View
24
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
JASA PENULISAN KREATIF Call/WA: 0812-2752-6557 / Pin BBm: 7E78B6D5Jasa penulisan naskah populer, biografi, outo biografi, karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, makalah, Penelitian Tindakan Kelas, Buku Pelajaran, Buku penunjang pelajaran.
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gaya hidup menjadi ciri khas yang tidak dapat terlepaskan dari
masyarakat modern. Bagi seorang yang hidup di dalam kebudayaan masyarakat
yang serba kompleks seperti sekarang ini, terkadang diperlukan sebuah gaya
hidup untuk mendukung semua aktifitas dan eksistensinya. Hal ini merujuk pada
kecanggihan teknologi, tren dan mode yang terus berkembang, disertai adanya
tuntutan zaman terhadap pandangan profesionalitas seseorang yang nantinya
akan mewarnai jenjang kebutuhan, gaya hidup serta karier.
Gaya hidup merupakan cerminan dari kepribadian individu secara
menyeluruh yang diwujudkan dalam kegiatan, minat dan opini dari individu yang
bersangkutan. Pada mulanya konsep gaya hidup diperkenalkan oleh adler. Adler
mengatakan bahwa gaya hidup merupakan prinsip-prinsip idiografik yang dapat
digunakan sebagai landasan untuk memahami tingkah laku dan keunikan
individu yang akan melatar belakangi sifat khas yang dimilikinya (Hall dan
Lindsey, 1985). Gaya hidup adalah cara unik individu untuk mencari tujuan
hidup yang disusun dalam perencanaan hidup untuk menemukan dirinya. Adler
menyatakan bahwa gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap
1
dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam
kehidupan, yaitu pekerjaan, persahabatan, dan cinta.
Gaya hidup didefinisikan sebagai cara hidup yang dikenali dari
bagaimana orang menggunakan waktu dan melakukan aktivitas mereka yang
berkaitan dengan mereka sendiri dan dunia sekitar mereka (brotoharjoso, dkk,
2005).
Gaya hidup menurut Kotler (2002, p. 192) adalah pola hidup seseorang di
dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam
beraksi dan berinteraksi di dunia.
Menurut Susanto (dalam Nugrahani, 2003) gaya hidup adalah perpaduan
antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam
bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak
diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya
gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain
sebagainya.
Menurut Lisnawati (2001) gaya hidup sehat menggambarkan pola
perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental
dan social agar selalu berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi
kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-
2
minuman beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola
stres yang dialami. Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005)
menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilaku-perilaku
atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidup yang sehat diperlukan
pertahanan yang baik dengan menghindari kelebihan dan kekurangan yang
menyebabkan ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang
mendatangkan penyakit (Hardinger dan Shryock, 2001).
Sebuah penelitian tentang gaya hidup orang-orang eropa yang dilakukan
oleh Chaney, Bauddrillard (1970), Ibrahim (1997), Featherson (2001) dan Barker
(2000) menjelaskan bahwa abad ini adalah era globalisasi dan modernisasi,
dimana manusia memperlihatkan dan mengutamakan pola perilaku konsumtif
atas produk-produk budaya modern, sehingga membentuk sikap hidup, karakter
dan mentalitas, image yang lebih mengedepankan individualitas, egoisme,
mtrelialistis dan rasionalisasi. Chaney dan feathersone menjelaskan bahwa
indicator gaya hjidup seseorang muncul ketika mengkonsumsi produk-produk
kapitalis dengan industri mcdonald di mall atau supermall, industri kosmetik,
industri sepatu, industri hp seluler dan sebagainya.
Apresiasi konsumsi dan gaya hidup orang Eropa di Barat maupun Asia
non-Barat mengalami rentang waktu yang panjang (Chaney, Braudrillard dan
Subandi) bahwa gaya hidup orang eropa dialami sekitar tahun 1950-an dan orang
3
Asia, khusus Indonesia mengalami pada tahun 1990an. Adaptasi gaya hidup ini
terjadi dimana melalui arus globalisasi dan berkembang pada seluruh aspek
kehidupan. Disadari atau tidak pola gaya hidup modern ini menuju pada satu
kesimpulan yaitu menarik masyarakat semakin jauh untuk terlibat. Dilihat dari
sisi gendernya, wanita atau perempuanlah yang lebih banyak terbawa arus
modernisasi dimana pada saat ini dizaman emansipasi wanita, perempuan
bergerak ke segala arah menuju kemajuan.
Citra diri adalah bagian yang paling diserang oleh mereka yang
menjajakan gaya hidup tertentu untuk menarik perhatian masyarakat (Chaney,
1996). Semua orang berlomba-lomba mengejar materi, berlomba-lomba
mencapai sesuatu yang lebih dan lebih lagi. Kecenderungan masyarajat menjadi
lebih modern inilah yang menyebabkan adanya pergeseran nilai-nilai yang terjadi
pada wanita modern sekarang. Tuntutan ekonomi ternyata bukan termasuk factor
utama yang menuntut wanita untuk berkarir, namun gaya hidup yang dianut
seorang wanita yang memotivasi mereka untuk mengembangkan aktivitas, minat,
kemampuan, dan opininya dalam sebuah karir yang sesuai dengan bidang
keilmuan dan keahlian yang mereka miliki.
Sarwono (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
gaya hidup adalah konsep diri. Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2, yaitu
faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal
4
dari luar (eksternal). Factor-faktor internal meliputi, sikap, pengalaman dan
pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, persepsi. Adapun faktor eksternal
dijelaskan oleh Nugraheni (2003) sebagai berikut: Kelompok referensi, keluarga,
kelas sosial dan kebudayaan.
Keputusan seorang wanita untuk berkarir di luar tugas utamanya sebagai
ibu rumah tangga tentu sangat dipengaruhi oleh banyak factor, baik internal
maupun eksternal, misalnya adanya persepsi bahwa dengan berkarier maka
seorang wanita akan mempunyai dunia sosial yang lebih luas sehingga mampu
mengekspresikan dan mengaktualisasikan kemampuan diri di dalamnya dan
menjadi lebih bermanfaat bagi sesama. Selain itu, budaya masyarakat dewasa ini,
menempatkan wanita karier ke dalam kelas sosial yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita yang hanya mengurus pekerjaan domestic rumahtangga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), Karir
berasal dari kata karier (Belanda) yang berarti pertama, perkembangan dan
kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dan jabatan. Kedua pekerjaan yang
memberikan harapan untuk maju. Selain itu kata karir selalu dihubungkan
dengan tingkat atau jenis pekerjaan seseorang. Wanita karir berarti wanita yang
berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha dan perusahaan).
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa “wanita karir” adalah wanita
yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian
tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup,
5
pekerjaan, atau jabatan. Pengertian wanita karir sebagaimana dirumuskan diatas,
nampaknya tidak identik dengan” wanita bekarja”. Berikut beberapa ciri wanita
karir meliputi:
1. Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu
kemajuan.
2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan kegiatan-kegiatan
profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik,
ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial, budaya
pendidikan, maupun di bidang-bidang lainnya.
3. Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karir adalah pekerjaan yang
sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam
kehidupan, pekerjaan, atau jabatan
Factor internal lain yang memotivasi wanita untuk berkarier adalah
konsep diri. Wanita karier cenderung mempunyai konsep diri yang positif.
Mereka memandang bahwa dirinya berharga, mempunyai potensi dan
kemampuan yang bisa dikembangkan dan diaktualisasikan, mampu
menghasilkan uang dan materi, dan tentusaja lebih mandiri dalam menentukan
pilihan dan keputusan hidup. Hal ini dikarenakan wanita karier mempunyai
tempat untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya juga menyalurkan
hobinya, mempunyai banyak teman dan relasi kerja.
6
Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri
positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: Merasa mampu mengatasi
masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu,
merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi
diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan
karakteristik sebagai berikut: Peka terhadap kritik, bersikap responsif terhadap
pujian, cenderung merasa tidak disukai orang lain, mempunyai sikap hiperkritik.
Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain, mengalami
hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Konsep diri kearah positif adalah konsep diri yang banyak dipengaruhi
oleh pengalaman hidup yang menyenangkan yang dapat membuat individu untuk
meningkatkan rasa percaya diri, perasaan kontrol diri, dan mencapai well-being
(Hoelter,1983; Thoits,1991). Sebaliknya penilaian negative terhadap hidup akan
memepengaruhi terbentuknya konsep diri negative pada individu, self esteem,
self critical dan self enhancing. Ini berarti bahwa penilaian yang positif terhadap
diri individu akan meningkatkan well beingnya begitu juga sebaliknya, penilaian
negative diri individu akan menurunkan tingkat well-beingnya.
Konsep diri yang baik khususnya pada wanita karir pada akhirnya akan
menjadikan gaya hidup mereka menjadi lebih baik yang pada akhirnya tentu saja
akan berimbas terhadap bagaimana seorang wanita dalam menyelesaikan
7
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang
mengancam atau yang dikenal dengan istilah mekanisme koping.
Koping adalah sebuah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang
dihadapi atau beban yang diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan
respon tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres. Apabila mekanisme coping
ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban
tersebut (Ahyar, 2010).
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon
terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999).
Sedangkan menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif
dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan
atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.
Berdasarkan kedua definisi di atas, maka yang dimaksud mekanisme
koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah,
mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara
kognitif maupun perilaku
Individu dapat mengatasi stres dengan menggerakkan sumber koping di
lingkungan. Ada lima sumber koping yaitu: aset ekonomi, kemampuan dan
keterampilan individu, teknik-teknik pertahanan, dukungan sosial dan dorongan
motivasi (Hidayat, 2008).
8
Dari gaya hidup seorang wanita karir, dia akan memiliki sebuah konsep
diri dan cara menyelesaikan masalah yang tentu saja akan sangat berbeda dengan
mereka yang tidak berkarir. Bahkan pendapat umum yang tumbuh dalam
masyarakat, wanita yang sukses dalam berkarir, sangat sulit atau bahkan tidak
memiliki hubungan yang langgeng dan tetap, apalagi bila pasangannya tersebut
memiliki karir dan penghasilan yang tidak sebagus sang wanita.
Di Indonesia, kita mengenal sebutan perawan tua, yaitu para wanita yang
hingga usia matang belum menikah. Bahkan di China, wanita yang hingga usia
27 tahun belum menikah akan mendapat predikat perempuan sisa. Sebutan ini
resmi dikeluarkan oleh pemerintah China selama beberapa tahun terakhir. Sheng-
nu atau perempuan sisa adalah predikat menyakitkan bagi banyak wanita di
China. Panggilan ini secara resmi digunakan mulai tahun 2007, dilansir BBC
News. Panggilan ini mulai digalakkan secara agresif oleh pemerintah untuk
memberi stigma pada wanita berpendidikan berusia 27 tahun yang belum
menikah. Meskipun pada akhirnya, sebutan ini dicabut setelah mendapat keluhan
dari sejumlah wanita.
Fenomena tentang wanita lajang di Indonesia sudah banyak sekali
dibahas oleh para peneliti-peneliti. Menurut Kartika (dalam Rendy, 2002) bagi
wanita Indonesia menikah adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah
lama ada dikondisikan dalam budaya patriarki. Kondisi budaya, agama dan
lingkungan sekitar menuntut wanita wajib memasuki jenjang dalam lembaga
9
perkawinan, karena jika tidak maka akan muncul labelling bagi wanita yang
dalam kategori cukup umur dan belum menikah. Salah satu label yang sering
diterima wanita lajang adalah perawan tua.
Menurut Rieka (dalam Rendy, 2008) ada faktor yang melatarbelakangi
wanita lajang yaitu banyak wanita yang masih memiliki pandangan ideal
terhadap pasangan. Sekarang ini semakin banyak wanita yang mandiri, memiliki
karir sukses dan bisa memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri. Alhasil menikah
dengan tujuan menggantungkan kebutuhan finansial kepada suami tentu tidak
ada lagi. Kalaupun menikah tidak ada urusannya dengan kebutuhan ekonomi
namun mencari kenyamanan dengan pasangan dan atau memiliki keturunan.
Bagi wanita, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan
diri. Bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri
dengan cara kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang
mendatangkan kebahagiaan terhadap dirinya sendiri, terutama jika prestasinya
tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui
bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, pencapaian
tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan (Hirmaningsih, 2008).
Maslow (dalam Semiun, 2007) berpendapat bahwa apabila kebutuhan-
kebutuhan fisiologis dan rasa aman terpenuhi, maka kebutuhan akan cinta dan
memiliki akan muncul. Kebutuhan akan cinta akan terasa apabila kekasih, istri,
suami, atau anak-anak tidak ada. Namun demikian, kebutuhan akan cinta bisa
10
terungkap dalam keinginan memiliki teman-teman atau dalam keinginan
menjalin hubungan-hubungan afektif dengan orang lain. Kebutuhan untuk
memiliki akan terlaksana apabila individu menggabungkan diri dengan suatu
kelompok atau perkumpulan, menerima nilai-nilai dan sifat-sifat yang ada di
kelompok tersebut. Beberapa wanita lajang pada umumnya memperoleh
kebutuhan akan cinta atau hubungan afektif dengan sahabat-sahabat mereka.
Kecenderungan melajang ini biasanya lebih sering dijumpai pada
perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan
mengutamakan karir mereka dibandingkan perempuan-perempuan kebanyakan.
Mereka cenderung memiliki gaya hidup yang lebih mandiri dan kebebasan yang
tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan yang sudah menikah pada umumnya.
(Robinson dan Bessell, 2002: 229). Mereka cukup mempunyai pendapatan, siap
konsumsi dan cenderung membelanjakannya untuk mendukung hidup hura-hura,
seperti hiburan, membeli pakaian dan dekorasi rumah (Prasetijo dan Ihalaw,
2003).
Di sudut lain, seiring berjalannya waktu serta banyaknya kesempatan
dalam memperluas aspek-aspek dalam kehidupan, sehingga sekarang ini semakin
banyak orang yang menganggap bahwa wanita dewasa yang belum menikah
justru dianggap sebagai simbol sosok modern. Wanita lajang bergairah dalam
pekerjaan mereka dan memiliki antusias dalam berprestasi. Banyak dari wanita
lajang yang telah membantu orang tua. Mereka membiayai keluarga,
11
menyerahkan seluruh pendapatannya untuk membiayai pendidikan saudara-
saudara mereka (Diana, 2008).
Dari semua konsep dan realita yang tergambarkan di atas peneliti
mencoba untuk membahas lebih dalam, apakah ada korelasi positif antara gaya
hidup wanita karir yang belum menikah dengan konsep diri dan pola coping
positif mereka terhadap Psychological Well-Being pada setiap pribadi wanita
tersebut.
Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-being
sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan.
Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap
keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau
berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological
well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).
Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari
potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan
kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan
orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi
lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta
terus mengembangkan pribadinya. Psychological well-being bukan hanya
kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun
12
juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama
hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff, 2002).
Pada penelitian kali ini, peneliti melihat adanya sebuah pengaruh gaya
hidup wanita karir dengan konsep diri, pola coping positif yang mereka meiliki
terhadap Psychological Well-Being terutama pada wanita lajang yang belum
menikah. Dan pengaruh tersebut terlihat pada pola hidup, pemilihahan
keputusan, penyelesaina masalah dan lain ebagainya.
A. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh gaya
hidup wanita karir, konsep diri, dan pola coping positif terhadap Psychological
Well-Being pada wanita lajang yang belum menikah.
B. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh gaya hidup wanita karir, konsep diri, dan pola
coping positif, terhadap Psychological Well-Being pada wanita lajang yang
belum menikah.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
13
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya bagi Psikologi Positif dan
Psikologi Kesehatan Mental. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman terkait tentang kondisi Psychological Well-
Being pada wanita lajang ditinjau berdasarkan pola coping positif, konsep
diri, dan gaya hidup wanita karir.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mendorong peneliti lain
untuk dapat meneliti lebih lanjut masalah mengenai Psychological Well-
Being pada wanita lajang yang belum menikah. Penelitian ini merupakan
langkah awal untuk memahami bagaimana kondisi subjective well being
pada wanita lajang yang belum menikah dilihat dari konsep diri, gaya
hidup wanita karir dan pola coping positif yang mereka kembangkan.
Harapannya, hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas dalam
memahami dan memberikan perlakuan bagi wanita lajang yang belum
menikah dan mempunyai karier.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai gaya hidup sudah banyak dilakukan oleh para
peneliti sebeumnya, baik gaya hidup remaja, wanita berumah tangga, dan lain
sebagainya. Sepanjang pengetahuan penyusun, diantara penelitian tersebut adalah
14
disertasi yang disusun oleh Hartanto Brotoharsojo dari Universitas Indonesia,
disertasinya meneliti tentang Hubungan antara gaya hidup, konsep-diri, citra
produk dan sistem nilai dengan intensi konsumen wanita untuk membeli
kosmetik lokal, 'patungan' dan/atau impor di wilayah DKI Jakarta dan
sekitarnya..
Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Dyah Kumalasari
tentang single professional women sebagai fenomena gaya hidup baru di
masyarakat Yogyakarta (studi kasus: kabupaten sleman). Selain penelitian di
atas, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Pauline Sutantodan Farida Haryoko
tentang Gambaran Konsep Diri pada Wanta Berkarier Sukses yang Belum
Menikah dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang dimuat dalam jurnal
INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010.
Pada penelitian lain juga pernah dibahas mengenai Hubungan Antara
Konsep Diri Dengan Perilaku Konsumtif Remaja Putri Dalam Pembelian
Kosmetik Melalui Katalog Di Sma Negeri 1 Semarang yang dilakukan oleh
Sintiche Ariesny Parma dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Semarang.
Gambaran kepribadian dan psychological well-being ditinjau berdasarkan
golongan darahnya yang diteliti oleh I Made Yudhistira Dwipayama, M.Psi.
selain itu, ada juga penelitian tentang Hubungan Antara Gaya Hidup Achievers
15
Dengan Minat Menggunakan Kartu Kredit Pada Pegawai Wanita Sekretariat
Daerah Propinsi Jawa Tengah Skripsi yang disusun oleh Veronika Shinta
Prima Alam pada program studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang mei 2006.
Diantara penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti-peneliti
terdahulu, penyusun belum menemukan adanya penelitian yang berkaitan dengan
pengaruh gaya hidup wanita karir konsep diri, dan pola coping positif, terhadap
Psychological Well-Being pada wanita lajang yang belum menikah.
E. Landasan Teori
Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai well-
being. Pendekatan hedonic, yang mendefenisikan well-being sebagai kesenangan
atau kebahagiaan dan pendekatan eudaimonic, yang fokus pada realisasi diri,
ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan
kemampuannya. Waterman (1993), menekankan bahwa eudaimonic terdiri dari
pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Beberapa literature dari
para ahli merujuk pada pendefinisian positive psychological functioning.
Diantaranya adalah teori Maslow (1968) tentang konsep aktualisasi diri (self-
actualization), pandangan Roger (1961) tentang individu yang berfungsi secara
16
penuh (fully functioning system), formulasi teori Jung (1933) tentang individuasi
(individuation), dan konsep kedewasaan (maturity) oleh Allport (1961).
Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun
1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai
aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang
berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami
fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai
pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup
dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).
Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-being
sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan.
Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap
keadaan yang membuat psychological well-being individu menjadi rendah atau
berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang akan membuat psychological
well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995).
Lawton (dalam Keyes, 2003), mendefinisikan psychological well-being
sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang
ditekankan pada hirarki tujuan individu. Menurut Ryff (1989), psychological
well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu
dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya,
mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat
17
menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai
dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan
pribadinya. Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan
keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun juga melibatkan
persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes,
Shmotkin dan Ryff, 2002).
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-
being adalah kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya
kepuasan hidup dan realisasi diri. Kondisi ini sendiri dipengaruhi oleh
penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan,
otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.
Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi pendukung.
Masing-masing dimensi dalam psychological well-being menjelaskan tantangan-
tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara
penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes &
Haidt, 2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1. Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan
mental, aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri
berarti sikap yang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan di masa lalu,
18
serta mampu menerima kekurangan dan kelebihan serta batasan-batasan
yang dimiliki dalam aspek diri individu.
2. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)
Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang
dimiliki seseorang, perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap
pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini
memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai
sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan
mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke
waktu, dan ini berlaku sebaliknya.
3. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya
keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan
makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan
cita-cita serta merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang
memiliki makna tertentu.
4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih
atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan
yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan
kemampuannya untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang
19
sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya dan memanfaatkan secara
maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan.
5. Otonomi (Autonomy)
Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu
menampilkan sikap kemandirian, memiliki standard internal dan menolak
tekanan sosial yang tidak sesuai. Individu yang memiliki tingkatan otonomi
yang baik ditunjukkan sebagai pribadi yang mandiri, mampu menolak
tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu,
mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri
dengan standard pribadi dan hal ini berlaku sebaliknya.
6. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)
Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,
memuaskan, saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk
timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif
yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang
hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki
perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati,
rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan
menerima dalam hubungan sesama manusia dan ini juga berlaku sebaliknya.
20
Psychological well-being pada diri seseorang ini dipengaruhi oleh
beberap faktor, yaitu:
1. Usia
Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan
bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological
well being. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri,
hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin
dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan
penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam
Snyder & Lopez, 2002).
2. Tingkat Pendidikan
Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Synder & Lopez, 2002)
menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap psychological well being yang dimiliki individu Individu yang
memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki psychological well
being yang lebih baik juga.
3. Jenis Kelamin
Wanita menunjukkan psychological well being yang lebih positif jika
dibandingkan dengan pria. Ryff (1989) menunjukkan bahwa pada dimensi
relasi positif, wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan pria.
Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki
21
digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu
perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta
sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah yang
menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam
dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik
dengan orang lain.
4. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri,
tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang
memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan
dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih
baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan
tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial
tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.
22
Daftar Pustaka
Ajzen, I. Attitude, Personality, and Behavior. Open University Press: 2005.
Baudrillard, Jean P. diterjemahkan oleh Wahyunto. Masyarakat Konsumsi. Kreasi
Wacana, Yogayakarta: 2004.
Bauna’i, Wanita Karir dalam Prespektif Hukum Islam “Jurnal Keislaman dan
Keilmuan Karsa, Vol.11(Mei 2001)
Brooks, W.D., Emmert, P. Interpersonal Community.. Brow Company Publisher.
Iowa: 1976
Brotoharsojo, dkk Psikologi Ekonomi dan Konsumen. Psikologi Universitas
Indonesia. Depok: 2005.
C.Utami Munandar, Wanita Karir Tantangan dan Peluang,” Wanita dalam
Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan. Sunan
Kalijaga Press, Yogyakarta: 2001)
Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 1 Teori-Teori
Psikodinamik (Klinis), Kanisius. Jogjakarta: 1993
Huzaemah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Almawardi Prima,
Yogyakarta: 2001
23
Kumpulan Penulis: Editor Idi Subandi Ibrahim. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop
dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. 1997. Bandung: Jalasutra
Martin Kornberger, Brand Society: How Brands Transform Management and
Lifestyle. Cambridge University Press, Melboerne: 2010
Munandar, A.S Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia Press.
Jakarta: 2001
Nugraheni, P.N.A.. Perbedaan Kecenderungan gaya Hidup Hedonis Pada Remaja
Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. Skripsi 2003 (tidak diterbitkan).
Peter James Burke, Advances in Identity Theory and Research, Springer, Cluwer
Academic/Plenum Publisher: Amerika: 2003
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, English
Press, Jakarta: 1991.
Piliang, Y.A. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Jalasutra, Yogyakarta: 2005
Plummer, R. Life Span Development Psychology: Personality and Socialization.
Academic Press. New York 1983
Sakinah. Media Muslim Muda.Elfata. Solo 2002
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi remaja, Rajawali Pers, Jogjakarta: 1989
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial Kelompok dan Terapan, PT Balai
Pustaka, Jakarta: 1999
Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1989
24
Subandy,Idi. Ecstasy Gaya Hidup. Mizan. Bandung: 1997
Susanto,A.B. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Penerbit Buku. Jakarta: 2001
http://www.ubishops.ca/baudrillardstudies/vol2_2/norris.htm
http://www.transparencynow.com/advertise.htm
http://www.anneahira.com/gaya-hidup-mewah.htm
http://zonegirl.wordpress.com/2011/11/30/pengertian-korupsi-etika-bisnis-dan-
hubungan-etika-bisnis-dengan-korupsi/
http://tonymisye.blogspot.com/2011/04/nilai-nilai-individu-dan-sikap-kerja.html
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/18/gaya-hidup/
http://gilangjaelani.blogspot.com/2011/10/kepribadian-nilai-dan-gaya-hidup.html
http://e.psikologi.com
http://bebas.vlsm.org/kuliah/seminar-MIS/2006/172-11
25
Recommended