28
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat; b. bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang- Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958); 3. Undang-Undang . . .

UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 49 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986

TENTANG PERADILAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu

diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan

berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam

masyarakat;

b. bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan

ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-

Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4958);

3. Undang-Undang . . .

Page 2: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 2 -

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986

Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4379);

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG

PERADILAN UMUM.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3327) sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4379), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan . . .

Page 3: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 3 -

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pengadilan adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.

2. Hakim adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi.

3. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus

perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam

salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di

bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-

undang.

6. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang

tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam

undang-undang.

2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-

undang.

(2) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara,

yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam

bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

(3) Ketentuan . . .

Page 4: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 4 -

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara

pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan

hakim ad hoc diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

3. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 6 (enam) Pasal, yakni Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, Pasal 13D, Pasal

13E, dan Pasal 13F, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13A

(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim,

pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan

oleh Komisi Yudisial.

Pasal 13B

(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa dan

berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang

hukum.

(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pasal 13C

(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Komisi Yudisial melakukan

koordinasi dengan Mahkamah Agung.

(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil

pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan

oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan bersama dilakukan

oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Pasal 13D . . .

Page 5: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 5 -

Pasal 13D

(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat (2),

Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan

pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Yudisial berwenang:

a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan

masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan

pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim;

b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran

atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;

d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan

Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di

bawah Mahkamah Agung atas dugaan

pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim;

e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan

sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf d;

f. meminta keterangan atau data kepada Mahkamah

Agung dan/atau pengadilan;

g. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan

dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan

pemeriksaan; dan/atau

h. menetapkan keputusan berdasarkan hasil

pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada

huruf b.

Pasal 13E

(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13A Komisi Yudisial dan/atau

Mahkamah Agung wajib:

a. menaati norma dan peraturan perundang-

undangan;

b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

dan

c. menjaga . . .

Page 6: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 6 -

c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi

yang diperoleh.

(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi

Yudisial dan Mahkamah Agung.

(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara.

(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal hakim diatur dalam undang-

undang.

Pasal 13F

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial

dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar

rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.

4. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. sarjana hukum;

e. lulus pendidikan hakim;

f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

h. berusia . . .

Page 7: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 7 -

h. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan

i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan negeri, hakim harus berpengalaman paling

singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim pengadilan

negeri.

5. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 14A dan Pasal 14B yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 14A

(1) Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan

partisipatif.

(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Pasal 14B

(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf d, huruf e, dan huruf h.

(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada (1) untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang

dilarang merangkap sebagai pengusaha sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c kecuali

undang-undang menentukan lain.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

6. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15 . . .

Page 8: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 8 -

Pasal 15

(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf

f, huruf g, dan huruf i.

b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;

c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun

sebagai ketua, wakil ketua pengadilan negeri,

atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim

pengadilan negeri;

d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung; dan

e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian

sementara akibat melakukan pelanggaran Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun

sebagai hakim pengadilan tinggi atau 3 (tiga) tahun

bagi hakim pengadilan tinggi yang pernah menjabat

ketua pengadilan negeri.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi harus berpengalaman paling singkat 4 (empat)

tahun sebagai hakim pengadilan tinggi atau 2 (dua)

tahun bagi hakim pengadilan tinggi yang pernah

menjabat ketua pengadilan negeri.

7. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat

(1b) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul

Ketua Mahkamah Agung.

(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas

usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi

Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.

(1b) Usul . . .

Page 9: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 9 -

(1b) Usul pemberhentian hakim yang dilakukan

oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1a) hanya dapat dilakukan apabila hakim

yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim.

(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan

diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

8. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan

diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

a. atas permintaan sendiri secara tertulis; b. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus; c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan negeri,

dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil

ketua, dan hakim pengadilan tinggi; atau

d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. (2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang

meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan

dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.

9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan

diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya

dengan alasan:

a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. melalaikan . . .

Page 10: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 10 -

c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan;

e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan/atau

f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung

kepada Presiden.

(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh

Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.

(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e

diajukan oleh Mahkamah Agung.

(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi

Yudisial.

(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena

alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4),

dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak untuk

membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

10. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan

dengan hormat dari jabatannya karena atas permintaan

sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya diberhentikan

sebagai hakim.

11. Di antara . . .

Page 11: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 11 -

11. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 22 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 22

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum

diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, huruf c,

huruf d, huruf e dan huruf f, dapat diberhentikan

sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah

Agung.

(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.

(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).

(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1) Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan,

biaya dinas, pensiun, dan hak-hak lainnya.

(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. tunjangan jabatan; dan b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. rumah jabatan milik negara; b. jaminan kesehatan; dan c. sarana transportasi milik negara.

(5) Hakim . . .

Page 12: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 12 -

(5) Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok,

tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan

keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim

pengadilan diatur dengan peraturan perundang-

undangan.

13. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan negeri,

seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berijazah sarjana hukum;

e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda

pengadilan negeri, atau menjabat sebagai wakil panitera

pengadilan tinggi; dan

f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

14. Ketentuan Pasal 29 huruf b dihapus sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi,

seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f;

b. dihapus.

c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda

pengadilan tinggi, atau 3 (tiga) tahun sebagai panitera

pengadilan negeri.

15. Ketentuan . . .

Page 13: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 13 -

15. Ketentuan Pasal 31 huruf b dihapus sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut.

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan

tinggi, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf f;

b. dihapus. c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera

pengganti pengadilan tinggi, 3 (tiga) tahun sebagai wakil

panitera pengadilan negeri, atau menjabat sebagai

panitera pengadilan negeri.

16. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

Panitera tidak boleh merangkap menjadi:

a. wali; b. pengampu; c. advokat; dan/atau d. pejabat peradilan yang lain.

17. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 36A

Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera

pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan

alasan:

a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri secara tertulis; c. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;

d. telah . . .

Page 14: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 14 -

d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti

pengadilan negeri;

e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera

pengganti pengadilan tinggi; dan/atau

f. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

Pasal 36B

Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera

pengganti pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat

dengan alasan:

a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas

pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan;

e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36; dan/atau

f. melanggar kode etik panitera.

18. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40

(1) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berijazah pendidikan menengah; e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita pengganti; dan

f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

(2) Untuk . . .

Page 15: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 15 -

(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; dan

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan negeri.

19. Ketentuan Pasal 45 dihapus.

20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46

Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan

negeri, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berijazah sarjana hukum atau sarjana administrasi; e. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan; dan

f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

21. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga Pasal 47 berbunyi sebagai berikut.

Pasal 47

Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan

tinggi, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; dan

b. berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang administrasi peradilan.

22. Di antara . . .

Page 16: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 16 -

22. Di antara Ketentuan Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 52A yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 52A

(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada

masyarakat untuk memperoleh informasi yang

berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam

proses persidangan.

(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat

14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.

(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

23. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 53

(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim.

(2) Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga

mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas

dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita di

daerah hukumnya.

(3) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan

tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan

terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan

negeri dan menjaga agar peradilan diselenggarakan

dengan seksama dan sewajarnya.

(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), ketua pengadilan dapat

memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan.

(5) Pengawasan . . .

Page 17: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 17 -

(5) Pengawasan tersebut pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara.

24. Di antara Pasal 57 dan Pasal 58 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 57A dan Pasal 57B yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 57A

(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan umum dapat menarik biaya perkara.

(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran

yang sah.

(3) Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses

penyelesaian perkara.

(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan pajak, yang

ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan

(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau

para pihak yang berpekara yang ditetapkan oleh

Mahkamah Agung.

(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57B

(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57A

ayat (3).

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi pemberhentian

tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 dan Pasal 36B.

25. Di antara . . .

Page 18: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 18 -

25. Di antara Pasal 68 dan Pasal 69 disisipkan 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal 68A, Pasal 68B, dan Pasal 68C yang berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 68A

(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang

dibuatnya.

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim

yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang

tepat dan benar.

Pasal 68B

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.

(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan surat keterangan tidak

mampu dari kelurahan tempat domisili yang

bersangkutan.

Pasal 68C

(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu

dalam memperoleh bantuan hukum.

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma, kepada semua tingkat

peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut

memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .

Page 19: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 19 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 29 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 29 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 158

Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan

sesuai dengan aslinya

Page 20: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 49 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986

TENTANG PERADILAN UMUM

I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-Undang ini antara lain dilatarbelakangi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, selain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial itu sendiri yang terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004

tentang . . .

Page 21: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 2 -

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, perlu pula dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan ekstenal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum antara lain sebagai berikut: 1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;

2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan negeri maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;

3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc. 4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;

5. kesejahteraan hakim; 6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; 7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara;

8. bantuan hukum; 9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Perubahan . . .

Page 22: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 3 -

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan umum secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan pidana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1 Cukup jelas.

Angka 2 Pasal 8

Ayat (1) Yang dimaksud dengan "diadakan pengkhususan pengadilan" ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan umum dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, sedangkan yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.

Ayat (2) Yang dimaksud “dalam jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan diangkatnya hakim ad hoc adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan, kejahatan pajak, korupsi, anak, perselisihan hubungan industrial, telematika (cyber crime).

Ayat (3) Cukup jelas.

Angka 3 . . .

Page 23: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 4 -

Angka 3 Pasal 13A

Ayat (1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 13B Cukup jelas. Pasal 13C

Ayat (1) Koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam ketentuan ini meliputi pula koordinasi dengan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13D

Cukup jelas. Pasal 13E

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 13F Yang dimaksud dengan “mutasi” hakim dalam ketentuan ini meliputi promosi dan demosi hakim.

Angka 4 Pasal 14

Ayat (1) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d . . .

Page 24: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 5 -

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan perguruan tinggi negeri atau swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu yang ditentukan dan melalui proses seleksi yang ketat.

Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas.

Huruf i Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Angka 5

Pasal 14A Cukup jelas.

Pasal 14B Cukup jelas.

Angka 6

Pasal 15 Cukup jelas.

Angka 7

Pasal 16 Cukup jelas.

Angka 8

Pasal 19 Cukup jelas.

Angka 9 Pasal 20 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5) . . .

Page 25: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 6 -

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Angka 10 Pasal 21

Cukup jelas.

Angka 11 Pasal 22

Ayat (1) Pemberhentian sementara dalam ketentuan ini, selain yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, adalah hukuman jabatan yang dikenakan kepada seorang hakim untuk tidak memeriksa dan mengadili perkara dalam jangka waktu tertentu.

Ayat (1a) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 25 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c . . .

Page 26: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 7 -

Huruf c Yang dimaksud dengan “sarana transportasi” adalah kendaraan bermotor roda empat berserta pengemudinya atau sarana lain yang memungkinkan seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya.

Ayat (5) Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim mampu memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Ayat (6) Cukup jelas.

Angka 13 Pasal 28

Cukup jelas. Angka 14

Pasal 29 Cukup jelas.

Angka 15 Pasal 31

Cukup jelas. Angka 16

Pasal 36 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan yang lain” adalah sekretaris pengadilan, wakil sekretaris pengadilan, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, dan pejabat struktural lainnya.

Angka 17 Pasal 36A

Cukup jelas. Pasal 36B

Cukup jelas.

Angka 18 . . .

Page 27: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 8 -

Angka 18 Pasal 40

Ayat (1) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Yang dimaksud dengan pendidikan menengah adalah sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lainnya yang sederajat.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Angka 19 Cukup jelas.

Angka 20

Pasal 46 Cukup jelas.

Angka 21 Pasal 47

Cukup jelas.

Angka 22 Pasal 52A

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua pengadilan yang bersangkutan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Ketua Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Angka 23 . . .

Page 28: UU No 49 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum)

- 9 -

Angka 23 Pasal 53

Cukup jelas.

Angka 24 Pasal 57A Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)

Biaya yang masuk penerimaan negara bukan pajak adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Pasal 57B Cukup jelas.

Angka 25 Pasal 68A Cukup jelas. Pasal 68B

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”kelurahan” dalam ketentuan ini termasuk desa, banjar, nagari, dan gampong.

Pasal 68C Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma termasuk biaya eksekusi.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5077