View
37
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Terong Ngor (Solanum indicum)
Terong Ngor (Solanum Indicum) merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh
secara liar dan menghasilkan buah kecil-kecil sebesar telur burung merpati. Di
Bali Terong Ngor disebut sebagai terong kokak yang banyak digunakan sebagai
sayur dan sambal goreng. Batang tanaman ini bercabang banyak serta berduri.
Buah mula-mula berwarna hijau tua dengan bencah-bencah warna cerah dan
sesudah masak berwarna kuning belerang dan kuning (Effendi.2012,
Hakim.2010).
Gambar 2.1 Tanaman Terong Ngor (Effendi, 2012)
Tanaman Terong Ngor (Solanum indicum) merupakan jenis tanaman yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Tanaman Solanum tumbuh
dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 2000 m-3000 m di atas
permukaan laut. Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid yang berbasis
kerangka cholestane C27 (Desai et al. 2011).
2.2 Fitokimia Ekstrak Solanum Indicum atau Solanum Xanthocarpum
Terong ngor memiliki nama ilmiah Solanum indicum dan sering juga di
sebut sebagai terong pipit, terong peuheur. Di india Solanum indicum/Solanum
xanthocarpum digunakan dalam pengobatan Ayurweda (Ayurvedic medicine). Di
Bali terong Ngor banyak digunakan sebagai sayur dan sambal goreng.
Fitokimia dari Solanum indicum terdiri dari alkaloid steroid (solasodin),
saponin, flavonoid dan polifenol (daun dan biji). Sementara buahnya mengandung
alkaloid steroid (solasodin), flavonoid dan tanin (Hariana,H.A.,2008). Buah
terong ngor mempunyai kemiripan dengan buah terong yang tumbuh di india
yaitu indian solanum atau kateli (solanum xanthocarpum). Fitokimia Solanum
xanthocarpum terdiri dari alkaloid steroid, sterol, saponin, flavonoid, glikosida,
karbohidrat, asam lemak dan asam amino (Neelima et al., 2011, Singh and
Singh,2010). Solasodin pada ekstrak buah terong merupakan glikoalkaloid yang
aglikonnya mempunyai inti steroid. Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid
yang berbasis kerangka cholestane C27 sebagai bahan awal untuk produksi
hormon steroid untuk kontrasepsi (Desai et al., 2011). Flavonoid adalah suatu
kelompok senyawa fenol yang bertanggung jawab terhadap zat warna hijau,biru
dan warna kuning dalam tumbuhan (Hariana, A.,2008).
2.2.1 Tinjauan Umum Alkaloid
Alkaloid adalah sekelompok senyawa nitrogen heterosiklik yang kompleks,
yang memiliki aktivitas fisiologi yang kuat, kebanyakan bersifat toksik, dan
mempertahankan sifat kimia dasarnya. Alkaloid merupakan turunan asam amino,
memiliki struktur molekul yang kompleks dengan setidaknya satu atom nitrogen
terlibat dalam cincin heterosiklik. Dengan pengertian ini, alkaloid memiliki
aktivitas farmakologi yang spesifik terutama pada sistem saraf. Hal ini membuat
alkaloid sebagai bahan beracun dan bahan obat yang potensial (Fattorusso, 2008).
Alkaloid bisa diklasifikasikan dalam hal: (1) aktivitas biologi dan ekologi; (2)
struktur kimia; dan (3) jalur biosintesis. Dari sudut pandang aktivitas biologi,
alkaloid digolongkan ke dalam: (1) molekul basa lemah atau netral (misal laktam
seperti ricinine, oksida-N seperti indicine); (2) alkaloid yang berasal dari hewan
(misal anuran, alkaloid mamalia dan artropoda); (3) alkaloid yang berasal dari
laut; (4) alkaloid yang berasal dari lumut; (5) alkaloid yang berasal dari jamur dan
bakteri, (6) dan alkaloid non-alami (modifikasi struktur atau analog). Berdasarkan
sudut pandang struktur, ada tiga jenis alkaloid: (1) alkaloid sejati; (2)
protoalkaloid; dan (3) pseudoalkaloid. Alkaloid sejati dan protoalkaloid berasal
dari asam amino, sedangkan pseudoalkaloid tidak berasal dari asam amino
(Aniszewski, 2007).
2.2.2 Tata Nama Alkaloid
Alkaloid merupakan kelompok besar senyawa organik dan kebanyakan
berasal dari tumbuh-tumbuhan. Senyawa alkaloid ditemukan pada akar, biji, daun,
kulit kayu dan ranting. Tata nama kebanyakan alkaloid berasal dari nama ilmiah
tumbuhan sumbernya dengan akhiran –in atau ine (misal Solanine berasal dari
Solanum, Lupinine berasal dari Lupinus) beberapa diantaranya diberi nama dari
aksi fisiologisnya, seperti morfin (menginduksi tidur) berasal dari bunga candu
Opium (Fattorusso, 2008).
Tumbuhan yang mengandung banyak alkaloid berasal dari famili amirylis
(Amyrillidaceae), famili aster atau composite (Asteraceae atau Compositae),
famili spurge (Euphorbiaceae), famili legume (Fabaceae atau Leguminosae),
famili lily (Liliaceae), famili poppy (Papaveraceae), famili buttercup
(Ranunculaceae), family madder (Rubiaceae), dan famili nightshade
(Solanaceae). Dua kelompok alkaloid yang sangat beracun, berasal dari yew
(Taxus spp.) dalam famili yew (cemara) dan hemlock beracun (Conium spp.)
dalam family celery atau umbel (Apiaceae atau Umbelliferae) (Fattorusso, 2008).
2.2.3 Toksisitas alkaloid
Banyak alkaloid terkenal dengan toksisitas yang kuat terhadap hewan dan
manusia. Kebanyakan alkaloid mematikan merupakan kelas neurotoksin.
Selebihnya memiliki sifat-sifat sitotoksik. Setelah dicerna, alkaloid diubah secara
kimiawi oleh reaksi enzimatis didalam hati. Kadang-kadang alkaloid tidak
berbahaya, dalam kasus lain bisa mematikan. Sebagai contoh adalah alkaloid
pirolizidin yang ditemukan pada Ragwort (Senecio spp.). Alkaloid tersebut tidak
berbahaya bagi hati, tapi senyawa yang dihasilkan sangat berbahaya. Dampaknya
adalah kerusakan hati pada manusia dan hewan dan tidak ada perawatan yang
memadai terhadap gangguan ini. Kemiripan struktur antara alkaloid dan zat
transmitter syaraf yang diproduksi tubuh meliputi asetilkolin, norepineprin,
dopamin, dan serotonin dengan beberapa jenis alkaloid telah ditunjukkan.
Toksisitas alkaloid disebabkan oleh peniruan atau penghalangan aksi zat-zat
tersebut. Gejala yang umum dari keracunan akut alkaloid meliputi pengeluaran air
liur berlebih, pembesaran pupil, muntah, sakit perut, diare, kurang koordinasi,
kejang, dan koma (Ginzberg et al., 2009).
2.2.4 Glikoalkaloid steroid
Glikoalkaloid steroid merupakan metabolit sekunder yang terbentuk pada
berbagai tumbuhan, meliputi Solanaceae dan tumbuhan bernilai ekonomis seperti
kentang dan tomat. Lebih dari 80 glikoalkaloid steroid yang berbeda telah
diidentifikasi ada pada spesies kentang. Akan tetapi, chaconine dan solanine yang
diturunkan dari aglikon solanidine merupakan 2 jenis glikoalkaloid steroid utama
dalam kentang (Solanum tuberosum L.) dengan rasio solanine terhadap chaconine
bervariasi di antara jaringan, genotif, dan kondisi pertumbuhan. Dalam hal
konsumsi manusia, glikoalkaloid steroid memberikan rasa pahit tapi tidak dalam
hal rasa yang tidak diinginkan dan/atau toksisitasnya. Akan tetapi, pada tingkat
sel, glikoalkaloid steroid menunjukkan sifat pemecahan yang kuat dan
menghambat enzim asetilkolinesterase (Ginzberg et al., 2009).
2.2.5 Solasodin
Solasodin merupakan glikoalkaloid steroid yang berbasis kerangka cholestane
C27. Solasodin ada pada berbagai macam spesies keluarga solanaceae meliputi
kentang (Solanum tuberosum), tomat (Lycopersicon esculentum) atau tanaman
garden egg (Solanum melongena), buah terong dan lain-lain (Desai et ,al.2011).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Solasodin (Parmar et al., 2010)
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji aktivitas solasodin.
Almazini et al., (2009), menunjukkan bahwa solasodin memiliki aktivitas
antibakteri. Beberapa bakteri seperti Staphylococcusaureus, Staphylococcus
epidermidis, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa terhambat
aktivitasnya pada konsentrasi solasodin 2,4,6, 8 mg/ml secara berturut-turut.
Desai et al., (2011), melakukan penelitian tentang aktivitas solasodin sebagai
antiamnestik. Percobaan dilakukan dengan memberi solasodin secara oral kepada
tikus dan melakukan tes Elevated Plus Maze (EPM) dan Morris Water Maze
(MWM) untuk menguji parameter pembelajaran dan memori. Hasilnya, solasodin
menunjukkan aktivitas anti amnestik yang signifikan pada tikus yang
kemungkinan disebabkan oleh penyediaan transmisi cholinergic sehingga
meningkatkan memori. Penelitian-penelitian lain telah dilakukan dalam rangka
menunjukkan bahwa solasodin memiliki efek diuretic dan anti kanker,
kardiotonik, anti spermatogenik dan anti androgenik, immunomodulatory, anti
shock, antipiretik, dan berbagai pengaruh terhadap sistem saraf pusat (Desai et al.,
2011). Solasodin diketahui memiliki aktivitas anti spermatogenik (Patel et al.,
2013). Dixit dan Gupta (1986), dalam Reddy et al., 2014, melakukan percobaan
dengan cara memberikan solasodin secara oral kepada tikus dan anjing dengan
dosis 20 mg/kg selama 60 hari. Hasilnya, tikus dan anjing menjadi mandul.
Solasodin menghambat spermatogenesis dan pergerakan spermatozoa (Olayemi,
2010).
Pemberian ekstrak buah terong ngor ( Solanum indicum) 10 %, 20% dan 25
% menghambat spermatogenesis pada mencit (Mus musculus). Sel-sel
Spermatogonium A menurun secara bermakna pada dosis 20 % dan 25 %. Sel-sel
spermatosit primer pakhiten, spermatid menurun secara bermakna pada dosis
15%, 20%, 25%. Pada kelompok perlakuan dengan konsentrasi ekstrak buah
terong ngor 25% selama 36 hari terjadi penurunan sel-sel spermatogenik yang
sangat tajam dan adanya kerusakan tubulus seminiferus (Suarjana,2003).
Penelitian yang di lakukan oleh Yolanda (2011) pada tikus (Rattus norvegicus)
jantan dewasa berjumlah 24 ekor didapatkan bahwa terjadi penurunan kadar
testosteron darah pada beberapa variasi dosis solasodin yang diberikan. Penurunan
jumlah rata-rata kadar testosteron darah tikus jantan dewasa ini dimulai pada dosis
175,62 mg/kg BB/hari, 351,24 mg/kg BB/hari, dan 526,86 mg/kg BB/hari.
Terjadinya penurunan kadar testosteron darah pada tikus jantan dewasa akibat
pemberian buah terong (Solanum khasianum), merupakan efek yang ditimbulkan
oleh solasodin yang berpengaruh pada testosteron dalam darah. Solasodin yang
bersifat estrogenik ini kemungkinan dapat menghambat keseimbangan
gonadotropin hormon oleh hipotalamus dan dapat menghambat sekresi LH
(Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) oleh hipofisis
anterior (Reddy et al., 2014).
Setiati (2011) melakukan penelitian tentang kualitas spermatozoa mencit
(Mus musculus L.) Strain BALB/C setelah pemberian ekstrak etanolik biji Terong
Pokak (Solanum torvum Swarzt). Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek
pemberian ekstrak etanolik biji terong pokak terhadap kualitas spermatozoa
mencit serta mempelajari spermatogenesis setelah pemberian perlakuan tersebut.
Lima belas ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok masing-masing 3 ekor,
kelompok I diberi perlakuan secara oral dengan akuades sebagai kontrol (K),
kelompok II diberi perlakuan dengan etinil estradiol 0,025 mg sebagai standar (S),
dan kelompok lain diberi perlakuan dengan ekstrak etanolik biji terong pokak
dengan dosis 0,07 mg/g BB/hari (P1), 0,14 mg/g BB/hari (P2), dan 0,21 mg/g
BB/hari (P3) selama 35 hari. Pada hari ke-36 semua mencit dikorbankan dan
diamati kualitas spermatozoanya. Testis diambil untuk dibuat preparat histologis
guna mengamati spermatogenesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak etanolik biji Terong Pokak. Dapat menurunkan motilitas dan
menaikkan jumlah spermatozoa abnormal, serta menurunkan jumlah spermatosit
primer.
Solasodin bersifat estrogenik, solasodin juga bersifat apoptosis. Solasodin
menyebabkan terjadinya apoptosis pada sel-sel kanker. C3 rantai sisi solasodin
mengandung 4'Rha-GLC-Rha2 '. 4'Rha-GLC-Rha2 merupakan bagian karbohidrat
pada rantai C3 solasodin berperan pada mekanisme apoptosis sel-sel kanker (Patel
et al., 2013). Mekanisme sitotoksik senyawa solasodin berlangsung dengan cara
mengganggu (intervensi) membran sel dengan hubungan cabang special dari gula
terikat dan mengganggu integritas sel-sel kanker dengan cara merubah morfologi
sel dan kandungan DNA sehingga menyebabkan apoptosis (Kuo et al., 2007,
Chang et al., 2008). Solasodin berikatan dengan death reseptor TNF pada
permukaan membran sel kanker. Proses apoptosis sel-sel kanker melalui jalur
kematian reseptor ekstrinsik (extrinsic death receptor pathway) (Indran et al.,
2011).
2.3 Anatomi Sistem Reproduksi
Sistem reproduksi terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas
deferens, kelenjar asesoris pada masa embrio yang berfungsi untuk transport
sperma, uretra dan penis, selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan
(Kandeel et al., 2007).
2.3.1 Testis
Testis merupakan pusat dari sistem reproduksi pria. Organ ini menghasilkan
sel benih haploid melalui proses spermatogenesis. Organ ini juga berfungsi
sebagai tempat produksi androgen. Testis memiliki struktur pasangan terpisah
yang tergantung pada tali spermatik (spermatic cord). Biasanya, testis kanan
menggantung lebih kuat dibandingkan dengan testis kiri. Setiap testis dibungkus
oleh kapsul serat tipis yang disebut dengan tunica albuginea dan tunica vaginalis
visceralis, yang juga membungkus testis (Kandeel et al., 2007).
Gambar 2.3 Testis (Weinbauer et al., 2010)
Testis merupakan tempat terjadinya spermatogenesis dan terdiri dari dua
kompartemen yang secara morfologi dan fungsional berbeda satu sama lain.
Kompartemen pertama adalah kompartemen tubular, mengandung tubulus
seminiferous (tubuli seminiferi). Kompartemen yang kedua adalah kompartemen
interstisial (interstisium) yang terletak di antara antara tubulus seminiferus terdiri
dari sel-sel Leydig. Meskipun secara anatomi terpisah, kedua kompartemen
tersebut terhubung sangat dekat satu sama lain. Fungsi testis dan juga fungsi
kompartemen-kompartemen tersebut diperintah oleh hipothalamus dan kelenjar
pituitary (Clermont. 2013).
Testis memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan spermatozoa dan
hormon testosteron. Spermatozoa dihasilkan melalui proses spermatogenesis dan
berlangsung di tubulus seminiferous dan testosteron dihasilkan oleh sel-sel
Leydig. Sekitar 97% testosteron terikat lemah pada plasma albumin atau terikat
secara kuat pada beta albumin dan akan beredar di dalam darah selama 30 menit
sampai satu jam. Ada dua kemungkinan yang dialami testosteron selama beredar.
Pertama, ditransfer ke jaringan yang membutuhkan. Kedua, didegradasi menjadi
produk yang tidak aktif lalu diekskresikan (De Kretser et al., 2008).
2.3.2 Histologi
a. Tubulus Seminiferus
Spermatogenesis berlangsung di dalam kompartemen tubular. Kompartemen
ini mengisi 60-80% volume total testis dan mengandung sel germinal dan dua
jenis sel somatik yang berbeda yaitu sel peritubular dan sel sertoli. Testis dibagi
oleh septa jaringan penghubung menjadi sekitar 250-300 lobulus. Setiap lobulus
mengandung 1-3 tubulus seminiferus yang sangat berliku-liku. Secara
keseluruhan, testis manusia mengandung sekitar 600 tubulus seminiferus. Panjang
satu tubulus seminiferus adalah sekitar 30-80 cm. Dengan menganggap jumlah
rata-rata sekitar 600 tubulus seminiferus per testis dan panjang rata-rata tubuli
seminiferi sekitar 60 cm, sehingga panjang total tubuli seminiferi adalah sekitar
360 m per testis, dan panjang tubulus seminiferous perorang adalah sekitar 720 m.
Tubulus seminiferus ditutupi oleh lamina propria, yang mengandung membran
basal, lapisan kolagen dan sel peritubular (myofibroblasts). Sel-sel ini bertingkat
disepanjang tubulus dan terbentuk sampai lapisan concentrical yang terpisahkan
oleh lapisan kolagen. Karakteristik tersebut membedakan testis manusia dengan
kebanyakan mamalia lainnya, di mana tubulus seminiferous dikelilingi hanya oleh
2-4 lapisan myofi broblasts (Kandeel et al., 2007).
b. Sel-Sel Germinal
Spermatogonium adalah sel spermatogenik, yang terletak di samping lamina
basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 μm dan
intinya mengandung kromatin pucat. Sel spermatogenium mengalami sederetan
mitosis lalu terbentuklah sel induk atau Spermatogonium Tipe A, dan
berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi Spermatogonium
Tipe B. Spermatogonium Tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan
spermatogenik, sementara Spermatogonium Tipe B merupakan sel progenitor
yang berdiferensiasi menjadi spermatosit primer (Sherwood, 2012). Spermatosit
primer adalah sel terbesar dalam garis turunan spermatogenik ini dan ditandai
adanya kromosom dalam tahap proses mitosis di dalam inti sel. Spermatosit
primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007).
Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena merupakan sel
berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang sangat singkat dan dengan
cepat memasuki pembelahan kedua.
Gambar 2.4 Histologis Testis (Sherwood, 2012).
Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y) dengan
pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan spermatosit
sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki ukuran yang kecil garis
tengahnya 7-8 μm, inti dengan daerah-daerah kromatin padat dan lokasi
jukstaluminal di dalam tubulus seminiferus. Spermatid mengandung 23
kromosom. Karena tidak ada fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara
pembelahan meiosis pertama dan kedua dari spermatosit, maka jumlah DNA per
sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua ini menghasilkan sel-sel
haploid (1N) (Sherwood, 2012).
c. Sel Sertoli
Sel-sel Sertoli adalah sel somatik yang terletak didalam epitel germinal. Pada
tubuh dewasa, sel-sel ini secara mitotik tidak aktif. Diberi nama sel Sertoli karena
sel ini dijelaskan oleh seorang ilmuwan Italia Enrico Sertoli (1842-1910) pada
tahun 1865 karena proyeksi sitoplasma menonjol . Sel-sel ini terletak pada
membran basal dan meluas pada lumen tubulus seminiferous, sebagai struktur
pendukung dari epitel germinal, terdapat pada semua diferensiasi dan pematangan
morfologi dan fisiologi dari sel germinal sampai sperma matang. Sekitar 35-40%
dari volume epitel germinal diwakili oleh sel Sertoli. Testis mengandung 800-
1200×106selSertoli atau sekitar25×10
6 sel Sertoli per gram testis (Weinbauer et al.
2010).
Sel Sertoli mensintesis dan mensekresi berbagai macam faktor: protein,
sitokin, faktor pertumbuhan, opioid, steroid, prostaglandin, modulator pembelahan
sel dll. Morfologi sel Sertoli terkait dengan berbagai fungsi fisiologis mereka.
Secara umum diasumsikan bahwa sel-sel Sertoli mengkoordinasikan proses
spermatogenik topografi dan fungsional. Di sisi lain, data yang lebih baru
mendukung anggapan bahwa sel-sel germinal mengontrol fungsi sel Sertoli.
Setidaknya pola waktu dari transisi sel germinal dan pengembangan selama siklus
spermatogenik tampaknya otonom seperti yang disarankan dari penelitian
transplantasi sel germinal heterolog. Satu siklus spermatogenik berlangsung
sekitar 8 hari pada mencit dan 12-13 hari pada tikus. Durasi siklus sel germinal
tikus ditransplantasikan ke testis tikus tetap 12-13 hari sedangkan sel germinal
mencit dipertahankan pada 8 hari (Niederberger, 2011).
Gambar 2.5 Histologi sel Leydig dan sel Sertoli (Weinbauer et al., 2010)
Fungsi penting lainnya dari sel Sertoli adalah bahwa mereka bertanggung
jawab untuk produksi spermatozoa pada orang dewasa. Jumlah spermatozoa per
sel Sertoli tergantung pada spesies. Pada pria diamati sekitar 10 sel germinal atau
1,5 spermatozoa per setiap sel Sertoli. Hal ini menunjukkan bahwa dalam spesies
tertentu, jumlah sel Sertoli yang lebih banyak menghasilkan peningkatan produksi
spermatozoa, dengan asumsi bahwa semua sel Sertoli berfungsi normal
(Sherwood, 2012).
d. Sel Leydig
Sel Leydig pertama kali ditemukan oleh Franz Leydig (1821–1908). Sel ini
menghasilkan dan mensekresikan hormon seksual paling penting, testosteron.
Dari sudut pandang perkembangan, morfologi, dan fungsi, sel Leydig bisa
dibedakan menjadi: sel Leydig batang (stem) sebagai sel pembangun, sel Leydig
nenek moyang (progenitor) sebagai sel batang pelaku, sel Leydig fetal sebagai sel
terdiferensiasi secara terminal di dalam fetus, dan sel Leydig dewasa sebagai sel
terdiferensiasi secara terminal. Sel Leydig fetal menjadi sel Leydig neonatal pada
kelahiran dan mengalami degenerasi setelahnya dan menjadi sel Leydig belum
dewasa. Sel Leydig fetal menghasilkan testosteron (Kandeel et al., 2007).
Sel Leydig dewasa kaya akan reticulum endoplasma halus dan mitokondria
dengan kristae tubular. Karakteristik fisiologi tersebut adalah khas untuk sel-sel
penghasil steroid dan sangat mirip dengan yang ditemukan pada sel-sel
steroidogenik lainnya, seperti yang terdapat pada kelenjar adrenal dan pada
ovarium. Komponen sitoplasma lainnya yang penting adalah granula lipofuscin,
produk akhir dari degradasi endositosis dan lisosomal, dan tetesan lipid, di mana
tahap awal sintesis testosteron berlangsung. Pembentukan special, disebut Kristal
Reinke, sering ditemukan dalam sel Leydig dewasa. Sel-sel tersebut kemungkinan
merupakan subunit protein globular dimana arti fungsionalnya belum diketahui.
Laju proliferasi sel Leydig pada testis dewasa agak rendah dan dipengaruhi oleh
LH. Pada testis dewasa, sel-sel Leydig dibangun dari sel-sel menyerupai
perivascular and peritubular mesenchymal dan perubahan sel-sel tersebut menjadi
sel-sel Leydig diinduksi oleh LH dan juga oleh factor pertumbuhan dan factor
diferensiasi yang berasal dari sel-sel sertoli (Weinbaurer et al., 2010).
2.3.3 Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses yang memerlukan waktu yang cukup panjang
terjadi di testis dimana sel induk spermatogenia pada lumina basalis tubulus
semeniferus membelah secara mitosis, untuk memelihara meiosis untuk
menghasilkan spermatid yang haploid yang selanjutnya berkembang menjadi
spermatozoa yang dikeluarkan pada lumen tubulus. Proses spermatogenesis
terjadi di tubulus seminiferus yang terletak di testis selama kehidupan seksual
aktif. Proses spermatogenesis terjadi dari rangsangan hormon gonadotropin
hipofise anterior, yang dimulai rata-rata usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang
kehidupan (Sherwood, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses spermatogenesis (Weinbaurer et
al., 2010), yaitu:
a. Faktor dalam (endogen):
- Hormonal
- Psikologis
- Genetik
- Umur
- Maturasi
b. Faktor luar (eksogen):
- Bahan kimia atau obat-obatan
- Fisik berupa bendungan, suhu, radiasi oleh sinar X dan getaran ultrasonic
- Vitamin dan gizi seperti vitamin A, vitamin E dan glutamine
- Trauma dan keradangan.
Satu siklus spermatogenesis pada manusia membutuhkan waktu 70 ± 4 hari
untuk memproduksi spermatozoa dari spermatogonium. Spermatogenesis berawal
dari pembelahan sel-sel spermatogonium dan berakhir dengan pembentukan
spermatozoa matang.
Keterangan Gambar: Spermatogonium Apmemasuki prosesspermatogenik(panah pada selmenunjukkanarah pengembangansel germinal).SpermatogoniumAddiyakinimerupakansel induktestis. Ad = spermatogonium gelap-A, Ap = spermatogonium pucat-A, B =spermatogonium B, Pl = spermatositpreleptotene, L =spermatositleptotene, EP =spermatositpakitenawal, MP =spermatositpakiten pertengahan, LP =spermatositpakiten akhir, II =pembelahan meiosis ke-2, RB =sisatubuh, Sa1-Sd2=tahap perkembangan dari pematangan
spermatid.
Gambar 2.6 Skema representasi dari semua jenis sel germinal yang terjadi di
epitel seminiferus manusia (Weinbauer et al., 2010).
2.3.4 Spermatogenesis Pada Mencit
Spermatogenesis pada mencit berlangsung selama 35 hari. Spermatogenesis
melalui tiga tahap yaitu fase proliferasi, fase meiosis, dan fase spermiogenesis.
Fase proliferasi dimulai dari pembelahan spermatogonia yang terjadi beberapa
kali sehingga menghasilkan Spermatogonia Tipe A2, A3, dan A4. Spermatogonia
A4 mengalami pembelahan kemudian menghasilkan spermatogonia intermedia
yang akan membelah lagi menghasilkan Spermatogonia Tipe B. Selanjutnya,
Spermatogonia Tipe B ini akan mengalami mitosis sehingga terbentuk spermatosit
primer dan berada pada fase istirahat pada tahap preleptoten. Fase meiosis terdiri
dari dua tahap yaitu, meiosis I dan II yang masing masing terdiri dari fase profase,
metafase, anafase, dan telofase. Profase pada meiosis I meliputi leptoten, zigoten,
pakhiten, diploten, dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya
spermatosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami meiosis II dan berakhir
dengan pembentukan spermatid (Weinbauerer et al. 2010).
Fase selanjutnya adalah spermiogenesis yang merupakan transformasi
spermatid menjadi spermatozoa yang terdiri dari 16 tingkat. Tahapan – tahapan itu
antara lain:
1. Tahap 1, dimulai dengan pembentukan spermatid yang baru sebagai akibat
dari pembelahan mitosis yang kedua. Di daerah golgi timbul beberapa
struktur yang bulat yang disebut idiosom.
2. Tahap 2, terlihat adanya granula proakrososm pada idiosom, jumlah granula
biasanya dua dimana yang satu biasanya lebih besar.
3. Tahap 3, terjadi penggabungan granula proakrosom sehingga terbentuk
granula akrosom yang besar yang berbatasan dengan nukleus.
1. Tahap 4, ditandai dengan membesarnya granula dan letaknya lurus di atas
nukleus.
2. Tahap 5, ditandai dengan bertambah pipihnya cap (tutup) dan bergerak
menuju ke samping nukleus perpanjangannya.
3. Tahap 6, pertumbuhan cap (tutup) mengalami kemajuan yang cukup pada
permukaan luar nukleus.
7. Tahap 7, pertumbuhan pada bagian depan cap (tutup) terus berlangsung
sampai menutup sepertiga sampai setengah bagian inti dan ini disebut
sebagai head cap.
8. Tahap 8, disini dimulai tahap akrosom. Sistem akrosom bergerak ke arah
basal nulkeus dan nukleus spermatid memanjang.
9. Tahap 9, ditandai dengan perubahan bentuk nukleus spermatid nyata, yaitu
ujung kaudal menyempit dan membentuk sudut, sehingga kelihatan lebih
pipih
10. Tahap 10, bahan – bahan akrosom telah berada pada dinding dorsal
inti, pemanjangan dan pemipihan inti berjalan terus sehingga spermatid
menjadi sempit pada bagian depan.
11. Tahap 11, terjadi perubahan ujung kaudal spermatid bentuk bundar sampai
menjadi agak pipih.
12. Tahap 12, spermatid telah mencapai panjang yang maksimum. Akrosom telah
menutup seperempat bagian anterior spermatid dan tampak seperti struktur
bentuk biji di atas nukleus.
13. Tahap 13, bentuk spermatid sudah hampir sama dengan spermatozoa dewasa,
yaitu mengalami pemendekan dratis hampir 20%.
14. Tahap 14, terjadi penyempurnaan akrosom, bentuk dan penampakan
spermatozoa dewasa telah tercapai.
15. Tahap 15, terjadi penyempurnaan bentuk inti dan perkembangan serta
maturasi dinding spermatozoa.
16. Tahap 16, menggambarkan spermatozoa melepaskan diri dari epitel
seminiferus menuju ke lumen menjadi spermatozoa bebas.
2.3.5 Testosteron
Hormon testosteron merupakan hormon seks yang penting pada individu
jantan. Hormon ini adalah hormon steroid derivat molekul prekursor kolesterol,
disekresi oleh sel Leydig di bawah pengaruh LH. Sel Leydig mengandung enzim
dengan kadar tinggi yang dibutuhkan untuk perubahan langsung kolesterol
menjadi testosteron. Produksi testosteron sebagian akan disekresikan ke dalam
darah dan akan diedarkan ke sel-sel target. Sebagian lagi akan masuk ke tubulus
seminiferus dan berperan penting dalam proses spermatogenesis (Weinbaurer et
al., 2010).
Sel Sertoli mempunyai reseptor androgen khusus yang memperantarai efek
testosteron. Di dalam testis, kadar testosteron sekitar 200 kali lebih besar dan
kadar dalam sirkulasi dan didapatkan dalam bentuk terikat dengan ABP.
Testosteron sebagian besar (95%) disekresi oleh sel Leydig yang berada dalam
jaringan interstitialis testis, dan 5% diproduksi oleh kelenjar adrenalis (Saryono,
2008).
Dalam plasma darah pria, testosteron merupakan androgen utama pada
umumnya didapatkan dalam bentuk terikat dengan suatu molekul protein (binding
protein), sekitar 38% terikat pada protein albumin, 60% terikat pada protein
globulin, yaitu Sex Hormone Binding Globulin (SHBG). Ikatan seperti itu
membuat androgen tersebut menjadi lebih mudah dapat memasuki sel-sel
targetnya dan memberikan efek fisiologis. Sebagian kecil testosteron (sekitar 2%)
di dalam peredaran darah dalam bentuk bebas atau free testosteron (Sherwood,
2012).
Sel Sertoli yang merupakan sel target utama hormon testosteron, molekul
androgen akan berikatan dengan reseptor androgen khusus yang ada di
sitoplasma, kompleks reseptor androgen tersebut kemudian ditranslokasi ke dalam
inti dan berikatan dengan daerah tertentu dalam kromatin. Melalui proses yang
terjadi dalam inti, akhirnya dihasilkan mRNA untuk sintesis protein, yang
selanjutnya menghasilkan ABP. Pengaruh testosteron terhadap sel Sertoli adalah
untuk pematangan sel Sertoli dan sintesis ABP (Weinbaurer et al., 2010).
Sel Sertoli di dalam testis merupakan sel target primer untuk androgen, dan
untuk anti androgen. Senyawa anti androgenik dapat menghambat aksi
testosteron, karena senyawa ini menduduki reseptor testosteron. Anti androgen
dapat mencegah ikatan antara testostoron atau dihidrotestosteron dengan ABP,
sehingga akan menghambat spermatogenesis (Kandeel et al., 2007).
Testosteron di dalam tubuli seminiferi antara lain diperlukan untuk
perkembangan spermatosit primer menjadi spermatid, untuk proliferasi dan
diferensiasi sel spermatogenik, untuk tahap awal dan akhir spermatogenesis, dan
pada tahap spermiogenesis. Selain berperan dalam proses spermatogenesis,
testosteron juga berperan dalam pengembangan karakteristik pria pada masa fetus,
masa pubertas dan dalam mempertahankan potensi seksual pria dewasa. Kadar
optimal testosteron diperlukan untuk mempertahankan fungsi seksual pria
(Sherwood, 2012).
Kadar testosteron dalam plasma relatif tinggi selama tiga periode kehidupan,
yaitu : (1) pada fase perkembangan embrionik; (2) saat diferensiasi fenotip jantan,
dan (3) selama kehidupan seksual dewasa. Pada pria dewasa, kadar testosteron
dalam plasma antara 300 dan 1000 ng/dl, dengan kecepatan produksi 2,5 sampai
11 mg per hari. Kadar LH, FSH dan testosteron dalam plasma berfluktuasi
sepanjang hari, tetapi nilainya tiap hari relative konstan. Hormon gonadotropin
(LH dan FSH) dan testosteron disekresi secara pulsatil. Produksi testosteron
semakin menurun sesuai dengan meningkatnya umur, penurunan ini disebabkan
oleh penurunan aktivitas enzim 17α - hidroksilase. Kadar testosteron serum pada
tikus umur empat bulan lebih tinggi dan pada tikus umur 18 bulan (Sherwood,
2012).
Biosintesis androgen memerlukan kolesterol sebagai prekusornya. Proses
biosintesis testosteron dimulai dari sintesis prekusor (kolesterol) dan reaksi
selanjutnya tidak terganggu. Biosintesis testosteron dapat dijelaskan sebagai
berikut : kolesterol disintesis di dalam kelenjar adrenal atau diambil dari plasma
darah. Kolesterol yang diambil dari plasma darah memerlukan HDL (lipoprotein
berkepadatan tinggi), sebagai komponen plasma darah yang memberikan
kolesterol pada kelenjar adrenal.Pengambilan kolesterol dari HDL dipacu oleh
Adrenocoryicotropic hormone (ACTH). Dengan demikian, jika kolesterol diambil
dari darah maka sintesis kolesterol oleh kelenjar adrenal dihambat, tetapi jika
pengambilan kolesterol dari plasma darah menurun maka sintesis kolesterol oleh
kelenjar adrenal meningkat (Weinbaurer et al., 2010).
Bila kolesterol tidak segera digunakan untuk sintesis androgen dan hormon
steroid lainnya, maka kolesterol disimpan di dalam kelenjar adrenal sebagai ester
kolesterol. Ester kolesterol yang akan digunakan untuk sintesis androgen atau
steroid lainnya dihidrolisis oleh hidrolase ester sterol yang diaktifkan oleh
fosforilasi melalui protein kinase yang kerjanya bergantung pada cAMP.
Kolesterol yang dilepas oleh reaksi hidrolitik mula-mula diubah menjadi
pregnenolon dan progesteron sebagai senyawa antara jalur sintesis androgen.
Kemudian berturut-turut diubah menjadi 17α hidroksi-progesteron,
androstenedion dan testosteron. Langkah awal dalam jalur biosintesis testosteron
tersebut adalah konversi C27 kolesterol ke C21 steroid, pregnenolon. Reaksi ini
dikatalisis oleh enzim sitokrom P450, pemecah rantai samping kolesterol.
Pregnenolon berdifusi menembus membran mitokondria dan selanjutnya
dimetabolisme oleh enzim yang ada di retikulum endoplasma halus. Pregnenolon
dalam sel Leydig mencit dikonversi ke progesteron oleh keria 3β hidroksi steroid
dehidrogenase (3β HSD) (Niederberger, 2011).
Reaksi selanjutnya dikatalisis oleh enzim sitokrom P450, 17α hidroksilase
(P450 l7α), suatu protein tunggal yang mengkatalisis dua reaksi yang berbeda,
yaitu hidroksilasi progesteron pada C17 dan pemecahan dua rantai samping
karbon menjadi C19 steroid, androstenedion, prekursor testosteron. Reaksi
terakhir adalah reduksi 17 – keton androstenedion oleh 17 – ketosteroid reduktase.
Sel Leydig juga mengekspresikan sitokrom P450 aromatase, yang mengkatalisis
aromatisasi dari testosteron ke estradiol (Sherwood, 2012).
2.4 Apoptosis
2.4.1 Pengertian Apoptosis
Kematian sel memainkan peranan yang penting dalam perkembangan hewan
dan tumbuhan, dan biasanya berlanjut ke fase ke dewasaan. Pada manusia dewasa,
milyaran sel mati dalam sumsum tulang dan usus setiap jam. Jaringan kita tidak
menciut karena dengan mekanisme pengaturan, pembelahan sel sebanding dengan
kematian sel. Kematian sel normal adalah sebuah peristiwa bunuh diri, di mana
sel mengaktifkan program kematian intraseluler dan membunuh diri sendiri dalam
jalur terkontrol, proses yang dikenal dengan kematian sel terprogram. Sel yang
mati melalui apoptosis mengalami perubahan morfologi. Sel-sel menciut dan
memekat (condense), sitoskeleton lisis, membrane inti rusak, dan kromatin inti
memekat dan pecah menjadi fragmen-fragmen (Alberts et al., 2008).
Gambar 2.7 Apoptosis (Osthoff, 2008)
Istilah apoptosis berasal dari Bahasa Yunani “aπο“ dan “πτωsιζ“yang berarti
berjatuhan dan memiliki arti jatuhnya daun dari pohon pada musim gugur. Istilah
ini digunakan untuk menjelaskan situasi dimana sel secara aktif mendekati
kematian setelah menerima rangsangan tertentu. Apoptosis penting dalam kondisi
fisiologis dan patologis (Wong, 2011). Kondisi-kondisi tersebut dirangkum pada
Tabel 2.1.
Apoptosis diinginkan oleh organisme berlangsung sepenuhnya karena
apoptosis menyediakan mekanisme pembuangan sel yang hancur oleh bahan
kimia atau radiasi tanpa mengganggu keseimbangan homeostasis (Wong, 2011).
Perubahan morfologi apoptosis dimediasi dengan aktivasi protease intraseluler
yang unik disebut caspase (Taylor et al., 2008).
Tabel 2.1 Kondisi-kondisi yang melibatkan apoptosis (Wong, 2011)
Kondisi Fisiologis Kondisi Patologis
Perusakan sel terprogram dalam
perkembangan embrio dengan tujuan
membentuk jaringan.
Obat antikanker menginduksi kematian
sel di dalam tumor.
Involusi fisiologi seperti: peluruhan
endometrium, penurunan payudara
menyusui.
Sel T sitotoksik menginduksi kematian
sel seperti di dalam penolakan immune
dan penyakit graft versus host.
Perusakan normal sel disertai poliferasi
pergantian seperti di dalam epitelium
usus.
Kematian sel bertahap dan penurunan
sel-sel CD4+ dalam AIDS.
Involusi thymus pada usia dini. Beberapa bentuk kematian sel
terinduksi virus seperti hepatitis B atau
C.
Atrofi patologis dari organ dan jaringan
sebagai hasil penghilangan rangsangan,
seperti: atrofi prostatik setelah
orchidectomy.
Kematian sel akibat agen berbahaya
seperti: radiasi, hipoksia, toksin dan
panas.
Kematian sel karena penyakit
degeneratif seperti Alzheimer dan
Parkinson.
2.4.2 Perubahan Morfologi dalam Apoptosis
Perubahan morpologis sel yang mati akibat apoptosis yang melibatkan inti
dan sitoplasma mirip untuk semua jenis dan spesies sel. Biasanya beberapa jam
dibutuhkan dari inisiasi kematian sel ke fragmentasi sel akhir. Akan tetapi, waktu
yang dibutuhkan bergantung pada jenis sel, rangsangan, dan jalur apoptosis
(Wong, 2011). Selama proses awal apoptosis, sel mengkerut dan pyknosis bisa
teramati dengan mikroskop cahaya. Dengan pengkerutan sel, ukuran yang
mengecil, sitoplasma padat, dan organel terbungkus dengan erat. Pyknosis adalah
hasil kondensasi kromatin dan ini adalah fitur khas apoptosis (Elmore, 2007).
Sifat morfologis apoptosis dalam inti adalah kondensasi kromatin dan
fragmentasi inti, yang diiringi dengan pembulatan sel, reduksi volume sel
(pyknosis) dan retraksi pseudopoda. Kondensasi kromatin berawal dari batas luar
membran inti, membentuk struktur bulan sabit atau cincin. Kromatin lebih lanjut
terkondensasi sampai pecah di dalam sel dengan membran utuh, fitur tersebut
disebut karyorrhexis. Membran plasma utuh selama proses total. Pada tahap lanjut
apoptosis, beberapa fitur morfologis meliputi kebocoran membran, modifikasi
ultra struktural organel sitoplasma dan kehilangan integritas membran. Biasanya
sel fagosit melanda sel apoptosis sebelum apoptosis badan terjadi (Wong, 2011).
Ini adalah alasan kenapa apoptosis ditemukan sangat lambat dalam sejarah biologi
sel pada tahun 1972 dan badan apoptosis dilihat secara in vitro pada kondisi
khusus. Jika sel apoptosis tidak terfagosit seperti dalam kasus lingkungan kultur
sel buatan, sel-sel tersebut mengalami degradasi yang menyerupai nekrosis dan
kondisinya disebut nekrosis sekunder (Osthoff, 2008).
2.4.3 Perubahan Biokimia Dalam Apoptosis
Tiga jenis perubahan biokimia yang utama teramati dalam apoptosis: 1)
aktivasi caspase, 2) kerusakan protein dan DNA, dan 3) perubahan membrane dan
pengenalan sel fagosit. Pada awal apoptosis, terdapat ekspresi phosphate dylserine
(PS) dalam lapisan luar membrane sel, yang telah dibalikkan dari lapisan dalam.
Hal ini mengijinkan pengenalan awal sel mati oleh makrofag, menghasilkan
fagositosis tanpa pelepasan komponen pro inflammatory selular. Proses ini
diikuti oleh karakteristik perusakan DNA. Selanjutnya, ada pemecahan
internucleosomal DNA menjadi oligonucleosomes dalam multiple 180 sampai
200 pasangan basa oleh endonuclease. Fitur spesifik lainnya dari apoptosis adalah
aktivasi gugus enzim milik family cysteine protease yang bernama caspase.
Aktivasi caspase memecah banyak protein sel vital dan memecahkan peran
membran inti dan sitoskeleton. Mereka juga mengaktifkan DNAase, yang
kemudian mendegradasi DNA inti (Elmore, 2007).
Meskipun perubahan biokimia menjelaskan bagian beberapa perubahan
morfologi dalam apoptosis, penting dicatat bahwa analisa biokimia fragmentasi
DNA atau aktivasi caspase seharusnya tidak digunakan untuk mendifinisikan
apoptosis, karena apoptosis dapat terjadi tanpa fragmentasi oligonucleosomal
DNA dan bisa bebas caspase. Sementara banyak uji dan percobaan biokimia telah
digunakan dalam deteksi apoptosis, Nomenclature Committee on Cell Death
(NCCD) telah mengusulkan bahwa klasifikasi kematian sel seharusnya bertumpu
pada kriteria morfologi karena tidak ada kesamaan yang jelas antara perubahan
ultrastruktural dan karakteristik kematian sel biokimia (O’Brien and Kirby, 2008).
2.4.4. Mekanisme Apoptosis
Mekanisme apoptosis sangat penting dipelajari karena dapat memahami
patogenesis kondisi sebagai hasil apoptosis tak teratur. Hal ini membantu
pembuatan obat-obatan yang mentargetkan gen apoptosis atau jalur tertentu.
Caspase adalah pusat mekanisme apoptosis karena dia bertindak sebagai inisiator
dan eksekutor. Terdapat 2 jalur dimana caspase diaktifkan. Dua jalur umum yang
menjelaskan jalur inisiasi adalah intrinsik (mitochondrial) dan ekstrinsik (death
receptor). Kedua reseptor pada akhirnya memimpin jalur umum atau fase
eksekusi apoptosis (O’Brien and Kirby, 2008).
1. Jalur Death Receptor Ekstrinsik
Jalur death reseptor ekstrinsik (extrinsic death receptor pathway)
membutuhkan pengikatan efektif antara death reseptor yang ditemukan pada
permukaan membrane sel dan dengan ligannya masing-masing. Jalur ini
melibatkan death reseptor dari superfamily tumor necrosis factor (TNF) TNF,
CD95 (Fas) dan reseptor TNF-related apoptosis inducing ligand (TRAIL).
Reseptor ini memiliki daerah ekstra seluler untuk mengikat ligand dan daerah
sitoplasmik intraseluler yang juga disebut daerah kematian. Daerah kematian
bertanggungjawab untuk transmisi sinyal kematian dari permukaan ke jalur sinyal
intraseluler (Indran et al. 2011).
Jalur kematian reseptor ekstrinsik (extrinsic death receptor pathway) dimulai
ketika death ligand terikat pada death receptor. Death receptor memiliki wilayah
kematian intraseluler yang merekrut protein adapter seperti TNF receptor-
associated death domain (TRADD) dan Fas-associated death domain (FADD),
serta sistein protease seperti caspase. Pengikatan death ligand pada death
receptor menghasilkan pembentukan situs pengikatan untuk protein adaptor dan
kompleks whole ligand-receptor-adaptor protein yang dikenal sebagai death-
inducing signalling complex (DISC). Selanjutya, DISC menginisiasi
penghimpunan dan aktivasi pro-caspase 8. Bentuk teraktivasi enzim, caspase 8
adalah caspase inisiator, yang menginisiasi apoptosis dengan pemecahan hilir atau
caspase eksekusioner (Wong, 2011).
2. Jalur Mitokondrial Intrinsik
Seperti namanya, jalur intrinsik diinisiasi di dalam sel. Rangsang internal
seperti kerusakan genetik tak bisa diperbaiki, hipoksia, konsentrasi tinggi Ca2+
dan stres oksidatif ekstrem merupakan beberapa pemicu inisiasi jalur mitokondrial
intrinsik. Jalur ini merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas mitokondrial
dan pelepasan molekul pro-apoptotik seperti sitokrom-c ke dalam sitoplasma.
Jalur ini diatur oleh gugus protein yang dimiliki oleh famili Bcl-2 diberi nama
setelah gen Bcl-2 secara asli teramati pada titik kerusakan kromosal dari
translokasi kromosom 18 ke 14 dalam follicular non-Hodgkin lymphoma.
Terdapat dua gugus utama protein Bcl-2, yang bernama protein pro-apoptotik
(contoh:Bax, Bak, Bad, Bcl-Xs, Bid, Bik, Bim danHrk) dan protein anti apoptotic
(contoh: Bcl-2, Bcl-XL, Bcl-W, Bfl-1and Mcl-1). Sementara protein anti apopto-
tik mengatur apoptosis dengan memblok pelepasan mitokondrial sitokrom-c,
protein pro-apoptotik dengan promosi pelepasan tersebut. Gen Bcl-2 memiliki
lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tiga ekson yang mana ekson 2 dan
sebagian kecil ekson 3 mengkode protein. Bcl-2 dapat memperpanjang hidup sel.
Faktor apoptotic lain yang dilepaskan dari ruang inter membrane mitokondrial ke
dalam sitoplasma meliputi factor penginduksi apoptosis (AIP), second
mitochondria-derived activator of caspase (Smac),direct IAP Binding protein
with Low pI (DIABLO) dan Omi/high temperature requirement protein A
(HtrA2). Pelepasan sitoplasmik sitokrom c mengaktifkan caspase 3 melalui
pembentukan kompleks yang dikenal dengan apoptosome yang merupakan
anggota sitokrom c; cytochrome c, Apaf-1 and caspase 9. Di sisi lain,
Smac/DIABLO atau Omi/HtrA2 mempromosikan aktivasi caspase dengan
mengikat inhibitor protein apoptosis (IAPs) yang kemudian memimpin
perpecahan dalam interaksi IAPs dengan caspase-3 atau -9 (O’Brien and Kirby,
2008).
3. Jalur Perforin/Granzyme
Jalur apoptosis yang lain adalah jalur yang melibatkan perforin/granzyme A
atau B yang dilepaskan oleh sel T sitotoksik dan sel NK. Jalur ini melibatkan
sekresi molekul perforin transmembran yang bersifat pore forming dan
selanjutnya pelepasan granul sitoplasma melalui pori yang terbentuk, menuju ke
target sel. Protease serin granzyme A dan granzyme B adalah komponen
terpenting didalam granul-granul tersebut. Kerja granzyme B melalui jalur
mitokondrial dan juga aktivasi langsung caspase-3 adalah hal penting dalam
proses pembunuhan sel yang diinduksi oleh granzyme B (Elmore,2007).
Granzyme A berperan dalam proses apoptosis oleh sel T sitotoksik dan
mengaktifkan jalur caspase independent. Granzyme A menyebabkan pemotongan
DNA melalui DNAse NM23-H1 yang terjadi didalam sel. Nukleosome yang
menyusun protein SET secara fisiologis menghambat gen NM23-H1. Granzyme
A protease memecah kompleks SET yang mengakibatkan inhibisi NM23-H1,
menghasilkan degradasi DNA. Kompleks SET memiliki fungsi penting dalam
struktur kromatin dan perbaikan DNA (O’Brien and Kirby, 2008). Protein-protein
yang menyusun kompleks SET (SET, Ape1, pp32 dan HMG2) nampaknya
bekerja bersama-sama untuk mempertahankan struktur kromatin dan DNA,
sehingga inaktivasi kompleks ini oleh granzyme A akan berperan pada terjadinya
apoptosis dengan menghambat usaha mempertahankan integritas struktur
kromatin dan DNA (Elmore, 2007).
Perforin berperan sebagai molekul lisis pada membrane sel yang
menyebabkan hilangnya homeostatis membrane sel yang ditandai dengan
masuknya air ke dalam sel dan hilangnya isi sel. Keadaan ini memungkinkan
masuknya granzym kedalam sitosol yang mengaktifkan berbagai substrat, seperti
caspase (Trapani dan Smith, 2002 dalam Astawa, 2016).
Gambar 2.8 Jalur Apoptosis (Elmore, 2007)
Fase eksekusi dari apoptosis melibatkan aktivasi caspase. Caspase hulu
untuk jalur intrinsik adalah caspase 9 sementara untuk jalur ekstrinsik adalah
caspase 8. Jalur intrinsik dan ekstrinsik bertemu pada caspase 3. Selanjutnya
caspase 3 memecah inhibitor caspase-activated deoxyribonuclease, yang
bertanggung jawab terhadap apoptosis inti. Sebagai tambahan, caspase hilir
menginduksi pemecahan protein kinase, protein sitoskeletal, protein perbaikan
DNA, dan subunit inhibitor dari keluarga endonuklease. Caspase hilir juga
memberikan efek pada sitoskeleton, siklus sel dan jalur sinyal, yang berkontribusi
pada perubahan morfologi khusus dalam apoptosis (Elmore, 2007).
Gambar 2.9 Jalur intrinsik dan ekstrinsik apoptosis (Wong, 2011)
2.4.5 Ekspresi Bcl 2, Ekspresi Caspase 3, Indeks Apoptosis
Ekspresi Bcl-2 adalah hasil imunostaining Bcl-2 pada jaringan testis yang
dinilai dengan persentase (%) pewarnaan (staining) Bcl-2 pada sitoplasma yang
berwarna coklat. Penghitungan sel yang mengekspresikan Bcl-2 adalah dengan
menghitung sel yang mengekspresikan warna coklat pada sitoplasma sel sampel
dan dilakukan dengan penghitungan dalam 5 lapang pandang dengan pembesaran
mikroskop 400 kali untuk menilai persentase. Jumlah sel spermatogenik yang
diekpresikan dihitung dalam persen. Persentase (%) imunoreaktifitas ekspresi Bcl-
2 = jumlah sel positif/jumlah total sel x 100 %. Skala untuk imunoreaktifitas
ekspresi Bcl-2 adalah rasio (Wong, 2011).
Pemeriksaan BCL-2 dengan metode histokimia (Antihuman/mouse/rat Bcl-2
purifies mouse polyclonal ). Potongan jaringan sel spermatogenik mencit setebal
4-5 μm dibuat diatas gelas obyek. Potongan jaringan kemudian diproses untuk
pewarnaan imunohistokimia dengan cara berikut. Pertama dilakukan
defarafinisasi xylo1 selama 10 menit, xylol2 selama 5 menit dan alkohol absolut,
alkohol 95%, 90%, 80%, dan alkohol 70 % masing-masing selama 5 menit.
Selanjutnya, slide ditetesi dengan PBS dengan PH 7,4 selama 10 menit, dan
dibersihkan dengan kertas tisu, slide kemudian ditetesi dengan larutan EDTA
selama 20 menit, dan dibersihkan dengan kertas tisu. Dilakukan blocking dengan
BSA 1% selama 10 menit dan dicuci dengan PBS selama 3x5 menit, kemudian
dibersihkan dengan kertas tisu. Selanjutnya, ditetesi dengan antibodi primer
(polyclonal mouse anti-human Bcl-2) yang diencerkan dengan PBS dan larutan
Twin 0,1% dengan perbandingan 1:50. Sediaan kemudian diinkubasi selama 24
jam dengan suhu 4◦C, selanjutnya dicuci dengan PBS PH 7,4 5 menit dan
dibersihkan dengan kerta tisu. Sediaan kemudian ditetesi dengan antibodi
sekunder Ig G biotin dalam PBS selama 30 menit pada temperatur kamar.
Jaringan kemudian dibersihkan dengan tisu dan ditambahkan streptavidin Horse
Radish Peroxidase (HRP) pada suhu kamar selama 10 menit. Sediaan ditetesi
DAB 10 menit, kemudian dicuci dengan aquades selama 3x5 menit, dan
dibersihkan dengan kertas tisu. Dilakukan counterstain dengan meyer hematoxylin
selama 2 menit, lalu dicuci kemudian direndam pada alkohol 70% selama 2 menit
,alkohol 95% selama 2 menit, kemudian alkohol 100% selama 5 menit.
Selanjutnya direndam dalam larutan xylene selama 2 x 5 menit, kemudian di
mounting dengan entelan kemudian ditutup dengan cover slip. Warna kecoklatan
pada histokomia adalah sel protein Bcl-2. Penghitungan sel yang
mengekspresikan Bcl-2 adalah dengan menghitung sel yang berinti biru dan
mengekspresikan warna coklat pada sitoplasma sel sampel dan dilakukan dengan
pembesaran mikroskop 400x. Jumlah sel spermatogenik yang diekpresikan
dihitung dalam persen (Wong, 2011).
Ekspresi Caspase 3 adalah jumlah Cytosolic Aspartate Spesifik Cysteine
Protease 3 yang memfasilitasi terjadinya kematian sel yang dinyatakan sebagai
ratio dari semua sel yang dihitung. Jumlah caspase 3 dihitung dengan cara
menghitung jumlah sel-sel spermatogenik yang menunjukkan pewarnaan
kecoklatan pada sitoplasma dengan metode imuno histokimia dihitung dengan
menggunakan mikroskop cahaya dalam 5 lapangan pandang dengan pembesaran
400 kali. Lapangan pandang di mulai dari kiri ke kanan, kemudian ke bawah di
mulai dari kiri lagi. Persentase (%) ekspresi caspase 3 = jumlah sel positif/jumlah
total sel x 100 %. Skala untuk imunoreaktifitas ekspresi caspase 3 adalah rasio
(Wong, 2011).
Pemeriksaan caspase-3 dengan metode histokimia (Anti human/mouse/rat
caspase-3 purifies mouse polyclonal). Potongan jaringan sel spermatogenik
mencit setebal 4-5 μm dibuat diatas gelas obyek. Potongan jaringan kemudian
diproses untuk pewarnaan imunohistokimia dengan cara berikut. Pertama
dilakukan defarafinisasi xylo1 selama 10 menit, xylol2 selama 5 menit dan
alkohol absolut, alkohol 95%, 90%, 80%, dan alkohol 70 % masing-masing
selama 5 menit. Selanjutnya, slide ditetesi dengan PBS dengan PH 7,4 selama 10
menit, dan dibersihkan dengan kertas tisu, slide kemudian dipanaskan sampai 110
◦C selama 40 menit dalam larutan citrate bufer ph 6. Dilakukan blocking dengan
BSA 1% selama 10 menit dan dicuci dengan PBS selama 3x5 menit, kemudian
dibersihkan dengan kertas tisu. Selanjutnya ditetesi dengan antibodi primer
(polyclonal mouse anti-human caspase 3) yang diencerkan dengan PBS dan
larutan Twin 0,2% dengan perbandingan 1:100. Sediaan kemudian diinkubasi
selama 1 jam dengan suhu ruang, selanjutnya dicuci dengan PBS PH 7,4 selama
3x 5 menit dan dibersihkan dengan kerta tisu. Sediaan kemudian ditetesi dengan
antibodi sekunder IgG biotin dalam PBS selama 30 menit pada temperatur kamar.
Jaringan kemudian dibersihkan dengan tisu dan ditambahkan streptavidin Horse
Radish Peroxidase (HRP) pada suhu kamar selama 10 menit. Sediaan ditetesi
DAB 10 menit, kemudian dicuci dengan aquades selama 3x5 menit, dan
dibersihkan dengan kertas tisu. Dilakukan counterstain dengan meyer hematoxylin
selama 2 menit, lalu dicuci kemudian direndam pada alkohol 70% selama 2 menit,
alkohol 95% selama 2 menit, kemudian alkohol 100% selama 5 menit.
Selanjutnya direndam dalam larutan xylene selama 2 x 5 menit, kemudian di
mounting dengan entelan kemudian ditutup dengan cover slip. Warna kecoklatan
pada histokomia adalah sel protein caspase 3. Penghitungan sel yang
mengekspresikan caspase 3 adalah dengan menghitung sel yang berinti biru dan
mengekspresikan warna coklat pada sitoplasma sel sampel dan dilakukan dengan
pembesaran mikroskop 400x. Jumlah sel spermatogenik yang diekpresikan
dihitung dalam persen (Wong, 2011).
Indeks apoptotis dinyatakan dalam jumlah sel apoptotis per 100 sel non
apoptotik. Akan tetapi perhitungan per unit luas area tidak menghasilkan
kepadatan sel tumor atau ukuran sel tumor (tumor dengan sel besar mengandung
sedikit sel per unit area). Biasanya indeks apoptosis diungkapkan sebagai jumlah
badan apoptotis perjumlah sel dikalikan 100% dan ini secara luas dilaporkan
dalam sejumlah jenis sel (Gupta, 2013).
Mysorekar et al., (2008) menyelidiki indeks Apoptosis dalam Squamous
Epithelial Lesions dari Cervix. Sampel disiapkan dalam formalin 10% dan di
proses dengan cara konvensional. Slide noda Haematoxylin dan Eosin (H&E)
diselidiki untuk morfologi dari lesion, dan perhitungan indek apoptotis dilakukan
menggunakan objektif 40x. Sel apoptotis diidentifikasi dengan penampakan
menyusut, kromatin inti hiperkromatik memekat, sitoplasma mengalami
eosinofilik secara mendalam, dan lingkaran jelas yang memisahkan mereka dari
sel tumor terdekat. Indeks apoptotis (IA) didefinisikan sebagai jumlah sel
apoptotis diantara 100 sel non apoptosis. Meskipun sel yang mengalami apoptosis
bisa diidentifikasi menggunakan kriteria morfologi pada standar slide hematoxylin
and eosin (H&E), penelitian menunjukkan penggunaan metode ini dapat
menurunkan laju apoptosis sebanyak 2 sampai 3 kali lipat.
Metode lain untuk menentukan indeks apoptosis adalah menggunakan
terminal deoxynucleotidyltransferase–mediated dUTP nick end labeling
(TUNEL). TUNEL bekerja dengan prinsip bahwa pemutusan utas DNA terjadi
selama apoptosis. Enzim terminal deoxynucleotidyl transferase (Tdt)
mengkatalisis pelabelan pemutusan ini dengan deoxyuridine triphosphates
(dUTPs), yang mana kemudian dideteksi dengan teknik imunoperoksidase.
Beberapa alat secara komersial tersedia untuk deteksi TUNEL (Dinand et al.,
2009).
Penentuan indeks apoptosis menggunakan teknik TUNEL dilakukan oleh
Dinand et al., (2009). Sebanyak 5 lapang pandang diuji di bawah mikroskop
fluorosen, dengan memilih lapang pandang terbaik dan mencegah lapang pandang
yang didominasi oleh sclerosis atau fibrosis. Fluorescein-dUTP melabeli sel besar
dengan inti lebih besar dari 2,5 kali ukuran inti limposit yang disebut sebagai sel
HRS (Hodgkin and Reed-Sternberg) apoptotik. Indeks apoptosis (IA) dihitung
sebagai persentase fluorosensel H-RS. Ambang batas positif lebih dari 10%
dipilih, dan AI yang tinggi di definisikan sebagai AI > 25.
Recommended