View
223
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-
sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas
yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir
(Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga
pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan. Berikut ini aspek
penting mengenai masyarakat pesisir :
a) Ciri Khas Wilayah Pesisir
Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta
sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya
intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang
signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan
air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain. Ditinjau dari
aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di
dalamnya sering memiliki sifat terbuka (open access). Kondisi tersebut berbeda
dengan sifat kepemilikan bersama (common property) seperti yang terdapat di
beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon dengan kelembagaan Sasi, NTB
dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan Sangihe, Talaud dengan
kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya diatur secara komunal.
Dengan karakteristik open access tersebut, kepemilikan tidak diatur, setiap orang
bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan pemanfaatan
sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan
15
sumberdaya serta peluang terjadinya degradasi lingkungan dan problem
eksternalitas lebih besar karena terbatasnya pengaturan pengelolaan sumberdaya.
b) Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource
based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi
laut. Penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2010 berpenduduk 21.071
jiwa, sekitar 69,36 % merupakan nelayan sedangkan sisanya terdiri dari pedagang,
buruh, PNS, swasta dan lain-lain (BPS Kabupaten Administratif Kepulauan
Seribu, 2010). Tingkat pendidikan penduduk wilayah pesisir juga tergolong
rendah, dimana penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu sekitar 6.800 jiwa hanya
menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.463 jiwa tamat SMP dan 1.076 jiwa tamat
SMA dengan fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas.
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan
masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah,
maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin
besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat.
2.2 Sea Farming
2.2.1 Sejarah Sea Farming
Menurut PKSPL-IPB (2004), konsep sea farming sudah dimulai sejak
abad ke-17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Pada awal
pengembangannya, teknologi sea farming merupakan teknologi yang ditujukan
16
kepada aktivitas perikanan berupa ranching, sehingga disebut sea ranching.
Istilah ini didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan
muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan dan meningkatkan hasil
tangkapan. Di Norwegia dan Amerika Serikat, kegiatan pelepasan larva ikan yang
masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus
berlanjut sampai dengan tahun 1967. Hanya saja, di Norwegia kegiatan ini tanpa
diikuti oleh evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap
populasi ikan ataupun hasil tangkapan sehingga tidak diketahui secara pasti
dampak ekologis dari aktivitas yang sudah dilakukan.
Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada saat itu adalah
dengan mensinkronkan waktu penglepasan dengan waktu dimana makanan larva
di area penglepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup
larva dapat ditingkatkan. Strategi tersebut masih dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti pemangsa, pola arus dan sangat sulit sekali menentukan waktu yang tepat
(terkait dengan kelimpahan prey) untuk melepaskan larva di suatu area. Faktor-
faktor ini tentu mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di
awal kehidupan larva ikan yang dilepas. Sehingga tingkat keberhasilan
penglepasan larva ini diperkirakan sangat kecil sekali bahkan mendekati tingkat
nol. Dari pengamatan yang dilakukan, pada umumnya kematian total larva ikan
yang dilepas terjadi pada akhir stadia pertama dari perkembangan larva (ikan laut
memiliki beberapa tahapan tumbuh kembang stadia pada saat larva).
Berdasarkan hal diatas, maka dikembangkan suatu teknik baru agar ikan
yang dilepas dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya. Hasil dari teknologi
tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan atau
17
kelangsungan hidup penglepasan juvenile lebih baik dibandingkan dengan
penglepasan stadia larva. Oleh sebab itu, penglepasan ikan pada stadia juvenile
atau ikan muda dijadikan landasan dalam proses kegiatan sea farming. Tentunya
dibutuhkan upaya dan biaya untuk mendapatkan juvenile ikan untuk dilepas
dibanding melepas ikan dalam stadia larva.
Penglepasan ikan pada stadia juvenile diawali atau dipelopori oleh Jepang
pada tahun 1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada tahun 1976 dan
Amerika Serikat pada tahun 1979. Selanjutnya teknologi penglepasan ikan
berkembang dimana metode evaluasi, hitungan ekonomis dan dampak sosialnya
terus dikembangkan hingga saat ini. Sampai saat ini hanya tiga negara tersebut
yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap kegiatan sea farming, dan Jepang
menjadi kiblat dari kegiatan ini.
2.2.2 Pengertian dan Tujuan Sea Farming
Menurut Adrianto (2005), sea farming dalam istilah Bahasa Jepang
disebut saibai gyogyou adalah salah satu kegiatan perikanan yang memegang
peranan cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang. Pada
dasarnya, sea farming di Jepang berfungsi sebagai penyedia stok ikan yang akan
dilepas kembali ke laut sehingga sumberdaya ikan yang berkurang akibat kegiatan
perikanan tangkap tetap terpelihara volume stoknya (restocking).
Pada umumnya tujuan sea farming dapat dikategorikan menjadi tiga
kegiatan berdasarkan tujuannya, yaitu :
1. Membangun suatu populasi atau meningkatkan populasi ikan di suatu
areal
18
2. Menopang kegiatan sportfishing dan rekreasi
3. Meningkatkan hasil tangkapan nelayan
Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki
pengalaman yang cukup tinggi dan teknologi yang sudah lanjut memiliki tujuan
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Amerika Serikat
mempraktekkan penglepasan ikan ke laut untuk tujuan meningkatkan populasi
ikan dan untuk menopang kegiatan rekreasi dan sport fishing. Sedangkan Jepang
dan negara-negara Skandinavia (Norwegia dan Denmark) memfokuskan kegiatan
penglepasan ikan ke laut untuk commercial fishery sebagai tujuan primernya,
disamping penglepasan yang ditujukan untuk meningkatkan populasi ikan yang
hampir punah di suatu areal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan
penangkapan ikan memegang peranan yang cukup besar baik secara sosial
maupun ekonomi di Jepang.
Berdasarkan arealnya maka penglepasan ikan dibagi menjadi dua macam
yaitu untuk high sea fishery (200 mil laut dari garis pantai) dan coastal fishery.
Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan dan
daerah penglepasan.
Penglepasan ikan pada daerah tertentu harus memperhatikan aspek ekologi
dan ekonomi. Aspek ekologi ini dimaksudkan agar tidak mengganggu proses
rantai makanan disuatu areal tertentu dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli
daerah tersebut atau ikan yang ada pada daerah tersebut. Aspek ekonomi yang
dimaksud adalah bahwa ikan yang dilepas haruslah memiliki nilai ekonomi yang
penting pada suatu areal/daerah/negara tertentu.
19
Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis
marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan
menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya
seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, sea farming pada
dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-
sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output. Marikultur
berfungsi sebagai penyedia sumberdaya perikanan yang dalam salah satu mata
rantainya adalah kegiatan ekonomi masyarakat berbasis budidaya perikanan dan
peningkatan cadangan sumberdaya ikan (stock enhancement) sebagai mata rantai
penting lainnya. Oleh sebab itu, sea farming merupakan kegiatan pemanfaatan
perairan laut di pesisir pantai atau laut. Tentu saja, pemanfaatan perairan tersebut
harus sesuai dengan kondisi kegiatan budidaya perikanan laut maupun
sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut. Dalam kegiatan sea farming di
sekitar perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, jenis ikan yang
dibudidayakan adalah ikan kerapu.
2.3 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu
Ikan kerapu dapat diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut
(Ghufran 2001):
Filum : Chordata
Klas : Pisces
Ordo : Perciformes
Famili : Serranidae
Genus : Cromileptes
20
Spesies : Cromileptes altivelis
Genus : Plectropama
Spesies : Plectropama maculates, P. Leopardus, dan
P.oligacanthus
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinepheleus suillus, E. malabaricus,
E. fuscoguttatus, E. merra, dan E. maculates
Ikan kerapu biasa disebut goropa atau kasai, diperkirakan terdiri atas
sekitar 46 spesies yang hidup di berbagai tipe habitat (tempat hidup). Semua
spesies tersebut ternyata berasal dari tujuh genus, yaitu Aethaloperca,
Anyperodon, Chepalopholis, Cromileptes, Plectropoma, Epinephelus, dan
Varicla. Dari tujuh genus tersebut, genus Cromileptes, Plectropoma, dan
Epinephelus merupakan golongan kerapu komersial bernilai ekonomi tinggi yang
diusahakan melalui penangkapan di alam maupun pembudidayaan (Ghufran,
2001).
Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang menyukai hidup di
perairan karang, diantaranya pada celah-celah karang atau di dalam gua di dasar
perairan (DKP, 2004). Secara umum, ikan kerapu memiliki kepala yang besar,
mulut lebar dan tubuhnya ditutupi sisik-sisik kecil. Bagian tepi operculum,
bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya
terpisah. Semua jenis kerapu mempunyai tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri
pada bagian tepi operculum (Ghufran, 2001).
Ikan kerapu dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa
jenis-jenis ikan kecil, zooplankton, udang-udangan, dan udang-udang kecil
21
lainnya. Ikan kerapu bersifat hermaphrodit protogynous (hermaprodit protogini),
yang berarti setelah mencapai ukuran tertentu akan berganti kelamin (change sex)
dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang
bersifat hermaphrodit synchroni, yaitu di dalam satu gonad satu individu ikan,
terdapat sel seks betina dan sel seks jantan yang dapat masak dalam waktu yang
sama, sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak.
Ikan kerapu merupakan ikan berukuran besar yang bobotnya mencapai 4,5 kg atau
lebih. Jenis ikan kerapu ini terdapat di berbagai perairan di dunia antara lain di
Afrika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Australia, Indonesia, dan Papua Nugini.
Sementara di Indonesia, ikan kerapu ditemukan diseluruh perairan nusantara
(Ghufran, 2001)
2.4 Jenis-Jenis Ikan Kerapu
1) Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)
Kerapu bebek sering juga disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran
internasional dikenal dengan nama polka-dot grouper, namun ada pula yang
menyebutnya hump-backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan
warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh
permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing.
Kepala yang kecil mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini popular dengan
sebutan ikan kerapu bebek, namun ada pula yang menyebutnya kerapu tikus,
karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus
(Gambar 1).
22
Sumber : (http://www.fishyforum.com/t1081/)
Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes activelis)
Ikan kerapu bebek dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot
tubuhnya telah mencapai 0,5 kg sampai 2 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan
konsumsi, ikan kerapu bebek ini juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan
sebutan grace kelly. Ikan kerapu bebek memiliki bentuk sirip yang membulat.
Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Ikan ini bisa
mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi umumnya
ukuran 30-50 cm. Kerapu bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan
dan hewan-hewan kecil lainnya (predator). Ikan kerapu bebek merupakan salah
satu ikan laut komersial yang mulai dibududayakan baik dengan tujuan
pembenihan maupun pembesaran.
2) Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Bentuk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mirip dengan kerapu
lumpur, tetapi dengan badan yang agak lebar. Dalam masyarakat internasional
dikenal dengan sebutan flower atau carpet cod (Ghufran, 2001). Kerapu macan
memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas dan
sirip ekor yang membulat (rounded). Warna dasar sawo matang, perut bagian
bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah
kecokelatan, serta terlihat pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga
23
ekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng
(Antoro, Sarwono, Sudjiharno, 2004). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat
pada Gambar 2.
Sumber : (http://www.fishyforum.com/t1081/)
Gambar 2. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
2.5 Budidaya Ikan Kerapu
Usaha budidaya ikan kerapu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan adalah
kegiatan produksi yang menghasilkan benih ikan ukuran 5-7 cm yang biasa
disebut dengan fingerling. Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling
berkisar antara 3-4 bulan (tergantung dari jenis ikan kerapu). Kegiatan
pembenihan sampai dengan fingerling ini merupakan kegiatan yang cukup
menarik, terutama untuk menghasilkan benih dari berukuran 2-3 cm menjadi
berukuran 5-7 cm dalam jangka waktu yang tidak begitu lama sekitar 20-30 hari.
Perbandingan harga benih yang berukuran 2-3 cm dengan yang berukuran 5-7 cm
meningkat sampai sekitar 100% yang memberikan keuntungan sekitar 70 %.
Kegiatan pembenihan ini dapat dilakukan di dalam tangki budidaya berkapasitas
1-2 m3
atau dalam keramba jaring apung (dimensi 1,5 m x 1,5 m x 1,5 m dan mesh
size 3-4 mm) dengan kepadatan 300-500 ekor per m3. Pakan yang diberikan
24
sebaiknya pelet kering dengan kadar protein sebesar 40% (Nainggolan et.al,
2003).
Pembesaran jenis kerapu sampai dengan ukuran konsumsi berkisar antara
7-10 bulan, tergantung dari jenis kerapu yang dibesarkan (untuk kerapu macan
dibutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan untuk kerapu bebek sekitar 10 bulan).
Pembesaran kerapu untuk menjadi kerapu muda ukuran 100 g per ekor dari
ukuran fingerling diperlukan waktu 3-4 bulan pada kerapu macan dan 7-10 bulan
pada kerapu bebek. Pembesaran kerapu umumnya dilakukan dengan
menggunakan keramba jaring apung atau di dalam tangki pembesaran dengan
sistem air mengalir (Nainggolan et.al, 2003).
Pakan yang diberikan dapat berupa ikan rucah atau pelet. Usaha
pembesaran kerapu di lapangan cukup bervariasi. Ada yang membesarkan dari
fingerling sampai dengan ukuran konsumsi, ada pula yang membesarkan dari
fingerling sampai dengan ukuran 100 g per ekor (kerapu muda) dan dari kerapu
muda sampai ukuran konsumsi (sekitar 500-1200 g per ekor). Pemeliharaan dari
ukuran 100 g per ekor sampai dengan lebih besar dari 500 g per ekor memerlukan
waktu 3-5 bulan untuk kerapu macan dan 8-10 bulan untuk kerapu bebek
(Nainggolan et.al, 2003).
2.6 Keramba Jaring Apung
Kata keramba jaring apung biasa digunakan untuk menamai wadah
pemeliharan ikan, terbuat dari jaring yang dibentuk segi empat atau silindris dan
diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu,
bambu atau besi, serta sistem penjangkaran. Sesuai dengan sifatnya yang sangat
25
dipengaruhi oleh kondisi perairan, lingkungan bagi kegiatan budidaya laut dalam
bentuk keramba jaring apung sangat menentukan keberhasilan usaha. Pemilihan
lokasi merupakan hal yang sangat penting bagi usaha pemeliharaan ikan dalam
keramba jaring apung. Komoditas yang dapat dipelihara dalam keramba jaring
apung di laut tropis yaitu berbagai spesies ikan kerapu seperti kerapu lumpur,
kerapu macan, kerapu sunu, kerapu bebek, dan kerapu lemak serta beberapa
spesies lain seperti ikan baronang, kuwe, lobster, kakap merah, kakap putih,
bandeng dan nila merah (Achmad et.al, 1995).
Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan mempengaruhi konstruksi
keramba jaring apung. Keramba jaring apung dengan banyak sudut seperti segi
enam, segi delapan, atau segi empat cocok untuk pemeliharaan kerapu. Hal ini
dikarenakan semua spesies kerapu cenderung hidup bersembunyi, berbaring di
dasar perairan di bawah naungan (Achmad et.al, 1995)
Konstruksi keramba jaring apung selain dipengaruhi oleh spesies yang
dipelihara juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, metode budidaya, sifat
bahan, dan keterampilan tenaga lokal. Secara ideal, bahan yang digunakan untuk
keramba jaring apung harus kuat, ringan, tahan cuaca dan korosi, mudah
dikerjakan dan diperbaiki, bebas gesekan, tekstur halus agar tidak melukai ikan.
Selain itu tata letak keramba jaring apung harus diperhitungkan berdasarkan arah
dan kekuatan arus karena bentuk keramba jaring apung di laut sangat dipengaruhi
oleh arus (Achmad et.al, 1995).
26
2.7 Teori Produksi
Teori produksi merupakan analisis mengenai bagaimana seharusnya
seorang pengusaha atau produsen, dengan teknologi tertentu memilih dan
mengkombinasikan berbagai macam faktor produksi untuk menghasilkan
sejumlah produk tertentu, seefisien mungkin (Sudarman, 1989). Produksi adalah
suatu proses pengubahan faktor produksi atau input menjadi output sehingga nilai
barang tersebut bertambah. Penentuan kombinasi faktor-faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi sangatlah penting agar proses produksi yang
dilaksanakan dapat efisien dan hasil produksi yang didapat menjadi optimal. Input
pada suatu proses produksi terdiri dari perairan, tenaga kerja, kapital dan bahan
baku, jadi input adalah barang atau jasa yang digunakan sebagai masukan pada
suatu proses produksi sedangkan yang dimaksud dengan output adalah barang dan
jasa yang dihasilkan dari suatu proses produksi.
Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara faktor produksi
dengan hasil produksi. Fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah barang yang
diproduksi tergantung pada jumlah faktor produksi yang digunakan.
Fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut :
Q = f (K, L, R, T)
Keterangan :
Q = output
K = modal (capital)
L = tenaga kerja (labour)
R = sumber daya (resources)
T = teknologi (technology)
27
Berdasarkan persamaan tersebut berarti bahwa besar kecilnya tingkat
produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja,
jumlah kekayaan alam dan tingkat produksi yang digunakan. Jumlah produksi
yang berbeda-beda tentunya memerlukan faktor produksi yang berbeda pula.
Jumlah produksi yang tidak sama akan dihasilkan oleh faktor produksi yang
dianggap tetap, biasanya adalah faktor produksi seperti modal, mesin,
peralatannya serta bangunan perusahaan. Sedangkan faktor produksi yang
mengalami perubahan adalah tenaga kerja. Berkaitan dengan periode produksi,
situasi produksi dimana perusahaan tidak dapat mengubah outputnya disebut
jangka waktu yang sangat pendek, sedangkan situasi produksi dimana output
dapat dirubah namun demikian ada sebagian faktor produksi yang bersifat tetap
atau input tetap dan sebagian lagi faktor produksinya dapat diubah atau input
variabel disebut produksi jangka pendek. Produksi jangka panjang yaitu suatu
produksi tidak hanya output dapat berubah tetapi mungkin semua input dapat
diubah dan hanya teknologi dasar produksi yang tidak mengalami perubahan.
Pendugaan hubungan antara produksi dan faktor produksi dapat dilakukan dengan
model regresi. Menurut Soekartawi (1994), diantara berbagai model pendugaan
hubungan tersebut salah satunya adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, yang
secara matematis model tersebut dituliskan sebagai berikut :
n
ne
dimana : Y = Variabel dependen
a = Konstanta regresi
X1...,Xn = Variabel independen
1...., n = Koefisien regresi variabel independen ke 1-n
e = Galat atau error
28
2.8 Uji Statistik
Selanjutnya untuk mengetahui keakuratan data maka perlu dilakukan
beberapa pengujian (Gujarati, 2003):
a. Uji t Statistik
Uji t statistik melihat hubungan atau pengaruh antara variabel independen
secara individual terhadap variabel dependen.
1. Hipotesis yang digunakan :
a. Jika Hipotesis positif
Ho : i ≤ 0 => variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara
signifikan
H1 : i > 0 => variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara
positif dan signifikan
b Jik Hipotesis neg tif Ho : i ≥ 0 => variabel independen tidak mempengaruhi
variabel dependen secara signifikan
H1 : i < 0 => variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara
negatif dan signifikan
2. Pengujian satu sisi
Jika t tabel ≥ t hitung, Ho diterim ber rti v ri bel independen sec r
individual tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Jika t
tabel < t hitung, Ho ditolak berarti variabel independen secara individu
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.
b. Uji F statistik
Uji F digunakan untuk menghitung apakah model yang digunakan secara
keseluruhan tepat digunakan dengan tingkat kepercayaan tertentu.
29
Adapun langkah – langkah pengujian untuk uji F adalah sebagai berikut :
1. Menentukan hipotesis
H0 : 1 = 2 3 4 5 = 6 = 0
(tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel indipenden terhadap variabel
dependen secara bersama – sama)
H0 : 1 ≠ 2 ≠ 3 ≠ 4 ≠ 5 ≠ 6 ≠ 0
(ada pengaruh yang signifikan dari variabel indipenden terhadap variabel
dependen secara bersama – sama)
2. Perhitungan nilai F-test:
Fhitung =
keterangan :
k = jumlah variabel
N = jumlah sampel
= koefisien determinasi
3. Pengambilan keputusan uji F
Apabila F-hitung > F-tabel, maka Ho ditolak berarti secara bersama–sama
variabel independen secara signifikan mempengaruhi variabel dependen. Apabila
F-hitung < F-tabel maka Ho diterima yang berarti secara bersama–sama variabel
independen secara signifikan tidak mempengaruhi variabel dependen.
c. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk menghitung seberapa besar varian
dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel
independent. Nilai R2
paling besar 1 dan paling kecil 0 (0<R2<1). Bila R
2
sama
30
dengan 0 maka garis regresi tidak dapat digunakan untuk membuat ramalan
variabel dependen, sebab variabel-variabel yang dimasukan kedalam persamaan
regresi tidak mempunyai pengaruh varian variabel dependen adalah 0. Semakin
dekat R2
dengan 1, maka semakin tepat regresi untuk meramalkan variabel
dependen, dan hal ini menunjukan hasil estimasi keadaan yang sebenarnya.
Pengujian asumsi klasik juga perlu dilakukan. Pengujian ini dimaksudkan
untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi, multikolinearitas, dan
heterokedastisitas. Apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut
uji t dan uji F yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik
dapat mengacaukan kesimpulan (Gujarati, 2003).
a. Multikolinearitas
Pengujian multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana satu atau
lebih variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear dari variabel
lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui adanya multikolinearitas adalah dengan
pengujian terhadap masing-masing variabel independen untuk mengetahui
seberapa jauh korelasinya (r2) yang dapat kemudian dibandingkan dengan R
2
yang
didapat dari hasil regresi secara bersama variabel independent dengan variabel
dependen. Jika r2
melebihi R2
pada model regresi maka dari hasil regresi tersebut
terdapat multikolinearitas, sebaliknya apabila R2
lebih besar dari semua r2
maka
ini menunjukan tidak terdapatnya multikolinearitas pada model regresi yang diuji.
b. Heteroskedastisitas
Adanya heteroskedastisitas dalam model analisis mengakibatkan varian
dan koefisien-koefisien OLS tidak lagi minimum dan penaksir-penaksir OLS
menjadi tidak efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten.
31
Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada
penelitian ini adalah pengujian White, langkah pengujiannya antara lain:
a. Melakukan regresi pada persamaan berikut yang disebut regresi auxiliary
b. Hipotesis nul dalam uji ini adalah tidak ada heteroskedastisitas. Uji White
didasarkan pada jumlah sampel (n) dikalikan dengan R2
yang akan mengikuti
distribusi Chi-squares dengan degree of freedom sebanyak variabel independen
tidak termasuk konstanta dalam regresi auxiliary. Nilai hitung statistik Chi-
squ res (χ2
) dapat dicari dengan formula sebagai berikut:
n R2
≈ χ2
df
c. Jika nilai Chi-squares hitung (n. R2
) lebih bes r d ri nil i χ2
kritis dengan
derajat keperc y n tertentu (α) m k d heterosked stisit s d n seb likny
jika Chi-squ res hitung lebih kecil d ri nil i χ2
kritis menunjukkan tidak adanya
heteroskedastisitas
c. Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antar anggota
serangkaian observasi menurut waktu. Dalam konteks regresi, model linear klasik
mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi
atau gangguan Ui dengan menggunakan lambang:
E (Ui Uj) = 0 ; 1 ≠J
Secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa
unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur
disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang
manapun (Gujarati, 2003).
32
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi digunakan Durbin
Watson (D-W test), dengan hipotesa sebagai berikut:
1) Jika nilai D-W statistik < DL, atau D-W statistik > 4-DL, maka Ho ditolak
yang berarti terdapat autokorelasi
2) Jika nilai DU < D-W < 4-DU, maka Ho diterima, berarti tidak terdapat
autokorelasi.
) Jik DL ≤ D-W ≤ DU t u 4- DU ≤ D-W ≤ 4-DL, berarti dianggap tidak
meyakinkan.
2.9 Elastisitas Produksi
Elastisitas produksi digunakan untuk melihat seberapa besar perubahan
produksi akibat perubahan pemakaian input (faktor produksi). Koefisien regresi
(b1) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas
input (X) terhadap output (Y) (Soekartawi, 2003). Elastisitas produksi (Ep) dapat
dihitung dengan menjumlahkan pangkat pada fungsi produksi Cobb-Douglas.
Elastisitas produksi dapat dituliskan melalui rumus sebagai berikut:
Karena
adalah produk marjinal (MPP), maka besarnya Ep tergantung dari
besarnya MPP suatu input.
Dengan demikian, elastisitas produksi merupakan perbandingan antara
produk marjinal dengan produk rata-rata.
33
Berdasarkan persamaan di atas rumus elastisitas produksi dapat dituliskan sebagai
berikut:
2.10 Skala Usaha (Return to Scale)
Skala penerimaan (return to scale) perlu dihitung untuk mengetahui
apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti mengikuti kaidah increasing,
constant atau decreasing return to scale. Nilai return to scale dapat diketahui
dengan menjumlahkan koefisien regresi (bi) yang terdapat pada fungsi produksi
Cobb-Douglas. Secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut:
∑
2.11 Analisis Optimasi
Optimasi merupakan pencapaian tingkat faktor produksi yang mana
memaksimumkan pendapatan bersih dari penggunaan sumberdaya. Tingkat
optimal dari penggunaan faktor produksi dapat dijelaskan dengan fungsi produksi.
Pendapatan bersih merupakan hasil selisih dari total revenue (TR) dan total cost
(TC). Hal ini tercapai pada saat nilai produk marjinal (NPM) sama dengan harga
input produksi (Px), atau biaya marjinal dari tambahan input.
Secara matematis, hal ini berarti keuntungan dapat dimaksimumkan bila
NPM = Px, karena NPM = MPP . Py. Produk marjinal (MPP) merupakan
perkalian antara elastisitas produksi (Ep) dengan produksi rata-rata (APP).
34
Koefisien regresi (bi) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas
menunjukkan elastisitas produksi, maka :
Sehingga nilai produk marjinal (NPM) dapat dihitung dengan rumus:
dimana:
NPM = nilai produk marjinal input ke-i
bi = koefisien regresi dari input ke-i
Y = produksi
= input ke-i
Py = harga persatuan produksi
Berdasarkan persamaan MPP dan NPM diatas, maka dapat diketahui input
optimal (Xi*) dengan rumus:
dimana:
* = input optimal ke-i
= produksi (output) rata-rata
= koefisien regresi dari input ke-i
35
2.12 Analisis Kelayakan
Dalam mengevaluasi sebuah usaha biasanya digunakan dua macam
analisis, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Dalam analisis finansial
usaha dilihat dari sudut badan usaha atau perorangan yang menanam modalnya di
dalam usaha atau yang berkepentingan langsung di dalam usaha, sedangkan
analisis ekonomi, usaha dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan.
Dalam analisis ekonomi, yang diperhitungkan adalah analisis total, atau
produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai
dalam usaha, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber yang dipakai
dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil dari usaha tersebut. Hasil dari
hal ini disebut social returns atau the economic returns (Kadariah, 2001).
Menurut Gittinger (1978), analisis ekonomi atau analisis sosial adalah
analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya dari segi
pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang
berkepentingan dalam usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan
untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari segi individu atau swasta sebagai
pihak yang berkepentingan dalam usaha.
Bagi pemegang kebijakan (policy makers), yang penting adalah
mengarahkan pembangunan sumber-sumber yang langka kepada usaha-usaha
yang dapat memberikan hasil yang paling baik bagi perekonomian, sebagai
keseluruhan, yang menghasilkan social return dan economic return yang tinggi
(Kadariah, 2001).
Ada beberapa unsur yang berbeda penilaiannya dalam analisis finansial
dan analisis ekonomi, (Kadariah 2001).
36
1) Harga
Dalam analisis ekonomi selalu dipakai harga bayangan (shadow price), yaitu
harga yang menggambarkan nilai sosial dan ekonomi yang sesungguhnya,
sedangkan dalam analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga privat atau
harga pasar (accounting price).
2) Biaya
Dalam analisis ekonomi biaya bagi input proyek adalah manfaat yang
hilang (the benefit forgone) bagi perekonomian karena input itu dipakai dalam
perekonomian atau the opportunity cost bagi input
3) Pembayaran Transfer
a) Pajak.
Dalam analisis ekonomi, pajak tidak dianggap sebagai biaya dalam
proyek. Pajak merupakan bagian dari hasil netto proyek yang diserahkan
kepada masyarakat.
b) Subsidi.
Subsidi merupakan suatu pembayaran transfer dari masyarakat kepada
proyek. Dalam analisis finansial subsidi mengurangi biaya proyek. Jadi
menambah manfaat bagi proyek, sedangkan dalam analisis ekonomi
subsidi merupakan transfer yang dikeluarkan pemerintah yang dibebankan
kepada masyarakat.
c) Bunga.
Dalam analisis ekonomi bunga modal tidak dipisahkan atau dikurangkan
dari hasil bruto. Dalam analisis finansial dibedakan antara :
37
- Bunga yang dibayarkan pelaku usaha kepada pihak-pihak diluar usaha
yang meminjamkan uangnya kepada usaha tersebut. Bunga ini
dianggap biaya (cost).
- Bunga atas modal usaha (inputed or paid to entity) tidak dianggap
sebagai biaya, karena bunga merupakan bagian dari financial return
yang diterima oleh modal usaha.
Untuk mengevaluasi kelayakan sebuah usaha digunakan kriteria-kriteria
sebagai berikut (Kadariah, 2001) :
1) Net Present Value (NPV)
Tujuan dari kebijakan pembangunan adalah untuk mendapatkan hasil netto
(net benefit) yang maksimal yang dapat tercapai dengan investasi modal atau
pengorbanan sumber-sumber lain. Sebagai ukuran dalam hal ini adalah net
present value dari usaha yang merupakan selisih antara NPV dari benefit dan
NPV dari cost.
2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C adalah perbandingan antara present value dari net benefit yang
positif dengan present value dari net benefit yang negatif (Net Cost).
3) Internal Rate of Return (IRR)
Perhitungan Internal Rate of Return atau tingkat pengembalian internal
adalah tingkat bunga maksimal yang dapat dibayar oleh suatu usaha untuk
sumberdaya yang digunakan karena suatu usaha membutuhkan dana lagi untuk
biaya-biaya operasional dan investasi dan usaha baru sampai pada tingkat pulang
modal (Gittinger, 1986). Perhitungan IRR digunakan untuk mengetahui persentase
keuntungan dari suatu usaha tiap tahunnya dan menunjukkan kemampuan usaha
38
dalam mengembalikan pinjaman. Jika dengan tingkat diskonto tertentu, nilai NPV
menjadi sebesar nol, maka usaha yang bersangkutan berada dalam posisi pulang
modal yang berarti proyek dapat mengembalikan modal dan biaya operasional
yang dikeluarkan serta dapat melunasi penggunaan uang.
2.13 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis untuk menguji secara
sistematis apa yang terjadi pada total penerimaan apabila terjadi perubahan-
perubahan yang tak terduga dan berbeda dengan perkiraan dan perencanaan.
Tujuan analisis sensitivitas yaitu untuk mengetahui apakah yang akan terjadi
apabila terdapat perubahan pada unsur-unsur biaya atau penerimaan, sehingga
dapat diketahui apakah suatu proyek layak untuk diteruskan atau tidak (Kadariah,
2001). Selain itu, analisis sensitivitas membantu menentukan unsur yang sangat
menentukan hasil usaha dan dapat membantu pengelola usaha dengan
menunjukkan bagian-bagian peka yang memerlukan pengawasan yang lebih ketat
untuk menjamin hasil yang diharapkan akan menguntungkan usaha.
Recommended