Upload
hidayat-muhtar
View
99
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abad ini telah menjadi saksi adanya dorongan yang besar bagi
perkembangan hukum internasional di banding dengan yang terjadi pada tahap
sebelumnya dari sejarah hukum internasional ini.hal tersebut merupakan akibat wajar
dari berkembanya interdependensi negara-negara dan peningkatan pesat hubungan-
hubungan antar negara negara karena berbagai macam penemuan yang di tunjukan
guna menagulangi kesulitan-kesulitan menyangkut waktu,ruang dan komunikasi.1
Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk,kasarnya dari
empat ratus tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek
negara-negara eropa modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi
mereka.2
Hukum internasional sendiri berkembang sangat pesat setelah berakhirnya
perang dunia ke II dengan tujuan utama untuk mengadili para penjahat perang nazi
seperti Herman Goring, Heinric himler dan beberapa penjahat nazi lainya lewat
Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg yang di bentuk oleh sekutu sebagai
pemenang perang antara lain Amerika Serikat,Uni Soviet, Inggris dan Perancis selain
itu sekutu juga mendirikan Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan
1 .Starke, Pengantar Hukum Internnasional, (Jakarta Sinar Grafika, 2010), Hal 8.2 Ibid. hlm. 17
1
Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah yang didirikan untuk mengadili
penjahat perang
Pengadilan ini sendiri memiliki tujuan untuk menyelidiki pelanggaran HAM
yang di lakukan oleh para pejabat serta jendral perang nazi dan jepang yang terjadi di
negara-negara yang di duduki oleh nazi dan jepang lewat kejadian yang kita kenal
sebagai holocaust yaitu suatu pemusnahan besar-besaran kaum yahudi oleh nazi dan
perbudakan oleh pihak jepang.
Konsepsi negara-negara Barat dari semula telah medominasi pemikiran
negara-negara yang tergabung dalam PBB waktu mereka,seusai perang dunia ke II
(1942-1945) yang amat dahsyat itu,ingin merumuskan suatu dokumen hak asasi
manusia yang dapat di terima secara universal.3
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat
internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi
terjadi di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina,
sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995, merupakan praktek
pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak pernah
dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi, perkosaan yang
sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk sipil
secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya
mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal
Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) dengan pertimbangan bahwa sudah
3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 2008, Hal 211.
2
meluasnya tindakan pelanggaran terhadap hukum humaniter termasuk praktek
pembersihan etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.4
Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak
kalangan yang menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka dan
hanya menjadi alat bagi negara-negara adikuasa seperti halnya Amerika Serikat untuk
memuluskan langkah politiknya dalam politik negara lain di sisi lain pembentukan
ICTY jauh dari objektifitas hukum karena yang mengadili adalah negara-negara yang
memiliki kepentingan di negara tersebut sebagai akibat belum adanya hukum
internasional atau peraturan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Indonesia sendiri telah mengalami berbagai macam pelanggaran HAM
seperti peristiwa 1965, Semanggi I, Semanggi II, Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari,
Peristiwa Tanjung Priok, Penembak Misterius, Penculikan Aktivis 1998, Kasus-Kasus di
Papua dan Aceh, Timor Leste yang membuat kejadian-kejadian tersebut merubah
perspektif dan paradigma masyarakat tentang perlindungan dan pertanggungjawaban
penyelesain peristiwa pelanggaran HAM akan tetapi dengan banyaknya korban jiwa tidak
membuat banyak pelaku pelanggar HAM dapat di seret di pengadilan sebagai akibat
masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia.
Kasus Semanggi merupakan salah satu kasus dimana terjadi suatu
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kalangan militer yang melakukan
penyerangan terhadap mahasiswa dengan peluru tajam dalam hal ini milter telah
4Lihat. https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bosnia Di akses tanggal 17 November 2016, Pukul 12.30. WITA.
3
melakukan Kejahatan Terhadap Kemanusia dan dapat diadili dengan Asas
Pertanggungjawaban Komando.
Peristiwa Semanggi I. Mahasiswa berdemonstrasi untuk menolak sidang
istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis
ekonomi. Delapan belas orang meninggal karena ditembak aparat, lima orang
diantaranya adalah mahasiswa, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi,
Heru Sudibyo dan BR Norma Irmawan. Korban yang luka-luka sebanyak 109 orang,
baik masyarakat maupun pelajar. 5
Peristiwa Semanggi II. Mahasiswa berdemonstrasi merespon rencana
pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, karena dianggap bersifat
otoriter tak jauh dari UU Subversif. Aparat keamanan kembali melakukan
penembakan kepada mahasiswa, relawan kemanusiaan, tim medis dan masyarakan
yang menimbulkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap
Yun Hap di bilangan Semanggi Jakarta. Korban luka-luka mencapai 217 orang.
Represifitas aparat juga diberlakukan kepada mahasiswa-mahasiswa seluruh
Indonesia, tiga orang mahasiswa diantaranya, yaitu Yusuf Rizal (mahasiswa Bandar
Lampung) dan Saidatul Fitira (mahasiswadi Lampung) serta Meyer Ardiansah
(mahasiswa IBA Palembang).6
Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar
pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal
5 Lihat. Kertas Kerja Kontras“Hak Asasi Diakui tapi Tidak Dilindungi”. Hal 1.6 Ibid
4
tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto
rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas,
karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus
itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di
tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus.7
Pemerintah dalam hal ini DPR tidak mempunyai tujuan baik dalam
penyelesain kasus semanggi dimana DPR sebagai wakil rakyat tidak memberikan
suatu keadilan bagi penyelesain kasus semanggi yang membuat impunitas yang ada di
Indonesia semakin menggurita dan pelaku pelanggaran HAM berat tetap bebas dan
tidak di adili di depan Pengadilan karena Indonesia harus lebih proaktif dalam
penegakan hukum dengan salah satunya dapat mengadopsi atau meratifikasi
instrumen hukum tentang penegakan HAM di Indonesia salah satunya ialah Statuta
Roma tahun 1998.
Masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia sebagai akibat belum
terlaksananya secara maksimal Asas Pertanggungjawaban Komando biasanya dalam
penaganan kasus pelanggaran HAM serta penyelesainya hanya fokus kepada pelaku yang
melakukan pelanggaran secara langsung atau fisik akan tetapi para pejabat terkait dan
atasan mereka tidak di bebankan pelanggaran HAM walaupun mereka tidak melakukan
secara fisik tetapi mereka mengetahui dan ikut memerintahkan karena hal tidak mungkin
seorang prajurit melakukan suatu operasi tanpa sepengatahuan atau perintah dari atasan.
Dalam perkembanganya sebagai akibat belum adanya suatu peraturan
7 Lihat. https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi. Di akses tanggal 21 November 2016. Pukul 13.33 WITA.
5
Mengenai Hak Asasi Manusia secara universal akhirnya PBB berinisiatif untuk
membentuk suatu peraturan dan pembentukan lembaga permanen yang mengadili
tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk supermasi hukum dan
keadilan dalam penaganan Kasus pelanggaran HAM.
Pada 17 Juli 1998, 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations
Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International
Criminal Court menyetujui dibentuknya International Criminal Court (ICC) yang
diadopsi dari Statuta Roma tersebut.Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The
International Criminal Court) merupakan sebuah lembaga yudisial independen yang
permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-negara internasional, untuk
mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar menurut hukum
internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang.8
Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM
di berbagai negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen
dalam penegakan pelanggaran HAM belum melakukan Ratifikasi Statuta Roma
padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(Ranhamnas) 2004 – 20099 dan remhamnas 2009-201410, akan tetapi Ratifikasi masih
belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma menjadi hal sangat Urgen dalam
8Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008. 9 Lihat. Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.10 Lihat. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
6
penegakan HAM di Indonesia dalam menghapusankan berbagai praktek impunitas
yang terjadi di Indonesia sebagai legitimasi rakyat untuk mecapai suatu keadilan
padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan
dalam pasal 28 I ayat 4 dinyatakan:11
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Dalam hal ini sudah sangat jelas negara harus berperan aktif dalam
melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki
Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.12 Pengadilan
ini bersifat ad hoc (sementara) dan mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di masa lampau. Namun jika di lihat dari fakta di lapangan banyak pelaku
pelanggaran HAM berat tidak pernah di periksa akibatnya timbulnya Impunitas
terhadap pelaku Pelanggaran HAM padahal pelanggaran HAM Bukan hanya
mengenai kontak fisik tetapi ada pula asas Pertanggujawan Komando yang sangat
efektif dalam menjerat para pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis berkeinginan meneliti dan
memberikan sebuah gagasan dengan judul ”KAJIAN YURIDIS TERHADAP
ASAS PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (SUATU TINJAUN KRITIS
TERHADAP KASUS SEMANGGI)”
1.2. Rumusan Masalah
11 Lihat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.12 Lihat. Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.
7
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kajian Yuridis terhadap Asas Pertanggungjawaban Komando?
2. Bagaimana mengkonstruksi Statuta Roma dalam hal penerapan asas
Pertanggungjawaban Komando di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan permasalahan diatas antara lain
sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengentahui dan menganilisis Asas Pertanggungjawaban
Komando
2. Untuk dapat mengetahui dan menganalisis penerapan asas
Pertanggungjawaban Komando di Indonesia menurut Statuta Roma
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian hukum berdasarkan tujuan penelitian diatas
anatara lain sebagai berikut.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat mengembangkan konsep tentang HAM dan Ratifikasi
Statuta Roma di tinjau dari Praktek Impunitas dan Pertanggungjawaban Komando.
1.4.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.4.2.1. Bagi Peneliti
8
Agar dapat mengetahui, mengerti dan memahami bagaimana Proses
penegakan HAM di Indonesia, Manfaat Ratifikasi Statuta Roma oleh indonesia,dan
praktek impunitas serta Pertanggungjawaban Komando di Indonesia
1.4.2.2. Bagi Masyarakat
Memberikan pemahaman serta pengetahuan yang objektif tentang Ratifikasi
Statuta Roma oleh Indonesia dalam menghapus praktek Impunitas dan penegakan
Pertanggungjawaban Komando.
1.4.2.3. Bagi Pemerintah
Memberikan dorongan moral agar dapat Meratifikasi Statuta Roma sebagai
landasan untuk penyelesain kasus pelanggaran HAM.
1.4.2.4. Bagi Akademisi
Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan kajian ilmiah tentang
penggunaan Ratifikasi Statuta Roma dalam penghapusan Praktek Impunitas dan
Penegakan Asas Pertanggungjawaban Komando.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
2.1. Tinjauan Filosofis
2.1.1. Pengertian Kajian Yuridis
Kajian berasal dari kata mengkaji menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan
mempertimbangkan dan sebagainya, menguji menelaah baik buruk suatu perkara.13
Selanjutnya menurut Kamus Hukum kata Yuridis berasal dari kata Yuridisch yang
berarti menurut hukum atau dari segi hukum.14 Dapat disimpulkan Kajian yuridis
berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa untuk memahami suatu pandangan
atau pendapat dari segi hukum.
2.1.2. Pengertian Pertanggungjawaban
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pertanggungjawaban berasal dari
kata tanggungjawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya kalau terjadi
apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.15
Roeslan Saleh berpendapat bahwa:16
Pertanggungan jawab itu dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang disyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungan jawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.
13 Lihat. http://kbbi.web.id/kaji (Di akses tanggal 21 November 2016, pukul 15.00. WITA).14 M. Marwan dan Jimmy P. 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 651.15 Lihat. http://kbbi.web.id/tanggung%20jawab (Di akses tanggal 17 November 2016, pukul 10.00. WITA).16Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungja waban Pidana, 1982, Ghalia Indonesia, hal.33-34.
10
Uraian konsep ”pertanggungjawaban” (liability), dilihat dari segi falsafah
hukum selanjutnya lebih dipertegas oleh seorang filosof besar dalam bidang hukum
pada abad ke 20, yaitu Rouscou Pound, dalam ”AnIntroduction to the Philosophy of
Law”, yang mengemukakan pendapat bahwa :17
”I ... use the simple word ”liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjected to the exaction”
Teori pertama, menurut Pound bahwa liability diartikan sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang
yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-
undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan
adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka
pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa
kemudian menjadi suatu kewajiban. Berdasarkan hal tersebut maka, konsepsi liability
diartikan sebagai ”reparation”, sehingga terjadilah perubahan arti konsepsi
”liability” dari ”composition for vengeance” menjadi ”reparation for injury”.
Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi dengan
penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari ”liability” atau
”pertanggungjawaban”.18
Perkembangan konsep Pertanggungjawaban dalam dunia hukum
kontemporer menjadi suatu hal yang sangat urgen pertanggunjawaban bukan saja
17 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, cetakan pertama, 2000, Mandar Maju, Bandung,hal. 65.18 Ibid. Hlm 65-66
11
dapat di artikan sebagai bagian menganti suatu materi atas kerugian yang dialami tapi
lebih mengarah kepada tindakan apa yang telah dilakukan seseorang sehinga dapat di
jatuhi hukuman.
Selanjutnya Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dikatakan bahwa
seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan harus memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban seperti berikut:19
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)b. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawabc. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaand. Tidak adanya alasan pemaaf.
Dari berbagai Pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa
Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang
berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.
2.2. Pengertian Dan perkembangan Tanggung jawab Komando Terhadap Pelanggaran HAM yang Berat Dan Kejahatan Perang Dalam Hukum Internasional
2.1.1. Pengertian Tanggung jawab Komando Menurut Hukum Internasional
Berbicara tentang konsep pertanggungjawaban komando berlaku bagi seorang
atasan dalam pengertian yang luas, termasuk kepala negara, kepala pemerintahan,
menteri dan pimpinan perusahaan. Dalam doktrin hukum Internasional mengenai
pertanggungjawaban komando adalah doktrin yang berhubungan dengan
19 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,cetakan keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. Hal 164.
12
pertanggungjawaban pidana secara individual yang dikembangkan melalui kebiasaan
dan praktek-praktek pengadilan kejahatan perang, terutama seusai perang dunia ke-II.
Hugo Grotius menggunakan analogi ”tanggung jawab orang tua” (parental
responsibility) untuk menggambarkan pertanggungjawaban komando:20
“Orang tua bertanggung jawab terhadap kesalahan anaknya sepanjang anaknya masih ada dalam kekuasaan mereka. Di sisi lain, walaupun orang tua memiliki anak yang berada di bawah kekuasaannya namun orang tua tersebut tidak mampu lagi untuk mengendalikan mereka, maka orang tua tersebut tidak lagi harus bertanggung jawab kecuali jika ia memiliki pengetahuan. Jadi dalam hal ini seorang dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain apabila memenuhi dua elemen, yaitu (1) pengetahuan (2) gagal untuk mencegah.”
Dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 asas
Pertanggungjawaban Komando di atur dengan jelas pada Pasal 86 ayat (2) AP I
berbunyi :21
“The fact a breach of the conventions or of this Protokol was committed by a subordinate does not absolve his duperiors from penal or disciplinary, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not all feasible measures within their power to prevent or repress the breach”.
Pasal ini tidak menciptakan suatu aturan hukum baru, tetapi menjelaskan
tentang aturan hukum kebiasaan bahwa pelanggaran dapat timbul sebagai akibat dari
tidak dilakukannya suatu kewajiban. Pasal 86 ayat (2) menetapkan tanggung jawab
seorang atasan dalam kaitannya dengan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.
Dalam hal ini atasan wajib melakukan intervensi dengan cara mengambil semua
20 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando Suatu Telaah Teoritis. (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 421 Lihat. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 Pasal 86 ayat (2) AP I.
13
lengkah yang memungkinkan sesuai kewenangan yang dimiliki untuk mencegah, atau
menindak pelanggaran tersebut.
Selanjutnya dalam Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 28 huruf
(a) Statuta ICC menyatakan:22
Seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer bertanggung jawab secara kriminal atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan kendalinya secara efektif, sebagai akibat kegagalannya dalam menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap pasukan tersebut, dalam hal :a. Bahwa komandan militer mengetahui atau berdasarkan keadaan yang
berlangsung saat itu, mesti telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b. Bahwa komandan militer tidak berhasil mengambil semua tindakan yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah atau menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang dibidang penyelidikan dan penuntutan.
Berkaitan dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak tercakup dalam
pasal di atas, pasal 28 huruf (b) menyatakan seorang atasan bertanggung jawab secara
kriminal atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh
bawahan yang berada di bawah kekuasaan dan kendali efektifnya, sebagai akibat
kegagalannya dalam menjalankan pengendalian yang semestinya terhadap bawahan
tersebut, dalam hal :23
a. Atasan mengetahui, atau secara sadar mengabaikan informasi yang dengan jelas mengindikasikan bawahannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan.
b. Kejahatan tersebut berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian atasan secara efektif.
22 Lihat. Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 28 huruf (a).23 Lihat. Statuta International Criminal Court (ICC) Pasal 28 huruf (b).
14
c. Atasaan gagal mengambil semua upaya yang semestinya dan diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah dan menindak terjadinya kejahatan atau mengajukan pelanggaran tersebut kepada lembaga yang berwenang di bidang penyelidikan dan penuntutan.
Perintah seorang Komandan yang di maksudkan adalah perintah yang tidak
bertentangan dengan hukum, apabila perintah tersebut (eksplisit maupun implisit)
bertentangan dengan hukum maka komandan (atasan) dan bawahan harus
bertanggungjawab secara hukum. Hal lain dapat terjadi perintah seorang komandan,
atasan atau pejabat berwenang subtansinya di luar kewenanganya, sehingga di
katakan sebagai penyimpangan kekuasaan (abuse of power) sebagai salah satu
sumber pelanggaran hukum bawahan.24
Secara prinsip komandan atau atasan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana dalam dua kategori. Pertama, tanggung jawab muncul karena adanya tindakan
pelanggaran hukum yang dilakukan komandan dalam merespon situasi dalam hal ini
berupa keterlibatan komandan atas perintah dan perencanaanyang mengakibatkan
bawahan melakukan pelanggaran hukum. Kategori pertama yang dikenal dengan
tanggungjawab komando secara langsung (vicariuos atau direct command liability).25
Kedua seorang komandan atau atasan bertanggung jawab secara pidana
karena tidak melakukan tindakan apapun sesuai dengan kewenangan dan kekuasaan
yang dimilikanya. Komandanmembiarkan terjadi pelanggaran hukum (omission)
bawahanya atau tidak mengambil upaya yang tepat untuk menghentikan dan
24 Wahyu, Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hukum Militer, Jakarta, 2014. Hal 208-209.
25 Ibid. hlm. 209.
15
menindak bawahanya sebagai pelaku kejahatan. Tanggung jawab komandan dalam
hal ini adalah tanggung jawab komando yang bersifat tidak langsung (indirect
command responsibility atau imputed liability).26
Dari berbagai urain di atas dapat di simpulkan bahwa Pertanggungjawaban
komando adalah suatu mekanisme untuk menghukum para atasan sebagai akibat
pembiaran yang dilakukan atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya,
dimana atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan yang
dilakukan oleh bawahannya khususnya dalam pelanggaran HAM berat dimana atasan
mempunyai kendali efektif (kesalahan dari atasan ataupun komandan tersebut).
Bentuk kesalahannya adalah mengetahui atau sepatutnya mengetahui tetapi tidak
mengambil tindakan-tindakan hukum berupa pencegahan, penanganan dan tidak
melaporkannya. Komandan atau atasan tersebut yang harus melapor adalah bentuk
kewajibannya.
2.1.2.Perkembangan Tanggung Jawab Komando Terhadap pelanggaran HAM yang berat Dan Kejahatan Perang Dalam Hukum Internasional.
Perkembangan Tanggung Jawab Komando mencapai puncaknya saat pecah
perang dunia ke II sebagai akibat timbulnya suatu tindakan yang luar biasa kejam
terhadap manusia yang membuat para pemimpin dunia memandang perlu adanya
pengaturan lebih lanjut atas kejahatan ini akan tetapi perkembangan tanggung jawab
26 Ibid. hlm. 209-210.
16
komando telah berkembang beberapa abad sebelumnya di eropa. Dari ketentuan-
ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab komando serta proses hukum
yang berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, akan dikemukakan elemen-elemen
pokok yang menjadi dasar penentuan kesalahan seorang komandan atau atasan atas
dasar doktrin tanggung jawab komando atau tanggung jawab atasan.
Mulanya, Raja Charles Vll dari Perancis di Orleans pada tahun 1493
mengeluarkan perintah yang tegas berkaitan dengan doktrin tanggung jawab
komando. Perintah tersebut menyatakan:27
”Raja memerintahkan bahwa setiap kapten atau letnan bertanggung jawab atas penyimpangan, tindakan buruk dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kompinya, dan setelah ia menerima suatu pengaduan mengenai adanya kesalahan atau penyimpangan tersebut, ia membawa pelakunya ke pengadilan sehingga pelakunya dihukum sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Jika ia tidak melakukan hal itu atau menutupi kesalahan atau tidak mengambil tindakan, atau jika, karena kelalainnya atau kesengajaannya pelaku kejahatan melarikan diri sehingga terhindar dari hukuman, kapten tersebut harus dianggap bertanggung jawab atas kejahatan tersebut seolah-olah ia telah melakukan sendiri kejahatan itu dan harus dihukum sama seperti yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan”.
Beberapa aspek penting mengenai doktrin tanggung jawab komando yang
terdapat dalam perintah raja Charles tersebut adalah: pertama, komandan
bertanggung jawab untuk mengendalikan perilaku termasuk cara bertindak yang
dilaksanakan oleh bawahannya agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang
berlaku; kedua, komandan berkewajiban untuk memproses setiap bawahannya yang
terlibat sebagai pelaku kejahatan secara hukum; ketiga, jika komandan karena
kelalaian atau kesengajaan membiarkan kejahatan terjadi dan tidak melakukan kedua 27 Natsri Anshari, Dalam Artikel Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum Internasional dan hukum nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1 No.1, Edisi Juli 2005. Hal. 50-51.
17
hal tersebut di atas, maka ia bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan yang
dilakukan oleh prajurit bawahannya.28
Lebih jelas lagi perkembangan doktrin tanggung jawab komando ini,
diberlakukan oleh Adolphus Gustavus ketika pada abad VII tahun 1621 ia
mengeluarkan suatu ketentuan yang dikenal sebagai pasal-pasal menegenai perang
(the articles of war). Diantaranya Pasal 46 yang menegaskan bahwa:29
”seorang kolonel atau kapten tidak boleh memberikan komando kepada prajuritnya untuk melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum; siapa yang melakukan yang demikian itu harus dihukum berdasarkan keputusan hakim”.
Setelah itu doktrin pertanggungjawaban komando diatur dalam instrumen
hukum Humaniter Internasional. Yang pertama yaitu dalam The Regulation Annexed
to 1907 Haque Convention IV mengenai penghormatan terhadap hukum dan
kebiasaan dalam perang di darat. Di dalam Regulation ini dikatakan bahwa sebagian
dari hukum, hak-hak dan kewajiban dalam perang yang berlaku bagi angkatan
bersenjata, juga berlaku bagi para milisi dan korps sukarelawan. Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh milisi dan korps sukarelawan, agar dapat dikategorikan
sebagai kombatan yang sah, antara lain yakni harus dipimpin oleh orang yang
bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan melaksanakan operasi militer
berdasarkan hukum dan kebiasaan dalam hukum perang. Dari ketentuan Regulation
ini dapat dilihat adanya aspek tanggung jawab sebagai salah satu syarat seseorang
atau sekelompok orang untuk dapat dikatakan sebagai kombatan.30
28 Ibid. hlm. 51-52.29 Ibid. hlm. 5230 Ibid. hlm. 53-54.
18
Pengaturan tanggung jawab komando terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Den
Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Ayat (1) dari Pasal 3
Konvensi Den Haag IV 1907 ini mengatakan bahwa setiap pihak yang bersengketa
yang melanggar ketentuan hukum perang bertanggung jawab untuk membayar
kompensasi jika kasusnya menghendaki demikian. Kemudian ayat (2) dari pasal yang
sama mengatur bahwa pihak yang bersengketa bertanggung jawab terhadap setiap
tindakan yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjatanya.31
Melihat ketiga Konvensi tersebut terdapat pengaturan tentang tanggung
jawab negara dan khususnya para Komandan berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi
Jenewa 1949. Hal yang sama juga terdapat dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Konvensi
jenewa I Tahun 1949 yang mengatur tentang tanggung jawab negara untuk
menjatuhkan sanksi pidana kepada mereka yang melakukan pelanggaran berat hukum
humaniter.32
31 Fadillah Agus, dalam makalah Tanggung jawab Komando oleh vonny (2009). Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Dan Kejahatan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 67.32 Pasal 49 dan Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: Pasal 49: Pihak peserta agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggarana berat atas konvensi ini seperti ditentukan di dalam pasal berikut. Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berta yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsannya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya,dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan, orang-orang tersebut untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung tersebut dapat menunjukkan suatu perkara prima facie. Tiap Pihak Peserta Agung Harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. Dalam segala keadaan, orang-orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tidak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan perang tanggal 12 Agusrus 1949 sebagaimana diatur dalam Pasal 105 dan seterusnya.
19
Dalam sejarah peradilan internasional, masalah tentang tanggung jawab
komando ini juga diterapkan dalam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo
terhadap pelaku kejahatan perang dari Nazi Jerman seperti telah di jelaskan di atas
bahwa asas pertanggungjawaban komando mencapai pucaknya pada saat perang
dunia ke II saat itu sekutu mengadili penjahat perang nazi dan jepang dalam suatu
pengadilan yang bersifat ad hoc untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saat
perang.
Adapun pengadilan Nurenberg dibentuk berdasarkan piagam Nurenberg atau
piagam London. Didalam Piagam London ini ditetapkan tiga kategori pelanggaran
atau kejahatan yang menjadi yuridiksi dari mahkamah Nurenberg yaitu; kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang),dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Yuridiksi Mahkamah tersebut diatur dalam Pasal 6 piagam Nurenberg.33
Pasal 50: Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan oleh pasal yang terdahulu ialah pelanggaran-pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut, apabila dilakukan terhadap orang-orang atau milik yang dilindungi oleh konvensi:pembunuhan disengaja, penganiayaanatau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis, menyebebkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum serta dengan semena-mena.33 Pasal 6 berisi 3 jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi (kompetensi absolut) mahkamah, yaitu:
a.Kejahatan Perdamaian; kejahatan terhadap perdamaian adalah perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau peperangan yang melanggar perjanjian internasional, atau ikut serta dalam suatu konspirasi untuk melakukannya;
b.Kejahatan Perang; pelanggaran terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang. ͨ : pembunuhan, perlakuan buruk, deportasi, perbudakan, perampasan, dan penghancuran;
c.Kejahatan Kemanusiaan; adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang berlangsung, atau penganiayaan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun dalam yurisdiksi Mahkamah, baik yang dianggap melanggar atau tidak melanggar hukum domestik di negara tempat kejahatan itu dilakukan.
20
Dengan melihat kedua mahkamah tersebut (Nurenberg serta Tokyo) dapat
dijelaskan bahwa apabila terjadi suatu kejahatan maka tanggung jawab berlaku bagi
para pemimpin, organisator, pemicu dan penyerta yang ikut serta dalam merumuskan,
atau melaksanakan rencana umum atau konspirasi untuk melakukan setiap kejahatan.
Baik pihak yang memberi perintah dan yang malaksanakan perintah sama-sama
bersalah melaksanakan kejahatan. Apabila Komandan yang bersangkutan tidak
memerintahkan (memberi perintah secara langsung) kejahatan tersebut tetapi ia
mengetahui atau semestinya mengetahui tindakan yang melanggar hukum dan tidak
mengambil tindakan yang semestinya maka komandan tersebut dapat dihukum.
Kemudian konsep tanggung jawab komando ini diatur dalam ICTY
(International Criminal tribunal for the former Yugoslavia) dan ICTR (Rwanda) serta
ICC. Dalam ICTY tanggungjawab komando diatur dalam Pasal 7 ayat (3) yang
menegaskan bahwa seorang komandan dapat dikenakan tanggung jawab mengenai
kejahatan yang dilakukan oleh prajuritnya yang berada dibawah komandonya jika ia
memerintahkan, atau menyadari atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan kejahatan serta ia gagal untuk mengambil langkah yang
diperlukan dan pantas guna mencegahnya. Hal yang sama juga dipertegas dalam
Pasal 6 ayat (3) ICTR.34
Pada saat itu slobodan milosevic Selama Perang Kosovo Milošević dikenai
tuduhan pada 27 Mei 1999, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap
34 Lihat. ICTY (International Criminal tribunal for the former Yugoslavia). Pasal 6 ayat 3 dan pasal 7 ayat 3.
21
kemanusiaan yang dilakukan di Kosovo. Ia diadili hingga kematiannya di
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang dinyatakannya tidak
legal, karena dibentuk berlawanan dengan anggaran dasar PBB.35
Istilah ”kejahatan terhadap kemanusiaan” (Crime Against humanity) bermula
sejak dikembangkan Petersburg Declaration tahun 1868. Namun perumusan
kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri belum dirumuskan dalam declaration
tersebut, melainkan perumusan tersebut terdapat dalam konvensi Den Haag 1907
(Haque Convention), yang merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan mengenai
konflik bersenjata. Dalam konvensi tersebut istilah kejahatan terhadap kemanusiaan
memakai istilah ”hukum kemanusiaan”(laws of humanity). Konvensi ini menyatakan
bahwa hukum kemanusiaan (laws of humanity) merupakan dasar perlindungan bagi
pihak kombantan maupun penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata. Adapun
kodifikasi ini didasarkan kepada praktek negara yang diturunkan dari nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang dianggap sebagai hukum kemanusiaan berdasarkan sejarah dari
berbagai kebudayaan.36
Seusai Perang Dunia ke-II, pengadilan militer Internasional (International
Military Tribunal/IMT) di Nurenberg memisahkan antara kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 6 Piagam London (London charter)
merumuskan kejahatan perang (war crimes) sebagai pelanggaran terhadap hukum dan
kebiasaan perang yang meliputi antara lain pembunuhan, perlakuan kejam, atau
35Lihat. https://id.wikipedia.org/wiki/Slobodan_Milo%C5%A1evi%C4%87 Di akses tanggal 17 November 2016. Pukul 13.00. WITA.36Makalah Kejahatan Terhadap kemanusiaan, Elsam hal.2
22
deportasi secara paksa untuk dijadikan budak, yang dilakukan terhadap penduduk
sipil. Sedangkan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk
didalamnya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan perbuatan yang
tidak menusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, baik yang
dilakukan sebelum atau ketika perang berlangsung. Kejahatan terhadap kemunusiaan
ini juga meliputi penyiksaan terhadap penduduk sipil yang didasarkan pada alasan-
alasan politik, rasial dan agama.37
Perkembangan hukum Internasional untuk memerangi kejahatan terhadap
kemanusiaan mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli 1998, yakni pada
waktu konferensi diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang pendirian
mahkamah pidana Internasioanal (Rome Statute on the establishments of the
International Criminal Court/ICC), yang akan mengadili pelaku kejahatan yang amat
serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu kejahatan terhadap
kemanusiaan, genoside dan kejahatan perang.38
2.3. Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia Untuk Penegakan Asas Pertanggungjawaban Komando.
2.1.1.Pembentukan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Istilah Pengadilan HAM untuk pertama kalinya disebutkan secara formil
dalam Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 104 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini menyatakan
37 Ibid.38 Ibid.
23
bahwa pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat,
seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar
putusan pengadilan (arbitary/extra judicialkilling), penyiksaan, penghilangan orang
secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 rome
statute of the international criminal court.39
Peraturan Perundang-undangan ini menjadi tonggak sejarah tersendiri bagi
Indonesia yang baru menyelesaikan undang-undang ini di tenha kekacaun politik
yang melanda waktu itu. Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia seperti menjadi nafas baru serta harapan baru demi terwujudnya Keadilan,
Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Perpu tersebut sesungguhnya dipersiapkan
pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, yaitu sehubungan dengan terbentuknya opini
umum, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam dapat dilihat pada situasi politik
waktu itu masyarakat mendesak dan menghendaki pemerintah melalui pengadilan
untuk segera mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat.
Di keluarkannya Perppu a quo kemudian dipandang sebagai solusi untuk
memberikan kepastian awal bagi masyarakat dan dunia internasional bahwa
Indonesia memiliki kemauan untuk memproses segala bentuk pelanggaran atau
kejahatan HAM. Potret ini jika dilihat dari aspek politik hukum, maka proses
pembentukannya bertitik tolak atas perkembangan hukum masyarakat dalam negeri
39 Lihat. penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 junto penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000.
24
dan dan masyarakat global, dengan kata lain proses ini memiliki tendensi untuk
kepentingan nasional agar tetap eksis dalam percaturan dunia global. Apabila
Indonesia tidak segera merespon situasi politik pada saat itu, dapat dipastikan
Indonesia yang telah mentasbihkan diri bergabung dengan PBB akan dikucilkan
dalam pergaulan dunia. Hal ini mengingat PBB secara tegas menjunjung nilai
universal HAM dan berkomitmen menegakannya.
Mengingat masyarakat belum merasa puas jika payung hukum pengadilan
HAM hanya berdasarkan Perpu, maka masyarakatpun mendesak pemerintah untuk
segera mengesahkan Perpu a quo menjadi UU. Akhirnya pada tahun 2000 Perpu a
quo disahkan menjadi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM. Dengan demikian, pemberlakuan UU a quo merupakan bagian dari program
strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia
dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum nasional
yang berlaku dan proses pemgadilan dapat dilaksanakan oleh bangsa sendiri.40
Kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan
negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula
seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih
baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM
terutama yang dilakukan oleh penguasa.41
40 Lihat. penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.41 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005), hlm. 32
25
Pemerintah ketika hendak merumuskan atau membuat aturan HAM harus
memiliki pertimbangan matang dan koheren dengan situasi politik yang ada. Maka
dalam konteks UU tentang pengadilan HAM, pertimbangan pemerintah dalam
penyusunan UU pengadilan HAM (sebelumnya RUU) adalah sebagai berikut:42
1. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan demikian merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia;
2. Dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini mengingat kebutuhan hukum yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat.
3. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
2.1.2.Kelemahan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.
Undang-undang tentang pengadilan HAM adalah sebagai akibat tekanan
internasional untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada tahun 1998 saat itu
pemerintah membuat dengan terburu-buru dan kurang memperhatikan subtansi dari
Undang-undang yang di buat yang membuat banyak produk undang-undang HAM
42 Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2007), hlm. 4-5
26
menjadi Absurt atau kabur mengakibatkan ketidakjelasan dalam menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.
Pembentukan undang-undang a quo terjadi ketika terungkapnya fakta telah
terjadi pelanggaran HAM berat di Indoensia, sehingga muncul desakan dari PBB
untuk segera diadili pelaku-pelakunya. Mengingat waktu itu Indoensia belum
mempunyai instrumen hukumnya, maka muncul gagasan dari PBB agar pelakunya
diadili melalui pengadilan HAM internasional atau Mahakamah Internasional.
Apabila hal itu terjadi, maka yuridksi hukum nasional tidak ddigunakan dalam proses
mengadili pelaku-pelakunya. Sehingga sebagai langkah antisipasi, pemerintah
membentuk Pepru sebagai legitimasi pembentukan pengadilan HAM, kemudian
disahkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000. Proses tersebut jelas sangat mendadak dan
terburu-buru karena seolah-olah hanya dimaksudkan agar menghindarkan para pelaku
pelanggaran HAM berat dari jerat Mahkamah Pidana Internasional. Selain itu juga
diiringi motif Indonesia untuk mengadili pelaku di Indonesia dengan hokum nasional
yang ada.43
Adapun titik lemah dalam UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia antara lain sebagai berikut, yaitu:
1. Meluas atau Serangan sistematis terhadap penduduk sipil ‟44 dalam Statuta Roma menjadi ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil45, padahal seharusnya berbunyi ditujukan kepada populasi sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi pada seolah-olah hanya pelaku di lapangan
43Lihat. h.;ttp://osdir.com/ml/culture.region.%20indonesia.ppi-india/2005-03/msg00596.html diakses tanggal 17 November 2016.44 Lihat Pasal 7 Statuta Roma Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusian.45 Lihat Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
27
saja yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak tercakup dalam pasal ini. istilah “penduduk” untuk menerjemahkan kata “population” telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah yang akan menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya kepada warga negara dimana kejahatan tersebut berlangsung.46 Hal diatas berkaitan erat dengan „delik tanggung-jawab komando‟ sebagaimana yang diatur di dalam pasal 42 ayat 1 yang menyatakan :47 “Komandan Militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau dibawah kekuasan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengandalian pasukan secara patut…..”.Penggunaan kata dapat dan bukannya kata akan atau harus, telah menyebabkan bahwa tanggungjawab komando dalam kasus pelanggaran HAM berat tidak bersifat wajib, tapi lebih dibebankan kepada pelaku langsung di lapangan (dalam hal ini para anak buah/prajurit dilapangan);
2. Disamping persoalan-persoalan adopsi/penerjemahan yang tidak sesuai yang penulis sebutkan diatas (lepas apakah hal itu disengaja atau tidak), terbukti telah menyebabkan munculnya pengertian/penafsiran yang berbeda pada isi pasal-pasal yang ada dalam UU No. 26/2000 dengan ketentuan yang ada pada Statuta Roma yang dijadikan dasar/rujukan. Tapi yang tidak kalah penting adalah tidak adanya/tidak dicantumkannya apa yang disebut sebagai element of crimes di dalam UU Peradilan HAM. Karena dalam element of crimes itulah secara jelas terdapat elaborasi atas unsur-unsur, definisi-definisi dan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga perbedaan penafsiran maupun interpretasi dalam hal ini bisa diminimalkan.
Dari urain di atas kita dapat melihat bahwa UU tentang HAM yang berlaku
di Indonesia masih sangatlah lemah dalam menjerat para pelaku kejahatan HAM
sebagai akibat masih adanya multitafsir terhadap Undang-undang No 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM akibatnya banyak pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia
yang tidak dapat di proses terutama para Komando Militer karena mereka masih
mempunyai cela dalam memahami frasa kata yang terdapat dalam Undang-undang
46 Zainal Abidin. Op. cit, hlm. 1147 Lihat Pasal 42 Ayat 1 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
28
tersebut hal ini pasti akan berimplikasi kepada praktek impunitas yang makin tumbuh
subur dalam sistem hukum Indonesia.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yakni Kajian Yuridis Terhadap
Asas Pertanggungjawaban Komando Suatu Kajian Kritis terhadap kasus semanggi
Penelitian ini menganalisis kedua rumusan masalah secara normatif. Analisis dengan
cara normatif dilakukan dengan cara kajian kepustakaan terkait penegakan asas
29
Pertanggungjawaban Komando yang belum di laksanakn secara optimal di Indonesia.
Penelitian hukum normatif atau penlitian hukum doctrinal, yaitu penelitian hukum
yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan.48
3.2. Pendekatan Penelitian
Peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa pendekatan hukum
menurut Peter Mahmud Marzuki, yakni:49
1. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka sejarah lembaga hukum dan
perkembangan pemikiran hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat
membantu peneliti memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu.
Disamping itu, melalui pendekatan demikian peneliti juga dapat memahami
perubahan-perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi aturan hukum
tersebut. Dalam pendekatan historis ini, maksud calon peneliti adalah melihat tujuan
di berlakukanya Asas Peratnaggungjawaban Komando di dunia dan khusunya
Indonesia.
2. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami
hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
48 Mukti Fajar ND dan Yuliyanto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:, 2010), hal 154.49 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Surabaya: Prenadamedia Group, 2005), hal.136-176
30
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat negara melalui
prosedur yang ditetapkan dalm peraturan perundang-undangan.50 Dari pengertian
tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa
legislasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan perundang-undangan adalah
pendekatan menggunakan legislasi dan regulasi. Selain itu penulis juga akan
melakukan pendekatan peraturan Internasional seperti Konvensi, Traktat, Statuta
Roma (ICC), Perauran Pengadilan Ad hoc.
Peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah
Peraturan Internasional yang di gunakan di penelitian ini adalah:
1) Konvensi
2) Traktat
3) Statuta Roma (ICC)
4) Pengadilan Ad hoc
3. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
50 Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
31
Pendekatan konseptual dilakukan manakala calon peneliti tidak beranjak dari
aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada
aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam pendekatan ini, calon peneliti
memikirkan bagaimana seharusnya permasalahan ini dijawab setelah dilakukan
penelitian menggunakan metode pendekatan historis dan pendekatan pernudang-
undangan.
3.3. Bahan Hukum
Pada penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian
hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari
kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu dikenal istilah bahan hukum.51 Penelitian
hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian
umumnya disebut bahan hukum sekunder.52 Bahan hukum yang digunakan di dalam
penelitian ini terbagi atas primer dan sekunder:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas, dalam
penelitian ini terdiri dari;
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
51 Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti), 2004), hal. 41 52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 24
32
d. Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
e. Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
f. Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
g. Konvensi Den Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
h. Konvensi jenewa I Tahun 1949 tentang Tanggung Jawab Negara.
i. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977.
j. Statuta International Criminal Court (ICC).
k. International Criminal tribunal for the former Yugoslavia.
l. International Military Tribunal/IMT) Nurenberg.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu
atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian. Bahan hukum sekunder
berfungsi memperkuat penjelasan. Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari
buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi atau hasil-hasil penelitian lainnya.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dapat
bersumber dari dari Blibliografi, Indeks Kumulatif, Kamus-Kamus maupun akses
internet yang kredibel.53
3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam sebuah penelitian normatif
53 Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), Hal. 67
33
dilakukan dengan cara telaah arsip, dokumen perundang-undangan atau studi pustaka
seperti buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi atau publikasi hasil penelitian
lainnya.
3.5. Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah hermeneutika hukum.
Hermeneutika hukum sendiri adalah metode penafsiran hukum yang ditijukan untuk
mendapatkan kejelasan dari suatu hal. Tahapan analisis bahan hukum, diawali dengan
pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer berupa
konstitusi, undang-undang, sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku, dan
publikasi hasil penelitian. Bahan hukum primer dan sekunder ditelaah dan dianalisis
sehingga melahirkan suatu konsep yang berkaitan dengan judul penelitian tersebut.54
54 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 308
34
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konstitusi Press,
2006.
Atmasasmita Romli, Perbandingan Hukum Pidana, cetakan pertama, Mandar Maju,
Bandung, 2000.
Arinanto Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cetakan ke
II , Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005
Abidin Zainal , Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, 2007.
Budiardjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008.
35
Fajar ND Mukti dan Achmad Yuliyanto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta:, 2010.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,cetakan keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Marzuki Peter, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Surabaya: Prenadamedia Group, 2005
Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.
Marwan. M dan P. Jimmy, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009
Starke. J.G , Pengantar Hukum Internnasional Cetakan ke Sepuluh, Jakarta Sinar
Grafika, 2010.
Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat,
Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Suratman dan Dillah H. Philips, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2013
Saleh Roeslan, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia
Indonesia, 1982.
Wibowo wahyu , Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hukum Militer,
Jakarta, 2014
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
36
Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011.
Konvensi Den Haag IV 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
Konvensi jenewa I Tahun 1949 tentang Tanggung Jawab Negara.
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977.
Statuta International Criminal Court (ICC).
International Criminal tribunal for the former Yugoslavia.
International Military Tribunal/IMT) Nurenberg.
Jurnal Hukum
Kertas Kerja Kontras “Hak Asasi Diakui tapi Tidak Dilindungi”.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja:
Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional
,2008.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggung Jawab Komando
Suatu Telaah Teoritis. Jakarta: ELSAM, 2005
Natsri Anshari, Dalam Artikel Tanggung Jawab Komando Menurut Hukum
Internasional dan hukum nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1 No.1,
Edisi Juli 2005.
37
Fadillah Agus, dalam makalah Tanggung jawab Komando oleh Vonny A. Wongkar
,Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
Dan Kejahatan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. 2009.
Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM) Masyarakat Makalah Kejahatan Terhadap
kemanusiaan, 2008.
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Slobodan_Milo%C5%A1evi%C4%87 Di akses tanggal
17 November 2016. Pukul 13.00. WITA.
h.;ttp://osdir.com/ml/culture.region.%20indonesia.ppi-india/2005-03/msg00596.html
diakses tanggal 17 November 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bosnia Di akses tanggal 17 November 2016,
Pukul 12.30. WITA.
https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi. Di akses tanggal 21 November
2016. Pukul 13.33 WITA.
http://kbbi.web.id/kaji Di akses tanggal 21 November 2016, pukul 15.00. WITA).
http://kbbi.web.id/tanggung%20jawab (Di akses tanggal 17 November 2016, pukul
10.00. WITA).
38