Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan
kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-
‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat penyebutannya - yang persis seperti kalimat di atas
tanpa ada penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin Kadzibil-Muftariy hal.
158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa 5/142, Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql
7/104, dan Bayaan Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy Al-
Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaraatudz-Dzahab 2/304; Al-Alusiy dalam
Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-
Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsar hal. 111; dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan
tanpa adanya penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam naskah/manuskrip yang
terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Adapun dalam naskah-naskah (manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat
tersebut. Selain itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang
menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang menunjukkan
kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut merupakan gaya khas Mu’tazilah
yang banyak melakukan ta’wil (seperti Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan –
dan bahkan dicela – oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya
tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan lafadh ini hanya tertulis
dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa ‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8,
dan Qawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.
Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :
47 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
48 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
49 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Kalangan salaf rahimahullah telah sepakat bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’
(bersemayam) di atas ‘Arsy dan tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi
dari-Nya di antara perbuatan-perbuatan mereka. Makna istiwaa’ Allah adalah
hakiki, bukan seperti istiwaa’ (bersemayam)-nya makhluk.
Dalam menafsirkan kata istiwaa’, kalangan salaf mempunyai empat ungkapan : al-‘ulluw
(ketinggian), al-irtifa’ (meninggi), as-su’uud (naik), dan al-istiqrar (menetap). Allah ber-istiwaa’
di atas ‘Arsy bukan karena Dia membutuhkan ‘Arsy.
Banyak dalil yang mendasari tentang ‘aqidah ini, diantaranya :
Firman Allah ta’ala :
رب كمإن ضالس ماواتخلقال ذيالل شعلىاس توىثم أي ام ست ةفيواألر ال عر
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy” [QS. Al-A’raf : 54].
رب كمإن ضالس ماواتخلقال ذيالل شعلىاس توىثم أي ام ست ةفيواألر ريدبرال عر األم
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan” [QS. Yunus : 3].
ضالس ماواتخلقال ذيوهو شهوكانأي ام ست ةفيواألر سنأيكم ليب لوكم ال ماءعلىعر عمالأح
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di
atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” [QS. Huud : 7].
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
غضبيسبقترحمتيإن:عرشهفوقعندهكتبالخلق،قضىلماهللاإن
“Sesungguhnya Allah ketika Dia selesai menciptakan ciptaan-Nya, Dia menulis di sisi-Nya
di atas ‘Arsy-Nya : Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku” [HR. Al-Bukhari no.
7422 dan Muslim no. 2751].
جكن :تقولوسلمعليههللاصلىالنبيأزواجعلىتفخرزينبفكانت:قالأنسعن ،أهازو سبعفوقمنتعالىهللاوزوجنيليكن
سماوات
Dari Anas ia berkata : Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-
keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh
langit” [HR. Al-Bukhari no. 7420].
Diriwayatkan oleh Syaikhul-Islaam Abul-Hasan Al-Hakariy dan Al-Haafidh Abu Muhammad Al-
Maqdisiy melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib; mereka
berdua dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syaafi’iy, seorang pembela hadits
rahimahullah. Beliau berkata :
أنبشهادةاإلقراروغيرهما،ومالكسفيانمثلرأيتهم،الذينعليهاورأيتعليها،أناالتيالسنةفيالقول
وينزلشاء،كيفخلقهمنيقربسمائه،فيعرشهعلىهللاوأنهللا،رسولمحمداوأنهللا،إالإلهال
االعتقادسائروذكر....شاءكيفالدنياالسماءإلى .
“Pendapatku tentang Sunnah, dimana aku berpegang kepadanya, dan juga berpegang
kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik, dan lain-lain; yaitu pengakuan
50 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
terhadap persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan
bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya yang ada
di langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun
ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki”. Lalu beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pun
menyebutkan seluruh i’tiqad-nya” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 176].
Oleh karena itu, makna istiwaa’ adalah sebagaimana dhahirnya. Bukan di-ta’wil dengan istilaa’
(menguasai) sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah – yang hal ini justru dibantah oleh Abul-
Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitab Al-Ibaanah dan Maqaalatul-Islaamiyyiin,
sebagaimana telah berlalu penyebutannya.
Mereka (ahlul-bida’) juga berkata :
Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah dimuatkan di dalam kitab
tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran
ternyata dengan jelas terdapat pemalsuan.
Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:
Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 ( عينانلهيكونأنوأنكروا …. )
Kalimah عينان dengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 ( كيفبالعينينلهوأن ….)
Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : ( كيفبالعينالهوأن ….)
Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )
Kalimah mufrad adalah bertepatan dan tidak bertentangan dengan al-Kitab ,al-
Sunnah dan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz عينين tidak warid (datang) di
dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana menduakan kalimah عين adalah dianggap
mengkiaskan Allah dengan makhluk yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir
.Maha suci Allah dari yang demikian itu.
Kami Katakan:
Ini adalah satu kedustaan sekaligus kejahilan dari si empunya kalam. Orang ini – dengan
tulisannya di atas – semakin menunjukkan minimnya pengetahuan yang dimiliki. Namun
sungguh disayangkan jika ia berpuas diri dengan statement tanpa arti.
Sudah sangat lazim bahwa di alam percetakan kitab terdapat banyak perbedaan lafadh.
Jangan buru-buru menuduh adanya pemalsuan. Mungkin disebabkan oleh faktor teknis
pencetakan ataupun memang perbedaan manuskrip yang dijadikan acuan. Ini terjadi dalam
cetakan kitab para ulama. Misalnya, tahqiq yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan
Mahmud Syaakir – ahli hadits Mesir - terhadap Tafsir Ath-Thabariy; Asy-Syaikh Syu’aib Al-
Arna’uth terhadap Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam; Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
terhadap Al-I’tishaam lisy-Syaathibi; dan yang lainnya yang semuanya menjelaskan pada kita
adanya perbedaan lafadh dalam beberapa cetakan kitab yang beredar. Kemudian, para
muhaqqiq tersebut melakukan tashhih (koreksi) atas beberapa manuskrip atau cetakan yang
ada untuk menghasilkan satu matan kitab yang sesuai dengan aslinya.
51 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan ahlul-bid’ah yang jarang/tidak pernah melakukan
penelitian, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Jika ia menemukan perbedaan lafadh
dalam satu cetakan kitab, maka ia pilih yang sesuai dengan hawa nafsunya serta melemparkan
tuduhan kepada pihak yang beseberangan dengannya sebagai pihak yang telah memalsukan
kitab.
Kembali kepada kitab Al-Ibaanah, jika yang dipermasalahkan adalah kata mata/‘ain ( yang (عي ن
merupakan salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah – apakah ia berbentuk mufrad (tunggal) atau
mutsanna (mempunyai pengertian dua) –, maka seharusnya kita kembalikan kepada matan
kitab Al-Ibaanah itu sendiri. Segala nukilan yang ada di kitab lain, maka itu bukan menjadi
acuan utama. Bahkan jika ada perbedaan antara nukilan dengan matan kitab asli, kita harus
mengembalikannya kepada matan kitab asli dan mengoreksi nukilan tersebut. Tidak terkecuali
dalam permasalahan ini. Terdapat perbedaan lafadh dari manuskrip yang ada. Dr. Shaalih bin
Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah dalam desertasinya terhadap kitab Al-Ibaanah telah
menjelaskan bahwa bentuk mufrad (tunggal) memang terdapat dalam salah satu
naskah/manuskrip. Namun dalam naskah/manuskrip lainnya menggunakan bentuk
mutsannaa (ني ن : Dan inilah yang mu’tamad (sah) .(عي
اآليةمن(بأعينناتجري:)هسبحانقالكماكيفبالعينينسبحانهلهوأن ( 14 )
“Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya :
‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14)”.
Dan seperti itulahlah yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw (hal. 262) dari kitab At-
Tabyiin karangan Ibnu ‘Asaakir (sebagaimana telah disebutkan di atas).
Kalaulah hal ini dianggap sebagai satu perbedaan, maka perbedaan ini tidaklah bertentangan
karena Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah ingin menetapkan sifat ‘ain/mata pada
Allah ta’ala – dimana hal itu dinafikkan oleh Asy’ariyyah dan semisalnya.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘ain disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada
dlamir mufrad, dan juga dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepada dlamir
mufrad adalah :
نع عي نيعلىولتص
“Dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku” [QS. Thaha : 39].
Penyebutan kata ‘ain (mata) dalam bentuk mufrad di sini tidak berarti hanya menunjukkan
satu ‘ain (mata) saja, sebagaimana firman Allah ta’ala :
نع مةتعدواوإن صوهاالالل تح
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya” [QS.
Ibraahiim : 34].
Yang dimaksud adalah, kenikmatan-Nya yang bemacam-macam yang tidak termasuk dalam
pembatasan dan bilangan.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir
jamak adalah :
بر مواص يننافإن كربكلحك دوسبح بأع تقومحينربكبحم
52 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada
dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun
berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
Adapun penetapan sifat bahwasannya Allah mempunyai dua mata (‘ainaan - عي نان) adalah
hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
،اليمنىالعينأعورالدجالالمسيحوإن-عينهإلىبيدهوأشار-بأعورليسهللاإنعليكم،يخفىالهللاإن
طافيةعنبةعينهكأن
“Sesungguhnya Allah tidaklah tersembunyi darimu. Sesungguhnya Allah itu tidak buta
sebelah mata-Nya” - Beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya - . “Sesungguhnya
Al-Masih Ad-Dajjal itu buta sebelah matanya yang kanan, seakan-akan buah anggur yang
mengapung (menonjol keluar)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Perkataan : ‘beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya’ dalam hadits Dajjaal di atas
menunjukkan bahwa makna ‘ain (mata) yang dinisbahkan kepada Allah adalah makna dhahir,
bukan ta’wil sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah. Mereka (Asy’ariyyah) menakwilkan sifat
mata (‘ain) dengan ilmu (al-‘ilmu).
Hal senada dengan di atas adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhuma :
ري :)وجلعزقولهفيعنههللارضيعباسابنعن:عطاءعن ينناتج عينيهإلىبيدهأشار:قال[.٤١:القمر(]بأع .
Dari ‘Athaa’ : Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengenai firman Allah ‘azza wa jalla :
‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14), maka ‘Athaa’ berkata : Ibnu
‘Abbas berisyarat dengan tangannya kepada dua matanya’ [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy,
3/411; di dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Shadaqah yang tidak diketemukan biografinya,
adapun perawi yang lainnya adalah tsiqah – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii
Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal bin Qazaar Al-Jaasim, hal. 90; Al-Mabarratul-Khairiyyah li-
‘Uluumil-Qur’an was-Sunnah, Cet. Thn. 1428, Kuwait].
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma di atas untuk menetapkan sifat dua mata bagi Allah ta’ala, dengan perkataannya :
ورليسوأن ه الذكرإذ وسلمعليههللاصلىالن بيبقولبأع ور،إن ه:فقالالد ج ورسلي رب كم وإن أع بأع .
“Bahwasannya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya dengan dasar sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan perihal Dajjaal, beliau bersabda : ‘Sesungguhnya Dajjal
itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah mata-Nya”
[Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman
bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Terbitan Univ. Ummul-Qurra’, Cet. Thn. 1419].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juga berdalil dengan hadits di atas ketika menetapkan sifat
‘ain (mata) sebagai salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah ta’ala [lihat Al-Asmaa’ wash-Shifaat
oleh Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy, 2/114-115, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-
Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy].
I’tiqad bahwasannya Allah mempunyai dua mata adalah i’tiqad para imam salaf Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah.
53 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah :
وقالأهلالسنةوأصحابالحديث:ليسبجسمواليشبهاألشياءوأنهعلىالعرشكماقال
عزوجل:"الرحمنعلىالعرشاستوى"والنقدمبينيديهللافيالقولبلنقولاستوىبال
كيفوأنهنوركماقالتعالى:"هللانورالسماواتواألرض"وأنلهوجها كماقال
هللا:"ويبقىوجهربك"وأنلهيدينكماقال:"خلقتبيدي"وأنلهعينينكماقال:"تجري
"بأعيننا
“Telah berkata Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits : Allah tidak bersifat mempunyai badan
(seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan
bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan
Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului
Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah
bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah
mempunyai cahaya sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit
dan bumi’ (QS. An-Nuur : 35). Dan bahwasannya Dia mempunyai wajah sebagaimana firman
Allah : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dan bahwasannya Dia
mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua mata sebagaimana
firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14)” [Maqaalatul-
Islaamiyyiin oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 260-261, tahqiq : Muhammad Muhyiddin ‘Abdul-
Hamiid; Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H].
Telah berkata Al-Imam Al-Laalika’iy rahimahullah :
واليدينوالعينينالوجهوجلعزهللاصفاتنمأنعلىوسلمعليههللاصلىرسولهوسنةوجلعزهللاكتابمندلماسياق
“Pembicaraan yang ditunjukkan oleh Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Termasuk sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah (bahwa Dia
mempunyai) wajah, dua mata, dan dua tangan” [Tahqiq Kitaab Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-
Sunnah wal-Jama’ah li-Abil-Qaasim Hibatullah Al-Laalikaiy oleh Ahmad bin Mas’ud Al-
Hamdaan, 3/412; desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Telah berkata Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
ماوتعالىتباركهللاعنينفيمن:مؤمنغيرالعين،منلنفسه،البارئالخالقثبتماوبارئهالخالقهيثبتأنمؤمنكلىعلفواجب
بينلتالذكرإليكوأنزلنا:)قولهفيوجل،عزعنه،مبين اهللاجعلهالذيوسلمعليههللاصلىالنبيببيانتنزيله،محكمفيهللاثبتهقد
بينمسطورهوالذيالتنزيل،محكملبيانموافق ابيانهفكانعينين،هللاأنوسلمعليههللاصلىالنبيفبين،(إليهمزلنماللناس
الكتاتيبالمحاريبفيمقروءالدفتين، .
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa
yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya,
bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-
apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan
ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah
sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan
Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan
dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran
yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa
54 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz
bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Menetapkan sifat dua mata, dua tangan, wajah, kaki, jari-jari, dan yang lainnya dari sifat
dzatiyyah Allah sebagaimana dhahir maknanya bukan merupakan tasybih (penyerupaan Allah
kepada makhluk-Nya). Apalagi sampai menuduh sebagai mujassimah atau musyabbihah !
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
كيف،:يقولفالوبصر،وسمعيد:هللاقالكماقالإذاوأما.تشبيهفهذاكسمعي،سمعأويديمثليد:قالإذاالتشبيهيكونإنما
ء كمث لهلي س:)تعالىقالتشبيها ،يكونالفهذامثل،:واليقول ال بصي رالس مي عوهوشي
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti
tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih
(penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan,
pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka
itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi,
hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah berkata :
تشبيها رسولهوالنفسه،بهوصفماوليسكفر،فقدنفسهبهوصفماأنكرومنكفر،فقدبخلقه،هللاشبهمن
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir.
Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir.
Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu
sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad
shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah
terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman
Ash-Shabuniy rahimahullah :
لهمواحتقارهموسلم،عليههللاصلىالنيأخبارلحملةمعاداتهمشدةوعالماتهمآياتهموأظهرظاهرة،باديةأهلهاعلىالبدعوعالمات
العلموأنالعلم،عنبمعزلأنهاوسلمعليههللاصلىالرسولأخبارفيمنهماعتقاداومشبهة،وظاهريةوجهلةحشويةإياهموتسميتهم
.العاطلةوحججهمالخير،منالخاليةقلوبهموهواجسالمظلمة،صدورهمووساوسالفاسدة،عقولهمنتائجمنإليهملشيطانايلقيهما
هللالعنهمالذينأولئك
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang
paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka
sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini
bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan
bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil
pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang
penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan
hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [selesai].
Kesimpulan yang ingin ditekankan di point ini adalah bahwa klaim pemalsuan kitab Al-
Ibaanah yang mereka tuduhkan kepada ‘Wahabi’ sama sekali tidak berdasar. Omong kosong
belaka. Semakin banyak tuduhan mereka justru semakin mengungkap siapa sebenarnya
mereka dan seberapa jauh keilmuan yang mereka miliki. Akhirnya, kita hanya berharap kepada
55 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Allah agar memberikan keistiqamahan kepada kita semua di atas manhaj yang haq, sekaligus
memberikan petunjuk kepada mereka yang telah tersesat dari jalan-Nya yang lurus.
Abu Al-Jauzaa’
[1] Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan
judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
[2] Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana
di atas.
[3] Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.
[4] Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.
[5] Al-Ibaanah, hal. 34-37.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberikan ta’liq (komentar) di akhir paragraph ini
dengan perkataannya :
اإلبانةكتابأن(٨٢ص(()المفتريكذبتبيين))علىتعليقهفيالكوثريقولبطالنعلىواضحدليلاألشعريقولوفي:قلت
السلفمذهبوهوالمراد،نتعييعناإلمساكفيالمفوضةطريقةعلىهوهذا !
االستواءأنوهوالمراد،تعيينفيصريحمنهمحلهإلىوأشارنا((اإلبانة))عنهللارحمهالمصنفنقلهالذياألشعريكالمفإن
اأيكذب،((السلفمذهبوهو))قولهأنشكوالالكوثري،زعمهالذيالمرادتعيينعنواإلمساكالتفويضفأينالعلو،بمعنى ض
فيإليكقربتهاثمفأوعى،((العلو))كتابهفيتعالىهللارحمهالمصنفجمعهاالتيالسنةأصولكتبفيأقوالهمدرسمنيعلمهكما
اهذا،((مختصره)) ترىكمامنهاإسنادهصحماعلىمنبه .
“Aku katakan : Dalam perkataan Al-Asy’ariy terdapat dalil yang jelas atas bathilnya perkataan
Al-Kautsariy dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyiinu Kadzibil-Muftariy (hal. 28) bahwasannya
kitab Al-Ibaanah ditulis di atas metode Mufawwidlah dalam menahan diri untuk tidak
memberikan penjelasan makna (terhadap sifat Allah). Dan (menurut Al-Kautsariy) inilah
manhaj salaf !!
Sesungguhnya perkataan Al-Asy’ariy yang dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabiy)
rahimahullah dari kitab Al-Ibaanah, dan juga yang telah kami isyaratkan tempat perkataanya;
sangat jelas menunjukkan makna sebenarnya. Yaitu istiwaa’ bermakna al-‘ulluw (tinggi).
Lantas, dimana letak tafwidl dan menahan diri dari makna sebenarnya sebagaimana diklaim
oleh Al-Kautsariy ? Tidak ragu lagi bahwa perkataannya : ‘dan inilah manhaj salaf’ adalah satu
kedustaan juga sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari perkataan beliau
(Al-Asy’ariy) dari kitab-kitab Ushulus-Sunnah (kitab-kitab ‘aqidah) yang dikumpulkan oleh
mushannif (Adz-Dzahabi) rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al-‘Ulluw. Kemudian telah aku
dekatkan hal itu kepada Anda dalam Mukhtashar (ringkasan) ini, dengan disertai
pemberitahuan atas apa yang shahih sanadnya sebagaimana yang Anda lihat”.
[6] Dengan mem-fat-hah huruf tha’ dan men-sukun huruf ra’, merupakan nisbah pada
Tharq, sebuah desa di daerah Ashbahan. Beliau wafat setelah tahun 520 H.
[7] Al-Ibaanah, hal. 35-36.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : “Dan dalam perkataannya : ‘Wahai
Penghuni ‘Arsy’, ada pembicaraan, karena sepengetahuanku lafadh tersebut (yaitu :
Penghuni) tidak ditemukan dalam khabar yang shahih”.
56 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
[8] At-Tabyiin, hal. 148, dan tambahan itu berasal darinya. Ibnu Qaadliy Syuhbah
menisbatkan laknat menjelang kematian tersebut kepada Zaahir bin Ahmad. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam biografinya dalam kitab Asy-Syadzdzaraat (3/131). Ada
kemungkinan bahwa hal itu merupakan kekeliruan dan kekurangan saat ia hendak
menisbatkan kepada Al-Asy’ariy, maka pandangannya terhenti pada riwayat dari
Zaahir, lantas ia pun menisbatkan laknat itu kepadanya.
Adapun Zaahir, maka ia adalah salah seorang imam dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat
389 H pada usia 96 tahun.
[9] Dalam At-Tabyiin (hal. 152) tertulis : “i’tiqadnya”.
[10] At-Tabyiin (hal. 152-163) yang telah dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabi) dengan
banyak peringkasan. Pernyataan itu terdapat dalam kitab Al-Ibaanah mulai halaman
pertama sampai halaman 13.
[11] At-Tabyiin (hal. 129).
[12] Banyak ulama telah menuliskan perihal Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
beserta kitab Al-Ibanah-nya, diantaranya adalah : Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir dalam
Tabyiinu Kadzibil-Muftariy, Al-Imam Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad, Al-Haafidh Adz-
Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, Al-Imam Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaratudz-Dzahab, dan
yang lainnya.
[13] Namun dalam cetakan yang diberikan ta’liq oleh Al-Kautsariy, tambahan ini ia
munculkan. Ia (Al-Kautsariy) melakukannya untuk menuruti hawa nafsunya, padahal hal
ini tidak ada dalam naskah/manuskrip aslinya.
57 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Hakikat Yang Terlupakan Dari Imam Asy-Syafi'i Dan Kesamaan
Aqidah Imam Empat
Oleh Syaikh Dr Muhammad bin Musa Al-Nashr
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar dan salah satu dari empat imam besar, yang
ilmunya telah tersebar di penjuru dunia, serta jutaan kaum muslimin di negara-negara Islam,
seperti Iraq, Hijaz, Negeri Syam, Mesir, Yaman dan Indonesia bermadzhab dengan
madzhabnya.
Faktor yang menyebabkan saya memilih pembahasan ini, karena mayoritas kaum muslimin di
negeri ini atau di negara ini berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan hanya
sedikit dari mereka yang berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah ushul. Ironisnya
ini menjadi fenomena.
Kita mendapati sejumlah orang mengaku bermadzhab Imam Malik dalam masalah furu’,
namun tidak memahami dari madzhab beliau kecuali tidak bersedekap dalam shalat. Mereka
menyelisihi aqidah Imam Malik yang Sunni dan Salafi.
Juga kita mendapati selain mereka mengaku berada di atas madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam
masalah furu’, dan tidak memahami dari madzhabnya kecuali masalah menyentuh wanita
membatalkan wudhu. Dan, seandainya isterinya menyentuh walaupun tidak sengaja, maka ia
sangat marah sembari berteriak : “Sungguh kamu telah membatalkan wudhu’ ku, wahai
perempuan !”. Apabila ditanya, tentang siapakah Imam Asy-Syafi’i tersebut, siapa namanya
dan nama bapaknya, niscaya sebagian mereka tidak dapat memberikan jawaban kepadamu,
dan ia tidak mengenal tokoh tersebut ; dalam masalah aqidah, ia menyelisihi aqidah Imam
Asy-Syafi’i, dan dalam masalah furu’ ia tidak mengerti dari madzhab beliau kecuali sangat
sedikit.
Demikian juga, jika engkau mendatangi banyak dari pengikut madzhab Hanabilah kecuali
yang tinggal di menetap di Jazirah Arab dan sekitarnya dari orang yang terpengaruh oleh
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang mujaddid (pembaharu) abad ke -12
Hijriyah. Kita mendapati, kebanyakan dari pengikut madzhab Ahmad di negeri Syam dan yang
lainnya, mereka tidak mengetahui Aqidah Ahmad bin Hambal, sehingga engkau mendapati
mereka dalam aqidahnya berada di atas madzhab Asy’ariyah atau Mufawwidhah. Padahal
58 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang Salafi dan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau
menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa takyif, tamtsil dn tasybih.
Demikian juga pengikut madzhab Hanafiyah yang tinggal di wilayah India, negara-negara
a’jam, Turki, Asia Timur, dan negara-negara Kaukasus serta lainnya. Kita mendapati mereka
berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah furu’, namun mereka tidak berada
di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah ushul. Mereka tidak beragama dengan
aqidah imam besar ini dalam permasalahan tauhid, nama dan sifat Allah.
Empat Imam besar ini (aimmat al-arba’ah) tidak berbeda dalam masalah aqidah, tauhid dan
ushul kecuali sedikit yang Abu Hanifah tergelincir padanya. Yaitu dalam masalah iman, tetapi
kemudian beliau rujuk dan kembali kepada ajaran yang difahami para imam lainnya, seperti
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal
[Diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Al-Nashr, dalam pengantar pelajaran Aqidah
Imam Syafi’i, yang disampaikan dalam “Daurah Syar’iyah Lil Masa’il Al-Aqdiyah wal Manhajiyah”, pada
hari Kamis 7 Februari 2008M yang diadakan oleh Ma’had Aaliy Ali bin Abi Thalib bekerja sama dengan
Markaz Al-Albani, Yordania]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183.
telp. 0271-5891016]
59 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
KESAMAAN AQIDAH IMAM EMPAT
Oleh Syaikh Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in.
Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat
untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan
makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang
terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu
Taimiyyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa
para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka
mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah Al-Qur’an, dan
tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat
dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu
memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.[1]
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan
tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah
bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan
Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang
banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad,
Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.[2]
Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah
Imam Syafi’i dan aqidah para ulama Salaf seperti Imam Malik, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-
Auza’i, Imam Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih
adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam Al-Fudhal bin ‘Iyadh,
Imam Abu Sulaiman Ad-Darani, Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak
berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah,
aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah
para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para
60 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
[3]
Aqidah inilah yang dipilih oleh Al-Allamah Shidiq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “
Madzhab kami adalaha mazhab ulama Salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa
menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan,
tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah).
Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas,
Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka
tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama
aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan
oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[4]
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu
Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit
Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
__________
Footnotes
[1]. Kitab Al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf Ats-tsamar, hal. 47-48
61 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (ال عقي دة) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (ال عق د) yang berarti
ikatan, at-tautsiiqu(ثي ق yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (الت و
( كاما إل ح ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah ( ب ط ة الر بقو ) yang
berarti mengikat dengan kuat.[1]
Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang
tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-
Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-
prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi
ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah
yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]
B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal
Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib),
kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-
dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula
sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran
dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama
tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan
hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang
enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam
sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus
Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]
62 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah
Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]
3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau
pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid
merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh
karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]
4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti
jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur
(populer) pada tiga generasi pertama.[8]
5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta
hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]
6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-
hukum ijtihadi.[10]
7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-
Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin
(masalah-masalah ‘aqidah).[11]
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok
selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus
Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari
kalangan mereka.
Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama
dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:
63 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu
kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka.
Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru
lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah
dengan tidak dilandasi ilmu.
Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi
ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.
2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama
yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas,
fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan
dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan
pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-
klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam
‘aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada)
setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.
Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa
Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka
suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali.
Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam
memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang
salah dari orang-orang sebelum Islam.”[13]
Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-
Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang
ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil
dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka
kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an
dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam
perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu
anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-
Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf
diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep
asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani,
dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[14]
64 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf:
“Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah
membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia
terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini.
Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran
Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]
4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh
mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan
yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah
filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan
dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia
semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran
yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai
dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang
benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga
1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith
(II/614: عقد).
[2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul
Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal.
13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
65 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
[5]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H),
Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat
th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), هللارحمهم .
[6]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah
Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H)
dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), هللارحمهم .
[7]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H),
Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab
I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid
oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab
(wafat th. 1206 H), هللامرحمه .
[8]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311
H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H), هللارحمهم .
[9]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an
Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an
Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), هللارحمهم .
[10]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th. 150).
[11]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil
Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[12]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf
karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah,
Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th.
1414 H.
66 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Sebagian ‘Aqidah Para Imam Ahli Hadits
Al-Imaam Abu Bakr Ahmad bin Ibraahiim Al-Ismaa’iiliy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
كتاب به نطق ما وقبول ، ورسله وكتبه وملئكته باهلل اإلقرار اعةوالجم السنة أهل الحديث أهل مذهب أن وإياكم هللا رحمنا اعلموا
مأمورين كانوا إذ ، رده إلى سبيل ول به ورد ما عن معدل ل ، وسلم عليه هللا صلى هللا رسول عن الرواية به وصحت ، تعالى هللا
في محذرين ، مستقيم صراط إلى يهدي وسلم عليه هللا صلى نبيهم بأن لهم مشهودا ، فيهما الهدى لهم مضمونا ، والسنة الكتاب باتباعاألليم والعذاب الفتنة مخالفته .
Ketahuilah, - semoga Allah merahmati kami dan kalian semua – bahwasannya madzhab Ahlul-
Hadits (yaitu) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah mengakui/beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. Menerima apa-apa yang tercantum
dalam Kitabullah ta’ala (Al-Qur’an), dan apa yang telah shahih dari riwayat yang berasal dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak menyimpang dari apa yang telah datang dari
kedua sumber tersebut, dan tidak ada jalan/alasan untuk menolaknya. Sebab, mereka (Ahlul-
Hadits) telah diperintahkan untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah yang terdapat jaminan
petunjuk, yang disaksikan bahwasannya Nabi mereka shallallaahu ’alaihi wa sallam
(dengannya) memberikan petunjuk bagi mereka kepada jalan yang lurus. Dan telah
diperingatkan bahwa menyelisihi beliau adalah fitnah dan (baginya ancaman) adzab yang
pedih.
وسلم عليه هللا صلى نبيه بها ووصفه نفسه بها ووصف سمى التي بصفاته وموصوف الحسنى بأسمائه مدعو تعالى هللا أن ويعتقدون
تعالى هللا فإن ، كيف بل ، العرش على استوى وجل عز وأنه ، كيف اعتقاد بل ، يشاء كيف ينفق مبسوطتان ويداه ، بيده آدم خلق ،استواؤه كان كيف يذكر ولم العرش على استوى أنه إلى ذلك من انتهى .
Ahlul-Hadits berkeyakinan bahwasannya Allah ta’ala diseru dengan nama-nama-Nya yang
indah, serta disifati dengan sifat-sifat yang telah Ia sebutkan bagi diri-Nya (melalui Al-Qur’an)
atau yang telah disifati oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam (melalui As-Sunnah Ash-
Shahiihah). Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Kedua tangan-Nya selalu terbuka
yang memberikan karunia sebagaimana Ia kehendaki, tanpa disertai keyakinan tentang
kaifiyah-nya (bagaimananya). Sesungguhnya Allah ’azza wa jalla ber-istiwaa’ di atas ’Arasy,
tanpa ditanyakan kaifiyah-nya. Allah ta’ala telah menyelesaikan penciptaan-Nya dan
kemudian ber-istiwaa’ di atas ’Arsy tanpa disebutkan (kepada kita) bagaimana istiwaa’-nya
Allah itu.
عما يسأل ل ، يريد كما ويحكم يشاء لما فعال نهلك ، خلقهم أن إلى دعاه معنى ول خلق ما إلى حاجة عن ل وأنشأهم خلقه مالك وأنهيفعلون عما مسؤولون والخلق ، يفعل .
Bahwasannya Allah itu adalah Penguasa bagi para makhluk-Nya, dan mengadakan mereka
tanpa satu keperluan terhadap apa yang diciptakan-Nya, dan tidak pula karena satu maksud
yang mengharuskan-Nya untuk menciptakan mereka. Akan tetapi Allah berbuat sebagaimana
yang Ia kehendaki dan menghukumi sebagaimana yang Ia inginkan. Allah tidak boleh ditanya
tentang apa yang Ia perbuat, sedangkan mereka justru yang akan ditanya (dimintai
pertanggungan jawab kelak di akhirat) terhadap apa-apa yang mereka perbuat (semasa di
dunia).
شيء يعجزه ل ، والسلم الصلة عليه نبيه بها ووصفه وسماه ، نفسه بها ووصف سمى التي بصفاته موصوف ، بأسمائه مدعو وأنهذلك عن تعالى وجل عز فإنه ، آفة أو عيب أو بنقص يوصف ول ، السماء في ول األرض في .
Bahwasannya Allah diseru dengan nama-nama-Nya, disifati dengan sifat-sifat-Nya yang telah
Ia sifatkan bagi diri-Nya. Allah juga dinamai dan disifati dengan apa-apa yang telah disebutkan
oleh Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam. Tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang
67 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
dapat melemahkan-Nya. Allah tidaklah disifati dengan kurang, aib, atau tercela.
Sesungguhnya Allah Maha Mulia Maha Besar lagi Maha Tinggi atas sifat-sifat tersebut.
بكيففيهتعالىهللاكتابينطقلمإذ،يداهكيفاعتقادبال،شاءكيفينفقمبسوطتانويداه،بيدهالسالمعليهآدموخلق .
كمثلهليسوأنه،الخلقفيمثلهيكونمماهذاونحو،والدقة،والغلظ،والعرضالطولوال،والجوارح،األعضاءفيهيعتقدوال
واإلكرامالجاللذوناربوجهتباركشيء .
مخلوقةاألهواءأهلمنوطوائفوالخوارجالمعتزلةتقولهكماوجلعزهللاأسماءإنيقولونوال .
Allah menciptakan Adam ’alaihis-salaam dengan tangan-Nya. Kedua tangan-Nya selalu
terbuka yang memberikan karunia sebagaimana Ia kehendaki, tanpa disertai keyakinan
kaifiyah (bagaimana) kedua tangan Allah selama tidak ditemukan keterangan tentang
kaifiyah-nya dalam Kitabullah.
Dan tidak boleh ber-i’tiqad bahwa Allah mempunyai organ tubuh[1] dan anggota badan,
mempunyai sifat panjang, lebar, tebal, tipis, atau yang semisal dengannya dari sifat-sifat
makhluk. Sesungguhnya tidak ada yang serupa dengan-Nya Maha Suci Allah Dzul-Jalaali wal-
Ikraam.
Ahlul-Hadits tidak mengatakan bahwa nama-nama Allah ’azza wa jalla itu seperti yang
dikatakan oleh Mu’tazilah[2], Khawarij[3], dan kelompok-kelompok dari kalangan pengekor
hawa nafsu; yaitu sifat Allah itu adalah makhluk.[4]
---------------------[footnote].
[1] Kalimat ini bukan merupakan lafadh-lafadh yang dikenal oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah
dari kalangan pendahulu umat ini. Akan tetapi kalimat tersebut merupakan kalimat
bid’ah yang diada-adakan oleh selain Ahlus-Sunnah. Dalam permasalahan ini, kita telah
tercukupkan oleh keterangan Ahlus-Sunah dimana mereka menyandarkan keterangan
tentang sifat-sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah-Nya.
Maka, kalimat-kalimat seperti ini yang diucapkan Muallif adalah tidaklah mencukupi.
Allah hanyalah disifati dengan sifat-sifat yang mengandung kesempurnaan dan
kemuliaan. Adapun kaidah salafiyyah dalam permasalahan yang semisal dengan
kalimat-kalimat ini (yang diucapkan oleh Muallif) adalah bahwasannya tidak
diperbolehkan untuk menafikkannya ataupun menetapkannya kecuali setelah adanya
perincian dan penjelasan dari apa yang dimaksudkan oleh yang mengatakannya (yaitu
Allah).
Yang dilakukan oleh Muallif dengan memujmalkan peniadaan (an-nafyu) bertujuan
untuk menutup jalan bagi kaum Mu’aththilah untuk menuduh Ahlus-Sunnah sebagai
Musyabbihah. Akan tetapi, menahan diri dalam permisalan ini tentu lebih
bermanfaat/selamat.
[2] Mu’tazillah adalah kelompok kalamiyyah (ahli kalam) yang muncul pada kurun kedua
hijriyah. Perkara (fitnah) mereka mencapai puncaknya pada masa Dinasti ’Abbaasiyyah
yang pertama. Penamaan mereka dengan Mu’tazillah adalah karena keluarnya (i’tizaal)
pentolan mereka di masa itu yang bernama Waashil bin ’Athaa’ dari majelis Al-Hasan
Al-Bashri rahimahullah, yang ketika itu ia (Al-Waashil) mengatakan : ”Orang yang
melakukan dosa besar maka ia bukanlah kafir, bukan pula mukmin. Akan tetapi
kedudukannya berada di antara dua kedudukan (yaitu antara mukmin dan kafir = al-
manzilah bainal-manzilatain). Ketika Al-Waashil keluar dari majelis Al-Hasan, maka
68 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
duduklah ’Amru bin ’Ubaid bersama Al-Washil. (Kemudian), orang yang mengikuti
mereka berdua dan menjadi penolong bagi mereka berdua disebut dengan (kelompok)
Mu’tazillah. Kelompok ini lebih mengutamakan akal dan berlebih-lebihan (ghulluw)
kepadanya, dan lebih mendahulukannya daripada nash (an-naql).
[3] Khawarij adalah bentuk jamak dari kata khaarijah, yaitu kelompok yang telah keluar (dari
jama’ah kaum muslimin). Dikenal dengan laqab (julukan) ini adalah jama’ah yang keluar
(ketaatan) dari ’Aliy radliyallaahu ’anhu setelah sebelumnya mereka bergabung dengan
’Aliy pada perang Shiffiin. Kelompok Khawarij terpecah menjadi banyak kelompok
dimana mereka bersepakat dalam perkataan tentang kafirnya ’Utsmaan bin ’Affaan, ’Aliy
bin Abi Thaalib, ashhaabul-jamal, orang-orang yang ridla dengan adanya tahkim dan
yang membenarkan dua orang hakim atau salah satu diantara keduanya (’Amru bin Al-
’Ash dan Abu Musa Al-Asy’ary radliyallaahu ’anhuma), dan pengkafiran para pelaku dosa
besar. Lihat Al-Milal wan-Nihal (1/114), Al-Farqu Bainal-Firaaq (72/73), Maqaalatul-
Islamiyyiin (1/167), dan Majmu’ Al-Fataawaa (3/279).
[4] Ini adalah kebodohan yang dilakukan oleh Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan orang-orang
yang mengekornya. Telah berkata Ad-Daarimi rahimahullah dalam kitab Radd ’alaa-
Bisyr Al-Mariisii : ”Dan sungguh madzhab Al-Mariisii dalam nama-nama Allah seperti
madzhabnya terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an menurutnya adalah makhluk yang berasal
dari perkataan manusia. Tidak difirmankan Allah satu hurufpun dari-Nya ketika berdoa
kepada-Nya. Sama halnya dalam hal nama-nama Allah yang menurut mereka
merupakan hal yang dibuat oleh manusia”. Kemudian Ad-Daarimi berkata : ”Dan hal
yang diserukan oleh mereka tentang nama-nama Allah ini merupakan pokok utama dari
pokok ’aqidah Jahmiyyah yang mereka jadikan sebagai perahu penyelamat dan
membangunan asas kesesatan mereka; sehingga orang-orang bodoh dan pandir dibuat
keliru dengannya ”. Adapun syubhat mereka : ”Bahwasannya mereka apabila
menetapkan bagi Alah 99 nama (al-asmaaul-husnaa), konsekuensinya mereka
menetapkan adanya 99 tuhan” [Lihat : Syarh Ushuulil-I’tiqaad 2/215].
Sungguh mereka (kelompok sesat dari Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan yang serupa dengannya)
telah dikafirkan oleh jama’ah ulama salaf. Telah berkata Ishaq bin Rahawaih : ”Hingga satu
ketika mereka – Jahmiyyah – mengatakan : Sesungguhnya nama-nama Allah itu adalah
makhluk, .... maka ini merupakan kekufuran yang murni/tulen”. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berkata : ”Barangsiapa yang menyangka bahwasannya nama-nama Allah itu adalah makhluk,
maka ia kafir” [Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 2/214]. Khalaf bin Hisyaam Al-
Muqri berkata : ”Barangsiapa yang mengatakan bahwasannya nama-nama Allah itu adalah
makhluk, maka kekufurannya bagiku lebih terang daripada terangnya sinar matahari” [Syarh
Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah 2/207].
69 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
'Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah dalam Sifat
Allah ta'ala
Allah ta’ala berfirman :
يدال يهودوقالت أي ديهم غل ت مغ لولة الل
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu” [QS. Al-Maaidah : 64].
وي ات والس ماوات بيمينهمط
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” [QS. Az-Zumar : 67].
Setelah menyebutkan dua ayat tersebut, Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah (guru dari Al-
Imam Al-Bukhariy rahimahullah) berkata :
من:)ونقول.ةوالسنالقرآنعليهوقفماعلىنقف.نفسرهوالفيهنزيدالوالحديث،القرآنمنهذاأشبهوما ح شعلىالر ال عر
جهميمعطلفهوهذاغيرزعمومن،(اس توى .
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini, maka kami tidak menambah-
nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang
Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat
selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42,
tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
صورتهعلىآدمخلقهللاإن"حديثوذكرالحميدي،ثنا:موسىبنبشروقال " .
والحديثالقرآنكماتقولأنتستوحشال.والحديثالقرآنجاءبماوالرضاالتسليمعلىهذاغيرتقولال:فقال .
“Dan telah berkata Bisyr bin Musa : Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidiy, dan ia (Al-
Humaidiy) menyebutkan hadits : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan
bentuk-Nya’.[1] Beliau berkata : ‘Kami tidak mengatakan yang lain selain ini dikarenakan sikap
taslim (berserah diri) dan ridla dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan tidak
merasa berat untuk mengatakan sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits”
[Taariikhul-Islaam, juz 7; Maktabah Ruuhil-Islaam].
Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
إالهالكشيءكل)بقولهوجها لهوإن(,بيمينهمطوياتوالسموات)بقولهيمينا لهوأن(مبسوطتانيداهبل)بقولهيدينلهوأن
فيهاوجلعزالربيضعحتى)وسلمعليههللاصلىالنبيبقولقدما لهوأن(واإلكرامالجاللذوربكوجهويبقى)وقوله(,وجهه
جهنميعني(قدمه ...
70 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua
tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman
Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga
firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS.
Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari
dan Muslim) yaitu pada neraka” [Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’,
2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419].
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary rahimahullah berkata :
:سبحانهقالكماكيف،باليدينسبحانهلهوأن(.واإلكرامالجاللذوربكوجهويبقى:)قالكماكيف،بالوجهاسبحانهلهوأن
(بأعينناتجري:)سبحانهقالكماكيف،بالعينينسبحانهلهوأن(.مبسوطتانيداهبل:)قالوكما،(بيديخلقت) .
“Dan bahwasannya Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal
wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (QS. Ar-Rahman : 27). Dia jga
mempunyai dua tangan tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, sebagaimana firman-Nya : “Yang
telah Ku-ciptakan dengan dua tangan-Ku” (QS. Shaad : 75) dan firman-Nya : “…..tetapi kedua
tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dan Dia subhaanahu juga mempunyai dua
mata tanpa menanyakan ‘bagaimananya’, dengan dalil firman Allah subhaanahu : “Yang
berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14) [Al-Ibaanah ‘an
Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1].
Syaikhul-Islam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata :
امإب ليسياقال:قائلمنعزقولهفيعليهسبحانهنصكما،بيديهآدمخلقإنه:فيقولون،خلقهبصفاتلصفاتها تشبيهيعتقدونوال
جدأنمنعك ،خلق تلماتس والجهميةالمعتزلةتحريف،القوتينأوالنعمتينعلىاليدينبحمل،مواضعهعنالكلميحرفونوالبيدي
هللاخذلهمالمشبهةتشبيهالمخلوقين،بأيدييشبهونهماأوبكيف،يكيفونهماوالهللاهلكهمأ
“Mereka (Ahlul-Hadits) tidak meyakini sifat-sifat itu dengan cara menyerupakannya dengan
sifat-sifat makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah ta’ala telah menciptakan Adam ‘alaihis-
salaam dengan dua tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an : “Allah
berfirman : ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan
dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak menyimpangkan
Kalamullah dari pengertian yang sebenarnya, dengan mengartikan kedua tangan Allah
sebagai dua kenikmatan atau dua kekuatan sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazillah dan
Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Mereka (Ahlul-Hadits) juga tidak me-
reka-reka bentuknya dan menyerupakannya dengan tangan makhluk-makhluk, seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Musyabbihah – semoga Allah menghinakan mereka –“
[‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuni, hal. 26, tahqiq : Badr bin
‘Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Dapat juga dilihat
syarahnya yang ditulis oleh Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih yang dapat didownload dari
www.Almoshaiqeh.com].
71 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Al-Imam Juwaini (ayah Imam Al-Haramain) rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, pada
akhir hayatnya, beliau kembali kepada aqidah shahihah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah
tenggelam dalam aqidah Asy’ariyyah yang menyimpang. Beliau mengatakan dalam
pendahuluan risalahnya : Al-Istiwaa’ wal-Fauqiyyah setelah beliau menetapkan sifat Allah
seperti mendengar, melihat, berbicara, dua tangan, dan menarik sebagai berikut :
يشبههالوصفاتهذاتهفيوهونافذبهموبصرهمحيطبهمعلمهخافيةمنهمعليهيخفىالخلفهمنفبانعرشهعلىاستوى
والالظنونكيفيتهاتتخيلالوعظمتهبجاللهالئقةصفاتهي.مبتدعاتهجوارحمنبشيءيمثلوالمخلوقاتهمنشيء
الجاحدينوتعطيلالمتأولينتأويلعنهاوننفيبهاتعالىالربواتصافوثبوتهابحقائقهانؤمنبل.العيونالدنيافيترها
تليسإلهإلىبعبادتهقصدفمن.ونسجدنصليولهنعبدوإياهنؤمنالربفبهذاالخالقينأحسنهللاتباركالمشبهينوتمثيل
بإلهذلكمعبودهوليسهللاغيريعبدفإنماالصفاتهذهله
“Dia (Allah) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang
tersembunyi dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka
terbukti. Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan
dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat yang sesuai
dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa dibayangkan, dan tidak ada
mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita harus meyakini kebenaran dan ketetapannya,
serta menyifati Tuhan dengan sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari
orang-orang muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari
orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta. Kepada Tuhan
ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena itu, orang yang sengaja
beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka sesungguhnya ia
menyembah kepada selain Allah, karena yang disembahnya itu bukanlah Tuhan” [Mukhtashar
Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dalam sifat-sifat Allah ta’ala adalah beriman kepada
sifat-sifat-Nya sebagaimana yang terdapat dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa tahrif (ta’wil), ta’thil, takyif, dan tamtsil, serta
mengimani bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia Maha Mendengar dan
Maha Melihat. Maka mereka tidak menafikkan dari-Nya sifat-sifat yang Allah tetapkan buat
diri-Nya dan tidak menyelewengkan kalimat dari lafadh/makna aslinya, dan tidak membuat
ilhad (penentangan/penyelewengan) nama-nama Allah, tidak men-takyif (menanyakan
bagaimana bentuknya) serta tidak men-tamtsil (menyerupakan) sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya, karena tidak ada yang sama bagi-Nya dan tidak boleh diqiyaskan dengan
makhluk-Nya. Dan Allah lebih mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang lainnya (dari
makhlukNya). ‘Aqidah ini merupakan kesepakatan para ulama salaf Ahlus-Sunnah
mutaqaddimiin (terdahulu).
Al-Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaniy rahimahullah berkata :
هللاصلىهللارسولعنالثقاتبهاجاءالتيواألحاديثبالقرآناإليمان(على)المغربإلىالمشرقمنكلهمالفقهاءاتفق
كانمماخرجفقدلكذمنشيئ االيومفسرفمنتشبيه،والوصفوالتغييرغيرمنوجلعزالربصفةفيوسلمعليه
منف.سكتواثموالسنةالكتابفيبماأفتوالكنيفسرواولميصفوالمفإنهمالجماعةوفارقوسلمعليههللاصلىالنبيعليه
شيءالبصفةوصفقدألنهالجماعةفارقفقدجهمبقولقال .
72 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
“Para fuqahaa’ semuanya dari wilayah timur sampai barat telah sepakat untuk beriman
kepada Al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal shifat Rabb ‘azza wa jalla tanpa mengubah
(ta’wil/tahrif), menyebutkan kaifiyah sifat-Nya, dan menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Barangsiapa menafsirkannya pada hari ini tentang sifat-sifat Allah tersebut, sungguh ia telah
keluar dari apa-apa yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya dan
memisahkan diri dengan jama’ah. Sesungguhnya mereka (para fuqahaa) tidak menafsirkan
(tentang sifat Allah), namun mereka berfatwa dengan apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dan kemudian diam. Barangsiapa yang berkata dengan perkataan orang
Jahmiyyah, berarti ia telah memisahkan diri dengan jama’ah, karena ia telah mensifatkan Allah
dengan sifat yang tidak ada” [Syarh Ushuul I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy,
hal. 432-433 no. 740, tahqiq Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan; Desertasi S3 Universitas Ummul-
Qurra’].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy rahimahullah berkata :
منشيئايكيفوالمأنهمإالالمجازعلىالالحقيقةعلىوحملهاوالسنةالكتابفيالواردةبالصفاتاإلقرارعلىمجمعونالسنةأهل
منعندوهممشبهبهاأقرمنأنويزعمونالحقيقةعلىشيئامنهايحملوالينكرهافكلهموالخوارجوالمعتزلةالجهميةوأما.ذلك
للمعبودنافونبهاأقر
“Ahlus-Sunah bersepakat tentang pengakuan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab
dan As-Sunnah dengan membawa penafsirannya pada hakikatnya, bukan pada makna majaz.
Hanya saja mereka tidak menanyakan “bagaimana” (kaifiyah) atas sifat-sifat tersebut. Adapun
golongan Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij; mereka semua mengingkarinya dan tidak
memberikan pengertian pada makna hakikatnya. Mereka (Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan
Khawarij) menganggap orang-orang yang menyepakati hal tersebut (yaitu Ahlus-Sunnah)
sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Adapun mereka (yang
mengingkari sifat-sifat Allah) di sisi Ahlus-Sunnah adalah golongan orang yang meniadakan
Dzat yang disembah” [Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 39;
Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata :
ةالس لفدرجهذاوعلى راراإلق رار،علىمت فقونكلهم الخلف،وأئم فاتمنوردلماواإلث باتواإلم رسوله،وسن ةهللاكتابفيالص
غي رمن ض لتأ ويلهتعر .
“Dan atas jalan inilah para salaf dan imam generasi khalaf setelahya. Semuanya sepakat untuk
menerima, membiarkan apa adanya, dan menetapkan sifat-sifat Allah. Baik yang terdapat di
dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun As-Sunnah, tanpa berpaling untuk menta’wilkannya”
[Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Shaalih Aalusy-Syaikh; http://www.islamway.com].
Menetapkan sebagaimana dhahir makna dan lafadhnya tanpa ta’wil bukanlah tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana tuduhan orang-orang bodoh dari
73 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
kalangan Asy-ariyyah dan yang semisal dengannya. Maka, perhatikanlah perkataan Al-Imam
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah :
كيف،:يقولفالوبصر،وسمعيد:هللاقالكماقالإذاوأما.تشبيهفهذاكسمعي،سمعأويديمثليد:قالإذاالتشبيهيكونإنما
ء كمث لهلي س:)تعالىقالتشبيها ،يكونالفهذامثل،:واليقول ال بصي رالس مي عوهوشي
”Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti
tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih
(penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan,
pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka
itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi,
hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah :
تشبيها رسولهوالنفسه،بهوصفماوليسكفر،فقدنفسهبهوصفماأنكرومنكفر،فقدبخلقه،هللاشبهمن
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir.
Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir.
Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu
sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad
shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah
terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman
Ash-Shabuniy rahimahullah :
لهمواحتقارهموسلم،عليههللاصلىالنيأخبارلحملةمعاداتهمشدةوعالماتهمآياتهموأظهرظاهرة،باديةأهلهاعلىالبدعوعالمات
العلموأنالعلم،عنبمعزلأنهاوسلمعليههللاصلىالرسولأخبارفيمنهماعتقاداومشبهة،وظاهريةوجهلةحشويةإياهموتسميتهم
.العاطلةوحججهمالخير،منالخاليةقلوبهموهواجسالمظلمة،صدورهمووساوسالفاسدة،عقولهمنتائجمنإليهملشيطانايلقيهما
هللالعنهمالذينأولئك
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang
paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka
sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini
bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan
bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil
pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang
penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan
hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah”.
74 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Mereka mengatakan itu karena pemahaman yang sakit, rusak, serta sikap permusuhan abadi
kepada Ahlus-Sunnah – walau mereka juga mengaku sebagai ‘Ahlus-Sunnah’.
Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga penyebutan beberapa dalil, riwayat, dan penjelasan
para ulama di atas dapat memberikan satu gambaran gamblang tentang ‘aqidah Ahlus-
Sunnah dalam masalah sifat Allah. Sekaligus menerangkan kekeliruan paham Asy’ariyyah yang
sering mengklaim bahwa mereka adalah Ahlus-Sunnah dalam perkara ‘aqidah ini. Allahul-
Musta’an……
Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – 4 jumadits-tsaniy 1430
Catatan Kaki
[1] Sebagian ulama mengatakan bahwa dlamir (kata ganti) ‘hi’ tidak kembali pada Allah.
Namun ini keliru. Yang benar, dlamir tersebut kembali kepada Allah ta’ala. Inilah
pemahaman yang ditempuh oleh para ulama salaf.
:الشيخفقال.صورتهعلىآدمخلقوجلعزهللاإن:النبيبحديثفحدثناشيخعندبالبصرةكنا:قالحنبلبنأحمدبنهللاعبدعن
الچحميةكالمهذا:وقال.جهميهذا:فقالتعالى،هللارحمهأبيبذلكفحدثت.الطينصورةعلىخلقهتفسيره .
Dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal ia berkata : “Kami pernah berada di Bashrah
bersama seorang Syaikh. Ia membawakan kepada kami hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : ‘Sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya’. Ia
(Syaikh tersebut) berkata : ‘Tafsirnya adalah (menciptakan) dengan bentuk (dari) tanah’.
Maka aku ceritakan perihal tersebut kepada bapakku (Al-Imam Ahmad bin Hanbal)
rahimahullah, dan beliau berkata : ‘Orang ini adalah Jahmiy. Ini adalah perkataan
Jahmiyah’ [Ibthaalut-Ta’wiilaat, q : 55-56, melalui perantaraan kitab Al-Masaailu war-
Rasaailul-Marwiyatu ’anil-Imam Ahmad fil-’Aqidah oleh ’Abdullah bin Sulaiman bin Saalim
Al-Ahmadiy, 1/358-359; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya dlamir di dalam hadits shahih mengenai penciptaan Adam dalam bentuk-
Nya adalah kembali pada Allah, dan hal itu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam
hadits Ibnu ‘Umar : ‘Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk Ar-Rahman’.
Hadits tersebut telah dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Ajuriiy,
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan imam-imam lainnya. Banyak dari para imam yang
menjelaskan kesalahan Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam penolakan terhadap
pengembalian dlamir tersebut kepada Allah Yang Maha Suci di dalam hadits Ibnu ‘Umar.
Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam yang telah disebutkan dan juga
75 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
yang lainnya mengenai kembalinya dlamir kepada Allah ta’ala tanpa disertai cara dan
penyerupaan. Tetapi bentuk Allah ta’ala itu sesuai dengan-Nya dan sejalan dengan sifat-
sifat-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang serupa dengan makhluk-Nya, sebagaimana
yang difirmankan Allah ta’ala : ‘Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’ (QS. Al-Ikhlash : 1-4).
Allah ta’ala juga berfirman : ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat’ (QS. Asy-Syuura : 11). Dia juga berfirman :
‘Apakah kamu mengetahui ada orang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)’ (QS.
Maryam : 65). Demikian juga firman-Nya : ‘Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui’ (QS.
An-Nahl : 74). Dan cukup banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang hal tersebut.
Yang wajib dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan beriman adalahmengartikan
ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang sifat-sifat Allah persis seperti keberadaannya
dengan tidak menafsirkannya yang bertentangan dengan dhahirnya, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh kaum salaf dan para imamnya, dengan keimanan penuh bahwa Allah
itu Maha Suci, yang tidak ada sesuatupun serupa dengan-Nya bak dalam bentuk, wajah,
tangan, dan seluruh sifat-Nya, tetapi Dia Dzat yang Maha Suci yang memiliki kesempurnaan
mutlak dari segala sisi dalam semua sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang serupa dan semisal
dengan-Nya. Sifat-sifat-Nya tidak dapat disejajarkan/diserupakan dengan sifat-sfat
makhluk-Nya, sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh generasi salaf dan para imamnya
dari para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya. Mudah-
mudahan Allah ta’ala memberikan rahmat kepada mereka serta menjadikan kita bagian
dari pengikut mereka dengan baik” [‘Aqiidah Ahlil-Iman fii Khalqi Adam ‘alaa Shuuratir-
Rahmaan oleh Hamud At-Tuwaijiri, bagian sambutan awal kitab; Daarul-Wafaa’, Cet.
2/1409].
76 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
Lampiran:
POKOK-POKOK AQIDAH AHLUS SUNNAH WALJAMA’AH
أصل السنة واعتقاد الدين
[ رمحهما هللا -لإلمامني ] أيب حامت وأيب زرعة الرازيني
املبارك بن عبد اجلبار بن أمحد بن أخربنا الشيخ اجلليل الزاهد الثقة أبو احلسنيإبراهيم بن عمر بن أمحد الربمكي، وأبو القاسم قال: أخربنا الشيخ أبو إسحاق
قاال: حدثنا أبو احلسن علي بن عبد العزيز حممد بن عبد امللك بن بشران، بكر -أخربنا أبو حممد عبد الرمحن بن أيب حامت :بن مردك بن أمحد الربذعي قال
:قال - أسعده هللا ورضي عنه
عنهما عن مذاهب أهل السنة يف أصول الدين، سألت أيب وأبا زرعة رضي هللااألمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ومينا، فكان يف مجيع وما أدركا عليه العلماء
: من مذهبهم
. إن اإلميان قول وعمل، يزيد وينقص .1
.والقرآن كالم هللا غري خملوق جبميع جهاته .2
. والقدر خريه وشره من هللا عز وجل .3
77 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
عثمان وخري هذه األمة بعد نبيها أبو بكر الصديق، مث عمر بن اخلطاب، مث .4 . وهم اخللفاء الراشدون املهديون -رضي هللا عنهم -، مث علي بن عفان
وشهد هلم باجلنة على ما شهد له وقوله وأن العشرة الذين مساهم رسول هللا .5 . احلق
والرتحم على مجيع أصحاب حممد ، والكف عما شجر بينهم .6
وهللا على عرشه بائن من خلقه، كما وصف نفسه يف كتابه على لسان رسوله .7 .كيف؛ أحاط بكل شيء علما. ليس كمثله شيء وهو السميع البصري بال ،
وهللا تبارك وتعاىل يرى يف اآلخرة، ويراه أهل اجلنة بأبصارهم .8 .ويسمعون كالمه كيف شاء وكما شاء
واجلنة حق، والنار حق، ومها خملوقتان ال يفنيان أبدا؛ فاجلنة ثواب ألوليائه، .9 . من رحموالنار عقاب ألهل معصيته، إال
والصراط حق. وامليزان الذي له كفتان يوزن فيه أعمال العباد حسنها .11والشفاعة حق. وأن ناسا من .حق واحلوض املكرم به نبينا .وسيئها حق
وعذاب القرب حق. ومنكر. أهل التوحيد خيرجون من النار بالشفاعة حق . والبعث بعد املوت حق. والكرام الكاتبون حق. ونكري حق
الكبائر يف مشيئة هللا عز وجل ، ال نكفر أهل القبلة بذنوهبم، ونكل وأهل .11 . سرائرهم إىل هللا عز وجل
78 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
. ونقيم فرض اجلهاد واحلج مع أئمة املسلمني يف كل دهر وزمان .12
. وال نرى اخلروج على األئمة وال القتال يف الفتنة .13
. ونسمع ونطيع ملن واله هللا أمرنا وال ننزع يدا من طاعة .14
.ونتبع السنة واجلماعة ونتجنب الشذوذ واخلالف والفرقة .15
إىل قيام الساعة مع أويل األمر وأن اجلهاد ماض منذ بعث هللا عز وجل نبيه .16 من أئمة املسلمني، اليبطله شيء؛ واحلج كذلك
. ودفع الصدقات من السوائم إىل أويل األمر من أئمة املسلمني .17
.م، وال يدرى ما هم عند هللا عز وجلوالناس مؤمنون يف أحكامهم ومواريثه .18
فمن قال إنه مؤمن حقا فهو مبتدع، ومن قال هو . واملرجئة مبتدعة ضالل .19 .مؤمن عند هللا فهو من الكاذبني، ومن قال إين مؤمن باهلل فهو مصيب
والقدرية مبتدعة ضالل، ومن أنكر منهم أن هللا عز وجل ال يعلم ما يكون .21 .قبل أن يكون فهو كافر
.وأن اجلهمية كفار .21
. وأن الرافضة رفضوا اإلسالم .22
. واخلوارج مراق .23
79 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
كفرا ينقل من امللة - العظيم –ومن زعم أن القرآن خملوق فهو كافر باهلل .24 . ، ومن شك يف كفره ممن يفهم فهو كافر
فوقف شاكا فيه يقول "ال أدري خملوق -عز وجل -ومن شك يف كالم هللا .25 . أو غري خملوق" فهو جهمي
. ومن وقف يف القرآن جاهال عل م وبد ع ومل يكفر .26
. ومن قال "لفظي بالقرآن خملو" أو "القرآن بلفظي خملوق" فهو جهمي .27
أهل البدع الوقيعة مةعال : ومسعت أيب رضي هللا عنه يقول : قال أبو حممدحشوية ، يريدون إبطال يف أهل األثر . وعالمة الزنادقة تسميتهم أهل األثر
وعالمة القدرية تسميتهم . اآلثار . وعالمة اجلهمية تسميتهم أهل السنة مشبهةالسنة خمالفة ونقصانية . وعالمة أهل السنة جمربة . وعالمة املرجئة تسميتهم أهل
أمر عصبات معصيات [ . وال أهل السنة ناصبة ، ] وظل هذاالرافضة تسمية .هذه األسامي يلحق أهل السنة إال اسم واحد، ويستحيل أن جيمعه
، ومسعت أيب وأبا زرعة يأمران هبجران أهل الزيغ والبدع : قال أبو حممدوينهيان ويغلطان رأيهما أشد تغليط ، وينكران وضع الكتب بالرأي بغري آثار ،
يفلح ويقوالن: ال السة أهل الكالم ، وعن النظر يف كتب املتكلمني ،عن جم . صاحب كالم أبدا
[ آخر املعتقد ]
80 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
أصول السـنة
لإلمام أمحد بن حنبل الشيباين وهي من رواية عبدوس ابن مالك لعطار
«لو رحل إىل الصني يف طلبها لكان قليال»قال أبو يعلى احلنبلي:
81 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
: -رضي هللا عنه -قال اإلمام أمحد
أصول السنة عندنا: -صلى هللا عليه وسلم -التمسك مبا كان عليه أصحاب الرسول - 1واالقتداء هبم - 2 وترك البدع - 3 وكل بدعة فهي ضاللة - 4 وترك اخلصومات واجللوس مع أصحاب األهواء - 5 دين وترك املراء واجلدال واخلصومات يف ال - 6 -صلى هللا عليه وسلم -والسنة عندنا آثار رسول هللا - 7والسنة تفسر القرآن، وهي دالئل القرآن - 8 وليس يف السنة قياس، وال تضرب هلا األمثال، وال تدرك بالعقول واألهواء. إمنا هو - 9
االتباع وترك اهلوى لها ويؤمن هبا؛ مل يكن من ومن السنة الالزمة اليت من ترك منها خصلة، مل يقب - 11
أهلها: اإلميان بالقدر خريه وشره. والتصديق باألحاديث فيه. واإلميان هبا. ال يقال: )مل؟( - 12
و )كيف؟(، إمنا هو التصديق واإلميان هبا. ومن مل يعرف تفسري احلديث، ويبلغه عقله؛ فقد كفي ذلك وأحكم له؛ فعليه اإلميان به والتسليم له.
ومثل ما كان مثله يف القدر والرؤية والقرآن وغريها من « الصادق املصدوق»يث: مثل حدالسنن مكروه، ومنهي عنه، ال يكون صاحبه، وإن كان بكالمه سنة من أهل السنة حىت
يدع اجلدال ويسلم. ويؤمن باآلثار والقرآن كالم هللا وليس مبخلوق، وال يضعف أن يقول: ليس مبخلوق. قال: فإن - 13
82 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
كالم هللا ليس ببائن منه، وليس منه شيء خملوق. وإياك ومناظرة من أحدث فيه، ومن قال باللفظ وغريه، ومن وقف فيه قال: )ال أدري خملوق أو ليس مبخلوق، وإمنا هو كالم هللا(. فهذا صاحب بدعة مثل من قال: )هو
خملوق(، وإمنا هو كالم هللا ليس مبخلوق. من -صلى هللا عليه وسلم -يوم القيامة كما روي عن النيب واإلميان بالرؤية - 14
األحاديث الصحاح لى ص -قد رأى ربه. فإنه مأثور عن رسول هللا -صلى هللا عليه وسلم -وأن النيب - 15
صحيح. رواه قتادة عن عكرمة عن ابن عباس، ورواه احلكم عن أبان عن -هللا عليه وسلم د عن يوسف بن مهران عن ابن عباس. واحلديث عندنا على ابن عباس، ورواه علي بن زيوالكالم فيه بدعة. ولكن نؤمن به -صلى هللا عليه وسلم -ظاهره، كما جاء عن النيب
كما جاء على ظاهره. وال نناظر فيه أحدا يوزن العبد يوم القيامة فال يزن جناح »واالميان بامليزان بوم القيامة. كما جاء - 16
توزن أعمال العباد كما جاء يف األثر. واإلميان به والتصديق به، واإلعراض عن و « بعوضة من رد ذلك وترك جمادلته
وأن هللا يكلم العباد يوم القيامة ليس بينهم وبينه ترمجان واإلميان به والتصديق به - 17 مة ترد حوضا يوم القيا -صلى هللا عليه وسلم -واإلميان باحلوض وأن لرسول هللا - 18
عليه أمته، عرضه مثل طوله مسرية شهر، آنيته كعدد جنوم السماء على ما صحت به األخبار من غري وجه.
واإلميان بعذاب القرب - 19 أن هذه األمة تفنت يف قبورها وتسأل عن اإلميان واإلسالم، ومن ربه ؟ ومن نبيه ؟ - 22
د. واإلميان به والتصديق به ويأتيه منكر ونكري كيف شاء هللا عز وجل وكيف أرار لقوم خيرجون من النار بعدما -صلى هللا عليه وسلم -واإلميان بشفاعة النيب - 21
كيف شاء -كما جاء يف األثر -احرتقوا وصاروا فحما؛ فيؤمر هبم إىل هنر على باب اجلنة
83 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
هللا وكما شاء. إمنا هو اإلميان والتصديق به.
الدجال خارج مكتوب بني عينيه كافر، واألحاديث اليت جـاءت واإلميان أن املسيح - 22 فيـه، واإلميان بأن ذلك كائن.
ينـزل فيقتله بباب لد. –عليه السالم -وأن عيسى ابن مرمي - 23 واإلميان قول وعمل يزيد وينقص - 24
كما جاء يف اخلرب "أكمل املؤمنني إميانا أحسنهم خلقا" فقد كفر" و"ليس من األعمال شيء تركه كفر إال الصالة" من "ومن ترك الصالة - 25
تركها فهو كافر. وقد أحل هللا قتله. وخري هذه األمة بعد نبيها: أبو بكر الصديق، مث عمر بن اخلطاب، مث عثمان بن - 26
. مل -صلى هللا عليه وسلم -عفان. نقدم هؤالء الثالثة كما قدمهم أصحاب رسول هللا ذلك. مث بعد هؤالء الثالثة أصحاب الشورى اخلمسة: علي بن أيب طالب , خيتلفوا يف
وطلحة، والزبري، وعبد الرمحن بن عوف، وسعد، وكلهم يصلح للخالفة. وكلهم إمام. -صلى هللا عليه وسلم -ونذهب يف ذلك إىل حديث ابن عمر "كنا نعد ورسول هللا
ن، مث نسكت" مث بعد أصحاب الشورى حي وأصحابـه متوافرون: أبوبكر مث عمر مث عثماصلى هللا عليه -أهل بدر من املهاجرين، مث أهل بدر من األنصار من أصحاب رسول هللا
على قدر اهلجرة والسابقة أوال فأول. -وسلم القرن -صلى هللا عليه وسلم -مث أفضل الناس بعد هؤالء أصحاب رسول هللا - 27
ة أو شهرا أو يوما أو ساعة أو رآه فهو من أصحابه الذي بعث فيهم. كل من صحبه سنله من الصحبة على قدر ما صحبه، وكانت سابقته معه ومسع إليه ونظر إليه نظرة. فأدناهم
صحبة هو أفضل من القرن الذين مل يروه. ولو لقو هللا جبميع األعمال؛ كان هؤالء الذين منه ومن رآه بعينه وآمن به ولو ساعة ورأوه ومسعوا -صلى هللا عليه وسلم -صحبوا النيب
أفضل لصحبته من التابعني ولو عملوا كل أعمال اخلري.
84 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
والسمع والطاعة لألمة وأمري املؤمنني الرب والفاجـر ومن ويل اخلالفة، واجتمع الناس - 28 عليه ورضوا به، ومن عليهم بالسيف حىت صار خليفة ومسي أمري املؤمنني.
ع األمراء إىل يوم القيامة الرب والفاجر ال يرتك. والغزو ماض م - 29 وقسمة الفيء، وإقامة احلدود إىل األئمة ماض، ليس ألحد أن يطعن عليهم، وال - 32
ينازعهم. ودفع الصدقات إليهم جائزة نافذة. من دفعها إليهم أجزأت عنه برا كان أو فاجرا. - 31 زة باقية تامة ركعتني، من أعادمها فهو وصالة اجلمعة خلفه، وخلف من واله جائ - 32
مبتدع، تارك لآلثار، خمالف للسنة، ليس له من فضل اجلمعة شيء؛ إذا مل ير الصالة خلف األئمة برهم وفاجرهم فالسنة بأن يصلي معهم ركعتني ويدين بأهنا تامت. اليكن يف
صدرك من ذلك شك. لناس اجتمعوا عليه وأقروا له ومن خرج على إمام من أمة املسلمني وقد كان ا - 33
باخلالقة بأي وجه كان بالرضا أو بالغلبة فقد شق هذا اخلارج عصا املسلمني، وخالف فإن مات اخلارج عليه مات ميتة جاهلية. -صلى هللا عليه وسلم -اآلثار عن رسول هللا
هو وال حيل قتال السلطان وال اخلروج غليه ألجد من الناس. فمن فعل ذلك ف - 34 مبتدع على غري السنة والطريق.
وقتال اللصوص واخلوارج جائز إذا عرضوا للرجل يف نفسه وماله فله أن يقاتل عن - 35نفسه وماله، ويدفع عنها بكل ما يقدر، وليس له إذا فارقوه أو تركوه أن يطلبهم، وال يتبع
عن نفسه يف مقامه ذلك، آثارهم، ليس ألحد إال اإلمام أو والة املسلمني. إمنا له أن يدفعوينوي جبهده أن ال يقتل أحدا؛ فإن مات علي يديه يف دفعه عن نفسه يف املعركة فأبعد هللا املقتول وإن قتل هذا يف تلك احلال وهويدفع عن نفسه وماله رجوت له الشهادة. كما جاء
عليه تباعه، وال جييزيف األحاديث ومجيع اآلثار يف هذا إمنا أمر بقتاله، ومل يأمر بقتله وال اإن صرع أو كان جرحيا، وإن أخذه أسريا فليس له أن يقتله، وال يقيم عليه احلد، ولكن
يرفع أمره إىل من واله هللا فيحكم فيه.
85 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
وال نشهد على أحد من أهل القبلة بعمل يعمله جبنة أونار. نرجو للصاحل وخناف - 36رمحة هللا. عليه، وخناف على املسيء املذنب. ونرجو له
ليه. فإن هللا يتوب ع -تائبا غري مصر عليه -ومن لقي هللا بذنب جيب له ربه النار - 37 ويقبل التوبة عن عباده ويعفو عن السيئات.
ومن لقيه وقد أقيم عليه حد ذلك الذنب يف الدنيا فهو كفارته. كما جاء يف اخلرب - 38. -صلى هللا عليه وسلم -عن رسول هللا
ومن لقيه مصرا غري تائب من الذنوب اليت قد استوجب هبا العقوبة ؛ فأمره إىل هللا - 39 إن شاء عذبه وإن شاء غفر له.
ومن لقيه من كافر عذبه ومل يغفر له. - 42 والرجم حق على من زنا وقد أحصن إذا اعرتف أو قامت عليه بينة. - 41 . -م صلى هللا عليه وسل -وقد رجم رسول هللا - 42 وقد رمجت األئمة الراشدون. - 43 أو أبغضه -صلى هللا عليه وسلم -ومن انتقص أحدا من أصحاب رسول هللا - 44
حبدث كان منه أو ذكر مساوئه كان مبتدعا حىت يرتحم عليهم مجيعا، ويكون قلبه هلم سليما.
يف العالنية، مثل والنفاق هو الكفر: أن يكفر باهلل ويعبد غريه، ويظهر اإلسالم - 45 -صلى هللا عليه وسلم -املنافقني الذين كانوا على عهد رسول هللا
: "ثالث من كن فيه فهو منافق" -صلى هللا عليه وسلم -وقوله - 46 هذا على التغليظ نرويها كما جاءت، وال نفسرها.
يضرب بعضكم "ال ترجعوا بعدي كفارا ضالال -صلى هللا عليه وسلم -وقولـه - 47رقاب بعض". ومثل: "إذا التقى املسلمان بسيفيهما فالقاتل واملقتول يف النار" ومثل
"سباب املسلم فسوق وقتاله كفر" ومثل "من قال ألخيه يا كافر فقد باء هبا أحدمها" ومثل "كفر باهلل تربؤ من نسب وإن دق ".
86 Koreksi Buku I’tiqad Ahlus Sunnah KH. Sirajuddin Abbas
وإن مل نعلم تفسريها وال وحنو هذه األحاديث مما صح وحفظ، فإنا نسلم له، - 48نتكلم فيها وال جنادل فيها، وال نفسر هذه األحاديث إال مثل ما جاءت ال نردها إال
بأحق منها : "دخلت -صلى هللا عليه وسلم -واجلنة والنار خملوقتان كما جاء عن رسول هللا - 49
اجلنة فرأيت قصرا"، "ورأيت الكوثر" هلها. . . ."، "واطلعت يف النار فرأيت. . . . . . كذا"، و"اطلعت يف اجلنة فرأيت أكثر أ
صلى هللا عليه -فمن زعم أهنما مل ختلقا فهو مكذب بالقرآن , وأحاديث رسول هللا ، وال أحسبه يؤمن باجلنة والنار. -وسلم ومن مات من أهل القبلة موحدا يصلى عليـه ويستغفر له، وال حيجب عنه - 52
أمره إىل هللا. -صغريا كان أو كبريا -ك الصالة عليه لذنب أذنبه االستغفار، وال ترت