35
1 LAPORAN HIBAH RISET PRODI S2 ILMU KOMUNIKASI FISIPOL UGM T.A. 2013 Jurnalisme Warga (Desa) (Analisis Isi Kualitatif Produk Jurnalisme Warga (Desa) dalam Gerakan Desa Membangun tahun 2011-2013) Oleh: Lisa Lindawati 1 Abstrak Perkembangan media baru mengaburkan batasan antara media dengan audiens. Keberadaan media baru memungkinkan setiap orang menjadi produsen informasi. Produksi informasi tidak lagi dimonopoli oleh media. Hal ini membawa dampak signifikan dalam dunia jurnalisme. Pengertian jurnalisme konvensional yang memberikan otoritas bagi jurnalis ‘profesional’ sepertinya harus dikaji ulang. Di era dimana setiap orang mampu membuat medianya sendiri dan memproduksi informasi membuat jurnalis ‘profesional’ tidak lagi memegang otoritas tunggal. Hal ini menyuburkan apa yang disebut dengan Jurnalisme Warga. Disamping itu, produksi informasi tidak lagi dikuasai oleh kelompok masyarakat ‘terdidik’ dan ‘modern’. Keberadaan media baru memungkinkan berbagai komunitas akar rumput memperoleh kesempatan bicara. Termasuk Desa. Membayangkan bagaimana ketika Desa mengenal Media Baru. Bagaimana ketika Desa mempunyai otoritas untuk mengelola informasi dan menyuarakan dirinya kepada khalayak luas. Disinilah fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam. Gerakan Desa Membangun yang bergerak sangat cepat di Kabupaten Banyumas menjadi satu objek kajian ilmiah yang menarik. Masyarakat desa yang selama ini tidak banyak dilirik media tiba-tiba berubah menjadi produsen informasi yang produktif dan membuat Desa mereka ‘terlihat’ oleh dunia. Dalam konteks inilah kecenderungan produk jurnalisme warga menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut. Kata Kunci: citizen journalism, alternative media, empowernment, rural development A. PENDAHULUAN Aktivitas bermedia baru saat ini sudah merambah hingga ke pelosok desa. Salah satunya adalah di Kabupaten Banyumas. Sebagian desa-desa di kabupaten ini sudah dapat mengakses internet sebagai jembatan masuk dalam dunia maya tersebut. Dalam konteks Desa di wilayah Banyumas, salah satu aktivitas yang dilakukan oleh warga adalah menulis berita online. Bentuk paling konkrit adalah mengelola portal desa yang 1 Asisten Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dibantu oleh Ruth Lasamahu, Rani Eva Dewi, Nirmala Fauzia, dan Rezha Amalia. Keempatnya adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM angkatan 2011.

Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Perkembangan media baru mengaburkan batasan antara media dengan audiens. Keberadaan media baru memungkinkan setiap orang menjadi produsen informasi. Produksi informasi tidak lagi dimonopoli oleh media. Hal ini membawa dampak signifikan dalam dunia jurnalisme. Pengertian jurnalisme konvensional yang memberikan otoritas bagi jurnalis ‘profesional’ sepertinya harus dikaji ulang. Di era dimana setiap orang mampu membuat medianya sendiri dan memproduksi informasi membuat jurnalis ‘profesional’ tidak lagi memegang otoritas tunggal. Hal ini menyuburkan apa yang disebut dengan Jurnalisme Warga. Disamping itu, produksi informasi tidak lagi dikuasai oleh kelompok masyarakat ‘terdidik’ dan ‘modern’. Keberadaan media baru memungkinkan berbagai komunitas akar rumput memperoleh kesempatan bicara. Termasuk Desa. Membayangkan bagaimana ketika Desa mengenal Media Baru. Bagaimana ketika Desa mempunyai otoritas untuk mengelola informasi dan menyuarakan dirinya kepada khalayak luas. Disinilah fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam. Gerakan Desa Membangun yang bergerak sangat cepat di Kabupaten Banyumas menjadi satu objek kajian ilmiah yang menarik. Masyarakat desa yang selama ini tidak banyak dilirik media tiba-tiba berubah menjadi produsen informasi yang produktif dan membuat Desa mereka ‘terlihat’ oleh dunia. Dalam konteks inilah kecenderungan produk jurnalisme warga menjadi penting untuk dilihat lebih lanjut.

Citation preview

Page 1: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

1

LAPORAN HIBAH RISET

PRODI S2 ILMU KOMUNIKASI FISIPOL UGM

T.A. 2013

Jurnalisme Warga (Desa) (Analisis Isi Kualitatif Produk Jurnalisme Warga (Desa) dalam Gerakan Desa

Membangun tahun 2011-2013)

Oleh: Lisa Lindawati1

Abstrak

Perkembangan media baru mengaburkan batasan antara media dengan audiens.

Keberadaan media baru memungkinkan setiap orang menjadi produsen informasi.

Produksi informasi tidak lagi dimonopoli oleh media. Hal ini membawa dampak

signifikan dalam dunia jurnalisme. Pengertian jurnalisme konvensional yang

memberikan otoritas bagi jurnalis ‘profesional’ sepertinya harus dikaji ulang. Di era

dimana setiap orang mampu membuat medianya sendiri dan memproduksi informasi

membuat jurnalis ‘profesional’ tidak lagi memegang otoritas tunggal. Hal ini

menyuburkan apa yang disebut dengan Jurnalisme Warga. Disamping itu, produksi

informasi tidak lagi dikuasai oleh kelompok masyarakat ‘terdidik’ dan ‘modern’.

Keberadaan media baru memungkinkan berbagai komunitas akar rumput memperoleh

kesempatan bicara. Termasuk Desa. Membayangkan bagaimana ketika Desa mengenal

Media Baru. Bagaimana ketika Desa mempunyai otoritas untuk mengelola informasi

dan menyuarakan dirinya kepada khalayak luas. Disinilah fenomena ini menjadi

menarik untuk dikaji lebih dalam. Gerakan Desa Membangun yang bergerak sangat

cepat di Kabupaten Banyumas menjadi satu objek kajian ilmiah yang menarik.

Masyarakat desa yang selama ini tidak banyak dilirik media tiba-tiba berubah menjadi

produsen informasi yang produktif dan membuat Desa mereka ‘terlihat’ oleh dunia.

Dalam konteks inilah kecenderungan produk jurnalisme warga menjadi penting untuk

dilihat lebih lanjut.

Kata Kunci: citizen journalism, alternative media, empowernment, rural development

A. PENDAHULUAN

Aktivitas bermedia baru saat ini sudah merambah hingga ke pelosok desa. Salah

satunya adalah di Kabupaten Banyumas. Sebagian desa-desa di kabupaten ini sudah

dapat mengakses internet sebagai jembatan masuk dalam dunia maya tersebut. Dalam

konteks Desa di wilayah Banyumas, salah satu aktivitas yang dilakukan oleh warga

adalah menulis berita online. Bentuk paling konkrit adalah mengelola portal desa yang

1 Asisten Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dibantu oleh Ruth Lasamahu, Rani Eva

Dewi, Nirmala Fauzia, dan Rezha Amalia. Keempatnya adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIPOL

UGM angkatan 2011.

Page 2: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

2

merupakan bagian dari Gerakan Desa Membangun (GDM)2. Sejak tahun 2012, ada

setidaknya 21 Desa di kawasan Banyumas yang aktif mengelola Portal Desa. Jumlah ini

semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Desa-desa tersebut tersebar di enam

kecamatan. Bahkan saat ini sudah merambah ke kabupaten dan provinsi lain di

Indonesia. Berdasarkan data pra riset yang diperoleh, setidaknya ada 1375 berita yang

mereka hasilkan dalam tiga tahun ini (2012-2013). Hal ini mengindikasikan tingginya

produktivitas warga desa dalam menghasilkan informasi mengenai dirinya. Aktivitas ini

seringkali mereka sebut dengan Jurnalisme Warga.

Mudahnya akses media baru membuat setiap orang berkesempatan untuk

menjadi produsen informasi. Hal ini mendorong berkembangnya jurnalisme warga.

Jurnalisme Warga merupakan bentuk aktivitas warga untuk melaporkan kejadian

disekitarnya kepada khalayak luas. Aktivitas warga ini diidentikan dengan aktivitas

seorang jurnalis. Meskipun apa yang dilakukan mirip dengan apa yang dilakukan oleh

seorang jurnalis, aktivitas warga ini tidak bisa serta merta disebut sebagai jurnalisme.

Hal ini disebabkan pelakunya tidak mempunyai pendidikan formal ataupun pemahaman

yang komprehensif mengenai nilai dan etika dari jurnalisme itu sendiri. Oleh karena itu,

istilah jurnalisme warga disematkan untuk membedakan aktivitas ini dengan aktivitas

yang dilakukan oleh jurnalis profesional.

Meskipun sudah ada pembedaaan yang jelas mengenai aktivitas jurnalis warga

dengan jurnalis profesional, pengertian mengenai Jurnalisme Warga belumlah tunggal.

Bahkan ada yang tidak mengakui keberadaan jurnalisme warga. Jika menggunakan

istilah jurnalisme sudah selayaknya diikuti dengan pemahaman mengenai kaidah-kaidah

jurnalisme yang benar. Jika aktivitas warga yang notabene mirip dengan aktivitas

jurnalis tidak diikuti dengan pemahaman akan kaidah yang benar, maka itu bukanlah

jurnalisme. Namun, disamping pemahaman tersebut, muncul pula pemikiran-pemikiran

2 GDM adalah sebuah jejaring desa yang ingin mandiri dalam pembangunan. Term Desa Membangun

mencoba menjadi antitesis dari term ‘Membangun Desa’ yang selama ini digaungkan. Dalam term Desa

Membangun, desa ditempatkan sebagai subjek pembangunan, bukan sekedar objek pasif yang harus

dibantu atau dibangun. Selain landasan gerakannya yang mencoba untuk melawan mainstream

pembangunan pedesaan, GDM menarik perhatian karena gerakan ini concern pada pemanfaatan

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Berbasis pada teknologi sumber terbuka (open source),

gerakan ini mengembangkan berbagai bentuk aplikasi media baru untuk mendorong pembangunan di

desa-desa yang terlibat dalam gerakan ini. Salah satu aplikasi yang dikembangkan adalah Portal Desa.

Sumber: Lisa Lindawati. 2013. Komunikasi Pembangunan dan Kemandirian Desa. Tesis. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

Page 3: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

3

yang ‘menyelamatkan’ keberadaan jurnalisme warga. Kalangan yang mengakui

keberadaan fenomena ini mencoba mengembalikan pada fungsi dasar jurnalisme.

Jika dikembalikan pada hakikatnya, aktivitas jurnalisme bertujuan untuk

membangun sebuah ruang publik yang demokratis, dimana setiap orang mempunyai

kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalamnya. Disamping itu, jurnalisme juga

mempunyai fungsi untuk membangun sebuah pemahaman kepada masyarakat mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Jurnalis dalam hal ini bertugas untuk

mengangkat isu yang menyangkut kepentingan publik tersebut. Sehingga, tidak lah

perlu menjadi masalah siapa yang mengangkat isu tersebut. Jikalau isu itu memang

mengandung visi publik, apakah itu jurnalis profesional atau jurnalis warga, memegang

peranan yang sama.

Pengakuan tentang keberadaan Jurnalisme Warga memang sudah cukup

mendapatkan dukungan. Hanya saja pemahamannya pun belum tunggal. Perbedaan

pemahaman yang cukup mencolok terkait dengan kaidah-kaidah yang mengikat

jurnalisme itu sendiri. Disatu sisi ada pemahaman bahwa jika disebut dengan

Jurnalisme, meskipun pelakunya adalah warga, tetap harus dibebani dengan kaidah-

kaidah jurnalistik. Artinya, seorang jurnalis warga dituntut untuk memahami nilai

jurnalisme seperti objektivitas, akurasi, nilai berita, dan lain sebagainya. Lebih spesifik

lagi, mereka juga dituntut mengindahkan kode etik jurnalistik yang telah disepakati.

Hanya saja tuntutan ini dianggap terlalu berat oleh sebagian kalangan. Jurnalis warga

yang notabene tidak mempunyai dasar pendidikan formal mengenai jurnalistik tidak lah

perlu untuk dibebani dengan kaidah-kaidah layaknya jurnalis profesional. Disamping

itu, jika dikembalikan pada awal kemunculannya, Jurnalisme Warga muncul karena

kekecewaan publik atas pemberitaan para jurnalis profesional. Jurnalisme Warga

muncul sebagai counter wacana dari wacana media mainstream. Artinya, jika mereka

dituntut untuk mengikuti kaidah yang sama dengan jurnalis profesional, maka tujuan ini

tidak akan tercapai.

Perdebatan inilah yang menarik untuk dilihat lebih lanjut dalam realitas empirik.

Bagaimana jurnalisme warga dipahami oleh pelakunya dan bagaimana kecenderungan

produk informasinya. Portal desa dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tawar Desa di

hadapan para pemangku kebijakan. Hal ini mengindikasikan ada perbedaan nilai antara

jurnalisme profesional dengan jurnalisme warga. Jurnalisme ‘profesional’ yang selama

Page 4: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

4

ini selalu dituntut untuk netral sungguh berbeda dengan tendensi warga Desa dalam

aktivititas jurnalistik mereka. Apalagi disandingkan dengan semangat Kemandirian

yang diusung dalam Gerakan Desa Membangun.

Fenomena tersebut mendorong peneliti untuk melihat kecenderungan konten

berita yang diunggah dalam Portal Desa. Lebih mendalam lagi, peneliti ingin melihat

bagaimana semangat kemandirian desa direpresentasikan dalam tulisan-tulisan tersebut.

Menempatkan desa sebagai subjek menjadi spirit yang seharusnya dituangkan dalam

produk informasi tersebut. Hal ini sesuai dengan semangat jurnalisme warga yang

berusaha mengimbangi wacana media mainstream yang dianggap tidak sesuai dengan

perspektif lokal.

B. KERANGKA PEMIKIRAN

1. New Media dan Jurnalisme Warga

Keberadaan new media mengaburkan dikotomi antara media dan audiens.

Keberadaan situs web menantang paradigma media tradisional dengan membiarkan

pembaca menjadi penulis (Bentley, 2008). Internet membawa cara baru dalam

mengumpulkan dan melaporkan informasi ke dalam newsroom. Dalam lingkungan new

media, pembaca mempunyai peran yang signifikan dalam melakukan pertukaran dengan

jurnalis. Difasilitasi dengan teknologi yang mudah, dan juga peningkatan layanan

koneksi serta perkembangan mobile devices, audiens media online mempunyai alat

untuk menjadi partisipan aktif dalam membuat dan menyebarkan berita dan informasi.

Demistifikasi dari jurnalisme ini meruntuhkan sekat antara audiens dan produser

yang kemudian mengubah nilai dan norma yang melekat pada ‘berita’. Hal ini

mendorong perlunya pemahaman baru mengenai jurnalisme itu sendiri (Fenton, 2010).

Salah satu implikasi yang kentara dari perubahan paradigma tersebut adalah lahirnya

citizen journalism3. Ide besar dibalik keberadaan citizen journalism adalah bahwa, orang

tanpa pendidikan formal mengenai jurnalisme, dapat menggunakan teknologi modern

3 Citizen journalism sebenarnya sudah berkembang sebelum new media berkembang. Hanya saja

perkembangannya terbatas dan bergantung pada media mainstream. Bentuk citizen journalism yang

berkembng pada masa sebelum new media berupa partisipasi audiens untuk menyampaikan informasi

melalui media mainstream. Sedangkan pada masa new media, audiens mempunyai fleksibilitas lebih

tinggi untuk memilih saluran media mereka. Dalam konteks ini, konsep audiens juga menjadi kurang

relevan. Keberadaan new media menguatkan posisi yang awalnya disebut audiens menjadi produsen

informasi.

Page 5: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

5

terutama perkembangan internet untuk memproduksi pesan, fact check secara mandiri

atau bersama-sama (sharing) dengan yang lain. Bowman & Willis (2003 dikutip oleh

Jack) mendefinisikan citizen journalism sebagai keadaan dimana citizen mempunyai

peran aktif dalam mengumpulkan, melaporkan, menganalisis dan mendistribusikan

berita dan informasi. Jay Rosen (2006 dalam Bruns) memformulasikan bahwa citizen

journalism digerakkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal sebagai audiens,

dimana sekarang berperan aktif dalam proses jurnalisme itu sendiri. Mereka mempunyai

akses dalam mengkreasi dan menyebarkan pesan yang tidak lagi bergantung pada

teknologi yang selama ini ‘dikuasai’ oleh media mainstream.

Ada perbedaan mendasar antara citizen journalism dan professional journalism,

yang membuat keberadaanya cepat berkembang. Seorang citizen journalist tidak

memerlukan pekerjaan keredaksionalan, melainkan hanya mempunyai sesuatu untuk

dikatakan. Seringnya, mereka ingin memberitakan sesuatu karena jurnalis profesional

terlalu sibuk dengan hal besar dan melihat terlalu sedikit sesuatu yang sebenarnya

sangat berarti untuk masyarakat (Bentley, 2008). Sedangkan menurut Bowman and

Willis (2003), perbedaan antara citizen journalism dan professional journalism adalah

jika citizen journalism secara aktif mendorong partisipasi aktif, organisasi media justru

memperkuat kontrol melalui kemampuannya membentuk agenda (agenda setting),

memilih partisipan, dan moderasi komunikasi.

Lebih lanjut, Jack membedakan citizen journalism dan participatory journalism,

dimana pada participatory journalism, citizen hanya mempunyai peran dalam

memberikan feedback ataupun komentar. Sedangkan berita maupun informasi

disediakan oleh media (jurnalis profesional). Namun, hal ini berbeda dengan Bowman

dan Willis (2003) yang mengindentikkan citizen journalism dengan participatory

journalism. Bowman dan Willis (2003) mendefinisikan Participatory journalism

sebagai berikut,

“The act of a citizen, or group of citizens, playing an active role in the process

of collecting, reporting, analyzing and disseminating news and information. The

intent of this participation is to provide independent, reliable, accurate, wide-

ranging and relevant information that a democracy requires.”

Bowman and Willis (2003) menjelaskan karakter participatory journalism

dibanding dengan organisasi media konvensioanl. Media tradisional dibentuk dalam

organisasi yang hierarkis, yang dibangun untuk kepentingan komersial. Fokus bisnis

Page 6: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

6

mereka adalah pada penyiaran dan juga periklanan. Mereka memberlakukan proses

editing yang ketat, integritas, dan menguntungkan. Sedangkan participatory journalism

dibangun dalam jaringan komunitas yang mengandalkan komunikasi, kolaborasi,

kesetaraan, yang melebihi keuntungan ekonomi. Hal ini menguatkan kedekatan konsep

antara participatory journalism dengan citizen journalism.

Beberapa istilah lain yang merujuk/hampir sama dengan citizen journalism

antara lain grassroot journalism, networked journalism, open source journalism, citizen

media, participatory journalism, hyperlocal journalism, bottom up journalism, stand-

alone journalism, distributed journalism (Glaser dalam Allan, 2010). Couldry (dalam

Fenton, 2010) menyebut citizen journalism dengan writer gatherers, yaitu “anyone who

post even one story or photo on a mainstream news site – source actor”

2. Jurnalisme Warga dan Media Alternatif

Hingga saat ini, pengertian dari citizen journalism masih belum tunggal.

Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah jurnalisme hanya ditujukan bagi aktivitas yang

profesional sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh non-profesional dianggap bukan

bagian dari jurnalisme, meskipun mereka melakukan kegiatan yang ‘mirip’ dengan

jurnalisme. Hal ini disebabkan aktivitas jurnalistik mempunyai nilai dan etika yang

hanya dipahami oleh jurnalis profesional. Namun, pendapat berbeda juga menyeruak.

Tujuan utama dari jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh

masyarakat sehingga dapat menjadi bebas dan dapat mengatur dirinya sendiri (Bowman

and Willis, 2003). Sedangkan ide yang mendasari lahirnya citizen journalism adalah

berkurangnya monopoli informasi dan pengetahuan yang selama ini ada di tangan para

profesional. Konsep utama yang ada di balik citizen journalism adalah bahwa media

tradisional bukanlah pusat pengetahuan, justru audienslah yang secara kolektif lebih

memahami dibandingkan dengan reporter yang notabene sendirian (Glaser dalam Allan,

2010 : 578).

Terkait dengan kemampuannya ‘melawan’ monopoli media mainstream, studi

mengenai jurnalisme warga dapat dikaitkan dengan studi mengenai media alternatif

(Alternative Media). Studi media alternatif lahir sebagai jawaban atas kegelisahan akan

studi media arus utama yang semakin elitis. Salah satu studi yang concern pada

keberadaan media alternatif adalah apa yang disebut oleh Hamilton (2008) sebagai

Page 7: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

7

critical media studies. Titik tekan studi ini adalah mempertanyaan basis ideologi media

massa.

“In modern democracies, there are expectations that the media will facilitate

democracy by providing pluralistic information from which informed choices

can be made and debates can take place. This model, however assumes that

those with significant contributions to make to the media can secure access

(Cottle, 2003 dalam Hamilton, 2008:117)

Sebagai konsekuensi dari model ini, seharusnya media massa mampu memberikan

keberagaman informasi dan kerangka interpretasi yang mampu membantu untuk

memahami kondisi masyarakat.

Sayangnya, keberadaan media massa tidak lagi bisa diharapkan menjadi penguat

demokrasi. Banyak kepentingan yang kemudian membuat media tidak lagi bisa secara

ideal melayani masyarakat. Seperti disampaikan oleh Herman dan Chomsky (1988,

dalam Atton dan Hamilton, 2008: 118) yang melihat praktik media saat ini dari

kacamata ekonomi politik, dimana ada kekuatan struktural yang saat ini mempertajam

praktik jurnalisme mainstream. Herman dan Chomsky berargumen bahwa saat ini berita

disaring oleh (1) konsentrasi kekuasaan; (2) kepemilikan media; (3) iklan; (4)

kesenangan; (5) paham anti komunis dan anti sayap kiri yang tersistematis. Dalam

pandangan mereka, kekuatan media massa telah memarginalkan orang biasa (ordinary

people), bukan hanya menutup akses produksi, mereka (baca: media) juga

memarginalkan orang biasa dalam laporan mereka.

Kondisi ini mendorong tumbuhnya media alternatif yang mencoba memberikan

ruang bagi kalangan ‘biasa’ untuk mampu menjadi produsen informasi dan mempunyai

kemampuan mengakses yang lebih baik terhadap informasi yang relevan dengan

kepentingannya. Studi mengenai media alternatif fokus pada nilai politis, lebih spesifik

lagi mengenai kemampuannya dalam memberdayakan warga. Menurut Atton &

Hamilton (2008: 77), inti dari pemberdayaan adalah kesempatan bagi ‘orang biasa’

untuk bercerita tentang kisah mereka sendiri tanpa pendidikan formal atau kemampuan

profesional dan juga status sebagai jurnalis mainstream. Sedangkan Clemencia

Rodriguez (2001 dalam Atton & Hamilton, 2008: 122) mengatakan, ketika orang

membuat media mereka sendiri, mereka akan dapat untuk merepresentasikan dirinya

dan komunitasnya dengan lebih baik.

Keberadaan ‘citizen media’ merupakan bentuk ‘self education’. Dengan jalan ini

mereka menantang aturan sosial, melakukan validasi identitas, dan memberdayakan diri

Page 8: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

8

mereka dan komunitas mereka sendiri. Hal ini senada dengan istilah radical democracy

dari Chantal Mouffe dimana kekuatan alternatif media terletak bukan hanya pada

kemampuannya untuk mengkonter informasi tetapi juga memberikan kesempatan untuk

orang biasa bercerita tentang cerita mereka sendiri, merekonstruksi budaya dan identitas

mereka dengan menggunakan simbol, tanda, dan bahasa mereka sendiri.

Salah satu studi dilakukan oleh Paschal Preston (2001 dalam Atton & Hamilton,

2008: 119-120) terkait dengan konsep Masyarakat Informasi. Dalam studinya, Preston

pesimis dengan konsep tersebut tetapi dia yakin akan adanya perubahan yang didorong

oleh munculnya gerakan sosial baru. Perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi yang digadang-gadang membentuk Masyarakat Informasi justru melahirkan

apa yang disebut dengan information rich-information poor. Kondisi tersebut

mendorong terjadinya gap terhadap kemampuan akses berbagai fasilitas pelayanan

publik. Yang justru terjadi adalah inequalities.

Di balik pesimisme tersebut, Preston melihat ada peluang untuk mewujudkan

kondisi yang lebih demokratis. Keberadaan teknologi komunikasi dianggap memberi

peluang bagi berbagai gerakan sosial untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang lebih

egaliter. Berdasarkan prinsip kesetaraan, inklusif, keadilan sosial, dan demokrasi

radikal, gerakan sosial baru memanfaatkan kemungkinan terjadinya transformasi

kemampuan produksi dan konsumsi melalui teknologi komunikasi. Untuk mewujudkan

kondisi ini, media sendiri bukanlah fokus utama melainkan demokratisasi akses media

untuk berkomunikasi, dimana akses dan partisipasi menjadi kunci utama.

Dalam tulisan pendahulunya, Hamilton (2000) menyampaikan setidaknya tiga

prinsip media alternatif, yaitu (1) deprofessionalization; (2) decapitalization; dan (3)

deinstitutionalization. Senada dengan yang disampaikan Hamilton, Enzensberger (1976)

mencirikan media alternatif dengan tiga karakter. (1) interaktivitas antara audiens

dengan kreator; (2) produksi kolektif; (3) fokus pada aktivitas dan kebutuhan sehari-

hari. Hal ini juga selaras dengan pendapat McQuail (1994: 132) yang mencirikan media

alternatif ke dalam tiga karakter pula. (1) Terbatas pada seting komunitas, kelompok

kepentingan, dan subkultur; (2) pola interaksi horizontal; (3) partisipasi dan interaksi.

Page 9: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

9

3. Karakter Jurnalisme Alternatif

Lebih spesifik pada pemahaman mengenai alternative journalism, perlu ada

pemikiran ulang mengenai format jurnalisme yang saat ini dipahami, terutama terkait

dengan objektivitas dan nilai berita. Menurut Couldry (2000 dalam Atton dan Hamilton,

2008: 124) menyampaikan bahwa keberadaan media alternatif menghasilkan sebuah

upaya de-naturalisasi ruang media mainstream. Dengan kata lain, praktik jurnalisme

mainstream selama ini terutama terkait dengan bagaimana nilai berita itu dipahami,

bagaimana cerita itu dibingkai, dan bagaimana subjek berita direpresentasi, seakan-akan

sudah diterima begitu saja. Seakan-akan tidak ada cara lain untuk melakukan praktik

jurnalisme. Menurut Couldry sangat mungkin membayangkan cara lain untuk

melakukan jurnalisme dibalik pemahaman yang sudah ada selama ini. Melalui praktik

yang lebih inklusif dan bentuk yang lebih demokratis pada produksi media, jurnalisme

alternatif menunjukkan bahwa kekuatan media tidak sepenuhnya berada ditangan

jurnalis profesional. Mereka (alternative journalist) mempunyai kekuatan untuk

mengimbangi.

Ada beberapa karakter yang disematkan Atton terkait dengan keberadaan

alternative journalism. (1) Keberadaan media alternatif sebagai media yang digunakan

oleh jurnalis alternatif harus otonom dari kepentingan kapital maupun kepentingan

negara. (2) Media alternatif bertujuan untuk membuat perubahan politis. (3)

Mempromosikan komunikasi horizontal antar anggota dari kelompok marginal ataupun

antar kelompok. Yang menjadi kunci adalah bagaimana mentransformasikan audiens

menjadi produsen pesan. Dalam konteks ini, Atton menekankan terjadinya self-

reflexivity dan self-education.

Adapun beberapa elemen yang menjadi pembeda dalam kajian alternatif media

adalah sebagai berikut. Pertama, objektivitas. Dalam konteks jurnalisme (mainstream),

objektivitas dianggap sebagai kunci etis dari suatu produk berita. Namun, dalam

konteks jurnalisme alternatif, objektivitas tidak relevan dengan tujuan utama keberadaan

media alternatif. Para pegiat jurnalisme alternatif mencoba untuk melakukan

demistifikasi objektivitas. Bahkan menurut Atton & Hamilton (2008: 86), dapat

dikatakan secara tegas bahwa media alternatif secara penuh partisan. Dengan kata lain,

media alternatif jelas bias dan tidak mempunyai tendensi untuk membuat reportase yang

Page 10: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

10

berimbang. Yang dilakukan oleh seorang jurnalis alternatif adalah, menurut Chomsky

(dalam Atton dan Hamilton, 2008: 85) menyelesaikan cerita dan menyuarakannya.

Adapun dua argumen moral yang mendasari pilihan nilai dari alternatif media.

(1) Media alternatif bertujuan untuk mengimbangi wacana mainstream. Hal ini didasari

oleh asumsi bahwa pada dasarnya jurnalisme tidak dapat objektif. Sebab, berita itu

sendiri merupakan hasil interpretasi dari suatu peristiwa. (2) Jurnalisme alternatif

bertendensi untuk membalik hirarki akses. Media mainstream lebih mengutamakan

sumber berita elit, sedangkan media alternatif lebih mendengarkan perspektif orang

biasa. Kedua argumen tadi menjadi pertimbangan mengapa kemudian jurnalis alternatif

tidak dibebani dengan nilai objektivitas. Hal ini menurut Harcup (2002: 103 dalam

Atton & Hamilton, 2008: 87) disebut sebagai loyalitas seorang warga negara yang

berlaku sebagai jurnalis kepada warga negara lainnya.

Elemen kedua adalah Sumber. Dalam pemahaman media mainstream, sumber

berita adalah kelompok masyarakat yang dianggap kompeten. Dalam konteks

jurnalisme alternatif, sumber yang digunakan media mainstream cenderung elitis. Oleh

karena itu, sebagai media alternatif, sumber-sumber yang digunakan lebih

mengutamakan sumber-sumber dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini senada dengan

tujuan besarnya bahwa media alternatif ingin memberikan ruang bagi ‘ordinary people’

untuk bercerita tentang dirinya.

Elemen ketiga adalah Representasi. Hal ini terkait dengan elemen kedua,

dimana sumber dalam jurnalisme alternatif lebih memberikan ruang pada orang biasa

untuk bercerita tentang dirinya. Oleh karena itu, tidak relevan jika media alternatif

dituntut untuk merepresentasikan keberagaman perspektif. Sudah sangat tegas bahwa

jurnalisme alternatif bersifat partisan. Dan dia mengutamakan sumber yang menjadi

pelaku langsung dalam peristiwa tersebut. Bercerita dari perspektif mereka sendiri.

Bahkan menjadi sulit dibedakan antara jurnalis dengan narasumber. Bisa jadi

narasumber dari suatu berita adalah jurnalis itu sendiri.

Elemen keempat adalah kredibilitas dan reliabilitas. Dalam konteks jurnalisme

alternatif, ukuran kredibilitas tidak bisa disamakan dengan media mainstream. Tidak

ada yang mengharapkan sebuah blog ataupun produk jurnalisme alternatif lain, benar

sepenuhnya. Yang menjadi poin penting dalam praktik jurnalisme alternatif adalah

Page 11: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

11

bagaimana perspektif yang berbeda ditampilkan, dan bagaimana antara audiens dengan

produsen pesan bisa membangun makna bersama.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menggali kecenderungan konten informasi yang

terdapat dalam Portal Desa terkait dengan fungsinya sebagai suara warga. Sesuai

dengan tujuan tersebut, peneliti memilih Analisis Isi Kualitatif sebagai metode

primernya. Metode ini merupakan adaptasi metode Analisis Isi (kuantitatuf) dalam

kerangka yang lebih interpretif. Titik tekan metode Analisis Isi (kuantitatif) sendiri

adalah pada pesan komunikasi yang cenderung manifes. Disamping itu, metode ini

memungkinkan peneliti memetakan kecenderungan pesan komunikasi ke dalam

kerangka yang objektif dan sistematis. Sedangkan sifat kualitatifnya memungkinkan

peneliti melihat dengan lebih dalam terkait konten pesan yang tersirat dalam teks,

dengan tetap berusaha mempertahankan kerangka sistematis yang telah ditentukan

sebelumnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konten informasi dalam

kerangka Jurnalisme Warga tidak mampu dipahami hanya sebatas kata dan kalimat

tersurat melainkan lebih pada makna tersirat dan kecenderungan teks secara

keseluruhan.

Disamping analisis konten, peneliti juga melakukan wawancara mendalam

dengan Jurnalis Warga untuk mendapatkan konfirmasi terkait dengan hasil temuan yang

diperoleh dari analisis isi. Dengan demikian, informasi yang diperoleh menjadi lebih

komprehensif dan dapat memotret fenomena dengan lebih tajam dan tepat.

Dari hasil elaborasi kerangka pemikiran, penelitian ini akan menggunakan

beberapa konsep kunci. Ada empat elemen yang telah dielaborasi.

1. Tema berita, yaitu kecenderungan permasalahan yang diangkat.

2. Sumber berita, yaitu siapa saja yang menjadi narasumber suatu peristiwa

yang diangkat, apakah orang biasa atau cenderung elitis.

3. Representasi, yaitu siapa saja yang ditampilkan dalam pemberitaan tersebut,

apakah warga atau cenderung elitis

4. Tujuan Berita, yaitu arah pemberitaan yang ditulis, apakah mengarah pada

bentuk advokasi terhadap isu tertentu atau hanya sekedar mengabarkan suatu

informasi.

Page 12: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

12

Kecenderungan dalam keempat elemen tersebut menjadi dasar penarikan kesimpulan

tentang kecenderungan produk Jurnalisme Warga dalam Portal Desa.

Adapun tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, peneliti melakukan dokumentasi keseluruhan berita yang terunggah di 21

Portal Desa. Dari hasil pendataan tersebut diperoleh konten terunggah sejumlah 1371

berita. Dari data tersebut peneliti melakukan seleksi pada Portal Desa dengan jumlah

berita terbanyak dan diperbarui secara teratur.

Tabel 1

Hasil Seleksi Portal Desa

No Nama Desa Jumlah Posting

Keseluruhan

Jumlah Posting yang

diteliti

1 Dermaji 127 127

2 Ajibarang Wetan 94 91

3 Darmakradenan 87 84

4 Pancasan 176 169

5 Karangnangka 144 139

6 Melung 374 338

JUMLAH 1006 950

Dari hasil seleksi tersebut, peneliti memilih enam desa dengan peringkat jumlah

berita teratas. Dari enam Desa tersebut diperoleh jumlah konten terunggah sebanyak

1006 berita. Hanya saja tidak semua konten informasi terunggah berbentuk berita teks.

Ada beberapa konten yang hanya berisi berita foto ataupun link untuk masuk ke konten

informasi lainnya. Konten-konten yang tidak berisi teks tersurat diseleksi lagi. Dari

hasil seleksi tersebut peneliti memilih 950 berita yang akan dilihat lebih lanjut dalam

penelitian ini.

D. PEMBAHASAN

1. Konsistensi Tulisan dalam Portal Desa

Gerakan Desa Membangun dideklarasikan pada akhir Desember 2011 di Desa

Melung Kec. Kedungbanteng Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun

itu, baru Desa Melung yang sudah secara kontinyu mengelola Portal Desa. Sedangkan

tiga desa lain yang menjadi pencetus gerakan ini baru saja memiliki Portal Desa. Hal ini

menyebabkan jumlah berita akumulatif di tahun 2011 tidak signifikan.

Page 13: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

13

Figur 1

Jumlah Berita per Tahun

Kuantitas berita dalam enam Portal Desa meningkat secara signifikan pada tahun

2012. Berdasarkan hasil wawancara dengan para Jurnalis Warga, tahun 2012 merupakan

tahun euforia bagi Gerakan Desa Membangun. Sepanjang tahun 2012, diselenggarakan

berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan ‘greget’ desa untuk mengelola

portalnya. Disamping itu, setiap desa juga dituntut untuk memenuhi target minimal

berita per bulan. Hal ini menjadi prasyarat untuk mendapatkan aplikasi Sistem Mitra

Desa yang sangat dibutuhkan oleh Desa. Tanpa pengelolaan Portal Desa yang baik,

Desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan aplikasi tersebut. Berbagai kondisi ini

mendorong Desa lebih produktif untuk menulis berita.

Dari keenam Desa yang diteliti, Melung ada di peringkat pertama dari segi

kuantitas berita. Selain karena kemunculannya yang lebih dulu dari kelima Desa lain,

menurut keterangan para Jurnalis Warga, Melung mempunyai tim redaksi yang lebih

solid dan penulis yang lebih banyak dibandingkan dengan Desa lain. Melung

mempunyai setidaknya 8 orang jurnalis warga yang secara kontinyu mengunggah berita

ke Portal Desa. Sedangkan desa lain rata-rata hanya ada 1 Jurnalis warga yang konsisten

Page 14: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

14

menulis. Sebut saja Karangnangka, hanya ada satu penulis yang secara konsisten rutin

menulis dalam Portal Desa, yaitu Kodirin (Kepala Dukuh). Kodirin mengaku dibantu

oleh beberapa pemuda meskipun belum secara rutin menulis. Hal serupa terjadi di

Pancasan dan Dermaji. Di kedua desa ini, justru Kepala Desa yang menjadi penulis

utama dalam Portal Desa.

Tabel 2

Jumlah Berita per Desa

Asal Desa Tahun Posting

Total 2011 2012 2013

Dermaji 0 72 55 127

Ajibarang Wetan 0 55 36 91

Darmakradenan 0 49 37 86

Pancasan 0 135 34 169

Karangnangka 0 81 58 139

Melung 20 223 95 338

Total 20 615 315 950

Kondisi redaksional masing-masing Portal Desa mempengaruhi kuantitas dan

konsistensi pemberitaan dalam Portal Desa. Hanya saja pengaruhnya kurang signifikan.

Hal ini ditunjukkan dengan tidak seimbangnya rata-rata jumlah berita yang dihasilkan

oleh masing-masing Jurnalis Warga. Sebut saja Desa Melung yang notabene

mempunyai 8 jurnalis warga. Jika dirata-rata, masing-masing Jurnalis Warga dari

Melung menulis 42-43 berita selama tiga tahun ini. Sedangkan jika kita melihat

Karangnangka, yang notabene mempunyai setidaknya 2 jurnalis, mampu menghasilkan

69-70 berita per orang. Begitu juga dengan Pancasan yang justru hanya dikelola oleh 1

jurnalis saja. Ada 139 berita yang dihasilkan oleh 1 jurnalis di Pancasan. Artinya,

jumlah Jurnalis Warga di setiap Desa memang mempengaruhi kuantitas berita secara

keseluruhan. Hanya saja dampaknya tidak signifikan.

Memasuki tahun 2013, dari grafik di figur 1 terlihat sangat kentara penurunan

jumlah berita terunggah. Dari yang awalnya mencapai 615 berita di tahun 2012

menurun secara drastis menjadi 315 berita di tahun 2013. Memang penelitian ini belum

melihat jumlah berita hingga akhir tahun 2013 melainkan berhenti pada bulan

September 2013. Hanya saja jika kita melihat rata-rata jumlah berita per bulan tetap

tidak seimbang. Pada tahun 2012, setidaknya setiap bulan ada 51-52 berita per bulan

(615 berita dibagi 12 bulan). Sedangkan pada tahun 2012, hanya ada 35 berita per

Page 15: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

15

bulan. Kondisi ini kemudian mendorong peneliti untuk melakukan konfirmasi data

kepada para Jurnalis Warga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para Jurnalis Warga, ada beberapa kondisi

yang menyebabkan penurunan produktivitas mereka. Pertama, kurangnya sumber daya

manusia di setiap desa. Hal ini disebabkan sulitnya proses regenerasi dan rekruitmen

jurnalis warga baru. Hingga akhir tahun 2013, tidak terjadi penambahan jurnalis warga

yang dapat dipertanggungjawabkan loyalitasnya. Berdasarkan analisis peneliti, hal ini

disebabkan prinsip voluntary yang menjadi dasar dari gerakan ini. Artinya, tidak ada

paksaan dan tidak ada mekanisme reward punishment dalam pengelolaan Portal Desa.

Keredaksionalannya murni berdasarkan kesadaran dan kerelaan para Jurnalis Warga. Di

satu sisi, hal ini menguatkan independensi Portal Desa sebagai media Jurnalisme

Warga. Disisi lain, hal ini mengganggu stabilitas Portal Desa sebagai media Desa untuk

bersuara.

Kedua, adanya momen Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang dilaksanakan

serentak di wilayah Kabupaten Banyumas. Hal ini menyebabkan energi para pamong

desa ataupun Kepala Desa yang selama ini menjadi ujung tombak pengelolaan menjadi

tersita. Disamping itu, peristiwa-peristiwa yang terjadi di Desa lebih banyak yang

bernuansa politik. Sedangkan para Jurnalis Warga sudah sepakat untuk meminimalisir

konten bernuansa politik dalam Portal Desa4. Alhasil, para Jurnalis Warga minim ide

untuk menulis berita.

Melihat kondisi tersebut, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa konsistensi

tulisan dalam Portal Desa masih kurang. Hanya saja memang kuantitas tidak selalu

berkorelasi positif dengan kualitas berita. Berikut analisis lebih lanjut mengenai

kecenderungan informasi dalam Portal Desa.

2. Mengabaikan Masalah, Mengoptimalkan Potensi

Keberadaan Portal Desa didorong oleh kekecewaan atas kecenderungan media

mainstream yang dianggap tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan informasi

masyarakat Desa. Menurut para Jurnalis Warga, media mainstream saat ini cenderung

‘Jakartasentris’. Seakan semua peristiwa yang terjadi di Ibu Kota negara ini patut

menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Padahal, banyak yang tidak relevan

4 Penjelasan mengenai kesepakatan ini dapat dilihat pada pembahasan mengenai aspek berita di poin 4

Page 16: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

16

dengan kebutuhan masyarakat lokal, terutama Desa. Disamping itu, media mainstream

selama ini juga minim memberikan ruang bagi Desa untuk bersuara. Jikalau meliput

tentang Desa, hal yang menjadi perhatian adalah hal-hal negatif seperti kemiskinan,

kriminalitas, atau bencana alam. Padahal, dibalik ketiga hal tersebut, Desa menyimpan

banyak potensi, nilai, ide, dan berbagai peristiwa menarik yang lebih positif untuk

diberitakan. Kondisi ini mendorong para Jurnalis Warga untuk bersuara dari perspektif

Desa. Harapannya, suara Desa dapat didengar oleh kalangan yang lebih luas.

Untuk melihat konsepsi tersebut, peneliti memetakan kecenderungan konten

berita dalam enam portal Desa yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini. Peneliti

membedakannya menjadi dua macam, yaitu potensi dan masalah. Potensi disini merujuk

pada berita yang bernada positif dan lebih banyak bercerita tentang hal positif terkait

dengan desa dibandingkan dengan masalah. Sedangkan berita dikategorikan

menampilkan masalah jika lebih banyak mengandung keluhan dibandingkan dengan

menawarkan solusi.

Figur 2

Kecenderungan Konten Berita

17.26%Masah

82.74%Potensi

Konten Berita

Page 17: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

17

Dari hasil kajian 950 berita yang terdapat dalam 6 portal desa, 82.74% berita

bercerita tentang potensi. Hal ini mengindikasikan bahwa para Jurnalis Warga memang

secara konsisten ingin menampilkan sisi positif Desa dibanding dengan

permasalahannya. Meskipun demikian, bukan berarti Desa tidak ditunjukkan

mempunyai masalah. Ada berbagai berita yang berisi tentang permasalahan Desa.

Hanya saja dalam nada pemberitaannya cenderung mengandung optimisme ataupun

menawarkan solusi atas permasalahan tersebut.

Jika dilihat per Desa, lima diantaranya mempunyai persentase potensi yang jauh

lebih besar dibandingkan dengan masalah. Hanya ada satu Desa yang mempunyai porsi

potensi dan masalah cenderung seimbang, yaitu Desa Darmakradenan. Berdasarkan

hasil wawancara dengan para Jurnalis Warga, kondisi ini dipengaruhi tingkat

pemahaman para kontributor Portal Desa dalam melakukan pembingkaian berita. Dalam

konteks Gerakan Desa Membangun, keberadaan Portal Desa secara tegas diperuntukkan

untuk menunjukkan kekuatan Desa, bukan kelemahan Desa. Disamping itu, sebagai

bentuk counter wacana media mainstream, sudah selayaknya keberadaan para Jurnalis

Warga membangun optimisme Desa, bukan pesimisme seperti yang selama ini

dibangun oleh media mainstream.

Figur 3

Kecenderungan Konten Desa per Desa

MelungKarangnangkaPancasanDarmakradenan

AjibarangWetan

Dermaji

Asal Desa

300

250

200

150

100

50

0

Co

un

t

61

141844

207

277

125151

42

71

120

Masalah

Potensi

Konten Berita

Bar Chart

Page 18: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

18

Terkait dengan relasinya dengan media mainstream, saat ini keberadaan Portal

Desa mendapat perhatian dari para wartawan media lokal yang ada di wilayah

Banyumas. Konten berita dalam Portal Desa yang notabene berisi informasi mengenai

potensi Desa kerap kali menjadi inspirasi pemberitaan media mainstream. Berdasarkan

wawancara dengan para Jurnalis warga, ada beberapa cara wartawan media lokal

mengambil informasi dari Portal Desa. Pertama, mengambil informasi dalam Portal

Desa secara keseluruhan untuk kemudian dimuat dalam media. Kedua, mengambil

informasi dalam Portal Desa sebagai bahan dasar untuk kemudian digali dengan lebih

mendalam. Hal ini menunjukkan mulai diperhatikannya isu Desa yang notabene lebih

positif. Artinya, informasi mengenai Desa di media mainstream tidak lagi hanya

sekedar bencana, kemiskinan, dan kriminalitas.

Kembali pada semangat Jurnalisme Warga, relasi antara media warga dengan

media mainstream mempunyai dua sisi yang berbeda. Disisi pertama, hal ini dapat

dianggap sebagai suatu keberhasilan media warga dalam mempengaruhi agenda setting.

Namun, disisi lain hal ini mengaburkan peran media warga sebagai counter wacana

mainstream. Ditataran yang lebih jauh, dikhawatirkan akan membuat Portal Desa

mengikuti selera media mainstream. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut.

3. Good Governance sebagai Isu Utama

Penelitian ini mencoba untuk memetakan kecenderungan isu strategis yang

diangkat oleh para Jurnalis Warga. Peneliti melihatnya dari isu strategis pembangunan

yang tertuang dalam MGD’s (Millenium Development Goals). Ada setidaknya enam isu

yang tertuang di dalamnya, yaitu (1) kemiskinan; (2) kelaparan dan ketahanan pangan;

(3) pendidikan; (4) kesehatan; (5) lingkungan; dan (6) kemitraan global. Dengan

mempertimbangkan potensi desa dan kecenderungan gerakan, peneliti menambahkan

dua isu lain yaitu (7) good governance; dan (8) energi.

Berdasarkan hasil olah data, 32.21% berita dalam portal Desa memuat mengenai

isu good governance. Sedangkan ketujuh isu lainnya tidak mendapat porsi yang

signifikan. Dari tujuh isu lainnya, Pendidikan (8.95%) dan Lingkungan (8.84%) yang

cukup mendapat perhatian. Setelah dua isu tersebut, isu terkait dengan kemitraan (8%)

juga mendapat porsi yang cukup besar. Sedangkan masalah kemiskinan, kelaparan,

ketahanan pangan, dan energi hanya mendapat porsi di bawah 5%. Hal ini

Page 19: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

19

mengindikasikan bahwa Jurnalis Warga masih sibuk dengan isu tata kelola dan belum

memperhatikan dengan cukup serius isu-isu strategis yang berkaitan dengan

pembangunan. Bahkan, 31.89% berita justru membahas permasalahan di luar isu-isu

strategis tersebut.

Figur 4

Kecenderungan Isu yang diangkat

Melihat kecenderungan pemberitaan yang condong pada isu good governance

dan memberikan perhatian yang minim terhadap isu lainnya, peneliti mencoba untuk

melakukan konfirmasi kepada para Jurnalis Warga. Disamping itu, peneliti juga melihat

kecederungan dasar berita yang diangkat oleh para Jurnalis Warga tersebut.

Portal Desa yang berkembang di desa-desa Banyumas merupakan bagian dari

Gerakan Desa Membangun. Seperti telah dipaparkan dalam pendahuluan, gerakan ini

merupakan jejaring desa yang ingin mandiri menentukan arah pembangunan. Salah satu

strategi yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan

Komunikasi. Mereka secara komunal mengembangkan berbagai aplikasi berbasis web.

Disamping portal Desa, gerakan ini juga mengembangkan apa yang disebut dengan

Sistem Mitra Desa. Sistem ini secara online terkoneksi dengan Portal Desa. Sistem ini

lainnya

31.89%

energi

1.26%

good governance

32.21%

kemitraan

8.0%

lingkungan

8.84%

kesehatan

1.89%

pendidikan

8.95%

kelaparan/pangan

2.53%

kemiskinan

4.42%

Isu Strategis

Page 20: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

20

merupakan sebuah aplikasi untuk memudahkan Desa (baca: pemerintah Desa) untuk

mengelola informasi tentang Desanya.

Pada awal pengembangannya, sistem ini dikembangkan untuk membantu Desa

mengelola data kependudukan. Mereka menyebutnya sebagai Badan Statistik tingkat

Desa. Sistem ini memungkinkan Desa untuk input data kependudukan dan

mengelolanya secara digital. Hal ini berdasar pada kegelisahan Desa akan

‘semrawutnya’ data di tingkat desa. Berbagai pendataan kependudukan seringkali

dilakukan tetapi data diambil oleh pusat dan Desa tidak pernah mendapatkan

salinannya. Padahal, pelaku pendataan adalah masyarakat desa sendiri. Hal ini

kemudian mendorong jejaring Desa tersebut untuk mempunyai aplikasi yang

memudahkan mereka melakukan pendataan, validasi, dan pengelolaan.

Disamping data kependudukan, aplikasi Sistem Mitra Desa membantu Desa

dalam masalah surat-menyurat. Hal ini terkait pula dengan data kependudukan yang

menjadi acuan dalam surat menyurat. Dengan aplikasi ini, Pemdes mampu memberikan

pelayanan yang tepat dan cepat. Bahkan Desa Melung berani mengatakan mampu

melayani surat menyurat dalam waktu lima menit. Jika lebih dari itu maka penduduk

terkait boleh melakukan ‘protes’.

Dalam perkembangannya, Sistem Mitra Desa dilengkapi pula dengan fitur

pengelolaan data potensi Desa. Fitur ini membantu desa untuk melaukan pemetaan

kondisi desa dan membuat sebuah profil desa. Untuk fitur ini baru dikembangkan

sepanjang tahun 2013.

Berdasarkan wawancara dengan para Jurnalis Warga dan para pengembang

aplikasi, keberadaan Sistem ini bertujuan untuk membangun tata kelola yang baik di

tingkat Desa. Tata kelola pemerintahan yang baik dianggap menjadi modal utama untuk

mampu merencanakan pembangunan secara mandiri. Tanpa adanya pengelolaan yang

baik di level pemerintah Desa, akan sulit untuk mampu untuk mandiri. Hal ini

menjadikan isu good governance menjadi isu sentral sepanjang gerakan ini.

Kondisi ini diperkuat dengan hasil olah data terkait dengan analisis konten berita

mengenai dasar berita. Dasar berita disini merujuk pada kecenderungan Jurnalis Warga

dalam menentukan tema pemberitaan. Peneliti membedakan dasar berita ini menjadi

dua, yaitu (1) peristiwa dan (2) ide. Peristiwa dipilih jika suatu berita dibuat berdasarkan

suatu peristiwa tertentu. Sedangkan Ide dipilih jika berita tersebut dibuat tanpa ada

Page 21: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

21

peristiwa yang spesifik menyertainya. Artinya, ada satu wacana atau ide yang ingin

disampaikan meskipun tidak ada peristiwa yang memuat ide tersebut.

Dari hasil analisis data diperoleh data sebagai berikut. Dari 950 berita yang

dianalisis, 63.66% berdasarkan pada suatu peristiwa, sedangkan sisanya berdasarkan

ide. Hal ini memberikan jawaban mengapa isu good governance mendapat porsi yang

sangat signifikan dalam pemberitaan. Peristiwa-peristiwa desa yang berada dalam

Jejaring Desa Membangun lebih banyak belajar mengenai tata kelola pemerintahan.

Lebih spesifik adalah mempelajari aplikasi pemanfaatan Sistem Mitra Desa. Gerakan ini

sering mengadakan Lokakarya Desa Membangun yang bertujuan untuk menyebarkan

ide-ide gerakan dan mendorong motivasi belajar dari Desa-desa. Tujuannya adalah Desa

mempunyai semangat untuk Mandiri. Sedangkan pemanfaatan Aplikasi TIK hanyalah

sebagai alat yang membantu desa untuk mencapai tujuan tersebut.

Disamping Lokakarya, gerakan ini juga kerap kali mengadakan pertemuan

informal untuk membahas permasalahan desa, terutama isu terkait dengan kebijakan

Desa. Pertemuan tersebut terjadi dalam ruang fisik maupun maya. Para pegiat Gerakan

Desa Membangun membangun sebuah ‘rumah’ yang berfungsi sebagai tempat bertanya

bagi Desa. Mereka menyebutnya dengan RDI (Rumah Desa Indonesia). Disamping itu,

para pegiat gerakan ini juga secara intens berkomunikasi melalui media sosial online,

terutama melalui twitter dan facebook.

Figur 5

Kecenderungan Dasar Berita

Ide36.32%

Peristiwa63.68%

Dasar Berita

Page 22: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

22

Kondisi ini mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan

good governance. Peristiwa inilah yang kemudian banyak menjadi dasar berita bagi

para Jurnalis Warga. Sedangkan ide-ide yang diharapkan menjadi wacana di luar isu

tata kelola yang baik belum mendapat perhatian serius dari para Jurnalis Warga.

Lebih jauh lagi mengenai kondisi ini, peneliti mencoba menggali informasi dari

para pegiat. Pertanyaannya sederhana, apakah kondisi dominasi isu good governance

merupakan kondisi yang memang ingin dibentuk, sudah sesuai dengan keinginan, atau

justru keluar dari harapan. Berdasarkan wawancana dengan para pegiat, kondisi ini

memang dianggap sesuai dengan tujuan dari gerakan ini. Bagaimana desa kemudian

menyadari pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik. Terlebih sebagai modal dasar

untuk mewujudkan kemandirian dalam menentukan arah pembangunan. Namun,

gerakan ini bukan semata-mata mengangkat masalah tata kelola. Lebih jauh lagi,

gerakan ini juga mendorong desa untuk bersuara.

Konsep Desa bersuara muncul dari para pendamping Gerakan Desa

Membangun. Pendamping gerakan ini berasal dari berbagai lembaga dan komunitas.

Desa Bersuara merupakan kondisi ketika Desa bisa mengelola informasi mengenai

dirinya dan mengabarkannya kepada khalayak luas. Dengan kemampuan ini, Desa

mampu mempromosikan potensi desanya sekaligus menyuarakan permasalahan yang

dihadapi. Harapnnya, Desa mendapat perhatian lebih dari para stakeholder. Dengan

perhatian ini diharapkan Desa mendapat tambahan energi untuk mengatasi masalahnya

dan mengoptimalkan potensinya. Hanya saja bukan berarti kemudian Desa ditempatkan

sebagai ‘penerima bantuan’ yang cenderung inferior, melainkan mempunyai posisi

sebagai pemegang kendali arah pembangunan yang didukung oleh berbagai pihak.

Melihat kecenderungan isu yang diangkat Desa, para pendamping memberikan

pendapat bahwa kondisi ini belum dapat dikatakan ideal. Isu good governance memang

sudah selayaknya mendapat perhatian. Hanya saja seharusnya tidak hanya isu tersebut.

Banyak isu lain yang seharusnya disuarakan oleh Desa. Menurut para pendamping

GDM, Desa seharusnya juga lebih banyak memberitakan mengenai potensi yang ada di

dalam dirinya, baik potensi alam, manusia, seni budaya, dan berbagai potensi lainnya.

Hanya saja memang selama ini Desa belum cukup optimal mengolah isu potensi

tersebut.

Page 23: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

23

Sebagai contoh adalah isu perikanan. Jika dilihat dalam pemetaan yang lebih

detail, dari isu Sumber Daya Alam (SDA), isu perikanan mendapat porsi yang rendah.

Pertanian menjadi isu yang mendominasi. Padahal, jika dilihat dari segi kewilayahan,

beberapa Desa merupakan minapolitan. Sebut saja Karangnangka. Jika melihat data

yang lebih detail lagi, dari 139 berita, hanya 6 berita yang mengangkat isu perikanan.

Begitu juga dengan isu Kehutanan. Melung yang menghasilkan jumlah berita tertinggi

merupakan Desa Hutan. Hanya saja porsi berita untuk mengangkat isu Kehutanan juga

masih minim. Begitu juga dengan Dermaji yang saat ini mendapat perhatian dari Dewan

Kehutanan Nasional. Dari 338 berita dari Portal Desa Melung, hanya 18 berita yang

mengangkat isu tersebut. Sedangkan Dermaji, dari 127 berita, hanya 2 berita yang

mengangkat permasalahan hutan. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan isu yang belum

optimal. Hal ini menjadi perhatian tersediri dari para pelaku.

Tabel 3

Kecenderungan Bidang Berita

No Bidang Berita Frekuensi %

1 Pertanian 62 6.5

2 Kehutanan 21 2.2

3 Pertambangan 3 .3

4 Perikanan 9 .9

5 Perindustrian 30 3.2

6 SDA lain 67 7.1

7 Lapangan kerja 38 4.0

8 Kependudukan 34 3.6

9 Pendidikan 80 8.4

10 Kesehatan 27 2.8

11 Kesenian 18 1.9

12 Nilai Budaya 147 15.5

13 SDM lainnya 79 8.3

14 Tata Kelola 100 10.5

15 Kebijakan 20 2.1

16 Anggaran 18 1.9

17 Rencana dan Program

Pembangunan 99 10.4

18 Pemerintahan lainnya 31 3.3

19 TIK 63 6.6

20 TTG 3 .3

21 Teknologi lainnya 1 .1

Total 950 100.0

Page 24: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

24

Lebih jauh terkait dengan pengelolaan isu, peneliti berdiskusi dengan para

Jurnalis Warga. Dari hasil diskusi tersebut diperoleh informasi mengenai strategi

pengelolaan isu yang diangkat dalam Portal Desa. Ada dua hal yang dianggap masih

perlu diperbaiki. Pertama, selama ini, setiap Desa mempunyai kebijakan masing-masing

dalam menentukan isu yang diangkat dalam berita. Kecenderungannya, Desa belum

mempunyai agenda yang jelas mengenai isu apa yang akan diangkat. Sehingga

kebanyakan suatu isu hanya diangkat sekali sampai dua kali kemudian hilang. Kedua,

belum ada koordinasi antar desa dalam mengelola isu atau permasalahan yang

sebenarnya bersinggungan. Padahal, koordinasi tersebut sangat dibutuhkan untuk

‘mengencangkan’ suara Desa. Kecenderungan tersebut membuat isu-isu yang diangkat

tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi kebijakan.

4. Aspek Sosial menjadi Kekuatan Berita

Aspek keempat yang menjadi perhatian peneliti terkait dengan konten berita

dalam Portal Desa adalah mengenai aspek yang diangkat dalam setiap berita. Dalam

konteks ini peneliti membaginya dalam empat kategori, yaitu berita yang menyinggung

aspek (1) politik, (2) sosial, (3) budaya, dan (4) ekonomi. Kategori ini berdasarkan pada

pilihan para Jurnalis Warga dalam membahas suatu potensi atau permasalahan. Apakah

mereka cenderung melihatnya dari sisi politik, sosial, budaya, atau nilai ekonominya.

Berikut hasil olah data terkait dengan aspek dalam berita.

Figur 6

Kecenderungan Aspek Berita

Politik

7.68%

Budaya

18.21%

Sosial

50.95%

Ekonomi

23.16%

Aspek Berita

Page 25: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

25

Dari diagram berikut ini dapat dilihat bahwa sebagian besar Jurnalis Warga

mendekati suatu potensi atau permasalahan dari aspek sosialnya. Hal ini selaras dengan

kesepakatan tidak tertulis diantara para jurnalis warga. Dalam GDM, mereka

berkomitmen untuk tidak terlalu banyak menonjolkan unsur politis. Pilihan ini diambil

untuk mengimbangi sudut pandang media mainstream yang lebih kuat di jalur politik.

Setiap permasalahan seringkali dikaitkan dengan isu politik. Bahkan, para jurnalis

warga cenderung menghindari isu bernuansa politik.

Sebagai contoh adalah pada momen pemilihan Kepala Desa. Telah disinggung

pada poin pertama, terjadi penurunan kuantitas berita secara signifikan di tahun 2013.

Hal ini disebabkan banyaknya Desa yang menyelenggarakan pemilihan. Sehingga

berbagai peristiwa yang berlangsung di Desa kebanyakan terkait dengan permasalahan

tersebut. Mulai dari proses kampanye, pencalonan, pemilih, hingga hasil dari Pilkades.

Dalam konteks ini ada dua hal yang menjadi alasan mengapa momen-momen tersebut

tidak banyak diunggah dalam Portal Desa. Pertama, sejak awal sudah ada komitmen

untuk meminimalisir konten politik. Kedua, menjaga independensi Portal Desa dari

kepentingan politik lokal.

5. Pengalaman Lapangan sebagai Sumber Berita Utama

Hal menarik yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah mengenai sumber

berita yang digunakan sebagai bahan menulis berita. Dalam konteks ini peneliti

mengkategorikan sumber berita menjadi tiga, yaitu (1) observasi, (2) wawancara, dan

(3) dokumen. Pengkategorian ini berdasarkan pada data yang digunakan oleh para

jurnalis. Observasi, jika berdasarkan pengamatan lapangan yang ditandai dengan

deskripsi peristiwa secara langsung (eyewitness report). Wawancara, jika ada tokoh

atau narasumber yang menjadi rujukan tertulis dalam berita. Hal ini ditandai dengan

adanya kutipan langsung ataupun tidak langsung dan menyebut nama atau jabatan

narasumber. Sedangkan dokumen dapat dilihat apakah memang ada data yang merujuk

pada dokumen tertentu.

Page 26: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

26

Tabel 4

Kecenderungan Sumber Berita

No Sumber Berita Frekuensi %

1 Observasi 281 29.6

2 Wawancara 63 6.6

3 Dokumen 33 3.5

4 Observasi Wawancara 540 56.8

5 Observasi Dokumen 20 2.1

6 Wawancara Dokumen 3 .3

7 Observasi, Wawancara,

Dokumen 10 1.1

Total 950 100.0

Berdasarkan hasil olah data, metode observasi mendominasi strategi para

jurnalis warga. Berita yang menggunakan metode ini berkisar 87.5%. Artinya hampir

semua jurnalis warga menggunakan metode ini untuk menuliskan berita. Hanya saja

memang metode ini tidak berdiri sendiri. Sebagian besar (57.9%) dibarengi dengan

metode wawancara sebagai pelengkap. Sedangkan yang disertai dengan dokumen hanya

4.6% saja. Untuk metode yang lain, baik itu wawancara maupun dokumen sangat jarang

digunakan sebagai metode yang berdiri sendiri.

Dalam konteks Jurnalisme Warga, data tersebut menunjukkan kuatnya

keterlibatan jurnalis warga dalam isu yang diangkatnya. Pengalaman lapangan menjadi

sumber utama jurnalis dalam menulis. Kedekatan ini menjadi satu modal untuk

membangun perspektif lokal. Hal ini konsisten dengan pemetaan perspektif yang

dilakukan pada poin berikutnya.

6. Sudut Pandang ‘Orang Biasa’

Keberadaan Jurnalisme Warga merupakan bentuk kekecewaan masyarakat biasa

akan pemberitaan media mainstream yang cenderung memarginalkan mereka. Hal ini

senada dengan yang dirasakan oleh masyarakat Desa yang kemudian belajar menjadi

Jurnalis Warga. Mereka beranggapan bahwa media mainstream cenderung elitis dalam

pemberitaannya. Elitis disini merujuk pada beberapa kondisi. Pertama, elitis terkait

dengan isu yang diangkat. Media mainstream selama ini terjebak untuk memberitakan

berbagai hal besar yang seringkali justru tidak menyentuh kebutuhan masyarakat secara

Page 27: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

27

langsung. Kedua, elitis disini terkait dengan narasumber yang digunakan sebagai

rujukan berita. Seringkali, bahkan selalu, media mainstream hanya menggunakan

narasumber dari kalangan elit. Dalam konteks Desa, hanya yang mempunyai jabatan

atau posisi strategis saja. Sedangkan masyarakat yang notabene ‘orang biasa’ jarang

mendapatkan kesempatan untuk menjadi rujukan. Bahkan ‘orang biasa’ dianggap

bukanlah narasumber yang kompeten. Dengan berdasar prinsip validitas dan

kredibilitas, akhirnya suara ‘orang biasa’ secara sistemik terpinggirkan.

Tabel 5

Kecenderungan Pemilihan Narasumber

N

o Narasumber Frekuensi %

1 Penulis 157 16.5

2 Pemerintah Supradesa 41 4.3

3 Lembaga Desa 146 15.4

4 Masyarakat 121 12.7

5 NGO 20 2.1

6 Akademisi 26 2.7

7 Lainnya 7 .7

8 penulis dan pemerintah supra

desa 7 .7

9 penulis dan lembaga desa 49 5.2

10 penulis dan masyarakat 55 5.8

11 penulis dan NGO 4 .4

12 penulis dan akademisi 17 1.8

13 pemerintah supradesa dan

lembaga desa 57 6.0

14 pemerintah supra desa dan

masyarakat 16 1.7

15 pemerintah supradesa dan

NGO 4 .4

16 pemerintah supra desa dan

akademisi 5 .5

17 pemerintah supradesa dan

lainnya 2 .2

18 lembaga desa dan masyarakat 74 7.8

19 lembaga desa dan NGO 19 2.0

20 lembaga desa dan akademisi 14 1.5

21 lembaga desa dan lainnya 4 .4

Page 28: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

28

22 masyarakat dan NGO 10 1.1

23 masyarakat dan akademisi 15 1.6

24 masyarakat dan lainnya 3 .3

25 NGO dan akademisi 2 .2

26 3 narasumber 71 7.5

27 lebih dari 3 narasumber 4 .4

Total 950 100.0

Dalam kondisi tersebut, jurnalisme warga dianggap mempunyai kesempatan

untuk mengimbangi wacana yang selama ini dibentuk oleh media mainstream.

Setidaknya ada dua strategi untuk mengatasi kedua kecenderungan media mainstream

diatas. Pertama, untuk mengimbangi minimnya isu elitis yang diangkat, Jurnalisme

warga berusaha untuk mengangkat isu-isu lokal.

Kedua, untuk mengimbangi narasumber yang cenderung diambil dari kalangan

elit, jurnalisme warga memilih ‘orang biasa’ sebagai sumber beritanya. Bahkan, jika

diperlukan, jurnalis sendiri yang kemudian menggunakan pengetahuannya sebagai

sumber berita. Hal ini senada dengan kecenderungan bahwa pengalaman lapangan

menjadi metode utama dalam pencarian berita. Hal ini terlihat jelas pada pemberitaan di

portal Desa. Seperti telah disinggung sebelumnya, para Jurnalis Warga memilih

observasi sebagai metode utama dalam penulisan berita. Artinya, sudut pandang jurnalis

menjadi dominan dalam pemberitaan Portal Desa.

Kecenderungan ini dipertegas dengan hasil pemetaan mengenai narasumber

yang dipilih oleh para jurnalis warga di desa-desa yang terlibat dalam GDM. Dalam

pemetaan narasumber, penulis membedakannya menjadi enam elemen yaitu (1) penulis,

(2) pemerintah supra desa, (3) lembaga desa, (4) masyarakat, (5) NGO, dan (6)

Akademisi. Dari hasil olah data dapat dilihat bahwa yang paling dominan adalah

penulis, lembaga desa, dan masyarakat. Penulis dalam konteks ini maksudnya adalah

dominasi metode observasi sebagai rujukan. Pengamatan langsung dari penulis menjadi

sumber utama dalam berita. Lembaga desa adalah berbagai stakeholder yang ada di

tingkat desa. Elemen ini dibedakan dengan lembaga supradesa yang berasal dari level

birokrasi di atas desa. Sedangkan masyarakat adalah seseorang atau sekelompok orang

yang dijadikan narasumber atas nama pribadi, bukan karena jabatannya dalam lembaga

desa. Hal ini menunjukkan kuatnya ‘ordinary people’ atau setidaknya lembaga lokal

desa dalam pemberitaan di Portal Desa.

Page 29: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

29

Kecenderungan ini dipertegas dengan hasil pemetaan mengenai sudut pandang

berita. Sudut pandang berita disini merujuk pada interpretasi peneliti terkait dengan

kecenderungan sudut pandang penulisan. Sudut pandang merupakan pilihan penulis

untuk melihat suatu peristiwa atau ide sebagai apa, apakah (1) Lembaga desa, yaitu

menjadi bagian dari lembaga tersebut, (2) Pemerintah supradesa, yaitu menjadi bagian

dari lembaga diatas desa, atau (3) Masyarakat, yaitu jika penulis memposisikan dirinya

sebagai orang biasa/warga masyarakat.

Tabel 6

Kecenderungan Sudut Pandang Berita

No Sudut Pandang Berita Frekuensi %

1 Lembaga Desa 342 36.0

2 Pemerintah Supradesa 25 2.6

3 Masyarakat 535 56.3

4 lainnya 48 5.1

Total 950 100.0

Dari hasil olah data dapat dilihat bahwa lebih dari separuh tulisan dalam portal

Desa merupakan ditulis dari perspektif masyarakat. Hanya 2.6 % yang ditulis dari sudut

pandang pemerintah supradesa. Diperingkat kedua adalah ditulis dari sudut pandang

lembaga desa. Data ini menunjukkan kuatnya perspektif lokal dalam berita-berita

tersebut.

7. Komunitas Desa sebagai Objek Berita

Untuk menegaskan kecenderungan produk jurnalisme warga yang ‘membela’

suara ‘orang biasa’, peneliti juga memetakan mengenai representasi dalam berita.

Representasi merupakan penghadiran berbagai komponen di dalam suatu berita. Dalam

konteks ini penulis membedakannya menjadi tiga elemen, yaitu (1) lembaga desa, (2)

pemerintah supradesa, dan (3) masyarakat. Berikut hasil pemetaannya.

Dari data dibawah ini terlihat bahwa elemen masyarakat menjadi tokoh utama

dalam berita-berita Portal Desa. Setelah itu yang menjadi favorit adalah Lembaga Desa.

Terlihat sangat kuat bahwa Komunitas desa, baik pemerintah lokalnya maupun

masyarakat mendapat ruang yang sangat signifikan. Sedangkan elemen di luar desa

mendapat porsi yang sangat minim. Hal ini menunjukkan kuatnya representasi elemen

Page 30: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

30

lokal dalam produk jurnalisme warga (desa). Kecenderungan ini mempertegas poin-poin

sebelumnya, dimana portal desa berusaha untuk mengunggah dan lebih menyuarakan

perspektif lokal dibandingkan hanya mengutip dan menyuarakan kembali perspektif

elemen supradesa.

Tabel 7

Representasi dalam Berita

No Representasi Frekuensi %

1 Lembaga Desa 50 5.3

2 Pemerintah Supradesa 17 1.8

3 Masyarakat 242 25.5

4 Lainnya 17 1.8

5 Lembaga Desa dan Pemerintah

Supradesa 117 12.3

6 Lembaga Desa dan Masyarakat 280 29.5

7 Lembaga desa dan lainnya 26 2.7

8 Pemerintah Supradesa dan

masyarakat 49 5.2

9 Pemerintah Supradesa dan

lainnya 5 .5

10 Masyarakat dan lainnya 27 2.8

11 Lembaga desa, pemerintah

supradesa, dan masyarakat 120 12.6

Total 950 100.0

8. Mendahulukan Informasi dibandingkan dengan Advokasi

Poin menarik yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah mengenai konten

advokasi dalam portal desa. Merujuk pada konsep Jurnalisme Alternatif yang menjadi

‘roh’ dalam Jurnalisme warga yang dipraktikan oleh para pegiat Gerakan Desa

Membangun, keberadaan informasi yang diproduksi bertujuan untuk memberdayakan

masyarakat. Hal ini merujuk pada semangat untuk melakukan suatu perubahan sosial

yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan pada kesadaran masyarakat dalam

komunitas tersebut. Konsekuensi dari ‘jiwa’ jurnalisme alternatif ini berdampak pada

tujuan dari konten informasi. Jika merujuk pada konsep ini, informasi yang diproduksi

oleh para jurnalis warga selayaknya mengadung unsur advokasi. Pemilihan model

Page 31: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

31

tulisan advokatif memberikan kekuatan bagi para pegiat untuk mampu mendorong dan

mempengaruhi suatu kebijakan yang menyangkut tentang diri mereka.

Berdasarkan pada konsep tersebut, peneliti mencoba untuk memetakan

kecenderungan tujuan berita yang ada dalam enam portal desa tersebut. Tujuan Berita

merupakan arah berita yang dapat dilihat pada isu yang diangkat maupun kalimat

penutup. Penulis membedakannya menjadi dua macam tujuan. Pertama, Informasi, jika

isu yang diangkat bukanlah isu sensitif yang terkait dengan hak dan kewajiban suatu

entitas. Selain itu, tidak ada closing statement yang berisi himbauan atau ajakan untuk

mengubah keadaan, terutama terkait dengan kebijakan. Kedua, Advokasi, jika isu yang

diangkat adalah isu sensitif yang terkait dengan hak dan kewajiban suatu entitas. Selain

itu, tersirat upaya untuk mempengaruhi kebijakan dalam bidang tersebut. Semakin kuat

jika ada closing statement yang mengajak untuk mengubah keadaan.

Figur 7

Tujuan Berita

Dari hasil olah data yang dilakukan, ditemukan bahwa sebagian besar berita

dalam portal-portal desa tersebut bersifat informatif saja. Artinya, konten di dalamnya

cenderung memaparkan atau mendeskripsikan peristiwa atau ide, tanpa ada arah

advokasi yang jelas. Kondisi ini bertolak belakang dari yang peneliti asumsikan

mengenai produk jurnalisme warga. Apalagi target dari gerakan Desa Membangun

sendiri adalah untuk mempengaruhi kebijakan yang menyangkut tentang desa.

Pertanyaan ini kemudian peneliti konfirmasi dengan para pegiatnya.

Advokasi

11.05%

Informasi

88.95%

Tujuan Berita

Page 32: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

32

Sebelum menggali argumen dari para pegiat, setidaknya ada dua asumsi yang

ada di benak peneliti terkait dengan kondisi diatas. Pertama, ada ketakutan desa untuk

bersuara lantang. Sehingga, dalam menuliskan atau mengangkat suatu isu cenderung

memilih jalan ‘aman’. Kemungkinan kedua, ada pengaruh nilai etika media mainstream

yang mengagungkan nilai objektivitas. Untuk mengimbangi hal tersebut, jurnalis warga

mencoba untuk menjaga agar berita yang dihasilkan dapat objektif, minimal mendekati

objektif.

Dua kemungkinan diatas peneliti konfirmasi dengan para jurnalis warga.

Berdasarkan hasil wawancara, dua kemungkinan tersebut terjadi dalam proses penulisan

berita. Disatu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa memang masih ada ketakutan untuk

bersuara ekstrim atau menulis dalam gaya yang mereka anggap provokatif. Hal ini

menghindari ketersinggungan pihak lain yang akan menyulitkan desa ke depannya.

Kedua, masih terjadi kebimbangan dalam hati para jurnalis warga terkait dengan etika

jurnalistik. Dalam beberapa waktu terakhir mereka banyak berelasi dengan para

wartawan profesional. Para wartawan tersebut menuntut para jurnalis warga untuk tetap

mematuhi kode etik atau setidaknya beriktikad baik untuk mematuhinya. Pengaruh ini

kemudian membuat para jurnalis warga mencoba untuk tetap menjaga objektivitasnya.

Alhasil tulisan yang dihasilkan hanya sekedar menginformasikan dan minim unsur

advokasi.

E. SIMPULAN

Dari serangkaian penelitian yang dilakukan, peneliti mendapatkan berbagai

kecenderungan menarik. Pertama, meskipun secara akumulatif jumlah konten berita

cukup signifikan, konsistensinya belum cukup baik. Kedua, konten berita lebih banyak

berbicara potensi desa dibandingkan dengan masalah. Artinya, ada optimisme yang

ingin dihadirkan melalui media warga ini. Ketiga, isu good governance mendominasi

wacana dalam Portal Desa. Isu ini mendapat porsi yang cukup signifikan karena

dianggap menjadi modal utama untuk mencapai kemandirian. Keempat, Aspek sosial

lebih banyak disentuh dibandingkan dengan aspek budaya, ekonomi, apalagi politik.

Hal ini didorong oleh semangat independensi Desa dari berbagai kepentingan.

Kelima, Pengalaman lapangan menjadi sumber berita utama bagi para jurnalis.

Artinya eyewitness report sangat kuat dalam praktik Jurnalisme Warga. Keenam,

Page 33: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

33

konten berita dalam Portal Desa menghadirkan sudut pandang ‘ordinary people’ yang

membedakan dengan media mainstream. Ketujuh, masyarakat desa mendapat tempat

yang dominan dan cenderung menghindari representasi elemen supradesa. Hal ini

menunjukkan kuatnya Desa sebagai komunitas yang ingin eksis. Kedelapan, meskipun

memilih jalur jurnalisme alternatif, bukan berarti kontennya bersifat provokatif. Para

Jurnalis warga dalam gerakan ini mencoba untuk tetap bersikap objektif tanpa kemudian

mengabaikan fungsi advokasinya.

Kecenderungan tersebut menjadi satu bentuk empirik keberadaan jurnalisme

warga di Indonesia. Lebih spesifik adalah di wilayah pedesaan. Realitas ini juga

menjadi jawaban keingintahuan ketika desa mengenal media baru. Keberadaan media

baru secara nyata menggeser otoritas tunggal media mainstream sebagai produsen

informasi. Setiap orang, setiap elemen, setiap lapisan mempunyai kemampuan yang

sama untuk memproduksi informasi. Disamping itu, media mainstream juga tidak lagi

bisa menjadi aktor tunggal untuk menentukan wacana yang berkembang. Desa yang

notabene selama ini dalam jagad informasi diabaikan, menunjukkan eksistensinya.

Bahwa mereka ada, mereka bersuara, dan mereka mampu.

Jika dikembalikan pada perdebatan mengenai keberadaan jurnalisme warga,

kiranya kita perlu mengembalikan pada hakikat dari jurnalisme itu sendiri. Melihat

realitas dalam Gerakan Desa Membangun, penulis lebih mantap menganggap bahwa

bagaimanapun cara untuk melakukan jurnalisme, jika itu mampu memperbaiki kualitas

informasi dan wacana yang berkembang dalam masyarakat, itu tetaplah jurnalisme.

Apakah dilakukan oleh seorang profesional ataukah warga yang dianggap amatir, jika

mampu memberikan kontribusi dalam membangun wacana yang sehat maka mereka

layak disebut jurnalis. Dan apakah mereka memahami kode etik maupun nilai-nilai

jurnalisme lainnya atau tidak, jika pemahaman terhadap ruang publik yang demokratis

melekat dalam setiap praktik pelaporannya, laporan mereka tetap layak disebut dengan

berita.

Page 34: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

34

F. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Allan, Stuart (ed). 2010. The Routledge Companion to News and Journalism. New

York: Routledge.

Fenton, Natalie (ed). 2010. New Media, Old News: Journalism & Democracy in the

Digital Age. Los Angeles: Sage.

Gunter, Barrie. 2003. News and The Net. London: Lawrence Erlbaum Associates

Publishers.

Howley, Kevin (Ed). (2010). Understanding Community Media. New York: Sage

Publications.

Melkote, Srinivas R., Steeves, H. Leslie. (2001). Communication for Development in

the Third World: Theory and Practice for Empowernment. New Delhi: Sage

Publications.

Pavlik, John V. (2001). Journalism and New Media. New York: Columbia

University Press.

Rogers, Everett N. (1986). Communication Technology: The New media in Society.

New York: The Free Press.

Suparjan dan Suyatno, Hempri. (2003). Pengembangan Masyarakat: dari

Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media.

Van Dijk, Jan. (2006). The Network Society. 2nd

edition. London: Sage Publications.

Jurnal

Chia, Jeremy; Smith, Tracy; Tam, Eric. Distorted Boundaries: An Inquiry Into the

Effect of Internet Use On Social Skills. Diunduh dari

http://socserv2.mcmaster.ca/soc/courses/stpp4C03/ClassEssay/socialskills.htm.

Pada tanggal 24 Desember 2012 pukul 15.40 WIB.

Bentley, Clyde H., Ph.D. 2008. Citizen Journalism: Back to the Future?

http://citizenjournalism.missouri.edu/researchpapers/bentley_cj_carnegie.pdf

Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

Bowman, Shayne and Willis, Chris. 2003. We Media: How audiences are shaping the

future of news and information.

http://www.hypergene.net/wemedia/download/we_media.pdf. Diunduh tanggal

3 Juli 2011.

Page 35: Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa Membangun

35

Bruns, Axel. News Produsage in a Pro-Am Mediasphere: Why Citizen Journalism

Matters. http://snurb.info/files/2010/News%20Produsage%20in%20a%20Pro-

Am%20Mediasphere.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

Jack, Martha. The Social Evolution of Citizen Journalism.

http://cjms.fims.uwo.ca/issues/06-01/jack.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

James, Barry. New Media The Press Freedom Dimension Challenges and Opportunities

of New Media for Press Freedom. 2007.

http://unesco.org.pk/ci/documents/publications/New%20Media.pdf. Diunduh

tanggal 3 Juli 2011.

Livingstone, Sonia. 1999. New Media New Audiences?.

http://www.sagepub.co.uk/journal.aspx?pid=105720. Diunduh tanggal 1 Juli

2011.

Merrin, William. 2009. Media Studies 2.0 : Upgrading and Open-sourcing the

discipline. http://www.atypon-link.com/INT/doi/abs/10.1386/iscc.1.1.17_1.

Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Napoli, Philip M.. 2008. Revisiting Mass Communication and The Work of The

Audience in The New Media Environment.

http://www.fordham.edu/images/undergraduate/communications/revisiting%20

mass%20communication.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Napoli, Philip M.. 2008. Toward A Model of Audience Evolution : New Technologies

and The Transformation of Media Audiences.

http://www.fordham.edu/images/undergraduate/communications/audience%20e

volution.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Pavlenko, Tatjana. Interactive Media and Knowledge Environment.

http://tpke.files.wordpress.com/2011/01/tatjana-pavlenko-initial-literature-

review.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.