Upload
ulfa-pradipta
View
37
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia cukup tinggi.Salah satu tingginya
angka kematian ibu di Indonesia adalah pada saat proses persalinan normal.Dan
untuk mengurangi (AKI) pada saat persalinan normal.Ada salah satu cara
melahirkan dengan cara sectio caesarea yang diyakini bisa menyelamatkan nyawa
ibu dan janin.
Sectio cesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomy
untuk melahirkan janin dari dalam rahim.Dalam operasi caesar ada 7 lapisan yang
diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit,lapisan lemak ,sarung otot,otot perut,lapisan
dalam perut,lapisan luar rahim,dan rahim.Setelah bayi dikeluarkan lapisan itu
kemudian dijahit lagi satu persatu,sehingga jahitanya berlapis lapis.
Makalah yang kami bahas ini meliputi management pasca operasi caesar
dan perawatan pasca operasi. Di dalamnya dapat di ketahui apa saja yang perlu di
pelajari, di pahami dan di mengerti.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 apa saja management pasca operasi ?
1.2.2 apa saja perawatan pasca operasi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 untuk mengetahui management pasca operasi
1.3.2 untuk mengetahui perawatan pasca operasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MANAGEMENT PASCA OPERASI
2.1.1 Perawatan umum pasca operasi
Pasien pasca operasi perlu mendapatkan perawatan sebagai berikut :
1. Pasien perlu diobservasi hingga pasien mampu mempertahankan potensi
jalan nafas dan stabilitas kardiofaskuler serta mampu berkomunikasi
setelah pulih dari anastesi, tanda-tanda vital pasien (kesadaran, tekanan
darah, frekuensi nafas, suhu, nyeri, produksi urine) perlu di observasi tiap
setengah jam pada dua jam pertama.
2. Bila tanda vital stabil, observasi dilanjutkan tiap satu jam.
3. Diet bertahap pasca operasi tidak diperlukan lagi bagi pasien yang tidak
menjalani reseksi usus dan berumur di bawah 70 tahun. Pasien
diperbolehkan minum cairan jernih setelah 6 jam pasca operasi dan makan
setelah mual hilang, dengan syarat pasien telah benar-benar pulih dari
anastesi dan tidak menderita komplikasi.
4. Indwelling chatheter dapat dilepas saat pasien dapat berjalan dan minimal
12 jam setelah dosis terakhir anastesi regional.
5. Perban luka diganti setelah 24 jam pertama, sekaligus dinilai keadaan luka
bekas operasi.
2.1.2 hemostasis pasca operasi
Umumnya wanita muda, sehat dan tidak menderita komplikasi memiliki
toleransi yang baik terhadap hematokrit sebesar 20 sampai 22%. Meski demikian,
observasi terhadap tanda-tanda vital tetap harus dilakukan untuk mendeteksi
hipovolemia. Produksi urin harus di atas 0,5 ml/kg/jam. Adanya tanda hipotensi
ortostatik berupa penurunan tekanan darah sebesar mmHg menandakan
kemungkinan terjadinya penurunan volume darah sebesar 20%.
Secara fisiologis terdapat fase dimana hematokrit akan menurun akibat
retensi air yang disebabkan oleh ADH sebagai respon stress terhadap operasi. Hal
ini tidak berbahaya. Pada hari ketiga pasca operasi akan disusul oleh fase diuresis.
Oleh karena itu, sebaiknya pengukuran hematokrit di lakukan dua kali yaitu pada
24 jam pertama dan setelah 72 jam pasca operasi. Pasien dengan penyakit
kardiovaskuler dan paru serta berusia di atas 60 tahun sebaiknya menerima
transfusi untuk mempertahankan hematokrit tetap berada di atas 30%.
2.1.3 demam
Demam nifas didefinisikan sebagai suhu tubuh 38C atau lebih yang
muncul setelah hari kedua hingga hari kesepuluh pasca persalinan. Suhu tersebut
adalah hasil rata-rata dari minimal 4 kali pengukuran dalam sehari yang di
lakukan per oral. Kenikan suhu tubuh memang sering terjadi pada wanita pasca
persalinan tetapi tidak mencapai 38C.
Etiologi terbanyak berupa infeksi traktus genitalia dengan kuman
terbanyak streptococcus grub A atau B. Kuman ini harus dicurigai terutama bila
suhu pasien naik mencapai 39C atau lebih. Etiologi yang lain adalah berasal dari
traktus respiratorius (atelektasis, pneumonia aspirasi, pneumonia), traktus
urinarius (ISK, glumerulonefritis akut), tromboflebitis, DVT, transfusi darah dan
obat. Sebuah jembatan keledai yang cukup membantu adalah 5W. Wind (traktus
respiratorius), Water (traktur urinarius), wound (infeksi), walk (DVT), dan wonder
(obat).
Terapi disesuikan dengan penyakit yang mendasari. Antipiretik umumnya
tidak diperlukan. Hindari pemberian antipiretik tanpa penegakan diagnosis karena
dapat memberi efek masking. Ganti IV lain line setelah 48 jam meski tidak ada
tanda-tanda radang. Perhatikan kompatibilitas antara pasien dengan darah
transfusi.
2.1.4 infeksi
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih sering diderita oleh pasien pasca operasi. Manivestasi klinis
menyerupai infeksi saluran kemih pada umumnya yaitu berupa Louwer urinarye
tract symtompS (LUTS) antara lain urgensi, frekuensi, disuri, dll. Urinalisis
menunjukkan terjadinya leukosituri dan bakteriuri yang bermakna. Infeksi di atasi
dengan antibiotik serta perlu perhatian untuk mengganti atau melepas kateter
setelah 12 jam pasca operasi
Infeksi luka
Diagnosis infeksi luka ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penetalaksanaan berupa wound toilet yang disertai dengan perawatan luka dan
antibiotik. Periksalah dengan seksama apakah vasia masih intak atau telah terjadi
dehisensi luka.
endometritis
Endometritis puerpral disebabkan oleh infeksi asenden dari traktus
genetalia bawah atau dari traktus gastointestinal. Bakteri penyebab infeksi bersifat
polimikrobial. Manivestasi klinis pertama berupa nyeri dan nyeri tekan perut.
Demam terjadi pada 24-72 jam pasca persalinan. Terkadang gejala yang muncul
hanya demam ringan. Menggigil, sakit kepala, malas, dan sulit makan sering
terjadi.
Tanda-tanda yang dapat muncul adalah pucat, hakhikardi, leukositosis,
serta lokia yang berbau. Pada pemeriksaan dalam, uterus teraba membesar, nyeri
dan lunak. Adanya indurasi yang menyebar ke dinding pelvis disertai nyeri yang
hebat dan demam yang tinggi menandakan telah terjadinya perluasan infeksi ke
parametrium
Terapi berupa pemberian antibiotik I.V. spektrum luas hingga pasien
afebris selama 48 jam. Antibiotik yang dapat dipakai adalah klindamisin 90mg
tiap 8 jam ditambah dengan gentamisin 1,5 mg/kg tiap 8 jam. Ampisilin 1 gr tiap
6 jam dapat ditambahkan bila dicurigai adanya infeksi enterokokus atau tidak ada
perbaikan klinis selama 48 jam. Bila terapi berhasil, tidak perlu dilanjutkan
dengan terapi oral.
peritonitis
Terkadang peritonitis dapat terjadi sebagai komplikasi dehisensi luka
pasca seksio atau ruktur abses adneksa. Manivestasi klinis yang muncul pertama
kali adalah ileusparalitikus. Jangan menunggu munculnya manivestasi peritonitis
(misalnya perut kaku seperti papan) manivestasi ini muncul terakhir karena
dinding perut wanita hamil lebih lentur. Terapi berupa antibiotik, namun hanya
bila dicurigai infeksi berasal dari nekrosis pada luka bekas operasi atau lesi pada
usus, diperlukan operasi selain pemberian antibiotik.
tromboflebitis
Merupakan perluasan infeksi pelvis ke vena sekitar. Penyakit ini ditandai
dengan nyeri yang umunya muncul pada hari ke 2-3 pasca persalinan. Pasien
mengalami demam menggigil meskipun menivestasi klinis lain memaik karena
pemberian antibiotik. Terkadang teraba massa dengan nyeri tekan di kedua sisi.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan CT scan atau MRI. Terapi berupa antibiotik.
2.1.5 komplikasi gastrointestinal
Mual Dan Muntah Pasca Operasi
Sedikit gagguan pada fungsi gastrointestinal tidak berbahaya. Hal ini terjadi segai
akibat dari anestesi, obat-oatan perioperatif, dan operasi itu sendiri. Umumnya
pasien akan merasa mual yang kadang disertai dengan muntha selama 12 jam
pasca operasi. Namun demi kenyamanan pasien sebaiknya diberikan anti mual
dan muntah. Perhatikan efek samping dan interaksi masing masing obat.
Obstruksi Mekanis Usus halus
Sangat penting membedakan obstruksi mekanis antara usus halus dengan usus
esar dikarenakan manifestasi klinis dan terapinya yang berbeda. Umumnya
obstruksi mekanis usus halus disebabkan oleh perlekatan. Manifestasi klinis
sumbatan mekanis usus halus berupa kram pada perut bagian tengah yang bersifat
kolik dan memiliki onset tiba-tia. Pasien merasa relatif nyaman diantara episode
nyeri. Bersamaan dengan munculnya episode nyeri terdapat peningkatan bising
usus (borborygmi). Gangguan pasase usus mengakibatkan pasien muntah,
obstipasi, tidak dapat flatus (bila obstruksi komplit), diare (bila obstruksi pasial),
cegukan, distensi perut , dan gangguan pernafasan. Terkadang terdengar metallic
sound. Pada pasien yang sangat kurus, gerak peristaltik usus dapat terlihat.
Bila terjadi strangulasi, nyeri akan meningkat dalam intensitas, menetap (tidak
lagi bersifat kolik) dan menjadi terlokalisasi, yang disertai dengan peningkatan
suhu tubuh dan leukositosis. Dua tanda terakhir ini umumnya muncul pada fase
akhir dari strangulasi sehingga menandakan terlambatnya diagnosis. Bising usus
yang negative tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis obstruksi usus.
Diagnosis obstruksi mekanis usus halus komplit nonstarngulasi ditegakkan
dengan pemeriksaan radiologis yaitu step-ladder patern dengan gas usus negative
dibagian distal obstruksi. Gamaran ini tidak didapatkan pada tipe obstruksi
parsial. Bila gambaran radiologis normal sama sekali padahal terdapat gejala
obstruksi mekanis, strangulasi mungkin sudah terjadi.
Bila obstruksi kompilt atau dicurigai terjadi strangulasi, operasi tidak boleh
ditunda. Persiapan operasi meliputi dekompresi dengan NGT suction,
keseimbangan cairan dan elektrolit (terutama perhatikan kadar kalium plasma
pasien karena pasien umumnya akan mengalami hipokalemia karena muntah),
serta pemberian antibiotik spektrum luas (apabila terjadi strangulasi). Terapi non
operatif hanya diperuntukkan bagi pasien dengan:
Obstruksi parsial pasca opeasi seelumnya, kecuali pasca operasi pada
adneksa
Obstruksi parsial berulang
Obstruksi parsial akibat peritonitis difusa
Obstruksi parsial akibat metastasis intra-abdominal.
Terapi non operatif ini, berupa dekompresi dengan NGT panjang (Miller-Abbott
atau Cantor tube). Tetapi non operatif dilaksanakan selama 24 sampai 48 jam.
Bila tidak berhasil atau muncul tanda-tanda strangulasi maka operasi harus
dilakukan.
Obstruksi Mekanis Usus Besar
Obstruksi usus besar jarang disebabkan oleh adesi. Umumnya diseabkan oleh
tumor ovarium, striktur akibat radioterapi, impaksifekal, dan tumor intrinsik.
Obstruksi mekanis usus besar juga menimbulkan nyeri yang bersifat kolik, tetapi
dengan intensitas yang lebih rendah daripada obstruksi mekanis usus halus
sehingga jarang dikeluhkan oleh pasien terutama pada pasien yang berusia lanjut.
Muntah muncul pada fase akhir dan sangat jarang terjadi muntah fekal.
Obstruksi usus besar dengan katup illieosekalyang kompeten memberikan
gambaran radiologis yang khas yaitu dilatasi dengan gambaran gas hanya pada
usus besar. Bila katup tersebut inkompeten, gamaran radiologis akan menyerupai
obstruksi mekanis usus halus parsial.
Bila obstruksi komplit dan tau katup illeosekal kompeten, operasi mutlak
dilakukan. Sedangkan bila operasi parsial, terapi non operatif seperti puasa dan
NGT suction. Dapat dilakukan meskipun tidak akan mendekompresi usus besar
seluruhnya.
Illeus Paralitik
Umumnya keluhan hanya berupa rasa tidak nyaman, muntah (meski tidak profus
dan hampir tidak pernah fekal), dan cegukan. Gambaran radiologis penyakit ini
mungkin tidak dapat dibedakan dengan obstruksi mekanis usus halus parsial,
kecuali distensi usus besar lebih menonjol pada kasus illeus paralitik. Foto kontras
dapat membantu dalam membedakan kedua diagnosis ini
Umumnya kondisi ini bersifat self limiting dengan pemberian cairan parenteral
yang baik serta waktu istirahat usus yang cukup. NGT suction mungkin
diperlukan untuk mengurangi distensi abdomen yang menggangu pernafasan,
asalkan cairan parenteral terjamin. Amulasi dan perangsangan motilitas usus
dengan suposituria mungkin dapat membantu. Alternatif terapi lain adalah dengan
pembuatan foto radio kontras menggunakan gastrografin. Pemuatan foto ini
berfungsi sebgai alat diagnostik sekaligus terapi karena osmolaritas bahan radio
kontras yang tinggi menrangsang peristaltik usus. Illeus paralitik yang parah dapat
merupakan tanda syndroma Ogilvie atau awal peritonitis.
Pseudo-Obstruksi Kolon Akut (Syndroma Ogilvie)
Terkadang distensi adomen berat akibat illeus paritik muncul secara tiba-tiba dan
segra setealh operasi tanpa didapatkan tanda-tanda obstruksi mekanis. Hasil
pemeriksaan radiologis menunjukkan dilatasi masif caecum dan kolon dengan
gamaran udara di daerah rektosigmoide. Gambaran klinis diatas disebut syndroma
Ogilvie. Setiap dokter yang merawat harus waspada karena meskipun jarang
terjadi sindrom ini berpotensi mengakibatkan perforasi usus yang mematikan ila
tidak segar dideteksi.
Penatalaksanaan syndroma Ogilvie:
1. Konservatif: NGT suction, keseimbangan air-elektrolit insersi rektal tube
2. Neostigmin 2mg I.V yang diberikan dalam 3 sampai 5 menit.
Efek samping: salivasi, mual, muntah, nyeri perut, hipertensi, bradikardi,
bronkospasma. Selama pemberian denyut jantung harus diawasi serta
atropin harus tersedia.
3. Dekompresi endoskopik dilakukan apabil terapi konservatif dan
neostigmin gagal, ataupun terdapt kontra indikasi terhadap neostigmin
atau diameter caecum < 12cm.
4. Caecostomy bila terapi lain gagal atau tanda-tanda perforasi telah muncul.
2.1.6 Manajemen Nyeri Pasca Operasi
Setiap pasien berhak atas menejemen nyeri yang baik. Akan tetapi pada
kenyataannya pasien sering kurang mendapatkan manajemen nyeri yang baik.
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini, antara lain ;
1. Keengganan pasien untuk memberitahu tenaga kesehatan.
Beerapa pasien enggan melapor bahwa dirinya merasakan nyeri pasca
operasi karena takut dianggap cerewet dan merepotkan. Dalam
menghadapi hal ini tenaga kesehatan harud pro aktif dalam bertanya pada
pasien apakah ia merasakan nyeri atau tidak.
2. Keengganan dokter untuk menilai nyeri pasca operasi dengan baik.
Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah kurangnya waktu yang
tersedia untuk satu pasien sehingga dokter tidak sempat memperhatikan
keluhan ini. Akan tetapi, perlu diingat bahwa manajemen nyeri yang baik
akan membuat pasien lebih kooperatif dalam program yang mempercepat
proses pemulihan pasien dari operasi.
3. Bias
Terdapat bias bahwa wanita lenih sering mengeluh nyeri daripada pria
sehingga seorang wanita mengeluhkan rasa nyeri sering kali ditanggapi
dengan setengah hati. Terdapat anggapan keliru bahwa sudah
sewajarnyalah pasien merasakan nyeri setelah operasi. Kita tidak boleh
membiarkan pasien merasakan nyeri padahal disaat yang sama kita
erkompeten melaksanakan manajemen nyeri yang baik.
Berikut ini pedoman manajemen nyeri yang baik :
1. Lakukan anamnese dan pemeriksaan fisik yang lengkap
Nyeri merupakan keluhan suyektif yang bersifat pribadi sehingga sering
terdapat perbedaan difinisi antara seorang dengan yang lain apa yang
dikeluhkan opleh pasien sebagai nyeri sering tidak dianggap sebagai nyeri
yang sebenarnya oleh dokter. Oleh karena itu, langkah pertama
manajemen nyeri yang baik adalah mempercayai pasien bahwa nyeri yang
pasien keluhkan benar adanya. Galilah informasi yang lengkap melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2. Tentukan penyea nyeri dan terapi yang sesuai
Bila dari anamnese, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapat
penyakit penyerta segera atasi penyakit tersebut, lakukan analgesik hanya
berikan bila penyebab nyeri telah diketahui untuk menghindari efek
masking.
3. Tentukan obat yang tepat dan rute pemberian paling kurang inpasif
Penanganan nyeri pasca operasi yang efektif harus diberikan berdasarkan
protokol yang telah direkomendasikan seperti halnya Tangga Analgesik
WHO. Tanpa mempertimbangkan intensitas nyerinya terapi analgesik
selalu dimulai dari tingkat dasar, yaitu penggunaan parasetamol dan
adjuvan. Pada setiap tingkat, tangga analgesik keadaan pasien di monitor
dan penilaian ulang dilaksanakan minimal setiap hari.
Setiap analgesik memiliki efek samping dan kontra indikasi yang harus
diperhatikan. Kombinasi beerapa obat dari erbagai jenis dapat memberikan
efek analgesik yang lebih bagus dengan efek samping leih rendah, tetapi
pada keadaan ini pertimbangkan interaksi antara obat satu dengan yang
lainnya. Berikut ini beberapa analgesik yang dibahas secara singkat :
Selain cukup efektif, parasetamol memiliki sedikit kontraindikasi
dan indikasi obat sehingga merupakan pilihan yang baik. Bahkan
parasetamol dapat digunakan dengan aman pada ibu yang sudah
mulai menyusui bayinya.
Bulan kedua pemakaian NSAID harus mempertimbangkan resiko
efek sampingnya terutama bagi pasien di atas 65 tahun dengan
penurunan fungsi ginjal. Hindari pemakaian NSAID pada pasien
dengan franklin,s triat(asma polip nasi dan urtikaria) sebab pasien
ini memiliki resiko yang signifikan untuk terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemakaian NSAID menawarkan keuntungan berupa
penekanan berupa keuntungan reaksi inflamasi yang muncul
karena prose penyembuhan luka bekas operasi lebih cepat.
Opioid memiliki banyak efek samping dan beberapa diantaranya
beresiko mengancam nyawa seperti depresi pernapasan. Oleh
karena itu pemberian opioid harus sesuai dengan protokol yang
berlaku di rumah sakit tersebut. Dosis opioid yang dibutuhkan
berbeda-beda antara satu pasien yang lain,bahkan antara satu
keadaan dengan keadaan yang lain. Fixed dosage tidak efektiv oleh
karena itu sebaiknya penggunaan opioid melibatkan dokter anastesi
yang lebih mengenal farmakologi opioid dan dapat menawarkan
anastesi regional.
Adjuvan adalah obat non analgesik yang membantu mengatasi
nyeri
4. Observasi efek terapi dan efek samping secara berkala amat penting
terutama bagi pasien yang menerima opioid. Tanda pertama opioid
overdosis opioid adalah sedasi yang berlebihan. Frekuensi napas dan
saturasi oksigen periver tidak dapat dipwercaya. Oleh karena itu monitor
keadaan pasien harus dilakukan dan protokol yang mengatur hal ini harus
dilaksanakan dengan ketat. Contohnya:
Untuk pasien yang menerima opioid intratekal, observasi tanda
vital dilakukan setiap jam sedikitnya selama 12 jam untuk
pemberian diamorvin dan 24 jam dalam pemberian morvin.
Untuk pasien yang menerima opioid epidural dan patient contolled
analgesia (PCA) opioid, tanda vital harus dipantau setiap jam selama
pemberian terapi dan dua jam setelah terapi dihentikan.
Tenaga kesehatan dan keluarga pasien dilarang menekan tombol yang
memberikanj oabt pada pasien yang menerima opioid secara PCA
meski diminta oleh pasien
5. pengelolaan multi disiplin yang melibatkan dokter obstetri
ginokologi, anastesi, fisioterapi, psikiatri, idan daan perawat.
2.1.7 Dehisensi dan eviserasi
Dehisensi adalah terbentuknya lapisan kulit ,subkutan dan fasia pada luka
jahitan operasi. Pada kasus eviserasi peritonium ikut terbuka sehingga
momemtum dan organ intra abbdomen dalm terlihat dari luar. Dehisensi
mengakinatkan infeksi, memperpanjang masa rawat inap dan dapat menyebabkan
hernia insisisonal. Faktor resiko dehisensi dan eviserasi secara umum meliputi
faktor-faktor nyang menyebabkan keterlambatan penutupan luka bekas operasi,
antara lain hipo albuminemia, menutrisi ,usia tua, keganasan, diabetes melitus,
urenia, terapi steroid, radio terapi pada daerah luka, merokok, nutrisi yang jelek
dan teknik operasi yang salah.
Pencegahan dehisensi dan eviserasi meliputi:
1) Gunakan benang seperti nilon, poli propilen atau PDS
2) Gunakan jahitan Smead- Jones yang lebih baik dalam mencegah dehisensi
dan eviserasi daripada jahitan continous simple mass.
3) Bila resiko infeksi tinggi gunakan benang monofilamen
4) Untuk mencegah nekrosis, hindari mengikat terlalu kuat teratama bila
menggunakan figure-of-eight.
Cara melakukan jahitan Smead-Jones (far near near far):
1. gunakan benang nomor 1-0 dengan jarak masuknnya jarum dari tepi luka
3cm dan jarak antar jahitan kurang dari 3 cm.
2. lewatkan jarum melalui peritoneum, fasio dan otot rekus abdominis dari
satu sisi ke sisi lainnya.
3. ulangi lagi, lewatkan jarum dari satu sisi ke sisi yang lain (persis sama
langkah di atas) tetapi ambil hanya fasia dan otot
4. hasilnya dalah adanya double loop (small loop in large loop)
Dehisensi dan eviserasi umumny terjadi minggu pascaoperasio dengan
onset tercepat dalam 24 jam pertama. Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran
klinik yang meliputi terlihatnya luka yang membuka, keluarnya cairan
serosanguinus dalam jumlah anyak dari luka jahitan operasi disertai dengan
tanda-tanda radang akut.
Penanganan dehisensi dan eviserasi meliputi :
a. Tutup luka dengan kasa steril. Ganti kasa sesering mungkin untuk
menjamin luka tetap ersih. Untuk kasus eviserasi jaga agar organ
intraperitoneal tetap lemab.
b. Jangan mencoba memasukkan organ intraperitoneal yang keluar
c. Posisikan pasien dalam posisi low fowler dengan susdut 10-45
derajat dengan kaki tertekuk untuk mengurangi tegangan perut
d. Persiapkan pasien untuk operasi darurat antara lain puasa,
pemasangan IV line, pemerian antibiotik spektrum luas, edukasi
pasien dan inform consent
e. Pasang NGT untuk mengurangi distensi organ intraperitoneal
f. Operasi darurat meliputi evaluasi secara digital, debridemen tepi
luka, penjahitan ulang dengan jahitan smead Jones.
g. Bila luka di perkirakan akan menghasilkan banyak cairan,
pasanglah drain
h. Pada kasus dihisensi yang di perkirakan akan terjadi nfeksi yang
erat lebaih baik bila luka tidak di jahit terlebih dahulu
i. Pada kasus eviserasi yang tidak dapat di tutup untuk mencegah
sindroma kompartement abdominal, di perlukan penggunaan mesh.
Mesh yang dapat dipakai adalah Gorotex mesh yang bersifat
lembut, fleksibel , tidak melar, menyebabkan radang dan
perlekatan minimal dan tidak menyeakan terbentuknya fistula.
j. Penangan dihisensi di tekankan pada pencegahannya
2.1.8 Depresi pasca persalinan
Masih terdapat banyak kontroversi terhadap hubungan antara seksio
sesaria dengan depresi pasca persalinan, hal ini sangat bergantung pada
kesehatan masing-masing individu dan pandangan keudayaan setempat
terhadap seksio sesaria yang akan mempengaruhi cara pandang pasien terhadap
seksio seasaria. Perawatan pasien yang mengalami depresi persalinan seksio
sesaria tidak berbeda dengan pasien yang tidak menjalani seksio sesaria.
2.1.9 Akhir masa perawatan
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian pada akhir masa
perawatan adalah :
1. pasien perlu mengetahui dampak operasi terhadap kesehatan dirinya
secara keseluruhan termasuk kesehatan reprodukisi dan kehamilan
berikutnya.
2. untuk pasien yang menjalani serksio sesaria, bila pasien pulih dengan
baik dan tidak terdapat demam serta komplikasi lain, pasien di
perbolehkan pulang setelah 24 jam.
3. menyarankan pasien memakai pakaian yang longgar dan pakaian dalam
yang terbuat dari katun
4. edukasi pasien tentang perawatan luka bekas operasi
5. edukasi pasien tentang komplikasi yang dapat terjadi di rumah,
misalnya infeksi saluran kencing atau infeksi pada luka bekas jahitan
dan kapan harus menemui dokter
6. berikan bekal analgesit berupa NSAID dan kodein sebagai obat darurat
7. edukasi pasien tentang senam nifas dan menyusui bayi bagi pasien yang
menjalani seksio sesaria
8. penjadwalan untuk rawat jalan di poli nifas bagi pasien yang menjalani
seksio sesaria
9. penjadwalan untuk rawat jalan di poli klinik bagi pasien yang menjalani
laparotomi untuk kelainan tumor adneksa
2.2 PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah sectio secarea:
1. Pendarahan dari vagina harus di pantau dengan cermat
2. Fundus uteri harus sering di palpasi untuk memastikan bahwa uterus tetap
berkontraksi dengan kuat
3. Analgesia meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg di
berikan,pemberian norkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya
prometazin 25 mg
4. Periksa aliran darah uterus paling sedikit 30 ml/jam
5. Pemberian cairan intravaskuler,3 ltr cairan biasanya memadai untuk 24
jam pertama setelah pembedahan
6. Ambulasi, 1 hari setelah pembedahan klien dapat turun sebentar dari
tempat tidur dengan batuan orang lain.
7. Perawatan luka,insisi diperiksa setiap hari, jahitan kulit (klip) diangkat
pada hari ke empat setelah pembedahan
8. Pemeriksaan laboratorium hematokrit di ukur pagi hari setelah
pembedahan untuk memastikan pendarahan pasca operasi
9. Mencegah infeksi pasca operasi ampisilin 29 dosis
tunggal,sefalosporin,atau penicilinspekrum luas setelah janin lahir
2.2.1 Diagnosa Umum
a) Ganggaun pertukaran gas berhubungan dengan efek sampingdari
anaesthesi
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi
c) Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
d) Resiko injury berhubungan dengan kelemahan fisik efek anaesthesi, obat
obatan dan imobil terlalu lama
e) Gangguan pola nafas berhubungan dengan posisi klien
2.2.2 Diagnosa tambahan
a) Bersihkan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret
b) Resiko retensi urine berhubungan dengan anesthesi bedah pelvis dan
kurang gerak
c) Nausea berhubungan dengan efek anaesthesi
d) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
e) Konstipasi berhubungan dengan efek anesthesi
2.2.3 Fokus Intervensi dan Rasional
a) Gangguan pola nafas berhubungan dengan posisi klien
Tujuan :Pola nafas klien normal
Intervensi:
Kaji pola nafas klien
Monitor TTV
Beri posisi kepala klien lebih tinggi dari kaki, semi fowler
Beri terapi oksigen
b) Kurangi volume cairan berhubungan dengan pendarahan
Tujuan :Memenuhi kebutuhan cairan sesuai kebutuhan tubuh
Intervensi :
Observasi pendarahan
Monitor intake dan out put cairan
Monitor tanda tanda vital
Kolaborasi pemberian cairan elektrolit sesuai program
c) Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
Tujuan :Tidak ada tanda tanda infeksi (rubur,kalor,dolor,fungiolesa),
jumlah leukosit dalam jumlah normal
Intervensi :
Kaji lebar luka, kedalaman, panjang, warna, panas atau
tidak, merah atau hitam (mengertahui seberapa besar resiko
infeksi)
Infeksi lebar luka atau insisi bedah
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas
d) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan efek anesthesi
Tujuan :Mengatasi masalah gangguan pertukaran gas
Intervensi :
Kaji status pernafasan secara periodik,catatadanya perubahan
pada usaha tingkatan hipoksia
Auskultasi bunyi paru secara periodik ,catat kualitas bunyi
nafas,wheezing, ekspirasi memanjang dan observasi
kesimetridsan gerakan dada
Kaji adanya sianosis
Auskultasi irama dan bunyi jantung
Bantu klien untuk beristirahat dengan menjaga ketenangan
lingkungan
Posisikan klien dalam posisi nyaman(fowler atau semi fowler)
Ajarkan dan motivasi klien untuk melakuakan pernafasan
mulut atau bibir
Monitor keseimbangan imtake output cairan
Monitor saturasi oksigen (bila pulse okximetri ada)
e) Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
Tujuan :nyeri berkurang,pasien terelihat rilex
Intervensi :
Kaji tingkat ,skala nyeri
Beri posisi nyaman (mengurangi nyeri)
Ajarkan tehnik relaxaxi(mengurangi nyeri)
Beri kompres dingin untuk mengurangi nyeri menghentikan
pendarahan
Kolaborasi pemberian obat analgetik untuk mengurangi nyeri
2.3 PERAWATAN PASCA OPERASI
2.3.1 ruang pemulihan
saat pasien sadar dari anestesi umum atau saat efek anastesi
regional mulai hilanh, palpasi abdomen kemungkinan besar menyebabkan
rasa nyeri yang hebat. Peran yang teal dengan banyak plesterv diatas
abdomen dapat mengganggu palpasi dan masase fundus serta menimulkan
rasa nyeri waktu perban di lepas.
Pasien dapat dibuat lebih toleran terhadap nyeri dengan
memerikannya analgesik intravena yang efektif.
Prosedur :
Memantau dengan cermat jumlah pendarahan dari vagina
Palpasi fundus uteri untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan
kuat
2.3.2 Pemberian cairan intravena
Kebutuhan akan cairan intravena termasuk darah selama dan setlah
seksio sesaria dapat sangat bervariasi. Wanita dengan B rata-rata dengan
hematokrit kurang dari sama dengan 30 dan volume darah setra cairan
ekstraseluler yang normal umumnya dapat mentoleransi kehilangn darah
sampai 2000 ml.
prosedur :
Siapkan larutan Ringer Lktat atau larutan kristaloid sejenis, di
tambah dekstrosa 5 %
Biasanya pasien mendapat 1-2 L infus cairan elektrolit selam dan
sesudah operasi
Selama operasi dan erada di ruang pemulihan, tekanan darah dan
jumlah urine di pantau dengan cermat.
2.3.3 ruang perawatan
Prosedur :
1. Monitor tanda-tanda vital :Setelah pulih dari anastesi, observasi harus
dilanjutkan setiap setengan jam selama 2 jam pertama dan tiap jam
selama minimal 4 jam setelah hasilnya stabil atau memuaskan. TTV yang
perlu di evaluasi yaitu tekanan darah, nadi, jumlah urine, jumlah
pendarahan, status fundus uteri, suhu tubuh
2.Pemberian analgesik
Untuk wanita BB rata-rata dapat diberikan paling anyak setiap 3
jam untuk menghilangkan nyeri :
Meperidin 75-100 mg intramuskular
Morfin sulfat 10-15 mg intramuskulaer
3. Terapi cairan dan makanan
Salah satunya dengan cara memberikan cairan intravena, yaitu :
3 L cairan untuk 24 jam pertama setelah tindakan
Apabila urine lebih dari 30 ml per jam, nilai kembali
apakah ada pengeluaran darah yang tidak di ketahui efek
antidiuretik dari infus oksitosin atau lainnya
4.Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jm
setelah operasi atau keesokan pagi setelah pembedahan.
Kemampuan pasien mengosongkan vesika urinaria sebelum terjadi
distensi erlebihan harus di pantau seperti pada perssalinan
pervaginan.
Pengawasan :
Kateter dapat di lepas <12 jam
Makanan padat bisa di berikan ,8 jam bila tidak ada
komplikasi
5.Ambulasi
Pada sebagian besar kasus satu hari setelah pembedahan pasien
dapat turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan, paling
sedikit 2 kali. Waktu ambulasi di atur agar analgestik yang baru di
berikan dapat mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua pasien dapat
berjalan dengan bantuan. Dengan ambulasi dini, trombosis vena,
emoli paru jarang terjadi.
6.Perawatan luka
Luka insisi di periksa setiap hari dan jahitan kulit diangkat pada
hari keempat setelah pembedahan. Pada hari ke 3 pasca persalinan
mandi dengan pancuran tidak membahayakan luka insisi.
7.Pemeriksaan laboratorium
Hematokrit secara rutin diukur pada pagi hari setelah pemedahan.
Pemeriksaan ini dilakukan lebih dini apabila terdapat kehilangan
banyak darah selama operasi. Apabila hematokrit menurun selama
bermakna di bandingkan dengan kadar praoperasi, pemeriksaan di
ulang dan dilakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi penyebab
penurunan tersebut. Bila hematokrit rendah tapi stabil, pasien dapat
di amulasi tanpa kesulitan. Dan apabila terdapat kemungkinan
untuk terjadinya sedikit pengeluaran darah lanjutan, pasien lebih
baik di beri terapi suplemen besi (Fe).
8.Menyusui
Dapat dimulai pada hari pasca operasi seksio sesaria.
2.3.4 pencegahan infeksi pasca operasi
Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari
demam dan tetap terjadi pada sekitar 20 % wanita walaupun
mereka telah diberi antibiotik profilaksis. Kemudian sebagian besar
dokter menganjurkan pemberian 2gr dosis tunggal ampicilin,
sevaosforin, atau penicilin spektrum luas setelah janin lahir.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari makalah yang kami buat ini, kita dapat mengetahui
managemen pasca operasi khususnya yaitu pada pasca operasi caesar.
Dimana mangement ini memiliki beberapa tahapan yang harus
dilaksanakan secara sistematis. Jika tidak dilakukan secara sistematis
ditakutkan akan membahayakan pasien itu sendiri. Selain itu terdapat juga
perawatan pasca operasi yang membantu pasien untuk memulihkan
kondisi seperti keadaan sebelumnya.
3.2 SARAN
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat, pembaca
dapat mengetahui mangement pasca operasi caesar dan dapat memahami
perawatan pasca operasi secara baik. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan, untuk itu kami memohon maaf dan meminta
saran bagi para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah MJ, Amir A.Etika Kedokteran dan hukum kesehatan.
Jakarta ;EGC :2001
Nurdadi S. Sectio Caesaria Karena permintaan pasien.Jakarta: POGI
JAYA ; 2008
Rasjidi,Imam. Manual Seksio sesaria dan Laparotomi kealainan. Jakarta.
Sagung seto. 2009