193
ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN MOSQUITO-BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009-2016 SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Disusun oleh: Afza Azzindani 1113101000098 PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M

ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

MOSQUITO-BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA

TAHUN 2009-2016

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun oleh:

Afza Azzindani

1113101000098

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2018 M

Page 2: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, 28 Desember 2017

Afza Azzindani, NIM: 1113101000098

ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN MOSQUITO-

BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009-2016

(xxi + 153 halaman, 14 tabel, 9 grafik, 5 lampiran)

ABSTRAK

Latar Belakang: Jumlah kasus mosquito-borne disease mengalami flutuasi selama

di Provinsi DKI Jakarta selama tiga tahun terakhir, yaitu terdapat 18.497 kasus pada

tahun 2014, 11.996 kasus pada tahun 2015, dan 39.723 kasus pada tahun 2016.

Perubahan parameter iklim merupakan faktor lingkungan yang mengakibatkan

fluktuasi insidens mosquito-borne disease. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara perubahan parameter iklim dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan

menggunakan desain time-trend ecologic study dan analisis korelasi spearman.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat agregat meliputi data

insidens mosquito-borne disease (meliputi insidens DBD, insidens chikungunya,

dan insidens malaria), data curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban

udara di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009-2016.

Hasil Penelitian: Diketahui bahwa terjadi perubahan pola iklim pada parameter

curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009-2016. Pola curah hujan, hari hujan, dan kelembaban udara memiliki

pola yang sama dengan insidens mosquito-borne disease dengan time-lag terjadi

selama 1-3 bulan (dengan time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Terdapat

tiga parameter iklim yang memiliki hubungan dengan mosquito-borne disease,

yaitu curah hujan (P value = 0,002 / r = 0,314), hari hujan (P value = 0,001 / r =

0,338), dan kelembaban udara (P value = 0,000 / r = 0,460). Berbeda dengan suhu

udara, varibel ini tidak memiliki hubungan yang signifikan (P value = 0,061 / r = -

0,192), hal ini disebabkan oleh suhu udara yang berada di atas 290C akan

menimbulkan penurunan jumlah insidens.

Simpulan: Parameter iklim yang memiliki hubungan dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016, yaitu curah hujan, hari hujan, dan

kelembaban udara.

Kata Kunci: Iklim, Curah Hujan, Hari Hujan, Suhu Udara, Kelembaban Udara,

Mosquito-borne Disease

Daftar Bacaan: 103 (1954-2017)

Page 3: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

iii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH

ENVIRONMENTAL HEALTH CONCENTRATION

Ungraduate Thesis, December 2017

Afza Azzindani, NIM: 1113101000098

ANALYSIS OF CLIMATE PARAMETERS CHANGES AND MOSQUITO-

BORNE DISEASE IN DKI JAKARTA PROVINCE REGENCY YEAR 2009-

2016

(xxi + 153 pages, 14 tables, 9 charts, 5 attachements)

ABSTRACT

Background: The number of cases of mosquito-borne disease has floried during

the last three years in DKI Jakarta, ie 18,497 cases in 2014, 11,996 cases in 2015,

and 39,723 cases in 2016. Changes in climate parameters are environmental factors

that result in fluctuations in the incidence of mosquito-borne disease. This research

was conducted to find out the correlation between climate parameter change with

mosquito-borne disease in DKI Jakarta Province 2009-2016.

Method: This research is descriptive research using time-trend design of ecologic

study and spearman correlation analysis. This study uses aggregate secondary data

covering incident data of mosquito-borne disease (including incidence of dengue

fever, chikungunya incidence, and malaria incidence), rainfall, rainy days,

temperature and humidity data in DKI Jakarta Province 2009-2016 .

Result: It is known that there is a change of climate pattern on the parameters of

rainfall, rainy days, air temperature, and air humidity in DKI Jakarta Province in

2009-2016. Rainfall patterns, rainy days, and air humidity have the same pattern

with the incidence of mosquito-borne disease with time-lag occurring for 1-3

months (with time-lag at most 2 months). There are three climatic parameters that

have relationship with mosquito-borne disease, that is rainfall (P value = 0,002 / r

= 0,314), rainy day (P value = 0,001 / r = 0,338), and air humidity (P value = 0,000

/ r = 0.460). In contrast to air temperature, this variable has no significant

relationship (P value = 0.061 / r = -0.192), this is caused by the temperature of air

above 290C will cause a decrease in the number of incidents.

Conclusion: Climate parameter that has relationship with mosquito-borne disease

in DKI Jakarta Province year 2009-2016, that is rainfall, rainy days, and air

humidity.

Keyword: Climate, Rainfall, Rainy Days, Air Temperature, Humidity, Mosquito-

borne Disease

Reading Lists: 103 (1954-2017)

Page 4: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi

ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN MOSQUITO-

BORNE DISEASE DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2009-2016

Disusun oleh

AFZA AZZINDANI

1113101000098

Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan Tim Penguji Sidang Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Januari 2018

Mengetahui,

Pembimbing

Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D

NIP.19750316 200710 2 001

Page 5: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

vii

PANITIA SIDANG HASIL SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, Januari 2018

Penguji I,

Yuli Amran, MKM

NIP.19800506 200801 2 015

Penguji II,

Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK

Penguji III,

Dr. dr. Satria Pratama, Sp.P

Page 6: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

viii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2017

Afza Azzindani

Page 7: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

ix

RIWAYAT HIDUP

Data Diri

Nama : Afza Azzindani

NIM : 1113101000098

Tempat, tanggal Lahir : Lamongan, 20 September 1995

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Telepon : 085 755 448 505

Email : [email protected]

Alamat : Jl. Tarumanegara No 48C, Pisangan, Ciputat,

Tangerang Selatan

Riwayat Pendidikan

2001 – 2007 MI Muhammadiyah 13 Paciran

2007 - 2010 SMP Muhammadiyah 12 Paciran

2010 - 2013 MA Al-ISHLAH Paciran

2013 - 2017 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Peminatan Kesehatan Lingkungan

Page 8: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

x

KATA PENGANTAR

نٱللٱبسم لرحيمٱلرحم

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan magang ini

dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa senantiasa dilimpahkan keharibaan

Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat-Nya dari zaman yang gelap

gulita menuju ke zaman yang terang benderang. Atas segala rahmat dan karunia-

Nya sampai saat ini sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “

Analisis Perubahan Parameter Iklim dan Mosquito-Borne Disease di Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2009-2016”. Oleh karena itu, ucapan terimakasih dituturkan

secara ikhlas dan penuh kerendahan hati atas terselasaikannya Skripsi ini. Kepada:

1. Orang tua, kakak, dan adik yang selalu mendoakan dan mendukung dalam

penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing fakultas yang selalu

siap memberikan bimbingan, pengarahan, serta semangat selama proses

pelaksanaan skripsi.

3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, dan Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr.Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku ketua Peminatan Kesehatan

Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Yuli Amran, MKM, Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK, dan Dr.

Page 9: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xi

dr. Satria Pratama, Sp.P selaku penguji sidang skripsi.

6. Semua civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut

memberikan berbagai fasilitas yang mendukung seluruh kegiatan skripsi ini serta

berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak

memberikan kontribusi dalam proses kegiatan skripsi ini.

7. Teman-teman Kesehatan Lingkungan 2013 yang selalu memberikan semangat.

Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang harus penulis pelajari dan

perbaiki. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini.

Jakarta, Januari 2018

Penulis

Page 10: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xii

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. viii

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ ix

KATA PENGANTAR ............................................................................................ x

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xvii

DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xviii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8

1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 9

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 10

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................. 10

1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................ 10

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 11

1.5.1 Manfaat Teoritis .............................................................................. 11

1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................................... 12

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 14

2.1 Mosquito-borne Disease ......................................................................... 14

2.1.1 Definisi Mosquito-borne Disease .................................................... 14

2.1.2 Demam Berdarah Dengue ............................................................... 14

2.1.3 Chikungunya ................................................................................... 19

2.1.4 Malaria ............................................................................................ 20

2.1.5 Upaya Pemberantasan ..................................................................... 25

2.2 Perubahan Iklim ..................................................................................... 27

2.2.1 Definisi Iklim .................................................................................. 27

Page 11: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xiii

2.2.2 Parameter Iklim ............................................................................... 27

2.2.3 Definisi Perubahan Iklim ................................................................ 32

2.2.4 Penyebab Perubahan Iklim .............................................................. 33

2.2.5 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan ............................... 35

2.2.6 Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim .......................................... 36

2.3 Studi Ekologi .......................................................................................... 40

2.4 Data Surveilans ....................................................................................... 43

2.5 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) .................... 47

2.5.1 Sejarah ............................................................................................. 47

2.5.2 Visi dan Misi ................................................................................... 49

2.5.3 Tugas dan Fungsi ............................................................................ 50

2.6 Kerangka Teori ....................................................................................... 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 54

3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 54

3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 56

3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 58

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 59

4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 59

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 60

4.3 Populasi .................................................................................................. 60

4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 61

4.5 Pengumpulan Data ................................................................................. 61

4.6 Pengolahan Data ..................................................................................... 62

4.7 Analisis Data .......................................................................................... 63

4.7.1 Analisis Univariat............................................................................ 63

4.7.2 Analisis Bivariat .............................................................................. 64

4.8 Penyajian Data ........................................................................................ 66

BAB V HASIL ...................................................................................................... 67

5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian ............................................................ 67

5.1.1 Karakteristik Geografi ..................................................................... 67

5.1.2 Karakteristik Demografi.................................................................. 69

5.1.3 Karakteristik Fasilitas Kesehatan .................................................... 71

5.2 Analisis Univariat ................................................................................... 72

Page 12: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xiv

5.1.1 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016 ..................................................................................................... 72

5.1.2 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

79

5.1.3 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 . 84

5.1.4 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 89

5.1.5 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-

2016 94

5.3 Analisis Time-trend Ecologic Study berdasarkan Pola Grafik ............... 99

5.3.1 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI

Jakarta 100

5.3.2 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI

Jakarta 104

5.3.3 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI

Jakarta 107

5.3.4 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi

DKI Jakarta ................................................................................................. 110

5.4 Analisis Bivariat ................................................................................... 114

5.4.1 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 114

5.4.2 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 114

5.4.3 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 115

5.4.4 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne

Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ..................................... 116

BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................... 117

6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 117

6.2 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-

2016 118

6.3 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ... 119

6.4 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ...... 124

6.5 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ..... 128

6.6 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

130

6.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2016 ................................................................................ 132

Page 13: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xv

6.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2009-2016 ............................................................................................ 135

6.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2009-2016 ............................................................................................ 137

6.10 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2009-2016 ........................................................................ 139

6.11 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ........................................................... 141

6.12 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ........................................................... 143

6.13 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ........................................................... 145

6.14 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ....................................................... 147

BAB VII PENUTUP ........................................................................................... 149

7.1 Simpulan ............................................................................................... 149

7.2 Saran ..................................................................................................... 152

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 154

Page 14: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria Plasmodium ...................................... 25

Tabel 2.2 Perbedaan pada Jenis Studi Ekologi ..................................................... 42

Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 56

Tabel 4.1 Interpretasi Parameter Hasil Analisis Data Berdasarkan Nilai ............. 65

Tabel 5.1 Gambaran Insidens Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2009-2016 .................................................................................................. 75

Tabel 5.2 Gambaran Angka Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

............................................................................................................................... 82

Tabel 5.3 Gambaran Jumlah Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

............................................................................................................................... 87

Tabel 5.4 Gambaran Kondisi Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

............................................................................................................................... 92

Tabel 5.5 Gambaran Kondisi Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016 ............................................................................................................. 97

Tabel 5.6 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................... 114

Tabel 5.7 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................................. 115

Tabel 5.8 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................... 115

Tabel 5.9 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................... 116

Tabel 6.1 Rata-rata Curah Hujan Bulanan Seluruh Indonesia ............................ 120

Page 15: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Gambaran Pola Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016 ............................................................................................................. 74

Grafik 5.2 Gambaran Pola Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

............................................................................................................................... 80

Grafik 5.3 Gambaran Pola Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

............................................................................................................................... 85

Grafik 5.4 Gambaran Pola Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

............................................................................................................................... 90

Grafik 5.5 Gambaran Pola Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-

2016 ....................................................................................................................... 95

Grafik 5.6 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI

Jakarta tahun 2009-2016 .................................................................................... 101

Grafik 5.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI

Jakarta tahun 2009-2016 ..................................................................................... 105

Grafik 5.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI

Jakarta tahun 2009-2016 ..................................................................................... 108

Grafik 5.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009-2016 ............................................................................. 111

Page 16: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xviii

DAFTAR ISTILAH

Agent : Patogen penyakit

Antropofilik : Nyamuk yang lebih memilih untuk mengambil

makanan dari darah manusia

Antropogenik : Sumber pencemaran yang tidak alami timbul

karena ada pengaruh atau campur tangan

manusia atau aktifitas manusia

Arthopod-borne virus : Segala penyakit yang diakibatkan oleh

mikroorganisme dan disebarkan oleh

Arthopoda

CDM : Clean Development Mechanism, adalah

mekanisme pembangunan ramah lingkungan

sebagai upaya mitigasi perubahan iklim

CFC : Klorofluorokarbon, yaitu senyawa-senyawa

yang mengandung atom karbon dengan klorin

dan fluorin terikat padanya

CP-EE : Cleaner Production and Energy Efficiency,

adalah program produksi bersih dan efisiensi

energi

Deforestasi : Proses penghilangan hutan alam dengan cara

penebangan untuk diambil kayunya

Dipole Mode : Dipole Mode merupakan fenomena interaksi

laut–atmosfer di Samudera Hindia yang

dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih)

Page 17: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xix

antara anomali suhu muka laut perairan pantai

timur Afrika dengan perairan di sebelah barat

Sumatera

Echymosis : Lebam

El-Nino : Fenomena global dari sistem interaksi lautan

atmosfer yang ditandai dengan memanasnya

suhu permukaan laut di Ekuator Pasifik Tengah

Endophagic : Perilaku memakan nyamuk di dalam rumah

atau ruangan

Endophilic : Perilaku istirahat nyamuk di dalam ruangan

Environment : Lingkungan tempat berinteraksi antara pejamu

dan agen penyakit

Exophagic : Perilaku memakan nyamuk di luar rumah atau

ruangan

Exophilic : Perilaku istirahat nyamuk di luar ruangan

Extrinsic incubation period : Masa inkubasi patogen dalam tubuh nyamuk

Freezing point : Titik beku

Green House Gases : Gas Rumah Kaca

HFC : Gas Hydrofluorokarbon adalah kelompok gas

rumah kaca yang digunakan sebagai refrigeran

(pendingin)

Host : Pejamu agen penyakit

Hygrometer : Instrumen untuk mengukur tingkat kelembaban

pada suatu tempat

Page 18: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xx

Insidens : Jumlah kasus penyakit selama suatu periode

tertentu pada populasi tertentu

Intrinsic incubation period : Masa inkubasi patogen dalam tubuh manusia

Japanese Encephalitis Virus : Virus penyebab infeksi otak (Japanese

Encephalitis)

La-Nina : Anomali suhu permukaan laut negatif (lebih

dingin dari rata-ratanya) di Ekuator Pasifik

Tengah

Liquid-in-glass thermometer : Thermometer kaca

LULUCF : Land Use, Land-Use Change And Forestry,

adalah penggunaan lahan, perubahan

penggunaan lahan dan kehutanan sebagai salah

satu penyebab perubahan iklim

Mosquito Biting Rate : Kepadatan menggigit pada nyamuk

Mosquito-borne disease : Segala penyakit yang diakibatkan oleh

mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk

Online : Terhubung dengan internet

Petechiae : Bintik perdarahan

PFC : Perfluorokarbon, yaitu jenis bahan kimia yang

banyak digunakan pada produk anti-lengket

dan pengemas makanan yang bersifat menolak

air dan lemak

Presipitasi : Curah hujan atau turunnya air dari atmosfer ke

permukaan bumi dan laut

Page 19: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

xxi

Purpura : Ruam

Raingauge : Instrumen yang digunakan untuk menghitung

jumlah curah hujan

Siklus ekso-eritrositer : Siklus perkembangan patogen di dalam hati

Skizon : Stadium reproduksi protozoa dalam tubuh

manusia

Software : Perangkat lunak

Sporozoit : Bentuk Plasmodium yang masuk ke dalam

tubuh manusia melalui gigitan nyamuk

Anopheles

Tropozoit : Daur hidup protozoa dalam tubuh manusia

Vector-borne disease : Penyakit yang ditularkan melalui vektor

Virulensi : Kapasitas relatif patogen untuk mengatasi

pertahanan tubuh

West Nile Virus : Virus penyakit yang disebarkan melalui

nyamuk yang dapat menyebabkan radang otak

dan dapat menjadi serius bahkan fatal, penyakit

Yellow Fever (Demam Kuning) : Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh

flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk yang

terinfeksi virus

Page 20: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

1

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mosquito-borne disease saat ini menjadi salah satu golongan penyakit yang

masih belum mengalami penurunan secara signifikan. Golongan penyakit ini

merupakan bagian dari vector-borne disease atau penyakit yang ditularkan melalui

vektor. Mosquito-borne disease sendiri adalah segala penyakit yang diakibatkan

oleh mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk (WMO, 2016b). Nyamuk

menjadi binatang paling mematikan di dunia karena nyamuk menimbulkan

berbagai penyakit yang mematikan (WHO, 2015). Terdapat enam penyakit yang

termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya, Zika Virus,

Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow Fever

(WHO, 2015). Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat empat penyakit yang

tergolong dalam mosquito-borne disease, yaitu DBD, Chikungnuya, Malaria, dan

Filariasis (Prastowo and Anggraini, 2011).

Golongan penyakit ini telah menimbulkan angka kesakitan dan angka

kematian yang cukup tinggi di dunia. Di tahun 2015 terdapat 438.000 kematian

akibat dari malaria (WHO, 2015). Sedangkan insidens DBD meningkat 30 kali lipat

selama 30 tahun terakhir dan beberapa negara melaporkan Kejadian Luar Biasa

(KLB) akibat penyakit ini (WHO, 2015). Berdasarkan data dari WHO tahun 2017,

terdapat 36 negara yang teridentifikasi endemis chikungunya termasuk Indonesia.

Selain itu tiga penyakit mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya, Zika Virus,

Page 21: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

2

dan DBD ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti (WHO, 2015). Oleh karena itu,

pengendalian nyamuk secara berkelanjutan sangat diperlukan untuk menurunkan

insiden mosquito-borne disease.

Di Indonesia, mosquito-borne disease masih menjadi permasalahan yang

sangat serius dan belum terselesaikan sampai saat ini. Misalnya malaria, penyakit

ini mengalami peningkatan insiden sebesar 0,3% pada tahun 2007 menjadi 1,4%

pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013b). Selain itu pada bulan Januari sampai

Februari 2016, muncul KLB penyakit DBD di 12 Kabupaten dan 3 Kota dari 11

Provinsi di Indonesia (Kemenkes RI, 2016).

Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan

insidens mosquito-borne disease yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil Surveilans

Terpadu Penyakit (STP), jumlah kasus malaria di DKI Jakarta bersifat fluktuatif

setiap tahunnya, dimana terjadi 35 kasus pada tahun 2014, kemudian turun menjadi

22 kasus pada tahun 2015, dan mengalami peningkatan menjadi 52 kasus pada

tahun 2016 (Dinkes DKI Jakarta, 2016). Sedangkan, jumlah kasus Chikungunya

berdasarkan hasil STP bersifat fluktuatif setiap tahunnya, dimana terjadi 27 kasus

pada tahun 2014, kemudian turun menjadi 9 kasus pada tahun 2015, dan mengalami

peningkatan menjadi 22 kasus pada tahun 2016 (Dinkes DKI Jakarta, 2016). Jumlah

kasus DBD berdasarkan hasil STP bersifat fluktuatif setiap tahunnya, dimulai dari

18.435 kasus pada tahun 2014, kemudian menurun menjadi 11.965 kasus pada

tahun 2015, dan mengalami peningkatan menjadi 39.649 kasus pada tahun 2016

(Dinkes DKI Jakarta, 2016).

Page 22: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

3

Berdasarkan hasil pengamatan data jumlah kasus mosquito-borne disease

yang diperoleh dari penjumlahan data STP DBD, Malaria, dan Chikungunya tahun

2014-2016 Unit Surveilans Epidemiologi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

menunjukkan peningkatan yang signifikan di beberapa kota administrasi. Kota

administrasi Jakarta Pusat mengalami fluktuasi jumlah kasus mosquito-borne

disease selama 3 tahun terakhir, yaitu 1.768 kasus pada tahun 2014, 1.007 kasus

pada tahun 2015, dan 3.469 kasus pada tahun 2016. Sedangkan kota administrasi

Jakarta Utara mengalami fluktuasi setiap tahunnya, mulai dari 3.642 kasus pada

tahun 2014, 3.310 kasus pada tahun 2015, dan 6.566 kasus pada tahun 2016. Kota

administrasi Jakarta Barat mengalami fluktuasi jumlah kasus mosquito-borne

disease, yaitu 3.552 kasus pada tahun 2014, 2.098 kasus pada tahun 2015, dan 8.500

kasus pada tahun 2016. Kota administrasi Jakarta Selatan mengalami fluktuasi

jumlah kasus mosquito-borne disease, yaitu 4.580 kasus pada tahun 2014, 2.378

kasus pada tahun 2015, dan 8.878 kasus pada tahun 2016. Kota administrasi Jakarta

Timur mengalami fluktuasi jumlah kasus mosquito-borne disease, yaitu 4.937

kasus pada tahun 2014, 3.184 kasus pada tahun 2015, dan 12.289 kasus pada tahun

2016. Dan Kabupaten Kepuluan Seribu selalu mengalami peningkatan jumlah

kasus mosquito-borne disease, yaitu 18 kasus pada tahun 2014, 19 kasus pada tahun

2015, dan 21 kasus pada tahun 2016. Dari data di atas dapat diketahui bahwa

insidens mosquito-borne disease bersifat fluktuatif di beberapa kota administrasi

Provinsi DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa mosquito-borne disease belum

dapat dikendalikan sampai saat ini.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian mosquito-

borne disease. Faktor-faktor tersebut adalah faktor manusia dan sosial budaya,

Page 23: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

4

perilaku manusia, faktor lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan (Kemenkes

RI, 2011a). Faktor lingkungan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh

terhadap mosquito-borne disease, dimana lingkungan menjadi tempat pertemuan

antara pejamu dan agen penyakit. Menurut John Gordon, saat lingkungan

mengalami pergeseran atau perubahan yang signifikan, akan mengakibatkan

kerentanan pada pejamu dan peningkatan jumlah populasi serta peningkatan

virulensi agen penyakit (Maryani, 2010).

Pergeseran lingkungan yang saat ini terjadi yaitu perubahan iklim. Iklim

sendiri merupakan bagian dari lingkungan yang timbul dari interkasi parameter

abiotik ekosistem. Kondisi iklim memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi aktifitas

makhluk hidup. Iklim adalah iklim suatu wilayah atau negara, termasuk deskripsi

statistik dari sistem iklim pada wilayah tersebut yang terdiri dari beberapa

parameter iklim (Aldrian, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa saat perubahan iklim

sedang berlangsung, maka akan memicu ketidakseimbangan pada lingkungan.

Penelitian yang telah dilakukan beberapa dekade terakhir menunjukkan

bahwa perubahan iklim sedang berlangsung (IPCC 2014). Secara singkat

perubahan iklim dapat diartikan sebagai perubahan kondisi parameter iklim dalam

rentang waktu tertentu. Menurut beberapa sumber, perubahan iklim adalah

berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman iklim dalam periode

tertentu sebagai akibat dari aktivitas manusia (IPCC, 2007b; Pemerintah RI, 2008;

Aldrian, 2013; KLHK, 2016).

Umumnya perubahan iklim timbul akibat dari perubahan komposisi atau

struktur atmosfer bumi, dimana perubahan ini ditimbulkan dari meningkatnya Gas

Page 24: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

5

Rumah Kaca (GRK) atau dalam istilah international disebut dengan Green House

Gases (GHG). Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berada di atmosfer dan

menyebabkan efek rumah kaca (Gunawan, 2013). GRK dapat muncul secara alami

di lingkungan dan juga dapat timbul akibat dari kegiatan antropogenik.

Di Indonesia emisi GRK diperkirakan akan tumbuh 2% per tahun dan

mencapai 2.80 miliar ton CO2 pada 2020 dan 3.60 miliar ton CO2 pada 2030

(Gunawan, 2013). Sumber utama dari kenaikan emisi GRK tersebut berasal dari

pembangkit listrik, transportasi, dan deforestasi lahan gambut (Gunawan, 2013).

Deforestasi lahan gambut maupun lahan non-gambut menyumbang 80% dari emisi

GRK di Indonesia (Gunawan, 2013). Peningkatan jumlah industri dan transportasi

menyebabkan meningkatnya konsumsi energi yang bersumber dari bahan bakar

fosil, sehingga peningkatan emisi hasil pembakaran meningkatkan GRK di

Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara

penyumbang GRK global.

Bukti terjadinya perubahan iklim global pada beberapa dekade terakhir telah

dikemukakan oleh International Panel on Climate Change (IPCC). IPCC telah

menyatakan bahwa bumi sedang mengalami perubahan iklim global (IPCC, 2007a).

Berdasarkan dokumen peninjauan IPCC keempat tahun 2007, menunjukkan bahwa

bumi mengalami peningkatan suhu permukaan antara 1,1-6,4oC pada abad ke-21

ini, atau mengalami peningkatan suhu 2-9 kali lebih panas dari abad sebelumnya

(IPCC, 2007a). Dengan kata lain, perubahan iklim dapat minumbulkan dampak

pada frekuensi dan luas dari cuaca ekstrim, gelombang panas, kebakaran hutan,

banjir, dan siklon (Bai, Morton and Liu, 2013). Di sisi lain perubahan iklim telah

Page 25: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

6

diidentifikasi menjadi salah satu faktor risiko yang bersifat mengancam derajat

kesehatan masyarakat (Akerlof et al., 2010; Wei et al., 2014; Yusa et al., 2015).

Peningkatan suhu permukaan bumi menimbulkan ketidakseimbangan pada

sistem iklim. Hal ini memicu terjadinya kerusakan pola iklim dan cuaca, serta

kondisi iklim yang sulit untuk diprediksi dengan tepat (IPCC, 2007c). Pola iklim

yang mengalami gangguan akan meningkatkan tingkat stress pada manusia dan

berpotensi untuk menimbulkan kerentanan pada sistem kekebalan tubuh (WHO,

2003; Dittmar et al., 2014; Rowley et al., 2016). Imunitas tubuh yang telah

mengalami penurunan berpotensi menimbulkan kerentanan individu terhadap

berbagai penyakit infeksius seperti mosquito-borne disease (WHO, 2003).

Sebelum terjadi gangguan pola iklim mosquito-borne disease cenderung

meningkat saat memasuki musim hujan. Sebuah penelitian yang dilakukan di

Jakarta menunjukkan bahwa DBD memiliki risiko serangan yang besar ketika

memasuki musim hujan, dimana penyakit ini memiliki keterkaitan yang erat dengan

curah hujan (Susanto, 2004). Penelitian lain yang dilakukan di Kabupaten

Sukabumi menyatakan bahwa kepadatan menggigit atau Mosquito Biting Rate

(MBR) nyamuk Anopheles sp meningkat saat musim hujan akibat dari curah hujan

yang cukup tinggi (Hakim and Ipa, 2007).

Pola iklim yang mengalami gangguan akan membuat suhu, kelembaban,

curah hujan dan hari hujan menjadi tidak teratur. Sebuah penelitian yang dilakukan

di Yogyakarta menunjukkan bahwa 50,6% sumur positif larva Aedes aegypti pada

musim penghujan dan 33,33% pada musim kemarau (Purnama and Baskoro, 2012).

Hal ini menimbulkan peningkatan jumlah populasi nyamuk, dimana nyamuk dapat

Page 26: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

7

berkembangbiak setiap saat baik pada saat musim hujan maupun musim kemarau.

Selain itu nyamuk juga dapat menyerang kapan saja saat kondisi suhu dan

kelembaban optimal untuk melakukan aktivitas (Perwitasari et al., 2004; Mardiana

and Perwitasari, 2014).

Dari hasil studi litelatur, tidak ditemukan data mengenai perubahan suhu di

Provinsi DKI Jakarta. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu

yang mengalami peningkatan akan mengakibatkan perubahan pola hidup nyamuk

(Negev et al., 2015; Paz, 2015; Wu et al., 2016). Perubahan iklim dapat

memberikan dampak langsung pada kelangsungan hidup, reproduksi, kepadatan

menggigit dan siklus hidup agen (Negev et al., 2015; Wu et al., 2016). Selain itu

perubahan iklim juga dapat memberikan dampak yang tidak langsung pula melalui

perubahan habitat, perubahan kondisi lingkungan, atau pesaing agen (Wu et al.,

2016). Kedua dampak ini memicu berkembangan nyamuk lebih cepat, dimana

semakin cepat nyamuk berkembang semakin tinggi pula perilaku makan nyamuk

dan menurunnya masa inkubasi ekstrinsik dalam tubuh nyamuk (Negev et al.,

2015). Hal ini akan mengakibatkan transmisi ke dalam tubuh manusia menjadi lebih

cepat dan berlangsung berulang kali, sehingga manusia tersebut akan mudah

terserang mosquito-borne disease saat berada dalam kondisi rentan. Inilah yang

berpotensi meningkatkan insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta.

Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian terkait perubahan parameter

iklim dan mosquito-borne disease, dimana dengan terjadinya perubahan iklim

akankah sejalan dengan insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta.

Page 27: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

8

1.2 Rumusan Masalah

Mosquito-borne disease menjadi salah satu masalah kesehatan yang belum

terselesaikan sampai saat ini, dimana penyakit ini belum mengalami penurunan

insidens secara signifikan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu

lingkungan. Lingkungan menjadi faktor yang penting karena menjadi tempat

pertemuan antara host (manusia) dan agent penyakit (nyamuk dan

mikroorganisme), dimana saat lingkungan mengalami pergeseran maka akan

timbul suatu dampak dimana host akan menjadi rentan terhadap penyakit dan agent

mosquito-borne disease akan mengalami peningkatan jumlah populasi.

Pergeseran lingkungan yang saat ini terjadi adalah perubahan iklim global.

Berdasarkan Laporan Perubahan Iklim Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh IPCC,

menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi

sebesar 0,3oC sampai 4,8oC pada akhir abad 21 (2081-2100) terhitung dari akhir

abad 20 (1986-2005) (IPCC, 2014). Hal ini memicu terjadinya kerusakan pola iklim

dan cuaca, serta kondisi iklim yang sulit untuk diprediksi dengan tepat (IPCC,

2007c). Selain itu pola iklim yang rusak akan membuat pola hujan menjadi tidak

teratur dan bersifat mendukung terhadap peningkatan populasi nyamuk. Sebelum

iklim mengalami kerusakan yang cukup parah, kepadatan menggigit atau Mosquito

Biting Rate (MBR) nyamuk Anopheles sp meningkat saat musim hujan akibat dari

curah hujan yang cukup tinggi (Hakim and Ipa, 2007). Namun saat ini mosquito-

borne disease berpotensi muncul di semua musim, dimana hasil sebuah penelitian

menunjukkan bahwa 50,6% sumur positif larva Aedes aegypti pada musim

penghujan dan 33,33% pada musim kemarau di Yogyakarta (Purnama and Baskoro,

Page 28: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

9

2012). Hal ini sangat berpotensi untuk meningkatkan jumlah kasus mosquito-borne

disease. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian terkait perubahan iklim

dan mosquito-borne disease, dimana apakah pola iklim memiliki pola yang sama

dengan angka kejadian mosquito-borne disease.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009-2016 ?

2. Bagaimana gambaran variasi curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016 ?

3. Bagaimana gambaran variasi hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016 ?

4. Bagaimana gambaran variasi suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016 ?

5. Bagaimana gambaran variasi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009-2016 ?

6. Bagaimana gambaran pola curah hujan dan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

7. Bagaimana gambaran pola hari hujan dan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

8. Bagaimana gambaran pola suhu udara dan mosquito-borne disease dan di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

9. Bagaimana gambaran pola kelembaban udara dan mosquito-borne disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

Page 29: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

10

10. Apakah terdapat hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

11. Apakah terdapat hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

12. Apakah terdapat hubungan antara suhu udara dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

13. Apakah terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-

borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 ?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya perubahan parameter iklim yang berhubungan dengan

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009-2016.

2. Diketahuinya gambaran variasi curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016.

3. Diketahuinya gambaran variasi hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016.

4. Diketahuinya gambaran variasi suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016.

5. Diketahuinya gambaran variasi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009-2016.

Page 30: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

11

6. Diketahuinya gambaran pola antara curah hujan dan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

7. Diketahuinya gambaran pola antara hari hujan dan mosquito-borne disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

8. Diketahuinya gambaran pola antara suhu udara dan mosquito-borne disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

9. Diketahuinya gambaran pola antara kelembaban udara dan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

10. Diketahuinya hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

11. Diketahuinya hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

12. Diketahuinya hubungan antara suhu dengan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

13. Diketahuinya hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Menambah wawasan pembaca terkait perubahan iklim dan mosquito-borne

disease, serta gambaran alur dampak perubahan iklim terhadap mosquito-

borne disease.

2. Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan atau sumber

referensi dalam melakukan penelitian terkait perubahan iklim maupun

Page 31: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

12

mosquito-borne disease.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Instansi Pemerintahan (Kementrian dan Dinas Kesehatan)

a. Sebagai bahan masukan dalam proses pembuatan kebijakan dan

pengambilan keputusan, dalam terjadinya perkembangan kasus

mosquito-borne disease akibat dari adanya perubahan iklim.

b. Sebagai landasan atau bukti (evidence) pemerintah untuk meningkat

upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sesuai dengan pedoman

yang telah disusun.

2. Bagi Lembaga Penelitian

Sebagai bahan informasi tambahan bagi lembaga penelitian untuk

mengembangkan serta melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak

perubahan iklim terhadap mosquito-borne disease, serta penelitian tentang

perubahan iklim itu sendiri maupun penelitian lain terkait mosquito-borne

disease.

3. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak

perubahan iklim terhadap mosquito-borne disease, agar masyarakat menjadi

patuh terhadap kebijakan pemerintah dalam meningkatkan upaya mitigasi

dan adaptasi perubahan iklim sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta

masyarakat diharapkan menjadi aktif dalam melakukan upaya

pemberantasan nyamuk dan sarangnya.

Page 32: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

13

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan

desain time-trend ecologic study. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan

analisis deskriptif pola dan analisis korelasi spearman untuk mengetahui hubungan

antar variabel independen dengan dependen. Adapun Variabel dependen penelitian

ini yaitu mosquito-borne disease. Sedangkan Variabel independen penelitian ini

yaitu iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara).

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat agregat meliputi data

insidens mosquito-borne disease (meliputi insidens DBD, insidens chikungunya,

dan insidens malaria), data curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban

udara di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009-2016. Penelitian ini menggunakan

instrumen penelitian berupa lembar check list pengumpulan data insidens mosquito-

borne disease tahun 2009 sampai 2016 dan data iklim tahun 2009 sampai 2016.

Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada bulan Juni sampai Agustus 2017.

Page 33: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

14

2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mosquito-borne Disease

2.1.1 Definisi Mosquito-borne Disease

Mosquito-borne disease sendiri adalah segala penyakit yang diakibatkan

oleh mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk (WMO, 2016b). Terdapat enam

penyakit yang termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya,

Zika Virus, Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow

Fever (WHO, 2015). Dari golongan penyakit ini, terdapat tiga penyakit yang ada di

Indonesia, yaitu DBD, Chikungunya, dan Malaria.

2.1.2 Demam Berdarah Dengue

2.1.2.1 Definisi dan Penyebab

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit

menular yang sangat mematikan. Penyakit DBD sendiri adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa

penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan

di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam

(purpura), kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran

menurun atau renjatan (Shock) (CDC, 2009; Kemenkes RI, 2011b). Selain itu

demam berdarah dengue merupakan penyakit demam virus akut yang disertai sakit

kepala, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri tulang, dan penurunan jumlah sel darah putih

(WHO, 2006). Penyakit ini adalah penyakit menular yang umumnya menyerang

Page 34: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

15

anak, ditandai dengan panas tinggi, perdarahan, dapat menimbulkan renjatan dan

kematian, serta termasuk salah satu penyakit yang dapat menimbulkan wabah

(Kemenkes RI, 2011b).

Virus penyebab demam berdarah dengue (DBD) adalah virus dengue

anggota dari genus flavivirus (Candra, 2010). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi

virus dengue yang terdiri dari empat tipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4

dan ditularkan memalului gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes

albopictus yang telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD lainnya

(Candra, 2010).

2.1.2.2 Vektor

1. Daur Hidup

Berikut daur hidup nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes RI, 2011b):

a. Nyamuk betina meletakkan telur di tempat perkembang-biakannya.

b. Dalam beberapa hari telur menetas menjadi jentik,kemudian

berkembang menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk

(perkembang-biakan dari telur, jentik, kepompong, nyamuk

membutuhkan waktu 7-10 hari).

c. Dalam tempo 1-2 hari nyamuk yang baru menetas ini (yang betina) akan

menggigit (mengisap darah) manusia dan siap untuk melakukan

perkawinan dengan nyamuk jantan.

d. Setelah mengisap darah, nyamuk betina beristirahat sambil menunggu

proses pematangan telurnya. Tempat beristirahat yang disukai adalah

Page 35: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

16

tumbuh- tumbuhan atau benda tergantung di tempat yang gelap dan

lembab, berdekatan dengan tempat perkembang biakannya.

e. Siklus mengisap darah dan bertelur ini berulang setiap 3-4 hari.

f. Bila mengisap darah seorang penderita demam berdarah dengue atau

carrier, maka nyamuk ini seumur hidupnya dapat menularkan virus itu.

g. Umur nyamuk betina rata-rata 2-3 bulan.

2. Perilaku Vektor

Berikut perilaku dan aktivitas nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes RI,

2012):

a. Nyamuk Aedes sp jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga

untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah.

b. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan

(bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur,

agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur

dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut

disebut dengan siklus gonotropik.

c. Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang

hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-

17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang

kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan

darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular

penyakit.

Page 36: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

17

d. Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang

gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan

habitat perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu

proses pematangan telurnya.

e. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina

akan meletakkan telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi

dan melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada

umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari.

Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak

±100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6

bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau

kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.

Di sisi lain terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tingkat aktivitas

nyamuk Aedes sp, meliputi:

a. Suhu

Nyamuk Aedes sp cenderung akan lebih aktif saat suhu udara berada

pada 250C - 280C (Perwitasari et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah,

Ratodi and Marlinae, 2016). Pada suhu tersebut nyamuk akan

mengalami kondisi yang optimal untuk melakukan aktivitas.

b. Kelembaban udara

Nyamuk ini akan mengalami kondisi yang optimal saat kelembaban

berada diatas 70% (Perwitasari et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah,

Ratodi and Marlinae, 2016).

Page 37: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

18

c. Curah hujan

Nyamuk ini akan lebih aktif saat curah hujan berada diatas 200 mm

setiap bulannya (Perwitasari et al., 2004; Zubaidah, Ratodi and

Marlinae, 2016).

2.1.2.3 Penularan

Berikut siklus penularan DBD (Kemenkes RI, 2011b):

a. Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia

menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut

(viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

b. Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita yang

sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama

hidupnya.

c. Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk

bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk

tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan

ke tubuh orang lain.

d. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 - 4 hari (rata-rata selama

4-6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai

demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai

tanda atau gejala lainnya.

e. Infeksi Dengue mempunyai masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari, biasanya

4-7 hari.

Page 38: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

19

2.1.3 Chikungunya

2.1.3.1 Definisi dan Penyebab

Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah “dengue”, ini dapat

diartikan bahwa infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue (Kemenkes RI,

2012). Istilah “Chikungunya” berasal dari bahasa suku Swahili yang berarti “Orang

yang jalannya membungkuk dan menekuk lututnya”, suku ini bermukim di dataran

tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (Kemenkes RI, 2012). Istilah

Chikungunya juga digunakan untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari

serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara

tersebut (Kemenkes RI, 2012). Inilah sejarah singkat mengenai chikungunya.

Terdapat dua hal yang mempengaruhi penyebab timbulnya chikungunya,

yaitu agen dan vektor. Agen penyakit ini adalah Arthopod-borne virus yang

ditransmisikan oleh beberapa spesies nyamuk (Kemenkes RI, 2012). Hasil uji

Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Komplemen Fiksasi, virus ini termasuk genus

alphavirus (“Group A” Arthropod-borne viruses) dan famili Togaviridae

(Kemenkes RI, 2012; CDC, 2014). Sedangkan DBD disebabkan oleh “Group B”

arthrophod-borne viruses (flavivirus) (Kemenkes RI, 2012). Vektor utama penyakit

ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (WHO,

2008).

2.1.3.2 Penularan

Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk

Aedes sp (WHO, 2008). Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus

Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu

Page 39: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

20

2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul (Kemenkes RI, 2012).

Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10

hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada

manusia pada saat gigitan berikutnya (Kemenkes RI, 2012). Di tubuh manusia,

virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum

menimbulkan penyakit (Kemenkes RI, 2012).

2.1.4 Malaria

2.1.4.1 Definisi dan Penyebab

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium

yang dapat ditandai dengan demam, hepatosplenomegali dan anemia (Depkes,

2008). Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia

dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Kemenkes RI, 2013a).

Terdapat 5 spesies plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, yaitu

Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium

malariae, dan Plasmodium knowlesi (Depkes, 2008). Jenis Plasmodium yang

banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax, sedangkan P.

malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi antara lain Lampung, Nusa

Tenggara Timur, dan Papua (Depkes, 2008). P ovale pernah ditemukan di Nusa

Tenggara Timur dan Papua (Depkes, 2008). Pada tahun 2010 di Pulau Kalimantan

dilaporkan adanya P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusia dimana

sebelumnya hanya menginfeksi hewan primata/monyet dan sampai saat ini masih

terus diteliti (Depkes, 2008). Hal ini menunjukkan potensi penularan besar, karena

terdapat lima spesies yang dapat menginfeksi manusia.

Page 40: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

21

2.1.4.2 Vektor

1. Daur Hidup

Berikut gambaran daur hidup nyamuk Anopheles sp (CDC, 2016):

a. Telur

Nyamuk betina dewasa dapat bertelur sebanyak 50-200 telur. Telur-

telur ini terpisah masing-masing dan mengambang di air. Telur nyamuk

ini tidak tahan dengan kering dan menetas selama 2-3 hari, meskipun

terkadang sampai 2-3 minggu di musim yang lebih dingin.

b. Larva

Larva nyamuk memiliki kepala dengan mulut yang digunakan untuk

makan, sebuah thorax besar, dan perut tersegmentasi. Mereka tidak

memiliki kaki. Berbeda dengan nyamuk lain, larva nyamuk ini tidak

memiliki siphon pernapasan, sehingga larva nyamuk ini memposisikan

diri sejajar dengan permukaan air untuk bernapas.

c. Pupa

Pupa nyamuk ini berbentuk koma bila dilihat dari samping. Seperti

larva, pupa harus datang ke permukaan untuk bernapas melalui sepasang

terompet pernafasan pada thorax. Setelah beberapa hari, pupa muncul

ke permukaan dan menjadi nyamuk dewasa.

d. Dewasa

Seperti nyamuk lain, Anopheles dewasa memiliki tubuh ramping dengan

3 bagian, yaitu kepala, dada dan perut.

Page 41: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

22

2. Perilaku Vektor

Berikut gambaran perilaku dan aktivitas nyamuk Anopheles sp (CDC,

2016):

a. Nyamuk ini suka menggigit di luar rumah. Pada umumnya nyamuk yang

menghisap darah adalah nyamuk betina. Kebanyakan nyamuk

Anopheles aktif saat senja atau fajar dan bersifat nokturnal (aktif di

malam hari). Beberapa nyamuk Anopheles makan di dalam rumah atau

ruangan (endophagic) sementara yang lain makan di luar rumah

(exophagic).

b. Setelah menggigit dan memakan darah, beberapa nyamuk Anopheles

lebih memilih untuk beristirahat di dalam ruangan (endophilic)

sementara yang lain lebih memilih untuk beristirahat di luar ruangan

(exophilic). Perilaku inilah yang mendasari cara pengendalian vektor

nyamuk.

c. Beberapa berkembang biak di terbuka atau genangan yang medapat

sinar matahari, sementara yang lain hanya ditemukan di tempat

perkembangbiakan yang gelap di hutan. Beberapa spesies berkembang

biak di lubang pohon atau lipatan daun beberapa tanaman.

Di sisi lain terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tingkat aktivitas

nyamuk Anopheles sp, meliputi:

d. Waktu

Kepadatan tertinggi Anopheles sp menghisap darah di dalam rumah

adalah antara jam 18.00 - 22.00 dan di luar rumah antara jam 18.00-

Page 42: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

23

01.00, istirahat di dinding tertinggi antara jam 20.00-23.00 dan di

kandang antara jam 03.00-05.00 (Kazwaini, Willa and Wadu, 2014).

e. Suhu

Kondisi optimal suhu yang disukai Anopheles sp yaitu sebesar 240C -

290C (Mardiana, 2012; Mardiana and Perwitasari, 2014). Pada suhu ini

aktivitas Anopheles sp cenderung meningkat.

f. Kelembaban udara

Kelembaban udara yang optimal bagi Anopheles sp untuk melakukan

aktivitas yaitu sebesar 65% - 95% (Mardiana, 2012; Mardiana and

Perwitasari, 2014).

g. Curah hujan

Curah hujan yang mendukung aktivitas nyamuk Anopheles sp yaitu

antara 1 mm - 567 mm setiap bulannya (Mardiana, 2012; Mardiana and

Perwitasari, 2014).

2.1.4.3 Penularan

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu

manusia dan nyamuk Anopheles betina (Kemenkes RI, 2013a). Berikut siklus

hidup plasmodium pada dua hospesnya (Kemenkes RI, 2013a):

a. Siklus pada manusia

Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia,

sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam

peredaran darah selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit

akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian

Page 43: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

24

berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit

hati (tergantung spesiesnya).

Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama

lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati

tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk

dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam

sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila

imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan

relaps (kambuh).

Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke

peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah

merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon

(8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini

disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan

merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini

disebut siklus eritrositer.

Pada P. falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian

merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium

seksual (gametosit jantan dan betina). Pada spesies lain siklus ini terjadi

secara bersamaan. Hal ini terkait dengan waktu dan jenis pengobatan untuk

eradikasi.

b. Siklus pada nyamuk anopheles betina

Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang

mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk gamet jantan dan betina

Page 44: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

25

melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet

kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung

nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit.

Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.

Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh

manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa

inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium (lihat Tabel 2.1).

Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh

manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan

pemeriksaan mikroskopik.

Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria Plasmodium

Plasmodium Masa Inkubasi (rata-rata)

P. falciparum 9-14 hari (12)

P. vivax 12-17 hari (15)

P. ovale 16-18 hari (17)

P. malariae 18-40 hari (28)

P.knowlesi 10-12 hari (11)

Sumber: Depkes 2008

2.1.5 Upaya Pemberantasan

Berikut upaya pemberantasan mosquito-borne disease yang diterapkan di

Indonesia (Kemenkes RI, 2011b):

Page 45: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

26

1. Pencegahan

Pencegahan dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan Tempat

umum dengan melakukan Pemberantasan sarang Nyamuk (PSN) yang

meliputi:

a. Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu

sekali, atau menutupnya rapat-rapat.

b. Mengubur barang bekas yang dapat menampung air.

c. Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi).

d. Memelihara ikan.

e. Cara-cara lain membasmi jentik.

2. Penemuan, pertolongan dan pelaporan

Penemuan, pertolongan dan pelaporan penderita penyakit terkait

mosquito-borne disease dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan

masyarakat.

3. Pengamatan penyakit dan Penyelidikan Epidemiologi (PE)

Pengamatan penyakit dilaksanakan oleh Puskesmas yang

menemukan atau menerima laporan penderita tersangka untuk memantau

situasi penyakit terkait mosquito-borne disease secara teratur sehingga

kejadian luar biasa dapat diketahui sedini mungkin, serta menentukan

adanya desa rawan penyakit terkait mosquito-borne disease. Di sisi lain

penyelidikan epidemiologi dilaksanakan oleh petugas kesehatan dibantu

oleh masyarakat, untuk mengetahui luasnya penyebaran penyakit dan

langkah-langkah untuk membatasi penyebaran penyakit.

Page 46: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

27

2.2 Perubahan Iklim

2.2.1 Definisi Iklim

Pengertian iklim dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Iklim

dalam arti sempit didefinisikan sebagai rata-rata cuaca, atau lebih detail, sebagai

deskripsi statistik dalam hal rata-rata dan variabilitas dalam jumlah yang relevan

selama periode waktu dimulai dari bulan ke ribuan atau jutaan tahun (Aldrian,

2013). Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), periode klasik rata-rata

untuk variabel-variabel iklim adalah 30 tahun (Aldrian, 2013). Iklim dalam arti

lebih luas adalah iklim suatu wilayah atau negara, termasuk deskripsi statistik dari

sistem iklim pada wilayah tersebut (Aldrian, 2013).

Interaksi pada berbagai parameter bumi akan menimbulkan sistem iklim.

Sirkulasi atmosfer merupakan salah satu parameter utama pembentuk Sistem Iklim

(Gunawan, 2013). Sistem iklim merupakan sistem komplek yang terdiri dari lima

parameter utama: atmosfer, hidrosfer, kriosfer (lapisan es), daratan, biosfer, dan

interaksi di antaranya (Gunawan, 2013). Sistem iklim berkembang dalam kurun

waktu tertentu dan dipengaruhi oleh dinamika internal (pergerakan interaksi

parameter) sistem iklim dan gaya luar seperti letusan gunung api, variasi matahari,

pengaruh antropogenik, (seperti perubahan komposisi atmosfer dan perubahan

lahan) (Aldrian, 2013).

2.2.2 Parameter Iklim

Terdapat beberapa parameter iklim yang selalu mengalami perubahan setiap

harinya yang meliputi:

Page 47: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

28

1. Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu parameter dasar untuk melihat

kondisi cuaca pada satuan waktu tertentu. Pengertian curah hujan adalah

ketebalan air hujan (dalam satuan milimeter) yang terkumpul pada luasan 1

m2 pada saat dilakukan pengukuran (BMKG, 2015c). Alat yang digunakan

untuk mengukur curah hujan di Indonesia yaitu raingauge (BMKG, 2015c).

Curah hujan ini menjadi besaran terjadinya hujan yang menunjukkan

terjadinya hujan lebat ataupun hujan ringan.

Terdapat beberapa penggolongan curah hujan dalam periode harian

(24 jam). Golongan tersebut meliputi hujan sangat ringan (< 5 mm), hujan

rinagn (5-20 mm), hujan sedang (21-50 mm), hujan lebat (51-100 mm), dan

hujan sangat lebat (> 100 mm) (BMKG, 2008). Selain itu terdapat pula

penggolongan curah hujan dalam periode bulanan yang meliputi bulan

hujan sangat ringan (10-15 mm), bulan hujan ringan (70-85 mm), bulan

hujan sedang (250-295 mm), bulan hujan lebat (400-545 mm), dan bulan

hujan sangat lebat (510-845 mm) (BMKG, 2008). Pada parameter ini juga

memiliki kriteria hujan ekstrim, dimana hujan ekstrim terjadi jika terdapat

bulan dengan curah hujan lebih dari 500 mm (Aldrian, 2014).

2. Hari Hujan

Hari hujan secara umum diartikan sebagai hari terjadinya hujan

dalam batasan tertentu. Hujan sendiri adalah titik-titik air di udara atau awan

yang sudah terlalu berat karena kandungan airnya sudah sangat banyak,

sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan (presipitasi)

(BMKG, 2015c).

Page 48: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

29

Berdasarkan proses terjadinya hujan, hujan dibedakkan menjadi 3,

yaitu (BMKG, 2015c):

a. Hujan Orografis

Hujan orografis adalah hujan yang terjadi karena gerakan udara yang

mengandung uap air terhalang oleh pegunungan sehingga massa udara

itu dipaksa naik ke lereng pegunungan. Akibatnya suhu udara tersebut

menjadi dingin di atas pegunungan. Sampai ketinggian tertentu

terjadilah proses kondensasi dan terbentuknya awan. Kemudian

terjadilah hujan yang disebut hujan orografis.

b. Hujan Konveksi (Zenithal)

Hujan konveksi terjadi karena udara yang mengandung uap air

bergerak naik secara vertikal (konveksi) karena pemanasan. Udara yang

naik itu mengalami penurunan suhu, sehingga pada ketinggian tertentu

terjadi proses kondensasi dan pembentukan awan. Setelah awan tersebut

tidak mampu lagi menahan kumpulan titik-titik airnya, maka terjadilah

hujan konveksi. Hujan konveksi banyak terjadi di daerah tropis yang

mempunyai intensitas penyinaran matahari yang selalu tinggi.

c. Hujan Frontal

Hujan frontal adalah hujan yang terjadi karena adanya pertemuan

antara massa udara panas dengan massa udara dingin. Pada pertemuan

udara panas dan dingin terjadilah bidang front dimana terjadi kondensasi

dan pembentukan awan. Udara yang panas selalu berada di atas udara

yang dingin. Hujan frontal biasanya terjadi di daerah lintang sedang atau

pertengahan.

Page 49: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

30

Dalam melakukan pengukuran hujan dibutuhkan alat pengukur

hujan yang biasa disebut dengan alat penakar hujan (BMKG, 2015c).

Terdapat beberapa alat penakar hujan yang biasa digunakan untuk

melakukan pengukuran yaitu alat penakar hujan biasa (manual raingauge),

alat penakar hujan otomatis (automatic raingauge), dan alat penakar hujan

hellman (BMKG, 2015c).

3. Suhu

Secara teoritis suhu udara memiliki arti ukuran energi kinetik rata-

rata dari pergerakan molekul-molekul (BMKG, 2015c). Dengan kata lain

suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda

tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda lain atau menerima

panas dari benda lain (BMKG, 2015c). Dalam sistem dua benda dengan

suhu berbeda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu

lebih tinggi.

Alat yang biasa digunakan untuk mengukur temperatur atau suhu

adalah thermometer. Ada beberapa jenis thermometer yang digunakan

dewasa ini, namun dalam pengamatan meteorologi dan klimatologi,

umumnya digunakan thermometer kaca (liquid-in-glass thermometer)

untuk peralatan Konvensional dan thermometer PT-100 untuk peralatan-

peralatan digital (BMKG, 2015c). Thermometer kaca (liquid-in-glass

thermometer) umumnya menggunakan Air raksa (mercury) untuk

pengukuran temperatur di atas suhu freezing point (-38.3 °C) dan

menggunakan alkohol untuk pengukuran yang memiliki jangkauan ukur

dibawah/sekitar freezing point (BMKG, 2015c).

Page 50: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

31

4. Kelembaban

Kelembaban udara adalah jumlah kandungan uap air yang ada dalam

udara (BMKG, 2015c). Kandungan uap air di udara berubah-ubah

bergantung pada suhu, dimana semakin tinggi suhu, makin banyak

kandungan uap airnya. Alat pengukur kelembapan udara adalah higrometer

(BMKG, 2015c). Kelembapan udara sendiri terbagi dalam 2 jenis, yaitu

(BMKG, 2015c):

a. Kelembapan mutlak (absolut) yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah

uap air dalam satuan gram pada satu meter kubik udara.

b. Kelembapan relatif (nisbi), yaitu angka dalam persen yang

menunjukkan perbandingan antara banyaknya uap air yang benar-benar

dikandung udara pada suhu tertentu dan jumlah uap air maksimum yang

dapat dikandung udara. Kelembapan relatif dihitung dengan

menggunakan rumus berikut:

𝐾 = 𝑇

𝑃 × 100%

Keterangan:

K= kelembapan relatif.

T= uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu.

P= kapasitas kandungan uap air maksimum.

Page 51: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

32

2.2.3 Definisi Perubahan Iklim

Secara singkat perubahan iklim dapat diartikan sebagai perubahan kondisi

parameter iklim dalam rentang waktu tertentu. Menurut beberapa sumber,

perubahan Iklim adalah berubahnya kondisi rata-rata iklim dan/atau keragaman

iklim dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain sebagai akibat dari aktivitas

manusia (IPCC, 2007b; Pemerintah RI, 2008; Aldrian, 2013; KLHK, 2016).

Perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung timbul akibat dari aktifitas

manusia yang menimbulkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan

menimbulkan perubahan pada parameter iklim (seperti curah hujan, suhu,

kelembaban, dan kecepatan angin) yang dapat dibandingkan pada peride waktu

tertentu (IPCC, 2007b). Umumnya perubahan iklim timbul akibat dari perubahan

komposisi atau struktur atmosfer bumi, dimana perubahan ini ditimbulkan dari

meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) atau dalam istilah international disebut

dengan Green House Gases (GHG).

Berikut gambaran proses terjadinya dampak akibat GRK terhadap atmosfir

bumi (Sutamihardja, 2011):

1. Iklim bumi memperoleh energi dari matahari, dimana matahari memberikan

energinya melalui radiasi energi pada panjang gelombang yang sangat

pendek, terutama pada spectrum panjang gelombang tampak atau ultra violet.

2. Energi matahari yang mencapai bagian teratas atmosfir bumi, kira-kira

sepertiganya langsung dipantulkan kembali ke angkasa; dua pertiga sisanya

diserap oleh permukaan bumi serta sebagian kecil diserap oleh atmosfir.

Page 52: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

33

Bumi harus meradiasikan kembali jumlah energi yang sama ke angkasa untuk

menyeimbangkan energi yang diserap.

3. Radiasi panas yang dilepaskan oleh daratan dan lautan sebagian besar diserap

oleh atmosfir, termasuk awan, dan diradiasikan kembali ke bumi. Peristiwa

ini disebut efek rumah kaca yang secara alami ada untuk memungkinkan

terjadinya kehidupan di bumi (tanpanya suhu rata-rata pada permukaan bumi

akan berada di bawah titik beku air).

4. Efek rumah kaca ini memanaskan permukaan bumi karena dinding kacanya

mengurangi aliran udara dan meningkatkan suhu udara di dalam ruangan.

5. Kegiatan-kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan

penebangan hutan sayangnya telah meningkatkan efek gas rumah kaca alami

yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Pembakaran bahan bakar

fosil (yang memberikan kontribusi terbesar di dalam mengubah konsentrasi

gas-gas rumah kaca), melepaskan gas karbon dioksida ke atmostir.

Gas-gas rumah kaca dan aerosol (partikel-partikel kecil) mempengaruhi

iklim dengan cara mengubah radiasi sinar matahari yang masuk dan radiasi infra

merah yang keluar, sehingga keseimbangan energi bumi berubah. Pembahan

jumlah atau sifat gas-gas dan partikel-partikel di atmosfir dapat menyebabkan

pemanasan atau pendingin sistem iklim.

2.2.4 Penyebab Perubahan Iklim

Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berada di atmosfer dan menyebabkan

efek rumah kaca (Gunawan, 2013). GRK dapat muncul secara alami di lingkungan

dan juga dapat timbul akibat dari kegiatan antropogenik. GRK alami muncul

Page 53: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

34

melalui aktivitas alami, seperti gas CO2 dari aktivitas organisme, gas metana (CH4)

dari proses dekomposisi, dan gas lain berasal dari aktivitas vulkanik. Sedangkan

GRK antropogenik berasal dari kegiatan manusia, seperti aktivitas pembakaran

bahan bakar fosil sebagai sumber energi (energi transportrasi, energi listrik, dan

energi untuk industri), aktivitas pertanian, dan aktivitas lain yang menghasilkan

CFC, HFC, maupun PFC.

Karbon dioksida (CO2) adalah GRK yang paling penting dan paling besar

emisinya. Emisi tahunan telah bertambah tinggi antara tahun 1970 dan 2004 kira-

kira sebesar 80%, dari 21 ke 38 gigatons (Gt), yang menunjukkan bahwa jumlah

emisi GRK yang dihasilkan oleh kegiatan antropogenik sebesar 77% pada tahun

2004 (IPCC, 2007a). Kecepatan pertambahan emisi CO2-eq pada tahun 1995-2004

(0,92 GtCO2-eq per tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya

pada tahun 1970 sampai 1994 sebesar (0,43 GtCO2-eq per tahun) (IPCC, 2007a).

Pertambahan emisi GRK di antara tahun 1970 dan 2004 berasal dari suplai energi,

transport dan industri, sedangkan yang berasal dari bangunan pemukiman dan

perumahan dan komersial, kehutanan (termasuk deforestasi) dan sektor pertanian

atau yang biasa disebut LULUCF bertambah dengan kecepatan lebih rendah (IPCC,

2007a).

Konsentrasi atmosfir global untuk CO2 bertambah tinggi dibandingkan

masa pra industri dari 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005, dimana di antara

tahun 1995-2005 menghasilkan emisi sebesar 1,9 ppm per tahun lebih besar

dibandingkan dengan pengukuran tahun 1960-2005 dengan rata-rata 1,4 ppm per

Page 54: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

35

tahun (IPCC, 2007a). Hal ini menunjukkan bahwa tejadi percepatan jumlah emisi

yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu.

Sedangkan konsentrasi CH4 pada atmosfir bertambah tinggi dari masa pra-

industri sebesar 715 ppb menjadi 1732 ppb pada awal tahun 1990 dan meningkat

kembali menjadi 1774 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a). Di sisi lain konsentrasi

N2O di atmosfer mengalami peningkatan yang tinggi semenjak pra-industri dari 270

ppb menjadi 319 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a). Dari data ini dapat dilihat

bahwa peningkatan emisi GRK dapat dipastikan bersumber dari aktivitas

antropogenik.

2.2.5 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

Dalam 157 tahun terakhir, suhu permukaan bumi telah meningkat secara

global, dengan variasi penting berskala regional. Pemanasan (untuk rata-rata

global), pada abad terakhir telah terjadi dalam tahap, yaitu dari tahun 1910-an

hingga 1940-an (0,35°C), dan pemanasan yang lebih tinggi mulai dari tahun 1970-

an hingga 2005 (0,55°C) (IPCC, 2007a). Laju peningkatan pemanasan telah terjadi

selama 25 tahun terakhir, dimana 11 dari 12 tahun terpanas tercatat pada 12 tahun

terakhir (IPCC, 2007a).

Peningkatan suhu permukaan bumi menimbulkan ketidakseimbangan pada

sistem iklim. Hal ini memicu terjadinya kerusakan pola iklim dan cuaca, serta

kondisi iklim yang sulit untuk diprediksi dengan tepat (IPCC, 2007c). Pola iklim

yang tidak menentu akan meningkatkan tingkat stress pada manusia dan berpotensi

untuk menimbulkan kerentanan imunitas manusia (WHO, 2003; Dittmar et al.,

2014; Rowley et al., 2016). Imunitas tubuh yang telah mengalami penurunan

Page 55: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

36

berpotensi menimbulkan kerentanan individu terhadap berbagai penyakit infeksius

(WHO, 2003).

2.2.6 Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

2.2.6.1 Upaya Mitigasi

Adapun upaya mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah, dimulai dari

pengembangan institusi, pembuatan kebijakan, pengembangan peraturan, dan

pembentukan program, meliputi (KLHK, 2007):

1. Pengembangan Institusi

a. Pembentukan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih

(Komnas MPB) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.

206/05 sebagai Designated National Authority (DNA) yang bertujuan

untuk memberikan persetujuan nasional terhadap usulan kegiatan proyek

CDM (Clean Development Mechanism).

b. Usulan kegiatan proyek CDM yang telah disetujui oleh Komnas MPB

sejumlah 24 proyek, dan 10 diantaranya sudah teregistrasi secara

internasional di Badan Eksekutif UNFCCC. Dari 24 proyek tersebut,

total emisi yang dapat diturunkan sebesar 33.079.993 ton CO2eq.

2. Sektor Energi

a. Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang

membebaskan/memberikan keringanan bea masuk atas impor peralatan

teknologi bersih.

b. Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.

Page 56: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

37

c. Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi.

d. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan

Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

e. Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi

Nasional.

f. Peraturan Menteri ESDM Nomor 1122K/30/MEM/2002 tentang

Pembangkit Listrik Skala Kecil dengan Menggunakan Energi

Terbarukan (PSK Tersebar).

g. Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 tahun 2004 tentang Kebijakan

Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi

(Pengembangan Energi Hijau).

h. Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 tahun 2005 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penghematan Energi.

i. Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 tahun 2006 tentang Pengusahaan

Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah.

j. Monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor industri yang telah

dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup melalui program PROPER

(Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan).

k. Pelaksanaan Program Desa Energi Mandiri, yaitu program penyediaan

sumber energi listrik seperti yang dilakukan di Subang dengan

memanfaatkan tenaga air.

l. Pelaksanaan program Produksi Bersih dan Efisiensi Energi (CP-

EE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk Industri yang

Page 57: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

38

menggunakan energi intensif, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp

dan kertas, tekstil, pembangkit listrik, dll.

m. Mengatur dan melarang impor barang-barang yang tidak ramah

lingkungan.

n. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2007 tentang Baku

Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap.

3. Sektor LULUCF (Land Use, Land-Use Change And Forestry)

a. Penanganan kebakaran hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian

Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan

dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Upaya preventif kebakaran hutan yang meliputi: pemantauan dengan

satelit, pemantauan di lapangan terhadap perusahaan-perusahaan,

pemantauan kualitas udara, dan pemberdayaan masyarakat agar

mengubah pola pembukaan lahannya dari membakar menjadi tidak

membakar atau terkontrol.

Pembentukan Manggala Agni yang bertugas untuk memantau,

mencegah, dan menanggulangi kebakaran hutan.

b. Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan

Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di

Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

c. Penanganan pada lahan yang terkena banjir dan juga untuk menghindari

terjadinya banjir.

Page 58: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

39

4. Peningkatan Kapasitas

Untuk mendorong kegiatan proyek CDM di Indonesia, telah dilakukan

kegiatan sosialisasi CDM kepada para pemangku kepentingan, yakni instansi

terkait, pemerintah daerah, masyarakat, sektor privat, legislatif, asosiasi, para

pimpinan perusahaan, serta perguruan tinggi.

2.2.6.2 Upaya Adaptasi

Adapun upaya adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah, dimulai dari

pengembangan institusi, pembuatan kebijakan, pengembangan peraturan, dan

pembentukan program, meliputi (KLHK, 2007):

1. Pengembangan Institusi

Penyusunan draft Strategi Nasional Adaptasi yang berfungsi sebagai bagian

dari proses komitmen pemangku kepentingan dalam melaksanakan adaptasi

terhadap perubahan iklim.

2. Sektor LULUCF

a. Pengelolaan pesisir pantai secara terpadu melalui Integrated Coastal

Management yang dilakukan melalui penanaman hutan bakau

(mangrove): di pantau utara Jawa (Pemalang, Batang, Brebes,

Pekalongan, Tegal), pantai timur Sumatera, dan beberapa propinsi

(Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara).

b. Penyusunan draft Pedoman Konservasi Air (sumur resapan dan

penampungan air) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air.

c. Pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan cara transplantasi

seperti yang dilakukan di Perairan Sabang.

Page 59: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

40

d. Pembangunan struktur penguat pantai digunakan untuk mengurangi

erosi air laut pada pesisir pantai seperti yang dilakukan di Tanah Lot

menggunakan model tetrapod.

3. Peningkatan Kapasitas

Rencana pendirian Sekolah Lapang Iklim (SLI) di 25 propinsi (150

kabupaten/kota) untuk meningkatkan pemahaman tentang informasi iklim

dan pemanfaatannya bagi petani.

2.3 Studi Ekologi

Studi ekologi atau yang sering disebut dengan studi korelasi adalah studi

epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis (Morgenstern, 1995). Tujuan

dari penelitian dengan desain ini yaitu mendeskripsikan hubungan korelatif antara

penyakit dan faktor-faktor terkait penyakit tersebut (Morgenstern, 1995). Hal ini

menunjukkan bahwa studi ekologi dilakukan pada sebuah kelompok bukan pada

individu sebagai unit analisis.

Dalam studi ekologi terdapat tingkat pengukuran yang digunakan sebagai

unit analisis. Berikut tingkat pengukuran yang dilakukan pada studi ekologi

(Morgenstern, 1995):

a. Pengukuran agregat

Pengukuran ini dilakukan melalui observasi yang berasal dari individu di

setiap kelompok, misal proporsi perokok dalam keluarga.

Page 60: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

41

b. Pengukuran lingkungan

Pengukuran ini dilakukan pada pengukuran karakteristik fisik pada suatu

tempat dimana kelompok itu tinggal atau bekerja, misal pengukuran polutan

udara pada suatu tempat.

c. Pengukuran global

Pengukuran ini berupa atribut kelompok atau tempat, seperti kepadatan

penduduk.

Studi ekologi memiliki tiga jenis desain secara spesifik. Jenis desain

tersebut meliputi (Alexander et al., no date):

a. Studi Ekologi Potong Lintang (Cross-sectional Ecologic Study)

Studi ekologi ini membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit)

secara agregat dalam waktu yang sama.

b. Time-trend Ecologic Study

Studi ekologi ini membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit)

secara agregat pada komunitas yang sama dalam kurun waktu yang berbeda.

c. Solely descriptive Ecologic Study

Studi ekologi ini menyelidiki penyakit atau perbedaan faktor risiko antara

satu komunitas dengan komunitas lain dalam waktu yang sama, atau satu

komunitas yang sama dalam kurun waktu yang berbeda.

Berikut adalah tabel yang dapat digunakan untuk menggambarkan masing-

masing perbedaaan pada jenis studi (Alexander et al., no date):

Page 61: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

42

Tabel 2.2 Perbedaan pada Jenis Studi Ekologi

Desain Studi Ekologi

Jenis Studi Desain Kerangka Waktu

Cross-sectional Antar komunitas Dalam waktu yang sama

Time-trend Pada komunitas yang

sama

Dalam kurun waktu yang

berbeda

Descriptive Antar komunitas atau

pada komunitas yang

sama

Dalam waktu yang sama

atau dalam kurun waktu

yang berbeda

Terdapat beberapa kekuatan atau keuntungan yang didapatkan saat

melakukan studi ekologi. Keuntungan melakukan studi ekologi, meliputi

(Morgenstern, 1995):

Dapat mennggunakan data insidensi, prevalensi maupun mortalitas.

Desain penelitian ini tepat sekali digunakan pada penyelidikan awal

hubungan penyakit, dimana penelitian ini mudah dilakukan dan murah

dengan memanfaatkan informasi yang tersedia.

Membantu dalam menemukan hipotesis baru untuk penelitian yang lebih

jauh.

Kesederhanaan dalam melakukan analisis dan presentasi.

Selain itu desain penelitian ini juga memiliki beberapa kelemahan, meliputi

(Morgenstern, 1995):

Page 62: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

43

Studi ekologi tidak dapat dipakai untuk menganalisis hubungan sebab akibat

karena desain ini tidak mampu untuk menjembatani kesenjangan status

paparan dan status penyakit pada tingkat populasi dan individu. Alasan

lainnya yaitu studi ekologi tidak bisa digunakan untuk mengontrol faktor

confounding (faktor perancu) yang berpotensi muncul saat dilakukan

penelitian.

Terdapat beberapa data yang tidak lengkap dan hilang.

Terjadinya salah dalam klasifikasi kelompok.

2.4 Data Surveilans

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah menetakan bahwa setiap

Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) untuk melakukan surveilans. Menurut

KEPMENKES Nomor 1479 Tahun 2003, surveilans adalah kegiatan analisis secara

sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan

dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit

atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan

penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,

pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara

program kesehatan (Kemenkes RI, 2003b). Menurut WHO kegiatan surveilans ini

bukan hanya mencakup pengumpulan data saja, melainkan kegiatan surveilans

meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik

dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan

untuk dapat mengambil tindakan (Kemenkes RI, 2003a).

Page 63: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

44

Dalam penyelenggaraannya, terdapat dua bentuk surveilans yang dapat

dilakukan oleh Fasyankes, antara lain (Kemenkes RI, 2014):

1. Surveilans berbasis indikator

Surveilans berbasis indikator dilakukan untuk memperoleh

gambaran penyakit, faktor risiko dan masalah kesehatan dan/atau masalah

yang berdampak terhadap kesehatan yang menjadi indikator program

dengan menggunakan sumber data yang terstruktur. Pelaksanaan surveilans

berbasis indikator dilakukan mulai dari puskesmas sampai pusat, sesuai

dengan periode waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan dan tahunan).

Selain itu surveilans berbasis indikator di puskesmas, dilakukan untuk

menganalisis pola penyakit, faktor risiko, pengelolaan sarana pendukung

seperti kebutuhan vaksin, obat, bahan dan alat kesehatan, persiapan dan

kesiapan menghadapi kejadian luar biasa beserta penanggulangannya.

2. Surveilans berbasis kejadian

Surveilans berbasis kejadian dilakukan untuk menangkap dan

memberikan informasi secara cepat tentang suatu penyakit, faktor risiko,

dan masalah kesehatan, dengan menggunakan sumber data selain data yang

terstruktur. Kegiatan surveilans berbasis kejadian di puskesmas,

kabupaten/kota, dan provinsi dilakukan melalui kegiatan verifikasi terhadap

rumor terkait kesehatan atau berdampak terhadap kesehatan di wilayah

kerjanya guna melakukan langkah intervensi bila diperlukan.

Penyelenggaraan surveilans berbasis indikator dan berbasis kejadian dapat

diaplikasikan ke dalam bentuk PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) yang

Page 64: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

45

didukung dengan pencarian rumor masalah kesehatan (Kemenkes RI, 2014). Setiap

unit penyelenggaraan Surveilans Kesehatan melakukan Pemantauan Wilayah

Setempat dengan merekam data, menganalisa perubahan kejadian penyakit dan atau

masalah kesehatan menurut variable waktu, tempat dan orang (surveilans berbasis

indikator) (Kemenkes RI, 2014).

Selanjutnya disusun dalam bentuk tabel dan grafik pemantauan wilayah

setempat untuk menentukan kondisi wilayah yang rentan KLB (Kemenkes RI,

2014). Bila dalam pengamatan ditemukan indikasi yang mengarah ke KLB, maka

dilakukan respon yang sesuai termasuk penyelidikan epidemiologi (Kemenkes RI,

2014). Hal ini menunjukkan bahwa PWS hanya bersifat sementara dan memiliki

fungsi untuk melakukan intervensi KLB secara cepat.

Dalam pelaksanaan surveilans, terdapat sistem surveilans yang telah diatur

oleh Kemenkes RI yaitu Surveilans Terpadu Penyakit (STP). STP adalah

pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit menular dan surveilans epidemiologi

penyakit tidak menular dengan metode pelaksanaan surveilans epidemiologi rutin

terpadu beberapa penyakit yang bersumber data Puskesmas, Rumah Sakit,

Laboratorium dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kemenkes RI, 2003b).

Secara operasional penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit meliputi

(Kemenkes RI, 2003b):

1. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas.

2. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Rumah Sakit.

3. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Laboratorium.

Page 65: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

46

4. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data KLB penyakit dan keracunan

di Kabupaten/Kota.

5. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas Sentinel.

6. Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Rumah Sakit Sentinel.

Tujuan dari pelaksanaan STP adalah Diperolehnya informasi epidemiologi

penyakit tertentu dan terdistribusinya informasi tersebut kepada program terkait,

pusat-pusat kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain (Kemenkes RI,

2003b).

Pada penyelenggaraannya terdapat beberapa sumber data STP. Sumber data

tersebut meliputi (Kemenkes RI, 2003b):

1. Sumber data Puskesmas

2. Sumber data Rumah Sakit

3. Sumber data Laboraturium

4. Sumber data KLB penyakit dan keracunan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota

5. Sumber data Puskesmas Sentinel

6. Sumber data Rumah Sakit Sentinel

Kemenkes RI telah mengatur alur pelaksanaan untuk melakukan

pengolahan data yang telah diambil dari beberapa sumber data di atas. Berikut alur

pelaksanaan STP (Kemenkes RI, 2003b):

Page 66: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

47

1. Data Surveilans Terpadu Penyakit diperoleh dari data harian pelayanan

kesehatan yang disusun dalam sistem perekaman data yang ditetapkan oleh

masing-masing unit pelayanan.

2. Puskesmas, Puskesmas Sentinel, Rumah Sakit, Rumah Sakit Sentinel dan

Laboratorium mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan

kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Puskesmas, Puskesmas Sentinel,

Rumah Sakit, dan Rumah Sakit Sentinel juga mengirimkan data

Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) penyakit potensial KLB mingguan

kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota melakukan pengumpulan dan pengolahan data tersebut,

dan mengirimkan data bulanan STP ke Dinas Kesehatan Propinsi. Dinas

Kesehatan Propinsi melakukan pengumpulan dan pengolahan data

surveilans tersebut, dan mengirimkan ke Ditjen PPM & PL Depkes.

3. Masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes

melakukan analisis dan penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan peta

yang bermakna secara epidemiologi, menarik kesimpulan dan menyusun

rekomendasi serta mendistribusikannya kepada unit-unit yang

membutuhkannya.

2.5 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

2.5.1 Sejarah

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merupakan salah

satu lembaga yang memiliki tugas penting dalam melakukan pemantauan kondisi

Page 67: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

48

lingkungan di Indonesia. Lembaga ini memiliki sejarah dalam pendiriannya di

Indonesia. Berikut sejarah singkat mengenai BMKG (BMKG, 2017b):

Sejarah pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia dimulai pada

tahun 1841 diawali dengan pengamatan yang dilakukan secara perorangan

oleh Dr. Onnen, Kepala Rumah Sakit di Bogor. Tahun demi tahun

kegiatannya berkembang sesuai dengan semakin diperlukannya data hasil

pengamatan cuaca dan geofisika.

Pada tahun 1866, kegiatan pengamatan perorangan tersebut oleh

Pemerintah Hindia Belanda diresmikan menjadi instansi pemerintah dengan

nama Magnetisch en Meteorologisch Observatorium atau Observatorium

Magnetik dan Meteorologi dipimpin oleh Dr. Bergsma.

Pada tahun 1879 dibangun jaringan penakar hujan sebanyak 74 stasiun

pengamatan di Jawa.

Pada tahun 1912 dilakukan reorganisasi pengamatan meteorologi dengan

menambah jaringan sekunder. Sedangkan jasa meteorologi mulai digunakan

untuk penerangan pada tahun 1930.

Pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai dengan 1945,

nama instansi meteorologi dan geofisika diganti menjadi Kisho Kauso

Kusho.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, instansi

tersebut dipecah menjadi dua: Di Yogyakarta dibentuk Biro Meteorologi

yang berada di lingkungan Markas Tertinggi Tentara Rakyat Indonesia

khusus untuk melayani kepentingan Angkatan Udara. Di Jakarta dibentuk

Page 68: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

49

Jawatan Meteorologi dan Geofisika, dibawah Kementerian Pekerjaan

Umum dan Tenaga.

Selanjutnya, pada tahun 1950 Indonesia secara resmi masuk sebagai

anggota Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological

Organization atau WMO) dan Kepala Jawatan Meteorologi dan Geofisika

menjadi Permanent Representative of Indonesia with WMO.

Kemudian terjadi beberapa kali perubahan nama maupun garis koordinasi

lembaga.

Terakhir, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008, Badan

Meteorologi dan Geofisika berganti nama menjadi Badan Meteorologi,

Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan status tetap sebagai Lembaga

Pemerintah Non Departemen.Pada tanggal 1 Oktober 2009 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika disahkan oleh Presiden Republik Indonesia,

Susilo Bambang Yudhoyono.

2.5.2 Visi dan Misi

BMKG memiliki visi dan misi dalam mencapai tujuan kelembagaan. Visi

dari BMKG adalah “Mewujudkan BMKG yang handal, tanggap dan mampu dalam

rangka mendukung keselamatan masyarakat serta keberhasilan pembangunan

nasional, dan berperan aktif di tingkat Internasional” (BMKG, 2017d). Untuk

mencapai visi ini, maka diperlukan misi yang jelas yaitu berupa langkah-langkah

BMKG untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan yaitu (BMKG, 2017d):

Page 69: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

50

1. Mengamati dan memahami fenomena meteorologi, klimatologi, kualitas

udara dan geofisika.

2. Menyediakan data, informasi dan jasa meteorologi, klimatologi, kualitas

udara dan geofisika yang handal dan terpercaya.

3. Mengkoordinasikan dan memfasilitasi kegiatan di bidang meteorologi,

klimatologi , kualitas udara dan geofisika.

4. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan internasional di Bidang meteorologi,

klimatologi , kualitas udara dan geofisika.

2.5.3 Tugas dan Fungsi

Dalam pelaksanaannya BMKG memiliki tugas dan fungsi tersendiri. Tugas

dari BMKG adalah “Melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Meteorologi,

Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku” (BMKG, 2017c). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud, BMKG menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (BMKG, 2017c):

1. Perumusan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang meteorologi,

klimatologi, dan geofisika.

2. Perumusan kebijakan teknis di bidang meteorologi, klimatologi, dan

geofisika.

3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang meteorologi,

klimatologi, dan geofisika.

4. Pelaksanaan, pembinaan dan pengendalian observasi, dan pengolahan data

dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

Page 70: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

51

5. Pelayanan data dan informasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan

geofisika.

6. Penyampaian informasi kepada instansi dan pihak terkait serta masyarakat

berkenaan dengan perubahan iklim.

7. Penyampaian informasi dan peringatan dini kepada instansi dan pihak

terkait serta masyarakat berkenaan dengan bencana karena factor

meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

8. Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang meteorologi, klimatologi,

dan geofisika.

9. Pelaksanaan penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang

meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

10. Pelaksanaan, pembinaan, dan pengendalian instrumentasi, kalibrasi, dan

jaringan komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

11. Koordinasi dan kerja sama instrumentasi, kalibrasi, dan jaringan

komunikasi di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

12. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan keahlian dan manajemen

pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.

13. Pelaksanaan pendidikan profesional di bidang meteorologi, klimatologi,

dan geofisika.

14. Pelaksanaan manajemen data di bidang meteorologi, klimatologi, dan

geofisika.

15. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas administrasi di lingkungan

BMKG.

Page 71: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

52

16. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab

BMKG.

17. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BMKG.

18. Penyampaian laporan, saran, dan pertimbangan di bidang meteorologi,

klimatologi, dan geofisika.

Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, BMKG telah memiliki 181

stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia (BMKG, 2017a).

2.6 Kerangka Teori

Adapun kerangka teori penelitian ini disusun berdasarkan segitiga

epidemiologi yang dikemukakan oleh John Gordon, yang tersusun atas Host, Agent,

dan Environment (Maryani, 2010). Berikut kerangka teori penelitian ini:

Page 72: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

53

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Modifikasi dari Gordon, John dalam Maryani, 2010; IPCC 2007a, 2007b, &2007c;

WHO 2003.

Host (Manusia)

Terinfeksi mosquito-

borne disease

DBD

Chikungunya

Malaria

Aktivitas

antropogenik

Agent

Mikroorganisme

Vektor

Nyamuk

Aedes sp

Nyamuk

Anopheles sp

Eksploitasi, pencemaran, dan kerusakan lingkungan

Stress tinggi dan

kerentanan

Kondis

i li

ngkungan

opti

mal

P

enularan

Environment (iklim)

Perubahan Iklim

Peningkatan suhu

permukaan bumi

Gangguan pola iklim

Curah hujan

Hari hujan

Suhu udara

Kelembaban udara

Page 73: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

54

3 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori penulis membuat kerangka konsep yang nantinya

menjadi alur berpikir dalam melakukan penelitian ini. Variabel dependen penelitian

ini yaitu mosquito-borne disease. Menurut WHO (2015), terdapat enam penyakit

yang termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya, Zika Virus,

Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow Fever. Di

Indonesia sendiri terdapat empat penyakit yang tergolong dalam mosquito-borne

disease, yaitu DBD, Chikungunya, Malaria, dan Filariasis (Prastowo and

Anggraini, 2011). Namun pada penelitian ini, golongan mosquito-borne disease

yang akan diteliti meliputi DBD, Chikungunya, dan Malaria. Penyakit filariasis

tidak menjadi bagian dari subjek penelitian ini karena data penyakit ini bersifat data

prevalensi (kasus lama).

Variabel independen penelitian ini yaitu iklim (curah hujan, hari hujan, suhu

udara, dan kelembaban udara). Iklim memiliki pengaruh yang besar terhadap

mosquito-borne disease. Saat iklim mengalami pergeseran (perubahan iklim) maka

akan menimbulkan kerentanan imunitas pada pejamu dan akan meningkatkan

jumlah populasi dan virulensi agen. Selain itu perubahan iklim sedang berlangsung

sekarang, sehingga timbul gangguan pada pola iklim. Pola iklim yang terganggu

akan sangat menguntungkan bagi agen penyakit (nyamuk) dan merugikan bagi

pejamu, sehingga hal ini berpotensi untuk meningkatkan jumlah kasus mosquito-

Page 74: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

55

borne disease. Oleh karena itu peneliti ingin mengajukan kerangka konsep

penelitian sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen

(Iklim)

Variabel Dependen

(Mosquito-borne Disease)

Curah Hujan

Suhu Udara

Hari Hujan Mosquito-borne Disease

Jumlah Insidens DBD,

Chikungunya, dan Malaria

Kelembaban Udara

Page 75: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

56

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Variabel Dependen

1 Mosquito-borne

disease

Jumlah insidens bulanan penyakit

DBD, chikungunya, dan malaria.

Observasi

data sekunder

Lembar pencatatan

penyakit menular yang

dikumpulkan oleh Dinas

Kesehatan DKI Jakarta

Jumlah kasus Rasio

Variabel Independen

2 Curah hujan Jumlah air hujan yang jatuh ke

permukaan bumi setiap bulan.

Observasi

data sekunder

Penakar hujan jenis

Hellman di Stasiun

Meteorologi Kemayoran

mm

(milimeter)

Rasio

Page 76: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

57

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

3 Hari hujan Jumlah hari hujan yang terjadi

selama satu bulan.

Observasi

data sekunder

Lembar pencatatan hari

hujan di Stasiun

Meteorologi Kemayoran

Hari Rasio

4 Suhu udara Rata-rata temperatur bulanan pada

suatu area.

Observasi

data sekunder

Thermometer di Stasiun

Meteorologi Kemayoran

0C (derajat

Celcius

Interval

5 Kelembaban

udara

Rata-rata kelembaban relatif

bulanan pada suatu area.

Observasi

data sekunder

Higrometer, di Stasiun

Meteorologi Kemayoran

Persentase

(%)

Rasio

Page 77: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

58

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

2. Ada hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne disease di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009-2016.

3. Ada hubungan antara suhu udara dengan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

4. Ada hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

Page 78: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

59

4 BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan

menggunakan desain time-trend ecologic study. Studi ekologi ini dilakukan

berdasarkan waktu dengan memperhitungkan perbandingan jumlah kejadian suatu

penyakit sepanjang waktu yang telah ditentukan dalam satu populasi yang dibatasi

secara geografis (Rothman, 1995). Penelitian ini merupakan penelitian yang

bersifat observasional dengan melihat variasi data iklim, meliputi curah hujan, hari

hujan, suhu udara, dan kelembaban udara sebagai variabel independennya serta

mosquito-borne disease sebagai variabel dependennya.

Desain studi ekologi sesuai dengan penelitian ini karena dapat mengetahui

hubungan antara variabel independen suatu penyakit dengan kejadian penyakit

tersebut dalam suatu populasi pada periode waktu tertentu. Rancangan penelitian

ini tepat sekali digunakan pada penyelidikan antara hubungan paparan faktor

penyakit, sebab mudah dilakukan dengan memanfaatkan informasi yang tersedia

atau data sekunder, sedangkan kelemahannya yaitu studi ini bukan merupakan

rancangan yang kuat untuk menganalisis hubungan sebab akibat (Murti, 1997).

Dengan penelitian ini diharapkan dapat melihat kemungkinan adanya hubungan

variasi iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) dengan

mosquito-borne disease pada populasi dan waktu tertentu.

Page 79: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

60

Di sini peneliti langsung melihat outcome (mosquito-borne disease) dari

dampak perubahan iklim yang mengarah kepada jumlah populasi nyamuk. Pada

penelitian ini, golongan mosquito-borne disease yang akan diteliti meliputi DBD,

Chikungunya, dan Malaria. Penelitian ini menggunakan data 8 tahun terakhir

(2009-2016) karena terbatasnya ketersediaan data jumlah kasus mosquito-borne

disease Unit Surveilans Epidemiologi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

Sedangkan untuk data iklim, peneliti memilih Stasiun Meteorologi Kemayoran

sebagai sumber data karena dinilai lebih relevan daripada Stasiun Meteorologi

Soekarno-Hatta dan Stasiun Maritim Tanjung Priok.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta pada bulan Juni sampai Agustus 2017 dengan melakukan observasi data

iklim dan mosquito-borne disease selama 8 tahun (tahun 2009 sampai 2016).

4.3 Populasi

Populasi yang masuk dalam penelitian ini adalah data insidens mosquito-

borne disease tahun 2009 sampai 2016 (meliputi data insidens DBD, insidens

chikungunya, dan insidens malaria) yang telah didokumentasikan oleh Unit

Surveilans Epidemiologi Dinas Provinsi DKI Jakarta dan data terkait iklim tahun

2009 sampai 2016 (meliputi data curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan

kelembaban udara) yang telah didokumentasikan oleh BMKG Stasiun Meteorologi

Kemayoran.

Page 80: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

61

4.4 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembar check list pengumpulan

data insidens mosquito-borne disease tahun 2009 sampai 2016 dan data iklim tahun

2009 sampai 2016.

4.5 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder insidens

mosquito-borne disease dan data iklim yang dikumpulkan Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009 Sampai 2016. Pengumpulan data dilakukan mulai tahun 2009 karena

terbatasnya ketersediaan data insidens mosquito-borne disease, sehingga data iklim

juga dikumpulkan mulai tahun 2009.

a. Data insidens mosquito-borne disease Provinsi DKI Jakarta tahun 2009

Sampai 2016

Data insidens mosquito-borne disease yang dikumpulkan pada

penelitian ini meliputi data insidens DBD, insidens chikungunya, dan

insidens malaria Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 Sampai 2016 berupa data

bulanan. Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data yang berasal

dari Surveilans Terpadu Penyakit (STP) seluruh Rumah Sakit di Provinsi

DKI Jakarta. Data ini diperoleh dari Unit Surveilans Epidemiologi Dinas

Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

b. Data iklim

Data iklim yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data curah

hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara Provinsi DKI Jakarta

Page 81: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

62

tahun 2009 sampai 2016 berupa data harian. Data ini diperoleh secara online

melalui alamat http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim.

Terdapat tiga stasiun meteorologi yang memantau Provinsi DKI

Jakarta, yaitu Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta, Stasiun Maritim

Tanjung Priok, dan Stasiun Meteorologi Kemayoran. Stasiun yang dipilih

oleh peneliti sebagai sumber pengumpulan data yaitu Stasiun Meteorologi

Kemayoran, dimana stasiun ini memiliki tugas untuk melakukan

pemantauan di lokasi administrasinya (Provinsi DKI Jakarta) (WMO,

2016d). Di sisi lain Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta memiliki tugas

pemantauan yang digunakan untuk membantu kelancaran lalu lintas udara

(WMO, 2016c). Sedangkan Stasiun Maritim Tanjung Priok memiliki tugas

pemantauan yang digunakan untuk membantu kelancaran lalu lintas laut

(WMO, 2016a).

4.6 Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan beberapa tahapan

berikut:

a. Editing

Memeriksa kelengkapan data, kejelasan data dan kekonsistenan

semua data insidens mosquito-borne disease dan data iklim.

b. Transformasi data

Transformasi data insidens DBD, insidens chikungunya, dan

insidens malaria menjadi data insidens mosquito-borne disease

Page 82: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

63

dengan cara menjumlahkan data bulanan insidens DBD,

chikungunya, dan malaria.

Modifikasi data iklim dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Data curah hujan bulanan didapatkan dari penjumlahan data

curah hujan harian pada setiap bulannya.

2. Data hari hujan bulanan didapatkan dari penghitungan jumlah

hari yang mengamlami hujan pada tiap bulannya.

3. Data suhu udara bulanan didapatkan dari menghitung rerata

suhu udara harian selama satu bulan.

4. Data kelembaban udara bulanan didapatkan dari menghitung

rerata kelembaban udara harian selama satu bulan.

c. Entri data

Memasukkan data ke dalam software analisis data untuk selanjutkan

dapat dilakukan pengolahan dan analisis data.

d. Cleaning data

Melakukan pembersihan data memeriksa kembali data apakah ada

kesalahan atau tidak.

Melakukan penyimpanan data dan hasil analisis data.

4.7 Analisis Data

4.7.1 Analisis Univariat

Penelitian ini menggunakan analisis univariate. Analisis univariat dilakukan

untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel dependen dan

variabel independen, yaitu mosquito-borne disease dan distribusi frekuensi

parameter iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) di

Page 83: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

64

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 sampai tahun 2016. Selain itu analisis univariat

pada studi ekologi ini menggunakan pengukuran agregat dengan melakukan

observasi data kelompok penyakit mosquito-borne disease dan data parameter iklim

di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu time-trend ecologic study,

dimana studi ekologi ini membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit)

secara agregat pada komunitas atau wilayah yang sama dalam kurun waktu yang

berbeda. Variabel paparan pada penelitian ini yaitu parameter iklim yang meliputi

curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara. Sedangkan variabel

dampak pada penelitian ini adalah mosquito-borne disease. Kedua variabel ini

berasal dari wilayah yang sama yaitu Provinsi DKI Jakarta. Rentang waktu yang

menjadi objek penelitian ini yaitu tahun 2009 sampai 2016 (selama 8 tahun).

Penelitian ini akan melakukan pembagian waktu analisis, dimana analisis

akan dilakukan pada setiap tahunnya (terdapat delapan pembagian waktu analisis).

Pembagian ini memiliki tujuan untuk melihat perbedaan pola iklim dan penyakit

setiap tahunnya, dimana perbedaan pola ini akan menunjukkan dampak dari

perubahan iklim.

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara parameter iklim

(curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban udara) dengan mosquito-

borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 sampai tahun 2016. Untuk

menganalisis derajat keeratan hubungan antara parameter iklim dengan mosquito-

borne disease di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan bulan selama 8 tahun (2009-

Page 84: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

65

2016) digunakan uji kolerasi. Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini

adalah uji korelasi spearman.

Uji korelasi bertujuan untuk menentukan koefisien korelasi (r), dimana

koefisien korelasi dapat diperoleh dari formula berikut (Darmawan, 2013):

𝑟 = 𝑁∑𝑋𝑌 − ∑𝑋∑𝑌

√[𝑁∑𝑋2 − (∑𝑋)2]. [𝑁∑𝑌 − (∑𝑌)2]

Nilai korelasi (r) berkisar 0 sampai 1, serta disertai dengan arahnya dengan

simbol positif (+) dan negatif (-). Terdapat nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam

melakukan analisis bivariat untuk melihat kekuatan hubungan dan kebermaknaan

sebuah hubungan yang terjadi. Berikut Tabel 4.1 mejelaskan mengenai kekuatan

hubungan dan kebermaknaan sebuah hubungan yang terjadi antara dua variabel:

Tabel 4.1 Lanjutan

Parameter Nilai Interpretasi

Kekuatan

Hubungan/

Korelasi (r)

0,00-0,25 Hubungan sangat lemah/tidak ada hubungan.

0,26-0,50 Hubungan sedang.

0,51-0,75 Hubungan kuat.

0,76-1,00 Hubungan sangat kuat/ sempurna.

Nilai P<0,05 Terdapat korelasi yang bermakna antara dua

variabel yang diuji.

P>0,05 Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara

dua variabel yang diuji.

Tabel 4.1 Interpretasi Parameter Hasil Analisis Data Berdasarkan Nilai

Page 85: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

66

Tabel 4.1 Lanjutan

Parameter Nilai Interpretasi

Arah korelasi Positif (+) Searah, semakin besar nilai sautu variabel,

semakin besar pula nilai variabel lainnya.

Negatif (-) Berlawanan arah, semakin besar nilai suatu

variabel semakin kecil nilai variabel lainnya.

Sumber: Hastono 2006

Koefisien korelasi yang telah dihasilkan merupakan langkah pertama untuk

menjelaskan derajat hubungan linier antara dua variabel. Selanjutnya perlu

dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah hubungan antara dua variabel tadi

secara signifikan atau hanya karena faktor kebetulan. Uji hipotesis dilakukan

dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel (Darmawan, 2013).

4.8 Penyajian Data

Penyajian data pada penelitian ini ditampilkan ke dalam bentuk grafik dan

tabel. Penyajian dalam bentuk grafik digunakan untuk menyajikan distribusi jumlah

kasus mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta. Selain itu grafik ini juga

akan menyajikan data analisis time-trend ecologic study antara mosquito-borne

disease dan parameter iklim (curah hujan, hari hujan, suhu udara, dan kelembaban

udara). Sedangkan penyajian data berupa tabel akan digunakan untuk menyajikan

matriks gambaran parameter iklim. Bentuk penyajian data berupa grafik akan

disajikan berdasarkan tahun, sesuai dengan pembagian analisis time-trend ecologic

study. Kemudian penyajian berupa tabel akan menampilkan hasil analisis.

Page 86: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

67

5 BAB V

HASIL

5.1 Karakteristik Wilayah Penelitian

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan daerah yang memiliki

ciri tersendiri dibandingkan dengan daerah lain. Provinsi DKI Jakarta menjadi

ibukota negara, pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, pusat keuangan dan

jasa, serta sebagai tempat kedudukan hampir keseluruhan perangkat pemerintahan

tingkat nasional, perwakilan negara-negara asing, pusat-pusat perusahaan multi

nasional dan gerbang utama wisatawan manca Negara (Pemerintah DKI Jakarta,

2013).

5.1.1 Karakteristik Geografi

Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi geografis antara 106.22'42" dan

106.58'18" Bujur Timur, serta antara 5.19'12" dan 6.23'54" Lintang Selatan dengan

keseluruhan luas wilayah 7.659,02 km2, meliputi 662,33 km2 daratan, termasuk 110

pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 6.977,5 km2 lautan

(Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam lima Kota

Administrasi dan satu Kabupaten Administrasi. Kota Administrasi Jakarta Pusat

memiliki luas 48,13 km2; Kota Administrasi Jakarta Utara dengan luas 146,66 km2;

Kota Administrasi Jakarta Barat dengan luas 129,54 km2; Kota Administrasi Jakarta

Selatan dengan luas 141,27 km2; dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas

188,03 km2, serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km2

(Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta

Page 87: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

68

merupakan salah satu provinsi yang memiliki wilayah dengan pulau yang cukup

banyak dengan Kota Administrasi Jakarta Timur sebagai kota paling luas.

Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki batas-batas

yang meliputi, di sebelah utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur

sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah

kanal, yang berbatasan dengan Laut Jawa, sementara di sebelah selatan dan timur

berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Provinsi

Banten (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). DKI Jakarta merupakan wilayah dengan

jumlah waduk/situ yang relatif banyak dengan total luas sebesar 221,8 Ha

(Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Sungai atau kanal yang melewati wilayah DKI

Jakarta sebanyak 17 sungai (Pemerintah DKI Jakarta, 2016).

Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata

±7 meter diatas permukaan laut (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Namun, sekitar

40 persen wilayah Jakarta berupa dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5

meter di bawah muka laut pasang (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Selain itu

Provinsi DKI Jakarta juga memiliki wilayah pesisir yang cukup luas, yaitu sekitar

155,01 km2 (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Wilayah ini membentang dari timur

sampai barat sepanjang kurang lebih 35 km, dan menjorok ke darat antara 4 sampai

dengan 10 km (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Wilayah pesisir Jakarta merupakan

pantai beriklim panas dengan rata-rata suhu 28,50C dan rata-rata kelembaban 72

persen (Pemerintah DKI Jakarta, 2012).

Di samping wilayah pesisir, Provinsi DKI Jakarta juga memiliki pulau-

pulau kecil yang terletak di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pulau-

Page 88: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

69

pulau di wilayah ini memiliki luas beragam, sebanyak 45 persen berukuran kurang

dari 5 hektar, sebanyak 25 persen memiliki luas antara 5-10 hektar, dan hanya 30

persen yang luasnya lebih dari 10 hektar (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Pulau-

pulau memanjang dari utara ke selatan dengan ciri-ciri berpasir putih dan bergosong

karang (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Iklim tropika panas dan kelembaban

berkisar antara 75-99 persen. Dari pulau-pulau kecil tersebut, pulau yang dihuni

oleh penduduk hanya berjumlah 11 pulau (Pemerintah DKI Jakarta, 2012).

Berdasarkan letaknya, Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam kota delta

(delta city) yaitu kota yang berada pada muara sungai (Pemerintah DKI Jakarta,

2012). Kota delta umumnya berada di bawah permukaan laut, dan cukup rentan

terhadap perubahan iklim (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Kota delta Jakarta dialiri

oleh 13 aliran sungai dan dipengaruhi oleh air pasang surut. Tiga belas sungai dan

dua kanal yang melewati Jakarta sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan

bermuara di Teluk Jakarta (Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Tiga belas sungai

tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali

Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Baru

Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung (Pemerintah DKI Jakarta,

2012). Sedangkan 2 (dua) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal

Banjir Timur (Pemerintah DKI Jakarta, 2012).

5.1.2 Karakteristik Demografi

Jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan.

Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8,961.680 jiwa, sedangkan pada

tahun 2010 jumlah penduduk bertambah menjadi 9.607.787 jiwa (Pemerintah DKI

Page 89: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

70

Jakarta, 2012). Kemudian jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2015 berdasarkan

proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010 sebesar 10.177.924 jiwa dengan

laju pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 1,02 persen (Pemerintah DKI

Jakarta, 2016). Sedangkan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2015 adalah

15.366,87 jiwa setiap 1 km2. Kota Jakarta Barat memiliki kepadatan penduduk

tertinggi di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 19.017,92 jiwa/km2.

Pada tahun 2010, 2014, dan 2015 keenam kota/kabupaten administrasi,

memiliki jumlah penduduk yang beragam dan selalu mengalami peningkatan

jumlah penduduk. Kabupaten Kepulauan Seribu memiliki jumlah penduduk

sebanyak 21.414 penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan

menjadi 23.011 penduduk pada tahun 2014 dan 23.340 penduduk pada tahun 2015

(Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Kota Administrasi Jakarta Selatan memiliki

jumlah penduduk sebanyak 2.071.628 penduduk pada tahun 2010, kemudian

mengalami peningkatan menjadi 2.164.070 penduduk pada tahun 2014 dan

2.185.711 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Kota

Administrasi Jakarta Timur memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.705.818

penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan menjadi 2.817.994

penduduk pada tahun 2014 dan 2.843.816 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah

DKI Jakarta, 2016). Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki jumlah penduduk

sebanyak 895.371 penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan

menjadi 910.381 penduduk pada tahun 2014 dan 914.182 penduduk pada tahun

2015 (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Kota Administrasi Jakarta Barat memiliki

jumlah penduduk sebanyak 2.292.997 penduduk pada tahun 2010, kemudian

mengalami peningkatan menjadi 2.430.410 penduduk pada tahun 2014 dan

Page 90: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

71

2.463.560 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Dan Kota

Administrasi Jakarta Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.653.178

penduduk pada tahun 2010, kemudian mengalami peningkatan menjadi 1.729.444

penduduk pada tahun 2014 dan 1.747.315 penduduk pada tahun 2015 (Pemerintah

DKI Jakarta, 2016).

5.1.3 Karakteristik Fasilitas Kesehatan

Terdapat beberapa fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Provinsi DKI

Jakarta pada tahun 2015, meliputi Rumah Sakit, Rumah Sakit Bersalin, Puskesmas

Kecamatan, Puskesmas Kelurahan, Balai Pengobatan Umum, Balai Pengobatan

Gigi, Klinik Spesialis, Laboraturium, Apotik, dan Posyandu. Pada tahun 2015

Provinsi DKI Jakarta telah memiliki 159 Rumah Sakit dan 36 Rumah Sakit

Bersalin. Provinsi DKI Jakarta juga telah memiliki 44 Puskesmas Kecamatan dan

301 Puskesmas Kelurahan pada tahun itu. Selain itu Provinsi DKI Jakarta telah

memiliki 779 Balai Pengobatan Umum dan 125 Balai Pengobatan Gigi. Dan

Provinsi DKI Jakarta telah memiliki 168 Klinik Spesialis, 175 Laboraturium, 2.287

Apotik, dan 4.390 Posyandu.

Page 91: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

72

5.2 Analisis Univariat

Adapun analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

gambaran pola masing-masing variabel dependen dan variabel independen. Dalam

penelitian ini analisis univariat dilakukan analisis pada setiap tahunnya. Analisis

ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola setiap tahunnya pada semua

variabel. Perdebaan pola ini akan menunjukkan kondisi perubahan parameter iklim

maupun perubahan pola mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016.

5.1.1 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016

Mosquito-borne disease adalah segala penyakit yang diakibatkan oleh

mikroorganisme dan disebarkan oleh nyamuk (WMO, 2016b). Terdapat enam

penyakit yang termasuk ke dalam mosquito-borne disease, yaitu Chikungunya,

Zika Virus, Demam Berdarah Dengue (DBD), West Nile Virus, Malaria, dan Yellow

Fever (WHO, 2015). Dari golongan penyakit ini, terdapat tiga penyakit yang ada di

Indonesia, yaitu DBD, chikungunya, dan malaria (berdasarkan penggolongan yang

dilakukan WHO).

Di Indonesia sendiri terdapat empat penyakit yang tergolong dalam mosquito-

borne disease, yaitu DBD, chikungunya, malaria, dan filariasis (Prastowo and

Anggraini, 2011). Namun pada penelitian ini, golongan mosquito-borne disease

yang akan diteliti hanya DBD, chikungunya, dan malaria. Penyakit filariasis tidak

menjadi bagian dari subjek penelitian ini karena data penyakit ini merupakan data

prevalensi (kasus lama), sehingga tidak mendukung untuk dilakukannya analisis

Page 92: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

73

time-trend ecologic study. Sedangkan data DBD, chikungunya, dan malaria sangat

mendukung untuk dilakukan analisis time-trend ecologic study, karena data ketiga

penyakit ini berupa data insidens (kasus baru pada periode waktu tertentu).

Pola kejadian mosquito-borne disease dapat diketahui melalui grafik insidens

bulanan mosquito-borne disease dalam periode satu tahun. Berikut grafik yang

menggambarkan pola kejadian mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta

pada tahun 2009-2016.

Page 93: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

74

Grafik 5.1 Gambaran Pola Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun

2009-2016

0

1000

2000

3000

4000

5000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2009

0

1000

2000

3000

4000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2010

0

500

1000

1500

2000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2011

0

500

1000

1500

2000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2012

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2013

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2014

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2015

0

2000

4000

6000

8000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2016

Keterangan:

Mosquito-borne Disease (Kasus) Rata-rata (Kasus)

Page 94: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

75

Tabel 5.1 Gambaran Insidens Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2016

Berdasarkan grafik 5.1 dan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa pola kejadian

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 memiliki jumlah kasus

yang tinggi (berada di atas rata-rata / 2357 kasus) di awal tahun (bulan Januari /

Bulan Mosquito-borne Disease (Kasus)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Januari 3129 2124 1758 1220 1342 1831 888 2017

Februari 3075 2608 1229 1547 1412 2093 1168 4070

Maret 4167 3697 1221 1795 1667 2817 1624 5863

April 4293 3587 882 1623 2201 2826 2155 7278

Mei 3697 2362 797 1574 2165 2238 1849 4329

Juni 2989 1797 896 1297 1923 1195 1289 3099

Juli 2711 2105 936 987 2188 1407 760 2281

Agustus 1390 2386 811 604 2179 1588 435 2471

September 684 2075 574 370 1460 989 446 2061

Oktober 569 1769 540 325 966 646 444 2110

November 547 2324 498 336 873 419 392 2275

Desember 1032 1948 727 648 1041 448 546 1869

Jumlah 28283 28782 10869 12326 19417 18497 11996 39723

Rata-rata 2356,9 2398,5 905,8 1027,2 1618,1 1541,4 999,7 3310,3

Tertinggi 4293 3697 1758 1795 2201 2826 2155 7278

Terendah 547 1769 498 325 873 419 392 1869

Page 95: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

76

3129 kasus) sampai bulan Juli (2711 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami

penurunan yang signifikan saat memasuki bulan Agustus (1390 kasus) dan akan

mencapai jumlah kasus terendah pada bulan November (547 kasus). Kemudian

mengalami peningkatan kembali saat memasuki akhir tahun (bulan Desember /

1032 kasus).

Tahun 2010 insidens mosquito-borne disease memiliki jumlah yang tinggi (di

atas rata-rata / 2399 kasus) di awal tahun (bulan Februari / 2608 kasus) sampai bulan

April (3587 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat memasuki

bulan Mei (2362 kasus) dan mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan

Juli (2105 kasus). Setelah itu, insidens mosquito-borne disease mengalami

mengalami pola insidens bersifat fluktuatif sampai akhir tahun.

Insidens mosquito-borne disease sudah terlampau tinggi (berada di atas

rata-rata / 906 kasus) pada awal tahun 2011. Pola tersebut kemudian mengalami

penurunan dan menjadi cenderung stabil pada bulan April (882 kasus) sampai

Agustus (811 kasus). Setelah itu, insidens mosquito-borne disease mengalami

penurunan kembali saat memasuki bulan September (574 kasus) sampai November

(498 kasus), kemudian mengalami peningkatan pada bulan Desember (727 kasus).

Pada tahun 2012 insidens mosquito-borne disease cenderung tinggi (berada

di atas rata-rata / 1028 kasus) di awal tahun (pada bulan Januari / 1220 kasus sampai

bulan Juni / 1297 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat

memasuki bulan Juli (987 kasus) dan akan mencapai titik terendah pada bulan

Oktober (325 kasus). Setelah mengalami penurunan tren, insidens mosquito-borne

Page 96: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

77

disease mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan November (336

kasus) sampai Desember (648 kasus).

Kemudian tahun 2013 insidens mosquito-borne disease mengalami

peningkatan pada bulan januari (1342 kasus) sampai bulan Maret (1667 kasus) dari

tahun sebelumnya. Kemudian jumlah kasus bersifat cenderung tinggi sampai bulan

Agustus (2179 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat

memasuki bulan September (1460 kasus) dan akan mencapai titik terendah pada

bulan November (873 kasus). Selanjutnya insidens mosquito-borne disease

mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan Desember (1041 kasus).

Tahun 2014 insidens mosquito-borne disease mengalami peningkatan dari

tahun sebelumnya pada bulan Januari (1831 kasus) dan cenderung tinggi (berada di

atas rata-rata / 1542 kasus) sampai bulan Mei (2238 kasus). Pola tersebut kemudian

mengalami penurunan saat memasuki bulan Juni (1195 kasus). Kemudian insidens

mosquito-borne disease mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan Juli

(1588 kasus) dan Agustus (989 kasus). Selanjutnya mengalami penurunan sampai

bulan November (419 kasus) dan mengalami peningkatan kembali pada bulan

Desember (448 kasus).

Pada tahun 2015 insidens mosquito-borne disease mengalami peningkatan

dari tahun sebelumnya pada bulan Januari (888 kasus) dan cenderung tinggi sampai

bulan Juni (1289 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat

memasuki bulan Juli (760 kasus) dan cenderung stabil sampai bulan Desember (546

kasus), namun pada bulan ini terjadi peningkatan dari bulan-bulan sebelumnya.

Page 97: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

78

Dan pada tahun 2016 insidens mosquito-borne disease bersifat cenderung

tinggi (berada di atas rata-rata / 3311 kasus) pada bulan Februari (4070 kasus)

sampai bulan Juni (2281 kasus). Pola tersebut kemudian mengalami penurunan saat

memasuki Juli (2281 kasus) dan cenderung stabil sampai bulan November (2275

kasus). Kemudian pada bulan Desember mengalami penurunan kembali menjadi

1869 kasus.

Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa pola insidens tahun

2009, dan 2011 sampai 2015 cenderung tinggi di awal tahun, bersifat rendah di

pertengahan tahun (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.1) dan

mengalami peningkatan kembali di akhir tahun. Namum berdasarkan grafik 5.1

menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dan 2016 terjadi penurunan jumlah kasus di

akhir tahun (bulan Desember), meskipun kedua tahun ini memiliki pola yang sama

(di awal dan pertengahan tahun / ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik

5.1) dengan tahun lain. Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2016 memiliki

perbedaan pola kejadian mosquito-borne disease dengan tahun-tahun sebelumnya.

Selain itu dari grafik 5.1 dapat dilihat bahwa tahun 2016 memiliki jumlah kasus

mosquito-borne disease yang paling tinggi dibandingkan tahun-tahun lain.

Page 98: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

79

5.1.2 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Curah hujan merupakan salah satu komponen dasar untuk melihat kondisi

cuaca pada satuan waktu tertentu. Pengertian curah hujan adalah ketebalan air hujan

(dalam satuan milimeter) yang terkumpul pada luasan 1 m2 pada saat dilakukan

pengukuran (BMKG, 2015c). Hasil pengukuran curah hujan harian akan

diakumulasikan ke dalam bulanan ataupun tahunan.

Pola curah hujan dapat diketahui melalui grafik yang menggambarkan angka

curah hujan bulanan dalam satu tahun. Dari grafik ini akan diketahui waktu dimana

curah hujan berada pada titik paling tinggi maupun rendah. Selain itu dapat

diketahui pula periode dimana curah hujan cenderung tinggi maupun rendah dalam

beberapa bulan. Perbedaan tinggi-rendahnya curah hujan ini akan menggambarkan

musim pada suatu wilayah. Berikut grafik yang menggambarkan kondisi curah

hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 99: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

80

Grafik 5.2 Gambaran Pola Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

0

100

200

300

400

500

600

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2009

0

100

200

300

400

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2010

0

50

100

150

200

250

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2011

0

100

200

300

400

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2012

0

200

400

600

800

1000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2013

0

200

400

600

800

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2014

0

200

400

600

800

1000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2015

0

100

200

300

400

500

600

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2016

Keterangan:

Curah Hujan (mm) Rata-rata (mm)

Page 100: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

81

Berdasarkan grafik 5.2 dapat diketahui bahwa pola curah hujan tahun 2009-

2016 memiliki pola yang cenderung sama. Dalam delapan tahun terakhir pola curah

hujan cenderung tinggi di awal tahun, namun terjadi perbedaan pola saat memasuki

pertengahan tahun. Pada tahun 2009 sampai 2015 pola curah hujan bersifat rendah

(terjadi penurunan angka curah hujan secara signifikan) saat memasuki pertengahan

tahun (antara bulan April sampai September / ditandai dengan kotak bewarna hijau

pada grafik 5.2). Kemudian pada akhir tahun 2009-2015 terjadi peningkatan angka

curah hujan secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 7 tahun yang

memiliki pola curah hujan yang sama.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2016 memiliki pola curah

hujan cenderung tinggi saat memasuki pertengahan tahun (di atas rata-rata

tahunan/ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik 5.2). Selain itu tahun

ini memiliki pola curah hujan bersifat stabil sepanjang tahun kecuali pada bulan

februari. Kestabilan pola terjadi saat memasuki bulan Maret, dimana tidak terdapat

peningkatan atau penurunan angka curah hujan secara signifikan sampai akhir

tahun. Dapat disimpulkan bahwa tahun 2016 memiliki pola curah hujan tahunan

yang berbeda dengan tahun 2009 sampai 2015.

Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.2, maka perlu diketahui

gambaran angka curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 melalui

transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi angka curah

hujan di Provinsi DKI Jakarta. Berikut Tabel 5.2 yang menggambarkan kondisi

curah hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 101: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

82

Tabel 5.2 Gambaran Angka Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016

Dalam delapan tahun terakhir terdapat variasi angka curah hujan setiap

tahunnya. Terdapat 3 tahun dengan curah hujan di bawah 2000 mm, yaitu tahun

2009 (1973 mm), 2011 (1274,1 mm), dan 2012 (1488,2 mm). Sedangkan tahun

Bulan Curah Hujan (mm)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Januari 547,9 377 145,6 259,2 621,9 925,6 472,6 163,8

Februari 231,9 223,3 230,7 110,5 146,6 743,6 939,5 516,5

Maret 141,4 242,5 147,7 177,5 184,4 179,8 207,1 350,1

April 92,7 26,7 106,8 195,7 204,3 165,5 82,9 204

Mei 223,4 87,7 198,9 78,9 101 52 16,6 156,3

Juni 74,4 133,8 70,5 66,9 256,7 166,8 10,1 202,1

Juli 10,4 249,6 18,1 21 256,7 214,1 0 259,3

Agustus 6,5 150,6 1,5 0 61,4 38,1 5,2 227,2

September 88,3 256,1 52,6 19,5 49,5 0,1 0 237,4

Oktober 63,3 380,9 80,1 20,2 110,1 50,8 0 136,8

November 303,7 142,8 44,6 314,7 196,6 65,1 79,5 199,9

Desember 189,1 124 177 224,1 338,9 235,6 273,2 58,1

Jumlah 1973,0 2395,0 1274,1 1488,2 2528,1 2837,1 2086,7 2711,5

Rata-rata 164,4 199,6 106,2 124,0 210,7 236,4 173,9 226,0

Tertinggi 547,9 380,9 230,7 314,7 621,9 925,6 939,5 516,5

Terendah 6,5 26,7 1,5 0 49,5 0,1 0 58,1

Page 102: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

83

dengan curah hujan di atas 2000 mm, yaitu tahun 2010 (2398,5 mm), 2013 (2528,1

mm), 2014 (2837,1 mm), 2015 (2086,7 mm), dan 2016 (2711,5 mm).

Setiap tahun memiliki bulan dengan curah hujan yang tinggi maupun rendah.

Bulan dengan curah hujan tertinggi meliputi tahun 2009 (Januari / 547,9 mm), 2010

(Oktober / 380,9 mm), 2011 (Februari / 230,7 mm), 2012 (November / 314,7 mm),

2013 (Januari / 621,9 mm), 2014 (Januari / 925,6 mm), 2015 (Februari / 939,5 mm),

dan 2016 (Februari / 516,5 mm). Sedangkan bulan dengan curah hujan terendah

meliputi tahun 2009 (Agustus / 6,5 mm), 2010 (April / 26,7 mm), 2011 (Agustus /

1,5 mm), 2012 (Agustus / 0 mm), 2013 (September / 49,5 mm), 2014 (September /

0,1 mm), 2015 (Juli, September, dan Oktober / 0), dan 2016 (Desember / 58,1).

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan curah hujan

tertinggi memiliki angka curah hujan di atas 200 mm. Tahun dengan bulan curah

hujan terendah memiliki angka curah hujan yang bervariasi, dimana terdapat bulan

dengan curah hujan di bawah 10 mm (meliputi bulan Agustus 2009; Agustus 2011;

Agustus 2012; September 2014; dan Juli, September, serta Oktober 2015). Terdapat

pula tahun dengan bulan curah hujan terendah memiliki angka curah hujan di bawah

50 mm (meliputi bulan April 2010 dan September 2013). Sedangkan tahun 2016

memiliki bulan dengan curah hujan terendah di atas 50 mm, yaitu sebesar 58,1 mm

pada bulan Desember. Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2016 menjadi tahun yang

memiliki karakteristik pola curah hujan paling berbeda dibandingkan dengan tahun-

tahun sebelumnya.

Page 103: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

84

5.1.3 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Hari hujan secara umum diartikan sebagai hari terjadinya hujan dalam

batasan tertentu. Hujan sendiri adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah

terlalu berat karena kandungan airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh

kembali ke permukaan bumi sebagai hujan (presipitasi) (BMKG, 2015c). Hari

hujan biasa diartikan ke dalam jumlah hujan pada periode tertentu.

Pola hari hujan dapat diketahui melalui grafik 5.3 yang menggambarkan

jumlah hari hujan bulanan dalam satu tahun. Dari grafik 5.3 akan diketahui waktu

dimana hari hujan berada pada titik paling tinggi maupun rendah. Selain itu dapat

diketahui pula periode dimana hari hujan cenderung tinggi maupun rendah dalam

beberapa bulan. Perbedaan tinggi-rendahnya hari hujan ini akan menggambarkan

musim pada suatu wilayah. Berikut grafik yang menggambarkan pola hari hujan di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 104: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

85

Grafik 5.3 Gambaran Pola Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Keterangan:

Hari Hujan (hari) Rata-rata (hari)

0

5

10

15

20

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2009

0

5

10

15

20

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2010

0

5

10

15

20

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2011

0

5

10

15

20

25

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2012

0

5

10

15

20

25

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2013

0

5

10

15

20

25

30

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2014

0

5

10

15

20

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2015

0

5

10

15

20

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2016

Page 105: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

86

Berdasarkan grafik 5.3 dapat diketahui bahwa pola hari hujan tahun 2009-

2016 memiliki pola yang bersifat variatif. Dalam delapan tahun terakhir

menunjukkan bahwa jumlah hari hujan banyak di awal tahun. Pada tahun 2009,

2011 sampai 2015 jumlah hari hujan bersifat rendah (terjadi penurunan jumlah hari

hujan secara signifikan / ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.3).

Kemudian pada akhir tahun 2009, 2011 sampai 2015 terjadi peningkatan jumlah

hari hujan secara signifikan.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2010 dan 2016 memiliki

jumlah hari hujan cenderung banyak saat berada di pertengahan tahun. Selain itu

kedua tahun ini memiliki pola hari hujan yang bersifat stabil sepanjang tahun,

dimana fluktuasi ini menunjukkan tidak terjadinya peningkatan atau penurunan

jumlah hari hujan secara signifikan (ditandai dengan kotak berwarna merah pada

grafik 5.3). Kestabilan pola ini menunjukkan tidak terjadinya peningkatan mapun

penurunan jumlah hari hujan secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pola

hari hujan tahun 2010 dan 2016 memiliki pola yang paling berbeda dari tahun-tahun

sebelumnya.

Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.3maka perlu diketahui

gambaran mengenai jumlah hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

melalui transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi hari

hujan di Provinsi DKI Jakarta. Berikut Tabel 5.3 yang menggambarkan kondisi

jumlah hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 106: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

87

Tabel 5.3 Gambaran Jumlah Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016

Dalam delapan tahun terakhir, terdapat 2 tahun dengan jumlah hari hujan di

bawah atau sama dengan 100 hari, yaitu tahun 2012 dan 2015. Sedangkan tahun

dengan jumlah hari hujan di atas hari, yaitu tahun 2009, 2010, 2011, 2013, 2014,

Bulan Hari Hujan (Hari)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Januari 19 19 19 20 21 24 19 12

Februari 19 17 18 10 14 21 19 19

Maret 8 12 12 15 12 14 15 17

April 8 3 9 9 14 10 14 8

Mei 12 10 9 5 8 10 1 14

Juni 4 10 6 4 14 10 3 9

Juli 2 14 4 1 14 11 0 9

Agustus 2 10 1 0 6 2 1 14

September 3 13 2 1 5 0 0 11

Oktober 4 13 6 3 5 3 0 18

November 15 12 8 16 10 5 7 14

Desember 12 18 13 16 17 12 14 8

Jumlah 108 151 107 100 140 122 93 153

Rata-rata 9.0 12.6 8.9 8.3 11.7 10.2 7.8 12.8

Tertinggi 19 19 19 20 21 24 19 19

Terendah 2 3 1 0 5 0 0 8

Page 107: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

88

dan 2016. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat variasi jumlah hari hujan setiap

tahunnya.

Dari Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan hari hujan

tertinggi memiliki jumlah hari hujan di atas 15 hari (setara dengan setengah bulan).

Tahun dengan bulan hari hujan terendah memiliki jumlah hari hujan yang

bervariasi, dimana terdapat bulan dengan jumlah hari hujan kurang dari sama

dengan 5 hari (meliputi bulan Juli dan Agustus 2009; April 2010; Agustus 2011;

Agustus 2012; September dan Oktober 2013; September 2014; dan Juli, September,

serta Oktober 2015). Sedangkan tahun 2016 memiliki bulan dengan jumlah hari

hujan terendah di atas 5 hari, yaitu sebanyak 8 hari April dan pada bulan Desember.

Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2016 menjadi tahun yang memiliki karakteristik

pola hari hujan paling berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Page 108: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

89

5.1.4 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Suhu udara termasuk ke dalam komponen iklim, dimana suhu udara

merupakan suatu kondisi dimana panas-dingin udara terjadi pada atmosfer bumi.

Secara teoritis suhu udara memiliki arti ukuran energi kinetik rata-rata dari

pergerakan molekul-molekul (BMKG, 2015c). Suhu menjadi salah satu komponen

iklim yang dinamis, dimana perubahan suhu terjadi setiap waktu. Untuk

mempermudah melakukan analisis, data terkait suhu udara akan dikumpulkan dan

dilakukan perhitungan reratanya dalam satuan waktu tertentu.

Pola suhu udara dapat diketahui melalui grafik yang menggambarkan rata-

rata suhu udara bulanan dalam satu tahun. Dari grafik ini dapat diketahui pula

periode dimana suhu udara cenderung tinggi maupun rendah dalam beberapa bulan.

Perbedaan tinggi-rendahnya suhu udara ini akan menggambarkan musim pada

suatu wilayah. Berikut grafik yang menggambarkan pola suhu udara di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 109: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

90

Grafik 5.4 Gambaran Pola Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

30.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2009

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

30.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2010

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2011

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

30.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2012

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2013

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

31.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2014

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2015

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2016

Keterangan:

Suhu Udara (0C) Rata-rata (0C)

Page 110: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

91

Berdasarkan grafik 5.4 dapat diketahui bahwa pola suhu udara tahun 2009-

2015 memiliki pola yang cenderung sama. Suhu udara cenderung rendah di awal

tahun (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.4. Kemudian pola suhu

udara mengalami peningkatan di pertengahan tahun (bersifat fluktuatif) sampai

mencapai titik puncak pada bulan yang memiliki suhu terpanas. Selanjutnya pola

suhu udara akan mengalami penurunan saat memasuki bulan November sampai

akhir tahun (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.4).

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun 2016 memiliki pola suhu

udara yang cenderung tinggi di awal tahun, kemudian mengalami peningkatan saat

memasuki bulan Maret, dan mengalami penurunan secara tidak signifikan saat

memasuki bulan Mei sampai akhir tahun (berkisar pada suhu 28 0C -28,5 0C /

ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik 5.4). Hal ini menunjukkan

bahwa pola suhu udara tahun 2016 memiliki pola yang berbeda dari tahun-tahun

sebelumnya.

Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.4, maka perlu diketahui

gambaran mengenai kondisi suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

melaui transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi suhu

udara di Provinsi DKI Jakarta. Berikut tabel yang menggambarkan kondisi suhu

udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 111: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

92

Tabel 5.4 Gambaran Kondisi Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016

Dalam delapan tahun terakhir tidak terdapat variasi rata-rata suhu udara setiap

tahunnya. Terdapat 5 tahun dengan suhu udara di bawah 28,5 0C, yaitu tahun 2010,

2011, 2013, 2014 dan 2015. Sedangkan tahun dengan suhu udara di atas 28,5 0C,

yaitu tahun 2009, 2012, dan 2016.

Bulan Suhu Udara (0C)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Januari 27,13 27,39 27,32 27,67 26,93 26,65 26,98 28,58

Februari 27,19 28,08 27,60 28,34 27,91 26,61 26,72 27,72

Maret 28,29 28,59 27,96 28,35 28,82 27,98 27,77 28,50

April 28,89 29,69 28,61 28,68 28,69 28,78 28,46 29,38

Mei 28,54 29,32 28,79 28,96 28,67 29,35 29,21 29,18

Juni 28,87 28,51 28,75 28,76 27,30 28,65 28,80 28,70

Juli 28,73 28,29 28,30 28,37 27,34 28,02 28,54 28,47

Agustus 29,01 28,76 28,80 28,64 28,60 28,74 28,44 28,35

September 29,40 27,89 28,99 28,92 28,99 29,24 28,77 28,47

Oktober 29,37 27,93 29,20 29,50 29,42 29,86 29,43 28,27

November 28,47 28,45 28,91 28,53 28,51 29,38 29,16 28,39

Desember 28,49 27,73 28,48 28,16 27,75 28,16 28,24 28,34

Rata-rata 28,53 28,39 28,48 28,57 28,24 28,45 28,38 28,53

Tertinggi 29,40 29,69 29,20 29,50 29,42 29,86 29,43 29,38

Terendah 27,13 27,39 27,32 27,67 26,93 26,61 26,72 27,72

Page 112: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

93

Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan suhu udara

tertinggi memiliki suhu udara di atas 29,0 0C. Tahun dengan bulan suhu udara

terendah memiliki suhu udara yang bervariasi, dimana terdapat bulan dengan suhu

udara di bawah 27,0 0C (meliputi bulan Januari 2013, Februari 2014, dan Februari

2015). Terdapat pula tahun dengan bulan suhu udara terendah memiliki suhu udara

di bawah 27,5 0C (meliputi bulan Januari 2009, Januari 2010, dan Januari 2011).

Sedangkan tahun 2012 dan 2016 memiliki bulan dengan suhu udara terendah di atas

27,5 0C. Hal ini menunjukkan bahwa dalam delapan tahun terakhir pola suhu udara

di Provinsi DKI Jakarta bersifat variatif.

Page 113: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

94

5.1.5 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-

2016

Kelembaban udara adalah jumlah kandungan uap air yang ada dalam udara

(BMKG, 2015c). Kandungan uap air di udara berubah-ubah bergantung pada suhu,

dimana semakin tinggi suhu, makin banyak kandungan uap airnya. kelembaban

juga menjadi salah satu komponen iklim yang dinamis, dimana perubahan suhu

terjadi setiap waktu. Untuk mempermudah melakukan analisis, data terkait

kelembaban udara akan dikumpulkan dan dilakukan perhitungan reratanya dalam

satuan waktu tertentu.

Pola kelembaban udara dapat diketahui melalui grafik yang menggambarkan

rata-rata kelembaban udara bulanan dalam satu tahun. Dari grafik ini akan diketahui

waktu dimana kelembaban berada pada titik paling tinggi maupun rendah. Selain

itu dapat diketahui pula periode dimana kelembaban udara cenderung tinggi

maupun rendah dalam beberapa bulan. Perbedaan tinggi-rendahnya suhu udara ini

akan menggambarkan musim pada suatu wilayah. Berikut grafik yang

menggambarkan pola kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 114: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

95

Grafik 5.5 Gambaran Pola Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2009

70.00

72.00

74.00

76.00

78.00

80.00

82.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2010

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2011

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2012

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2013

60.00

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2014

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2015

72.00

74.00

76.00

78.00

80.00

82.00

84.00

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2016

Keterangan:

Kelembaban Udara (%) Rata-rata (%)

Page 115: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

96

Berdasarkan grafik 5.5 dapat diketahui bahwa pola kelembaban udara tahun

2009, dan 2011 sampai 2015 memiliki pola yang cenderung sama, dimana

kelembaban udara cenderung tinggi di awal tahun. Kemudian pola kelembaban

udara akan mengalami penurunan di pertengahan tahun saat memasuki bulan Juli

(ditandai dengan kotak berwarna hijau pada grafik 5.5). Selanjutnya pola

kelembaban udara mengalami peningkatan kembali saat memasuki bulan Oktober

sampai akhir tahun.

Tahun 2010 dan 2016 memiliki pola kelembaban udara paling berbeda

daripada tahun lainnya, dimana pola kelembaban udara masih cenderung tinggi di

awal tahun, kemudian mengalami penurunan secara signifikan saat memasuki bulan

April (2010) dan Maret (2016), dan selanjutnya terjadi fluktuasi biasa (tidak terjadi

penurunan atau peningkatan kelembaban udara / ditandai dengan kotak berwarna

merah pada grafik 5.5) sampai akhir tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pola

kelembaban udara tahun 2010 dan 2016 memiliki pola yang paling berbeda dari

tahun sebelumnya.

Setelah mengetahui gambaran pola melalui grafik 5.5, maka perlu diketahui

gambaran mengenai kondisi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-

2016 melaui transkip tabel. Dari tabel ini akan dideskripsikan secara detail kondisi

kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta. Berikut tabel yang menggambarkan

kondisi kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 116: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

97

Tabel 5.5 Gambaran Kondisi Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2009-2016

Dalam delapan tahun terakhir tidak terdapat variasi rata-rata kelembaban

udara setiap tahunnya. Terdapat 5 tahun dengan kelembaban udara di bawah 75 %,

yaitu tahun 2009, 2011, dan 2012. Sedangkan tahun dengan kelembaban udara di

atas 75 %, yaitu tahun 2010, 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016.

Bulan Kelembaban Udara (%)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Januari 80,94 80,39 79,42 79,71 84,39 84,32 82,10 80,48

Februari 80,64 80,61 79,36 77,55 79,71 85,93 84,29 83,21

Maret 75,68 78,45 75,87 75,90 76,26 81,29 79,37 81,42

April 75,70 73,60 75,33 76,80 78,97 76,53 78,40 77,30

Mei 77,32 76,77 76,06 74,52 78,16 75,97 73,74 79,23

Juni 74,53 78,70 72,77 72,90 80,40 77,83 72,83 77,13

Juli 68,23 78,29 74,35 70,42 80,16 77,06 70,45 78,10

Agustus 69,35 75,55 68,61 68,61 72,32 70,48 71,52 76,84

September 68,23 79,07 68,43 69,40 72,83 65,43 68,03 77,77

Oktober 69,48 78,39 71,52 71,45 71,94 67,68 68,24 78,19

November 75,33 76,27 73,57 78,07 75,97 73,10 74,83 78,03

Desember 77,32 75,97 76,42 78,58 79,35 76,48 78,35 76,10

Rata-rata 74,40 77,67 74,31 74,49 77,54 76,01 75,18 78,65

Tertinggi 80,94 80,61 79,42 79,71 84,39 85,93 84,29 83,21

Terendah 68,23 73,60 68,43 68,61 71,94 65,43 68,03 76,10

Page 117: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

98

Dari Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa semua tahun dengan bulan

kelembaban udara tertinggi memiliki kelembaban udara di atas 79%. Tahun dengan

bulan kelembaban udara terendah memiliki kelembaban udara yang bervariasi,

dimana terdapat bulan dengan kelembaban udara di bawah 70 % (meliputi bulan

Juli dan September 2009; September 2011; Agustus 2012; September 2014; dan

September 2015). Terdapat pula tahun dengan bulan kelembaban udara terendah

memiliki kelembaban udara di bawah 75 % (meliputi bulan April 2010, dan

Oktober 2013). Sedangkan tahun 2016 memiliki bulan dengan kelembaban udara

terendah di atas 75 % pada bulan Desember, yaitu sebesar 76,10 %. Hal ini

menunjukkan bahwa tahun 2016 menjadi tahun yang memiliki karakteristik

kelembaban udara paling berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Page 118: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

99

5.3 Analisis Time-trend Ecologic Study berdasarkan Pola Grafik

Analisis time-trend ecologic study berdasarkan pola grafik adalah studi

ekologi yang membandingkan antara paparan dan dampak (penyakit) secara agregat

pada komunitas yang sama dalam kurun waktu yang berbeda (Alexander et al., no

date). Variabel paparan pada analisis studi ini adalah curah hujan, hari hujan, suhu

udara, dan kelembaban udara. Sedangkan variabel dampak pada penilitian ini

adalah mosquito-borne disease.

Dalam melakukan analisis time-trend ecologic study, data variabel paparan

akan ditampilkan dengan varibel dampak ke dalam bentuk grafik. Hal ini bertujuan

untuk mengetahui gambaran kemiripan / kesamaan pola grafik pada kedua variabel.

Jika terjadi kesamaan pola pada kedua variabel menunjukkan bahwa kedua variabel

memliki keterkaitan yang cukup erat, dalam artian bahwa variabel paparan

memberikan pengaruh kepada variabel dampak.

Analisis time-trend ecologic study pada penelitian ini dilakukan pembagian

waktu analisis, dimana penelitian ini dilakukan menggunakan data selama 8 tahun,

namun akan dilakukan analisis setiap tahunnya. Analisis yang dilakukan setiap

tahunnya akan menunjukkan perbedaan pola pada tahun lainnya. Perbedaan pola

ini akan menunjukkan gambaran dampak perubahan parameter iklim terhadap

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016.

Page 119: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

100

5.3.1 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI

Jakarta

Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease

dan curah hujan bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua variabel.

Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan terhadap

variabel dampak pada analisis ini.

Berdasarkan Grafik 5.6 dapat diketahui bahwa pola angka curah hujan dan

insidens mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta

cenderung sama, namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Selain itu pola kedua

variabel ini bersifat sejajar, dimana semakin tinggi curah hujan, semakin tinggi pula

insidens mosquito-borne disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada

Grafik 5.6). Berikut penjelasan mengenai gambaran pola angka curah hujan dan

insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

a. Secara umum time-lag pola tren insidens mosquito-borne disease dan curah

hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 terjadi selama 3 bulan, dimana pada

bulan Januari sampai April terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada

bulan April sampai Juli terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease;

kemudian pada bulan Juni sampai Agustus terjadi penurunan angka curah

hujan, dan pada bulan September sampai bulan November terjadi penurunan

insidens mosquito-borne disease pula; dan pada bulan September mengalami

peningkatan angka curah hujan, begitu pula pada bulan Desember terjadi

peningkatan insidens mosquito-borne disease.

Page 120: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

101

Grafik 5.6 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI

Jakarta tahun 2009-201

0

100

200

300

400

500

600

0

1000

2000

3000

4000

5000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2009

0

100

200

300

400

0

1000

2000

3000

4000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2010

0

50

100

150

200

250

0

500

1000

1500

2000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2011

0

100

200

300

400

0

500

1000

1500

2000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2012

0

200

400

600

800

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2013

0

200

400

600

800

1000

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2014

0

200

400

600

800

1000

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2015

0

100

200

300

400

500

600

0

2000

4000

6000

8000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2016

Keterangan:

Mosquito-borne Disease (kasus) Curah Hujan (mm)

Page 121: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

102

b. Di tahun 2010 terjadi time-lag selama 2 bulan, dimana pada bulan Februari,

April, dan Agustus terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan

April, Mei, dan Oktober terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease;

kemudian pada bulan Mei, Juni, dan September terjadi peningkatan angka

curah hujan, dan pada bulan Juli, Agustus, dan November terjadi

peningkatan insidens mosquito-borne disease pula.

c. Pada tahun 2011 terjadi time-lag selama 2 bulan, dimana pada bulan Februari,

Maret, Mei, Juni, Juli, Agustus, dan Oktober memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan April, Mei, Juli, Agustus,

September, Oktober,dan Desember.

d. Tahun 2012 juga terjadi time-lag selama 2 bulan, dimana pada bulan Februari,

Mei, Juni, Juli, dan Agustus terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada

bulan April, Juli, Agustus, September, dan Oktober terjadi penurunan

insidens mosquito-borne disease; kemudian pada bulan September dan

Oktober terjadi peningkatan angka curah hujan, November dan Desember

terjadi peningkatan insidens mosquito-borne disease pula.

e. Sedangkan di tahun 2013 terjadi time-lag selama 1 bulan, dimana pada bulan

Maret, April, Juni, Juli, dan November terjadi peningkatan angka curah hujan,

dan pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, dan Desember terjadi peningkatan

insidens mosquito-borne disease; kemudian pada bulan Mei, Agustus, dan

September terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan Juni,

September, Oktober terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease pula.

f. Tahun 2014 terjadi time-lag selama 2 sampai 3 bulan, misal pada bulan

Februari, Maret, dan Agustus terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada

Page 122: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

103

bulan Mei, Juni, dan November terjadi penurunan insidens mosquito-borne

disease.

g. Di tahun 2015 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pada bulan Maret sampai

Juni terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan Mei sampai

Agustus terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease.

h. Dan pada tahun 2016 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pada bulan Maret

sampai Mei terjadi penurunan angka curah hujan, dan pada bulan Mei sampai

Juli terjadi penurunan insidens mosquito-borne disease.

Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa time- lag terjadi

selama 1 sampai 3 bulan, atau dengan kata lain pengaruh angka curah hujan akan

muncul setelah 1 sampai 3 bulan terhadap insidens mosquito-borne disease. Time-

lag yang paling banyak terjadi yaitu selama 2 bulan (pada tahun 2010, 2011, 2012,

2015, dan 2016). Sedangkan masa time- lag paling cepat (1 bulan) hanya terjadi

pada tahun 2013. Berdasarkan hasil observasi juga dapat diketahui bahwa pola

insidens mosquito-borne disease masih bersifat linier dengan pola curah hujan pada

tahun 2016 (ditandai dengan kotak berwarna merah pada Grafik 5.6). Jadi dapat

disimpulkan bahwa pola insidens mosquito-borne disease dan curah hujan di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat linier (memiliki pola yang sama).

Page 123: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

104

5.3.2 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI

Jakarta

Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease

dan hari hujan bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua variabel.

Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan terhadap

variabel dampak pada analisis ini.

Berdasarkan Grafik 5.7 dapat diketahui bahwa pola hari hujan dan insidens

mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta cenderung sama,

namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Selain itu kedua pola ini bersifat sejajar,

dimana semakin banyak hari hujan, semakin tinggi insidens mosquito-borne

disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada Grafik 5.7). Berikut penjelasan

mengenai gambaran pola hari hujan dan insidens mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

a. Time-lag pola tren insidens mosquito-borne disease dan hari hujan di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009 terjadi selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada

bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.

b. Tahun 2010 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada bulan

Januari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan insidens mosquito-

borne disease pada bulan Maret sampai Agustus.

c. Di tahun 2011 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada

bulan Mei sampai Oktober memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan Juli sampai Desember.

Page 124: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

105

Grafik 5.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI

Jakarta tahun 2009-2016

0

5

10

15

20

0

1000

2000

3000

4000

5000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2009

0

5

10

15

20

0

1000

2000

3000

4000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2010

0

5

10

15

20

0

500

1000

1500

2000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2011

0

5

10

15

20

25

0

500

1000

1500

2000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2012

0

5

10

15

20

25

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2013

0

5

10

15

20

25

30

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2014

0

5

10

15

20

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2015

0

5

10

15

20

0

2000

4000

6000

8000

Jan

Feb

Mar

Ap

r

Mei

Jun

Jul

Agu Se

p

Okt

No

v

Des

2016

Keterangan:

Mosquito-borne Disease (kasus) Hari Hujan (hari)

Page 125: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

106

d. Pada tahun 2012 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada

bulan Maret sampai Agustus memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan Mei sampai Oktober.

e. Tahun 2013 juga terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada

bulan Juni sampai Oktober memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan Agustus saampai Desember.

f. Di Tahun 2014 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola hari hujan pada

bulan Februari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan April sampai Agustus.

g. Sedangkan pada tahun 2015 terjadi time-lag selama 3 bulan, misal pola hari

hujan pada bulan Januari sampai Mei memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan April sampai Agustus.

h. Dan pada tahun 2016 terjadi time-lag selama 1 sampai 2 bulan, misal pola

hari hujan pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.

Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa time-lag terjadi

selama 1 sampai 3 bulan, atau dengan kata lain pengaruh hari hujan akan muncul

setelah 1 sampai 3 bulan terhadap insidens mosquito-borne disease. Time- lag yang

paling banyak terjadi yaitu selama 2 bulan (pada tahun 2009 sampai 2014).

Sedangkan masa time-lag paling lambat (3 bulan) hanya terjadi pada tahun 2015.

Berdasarkan hasil observasi juga dapat diketahui bahwa pola insidens mosquito-

borne disease masih bersifat linier dengan pola hari hujan pada tahun 2010 dan

2016 (ditandai dengan kotak berwarna merah pada Grafik 5.7). Jadi dapat

Page 126: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

107

disimpulkan bahwa pola insidens mosquito-borne disease dan hari hujan di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat linier (memiliki pola yang sama).

5.3.3 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI

Jakarta

Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease

dan suhu udara bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua variabel.

Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan terhadap

variabel dampak pada analisis ini.

Berdasarkan Grafik 5.8 dapat diketahui bahwa pola suhu udara dan insidens

mosquito-borne disease tahun 2009-2015 di Provinsi DKI Jakarta cenderung sama,

dan tidak terjadi penundaan waktu (time-lag). Akantetapi suhu udara yang

terlampau tinggi (di atas 29 0C) akan menimbulkan penurunan insidens mosquito-

borne disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada Grafik 5.8). Berikut

penjelasan mengenai gambaran pola suhu udara dan insidens mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

a. Pada Tahun 2009 tidak memiliki time-lag, misal pola suhu udara pada bulan

Januari sampai Mei memiliki pola yang sama dengan insidens mosquito-

borne disease pada bulan yang sama; namun suhu udara yang terlampau

tinggi saat memasuki bulan Agustus sampai Oktober menimbulkan

penurunan insidens mosquito-borne disease pada bulan tersebut.

Page 127: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

108

Grafik 5.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI

Jakarta tahun 2009-2016

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

0

1000

2000

3000

4000

5000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2009

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

0

1000

2000

3000

4000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2010

26.00

26.50

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

0

500

1000

1500

2000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2011

26.50

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

30.00

0

500

1000

1500

2000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2012

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2013

24.00

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

31.00

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2014

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2015

26.50

27.00

27.50

28.00

28.50

29.00

29.50

30.00

0

2000

4000

6000

8000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2016

Keterangan:

Mosquito-borne Disease (kasus) Suhu Udara (0C)

Page 128: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

109

b. Tahun 2010 tidak memiliki time-lag, dimana kedua pola ini bersifat sejajar

sampai akhir tahun, namun tidak semua bulan memiliki pola yang sama;

namun suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan April dan Mei

menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease pada bulan

tersebut.

c. Di tahun 2011, suhu udara yang panas saat memasuki bulan April dan Mei,

maupun bulan Agustus sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens

mosquito-borne disease pada bulan tersebut.

d. Pada tahun 2012, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan

Agustus sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne

disease pada bulan tersebut.

e. Sedangkan pada tahun 2013, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki

bulan September sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens

mosquito-borne disease pada bulan tersebut.

f. Di tahun 2014, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan

September sampai Oktober menimbulkan penurunan insidens mosquito-

borne disease pada bulan tersebut.

g. Pada tahun 2015, suhu udara yang terlampau tinggi saat memasuki bulan

Oktober sampai November menimbulkan penurunan insidens mosquito-

borne disease pada bulan tersebut.

h. Dan di tahun 2016, suhu udara yang terlampau tinggi pada bulan April (di

atas 29 0C) tidak menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease

pada bulan tersebut (ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik

5.8).

Page 129: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

110

Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa suhu udara

memiliki pola yang sama (bersifat linier), namun pola yang berbeda dapat timbul

saat suhu udara terlampau sangat panas. Suhu udara yang sangat panas

menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease pada tahun 2009-2015.

Akantetapi pada tahun 2016 timbul sesuatu yang berbeda, yaitu saat suhu berada

pada kondisi yang cukup panas, tidak menimbulkan penurunan insidens mosquito-

borne disease (ditandai dengan kotak berwarna merah pada grafik 5.8). Hal ini

menunjukkan bahwa perbedaan pola suhu udara yang terjadi pada tahun 2016

mengakibatkan perbedaan pola juga pada insidens mosquito-borne disease.

5.3.4 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi

DKI Jakarta

Analisis time-trend ecologic study pada variabel mosquito-borne disease

dan kelembaban udara bertujuan untuk mengetahui kesamaan pola pada kedua

variabel. Kesamaan pola ini akan memberikan gambaran pengaruh varibel paparan

terhadap variabel dampak pada analisis ini.

Berdasarkan Grafik 5.9 dapat diketahui bahwa pola kelembaban udara dan

insidens mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta

cenderung sama, namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Selain itu kedua pola

ini bersifat sejajar, dimana semakin tinggi kelembaban udara, semakin tinggi pula

insidens mosquito-borne disease (ditandai dengan kotak berwarna hijau pada

Grafik 5.9). Berikut penjelasan mengenai gambaran pola kelembaban udara dan

insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016:

Page 130: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

111

Grafik 5.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2009-2016

60.00

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

0

1000

2000

3000

4000

5000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2009

70.00

72.00

74.00

76.00

78.00

80.00

82.00

0

1000

2000

3000

4000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2010

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

0

500

1000

1500

2000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2011

60.00

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

0

500

1000

1500

2000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2012

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2013

60.00

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2014

65.00

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

0

500

1000

1500

2000

2500

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2015

72.00

74.00

76.00

78.00

80.00

82.00

84.00

0

2000

4000

6000

8000

Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2016

Keterangan:

Mosquito-borne Disease (kasus) Kelembaban Udara (%)

Page 131: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

112

a. Time-lag pola tren insidens mosquito-borne disease dan kelembaban udara di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 terjadi selama 2 bulan, misal pola

kelembaban udara pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama

dengan insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.

b. Tahun 2010 juga terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban

udara pada bulan Februari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan April sampai Agustus.

c. Di tahun 2011 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban udara

pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.

d. Sedangkan pada tahun 2012 terjadi time-lag selama 1 bulan, misal pola

kelembaban udara pada bulan April sampai Agustus memiliki pola yang sama

dengan insidens mosquito-borne disease pada bulan Mei sampai September.

e. Tahun 2013 juga terjadi time-lag selama 1 bulan, misal pola kelembaban

udara pada bulan April sampai Agustus memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan Mei sampai September.

f. Pada tahun 2014 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban

udara pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.

g. Di tahun 2015 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban udara

pada bulan Januari sampai Juni memiliki pola yang sama dengan insidens

mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Agustus.

Page 132: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

113

h. Dan di tahun 2016 terjadi time-lag selama 2 bulan, misal pola kelembaban

udara pada bulan Januari sampai April memiliki pola yang sama dengan

insidens mosquito-borne disease pada bulan Maret sampai Juni.

Hasil dari observasi data sebelumnya menunjukkan bahwa time-lag terjadi

selama 1 sampai 2 bulan, atau dengan kata lain pengaruh kelembaban udara akan

muncul setelah 1 sampai 2 bulan terhadap insidens mosquito-borne disease. Time-

lag yang paling banyak terjadi yaitu selama 2 bulan (pada tahun 2009, 2010, 2011,

2014, 2015, dan 2016). Sedangkan masa time-lag paling cepat (1 bulan) terjadi pada

tahun 2012 dan 2013. Berdasarkan hasil observasi juga dapat diketahui bahwa pola

insidens mosquito-borne disease masih bersifat linier dengan pola kelembaban

udara pada tahun 2010 dan 2016 (ditandai dengan kotak berwarna merah pada

Grafik 5.9). Jadi dapat disimpulkan bahwa pola insidens mosquito-borne disease

dan kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat linier

(memiliki pola yang sama).

Page 133: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

114

5.4 Analisis Bivariat

5.4.1 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Adapun hasil analisis hubungan antara curah hujan dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:

Tabel 5.6 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Variabel Independen Variabel Dependen r P-value

Curah Hujan Mosquito-borne Disease 0,314 0,002

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat diketahui bahwa curah hujan dengan

mosquito-borne disease memiliki kekuatan hubungan sedang dan berpola positif.

Hasil uji statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,002 artinya pada tingkat

kepercayaan 5% terdapat hubungan antara curah hujan dan mosquito-borne disease.

5.4.2 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Hasil analisis hubungan antara hari hujan dengan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:

Page 134: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

115

Tabel 5.7 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Variabel Independen Variabel Dependen r P-value

Hari Hujan Mosquito-borne Disease 0,338 0,001

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa hari hujan dengan mosquito-

borne disease memiliki kekuatan hubungan sedang dan berpola positif. Hasil uji

statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,001 artinya pada tingkat

kepercayaan 5% terdapat hubungan antara hari hujan dan mosquito-borne disease.

5.4.3 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Adapun hasil analisis hubungan antara suhu udara dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:

Tabel 5.8 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Variabel Independen Variabel Dependen r P-value

Suhu Udara Mosquito-borne Disease -0,192 0,061

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa suhu udara dengan mosquito-

borne disease memiliki kekuatan hubungan lemah / tidak ada hubungan dan berpola

negatif. Hasil uji statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,061 artinya pada

tingkat kepercayaan 5% tidak terdapat hubungan antara suhu udara dan mosquito-

borne disease.

Page 135: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

116

5.4.4 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease

di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Hasil analisis hubungan antara kelembaban udara dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 sebagai berikut:

Tabel 5.9 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne

Disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Variabel Independen Variabel Dependen r P-value

Kelembaban Udara Mosquito-borne Disease 0,460 0,000

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa kelembaban udara dengan

mosquito-borne disease memiliki kekuatan hubungan sedang dan berpola positif.

Hasil uji statistik menunjukkan bilai probabilitas sebesar 0,000 artinya pada tingkat

kepercayaan 5% terdapat hubungan antara kelembaban udara dan mosquito-borne

disease.

Page 136: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

117

6 BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder pada variabel dependen

(mosquito-borne disease) dan variabel independennya yaitu curah hujan, hari hujan,

suhu udara, dan kelembaban udara. Pada penelitian ini tidak semua data variabel

independen didapatkan. Terdapat beberapa data harian yang tidak terdapat datanya

dan tidak terukur. Pada variabel curah hujan dan hari hujan terdapat 12 data yang

tidak ada dan 142 data yang tidak terukur. Sedangkan pada variabel suhu udara dan

kelembaban udara terdapat 9 data yang tidak ada. Hal ini dapat mengakibatkan

tranformasi data ke dalam bentuk data bulanan dilakukan secara tidak sempurna.

Bentuk transformasi yang dilakukan pada variabel curah hujan dan hari hujan

berupa penjumlahan data harian tersebut dalam satu bulan. Sedangkan bentuk

transformasi yang dilakukan pada variabel suhu udara dan kelembaban udara

berupa perhitungan rerata dalam satu bulan.

Selain itu penelitian ini memiliki keterbatasan dalam penggunaan data

sekunder (insidens mosquito-borne disease). Kelemahan pada penggunaan data

sekunder insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-

2016, yaitu kumpulan data ini tidak dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta secara sempurna karena data

variabel inf i merupakan data sekunder agregat. Kelemahan dari data ini merupakan

kelamahan penggunaan jenis data sekunder.

Page 137: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

118

6.2 Gambaran Mosquito-borne Disease di Provinsi DKI Jakarta Tahun

2009-2016

Mosquito-borne disease menjadi salah satu golongan penyakit yang masih

menimbulkan masalah kesehatan di Provinsi DKI Jakarta. Golongan penyakit ini

memiliki insidens yang cukup tinggi pada setiap tahunnya. Terdapat tiga penyakit

yang tergolong ke dalam mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta, yaitu

DBD, chikungunya, dan malaria. Penyakit ini timbul karena infeksi

mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.

Ketiga penyakit ini menjadi penyakit yang memiliki potensi transmisi atau

penularan yang tinggi melalui nyamuk, dimana nyamuk merupakan salah satu

vektor penyakit yang sering dijumpai di daerah tropis.

Permasalahan golongan penyakit mosquito-borne disease di suatu wilayah

dapat diketahui dengan cara melihat jumlah kasus baru atau insidens mosquito-

borne disease setiap bulannya pada wilayah tersebut. Insidens penyakit ini akan

membentuk sebuah pola kejadian, dimana pola kejadian ini terjadi karena adanya

fluktuasi insidens dalam kurun waktu tertentu. Dari pola ini akan diketahui waktu

dimana insidens mosquito-borne disease akan berada pada angka insidens yang

sangat tinggi maupun sangat rendah.

Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa mosquito-

borne disease memiliki pola insidens setiap tahunnya pada tahun 2009-2016. Pola

insidens pada tahun 2009 dan 2011 sampai 2015 cenderung sama, dimana jumlah

insidens mosquito-borne disease cenderung tinggi saat berada di awal tahun

maupun akhir tahun, dan cenderung rendah saat berada dipertengahan tahun.

Page 138: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

119

Sedangkan tahun 2010 dan 2016 terjadi penurunan jumlah kasus di akhir tahun

(bulan Desember), meskipun kedua tahun ini memiliki pola yang sama (di awal dan

pertengahan tahun) dengan tahun lain. Hal ini menunjukkan bahwa tahun 2010 dan

2016 memiliki perbedaan pola kejadian mosquito-borne disease dengan tahun-

tahun sebelumnya.

Tingginya jumlah kasus mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta

dipengaruhi oleh kondisi geografis provinsi ini. Provinsi DKI Jakarta merupakan

dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter diatas permukaan laut

(Pemerintah DKI Jakarta, 2016). Namun, sekitar 40 persen wilayah Jakarta berupa

dataran yang permukaan tanahnya berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang

(Pemerintah DKI Jakarta, 2012). Kondisi ini lah yang mendukung kelangsungan

hidup nyamuk Aedes aegypti dan Anopheles sp, maka sudah sewajarnya jika

Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah endemis mosquito-borne disease.

6.3 Gambaran Curah Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola curah hujan tahun 2016 berbeda

dengan pola curah hujan tahun 2009-2015. Pola curah hujan tahun 2016 bersifat

fluktuatif namun tidak terjadi penurunan ataupun peningkatan curah hujan secara

signifikan. Sedangkan pada tahun 2009-2015 memiliki pola curah hujan yang tinggi

saat berada di awal tahun dan akhir tahun, serta angka curah hujan bersifat rendah

saat berada di pertengahan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan tahun

2016 memiliki pola yang berbeda dengan tahun lain.

Page 139: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

120

Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pola curah hujan rata-rata

bulanan wilayah Indonesia menggunakan data tahun 1961-1993 dari 100 stasium

meteorologi menunjukkan hasil sebagai berikut (Aldrian, 2000):

Tabel 6.1 Rata-rata Curah Hujan Bulanan Seluruh Indonesia Tahun

1961-1993

No Bulan Minimum (mm) Maksimum (mm)

1 Januari 100 >700

2 Februari 50 500

3 Maret 50 400

4 April 50 300

5 Mei 0 300

6 Juni 0 300

7 Juli 0 300

8 Agustus 0 300

9 September 0 300

10 Oktober 0 400

11 November 50 450

12 Desember 150 500

Sumber: Aldrian, 2000

Berdasarkan Tabel 6.1 dapat diketahui bahwa secara umum pola curah

hujan di Indonesia memiliki angka curah hujan yang tinggi di awal tahun, kemudian

mengalami penurunan di pertengahan tahun saat memasuki bulan April, dan

selanjutnya mengalami peningkatan angka curah hujan kembali saat memasuki

bulan Oktober. Hasil penelitian ini memiliki pola curah hujan yang sama dengan

Page 140: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

121

Tabel 6.1 kecuali tahun 2016. Selain itu dapat diketahui pula angka curah hujan

tahun 2009-2015 masih termasuk ke dalam angka curah hujan rata-rata di

Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan Tabel 6.1, angka curah hujan tahun

2016 masuk ke dalam kriteria batas rentang angka curah hujan rata-rata di Indonesia

kecuali bulan Februari dan Desember. Bulan Februari memiliki angka curah hujan

sebesar 516,5 mm (melebihi batas maksimal rata-rata / 500 mm) dan bulan

Desember tahun 2016 memiliki angka curah hujan sebesar 58,1 mm (tidak

memenuhi batas minimal rata-rata / 150 mm). Hal ini menunjukkan bahwa tahun

2016 memiliki karakteristik pola curah hujan yang berbeda dibandingkan dengan

pola dan angka curah hujan rata-rata di Indonesia.

Tahun 2014 dan 2015 menunjukkan bahwa kedua tahun ini memiliki angka

curah hujan bulan Februari melebihi batas maksimal rata-rata (500 mm), dimana

bulan Februari 2014 memiliki angka curah hujan sebesar 743,6 mm dan 939,5 mm

pada tahun 2015. Angka curah hujan ini sudah melampaui nilai maksimal rata-rata,

namun hal ini menjadi biasa karena sudah sewajarnya awal tahun memiliki angka

curah hujan yang tinggi. Berbeda dengan bulan Desember 2016, dimana bulan ini

tidak memenuhi batas minimal rata-rata dan tidak memiliki karakteristik pola curah

hujan yang sama dengan tahun sebelumnya (curah hujan cenderung tinggi saat

memasuki akhir tahun).

Sebuah penelitian yang dilakukan 2013 dengan wilayah penelitian Jakarta

menggunkan data curah hujan tahun 1901-2000 (Gambar 6.1), menunjukkan hasil

bahwa pola curah hujan akan berubah saat terjadi peristiwa alam yang biasa disebut

dengan El Nino, La Nina, Dipole Mode Positive (DM+), dan Dipole Mode Negative

Page 141: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

122

(DM-) (Nuryanto, 2013). Saat El Nino maupun DM+ terjadi, distribusi curah hujan

bulan Juli-November cenderung rendah atau memiliki pola dengan angka curah

hujan yang lebih rendah dari tahun lain, dan curah hujan bulan Desember-Mei

cenderung tinggi atau lebih tinggi dari tahun normal (Nuryanto, 2013). Sedangkan

saat La Nina terjadi distribusi curah hujan bulan Juli-November memiliki pola

dengan angka curah hujan yang lebih tinggi dari tahun lain, dan curah hujan bulan

Desember-Mei memiliki pola lebih rendah dari tahun normal (Nuryanto, 2013).

Selain itu jika DM- terjadi, maka tidak ada pola distribusi curah hujan yang jelas di

Jakarta (Nuryanto, 2013). Dari Gambar 6.1 dapat di ketahui bahwa pola curah hujan

tahun 1901-2000 memiliki pola yang sama meskipun terjadi atau tidak terjadinya

peristiwa El Nino, La Nina, Maupun DM+. Di sisi lain, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pola curah hujan tahun 2009-2015 memiliki pola yang sama

dengan penelitian sebelumnya kecuali tahun 2016, dimana pola curah hujan tahun

2016 kemungkinan terganggu akibat dari dampak DM-. Perbedaan pola ini

mengindikasikan terjadinya perubahan pola parameter curah hujan di Provinsi DKI

Jakarta pada tahun 2016.

(a) (b)

Page 142: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

123

Gambar 6.1 Distribusi Siklus Curah Hujan Bulanan Tahun 1901-2000. (a) El

Nino, (b) La Nina, (c) DM+, (d) DM- dan (e) Normal (Nuryanto, 2013)

Pada tahun 2016 BoM (Bureau of Meteorology), NASA (National

Aeronautics and Space Administration), dam BMKG menyatakan bahwa pada

bulan Oktober-November terindikasi kuat terjadi DM- di wilayah Indonesia bagian

Barat (BMKG, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa pola iklim yang terganggu pada

akhir tahun 2016 terjadi akibat adanya peristiwa DM- di samudera Hindia. Namun

perubahan pola curah hujan memiliki keterkaitan dengan terjadinya perubahan

iklim global (Aldrian, 2014). Tahun 2016 merupakan salah satu contoh bahwa

terlihat dengan jelas terjadinya gangguan pola curah hujan. Gangguan pola curah

hujan pada tahun ini mengindikasikan dampak terjadinya perubahan iklim global

dan perubahan iklim yang tengah terjadi di Provinsi DKI Jakarta.

(e)

(c) (d)

Page 143: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

124

6.4 Gambaran Hari Hujan di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Hujan adalah jatuhnya hidrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan

diameter 0.5 mm atau lebih (Maulidani, Ihsan and Sulistiawaty, 2015). Jika

hidrometeor tersebut jatuh sampai ke tanah maka disebut hujan, akan tetapi apabila

jatuhnya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi maka jatuhan tersebut

disebut virga (Maulidani, Ihsan and Sulistiawaty, 2015). Jatuhnya hidrometeor

memiliki intensitas yang berbeda-beda, dimana intensitas ini biasa disebut dengan

curah hujan. Curah hujan ini akan menentukan kategori, dimana hujan terjadi

dengan deras, hujan normal, hujan ringan, maupun hujan lebat yang berpotensi

menimbulkan bencana (Sudewi, Sasmito and Kurniawan, 2015). Dengan kata lain

hujan adalah bentuk nyata dari curah hujan, dimana curah hujan hanya sebuah

besaran hujan dalam satuan angka. Jadi hari hujan adalah jumlah hari dengan

kejadian hujan dalam periode tertentu.

Hasil penelitian ini menunjukkan pola hari hujan pola hari hujan tahun 2009,

2011 sampai 2015 memiliki pola yang sama. Sedangkan pola hari hujan pada tahun

2010 dan 2016 memiliki pola yang berbeda, dimana selama tahun 2010 dan 2016

berlangsung pola hari hujan hanya bersifat fluktuatif biasa (tidak terjadi penurunan

atau peningkatan jumlah hari hujan secara signifikan). Pola hari hujan tahun 2009-

2016 memiliki pola yang sama, dimana jumlah hari hujan pada awal dan akhir tahun

cenderung banyak dibandingkan saat memasuki pertengaahan tahun.

Pola hari hujan pada tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta dapat

menunjukkan pola musim kemarau dan musim hujan. Secara umum bulan

masuknya musim kemarau di Provinsi DKI Jakarta adalah minggu pertama bulan

Page 144: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

125

April sampai minggu pertama bulan Juni (BMKG, 2015b). Hal ini menunjukkan

bahwa musim kemarau di Provinsi DKI Jakarta dapat terjadi mulai dari awal bulan

April dan selambat-lambatnya musim kemarau dapat terjadi di awal bulan Juni.

Sedangkan bulan masuknya musim hujan secara umum di Provinsi DKI Jakarta

adalah minggu kedua bulan Oktober sampai minggu kedua bulan Desember

(BMKG, 2015a). Ini menunjukkan bahwa terjadinya musim hujan paling cepat

yaitu pada minggu kedua bulan Oktober dan selambat-lambatnya musim hujan

dimulai pada minggu kedua bulan Desember. Jadi musim kemarau di Provinsi DKI

Jakarta terjadi pada minggu pertama bulan April sampai minggu pertama bulan

Oktober atau terjadi selambat-lambatnya pada minggu pertama bulan Juni sampai

minggu pertama bulan Desember. Dan musim hujan di Provinsi DKI Jakarta terjadi

pada minggu kedua bulan Oktober sampai minggu akhir bulan Maret atau minggu

kedua bulan Desember sampai akhir bulan Mei.

Dari beberapa pernyataan di atas dapat diketahui bahwa bulan yang pasti

termasuk ke dalam bulan musim kemarau adalah bulan Juni, Juli, Agustus, dan

September. Sedangkan bulan yang pasti termasuk ke dalam bulan terjadinya musim

hujan adalah bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret. Dan bulan yang

termasuk ke dalam golongan bulan masa transisi musim adalah bulan April sampai

Juni untuk musim kemarau dan bulan Oktober sampai Desember untuk musim

hujan.

Hasil penilitian ini menunjukkan kesesuaian dengan prakiraan masuknya

musim atau bulan transisi musim menurut BMKG. Berdasarkan hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa bulan pasti musim hujan adalah Desember, Januari, Februari,

dan Maret pada tahun 2009-2016, dimana jumlah hari hujan pada empat bulan ini

Page 145: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

126

memiliki jumlah hari hujan yang cukup banyak. Sedangkan bulan musim kemarau

menunjukkan bahwa jumlah hari hujan pada bulan Juni sampai September tahun

2009, 2011 sampai 2015 termasuk ke dalam golongan jumlah hari hujan rendah.

Namum pada tahun 2010 dan 2016 menunjukkan hasil yang berbeda, dimana pada

bulan Juni sampai September memiliki jumlah hari hujan yang cukup banyak.

Tahun 2010 jumlah hari hujan pada keempat bulan tersebut meliputi 10 hari pada

bulan Juni, 14 hari pada bulan Juli (berada di atas rata-rata tahunan / 12,6 hari), 10

hari pada bulan Agustus, dan 13 hari pada bulan September (berada di atas rata-rata

tahunan). Pada tahun 2016 jumlah hari hujan pada keempat bulan tersebut meliputi

9 hari pada bulan Juni dan Juli, 14 hari pada bulan Agustus (berada di atas rata-rata

tahunan / 12,8 hari), dan 11 hari pada bulan September. Hal ini menunjukkan bahwa

tahun 2010 dan 2016 memiliki karakteristik jumlah hari hujan yang berbeda dari

tahun sebelumnya.

Berbeda dengan hasil yang didapatkan pada varibel curah hujan. Variabel hari

hujan menunjukkan bahwa jumlah hari hujan pada akhir tahun 2016 cenderung

tinggi dengan angka curah hujan yang tergolong normal (tidak terlalu tinggi

maupun rendah) atau bersifat sepadan, dimana terdapat 18 hari hujan pada bulan

Oktober dengan curah hujan sebesar 136,8 mm; 14 hari hujan pada bulan November

dengan curah hujan sebesar 199,9 mm; dan 8 hari hujan pada bulan Desember

dengan curah hujan sebesar 58,1 mm. Namun hal ini sudah diketahui penyebanya,

dimana pada bulan Oktober-November terindikasi kuat terjadi DM- di wilayah

Indonesia bagian Barat (BMKG, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa hujan yang

terjadi pada bulan Oktober sampai Desember merupakan hujan ringan. Sedangkan

Page 146: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

127

tahun 2010 memiliki pola hari hujan akhir tahun yang cenderung sama dengan

tahun-tahun sebelumnya.

Pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September tahun 2010 dan 2016

menunjukkan hasil bahwa keempat bulan ini memiliki angka curah hujan yang lebih

tinggi daripada bulan Oktober, November, dan Desember. Hasil penelitian tahun

2010 menunjukkan yang meliputi terdapat 10 hari hujan (Juni / 133,8 mm), 14 hari

hujan (Juli / 249,6 mm), 10 hari hujan (Agustus / 150,6 mm), dan 13 hari hujan

(September / 256,1 mm). Tahun 2016 menunjukkan hasil yang meliputi terdapat 9

hari hujan (Juni / 202,1 mm), 9 hari hujan (Juli / 259,3 mm), 14 hari hujan (Agustus

/ 227,2 mm), dan 11 hari hujan (September / 237,4 mm). Hal ini menunjukkan

bulan musim kemarau ini memiliki hari hujan yang lebih deras daripada hujan yang

terjadi pada akhir tahun 2016. Selain itu dapat diketahui pula bahwa perbedaan pola

ini mengindikasikan terjadinya perubahan pola paremeter curah hujan di Provinsi

DKI Jakarta pada tahun 2016.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada pertengahan tahun 2010 dan 2016

tengah terjadi musim kemarau dengan jumlah hari hujan yang lebih banyak

daripada tahun-tahun sebelumnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa musim

kemarau yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 termasuk ke dalam musim kemarau

basah. Kemarau basah merupakan salah satu dampak dari terjadinya perubahan

iklim (Aldrian, 2014). Kemarau basah yang pernah terjadi pada tahun 2010 yang

pada akhirnya menutup tahun tanpa kemarau adalah gambaran nyata bagaimana

iklim di Indonesia telah berubah (Aldrian, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa

kemarau basah yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 merupakan bagian dari

dampak perubahan iklim yang tengah terjadi di Indonesia.

Page 147: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

128

6.5 Gambaran Suhu Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Suhu udara merupakan salah satu parameter iklim yang memberikan

pengaruh kuat kepada paremeter iklim lain. Namun terdapat beberapa faktor

tersendiri yang dapat mempengaruhi kondisi suhu udara. Faktor-faktor tersebut

meliputi lama penyinaran matahari (semakin lama matahari memancarkan sinarnya

di suatu daerah, semakin banyak panas yang diterima oleh daaerah tersebut),

kemiringan sinar matahari (suatu daerah yang memiliki posisi matahari berada

tegak lurus di atasnya, maka radiasi akan lebih besar dan suhu pada daerah tersebut

lebih panas), keadaan awan (adanya awan di atmosfer akan menyebabkan

berkurangnya jumlah radiasi yang diterima oleh daerah tersebut), dan keadaan

permukaan bumi (perbedaan sifat darat dan laut, dimana permukan darat akan lebih

cepat menerima panas dan melepaskan panas, serta mengakibatkan perbedaan suhu

udara di atasnya) (Yunus, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa setiap daerah di

Indonesia memiliki kondisi suhu dan pola suhu yang berbeda-beda tergantung

dengan letak daerahnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola suhu udara tahun 2009-2015 di

Provinsi DKI Jakarta memiliki pola yang cenderung sama, dimana suhu udara

cenderung bersifat rendah di awal tahun dan akhir tahun, serta bersifat tinggi

(panas) saat berada di pertengahan tahun. Sedangkan tahun 2016 memiliki pola

yang berbeda, dimana pola suhu cenderung tinggi di awal tahun, kemudian

mengalami peningkatan secara signifikan saat memasuki bulan maret, dan pola

suhu udaranya bersifat fluktuatif biasa sampai dengan akhir tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa pola suhu udara tahun 2016 memiliki pola yang lebih stabil

daripada tahun-tahun sebelumnya.

Page 148: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

129

Hasil penelitian ini tidak menunjukkan terjadinya peningkatan suhu rata-rata

tiap tahunnya, dimana suhu rata-rata tahunan selama 8 tahun terakhir berada pada

rentang 28,24 0C (2013) dan 28,57 0C (2012). Dalam 157 tahun terakhir, suhu

permukaan bumi telah meningkat secara global, dengan variasi penting berskala

regional. Pemanasan (untuk rata-rata global), pada abad terakhir telah terjadi dalam

tahap, yaitu dari tahun 1910-an hingga 1940-an (0,35°C), dan pemanasan yang

lebih tinggi mulai dari tahun 1970-an hingga 2005 (0,55°C) (IPCC, 2007a). Laju

peningkatan pemanasan telah terjadi selama 25 tahun terakhir, dimana 11 dari 12

tahun terpanas tercatat pada 12 tahun terakhir (IPCC, 2007a). Namun hasil

penelitian di Provinsi DKI Jakarta tidak menujukkan hal tersebut, dimana hasil

penelitian menujukkan hal sebaliknya. Dari 8 tahun terakhir rata-rata suhu udara

terendah (di bawah 28,5 0C) menunjukkan bahwa kondisi tersebut terjadi pada 3

dari 4 tahun terakhir, yaitu tahun 2013, 2014, dan 2015. Dari hal ini dapat diketahui

bahwa selama 8 tahun terakhir tidak menunjukkan tanda-tanda terjadinya

peningkatan rata-rata suhu udara di Provinsi DKI Jakarta.

Di sisi lain peninjauan terjadinya perubahan iklim di suatu wilayah tidak

dapat dilihat dari kumpulan data yang sedikit. Menurut Organisasi Meteorologi

Dunia (WMO), periode klasik rata-rata untuk variabel-variabel iklim adalah 30

tahun (Aldrian, 2013). Namun penelitian ini hanya menggunakan data sepanjang 8

tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi terjadinya perubahan iklim berdasarkan

peningkatan suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tidak dapat dilihat dari hasil

penelitian ini. Akantetapi, jika dilihat dari kondisi pola suhu udara di Provinsi DKI

Jakarta selama 8 tahun terakhir, mengindikasikan terjadinya perubahan pola

parameter suhu udara saat memasuki tahun 2016.

Page 149: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

130

6.6 Gambaran Kelembaban Udara di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-

2016

Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara

atau atmosfer, dimana besarnya kelembaban udara tergantung dari masuknya uap

air ke dalam atmosfer karena adanya penguapan dari air yang ada di lautan, danau,

dan sungai, maupun dari air tanah (Yunus, 2009). Selain itu terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi besarnya kelembaban udara. Faktor-faktor tersebut

meliputi ketersediaan air, sumber uap air, suhu udara, tekanan udara, dan angin

(Yunus, 2009). Tingginya jumlah uap air atau kelembaban udara menyebabkan

semakin besarnya peluang kejadian hujan dengan intensitas tinggi (Maslakah,

2015). Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki keterkaitan dengan

suhu udara, curah hujan, dan hari hujan, dimana pola kelembaban udara sangat

dipengaruhi oleh beberapa parameter tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kelembaban udara tahun 2009, dan

2011 sampai 2015 memiliki pola yang cenderung sama, dimana kelembaban udara

cenderung tinggi di awal tahun dan di akhir tahun, serta cenderung bersifat rendah

saat berada di pertengahan tahun. Sedangkan tahun 2010 dan 2016 memiliki pola

kelembaban udara yang berbeda, dimana kelembaban masih cenderung tinggi di

awal tahun, kemudian mengalami fluktuasi biasa sampai akhir tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2016 memiliki pola kelembaban udara yang

cenderung bersifat stabil saat berada di pertengahan tahun.

Pada pembahasan sebelumnya telah menjelaskan bahwa pada tahun 2010 dan

2016 tengah terjadi kemarau basah. Hal ini terbukti dimana pada pertengahan tahun

Page 150: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

131

2010 dan 2016 memiliki angka kelembaban udara yang cukup stabil. Angka

kelembaban udara paling rendah tahun 2010 sebesar 73,60 % dan pada tahun 2016

sebesar 76,10 %. Sedangkan pada tahun-tahun yang lain memiliki kelembaban

udara terendah di bawah 72 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dan

2016 tidak terjadi penurunan maupun peningkatan suhu udara secara tidak

signifikan.

Kelembaban udara yang cukup besar memberi petunjuk langsung bahwa

udara banyak mengandung uap air atau udara dalam keadaan basah (Yunus, 2009).

Hal ini berkaitan dengan angka curah hujan maupun hari hujan. Saat berada di

pertengahan tahun 2010 dan 2016, kondisi kelembaban udara memiliki kemiripan

dengan kondisi jumlah hari hujan pada tahun tersebut. Sedangkan kondisi curah

hujan tahun 2010 cenderung lebih rendah dari pada tahun 2016 saat berada

dipertengahan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kelembaban udara pada

tahun 2010 memiliki keterkaitan erat dengan kondisi hari hujan, namun tidak

memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi curah hujannya. Dan pada tahun

2016 menujukkan bahwa kondisi kelembaban udara memiliki keterkaitan yang erat

dengan curah hujan maupun hari hujannya.

Kondisi kelembaban udara dipertengahan tahun 2010 dan tahun 2016

memiliki pola yang berbeda dari tahun lainnya (terjadinya gangguan pola) akibat

dari fenomena kemarau basah pada tahun terserbut. Selain itu perubahan pola

kelembaban udara juga mengindikasikan terjadinya perubahan iklim (Aldrian,

2014). Hal ini menunjukkan bahwa gangguan pola kelembaban udara pada tahun

2010 dan 2016 berkaitan erat dengan terjadinya perubahan iklim yang tengah

dirasakan di Provinsi DKI Jakarta.

Page 151: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

132

6.7 Analisis Mosquito-borne Disease dan Curah Hujan di Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola curah hujan dan insidens

mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola

yang cenderung sama, namun terjadi penundaan waktu (time-lag). Time-lag ini

adalah selang waktu atau penundaan waktu yang akan menunjukkan dampak dari

curah hujan terhadap insidens mosquito-borne disease. Hasil observasi

menunjukkan bahwa time-lag curah hujan terhadap insidens mosquito-borne

disease terjadi selama 1 sampai 3 bulan dengan masa time-lag paling banyak terjadi

selama 2 bulan. Perubahan pola curah hujan yang terjadi pada tahun 2016 tidak

menunjukkan timbulnya dampak perubahan pola insidens mosquito-borne disease,

dengan kata lain pola curah hujan dan pola insidens mosquito-borne disease tahun

2016 masih bersifat linier.

Penelitian yang dilakukan di Kota Bogor menunjukkan bahwa dampak curah

hujan terhadap insidens DBD dapat dirasakan 1 bulan setelahnya dalam artian time-

lag kedua variabel ini yaitu 1 bulan (Ariati and Anwar, 2014). Begitu pula

penelitian yang dilakukan di Malaysia menghasilkan time-lag selama 26-28 hari

dengan korelasi positif (Cheong et al., 2008). Sedangkan penelitian yang dilakukan

di Ethiopia menunjukkan hasil bahwa curah hujan memiliki korelasi positif dengan

malaria dengan time-lag selama 2-4 bulan. Penelitian lain yang dilakukan di

Bangladesh menunjukkan bahwa time-lag antara curah hujan dan malaria terjadi

selama 0-3 bulan (Haque et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa setiap daerah

memiliki time-lag yang berbeda, tergantung dengan kondisi lingungannya.

Page 152: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

133

Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu dari

berbagai daerah maka akan timbul kesamaan pada aspek time-lag antara curah

hujan dan insidens mosquito-borne disease. Secara umum time-lag antara curah

hujan dan insidens mosquito-borne disease akan terjadi selama 0-4 bulan. Namun

ini merupakan rentang waktu tang cukup lama, dimana waktu maksimal yang

dibutuhkan untuk melihat dampak yaitu selama 4 bulan. Oleh karena itu diperlukan

perhitungan waktu yang dibutuhkan oleh curah hujan sampai timbulnya mosquito-

borne disease.

Secara umum saat setelah hujan terjadi, akan muncul banyak tempat

perkembang biakan untuk nyamuk. Setelah ada banyak tempat perkembang biakan,

maka nyamuk dapat secara langsung bertelur di tempat itu. Kemudian telur nyamuk

akan terus berkembang sampai dewasa. Proses pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti

dan Anopheles sp membutuhkan waktu selama 7 sampai 10 hari dari telur sampai

menjadi nyamuk (Kemenkes RI, 2011b). Bila manusia digigit oleh nyamuk yang

mengandung virus dengue maka dalam 4 sampai 7 hari kemudian akan

menimbulkan gejala DBD (Ariati and Anwar, 2014). Masa inkubasi pada penyakit

chikungunya berkisar antara 3-7 hari. Sedangkan Plasmodium sp membutuhkan

masa inkubasi rata-rata selama 12-28 hari sampai timbul malaria (Depkes, 2008).

Jika dampak curah hujan dihitung dari mulainya nyamuk bertelur sampai pejamu

(manusia) terinfeksi, maka hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 3

minggu untuk penyakit DBD dan chikungunya, dan 6 minggu untuk malaria. Jadi

secara umum waktu yang dibutuhkan adalah 6 minggu untuk timbul dampak

berupa mosquito-borne disease.

Page 153: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

134

Dari hasil penelitian diketahui bahwa time-lag curah hujan terhadap insidens

mosquito-borne disease terjadi selama 1-3 bulan (dengan modus 2 bulan). Hal ini

menujukkan bahwa hasil penilitan ini memiliki kesesuaian dengan hasil

perhitungan lama dampak, yaitu dampak paling cepat dapat dirasakan 3 minggu

setelahnya dan paling lama dapat lebih dari 6 minggu. Namun terdapat beberapa

hal lain yang dapat mempengaruhi timbulnya mosquito-borne disease selama time-

lag dari curah hujan sedang berlangsung, sehingga memungkinkan untuk terjadi

penambahan masa time-lag. Selain itu hasil penelitian ini bersifat kurang sensitif,

dimana time-lag berupa periode bulanan. Perlu dilakukan penelitian menggunakan

data mingguan agar hasil time-lag yang ditemukan lebih sensitif.

Angka curah hujan yang bersifat mendukung aktivitas nyamuk Anopheles sp

yaitu antara 1 mm - 567 mm setiap bulannya (Mardiana, 2012; Mardiana and

Perwitasari, 2014). Selain itu curah hujan juga ankan membuat nyamuk Aedes sp

saat berada diatas 200 mm setiap bulannya (Perwitasari et al., 2004; Zubaidah,

Ratodi and Marlinae, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat angka curah

hujan yang pasti untuk mengetahui tingkat aktivitas nyamuk mulai dari telur, larva,

sampai dengan timbulnya mosquito-borne disease pada tubuh pejamu.

Pada variabel curah hujan terjadi penundaan waktu sampai terjadinya kasus

mosquito-borne disease. Rentang waktu ini dapat digunakan untuk meningkatkan

kewaspadaan terhadap mosquito-borne disease. Peningkatan kewaspadaan ini

dilakukan oleh tiga pihak, yaitu pihak pemerintah, fasilitas pelayanan kesehatan dan

pihak masyarakat. Saat angka curah hujan mencapai titik yang tinggi, pemerintah

(khususnya Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta) dapat memberikan peringatan

kepada masyarakat dan puskesmas setempat untuk meningkatkan upaya

Page 154: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

135

pencegahan. Kemudian puskesmas dan masyarakat dapat bekerja sama untuk

melakukan tindakan pencegahan dengan cara melakukan pemberantasan sarang

nyamuk. Misal yaitu melakukan 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur),

abatisasi, dan memelihara ikan. Selain itu perlunya dilakukan kerjasama lintas

sektoral antara Dinas Kesehatan dengan BMKG untuk meningkatkan upaya

kewaspadaan dini.

6.8 Analisis Mosquito-borne Disease dan Hari Hujan di Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2016

Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola hari hujan dan insidens

mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola

yang cenderung sama, namun terdapat time-lag pada variabel ini pula. Hasil dari

observasi pola hari hujan dan pola insidens mosquito-borne disease menunjukkan

hasil yang tidak berbeda dengan pola curah hujan. Time-lag pola hari hujan

terhadap insidens mosquito-borne disease yaitu selama 1 sampai 3 bulan dengan

time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan. Hasil yang tidak jauh berbeda ini

disebabkan oleh pola hari hujan yang cenderung sama dengan pola curah hujan.

Pada pembahasan sebelumnya didapatkan bahwa pada tahun 2010 dan 2016

memiliki pola yang berbeda akibat dari kemarau basah, namun hasil analisis

penelitian ini menujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pola hari hujan dan

insidens mosquito-borne disease pada tahun tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

pola hari hujan dan insidens mosquito-borne disease tahun 2010 dan 2016 masih

bersifat linier.

Page 155: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

136

Sebuah penelitian yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa

time-lag antara hari hujan dan insidens DBD terjadi selama 2 bulan dengan korelasi

positif (Perwitasari, 2015). Begitu pula penelitian yang dilakukan di Kota Bogor

menunjukkan hasil yang sama, namun memiliki time-lag selama 1 bulan (Ariati and

Anwar, 2014). Selain itu penelitian yang dilakukan di Sri Langka menunjukkan

hasil time-lag DBD selama 7 minggu dengan korelasi positif (Ehelepola et al.,

2003). Sedangkan penelitian mengenai time-lag antara hari hujan dan malaria

belum ditemukan. Namun secara umum mosquito-borne disease memiliki time-lag

kurang lebih selama 6 minggu untuk melihat pengaruh hari hujan terhadap insidens

mosquito-borne disease.

Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu maupun

hasil perhitungan menunjukkan bahwa waktu time-lag antara hari hujan dan

insidens mosquito-borne disease memiliki kemiripan. Hal ini terbukti dimana time-

lag paling cepat adalah 3 minggu untuk melihat dampak dari hari hujan dan paling

lama lebih dari 6 minggu. Disisi lain diperlukan penelitian terkait pola hari hujan

dan mosquito-borne disease menggunakan data mingguan untuk menghasilkan

time-lag yang lebih sensitif. Selain itu pola hujan mingguan lebih memiliki

pengaruh terhadap perkembangan nyamuk, karena proses pertumbuhan nyamuk

berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Misal, yaitu nyamuk Aedes aegypti dan

Anopheles sp membutuhkan waktu selama 7 sampai 10 hari dari telur sampai

menjadi nyamuk (Kemenkes RI, 2011b).

Penelitian lain yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa

jumlah hari hujan lebih dari 20 hari akan meningkatkan jumlah kasus DBD

(Perwitasari et al., 2004). Namun hasil penelitian ini tidak menunjukkan batas

Page 156: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

137

jumlah hari hujan, dimana insidens mosquito-borne disease akan meningkat saat

melebihi jumlah tersebut. Jumlah hari hujan tertinggi selama 8 tahun terakhir di

Provinsi DKI Jakarta hanya sebanyak 24 hari. Jika angka ini dibendingkan dengan

penelitian tersebut maka insidens mosquito-borne disease akan sulit untuk

mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa batasan angka tersebut tidak

sesuai jika dilakukan penyesuaian dengan penelitian ini.

Kesimpulannya adalah hari hujan dan insidens mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 memiliki kemiripan pola dengan time-lag

selama 1-3 bulan (dengan modus 2 bulan), dan tidak ditemukan jumlah hari hujan

yang berpengaruh terhadap insidens mosquito-borne disease.

6.9 Analisis Mosquito-borne Disease dan Suhu Udara di Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2016

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola suhu udara dan insidens

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 bersifat

cenderung sama atau linier. Pada variabel ini menunjukkan tidak terjadinya time-

lag antara kedua variabel. Hasil observasi data yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa suhu udara dan insidens mosquito-borne disease memiliki pola yang sama,

namun pola yang berbeda dapat timbul saat suhu udara mencapai titik paling panas

(berkisar di atas 29 0C). Suhu yang panas pada tahun 2009-2015 menimbulkan

penurunan insidens mosquito-borne disease pada bulan dengan suhu tersebut.

Akantetapi pada tahun 2016 menunjukkan hal yang berbeda, dimana kondisi suhu

yang panas tidak menimbulkan penurunan insidens mosquito-borne disease.

Page 157: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

138

Berdasarkan hasil di atas dapat diketahui bahwa efek yang timbul akibat suhu

udara tidak memiliki time-lag. Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara memberikan

dampak secara langsung terhadap insidens mosquito-borne disease atau dapat

dikatakan bahwa damapak yang timbul akibat suhu udara terlihat lebih cepat

daripada parameter iklim lain.

Perubahan suhu udara juga dapat membatasi distribusi nyamuk Aedes aegypti

(Epstein, 2001). Selain itu larva nyamuk akan mengalami perkembangan yang lebig

cepat saat terjadi peningkatan suhu (Hoshen and Morse, 2004). Jumlah populasi

nyamuk akan mengalami penurunan saat memasuki musim kemarau akibat dari

penurunan jumlah dan kualitas air tempat tinggal larva (Gage et al., 2008). Nyamuk

Aedes sp cenderung akan lebih aktif saat suhu udara berada pada 250C - 280C

(Perwitasari et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah, Ratodi and Marlinae, 2016).

Sedangkan kondisi optimal suhu yang disukai Anopheles sp yaitu sebesar 240C -

290C (Mardiana, 2012; Mardiana and Perwitasari, 2014). Hal ini menunjukkan

pengaruh yang lebih luas dari suhu udara terhadap mosquito-borne disease, dimana

suhu udara dapat mempengaruhi perkembang biakan nyamuk sampai dengan

transmisinya dan nyamuk Aedes maupun Anopheles akan cenderung lebih aktif saat

suhu berada pada rentang 240C - 290C.

Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian terdahulu,

maka muncul kesamaan. Kesamaannya adalah pola suhu udara memiliki pola yang

sama dengan insidens mosquito-borne disease, namun saat suhu udara berada di

atas 290C maka akan mengalami penurunan jumlah kasus. Hal ini sesuai karena

suhu optimal untuk melakukan aktivitas pada vektor mosquito-borne disease antara

240C - 290C. Di sisi lain penelitian ini tidak menghasilkan lama time-lag sampai

Page 158: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

139

terjadinya dampak. Ini menunjukkan bahwa suhu udara di Provinsi DKI Jakarta

cenderung menguntungkan nyamuk untuk melakukan serang dari pada faktor-

faktor lain seperti pekembangan larva maupun virulensi pathogen.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pola suhu udara dan insidens mosquito-borne

disease tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta cenderung sama dan tidak

terdapat time-lag sampai timbulnya dampak, dan diketahui bahwa suhu optimal

bagi nyamuk untuk melakukan transmisi sekitar 240C - 290C, dimana suhu optimal

ini hanya mempengaruhi tingkat aktivitas nyamuk saja karena dampak yang muncul

terjadi secara langsung.

6.10 Analisis Mosquito-borne Disease dan Kelembaban Udara di Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2009-2016

Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kelembaban udara dan

insidens mosquito-borne disease pada tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta

bersifat linier, namu terjadi time-lag. Hasil observasi data pada penelitian ini

menunjukkan bahwa time-lag terjadi 1 sampai 2 bulan dengan jumlah time-lag

paling banyak terjadi selama 2 bulan. Perubahan pola kelembaban udara tahun 2010

dan 2016 akibat dari fenomena kemarau basah tidak menimbulkan gangguan pola

insidens mosquito-borne disease. Hal ini menunjukkan bahwa pola kelembaban

udara dan insidens mosquito-borne disease pada tahun 2010 dan 2016 masih

bersifat linier.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Kota Bogor menunjukkan bahwa time-

lag yang terjadi antara kelembaban udara dan insidens DBD yaitu selama 1 bulan

(Ariati and Anwar, 2014). Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian ini,

Page 159: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

140

dimana time-lag yang terjadi terhitung lebih cepat daripada variabel curah hujan

dan hari hujan. Selain itu hasil ini lebih mendekati dengan perhitungan time-lag

yang mungkin terjadi pada mosquito-borne disease atau selama 6 minggu. Hal ini

menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki mekanisme pengaruh yang

berbeda dari variabel lain.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kelembaban udara yang optimal

bagi Anopheles sp untuk melakukan aktivitas yaitu sebesar 65% - 95% (Mardiana,

2012; Mardiana and Perwitasari, 2014). Sedangkan Nyamuk Aedes akan

mengalami kondisi yang optimal saat kelembaban berada diatas 70% (Perwitasari

et al., 2004; Sulasmi, 2013; Zubaidah, Ratodi and Marlinae, 2016). Jadi kondisi

kelembaban udara optimal bagi vektor mosquito-borne disease yaitu berkisar antara

65% - 95%. Penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa kondisi kelembaban

udara bersifat mendukung nyamuk untuk melakukan aktivitas penularan. Hal ini

menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki pengaruh yang sama dengan suhu

udara, yaitu terhadap kondisi optimal untuk melakukan transmisi. Namun

perbedaanya terletak pada time-lag, dimana kelembaban udara memiliki time-lag

selama 1-2 bulan sedangkan suhu udara tidak. Hal ini disebabkan oleh kondisi

kelembaban udara yang selalu mengikuti kondisi curah hujan ataupun hari hujan,

dimana kondisi ini mendukung lingkungan menjadi lembab karena pengaruh awan

maupun pengaruh hujan.

Page 160: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

141

6.11 Hubungan antara Curah Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara curah hujan

dan mosquito-borne disease (P value = 0,002) dengan kekuatan hubungan sedang

dan memiliki arah positif (r = 0,314). Penelitian yang dilakukan di Thailand bagian

selatan juga menujukkan bahwa pola curah hujan memiliki hubungan dengan pola

insidens DBD (Promprou, Jaroensutasinee and Jaroensutasinee, 2005) dengan

korelasi positif. Selain itu penelitian yang dilakukan di Kota Batam menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara curah hujan dan insidens DBD dengan korelasi

positif (Ariati and Musadad, 2012). Penelitian lain yang dilakukan di Tibet

menujukkan hasil bahwa curah hujan memiliki korelasi positif dengan malaria

(Huang et al., 2011). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum mosquito-borne

disease memiliki keterkaitan erat dengan curah hujan.

Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa

mosquito-borne disease memiliki korelasi positif dengan curah hujan. Hal ini dapat

diartikan bahwa curah hujan yang tinggi akan memberikan dampak insidens

mosquito-borne disease yang tinggi pula, begitu juga dengan sebaliknya.

Sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa curah hujan memiliki korelasi

negatif terhadap jumlah larva. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang tinggi

bersifat mengganggu lingkungan hidup larva.

Secara umum terdapat tiga komponen mendasar yang dapat mempengaruhi

perkembangan penyakit menular, yaitu agen (pathogen penyakit), pejamu (pada

vector penyakit), dan kondisi lingkungan untuk melakukan transmisi (Epstein,

Page 161: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

142

2001). Kondisi iklim maupun cuaca sangat diperlukan untuk bertahan hidup,

reproduksi, distribusi, dan transmisi pathogen penyakit, vektor penyakit, dan

pejamu (manusia) (Wu et al., 2016). Perubahan pada iklim maupun cuaca dapat

memberikan dampak terhadap penyakit menular melalui pathogen, vektor, pejamu,

dan lingkungan hidup ketiganya (Epstein, 2001; Wu et al., 2013). Mosquito-borne

disease merupakan salah satu penyakit menular yang berpotensi terkena dampak

dari perubahan iklim. Salah satu komponen iklim yang dapat memberikan pengaruh

atau dampak terhadap mosquito-borne disease adalah curah hujan.

Pengaruh curah hujan terhadap insidens mosquito-borne disease timbul

secara tidak langsung. Curah hujan memberikan pengaruh atau dampak terhadap

ketahanan hidup, reproduksi, ataupu distribusi pathogen dan vektor, dimana hal ini

pula di pengaruhi kondisi lingkungan untuk melakukan transmisi (Wu et al., 2016).

Curah hujan dapat mempengaruhi perkembangan larva nyamuk Anopheles sp

(Hoshen and Morse, 2004). Sebuah penelitian yang dilakukan di Surabaya

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah larva Aedes sp dengan

kondisi curah hujan dengan korelasi negatif (Yudhastuti, Satyabakti and Basuki,

2013). Musim kemarau dengan curah hujan yang rendah dapat membatasi jumlah

maupun kualitas tempat perkembangbiakan nyamuk, sehingga akan terjadi

penurunan jumlah populasi nyamuk dan transmisinya (Gage et al., 2008). Selain itu

kemarau di daerah yang basah dapat menurunkan kecepatan aliran air pada saluran

dan memberikan nyamuk lebih banyak tempat perkembangbiakan dengan kondisi

air yang lebih stabil (Kovats et al., 2000). Selain itu perubahan pola iklim (pada

parameter curah hujan) dapat membahayakan kondisi imunitas pejamu (manusia)

(Wu et al., 2016). Menurut John Gordon, saat lingkungan mengalami pergeseran

Page 162: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

143

atau perubahan secara signifikan, akan meningkatan virulensi agen penyakit

(Maryani, 2010).

Secara teoritis (berdasarkan teori Host, Agent, dan Environment) mosquito-

borne disease dapat muncul saat tiga syarat ternuhi. Syarat yang pertama yaitu

jumlah populasi nyamuk (vektor) berada dalam jumlah yng cukup tinggi. Syarat

yang kedua yaitu agen penyakit (mikroorganisme) memiliki tingkat virulensi yang

kuat. Dan syarat yang ketiga yaitu kondisi pejamu memiliki imunitas yangrendah

dan rentan terhadap penyakit. Semua syarat ini dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan, dimana pada penelitian ini mengangkat parameter iklim untuk diteliti.

Jika semua syarat ini terpenuhi maka secara mudah mosquito-borne disease

menginfeksi individu. Selama masa time-lag curah hujan berlangsung, maka ketiga

syarat ini dapat terpenuhi pada masa tersebut sampai timbulnya mosquito-borne

disease.

6.12 Hubungan antara Hari Hujan dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hari

hujan dan mosquito-borne disease (P value = 0,001) dengan kekuatan hubungan

sedang dan memiliki arah positif (r = 0,338). Sebuah penelitian yang dilakukan di

Yogyakarta menunjukkan juga hasil bahwa hari hujan dan insidens DBD memiliki

arah korelasi positif (Perwitasari, 2015). Penelitian lain yang dilakukan di

Semarang juga menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

hari hujan dengan DBD (Wirayoga, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah hari

terjadinya hujan akan memberikan dampak pada reproduksi vektor, pertumbuhan

Page 163: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

144

vektor, perkembangan pathogen dan lain sebagainya. Selain itu hari hujan

memberikan dampak dan mekanisme yang sama dengan curah hujan, karena hari

hujan adalah sebuah konversi dari curah hujan.

Dari pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa hari hujan memiliki

kemiripan pola dengan curah hujan. Selain itu hari hujan memiliki pengaruh yang

sama dengan curah hujan terhadap insidens mosquito-borne disease. Hal ini

menunjukkan bahwa pembahasan dan mekanisme pengaruh hari hujan terhadap

insidens mosquito-borne disease tidak akan berbeda dari parameter curah hujan.

Penelitian yang dilakukan di Surabaya menunjukkan hasil bahwa terdapat

hubungan antara jumlah larva Aedes aegypti dan jumlah hari hujan dengan korelasi

negatif (Yudhastuti, Satyabakti and Basuki, 2013). Hal ini menunjukkan jumlah

hari hujan yang banyak dapat mengganggu proses pertumbuhan larva, dimana

semakin sering hujan terjadi semakin banyak air hujan yang mengaliri tempat

pertumbuhan larva, sehingga membuat larva hanyut maupun mati akibat

tercampurnya air hujan dengan zat kimia sekitar. Di sisi lain hujan juga dapat

membuat imunitas manusia melemah, sehingga mudah terinfeksi mosquito-borne

disease.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa korelasi anatara

hari hujan dan insidens mosquito-borne disease bersifat positif. Hal ini dapat

diartikan semakin banyak jumlah hari hujan bulanan, semakin tinggi pula potensi

munculnya kasus mosquito-borne disease dalam jumlah yang cukup besar. Dengan

katalain hari hujan dan insidens mosquito-borne disease memiliki pola yang sama.

Page 164: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

145

6.13 Hubungan antara Suhu Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara suhu

udara dan mosquito-borne disease (P value = 0,061) dengan kekuatan hubungan

sangat lemah dan memiliki arah negative (r = -0,192). Seperti pada pembahasan

sebelumnya, nyamuk dan patogen hanya memiliki kondisi optimal pada suhu (240C

- 29 0C). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa parasite malaria (Plasmodium

falciparum dan Plasmodium vivax) akan berhenti berkerkembang saat suhu

melampaui 330-39 0C (Patz, 1996 dalam Wu et al., 2016).

Selain itu suhu yang mengalami peningkatan dapat mempengaruhi masa

inkubasi ekstrinsik Plasmodium falciparum, dimana masa inkubasinya akan

berkurang dari 26 hari saat suhu sebesar 20 0C menjadi 13 hari saat suhu sebesar 25

0C (Bunyavanich, 2003 dalam Wu et al., 2016). Di sisi lain suhu udara yang rendah

juga dapat menurunkan transmisi virus Dengue (Ramachandran et al., 2015; Wu et

al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara atau lingkungan dapat

mempengaruhi transmisi mikroorganisme dalam tubuh nyamuk. Oleh karena itu

kondisi suhu udara tidak selalu memiliki korelasi dengan agen penyakit.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kamboja menunjukkan

bahwa suhu udara memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyakit DBD di

beberapa daerah (Choi et al., 2016). Penelitian yang dilakukan di Delhi Timur juga

menunjukkan hasil yang sama, dimana suhu udara memberikan dampak terhadap

angka kejadian DBD (Ramachandran et al., 2015). Penelitian di Hanoi juga

menunjukkan hasil yang sama (Thi, An and Rocklo, 2014). Penelitian lain yang

Page 165: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

146

dilakukan di Guangdong, China menunjukkan bahwa kondisi suhu udara tidak

memberikan pengaruh secara linier terhadap malaria (Guo et al., 2015). Penelitian

yang dilakukan di Uganda juga menujukkan bahwa kondisi suhu udara memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap malaria pada beberapa daerah saja (Kigozi et

al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu udara memberikan pengaruh

terhadap mosquito-borne disease pada sebagian besar penelitian-penilitian

sebelumnya, dan terdapat beberapa daerah yang memberikan hasil sebaliknya.

Jika dilihat berdasarkan hasil penelitian ini menujukkan hasil yang berbeda,

dimana suhu udara tidak memiliki hubungan dengan mosquito-borne disease di

Provinsi DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh kondisi suhu udara merupakan

kondisi yang memiliki batas optimal (240C - 29 0C). Dapat diartikan bahwa kondisi

suhu udara yang mengalami peningkatan (lebih dari 240C) akan memberikan

peningkatan jumlah kasus mosquito-borne disease pula, namun jika kondisi suhu

udara lebih dari 290C akan menimbulkan penurunan jumlah kasus mosquito-borne

disease. Jadi dapat disimpulkan bahwa suhu udara tidak selalu memberikan dampak

secara linier terhadap jumlah kasus mosquito-borne disease di Provinsi DKI

Jakarta.

Page 166: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

147

6.14 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Mosquito-borne Disease di

Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016

Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

kelembaban dan mosquito-borne disease (P value = 0,000) dengan kekuatan

hubungan sedang dan memiliki arah positif (r = 0,460). Hasil penelitian yang

dilakukan di Kota Banjarbaru juga menunjukkan hal yang sama, dimana terdapat

hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan keberadaan nyamuk

Aedes ae. (Ridha et al., 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara

memiliki keterkaitan dengan variabel curah hujan maupu hari hujan.

Secara teoritis kelembaban udara merupakan maifestasi dari adanya curah

hujan dan hari hujan. Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung

dalam udara atau atmosfer, dimana besarnya kelembaban udara tergantung dari

masuknya uap air ke dalam atmosfer karena adanya penguapan dari air yang ada di

lautan, danau, dan sungai, maupun dari air tanah (Yunus, 2009). Selain itu terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya kelembaban udara. Faktor-faktor

tersebut meliputi ketersediaan air, sumber uap air, suhu udara, tekanan udara, dan

angin (Yunus, 2009). Inilah yang membuat kelembaban udara memiliki keselarasan

hasil korelasi dengan variabel curah hujan dan hari hujan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Delhi Timur dapat diketahui

bahwa kelembaban udara memberikan pengaruh secara signifikan terhadap DBD

(Ramachandran et al., 2015). Penelitian yang dilakukan di Kota Banjarbaru juga

menunjukkan hasil yang sama (Penulis et al., 2012). Penelitian lain juga

menunjukkan bahwa kelembaban udara memiliki hubungan yang signifikan dengan

Page 167: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

148

DBD dengan kekuatan hubungan sedang dan arah hubungan positif (Mangguang,

2008; Feyzar Rasmanto and Sakka, 2016). Penelitian yang dilakukan di Provinsi

Anhui, China menunjukkan bahwa teradapat korelasi sedang dengan arah hubungan

positif antara kelembaban udara dan malaria (Gao et al., 2012). Jika dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menujukkan hasil yang sama dimana

kelembaban udara memiliki hugungan yang signifikan dengan mosquito-borne

disease di Provinsi DKI Jakarta dengan kekuatan hubungan sedang dana rah

hubungan positif.

Page 168: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

149

7 BAB VII

PENUTUP

7.1 Simpulan

1. Pola insidens mosquito-borne disease tahun 2009, 2011 sampai 2015

memiliki pola jumlah kasus yang tinggi di awal tahun dan akhir tahun, serta

jumlah kasus bersifat rendah dipertengahan tahun. Sedangkan tahun 2010

dan 2016 menjadi tahun yang berbeda karena terjadi penurunan jumlah

kasus di akhir tahun (bulan Desember), meskipun kedua tahun ini memiliki

pola yang sama dengan tahun lain (di awal dan pertengahan tahun).

2. Secara umum curah hujan tahun 2009-2015 di Provinsi DKI Jakarta

memiliki angka curah hujan yang tinggi di awal dan di akhir tahun,serta

bersifat rendah dipertengahan tahun. Sedangkan tahun 2016 memiliki pola

yang berbeda, dimana pola curah hujan bersifat stabil saat memasuki bulan

Maret. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan pola parameter curah

hujan di Provinsi DKI Jakarta dan memiliki keterkaitan erat dengan dampak

perubahan iklim global.

3. Hari hujan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009, 2011 sampai 2015 memiliki

jumlah hari hujan yang tinggi di awal dan di akhir tahun, serta jumlah yang

rendah dipertengahan tahun. Sedangkan tahun 2010 dan 2016, dimana

kedua tahun ini memiliki pola hari hujan yang bersifat stabil sepanjang

tahun. Pola ini menunjukkan terjadinya perubahan pola parameter hari

hujan di Provinsi DKI Jakarta yang merupakan dampak dari kemarau basah

Page 169: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

150

di pertengahan tahun dan memiliki keterkaitan erat dengan dampak

perubahan iklim global yang sedang terjadi di Indonesia.

4. Suhu udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2015 memiliki pola yang

sama, dimana suhu udara bersifat rendah di awal dan di akhir tahun, serta

bersifat tinggi di pertengahan tahun. Tahun 2016 memiliki pola yang

berbeda, dimana pola suhu udara bersifat stabil sampai dengan akhir tahun.

Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan pola parameter suhu udara di

Provinsi DKI Jakarta.

5. Kelembaban udara di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola sama pada tahun

2009, 2011 sampai 2015, dimana kondisi kelembaban udara bersifat tinggi

di awal dan di akhir tahun,serta bersifat rendah dipertengahan tahun.. Tahun

2010 dan 2016 memiliki pola kelembaban udara berbeda dan menunjukkan

terjadinya perubahan pola parameter kelembaban udara. Hal ini berkaitan

dengan terjadinya perubahan iklim yang sedang berlangsung di Provinsi

DKI Jakarta.

6. Pola curah hujan tahun 2009-2016 di Provinsi DKI Jakarta memiliki pola

yang sama dengan insidens mosquito-borne disease dengan time-lag selama

1-3 bulan (masa time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Kemiripan

pola ini menandakan bahwa pola curah hujan dan insidens mosquito-borne

disease bersifat linier. Perubahan pola curah hujan yang terjadi pada tahun

2016 tidak menunjukkan dampak kepada pola insidens mosquito-borne

disease.

7. Hari hujan dan insidens mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta

tahun 2009-2016 memiliki kemiripan pola dengan time-lag selama 1-3

Page 170: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

151

bulan (masa time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Perbedaan pola

hari hujan yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 di Provinsi DKI Jakarta

masih bersifat linier dengan insidens mosquito-borne disease dan tidak

menunjukkan dampak kepada pola insidens mosquito-borne disease.

8. Suhu udara dan insidens mosquito-borne disease tahun 2009-2016 di

Provinsi DKI Jakarta memiliki pola yang bersifat linier dan tidak terjadi

time-lag. Namun pola yang berbeda dapat timbul saat suhu udara terlampau

sangat panas (suhu berada di atas 290C). Hal ini akan menimbulkan

penurunan insidens mosquito-borne disease pada tahun 2009-2015.

Akantetapi pada tahun 2016 timbul sesuatu yang berbeda, yaitu saat suhu

berada pada kondisi yang cukup panas, namun tidak menimbulkan

penurunan insidens mosquito-borne disease.

9. Pola kelembaban udara dan insidens mosquito-borne disease tahun 2009-

2016 di Provinsi DKI Jakarta bersifat linier dengan time-lag selama 1-2

bulan (masa time-lag paling banyak terjadi selama 2 bulan). Perbedaan pola

yang terjadi pada tahun 2010 dan 2016 masih bersifat linier dan tidak

menunjukkan dampak kepada pola insidens mosquito-borne disease.

10. Terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan mosquito-

borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value = 0,002),

serta memiliki kekuatan hubungan sedang dan memiliki arah positif (r =

0,314).

11. Terdapat hubungan yang signifikan antara hari hujan dengan mosquito-

borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value = 0,001),

Page 171: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

152

serta memiliki kekuatan hubungan sedang dengan arah hubungan positif (r

= 0,338)..

12. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suhu udara dengan

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value

= 0,061), serta memiliki kekuatan hubungan sangat lemah dengan arah

hubungan negativ (r = -0,192)..

13. Terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban udara dengan

mosquito-borne disease di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009-2016 (P value

= 0,000), serta memiliki kekuatan hubungan sedang dengan arah hubungan

positif (r = 0,460).

7.2 Saran

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Dinas

Kesehatan Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan kerjasama lintas sektoral

bersama BMKG untuk melaksanakan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD)

tehadap mosquito-borne disease untuk mencegah terjadinya peningkatan

jumlah kasus penyakit ini.

2. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan seluruh Puskesmas dapat

memberikan peringatan dini untuk meningkatan kewaspadaan masyarakat,

sehingga dapat dilakukan pencegahan selama masa penundaan waktu (time-

lag / yang terjadi selama 2 bulan) sedang berlangsung.

3. Sebaiknya hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan

kewaspadaan masyarakat, misal jika terjadi hari hujan yang banyak maka

masyarakat harus melakukan tindakan pencegahan mosquito-borne disease

Page 172: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

153

dengan cara melakukan pemberantasan sarang nyamuk ataupun

menggalakkan gerakan 3M (Menguras, Menutup, dan Mengubur).

4. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang lebih mendalam mengenai

parameter iklim dan insidens mosquito-borne disease dengan analisis

menggunakan data hari hujan mingguan, agar dapat diketahui pola hari

hujan mingguan yang berpotensi untuk meningkatkan insidens mosquito-

borne disease.

Page 173: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

154

DAFTAR PUSTAKA

Akerlof, K. et al. (2010) ‘Public Perceptions of Climate Change as A Human Health

Risk: Surveys of The United States, Canada and Malta’, International Journal

of Environmental Research and Public Health, 7(6), pp. 2559–2606. doi:

10.3390/ijerph7062559.

Aldrian, E. (2000) ‘Pola Hujan Rata-rata Bulanan Wilayah Idonesia ; Tinjauan

Hasil Kontur Data Penakar Dengan Resolusi ECHAM T -42’, Jurnal Sains

dan Teknologi Modifikasi Cuaca, 1 No. 2(1921), pp. 113–123.

Aldrian, E. (2013) Kamus Istilah Perubahan Iklim. Jakarta: Puslitbang BMKG.

Aldrian, E. (2014) Pemahaman Dinamika Iklim di Negara Kepulauan Indonesia

sebagai Modalitas Ketahanan Bangsa. Jakarta: BMKG.

Alexander, L. K. et al. (no date) ‘Ecologic Studies’, in. UNC CH Department of

Epidemiology.

Ariati, J. and Anwar, D. A. (2014) ‘Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah

Dengue (DBD) Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat’, Bul.

Penelit. Kesehat, 42(4), pp. 249–256.

Ariati, J. and Musadad, D. D. A. (2012) ‘Kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD) Dan Faktor Iklim di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau’.

Bai, L., Morton, L. C. and Liu, Q. (2013) ‘Climate Change and Mosquitoborne

Diseases in China: A Review’, Globalization and Health, 9, p. 1. doi:

10.1186/17448603910.

BMKG (2008) Curah Hujan dan Potensi Bencana Gerkan Tanah. Jakarta.

BMKG (2015a) Prakiraan Musim Hujan 2015-2016 di Indonesia. Jakarta: BMKG.

BMKG (2015b) Prakiraan Musim Kemarau 2015 di Indonesia. Jakarta: BMKG.

BMKG (2015c) Pusat Database BMKG. Available at:

http://dataonline.bmkg.go.id/webfaq (Accessed: 29 November 2016).

BMKG (2016) Analisis Dinamika Atmosfer - Laut, Analisis & Prediksi Curah

Page 174: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

155

Hujan. Jakarta.

BMKG (2017a) Alamat Stasiun dan UPT BMKG | BMKG. Available at:

http://www.bmkg.go.id/profil/stasiun-upt.bmkg (Accessed: 20 May 2017).

BMKG (2017b) Sejarah | BMKG. Available at: ?p=sejarah&lang=ID (Accessed:

20 May 2017).

BMKG (2017c) Tugas dan Fungsi | BMKG. Available at: ?p=tugas-

fungsi&lang=ID (Accessed: 20 May 2017).

BMKG (2017d) Visi dan Misi | BMKG. Available at: ?p=visi-misi&lang=ID

(Accessed: 20 May 2017).

Candra, A. (2010) ‘Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi , Patogenesis , dan

Faktor Risiko Penularan’, 2(2), pp. 110–119.

CDC (2009) ‘Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever: Information for Health Care

Practitioners’, Dengue Hemorrhagic Fever, pp. 1–4. doi:

10.1017/CBO9781107415324.004.

CDC (2014) ‘Information for Healthcare Providers’, pp. 1–5. Available at:

http://www.cdc.gov/ncbddd/heartdefects/hcp.html.

CDC (2016) CDC - Malaria - About Malaria - Biology - Mosquitoes - Anopheles

Mosquitoes. Available at:

https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/mosquitoes/ (Accessed: 4

January 2017).

Cheong, Y. L. et al. (2008) ‘Assessing Weather Effects on Dengue Disease in

Malaysia’, Int. J. Environ. Res. Public Health International Journal of

Environmental Research and Public Health Int. J. Environ. Res. Public

Health, 10(10), pp. 6319–6334. doi: 10.3390/ijerph10126319.

Choi, Y. et al. (2016) ‘Effects of weather factors on dengue fever incidence and

implications for interventions in Cambodia’, BMC Public Health. BMC

Public Health, pp. 1–7. doi: 10.1186/s12889-016-2923-2.

Darmawan, D. (2013) Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja

Page 175: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

156

Rosdakarya.

Depkes (2008) ‘Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia’, pp. 1–37.

Dinkes DKI Jakarta (2016) Survailans Epidemiologi Dinas Kesehatan DKI

Jakarta. Available at: http://www.surveilans-dinkesdki.net/ (Accessed: 25

November 2016).

Dittmar, J. et al. (2014) ‘Heat and Immunity: An Experimental Heat Wave Alters

Immune Functions in Three-Spined Sticklebacks (Gasterosteus aculeatus)’,

Journal of Animal Ecology, 83(4), pp. 744–757. doi: 10.1111/1365-

2656.12175.

Ehelepola, N. D. et al. (2003) ‘A Study of The Correlation Between Dengue and

Weather in Kandy City, Sri Lanka (2003 -2012) and Lessons Learned’. doi:

10.1186/s40249-015-0075-8.

Epstein, P. R. (2001) ‘Climate change and emerging infectious diseases’, Microbes

and Infection, 3(9), pp. 747–754. doi: 10.1016/S1286-4579(01)01429-0.

Feyzar Rasmanto, M. and Sakka, A. (2016) ‘MODEL PREDIKSI KEJADIAN

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) BERDASARKAN UNSUR

IKLIM DI KOTA KENDARI TAHUN 2000-2015’.

Gage, K. L. et al. (2008) ‘Climate and Vectorborne Diseases’, American Journal of

Preventive Medicine, 35(5), pp. 436–450. doi:

10.1016/j.amepre.2008.08.030.

Gao, H. et al. (2012) ‘Change in Rainfall Drives Malaria Re-Emergence in Anhui’,

7(8). doi: 10.1371/journal.pone.0043686.

Gunawan, D. (2013) Gas Rumah Kaca dan Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta:

Puslitbang BMKG.

Guo, C. et al. (2015) ‘Malaria incidence from 2005 – 2013 and its associations with

meteorological factors in’, pp. 1–12. doi: 10.1186/s12936-015-0630-6.

Hakim, L. and Ipa, M. (2007) ‘Sistem Kewaspadaan DIM KLB Malaria

Berdasarkan Curah Hujan, Kepadatan Vektor dan Kesakitan Malaria di

Page 176: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

157

Kabupaten Sukabumi’.

Haque, U. et al. (2010) ‘The Role of Climate Variability in the Spread of Malaria

in Bangladeshi Highlands’, 5(12), pp. 1–9. doi:

10.1371/journal.pone.0014341.

Hastono, S. P. (2006) Analisis Data. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Hoshen, M. B. and Morse, A. P. (2004) ‘A weather-driven model of malaria

transmission’, Malaria Journal, 3(1), p. 32. doi: 10.1186/1475-2875-3-32.

Huang, F. et al. (2011) ‘Temporal correlation analysis between malaria and

meteorological factors in Motuo County, Tibet.’, Malaria journal, 10(1), p.

54. doi: 10.1186/1475-2875-10-54.

IPCC (2007a) Climate Change 2007: impacts, adaptation and vulnerability:

contribution of Working Group II to the fourth assessment report of the

Intergovernmental Panel, Genebra, Suíça. doi:

10.1256/004316502320517344.

IPCC (2007b) Climate Change 2007 Synthesis Report. Geneva: The

Intergovernmental Panel on Climate Change.

IPCC (2007c) ‘Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007: The Physical

Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment

Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change’, New York

Cambridge University Press, p. 996. doi: 10.1038/446727a.

IPCC (2014) ‘Climate Change 2014 Synthesis Report Summary Chapter for

Policymakers’, IPCC, p. 31. doi: 10.1017/CBO9781107415324.

Kazwaini, M., Willa, R. and Wadu (2014) ‘Korelasi Kepadatan Anopheles spp.

dengan Curah Hujan serta Status Vektor Malaria pada Berbagai Tipe

Geografi di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur’.

Kemenkes RI (2003a) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1116 Tahun 2003. Jakarta: Kemenkes RI.

Page 177: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

158

Kemenkes RI (2003b) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1479 Tahun 2003. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI (2011a) ‘Informasi Umum Demam Berdarah Dengue’, pp. 1–5.

Available at:

http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_D

BD_2011.pdf.

Kemenkes RI (2011b) Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue,

Kementerian Kesehatan. Jakarta. Available at: www.kemenkes.com.

Kemenkes RI (2012) Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Jakarta.

Kemenkes RI (2013a) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Laksana Malaria, Rancangan Peraturan

Menteri Kesehatan RI. Jakarta. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.

Kemenkes RI (2013b) ‘Riset Kesehatan Dasar’.

Kemenkes RI (2014) ‘Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45

Tahun 2014’.

Kemenkes RI (2016) Wilayah KLB DBD Ada di 11 Provinsi. Available at:

http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-dbd-ada-di-

11-provinsi.html (Accessed: 25 November 2016).

Kigozi, R. et al. (2016) ‘Assessing temporal associations between environmental

factors and malaria morbidity at varying transmission settings in Uganda’,

Malaria Journal. BioMed Central, pp. 4–9. doi: 10.1186/s12936-016-1549-

2.

KLHK (2007) Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim.

Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

KLHK (2016) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik

Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi

Adaptasi Perubahan Iklim.

Kovats, R. et al. (2000) ‘Climate Change and Human Health : Impacts and

Page 178: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

159

Adaptation’, Who, p. 48. doi: WHO/SDE/OEH/00.4.

Mangguang, M. D. (2008) ‘Analisis Epidemologi Penyakit Demam Berdarah

Dengue melalui Pendekatan Spasial Temporal dan Hubungannya degan

Faktor Iklim di Kota Padang Tahun’.

Mardiana (2012) ‘Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Insiden Malaria di

Kabupaten Bintan Kepulauan Riau dan Kabupaten Banggai Sulawesi

Tengah’.

Mardiana and Perwitasari, D. (2014) ‘Insiden Malaria dan Pola Iklim di Kabupaten

Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Sumba Barat Propinsi

Nusa Tenggara Timur, Indonesia Tahun 2005-2009’.

Maryani, L. (2010) Epidemiologi Kesehatan. 1st edn. Jogjakarta: Graha Ilmu.

Maslakah, F. A. (2015) ‘Tren Temperatur Dan Hujan Ekstrim Di Juanda Surabaya’,

pp. 135–143.

Maulidani, S., Ihsan, N. and Sulistiawaty (2015) ‘Jurnal Sains Dan Pendidikan

Fisika (Jspf) Analisis Pola Dan Intensitas Curah Hujan Berdasakan Data

Observasi Dan Satelit Tropical Rainfall Measuring Missions (Trmm) 3B42

V7 Di Makassar’, 2015(April), pp. 98–103.

Morgenstern, H. (1995) ‘Ecologic Studies In Epidemiology : Concepts, Principles,

and Methods’.

Murti, B. (1997) Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Negev, M. et al. (2015) ‘Impacts of Climate Change on Vector Borne Diseases in

the Mediterranean Basin — Implications for Preparedness and Adaptation

Policy’, Int. J. Environ. Res. Public Health International Journal of

Environmental Research and Public Health, 12, pp. 6745–6770. doi:

10.3390/ijerph120606745.

Nuryanto, D. E. (2013) ‘Karakteristik Curah Hujan Abad 20 di Jakarta Berdasarkan

Kejadian Iklim Global’, pp. 139–147.

Page 179: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

160

Paz, S. (2015) ‘Climate change impacts on West Nile virus transmission in a global

context’, Philosophical Transactions of the Roal Society Biological Sciences,

370.

Pemerintah DKI Jakarta (2012) ‘Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 6 Tahun 2012’.

Pemerintah DKI Jakarta (2013) ‘Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 2 Tahun 2013’, 2004, pp. 1–15.

Pemerintah DKI Jakarta (2016) Jakarta dalam Angka 2016. Jakarta: Pemerintah

DKI Jakarta.

Pemerintah RI (2008) United Nations Framework Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Jakarta. doi: 10.1111/j.1467-9388.1992.tb00046.x.

Penulis, P. et al. (2012) ‘Climate change impact on dengue haemorrhagic fever in

Banjarbaru South Kalimantan between’, 4(2).

Perwitasari, D. et al. (2004) ‘Kondisi Iklim dan Pola Kejadian Demam Berdarah

Dengue di Kota Yogyakarta’.

Perwitasari, D. (2015) ‘Model Prediksi Demam Berdarah Dengue Dengan Kondisi

Iklim Di Kota Yogyakarta’.

Prastowo, D. and Anggraini, yusnita mirna (2011) ‘Dinamika Populasi Nyamuk

Yang Diduga Sebagai Vektor Di Kecamatan Rowokele Kabupaten Kebumen

Jawa Tengah’, Jurnal Vektora, IV(2), pp. 83–97.

Promprou, S., Jaroensutasinee, M. and Jaroensutasinee, K. (2005) ‘Climatic factors

affecting dengue haemorrhagic fever incidence in Southern Thailand’,

Dengue Bulletin, 29, pp. 41–48.

Purnama, S. G. and Baskoro, T. (2012) ‘Maya Index dan Kepadatan Larva Aedes

aegypti Terhadap Infeksi Dengue’, Makara Kesehatan, 16(2), pp. 57–64. doi:

10.7454/msk.v16i2.1630.

Ramachandran, V. G. et al. (2015) ‘Empirical model for estimating dengue

Page 180: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

161

incidence using temperature , rainfall , and relative humidity : a 19-year

retrospective analysis in East Delhi’, pp. 1–8.

Ridha, M. R. et al. (2013) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan dan Kontainer dengan

Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Kota Banjarbaru’, Jurnal

Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 4(3), pp. 133–137.

Rothman, K. J. (1995) Epidemiologi Modern. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.

Rowley, A. F. et al. (2016) ‘The Potential Impact of Climate Change on the

Infectious Diseases of Commercially Important Shellfish Populations in the

Irish Sea - A Review’, ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil,

73, pp. 51–69. doi: 10.1093/icesjms/fst048.

Sudewi, R. S. S., Sasmito, A. and Kurniawan, R. (2015) ‘Identifikasi Ambang Batas

Curah Hujan Saat Kejadian Banjir Di Jabodetabek : Studi Kasus Banjir

Jakarta Tanggal 09 Februari 2015 Identification of Rainfall Threshold During

Flood Events in’, pp. 209–215.

Sulasmi, S. (2013) ‘Kejadian Demam Berdarah Dengue Kabupaten Banjar

Berdasarkan Data Curah Hujan Normal Bulanan’, Jurnal Buski, Jurnal

Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 4(4), pp. 171–174.

Susanto, D. H. (2004) ‘Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue Di

Indonesia’, 14(38). Available at:

http://www.depkes.go.id/article/view/731/kejadian-luar-biasa-demam-

berdarah-dengue-di-indonesia.html.

Sutamihardja (2011) Climate Change. Bogor: Yayasan Pasir Luhur.

Thi, D., An, M. and Rocklo, J. (2014) ‘Epidemiology of dengue fever in Hanoi from

2002 to 2010 and its meteorological determinants’, 1.

Wei, J. et al. (2014) ‘The Impact of Climate Change on Infectious Disease

Transmission: Perceptions of CDC Health Professionals in Shanxi Province,

China’, China. PLoS ONE, 9(10). doi: 10.1371/journal.pone.0109476.

WHO (2003) ‘Climate change and Infectious Diseases. Climate change and Human

Page 181: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

162

Health: Risks and Responses’, World Health Organization, pp. 103–37. doi:

10.2307/2137486.

WHO (2006) ‘Dengue Haemorrhagic Fever : Early Recognition, Diagnosis and

Hospital Management’, World Health Organisation, p. 111. Available at:

http://www.who.int/csr/don/archive/disease/dengue_fever/dengue.pdf.

WHO (2008) ‘Guidelines on Clinical Management of Chikungunya Fever’, World

Health Organization, p. Rezgional office of South East Asia, New Deli, Ind.

doi: 10.1007/978-1-4939-1758-7_20.

WHO (2015) Neglected Tropical Diseases, Doenças Negligenciadas. World Health

Organization. Available at: http://www.who.int/neglected_diseases/en/

(Accessed: 25 November 2016).

Wirayoga, M. A. (2013) ‘HUBUNGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH

DENGUE DENGAN IKLIM DI KOTA SEMARANG TAHUN 2006-2011’,

UJPH Unnes Journal of Public Health, 2(4).

WMO (2016a) Maritim - Prakiraan Wilayah Pelayanan | BMKG. Available at:

http://maritim.bmkg.go.id/stasiun_maritim/wilayah_perairan/?stasiun=9-

ZeDpeWDZG7Aj-FiEkEuewWxxX7EjfsvoFhgHBUSpU (Accessed: 8

December 2016).

WMO (2016b) Mosquito-Borne Diseases. Available at:

http://www.cdc.gov/niosh/topics/outdoor/mosquito-borne/.

WMO (2016c) Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta. Available at: http://soekarno-

hatta.banten.bmkg.go.id/?tampil=halaman&id=46 (Accessed: 17 February

2017).

WMO (2016d) Tugas dan Fungsi | BMKG. Available at:

http://www.bmkg.go.id/profil/?p=tugas-fungsi (Accessed: 17 February

2017).

Wu, X. et al. (2013) ‘Impact of global change on transmission of human infectious

diseases’, Science China Earth Sciences, 57(2), pp. 189–203. doi:

10.1007/s11430-013-4635-0.

Page 182: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

163

Wu, X. et al. (2016) ‘Impact of climate change on human infectious diseases:

Empirical evidence and human adaptation’, Environment International. The

Authors, pp. 14–23. doi: 10.1016/j.envint.2015.09.007.

Yudhastuti, R., Satyabakti, P. and Basuki, H. (2013) ‘Climate Conditions, Larvae

Free Number, DHF Incidence in Surabaya Indonesia’, 10(11), pp. 1043–

1049.

Yunus (2009) ‘Pemanfaatan suhu udara dan kelembapan udara dalam persamaan

regresi untuk simulasi prediksi total hujan bulanan di bandar lampung’,

Pemanfaatan Suhu, 11(Suhu dan Manfaatnya), pp. 271–281. doi:

10.18860/ca.v3i1.2565.

Yusa, A. et al. (2015) ‘Climate Change, Drought and Human Health in Canada’,

International Journal of Environmental Research and Public Health, 12(7),

pp. 8359–8412. doi: 10.3390/ijerph120708359.

Zubaidah, T., Ratodi, M. and Marlinae, L. (2016) ‘Pemanfaatan Informasi Iklim

Sebagai Sinyal Peringatan Dini Kasus DBD di Banjararu, Kalimantan

Selatan’, Vektora, 8(2), pp. 99–106.

Page 183: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

164

LAMPIRAN

Page 184: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

165

Lampiran Tahap Pengumpulan Data

1. Buka browser pada computer, kemudian kunjungi website

http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim.

2. Lakukan registrasi dengan membuat akun pribadi.

3. Setelah memiliki akun, pengguna dapat melakukan akses pengambilan data.

4. Pilih kolom “Data Iklim”, kemudian pilih kolom “Data Harian”.

Page 185: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

166

5. Pilih Provinsi yang diinginkan, dan masukkan nama stasiun jika ingini

mendapatkan data lebih spesifik.

6. Pilih tanggal rentang waktu yang diinginkan, kemudian klik “proses”.

Page 186: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

167

7. Tunggu sampai data terkumpul.

8. Setelah itu, klik “download” untuk mengunduh data, kemudian tekan “save”.

Page 187: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

168

9. Setelah diunduh, periksa data apakah data sesuai dengan yang diinginkan.

Page 188: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

169

Page 189: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

170

Page 190: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

171

Page 191: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

172

Lampiran Output Analisis

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

mosquito-borne disease .119 96 .002 .871 96 .000

curah hujan .182 96 .000 .787 96 .000

hari hujan .082 96 .118 .964 96 .010

suhu udara .119 96 .002 .958 96 .004

kelembaban udara .103 96 .014 .974 96 .057

a. Lilliefors Significance Correction

Correlations

mosquito-borne

disease curah hujan hari hujan suhu udara

kelembaban

udara

Spearman's rho mosquito-borne disease Correlation

Coefficient 1.000 .314** .338** -.192 .460**

Sig. (2-

tailed) . .002 .001 .061 .000

N 96 96 96 96 96

Page 192: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

173

curah hujan Correlation

Coefficient .314** 1.000 .868** -.686** .849**

Sig. (2-

tailed) .002 . .000 .000 .000

N 96 96 96 96 96

hari hujan Correlation

Coefficient .338** .868** 1.000 -.770** .897**

Sig. (2-

tailed) .001 .000 . .000 .000

N 96 96 96 96 96

suhu udara Correlation

Coefficient -.192 -.686** -.770** 1.000 -.742**

Sig. (2-

tailed) .061 .000 .000 . .000

N 96 96 96 96 96

kelembaban udara Correlation

Coefficient .460** .849** .897** -.742** 1.000

Sig. (2-

tailed) .000 .000 .000 .000 .

N 96 96 96 96 96

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Page 193: ANALISIS PERUBAHAN PARAMETER IKLIM DAN

174