97~10 PARADIGMA ILMIAH PERSFEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Preview:

Citation preview

97 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

PARADIGMA ILMIAH PERSFEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Abdullah Affandi

STAI Badrus Sholeh Kediri

ABSTRAK With the human mind can fulfill his life easily. Unfortunately, most of them do not use these very important tools as they should. In fact, some people almost never think. The purpose of this study is intended as a discourse in distinguishing where the advice of scientific thinking in order not to be a mistake in thinking. So raises the question of research how logic, mathematics, language as a means of scientific thinking perspective Alqur'an. To answer this research question, researchers collect data through the method of documentation- observative. Then after the data collected, analyzed through content analysis and critical analysis and synchronized with cross-check the results of observation. So this research produces one of the proposed thoughts about the means of scientific thinking perspective Al Qur'an.

Keywords: scientific thinking, perspectives of the Qur'an

Dosen Tetap STAI Badrus Sholeh Kediri

Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

98

PENDAHULUAN

Ilmu adalah bagian dari

pengetahuan, sebaliknya setiap

pengetahuan belum tentu ilmu. Untuk itu

terdapat syarat-syarat yang membedakan

ilmu (science) dengan pengetahuan

(knowledge). Ilmu itu harus ada

obyeknya, terminologinya,

metodologinya, filosofinya dan teorinya

yang khas. Disamping itu ilmu juga harus

memiliki objek, metode, sistematika dan

haruas bersifat universal. Sumber-sumber

pengetahuan manusia dikelompokkan

atas: pengalaman, otoritas, cara berfikir

deduktif, cara berfikir induktif, berfikir

ilmiah (pendekatan ilmiah).

Berpikir merupakan ciri utama

manusia dan juga manusia merupakan

makhluk yang berakal. Akal yang menjadi

perbedaan pokok di antara manusia dan

binatang, dan juga menjadi dasar dari

segala kebudayaan. Manusia adalah

makhluk yang dilengkapi Allah sarana

untuk berpikir. Dengan berpikir manusia

dapat memenuhi kehidupannya dengan

mudah. Namun sayang kebanyakan

manusia tidak menggunakan sarana yang

teramat penting ini sebagaimana

mestinya. Bahkan pada kenyataannya

sebagian manusia hampir tidak pernah

berpikir. Sebenarnya, setiap manusia

memiliki tingkat kemampuan berpikir

yang seringkali manusia sendiri tidak

menyadarinya. Ketika mulai

menggunakan kemampuan berpikir

tersebut, fakta-fakta yang sampai

sekarang tidak mampu diketahuinya,

namun akhirnya mulai terbuka di

hadapannya. Semakin dalam manusia

berpikir, semakin bertambahlah

kemampuan berpikirnya dan hal ini

mungkin sesekali berlaku bagi semua

manusia. Harus disadari bahwa setiap

manusia mempunyai kebutuhan untuk

berpikir serta menggunakan akalnya

semaksimal mungkin. Satu manusia yang

tidak berpikir berada sangat jauh dari

kebenaran dan menjalani sebuah

kehidupan yang penuh kepalsuan dan

kesesatan. Akibatnya manusia tidak akan

mengetahui tujuan penciptaan alam, dan

arti keberadaan dirinya di dunia.

Padahal Allah telah menciptakan

segala sesuatu untuk sebuah tujuan

sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an

yang terjemahannya: “Dan Kami tidak

menciptakan langit dan bumi dan apa

yang ada antara keduanya dengan

bermain-main. Kami tidak menciptakan

keduanya melainkan dengan haq, tetapi

kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan

tentang (kejadian) diri mereka?, Allah

tidak menjadikan langit dan bumi dan apa

yang ada di antara keduanya melainkan

dengan tujuan yang benar dan waktu yang

ditentukan. Dan sesungguhnya

kebanyakan di antara manusia benar-

benar ingkar akan pertemuan dengan

Tuhannya." Banyak yang beranggapan

bahwa untuk berpikir secara mendalam

setiap manusia perlu memegang kepala

dengan kedua telapak tangannya, dan

menyendiri di sebuah ruangan yang

sunyi, jauh dari keramaian dan segala

urusan yang ada. Sungguh, manusia-

manusia itu telah menganggap berpikir

secara mendalam sebagai sesuatu yang

99 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

memberatkan dan menyusahkan.

Sebagian manusia berkesimpulan bahwa

pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan

filosof.

Disamping itu untuk masyarakat

yang belum terbiasa dengan kehidupan

ilmiah, suatu buku yang mencoba

menerangkan filsafat ilmu pengetahuan

secara popular, sangatlah bermanfaat.

Kemampuan menalar menyebabkan

manusia mampu mengembangkan

pengetahuan yang merupakan rahasia

kekuasaan-kekuasaannya. Mengetahui

yang benar dan salah, mana yang baik dan

buruk, serta mana yang indah dan mana

yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini

manusia berpaling pada pengetahuan,

karena manusia adalah satu-satunya

makhluk yang mengembangkan

pengetahuan ini secara sungguh-sungguh.

Pengembangan pengetahuan yang

dilakukan manusia secara bersungguh-

sungguh pastilah membutuhkan yang

namanya penalran. Penalaran merupakan

suatu proses berpikir dalam menarik

kesimpulan yang berupa pengetahuan.

Manusia pada hakikatnya merupakan

makhluk yang berfikir, merasa, bersikap

dan bertindak. Sikap dan tindakannya

yang bersumber pada pengetahuan yang

didapatkan lewat kegiatan berfikir atau

merasa. Penalaran menghasilkan

pengetahuan yang dikaitkan dengan

kegiatan berfikir bukan perasaan,

sedangkan berfikir merupakan suatu

kegiatan untuk menemukan pengetahuan

yang benar.

Penalaran yang dikaji adalah

penalaran yang ilmiah, bukan sesuatu

yang tidak logis dan tidak analitik, sebab

usaha dalam pengembangannya

merupakan usaha peningkatan mutu ilmu

dan teknologi, yang merupakan gabungan

penalaran deduktif dan induktif yang

berkaitan langsung dengan pemikiran

rasionalisme dan pemikiran empiris,

untuk itulah perlu diketahui sarana

berfikir ilmiah dalam pengembangannya

sehingga ilmu dan pengetahuan menjadi

komponen dasar peningkatan kualitas

kehidupan manusia.

Kegiatan berfikir sering manusia

lakukan dalam keseharian dan

merupakan kegiatan ilmiah. Berpikir

merupakan upaya manusia dalam

memecahkan masalah. Berfikir ilmiah

merupakan berfikir dengan langkah-

langkah metode ilmiah seperti

perumusan masalah, pengajuan hipotesis,

pengkajian literatur, menjugi hipotesis,

menarik kesimpulan. Kesemua langkah-

langkah berfikir dengan metode ilmiah

tersebut harus didukung dengan alat dan

sarana yang baik sehingga diharapkan

hasil dari berfikir ilmiah yang manusia

lakukan mendapatkan hasil yang baik.

Sarana ilmiah pada dasarnya

merupakan alat membantu kegiatan

ilmiah dalam berbagai langkah yang

harus ditempuh. Tujuan mempelajari

sarana ilmiah adalah untuk

memungkinkan kita melakukan

penelaahan, pengkajian, dan pendalaman

ilmiah secara baik, sedangkan tujuan

mempelajari ilmu dimaksudkan untuk

mendapatkan pengetahuan yang

memungkinkan untuk bisa memecahkan

masalah sehari-hari.

Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

100

Ditinjau dari pola berfikirnya, maka

ilmu merupakan gabungan antara pola

berfikir deduktif dan berfikir induktif,

untuk itu maka penalaran ilmiah

menyadarkan diri kepada proses logika

deduktif dan logika induktif .Penalaran

ilmiah mengharuskan manusia menguasai

metode penelitian ilmiah yang pada

hakekatnya merupakan pengumpulan

fakta untuk mendukung atau menolak

hipotesis yang diajukan.

Berdasarkan perkenalan latar

belakang diatas penulisan ini difokuskan

pada cara pandang kemampuan berfikir

ilmiah yang baik harus didukung oleh

penguasaan sarana berfikir ini dengan

baik pula. Salah satu langkah kearah

penguasaan itu adalah mengetahui

dengan benar peranan masing-masing

sarana berfikir tersebut dalam

keseluruhan berfikir ilmiah tersebut.

Untuk dapat melakukan kegiatan ilmiah

dengan baik, maka diperlukan sarana

yang berupa bahasa, logika, matematika

dan statistik.

METODE PENELITIAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bahasa Sebagai Sarana Berrfikir Ilmiah

Salah satu perbedaan manusia

dengan makhluk lainnya adalah

kemampuan manusia berbahasa. Bahasa

memiliki peranan yang sangat penting

kepada orang lain. Berpikir sebagai hasil

kegiatan otak manusia tidak akan ada

artinya apabila tidak diketahui oleh orang

lain. Cara untuk mengkomunikasikannya

kepada orang lain adalah menggunakan

sarana bahasa.

Bahasa merupakan lambang

serangkaian bunyi yang membentuk

suatu arti tertentu.1 Bahasa merupakan

pernyataan pikiran atau perasaan sebagai

alat komunikasi manusia yang terdiri dari

kata-kata atau istilah-istilah dan sintaksis.

Kata atau istilah merupakan simbol dari

arti sesuatu, sedangkan sintaksis

merupakan cara menyusun kata-kata

menjadi kalimat yang bermakna.2

Suatu obyek dapat dilambangkan

dengan bunyi tertentu. Misalnya, suatu

alat berbentuk runcing yang diisi tinta

dan digunakan untuk menulis

dilambangkan dengan bunyi ”pena”.

Untuk melambangkan warna yang sama

dengan darah digunakan bunyi ”merah”.

Dari kedua kata tersebut (pena dan

merah) dapat dibuat sebuah kalimat

bermakna menjadi ”Andi membeli sebuah

pena merah”.

Unsur-unsur yang terdapat dalam

bahasa menurut Bakhtiar adalah:3

1. Simbol-simbol

2. Simbol-simbol vokal

3. Simbol-simbol vokal arbitrer

4. Suatu sistem yang terstruktur dari

dalam kehidupan manusia, termasuk di

dalamnya adalah kegiatan ilmiah.

Kegiatan ilmiah sangat berkaitan erat

dengan bahasa. Menggunakan bahasa

yang baik dalam berpikir membantu

untuk mengkomunikasikan jalan pikiran

1 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer…, 175 2 Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat

Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 98. 3 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), 177-179.

101 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

simbol-simbol yang arbitrer

5. Dipergunakan oleh para anggota

suatu kelompok sosial sebagai alat

bergaul satu sama lain

Bahasa mengandung unsur simbol,

sesuatu yang diucapkan oleh manusia

merupakan kegiatan memberi simbol

terhadap suatu obyek nyata dalam dunia

praktis. Agar simbol tersebut dapat

memenuhi tujuan pembicara maka simbol

tersebut harus diucapkan dengan bunyi

tertentu yang dapat didengar oleh orang

yang dituju sehingga memudahkan

pendengar untuk mengetahui dengan

jelas obyek yang dimaksud oleh

pembicara. Bunyi simbol suatu obyek

tidak harus sama antara ucapan dan

makna yang dikandungnya, artinya

makna suatu obyek dapat diucapkan

dengan kata yang berbeda untuk daerah

atau komunitas yang berbeda. Para

anggota komunitas kelompok sosial

menggunakan bahasa untuk dapat

berinteraksi satu sama lainnya.

Bahasa mengkomunikasikan tiga hal

yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap.

Manusia dapat menyampaikan sesuatu

yang dipikirkan kepada orang lain

menggunakan bahasa.4 Dengan bahasa,

orang lain dapat mengetahui dan

mempelajari sesuatu yang sedang

dipikirkan. Dengan bahasa, manusia juga

dapat mengekspresikan sesuatu yang

dirasakannya kepada orang lain. Orang

lain dapat mengetahui seseorang sedang

sedih atau senang melalui bahasa yang

disimbolkan.

Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai bahasa yang baik.5

Ketika manusia telah memperoleh

suatu pengetahuan melalui kegiatan

ilmiah yang dilakukan, maka harus

mengkomunikasikan hasil yang telah

diperoleh tersebut agar pengetahuannya

dapat bermanfaat bagi kemakmuran umat

manusia. Hal-hal yang harus

dikomunikasikan tersebut meliputi jalan

pemikiran untuk memperoleh

pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri.

Pengkomunikasian tersebut dituangkan

dalam sebuah karya ilmiah. Untuk dapat

menyusun sebuah karya ilmiah, dituntut

kemampuan untuk menguasai bahasa

yang baik dan benar. Tanpa menguasai

bahasa yang baik, tidak mungkin dapat

menyusun sebuah karya ilmiah.

Sumarna mengemukakan bahwa

Melalui bahasa manusia dengan sesama

manusia lainnya dapat saling menambah

dan berbagi pengetahuan yang

dimilikinya”. 6Bahasa menjadi sarana

untuk berbagi dengan sesama manusia.

Seseorang dapat memberitahukan

sesuatu yang diketahuinya kepada orang

lain dengan menggunakan bahasa. Dalam

proses berbagi tersebut manusia

4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer…, 175.

5 Ibid., 185. 6 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008), 134.

Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

102

mengalami penambahan pengetahuan,

menjadi mengetahui sesuatu yang semula

belum diketahui.

Suriasumantri menyatakan bahwa

dalam komunikasi ilmiah menonjolkan

fungsi simbolik bahasa.7 Dalam

komunikasi ilmiah proses komunikasi

harus terbebas dari unsur emotif agar

pesan yang disampaikan dapat diterima

secara reproduktif, artinya sama dengan

pesan yang dikirimkan.

Bahasa merupakan sarana

komunikasi maka segala sesuatu yang

berkaitan dengan komunikasi tidak

terlepas dari bahasa, seperti halnya

berpikir sistematis dalam memperoleh

ilmu. Tanpa kemampuan berbahasa,

seseorang tidak akan dapat melakukan

kegiatan ilmiah secara sistematis dan

benar.

Dalam komunikasi ilmiah harus

memperhatikan fungsi simbolik bahasa,

karena komunikasi ilmiah dilakukan

untuk menyampaikan informasi yang

berupa pengetahuan kepada orang lain.

Agar komunikasi dapat berjalan dengan

baik maka harus menggunakan bahasa

yang terbebas dari unsur emotif. Unsur

emotif dalam bahasa hanya akan

mengacaukan komunikasi ilmiah

sehingga pesan yang disampaikan tidak

dapat diterima dengan baik oleh

penerima. Komunikasi simbolik yang

bebas dari unsur emotif dapat mencegah

salah informasi.

Bahasa sebagai sarana ilmiah

mempunyai kelemahan. Kelemahan

7 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer…, 175.

tersebut menurut Suriasumantri antara

lain:8

1. bahasa bersifat multifungsi,

2. bahasa memiliki arti yang tidak jelas

dan eksak yang dikandung oleh kata-

kata yang membangun bahasa,

3. bahasa mempunyai beberapa kata

yang memberikan arti yang sama, dan

4. konotasi bahasa yang bersifat

emosional.

Keberadaan bahasa sebagai sarana

berpikir ilmiah ternyata memiliki

kelemahan-kelemahan yang melekat pada

bahasa tersebut. Bahasa sulit dilepaskan

dari emosi dan sikap seseorang,

sedangkan bahasa sebagai sarana ilmiah

dituntut untuk obyektif agar informasi

yang dikomunikasikan dapat diterima

dengan baik oleh orang lain. Kelemahan

berikutnya adalah sulit untuk

mendefinisikan suatu obyek dengan

sejelas- jelasnya, terkadang karena

keinginan untuk memberikan penjelasan

yang detil tentang suatu obyek, yang

terjadi justru komunikasi yang dilakukan

terkesan bertele-tele dan menjadi tidak

jelas.

Kelemahan bahasa juga dapat

dilihat dari keberadaan beberapa kata

yang yang memiliki arti sama atau

sebaliknya beberapa arti cukup

menggunakan satu kata saja. Selain itu,

ada kelemahan bahasa lain yaitu bahasa

sulit dilepaskan dari emosional

seseorang. Ada makna-makna tertentu

yang dapat ditambahkan pada makna

sebenarnya sebagai akibat emosional

seseorang.

8 Ibid,. 182-187.

103 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

Logika Sebagai Sarana Berfikir Ilmiah

Logika berasal dari kata Yunani

kuno (logos) yang berarti hasil

pertimbangan akal pikiran yang

diutarakan lewat kata dan dinyatakan

dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika

disebut dengan logike episteme (Latin:

logica scientia) atau ilmu logika (ilmu

pengetahuan) yang mempelajari

kecakapan untuk berpikir secara lurus,

tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu

pada kemampuan rasional untuk

mengetahui dan kecakapan mengacu

pada kesanggupan akal budi untuk

mewujudkan pengetahuan ke dalam

tindakan. Kata logis yang dipergunakan

tersebut bisa juga diartikan dengan

masuk akal. Nama ‘logika’ untuk pertama

kali muncul pada filsuf Cicero (abad ke-1

sebelum masehi), tetapi masih dalam arti

‘seni berdebat’. Alexander Aphrodisias

(sekitar permulaan abad ke-3 sesudah

masehi) adalah orang yang pertama kali

menggunakan kata ‘logika’ dalam arti

ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya

pemikiran kita.

Kata falsafah atau filsafat

dalam bahasa Indonesia merupakan kata

serapan dari bahasa Arab, yang juga

diambil dari bahasa Yunani. Dalam bahasa

ini, kata ini merupakan kata majemuk dan

berasal dari kata-kata philia

( persahabatan, cinta dan sebagainya.)

dan sophia (kebijaksanaan). Sehingga arti

lughowinya (semantic) adalah seorang

“pencinta kebijaksanaan” atau

“ilmu”. Sejajar dengan kata filsafat, kata

filosofi juga dikenal di Indonesia dalam

maknanya yang cukup luas dan sering

digunakan oleh semua kalangan..

Ada juga yang mengurainya dengan

kata philare atau philo yang berarti cinta

dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan

karena itu lalu berusaha untuk mencapai

yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai

dengan kata Sophia artinya kebijakan,

pandai dan pengertian yang

mendalam. Dengan mengacu pada

konsepsi ini maka dipahami bahwa

filsafat dapat diartikan sebagai sebuah

perwujudan dari keinginan untuk

mencapai pandai dan cinta pada

kabijakan.9

Berkaitan dengan konsep filsafat

Harun Nasution tanpa keraguan

memberikan satu penegasan bahwa

filsafat dalam khazanah islam

menggunakan rujukan kata yakni

falsafah.10 Istilah filsafat berasal dari

bahasa arab oleh karena orang arab lebih

dulu datang dan sekaligus mempengaruhi

bahasa Indonesia dibanding dengan

bahasa- bahasa lain ke tanah air

Indonesia. Oleh karenanya konsistensi

yang patut dibangun adalah penyebutan

filsafat dengan kata falsafat.11

Filsafat berusaha untuk memahami

watak dari pemikiran yang benar dan

mengungkapkan cara berpikir yang sehat.

Satu hal yang dijumpai dalam seluruh

sejarah filsafat adalah ajakannya

kepada akal, argumentasi, dan logika.

9 Ahmad Syadali dan Mudzakir Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia Fuad al-Ahwan , 2004), 12. 10 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UIP, 1985), 46 11 Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), 5.

Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

104

Setiap orang menggunakan argumentasi

untuk menopang pendapat atau

membedakan antara argumentasi yang

benar dan yang salah. Tetapi bagaimana

membedakan antara argumentasi yang

benar dan yang salah? Pada dasarnya,

seperti setengah tidak boleh lebih besar

daripada satu.12

Logika merupakan kumpulan

kaidah-kaidah yang memberi jalan

(system) berpikir tertib dan teratur

sehingga kebenarannya dapat diterima

suatu argumentasi merupakan seba- oleh orang lain. Logika akan memberi

sebab

atau muqaddimah/Arab)

(premise/Inggris

untuk

suatu ukuran (norma) yakni suatu

anggapan tentang benar dan salah

menguatkan atau menolak suatu posisi terhadap suatu kebenaran. Ukuran

(conclusion/Inggris atau natijah/Arab). kebenarannya adalah logis.13

Logika atau mantik adalah pengkajian

yang sistematis tentang aturan-aturan

untuk menguatkan sebab-sebab yang

mengenai konklusi; aturan-aturan itu

dapat dipakai untuk membedakan

argumen yang baik dari argumen yang

tidak baik.

Argumentasi dan dialektika merupa

kan alat atau instrumen yang sangat perlu

bagi ahli filsafat. Argumentasi harus

mempunyai dasar yang sehat danmasuk

akal. Tugas untuk menciptakan ukuran

untuk menetapkan manakah argumen

yang benar (valid) dan yang tidak benar

adalah termasuk dalam cabang filsafat

yang dinamakan logika. Kemampuan

untuk memeriksa sesuatu argumen dari

segi konsistensi logika, untuk mengetahui

akibat-akibat logis dari asumsi-asumsi,

dan untuk menentukan kebenaran

sesuatu bukti yang dipakai oleh seorang

filosof adalah sangat penting untuk

berfilsafat.

Menurut Bakhtiar Logika adalah

sarana untuk berpikir sistematis, valid

dan dapat dipertanggungjawabkan.

Karena itu, berpikir logis adalah berpikir

sesuai dengan atura-aturan berpikir,

Logika adalah bidang pengetahuan

yang mempelajari tentang asas, aturan,

dan prosedur penalaran yang benar.

Dengan istilah lain logika sebagai jalan

atau cara untuk memperoleh

pengetahuan yang benar.14

Sebagai sarana berpikir ilmiah,

logika mengarahkan manusia untuk

berpikir dengan benar sesuai dengan

kaidah-kaidah berpikir yang benar.

Dengan logika manusia dapat berpikir

dengan sistematis dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Jika ingin melakukan kegiatan berpikir

dengan benar maka harus menggunakan

kaidah-kaidah berpikir yang logis.

Dengan logika dapat dibedakan antara

proses berpikir yang benar dan proses

berpikir yang salah.

Menurut Susanto ada tiga aspek

penting dalam memahami logika, agar

mempunyai pengertian tentang

penalaran yang merupakan suatu bentuk

12 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), 212. 13 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008), 141. 14 A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011) 143.

105 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

pemikiran, yaitu pengertian, proposisi,

dan penalaran.15 Pengertian merupakan

tanggapan atau gambaran yang dibentuk

oleh akal budi tentang kenyataan yang

dipahami, atau merupakan hasil

pengetahuan manusia mengenai realitas.

Proposisi atau pernyataan adalah

rangkaian dari pengertian-pengertian

yang dibentuk oleh akal budi atau

merupakan pernyataan mengenai

hubungan yang terdapat di antara dua

buah term. Penalaran adalah suatu

proses berpikir yang menghasilkan

pengetahuan.

Keberadaan ketiga aspek tersebut

sangat penting dalam memahami logika.

Dimulai dari membentuk gambaran

tentang obyek yang dipahami, kemudian

merangkainya menjadi sebuah hubungan

antar obyek, dan terakhir melakukan

proses berpikir yang benar untuk

menghasilkan pengetahuan. Tiga aspek

dalam logika tersebut harus dipahami

secara bersama-sama bagi siapapun yang

hendak memahami dan melakukan

kegiatan ilmiah. Tanpa melalui ketiga

proses aspek logika tersebut, manusia

akan sulit memperoleh dan

menghasilkan kegiatan ilmiah yang

benar.

Terdapat dua cara penarikan

kesimpulan melalui cara kerja logika. Dua

cara itu adalah induktif dan deduktif.

Logika induktif adalah cara penarikan

kesimpulan dari kasus-kasus individual

nyata menjadi kesimpulan yang bersifat

umum dan rasional. Logika deduktif

adalah cara penarikan kesimpulan dari

15 Ibid., 146.

hal-hal yang bersifat umum rasional

menjadi kasus-kasus yang bersifat

khusus sesuai fakta di lapangan.16

Kedua jenis logika berpikir tersebut

bukanlah dua kutub yang saling

berlawanan dan saling menjatuhkan.

Kedua jenis logika berpikir tersebut

merupakan dua buah sarana yang saling

melengkapi, maksudnya suatu ketika

logika induktif sangat dibutuhkan dan

harus digunakan untuk memecahkan

suatu masalah, dan pada saat lain yang

tidak dapat menggunakan logika induktif

untuk memecahkan masalah maka dapat

digunakan logika deduktif. Seseorang

yang sedang berpikir tidak harus

menggunakan kedua jenis logika berpikir

tersebut, tetapi dapat menggunakan satu

logika berpikir sesuai dengan kebutuhan

obyek dan kemampuan individunya.

Matematika Sebagai Sarana Berfikir

Ilmiah

Bahasa sebagai alat komunikasi

verbal mempunyai banyak kelemahan,

karena tidak semua pernyataan dapat

dilambangkan dengan bahasa. Untuk

mengatasi kelemahan-kelemahan bahasa

tersebut maka digunakanlah sarana

matematika.

Mengutip dari Suriasumantri yang

mengemukakan bahwa:17

“Matematika adalah bahasa yang

berusaha untuk menghilangkan sifat

kubur (pen: kabur), majemuk dan

emosional dari bahasa verbal.”

16 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008), 150. 17 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer…, 191.

Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

106

Matematika sebagai sarana berpikir

deduktif menggunakan bahasa artifisial,

yakni murni bahasa buatan manusia.

Keistimewaan bahasa ini adalah terbebas

dari aspek emotif dan efektif serta jelas

terlihat bentuk hubungannya. Matematika

lebih mementingkan kelogisan

pernyataan- pernyataannya yang

mempunyai sifat yang jelas.18

Dengan matematika, sifat kabur,

majemuk dan emosional dari bahasa

dapat dihilangkan. Lambang yang

digunakan dalam matematika lebih eksak

dan jelas, lambang-lambang tersebut

tidak bisa dicampuri oleh emosional

seseorang, suatu lambang dalam

matematika jelas hanya mengandung satu

arti sehingga orang lain tidak dapat

memberikan penafsiran selain dari

maksud pemberi informasi. Misalnya,

seseorang yang mengatakan: ”Saya punya

satu orang adik perempuan”, orang lain

dapat menerima bahwa orang itu

mempunyai satu adik, tidak mungkin

orang lain akan mempunyai penafsiran

bahwa orang itu mempunyai dua atau tiga

orang adik.

Matematika mengembangkan

bahasa numerik yang memungkinkan kita

untuk melakukan pengukuran secara

kuantitatif.19 Matematika biasanya

menggunakan bahasa numeric yang

menafikan unsur emosi, kabur dan

18 Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat

Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 107. 19 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer…,193.

majemuk seperti yang terdapat dalam

bahasa biasa. Melalui unsur ini, manusia

dapat melakukan pengukuran secara

kuantitatif yang tidak diperoleh dalam

bahasa yang selalu memberi

kemungkinan menggunakan perasaan

yang bersifat kualitatif.20

Matematika memungkinkan untuk

melakukan pengukuran yang jelas. Untuk

membandingkan tinggi dua buah obyek

yang berbeda, misal pohon jagung dan

pohon mangga. Dengan bahasa hanya

dapat dikatakan bahwa pohon mangga

lebih tinggi dari pohon jagung, tetapi

tidak tahu dengan jelas berapa perbedaan

tinggi kedua pohon tersebut. Dengan

matematika maka perbedaan tinggi kedua

pohon tersebut dapat diketahui dengan

jelas dan tepat. Misal, setelah diukur

ternyata tinggi pohon jagung 100 cm dan

tinggi pohon mangga 250 meter, maka

dapat dikatakan bahwa pohon mangga

lebih tinggi 150 cm dari pohon jagung.

Matematika memberikan jawaban yang

lebih eksak dan menjadikan manusia

dapat menyelesaikan masalah sehari-

harinya dengan lebih tepat dan teliti.

Matematika sebagai sarana berpikir

deduktif, memungkinkan manusia untuk

mengembangkan pengetahuannya

berdasarkan teori-teori yang telah ada.

Misal, jumlah sudut sebuah lingkaran

adalah 3600. Dari pengetahuan ini dapat

dikembangkan, seperti besar sudut

keliling lingkaran sama dengan setengah

besar sudut pusat jika menghadap busur

yang sama.

20 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008), 143.

107 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

Statistika Sebagai Sarana Berfikir

Ilmiah

Suriasumantri mengemukakan

Statistika harus mendapat tempat yang

sejajar dengan matematika agar

keseimbangan berpikir deduktif dan

induktif yang merupakan ciri dari

berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan

baik.21 Orang yang ingin mampu

melaksanakan kegiatan ilmiah dengan

baik tidak boleh memandang sebelah

mata terhadap statistika. Penguasaan

statistika sangat diperlukan bagi orang-

orang yang akan menarik kesimpulan

dengan sah. Statistika harus dipandang

sejajar dengan matematika. Kalau

matematika merupakan sarana berpikir

deduktif maka orang dapat menggunakan

statistika untuk berpikir induktif.

Matematika dan statistika sama-sama

diperlukan untuk menunjang kegiatan

ilmiah yang benar sehingga akan

menghasilkan suatu pengetahuan yang

benar pula.

Mengutip apa yang dikemukakan

Suriasumantri:

Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadai secara kebetulan.22

Statistika sebagai sarana berpikir

ilmiah tidak memberikan kepastian

namun memberi tingkat peluang bahwa

untuk premis-premis tertentu dapat

ditarik suatu kesimpulan, dan

kesimpulannya mungkin benar mungkin

juga salah. Langkah yang ditempuh dalam

logika induktif menggunakan statistika

adalah:23

1. Observasi dan eksperimen,

2. Memunculkan hipotesis ilmiah,

3. Verifikasi dan pengukuran, dan

4. Sebuah teori dan hukum ilmiah.

Untuk mengetahui keadaan suatu

obyek, seseorang tidak harus melakukan

pengukuran satu persatu terhadap semua

obyek yang sama, tetapi cukup dengan

melakukan pengukuran terhadap

sebagian obyek yang dijadikan sampel.

Walaupun pengukuran terhadap sampel

tidak akan seteliti jika pengukuran

dilakukan terhadap populasinya, namun

hasil dari pengukuran sampel dapat

dipertanggungjawabkan

kebenarannya.Setelah melakukan

observasi dan eksperimen kemudian

merumuskan suatu hipotesis untuk

dilakukan verifikasi dan uji coba terhadap

data dan keadaan yang sebenarnya di

lapangan. Berdasarkan pengkajian-

pengkajian terhadap data dan keadaan di

lapangan tersebut dapat dirumuskan

suatu kesimpulan yang nantinya menjadi

sebuah teori atau hukum ilmiah. Artinya,

kesimpulan yang ditarik bukanlah

sesuatu yang kebetulan terjadi, tetapi

telah melalui tahap-tahap berpikir

21 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer…,225. 22 Ibid., 225

23 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu…, 146.

Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

108

tertentu dengan melibatkan data dan

fakta yang terjadi di lapangan.

bulan; dan bintang-bintang

dimudahkan dengan perintah-Nya

untuk keperluan-keperluan kamu.

Sarana

Alqur’an

Berfikir Ilmiah Persfektif Sesungguhnya yang demiikian itu

mengandung tanda-tanda (yang

Nilai-nilai yang terkandung dalam

kitab suci al-Qur’an proses berfikir adalah

proses yang bebas, yang menyangkut

segala kegiatan pengetahua kognitif

terhadap semua alam wujud dan

kehidupan. Aktifitas berfikir sebagai

karakter utama manusia mendapat

perhatian yang sangat special dan

istimewa dalam al-Qur’an. Akal yang

merupakan alat ataupun sarana untuk

berfikir disebutkan dalam al-Qur’an

sebanyak 49 kali, yang semuanya dalam

bentuk kata kerja fi’il dan tidak satupun

kata akal ‘aql digunakan dalam bentuk

kata benda isim. Hal ini mengisyaratkan

bahwa akal adalah sebuah proses berfikir

yang berketerusan dan tidak boleh

berhenti dan bahwa akal tidak memiliki

makna kalau tidak digunakan. Sarana

untuk berfikir di dalam al-Qur’an juga

disebut al-qalb, al-fu’ad, al-nuhâ, al-hijr,

al-hilm dan al-lubb yang semuanya juga

berarti akal fikiran. Dalam al-Qur’an

terdapat banyak ayat-ayat yang

menyerukan pentingnya proses berfikir

yang bebas bagi setiap manusia. Ayat-ayat

ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Ayat-ayat yang menyerukan berfikir

dan penggunaan akal sebagai

kekuatan alami yang dimiliki

manusia. Salah satunya adalah: surat

Al-Nahl ayat 12 yang terjemahanya:

Dan ia memudahkan bagi kamu

malam dan siang, dan matahari serta

membuktikan kebijaksanaan Allah)

bagi kaum yang mau menggunakan

akal.24

Ayat-ayat seperti ini juga dapat di

lihat di Surat al-Baqarah: 164, al-Ra’d:

4, al-Nahl: 64 dan al-Rum: 24. Semua

ayat-ayat tersebut di atas diakhiri

dengan pernyaataan “bagi kaum yang

tahu menggunakan akal” (li qaumin

ya’qilun) sebagai penekanan terhadap

sesuatu yang secara alami merupakan

suatu kemestian untuk difikirkan dan

difahami, yaitu suatu kemestian

untuk memikirkan dan memaharni

semua fenomena kejadian dan alam

raya ini dengan bebas.

2. Ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan

khusus kepada para Ulil albab,

intellektual, dan mereka yang

memiliki kemampuan berfikir secara

sempurna. Orang-orang ini disebut

dalam al-Qur ‘an sebanyak 16 kali,

yang semuanya berirama pujian dan

penghormatan, hal ini karena mereka

menurut al-Qur’an adalah orang

orang yang memiliki tingkatan yang

tinggi di dalam berfikir. Diantara

ayat-ayat ini adalah firman Allah yang

dalam Alqu’an surat Ar-Ra’d ayat 19

yang terjemahannya:

“Maka adakah orang yang

mengetahul bahwa Al-Qur’an yang

24 Depag RI, Alquran dan terjemahanya, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).

diturunkan kepadamu dan Tuhanmu

itu (wahai Muhammad) perkara yang

benar, sama dengan orang yang buta

matahatinya? Sesungguhnya orang-

orang yang mahu memikirkan hal itu

hanyalah orang-orang yang berakal

sempurna (uli al-bab)”.25

3. Ayat-ayat yang mencela dan

menghardik orang orang yang tidak

mau berfikir. Untuk mencela orang-

orang yang tidak berfikir dan tidak

menggunakan akal al-Qur’an banyak

menggunakan tanda tanya yang

bersifat negatif seperti: Apakah kamu

tidak menggunakan akal fikiran (afala

ta’qilun)? Apakah kamu tidak berfikir

(afala tatafakkarun?) Apakah kamu

tidak melihat (afala tubsirun)?

Apakah kamu tidak ingat (afala

tadzakkarun)? Apakah mereka tidak

mendalami (afala tadabbarun)? Ayat-

ayat yang berkaitan dengan tanda

tanya ini, banyak menyuruh manusia

untuk membedakan antara baik dan

buruk, jahat dan mulia dan untuk

menimbang dan meinilih antara

kelezatan kehidupan dunia dan

akhirat kelak. Seperti firman Allah

dalam Al Qu’an surat Al-Anbiya’ ayat

67 yang terjemahannya:

“Jijik perasaanku terhadap kamu dan

apa yang kamu sembah selain Allah!

Maka mengapa kamu tidak mau

menggunakan akal fikiran kamu?”.26

Dalarn banyak ayat Allah

mensifatkan orang-orang yang tidak

25 Depag RI, Alquran dan terjemahanya, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). 26 Depag RI, Alquran dan terjemahanya, (Jakarta:

berfikir sama dengan binatang dan

bahkan lebih hina daripada binatang,

hal ini karena binatang memang sama

sekali tidak memiliki kemampuan

untuk berfikir, sedangkan manusia

sudah diberi alat untuk berfikir

namun mereka tidak

menggunakannya dengan sempurna.

Kasus ini dapat dilihat dalam firman

Allah: “Sesungguhnya sejahat-jahat

makhluk yang melata, pada sisi

(hukum dan ketetapan) Allah, ialah

orang-orang yang pekak lagi bisu,

yang tidak mahu memahaini

sesuatupun (dengan akal

fikirannya).” (al-Anfâl: 22), dapat juga

dilihat dalam Surat al-Furqan: 44.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan

kewajiban manusia untuk melihat,

meneliti, mengingat, memahami yang

semuanya merupakan proses berfikir

yang bebas yang tidak terikat, terhadap

semua fenomena wujud dan kehidupan,

yang dibahasakan oleh al-Quran dalam

berbagai istilah seperti berikut:

a. Kata-kata yang berasal dan fa-ka-

ra yang berarti berfikir terdapat

dalam 16 ayat. Semua ayat-ayat ini

menyerukan manusia untuk

berfikir tentang semua fenomena

wujud, baik alam raya maupun diri

manusia sendiri, deinikian juga

tentang dalil-dalil tauhid dan

kebenaran risalah Nabi

Muhammad. Di antara ayat-ayat

tersebut adalah firman Allah

dalam Al Qur’an surat Al-Jathiyah

ayat 13:

Balai Pustaka, 2005).

Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10 109

110 Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

27 Ibid.,

“Dan Dia menundukkan untukmu

apa yang ada di langit dan apa

yang ada di bumi semuanya,

(sebagai rahmat) dan pada Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda-

tanda kekuasaan Allah bagi kaum

yang berfikir ”.27

Kata ‘berfikir’ dalam ayat ini

merupakan hal yang sangat

penting, dimana kalau Allah telah

menghamparkan dan

menundukkan untuk manusia

alam raya ini maka pada saat yang

sama manusia tidak boleh bersikap

acuh dan pasif tapi harus

mengambil posisi aktif dan

dinamis. Kedinamisan ini

diwujudkan dalarn bentuk

mentelaah, eksperimen dan

kemampuan memanfaatkan alam

bagi kebaikan kehidupan umat

manusia. Pengendalian dan

pemanfaatan segala apa yang

terhampar di alam raya ini harus

dengan studi dan penelitian.

Pandangan yang sedemikian ini

terhadap objek; alan raya, langit

dan bumi akan dapat

meningkatkan kehidupan material,

dan dalam waktu yang sama dapat

meningkatkan kehidupan spiritual,

seperti apa yang ditegaskan oleh

al-Qur’an surat Al-Fusilat ayat 53

yang terjemahanya:

“Kami akan memperhatikan kepada

mereka tanda-tanda kekuasaan

Kami di segenap ufuk dan pada diri

mereka sendiri, sehingga jelaslah

bagi mereka bahawa al-Qur’an itu

adalah benar.”28

b. Kata-kata yang berasal dan na-dla-

ra yang maknanya melihat

terdapat dalam 129 ayat, ada yang

bermakna melihat dengan mata

secara biasa, tapi secara umum

memberi makna melihat dengan

akal fikiran, seperti dalam Al

Qur’an surat At-Thoriq ayat 5 yang

terjemahannya:

“(Setelah mengetahui yang

demikian), maka hendaklah

manusia melihat (memikirkan):

dan apa ja diciptakan.”.29

Ayat yang sama dapat di jumpai di

Surat ‘Abasa: 24, al-A’raf: 185.

c. Kata-kata yang berasal dan ba-sha-

ra yang secara bahasa bermakna

melihat dengan mata di dalam al-

Qur’an bermaksud meneliti dan

menggunakan akal secara rasional

terhadap semua fenomena

kehidupan yang tampak secara

empirik di depan mata. Dalam

Surat al-A’raf: 179, Allah berfirman

yang maksudnya:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan

untuk neraka jahanam banyak dari

jin dan manusia yang mempunyai

hati (tetapi) tidak mau memahami

dengannya (ayat-ayat Allah), dan

yang mempunyai mata (tetapi)

tidak mau melihat dengannya

(bukti keesaan Allah) dan yang

28 Depag RI, Alquran dan terjemahanya, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). 29 Ibid.,

111 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

mempunyai telinga (tetapi) tidak

mau mendengar dengannya

(ajaran dan nasihat); mereka itu

seperti binatang ternak, bahkan

mereka lebih sesat lagi; mereka

itulah orang-orang yang lalai.”

Yang dimaksud oleh ayat ini

adalah orang-orang yang tidak

menggunakan indera mereka

sebagai proses memahami dengan

baik dan betul-betul semua

fenomena alan raya ini sebagai

tanda kebesaran Allah. Ayat-ayat

yang semacam ini dapat juga di

jumpai di al-Dzariyat:21, al-Sajdah:

28.

d. Kata-kata yang berasal dan dab-ba-

ra yang secara bahasa bermakna

memahami, terdapat dalam 4 ayat

yang semuanya berkaitan dengan

pemahaman terhadap al-Quran,

yang memberi perintah terhadap

kita untuk memahami dengan teliti

dan meinikirkan rahasia-rahasia

dan keajaiban kandungan wahyu

Ilahi, seperti:

“(Al-Quran ini) sebuah Kitab yang

Kami turunkan kepadamu (dan

umatmu wahai Muhammad), -Kitab

yang banyak faedah-faedah dan

manfaatnya, untuk mereka

memahami dengan teliti

kandungan ayat-ayatnya, dan

untuk orang-orang yang berakal

sempurna beringat mengambil

iktibar.” (Shad: 29).

Ayat yang lainnya terdapat dalam

Surat al-Nisâ’: 82, al-Mu’minun: 68

dan Surat Muhammad: 24.

e. Kata-kata fa-qi-ha di dalam al-

Qur’an bermakna mendalami,

seperti mendalami ilmu Syari’at,

dan fa-qi-ha termasuk proses

berfikir yang tinggi. Akar kata fa-

qi-ha terdapat dalam 20 ayat, dan

diantaranya adalah:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan

untuk neraka jahanam banyak dan

jin dan manusia yang mempunyai

hati (tetapi) tidak mau memahami

(secara mendalam) dengannya

(ayat-ayat Allah)…” (al-A’raf : 179).

f. Ayat-ayat yang menyerukan

manusia untuk mengambil iktibar

dan pelajaran baik dan peristiwa

sejarah dan pengalaman

kehidupan manusia maupun dan

peristiwa alam, seperti firman

Allah yang maksudnya:

“Sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu

mengandungi pelajaran yang

mendatangkan iktibar bagi orang-

orang yang mempunyai akal

fikiran.” (Yûsuf: 111). Ayat-ayat

yang lain terdapat dalam Surah al-

Hashr: 2, Ali ‘Imrân: 13, dan Nûr:

43-44.

g. Ayat-ayat yang menyerukan

manusia untuk mengingat

(tadzakkur). Dalam psykologi,

mengingat adalah juga merupakan

proses kognitif yang penting, dan

karena itulah al-Qur’an banyak

mengkaitkan proses ini dengan

para ulil albab (intellektual),

seperti firman Allah yang

maksudnya:

112 Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

“Adakah sama orang-orang yang

mengetahui dengan orang-orang

yang tidak mengetahui?”

Sesungguhnya orang-orang yang

mengingati (pelajaran dan

peringatan) hanyalah orang-orang

yang berakal sempurna.” (al-

Zumar: 9)

Selain memberikan kebebasan akal

untuk melakukan tugas-tugasnya sesuai

dengan kenampuan dan kekuatan yang

dimiliki. Al-Qur’an memberikan banyak

bukti-bukti perlunya berfikir iliniah, kritis

dan metodologis. Diantara bukti-bukti itu

adalah sebagai berikut:

a. Al-Quran dengan teliti dan dengan

penuh tanggungjawab memaparkan

pendapat-pendapat lawan, kemudian

menjawabnya dengan logika yang

benar dan hukum fitrah yang lurus.

mereka tidak lain hanyalah menduga-

duga saja.” (al-Jasyiyah: 24).

Disini Qur’an membedakan antara

‘ilmu’ dan ‘spekulasi’ (dhan),

mengajak penglihatan kita pada

pentingnya penelitian dan pengkajian

secara mendalam tentang hukum-

hukum dan keputusan-keputusan dan

sumbernya, yang merupakan

pendidikan untuk melakukan kritik

yang objektif. Al-Qur’an

memperingatkan dan melarang

manusia mengeluarkan idea-idea dan

keputusan-keputusan yang ia sendiri

tidak mengerti, sehingga tidak

mengakibatkan kesalahan dan

kontradiksi dengan mengatakan:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa

yang karnu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya.” (al-Isrâ’:

Al-Qur’an

orang-crang

mencatat

Quraish,

pandangan

orang-orang

36).

Ketika orang-orang Kafir

Kafir dan orang orang Musyrik, beranggapan bahwa para Malaikat itu

kemudian menjawab pandangan- adalah orang-orang perempuan. Al-

pandangan mereka dengan jawaban

yang tepat dan memuaskan, yang

didasari oleh alasan-alasan yang kuat

Qur’an menjawab spekulasi mereka

itu dengan mengatakan:

“Apakah mereka menyaksikan

dan rasional. Orang-orang Kafir penciptaan malaikat-malaikat itu?

umpananya ketika mengingkari Kelak akan ditulis persaksian mereka

adanya han kebangkitan dan dan mereka akan diininta memberi

mengatakan:

“Kehidupan ini tidak lain hanyalah

kehidupan di dunia saja, kita mati dan

pertanggung jawaban.” (al-Zuhruf:

19).

Al-Qur’an dalam ayat ini ingin

kita hidup dan tidak ada yang mengatakan kepada mereka, bahawa

membinasakan kita selain masa.” pendapat yang kamu pegang itu kalau

Al-Qur’an memberi komen dan benar maka harus berdasarkan atas

jawaban dalam ayat selanjutnya: penelitian, yang merupakan salah

“Dan mereka sekali kali tidak satu sarana ilmu pengetahuan yang

mempunyai pengetahuan tentang itu benar.

113 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

b. Al-Qur’an menceritakan kepada kita

tentang Nabi Ibrahim as dan

kaumnya, perdebatan yang terjadi

antara kedua belah pihak, dan

argumentasi-argumentasi rasional

yang tersusun dalam metode logika

yang bagus dan tepat, dan dapat

menjuruskan akal kepada konklusi-

konklusi yang benar dan meyakinkan,

seperti apa yang dinyatakan oleh ayat

di akhir cerita:

“Dan demikianlah Kami perlihatkan

kepada Ibrahim tanda-tanda

keagungan (Kami yang terdapat)

dilangit dan di bumi dan (Kami

perlihatkan) agar Ibrahim itu

termasuk orang-orang yang yakin.”

(al-An’am: 75).

c. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh

metode berfikir iliniah dan

methodologis. Di antara metode

bertikir iliniah dan metodhologis

yang diperkenalkan~oleh al-Qur’an

adalah sebagai berikut:

a) Metode sejarah: Terhadap

sejarah, sebagai salah satu

sumber pengetahuan manusia, al-

Qur’an telah memperhatikan

secara serius dengan

membincangkan kembali

keadaan dan pengalaman umat

manusia di masa lalu, dan

menyuruh setiap manusia untuk

melihat dan menemukan hukun-

hukum (sunnatullah) yang

terdapat di dalam setiap

peristiwa dan perubahan sejarah

nanusia:

“Sesungguhnya telah berlaku

sebelum kamu (contoh kejadian-

kejadian berdasarkan) hukum-

hukum Allah yang tetap; oleh itu

mengembaralah kamu di muka

bumi, kemudian perhatikanlah

bagaimana akibat orang-orang

yang mendustakan (Rasul-rasul).”

(Ali Imran: 137).

Demikian juga Al-Qur’an telah

memperhatikan pentingnya

memastikan secara kritis dan

objektif terhadap kebenaran

setiap berita dan data-data

sejarah:

“Hai orang-orang yang berman,

jika datang kepadamu orang

Fasik membawa suatu berita

maka periksalah dengan teliti.”

(al-Hujurat: 6).

Dan sini Al-Qur’an telah

meletakkan dasar yang paling

utama dalam kritik sejarah,

dimana ia telah meletakkan etika

penyampaian berita sebagai

faktor yang paling dominan

untuk menilai kandungan sebuah

berita. Orang-orang Islam telah

menerapkan prinsip ini dalam

periwayatan hadith Nabi. Prinsip

kritik yang telah diterapkan oleh

para perawi hadith inilah yang

kemudian menjadi prinsip dasar

dalam netode penelitian sejarah.

b) Metode silogisme: Metode ini

termasuk cabang ilnu mantik

(logika Aristotles), yaitu metode

berfikir untuk nendapatkan

keputusan atau hasil dan dua

114 Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

premis atau mukadimah. Metode

ini diisaratkan oleh al-Qur’an

daripada

denikian

api,

dalam

dan dengan

perspektif

dalam kisah Iblis ketika menolak manusia Adam lebih baik

untuk bersujud kepada Adam: daripada Iblis.

Allah berfirman: c) Metode qiyâs (analogical

”Hai lblis! Apa yang

menghalangimu daripada turut

sujud kepada (Adam) yang Aku

telah ciptakan dengan kekuasaan-

Ku? Adakah engkau berlaku

sombong takbur, ataupun engkau

dan golongan yang tertinggi? Iblis

menjawab: “Aku lebih baik

daripadanya; Engkau (wahai

Tuhanku) ciptakan daku dan api,

sedang dia Engkau ciptakan dan

tanah.” (Shad: 75-76).

Dalam peristiwa ini Iblis

membuat silogisme sebagai

berikut: Saya (Iblis) diciptakan

daripada api, Adam diciptakan

daripada tanah (premis I). Api

lebih baik daripada tanah

(premis II), maka saya (Iblis)

lebih baik daripada Adam

(keputusan) . Karena silogisme

ini Iblis menolak untuk bersujud

pada Adam. Dalam silogisme,

untuk nendapatkan keputusan

yang benar preinis pertama dan

kedua harus betul dan iliniah.

Struktur silogisme yang

digunakan Iblis ini memang betul

tetapi tidak ilmiah, karena premis

yang dia bangun bersifat subjektif

dan masih dapat dipertikaikan.

Bagi Iblis api lebih baik dan

tanah, tapi bagi manusia tanah

lebih baik dan lebih bermanfaat

deduction): Metode ini digunakan

dalan Usul Fiqh. Ayat al-Qur’an

yang mengisayaratkan metode ini

adalah:

“…Maka Allah menimpakan (azab-

Nya) kepada mereka dan arah

yang tidak terlintas dalam fikiran

mereka, serta dilemparkanNya

perasaan cemas takut ke dalam

hati mereka, (lalu) mereka

membinasakan rumah-rumah

mereka dengan tangan mereka

sendiri (dan dalam) sambil tangan

orang-orang yang berman (yang

mengepung mereka berbuat

deinikian dan luar). Maka ambilah

iktibar wahai orang-orang yang

berakal fikiran.” (al-Hashr: 2).

Dalam ayat ini Allah

menceritakan apa yang telah

terjadi pada Bani Nadhir, dimana

mereka ditimpa azab yang pedih

di dunia akibat dan kekafiran,

pelanggaran perjanjian dan tipu

muslihat nereka kepada Rasul

dan Kaum Mukinin. Kemudian

Allah memberi pernyataan:

“..Maka ambilah iktibar wahai

orang-orang yang berakal.”

Maknanya wahai orang-orang

yang berakal ambilah iktibar

terhadap apa yang menimpa

mereka dan sebab-sebab

mengapa mereka ditimpa

115 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

bencana tersebut, kemudi an

berusahalah untuk tidak

melakukan seperti apa yang telah

mereka lakukan, sehingga kamu

tidak ditimpa bencana seperti

mereka, kamu semua adalah

manusia-manusia seperti mereka,

dan apa yang terjadi pada mereka

boleh juga terjadi pada kamu

sekalian jika terdapat alasan/

sebab (‘illah) yang sama. Qiyâs

dalam Ushul Fiqh berbeda

dengan Silogisme. Dalam Usul

Fiqh, Qiyâs tidak harus memiliki

dua premis seperti dalam

Silogisme, sebagai contoh

praktikal, Rasulullah

menentukan: Seorang pembunuh

tidak boleh menerina warisan

dari orang yang dia bunuh. Secara

analogi seorang pembunuh juga

tidak boleh menerima bagian

wasiat dan orang yang dia bunuh.

Atau contoh lain, dalam al-Qur’an

Allah berfirman:

“Maka janganlah engkau berkata

kepada mereka (kedua orang tua)

sebarang perkataan kasar

sekalipun perkataan “Ha” dan

janganlah engkau membentak

mereka, tetapi katakanlah kepada

mereka perkataan yang mulia

(yang bersopan santun.” (al-Isrâ’:

23).

Secara analogi seseorang benar-

benar dilarang untuk memarahi

apalagi memukul kedua orang

tuanya.

d) Metode induksi: Induksi adalah

metode berfikir untuk

mendapatkan kesimpulan dan

hukum tertentu dan hal atau

fenomena yang umum. Metode ini

adalah metode empirik yang

menumpukan pada penelitian

secara mendalam dan terus-

menerus terhadap suatu objek

untuk mendapatkan kaedah-

kaedah atau hukum-hukum

tertentu. Dalam al-Qur’an proses

ini diawali dengan penelitian

terhadap bagian-bagian dan alan

raya ini:

“Katakanlah (wahai Muhammad):

“Perhatikan dan fikirkanlah apa

yang ada di langit dan di buini…”

(Yunus: 101).

Kemudian al-Qur’an menyuruh

manusia untuk meneliti esensi,

element dan bagaimana suatu

objek itu dicipta:

Tidakkah mereka memperhatikan

keadaan unta bagaimana ia

diciptakan? Dan keadaan langit

bagainana ia ditinggikan

binaannya.? Dan keadaan

gunung-ganang bagaimana ia

ditegakkan? Dan keadaan bumi

bagaimana ia dihamparkan? (al-

Ghâsyiyah: 17-20).

Al-Qur’an kemudian mengajarkan

manusia untuk mengkaji dan

meneliti secara mendalam

tentang hubungan dan pengaruh

suatu objek terhadap objek yang

lain, seperti dalam fenomena dan

116 Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

sebab-sebab terjadinya hujan, al-

Qur’an nengatakan:

“Dan Dialah (Allah) yang

menghantarkan angin sebagai

pembawa berita yang

mengembirakan sebelum

kedatangan rahmatnya (yaitu

hujan), hingga apabila angin itu

membawa awan mendung, Kami

halaukan dia ke negeri yang mati

(ke daerah yang kering kontang),

lalu Kami turunkan hujan dengan

awan itu, kemudian Kami

keluarkan dengan air hujan itu

berbagai-bagai jenis buah-

buahan.” (al-A’râf: 57).

Dan proses-proses inilah

kemudian manusia dapat

menyingkap kaidah-kaedah,

hukum-hukum dan teori-teori

tertentu tentang alam.

e) Metode argumentasi dengan

definisi: al-Qur’an mendefinisikan

dengan jelas dan rasional tentang

Allah, tentang manusia, tentang

khamar dan lain-lain. Sebagai

contoh al-Qur’an mendefinisikan

Allah dengan mengungkapkan

sitat-sifat dan kekuasaanNya:

“Sesungguhnya Allah adalah Dia

yang membelah (menumbuhkan)

butir (tumbuh-tumbuhan) dan biji

(buah-buahan). Ia mengeluarkan

yang hidup dan yang mati, dan

mengeluarkan yang mati dan

yang hidup. Yang sedemikian itu

kekuasaannya ialah Allah. Maka

bagaimanakah kamu dipalingkan

dan menyembahNya (oleh benda-

benda yang kamu jadikan sekutu-

Nya)? Allah jualah Yang

membelah cahaya subuh (yang

menyingsingkan fajar), dan yang

menjadikan malam untuk tinggal

berehat, dan menjadikan

matahari dan bulan untuk

mengira waktu (menurut

peredarannya). Yang demikian itu

adalah kuasa penentuan Allah

Yang Maha Kuasa, lagi Maha

Mengetahui.” (al-An’am: 95-96).

f) Metode perbandingan: Al-Qur’an

banyak menggunakan metode ini,

dengan maksud membandingkan

antara hak dan batil, baik dan

buruk, cahaya dan kegelapan,

antara yang celik dan yang buta,

dan antara Tuhan yang patut

disembah dan yang tidak.:

“Adakah Allah yang menciptakan

senuanya itu sama seperti

makhluk-makhluk yang tidak

menciptakan sesuatu?” (al-Nahl:

17),

“Bertanyalah lagi: “Adakah sama,

orang yang buta dengan orang

yang celik? Atau adakah sama,

gelap-gelita dengan terang? …”

(al-Ra’d: 16).

KESIMPULAN

Bahasa merupakan sarana

mengkomunikasikan cara-cara berpikir

sistematis dalam memperoleh ilmu.

Tanpa kemampuan berbahasa, seseorang

tidak akan dapat melakukan kegiatan

ilmiah secara sistematis dan benar.

Logika sebagai sarana berpikir

117 Jurnal Al-Hikmah Vol 7 Oktober 2019| 97~10

ilmiah mengarahkan manusia untuk

berpikir dengan benar sesuai dengan

kaidah-kaidah berpikir yang benar.

Logika membantu manusia dapat berpikir

dengan sistematis yang dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Jika ingin melakukan kegiatan berpikir

dengan benar maka harus menggunakan

kaidah-kaidah berpikir yang logis. Logika

dapat membedakan antara proses

berpikir yang benar dan proses berpikir

yang salah.

matematika merupakan sarana

berpikir deduktif maka orang dapat

menggunakan statistika untuk berpikir

induktif. Berpikir deduktif dan berpikir

induktif diperlukan untuk menunjang

kegiatan ilmiah yang benar sehingga akan

menghasilkan suatu pengetahuan yang

benar pula.

Statistika tidak boleh dipandang

sebelah mata oleh orang yang ingin

mampu melaksanakan kegiatan ilmiah

dengan baik. Penguasaan statistika

sangat diperlukan bagi orang-orang yang

akan menarik kesimpulan dengan sah.

Selain memberikan kebebasan akal

untuk melakukan tugas-tugasnya sesuai

dengan kenampuan dan kekuatan yang

dimiliki. Al-Qur’an memberikan banyak

bukti-bukti perlunya berfikir iliniah, kritis

dan metodologis.

118 Abdullah Affandi| Paradigma Ilmiah Persfektif . . .

BIBLIOGRAPHY

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009).

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006).

Depag RI, Alquran dan terjemahanya, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).

Khodijah, Nyayu, Psikologi Belajar, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006).

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta: UIP, 1985).

Salam, Burhanuddin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta,

1997).

Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008).

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2003).

Susanto, A., Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011).

Syadali, Ahmad dan Mudzakir Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia Fuad al-Ahwan,

2004).

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar

Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2010).

*****