View
256
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB 2
STUDI PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam bentuk
batuan atau fluida yang terkandung di bawah permukaan bumi. Energi panas bumi
telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Italia sejak tahun 1913 dan di
Selandia Baru sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor
nonlistrik (direct use) telah berlangsung di Islandia sekitar 70 tahun lalu.
Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak,
khususnya pada tahun 1973 dan 1979 telah memacu negara‐negara lain, termasuk
Amerika Serikat untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan
cara memanfaatkan energi panas bumi. (El-Wakil,1985)
Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar
yaitu sekitar 28,5 GWe. Potensi ini setara dengan 12 milyar barel minyak bumi
untuk masa pengoperasian 30 tahun. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negara terkaya potensi energi yang ramah lingkungan ini. (Badan
Geologi, 2009)
Berdasarkan proses pengolahan fluida panas bumi, sistem pembangkit
listrik tenaga panas bumi dapat dibagi menjadi beberapa macam siklus [1], namun
dalam tugas akhir ini tidak akan seluruhnya dibahas, yang akan dibahas adalah
1. Siklus Uap Cetus Tunggal (Single Flash Steam Cycle)
2. Siklus Biner (Binary Cycle)
3. Siklus Kombinasi (Combined Cycle)
2.1.1 Siklus Uap Cetus Tunggal
Siklus ini paling banyak digunakan untuk kondisi sumur produksi yang
didominasi oleh fasa cair. Zat cair tersebut diekspansi dengan katup (sistem flash),
sehingga tekanannya akan turun dan terbentuk fasa campuran uap dan cair.
Kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam separator untuk dipisahkan, fasa
uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (
disuntikkan kembali ke dalam su
sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi
digambarkan pada diagram T
Gambar 2.1 Skema
Gambar 2.2
uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (
disuntikkan kembali ke dalam sumur injeksi. Skema dari siklus cetus tunggal
sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi
diagram T-s yang ada pada Gambar 2.2.
Skema siklus cetus tunggal sederhana pada sistem pembangkit
2 Diagram T-s untuk siklus cetus tunggal sederhana
uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (brine) sisanya
mur injeksi. Skema dari siklus cetus tunggal
sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi
embangkit.
ederhana. [1]
2.1.2 Siklus Biner
Siklus ini digunakan apabila sumur produksi memiliki temperatur yang
tidak terlalu tinggi (125-225 oC), sehingga kurang efektif dan ekonomis bila
digunakan untuk temperatur sumber yang tinggi (Badan Geologi, 2010). Dengan
memanfaatkan temperatur yang tidak terlalu tinggi, diperlukan fluida kerja lain
yang memiliki titik didih di bawah titik didih air, sehingga fluida kerja yang tepat
untuk digunakan adalah fluida kerja organik. Fluida kerja organik memiliki
temperatur didih yang rendah, sehingga panas yang tidak terlalu tinggi dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan untuk
menggerakan turbin yang ada di PLTP, yang umum disebut sebagai siklus biner.
Prinsip kerja siklus biner dengan memanfaatkan adanya penukar panas
(heat exchanger), panas yang dimiliki oleh brine dapat dimanfaatkan oleh fluida
kerja organik untuk menggerakkan turbin dan pada akhirnya dapat menghasilkan
listrik. Pada Gambar 2.3 ditampilkan gambar skematik dari siklus-biner.
Gambar 2.3 Skema siklus biner sederhana pada sistem pembangkit.
1
b
Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan
diagram P-h seperti Gambar 2.4 di bawah ini. Pada diagram P
perubahan fasa yang terjadi dalam siklus biner.
Gambar 2.
2.1.3 Siklus Kombinasi
Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada
prinsipnya, brine sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur
yang cukup tinggi. Brine
memanaskan fluida kerja pada siklus
panas (heat exchanger
yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan
dengan siklus cetus tunggal ataupun siklus biner.
Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus
cetus-biner dapat dilihat gambar skematik dari siklus cetus
Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T
Gambar 2.6.
Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan
h seperti Gambar 2.4 di bawah ini. Pada diagram P-h dapat dilihat juga
perubahan fasa yang terjadi dalam siklus biner.
Gambar 2.4 Diagram T-s untuk siklus biner sederhana. [1]
iklus Kombinasi
Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada
sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur
Brine tersebut dapat digunakan sebagai cairan pemanas untuk
memanaskan fluida kerja pada siklus biner, tentunya dengan perantaraan penukar
heat exchanger). Dengan memanfaatkan prinsip kerja tersebut, daya listrik
yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan
dengan siklus cetus tunggal ataupun siklus biner.
Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus
biner dapat dilihat gambar skematik dari siklus cetus-biner yang ada pada
Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T
Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan
h dapat dilihat juga
s untuk siklus biner sederhana. [1]
Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada
sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur
tersebut dapat digunakan sebagai cairan pemanas untuk
, tentunya dengan perantaraan penukar
). Dengan memanfaatkan prinsip kerja tersebut, daya listrik
yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan
Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus
biner yang ada pada
Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T-s pada
Gambar 2.5 Skema siklus kombinasi sederhana pada sistem pembangkit.
Gambar 2.6 Diagram T-s untuk siklus kombinasi sederhana. [1]
a
b f
2.2 Komponen-Komponen Utama Pada Sistem Pembangkit Panas Bumi
Komponen utama suatu sistem pembangkit listrik tenaga panas bumi
dengan siklus cetus-biner terdiri dari: katup ekspansi, separator, turbin, kondensor,
pompa, dan penukar panas (preheater dan evaporator).
2.2.1 Katup Ekspansi (Proses Cetus/Flash)
Proses ekspansi oleh katup dilakukan untuk menurunkan tekanan secara
spontan, sehingga akan terbentuk fluida dengan dua fasa seperti yang dapat dilihat
dalam proses 1-2 pada diagram T-s di Gambar 2.2. Proses flashing berlangsung
secara isentalpik (h = konstan), sehingga akan didapatkan persamaan:
h1 = h2 (2.1)
2.2.2 Separator (Komponen Pemisahan Fasa Fluida)
Separator berfungsi untuk memisahkan dua jenis fasa fluida (uap dan cair)
yang dihasilkan pada proses cetus/flashing dengan katup. Dengan diagram T-s
pada Gambar 2.2, dapat dilihat proses yang berlangsung pada separator. Proses
dari titik 2 ke 4 merupakan proses terbentuknya fasa uap jenuh, sedangkan proses
dari titik 2 ke 3 merupakan proses terbentuknya fasa cair jenuh. Kualitas/fraksi
dari campuran akibat proses flashing didekati dengan persamaan
x2 = ���������� (2.2)
2.2.3 Turbin
Turbin merupakan komponen yang penting pada sistem pembangkit
listrik, dimana kerja yang dihasilkan oleh turbin digunakan untuk memutar
generator. Generator tersebut dikelilingi oleh kumparan, sehingga akan
menghasilkan energi listrik.
Dari diagram T-s pada Gambar 2.2, yaitu proses dari titik 4 ke 5 dapat diketahui
bahwa kerja maksimum yang dapat dihasilkan oleh turbin adalah
�� t = �� s (h4-h5) (2.3) Sedangkan efisiensi isentropik turbin, didapatkan dengan
ηt = �������� (2.4)
Untuk siklus biner, dari diagram skematik pada Gambar 2.7 di bawah ini, turbin
dapat menghasilkan kerja maksimum, dimana persamaannya adalah
�� t = �� wf (h1-h2) (2.5)
Gambar 2.7 Turbin-generator untuk siklus biner.
2.2.4 Kondensor
Umumnya kondensor yang digunakan pada pembangkit listrik tenaga
panas bumi adalah kondensor berpendingin air [1]. Dengan bantuan diagram T-s
pada Gambar 2.2 di atas dapat dilihat bahwa proses kondensasi yang berlangsung
adalah dari titik 5 ke 6, dimana jumlah air pendingin yang diperlukan dapat
diperoleh dengan persamaan
�� cw = x2 �� total� ���� ������ ��� (2.6)
Dengan �� = konstanta kalor spesifik (4200 J/kg.K) Prinsip kerja dari kondensor memanfaatkan kesetimbangan kalor yang
terjadi antara fluida kerja panas dengan fluida kerja dingin. Proses yang
berlangsung pada kondensor dapat dilihat pada Gambar 2.8, dengan persamaan
kalor untuk fluida kerja panas
�� t = �� wf (h2-h3) (2.7)
Gambar 2.8 Kondensor dengan pendingin air.
Dari Gambar 2.8 di atas juga, didapatkan persamaan kesetimbangan energi untuk
kondensor
�� cw(hy-hx) = �� wf (h2-h3) (2.8) Pada kondensor berpendingin udara, fluida yang berfungsi sebagai
pendingin adalah udara. Prinsip yang dimanfaatkan adalah memanfaatkan aliran
udara yang dihasilkan oleh kipas untuk menurunkan temperatur fluida kerja yang
ada di dalam tube kondensor. Kondensor berpendingin udara dimanfaatkan
apabila lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada sulit untuk
mendapatkan air.
Pada tugas akhir ini, kondensor yang digunakan adalah kondensor
berpendingin udara, sehingga tidak diperlukan adanya menara pendingin / cooling
tower.
2.2.5 Pompa (Feedwater Pump)
Pompa digunakan untuk menaikkan tekanan/head dari fluida yang
dialirkan. Dari gambar skematik pada Gambar 2.9 dapat diketahui bahwa kerja
yang diperlukan oleh pompa adalah
�� p = �� wf (h4-h3) = �� wf (h4s-h3)/ηp (2.9)
Gambar 2.9 Pompa untuk kondensat.
2.2.6 Penukar Panas (Heat Exchanger)
Pada siklus biner diperlukan adanya komponen penukar panas. Fungsi
utama dari penukar panas tersebut digunakan sebagai pemanas awal (preheater)
dan evaporator, yaitu mengubah fasa fluida kerja dari cairan bertekanan
(compress liquid) menjadi cair jenuh untuk kemudian diubah menjadi uap jenuh.
Dalam mengkaji penukar panas digunakan asumsi bahwa pertukaran panas antara
brine dengan fluida kerja terisolasi dengan baik, aliran fluida berlangsung tetap
terhadap waktu (steady), dan dengan mengabaikan energi kinetik dan potensial.
Dari gambar skematik pada Gambar 2.10 di bawah ini dapat diperoleh persamaan
kesetimbangan energi pada penukar panas
�� b(ha-hc) = �� wf (h1-h4) (2.10)
Gambar 2.10 Preheater dan Evaporator.
Untuk memudahkan dalam menganalisis preheater dan evaporator digunakan
diagram temperatur terhadap persen perpindahan panas seperti Gambar 2.11 di
bawah ini. Diagram tersebut dapat menggambarkan fungsi dari setiap komponen
penukar panas, dan menunjukkan besar kalor yang dilepas/diterima oleh preheater
dan evaporator.
Preheater (PH) berfungsi untuk menaikkan temperatur fluida kerja sampai
titik cair jenuhnya, kemudian evaporator (E) berfungsi untuk mengubah fasa
fluida kerja dari cair jenuh menjadi uap jenuh. Posisi pada penukar panas dimana
temperatur dari brine dengan fluida kerja mencapai titik minimum disebut dengan
titik pinch, dan nilai selisih temperaturnya adalah ∆Tpp (delta temperatur pinch).
Tingkat keadaan 4 memiliki fasa dalam bentuk cair bertekanan
(compressed liquid) yang merupakan keluaran dari pompa, tingkat keadaan 5
merupakan fasa cair jenuh (saturated liquid) yang bekerja pada tekanan
evaporator, dan keadaan 1 merupakan fasa uap jenuh (saturated vapor) yang
sama dengan kondisi masuk turbin. Dari Gambar 2.10 di atas, diperoleh
persamaan energi untuk kedua jenis penukar panas tersebut
Preheater : �� b��b(Tb-Tc) = �� wf (h5-h4) (2.11) Evaporator : �� b��b(Ta-Tb) = �� wf (h1-h5) (2.12)
Temperatur brine masuk (Ta) selalu diketahui, sedangkan perbedaan
temperatur pinch (∆Tpp) umumnya diberikan oleh pabrik pembuat penukar panas
dalam spesifikasinya. Dengan diketahuinya nilai T5, maka nilai dari Tb dapat
diketahui juga.
Luas permukaan perpindahan panas dari evaporator bisa diperoleh dengan
persamaan:
�� E = ��AELMTD|E (2.12)
Nilai �� adalah nilai dari koefisien perpindahan panas total, dan LMTD|E
adalah nilai log-mean temperature difference yang diperoleh dengan persamaan
LMTD|E = ���������������
����� �!�" �#� (2.13)
Sedangkan nilai perpindahan kalor dari evaporator diperoleh dari
�� E = �� b��b(Ta-Tb) = �� wf (h1-h5) (2.14) Persamaan energi yang sama diterapkan juga untuk preheater, yaitu
�� PH = ��APHLMTD|PH (2.15)
LMTD|PH = ���������� ����
����" �#�$ �%� (2.16)
�� PH = �� b��b(Tb-Tc) = �� wf (h5-h4) (2.17) Hubungan-hubungan pada Persamaan 2.11–2.17 di atas, dapat dilihat dari Gambar
2.11 di bawah ini.
Nilai koefisien perpindahan panas total (��) didapatkan dari hasil eksperimen fluida yang digunakan pada sistem pembangkit. Sebagai asumsi awal
untuk menebak nilai koefisien perpindahan panas total (��) dalam proses analisis, dapat digunakan Tabel 2.1 di bawah ini
Gambar 2.11 Diagram temperatur
Nilai di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan
nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual,
yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan
panas yang terjadi dalam suatu
Tabel 2.
No
1 Ammonia (kondensasi)
2 Propana atau Butana (kondensasi)
3 Refrigerant (kondensasi)
4 Refrigerant (evaporasi)
5 Refrigerant (evaporasi)
6 Uap air
7 Uap air
8 Uap air (kondensasi)
9 Air
10 Air
11 Air
Diagram temperatur-laju perpindahan panas preheater dan
di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan
nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual,
yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan
panas yang terjadi dalam suatu proses.
Tabel 2.1 Perkiraan Nilai Untuk Beberapa Kondisi [1]
Fluida
Koefisien Perpindahan Panas
Total (
Btu/h.ft2.F
Ammonia (kondensasi) - Air 150- 250
Propana atau Butana (kondensasi) - Air 125- 135
Refrigerant (kondensasi) - Air 80- 150
Refrigerant (evaporasi) - Brine 30- 150
Refrigerant (evaporasi) - Air 30- 150
Uap air- Gas 5- 50
Uap air - Air 175- 600
Uap air (kondensasi) - Air 175-1050
Air - Udara 5 - 10
Air - Brine 100- 200
Air - Air 180- 200
dan evaporator. [1]
di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan
nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual,
yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan
Untuk Beberapa Kondisi [1]
Koefisien Perpindahan Panas
Total ( )
W/m2.K
850 - 1400
700 - 765
450 - 850
170 - 850
170 - 850
30 - 285
1000 - 3400
1000 - 6000
25 - 50
570 - 1135
1020 - 1140
2.3 Pemilihan Fluida Kerja
Faktor pemilihan fluida kerja pada siklus biner memiliki peran yang
penting dalam penentuan performansi sistem pembangkit.
Ada banyak jenis fluida yang dapat dijadikan fluida kerja dalam siklus biner,
tetapi harus diperhatikan juga batasan-batasan yang ada, misalnya sifat
termodinamika fluida, faktor kesehatan, faktor keamanan, serta faktor lingkungan.
2.3.1 Sifat Termodinamika
Faktor yang penting dalam pemilihan jenis fluida kerja adalah tekanan dan
temperatur kritisnya harus lebih rendah dari air. Temperatur kritis fluida kerja
yang rendah memungkinkan terjadinya perubahan fasa dari fluida kerja karena
proses pemanasan oleh brine. Fluida kerja yang memiliki fasa uap dapat
digunakan untuk menggerakan turbin, sehingga dapat menghasilkan energi listrik.
Dari Tabel 2.2 di bawah ini, dapat diketahui perbandingan temperatur dan tekanan
kritis antara berbagai jenis fluida kerja yang umum digunakan pada siklus biner.
Tabel 2.2 Sifat Termodinamika Beberapa Fluida Kerja Untuk Siklus Biner [1]
No
Jenis
Fluida
Rumus
Kimia Tc Tc Pc Pc Ps @ Ps @
oC
oF Mpa lbf/in
2 300 K 400 K
Mpa Mpa
1 Propana C3H8 96,95 206,50 4,236 614,4 0,993500 n.a.
2 i-Butana i-C4H10 135,92 276,70 3,685 534,4 0,372700 3,20400
3 n-Butana C4H10 150,80 303,40 3,718 539,2 0,255900 2,48800
4 i- Pentana i-C5H12 187,80 370,10 3,409 494,4 0,097590 1,23800
5 n-Pentana C5H12 193,90 380,90 3,240 469,9 0,073760 1,03600
6 Ammonia NH3 133,65 272,57 11,627 1686,3 1,061000 10,30000
7 Air H2O 374,14 705,45 22,089 3203,6 0,003536 0,24559
Karakteristik penting lain yang dimiliki oleh fluida kerja organik adalah
adalah bentuk diagram Temperatur-Entropi (T-s) yang sedikit berbeda dengan air.
Perbedaannya terdapat pada garis uap jenuh yang dimiliki. Garis uap jenuh pada
air memiliki kemiringan (slope) bernilai negatif, sedangkan untuk fluida kerja
organik kemiringannya bernilai positif. Perbedaannya dapat dilihat pada Gambar
2.12 di bawah ini.
Gambar 2.
2.3.2 Faktor Kesehatan
Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja
adalah faktor kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang
berisi sifat-sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan
untuk beberapa jenis fluida kerja.
Tabel 2.3 Sifat Keamanan dan Lingkungan Untuk Beberapa Jenis F
No
Jenis Fluida
Kerja
Rumus
1 R-12 CCl
2 R-114 C
3 Propana
4 i-butana i
5 n-butana
6 i-pentana i
7 n-pentana
8 Ammonia
9 Air
Gambar 2.12 Diagram T-s untuk fluida kerja organik. [1]
2.3.2 Faktor Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan
Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja
kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang
sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan
untuk beberapa jenis fluida kerja.
Sifat Keamanan dan Lingkungan Untuk Beberapa Jenis Flui
Rumus
Kimia Sifat Beracun
Sifat
Keterbakaran
CCl2F2 Tidak Beracun Tidak Terbakar
C2Cl2F4 Tidak Beracun Tidak Terbakar
C3H8 Rendah Sangat Tinggi
i-C4H10 Rendah Sangat Tinggi
C4H10 Rendah Sangat Tinggi
i-C5H12 Rendah Sangat Tinggi
C5H12 Rendah Sangat Tinggi
NH3 Beracun Rendah
H2O Tidak Beracun Tidak Terbakar
s untuk fluida kerja organik. [1]
Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja
kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang
sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan
luida Kerja [1]
Keterbakaran ODP GWP
Tidak Terbakar 1,0 4500
Tidak Terbakar 0,7 5850
Sangat Tinggi 0 3
Sangat Tinggi 0 3
Sangat Tinggi 0 3
Sangat Tinggi 0 3
Sangat Tinggi 0 3
0 0
Tidak Terbakar 0 -
Nilai Ozone Depletion Potential (ODP) merupakan nilai perbandingan
antara zat yang memiliki kandungan yang dapat merusak ozon dengan zat yang
merupakan acuan, dimana umumnya bernilai 1 untuk R-11 dan R-12.
Sedangkan nilai Global Warming Potential (GWP) merupakan ukuran dari
berapa besar massa yang diberikan dari zat penghasil gas efek rumah kaca yang
diperkirakan akan berkontribusi terhadap pemanasan global dibandingkan dengan
zat yang merupakan acuan, dimana umumnya bernilai 1 untuk karbondioksida.
2.4 Pembentukan Kerak (Scaling)
Hal lain yang menjadi masalah serius pada siklus PLTP adalah masalah
pembentukan kerak (scaling). Masalah scaling dapat dianalogikan seperti
terbentuknya kolestrol di dalam pembuluh darah manusia yang setiap saat dapat
menimbulkan masalah serius. Sama seperti itu, kerak akan menyebabkan
tersumbatnya aliran fluida yang melewati pipa/tube, mengurangi kemampuan
perpindahan panas, dan pada akhirnya akan mengganggu kinerja PLTP.
Salah satu penyebab terbentuknya kerak (Scale) adalah adanya kandungan
silika (SiO2). Senyawa silika memiliki empat bentuk, yaitu quartz, amorphous,
chalcedony, dan cristobalite. Yang menjadi pusat perhatian pada siklus PLTP
adalah fasa silika dalam bentuk quartz dan amorphous, karena kedua fasa ini
menunjukkan sifat kelarutan silika yang memiliki sifat paling mudah larut dan
paling sulit larut.
Sifat-sifat yang mempengaruhi konsentrasi silika adalah temperatur, kadar
garam (salinitas), dan nilai keasaman (pH). Faktor yang paling mempengaruhi
konsentrasi silika adalah temperatur, sehingga persamaan yang ada banyak
didekati sebagai fungsi dari temperatur [2].
Pada Gambar 2.13 akan diperlihatkan tingkat kelarutan dari berbagai bentuk
silika, dari yang mudah larut (E) sampai yang sulit larut (A).
A = amorphous silica
B = β-cristobalite
C = α-cristobalite
D = chalcedony
E = quartz
Gambar 2.13 Kelarutan berbagai bentuk silika. [3]
Dalam menganalisis proses terbentuknya kerak, ada tiga metode yang biasa
digunakan, yaitu metode Founier, DiPippo, dan Silica Scaling Index (SSI). Ketiga
metode tersebut akan dijelaskan pada sub-bab di bawah ini, dimana yang ingin
diperoleh adalah temperatur minimum keluar brine supaya tidak terbentuk kerak.
2.4.1 Metode Fournier
Untuk menghitung besarnya konsentrasi quartz digunakan persamaan di
bawah ini. Persamaan ini berlaku dengan menggunakan asumsi bahwa kandungan
yang terdapat di sumur produksi seluruhnya berfasa quartz.
q(tr,m=0) = 41,598 + 0,23932tr – 0,011172tr2 + 1,1713 × 10
-4tr3 – 1,9708 × 10
-7tr4
[2] (2.18)
Bila memperhitungkan kadar garam (salinitas), diperlukan koreksi:
q(tr,m) = q(tr,m=0) × F(tr,m) [4], (2.19)
Dimana nilai F(tr,m) = 1-[1-F(t,m=5)] × (m/5), nilai m = 0-5
F(tr,m=5) = 0.3363tr0,1644
(2.20)
m = molalitas = mol zat terlarut / kg larutan (menunjukan nilai kadar garam).
Sedangkan, untuk menghitung besarnya konsentrasi amorphous silika, digunakan
persamaan,
S(t1,m2) = q(tr,mr) × C1 × C2 [5] (2.21)
Dimana,
Nilai hr = h1, sehingga
Persamaan di atas tidak mem
single flash (Gambar 2.14) dan
Gambar 2.14 Diagram T
Setelah didapatkan nilai konsentrasi
menentukan nilai temperatur minimum
supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada
Gambar 2.16 seperti contoh di bawah ini.
Gambar 2.
C1 = 1/(1-x1)
C2 = 1/(1-x5)
sehingga x1 = (h1-h2) / (h3-h2)
= [hf(tr) – hf(t1)] / hfg(t1)
Persamaan di atas tidak memperhitungkan pengaruh salinitas, untuk contoh kasus
(Gambar 2.14) dan double flash (Gambar 2.15).
Diagram T-s Single Flash. [2] Gambar 2.15 Diagram T-s
Setelah didapatkan nilai konsentrasi amorphous silika, langkah selanjutnya adalah
menentukan nilai temperatur minimum brine keluar/temperatur rekristalisasinya
supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada
Gambar 2.16 seperti contoh di bawah ini.
Gambar 2.16 Kelarutan berbagai bentuk silika. [3]
(2.22)
(2.23)
(2.24)
perhitungkan pengaruh salinitas, untuk contoh kasus
s Double Flash. [2]
, langkah selanjutnya adalah
temperatur rekristalisasinya
supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada
Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan
nilai konsentrasi amorphous
gambar di atas.
dimana nilai s adalah konsentrasi
rekristalisasi (oC).
2.4.2 Metode DiPippo
Cara yang sama dengan metode
DiPippo, dimana nilai kelarutan
di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai
contoh:
Gambar 2.17 Pengaruh
Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan:
= -
Nilai kelarutan amorphous
trial & error, akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur
rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam,
sehingga nilai molalitas (m) = 0.
Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan
amorphous silika ke dalam persamaan garis A yang ada pada
t oC =
dimana nilai s adalah konsentrasi amorphous silika (ppm), dan t adalah temperatur
DiPippo
Cara yang sama dengan metode Founier diterapkan juga dalam metode
, dimana nilai kelarutan amorphous silika yang diperoleh dari persamaan
di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai
Pengaruh konsentrasi silika terhadap temperatur keluar
Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan:
- 6,116 + 0,01625T – 1,758×10-5T2 + 5,257×10
amorphous silika perlu dibagi dengan 58.400 ppm. Dengan proses
akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur
rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam,
sehingga nilai molalitas (m) = 0.
Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan
silika ke dalam persamaan garis A yang ada pada
(2.25)
silika (ppm), dan t adalah temperatur
diterapkan juga dalam metode
silika yang diperoleh dari persamaan
di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai
keluar. [1]
Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan:
+ 5,257×10-9T3 [6] (2.26)
silika perlu dibagi dengan 58.400 ppm. Dengan proses
akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur
rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam,
2.4.3 Metode Silica Scaling Index (SSI)
Ada juga metode lain yang digunakan untuk mencari temperatur
terbentuknya kerak (scale), yaitu dengan metode Silica Scaling Index (SSI).
Metode SSI adalah metode yang membandingkan antara nilai konsentrasi silika
yang dikandung brine dengan kelarutan amorphous silica. (Nugroho, 2007)
Untuk siklus cetus:
SSI = SII/s (2.27)
Untuk siklus biner dan Kalina:
SSI = SI/s (2.28)
Jika SSI > 1 terbentuk kerak, dan sebaliknya bila < 1 tidak terbentuk kerak.
Kelarutan Amorphous Silica diperoleh dengan persamaan
Log10s(T,m=0) = -6,116 + 0,01625T – 1,758 × 10-5T2 + 5,257 × 10
-9T3 [6] (2.29)
Nilai s dikalikan dengan 58.400 sehingga diperoleh satuan ppm, dan nilai T
merupakan temperatur keluar brine, dalam satuan Kelvin (K).
Bila memperhitungkan salinitas
s(T,m) = s(T,m=0) × 10-mD(t)
[5]
(2.30)
dimana, log10D(t) = -1,0569 – 1,573 × 10-3t (2.31)
Untuk siklus biner dan Kalina, konsentrasi silika keluar pada separator utama
SI = q(tr,m)/(1-x) (2.32)
dimana, x = fraksi uap pada separator utama.
Pada siklus cetus, konsentrasi silika keluar dari separator flash
SII = SI/(1-x1) (2.33)
Dimana, x1 = fraksi uap pada separator flash.
Dari persamaan di atas, apabila nilai SSI > 1 maka akan terbentuk kerak,
dan sebaliknya bila nilai SSI < 1 tidak terbentuk kerak.
2.5 Paket Program HYSYS
HYSYS adalah program yang umum digunakan untuk proses simulasi di
dunia industri, khususnya industri proses. Program ini dapat melakukan proses
simulasi secara statik maupun dinamik. Pada proses simulasi statik, parameter
operasi seperti tekanan, temperatur, laju aliran massa, dan lain-lain hanya
digambarkan pada waktu tertentu saja yang ditentukan sebelumnya. Sedangkan
untuk proses simulasi dinamik, perubahan parameter operasi dapat diamati seiring
berjalannya waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
Cara kerja dengan program HYSYS dimulai dengan memilih fluida kerja,
sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.18 di bawah ini. HYSYS memiliki
database untuk berbagai jenis fluida kerja yang dapat digunakan.
Gambar 2.18 Tampilan pada HYSYS untuk pemilihan fluida kerja.
Setelah menentukan fluida kerja, perlu ditentukan persamaan tingkat
keadaan yang akan digunakan, sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.19 di
bawah ini.
Gambar 2.19 Tampilan pada HYSYS untuk pemilihan persamaan tingkat keadaan.
Langkah selanjutnya adalah memilih komponen-komponen yang akan
digunakan, sebagai contoh turbin seperti pada Gambar 2.20 di bawah ini. Warna
indikator akan berubah dari kuning menjadi hijau bila input data yang diberikan
bernilai benar.
Gambar 2.20 Tampilan pada pemilihan kompenen turbin.
Komponen-komponen yang akan digunakan pada proses simulasi seperti
terlihat pada Gambar 2.21 di bawah ini akan dirangkai/disusun menjadi diagram
alir proses sesuai dengan komponen-komponen yang dipilih untuk proses
simulasi, sebagai contoh seperti Gambar 2.22 di bawah ini.
Gambar 2.22 Tampilan diagram alir proses. Gambar 2.21 Komponen pada HYSYS.
Setelah diagram alir proses didapatkan, dapat diketahui hubungan suatu
parameter dengan parameter lainnya. Hubungan tersebut dapat ditampilkan dalam
bentuk grafik maupun tabel, sebagai contoh seperti Gambar 2.23 untuk tampilan
grafik dan Gambar 2.24 di bawah ini untuk tampilan tabel.
Gambar 2.23 Tampilan grafik tekanan evaporator-laju aliran massa turbin.
Gambar 2.24 Tampilan tabel tekanan evaporator dan daya turbin.
Dari hasil yang telah didapatkan dengan program HYSYS, langkah
selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan proses pengolahan data
dengan bantuan paket program Microsoft Excel. Dari hasil pengolahan data pada
program excel, akan didapatkan pengaruh dari parameter-parameter yang ingin
diketahui korelasinya. Langkah terakhir adalah melakukan analisis terhadap hasil
yang diperoleh dari proses pengolahan data.
2.6 Paket Program HTRI dan Metode GPSA
Proses perancangan termal untuk penukar panas (preheater dan
evaporator) dilakukan dengan bantuan paket program Heat Transfer Research
Inc. (HTRI). Sedangkan untuk kondensor berpendingin udara dilakukan dengan
metode yang ada pada Gas Processors Suppliers Association (GPSA).
2.6.1 Paket Program HTRI
Paket program HTRI merupakan salah satu program yang banyak
digunakan dalam proses perancangan. Jenis perancangan yang akan dilakukan
dalam tugas akhir ini adalah proses perancangan termal, dimana kekuatan struktur
dan getaran tidak diperhitungkan. Yang diperhitungkan adalah neraca kalor dan
neraca massa yang terjadi sehingga diperoleh dimensi dasar.
Dalam menggunakan paket program HTRI ada beberapa langkah yang
perlu dilaksanakan, yaitu memasukan data tingkat keadaan masuk dan keluar
penukar panas, menentukan parameter perancangan (panjang tube, tebal tube,
jumlah tube, diameter shell, jenis penukar panas, jenis material, dan lain-lain), dan
menentukan jenis fluida kerja yang bekerja pada penukar panas.
Tampilan paket program HTRI dapat dilihat pada Gambar 2.25, dimana
diperlukan masukan data yang sesuai untuk proses perancangan yang diinginkan.
Parameter proses didapatkan dari hasil simulasi dengan paket program HYSYS.
Sedangkan parameter perancangan ditentukan sesuai dengan standar yang lazim
digunakan dalam proses perancangan.
Gambar 2.25
Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan
digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki
untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila
fluida kerja yang digunakan tid
sendiri untuk dimasukkan nilai sifat
fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26
dan 2.27. Standar yang umum digunakan dalam proses peran
panas adalah standar Tubular Exchanger Manufaturer
25 Tampilan masukan data pada paket program HTRI
Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan
digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki
untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila
fluida kerja yang digunakan tidak ada pada database HTRI, bisa didefiniskan
sendiri untuk dimasukkan nilai sifat-sifatnya. Sebagai contoh pemilihan jenis
fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26
dan 2.27. Standar yang umum digunakan dalam proses perancangan penukar
Tubular Exchanger Manufaturer’s Association
Tampilan masukan data pada paket program HTRI.
Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan
digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki database
untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila
HTRI, bisa didefiniskan
sifatnya. Sebagai contoh pemilihan jenis
fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26
cangan penukar
s Association (TEMA).
Gambar 2.26 Pemilihan fluida ker
ja untu
k alira
n panas.
Gambar 2.27 Pem
ilihan fluida ker
ja untu
k alira
n dingin.
Setelah semua masukan data yang diperlukan dimasukan dalam program
HTRI, akan dihasilkan lembar yang berisi hasil keluaran yang dihasilkan seperti:
dimensi, penurunan tekanan aktual, nilai kalor, persen overdesign, dan lain-lain.
Keluaran paket program HTRI seperti pada Gambar 2.28 di bawah ini.
Gambar 2.28 Keluaran lembar TEMA dengan paket program HTRI.
2.6.2 Metode GPSA
Gas Processors Suppliers
dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua
komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak
dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin
PLTP akan menggunakan metode yang ada pada GPSA.
Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu
tipe forced draft dan
udara dapat dilihat pada Gambar 2.29.
Gambar 2
Perbedaan antara tipe
Untuk forced draft, letak tube berada pada keluaran (
pada tipe induced draft
Kelebihan tipe induced draft
- Distribusi udara lebih baik
- Pengaruh sinar matahari dan hujan tidak besar, karena
Gas Processors Suppliers Association (GPSA) adalah buku yang berisi
dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua
komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak
dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin
PLTP akan menggunakan metode yang ada pada GPSA.
Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu
dan induced draft. Gambar skematik kondensor berpendingin
udara dapat dilihat pada Gambar 2.29.
Gambar 2.29 Tipe kondensor berpendingin udara. [7]
Perbedaan antara tipe forced draft dan induced draft terletak pada letak
letak tube berada pada keluaran (discharge) kipas sedangkan
draft, letak tube berada di sisi masuk (suction) dari kipas.
induced draft:
Distribusi udara lebih baik
Pengaruh sinar matahari dan hujan tidak besar, karena tube
(GPSA) adalah buku yang berisi
dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua
komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak
dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin udara pada
Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu
. Gambar skematik kondensor berpendingin
terletak pada letak tube-nya.
) kipas sedangkan
) dari kipas.
tube terlindungi
Kekurangan tipe induced draft:
- Perlu daya kipas yang lebih besar
- Lebih sulit dalam perawatan komponen kipas
Sedangkan untuk tipe forced draft, kelebihan yang dimilikinya adalah
- Perlu daya kipas yang lebih kecil
- Mudah dalam perawatan komponen mekanik yang ada
Kekurangan tipe forced draft:
- Distribusi udaranya kurang merata
- Dipengaruhi oleh sinar matahari dan hujan
Pada proses perancangan kondensor berpendingin udara, ada kelaziman
yang umum digunakan:
- Ukuran diameter kipas 3 - 28 ft, yang umum digunakan adalah 14 - 16 ft
- Daya pada satu kipas umumnya kurang dari 50 hp
- Panjang tube antara 6 – 50 ft
- Lebar bay (bay width) 4 – 30 ft
- Diameter tube antara 0,625 – 1,5 in, yang umumnya digunakan 1 in
- Jumlah baris tube antara 3 – 8 baris
Langkah selanjutnya adalah melakukan proses perancangan yang
memerlukan masukan data berupa:
� Temperatur rata-rata fluida kerja
� Nilai Cp fluida kerja
� Nilai viskositas dinamik (µ) fluida kerja
� Nilai koefisien konduksi (k) fluida kerja
� Nilai kalor (Q) dari penukar panas
� Nilai laju massa fluida kerja
� Nilai temperatur masuk (Tin) fluida kerja
� Nilai temperatur keluar (Tout) fluida kerja
� Nilai hambatan fouling fluida kerja
� Nilai penurunan tekanan yang diijinkan
Untuk udara sebagai fluida kerja pendingin, diperlukan masukan data
berupa temperatur udara sekitar, ketinggian tempat, dan nilai Cp untuk udara.
Pada proses perancangan kondensor berpendingin udara diperlukan juga
asumsi geometri, yang berupa:
� Jenis kondensor yang digunakan
� Diameter sirip tube dan jenisnya
� Jarak pitch tube dan jenisnya
� Jumlah aliran tube
� Panjang tube
� Luas bundle luar (APSF)
� Jumlah baris tube
� Luas total (APF)
� Diameter dalam tube
� Perbandingan luas sirip dan tube (AR)
� Diameter luar tube
� Jumlah kipas yang digunakan
Proses perancangan kondensor berpendingin udara dilakukan dengan
bantuan paket program Microsoft Excel, karena diperlukan proses iterasi untuk
memperoleh hasil yang memenuhi persyaratan.
Hasil yang didapatkan dari proses perancangan dengan metode GPSA diantaranya
adalah: daya kipas aktual, jumlah kipas, penurunan tekanan, diameter kipas, lebar
unit, dan lain-lain. Nilai penurunan tekanan yang dihasilkan dengan metode
GPSA digunakan sebagai nilai koreksi penurunan tekanan pada proses simulasi
dengan paket program HYSYS.
Pada proses perancangan termal dengan metode GPSA tidak dihasilkan
gambar teknik. Hasil dari proses perancangan dengan metode GPSA adalah
dimensi dari kipas, diameter bundle, lebar unit, dan lain-lain.
Recommended