View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN
MOSQUITO-BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA
TAHUN 2009-2016
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh:
Afza Azzindani
1113101000098
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 28 Desember 2017
Afza Azzindani, NIM: 1113101000098
ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN MOSQUITO-
BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009-2016
(xxi + 153 halaman, 14 tabel, 9 grafik, 5 lampiran)
ABSTRAK
Latar Belakang: Jumlah kasus mosquito-borne disease mengalami flutuasi selama
di Provinsi DKI Jakarta selama tiga tahun terakhir, yaitu terdapat 18.497 kasus pada
tahun 2014, 11.996 kasus pada tahun 2015, dan 39.723 kasus pada tahun 2016.
Perubahan parameter iklim merupakan faktor lingkungan yang mengakibatkan
fluktuasi insidens mosquito-borne disease. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara perubahan parameter iklim dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan
menggunakan desain time-trend ecologic study dan analisis korelasi spearman.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat agregat meliputi data
insidens mosquito-borne disease (meliputi insidens DBD, insidens chikungunya,
dan insidens malaria), data curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban
udara di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009-2016.
Hasil Penelitian: Diketahui bahwa terjadi perubahan pola iklim pada parameter
curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009-2016. Pola curah hujan, hari hujan, dan kelembaban udara memiliki
pola yang sama dengan insidens mosquito-borne disease dengan time-lag terjadi
selama 1-3 bulan (dengan time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Terdapat
tiga parameter iklim yang memiliki hubungan dengan mosquito-borne disease,
yaitu curah hujan (P value = 0,002 / r = 0,314), hari hujan (P value = 0,001 / r =
0,338), dan kelembaban udara (P value = 0,000 / r = 0,460). Berbeda dengan suhu
udara, varibel ini tidak memiliki hubungan yang signifikan (P value = 0,061 / r = -
0,192), hal ini disebabkan oleh suhu udara yang berada di atas 290C akan
menimbulkan penurunan jumlah insidens.
Simpulan: Parameter iklim yang memiliki hubungan dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016, yaitu curah hujan, hari hujan, dan
kelembaban udara.
Kata Kunci: Iklim, Curah Hujan, Hari Hujan, Suhu Udara, Kelembaban Udara,
Mosquito-borne Disease
Daftar Bacaan: 103 (1954-2017)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH
ENVIRONMENTAL HEALTH CONCENTRATION
Ungraduate Thesis, December 2017
Afza Azzindani, NIM: 1113101000098
ANALYSIS OF CLIMATE PARAMETERS CHANGES AND MOSQUITO-
BORNE DISEASE IN DKI JAKARTA PROVINCE REGENCY YEAR 2009-
2016
(xxi + 153 pages, 14 tables, 9 charts, 5 attachements)
ABSTRACT
Background: The number of cases of mosquito-borne disease has floried during
the last three years in DKI Jakarta, ie 18,497 cases in 2014, 11,996 cases in 2015,
and 39,723 cases in 2016. Changes in climate parameters are environmental factors
that result in fluctuations in the incidence of mosquito-borne disease. This research
was conducted to find out the correlation between climate parameter change with
mosquito-borne disease in DKI Jakarta Province 2009-2016.
Method: This research is descriptive research using time-trend design of ecologic
study and spearman correlation analysis. This study uses aggregate secondary data
covering incident data of mosquito-borne disease (including incidence of dengue
fever, chikungunya incidence, and malaria incidence), rainfall, rainy days,
temperature and humidity data in DKI Jakarta Province 2009-2016 .
Result: It is known that there is a change of climate pattern on the parameters of
rainfall, rainy days, air temperature, and air humidity in DKI Jakarta Province in
2009-2016. Rainfall patterns, rainy days, and air humidity have the same pattern
with the incidence of mosquito-borne disease with time-lag occurring for 1-3
months (with time-lag at most 2 months). There are three climatic parameters that
have relationship with mosquito-borne disease, that is rainfall (P value = 0,002 / r
= 0,314), rainy day (P value = 0,001 / r = 0,338), and air humidity (P value = 0,000
/ r = 0.460). In contrast to air temperature, this variable has no significant
relationship (P value = 0.061 / r = -0.192), this is caused by the temperature of air
above 290C will cause a decrease in the number of incidents.
Conclusion: Climate parameter that has relationship with mosquito-borne disease
in DKI Jakarta Province year 2009-2016, that is rainfall, rainy days, and air
humidity.
Keyword: Climate, Rainfall, Rainy Days, Air Temperature, Humidity, Mosquito-
borne Disease
Reading Lists: 103 (1954-2017)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN MOSQUITO-
BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009-2016
Disusun oleh
AFZA AZZINDANI
1113101000098
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan Tim Penguji Sidang Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Januari 2018
Mengetahui,
Pembimbing
Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D
NIP.19750316 200710 2 001
vii
PANITIA SIDANG HASIL SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Januari 2018
Penguji I,
Yuli Amran, MKM
NIP.19800506 200801 2 015
Penguji II,
Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK
Penguji III,
Dr. dr. Satria Pratama, Sp.P
viii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2017
Afza Azzindani
ix
RIWAYAT HIDUP
Data Diri
Nama : Afza Azzindani
NIM : 1113101000098
Tempat, tanggal Lahir : Lamongan, 20 September 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Telepon : 085 755 448 505
Email : afza.azzindani13@mhs.uinjkt.ac.id
Alamat : Jl. Tarumanegara No 48C, Pisangan, Ciputat,
Tangerang Selatan
Riwayat Pendidikan
2001 – 2007 MI Muhammadiyah 13 Paciran
2007 - 2010 SMP Muhammadiyah 12 Paciran
2010 - 2013 MA Al-ISHLAH Paciran
2013 - 2017 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Kesehatan Lingkungan
x
KATA PENGANTAR
نٱللٱبسم لرحيمٱلرحم
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan magang ini
dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa senantiasa dilimpahkan keharibaan
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat-Nya dari zaman yang gelap
gulita menuju ke zaman yang terang benderang. Atas segala rahmat dan karunia-
Nya sampai saat ini sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “
Analisis Perubahan Parameter Iklim dan Mosquito-Borne Disease di Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2009-2016”. Oleh karena itu, ucapan terimakasih dituturkan
secara ikhlas dan penuh kerendahan hati atas terselasaikannya Skripsi ini. Kepada:
1. Orang tua, kakak, dan adik yang selalu mendoakan dan mendukung dalam
penyelesaian skripsi ini.
2. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing fakultas yang selalu
siap memberikan bimbingan, pengarahan, serta semangat selama proses
pelaksanaan skripsi.
3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, dan Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr.Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku ketua Peminatan Kesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Yuli Amran, MKM, Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK, dan Dr.
xi
dr. Satria Pratama, Sp.P selaku penguji sidang skripsi.
6. Semua civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut
memberikan berbagai fasilitas yang mendukung seluruh kegiatan skripsi ini serta
berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
memberikan kontribusi dalam proses kegiatan skripsi ini.
7. Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2013 yang selalu memberikan semangat.
Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang harus penulis pelajari dan
perbaiki. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini.
Jakarta, Januari 2018
Penulis
xii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. viii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xvii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................. 10
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................ 10
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 11
1.5.1 Manfaat Teoritis .............................................................................. 11
1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................................... 12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14
2.1 Mosquito-borne Disease ......................................................................... 14
2.1.1 Definisi Mosquito-borne Disease .................................................... 14
2.1.2 Demam Berdarah Dengue ............................................................... 14
2.1.3 Chikungunya ................................................................................... 19
2.1.4 Malaria ............................................................................................ 20
2.1.5 Upaya Pemberantasan ..................................................................... 25
2.2 Perubahan Iklim ..................................................................................... 27
2.2.1 Definisi Iklim .................................................................................. 27
xiii
2.2.2 Parameter Iklim ............................................................................... 27
2.2.3 Definisi Perubahan Iklim ................................................................ 32
2.2.4 Penyebab Perubahan Iklim .............................................................. 33
2.2.5 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan ............................... 35
2.2.6 Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim .......................................... 36
2.3 Studi Ekologi .......................................................................................... 40
2.4 Data Surveilans ....................................................................................... 43
2.5 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) .................... 47
2.5.1 Sejarah ............................................................................................. 47
2.5.2 Visi dan Misi ................................................................................... 49
2.5.3 Tugas dan Fungsi ............................................................................ 50
2.6 Kerangka Teori ....................................................................................... 52
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 54
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 54
3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 56
3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 58
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 59
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 59
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 60
4.3 Populasi .................................................................................................. 60
4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 61
4.5 Pengumpulan Data ................................................................................. 61
4.6 Pengolahan Data ..................................................................................... 62
4.7 Analisis Data .......................................................................................... 63
4.7.1 Analisis Univariat............................................................................ 63
4.7.2 Analisis Bivariat .............................................................................. 64
4.8 Penyajian Data ........................................................................................ 66
BAB V HASIL ...................................................................................................... 67
5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian ............................................................ 67
5.1.1 Karakteristik Geografi ..................................................................... 67
5.1.2 Karakteristik Demografi.................................................................. 69
5.1.3 Karakteristik Fasilitas Kesehatan .................................................... 71
5.2 Analisis Univariat ................................................................................... 72
xiv
5.1.1 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016 ..................................................................................................... 72
5.1.2 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
79
5.1.3 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 . 84
5.1.4 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 89
5.1.5 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-
2016 94
5.3 Analisis Time-trend Ecologic Study berdasarkan Pola Grafik ............... 99
5.3.1 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI
Jakarta 100
5.3.2 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI
Jakarta 104
5.3.3 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI
Jakarta 107
5.3.4 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi
DKI Jakarta ................................................................................................. 110
5.4 Analisis Bivariat ................................................................................... 114
5.4.1 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 114
5.4.2 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 114
5.4.3 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 115
5.4.4 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne
Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ..................................... 116
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................... 117
6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 117
6.2 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-
2016 118
6.3 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ... 119
6.4 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ...... 124
6.5 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ..... 128
6.6 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
130
6.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2009-2016 ................................................................................ 132
xv
6.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2009-2016 ............................................................................................ 135
6.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2009-2016 ............................................................................................ 137
6.10 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ........................................................................ 139
6.11 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ........................................................... 141
6.12 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ........................................................... 143
6.13 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ........................................................... 145
6.14 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 147
BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 149
7.1 Simpulan ............................................................................................... 149
7.2 Saran ..................................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 154
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria Plasmodium ...................................... 25
Tabel 2.2 Perbedaan pada Jenis Studi Ekologi ..................................................... 42
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 56
Tabel 4.1 Interpretasi Parameter Hasil Analisis Data Berdasarkan Nilai ............. 65
Tabel 5.1 Gambaran Insidens Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2009-2016 .................................................................................................. 75
Tabel 5.2 Gambaran Angka Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
............................................................................................................................... 82
Tabel 5.3 Gambaran Jumlah Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
............................................................................................................................... 87
Tabel 5.4 Gambaran Kondisi Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
............................................................................................................................... 92
Tabel 5.5 Gambaran Kondisi Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016 ............................................................................................................. 97
Tabel 5.6 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................... 114
Tabel 5.7 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................................. 115
Tabel 5.8 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................... 115
Tabel 5.9 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................... 116
Tabel 6.1 Rata-rata Curah Hujan Bulanan Seluruh Indonesia ............................ 120
xvii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Gambaran Pola Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016 ............................................................................................................. 74
Grafik 5.2 Gambaran Pola Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
............................................................................................................................... 80
Grafik 5.3 Gambaran Pola Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
............................................................................................................................... 85
Grafik 5.4 Gambaran Pola Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
............................................................................................................................... 90
Grafik 5.5 Gambaran Pola Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-
2016 ....................................................................................................................... 95
Grafik 5.6 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009-2016 .................................................................................... 101
Grafik 5.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009-2016 ..................................................................................... 105
Grafik 5.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009-2016 ..................................................................................... 108
Grafik 5.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................................. 111
xviii
DAFTAR ISTILAH
Agent : Patogen penyakit
Antropofilik : Nyamuk yang lebih memilih untuk mengambil
makanan dari darah manusia
Antropogenik : Sumber pencemaran yang tidak alami timbul
karena ada pengaruh atau campur tangan
manusia atau aktifitas manusia
Arthopod-borne virus : Segala penyakit yang diakibatkan oleh
mikroorganisme dan disebarkan oleh
Arthopoda
CDM : Clean Development Mechanism, adalah
mekanisme pembangunan ramah lingkungan
sebagai upaya mitigasi perubahan iklim
CFC : Klorofluorokarbon, yaitu senyawa-senyawa
yang mengandung atom karbon dengan klorin
dan fluorin terikat padanya
CP-EE : Cleaner Production and Energy Efficiency,
adalah program produksi bersih dan efisiensi
energi
Deforestasi : Proses penghilangan hutan alam dengan cara
penebangan untuk diambil kayunya
Dipole Mode : Dipole Mode merupakan fenomena interaksi
laut–atmosfer di Samudera Hindia yang
dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih)
xix
antara anomali suhu muka laut perairan pantai
timur Afrika dengan perairan di sebelah barat
Sumatera
Echymosis : Lebam
El-Nino : Fenomena global dari sistem interaksi lautan
atmosfer yang ditandai dengan memanasnya
suhu permukaan laut di Ekuator Pasifik Tengah
Endophagic : Perilaku memakan nyamuk di dalam rumah
atau ruangan
Endophilic : Perilaku istirahat nyamuk di dalam ruangan
Environment : Lingkungan tempat berinteraksi antara pejamu
dan agen penyakit
Exophagic : Perilaku memakan nyamuk di luar rumah atau
ruangan
Exophilic : Perilaku istirahat nyamuk di luar ruangan
Extrinsic incubation period : Masa inkubasi patogen dalam tubuh nyamuk
Freezing point : Titik beku
Green House Gases : Gas Rumah Kaca
HFC : Gas Hydrofluorokarbon adalah kelompok gas
rumah kaca yang digunakan sebagai refrigeran
(pendingin)
Host : Pejamu agen penyakit
Hygrometer : Instrumen untuk mengukur tingkat kelembaban
pada suatu tempat
xx
Insidens : Jumlah kasus penyakit selama suatu periode
tertentu pada populasi tertentu
Intrinsic incubation period : Masa inkubasi patogen dalam tubuh manusia
Japanese Encephalitis Virus : Virus penyebab infeksi otak (Japanese
Encephalitis)
La-Nina : Anomali suhu permukaan laut negatif (lebih
dingin dari rata-ratanya) di Ekuator Pasifik
Tengah
Liquid-in-glass thermometer : Thermometer kaca
LULUCF : Land Use, Land-Use Change And Forestry,
adalah penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan kehutanan sebagai salah
satu penyebab perubahan iklim
Mosquito Biting Rate : Kepadatan menggigit pada nyamuk
Mosquito-borne disease : Segala penyakit yang diakibatkan oleh
mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk
Online : Terhubung dengan internet
Petechiae : Bintik perdarahan
PFC : Perfluorokarbon, yaitu jenis bahan kimia yang
banyak digunakan pada produk anti-lengket
dan pengemas makanan yang bersifat menolak
air dan lemak
Presipitasi : Curah hujan atau turunnya air dari atmosfer ke
permukaan bumi dan laut
xxi
Purpura : Ruam
Raingauge : Instrumen yang digunakan untuk menghitung
jumlah curah hujan
Siklus ekso-eritrositer : Siklus perkembangan patogen di dalam hati
Skizon : Stadium reproduksi protozoa dalam tubuh
manusia
Software : Perangkat lunak
Sporozoit : Bentuk Plasmodium yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
Anopheles
Tropozoit : Daur hidup protozoa dalam tubuh manusia
Vector-borne disease : Penyakit yang ditularkan melalui vektor
Virulensi : Kapasitas relatif patogen untuk mengatasi
pertahanan tubuh
West Nile Virus : Virus penyakit yang disebarkan melalui
nyamuk yang dapat menyebabkan radang otak
dan dapat menjadi serius bahkan fatal, penyakit
Yellow Fever (Demam Kuning) : Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk yang
terinfeksi virus
1
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mosquito-borne disease saat ini menjadi salah satu golongan penyakit yang
masih belum mengalami penurunan secara signifikan. Golongan penyakit ini
merupakan bagian dari vector-borne disease atau penyakit yang ditularkan melalui
vektor. Mosquito-borne disease sendiri adalah segala penyakit yang diakibatkan
oleh mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk (WMO, 2016b). Nyamuk
menjadi binatang paling mematikan di dunia karena nyamuk menimbulkan
berbagai penyakit yang mematikan (WHO, 2015). Terdapat enam penyakit yang
termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya, Zika Virus,
Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow Fever
(WHO, 2015). Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat empat penyakit yang
tergolong dalam mosquito-borne disease, yaitu DBD, Chikungnuya, Malaria, dan
Filariasis (Prastowo and Anggraini, 2011).
Golongan penyakit ini telah menimbulkan angka kesakitan dan angka
kematian yang cukup tinggi di dunia. Di tahun 2015 terdapat 438.000 kematian
akibat dari malaria (WHO, 2015). Sedangkan insidens DBD meningkat 30 kali lipat
selama 30 tahun terakhir dan beberapa negara melaporkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) akibat penyakit ini (WHO, 2015). Berdasarkan data dari WHO tahun 2017,
terdapat 36 negara yang teridentifikasi endemis chikungunya termasuk Indonesia.
Selain itu tiga penyakit mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya, Zika Virus,
2
dan DBD ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti (WHO, 2015). Oleh karena itu,
pengendalian nyamuk secara berkelanjutan sangat diperlukan untuk menurunkan
insiden mosquito-borne disease.
Di Indonesia, mosquito-borne disease masih menjadi permasalahan yang
sangat serius dan belum terselesaikan sampai saat ini. Misalnya malaria, penyakit
ini mengalami peningkatan insiden sebesar 0,3% pada tahun 2007 menjadi 1,4%
pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013b). Selain itu pada bulan Januari sampai
Februari 2016, muncul KLB penyakit DBD di 12 Kabupaten dan 3 Kota dari 11
Provinsi di Indonesia (Kemenkes RI, 2016).
Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan
insidens mosquito-borne disease yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil Surveilans
Terpadu Penyakit (STP), jumlah kasus malaria di DKI Jakarta bersifat fluktuatif
setiap tahunnya, dimana terjadi 35 kasus pada tahun 2014, kemudian turun menjadi
22 kasus pada tahun 2015, dan mengalami peningkatan menjadi 52 kasus pada
tahun 2016 (Dinkes DKI Jakarta, 2016). Sedangkan, jumlah kasus Chikungunya
berdasarkan hasil STP bersifat fluktuatif setiap tahunnya, dimana terjadi 27 kasus
pada tahun 2014, kemudian turun menjadi 9 kasus pada tahun 2015, dan mengalami
peningkatan menjadi 22 kasus pada tahun 2016 (Dinkes DKI Jakarta, 2016). Jumlah
kasus DBD berdasarkan hasil STP bersifat fluktuatif setiap tahunnya, dimulai dari
18.435 kasus pada tahun 2014, kemudian menurun menjadi 11.965 kasus pada
tahun 2015, dan mengalami peningkatan menjadi 39.649 kasus pada tahun 2016
(Dinkes DKI Jakarta, 2016).
3
Berdasarkan hasil pengamatan data jumlah kasus mosquito-borne disease
yang diperoleh dari penjumlahan data STP DBD, Malaria, dan Chikungunya tahun
2014-2016 Unit Surveilans Epidemiologi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
menunjukkan peningkatan yang signifikan di beberapa kota administrasi. Kota
administrasi Jakarta Pusat mengalami fluktuasi jumlah kasus mosquito-borne
disease selama 3 tahun terakhir, yaitu 1.768 kasus pada tahun 2014, 1.007 kasus
pada tahun 2015, dan 3.469 kasus pada tahun 2016. Sedangkan kota administrasi
Jakarta Utara mengalami fluktuasi setiap tahunnya, mulai dari 3.642 kasus pada
tahun 2014, 3.310 kasus pada tahun 2015, dan 6.566 kasus pada tahun 2016. Kota
administrasi Jakarta Barat mengalami fluktuasi jumlah kasus mosquito-borne
disease, yaitu 3.552 kasus pada tahun 2014, 2.098 kasus pada tahun 2015, dan 8.500
kasus pada tahun 2016. Kota administrasi Jakarta Selatan mengalami fluktuasi
jumlah kasus mosquito-borne disease, yaitu 4.580 kasus pada tahun 2014, 2.378
kasus pada tahun 2015, dan 8.878 kasus pada tahun 2016. Kota administrasi Jakarta
Timur mengalami fluktuasi jumlah kasus mosquito-borne disease, yaitu 4.937
kasus pada tahun 2014, 3.184 kasus pada tahun 2015, dan 12.289 kasus pada tahun
2016. Dan Kabupaten Kepuluan Seribu selalu mengalami peningkatan jumlah
kasus mosquito-borne disease, yaitu 18 kasus pada tahun 2014, 19 kasus pada tahun
2015, dan 21 kasus pada tahun 2016. Dari data di atas dapat diketahui bahwa
insidens mosquito-borne disease bersifat fluktuatif di beberapa kota administrasi
Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa mosquito-borne disease belum
dapat dikendalikan sampai saat ini.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian mosquito-
borne disease. Faktor-faktor tersebut adalah faktor manusia dan sosial budaya,
4
perilaku manusia, faktor lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan (Kemenkes
RI, 2011a). Faktor lingkungan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh
terhadap mosquito-borne disease, dimana lingkungan menjadi tempat pertemuan
antara pejamu dan agen penyakit. Menurut John Gordon, saat lingkungan
mengalami pergeseran atau perubahan yang signifikan, akan mengakibatkan
kerentanan pada pejamu dan peningkatan jumlah populasi serta peningkatan
virulensi agen penyakit (Maryani, 2010).
Pergeseran lingkungan yang saat ini terjadi yaitu perubahan iklim. Iklim
sendiri merupakan bagian dari lingkungan yang timbul dari interkasi parameter
abiotik ekosistem. Kondisi iklim memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi aktifitas
makhluk hidup. Iklim adalah iklim suatu wilayah atau negara, termasuk deskripsi
statistik dari sistem iklim pada wilayah tersebut yang terdiri dari beberapa
parameter iklim (Aldrian, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa saat perubahan iklim
sedang berlangsung, maka akan memicu ketidakseimbangan pada lingkungan.
Penelitian yang telah dilakukan beberapa dekade terakhir menunjukkan
bahwa perubahan iklim sedang berlangsung (IPCC 2014). Secara singkat
perubahan iklim dapat diartikan sebagai perubahan kondisi parameter iklim dalam
rentang waktu tertentu. Menurut beberapa sumber, perubahan iklim adalah
berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman iklim dalam periode
tertentu sebagai akibat dari aktivitas manusia (IPCC, 2007b; Pemerintah RI, 2008;
Aldrian, 2013; KLHK, 2016).
Umumnya perubahan iklim timbul akibat dari perubahan komposisi atau
struktur atmosfer bumi, dimana perubahan ini ditimbulkan dari meningkatnya Gas
5
Rumah Kaca (GRK) atau dalam istilah international disebut dengan Green House
Gases (GHG). Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berada di atmosfer dan
menyebabkan efek rumah kaca (Gunawan, 2013). GRK dapat muncul secara alami
di lingkungan dan juga dapat timbul akibat dari kegiatan antropogenik.
Di Indonesia emisi GRK diperkirakan akan tumbuh 2% per tahun dan
mencapai 2.80 miliar ton CO2 pada 2020 dan 3.60 miliar ton CO2 pada 2030
(Gunawan, 2013). Sumber utama dari kenaikan emisi GRK tersebut berasal dari
pembangkit listrik, transportasi, dan deforestasi lahan gambut (Gunawan, 2013).
Deforestasi lahan gambut maupun lahan non-gambut menyumbang 80% dari emisi
GRK di Indonesia (Gunawan, 2013). Peningkatan jumlah industri dan transportasi
menyebabkan meningkatnya konsumsi energi yang bersumber dari bahan bakar
fosil, sehingga peningkatan emisi hasil pembakaran meningkatkan GRK di
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
penyumbang GRK global.
Bukti terjadinya perubahan iklim global pada beberapa dekade terakhir telah
dikemukakan oleh International Panel on Climate Change (IPCC). IPCC telah
menyatakan bahwa bumi sedang mengalami perubahan iklim global (IPCC, 2007a).
Berdasarkan dokumen peninjauan IPCC keempat tahun 2007, menunjukkan bahwa
bumi mengalami peningkatan suhu permukaan antara 1,1-6,4oC pada abad ke-21
ini, atau mengalami peningkatan suhu 2-9 kali lebih panas dari abad sebelumnya
(IPCC, 2007a). Dengan kata lain, perubahan iklim dapat minumbulkan dampak
pada frekuensi dan luas dari cuaca ekstrim, gelombang panas, kebakaran hutan,
banjir, dan siklon (Bai, Morton and Liu, 2013). Di sisi lain perubahan iklim telah
6
diidentifikasi menjadi salah satu faktor risiko yang bersifat mengancam derajat
kesehatan masyarakat (Akerlof et al., 2010; Wei et al., 2014; Yusa et al., 2015).
Peningkatan suhu permukaan bumi menimbulkan ketidakseimbangan pada
sistem iklim. Hal ini memicu terjadinya kerusakan pola iklim dan cuaca, serta
kondisi iklim yang sulit untuk diprediksi dengan tepat (IPCC, 2007c). Pola iklim
yang mengalami gangguan akan meningkatkan tingkat stress pada manusia dan
berpotensi untuk menimbulkan kerentanan pada sistem kekebalan tubuh (WHO,
2003; Dittmar et al., 2014; Rowley et al., 2016). Imunitas tubuh yang telah
mengalami penurunan berpotensi menimbulkan kerentanan individu terhadap
berbagai penyakit infeksius seperti mosquito-borne disease (WHO, 2003).
Sebelum terjadi gangguan pola iklim mosquito-borne disease cenderung
meningkat saat memasuki musim hujan. Sebuah penelitian yang dilakukan di
Jakarta menunjukkan bahwa DBD memiliki risiko serangan yang besar ketika
memasuki musim hujan, dimana penyakit ini memiliki keterkaitan yang erat dengan
curah hujan (Susanto, 2004). Penelitian lain yang dilakukan di Kabupaten
Sukabumi menyatakan bahwa kepadatan menggigit atau Mosquito Biting Rate
(MBR) nyamuk Anopheles sp meningkat saat musim hujan akibat dari curah hujan
yang cukup tinggi (Hakim and Ipa, 2007).
Pola iklim yang mengalami gangguan akan membuat suhu, kelembaban,
curah hujan dan hari hujan menjadi tidak teratur. Sebuah penelitian yang dilakukan
di Yogyakarta menunjukkan bahwa 50,6% sumur positif larva Aedes aegypti pada
musim penghujan dan 33,33% pada musim kemarau (Purnama and Baskoro, 2012).
Hal ini menimbulkan peningkatan jumlah populasi nyamuk, dimana nyamuk dapat
7
berkembangbiak setiap saat baik pada saat musim hujan maupun musim kemarau.
Selain itu nyamuk juga dapat menyerang kapan saja saat kondisi suhu dan
kelembaban optimal untuk melakukan aktivitas (Perwitasari et al., 2004; Mardiana
and Perwitasari, 2014).
Dari hasil studi litelatur, tidak ditemukan data mengenai perubahan suhu di
Provinsi DKI Jakarta. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu
yang mengalami peningkatan akan mengakibatkan perubahan pola hidup nyamuk
(Negev et al., 2015; Paz, 2015; Wu et al., 2016). Perubahan iklim dapat
memberikan dampak langsung pada kelangsungan hidup, reproduksi, kepadatan
menggigit dan siklus hidup agen (Negev et al., 2015; Wu et al., 2016). Selain itu
perubahan iklim juga dapat memberikan dampak yang tidak langsung pula melalui
perubahan habitat, perubahan kondisi lingkungan, atau pesaing agen (Wu et al.,
2016). Kedua dampak ini memicu berkembangan nyamuk lebih cepat, dimana
semakin cepat nyamuk berkembang semakin tinggi pula perilaku makan nyamuk
dan menurunnya masa inkubasi ekstrinsik dalam tubuh nyamuk (Negev et al.,
2015). Hal ini akan mengakibatkan transmisi ke dalam tubuh manusia menjadi lebih
cepat dan berlangsung berulang kali, sehingga manusia tersebut akan mudah
terserang mosquito-borne disease saat berada dalam kondisi rentan. Inilah yang
berpotensi meningkatkan insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta.
Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian terkait perubahan parameter
iklim dan mosquito-borne disease, dimana dengan terjadinya perubahan iklim
akankah sejalan dengan insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta.
8
1.2 Rumusan Masalah
Mosquito-borne disease menjadi salah satu masalah kesehatan yang belum
terselesaikan sampai saat ini, dimana penyakit ini belum mengalami penurunan
insidens secara signifikan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu
lingkungan. Lingkungan menjadi faktor yang penting karena menjadi tempat
pertemuan antara host (manusia) dan agent penyakit (nyamuk dan
mikroorganisme), dimana saat lingkungan mengalami pergeseran maka akan
timbul suatu dampak dimana host akan menjadi rentan terhadap penyakit dan agent
mosquito-borne disease akan mengalami peningkatan jumlah populasi.
Pergeseran lingkungan yang saat ini terjadi adalah perubahan iklim global.
Berdasarkan Laporan Perubahan Iklim Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh IPCC,
menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi
sebesar 0,3oC sampai 4,8oC pada akhir abad 21 (2081-2100) terhitung dari akhir
abad 20 (1986-2005) (IPCC, 2014). Hal ini memicu terjadinya kerusakan pola iklim
dan cuaca, serta kondisi iklim yang sulit untuk diprediksi dengan tepat (IPCC,
2007c). Selain itu pola iklim yang rusak akan membuat pola hujan menjadi tidak
teratur dan bersifat mendukung terhadap peningkatan populasi nyamuk. Sebelum
iklim mengalami kerusakan yang cukup parah, kepadatan menggigit atau Mosquito
Biting Rate (MBR) nyamuk Anopheles sp meningkat saat musim hujan akibat dari
curah hujan yang cukup tinggi (Hakim and Ipa, 2007). Namun saat ini mosquito-
borne disease berpotensi muncul di semua musim, dimana hasil sebuah penelitian
menunjukkan bahwa 50,6% sumur positif larva Aedes aegypti pada musim
penghujan dan 33,33% pada musim kemarau di Yogyakarta (Purnama and Baskoro,
9
2012). Hal ini sangat berpotensi untuk meningkatkan jumlah kasus mosquito-borne
disease. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian terkait perubahan iklim
dan mosquito-borne disease, dimana apakah pola iklim memiliki pola yang sama
dengan angka kejadian mosquito-borne disease.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009-2016 ?
2. Bagaimana gambaran variasi curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016 ?
3. Bagaimana gambaran variasi hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016 ?
4. Bagaimana gambaran variasi suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016 ?
5. Bagaimana gambaran variasi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009-2016 ?
6. Bagaimana gambaran pola curah hujan dan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
7. Bagaimana gambaran pola hari hujan dan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
8. Bagaimana gambaran pola suhu udara dan mosquito-borne disease dan di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
9. Bagaimana gambaran pola kelembaban udara dan mosquito-borne disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
10
10. Apakah terdapat hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
11. Apakah terdapat hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
12. Apakah terdapat hubungan antara suhu udara dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
13. Apakah terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-
borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya perubahan parameter iklim yang berhubungan dengan
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009-2016.
2. Diketahuinya gambaran variasi curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016.
3. Diketahuinya gambaran variasi hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016.
4. Diketahuinya gambaran variasi suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016.
5. Diketahuinya gambaran variasi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009-2016.
11
6. Diketahuinya gambaran pola antara curah hujan dan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
7. Diketahuinya gambaran pola antara hari hujan dan mosquito-borne disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
8. Diketahuinya gambaran pola antara suhu udara dan mosquito-borne disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
9. Diketahuinya gambaran pola antara kelembaban udara dan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
10. Diketahuinya hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
11. Diketahuinya hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
12. Diketahuinya hubungan antara suhu dengan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
13. Diketahuinya hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Menambah wawasan pembaca terkait perubahan iklim dan mosquito-borne
disease, serta gambaran alur dampak perubahan iklim terhadap mosquito-
borne disease.
2. Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan atau sumber
referensi dalam melakukan penelitian terkait perubahan iklim maupun
12
mosquito-borne disease.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Instansi Pemerintahan (Kementrian dan Dinas Kesehatan)
a. Sebagai bahan masukan dalam proses pembuatan kebijakan dan
pengambilan keputusan, dalam terjadinya perkembangan kasus
mosquito-borne disease akibat dari adanya perubahan iklim.
b. Sebagai landasan atau bukti (evidence) pemerintah untuk meningkat
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sesuai dengan pedoman
yang telah disusun.
2. Bagi Lembaga Penelitian
Sebagai bahan informasi tambahan bagi lembaga penelitian untuk
mengembangkan serta melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak
perubahan iklim terhadap mosquito-borne disease, serta penelitian tentang
perubahan iklim itu sendiri maupun penelitian lain terkait mosquito-borne
disease.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak
perubahan iklim terhadap mosquito-borne disease, agar masyarakat menjadi
patuh terhadap kebijakan pemerintah dalam meningkatkan upaya mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta
masyarakat diharapkan menjadi aktif dalam melakukan upaya
pemberantasan nyamuk dan sarangnya.
13
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan
desain time-trend ecologic study. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan
analisis deskriptif pola dan analisis korelasi spearman untuk mengetahui hubungan
antar variabel independen dengan dependen. Adapun Variabel dependen penelitian
ini yaitu mosquito-borne disease. Sedangkan Variabel independen penelitian ini
yaitu iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara).
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat agregat meliputi data
insidens mosquito-borne disease (meliputi insidens DBD, insidens chikungunya,
dan insidens malaria), data curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban
udara di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009-2016. Penelitian ini menggunakan
instrumen penelitian berupa lembar check list pengumpulan data insidens mosquito-
borne disease tahun 2009 sampai 2016 dan data iklim tahun 2009 sampai 2016.
Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada bulan Juni sampai Agustus 2017.
14
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mosquito-borne Disease
2.1.1 Definisi Mosquito-borne Disease
Mosquito-borne disease sendiri adalah segala penyakit yang diakibatkan
oleh mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk (WMO, 2016b). Terdapat enam
penyakit yang termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya,
Zika Virus, Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow
Fever (WHO, 2015). Dari golongan penyakit ini, terdapat tiga penyakit yang ada di
Indonesia, yaitu DBD, Chikungunya, dan Malaria.
2.1.2 Demam Berdarah Dengue
2.1.2.1 Definisi dan Penyebab
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
menular yang sangat mematikan. Penyakit DBD sendiri adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa
penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan
di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam
(purpura), kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran
menurun atau renjatan (Shock) (CDC, 2009; Kemenkes RI, 2011b). Selain itu
demam berdarah dengue merupakan penyakit demam virus akut yang disertai sakit
kepala, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri tulang, dan penurunan jumlah sel darah putih
(WHO, 2006). Penyakit ini adalah penyakit menular yang umumnya menyerang
15
anak, ditandai dengan panas tinggi, perdarahan, dapat menimbulkan renjatan dan
kematian, serta termasuk salah satu penyakit yang dapat menimbulkan wabah
(Kemenkes RI, 2011b).
Virus penyebab demam berdarah dengue (DBD) adalah virus dengue
anggota dari genus flavivirus (Candra, 2010). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
virus dengue yang terdiri dari empat tipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4
dan ditularkan memalului gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD lainnya
(Candra, 2010).
2.1.2.2 Vektor
1. Daur Hidup
Berikut daur hidup nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes RI, 2011b):
a. Nyamuk betina meletakkan telur di tempat perkembang-biakannya.
b. Dalam beberapa hari telur menetas menjadi jentik,kemudian
berkembang menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk
(perkembang-biakan dari telur, jentik, kepompong, nyamuk
membutuhkan waktu 7-10 hari).
c. Dalam tempo 1-2 hari nyamuk yang baru menetas ini (yang betina) akan
menggigit (mengisap darah) manusia dan siap untuk melakukan
perkawinan dengan nyamuk jantan.
d. Setelah mengisap darah, nyamuk betina beristirahat sambil menunggu
proses pematangan telurnya. Tempat beristirahat yang disukai adalah
16
tumbuh- tumbuhan atau benda tergantung di tempat yang gelap dan
lembab, berdekatan dengan tempat perkembang biakannya.
e. Siklus mengisap darah dan bertelur ini berulang setiap 3-4 hari.
f. Bila mengisap darah seorang penderita demam berdarah dengue atau
carrier, maka nyamuk ini seumur hidupnya dapat menularkan virus itu.
g. Umur nyamuk betina rata-rata 2-3 bulan.
2. Perilaku Vektor
Berikut perilaku dan aktivitas nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes RI,
2012):
a. Nyamuk Aedes sp jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga
untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah.
b. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan
(bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur,
agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur
dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut
disebut dengan siklus gonotropik.
c. Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang
hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-
17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang
kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan
darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular
penyakit.
17
d. Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang
gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan
habitat perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu
proses pematangan telurnya.
e. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina
akan meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi
dan melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada
umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari.
Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak
±100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6
bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau
kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.
Di sisi lain terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tingkat aktivitas
nyamuk Aedes sp, meliputi:
a. Suhu
Nyamuk Aedes sp cenderung akan lebih aktif saat suhu udara berada
pada 250C - 280C (Perwitasari et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah,
Ratodi and Marlinae, 2016). Pada suhu tersebut nyamuk akan
mengalami kondisi yang optimal untuk melakukan aktivitas.
b. Kelembaban udara
Nyamuk ini akan mengalami kondisi yang optimal saat kelembaban
berada diatas 70% (Perwitasari et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah,
Ratodi and Marlinae, 2016).
18
c. Curah hujan
Nyamuk ini akan lebih aktif saat curah hujan berada diatas 200 mm
setiap bulannya (Perwitasari et al., 2004; Zubaidah, Ratodi and
Marlinae, 2016).
2.1.2.3 Penularan
Berikut siklus penularan DBD (Kemenkes RI, 2011b):
a. Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia
menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut
(viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
b. Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita yang
sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama
hidupnya.
c. Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk
bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk
tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan
ke tubuh orang lain.
d. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 - 4 hari (rata-rata selama
4-6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai
demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai
tanda atau gejala lainnya.
e. Infeksi Dengue mempunyai masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari, biasanya
4-7 hari.
19
2.1.3 Chikungunya
2.1.3.1 Definisi dan Penyebab
Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah “dengue”, ini dapat
diartikan bahwa infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue (Kemenkes RI,
2012). Istilah “Chikungunya” berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti “Orang
yang jalannya membungkuk dan menekuk lututnya”, suku ini bermukim di dataran
tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (Kemenkes RI, 2012). Istilah
Chikungunya juga digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari
serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara
tersebut (Kemenkes RI, 2012). Inilah sejarah singkat mengenai chikungunya.
Terdapat dua hal yang mempengaruhi penyebab timbulnya chikungunya,
yaitu agen dan vektor. Agen penyakit ini adalah Arthopod-borne virus yang
ditransmisikan oleh beberapa spesies nyamuk (Kemenkes RI, 2012). Hasil uji
Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Komplemen Fiksasi, virus ini termasuk genus
alphavirus (“Group A” Arthropod-borne viruses) dan famili Togaviridae
(Kemenkes RI, 2012; CDC, 2014). Sedangkan DBD disebabkan oleh “Group B”
arthrophod-borne viruses (flavivirus) (Kemenkes RI, 2012). Vektor utama penyakit
ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (WHO,
2008).
2.1.3.2 Penularan
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes sp (WHO, 2008). Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus
Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu
20
2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul (Kemenkes RI, 2012).
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10
hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada
manusia pada saat gigitan berikutnya (Kemenkes RI, 2012). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit (Kemenkes RI, 2012).
2.1.4 Malaria
2.1.4.1 Definisi dan Penyebab
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium
yang dapat ditandai dengan demam, hepatosplenomegali dan anemia (Depkes,
2008). Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Kemenkes RI, 2013a).
Terdapat 5 spesies plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium
malariae, dan Plasmodium knowlesi (Depkes, 2008). Jenis Plasmodium yang
banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax, sedangkan P.
malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi antara lain Lampung, Nusa
Tenggara Timur, dan Papua (Depkes, 2008). P ovale pernah ditemukan di Nusa
Tenggara Timur dan Papua (Depkes, 2008). Pada tahun 2010 di Pulau Kalimantan
dilaporkan adanya P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusia dimana
sebelumnya hanya menginfeksi hewan primata/monyet dan sampai saat ini masih
terus diteliti (Depkes, 2008). Hal ini menunjukkan potensi penularan besar, karena
terdapat lima spesies yang dapat menginfeksi manusia.
21
2.1.4.2 Vektor
1. Daur Hidup
Berikut gambaran daur hidup nyamuk Anopheles sp (CDC, 2016):
a. Telur
Nyamuk betina dewasa dapat bertelur sebanyak 50-200 telur. Telur-
telur ini terpisah masing-masing dan mengambang di air. Telur nyamuk
ini tidak tahan dengan kering dan menetas selama 2-3 hari, meskipun
terkadang sampai 2-3 minggu di musim yang lebih dingin.
b. Larva
Larva nyamuk memiliki kepala dengan mulut yang digunakan untuk
makan, sebuah thorax besar, dan perut tersegmentasi. Mereka tidak
memiliki kaki. Berbeda dengan nyamuk lain, larva nyamuk ini tidak
memiliki siphon pernapasan, sehingga larva nyamuk ini memposisikan
diri sejajar dengan permukaan air untuk bernapas.
c. Pupa
Pupa nyamuk ini berbentuk koma bila dilihat dari samping. Seperti
larva, pupa harus datang ke permukaan untuk bernapas melalui sepasang
terompet pernafasan pada thorax. Setelah beberapa hari, pupa muncul
ke permukaan dan menjadi nyamuk dewasa.
d. Dewasa
Seperti nyamuk lain, Anopheles dewasa memiliki tubuh ramping dengan
3 bagian, yaitu kepala, dada dan perut.
22
2. Perilaku Vektor
Berikut gambaran perilaku dan aktivitas nyamuk Anopheles sp (CDC,
2016):
a. Nyamuk ini suka menggigit di luar rumah. Pada umumnya nyamuk yang
menghisap darah adalah nyamuk betina. Kebanyakan nyamuk
Anopheles aktif saat senja atau fajar dan bersifat nokturnal (aktif di
malam hari). Beberapa nyamuk Anopheles makan di dalam rumah atau
ruangan (endophagic) sementara yang lain makan di luar rumah
(exophagic).
b. Setelah menggigit dan memakan darah, beberapa nyamuk Anopheles
lebih memilih untuk beristirahat di dalam ruangan (endophilic)
sementara yang lain lebih memilih untuk beristirahat di luar ruangan
(exophilic). Perilaku inilah yang mendasari cara pengendalian vektor
nyamuk.
c. Beberapa berkembang biak di terbuka atau genangan yang medapat
sinar matahari, sementara yang lain hanya ditemukan di tempat
perkembangbiakan yang gelap di hutan. Beberapa spesies berkembang
biak di lubang pohon atau lipatan daun beberapa tanaman.
Di sisi lain terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tingkat aktivitas
nyamuk Anopheles sp, meliputi:
d. Waktu
Kepadatan tertinggi Anopheles sp menghisap darah di dalam rumah
adalah antara jam 18.00 - 22.00 dan di luar rumah antara jam 18.00-
23
01.00, istirahat di dinding tertinggi antara jam 20.00-23.00 dan di
kandang antara jam 03.00-05.00 (Kazwaini, Willa and Wadu, 2014).
e. Suhu
Kondisi optimal suhu yang disukai Anopheles sp yaitu sebesar 240C -
290C (Mardiana, 2012; Mardiana and Perwitasari, 2014). Pada suhu ini
aktivitas Anopheles sp cenderung meningkat.
f. Kelembaban udara
Kelembaban udara yang optimal bagi Anopheles sp untuk melakukan
aktivitas yaitu sebesar 65% - 95% (Mardiana, 2012; Mardiana and
Perwitasari, 2014).
g. Curah hujan
Curah hujan yang mendukung aktivitas nyamuk Anopheles sp yaitu
antara 1 mm - 567 mm setiap bulannya (Mardiana, 2012; Mardiana and
Perwitasari, 2014).
2.1.4.3 Penularan
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu
manusia dan nyamuk Anopheles betina (Kemenkes RI, 2013a). Berikut siklus
hidup plasmodium pada dua hospesnya (Kemenkes RI, 2013a):
a. Siklus pada manusia
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia,
sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam
peredaran darah selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit
akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian
24
berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit
hati (tergantung spesiesnya).
Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama
lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati
tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk
dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam
sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila
imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan
relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke
peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah
merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon
(8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini
disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan
merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini
disebut siklus eritrositer.
Pada P. falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian
merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium
seksual (gametosit jantan dan betina). Pada spesies lain siklus ini terjadi
secara bersamaan. Hal ini terkait dengan waktu dan jenis pengobatan untuk
eradikasi.
b. Siklus pada nyamuk anopheles betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang
mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk gamet jantan dan betina
25
melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet
kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung
nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit.
Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh
manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa
inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium (lihat Tabel 2.1).
Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh
manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan
pemeriksaan mikroskopik.
Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria Plasmodium
Plasmodium Masa Inkubasi (rata-rata)
P. falciparum 9-14 hari (12)
P. vivax 12-17 hari (15)
P. ovale 16-18 hari (17)
P. malariae 18-40 hari (28)
P.knowlesi 10-12 hari (11)
Sumber: Depkes 2008
2.1.5 Upaya Pemberantasan
Berikut upaya pemberantasan mosquito-borne disease yang diterapkan di
Indonesia (Kemenkes RI, 2011b):
26
1. Pencegahan
Pencegahan dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan Tempat
umum dengan melakukan Pemberantasan sarang Nyamuk (PSN) yang
meliputi:
a. Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu
sekali, atau menutupnya rapat-rapat.
b. Mengubur barang bekas yang dapat menampung air.
c. Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi).
d. Memelihara ikan.
e. Cara-cara lain membasmi jentik.
2. Penemuan, pertolongan dan pelaporan
Penemuan, pertolongan dan pelaporan penderita penyakit terkait
mosquito-borne disease dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan
masyarakat.
3. Pengamatan penyakit dan Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Pengamatan penyakit dilaksanakan oleh Puskesmas yang
menemukan atau menerima laporan penderita tersangka untuk memantau
situasi penyakit terkait mosquito-borne disease secara teratur sehingga
kejadian luar biasa dapat diketahui sedini mungkin, serta menentukan
adanya desa rawan penyakit terkait mosquito-borne disease. Di sisi lain
penyelidikan epidemiologi dilaksanakan oleh petugas kesehatan dibantu
oleh masyarakat, untuk mengetahui luasnya penyebaran penyakit dan
langkah-langkah untuk membatasi penyebaran penyakit.
27
2.2 Perubahan Iklim
2.2.1 Definisi Iklim
Pengertian iklim dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Iklim
dalam arti sempit didefinisikan sebagai rata-rata cuaca, atau lebih detail, sebagai
deskripsi statistik dalam hal rata-rata dan variabilitas dalam jumlah yang relevan
selama periode waktu dimulai dari bulan ke ribuan atau jutaan tahun (Aldrian,
2013). Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), periode klasik rata-rata
untuk variabel-variabel iklim adalah 30 tahun (Aldrian, 2013). Iklim dalam arti
lebih luas adalah iklim suatu wilayah atau negara, termasuk deskripsi statistik dari
sistem iklim pada wilayah tersebut (Aldrian, 2013).
Interaksi pada berbagai parameter bumi akan menimbulkan sistem iklim.
Sirkulasi atmosfer merupakan salah satu parameter utama pembentuk Sistem Iklim
(Gunawan, 2013). Sistem iklim merupakan sistem komplek yang terdiri dari lima
parameter utama: atmosfer, hidrosfer, kriosfer (lapisan es), daratan, biosfer, dan
interaksi di antaranya (Gunawan, 2013). Sistem iklim berkembang dalam kurun
waktu tertentu dan dipengaruhi oleh dinamika internal (pergerakan interaksi
parameter) sistem iklim dan gaya luar seperti letusan gunung api, variasi matahari,
pengaruh antropogenik, (seperti perubahan komposisi atmosfer dan perubahan
lahan) (Aldrian, 2013).
2.2.2 Parameter Iklim
Terdapat beberapa parameter iklim yang selalu mengalami perubahan setiap
harinya yang meliputi:
28
1. Curah Hujan
Curah hujan merupakan salah satu parameter dasar untuk melihat
kondisi cuaca pada satuan waktu tertentu. Pengertian curah hujan adalah
ketebalan air hujan (dalam satuan milimeter) yang terkumpul pada luasan 1
m2 pada saat dilakukan pengukuran (BMKG, 2015c). Alat yang digunakan
untuk mengukur curah hujan di Indonesia yaitu raingauge (BMKG, 2015c).
Curah hujan ini menjadi besaran terjadinya hujan yang menunjukkan
terjadinya hujan lebat ataupun hujan ringan.
Terdapat beberapa penggolongan curah hujan dalam periode harian
(24 jam). Golongan tersebut meliputi hujan sangat ringan (< 5 mm), hujan
rinagn (5-20 mm), hujan sedang (21-50 mm), hujan lebat (51-100 mm), dan
hujan sangat lebat (> 100 mm) (BMKG, 2008). Selain itu terdapat pula
penggolongan curah hujan dalam periode bulanan yang meliputi bulan
hujan sangat ringan (10-15 mm), bulan hujan ringan (70-85 mm), bulan
hujan sedang (250-295 mm), bulan hujan lebat (400-545 mm), dan bulan
hujan sangat lebat (510-845 mm) (BMKG, 2008). Pada parameter ini juga
memiliki kriteria hujan ekstrim, dimana hujan ekstrim terjadi jika terdapat
bulan dengan curah hujan lebih dari 500 mm (Aldrian, 2014).
2. Hari Hujan
Hari hujan secara umum diartikan sebagai hari terjadinya hujan
dalam batasan tertentu. Hujan sendiri adalah titik-titik air di udara atau awan
yang sudah terlalu berat karena kandungan airnya sudah sangat banyak,
sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan (presipitasi)
(BMKG, 2015c).
29
Berdasarkan proses terjadinya hujan, hujan dibedakkan menjadi 3,
yaitu (BMKG, 2015c):
a. Hujan Orografis
Hujan orografis adalah hujan yang terjadi karena gerakan udara yang
mengandung uap air terhalang oleh pegunungan sehingga massa udara
itu dipaksa naik ke lereng pegunungan. Akibatnya suhu udara tersebut
menjadi dingin di atas pegunungan. Sampai ketinggian tertentu
terjadilah proses kondensasi dan terbentuknya awan. Kemudian
terjadilah hujan yang disebut hujan orografis.
b. Hujan Konveksi (Zenithal)
Hujan konveksi terjadi karena udara yang mengandung uap air
bergerak naik secara vertikal (konveksi) karena pemanasan. Udara yang
naik itu mengalami penurunan suhu, sehingga pada ketinggian tertentu
terjadi proses kondensasi dan pembentukan awan. Setelah awan tersebut
tidak mampu lagi menahan kumpulan titik-titik airnya, maka terjadilah
hujan konveksi. Hujan konveksi banyak terjadi di daerah tropis yang
mempunyai intensitas penyinaran matahari yang selalu tinggi.
c. Hujan Frontal
Hujan frontal adalah hujan yang terjadi karena adanya pertemuan
antara massa udara panas dengan massa udara dingin. Pada pertemuan
udara panas dan dingin terjadilah bidang front dimana terjadi kondensasi
dan pembentukan awan. Udara yang panas selalu berada di atas udara
yang dingin. Hujan frontal biasanya terjadi di daerah lintang sedang atau
pertengahan.
30
Dalam melakukan pengukuran hujan dibutuhkan alat pengukur
hujan yang biasa disebut dengan alat penakar hujan (BMKG, 2015c).
Terdapat beberapa alat penakar hujan yang biasa digunakan untuk
melakukan pengukuran yaitu alat penakar hujan biasa (manual raingauge),
alat penakar hujan otomatis (automatic raingauge), dan alat penakar hujan
hellman (BMKG, 2015c).
3. Suhu
Secara teoritis suhu udara memiliki arti ukuran energi kinetik rata-
rata dari pergerakan molekul-molekul (BMKG, 2015c). Dengan kata lain
suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda
tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda lain atau menerima
panas dari benda lain (BMKG, 2015c). Dalam sistem dua benda dengan
suhu berbeda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu
lebih tinggi.
Alat yang biasa digunakan untuk mengukur temperatur atau suhu
adalah thermometer. Ada beberapa jenis thermometer yang digunakan
dewasa ini, namun dalam pengamatan meteorologi dan klimatologi,
umumnya digunakan thermometer kaca (liquid-in-glass thermometer)
untuk peralatan Konvensional dan thermometer PT-100 untuk peralatan-
peralatan digital (BMKG, 2015c). Thermometer kaca (liquid-in-glass
thermometer) umumnya menggunakan Air raksa (mercury) untuk
pengukuran temperatur di atas suhu freezing point (-38.3 °C) dan
menggunakan alkohol untuk pengukuran yang memiliki jangkauan ukur
dibawah/sekitar freezing point (BMKG, 2015c).
31
4. Kelembaban
Kelembaban udara adalah jumlah kandungan uap air yang ada dalam
udara (BMKG, 2015c). Kandungan uap air di udara berubah-ubah
bergantung pada suhu, dimana semakin tinggi suhu, makin banyak
kandungan uap airnya. Alat pengukur kelembapan udara adalah higrometer
(BMKG, 2015c). Kelembapan udara sendiri terbagi dalam 2 jenis, yaitu
(BMKG, 2015c):
a. Kelembapan mutlak (absolut) yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah
uap air dalam satuan gram pada satu meter kubik udara.
b. Kelembapan relatif (nisbi), yaitu angka dalam persen yang
menunjukkan perbandingan antara banyaknya uap air yang benar-benar
dikandung udara pada suhu tertentu dan jumlah uap air maksimum yang
dapat dikandung udara. Kelembapan relatif dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
𝐾 = 𝑇
𝑃 × 100%
Keterangan:
K= kelembapan relatif.
T= uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu.
P= kapasitas kandungan uap air maksimum.
32
2.2.3 Definisi Perubahan Iklim
Secara singkat perubahan iklim dapat diartikan sebagai perubahan kondisi
parameter iklim dalam rentang waktu tertentu. Menurut beberapa sumber,
perubahan Iklim adalah berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman
iklim dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain sebagai akibat dari aktivitas
manusia (IPCC, 2007b; Pemerintah RI, 2008; Aldrian, 2013; KLHK, 2016).
Perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung timbul akibat dari aktifitas
manusia yang menimbulkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan
menimbulkan perubahan pada parameter iklim (seperti curah hujan, suhu,
kelembaban, dan kecepatan angin) yang dapat dibandingkan pada peride waktu
tertentu (IPCC, 2007b). Umumnya perubahan iklim timbul akibat dari perubahan
komposisi atau struktur atmosfer bumi, dimana perubahan ini ditimbulkan dari
meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) atau dalam istilah international disebut
dengan Green House Gases (GHG).
Berikut gambaran proses terjadinya dampak akibat GRK terhadap atmosfir
bumi (Sutamihardja, 2011):
1. Iklim bumi memperoleh energi dari matahari, dimana matahari memberikan
energinya melalui radiasi energi pada panjang gelombang yang sangat
pendek, terutama pada spectrum panjang gelombang tampak atau ultra violet.
2. Energi matahari yang mencapai bagian teratas atmosfir bumi, kira-kira
sepertiganya langsung dipantulkan kembali ke angkasa; dua pertiga sisanya
diserap oleh permukaan bumi serta sebagian kecil diserap oleh atmosfir.
33
Bumi harus meradiasikan kembali jumlah energi yang sama ke angkasa untuk
menyeimbangkan energi yang diserap.
3. Radiasi panas yang dilepaskan oleh daratan dan lautan sebagian besar diserap
oleh atmosfir, termasuk awan, dan diradiasikan kembali ke bumi. Peristiwa
ini disebut efek rumah kaca yang secara alami ada untuk memungkinkan
terjadinya kehidupan di bumi (tanpanya suhu rata-rata pada permukaan bumi
akan berada di bawah titik beku air).
4. Efek rumah kaca ini memanaskan permukaan bumi karena dinding kacanya
mengurangi aliran udara dan meningkatkan suhu udara di dalam ruangan.
5. Kegiatan-kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan
penebangan hutan sayangnya telah meningkatkan efek gas rumah kaca alami
yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Pembakaran bahan bakar
fosil (yang memberikan kontribusi terbesar di dalam mengubah konsentrasi
gas-gas rumah kaca), melepaskan gas karbon dioksida ke atmostir.
Gas-gas rumah kaca dan aerosol (partikel-partikel kecil) mempengaruhi
iklim dengan cara mengubah radiasi sinar matahari yang masuk dan radiasi infra
merah yang keluar, sehingga keseimbangan energi bumi berubah. Pembahan
jumlah atau sifat gas-gas dan partikel-partikel di atmosfir dapat menyebabkan
pemanasan atau pendingin sistem iklim.
2.2.4 Penyebab Perubahan Iklim
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berada di atmosfer dan menyebabkan
efek rumah kaca (Gunawan, 2013). GRK dapat muncul secara alami di lingkungan
dan juga dapat timbul akibat dari kegiatan antropogenik. GRK alami muncul
34
melalui aktivitas alami, seperti gas CO2 dari aktivitas organisme, gas metana (CH4)
dari proses dekomposisi, dan gas lain berasal dari aktivitas vulkanik. Sedangkan
GRK antropogenik berasal dari kegiatan manusia, seperti aktivitas pembakaran
bahan bakar fosil sebagai sumber energi (energi transportrasi, energi listrik, dan
energi untuk industri), aktivitas pertanian, dan aktivitas lain yang menghasilkan
CFC, HFC, maupun PFC.
Karbon dioksida (CO2) adalah GRK yang paling penting dan paling besar
emisinya. Emisi tahunan telah bertambah tinggi antara tahun 1970 dan 2004 kira-
kira sebesar 80%, dari 21 ke 38 gigatons (Gt), yang menunjukkan bahwa jumlah
emisi GRK yang dihasilkan oleh kegiatan antropogenik sebesar 77% pada tahun
2004 (IPCC, 2007a). Kecepatan pertambahan emisi CO2-eq pada tahun 1995-2004
(0,92 GtCO2-eq per tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya
pada tahun 1970 sampai 1994 sebesar (0,43 GtCO2-eq per tahun) (IPCC, 2007a).
Pertambahan emisi GRK di antara tahun 1970 dan 2004 berasal dari suplai energi,
transport dan industri, sedangkan yang berasal dari bangunan pemukiman dan
perumahan dan komersial, kehutanan (termasuk deforestasi) dan sektor pertanian
atau yang biasa disebut LULUCF bertambah dengan kecepatan lebih rendah (IPCC,
2007a).
Konsentrasi atmosfir global untuk CO2 bertambah tinggi dibandingkan
masa pra industri dari 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005, dimana di antara
tahun 1995-2005 menghasilkan emisi sebesar 1,9 ppm per tahun lebih besar
dibandingkan dengan pengukuran tahun 1960-2005 dengan rata-rata 1,4 ppm per
35
tahun (IPCC, 2007a). Hal ini menunjukkan bahwa tejadi percepatan jumlah emisi
yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu.
Sedangkan konsentrasi CH4 pada atmosfir bertambah tinggi dari masa pra-
industri sebesar 715 ppb menjadi 1732 ppb pada awal tahun 1990 dan meningkat
kembali menjadi 1774 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a). Di sisi lain konsentrasi
N2O di atmosfer mengalami peningkatan yang tinggi semenjak pra-industri dari 270
ppb menjadi 319 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a). Dari data ini dapat dilihat
bahwa peningkatan emisi GRK dapat dipastikan bersumber dari aktivitas
antropogenik.
2.2.5 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Dalam 157 tahun terakhir, suhu permukaan bumi telah meningkat secara
global, dengan variasi penting berskala regional. Pemanasan (untuk rata-rata
global), pada abad terakhir telah terjadi dalam tahap, yaitu dari tahun 1910-an
hingga 1940-an (0,35°C), dan pemanasan yang lebih tinggi mulai dari tahun 1970-
an hingga 2005 (0,55°C) (IPCC, 2007a). Laju peningkatan pemanasan telah terjadi
selama 25 tahun terakhir, dimana 11 dari 12 tahun terpanas tercatat pada 12 tahun
terakhir (IPCC, 2007a).
Peningkatan suhu permukaan bumi menimbulkan ketidakseimbangan pada
sistem iklim. Hal ini memicu terjadinya kerusakan pola iklim dan cuaca, serta
kondisi iklim yang sulit untuk diprediksi dengan tepat (IPCC, 2007c). Pola iklim
yang tidak menentu akan meningkatkan tingkat stress pada manusia dan berpotensi
untuk menimbulkan kerentanan imunitas manusia (WHO, 2003; Dittmar et al.,
2014; Rowley et al., 2016). Imunitas tubuh yang telah mengalami penurunan
36
berpotensi menimbulkan kerentanan individu terhadap berbagai penyakit infeksius
(WHO, 2003).
2.2.6 Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
2.2.6.1 Upaya Mitigasi
Adapun upaya mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah, dimulai dari
pengembangan institusi, pembuatan kebijakan, pengembangan peraturan, dan
pembentukan program, meliputi (KLHK, 2007):
1. Pengembangan Institusi
a. Pembentukan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih
(Komnas MPB) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.
206/05 sebagai Designated National Authority (DNA) yang bertujuan
untuk memberikan persetujuan nasional terhadap usulan kegiatan proyek
CDM (Clean Development Mechanism).
b. Usulan kegiatan proyek CDM yang telah disetujui oleh Komnas MPB
sejumlah 24 proyek, dan 10 diantaranya sudah teregistrasi secara
internasional di Badan Eksekutif UNFCCC. Dari 24 proyek tersebut,
total emisi yang dapat diturunkan sebesar 33.079.993 ton CO2eq.
2. Sektor Energi
a. Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang
membebaskan/memberikan keringanan bea masuk atas impor peralatan
teknologi bersih.
b. Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.
37
c. Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi.
d. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
e. Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional.
f. Peraturan Menteri ESDM Nomor 1122K/30/MEM/2002 tentang
Pembangkit Listrik Skala Kecil dengan Menggunakan Energi
Terbarukan (PSK Tersebar).
g. Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 tahun 2004 tentang Kebijakan
Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi
(Pengembangan Energi Hijau).
h. Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 tahun 2005 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penghematan Energi.
i. Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 tahun 2006 tentang Pengusahaan
Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah.
j. Monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor industri yang telah
dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup melalui program PROPER
(Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan).
k. Pelaksanaan Program Desa Energi Mandiri, yaitu program penyediaan
sumber energi listrik seperti yang dilakukan di Subang dengan
memanfaatkan tenaga air.
l. Pelaksanaan program Produksi Bersih dan Efisiensi Energi (CP-
EE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk Industri yang
38
menggunakan energi intensif, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp
dan kertas, tekstil, pembangkit listrik, dll.
m. Mengatur dan melarang impor barang-barang yang tidak ramah
lingkungan.
n. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2007 tentang Baku
Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap.
3. Sektor LULUCF (Land Use, Land-Use Change And Forestry)
a. Penanganan kebakaran hutan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian
Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Upaya preventif kebakaran hutan yang meliputi: pemantauan dengan
satelit, pemantauan di lapangan terhadap perusahaan-perusahaan,
pemantauan kualitas udara, dan pemberdayaan masyarakat agar
mengubah pola pembukaan lahannya dari membakar menjadi tidak
membakar atau terkontrol.
Pembentukan Manggala Agni yang bertugas untuk memantau,
mencegah, dan menanggulangi kebakaran hutan.
b. Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di
Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
c. Penanganan pada lahan yang terkena banjir dan juga untuk menghindari
terjadinya banjir.
39
4. Peningkatan Kapasitas
Untuk mendorong kegiatan proyek CDM di Indonesia, telah dilakukan
kegiatan sosialisasi CDM kepada para pemangku kepentingan, yakni instansi
terkait, pemerintah daerah, masyarakat, sektor privat, legislatif, asosiasi, para
pimpinan perusahaan, serta perguruan tinggi.
2.2.6.2 Upaya Adaptasi
Adapun upaya adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah, dimulai dari
pengembangan institusi, pembuatan kebijakan, pengembangan peraturan, dan
pembentukan program, meliputi (KLHK, 2007):
1. Pengembangan Institusi
Penyusunan draft Strategi Nasional Adaptasi yang berfungsi sebagai bagian
dari proses komitmen pemangku kepentingan dalam melaksanakan adaptasi
terhadap perubahan iklim.
2. Sektor LULUCF
a. Pengelolaan pesisir pantai secara terpadu melalui Integrated Coastal
Management yang dilakukan melalui penanaman hutan bakau
(mangrove): di pantau utara Jawa (Pemalang, Batang, Brebes,
Pekalongan, Tegal), pantai timur Sumatera, dan beberapa propinsi
(Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara).
b. Penyusunan draft Pedoman Konservasi Air (sumur resapan dan
penampungan air) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air.
c. Pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan cara transplantasi
seperti yang dilakukan di Perairan Sabang.
40
d. Pembangunan struktur penguat pantai digunakan untuk mengurangi
erosi air laut pada pesisir pantai seperti yang dilakukan di Tanah Lot
menggunakan model tetrapod.
3. Peningkatan Kapasitas
Rencana pendirian Sekolah Lapang Iklim (SLI) di 25 propinsi (150
kabupaten/kota) untuk meningkatkan pemahaman tentang informasi iklim
dan pemanfaatannya bagi petani.
2.3 Studi Ekologi
Studi ekologi atau yang sering disebut dengan studi korelasi adalah studi
epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis (Morgenstern, 1995). Tujuan
dari penelitian dengan desain ini yaitu mendeskripsikan hubungan korelatif antara
penyakit dan faktor-faktor terkait penyakit tersebut (Morgenstern, 1995). Hal ini
menunjukkan bahwa studi ekologi dilakukan pada sebuah kelompok bukan pada
individu sebagai unit analisis.
Dalam studi ekologi terdapat tingkat pengukuran yang digunakan sebagai
unit analisis. Berikut tingkat pengukuran yang dilakukan pada studi ekologi
(Morgenstern, 1995):
a. Pengukuran agregat
Pengukuran ini dilakukan melalui observasi yang berasal dari individu di
setiap kelompok, misal proporsi perokok dalam keluarga.
41
b. Pengukuran lingkungan
Pengukuran ini dilakukan pada pengukuran karakteristik fisik pada suatu
tempat dimana kelompok itu tinggal atau bekerja, misal pengukuran polutan
udara pada suatu tempat.
c. Pengukuran global
Pengukuran ini berupa atribut kelompok atau tempat, seperti kepadatan
penduduk.
Studi ekologi memiliki tiga jenis desain secara spesifik. Jenis desain
tersebut meliputi (Alexander et al., no date):
a. Studi Ekologi Potong Lintang (Cross-sectional Ecologic Study)
Studi ekologi ini membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit)
secara agregat dalam waktu yang sama.
b. Time-trend Ecologic Study
Studi ekologi ini membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit)
secara agregat pada komunitas yang sama dalam kurun waktu yang berbeda.
c. Solely descriptive Ecologic Study
Studi ekologi ini menyelidiki penyakit atau perbedaan faktor risiko antara
satu komunitas dengan komunitas lain dalam waktu yang sama, atau satu
komunitas yang sama dalam kurun waktu yang berbeda.
Berikut adalah tabel yang dapat digunakan untuk menggambarkan masing-
masing perbedaaan pada jenis studi (Alexander et al., no date):
42
Tabel 2.2 Perbedaan pada Jenis Studi Ekologi
Desain Studi Ekologi
Jenis Studi Desain Kerangka Waktu
Cross-sectional Antar komunitas Dalam waktu yang sama
Time-trend Pada komunitas yang
sama
Dalam kurun waktu yang
berbeda
Descriptive Antar komunitas atau
pada komunitas yang
sama
Dalam waktu yang sama
atau dalam kurun waktu
yang berbeda
Terdapat beberapa kekuatan atau keuntungan yang didapatkan saat
melakukan studi ekologi. Keuntungan melakukan studi ekologi, meliputi
(Morgenstern, 1995):
Dapat mennggunakan data insidensi, prevalensi maupun mortalitas.
Desain penelitian ini tepat sekali digunakan pada penyelidikan awal
hubungan penyakit, dimana penelitian ini mudah dilakukan dan murah
dengan memanfaatkan informasi yang tersedia.
Membantu dalam menemukan hipotesis baru untuk penelitian yang lebih
jauh.
Kesederhanaan dalam melakukan analisis dan presentasi.
Selain itu desain penelitian ini juga memiliki beberapa kelemahan, meliputi
(Morgenstern, 1995):
43
Studi ekologi tidak dapat dipakai untuk menganalisis hubungan sebab akibat
karena desain ini tidak mampu untuk menjembatani kesenjangan status
paparan dan status penyakit pada tingkat populasi dan individu. Alasan
lainnya yaitu studi ekologi tidak bisa digunakan untuk mengontrol faktor
confounding (faktor perancu) yang berpotensi muncul saat dilakukan
penelitian.
Terdapat beberapa data yang tidak lengkap dan hilang.
Terjadinya salah dalam klasifikasi kelompok.
2.4 Data Surveilans
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah menetakan bahwa setiap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) untuk melakukan surveilans. Menurut
KEPMENKES Nomor 1479 Tahun 2003, surveilans adalah kegiatan analisis secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit
atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara
program kesehatan (Kemenkes RI, 2003b). Menurut WHO kegiatan surveilans ini
bukan hanya mencakup pengumpulan data saja, melainkan kegiatan surveilans
meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik
dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan
untuk dapat mengambil tindakan (Kemenkes RI, 2003a).
44
Dalam penyelenggaraannya, terdapat dua bentuk surveilans yang dapat
dilakukan oleh Fasyankes, antara lain (Kemenkes RI, 2014):
1. Surveilans berbasis indikator
Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh
gambaran penyakit, faktor risiko dan masalah kesehatan dan/atau masalah
yang berdampak terhadap kesehatan yang menjadi indikator program
dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Pelaksanaan surveilans
berbasis indikator dilakukan mulai dari puskesmas sampai pusat, sesuai
dengan periode waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan dan tahunan).
Selain itu surveilans berbasis indikator di puskesmas, dilakukan untuk
menganalisis pola penyakit, faktor risiko, pengelolaan sarana pendukung
seperti kebutuhan vaksin, obat, bahan dan alat kesehatan, persiapan dan
kesiapan menghadapi kejadian luar biasa beserta penanggulangannya.
2. Surveilans berbasis kejadian
Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap dan
memberikan informasi secara cepat tentang suatu penyakit, faktor risiko,
dan masalah kesehatan, dengan menggunakan sumber data selain data yang
terstruktur. Kegiatan surveilans berbasis kejadian di puskesmas,
kabupaten/kota, dan provinsi dilakukan melalui kegiatan verifikasi terhadap
rumor terkait kesehatan atau berdampak terhadap kesehatan di wilayah
kerjanya guna melakukan langkah intervensi bila diperlukan.
Penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dan berbasis kejadian dapat
diaplikasikan ke dalam bentuk PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) yang
45
didukung dengan pencarian rumor masalah kesehatan (Kemenkes RI, 2014). Setiap
unit penyelenggaraan Surveilans Kesehatan melakukan Pemantauan Wilayah
Setempat dengan merekam data, menganalisa perubahan kejadian penyakit dan atau
masalah kesehatan menurut variable waktu, tempat dan orang (surveilans berbasis
indikator) (Kemenkes RI, 2014).
Selanjutnya disusun dalam bentuk tabel dan grafik pemantauan wilayah
setempat untuk menentukan kondisi wilayah yang rentan KLB (Kemenkes RI,
2014). Bila dalam pengamatan ditemukan indikasi yang mengarah ke KLB, maka
dilakukan respon yang sesuai termasuk penyelidikan epidemiologi (Kemenkes RI,
2014). Hal ini menunjukkan bahwa PWS hanya bersifat sementara dan memiliki
fungsi untuk melakukan intervensi KLB secara cepat.
Dalam pelaksanaan surveilans, terdapat sistem surveilans yang telah diatur
oleh Kemenkes RI yaitu Surveilans Terpadu Penyakit (STP). STP adalah
pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit menular dan surveilans epidemiologi
penyakit tidak menular dengan metode pelaksanaan surveilans epidemiologi rutin
terpadu beberapa penyakit yang bersumber data Puskesmas, Rumah Sakit,
Laboratorium dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kemenkes RI, 2003b).
Secara operasional penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit meliputi
(Kemenkes RI, 2003b):
1. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas.
2. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Rumah Sakit.
3. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Laboratorium.
46
4. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data KLB penyakit dan keracunan
di Kabupaten/Kota.
5. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas Sentinel.
6. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Rumah Sakit Sentinel.
Tujuan dari pelaksanaan STP adalah Diperolehnya informasi epidemiologi
penyakit tertentu dan terdistribusinya informasi tersebut kepada program terkait,
pusat-pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain (Kemenkes RI,
2003b).
Pada penyelenggaraannya terdapat beberapa sumber data STP. Sumber data
tersebut meliputi (Kemenkes RI, 2003b):
1. Sumber data Puskesmas
2. Sumber data Rumah Sakit
3. Sumber data Laboraturium
4. Sumber data KLB penyakit dan keracunan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
5. Sumber data Puskesmas Sentinel
6. Sumber data Rumah Sakit Sentinel
Kemenkes RI telah mengatur alur pelaksanaan untuk melakukan
pengolahan data yang telah diambil dari beberapa sumber data di atas. Berikut alur
pelaksanaan STP (Kemenkes RI, 2003b):
47
1. Data Surveilans Terpadu Penyakit diperoleh dari data harian pelayanan
kesehatan yang disusun dalam sistem perekaman data yang ditetapkan oleh
masing-masing unit pelayanan.
2. Puskesmas, Puskesmas Sentinel, Rumah Sakit, Rumah Sakit Sentinel dan
Laboratorium mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Puskesmas, Puskesmas Sentinel,
Rumah Sakit, dan Rumah Sakit Sentinel juga mengirimkan data
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) penyakit potensial KLB mingguan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pengumpulan dan pengolahan data tersebut,
dan mengirimkan data bulanan STP ke Dinas Kesehatan Propinsi. Dinas
Kesehatan Propinsi melakukan pengumpulan dan pengolahan data
surveilans tersebut, dan mengirimkan ke Ditjen PPM & PL Depkes.
3. Masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes
melakukan analisis dan penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan peta
yang bermakna secara epidemiologi, menarik kesimpulan dan menyusun
rekomendasi serta mendistribusikannya kepada unit-unit yang
membutuhkannya.
2.5 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
2.5.1 Sejarah
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merupakan salah
satu lembaga yang memiliki tugas penting dalam melakukan pemantauan kondisi
48
lingkungan di Indonesia. Lembaga ini memiliki sejarah dalam pendiriannya di
Indonesia. Berikut sejarah singkat mengenai BMKG (BMKG, 2017b):
Sejarah pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia dimulai pada
tahun 1841 diawali dengan pengamatan yang dilakukan secara perorangan
oleh Dr. Onnen, Kepala Rumah Sakit di Bogor. Tahun demi tahun
kegiatannya berkembang sesuai dengan semakin diperlukannya data hasil
pengamatan cuaca dan geofisika.
Pada tahun 1866, kegiatan pengamatan perorangan tersebut oleh
Pemerintah Hindia Belanda diresmikan menjadi instansi pemerintah dengan
nama Magnetisch en Meteorologisch Observatorium atau Observatorium
Magnetik dan Meteorologi dipimpin oleh Dr. Bergsma.
Pada tahun 1879 dibangun jaringan penakar hujan sebanyak 74 stasiun
pengamatan di Jawa.
Pada tahun 1912 dilakukan reorganisasi pengamatan meteorologi dengan
menambah jaringan sekunder. Sedangkan jasa meteorologi mulai digunakan
untuk penerangan pada tahun 1930.
Pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai dengan 1945,
nama instansi meteorologi dan geofisika diganti menjadi Kisho Kauso
Kusho.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, instansi
tersebut dipecah menjadi dua: Di Yogyakarta dibentuk Biro Meteorologi
yang berada di lingkungan Markas Tertinggi Tentara Rakyat Indonesia
khusus untuk melayani kepentingan Angkatan Udara. Di Jakarta dibentuk
49
Jawatan Meteorologi dan Geofisika, dibawah Kementerian Pekerjaan
Umum dan Tenaga.
Selanjutnya, pada tahun 1950 Indonesia secara resmi masuk sebagai
anggota Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological
Organization atau WMO) dan Kepala Jawatan Meteorologi dan Geofisika
menjadi Permanent Representative of Indonesia with WMO.
Kemudian terjadi beberapa kali perubahan nama maupun garis koordinasi
lembaga.
Terakhir, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008, Badan
Meteorologi dan Geofisika berganti nama menjadi Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan status tetap sebagai Lembaga
Pemerintah Non Departemen.Pada tanggal 1 Oktober 2009 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika disahkan oleh Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono.
2.5.2 Visi dan Misi
BMKG memiliki visi dan misi dalam mencapai tujuan kelembagaan. Visi
dari BMKG adalah “Mewujudkan BMKG yang handal, tanggap dan mampu dalam
rangka mendukung keselamatan masyarakat serta keberhasilan pembangunan
nasional, dan berperan aktif di tingkat Internasional” (BMKG, 2017d). Untuk
mencapai visi ini, maka diperlukan misi yang jelas yaitu berupa langkah-langkah
BMKG untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan yaitu (BMKG, 2017d):
50
1. Mengamati dan memahami fenomena meteorologi, klimatologi, kualitas
udara dan geofisika.
2. Menyediakan data, informasi dan jasa meteorologi, klimatologi, kualitas
udara dan geofisika yang handal dan terpercaya.
3. Mengkoordinasikan dan memfasilitasi kegiatan di bidang meteorologi,
klimatologi , kualitas udara dan geofisika.
4. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan internasional di Bidang meteorologi,
klimatologi , kualitas udara dan geofisika.
2.5.3 Tugas dan Fungsi
Dalam pelaksanaannya BMKG memiliki tugas dan fungsi tersendiri. Tugas
dari BMKG adalah “Melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi,
Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku” (BMKG, 2017c). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud, BMKG menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (BMKG, 2017c):
1. Perumusan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika.
2. Perumusan kebijakan teknis di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika.
3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika.
4. Pelaksanaan, pembinaan dan pengendalian observasi, dan pengolahan data
dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
51
5. Pelayanan data dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika.
6. Penyampaian informasi kepada instansi dan pihak terkait serta masyarakat
berkenaan dengan perubahan iklim.
7. Penyampaian informasi dan peringatan dini kepada instansi dan pihak
terkait serta masyarakat berkenaan dengan bencana karena factor
meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
8. Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika.
9. Pelaksanaan penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
10. Pelaksanaan, pembinaan, dan pengendalian instrumentasi, kalibrasi, dan
jaringan komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
11. Koordinasi dan kerja sama instrumentasi, kalibrasi, dan jaringan
komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
12. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan keahlian dan manajemen
pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.
13. Pelaksanaan pendidikan profesional di bidang meteorologi, klimatologi,
dan geofisika.
14. Pelaksanaan manajemen data di bidang meteorologi, klimatologi, dan
geofisika.
15. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas administrasi di lingkungan
BMKG.
52
16. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
BMKG.
17. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BMKG.
18. Penyampaian laporan, saran, dan pertimbangan di bidang meteorologi,
klimatologi, dan geofisika.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, BMKG telah memiliki 181
stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia (BMKG, 2017a).
2.6 Kerangka Teori
Adapun kerangka teori penelitian ini disusun berdasarkan segitiga
epidemiologi yang dikemukakan oleh John Gordon, yang tersusun atas Host, Agent,
dan Environment (Maryani, 2010). Berikut kerangka teori penelitian ini:
53
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Modifikasi dari Gordon, John dalam Maryani, 2010; IPCC 2007a, 2007b, &2007c;
WHO 2003.
Host (Manusia)
Terinfeksi mosquito-
borne disease
DBD
Chikungunya
Malaria
Aktivitas
antropogenik
Agent
Mikroorganisme
Vektor
Nyamuk
Aedes sp
Nyamuk
Anopheles sp
Eksploitasi, pencemaran, dan kerusakan lingkungan
Stress tinggi dan
kerentanan
Kondis
i li
ngkungan
opti
mal
P
enularan
Environment (iklim)
Perubahan Iklim
Peningkatan suhu
permukaan bumi
Gangguan pola iklim
Curah hujan
Hari hujan
Suhu udara
Kelembaban udara
54
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori penulis membuat kerangka konsep yang nantinya
menjadi alur berpikir dalam melakukan penelitian ini. Variabel dependen penelitian
ini yaitu mosquito-borne disease. Menurut WHO (2015), terdapat enam penyakit
yang termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya, Zika Virus,
Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow Fever. Di
Indonesia sendiri terdapat empat penyakit yang tergolong dalam mosquito-borne
disease, yaitu DBD, Chikungunya, Malaria, dan Filariasis (Prastowo and
Anggraini, 2011). Namun pada penelitian ini, golongan mosquito-borne disease
yang akan diteliti meliputi DBD, Chikungunya, dan Malaria. Penyakit filariasis
tidak menjadi bagian dari subjek penelitian ini karena data penyakit ini bersifat data
prevalensi (kasus lama).
Variabel independen penelitian ini yaitu iklim (curah hujan, hari hujan, suhu
udara, dan kelembaban udara). Iklim memiliki pengaruh yang besar terhadap
mosquito-borne disease. Saat iklim mengalami pergeseran (perubahan iklim) maka
akan menimbulkan kerentanan imunitas pada pejamu dan akan meningkatkan
jumlah populasi dan virulensi agen. Selain itu perubahan iklim sedang berlangsung
sekarang, sehingga timbul gangguan pada pola iklim. Pola iklim yang terganggu
akan sangat menguntungkan bagi agen penyakit (nyamuk) dan merugikan bagi
pejamu, sehingga hal ini berpotensi untuk meningkatkan jumlah kasus mosquito-
55
borne disease. Oleh karena itu peneliti ingin mengajukan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Variabel Independen
(Iklim)
Variabel Dependen
(Mosquito-borne Disease)
Curah Hujan
Suhu Udara
Hari Hujan Mosquito-borne Disease
Jumlah Insidens DBD,
Chikungunya, dan Malaria
Kelembaban Udara
56
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1 Mosquito-borne
disease
Jumlah insidens bulanan penyakit
DBD, chikungunya, dan malaria.
Observasi
data sekunder
Lembar pencatatan
penyakit menular yang
dikumpulkan oleh Dinas
Kesehatan DKI Jakarta
Jumlah kasus Rasio
Variabel Independen
2 Curah hujan Jumlah air hujan yang jatuh ke
permukaan bumi setiap bulan.
Observasi
data sekunder
Penakar hujan jenis
Hellman di Stasiun
Meteorologi Kemayoran
mm
(milimeter)
Rasio
57
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
3 Hari hujan Jumlah hari hujan yang terjadi
selama satu bulan.
Observasi
data sekunder
Lembar pencatatan hari
hujan di Stasiun
Meteorologi Kemayoran
Hari Rasio
4 Suhu udara Rata-rata temperatur bulanan pada
suatu area.
Observasi
data sekunder
Thermometer di Stasiun
Meteorologi Kemayoran
0C (derajat
Celcius
Interval
5 Kelembaban
udara
Rata-rata kelembaban relatif
bulanan pada suatu area.
Observasi
data sekunder
Higrometer, di Stasiun
Meteorologi Kemayoran
Persentase
(%)
Rasio
58
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
2. Ada hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne disease di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009-2016.
3. Ada hubungan antara suhu udara dengan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
4. Ada hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
59
4 BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan
menggunakan desain time-trend ecologic study. Studi ekologi ini dilakukan
berdasarkan waktu dengan memperhitungkan perbandingan jumlah kejadian suatu
penyakit sepanjang waktu yang telah ditentukan dalam satu populasi yang dibatasi
secara geografis (Rothman, 1995). Penelitian ini merupakan penelitian yang
bersifat observasional dengan melihat variasi data iklim, meliputi curah hujan, hari
hujan, suhu udara, dan kelembaban udara sebagai variabel independennya serta
mosquito-borne disease sebagai variabel dependennya.
Desain studi ekologi sesuai dengan penelitian ini karena dapat mengetahui
hubungan antara variabel independen suatu penyakit dengan kejadian penyakit
tersebut dalam suatu populasi pada periode waktu tertentu. Rancangan penelitian
ini tepat sekali digunakan pada penyelidikan antara hubungan paparan faktor
penyakit, sebab mudah dilakukan dengan memanfaatkan informasi yang tersedia
atau data sekunder, sedangkan kelemahannya yaitu studi ini bukan merupakan
rancangan yang kuat untuk menganalisis hubungan sebab akibat (Murti, 1997).
Dengan penelitian ini diharapkan dapat melihat kemungkinan adanya hubungan
variasi iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) dengan
mosquito-borne disease pada populasi dan waktu tertentu.
60
Di sini peneliti langsung melihat outcome (mosquito-borne disease) dari
dampak perubahan iklim yang mengarah kepada jumlah populasi nyamuk. Pada
penelitian ini, golongan mosquito-borne disease yang akan diteliti meliputi DBD,
Chikungunya, dan Malaria. Penelitian ini menggunakan data 8 tahun terakhir
(2009-2016) karena terbatasnya ketersediaan data jumlah kasus mosquito-borne
disease Unit Surveilans Epidemiologi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
Sedangkan untuk data iklim, peneliti memilih Stasiun Meteorologi Kemayoran
sebagai sumber data karena dinilai lebih relevan daripada Stasiun Meteorologi
Soekarno-Hatta dan Stasiun Maritim Tanjung Priok.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada bulan Juni sampai Agustus 2017 dengan melakukan observasi data
iklim dan mosquito-borne disease selama 8 tahun (tahun 2009 sampai 2016).
4.3 Populasi
Populasi yang masuk dalam penelitian ini adalah data insidens mosquito-
borne disease tahun 2009 sampai 2016 (meliputi data insidens DBD, insidens
chikungunya, dan insidens malaria) yang telah didokumentasikan oleh Unit
Surveilans Epidemiologi Dinas Provinsi DKI Jakarta dan data terkait iklim tahun
2009 sampai 2016 (meliputi data curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan
kelembaban udara) yang telah didokumentasikan oleh BMKG Stasiun Meteorologi
Kemayoran.
61
4.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembar check list pengumpulan
data insidens mosquito-borne disease tahun 2009 sampai 2016 dan data iklim tahun
2009 sampai 2016.
4.5 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder insidens
mosquito-borne disease dan data iklim yang dikumpulkan Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009 Sampai 2016. Pengumpulan data dilakukan mulai tahun 2009 karena
terbatasnya ketersediaan data insidens mosquito-borne disease, sehingga data iklim
juga dikumpulkan mulai tahun 2009.
a. Data insidens mosquito-borne disease Provinsi DKI Jakarta tahun 2009
Sampai 2016
Data insidens mosquito-borne disease yang dikumpulkan pada
penelitian ini meliputi data insidens DBD, insidens chikungunya, dan
insidens malaria Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 Sampai 2016 berupa data
bulanan. Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data yang berasal
dari Surveilans Terpadu Penyakit (STP) seluruh Rumah Sakit di Provinsi
DKI Jakarta. Data ini diperoleh dari Unit Surveilans Epidemiologi Dinas
Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
b. Data iklim
Data iklim yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data curah
hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara Provinsi DKI Jakarta
62
tahun 2009 sampai 2016 berupa data harian. Data ini diperoleh secara online
melalui alamat http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim.
Terdapat tiga stasiun meteorologi yang memantau Provinsi DKI
Jakarta, yaitu Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta, Stasiun Maritim
Tanjung Priok, dan Stasiun Meteorologi Kemayoran. Stasiun yang dipilih
oleh peneliti sebagai sumber pengumpulan data yaitu Stasiun Meteorologi
Kemayoran, dimana stasiun ini memiliki tugas untuk melakukan
pemantauan di lokasi administrasinya (Provinsi DKI Jakarta) (WMO,
2016d). Di sisi lain Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta memiliki tugas
pemantauan yang digunakan untuk membantu kelancaran lalu lintas udara
(WMO, 2016c). Sedangkan Stasiun Maritim Tanjung Priok memiliki tugas
pemantauan yang digunakan untuk membantu kelancaran lalu lintas laut
(WMO, 2016a).
4.6 Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan beberapa tahapan
berikut:
a. Editing
Memeriksa kelengkapan data, kejelasan data dan kekonsistenan
semua data insidens mosquito-borne disease dan data iklim.
b. Transformasi data
Transformasi data insidens DBD, insidens chikungunya, dan
insidens malaria menjadi data insidens mosquito-borne disease
63
dengan cara menjumlahkan data bulanan insidens DBD,
chikungunya, dan malaria.
Modifikasi data iklim dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Data curah hujan bulanan didapatkan dari penjumlahan data
curah hujan harian pada setiap bulannya.
2. Data hari hujan bulanan didapatkan dari penghitungan jumlah
hari yang mengamlami hujan pada tiap bulannya.
3. Data suhu udara bulanan didapatkan dari menghitung rerata
suhu udara harian selama satu bulan.
4. Data kelembaban udara bulanan didapatkan dari menghitung
rerata kelembaban udara harian selama satu bulan.
c. Entri data
Memasukkan data ke dalam software analisis data untuk selanjutkan
dapat dilakukan pengolahan dan analisis data.
d. Cleaning data
Melakukan pembersihan data memeriksa kembali data apakah ada
kesalahan atau tidak.
Melakukan penyimpanan data dan hasil analisis data.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat
Penelitian ini menggunakan analisis univariate. Analisis univariat dilakukan
untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel dependen dan
variabel independen, yaitu mosquito-borne disease dan distribusi frekuensi
parameter iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) di
64
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 sampai tahun 2016. Selain itu analisis univariat
pada studi ekologi ini menggunakan pengukuran agregat dengan melakukan
observasi data kelompok penyakit mosquito-borne disease dan data parameter iklim
di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu time-trend ecologic study,
dimana studi ekologi ini membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit)
secara agregat pada komunitas atau wilayah yang sama dalam kurun waktu yang
berbeda. Variabel paparan pada penelitian ini yaitu parameter iklim yang meliputi
curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara. Sedangkan variabel
dampak pada penelitian ini adalah mosquito-borne disease. Kedua variabel ini
berasal dari wilayah yang sama yaitu Provinsi DKI Jakarta. Rentang waktu yang
menjadi objek penelitian ini yaitu tahun 2009 sampai 2016 (selama 8 tahun).
Penelitian ini akan melakukan pembagian waktu analisis, dimana analisis
akan dilakukan pada setiap tahunnya (terdapat delapan pembagian waktu analisis).
Pembagian ini memiliki tujuan untuk melihat perbedaan pola iklim dan penyakit
setiap tahunnya, dimana perbedaan pola ini akan menunjukkan dampak dari
perubahan iklim.
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara parameter iklim
(curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) dengan mosquito-
borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 sampai tahun 2016. Untuk
menganalisis derajat keeratan hubungan antara parameter iklim dengan mosquito-
borne disease di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan bulan selama 8 tahun (2009-
65
2016) digunakan uji kolerasi. Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini
adalah uji korelasi spearman.
Uji korelasi bertujuan untuk menentukan koefisien korelasi (r), dimana
koefisien korelasi dapat diperoleh dari formula berikut (Darmawan, 2013):
𝑟 = 𝑁∑𝑋𝑌 − ∑𝑋∑𝑌
√[𝑁∑𝑋2 − (∑𝑋)2]. [𝑁∑𝑌 − (∑𝑌)2]
Nilai korelasi (r) berkisar 0 sampai 1, serta disertai dengan arahnya dengan
simbol positif (+) dan negatif (-). Terdapat nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam
melakukan analisis bivariat untuk melihat kekuatan hubungan dan kebermaknaan
sebuah hubungan yang terjadi. Berikut Tabel 4.1 mejelaskan mengenai kekuatan
hubungan dan kebermaknaan sebuah hubungan yang terjadi antara dua variabel:
Tabel 4.1 Lanjutan
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan
Hubungan/
Korelasi (r)
0,00-0,25 Hubungan sangat lemah/tidak ada hubungan.
0,26-0,50 Hubungan sedang.
0,51-0,75 Hubungan kuat.
0,76-1,00 Hubungan sangat kuat/ sempurna.
Nilai P<0,05 Terdapat korelasi yang bermakna antara dua
variabel yang diuji.
P>0,05 Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara
dua variabel yang diuji.
Tabel 4.1 Interpretasi Parameter Hasil Analisis Data Berdasarkan Nilai
66
Tabel 4.1 Lanjutan
Parameter Nilai Interpretasi
Arah korelasi Positif (+) Searah, semakin besar nilai sautu variabel,
semakin besar pula nilai variabel lainnya.
Negatif (-) Berlawanan arah, semakin besar nilai suatu
variabel semakin kecil nilai variabel lainnya.
Sumber: Hastono 2006
Koefisien korelasi yang telah dihasilkan merupakan langkah pertama untuk
menjelaskan derajat hubungan linier antara dua variabel. Selanjutnya perlu
dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah hubungan antara dua variabel tadi
secara signifikan atau hanya karena faktor kebetulan. Uji hipotesis dilakukan
dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel (Darmawan, 2013).
4.8 Penyajian Data
Penyajian data pada penelitian ini ditampilkan ke dalam bentuk grafik dan
tabel. Penyajian dalam bentuk grafik digunakan untuk menyajikan distribusi jumlah
kasus mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta. Selain itu grafik ini juga
akan menyajikan data analisis time-trend ecologic study antara mosquito-borne
disease dan parameter iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban
udara). Sedangkan penyajian data berupa tabel akan digunakan untuk menyajikan
matriks gambaran parameter iklim. Bentuk penyajian data berupa grafik akan
disajikan berdasarkan tahun, sesuai dengan pembagian analisis time-trend ecologic
study. Kemudian penyajian berupa tabel akan menampilkan hasil analisis.
67
5 BAB V
HASIL
5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan daerah yang memiliki
ciri tersendiri dibandingkan dengan daerah lain. Provinsi DKI Jakarta menjadi
ibukota negara, pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, pusat keuangan dan
jasa, serta sebagai tempat kedudukan hampir keseluruhan perangkat pemerintahan
tingkat nasional, perwakilan negara-negara asing, pusat-pusat perusahaan multi
nasional dan gerbang utama wisatawan manca Negara (Pemerintah DKI Jakarta,
2013).
5.1.1 Karakteristik Geografi
Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi geografis antara 106.22'42" dan
106.58'18" Bujur Timur, serta antara 5.19'12" dan 6.23'54" Lintang Selatan dengan
keseluruhan luas wilayah 7.659,02 km2, meliputi 662,33 km2 daratan, termasuk 110
pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 6.977,5 km2 lautan
(Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam lima Kota
Administrasi dan satu Kabupaten Administrasi. Kota Administrasi Jakarta Pusat
memiliki luas 48,13 km2; Kota Administrasi Jakarta Utara dengan luas 146,66 km2;
Kota Administrasi Jakarta Barat dengan luas 129,54 km2; Kota Administrasi Jakarta
Selatan dengan luas 141,27 km2; dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas
188,03 km2, serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km2
(Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta
68
merupakan salah satu provinsi yang memiliki wilayah dengan pulau yang cukup
banyak dengan Kota Administrasi Jakarta Timur sebagai kota paling luas.
Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki batas-batas
yang meliputi, di sebelah utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur
sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah
kanal, yang berbatasan dengan Laut Jawa, sementara di sebelah selatan dan timur
berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Provinsi
Banten (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). DKI Jakarta merupakan wilayah dengan
jumlah waduk/situ yang relatif banyak dengan total luas sebesar 221,8 Ha
(Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Sungai atau kanal yang melewati wilayah DKI
Jakarta sebanyak 17 sungai (Pemerintah DKI Jakarta, 2016).
Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata
±7 meter diatas permukaan laut (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Namun, sekitar
40 persen wilayah Jakarta berupa dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5
meter di bawah muka laut pasang (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Selain itu
Provinsi DKI Jakarta juga memiliki wilayah pesisir yang cukup luas, yaitu sekitar
155,01 km2 (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Wilayah ini membentang dari timur
sampai barat sepanjang kurang lebih 35 km, dan menjorok ke darat antara 4 sampai
dengan 10 km (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Wilayah pesisir Jakarta merupakan
pantai beriklim panas dengan rata-rata suhu 28,50C dan rata-rata kelembaban 72
persen (Pemerintah DKI Jakarta, 2012).
Di samping wilayah pesisir, Provinsi DKI Jakarta juga memiliki pulau-
pulau kecil yang terletak di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pulau-
69
pulau di wilayah ini memiliki luas beragam, sebanyak 45 persen berukuran kurang
dari 5 hektar, sebanyak 25 persen memiliki luas antara 5-10 hektar, dan hanya 30
persen yang luasnya lebih dari 10 hektar (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Pulau-
pulau memanjang dari utara ke selatan dengan ciri-ciri berpasir putih dan bergosong
karang (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Iklim tropika panas dan kelembaban
berkisar antara 75-99 persen. Dari pulau-pulau kecil tersebut, pulau yang dihuni
oleh penduduk hanya berjumlah 11 pulau (Pemerintah DKI Jakarta, 2012).
Berdasarkan letaknya, Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam kota delta
(delta city) yaitu kota yang berada pada muara sungai (Pemerintah DKI Jakarta,
2012). Kota delta umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup rentan
terhadap perubahan iklim (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Kota delta Jakarta dialiri
oleh 13 aliran sungai dan dipengaruhi oleh air pasang surut. Tiga belas sungai dan
dua kanal yang melewati Jakarta sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan
bermuara di Teluk Jakarta (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Tiga belas sungai
tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali
Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Baru
Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung (Pemerintah DKI Jakarta,
2012). Sedangkan 2 (dua) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal
Banjir Timur (Pemerintah DKI Jakarta, 2012).
5.1.2 Karakteristik Demografi
Jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan.
Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8,961.680 jiwa, sedangkan pada
tahun 2010 jumlah penduduk bertambah menjadi 9.607.787 jiwa (Pemerintah DKI
70
Jakarta, 2012). Kemudian jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2015 berdasarkan
proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010 sebesar 10.177.924 jiwa dengan
laju pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 1,02 persen (Pemerintah DKI
Jakarta, 2016). Sedangkan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2015 adalah
15.366,87 jiwa setiap 1 km2. Kota Jakarta Barat memiliki kepadatan penduduk
tertinggi di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 19.017,92 jiwa/km2.
Pada tahun 2010, 2014, dan 2015 keenam kota/kabupaten administrasi,
memiliki jumlah penduduk yang beragam dan selalu mengalami peningkatan
jumlah penduduk. Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki jumlah penduduk
sebanyak 21.414 penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan
menjadi 23.011 penduduk pada tahun 2014 dan 23.340 penduduk pada tahun 2015
(Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Kota Administrasi Jakarta Selatan memiliki
jumlah penduduk sebanyak 2.071.628 penduduk pada tahun 2010, kemudian
mengalami peningkatan menjadi 2.164.070 penduduk pada tahun 2014 dan
2.185.711 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Kota
Administrasi Jakarta Timur memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.705.818
penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan menjadi 2.817.994
penduduk pada tahun 2014 dan 2.843.816 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah
DKI Jakarta, 2016). Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki jumlah penduduk
sebanyak 895.371 penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan
menjadi 910.381 penduduk pada tahun 2014 dan 914.182 penduduk pada tahun
2015 (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Kota Administrasi Jakarta Barat memiliki
jumlah penduduk sebanyak 2.292.997 penduduk pada tahun 2010, kemudian
mengalami peningkatan menjadi 2.430.410 penduduk pada tahun 2014 dan
71
2.463.560 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Dan Kota
Administrasi Jakarta Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.653.178
penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan menjadi 1.729.444
penduduk pada tahun 2014 dan 1.747.315 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah
DKI Jakarta, 2016).
5.1.3 Karakteristik Fasilitas Kesehatan
Terdapat beberapa fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2015, meliputi Rumah Sakit, Rumah Sakit Bersalin, Puskesmas
Kecamatan, Puskesmas Kelurahan, Balai Pengobatan Umum, Balai Pengobatan
Gigi, Klinik Spesialis, Laboraturium, Apotik, dan Posyandu. Pada tahun 2015
Provinsi DKI Jakarta telah memiliki 159 Rumah Sakit dan 36 Rumah Sakit
Bersalin. Provinsi DKI Jakarta juga telah memiliki 44 Puskesmas Kecamatan dan
301 Puskesmas Kelurahan pada tahun itu. Selain itu Provinsi DKI Jakarta telah
memiliki 779 Balai Pengobatan Umum dan 125 Balai Pengobatan Gigi. Dan
Provinsi DKI Jakarta telah memiliki 168 Klinik Spesialis, 175 Laboraturium, 2.287
Apotik, dan 4.390 Posyandu.
72
5.2 Analisis Univariat
Adapun analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran pola masing-masing variabel dependen dan variabel independen. Dalam
penelitian ini analisis univariat dilakukan analisis pada setiap tahunnya. Analisis
ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola setiap tahunnya pada semua
variabel. Perdebaan pola ini akan menunjukkan kondisi perubahan parameter iklim
maupun perubahan pola mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016.
5.1.1 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016
Mosquito-borne disease adalah segala penyakit yang diakibatkan oleh
mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk (WMO, 2016b). Terdapat enam
penyakit yang termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya,
Zika Virus, Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow
Fever (WHO, 2015). Dari golongan penyakit ini, terdapat tiga penyakit yang ada di
Indonesia, yaitu DBD, chikungunya, dan malaria (berdasarkan penggolongan yang
dilakukan WHO).
Di Indonesia sendiri terdapat empat penyakit yang tergolong dalam mosquito-
borne disease, yaitu DBD, chikungunya, malaria, dan filariasis (Prastowo and
Anggraini, 2011). Namun pada penelitian ini, golongan mosquito-borne disease
yang akan diteliti hanya DBD, chikungunya, dan malaria. Penyakit filariasis tidak
menjadi bagian dari subjek penelitian ini karena data penyakit ini merupakan data
prevalensi (kasus lama), sehingga tidak mendukung untuk dilakukannya analisis
73
time-trend ecologic study. Sedangkan data DBD, chikungunya, dan malaria sangat
mendukung untuk dilakukan analisis time-trend ecologic study, karena data ketiga
penyakit ini berupa data insidens (kasus baru pada periode waktu tertentu).
Pola kejadian mosquito-borne disease dapat diketahui melalui grafik insidens
bulanan mosquito-borne disease dalam periode satu tahun. Berikut grafik yang
menggambarkan pola kejadian mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta
pada tahun 2009-2016.
74
Grafik 5.1 Gambaran Pola Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun
2009-2016
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2009
0
1000
2000
3000
4000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2010
0
500
1000
1500
2000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2011
0
500
1000
1500
2000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2012
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2013
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2014
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2015
0
2000
4000
6000
8000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2016
Keterangan:
Mosquito-borne Disease (Kasus) Rata-rata (Kasus)
75
Tabel 5.1 Gambaran Insidens Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2009-2016
Berdasarkan grafik 5.1 dan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa pola kejadian
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 memiliki jumlah kasus
yang tinggi (berada di atas rata-rata / 2357 kasus) di awal tahun (bulan Januari /
Bulan Mosquito-borne Disease (Kasus)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Januari 3129 2124 1758 1220 1342 1831 888 2017
Februari 3075 2608 1229 1547 1412 2093 1168 4070
Maret 4167 3697 1221 1795 1667 2817 1624 5863
April 4293 3587 882 1623 2201 2826 2155 7278
Mei 3697 2362 797 1574 2165 2238 1849 4329
Juni 2989 1797 896 1297 1923 1195 1289 3099
Juli 2711 2105 936 987 2188 1407 760 2281
Agustus 1390 2386 811 604 2179 1588 435 2471
September 684 2075 574 370 1460 989 446 2061
Oktober 569 1769 540 325 966 646 444 2110
November 547 2324 498 336 873 419 392 2275
Desember 1032 1948 727 648 1041 448 546 1869
Jumlah 28283 28782 10869 12326 19417 18497 11996 39723
Rata-rata 2356,9 2398,5 905,8 1027,2 1618,1 1541,4 999,7 3310,3
Tertinggi 4293 3697 1758 1795 2201 2826 2155 7278
Terendah 547 1769 498 325 873 419 392 1869
76
3129 kasus) sampai bulan Juli (2711 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami
penurunan yang signifikan saat memasuki bulan Agustus (1390 kasus) dan akan
mencapai jumlah kasus terendah pada bulan November (547 kasus). Kemudian
mengalami peningkatan kembali saat memasuki akhir tahun (bulan Desember /
1032 kasus).
Tahun 2010 insidens mosquito-borne disease memiliki jumlah yang tinggi (di
atas rata-rata / 2399 kasus) di awal tahun (bulan Februari / 2608 kasus) sampai bulan
April (3587 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat memasuki
bulan Mei (2362 kasus) dan mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan
Juli (2105 kasus). Setelah itu, insidens mosquito-borne disease mengalami
mengalami pola insidens bersifat fluktuatif sampai akhir tahun.
Insidens mosquito-borne disease sudah terlampau tinggi (berada di atas
rata-rata / 906 kasus) pada awal tahun 2011. Pola tersebut kemudian mengalami
penurunan dan menjadi cenderung stabil pada bulan April (882 kasus) sampai
Agustus (811 kasus). Setelah itu, insidens mosquito-borne disease mengalami
penurunan kembali saat memasuki bulan September (574 kasus) sampai November
(498 kasus), kemudian mengalami peningkatan pada bulan Desember (727 kasus).
Pada tahun 2012 insidens mosquito-borne disease cenderung tinggi (berada
di atas rata-rata / 1028 kasus) di awal tahun (pada bulan Januari / 1220 kasus sampai
bulan Juni / 1297 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat
memasuki bulan Juli (987 kasus) dan akan mencapai titik terendah pada bulan
Oktober (325 kasus). Setelah mengalami penurunan tren, insidens mosquito-borne
77
disease mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan November (336
kasus) sampai Desember (648 kasus).
Kemudian tahun 2013 insidens mosquito-borne disease mengalami
peningkatan pada bulan januari (1342 kasus) sampai bulan Maret (1667 kasus) dari
tahun sebelumnya. Kemudian jumlah kasus bersifat cenderung tinggi sampai bulan
Agustus (2179 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat
memasuki bulan September (1460 kasus) dan akan mencapai titik terendah pada
bulan November (873 kasus). Selanjutnya insidens mosquito-borne disease
mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan Desember (1041 kasus).
Tahun 2014 insidens mosquito-borne disease mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya pada bulan Januari (1831 kasus) dan cenderung tinggi (berada di
atas rata-rata / 1542 kasus) sampai bulan Mei (2238 kasus). Pola tersebut kemudian
mengalami penurunan saat memasuki bulan Juni (1195 kasus). Kemudian insidens
mosquito-borne disease mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan Juli
(1588 kasus) dan Agustus (989 kasus). Selanjutnya mengalami penurunan sampai
bulan November (419 kasus) dan mengalami peningkatan kembali pada bulan
Desember (448 kasus).
Pada tahun 2015 insidens mosquito-borne disease mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya pada bulan Januari (888 kasus) dan cenderung tinggi sampai
bulan Juni (1289 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat
memasuki bulan Juli (760 kasus) dan cenderung stabil sampai bulan Desember (546
kasus), namun pada bulan ini terjadi peningkatan dari bulan-bulan sebelumnya.
78
Dan pada tahun 2016 insidens mosquito-borne disease bersifat cenderung
tinggi (berada di atas rata-rata / 3311 kasus) pada bulan Februari (4070 kasus)
sampai bulan Juni (2281 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat
memasuki Juli (2281 kasus) dan cenderung stabil sampai bulan November (2275
kasus). Kemudian pada bulan Desember mengalami penurunan kembali menjadi
1869 kasus.
Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa pola insidens tahun
2009, dan 2011 sampai 2015 cenderung tinggi di awal tahun, bersifat rendah di
pertengahan tahun (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.1) dan
mengalami peningkatan kembali di akhir tahun. Namum berdasarkan grafik 5.1
menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dan 2016 terjadi penurunan jumlah kasus di
akhir tahun (bulan Desember), meskipun kedua tahun ini memiliki pola yang sama
(di awal dan pertengahan tahun / ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik
5.1) dengan tahun lain. Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2016 memiliki
perbedaan pola kejadian mosquito-borne disease dengan tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu dari grafik 5.1 dapat dilihat bahwa tahun 2016 memiliki jumlah kasus
mosquito-borne disease yang paling tinggi dibandingkan tahun-tahun lain.
79
5.1.2 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Curah hujan merupakan salah satu komponen dasar untuk melihat kondisi
cuaca pada satuan waktu tertentu. Pengertian curah hujan adalah ketebalan air hujan
(dalam satuan milimeter) yang terkumpul pada luasan 1 m2 pada saat dilakukan
pengukuran (BMKG, 2015c). Hasil pengukuran curah hujan harian akan
diakumulasikan ke dalam bulanan ataupun tahunan.
Pola curah hujan dapat diketahui melalui grafik yang menggambarkan angka
curah hujan bulanan dalam satu tahun. Dari grafik ini akan diketahui waktu dimana
curah hujan berada pada titik paling tinggi maupun rendah. Selain itu dapat
diketahui pula periode dimana curah hujan cenderung tinggi maupun rendah dalam
beberapa bulan. Perbedaan tinggi-rendahnya curah hujan ini akan menggambarkan
musim pada suatu wilayah. Berikut grafik yang menggambarkan kondisi curah
hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
80
Grafik 5.2 Gambaran Pola Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
0
100
200
300
400
500
600
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2009
0
100
200
300
400
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2010
0
50
100
150
200
250
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2011
0
100
200
300
400
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2012
0
200
400
600
800
1000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2013
0
200
400
600
800
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2014
0
200
400
600
800
1000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2015
0
100
200
300
400
500
600
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2016
Keterangan:
Curah Hujan (mm) Rata-rata (mm)
81
Berdasarkan grafik 5.2 dapat diketahui bahwa pola curah hujan tahun 2009-
2016 memiliki pola yang cenderung sama. Dalam delapan tahun terakhir pola curah
hujan cenderung tinggi di awal tahun, namun terjadi perbedaan pola saat memasuki
pertengahan tahun. Pada tahun 2009 sampai 2015 pola curah hujan bersifat rendah
(terjadi penurunan angka curah hujan secara signifikan) saat memasuki pertengahan
tahun (antara bulan April sampai September / ditandai dengan kotak bewarna hijau
pada grafik 5.2). Kemudian pada akhir tahun 2009-2015 terjadi peningkatan angka
curah hujan secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 7 tahun yang
memiliki pola curah hujan yang sama.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2016 memiliki pola curah
hujan cenderung tinggi saat memasuki pertengahan tahun (di atas rata-rata
tahunan/ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik 5.2). Selain itu tahun
ini memiliki pola curah hujan bersifat stabil sepanjang tahun kecuali pada bulan
februari. Kestabilan pola terjadi saat memasuki bulan Maret, dimana tidak terdapat
peningkatan atau penurunan angka curah hujan secara signifikan sampai akhir
tahun. Dapat disimpulkan bahwa tahun 2016 memiliki pola curah hujan tahunan
yang berbeda dengan tahun 2009 sampai 2015.
Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.2, maka perlu diketahui
gambaran angka curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 melalui
transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi angka curah
hujan di Provinsi DKI Jakarta. Berikut Tabel 5.2 yang menggambarkan kondisi
curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
82
Tabel 5.2 Gambaran Angka Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016
Dalam delapan tahun terakhir terdapat variasi angka curah hujan setiap
tahunnya. Terdapat 3 tahun dengan curah hujan di bawah 2000 mm, yaitu tahun
2009 (1973 mm), 2011 (1274,1 mm), dan 2012 (1488,2 mm). Sedangkan tahun
Bulan Curah Hujan (mm)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Januari 547,9 377 145,6 259,2 621,9 925,6 472,6 163,8
Februari 231,9 223,3 230,7 110,5 146,6 743,6 939,5 516,5
Maret 141,4 242,5 147,7 177,5 184,4 179,8 207,1 350,1
April 92,7 26,7 106,8 195,7 204,3 165,5 82,9 204
Mei 223,4 87,7 198,9 78,9 101 52 16,6 156,3
Juni 74,4 133,8 70,5 66,9 256,7 166,8 10,1 202,1
Juli 10,4 249,6 18,1 21 256,7 214,1 0 259,3
Agustus 6,5 150,6 1,5 0 61,4 38,1 5,2 227,2
September 88,3 256,1 52,6 19,5 49,5 0,1 0 237,4
Oktober 63,3 380,9 80,1 20,2 110,1 50,8 0 136,8
November 303,7 142,8 44,6 314,7 196,6 65,1 79,5 199,9
Desember 189,1 124 177 224,1 338,9 235,6 273,2 58,1
Jumlah 1973,0 2395,0 1274,1 1488,2 2528,1 2837,1 2086,7 2711,5
Rata-rata 164,4 199,6 106,2 124,0 210,7 236,4 173,9 226,0
Tertinggi 547,9 380,9 230,7 314,7 621,9 925,6 939,5 516,5
Terendah 6,5 26,7 1,5 0 49,5 0,1 0 58,1
83
dengan curah hujan di atas 2000 mm, yaitu tahun 2010 (2398,5 mm), 2013 (2528,1
mm), 2014 (2837,1 mm), 2015 (2086,7 mm), dan 2016 (2711,5 mm).
Setiap tahun memiliki bulan dengan curah hujan yang tinggi maupun rendah.
Bulan dengan curah hujan tertinggi meliputi tahun 2009 (Januari / 547,9 mm), 2010
(Oktober / 380,9 mm), 2011 (Februari / 230,7 mm), 2012 (November / 314,7 mm),
2013 (Januari / 621,9 mm), 2014 (Januari / 925,6 mm), 2015 (Februari / 939,5 mm),
dan 2016 (Februari / 516,5 mm). Sedangkan bulan dengan curah hujan terendah
meliputi tahun 2009 (Agustus / 6,5 mm), 2010 (April / 26,7 mm), 2011 (Agustus /
1,5 mm), 2012 (Agustus / 0 mm), 2013 (September / 49,5 mm), 2014 (September /
0,1 mm), 2015 (Juli, September, dan Oktober / 0), dan 2016 (Desember / 58,1).
Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan curah hujan
tertinggi memiliki angka curah hujan di atas 200 mm. Tahun dengan bulan curah
hujan terendah memiliki angka curah hujan yang bervariasi, dimana terdapat bulan
dengan curah hujan di bawah 10 mm (meliputi bulan Agustus 2009; Agustus 2011;
Agustus 2012; September 2014; dan Juli, September, serta Oktober 2015). Terdapat
pula tahun dengan bulan curah hujan terendah memiliki angka curah hujan di bawah
50 mm (meliputi bulan April 2010 dan September 2013). Sedangkan tahun 2016
memiliki bulan dengan curah hujan terendah di atas 50 mm, yaitu sebesar 58,1 mm
pada bulan Desember. Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2016 menjadi tahun yang
memiliki karakteristik pola curah hujan paling berbeda dibandingkan dengan tahun-
tahun sebelumnya.
84
5.1.3 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Hari hujan secara umum diartikan sebagai hari terjadinya hujan dalam
batasan tertentu. Hujan sendiri adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah
terlalu berat karena kandungan airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh
kembali ke permukaan bumi sebagai hujan (presipitasi) (BMKG, 2015c). Hari
hujan biasa diartikan ke dalam jumlah hujan pada periode tertentu.
Pola hari hujan dapat diketahui melalui grafik 5.3 yang menggambarkan
jumlah hari hujan bulanan dalam satu tahun. Dari grafik 5.3 akan diketahui waktu
dimana hari hujan berada pada titik paling tinggi maupun rendah. Selain itu dapat
diketahui pula periode dimana hari hujan cenderung tinggi maupun rendah dalam
beberapa bulan. Perbedaan tinggi-rendahnya hari hujan ini akan menggambarkan
musim pada suatu wilayah. Berikut grafik yang menggambarkan pola hari hujan di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
85
Grafik 5.3 Gambaran Pola Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Keterangan:
Hari Hujan (hari) Rata-rata (hari)
0
5
10
15
20
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2009
0
5
10
15
20
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2010
0
5
10
15
20
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2011
0
5
10
15
20
25
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2012
0
5
10
15
20
25
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2013
0
5
10
15
20
25
30
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2014
0
5
10
15
20
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2015
0
5
10
15
20
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2016
86
Berdasarkan grafik 5.3 dapat diketahui bahwa pola hari hujan tahun 2009-
2016 memiliki pola yang bersifat variatif. Dalam delapan tahun terakhir
menunjukkan bahwa jumlah hari hujan banyak di awal tahun. Pada tahun 2009,
2011 sampai 2015 jumlah hari hujan bersifat rendah (terjadi penurunan jumlah hari
hujan secara signifikan / ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.3).
Kemudian pada akhir tahun 2009, 2011 sampai 2015 terjadi peningkatan jumlah
hari hujan secara signifikan.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2010 dan 2016 memiliki
jumlah hari hujan cenderung banyak saat berada di pertengahan tahun. Selain itu
kedua tahun ini memiliki pola hari hujan yang bersifat stabil sepanjang tahun,
dimana fluktuasi ini menunjukkan tidak terjadinya peningkatan atau penurunan
jumlah hari hujan secara signifikan (ditandai dengan kotak berwarna merah pada
grafik 5.3). Kestabilan pola ini menunjukkan tidak terjadinya peningkatan mapun
penurunan jumlah hari hujan secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pola
hari hujan tahun 2010 dan 2016 memiliki pola yang paling berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya.
Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.3maka perlu diketahui
gambaran mengenai jumlah hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
melalui transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi hari
hujan di Provinsi DKI Jakarta. Berikut Tabel 5.3 yang menggambarkan kondisi
jumlah hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
87
Tabel 5.3 Gambaran Jumlah Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016
Dalam delapan tahun terakhir, terdapat 2 tahun dengan jumlah hari hujan di
bawah atau sama dengan 100 hari, yaitu tahun 2012 dan 2015. Sedangkan tahun
dengan jumlah hari hujan di atas hari, yaitu tahun 2009, 2010, 2011, 2013, 2014,
Bulan Hari Hujan (Hari)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Januari 19 19 19 20 21 24 19 12
Februari 19 17 18 10 14 21 19 19
Maret 8 12 12 15 12 14 15 17
April 8 3 9 9 14 10 14 8
Mei 12 10 9 5 8 10 1 14
Juni 4 10 6 4 14 10 3 9
Juli 2 14 4 1 14 11 0 9
Agustus 2 10 1 0 6 2 1 14
September 3 13 2 1 5 0 0 11
Oktober 4 13 6 3 5 3 0 18
November 15 12 8 16 10 5 7 14
Desember 12 18 13 16 17 12 14 8
Jumlah 108 151 107 100 140 122 93 153
Rata-rata 9.0 12.6 8.9 8.3 11.7 10.2 7.8 12.8
Tertinggi 19 19 19 20 21 24 19 19
Terendah 2 3 1 0 5 0 0 8
88
dan 2016. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat variasi jumlah hari hujan setiap
tahunnya.
Dari Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan hari hujan
tertinggi memiliki jumlah hari hujan di atas 15 hari (setara dengan setengah bulan).
Tahun dengan bulan hari hujan terendah memiliki jumlah hari hujan yang
bervariasi, dimana terdapat bulan dengan jumlah hari hujan kurang dari sama
dengan 5 hari (meliputi bulan Juli dan Agustus 2009; April 2010; Agustus 2011;
Agustus 2012; September dan Oktober 2013; September 2014; dan Juli, September,
serta Oktober 2015). Sedangkan tahun 2016 memiliki bulan dengan jumlah hari
hujan terendah di atas 5 hari, yaitu sebanyak 8 hari April dan pada bulan Desember.
Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2016 menjadi tahun yang memiliki karakteristik
pola hari hujan paling berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
89
5.1.4 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Suhu udara termasuk ke dalam komponen iklim, dimana suhu udara
merupakan suatu kondisi dimana panas-dingin udara terjadi pada atmosfer bumi.
Secara teoritis suhu udara memiliki arti ukuran energi kinetik rata-rata dari
pergerakan molekul-molekul (BMKG, 2015c). Suhu menjadi salah satu komponen
iklim yang dinamis, dimana perubahan suhu terjadi setiap waktu. Untuk
mempermudah melakukan analisis, data terkait suhu udara akan dikumpulkan dan
dilakukan perhitungan reratanya dalam satuan waktu tertentu.
Pola suhu udara dapat diketahui melalui grafik yang menggambarkan rata-
rata suhu udara bulanan dalam satu tahun. Dari grafik ini dapat diketahui pula
periode dimana suhu udara cenderung tinggi maupun rendah dalam beberapa bulan.
Perbedaan tinggi-rendahnya suhu udara ini akan menggambarkan musim pada
suatu wilayah. Berikut grafik yang menggambarkan pola suhu udara di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009-2016:
90
Grafik 5.4 Gambaran Pola Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2009
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2010
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2011
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2012
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2013
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
31.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2014
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2015
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2016
Keterangan:
Suhu Udara (0C) Rata-rata (0C)
91
Berdasarkan grafik 5.4 dapat diketahui bahwa pola suhu udara tahun 2009-
2015 memiliki pola yang cenderung sama. Suhu udara cenderung rendah di awal
tahun (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.4. Kemudian pola suhu
udara mengalami peningkatan di pertengahan tahun (bersifat fluktuatif) sampai
mencapai titik puncak pada bulan yang memiliki suhu terpanas. Selanjutnya pola
suhu udara akan mengalami penurunan saat memasuki bulan November sampai
akhir tahun (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.4).
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2016 memiliki pola suhu
udara yang cenderung tinggi di awal tahun, kemudian mengalami peningkatan saat
memasuki bulan Maret, dan mengalami penurunan secara tidak signifikan saat
memasuki bulan Mei sampai akhir tahun (berkisar pada suhu 28 0C -28,5 0C /
ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik 5.4). Hal ini menunjukkan
bahwa pola suhu udara tahun 2016 memiliki pola yang berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya.
Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.4, maka perlu diketahui
gambaran mengenai kondisi suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
melaui transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi suhu
udara di Provinsi DKI Jakarta. Berikut tabel yang menggambarkan kondisi suhu
udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
92
Tabel 5.4 Gambaran Kondisi Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016
Dalam delapan tahun terakhir tidak terdapat variasi rata-rata suhu udara setiap
tahunnya. Terdapat 5 tahun dengan suhu udara di bawah 28,5 0C, yaitu tahun 2010,
2011, 2013, 2014 dan 2015. Sedangkan tahun dengan suhu udara di atas 28,5 0C,
yaitu tahun 2009, 2012, dan 2016.
Bulan Suhu Udara (0C)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Januari 27,13 27,39 27,32 27,67 26,93 26,65 26,98 28,58
Februari 27,19 28,08 27,60 28,34 27,91 26,61 26,72 27,72
Maret 28,29 28,59 27,96 28,35 28,82 27,98 27,77 28,50
April 28,89 29,69 28,61 28,68 28,69 28,78 28,46 29,38
Mei 28,54 29,32 28,79 28,96 28,67 29,35 29,21 29,18
Juni 28,87 28,51 28,75 28,76 27,30 28,65 28,80 28,70
Juli 28,73 28,29 28,30 28,37 27,34 28,02 28,54 28,47
Agustus 29,01 28,76 28,80 28,64 28,60 28,74 28,44 28,35
September 29,40 27,89 28,99 28,92 28,99 29,24 28,77 28,47
Oktober 29,37 27,93 29,20 29,50 29,42 29,86 29,43 28,27
November 28,47 28,45 28,91 28,53 28,51 29,38 29,16 28,39
Desember 28,49 27,73 28,48 28,16 27,75 28,16 28,24 28,34
Rata-rata 28,53 28,39 28,48 28,57 28,24 28,45 28,38 28,53
Tertinggi 29,40 29,69 29,20 29,50 29,42 29,86 29,43 29,38
Terendah 27,13 27,39 27,32 27,67 26,93 26,61 26,72 27,72
93
Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan suhu udara
tertinggi memiliki suhu udara di atas 29,0 0C. Tahun dengan bulan suhu udara
terendah memiliki suhu udara yang bervariasi, dimana terdapat bulan dengan suhu
udara di bawah 27,0 0C (meliputi bulan Januari 2013, Februari 2014, dan Februari
2015). Terdapat pula tahun dengan bulan suhu udara terendah memiliki suhu udara
di bawah 27,5 0C (meliputi bulan Januari 2009, Januari 2010, dan Januari 2011).
Sedangkan tahun 2012 dan 2016 memiliki bulan dengan suhu udara terendah di atas
27,5 0C. Hal ini menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir pola suhu udara
di Provinsi DKI Jakarta bersifat variatif.
94
5.1.5 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-
2016
Kelembaban udara adalah jumlah kandungan uap air yang ada dalam udara
(BMKG, 2015c). Kandungan uap air di udara berubah-ubah bergantung pada suhu,
dimana semakin tinggi suhu, makin banyak kandungan uap airnya. kelembaban
juga menjadi salah satu komponen iklim yang dinamis, dimana perubahan suhu
terjadi setiap waktu. Untuk mempermudah melakukan analisis, data terkait
kelembaban udara akan dikumpulkan dan dilakukan perhitungan reratanya dalam
satuan waktu tertentu.
Pola kelembaban udara dapat diketahui melalui grafik yang menggambarkan
rata-rata kelembaban udara bulanan dalam satu tahun. Dari grafik ini akan diketahui
waktu dimana kelembaban berada pada titik paling tinggi maupun rendah. Selain
itu dapat diketahui pula periode dimana kelembaban udara cenderung tinggi
maupun rendah dalam beberapa bulan. Perbedaan tinggi-rendahnya suhu udara ini
akan menggambarkan musim pada suatu wilayah. Berikut grafik yang
menggambarkan pola kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
95
Grafik 5.5 Gambaran Pola Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2009
70.00
72.00
74.00
76.00
78.00
80.00
82.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2010
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2011
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2012
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2013
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2014
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2015
72.00
74.00
76.00
78.00
80.00
82.00
84.00
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2016
Keterangan:
Kelembaban Udara (%) Rata-rata (%)
96
Berdasarkan grafik 5.5 dapat diketahui bahwa pola kelembaban udara tahun
2009, dan 2011 sampai 2015 memiliki pola yang cenderung sama, dimana
kelembaban udara cenderung tinggi di awal tahun. Kemudian pola kelembaban
udara akan mengalami penurunan di pertengahan tahun saat memasuki bulan Juli
(ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.5). Selanjutnya pola
kelembaban udara mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan Oktober
sampai akhir tahun.
Tahun 2010 dan 2016 memiliki pola kelembaban udara paling berbeda
daripada tahun lainnya, dimana pola kelembaban udara masih cenderung tinggi di
awal tahun, kemudian mengalami penurunan secara signifikan saat memasuki bulan
April (2010) dan Maret (2016), dan selanjutnya terjadi fluktuasi biasa (tidak terjadi
penurunan atau peningkatan kelembaban udara / ditandai dengan kotak berwarna
merah pada grafik 5.5) sampai akhir tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pola
kelembaban udara tahun 2010 dan 2016 memiliki pola yang paling berbeda dari
tahun sebelumnya.
Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.5, maka perlu diketahui
gambaran mengenai kondisi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-
2016 melaui transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi
kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta. Berikut tabel yang menggambarkan
kondisi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
97
Tabel 5.5 Gambaran Kondisi Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2009-2016
Dalam delapan tahun terakhir tidak terdapat variasi rata-rata kelembaban
udara setiap tahunnya. Terdapat 5 tahun dengan kelembaban udara di bawah 75 %,
yaitu tahun 2009, 2011, dan 2012. Sedangkan tahun dengan kelembaban udara di
atas 75 %, yaitu tahun 2010, 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016.
Bulan Kelembaban Udara (%)
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Januari 80,94 80,39 79,42 79,71 84,39 84,32 82,10 80,48
Februari 80,64 80,61 79,36 77,55 79,71 85,93 84,29 83,21
Maret 75,68 78,45 75,87 75,90 76,26 81,29 79,37 81,42
April 75,70 73,60 75,33 76,80 78,97 76,53 78,40 77,30
Mei 77,32 76,77 76,06 74,52 78,16 75,97 73,74 79,23
Juni 74,53 78,70 72,77 72,90 80,40 77,83 72,83 77,13
Juli 68,23 78,29 74,35 70,42 80,16 77,06 70,45 78,10
Agustus 69,35 75,55 68,61 68,61 72,32 70,48 71,52 76,84
September 68,23 79,07 68,43 69,40 72,83 65,43 68,03 77,77
Oktober 69,48 78,39 71,52 71,45 71,94 67,68 68,24 78,19
November 75,33 76,27 73,57 78,07 75,97 73,10 74,83 78,03
Desember 77,32 75,97 76,42 78,58 79,35 76,48 78,35 76,10
Rata-rata 74,40 77,67 74,31 74,49 77,54 76,01 75,18 78,65
Tertinggi 80,94 80,61 79,42 79,71 84,39 85,93 84,29 83,21
Terendah 68,23 73,60 68,43 68,61 71,94 65,43 68,03 76,10
98
Dari Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan
kelembaban udara tertinggi memiliki kelembaban udara di atas 79%. Tahun dengan
bulan kelembaban udara terendah memiliki kelembaban udara yang bervariasi,
dimana terdapat bulan dengan kelembaban udara di bawah 70 % (meliputi bulan
Juli dan September 2009; September 2011; Agustus 2012; September 2014; dan
September 2015). Terdapat pula tahun dengan bulan kelembaban udara terendah
memiliki kelembaban udara di bawah 75 % (meliputi bulan April 2010, dan
Oktober 2013). Sedangkan tahun 2016 memiliki bulan dengan kelembaban udara
terendah di atas 75 % pada bulan Desember, yaitu sebesar 76,10 %. Hal ini
menunjukkan bahwa tahun 2016 menjadi tahun yang memiliki karakteristik
kelembaban udara paling berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
99
5.3 Analisis Time-trend Ecologic Study berdasarkan Pola Grafik
Analisis time-trend ecologic study berdasarkan pola grafik adalah studi
ekologi yang membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit) secara agregat
pada komunitas yang sama dalam kurun waktu yang berbeda (Alexander et al., no
date). Variabel paparan pada analisis studi ini adalah curah hujan, hari hujan, suhu
udara, dan kelembaban udara. Sedangkan variabel dampak pada penilitian ini
adalah mosquito-borne disease.
Dalam melakukan analisis time-trend ecologic study, data variabel paparan
akan ditampilkan dengan varibel dampak ke dalam bentuk grafik. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran kemiripan / kesamaan pola grafik pada kedua variabel.
Jika terjadi kesamaan pola pada kedua variabel menunjukkan bahwa kedua variabel
memliki keterkaitan yang cukup erat, dalam artian bahwa variabel paparan
memberikan pengaruh kepada variabel dampak.
Analisis time-trend ecologic study pada penelitian ini dilakukan pembagian
waktu analisis, dimana penelitian ini dilakukan menggunakan data selama 8 tahun,
namun akan dilakukan analisis setiap tahunnya. Analisis yang dilakukan setiap
tahunnya akan menunjukkan perbedaan pola pada tahun lainnya. Perbedaan pola
ini akan menunjukkan gambaran dampak perubahan parameter iklim terhadap
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.
100
5.3.1 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI
Jakarta
Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease
dan curah hujan bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua variabel.
Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan terhadap
variabel dampak pada analisis ini.
Berdasarkan Grafik 5.6 dapat diketahui bahwa pola angka curah hujan dan
insidens mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta
cenderung sama, namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Selain itu pola kedua
variabel ini bersifat sejajar, dimana semakin tinggi curah hujan, semakin tinggi pula
insidens mosquito-borne disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada
Grafik 5.6). Berikut penjelasan mengenai gambaran pola angka curah hujan dan
insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
a. Secara umum time-lag pola tren insidens mosquito-borne disease dan curah
hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 terjadi selama 3 bulan, dimana pada
bulan Januari sampai April terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada
bulan April sampai Juli terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease;
kemudian pada bulan Juni sampai Agustus terjadi penurunan angka curah
hujan, dan pada bulan September sampai bulan November terjadi penurunan
insidens mosquito-borne disease pula; dan pada bulan September mengalami
peningkatan angka curah hujan, begitu pula pada bulan Desember terjadi
peningkatan insidens mosquito-borne disease.
101
Grafik 5.6 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009-201
0
100
200
300
400
500
600
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2009
0
100
200
300
400
0
1000
2000
3000
4000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2010
0
50
100
150
200
250
0
500
1000
1500
2000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2011
0
100
200
300
400
0
500
1000
1500
2000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2012
0
200
400
600
800
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2013
0
200
400
600
800
1000
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2014
0
200
400
600
800
1000
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2015
0
100
200
300
400
500
600
0
2000
4000
6000
8000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2016
Keterangan:
Mosquito-borne Disease (kasus) Curah Hujan (mm)
102
b. Di tahun 2010 terjadi time-lag selama 2 bulan, dimana pada bulan Februari,
April, dan Agustus terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan
April, Mei, dan Oktober terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease;
kemudian pada bulan Mei, Juni, dan September terjadi peningkatan angka
curah hujan, dan pada bulan Juli, Agustus, dan November terjadi
peningkatan insidens mosquito-borne disease pula.
c. Pada tahun 2011 terjadi time-lag selama 2 bulan, dimana pada bulan Februari,
Maret, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan Oktober memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan April, Mei, Juli, Agustus,
September, Oktober,dan Desember.
d. Tahun 2012 juga terjadi time-lag selama 2 bulan, dimana pada bulan Februari,
Mei, Juni, Juli, dan Agustus terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada
bulan April, Juli, Agustus, September, dan Oktober terjadi penurunan
insidens mosquito-borne disease; kemudian pada bulan September dan
Oktober terjadi peningkatan angka curah hujan, November dan Desember
terjadi peningkatan insidens mosquito-borne disease pula.
e. Sedangkan di tahun 2013 terjadi time-lag selama 1 bulan, dimana pada bulan
Maret, April, Juni, Juli, dan November terjadi peningkatan angka curah hujan,
dan pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, dan Desember terjadi peningkatan
insidens mosquito-borne disease; kemudian pada bulan Mei, Agustus, dan
September terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan Juni,
September, Oktober terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease pula.
f. Tahun 2014 terjadi time-lag selama 2 sampai 3 bulan, misal pada bulan
Februari, Maret, dan Agustus terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada
103
bulan Mei, Juni, dan November terjadi penurunan insidens mosquito-borne
disease.
g. Di tahun 2015 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pada bulan Maret sampai
Juni terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan Mei sampai
Agustus terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease.
h. Dan pada tahun 2016 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pada bulan Maret
sampai Mei terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan Mei sampai
Juli terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease.
Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa time- lag terjadi
selama 1 sampai 3 bulan, atau dengan kata lain pengaruh angka curah hujan akan
muncul setelah 1 sampai 3 bulan terhadap insidens mosquito-borne disease. Time-
lag yang paling banyak terjadi yaitu selama 2 bulan (pada tahun 2010, 2011, 2012,
2015, dan 2016). Sedangkan masa time- lag paling cepat (1 bulan) hanya terjadi
pada tahun 2013. Berdasarkan hasil observasi juga dapat diketahui bahwa pola
insidens mosquito-borne disease masih bersifat linier dengan pola curah hujan pada
tahun 2016 (ditandai dengan kotak berwarna merah pada Grafik 5.6). Jadi dapat
disimpulkan bahwa pola insidens mosquito-borne disease dan curah hujan di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat linier (memiliki pola yang sama).
104
5.3.2 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI
Jakarta
Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease
dan hari hujan bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua variabel.
Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan terhadap
variabel dampak pada analisis ini.
Berdasarkan Grafik 5.7 dapat diketahui bahwa pola hari hujan dan insidens
mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta cenderung sama,
namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Selain itu kedua pola ini bersifat sejajar,
dimana semakin banyak hari hujan, semakin tinggi insidens mosquito-borne
disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada Grafik 5.7). Berikut penjelasan
mengenai gambaran pola hari hujan dan insidens mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
a. Time-lag pola tren insidens mosquito-borne disease dan hari hujan di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009 terjadi selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada
bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.
b. Tahun 2010 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada bulan
Januari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan insidens mosquito-
borne disease pada bulan Maret sampai Agustus.
c. Di tahun 2011 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada
bulan Mei sampai Oktober memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan Juli sampai Desember.
105
Grafik 5.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009-2016
0
5
10
15
20
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2009
0
5
10
15
20
0
1000
2000
3000
4000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2010
0
5
10
15
20
0
500
1000
1500
2000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2011
0
5
10
15
20
25
0
500
1000
1500
2000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2012
0
5
10
15
20
25
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2013
0
5
10
15
20
25
30
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2014
0
5
10
15
20
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2015
0
5
10
15
20
0
2000
4000
6000
8000
Jan
Feb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
Jul
Agu Se
p
Okt
No
v
Des
2016
Keterangan:
Mosquito-borne Disease (kasus) Hari Hujan (hari)
106
d. Pada tahun 2012 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada
bulan Maret sampai Agustus memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan Mei sampai Oktober.
e. Tahun 2013 juga terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada
bulan Juni sampai Oktober memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan Agustus saampai Desember.
f. Di Tahun 2014 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada
bulan Februari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan April sampai Agustus.
g. Sedangkan pada tahun 2015 terjadi time-lag selama 3 bulan, misal pola hari
hujan pada bulan Januari sampai Mei memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan April sampai Agustus.
h. Dan pada tahun 2016 terjadi time-lag selama 1 sampai 2 bulan, misal pola
hari hujan pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.
Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa time-lag terjadi
selama 1 sampai 3 bulan, atau dengan kata lain pengaruh hari hujan akan muncul
setelah 1 sampai 3 bulan terhadap insidens mosquito-borne disease. Time- lag yang
paling banyak terjadi yaitu selama 2 bulan (pada tahun 2009 sampai 2014).
Sedangkan masa time-lag paling lambat (3 bulan) hanya terjadi pada tahun 2015.
Berdasarkan hasil observasi juga dapat diketahui bahwa pola insidens mosquito-
borne disease masih bersifat linier dengan pola hari hujan pada tahun 2010 dan
2016 (ditandai dengan kotak berwarna merah pada Grafik 5.7). Jadi dapat
107
disimpulkan bahwa pola insidens mosquito-borne disease dan hari hujan di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat linier (memiliki pola yang sama).
5.3.3 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI
Jakarta
Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease
dan suhu udara bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua variabel.
Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan terhadap
variabel dampak pada analisis ini.
Berdasarkan Grafik 5.8 dapat diketahui bahwa pola suhu udara dan insidens
mosquito-borne disease tahun 2009-2015 di Provinsi DKI Jakarta cenderung sama,
dan tidak terjadi penundaan waktu (time-lag). Akantetapi suhu udara yang
terlampau tinggi (di atas 29 0C) akan menimbulkan penurunan insidens mosquito-
borne disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada Grafik 5.8). Berikut
penjelasan mengenai gambaran pola suhu udara dan insidens mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
a. Pada Tahun 2009 tidak memiliki time-lag, misal pola suhu udara pada bulan
Januari sampai Mei memiliki pola yang sama dengan insidens mosquito-
borne disease pada bulan yang sama; namun suhu udara yang terlampau
tinggi saat memasuki bulan Agustus sampai Oktober menimbulkan
penurunan insidens mosquito-borne disease pada bulan tersebut.
108
Grafik 5.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009-2016
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2009
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
0
1000
2000
3000
4000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2010
26.00
26.50
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
0
500
1000
1500
2000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2011
26.50
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
0
500
1000
1500
2000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2012
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2013
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
31.00
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2014
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2015
26.50
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
0
2000
4000
6000
8000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2016
Keterangan:
Mosquito-borne Disease (kasus) Suhu Udara (0C)
109
b. Tahun 2010 tidak memiliki time-lag, dimana kedua pola ini bersifat sejajar
sampai akhir tahun, namun tidak semua bulan memiliki pola yang sama;
namun suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan April dan Mei
menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease pada bulan
tersebut.
c. Di tahun 2011, suhu udara yang panas saat memasuki bulan April dan Mei,
maupun bulan Agustus sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens
mosquito-borne disease pada bulan tersebut.
d. Pada tahun 2012, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan
Agustus sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne
disease pada bulan tersebut.
e. Sedangkan pada tahun 2013, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki
bulan September sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens
mosquito-borne disease pada bulan tersebut.
f. Di tahun 2014, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan
September sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens mosquito-
borne disease pada bulan tersebut.
g. Pada tahun 2015, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan
Oktober sampai November menimbulkan penurunan insidens mosquito-
borne disease pada bulan tersebut.
h. Dan di tahun 2016, suhu udara yang terlampau tinggi pada bulan April (di
atas 29 0C) tidak menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease
pada bulan tersebut (ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik
5.8).
110
Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa suhu udara
memiliki pola yang sama (bersifat linier), namun pola yang berbeda dapat timbul
saat suhu udara terlampau sangat panas. Suhu udara yang sangat panas
menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease pada tahun 2009-2015.
Akantetapi pada tahun 2016 timbul sesuatu yang berbeda, yaitu saat suhu berada
pada kondisi yang cukup panas, tidak menimbulkan penurunan insidens mosquito-
borne disease (ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik 5.8). Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan pola suhu udara yang terjadi pada tahun 2016
mengakibatkan perbedaan pola juga pada insidens mosquito-borne disease.
5.3.4 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi
DKI Jakarta
Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease
dan kelembaban udara bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua
variabel. Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan
terhadap variabel dampak pada analisis ini.
Berdasarkan Grafik 5.9 dapat diketahui bahwa pola kelembaban udara dan
insidens mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta
cenderung sama, namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Selain itu kedua pola
ini bersifat sejajar, dimana semakin tinggi kelembaban udara, semakin tinggi pula
insidens mosquito-borne disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada
Grafik 5.9). Berikut penjelasan mengenai gambaran pola kelembaban udara dan
insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:
111
Grafik 5.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2009-2016
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2009
70.00
72.00
74.00
76.00
78.00
80.00
82.00
0
1000
2000
3000
4000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2010
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
0
500
1000
1500
2000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2011
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
0
500
1000
1500
2000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2012
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2013
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2014
65.00
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
0
500
1000
1500
2000
2500
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2015
72.00
74.00
76.00
78.00
80.00
82.00
84.00
0
2000
4000
6000
8000
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2016
Keterangan:
Mosquito-borne Disease (kasus) Kelembaban Udara (%)
112
a. Time-lag pola tren insidens mosquito-borne disease dan kelembaban udara di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 terjadi selama 2 bulan, misal pola
kelembaban udara pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama
dengan insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.
b. Tahun 2010 juga terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban
udara pada bulan Februari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan April sampai Agustus.
c. Di tahun 2011 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban udara
pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.
d. Sedangkan pada tahun 2012 terjadi time-lag selama 1 bulan, misal pola
kelembaban udara pada bulan April sampai Agustus memiliki pola yang sama
dengan insidens mosquito-borne disease pada bulan Mei sampai September.
e. Tahun 2013 juga terjadi time-lag selama 1 bulan, misal pola kelembaban
udara pada bulan April sampai Agustus memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan Mei sampai September.
f. Pada tahun 2014 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban
udara pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.
g. Di tahun 2015 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban udara
pada bulan Januari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan insidens
mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Agustus.
113
h. Dan di tahun 2016 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban
udara pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan
insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.
Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa time-lag terjadi
selama 1 sampai 2 bulan, atau dengan kata lain pengaruh kelembaban udara akan
muncul setelah 1 sampai 2 bulan terhadap insidens mosquito-borne disease. Time-
lag yang paling banyak terjadi yaitu selama 2 bulan (pada tahun 2009, 2010, 2011,
2014, 2015, dan 2016). Sedangkan masa time-lag paling cepat (1 bulan) terjadi pada
tahun 2012 dan 2013. Berdasarkan hasil observasi juga dapat diketahui bahwa pola
insidens mosquito-borne disease masih bersifat linier dengan pola kelembaban
udara pada tahun 2010 dan 2016 (ditandai dengan kotak berwarna merah pada
Grafik 5.9). Jadi dapat disimpulkan bahwa pola insidens mosquito-borne disease
dan kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat linier
(memiliki pola yang sama).
114
5.4 Analisis Bivariat
5.4.1 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Adapun hasil analisis hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:
Tabel 5.6 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Variabel Independen Variabel Dependen r P-value
Curah Hujan Mosquito-borne Disease 0,314 0,002
Berdasarkan Tabel 5.6 dapat diketahui bahwa curah hujan dengan
mosquito-borne disease memiliki kekuatan hubungan sedang dan berpola positif.
Hasil uji statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,002 artinya pada tingkat
kepercayaan 5% terdapat hubungan antara curah hujan dan mosquito-borne disease.
5.4.2 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Hasil analisis hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:
115
Tabel 5.7 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Variabel Independen Variabel Dependen r P-value
Hari Hujan Mosquito-borne Disease 0,338 0,001
Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa hari hujan dengan mosquito-
borne disease memiliki kekuatan hubungan sedang dan berpola positif. Hasil uji
statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,001 artinya pada tingkat
kepercayaan 5% terdapat hubungan antara hari hujan dan mosquito-borne disease.
5.4.3 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Adapun hasil analisis hubungan antara suhu udara dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:
Tabel 5.8 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Variabel Independen Variabel Dependen r P-value
Suhu Udara Mosquito-borne Disease -0,192 0,061
Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa suhu udara dengan mosquito-
borne disease memiliki kekuatan hubungan lemah / tidak ada hubungan dan berpola
negatif. Hasil uji statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,061 artinya pada
tingkat kepercayaan 5% tidak terdapat hubungan antara suhu udara dan mosquito-
borne disease.
116
5.4.4 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease
di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Hasil analisis hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:
Tabel 5.9 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne
Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Variabel Independen Variabel Dependen r P-value
Kelembaban Udara Mosquito-borne Disease 0,460 0,000
Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa kelembaban udara dengan
mosquito-borne disease memiliki kekuatan hubungan sedang dan berpola positif.
Hasil uji statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,000 artinya pada tingkat
kepercayaan 5% terdapat hubungan antara kelembaban udara dan mosquito-borne
disease.
117
6 BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder pada variabel dependen
(mosquito-borne disease) dan variabel independennya yaitu curah hujan, hari hujan,
suhu udara, dan kelembaban udara. Pada penelitian ini tidak semua data variabel
independen didapatkan. Terdapat beberapa data harian yang tidak terdapat datanya
dan tidak terukur. Pada variabel curah hujan dan hari hujan terdapat 12 data yang
tidak ada dan 142 data yang tidak terukur. Sedangkan pada variabel suhu udara dan
kelembaban udara terdapat 9 data yang tidak ada. Hal ini dapat mengakibatkan
tranformasi data ke dalam bentuk data bulanan dilakukan secara tidak sempurna.
Bentuk transformasi yang dilakukan pada variabel curah hujan dan hari hujan
berupa penjumlahan data harian tersebut dalam satu bulan. Sedangkan bentuk
transformasi yang dilakukan pada variabel suhu udara dan kelembaban udara
berupa perhitungan rerata dalam satu bulan.
Selain itu penelitian ini memiliki keterbatasan dalam penggunaan data
sekunder (insidens mosquito-borne disease). Kelemahan pada penggunaan data
sekunder insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-
2016, yaitu kumpulan data ini tidak dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta secara sempurna karena data
variabel inf i merupakan data sekunder agregat. Kelemahan dari data ini merupakan
kelamahan penggunaan jenis data sekunder.
118
6.2 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun
2009-2016
Mosquito-borne disease menjadi salah satu golongan penyakit yang masih
menimbulkan masalah kesehatan di Provinsi DKI Jakarta. Golongan penyakit ini
memiliki insidens yang cukup tinggi pada setiap tahunnya. Terdapat tiga penyakit
yang tergolong ke dalam mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta, yaitu
DBD, chikungunya, dan malaria. Penyakit ini timbul karena infeksi
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.
Ketiga penyakit ini menjadi penyakit yang memiliki potensi transmisi atau
penularan yang tinggi melalui nyamuk, dimana nyamuk merupakan salah satu
vektor penyakit yang sering dijumpai di daerah tropis.
Permasalahan golongan penyakit mosquito-borne disease di suatu wilayah
dapat diketahui dengan cara melihat jumlah kasus baru atau insidens mosquito-
borne disease setiap bulannya pada wilayah tersebut. Insidens penyakit ini akan
membentuk sebuah pola kejadian, dimana pola kejadian ini terjadi karena adanya
fluktuasi insidens dalam kurun waktu tertentu. Dari pola ini akan diketahui waktu
dimana insidens mosquito-borne disease akan berada pada angka insidens yang
sangat tinggi maupun sangat rendah.
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa mosquito-
borne disease memiliki pola insidens setiap tahunnya pada tahun 2009-2016. Pola
insidens pada tahun 2009 dan 2011 sampai 2015 cenderung sama, dimana jumlah
insidens mosquito-borne disease cenderung tinggi saat berada di awal tahun
maupun akhir tahun, dan cenderung rendah saat berada dipertengahan tahun.
119
Sedangkan tahun 2010 dan 2016 terjadi penurunan jumlah kasus di akhir tahun
(bulan Desember), meskipun kedua tahun ini memiliki pola yang sama (di awal dan
pertengahan tahun) dengan tahun lain. Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2010 dan
2016 memiliki perbedaan pola kejadian mosquito-borne disease dengan tahun-
tahun sebelumnya.
Tingginya jumlah kasus mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta
dipengaruhi oleh kondisi geografis provinsi ini. Provinsi DKI Jakarta merupakan
dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter diatas permukaan laut
(Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Namun, sekitar 40 persen wilayah Jakarta berupa
dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang
(Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Kondisi ini lah yang mendukung kelangsungan
hidup nyamuk Aedes aegypti dan Anopheles sp, maka sudah sewajarnya jika
Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah endemis mosquito-borne disease.
6.3 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola curah hujan tahun 2016 berbeda
dengan pola curah hujan tahun 2009-2015. Pola curah hujan tahun 2016 bersifat
fluktuatif namun tidak terjadi penurunan ataupun peningkatan curah hujan secara
signifikan. Sedangkan pada tahun 2009-2015 memiliki pola curah hujan yang tinggi
saat berada di awal tahun dan akhir tahun, serta angka curah hujan bersifat rendah
saat berada di pertengahan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan tahun
2016 memiliki pola yang berbeda dengan tahun lain.
120
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pola curah hujan rata-rata
bulanan wilayah Indonesia menggunakan data tahun 1961-1993 dari 100 stasium
meteorologi menunjukkan hasil sebagai berikut (Aldrian, 2000):
Tabel 6.1 Rata-rata Curah Hujan Bulanan Seluruh Indonesia Tahun
1961-1993
No Bulan Minimum (mm) Maksimum (mm)
1 Januari 100 >700
2 Februari 50 500
3 Maret 50 400
4 April 50 300
5 Mei 0 300
6 Juni 0 300
7 Juli 0 300
8 Agustus 0 300
9 September 0 300
10 Oktober 0 400
11 November 50 450
12 Desember 150 500
Sumber: Aldrian, 2000
Berdasarkan Tabel 6.1 dapat diketahui bahwa secara umum pola curah
hujan di Indonesia memiliki angka curah hujan yang tinggi di awal tahun, kemudian
mengalami penurunan di pertengahan tahun saat memasuki bulan April, dan
selanjutnya mengalami peningkatan angka curah hujan kembali saat memasuki
bulan Oktober. Hasil penelitian ini memiliki pola curah hujan yang sama dengan
121
Tabel 6.1 kecuali tahun 2016. Selain itu dapat diketahui pula angka curah hujan
tahun 2009-2015 masih termasuk ke dalam angka curah hujan rata-rata di
Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan Tabel 6.1, angka curah hujan tahun
2016 masuk ke dalam kriteria batas rentang angka curah hujan rata-rata di Indonesia
kecuali bulan Februari dan Desember. Bulan Februari memiliki angka curah hujan
sebesar 516,5 mm (melebihi batas maksimal rata-rata / 500 mm) dan bulan
Desember tahun 2016 memiliki angka curah hujan sebesar 58,1 mm (tidak
memenuhi batas minimal rata-rata / 150 mm). Hal ini menunjukkan bahwa tahun
2016 memiliki karakteristik pola curah hujan yang berbeda dibandingkan dengan
pola dan angka curah hujan rata-rata di Indonesia.
Tahun 2014 dan 2015 menunjukkan bahwa kedua tahun ini memiliki angka
curah hujan bulan Februari melebihi batas maksimal rata-rata (500 mm), dimana
bulan Februari 2014 memiliki angka curah hujan sebesar 743,6 mm dan 939,5 mm
pada tahun 2015. Angka curah hujan ini sudah melampaui nilai maksimal rata-rata,
namun hal ini menjadi biasa karena sudah sewajarnya awal tahun memiliki angka
curah hujan yang tinggi. Berbeda dengan bulan Desember 2016, dimana bulan ini
tidak memenuhi batas minimal rata-rata dan tidak memiliki karakteristik pola curah
hujan yang sama dengan tahun sebelumnya (curah hujan cenderung tinggi saat
memasuki akhir tahun).
Sebuah penelitian yang dilakukan 2013 dengan wilayah penelitian Jakarta
menggunkan data curah hujan tahun 1901-2000 (Gambar 6.1), menunjukkan hasil
bahwa pola curah hujan akan berubah saat terjadi peristiwa alam yang biasa disebut
dengan El Nino, La Nina, Dipole Mode Positive (DM+), dan Dipole Mode Negative
122
(DM-) (Nuryanto, 2013). Saat El Nino maupun DM+ terjadi, distribusi curah hujan
bulan Juli-November cenderung rendah atau memiliki pola dengan angka curah
hujan yang lebih rendah dari tahun lain, dan curah hujan bulan Desember-Mei
cenderung tinggi atau lebih tinggi dari tahun normal (Nuryanto, 2013). Sedangkan
saat La Nina terjadi distribusi curah hujan bulan Juli-November memiliki pola
dengan angka curah hujan yang lebih tinggi dari tahun lain, dan curah hujan bulan
Desember-Mei memiliki pola lebih rendah dari tahun normal (Nuryanto, 2013).
Selain itu jika DM- terjadi, maka tidak ada pola distribusi curah hujan yang jelas di
Jakarta (Nuryanto, 2013). Dari Gambar 6.1 dapat di ketahui bahwa pola curah hujan
tahun 1901-2000 memiliki pola yang sama meskipun terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa El Nino, La Nina, Maupun DM+. Di sisi lain, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pola curah hujan tahun 2009-2015 memiliki pola yang sama
dengan penelitian sebelumnya kecuali tahun 2016, dimana pola curah hujan tahun
2016 kemungkinan terganggu akibat dari dampak DM-. Perbedaan pola ini
mengindikasikan terjadinya perubahan pola parameter curah hujan di Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2016.
(a) (b)
123
Gambar 6.1 Distribusi Siklus Curah Hujan Bulanan Tahun 1901-2000. (a) El
Nino, (b) La Nina, (c) DM+, (d) DM- dan (e) Normal (Nuryanto, 2013)
Pada tahun 2016 BoM (Bureau of Meteorology), NASA (National
Aeronautics and Space Administration), dam BMKG menyatakan bahwa pada
bulan Oktober-November terindikasi kuat terjadi DM- di wilayah Indonesia bagian
Barat (BMKG, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa pola iklim yang terganggu pada
akhir tahun 2016 terjadi akibat adanya peristiwa DM- di samudera Hindia. Namun
perubahan pola curah hujan memiliki keterkaitan dengan terjadinya perubahan
iklim global (Aldrian, 2014). Tahun 2016 merupakan salah satu contoh bahwa
terlihat dengan jelas terjadinya gangguan pola curah hujan. Gangguan pola curah
hujan pada tahun ini mengindikasikan dampak terjadinya perubahan iklim global
dan perubahan iklim yang tengah terjadi di Provinsi DKI Jakarta.
(e)
(c) (d)
124
6.4 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Hujan adalah jatuhnya hidrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan
diameter 0.5 mm atau lebih (Maulidani, Ihsan and Sulistiawaty, 2015). Jika
hidrometeor tersebut jatuh sampai ke tanah maka disebut hujan, akan tetapi apabila
jatuhnya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi maka jatuhan tersebut
disebut virga (Maulidani, Ihsan and Sulistiawaty, 2015). Jatuhnya hidrometeor
memiliki intensitas yang berbeda-beda, dimana intensitas ini biasa disebut dengan
curah hujan. Curah hujan ini akan menentukan kategori, dimana hujan terjadi
dengan deras, hujan normal, hujan ringan, maupun hujan lebat yang berpotensi
menimbulkan bencana (Sudewi, Sasmito and Kurniawan, 2015). Dengan kata lain
hujan adalah bentuk nyata dari curah hujan, dimana curah hujan hanya sebuah
besaran hujan dalam satuan angka. Jadi hari hujan adalah jumlah hari dengan
kejadian hujan dalam periode tertentu.
Hasil penelitian ini menunjukkan pola hari hujan pola hari hujan tahun 2009,
2011 sampai 2015 memiliki pola yang sama. Sedangkan pola hari hujan pada tahun
2010 dan 2016 memiliki pola yang berbeda, dimana selama tahun 2010 dan 2016
berlangsung pola hari hujan hanya bersifat fluktuatif biasa (tidak terjadi penurunan
atau peningkatan jumlah hari hujan secara signifikan). Pola hari hujan tahun 2009-
2016 memiliki pola yang sama, dimana jumlah hari hujan pada awal dan akhir tahun
cenderung banyak dibandingkan saat memasuki pertengaahan tahun.
Pola hari hujan pada tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta dapat
menunjukkan pola musim kemarau dan musim hujan. Secara umum bulan
masuknya musim kemarau di Provinsi DKI Jakarta adalah minggu pertama bulan
125
April sampai minggu pertama bulan Juni (BMKG, 2015b). Hal ini menunjukkan
bahwa musim kemarau di Provinsi DKI Jakarta dapat terjadi mulai dari awal bulan
April dan selambat-lambatnya musim kemarau dapat terjadi di awal bulan Juni.
Sedangkan bulan masuknya musim hujan secara umum di Provinsi DKI Jakarta
adalah minggu kedua bulan Oktober sampai minggu kedua bulan Desember
(BMKG, 2015a). Ini menunjukkan bahwa terjadinya musim hujan paling cepat
yaitu pada minggu kedua bulan Oktober dan selambat-lambatnya musim hujan
dimulai pada minggu kedua bulan Desember. Jadi musim kemarau di Provinsi DKI
Jakarta terjadi pada minggu pertama bulan April sampai minggu pertama bulan
Oktober atau terjadi selambat-lambatnya pada minggu pertama bulan Juni sampai
minggu pertama bulan Desember. Dan musim hujan di Provinsi DKI Jakarta terjadi
pada minggu kedua bulan Oktober sampai minggu akhir bulan Maret atau minggu
kedua bulan Desember sampai akhir bulan Mei.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat diketahui bahwa bulan yang pasti
termasuk ke dalam bulan musim kemarau adalah bulan Juni, Juli, Agustus, dan
September. Sedangkan bulan yang pasti termasuk ke dalam bulan terjadinya musim
hujan adalah bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret. Dan bulan yang
termasuk ke dalam golongan bulan masa transisi musim adalah bulan April sampai
Juni untuk musim kemarau dan bulan Oktober sampai Desember untuk musim
hujan.
Hasil penilitian ini menunjukkan kesesuaian dengan prakiraan masuknya
musim atau bulan transisi musim menurut BMKG. Berdasarkan hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa bulan pasti musim hujan adalah Desember, Januari, Februari,
dan Maret pada tahun 2009-2016, dimana jumlah hari hujan pada empat bulan ini
126
memiliki jumlah hari hujan yang cukup banyak. Sedangkan bulan musim kemarau
menunjukkan bahwa jumlah hari hujan pada bulan Juni sampai September tahun
2009, 2011 sampai 2015 termasuk ke dalam golongan jumlah hari hujan rendah.
Namum pada tahun 2010 dan 2016 menunjukkan hasil yang berbeda, dimana pada
bulan Juni sampai September memiliki jumlah hari hujan yang cukup banyak.
Tahun 2010 jumlah hari hujan pada keempat bulan tersebut meliputi 10 hari pada
bulan Juni, 14 hari pada bulan Juli (berada di atas rata-rata tahunan / 12,6 hari), 10
hari pada bulan Agustus, dan 13 hari pada bulan September (berada di atas rata-rata
tahunan). Pada tahun 2016 jumlah hari hujan pada keempat bulan tersebut meliputi
9 hari pada bulan Juni dan Juli, 14 hari pada bulan Agustus (berada di atas rata-rata
tahunan / 12,8 hari), dan 11 hari pada bulan September. Hal ini menunjukkan bahwa
tahun 2010 dan 2016 memiliki karakteristik jumlah hari hujan yang berbeda dari
tahun sebelumnya.
Berbeda dengan hasil yang didapatkan pada varibel curah hujan. Variabel hari
hujan menunjukkan bahwa jumlah hari hujan pada akhir tahun 2016 cenderung
tinggi dengan angka curah hujan yang tergolong normal (tidak terlalu tinggi
maupun rendah) atau bersifat sepadan, dimana terdapat 18 hari hujan pada bulan
Oktober dengan curah hujan sebesar 136,8 mm; 14 hari hujan pada bulan November
dengan curah hujan sebesar 199,9 mm; dan 8 hari hujan pada bulan Desember
dengan curah hujan sebesar 58,1 mm. Namun hal ini sudah diketahui penyebanya,
dimana pada bulan Oktober-November terindikasi kuat terjadi DM- di wilayah
Indonesia bagian Barat (BMKG, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa hujan yang
terjadi pada bulan Oktober sampai Desember merupakan hujan ringan. Sedangkan
127
tahun 2010 memiliki pola hari hujan akhir tahun yang cenderung sama dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September tahun 2010 dan 2016
menunjukkan hasil bahwa keempat bulan ini memiliki angka curah hujan yang lebih
tinggi daripada bulan Oktober, November, dan Desember. Hasil penelitian tahun
2010 menunjukkan yang meliputi terdapat 10 hari hujan (Juni / 133,8 mm), 14 hari
hujan (Juli / 249,6 mm), 10 hari hujan (Agustus / 150,6 mm), dan 13 hari hujan
(September / 256,1 mm). Tahun 2016 menunjukkan hasil yang meliputi terdapat 9
hari hujan (Juni / 202,1 mm), 9 hari hujan (Juli / 259,3 mm), 14 hari hujan (Agustus
/ 227,2 mm), dan 11 hari hujan (September / 237,4 mm). Hal ini menunjukkan
bulan musim kemarau ini memiliki hari hujan yang lebih deras daripada hujan yang
terjadi pada akhir tahun 2016. Selain itu dapat diketahui pula bahwa perbedaan pola
ini mengindikasikan terjadinya perubahan pola paremeter curah hujan di Provinsi
DKI Jakarta pada tahun 2016.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada pertengahan tahun 2010 dan 2016
tengah terjadi musim kemarau dengan jumlah hari hujan yang lebih banyak
daripada tahun-tahun sebelumnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa musim
kemarau yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 termasuk ke dalam musim kemarau
basah. Kemarau basah merupakan salah satu dampak dari terjadinya perubahan
iklim (Aldrian, 2014). Kemarau basah yang pernah terjadi pada tahun 2010 yang
pada akhirnya menutup tahun tanpa kemarau adalah gambaran nyata bagaimana
iklim di Indonesia telah berubah (Aldrian, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa
kemarau basah yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 merupakan bagian dari
dampak perubahan iklim yang tengah terjadi di Indonesia.
128
6.5 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Suhu udara merupakan salah satu parameter iklim yang memberikan
pengaruh kuat kepada paremeter iklim lain. Namun terdapat beberapa faktor
tersendiri yang dapat mempengaruhi kondisi suhu udara. Faktor-faktor tersebut
meliputi lama penyinaran matahari (semakin lama matahari memancarkan sinarnya
di suatu daerah, semakin banyak panas yang diterima oleh daaerah tersebut),
kemiringan sinar matahari (suatu daerah yang memiliki posisi matahari berada
tegak lurus di atasnya, maka radiasi akan lebih besar dan suhu pada daerah tersebut
lebih panas), keadaan awan (adanya awan di atmosfer akan menyebabkan
berkurangnya jumlah radiasi yang diterima oleh daerah tersebut), dan keadaan
permukaan bumi (perbedaan sifat darat dan laut, dimana permukan darat akan lebih
cepat menerima panas dan melepaskan panas, serta mengakibatkan perbedaan suhu
udara di atasnya) (Yunus, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa setiap daerah di
Indonesia memiliki kondisi suhu dan pola suhu yang berbeda-beda tergantung
dengan letak daerahnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola suhu udara tahun 2009-2015 di
Provinsi DKI Jakarta memiliki pola yang cenderung sama, dimana suhu udara
cenderung bersifat rendah di awal tahun dan akhir tahun, serta bersifat tinggi
(panas) saat berada di pertengahan tahun. Sedangkan tahun 2016 memiliki pola
yang berbeda, dimana pola suhu cenderung tinggi di awal tahun, kemudian
mengalami peningkatan secara signifikan saat memasuki bulan maret, dan pola
suhu udaranya bersifat fluktuatif biasa sampai dengan akhir tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa pola suhu udara tahun 2016 memiliki pola yang lebih stabil
daripada tahun-tahun sebelumnya.
129
Hasil penelitian ini tidak menunjukkan terjadinya peningkatan suhu rata-rata
tiap tahunnya, dimana suhu rata-rata tahunan selama 8 tahun terakhir berada pada
rentang 28,24 0C (2013) dan 28,57 0C (2012). Dalam 157 tahun terakhir, suhu
permukaan bumi telah meningkat secara global, dengan variasi penting berskala
regional. Pemanasan (untuk rata-rata global), pada abad terakhir telah terjadi dalam
tahap, yaitu dari tahun 1910-an hingga 1940-an (0,35°C), dan pemanasan yang
lebih tinggi mulai dari tahun 1970-an hingga 2005 (0,55°C) (IPCC, 2007a). Laju
peningkatan pemanasan telah terjadi selama 25 tahun terakhir, dimana 11 dari 12
tahun terpanas tercatat pada 12 tahun terakhir (IPCC, 2007a). Namun hasil
penelitian di Provinsi DKI Jakarta tidak menujukkan hal tersebut, dimana hasil
penelitian menujukkan hal sebaliknya. Dari 8 tahun terakhir rata-rata suhu udara
terendah (di bawah 28,5 0C) menunjukkan bahwa kondisi tersebut terjadi pada 3
dari 4 tahun terakhir, yaitu tahun 2013, 2014, dan 2015. Dari hal ini dapat diketahui
bahwa selama 8 tahun terakhir tidak menunjukkan tanda-tanda terjadinya
peningkatan rata-rata suhu udara di Provinsi DKI Jakarta.
Di sisi lain peninjauan terjadinya perubahan iklim di suatu wilayah tidak
dapat dilihat dari kumpulan data yang sedikit. Menurut Organisasi Meteorologi
Dunia (WMO), periode klasik rata-rata untuk variabel-variabel iklim adalah 30
tahun (Aldrian, 2013). Namun penelitian ini hanya menggunakan data sepanjang 8
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi terjadinya perubahan iklim berdasarkan
peningkatan suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tidak dapat dilihat dari hasil
penelitian ini. Akantetapi, jika dilihat dari kondisi pola suhu udara di Provinsi DKI
Jakarta selama 8 tahun terakhir, mengindikasikan terjadinya perubahan pola
parameter suhu udara saat memasuki tahun 2016.
130
6.6 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-
2016
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara
atau atmosfer, dimana besarnya kelembaban udara tergantung dari masuknya uap
air ke dalam atmosfer karena adanya penguapan dari air yang ada di lautan, danau,
dan sungai, maupun dari air tanah (Yunus, 2009). Selain itu terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi besarnya kelembaban udara. Faktor-faktor tersebut
meliputi ketersediaan air, sumber uap air, suhu udara, tekanan udara, dan angin
(Yunus, 2009). Tingginya jumlah uap air atau kelembaban udara menyebabkan
semakin besarnya peluang kejadian hujan dengan intensitas tinggi (Maslakah,
2015). Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki keterkaitan dengan
suhu udara, curah hujan, dan hari hujan, dimana pola kelembaban udara sangat
dipengaruhi oleh beberapa parameter tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kelembaban udara tahun 2009, dan
2011 sampai 2015 memiliki pola yang cenderung sama, dimana kelembaban udara
cenderung tinggi di awal tahun dan di akhir tahun, serta cenderung bersifat rendah
saat berada di pertengahan tahun. Sedangkan tahun 2010 dan 2016 memiliki pola
kelembaban udara yang berbeda, dimana kelembaban masih cenderung tinggi di
awal tahun, kemudian mengalami fluktuasi biasa sampai akhir tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2016 memiliki pola kelembaban udara yang
cenderung bersifat stabil saat berada di pertengahan tahun.
Pada pembahasan sebelumnya telah menjelaskan bahwa pada tahun 2010 dan
2016 tengah terjadi kemarau basah. Hal ini terbukti dimana pada pertengahan tahun
131
2010 dan 2016 memiliki angka kelembaban udara yang cukup stabil. Angka
kelembaban udara paling rendah tahun 2010 sebesar 73,60 % dan pada tahun 2016
sebesar 76,10 %. Sedangkan pada tahun-tahun yang lain memiliki kelembaban
udara terendah di bawah 72 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dan
2016 tidak terjadi penurunan maupun peningkatan suhu udara secara tidak
signifikan.
Kelembaban udara yang cukup besar memberi petunjuk langsung bahwa
udara banyak mengandung uap air atau udara dalam keadaan basah (Yunus, 2009).
Hal ini berkaitan dengan angka curah hujan maupun hari hujan. Saat berada di
pertengahan tahun 2010 dan 2016, kondisi kelembaban udara memiliki kemiripan
dengan kondisi jumlah hari hujan pada tahun tersebut. Sedangkan kondisi curah
hujan tahun 2010 cenderung lebih rendah dari pada tahun 2016 saat berada
dipertengahan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kelembaban udara pada
tahun 2010 memiliki keterkaitan erat dengan kondisi hari hujan, namun tidak
memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi curah hujannya. Dan pada tahun
2016 menujukkan bahwa kondisi kelembaban udara memiliki keterkaitan yang erat
dengan curah hujan maupun hari hujannya.
Kondisi kelembaban udara dipertengahan tahun 2010 dan tahun 2016
memiliki pola yang berbeda dari tahun lainnya (terjadinya gangguan pola) akibat
dari fenomena kemarau basah pada tahun terserbut. Selain itu perubahan pola
kelembaban udara juga mengindikasikan terjadinya perubahan iklim (Aldrian,
2014). Hal ini menunjukkan bahwa gangguan pola kelembaban udara pada tahun
2010 dan 2016 berkaitan erat dengan terjadinya perubahan iklim yang tengah
dirasakan di Provinsi DKI Jakarta.
132
6.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2009-2016
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola curah hujan dan insidens
mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola
yang cenderung sama, namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Time-lag ini
adalah selang waktu atau penundaan waktu yang akan menunjukkan dampak dari
curah hujan terhadap insidens mosquito-borne disease. Hasil observasi
menunjukkan bahwa time-lag curah hujan terhadap insidens mosquito-borne
disease terjadi selama 1 sampai 3 bulan dengan masa time-lag paling banyak terjadi
selama 2 bulan. Perubahan pola curah hujan yang terjadi pada tahun 2016 tidak
menunjukkan timbulnya dampak perubahan pola insidens mosquito-borne disease,
dengan kata lain pola curah hujan dan pola insidens mosquito-borne disease tahun
2016 masih bersifat linier.
Penelitian yang dilakukan di Kota Bogor menunjukkan bahwa dampak curah
hujan terhadap insidens DBD dapat dirasakan 1 bulan setelahnya dalam artian time-
lag kedua variabel ini yaitu 1 bulan (Ariati and Anwar, 2014). Begitu pula
penelitian yang dilakukan di Malaysia menghasilkan time-lag selama 26-28 hari
dengan korelasi positif (Cheong et al., 2008). Sedangkan penelitian yang dilakukan
di Ethiopia menunjukkan hasil bahwa curah hujan memiliki korelasi positif dengan
malaria dengan time-lag selama 2-4 bulan. Penelitian lain yang dilakukan di
Bangladesh menunjukkan bahwa time-lag antara curah hujan dan malaria terjadi
selama 0-3 bulan (Haque et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa setiap daerah
memiliki time-lag yang berbeda, tergantung dengan kondisi lingungannya.
133
Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu dari
berbagai daerah maka akan timbul kesamaan pada aspek time-lag antara curah
hujan dan insidens mosquito-borne disease. Secara umum time-lag antara curah
hujan dan insidens mosquito-borne disease akan terjadi selama 0-4 bulan. Namun
ini merupakan rentang waktu tang cukup lama, dimana waktu maksimal yang
dibutuhkan untuk melihat dampak yaitu selama 4 bulan. Oleh karena itu diperlukan
perhitungan waktu yang dibutuhkan oleh curah hujan sampai timbulnya mosquito-
borne disease.
Secara umum saat setelah hujan terjadi, akan muncul banyak tempat
perkembang biakan untuk nyamuk. Setelah ada banyak tempat perkembang biakan,
maka nyamuk dapat secara langsung bertelur di tempat itu. Kemudian telur nyamuk
akan terus berkembang sampai dewasa. Proses pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti
dan Anopheles sp membutuhkan waktu selama 7 sampai 10 hari dari telur sampai
menjadi nyamuk (Kemenkes RI, 2011b). Bila manusia digigit oleh nyamuk yang
mengandung virus dengue maka dalam 4 sampai 7 hari kemudian akan
menimbulkan gejala DBD (Ariati and Anwar, 2014). Masa inkubasi pada penyakit
chikungunya berkisar antara 3-7 hari. Sedangkan Plasmodium sp membutuhkan
masa inkubasi rata-rata selama 12-28 hari sampai timbul malaria (Depkes, 2008).
Jika dampak curah hujan dihitung dari mulainya nyamuk bertelur sampai pejamu
(manusia) terinfeksi, maka hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 3
minggu untuk penyakit DBD dan chikungunya, dan 6 minggu untuk malaria. Jadi
secara umum waktu yang dibutuhkan adalah 6 minggu untuk timbul dampak
berupa mosquito-borne disease.
134
Dari hasil penelitian diketahui bahwa time-lag curah hujan terhadap insidens
mosquito-borne disease terjadi selama 1-3 bulan (dengan modus 2 bulan). Hal ini
menujukkan bahwa hasil penilitan ini memiliki kesesuaian dengan hasil
perhitungan lama dampak, yaitu dampak paling cepat dapat dirasakan 3 minggu
setelahnya dan paling lama dapat lebih dari 6 minggu. Namun terdapat beberapa
hal lain yang dapat mempengaruhi timbulnya mosquito-borne disease selama time-
lag dari curah hujan sedang berlangsung, sehingga memungkinkan untuk terjadi
penambahan masa time-lag. Selain itu hasil penelitian ini bersifat kurang sensitif,
dimana time-lag berupa periode bulanan. Perlu dilakukan penelitian menggunakan
data mingguan agar hasil time-lag yang ditemukan lebih sensitif.
Angka curah hujan yang bersifat mendukung aktivitas nyamuk Anopheles sp
yaitu antara 1 mm - 567 mm setiap bulannya (Mardiana, 2012; Mardiana and
Perwitasari, 2014). Selain itu curah hujan juga ankan membuat nyamuk Aedes sp
saat berada diatas 200 mm setiap bulannya (Perwitasari et al., 2004; Zubaidah,
Ratodi and Marlinae, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat angka curah
hujan yang pasti untuk mengetahui tingkat aktivitas nyamuk mulai dari telur, larva,
sampai dengan timbulnya mosquito-borne disease pada tubuh pejamu.
Pada variabel curah hujan terjadi penundaan waktu sampai terjadinya kasus
mosquito-borne disease. Rentang waktu ini dapat digunakan untuk meningkatkan
kewaspadaan terhadap mosquito-borne disease. Peningkatan kewaspadaan ini
dilakukan oleh tiga pihak, yaitu pihak pemerintah, fasilitas pelayanan kesehatan dan
pihak masyarakat. Saat angka curah hujan mencapai titik yang tinggi, pemerintah
(khususnya Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta) dapat memberikan peringatan
kepada masyarakat dan puskesmas setempat untuk meningkatkan upaya
135
pencegahan. Kemudian puskesmas dan masyarakat dapat bekerja sama untuk
melakukan tindakan pencegahan dengan cara melakukan pemberantasan sarang
nyamuk. Misal yaitu melakukan 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur),
abatisasi, dan memelihara ikan. Selain itu perlunya dilakukan kerjasama lintas
sektoral antara Dinas Kesehatan dengan BMKG untuk meningkatkan upaya
kewaspadaan dini.
6.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2009-2016
Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola hari hujan dan insidens
mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola
yang cenderung sama, namun terdapat time-lag pada variabel ini pula. Hasil dari
observasi pola hari hujan dan pola insidens mosquito-borne disease menunjukkan
hasil yang tidak berbeda dengan pola curah hujan. Time-lag pola hari hujan
terhadap insidens mosquito-borne disease yaitu selama 1 sampai 3 bulan dengan
time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan. Hasil yang tidak jauh berbeda ini
disebabkan oleh pola hari hujan yang cenderung sama dengan pola curah hujan.
Pada pembahasan sebelumnya didapatkan bahwa pada tahun 2010 dan 2016
memiliki pola yang berbeda akibat dari kemarau basah, namun hasil analisis
penelitian ini menujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pola hari hujan dan
insidens mosquito-borne disease pada tahun tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
pola hari hujan dan insidens mosquito-borne disease tahun 2010 dan 2016 masih
bersifat linier.
136
Sebuah penelitian yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa
time-lag antara hari hujan dan insidens DBD terjadi selama 2 bulan dengan korelasi
positif (Perwitasari, 2015). Begitu pula penelitian yang dilakukan di Kota Bogor
menunjukkan hasil yang sama, namun memiliki time-lag selama 1 bulan (Ariati and
Anwar, 2014). Selain itu penelitian yang dilakukan di Sri Langka menunjukkan
hasil time-lag DBD selama 7 minggu dengan korelasi positif (Ehelepola et al.,
2003). Sedangkan penelitian mengenai time-lag antara hari hujan dan malaria
belum ditemukan. Namun secara umum mosquito-borne disease memiliki time-lag
kurang lebih selama 6 minggu untuk melihat pengaruh hari hujan terhadap insidens
mosquito-borne disease.
Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu maupun
hasil perhitungan menunjukkan bahwa waktu time-lag antara hari hujan dan
insidens mosquito-borne disease memiliki kemiripan. Hal ini terbukti dimana time-
lag paling cepat adalah 3 minggu untuk melihat dampak dari hari hujan dan paling
lama lebih dari 6 minggu. Disisi lain diperlukan penelitian terkait pola hari hujan
dan mosquito-borne disease menggunakan data mingguan untuk menghasilkan
time-lag yang lebih sensitif. Selain itu pola hujan mingguan lebih memiliki
pengaruh terhadap perkembangan nyamuk, karena proses pertumbuhan nyamuk
berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Misal, yaitu nyamuk Aedes aegypti dan
Anopheles sp membutuhkan waktu selama 7 sampai 10 hari dari telur sampai
menjadi nyamuk (Kemenkes RI, 2011b).
Penelitian lain yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa
jumlah hari hujan lebih dari 20 hari akan meningkatkan jumlah kasus DBD
(Perwitasari et al., 2004). Namun hasil penelitian ini tidak menunjukkan batas
137
jumlah hari hujan, dimana insidens mosquito-borne disease akan meningkat saat
melebihi jumlah tersebut. Jumlah hari hujan tertinggi selama 8 tahun terakhir di
Provinsi DKI Jakarta hanya sebanyak 24 hari. Jika angka ini dibendingkan dengan
penelitian tersebut maka insidens mosquito-borne disease akan sulit untuk
mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa batasan angka tersebut tidak
sesuai jika dilakukan penyesuaian dengan penelitian ini.
Kesimpulannya adalah hari hujan dan insidens mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 memiliki kemiripan pola dengan time-lag
selama 1-3 bulan (dengan modus 2 bulan), dan tidak ditemukan jumlah hari hujan
yang berpengaruh terhadap insidens mosquito-borne disease.
6.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2009-2016
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola suhu udara dan insidens
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat
cenderung sama atau linier. Pada variabel ini menunjukkan tidak terjadinya time-
lag antara kedua variabel. Hasil observasi data yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa suhu udara dan insidens mosquito-borne disease memiliki pola yang sama,
namun pola yang berbeda dapat timbul saat suhu udara mencapai titik paling panas
(berkisar di atas 29 0C). Suhu yang panas pada tahun 2009-2015 menimbulkan
penurunan insidens mosquito-borne disease pada bulan dengan suhu tersebut.
Akantetapi pada tahun 2016 menunjukkan hal yang berbeda, dimana kondisi suhu
yang panas tidak menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease.
138
Berdasarkan hasil di atas dapat diketahui bahwa efek yang timbul akibat suhu
udara tidak memiliki time-lag. Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara memberikan
dampak secara langsung terhadap insidens mosquito-borne disease atau dapat
dikatakan bahwa damapak yang timbul akibat suhu udara terlihat lebih cepat
daripada parameter iklim lain.
Perubahan suhu udara juga dapat membatasi distribusi nyamuk Aedes aegypti
(Epstein, 2001). Selain itu larva nyamuk akan mengalami perkembangan yang lebig
cepat saat terjadi peningkatan suhu (Hoshen and Morse, 2004). Jumlah populasi
nyamuk akan mengalami penurunan saat memasuki musim kemarau akibat dari
penurunan jumlah dan kualitas air tempat tinggal larva (Gage et al., 2008). Nyamuk
Aedes sp cenderung akan lebih aktif saat suhu udara berada pada 250C - 280C
(Perwitasari et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah, Ratodi and Marlinae, 2016).
Sedangkan kondisi optimal suhu yang disukai Anopheles sp yaitu sebesar 240C -
290C (Mardiana, 2012; Mardiana and Perwitasari, 2014). Hal ini menunjukkan
pengaruh yang lebih luas dari suhu udara terhadap mosquito-borne disease, dimana
suhu udara dapat mempengaruhi perkembang biakan nyamuk sampai dengan
transmisinya dan nyamuk Aedes maupun Anopheles akan cenderung lebih aktif saat
suhu berada pada rentang 240C - 290C.
Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian terdahulu,
maka muncul kesamaan. Kesamaannya adalah pola suhu udara memiliki pola yang
sama dengan insidens mosquito-borne disease, namun saat suhu udara berada di
atas 290C maka akan mengalami penurunan jumlah kasus. Hal ini sesuai karena
suhu optimal untuk melakukan aktivitas pada vektor mosquito-borne disease antara
240C - 290C. Di sisi lain penelitian ini tidak menghasilkan lama time-lag sampai
139
terjadinya dampak. Ini menunjukkan bahwa suhu udara di Provinsi DKI Jakarta
cenderung menguntungkan nyamuk untuk melakukan serang dari pada faktor-
faktor lain seperti pekembangan larva maupun virulensi pathogen.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pola suhu udara dan insidens mosquito-borne
disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta cenderung sama dan tidak
terdapat time-lag sampai timbulnya dampak, dan diketahui bahwa suhu optimal
bagi nyamuk untuk melakukan transmisi sekitar 240C - 290C, dimana suhu optimal
ini hanya mempengaruhi tingkat aktivitas nyamuk saja karena dampak yang muncul
terjadi secara langsung.
6.10 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2009-2016
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kelembaban udara dan
insidens mosquito-borne disease pada tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta
bersifat linier, namu terjadi time-lag. Hasil observasi data pada penelitian ini
menunjukkan bahwa time-lag terjadi 1 sampai 2 bulan dengan jumlah time-lag
paling banyak terjadi selama 2 bulan. Perubahan pola kelembaban udara tahun 2010
dan 2016 akibat dari fenomena kemarau basah tidak menimbulkan gangguan pola
insidens mosquito-borne disease. Hal ini menunjukkan bahwa pola kelembaban
udara dan insidens mosquito-borne disease pada tahun 2010 dan 2016 masih
bersifat linier.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Kota Bogor menunjukkan bahwa time-
lag yang terjadi antara kelembaban udara dan insidens DBD yaitu selama 1 bulan
(Ariati and Anwar, 2014). Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian ini,
140
dimana time-lag yang terjadi terhitung lebih cepat daripada variabel curah hujan
dan hari hujan. Selain itu hasil ini lebih mendekati dengan perhitungan time-lag
yang mungkin terjadi pada mosquito-borne disease atau selama 6 minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki mekanisme pengaruh yang
berbeda dari variabel lain.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kelembaban udara yang optimal
bagi Anopheles sp untuk melakukan aktivitas yaitu sebesar 65% - 95% (Mardiana,
2012; Mardiana and Perwitasari, 2014). Sedangkan Nyamuk Aedes akan
mengalami kondisi yang optimal saat kelembaban berada diatas 70% (Perwitasari
et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah, Ratodi and Marlinae, 2016). Jadi kondisi
kelembaban udara optimal bagi vektor mosquito-borne disease yaitu berkisar antara
65% - 95%. Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa kondisi kelembaban
udara bersifat mendukung nyamuk untuk melakukan aktivitas penularan. Hal ini
menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki pengaruh yang sama dengan suhu
udara, yaitu terhadap kondisi optimal untuk melakukan transmisi. Namun
perbedaanya terletak pada time-lag, dimana kelembaban udara memiliki time-lag
selama 1-2 bulan sedangkan suhu udara tidak. Hal ini disebabkan oleh kondisi
kelembaban udara yang selalu mengikuti kondisi curah hujan ataupun hari hujan,
dimana kondisi ini mendukung lingkungan menjadi lembab karena pengaruh awan
maupun pengaruh hujan.
141
6.11 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara curah hujan
dan mosquito-borne disease (P value = 0,002) dengan kekuatan hubungan sedang
dan memiliki arah positif (r = 0,314). Penelitian yang dilakukan di Thailand bagian
selatan juga menujukkan bahwa pola curah hujan memiliki hubungan dengan pola
insidens DBD (Promprou, Jaroensutasinee and Jaroensutasinee, 2005) dengan
korelasi positif. Selain itu penelitian yang dilakukan di Kota Batam menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara curah hujan dan insidens DBD dengan korelasi
positif (Ariati and Musadad, 2012). Penelitian lain yang dilakukan di Tibet
menujukkan hasil bahwa curah hujan memiliki korelasi positif dengan malaria
(Huang et al., 2011). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum mosquito-borne
disease memiliki keterkaitan erat dengan curah hujan.
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
mosquito-borne disease memiliki korelasi positif dengan curah hujan. Hal ini dapat
diartikan bahwa curah hujan yang tinggi akan memberikan dampak insidens
mosquito-borne disease yang tinggi pula, begitu juga dengan sebaliknya.
Sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa curah hujan memiliki korelasi
negatif terhadap jumlah larva. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang tinggi
bersifat mengganggu lingkungan hidup larva.
Secara umum terdapat tiga komponen mendasar yang dapat mempengaruhi
perkembangan penyakit menular, yaitu agen (pathogen penyakit), pejamu (pada
vector penyakit), dan kondisi lingkungan untuk melakukan transmisi (Epstein,
142
2001). Kondisi iklim maupun cuaca sangat diperlukan untuk bertahan hidup,
reproduksi, distribusi, dan transmisi pathogen penyakit, vektor penyakit, dan
pejamu (manusia) (Wu et al., 2016). Perubahan pada iklim maupun cuaca dapat
memberikan dampak terhadap penyakit menular melalui pathogen, vektor, pejamu,
dan lingkungan hidup ketiganya (Epstein, 2001; Wu et al., 2013). Mosquito-borne
disease merupakan salah satu penyakit menular yang berpotensi terkena dampak
dari perubahan iklim. Salah satu komponen iklim yang dapat memberikan pengaruh
atau dampak terhadap mosquito-borne disease adalah curah hujan.
Pengaruh curah hujan terhadap insidens mosquito-borne disease timbul
secara tidak langsung. Curah hujan memberikan pengaruh atau dampak terhadap
ketahanan hidup, reproduksi, ataupu distribusi pathogen dan vektor, dimana hal ini
pula di pengaruhi kondisi lingkungan untuk melakukan transmisi (Wu et al., 2016).
Curah hujan dapat mempengaruhi perkembangan larva nyamuk Anopheles sp
(Hoshen and Morse, 2004). Sebuah penelitian yang dilakukan di Surabaya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah larva Aedes sp dengan
kondisi curah hujan dengan korelasi negatif (Yudhastuti, Satyabakti and Basuki,
2013). Musim kemarau dengan curah hujan yang rendah dapat membatasi jumlah
maupun kualitas tempat perkembangbiakan nyamuk, sehingga akan terjadi
penurunan jumlah populasi nyamuk dan transmisinya (Gage et al., 2008). Selain itu
kemarau di daerah yang basah dapat menurunkan kecepatan aliran air pada saluran
dan memberikan nyamuk lebih banyak tempat perkembangbiakan dengan kondisi
air yang lebih stabil (Kovats et al., 2000). Selain itu perubahan pola iklim (pada
parameter curah hujan) dapat membahayakan kondisi imunitas pejamu (manusia)
(Wu et al., 2016). Menurut John Gordon, saat lingkungan mengalami pergeseran
143
atau perubahan secara signifikan, akan meningkatan virulensi agen penyakit
(Maryani, 2010).
Secara teoritis (berdasarkan teori Host, Agent, dan Environment) mosquito-
borne disease dapat muncul saat tiga syarat ternuhi. Syarat yang pertama yaitu
jumlah populasi nyamuk (vektor) berada dalam jumlah yng cukup tinggi. Syarat
yang kedua yaitu agen penyakit (mikroorganisme) memiliki tingkat virulensi yang
kuat. Dan syarat yang ketiga yaitu kondisi pejamu memiliki imunitas yangrendah
dan rentan terhadap penyakit. Semua syarat ini dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, dimana pada penelitian ini mengangkat parameter iklim untuk diteliti.
Jika semua syarat ini terpenuhi maka secara mudah mosquito-borne disease
menginfeksi individu. Selama masa time-lag curah hujan berlangsung, maka ketiga
syarat ini dapat terpenuhi pada masa tersebut sampai timbulnya mosquito-borne
disease.
6.12 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hari
hujan dan mosquito-borne disease (P value = 0,001) dengan kekuatan hubungan
sedang dan memiliki arah positif (r = 0,338). Sebuah penelitian yang dilakukan di
Yogyakarta menunjukkan juga hasil bahwa hari hujan dan insidens DBD memiliki
arah korelasi positif (Perwitasari, 2015). Penelitian lain yang dilakukan di
Semarang juga menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
hari hujan dengan DBD (Wirayoga, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah hari
terjadinya hujan akan memberikan dampak pada reproduksi vektor, pertumbuhan
144
vektor, perkembangan pathogen dan lain sebagainya. Selain itu hari hujan
memberikan dampak dan mekanisme yang sama dengan curah hujan, karena hari
hujan adalah sebuah konversi dari curah hujan.
Dari pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa hari hujan memiliki
kemiripan pola dengan curah hujan. Selain itu hari hujan memiliki pengaruh yang
sama dengan curah hujan terhadap insidens mosquito-borne disease. Hal ini
menunjukkan bahwa pembahasan dan mekanisme pengaruh hari hujan terhadap
insidens mosquito-borne disease tidak akan berbeda dari parameter curah hujan.
Penelitian yang dilakukan di Surabaya menunjukkan hasil bahwa terdapat
hubungan antara jumlah larva Aedes aegypti dan jumlah hari hujan dengan korelasi
negatif (Yudhastuti, Satyabakti and Basuki, 2013). Hal ini menunjukkan jumlah
hari hujan yang banyak dapat mengganggu proses pertumbuhan larva, dimana
semakin sering hujan terjadi semakin banyak air hujan yang mengaliri tempat
pertumbuhan larva, sehingga membuat larva hanyut maupun mati akibat
tercampurnya air hujan dengan zat kimia sekitar. Di sisi lain hujan juga dapat
membuat imunitas manusia melemah, sehingga mudah terinfeksi mosquito-borne
disease.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa korelasi anatara
hari hujan dan insidens mosquito-borne disease bersifat positif. Hal ini dapat
diartikan semakin banyak jumlah hari hujan bulanan, semakin tinggi pula potensi
munculnya kasus mosquito-borne disease dalam jumlah yang cukup besar. Dengan
katalain hari hujan dan insidens mosquito-borne disease memiliki pola yang sama.
145
6.13 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara suhu
udara dan mosquito-borne disease (P value = 0,061) dengan kekuatan hubungan
sangat lemah dan memiliki arah negative (r = -0,192). Seperti pada pembahasan
sebelumnya, nyamuk dan patogen hanya memiliki kondisi optimal pada suhu (240C
- 29 0C). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa parasite malaria (Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax) akan berhenti berkerkembang saat suhu
melampaui 330-39 0C (Patz, 1996 dalam Wu et al., 2016).
Selain itu suhu yang mengalami peningkatan dapat mempengaruhi masa
inkubasi ekstrinsik Plasmodium falciparum, dimana masa inkubasinya akan
berkurang dari 26 hari saat suhu sebesar 20 0C menjadi 13 hari saat suhu sebesar 25
0C (Bunyavanich, 2003 dalam Wu et al., 2016). Di sisi lain suhu udara yang rendah
juga dapat menurunkan transmisi virus Dengue (Ramachandran et al., 2015; Wu et
al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara atau lingkungan dapat
mempengaruhi transmisi mikroorganisme dalam tubuh nyamuk. Oleh karena itu
kondisi suhu udara tidak selalu memiliki korelasi dengan agen penyakit.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kamboja menunjukkan
bahwa suhu udara memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyakit DBD di
beberapa daerah (Choi et al., 2016). Penelitian yang dilakukan di Delhi Timur juga
menunjukkan hasil yang sama, dimana suhu udara memberikan dampak terhadap
angka kejadian DBD (Ramachandran et al., 2015). Penelitian di Hanoi juga
menunjukkan hasil yang sama (Thi, An and Rocklo, 2014). Penelitian lain yang
146
dilakukan di Guangdong, China menunjukkan bahwa kondisi suhu udara tidak
memberikan pengaruh secara linier terhadap malaria (Guo et al., 2015). Penelitian
yang dilakukan di Uganda juga menujukkan bahwa kondisi suhu udara memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap malaria pada beberapa daerah saja (Kigozi et
al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu udara memberikan pengaruh
terhadap mosquito-borne disease pada sebagian besar penelitian-penilitian
sebelumnya, dan terdapat beberapa daerah yang memberikan hasil sebaliknya.
Jika dilihat berdasarkan hasil penelitian ini menujukkan hasil yang berbeda,
dimana suhu udara tidak memiliki hubungan dengan mosquito-borne disease di
Provinsi DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh kondisi suhu udara merupakan
kondisi yang memiliki batas optimal (240C - 29 0C). Dapat diartikan bahwa kondisi
suhu udara yang mengalami peningkatan (lebih dari 240C) akan memberikan
peningkatan jumlah kasus mosquito-borne disease pula, namun jika kondisi suhu
udara lebih dari 290C akan menimbulkan penurunan jumlah kasus mosquito-borne
disease. Jadi dapat disimpulkan bahwa suhu udara tidak selalu memberikan dampak
secara linier terhadap jumlah kasus mosquito-borne disease di Provinsi DKI
Jakarta.
147
6.14 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
kelembaban dan mosquito-borne disease (P value = 0,000) dengan kekuatan
hubungan sedang dan memiliki arah positif (r = 0,460). Hasil penelitian yang
dilakukan di Kota Banjarbaru juga menunjukkan hal yang sama, dimana terdapat
hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan keberadaan nyamuk
Aedes ae. (Ridha et al., 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara
memiliki keterkaitan dengan variabel curah hujan maupu hari hujan.
Secara teoritis kelembaban udara merupakan maifestasi dari adanya curah
hujan dan hari hujan. Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung
dalam udara atau atmosfer, dimana besarnya kelembaban udara tergantung dari
masuknya uap air ke dalam atmosfer karena adanya penguapan dari air yang ada di
lautan, danau, dan sungai, maupun dari air tanah (Yunus, 2009). Selain itu terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya kelembaban udara. Faktor-faktor
tersebut meliputi ketersediaan air, sumber uap air, suhu udara, tekanan udara, dan
angin (Yunus, 2009). Inilah yang membuat kelembaban udara memiliki keselarasan
hasil korelasi dengan variabel curah hujan dan hari hujan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Delhi Timur dapat diketahui
bahwa kelembaban udara memberikan pengaruh secara signifikan terhadap DBD
(Ramachandran et al., 2015). Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarbaru juga
menunjukkan hasil yang sama (Penulis et al., 2012). Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki hubungan yang signifikan dengan
148
DBD dengan kekuatan hubungan sedang dan arah hubungan positif (Mangguang,
2008; Feyzar Rasmanto and Sakka, 2016). Penelitian yang dilakukan di Provinsi
Anhui, China menunjukkan bahwa teradapat korelasi sedang dengan arah hubungan
positif antara kelembaban udara dan malaria (Gao et al., 2012). Jika dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menujukkan hasil yang sama dimana
kelembaban udara memiliki hugungan yang signifikan dengan mosquito-borne
disease di Provinsi DKI Jakarta dengan kekuatan hubungan sedang dana rah
hubungan positif.
149
7 BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
1. Pola insidens mosquito-borne disease tahun 2009, 2011 sampai 2015
memiliki pola jumlah kasus yang tinggi di awal tahun dan akhir tahun, serta
jumlah kasus bersifat rendah dipertengahan tahun. Sedangkan tahun 2010
dan 2016 menjadi tahun yang berbeda karena terjadi penurunan jumlah
kasus di akhir tahun (bulan Desember), meskipun kedua tahun ini memiliki
pola yang sama dengan tahun lain (di awal dan pertengahan tahun).
2. Secara umum curah hujan tahun 2009-2015 di Provinsi DKI Jakarta
memiliki angka curah hujan yang tinggi di awal dan di akhir tahun,serta
bersifat rendah dipertengahan tahun. Sedangkan tahun 2016 memiliki pola
yang berbeda, dimana pola curah hujan bersifat stabil saat memasuki bulan
Maret. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan pola parameter curah
hujan di Provinsi DKI Jakarta dan memiliki keterkaitan erat dengan dampak
perubahan iklim global.
3. Hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009, 2011 sampai 2015 memiliki
jumlah hari hujan yang tinggi di awal dan di akhir tahun, serta jumlah yang
rendah dipertengahan tahun. Sedangkan tahun 2010 dan 2016, dimana
kedua tahun ini memiliki pola hari hujan yang bersifat stabil sepanjang
tahun. Pola ini menunjukkan terjadinya perubahan pola parameter hari
hujan di Provinsi DKI Jakarta yang merupakan dampak dari kemarau basah
150
di pertengahan tahun dan memiliki keterkaitan erat dengan dampak
perubahan iklim global yang sedang terjadi di Indonesia.
4. Suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2015 memiliki pola yang
sama, dimana suhu udara bersifat rendah di awal dan di akhir tahun, serta
bersifat tinggi di pertengahan tahun. Tahun 2016 memiliki pola yang
berbeda, dimana pola suhu udara bersifat stabil sampai dengan akhir tahun.
Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan pola parameter suhu udara di
Provinsi DKI Jakarta.
5. Kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola sama pada tahun
2009, 2011 sampai 2015, dimana kondisi kelembaban udara bersifat tinggi
di awal dan di akhir tahun,serta bersifat rendah dipertengahan tahun.. Tahun
2010 dan 2016 memiliki pola kelembaban udara berbeda dan menunjukkan
terjadinya perubahan pola parameter kelembaban udara. Hal ini berkaitan
dengan terjadinya perubahan iklim yang sedang berlangsung di Provinsi
DKI Jakarta.
6. Pola curah hujan tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola
yang sama dengan insidens mosquito-borne disease dengan time-lag selama
1-3 bulan (masa time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Kemiripan
pola ini menandakan bahwa pola curah hujan dan insidens mosquito-borne
disease bersifat linier. Perubahan pola curah hujan yang terjadi pada tahun
2016 tidak menunjukkan dampak kepada pola insidens mosquito-borne
disease.
7. Hari hujan dan insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta
tahun 2009-2016 memiliki kemiripan pola dengan time-lag selama 1-3
151
bulan (masa time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Perbedaan pola
hari hujan yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 di Provinsi DKI Jakarta
masih bersifat linier dengan insidens mosquito-borne disease dan tidak
menunjukkan dampak kepada pola insidens mosquito-borne disease.
8. Suhu udara dan insidens mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di
Provinsi DKI Jakarta memiliki pola yang bersifat linier dan tidak terjadi
time-lag. Namun pola yang berbeda dapat timbul saat suhu udara terlampau
sangat panas (suhu berada di atas 290C). Hal ini akan menimbulkan
penurunan insidens mosquito-borne disease pada tahun 2009-2015.
Akantetapi pada tahun 2016 timbul sesuatu yang berbeda, yaitu saat suhu
berada pada kondisi yang cukup panas, namun tidak menimbulkan
penurunan insidens mosquito-borne disease.
9. Pola kelembaban udara dan insidens mosquito-borne disease tahun 2009-
2016 di Provinsi DKI Jakarta bersifat linier dengan time-lag selama 1-2
bulan (masa time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Perbedaan pola
yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 masih bersifat linier dan tidak
menunjukkan dampak kepada pola insidens mosquito-borne disease.
10. Terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan mosquito-
borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value = 0,002),
serta memiliki kekuatan hubungan sedang dan memiliki arah positif (r =
0,314).
11. Terdapat hubungan yang signifikan antara hari hujan dengan mosquito-
borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value = 0,001),
152
serta memiliki kekuatan hubungan sedang dengan arah hubungan positif (r
= 0,338)..
12. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suhu udara dengan
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value
= 0,061), serta memiliki kekuatan hubungan sangat lemah dengan arah
hubungan negativ (r = -0,192)..
13. Terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan
mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value
= 0,000), serta memiliki kekuatan hubungan sedang dengan arah hubungan
positif (r = 0,460).
7.2 Saran
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Dinas
Kesehatan Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan kerjasama lintas sektoral
bersama BMKG untuk melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)
tehadap mosquito-borne disease untuk mencegah terjadinya peningkatan
jumlah kasus penyakit ini.
2. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan seluruh Puskesmas dapat
memberikan peringatan dini untuk meningkatan kewaspadaan masyarakat,
sehingga dapat dilakukan pencegahan selama masa penundaan waktu (time-
lag / yang terjadi selama 2 bulan) sedang berlangsung.
3. Sebaiknya hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan
kewaspadaan masyarakat, misal jika terjadi hari hujan yang banyak maka
masyarakat harus melakukan tindakan pencegahan mosquito-borne disease
153
dengan cara melakukan pemberantasan sarang nyamuk ataupun
menggalakkan gerakan 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur).
4. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang lebih mendalam mengenai
parameter iklim dan insidens mosquito-borne disease dengan analisis
menggunakan data hari hujan mingguan, agar dapat diketahui pola hari
hujan mingguan yang berpotensi untuk meningkatkan insidens mosquito-
borne disease.
154
DAFTAR PUSTAKA
Akerlof, K. et al. (2010) ‘Public Perceptions of Climate Change as A Human Health
Risk: Surveys of The United States, Canada and Malta’, International Journal
of Environmental Research and Public Health, 7(6), pp. 2559–2606. doi:
10.3390/ijerph7062559.
Aldrian, E. (2000) ‘Pola Hujan Rata-rata Bulanan Wilayah Idonesia ; Tinjauan
Hasil Kontur Data Penakar Dengan Resolusi ECHAM T -42’, Jurnal Sains
dan Teknologi Modifikasi Cuaca, 1 No. 2(1921), pp. 113–123.
Aldrian, E. (2013) Kamus Istilah Perubahan Iklim. Jakarta: Puslitbang BMKG.
Aldrian, E. (2014) Pemahaman Dinamika Iklim di Negara Kepulauan Indonesia
sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa. Jakarta: BMKG.
Alexander, L. K. et al. (no date) ‘Ecologic Studies’, in. UNC CH Department of
Epidemiology.
Ariati, J. and Anwar, D. A. (2014) ‘Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat’, Bul.
Penelit. Kesehat, 42(4), pp. 249–256.
Ariati, J. and Musadad, D. D. A. (2012) ‘Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) Dan Faktor Iklim di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau’.
Bai, L., Morton, L. C. and Liu, Q. (2013) ‘Climate Change and Mosquitoborne
Diseases in China: A Review’, Globalization and Health, 9, p. 1. doi:
10.1186/17448603910.
BMKG (2008) Curah Hujan dan Potensi Bencana Gerkan Tanah. Jakarta.
BMKG (2015a) Prakiraan Musim Hujan 2015-2016 di Indonesia. Jakarta: BMKG.
BMKG (2015b) Prakiraan Musim Kemarau 2015 di Indonesia. Jakarta: BMKG.
BMKG (2015c) Pusat Database BMKG. Available at:
http://dataonline.bmkg.go.id/webfaq (Accessed: 29 November 2016).
BMKG (2016) Analisis Dinamika Atmosfer - Laut, Analisis & Prediksi Curah
155
Hujan. Jakarta.
BMKG (2017a) Alamat Stasiun dan UPT BMKG | BMKG. Available at:
http://www.bmkg.go.id/profil/stasiun-upt.bmkg (Accessed: 20 May 2017).
BMKG (2017b) Sejarah | BMKG. Available at: ?p=sejarah&lang=ID (Accessed:
20 May 2017).
BMKG (2017c) Tugas dan Fungsi | BMKG. Available at: ?p=tugas-
fungsi&lang=ID (Accessed: 20 May 2017).
BMKG (2017d) Visi dan Misi | BMKG. Available at: ?p=visi-misi&lang=ID
(Accessed: 20 May 2017).
Candra, A. (2010) ‘Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi , Patogenesis , dan
Faktor Risiko Penularan’, 2(2), pp. 110–119.
CDC (2009) ‘Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever: Information for Health Care
Practitioners’, Dengue Hemorrhagic Fever, pp. 1–4. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
CDC (2014) ‘Information for Healthcare Providers’, pp. 1–5. Available at:
http://www.cdc.gov/ncbddd/heartdefects/hcp.html.
CDC (2016) CDC - Malaria - About Malaria - Biology - Mosquitoes - Anopheles
Mosquitoes. Available at:
https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/mosquitoes/ (Accessed: 4
January 2017).
Cheong, Y. L. et al. (2008) ‘Assessing Weather Effects on Dengue Disease in
Malaysia’, Int. J. Environ. Res. Public Health International Journal of
Environmental Research and Public Health Int. J. Environ. Res. Public
Health, 10(10), pp. 6319–6334. doi: 10.3390/ijerph10126319.
Choi, Y. et al. (2016) ‘Effects of weather factors on dengue fever incidence and
implications for interventions in Cambodia’, BMC Public Health. BMC
Public Health, pp. 1–7. doi: 10.1186/s12889-016-2923-2.
Darmawan, D. (2013) Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja
156
Rosdakarya.
Depkes (2008) ‘Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia’, pp. 1–37.
Dinkes DKI Jakarta (2016) Survailans Epidemiologi Dinas Kesehatan DKI
Jakarta. Available at: http://www.surveilans-dinkesdki.net/ (Accessed: 25
November 2016).
Dittmar, J. et al. (2014) ‘Heat and Immunity: An Experimental Heat Wave Alters
Immune Functions in Three-Spined Sticklebacks (Gasterosteus aculeatus)’,
Journal of Animal Ecology, 83(4), pp. 744–757. doi: 10.1111/1365-
2656.12175.
Ehelepola, N. D. et al. (2003) ‘A Study of The Correlation Between Dengue and
Weather in Kandy City, Sri Lanka (2003 -2012) and Lessons Learned’. doi:
10.1186/s40249-015-0075-8.
Epstein, P. R. (2001) ‘Climate change and emerging infectious diseases’, Microbes
and Infection, 3(9), pp. 747–754. doi: 10.1016/S1286-4579(01)01429-0.
Feyzar Rasmanto, M. and Sakka, A. (2016) ‘MODEL PREDIKSI KEJADIAN
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) BERDASARKAN UNSUR
IKLIM DI KOTA KENDARI TAHUN 2000-2015’.
Gage, K. L. et al. (2008) ‘Climate and Vectorborne Diseases’, American Journal of
Preventive Medicine, 35(5), pp. 436–450. doi:
10.1016/j.amepre.2008.08.030.
Gao, H. et al. (2012) ‘Change in Rainfall Drives Malaria Re-Emergence in Anhui’,
7(8). doi: 10.1371/journal.pone.0043686.
Gunawan, D. (2013) Gas Rumah Kaca dan Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta:
Puslitbang BMKG.
Guo, C. et al. (2015) ‘Malaria incidence from 2005 – 2013 and its associations with
meteorological factors in’, pp. 1–12. doi: 10.1186/s12936-015-0630-6.
Hakim, L. and Ipa, M. (2007) ‘Sistem Kewaspadaan DIM KLB Malaria
Berdasarkan Curah Hujan, Kepadatan Vektor dan Kesakitan Malaria di
157
Kabupaten Sukabumi’.
Haque, U. et al. (2010) ‘The Role of Climate Variability in the Spread of Malaria
in Bangladeshi Highlands’, 5(12), pp. 1–9. doi:
10.1371/journal.pone.0014341.
Hastono, S. P. (2006) Analisis Data. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Hoshen, M. B. and Morse, A. P. (2004) ‘A weather-driven model of malaria
transmission’, Malaria Journal, 3(1), p. 32. doi: 10.1186/1475-2875-3-32.
Huang, F. et al. (2011) ‘Temporal correlation analysis between malaria and
meteorological factors in Motuo County, Tibet.’, Malaria journal, 10(1), p.
54. doi: 10.1186/1475-2875-10-54.
IPCC (2007a) Climate Change 2007: impacts, adaptation and vulnerability:
contribution of Working Group II to the fourth assessment report of the
Intergovernmental Panel, Genebra, Suíça. doi:
10.1256/004316502320517344.
IPCC (2007b) Climate Change 2007 Synthesis Report. Geneva: The
Intergovernmental Panel on Climate Change.
IPCC (2007c) ‘Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007: The Physical
Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change’, New York
Cambridge University Press, p. 996. doi: 10.1038/446727a.
IPCC (2014) ‘Climate Change 2014 Synthesis Report Summary Chapter for
Policymakers’, IPCC, p. 31. doi: 10.1017/CBO9781107415324.
Kazwaini, M., Willa, R. and Wadu (2014) ‘Korelasi Kepadatan Anopheles spp.
dengan Curah Hujan serta Status Vektor Malaria pada Berbagai Tipe
Geografi di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur’.
Kemenkes RI (2003a) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1116 Tahun 2003. Jakarta: Kemenkes RI.
158
Kemenkes RI (2003b) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1479 Tahun 2003. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI (2011a) ‘Informasi Umum Demam Berdarah Dengue’, pp. 1–5.
Available at:
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_D
BD_2011.pdf.
Kemenkes RI (2011b) Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue,
Kementerian Kesehatan. Jakarta. Available at: www.kemenkes.com.
Kemenkes RI (2012) Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Jakarta.
Kemenkes RI (2013a) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Laksana Malaria, Rancangan Peraturan
Menteri Kesehatan RI. Jakarta. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
Kemenkes RI (2013b) ‘Riset Kesehatan Dasar’.
Kemenkes RI (2014) ‘Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2014’.
Kemenkes RI (2016) Wilayah KLB DBD Ada di 11 Provinsi. Available at:
http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-dbd-ada-di-
11-provinsi.html (Accessed: 25 November 2016).
Kigozi, R. et al. (2016) ‘Assessing temporal associations between environmental
factors and malaria morbidity at varying transmission settings in Uganda’,
Malaria Journal. BioMed Central, pp. 4–9. doi: 10.1186/s12936-016-1549-
2.
KLHK (2007) Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
KLHK (2016) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi
Adaptasi Perubahan Iklim.
Kovats, R. et al. (2000) ‘Climate Change and Human Health : Impacts and
159
Adaptation’, Who, p. 48. doi: WHO/SDE/OEH/00.4.
Mangguang, M. D. (2008) ‘Analisis Epidemologi Penyakit Demam Berdarah
Dengue melalui Pendekatan Spasial Temporal dan Hubungannya degan
Faktor Iklim di Kota Padang Tahun’.
Mardiana (2012) ‘Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Insiden Malaria di
Kabupaten Bintan Kepulauan Riau dan Kabupaten Banggai Sulawesi
Tengah’.
Mardiana and Perwitasari, D. (2014) ‘Insiden Malaria dan Pola Iklim di Kabupaten
Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sumba Barat Propinsi
Nusa Tenggara Timur, Indonesia Tahun 2005-2009’.
Maryani, L. (2010) Epidemiologi Kesehatan. 1st edn. Jogjakarta: Graha Ilmu.
Maslakah, F. A. (2015) ‘Tren Temperatur Dan Hujan Ekstrim Di Juanda Surabaya’,
pp. 135–143.
Maulidani, S., Ihsan, N. and Sulistiawaty (2015) ‘Jurnal Sains Dan Pendidikan
Fisika (Jspf) Analisis Pola Dan Intensitas Curah Hujan Berdasakan Data
Observasi Dan Satelit Tropical Rainfall Measuring Missions (Trmm) 3B42
V7 Di Makassar’, 2015(April), pp. 98–103.
Morgenstern, H. (1995) ‘Ecologic Studies In Epidemiology : Concepts, Principles,
and Methods’.
Murti, B. (1997) Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Negev, M. et al. (2015) ‘Impacts of Climate Change on Vector Borne Diseases in
the Mediterranean Basin — Implications for Preparedness and Adaptation
Policy’, Int. J. Environ. Res. Public Health International Journal of
Environmental Research and Public Health, 12, pp. 6745–6770. doi:
10.3390/ijerph120606745.
Nuryanto, D. E. (2013) ‘Karakteristik Curah Hujan Abad 20 di Jakarta Berdasarkan
Kejadian Iklim Global’, pp. 139–147.
160
Paz, S. (2015) ‘Climate change impacts on West Nile virus transmission in a global
context’, Philosophical Transactions of the Roal Society Biological Sciences,
370.
Pemerintah DKI Jakarta (2012) ‘Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 6 Tahun 2012’.
Pemerintah DKI Jakarta (2013) ‘Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 2 Tahun 2013’, 2004, pp. 1–15.
Pemerintah DKI Jakarta (2016) Jakarta dalam Angka 2016. Jakarta: Pemerintah
DKI Jakarta.
Pemerintah RI (2008) United Nations Framework Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Jakarta. doi: 10.1111/j.1467-9388.1992.tb00046.x.
Penulis, P. et al. (2012) ‘Climate change impact on dengue haemorrhagic fever in
Banjarbaru South Kalimantan between’, 4(2).
Perwitasari, D. et al. (2004) ‘Kondisi Iklim dan Pola Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kota Yogyakarta’.
Perwitasari, D. (2015) ‘Model Prediksi Demam Berdarah Dengue Dengan Kondisi
Iklim Di Kota Yogyakarta’.
Prastowo, D. and Anggraini, yusnita mirna (2011) ‘Dinamika Populasi Nyamuk
Yang Diduga Sebagai Vektor Di Kecamatan Rowokele Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah’, Jurnal Vektora, IV(2), pp. 83–97.
Promprou, S., Jaroensutasinee, M. and Jaroensutasinee, K. (2005) ‘Climatic factors
affecting dengue haemorrhagic fever incidence in Southern Thailand’,
Dengue Bulletin, 29, pp. 41–48.
Purnama, S. G. and Baskoro, T. (2012) ‘Maya Index dan Kepadatan Larva Aedes
aegypti Terhadap Infeksi Dengue’, Makara Kesehatan, 16(2), pp. 57–64. doi:
10.7454/msk.v16i2.1630.
Ramachandran, V. G. et al. (2015) ‘Empirical model for estimating dengue
161
incidence using temperature , rainfall , and relative humidity : a 19-year
retrospective analysis in East Delhi’, pp. 1–8.
Ridha, M. R. et al. (2013) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan dan Kontainer dengan
Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Kota Banjarbaru’, Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 4(3), pp. 133–137.
Rothman, K. J. (1995) Epidemiologi Modern. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Rowley, A. F. et al. (2016) ‘The Potential Impact of Climate Change on the
Infectious Diseases of Commercially Important Shellfish Populations in the
Irish Sea - A Review’, ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil,
73, pp. 51–69. doi: 10.1093/icesjms/fst048.
Sudewi, R. S. S., Sasmito, A. and Kurniawan, R. (2015) ‘Identifikasi Ambang Batas
Curah Hujan Saat Kejadian Banjir Di Jabodetabek : Studi Kasus Banjir
Jakarta Tanggal 09 Februari 2015 Identification of Rainfall Threshold During
Flood Events in’, pp. 209–215.
Sulasmi, S. (2013) ‘Kejadian Demam Berdarah Dengue Kabupaten Banjar
Berdasarkan Data Curah Hujan Normal Bulanan’, Jurnal Buski, Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 4(4), pp. 171–174.
Susanto, D. H. (2004) ‘Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia’, 14(38). Available at:
http://www.depkes.go.id/article/view/731/kejadian-luar-biasa-demam-
berdarah-dengue-di-indonesia.html.
Sutamihardja (2011) Climate Change. Bogor: Yayasan Pasir Luhur.
Thi, D., An, M. and Rocklo, J. (2014) ‘Epidemiology of dengue fever in Hanoi from
2002 to 2010 and its meteorological determinants’, 1.
Wei, J. et al. (2014) ‘The Impact of Climate Change on Infectious Disease
Transmission: Perceptions of CDC Health Professionals in Shanxi Province,
China’, China. PLoS ONE, 9(10). doi: 10.1371/journal.pone.0109476.
WHO (2003) ‘Climate change and Infectious Diseases. Climate change and Human
162
Health: Risks and Responses’, World Health Organization, pp. 103–37. doi:
10.2307/2137486.
WHO (2006) ‘Dengue Haemorrhagic Fever : Early Recognition, Diagnosis and
Hospital Management’, World Health Organisation, p. 111. Available at:
http://www.who.int/csr/don/archive/disease/dengue_fever/dengue.pdf.
WHO (2008) ‘Guidelines on Clinical Management of Chikungunya Fever’, World
Health Organization, p. Rezgional office of South East Asia, New Deli, Ind.
doi: 10.1007/978-1-4939-1758-7_20.
WHO (2015) Neglected Tropical Diseases, Doenças Negligenciadas. World Health
Organization. Available at: http://www.who.int/neglected_diseases/en/
(Accessed: 25 November 2016).
Wirayoga, M. A. (2013) ‘HUBUNGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH
DENGUE DENGAN IKLIM DI KOTA SEMARANG TAHUN 2006-2011’,
UJPH Unnes Journal of Public Health, 2(4).
WMO (2016a) Maritim - Prakiraan Wilayah Pelayanan | BMKG. Available at:
http://maritim.bmkg.go.id/stasiun_maritim/wilayah_perairan/?stasiun=9-
ZeDpeWDZG7Aj-FiEkEuewWxxX7EjfsvoFhgHBUSpU (Accessed: 8
December 2016).
WMO (2016b) Mosquito-Borne Diseases. Available at:
http://www.cdc.gov/niosh/topics/outdoor/mosquito-borne/.
WMO (2016c) Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta. Available at: http://soekarno-
hatta.banten.bmkg.go.id/?tampil=halaman&id=46 (Accessed: 17 February
2017).
WMO (2016d) Tugas dan Fungsi | BMKG. Available at:
http://www.bmkg.go.id/profil/?p=tugas-fungsi (Accessed: 17 February
2017).
Wu, X. et al. (2013) ‘Impact of global change on transmission of human infectious
diseases’, Science China Earth Sciences, 57(2), pp. 189–203. doi:
10.1007/s11430-013-4635-0.
163
Wu, X. et al. (2016) ‘Impact of climate change on human infectious diseases:
Empirical evidence and human adaptation’, Environment International. The
Authors, pp. 14–23. doi: 10.1016/j.envint.2015.09.007.
Yudhastuti, R., Satyabakti, P. and Basuki, H. (2013) ‘Climate Conditions, Larvae
Free Number, DHF Incidence in Surabaya Indonesia’, 10(11), pp. 1043–
1049.
Yunus (2009) ‘Pemanfaatan suhu udara dan kelembapan udara dalam persamaan
regresi untuk simulasi prediksi total hujan bulanan di bandar lampung’,
Pemanfaatan Suhu, 11(Suhu dan Manfaatnya), pp. 271–281. doi:
10.18860/ca.v3i1.2565.
Yusa, A. et al. (2015) ‘Climate Change, Drought and Human Health in Canada’,
International Journal of Environmental Research and Public Health, 12(7),
pp. 8359–8412. doi: 10.3390/ijerph120708359.
Zubaidah, T., Ratodi, M. and Marlinae, L. (2016) ‘Pemanfaatan Informasi Iklim
Sebagai Sinyal Peringatan Dini Kasus DBD di Banjararu, Kalimantan
Selatan’, Vektora, 8(2), pp. 99–106.
164
LAMPIRAN
165
Lampiran Tahap Pengumpulan Data
1. Buka browser pada computer, kemudian kunjungi website
http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim.
2. Lakukan registrasi dengan membuat akun pribadi.
3. Setelah memiliki akun, pengguna dapat melakukan akses pengambilan data.
4. Pilih kolom “Data Iklim”, kemudian pilih kolom “Data Harian”.
166
5. Pilih Provinsi yang diinginkan, dan masukkan nama stasiun jika ingini
mendapatkan data lebih spesifik.
6. Pilih tanggal rentang waktu yang diinginkan, kemudian klik “proses”.
167
7. Tunggu sampai data terkumpul.
8. Setelah itu, klik “download” untuk mengunduh data, kemudian tekan “save”.
168
9. Setelah diunduh, periksa data apakah data sesuai dengan yang diinginkan.
169
170
171
172
Lampiran Output Analisis
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
mosquito-borne disease .119 96 .002 .871 96 .000
curah hujan .182 96 .000 .787 96 .000
hari hujan .082 96 .118 .964 96 .010
suhu udara .119 96 .002 .958 96 .004
kelembaban udara .103 96 .014 .974 96 .057
a. Lilliefors Significance Correction
Correlations
mosquito-borne
disease curah hujan hari hujan suhu udara
kelembaban
udara
Spearman's rho mosquito-borne disease Correlation
Coefficient 1.000 .314** .338** -.192 .460**
Sig. (2-
tailed) . .002 .001 .061 .000
N 96 96 96 96 96
173
curah hujan Correlation
Coefficient .314** 1.000 .868** -.686** .849**
Sig. (2-
tailed) .002 . .000 .000 .000
N 96 96 96 96 96
hari hujan Correlation
Coefficient .338** .868** 1.000 -.770** .897**
Sig. (2-
tailed) .001 .000 . .000 .000
N 96 96 96 96 96
suhu udara Correlation
Coefficient -.192 -.686** -.770** 1.000 -.742**
Sig. (2-
tailed) .061 .000 .000 . .000
N 96 96 96 96 96
kelembaban udara Correlation
Coefficient .460** .849** .897** -.742** 1.000
Sig. (2-
tailed) .000 .000 .000 .000 .
N 96 96 96 96 96
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
174
Recommended