50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan pengobatan operasi segera yang mempunyai insiden puncak pada anak remaja dan dewasa muda. Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan risiko seumur hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan. 1 Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Apendisitis perforasi adalah perjalanan kondisi apendisitis akut yang lama tertangani. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT 1

Lapsus anes

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lapsus anes

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan

membutuhkan pengobatan operasi segera yang mempunyai insiden puncak pada

anak remaja dan dewasa muda. Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi

daripada di negara berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat

perubahan pola makan di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi

makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh

lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi

apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan risiko seumur

hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan.1

Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan

tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Apendisitis

perforasi adalah perjalanan kondisi apendisitis akut yang lama tertangani.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan

pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi

diagnosis apendisitis berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis adalah

pembedahan, apendektomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik

perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi

dan pembentukan abses intraabdominal.2

Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,

termasuk dalam tindakan apendektomi kasus apendisitis. Kata anesthesia berarti

pembiusan yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,

tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti

suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan

berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah

1

Page 2: Lapsus anes

2

anesthesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun

1846.3

Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local/infiltrasi,

blok/regional, umum/general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan

nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali

(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang

kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.3

Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya

kesalahan anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk

mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai

merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia.

Dokter spesialis anesthesiologi melakukan kunjungan pasien sebelum pasien

dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien dalam kondisi yang optimal

pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus dilakukan seperti

anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sehingga

kodisi pasien dapat dinilai.3

Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu

hingga dua jam sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi

anesthesia yaitu membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga

memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Sebelum memulai

induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan

sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan cepat dan baik.

Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau

dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.3

Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia

regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia

(RR, Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika

pasien sadar secara bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa

hal akibat stres pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas,

Page 3: Lapsus anes

3

gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan

kadang-kadang perdarahan.3

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai

tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforasi.

Page 4: Lapsus anes

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif

2.1.1 Penilaian Preoperatif

Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan

persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum

dibedah sehingga dapat diketahui kelainan di samping kelainan yang

akan dioperasi.

Tujuannya adalah :

1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya

riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik

berupa dyspneu maupun urtikaria).

3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan

status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)

5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi

(informed consent) kepada pasien.

6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi

dosis obat induksi.4

Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang

berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma,

alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan

pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa

menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi

preoperasi meliputi history taking (AMPLE : pada pasien trauma),

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium,

EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi

harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang

Page 5: Lapsus anes

5

manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam

informed consent.4

a. History Taking

History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat

alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi

dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi

(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang

dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan

(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat

dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa

menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang

review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit

atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama

lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan

asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,

nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-

paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga

penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila

ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.

Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar,

leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan

menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk

anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas

wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu

dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,

Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau

Page 6: Lapsus anes

6

vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi

kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Skoring Mallampati:

I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

IV. Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.1. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko

anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari

efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan

menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk

ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA

secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas

perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak

faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka

tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna.

Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam

perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.5

Page 7: Lapsus anes

7

Tabel 2.1 Klasifikasi ASAKelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau

psikiatri.Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,

tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi

aktivitas normal.Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa

dengan maupun tanpa operasi.Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi

tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ

tubuhnya akan diambil untuk tujuan donorE Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI

diatas.

c. Pemeriksaan Penunjang

Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung

pada umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama

seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang DibutuhkanPemeriksaan rutin IndikasiUrinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi

glukosa darah jika glukosa urine positif)FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun;

semua bedah mayorUreum, Creatinin, Elektrolit

Bedah mayor

ECG Umur > 50 tahunFoto Torak Umur > 60 tahunTes fungsi hati (Liver Function Test)

Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Page 8: Lapsus anes

8

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:

No Test Indikasi1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya

Penyakit ginjalPasien yang menjalani kemoterapi

2 Ureum, creatinin dan konsentrasi elektrolit

Penyakit ginjalPenyakit metabolik misalnya; diabetes mellitusNutrisi abnormalRiwayat diare, muntahObat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.

3 Konsentrasi glukosa darah

Diabetes MellitusPenyakit hati yang berat

4 Elektrokardiografi

Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronikDiabetes Mellitus

5 Chest X-ray Penyakit respirasiPenyakit kardiovaskuler

6 Arterial blood gases

Pasien sepsisPenyakit paruPasien dengan kesulitan respirasiPasien obesitasPasien yang akan thorakotomi

7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomiPenyakit paru sedang sampai berat seperti COPD, bronchiectasis

8 Skreen koagulasi Penyakit hematologicPenyakit hati yang beratKoagulopatiTerapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin) atau heparin

9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilierRiwayat penyahgunaan alkoholTumor dengan metastase ke hepar

10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroidRiwayat penyakit thyroidCuriga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Page 9: Lapsus anes

9

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode

waktu, jarak dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin,

konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6

bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam

keadaan berikut:

Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah

Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium

untuk hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis

untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi

koagulopati.

d. Informed Consent

Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah

informed consent. Informed consent yang tertulis mempunyai aspek

medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam

proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan

informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan

risikonya.

2.1.2 Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi

isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan

risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral

(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Page 10: Lapsus anes

10

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif 6

Usia pasien

Intake oral Lama puasa (jam)

∑ puasa yg diberikan

< 6 bln Clear fluidBreast milkFormula milk

234

20 cc/kg

6 bln – 5 thn

Clear fluidFormula milkSolid

246

10 cc/kg

>5 thn Clear fluidSolid

26

10 cc/kg

Adult, op. Pagi

Clear fuid Solid

2Puasa mulai jam 12 mlm

Adult, op. Siang

Clear fluidSolid

2Puasa mulai jam 8 pagi

2.1.3 Terapi Cairan

Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan

sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti

pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan

elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi

gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus

menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat

diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal 7

Berat Badan Jumlah

10kg pertama 4 mL/kg/jam

10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan

mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung

dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Page 11: Lapsus anes

11

2.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun

dari anesthesia diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk PremedikasiNo. Jenis Obat Dosis (Dewasa)1 Sedatif:

Diazepam

Difenhidramin

Promethazin

Midazolam

5-10 mg

1 mg/kgBB

1 mg/kgBB

0,1-0,2 mg/kgBB

2 Analgetik Opiat

Petidin

Morfin

Fentanil

Analgetik non opiat

1-2 mg/kgBB

0,1-0,2 mg/kgBB

1-2 µg/kgBB

Disesuaikan

3 Antikholinergik:

Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB

4 Antiemetik:

Ondansetron

Metoklopramid

4-8 mg (iv) dewasa

10 mg (iv) dewasa

5 Profilaksis aspirasi

Cimetidin

Page 12: Lapsus anes

12

Ranitidine

Antasid

Dosis disesuaikan

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan

intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b)

suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia.

Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada

pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang

dijumpai pada pasien.8

2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya

c. Alat-alat resusitasi (STATICS)

d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.

e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,

natrium bikarbonat dan lain-lainnya.

f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,

misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.

i. Kartu catatan medic anestesia

j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 2.7 Komponen STATICSS Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan

Page 13: Lapsus anes

13

jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang

sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa

balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau

pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini

menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk

mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau

tercabut.

I Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik

(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu

supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi

Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan

keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam hal ini adalah:

1. Usia pasien

Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada

pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat

dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.

2. Status fisik pasien

a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui

apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi.

Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami

saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan

Page 14: Lapsus anes

14

pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok,

meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian

saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati

atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain

poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi

regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena

mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada.

b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari

penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi

lokal atau regional.

c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan

gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering

timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik

anestesi regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.

3. Posisi pembedahan

Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan

anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.

Demikian juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.

4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah

Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan

dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk

mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian

adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain.

5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat

menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan

teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.

6. Keinginan pasien

Page 15: Lapsus anes

15

Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan

dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak

membahayakan keberhasilan operasi.

7. Bahaya kebakaran dan ledakan

Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah

pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.

8. Pendidikan

Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan

lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen,

mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah

anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu

diberikan sedasi yang cukup.4

2.3 General Anesthesia

General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan

rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih

kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari

hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan

menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum

tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas,

hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia

(hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien),

relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi

trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur)

Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang

meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan

masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing – masing bagian

berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini

merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah

farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat

dan rangsangan pembedahan.3

Page 16: Lapsus anes

16

Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat

premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi,

dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi

aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua

anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk

memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan

merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan

ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa

pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian.

Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan

berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan

dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya

dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum

adalah masa pasca operasi.

2.3.1 Stadium Anestesi

Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4

stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :

Stadium I (analgesi):

Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut

Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap rangsang sakit tidak

berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan.

Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu

mata.

Stadium II (eksitasi):

Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang

irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola

mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri

dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.

Stadium III (pembedahan):

Page 17: Lapsus anes

17

Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan

torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola

mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil

mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan

meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus

otot menurun.

Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal

menurun dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi

depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah,

pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan

refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang.

Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih

dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal

yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi

paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis

otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan

menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring &

peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin menurun.

Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi

abdominal. Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’

karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir

plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun

dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-),

refleks sfingter ani menghilang.

Stadium IV (paralisis medulla oblongata):

Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium

III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur,

denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.

Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat diatasi

dengan pernafasan buatan.3

Page 18: Lapsus anes

18

Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca

operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi

dapat meliputi obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi,

hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup (cegukan), gigi patah, mual

muntah, menggigil.

2.4 Intubasi

Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam

trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau

dikendalikan. Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu

memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :

Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).

Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).

Relaksasi otot yang baik.

Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting

yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang

disebut SALT, yaitu:

Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring

pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara.

Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.

Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah

jatuhnya lidah ke bagian belakang faring.

Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu

penempatan pipa endotracheal.

Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya

pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:

Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi

udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan

memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk

Page 19: Lapsus anes

19

ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru.

Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop.

Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat

diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di

inflasi/ditiup).

Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak

bergerak (malposisi).

2.5 Monitoring

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi

adalah:

- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi

2.6.1 Recovery dari General Operasi

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus

diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse

oximetry harus dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada

dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien

mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya

mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala

deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan

output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.

Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus

mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia

Page 20: Lapsus anes

20

pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada

pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau

toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan

mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama.

Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika

mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa

dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi

untuk nafas dalam dan batuk.

2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU

Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU

berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan

adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan

di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.

Tabel 2.8 Aldrete ScoreObjek Kriteria NilaiAktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas3. Tidakmampu menggerakkan

ekstremitas

2

1

0Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk

2. Sesak atau pernafasan terbatas

3. Henti nafas

2

1

0Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah

2. Berubah 20-50% dari pra bedah3. Berubah > 50% dari pra bedah

210

Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik2. Sadar setelah dipanggil3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang

210

Warna Kulit 1. Kemerahan2. Pucat agak suram3. Sianosis

210

Nilai Total

Page 21: Lapsus anes

21

2.6.3 Kunjungan Post-Operatif

Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah

operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus

meliputi review dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau

keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang,

termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri

tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular, pneumonia,

atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi

atau konsultasi lebih lanjut.9

Page 22: Lapsus anes

22

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. C

Usia : 36 th

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Panca Usaha Lr. Keluarga RT 58 RW

14, Palembang

Pekerjaan : Buruh

No. Register : 116839

Berat Badan : 70 kg

Tinggi Badan :168 cm

Tanggal dilakukan Anesthesia : 11 Oktober 2014

Lama anesthesia : ±1 jam 20 menit (10.45-12.05)

Diagnosa pra bedah : Appendicitis perforasi

Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi

Jenis anesthesia : General Anesthesia

Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia

dengan Fentanyl, Maintenance

dengan Sevofluran + O2 + N2O

Pre-op

Anamnesis Pre op

Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS.

Nyeri perut disertai mual (+), muntah (-), demam (-). Pasien dibawa ke

IGD RSUD Palembang Bari. Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat

hipertensi (-), Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-). Riwayat Asma (-),

Riwayat DM (-), merokok (-), konsumsi alkohol (-). Makan/minum

terakhir pukul 02.00 11 Oktober 2014.

Page 23: Lapsus anes

23

Pemeriksaan Fisik Pre-op

B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 22 x/mnt, Rh (-),

Wh(-), Struma (-), Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari,

Mandibulahyoid < 2 cm, Mallampati score I, pernafasan cuping

hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi dbN, gerak leher bebas,nyeri

telan (-), massa di leher (-), trakea di tengah, saturasi O2 95%

room air

B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 “, nadi 80 x/mnt kuat

angkat, TD 120/80, S1 S2 tunggal regular, murmur (-), T.axilla :

36,5o C

B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek Cahaya +/+

B4 : BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 250 ml dalam 3 jam,

kuning jernih

B5 : Flat, soefl, Bising Usus (+) Normal, nyeri tekan perut kanan

bawah (+)

B6 : Mobilitas (+), anemis (-),ikterik (-), sianosis (-), edema (-)

Pemeriksaan Laboratorium (11 Oktober 2014)

Darah Lengkap

o Hb :14,6 gr/dl

o Leukosit : 13.400/ul

o Trombosit : 208.000 /µl

o Hematokrit : 45 %

o Diff Count : 0/0/0/82/10/8

Page 24: Lapsus anes

24

3.2 Laporan Anestesi Preoperatif

Assessment: ASA 1, emergensi

Diagnosa pra bedah : Appendecitis perforasi

Keadaan pra bedah (11 Oktober 2014):

TD: 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,5o C

Hb: 14,6 gr/dl

Pasien puasa pre-operasi

Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi

3.3 Durante Operasi

Jenis anesthesia : General Anastesi

Teknik anesthesia : Intubasi oral

Lama anesthesia : 10.45 – 12.05

Lama operasi : 11.00 – 12.00

Posisi : Supine

Infus : RL 500 ml

Obat-obatan yang diberikan :

Obat premedikasi : Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di kamar operasi)

Obat induksi:

1. Inj. Fentanil 100 μg

2. Inj. Propofol 100 mg titrasi

3. Inj. Atracurium 50 mg IV

Obat maintenance anesthesia : Sevofluran dan O2

Obat analgetik durante operasi : N2O

Ekstubasi : inj. Neostigmin 0,5 mg IV

Medikasi post op : Dexametason inj 10 mg IV

Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV

Cairan masuk:

Pre operatif : RL 1500 cc

Durante operatif : RL 600 cc

Page 25: Lapsus anes

25

Cairan keluar:

Perdarahan : +200 cc

Produksi urin : Preoperatif : 400 cc (dibuang)

Durante operatif : 200 cc

3.4 Postoperatif di RR jam 12.10

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-),

saturasi oksigen 96% dengan O2 nasal canul 3 lpm.

B2 : Akral hangat, CRT < 2 detik, kulit merah, nadi 81x/menit, TD

120/80 mmHg, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,4o C

B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek kornea

+/+

B4 : Catheter (+), Produksi Urin 600cc

B5 : Bising Usus (+) Normal, mual (-), muntah (-)

B6 : Mobilitas normal, detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)

Terapi Pasca Bedah

o Infus: infus RL 1500cc/24 jam

o Antibiotika: Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr IV

o Obat-obatan: Inj. Ranitidin 3x 50 mg iv, Inj. Ketorolac 3x 30 mg iv,

Inj. ondancetron 3x10 mg iv

o Bila mual/muntah : Kepala miring, head down, suction k/p. Inj

Ondansetron 4mg iv.

o Minum/makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah.

Bising usus

Page 26: Lapsus anes

26

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Tn. C umur 36 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD

Palembang BARI pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 01.30 dengan keluhan

mual yang disertai nyeri perut kanan bawah. Berdasarkan history taking

didapatkan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan, belum makan sejak

pukul 02.00. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang

tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien in

meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu.

Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan

kelainan.

B1 – Breathing

Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu

diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.

B2 – Blood

Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan

anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.

B3 – Brain

Dalam batas normal.

B4 – Bladder

BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna

kuning jernih.

B5 – Bowel

Pada bowel, didapatkan bising usus normal.

B6 – Bone

Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.

Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan

keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah

Page 27: Lapsus anes

27

yang direncanakan. Pada pasien ini didapatkan leukositosis (13.400). Dari hasil

anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien dalam kondisi

sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga

diklasifikasikan dengan ASA-1 emergensi.

Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama

anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah

menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa

pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American

Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,

makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam

preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak pukul 02.00 (8 jam

sebelum operasi). Premedikasi pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi,

dengan obat premedikasi Obat premedikasi Inj. Ondancetron 2 mg (diberikan di

kamar operasi). Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid,

atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low

molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid

juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa

polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk

sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan

dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.7

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.

Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan

hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut

cairan jenis replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan

jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum

digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek

yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi

cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah

Page 28: Lapsus anes

28

durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali

jumlah volume darah yang hilang.7

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan

darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual

memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon

ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap

100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap

tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada

operasi pasien ini tidak dilakukan.

Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa

besar + kassa kecil dengan perkiraan total 200cc.

Operasi ini termasuk bedah sedang sehingga menggunakan rumus cairan 4

ml/kg. Sehingga O2 x berat badan pasien adalah 280 cc.

Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan

selama operasi adalah:

Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 110 cc/jam x 1 jam = 110 cc

Cairan yang hilang O2 : 280 cc/jam x 1 jam = 280 cc

Jumlah produksi urine durante operasi : = 200 cc

Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 200 cc x 3 = 600 cc +

1190 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi:

RL : 600 cc

Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen

pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S:

110 - 130, D: 50 - 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20 x/menit.

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di

RR OK sentral sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan tidak ada

mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan

perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 3 lpm melalui NC

serta dimonitor dengan pulse.

Page 29: Lapsus anes

29

Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum

dikeluarkan dari RR berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini

didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien

kemudian dipindahkan ke ruang perawatan bedah.

Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan telah

dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam

medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan

pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari

anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang

secara keseluruhan dalam batas normal.

BAB V

KESIMPULAN

Page 30: Lapsus anes

30

Pasien adalah pria usia 36 tahun dengan apendisitis perforasi, yang

dilakukan operasi apendektomi per laparotomi pada tanggal 11 Oktober 2014.

Tindakan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi dengan intubasi. Hal ini

dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi general anestesi.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan

kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.

Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif

stabil sampai operasi selesai.

Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak

didapatkan keluhan. Selama di RR pasien cukup stabil dengan Aldrete Score

bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang

rawat biasa. Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Page 31: Lapsus anes

31

1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based

Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department

Vol.13 Number 10. 2011:1-32

2. Frogat, P. Harmston, C. 2011. Acute Appendicitis. North American Journal

of Surgery 29:8.

3. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.

Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta.

4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif FKUI

5. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.

2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott

Williams & Wilkins.

6. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for

Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce

Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:

An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee

on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins

7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology.

4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

8. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s

Anesthesia 7th ed. US : Elsevier

9. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,

Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The

Massachusets General

LAMPIRAN

Page 32: Lapsus anes

32

Page 33: Lapsus anes

33

Page 34: Lapsus anes

34