16
1 EKSTRADISI SEBAGAI SEBUAH PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Pendahuluan Dalam konteks globalisasi dan internasionalisasi saat ini, perkembangan kompleksitas pola hubungan antar negara, komunikasi lintas batas nasional, dan hubungan antar masyarakat global telah mendorong berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan lintas batas negara atau kejahatan transnasional. Perkembangan kejahatan transnasional yang begitu cepat, menuntut negara-negara dunia, dalam kerangka penegakan hukum nasional dan mendorong terciptanya keamanan internasional, untuk memiliki sebuah instrumen hukum yang diakui secara bersama atau umum berdasarkan kebiasaan internasional dalam rangka memerangi dan memberantas kejahatan transnasional. Salah satu hambatan dalam mengatasi bentuk-bentuk kejahatan transnasional adalah kesulitan untuk menangkap pelaku kejahatan dan membawanya ke hadapan persidangan. Hal ini dikarenakan seringkali seorang pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di suatu negara, untuk menghindari jeratan hukum, maka pelaku kejahatan tersebut pergi ke negara lain sehingga berada di luar yurisdiksi hukum negara dimana dia melakukan tindak pidana sebelum dapat dilakukannya proses hukum terhadap tindak pidana yang telah dilakukan. Untuk bisa menangkap dan membawa pelaku tindak pidana tersebut kembali ke negara dimana tindak pidana dilakukan, negara bersangkutan perlu melakukan koordinasi dengan negara dimana pelaku tindak pidana bersembunyi, untuk kemudian meminta kepada negara tersebut agar bersedia menyerahkan pelaku tindak pidana tersebut. Ilustrasi tersebut memperlihatkan bahwa karakteristik kejahatan transnasional yang melibatkan dua negara atau lebih menuntut adanya interaksi dua atau lebih sistem hukum nasional dalam rangka penanganan kejahatan transnasional tersebut, khususnya dalam hal menentukan dan menempatkan kembali pelaku pidana pada yurisdiksi hukum yang paling berwenang untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana tersebut. Mekanisme penyerahan kembali pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ekstradisi. Interaksi diantara dua negara atau lebih dalam berjalannya ekstradisi ini mengandung 2 aspek utama yaitu aspek hukum dan aspek politik. Aspek hukum merujuk kepada terjadinya interaksi 2 atau lebih sistem hukum nasional yang memungkinkan terjadinya

Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

1

EKSTRADISI SEBAGAI SEBUAH PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Pendahuluan

Dalam konteks globalisasi dan internasionalisasi saat ini, perkembangan kompleksitas

pola hubungan antar negara, komunikasi lintas batas nasional, dan hubungan antar

masyarakat global telah mendorong berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan lintas batas

negara atau kejahatan transnasional. Perkembangan kejahatan transnasional yang begitu

cepat, menuntut negara-negara dunia, dalam kerangka penegakan hukum nasional dan

mendorong terciptanya keamanan internasional, untuk memiliki sebuah instrumen hukum

yang diakui secara bersama atau umum berdasarkan kebiasaan internasional dalam rangka

memerangi dan memberantas kejahatan transnasional.

Salah satu hambatan dalam mengatasi bentuk-bentuk kejahatan transnasional adalah

kesulitan untuk menangkap pelaku kejahatan dan membawanya ke hadapan persidangan.

Hal ini dikarenakan seringkali seorang pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana di

suatu negara, untuk menghindari jeratan hukum, maka pelaku kejahatan tersebut pergi ke

negara lain sehingga berada di luar yurisdiksi hukum negara dimana dia melakukan tindak

pidana sebelum dapat dilakukannya proses hukum terhadap tindak pidana yang telah

dilakukan. Untuk bisa menangkap dan membawa pelaku tindak pidana tersebut kembali ke

negara dimana tindak pidana dilakukan, negara bersangkutan perlu melakukan koordinasi

dengan negara dimana pelaku tindak pidana bersembunyi, untuk kemudian meminta

kepada negara tersebut agar bersedia menyerahkan pelaku tindak pidana tersebut.

Ilustrasi tersebut memperlihatkan bahwa karakteristik kejahatan transnasional yang

melibatkan dua negara atau lebih menuntut adanya interaksi dua atau lebih sistem hukum

nasional dalam rangka penanganan kejahatan transnasional tersebut, khususnya dalam hal

menentukan dan menempatkan kembali pelaku pidana pada yurisdiksi hukum yang paling

berwenang untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana tersebut.

Mekanisme penyerahan kembali pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki kewenangan

untuk melakukan proses hukum dan mengadili pelaku tindak pidana inilah yang kemudian

dikenal dengan istilah ekstradisi.

Interaksi diantara dua negara atau lebih dalam berjalannya ekstradisi ini mengandung

2 aspek utama yaitu aspek hukum dan aspek politik. Aspek hukum merujuk kepada

terjadinya interaksi 2 atau lebih sistem hukum nasional yang memungkinkan terjadinya

Page 2: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

2

ekstradisi. Sedangkan aspek politik merujuk kepada orientasi politik luar negeri masing-

masing negara yang terlibat dan kemudian menentukan apakah akan terjadi ekstradisi atau

tidak. Jika melihat kepada sejarah munculnya ekstradisi dan prakteknya selama ini, dapat

dilihat bahwa ekstradisi pada hakikatnya adalah kesepakatan diantara dua negara atau lebih

atau paling tidak menunjukan adanya hubungan kerjasama bilateral maupun multilateral

diantara dua negara atau lebih.

Ekstradisi tidak akan terjadi jika diantara dua negara atau lebih yang terlibat tidak

memiliki sebuah kesepakatan formil maupun hubungan bilateral dan multilateral. Ada atau

tidaknya kesepakatan dan hubungan bilateral maupun multilateral tersebut sangat

tergantung kepada orientasi kebijakan politik luar negeri masing-masing negara, sehingga

dalam kerangka ini, ekstradisi sebagai sebuah instrumen hukum internasional pada

dasarnya sangat tergantung kepada aspek politik yang dimanifestasikan dalam bentuk

kesepakatan dan hubungan bilateral maupun multilateral diantara dua negara atau lebih.

Di sisi lain, ekstradisi juga muncul dan dapat terjadi akibat dari dorongan kebutuhan

negara-negara dalam rangka penegakan hukum. Berkembangnya modus operandi tindak

pidana, perkembangan teknologi informasi, dan semakin mudahnya lalu lintas manusia dan

aset melewati batas-batas wilayah negara, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

menjadikan ekstradisi sebagai sebuah pilihan instrumen hukum internasional yang memang

dibutuhkan negara untuk menunjang penegakan hukum. Dalam kerangka ini, dimana aspek

penegakan hukum lebih dominan dibandingkan aspek politik, ekstradisi dipandang sebagai

sebuah bentuk perjanjian internasional yang memiliki kekuatan mengikat dan mensyaratkan

adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat di dalamnya.

B. Tinjauan Pustaka

1. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan salah satu bagian penting yang membentuk

hukum internasional. Perjanjian internasional menunjukan keberadaan hubungan antar

negara-negara dalam berbagai bidang, dimana untuk melindungi hak dan kewajiban masing-

masing negara yang terlibat dalam hubungan antar negara tersebut dibuatlah sebuah

pengaturan dan kesepakatan bersama yang mengikat para pihak. Dengan demikian, dalam

perjanjian internasional telah melekat aspek hukum yang ditunjukan dengan pengaturan

pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban serta mekanisme sanksi. Aspek hukum inilah

Page 3: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

3

yang kemudian menempatkan perjanjian internasional sebagai salah satu instrumen yang

membangun hukum internasional.

Merujuk kepada Konvensi Wina Tahun 1969, pengertian perjanjian internasional

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Brownlie adalah sebagai berikut:1

“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.

Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam

bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau

dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.

Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian internasional

dengan rumusan yang lebih luas, yaitu:

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional”.2

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan

sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat ditetapkan

sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu:

1) an international agreement;

Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional

yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau

permasalahan lintas negara.

2) by subject of international law (termasuk entitas di luar negara);

Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi

internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat

internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.

1 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition, 1979), hlm.

602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969. 2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84.

Page 4: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

4

3) in written form;

Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina

1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang

tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang

tidak diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement

seperti yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969.

4) governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta

menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);

Parameter tentang Governed by International Law merupakan elemen yang sering

menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional. Dalam

pembahasan tentang Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional

(International Law Committee) yang merancang konvensi tersebut merasakan

rumitnya pengertian “governed by international law”. Komisi ini mengatakan

suatu dokumen disebut sebagai governed by international law jika sudah

memenuhi dua elemen, yaitu:

a. Adanya maksud untuk menciptakan kewajiban dan hubungan hukum;

b. Tunduk pada rezim hukum internasional.

5) whatever form.

Definisi perjanjian internasional lebih mengutamakan prosedur perjanjian

daripada sekedar judul perjanjian internasional itu sendiri. Dengan kata lain,

penamaan atau judul dari suatu perjanjian internasional bisa berbeda, tetapi

pengaturannya tetap bersumber pada hukum perjanjian internasional

sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi Wina 1969.

2. Ekstradisi

Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana Hukum Internasional

sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bisa

dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua.3

Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa terdapat sebuah

perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II

3 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2004), hal.

28.

Page 5: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

5

dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang isinya kedua

pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri

atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain.4

Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin

“ekstradere”. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan, yang arti dan

maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan.5

Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki

tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya,

baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, multilateral regional, maupun

berbentuk peraturan perundang-undangan nasional Negara-negara. Bahkan pada tanggal 14

Desember 1990, Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang

Model Treaty on Extradition, meskipun hanya berupa model hukum saja, dan belum

merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai acuan oleh Negara-

negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua Negara

di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.6

Meskipun terdapat banyak perjanjian internasional maupun peraturan perundang-

undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan

kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan di dalam prakteknya, ada

Negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua

Negara tersebut belum terikat pada perjanjian ekstradisi, atau mungkin juga belum memiliki

peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus

ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang

ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar Negara-negara

di dunia.

Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik

berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan

prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan

(tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang

4 Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969), hal. 3)

5 I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 12.

6 I Wayan Parthiana, Op.Cit., Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, hal. 128.

Page 6: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

6

telah mempunyai kekuatan mengikat dan pasti (terhukum, terpidana), oleh Negara

tempatnya berada (Negara-diminta) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk

mengadili atau menghukumnya (Negara-peminta), atas permintaan dari Negara-peminta,

dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.7

Berdasarkan rumusan ekstradisi di atas, maka dapat ditarik beberapa unsurnya, yaitu:

1) Unsur subyek, yaitu Negara-diminta dan Negara/Negara-negara peminta;

2) Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka,

tertuduh, terdakwa, atau terhukum/terpidana;

3) Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata

cara atau formalitas tertentu; dan

4) Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya

(pelaksanaan hukuman).8

Selain unsur-unsur tersebut, ekstradisi memiliki beberapa asas yang telah diakui

secara internasional, yaitu sebagai berikut:9

1) Asas kejahatan ganda (double criminality principle), yaitu bahwa kejahatan yang

dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah

merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum Negara-peminta

maupun hukum Negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun

unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing

Negara berbeda-beda. Sudah cukup apabila hukum kedua Negara sama-sama

mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai suatu kejahatan atau tindak pidana.

Setidaknya ada tiga puluh dua jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang

Ekstradisi10;

2) Asas kekhususan (principle of speciality), yaitu apabila orang yang diminta telah

diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang

yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk

meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili atau dihukum atas kejahatan

7 Ibid., hal. 129. 8 Ibid. 9 Ibid., hal. 130. 10 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), Hal.

229-230.

Page 7: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

7

lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta

ekstradisinya;

3) Asas ne bis in idem atau non bis in idem, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan

untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau

dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti, maka

permintaan Negara-peminta harus ditolak oleh Negara-diminta11;

4) Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political

criminal). Jika Negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan

sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh Negara-peminta adalah tergolong

sebagai kejahatan politik, maka Negara-diminta harus menolak permintaan

tersebut. Tentang apa yang disebut kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga

saat ini belum ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam

praktek Negara-negara;

5) Asas tidak menyerahkan warga Negara (non extradition of nationals). Jika orang

yang diminta ternyata adalah warga Negara dari Negara-diminta, maka Negara-

diminta “dapat” menolak permintaan dari Negara peminta. Asas ini berlandaskan

pada suatu pemikiran, bahwa Negara berkewajiban melindungi warga negaranya

dan sebaliknya warga Negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan

dari negaranya;

6) Asas daluwarsa, yaitu bahwa permintaan Negara-peminta harus ditolak apabila

penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan alasan

untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta sudah daluwarsa menurut

hukum dari salah satu atau kedua belah pihak.

Selain keenam asas tersebut, dalam ekstradisi juga diakui asas resiprositas atau prinsip

timbal balik. Jika suatu Negara menginginkan suatu perlakuan yang baik dari Negara lain,

maka Negara tersebut juga harus memberikan perlakuan yang baik terhadap Negara yang

bersangkutan. Dalam konteks ekstradisi, jika kita mengharapkan Negara lain akan

menyerahkan tersangka, terdakwa atau terpidana yang diminta untuk diproses atau

dieksekusi menurut hukum nasional Negara kita, maka harus ada jaminan yang seimbang

bahwa Negara kita pada suatu saat diminta oleh Negara tersebut untuk menyerahkan

11 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang asas ini lihat kepada Pasal 20 Statuta Roma Mahkamah Pidana

Internasional.

Page 8: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

8

tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk diproses atau dieksekusi menurut hukum

nasional Negara tersebut.12

C. Pembahasan

Sebagai sebuah instrumen hukum dalam hukum internasional, keberadaan ekstradisi

dalam perkembangannya telah ditunjang oleh berbagai konvensi internasional. Dalam

konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan

sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya.

Konvensi-konvensi tersebut diantaranya adalah:13

1) Konvensi Menentang Kejahatan Perbudakan (Slavery Convention 1926, beserta

dengan protokol-protokolnya);

2) Konvensi Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas

Prostitusi (Convention for The Suppression of The Traffic in Persons and of The

Exploitation of The Prostitution of Others, 1949);

3) Konvensi Tentang Kejahatan Genocide (Convention on The Prevention and The

Punishment of the Crime of Genocide, 1948);

4) Kejahatan Penerbangan yang diatur di dalam tiga konvensi, yaitu:14

a. Konvensi Tokyo, 14 September 1963 (Kejahatan-kejahatan dan Tindakan

Tertentu Lainnya yang Dilakukan di dalam Pesawat Udara/Convention of

Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft);

b. Konvensi Den Haag, 16 Desember 1970 (Penanggulangan Pembajakan atau

Penguasaan Pesawat Udara Secara Melawan Hukum /Convention for the

Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft );

c. Konvensi Montreal, 23 September 1971 (Penanggulangan Perbuatan Melawan

Hukum Terhadap Keamanan Penerbangan Sipil / Convention for the

Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation).

12 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda dan

Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 401. 13 Sapto Handoyo, Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional, Jurnal Academia, Vol. 6, 2010, hal. 8. 14 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hal. 64-

65.

Page 9: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

9

5) Konvensi Tentang Kejahatan Terhadap Orang-orang yang Dilindungi Secara

Internasional (Convention on The Prevention and Punishment of Crimes Against

Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973);

6) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Perlakuan atau

Penghukuman yang Tidak Manusiawi atau yang Merendahkan Martabat

Kemanusiaan (Convention Against Torture and Others Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment, 1987);

Keberadaan pengaturan tentang ekstradisi dalam konvensi-konvensi internasional

seperti beberapa konvensi yang dinyatakan di atas menjadi indikasi bahwa ekstradisi pada

hakikatnya adalah sebuah aturan hukum yang memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak

yang terikat di dalamnya. Seluruh negara yang terikat dan/atau meratifikasi konvensi-

konvensi internasional di atas, memiliki hak sekaligus kewajiban secara hukum untuk

menggunakan ekstradisi dalam upaya penegakan hukum.

Konvensi sebagai bentuk dari sebuah perjanjian internasional berarti juga bahwa

konvensi-konvensi tersebut menjadi sumber hukum internasional, hal ini dikarenakan

perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana

yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.15 Perjanjian

Internasional apabila dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya menjadi

sumber yang paling utama dan ini dapat terlihat dari Pasal 38 Statuta ICJ yang meletakkan

perjanjian internasional pada urutan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian

internasional menduduki posisi tertinggi dalam hierarki sumber hukum internasional. Selain

itu, banyak sumber hukum internasional lain seperti kebiasaan internasional yang sudah

dikodifikasikan ke dalam bentuk perjanjian internasional. Dalam kerangka ini, ekstradisi

tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebiasaan internasional, akan tetapi sebuah perjanjian

internasional yang diturunkan dari perjanjian internasional sebelumnya.

Karakter dan tujuan ekstradisi sejak pertengahan abad ke-19 telah sangat maju dan

manusiawi dimana tujuan yang bersifat diskriminatif baik atas dasar etnis, ras, dan latar

belakang politik dalam perjanjian ekstradisi masa lampau telah ditiadakan dan sekaligus

15 Sumber-sumber hukum internasional terdiri dari : perjanjian internasional (international convention),

kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab (general principles of law recognized by civilized nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli.

Page 10: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

10

dimuat sebagai prinsip-prinsip yang wajib dipenuhi oleh para negara pihak dalam perjanjian

tersebut.16

Sudah tidak adanya tujuan-tujuan ekstradisi yang bersifat diskriminatif, rasialis,

maupun politis, menunjukan bahwa saat ini ekstradisi benar-benar dijadikan instrumen

hukum internasional yang digunakan dalam rangka menunjang upaya penegakan hukum,

khususnya dalam rangka membantu mengatasi kejahatan transnasional yang terus

berkembang pesat. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi, seperti yang dinyatakan di atas,

bahwa dalam ekstradisi terdapat prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh para pihak.

Penggunaan kata “wajib” dalam sebuah perjanjian internasional yang memiliki kekuatan

hukum, berarti bahwa ada unsur paksaan dalam menjalankan ketentuan yang bersifat wajib

tersebut, dengan kata lain ada kewajiban hukum dalam sebuah perjanjian ekstradisi, dimana

dalam setiap kewajiban hukum akan ada sanksi hukum bagi segala tindakan yang melanggar

kewajiban hukum tersebut.

Saat ini, perkembangan praktik hukum internasional dalam perjanjian ekstradisi

mencerminkan satu persepsi yang sama yaitu bahwa penyerahan seseorang dari suatu

negara ke negara tertentu lainnya dapat diwujudkan baik berdasarkan suatu perjanjian

maupun resiprositas atau berdasarkan suatu “comity” semata-mata. Sekalipun masih

banyak negara yang lebih suka melaksanakan ekstradisi melalui suatu perjanjian, akan tetapi

masih terjadi penyerahan/ekstradisi didasarkan atas dasar asas resiprositas atau comity

saja.17 Ekstradisi yang didasarkan kepada asas resiprositas dan/atau comity inilah yang

membuat ekstradisi dipandang sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Akan tetapi jika

dilihat dari sudut pandang penegakan hukum, dimana ekstradisi dibutuhkan untuk dapat

menjamin berjalannya proses penegakan hukum, maka dalam sebuah ekstradisi harus ada

kewajiban hukum yang dapat mengikat para pihak dan hal ini hanya dapat dimungkinkan

jika ekstradisi dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional yang memiliki kekuatan

mengikat secara hukum.

Dalam kaitannya dengan upaya pelaksanaan ekstradisi untuk meminta diserahkannya

seseorang yang menjadi terdakwa/tersangka sebuah kasus tindak pidana dari Negara-

diminta kepada Negara-peminta, maka pertanyaan besar yang muncul adalah apakah

16 Romli Atmasasmita, Ekstradisi Dalam Meningkatkan Kerjasama Penegakan Hukum, Jurnal Hukum

Internasional, Vol. 5 No. 1 Oktober 2007, hal. 6. 17 Ibid.

Page 11: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

11

Negara-diminta wajib melaksanakan permintaan penyerahan seseorang tersebut kepada

Negara-peminta?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui teori perjanjian pada umumnya,

sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN

Convention on the Law of the Treaty) tahun 1969, dan dapat dijawab berdasarkan praktik

hubungan internasional. Pertama, berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian

internasional yang berlaku, “pacta sunt servanda” (Pasal 26) dan ketentuan bahwa, suatu

negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan

dengan sistem hukum nasional (Pasal 27), maka permintaan ekstradisi wajib dipenuhi

sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam

praktik hubungan internasional, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi bilateral, prinsip-

prinsip umum di atas dapat disimpangi sepanjang penyimpangan tersebut disepakati kedua

belah pihak yang terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut.18 Penyimpangan tersebut

dapat diketahui dari ketentuan mengenai “refusal” (penolakan) atau “exception”

(kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi. Semakin banyak syarat penolakan suatu

permintaan ekstradisi dimuat dalam suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit

perjanjian tersebut dapat diwujudkan secara efektif.19

Penolakan dan pengecualian terhadap prinsip-prinsip umum perjanjian internasional

dalam sebuah perjanjian ekstradisi pada dasarnya bukanlah sebuah hal yang prinsip dan

seharusnya diminimalisir jika berbicara dalam konteks penegakan hukum. Ketentuan

penolakan dan pengecualian yang justru akan menghambat berjalannya sebuah proses

ekstradisi, dalam cara pandang yang sederhana, justru hanya akan membuat perjanjian

ekstradisi tersebut sama sekali tidak berguna, karena tujuan utama dari munculnya

ekstradisi adalah mempermudah proses penyerahan seseorang tersangka atau terdakwa

kasus tindak pidana dengan cara menjembatani perbedaan sistem hukum diantara dua

negara atau lebih yang terlibat dalam proses ekstradisi tersebut. Dengan demikian jika

ternyata sebuah perjanjian ekstradisi justru “menambah” perbedaan diantara dua sistem

hukum nasional, maka seharusnya perjanjian ekstradisi tersebut tidak diperlukan karena

pada akhirnya akan mempersulit upaya penegakan hukum yang akan dijalankan.

18 Penyimpangan semacam ini dapat dibenarkan sepanjang dilakukan atas dasar “itikad baik” (in good

faith), dan tidak juga bertentangan dengan prinsip “state souvereignty” sebagaimana dicantumkan dalam setiap perjanjian bilateral atau multilateral pada umumnya, baik secara eksplisit maupun implisit.

19 Romli Atmasasmita, Op.Cit., 2007, hal. 7-8.

Page 12: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

12

Sebagai contoh, di dalam perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura tahun 2007,

pada Pasal 1 ditegaskan:

“Each Party agrees to extradite to other...any person who is found in the territory of the Requested Party and is wanted in Requesting Party for any prosecution or for the imposition or enforcement of a sentence in respect of an extraditable offence, as described in Article 2of this Treaty, committed within the jurisdiction of the Requesting Party”.

Ketentuan tersebut diperkuat Pasal 2 ayat (4) yang menegaskan bahwa perjanjian ini

dapat berlaku surut 15 (lima belas) tahun sejak perjanjian ini berlaku efektif. Kedua

ketentuan tersebut secara tersurat memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk

mengusut kembali para pelaku kejahatan, termasuk korupsi yang terjadi di masa lampau.

Namun demikian, ketentuan yang terlihat “menguntungkan” Indonesia tersebut

dikesampingkan oleh banyaknya kewajiban masing-masing negara terutama Indonesia,

untuk dapat melaksanakan perjanjian ini secara efektif. Pertama, dalam Pasal 4 tentang

“Mandatory Exception to Extradition”, dimuat sebanyak 9 (sembilan) syarat penolakan yang

bersifat wajib pada ayat (1) dan ayat (2); sedangkan di dalam Pasal 5, tentang “Discretionary

Exception to Extradition”, telah dimuat sebanyak 8 (delapan) syarat penolakan opsional,

dengan pengecualian pada ayat (2) dan ayat (3). Sebagai perbandingan, dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia

dan Australia, hanya memuat 5 (lima) syarat penolakan, baik yang bersifat “Mandatory

obligation” maupun yang bersifat “Non-mandatory obligation” (Pasal 9 ayat (1) dan ayat

(2)).

Kemajuan dan “keberuntungan” Indonesia dalam Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan

Singapura tersebut adalah diterimanya ketentuan penolakan prinsip nasionalitas dengan

bersyarat sebagaimana tampak dalam Pasal 5 ayat (3) dihubungkan dengan bunyi ketentuan

Pasal 5 ayat (1) huruf c. Kedua ketentuan tersebut merupakan celah hukum bagi Indonesia

yang dapat digunakan untuk memulangkan pelaku kejahatan asal warga negara Indonesia.

Dalam perjanjian ini, masih ada ketentuan yang menguntungkan Indonesia, yaitu prinsip

penolakan menyerahkan warga negara dapat diterobos dengan menetapkan bahwa status

kewarganegaraan seseorang di negara yang diminta ditetapkan ketika orang yang

bersangkutan melakukan kejahatan (lex tempus delicti) sehingga kemungkinan untuk

Page 13: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

13

meminta WNI yang telah berubah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura masih

dapat dilakukan.

Keuntungan kedua bagi Indonesia adalah, ketentuan penolakan dengan alasan

kewarganegaraan (nasionalitas) dikesampingkan untuk perkara-perkara terorisme dan

perkara suap atau korupsi (Pasal 5 ayat (2)). Keuntungan ketiga, walaupun perjanjian

ekstradisi tersebut masih mempertahankan prinsip “dual criminality” dengan sistem daftar

enumerative (enumerative list) akan tetapi masih dimungkinkan untuk tidak ditafsirkan

secara ketat (kaku) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2). Namun demikian, syarat

penolakan lainnya yang bersifat wajib (Mandatory obligation) in casu Pasal 4 dan yang

bersifat “non-mandatory” (Pasal 5), menghambat pelaksanaan bunyi ketentuan Pasal 5 ayat

(1) huruf c dan Pasal 5 ayat (3).

Terlepas dari keuntungan dan kerugian masing-masing pihak seperti yang

digambarkan dalam contoh perjanjian ekstradisi di atas, permasalahan serius yang harus

disadari dan dicermati bersama adalah bahwa ekstradisi kemudian dalam praktiknya tidak

lagi menjadi instrumen penegakan hukum, tetapi telah dijadikan instrumen bargaining

untuk kepentingan nasional dan politik luar negeri suatu negara. Hal ini berbeda jika

ekstradisi benar-benar dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah perjanjian internasional

yang mengikat yang merupakan turunan dari konvensi-konvensi internasional, maka

“pertarungan” kepentingan nasional tersebut dapat dikesampingkan dengan

mengedepankan penegakan hukum pemberantasan kejahatan transnasional sebagai tujuan

utama dari diadakannya sebuah perjanjian ekstradisi.

Mengutip pendapat Ketut Mandra20, yang mengatakan bahwa peranan atau fungsi

perjanjian internasional dalam pembentukan dan perkembangan hukum internasional dapat

diperinci atau digolongkan ke dalam tiga macam, yakni:

1) Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali

(confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing

rules of international law);

2) Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish)

kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk mengatur tindakan-

tindakan yang akan datang (for regulating future conducts);

20 I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum Internasional, Pro

Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16.

Page 14: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

14

3) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali, yang

belum ada sebelumnya.

Berdasarkan kepada pendapat di atas, jika ekstradisi dipandang sebagai sebuah

perjanjian internasional, maka ekstradisi harus menguatkan kembali prinsip-prinsip hukum

yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini adalah prinsip-prinsip hukum yang ada dalam

berbagai konvensi internasional yang mengatur ketentuan tentang ekstradisi. Penguatan

kembali prinsip-prinsip hukum ini pada dasarnya adalah untuk menegaskan kembali apa

sebenarnya tujuan dari keberadaan ekstradisi dan bagaimana peranannya dalam

perkembangan hukum internasional.

Ekstradisi yang muncul atas dasar kebutuhan untuk memudahkan proses penegakan

hukum dalam mengatasi berbagai bentuk kejahatan transnasional, haruslah benar-benar

secara konsisten dipandang dalam kerangka hukum pada tataran implementasinya,

sehingga tujuan utama penegakan hukum yang ada dalam ekstradisi dapat tercapai.

Pelaksanaan ekstradisi yang tidak berdasarkan atas perjanjian internasional, yaitu hanya

berdasarkan kepada asas resiprositas atau comity saja, haruslah dipandang sebagai sesuatu

yang bersifat alternatif ketika memang perjanjian internasional belum memungkinkan untuk

terjadi. Dalam hal ini, keberadaan asas resiprositas dan comity pada dasarnya adalah untuk

memudahkan berjalannya proses ekstradisi itu sendiri, sehingga tujuan penegakan hukum

dapat tercapai tanpa terkendala faktor-faktor lain seperti hubungan diplomatik, perbedaan

kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri, dan faktor-faktor lain yang lebih bersifat

politis.

D. Kesimpulan

Berdasarkan kepada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1) Ekstradisi memiliki tujuan utama penegakan hukum, dimana ekstradisi berperan

sebagai instrumen internasional yang membantu menjamin terlaksananya

penegakan hukum meskipun terdapat hambatan-hambatan yang bersifat politis

maupun teknis (seperti perbedaan sistem hukum nasional, perbedaan kebijakan

dan politik hukum, dan lain-lain);

2) Untuk dapat menjamin berjalannya penegakan hukum melalui ekstradisi, maka

ekstradisi haruslah dipandang sebagai sebuah perjanjian internasional yang

Page 15: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

15

diturunkan dari konvensi-konvensi internasional yang telah ada sebelumnya,

dengan sifat mengikat secara hukum sehingga di dalamnya terdapat kewajiban

mutlak dan bersifat prinsip terkait dengan pencapaian tujuan utama dari

ekstradisi;

3) Keberadaan asas resiprositas dan comity harus dipandang sebagai sebuah alat

bantu untuk menjamin berjalannya ekstradisi dalam rangka penegakan hukum

meskipun tidak terdapat perjanjian ekstradisi diantara dua negara terkait; bukan

sebaliknya, dianggap sebagai pilihan utama dalam menjalankan ekstradisi yang

pada akhirnya membuat aspek politis dalam pelaksanaan ekstradisi lebih besar

dibandingkan aspek hukum itu sendiri.

Page 16: Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional

16

E. Daftar Pustaka

Buku:

Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I,

Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969).

Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009).

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition,

1979).

I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung:

Mandar Maju, 1990).

------------------------, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya,

2004).

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting dalam KUHP Belanda

dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Aditama,

2000).

Jurnal:

I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan Perkembangan Hukum

Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981.

Romli Atmasasmita, Ekstradisi Dalam Meningkatkan Kerjasama Penegakan Hukum, Jurnal

Hukum Internasional, Vol. 5 No. 1 Oktober 2007.

Sapto Handoyo, Ekstradisi Dalam Hukum Pidana Internasional, Jurnal Academia, Vol. 6,

2010.