Upload
brigita-manohara
View
88
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Terdapat kendalayang tidak sepele serta batasan yang salah di dalam bagian umum dari hukum pidana. Tetapi bagian yang umum itu bukan hanya pada hukum positif dimana kita mungkin bisa mulai membatasi isi pelanggaran yang terjadi Pembenaran normatif dari hukuman juga menghasilkan sebuah sumber batasan yang penting
Sebuah teori kriminalisasi harus mengidentifikasi alasan khusus untuk membatasi hukum pidana khusus
Teori kriminaslisai mesti mengidentifikasi alasan khusus untuk dalam membatasi hukum pidana, dengan kata lain, apa yang spesial atau khusus dan yang sulit mengenai kewajiban pidana?
Mengapa mesti ada pengecualian/ pengharaman terhadap “non trivial harm or evil” ?
Mengapa mesti ada sanksi pidana yang tidak bisa diberikan kepada pelaku pidana yang absen/ tidak ada kesalahan?
mengapa masyarakat memiliki sejumlah alasan tertentu untuk menjadi prihatin ketika otoritas negara dilaksanakan melalui hukum pidana?
Hukuman tidak boleh dipaksakan oleh negara kecuali individu tersebut diyakini telah melakukan kejahatan
Sebuah teori kriminalisasi menyediakan batasan yang lengkap kapan negara diijinkan menggunakan hukum
Tindak pidana adalah sesuatu yang dilarang atau tidak diijinkan tetapi hampir tidak pernah bisa sepenuhnya dicegah
Ketika hukum pidana berlaku, maka hampir tidak terelakkan bahwa pada mereka beberapa hukuman bisa dipaksakan
Tindak pidana adalah sesuatu yang dilarang atau tidak diijinkan tetapi hampir tidak pernah bisa sepenuhnya dicegah.
Bentuk sanksi lain : Sanksi ini meliputi penyitaan aset, pengusiran, hukuman perusakan (punitive damages), deportasi, denaturalisasi, pencabutan hak, perilaku antisosial pemerintah, kurungan bagi anak pelaku pidana, penahanan pra peradilan, ritual membuat malu (shaming rituals), perintah penghunaan sipil, perintah perlundungan, dan sejenisnya.
subjek pelanggar menjadi state punishment lebih mudah dijelaskan daripada diterapkan.
Beberapa tipe respon negara menyimpang jauh dari hukuman pada kasus lainnya : the greater deviation, the fewer protection that are needed (semakin besar deviasinya, maka perlindungan yang dibutuhkan semakin sedikit).
Pertanyaan utama yang mesti dijawab oleh teori kriminalisasi adalah : untuk tindakan apa seseorang bisa dijadikan subjek hukuman oleh negara (for what conduct may the state subject persons to punishment ?)
dua batasan dalam proses kriminalisasi, yaitu : penal liability tidak bisa dibenarkan kecuali dikenakan pada pelanggaran yang dirancang untuk melarang non trivial (hal buruk yang tidak sepele); dan tidak boleh ditimpakan kecuali pada tindakan terdakwa sepenuhnya salah
Terkait paksaan/ pembatasan/ ketidakleluasaan internal pada teori pemidanaan/ penghukuman, penulis mengidentifikasi faktor tersebut, yakni :
1. ada perbedaan pendapat dari para ahli aliran konsekuensialis dan non konsekuensialis, ada upaya membenarkan hukuman dan menolak adanya pembatasan
2. Adanya kesulitan membangun argumen persuasif terhadap paksaan/pembatasan
3. Tidak ada prinsip yang dapat difungsikan sebagai satu generalisasi yang akurat mengenai hukum positif ketika ada banyak pengecualian
hukuman semestinya ditimbulkan akibat pelanggaran hukum yang sesuai dengan batasan, yang kemudian diikuti oleh saksi punitif dan kemungkinan tidak dapat dibenarkan dari ketiadaan sangkaan terhadap perilaku yang dijatuhkan/dikenakan.
sanksi punitif tidak dibenaran ketika kita memiliki alasan prinsip dalam menyimpulkan sebagian tindakan yang mana mereka dikenakan/ ditentukan sebagai kriminalisasi, subjek hukuman, pada bagian pertama
teori benefits-and burdens (manfaat dan beban) dapat menunjukkan mengapa seseorang layak mendapatkan sanksi pidana akibat melakukan pelanggaran dengan tidak ada keuntungan materi yang jelas
Menurut penulis, teori ini berimplikasi pada hukum pidana substantif
implikasi yang mungkin terjadi? Kembali pada relatifitas jenis pelanggaran baru yang mengisi hukum pidana : tumpang tindih kejahatan, pelanggaran pendukung, kejahatan pencegahan resiko
EXPRESSIVE THEORY OF PUNISHMENT (TEORI EKSPRESIF DARI HUKUMAN)
populer di kalangan filsuf jika dibandingkan dengan teori benefits-and burdens (manfaat dan beban)
Joel Feinberg merupakan salah satu ahli yang pengaruhnya besar dalam teori ini.
Feinberg : “hukuman merupakan perangkat konvensional untuk mengekspresikan sikap kebencian dan kemarahan, dan penilaian ketidaksetujuan serta penolakan baik terhadap otoritas penghukuman dirinya sendriri atau terhadap “in whose name” (orang lain) dimana hukuman itu ditimpakan”
TEORI PATERNALISTIK
Herbert Morris : pendidikan merupakan salah satu tujuan utama dari sanksi hukuman
Jean Hampton : memaparkan pendidikan moral sebagai tujuan dalam membenarkan hukuman
isi dari hukum pidana mesti memenuhi kriteria yang baku sebelum hukuman itu memiliki tujuan untuk mendidik
LEGALISTIK RETRIBUTIVISM (TEORI RETRIBUTIF LEGALISTIK) Teori menonjol yang dikemukakan oleh JD Mabbot
berpendapat bahwa hukuman penjahat dibenarkan karena mereka telah melanggar hukum
secara eksplisit menunjukkan bahwa kebaikan dan keburukan di sisi pemerintah ataupun hukum dimana hampir seluruhnya tidak relevan dalam pembenaran hukuman
bahwa teori retributif legalistik memungkinkan hukuman apapun yang diharamkan hukum pidana
Paul Robinson, dan John Darleymasyarakat akan kehilangan kepercayaan pada
hukum terutama hukum pidana jika dalam proses kriminalisasi, ada hal yang dirasa tidak adil
Pendapat keduanya dituliskan dalam buku yang berjudul “doctrine of criminalization: what conduct should be criminal?”( doktrin dari kriminalisasi : perilaku apa yang harus dipidana?)
memulai dengan pendapat msayarakt yang tidak menyetujui “kejahatan tanpa korban” seperti prostitusi, perjudian atau distribusi obat-obat tertentu.
untuk memerangi masalah over kriminalisasi dengan mengembangkan seperangkat prinsip yang meliputi :
Mengidentifikasi Membela Menjelaskan, dan Menerapkan setiap kendala/ paksaan/ batasan
KRIMINALISASI
Soerjono Soekanto: kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana
Kriminalisasi merupakan masalah yang kompleks dan terpisah-pisah
begitu banyak faktor yang terkait dan perlu dipertimbangkan dalam proses kriminalisasi
Kompleksitas itu : berkaitan dengan jenis perbuatan yang dapat
dikriminalisasi Tampak dalam beragamnya pilihan instrumen
pengaturan kehidupan masyarakat Kompleksitas kriminalisasi berkaitan juga dengan
perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung secara cepat
Bassiouni menjelaskan keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan, yaitu :
1. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai
2. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,
3. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia,
4. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder
Moeljatno merumuskan tiga kriteria kriminalisasi dalam proses pembaruan hukum pidana:
1. penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut.
3. Apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan
Peter W. Low, efek-efek yang mungkin timbul dari pelaksanaan kriminalisasi :
1. manfaat kriminalisasi terhadap masyarakat2. mengukur biaya kriminalisasi yang meliputi aspek
pencegahan perilaku yang bernilai sosial, pengeluaran untuk penegakan, efek pada individu, efek pada privasi, efek kriminogenik, dan tarif kejahatan
3. efek kriminogenik yang timbul akibat kriminalisasi