View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KONSEP DAN PENGEMBANGAN
KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA
UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Fungsi dan Sifat Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Terkait Pasal 49 1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang
pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
KONSEP DAN PENGEMBANGAN
KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA
Sayu Ketut Sutrisna Dewi, S.E., M.M., Ak.
KONSEP DAN PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA
Sayu Ketut Sutrisna Dewi
Proofreader : Dodit Setiawan Santoso
Desain Cover : Dwi Noviiantoko Tata Letak Isi : Haris Ari Susanto
Sumber Gambar : https://www.vecteezy.com/ vector-art/133250-free-business-seminar-vector-illustration
Cetakan Pertama: Maret 2017
Hak Cipta 2017, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2017 by Deepublish Publisher All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com
E-mail: deepublish@ymail.com
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
DEWI, Sayu Ketut Sutrisna
Konsep Dan Pengembangan Kewirausahaan Di Indonesia/oleh Sayu Ketut Sutrisna Dewi.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Maret 2017.
viii, 108 hlm.; Uk:15.5x23 cm ISBN 978-Nomor ISBN
1. Ekonomi I. Judul
338.04
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat rahmatNya buku Konsep dan Pengembangan
Kewirausahaan di Indonesia ini dapat hadir di tengah-tengah
pembaca. Kehadiran buku ini didorong oleh keinginan penulis
untuk memberikan sumbangsih dalam memajukan dunia
kewirausahaan Indonesia yang masih membutuhkan dukungan
semua lapisan masyarakat.
Buku ini berisi 6 bab yang menguraikan konsep dasar
kewirausahaan dan alternatif pengembangan kewirausahaan di
Indonesia. Pembahasan ditekankan pada konsep dan alasan
mendasar mengenai pentingnya pengembangan budaya
kewirausahaan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman, perhatian, dan mendorong partisipasi
aktif masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan bangsa
melalui program kewirausahaan.
Selain itu alternatif strategi pengembangan kewirausahaan di
Indonesia juga diungkapkan agar dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan oleh berbagai pihak yang ingin mengembangkan
program kewirausahaan secara konsisten dan berkelanjutan di
lingkungannya.
Secara khusus buku ini dirancang pula untuk membantu
pembaca, terutama dari kalangan guru, dosen, dan mahasiswa
untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran kewirausahaan di
sekolah maupun perguruan tinggi. Bagi wirausaha muda, buku ini
diharapkan lebih memantapkan lagi pilihannya untuk
berwirausaha dan mampu meningkatkan daya serap terhadap
tenaga kerja.
vi
Sungguh merupakan suatu kebahagiaan saat penulis dapat
berkesempatan menyampaikan terima kasih kepada suami, I Gusti
Bagus Mahendra, dan anak-anak, I Gusti Ayu Cahya Maharani, I
Gusti Ayu Chandra Maheswari, dan I Gusti Ngurah Anom
Mahaputra yang dengan penuh kesabaran dan pengertian
memberikan dukungan moril bagi terselesaikannya buku ini. Selain
itu terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
Penerbit Deepublish – Yogyakarta atas kesediaannya menerbitkan
buku ini. Terima kasih pula kepada Sdr. Dwi Noviantoko atas
desain cover buku ini dan Sdr. Haris Ari Susanto yang telah
mengatur tata letak isi buku ini, serta seluruh karyawan dan
karyawati Penerbit Deepublish yang telah membantu proses
penerbitan buku ini hingga dapat hadir di tengah-tengah pembaca.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mohon
kritik, saran, dan tanggapan dari segenap pembaca, baik dari para
guru, dosen, mahasiswa, wirausaha, pendamping wirausaha serta
para pemerhati lainnya untuk penyempurnaan buku ini di
kemudian hari.
Semoga buku ini memberi manfaat dan dapat memenuhi
harapan pembaca.
Denpasar, Maret 2017
Sayu Ketut Sutrisna Dewi, S.E., M.M., Ak.
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
1. WIRAUSAHA DAN KEWIRAUSAHAAN .......................................... 1
1.1 Pengertian Wirausaha Dan Kewirausahaan................................... 1
1.2 Pengusaha, Wirausaha, Penemu, Dan Manajer ............................. 6
1.3 Wirausaha Dilahirkan Atau Dibentuk? ............................................. 7
1.4 Jenis-Jenis Wirausaha ................................................................................ 9
1.5 Proses Kewirausahaan ........................................................................... 12
1.6 Startup Company........................................................................................ 16
1.7 Manfaat Mempelajari Kewirausahaan............................................ 17
2. MOTIVASI BERWIRAUSAHA ......................................................... 21
2.1 Pengertian Motivasi ................................................................................. 21
2.2 Teori Motivasi ............................................................................................. 22
3. PERAN WIRAUSAHA ....................................................................... 28
3.1 Wirausaha Dan Kekayaan ..................................................................... 28
3.2 Wirausaha Dan Kesejahteraan ........................................................... 29
3.3 Wirausaha Dan Pengangguran ........................................................... 31
3.4 Wirausaha Dan Pembangunan Ekonomi ...................................... 33
4. ILMU DAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN ............................. 37
4.1 Ilmu Kewirausahaan ................................................................................ 37
4.2 Teori Dasar Kewirausahaan ................................................................ 41
5. PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA ............. 46
5.1 Dasar Hukum Kewirausahaan ............................................................ 46
5.2 Kerangka Pengembangan Kewirausahaan .................................. 47
5.3 Pendidikan Kewirausahaan Di Sekolah ......................................... 50
5.4 Pendidikan Kewirausahaan Di Perguruan Tinggi .................... 63
viii
5.5 Pengembangan Kewirausahaan Melalui Inkubator
Wirausaha ..................................................................................................... 76
5.6 Penyebab Kegagalan Pendidikan Kewirausahaan ................... 82
6. SINERGITAS DALAM PENGEMBANGAN
KEWIRAUSAHAAN ...........................................................................85
6.1 Pengertian Sinergi..................................................................................... 85
6.2 Sinergi Triple Helix .................................................................................... 88
6.3 Sinergi BIGFaCoM...................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 106
PROFIL ..................................................................................................... 108
1
KONSEP DAN PENGEMBANGAN
KEWIRAUSAHAAN DI INDONESIA
1. WIRAUSAHA DAN KEWIRAUSAHAAN
1.1 Pengertian Wirausaha dan Kewirausahaan
Wirausaha merupakan terjemahan dari entrepreneur ke dalam bahasa
Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian
wirausaha sama dengan wiraswasta, yaitu orang yang pandai atau berbakat
mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan
operasinya. Entrepreneur menurut Kamus Merriam Webster berasal dari
bahasa Perancis “entreprendre” yang dalam Bahasa Inggris berarti “to
undertake”, yaitu orang yang memulai bisnis dan bersedia mengambil risiko kehilangan dalam rangka menciptakan uang. Entrepreneur adalah
sebutan bagi seseorang yang mahir melahirkan satu usaha baru. Bahkan,
Merriam Webster menyebut wirausaha sebagai “economic leader”, karena berada di garda terdepan dan terawal bagi satu proses bisnis. Seorang
entrepreneur mahir menggabungkan dan mengupayakan berbagai elemen
terkait.
Wirausaha secara historis sudah diperkenalkan oleh Richard Cantillon
pada tahun 1755, sedangkan di Indonesia baru dikenal pada akhir abad
20. Di Belanda wirausaha dikenal dengan ondernemer dan di Jerman
dikenal dengan unternehmer. Kata entrepreneur muncul sebagai salah satu
kosakata yang mulai populer di dalam Bahasa Inggris di sekitar tahun 1852
di saat para pemilik modal dan pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang
keras menemukan berbagai usaha baru, baik sistem produksi baru, pasar
baru, maupun sumber daya baru untuk mengatasi kejenuhan berbagai
usaha yang telah ada.
Sebenarnya, penemuan-penemuan usaha baru sudah berlangsung
sepanjang zaman, namun belum diistilahkan. Penemuan usaha baru
memerlukan daya kreatif yang tinggi untuk meracik semua unsur yang
2
diperlukan, baik sumber daya manusia, modal, maupun bahan-bahan.
Penemuan usaha baru memerlukan kecermatan yang memadai untuk
mengetahui target pasar dan ancaman para pesaing. Penemuan usaha baru
memerlukan keterampilan berkomunikasi untuk membujuk para pemilik
modal, penguasa, pekerja, dan semua pihak yang akan terlibat.
Siapa saja yang dapat digolongkan sebagai wirausaha? Menurut
Schumpeter yang dapat digolongkan sebagai seorang wirausaha adalah
seorang inovator, sebagai individu yang mempunyai kenalurian untuk
melihat benda materi sedemikian rupa yang kemudian terbukti benar
mempunyai semangat, kemampuan, dan pikiran untuk menaklukkan cara
berpikir lamban dan malas. Hanya seseorang yang sedang melakukan
inovasi yang dapat disebut sebagai wirausaha. Mereka yang tidak lagi
melakukan inovasi, walaupun pernah, tidak dapat lagi dianggap sebagai
wirausaha. Wirausaha bukanlah jabatan, melainkan suatu peran.
Pengertian wirausaha dari berbagai sudut pandang adalah sebagai
berikut (Suryana, 2013):
1. Pandangan pemodal, wirausaha adalah seorang yang menciptakan
kesejahteraan buat orang lain, menemukan cara-cara baru untuk
menggunakan sumber daya, mengurangi pemborosan, dan membuka
lapangan kerja yang disenangi oleh masyarakat.
2. Pandangan ahli ekonomi, wirausaha adalah orang yang
mengkombinasikan faktor-faktor produksi, seperti sumber daya alam,
tenaga kerja/sumber daya manusia (SDM), material, dan peralatan
lainnya untuk meningkatkan nilai.
3. Pandangan ahli manajemen, wirausaha adalah seseorang yang
memiliki kemampuan dalam menggunakan dan mengombinasikan
sumber daya, seperti keuangan (money), bahan mentah (materials),
tenaga kerja (labors), keterampilan (skill), dan informasi
(information), untuk menghasilkan produk baru, proses produksi baru,
bisnis baru, dan organisasi usaha baru. (Marzuki Usman, 1997: 3).
4. Pandangan psikolog, wirausaha adalah seseorang yang memiliki
dorongan kekuatan dari dalam untuk memperoleh sesuatu tujuan, suka
3
mengadakan eksperimen atau untuk menampilkan kebebasan dirinya
di luar kekuasaan orang lain.
Dari uraian tersebut diambil suatu kesimpulan bahwa wirausaha itu
adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai
peluang-peluang, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan
guna mengambil keuntungan dan tindakan yang tepat guna memastikan
kesuksesan.
Kemahiran yang dimiliki seorang wirausaha (entrepreneur) disebut
kewirausahaan (entrepreneurship). Menurut KBBI, kewirausahaan berasal
dari kata dasar wirausaha diberi awalan ke dan akhiran an yang bersifat
membuat kata benda wirausaha mempunyai pengertian abstrak, yaitu hal-
hal yang bersangkutan dengan wirausaha. Lebih lanjut jika wira diartikan
sebagai berani dan usaha diartikan sebagai kegiatan bisnis yang komersial
maupun nonbisnis dan nonkomersial, maka kewirausahaan dapat diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan keberanian seseorang untuk
melaksanakan sesuatu kegiatan secara mandiri, baik bisnis maupun
nonbisnis. Entrepreneurship adalah kemampuan dan kemauan nyata
seorang individu, yang berasal dari diri mereka sendiri, dalam tim di dalam
maupun luar organisasi yang ada, untuk menemukan dan menciptakan
peluang ekonomi baru (Wennekers dan Thurik, 1999). Selanjutnya Thurik,
dkk. (2002) menyebutkan bahwa entrepreneurship merupakan manifestasi
kemampuan dan kemauan individual, baik sendiri, dalam tim, di dalam
ataupun di luar organisasi untuk menciptakan peluang baru, dan
mengenalkan ide mereka ke pasar, dalam upaya menghadapi
ketidakpastian dan keterbatasan, melalui pengambilan keputusan lokasi,
bentuk dan penggunaan sumber daya dan lembaga.
Menurut John J.Kao berkewirausahaan adalah usaha untuk
menciptakan nilai melalui pengenalan kesempatan bisnis, manajemen
pengambilan risiko yang tepat, dan melalui keterampilan komunikasi
untuk memobilisasi seseorang, manusia, uang dan bahan-bahan baku atau
sumber daya lain yang diperlukan untuk menghasilkan proyek supaya
terlaksana dengan baik. Sementara itu menurut Hisrich, berkewirausahaan
adalah proses dinamis atau penciptaan tambahan kekayaan-kekayaan oleh
4
individu yang berani mengambil risiko utama dengan syarat-syarat
kewajaran, waktu, dan komitmen karier.
Instruksi Presiden RI No.4 Tahun 1995, menyatakan bahwa
“Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan
seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada
upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk
baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan
yang lebih baik dan memperoleh keuntungan yang lebih besar”. Entrepreneurial merujuk pada aktivitas dalam menjalankan usaha.
Entrepreneurial action atau tindakan kewirausahaan mengacu pada
perilaku dalam pengambilan keputusan atas ketidakpastian tentang
kemungkinan kesempatan untuk memperoleh laba (Hisrich, 2011: 6).
Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar
melalui proses pengombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan
berbeda agar dapat bersaing. Menurut Zimmerer (1996: 51), nilai tambah
tersebut dapat diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:
1. pengembangan teknologi baru (developing new technology),
2. penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge),
3. perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving
existing products or services),
4. penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan
jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit
(finding different ways of providing more goods and services with
fewer resources).
Dengan demikian, hakikat pentingnya kewirausahaan, yaitu:
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku
yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat,
proses, dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi, 1994).
2. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai
sebuah usaha dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997).
3. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang
baru (kreatif) dan berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam
memberikan nilai lebih.
5
4. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang
baru dan berbeda (Drucker, 1959).
5. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi
dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk
memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, 1996).
6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan
mengombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda
untuk memenangkan persaingan.
7. Kewirausahaan dapat terjadi pada semua bidang (Hisrich, Peter, dan
Shepherd, 2005).
Karena wirausaha dapat ditemukan pada berbagai bidang/profesi,
maka seseorang yang memiliki perilaku wirausaha dapat berada pada
perusahaan yang didirikan dan dikelola sendiri, sebagai entrepreneur,
atau pada perusahaan/organisasi lainnya, sebagai intrapreneur.
Meredith dalam Suprojo Pusposutardjo (1999), memberikan ciri-ciri
seseorang yang memiliki karakter wirausaha sebagai orang yang (1)
percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko,
(4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6) keorisinalan.
Jadi, untuk menjadi wirausaha yang berhasil, persyaratan utama yang
harus dimiliki adalah memiliki jiwa dan watak kewirausahaan. Jiwa dan
watak kewirausahaan tersebut dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan,
atau kompetensi. Kompetensi itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan dan
pengalaman usaha. Seperti telah dikemukakan, bahwa seseorang wirausaha
adalah seseorang yang memiliki jiwa dan kemampuan tertentu dalam
berkreasi dan berinovasi. Ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the
new and different) atau kemampuan kreatif dan inovatif. Kemampuan
kreatif dan inovatif tersebut secara riil tercermin dalam kemampuan dan
kemauan untuk memulai usaha (startup), kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang baru (creative), kemauan dan kemampuan untuk mencari
peluang (opportunity), kemampuan dan keberanian untuk menanggung
risiko (risk bearing) dan kemampuan untuk mengembangkan ide dan
meramu sumber daya.
6
1.2 Pengusaha, wirausaha, penemu, dan manajer
Tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Sebagai contoh seseorang yang
karena ia memiliki saham di suatu perusahaan dan memiliki koneksi
tertentu dengan pejabat pemerintah, sehingga ia memperoleh fasilitas-
fasilitas istimewa baik dalam memenangkan tender maupun kemudahan
dalam perizinan, bukanlah seorang wirausaha. Orang tersebut tidak lebih
hanyalah seorang pengusaha atau pedagang. Contoh lainnya, pengusaha air
minum dalam kemasan dengan merek Aqua, Bapak Tirto Utomo. Dia
dapat dikatakan seorang wirausaha, karena ia melakukan terobosan dalam
usaha baru air minum dalam kemasan yang pada saat itu dikuasai oleh
minuman bersoda dan beralkohol. Pada awal berdirinya perusahaan Aqua
banyak orang mempertanyakan mengapa air tawar diperjualbelikan yang
biasanya di Indonesia dapat diminta dengan gratis, tetapi usaha tersebut
ternyata berhasil bahkan kini banyak perusahaan lain yang mengikutinya.
Wirausaha berbeda dengan penemu (inventor), yaitu orang yang
menemukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia, misalnya
Thomas Alpha Edison menemukan listrik. Einstein menemukan atom, dan
lainnya. Mereka tidak dapat disebut wirausaha jika penemuannya tersebut
tidak ditransformasikan oleh mereka sendiri ke dalam dunia usaha.
Wirausaha adalah orang yang memanfaatkan penemuan tersebut ke dalam
dunia usaha.
Wirausaha berbeda dengan manajer. Meskipun demikian, tugas dan
perannya dapat saling melengkapi. Seorang wirausaha yang membuka
suatu perusahaan harus menggunakan keahlian manajerial (managerial
skills) untuk mengimplementasikan visinya. Di lain pihak seorang manajer
harus menggunakan keahlian wirausaha (entrepreneurial skill) untuk
mengelola perubahan dan inovasi.
Menurut Kao (1989), secara umum posisi wirausaha adalah
menempatkan dirinya terhadap risiko atas guncangan-guncangan dari
perusahaan yang dibangunnya (venture). Wirausaha memiliki risiko atas
finansialnya sendiri atau finansial orang lain yang dipercayakan kepadanya
dalam memulai sesuatu. Ia juga harus menanggung risiko atas keteledoran
dan kegagalan usahanya. Sebaliknya manajer lebih termotivasi oleh tujuan
7
yang dibebankan dan kompensasi (gaji dan benefit lainnya) yang akan
diterimanya. Seorang manajer tidak toleran terhadap sesuatu yang tidak
pasti dan membingungkan serta kurang berorientasi terhadap risiko
dibandingkan dengan wirausaha. Manajer lebih memilih gaji dan posisi
yang relatif aman dalam bekerja. Wirausaha lebih memiliki keahlian
intuisi dalam mempertimbangkan suatu kemungkinan atau kelayakan dan
perasaan dalam mengajukan sesuatu kepada orang lain. Di lain pihak,
manajer memiliki keahlian yang rasional dan orientasi yang terperinci
(rational and detailed-oriented skills).
1.3 Wirausaha dilahirkan atau dibentuk?
Perdebatan yang sangat klasik adalah perdebatan mengenai apakah
wirausaha itu dilahirkan (is borned) yang menyebabkan seseorang
mempunyai bakat lahiriah untuk menjadi wirausaha atau sebaliknya
wirausaha itu dibentuk atau dicetak (is made). Sebagian pakar berpendapat
bahwa wirausaha itu dilahirkan dan sebagian pendapat mengatakan bahwa
wirausaha itu dapat dibentuk dengan berbagai contoh dan argumentasinya.
Misalnya A adalah seseorang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi,
tetapi kini dia menjadi pengusaha besar nasional. Di lain pihak kini banyak
pemimpin/pemilik perusahaan yang berpendidikan tinggi, tetapi
reputasinya belum melebihi A. Pendapat lain adalah wirausaha itu dapat
dibentuk melalui suatu pendidikan atau pelatihan kewirausahaan.
Contohnya, setelah Perang Dunia ke-2 beberapa veteran perang di
Amerika belajar berwirausaha. Mereka belajar berwirausaha melalui suatu
pendidikan atau pelatihan baik pendidikan/pelatihan singkat maupun
pendidikan/pelatihan yang berjenjang. Dengan modal pengetahuan dan
fasilitas lainnya mereka berwirausaha. Samuel Whalton pendiri Walmart
yang kini menjadi retailer terbesar dunia adalah veteran yang memulai
usahanya pada usia 47 tahun. Ross Perot pendiri Texas Instrument yang
pernah mencalonkan diri sebagai presiden Amerika dari partai independen
juga seorang veteran yang berhasil dibentuk menjadi wirausaha. Ada yang
mengatakan bahwa seseorang menjadi wirausaha itu karena lingkungan.
8
Misalnya, banyak orang WNI keturunan menjadi wirausaha sukses karena
mereka hidup di lingkungan para wirausaha atau pelaku usaha.
Apakah wirausaha itu dilahirkan yang menyebabkan seseorang
mempunyai bakat lahiriah untuk menjadi wirausaha atau sebaliknya
wirausaha itu dibentuk atau dicetak, pada dasarnya berkaitan dengan
perkembangan cara pendekatan, yakni pendekatan klasikal dan event
studies. Pendekatan bersifat klasikal menjelaskan bahwa wirausaha dan
ciri-ciri pembawaan atau karakter seseorang yang merupakan pembawaan
sejak lahir (innate) dan untuk menjadi wirausahawan tidak dapat
dipelajari. Sedangkan pendekatan event studies menjelaskan bahwa faktor-
faktor lingkungan yang menghasilkan wirausaha atau dengan kata lain
wirausaha dapat diciptakan atau dibentuk. Sifat wirausaha merupakan
bawaan lahir sebagaimana pendapat pakar yang menggunakan pendekatan
klasikal sebenarnya sudah lazim diterima sejak lama. Namun, saat ini
pengakuan tentang kewirausahaan sebagai suatu disiplin telah mendobrak
mitos tersebut dan membenarkan pendapat yang menggunakan pendekatan
event studies.
Seperti juga disiplin-disiplin lainnya, kewirausahaan memiliki suatu
pola dan proses. Terlepas dari kedua pendapat dengan pendekatan yang
berbeda tersebut, pendapat yang lebih moderat adalah tidak
mempertentangkannya. Menjadi wirausaha sebenarnya tidaklah cukup
hanya karena bakat (dilahirkan) ataupun hanya karena
dibentuk. Wirausaha yang akan berhasil adalah wirausaha yang memiliki
bakat dan selanjutnya dibentuk melalui suatu pendidikan, pelatihan atau
bergaul dalam komunitas dunia usaha. Tidak semua orang yang memiliki
bakat berwirausaha mampu untuk menjadi seorang wirausaha tanpa
adanya tempaan melalui suatu pendidikan/pelatihan. Kompleksnya
permasalahan-permasalahan dunia usaha saat ini, menuntut seseorang yang
ingin menjadi wirausaha tidak cukup bermodalkan bakat saja. Ada orang
yang belum menyadari bahwa dia memiliki bakat sebagai wirausaha,
namun setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ataupun bergaul dengan di
lingkungan wirausaha pada akhirnya menyadari dan mencoba
memanfaatkan bakat yang dimilikinya. Oleh karena itu, wajar jika ada
yang berpendapat bahwa bila ingin belajar berwirausaha tidak perlu
9
mengandalkan bakat, namun yang terpenting adalah memiliki kemauan
dan motivasi kuat untuk mulai belajar berwirausaha.
1.4 Jenis-jenis wirausaha
Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan
pada peran pengusaha kecil, namun sebenarnya karakter wirausaha juga
dimiliki oleh orang-orang yang berprofesi di luar wirausaha. Karakter
kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan,
pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya.
Menurut Zimmerer (1996), wirausaha dibedakan atas empat hal yaitu:
1. Part Time Enterpreneur, yaitu kelompok wirausaha yang melakukan
usahanya hanya sebagian waktu saja atau hobi, atau bersifat
sampingan.
2. Home Base New Ventures, yaitu kelompok wirausaha yang merintis
kegiatan usahanya berdasarkan asal tempat tinggalnya.
3. Family – Owned Business, yaitu kelompok wirausaha yang
pengelolaan usahanya dilakukan oleh beberapa anggota secara turun
menurun.
4. Copreneur, yaitu kelompok wirausaha yang kegiatan usahanya
dilakukan oleh dua orang atau lebih. Wirausaha bekerja sama sebagai
pemilik bersama. Dalam bentuk corpreneur ini dikenal sebagai
wirausaha sejati, yaitu wirausaha yang dilakukan oleh pasangan suami
dan istri.
Menurut Ir. Ciputra, secara garis besar terdapat 4 kelompok
entrepreneur, yaitu:
Business Entrepreneur
Kelompok ini terbagi menjadi dua yaitu owner entrepreneur dan
professional entrepreneur. Owner entrepreneur adalah para pencipta
dan pemilik bisnis. Professional Entrepreneur adalah orang-orang
yang memiliki daya wirausaha akan tetapi mempraktikkannya pada
perusahaan orang lain. Value-creation activities dari business
entrepreneur adalah penciptaan laba. Lebih lanjut business
entrepreneur dikembangkan menurut bidang usaha yang ditekuni,
10
misalnya entrepreneur di bidang teknologi disebut technopreneur, di
bidang teknologi digital sering disebut digipreneur, khusus wirausaha
wanita disebut womanpreneur, yang bergerak di bidang pertanian
disebut agripreneur, dan seterusnya.
Government Entrepreneur
Bedanya dengan entitas bisnis adalah bahwa dalam entitas bisnis,
value-creation activities adalah penciptaan laba, sementara kalau
organisasi pemerintahan adalah penciptaan kemakmuran dan
peningkatan kualitas hidup masyarakatnya, seperti peningkatan
pendapatan per kapita, standar kesehatan, pendidikan, dan seterusnya.
Government entrepreneur adalah pemimpin pemerintahan yang
mampu mengelola dan menumbuhkan jiwa dan kecakapan wirausaha
penduduknya. Contoh Government Entrepreneur yang sukses adalah
pemimpin negara Singapura Lee Kuan Yew.
Social Entrepreneur
Termasuk dalam kelompok ini adalah para pendiri organisasi-
organisasi sosial yang berhasil menghimpun dana masyarakat untuk
melaksanakan tugas sosial yang mereka yakini. Contohnya adalah
Mohammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian tahun 2006 serta
pendiri Grameen Bank.
Academic Entrepreneur
Kelompok ini terdiri dari akademisi yang mengajar atau mengelola
lembaga pendidikan dengan pola dan gaya entrepreneur sambil tetap
menjaga tujuan mulia pendidikan. Universitas Harvard dan Stanford
merupakan beberapa universitas terkemuka yang mengelola dunia
pendidikan dengan gaya entrepreneur.
Forum Universitas Ciputra Entrepreneurship Online atau “UCEO” juga mengelompokkan entrepreneur ke dalam jenis-jenis sebagai berikut:
Necessity Entrepreneur, yaitu wirausaha yang ditekuni karena
terpaksa dan adanya desakan kebutuhan hidup. Bila bukan karena
terpaksa atau terdesak oleh kebutuhan hidup, mungkin tidak akan
memilih sebagai entrepreneur. Contoh, ada banyak orang yang
memiliki usaha sendiri, namun misalnya ketika dia diterima jadi
11
pegawai negeri atau dapat tawaran bekerja di perusahaan, maka dia
lebih memilih jadi pegawai lalu meninggalkan usahanya.
Replicative Entrepreneur, yaitu wirausaha yang cenderung meniru-
niru bisnis yang sedang menjadi tren, sehingga rawan terhadap
persaingan dan berpotensi besar menghadapi kegagalan. Contohnya di
antara tren iPad, ia mendirikan sebuah usaha jual beli atau servis iPad.
Redistributive Entrepreneur, yaitu orang menempatkan dirinya
diantara pemilik proyek dengan pelaksana proyek (kontraktor). Ia
dapat berada di sana karena relasi atau hubungan kedekatan yang lain.
Sesungguhnya Redistributive Entrepreneur tidak memiliki keahliaan
teknis melaksanakan proyek sehingga kehadirannya hanya
menimbulkan biaya tambahan bagi pelaksana proyek (kontraktor).
Innovative Entrepreneur, wirausaha inovatif yang terus berpikir
kreatif dalam melihat peluang dan meningkatkannya.
Ada dua pola wirausaha yang disarankan oleh Norman R. Smith
dalam Longenecker (2001), yaitu:
Wirausaha artisan
Wirausaha Artisan adalah seseorang yang memulai bisnisnya dengan
keahlian teknis sebagai modal utama dan sedikit pengetahuan bisnis.
Karakteristik dari seorang wirausaha artisan, antara lain:
o Bersikap kekeluargaan, mereka memimpin bisnisnya seperti
memimpin keluarganya.
o Enggan mendelegasikan wewenang.
o Menggunakan sedikit (satu atau dua) sumber modal dalam
mendirikan perusahaannya.
o Membatasi strategi pemasaran pada komponen harga secara
tradisional, kualitas, dan reputasi perusahaan.
o Usaha penjualannya dilakukan secara tradisional.
o Orientasi waktu mereka singkat dengan sedikit perencanaan
untuk pertumbuhan atau perubahan di masa mendatang.
Wirausaha oportunistis
Dalam pergaulan atau di tempat kerja, kata oportunistik sering
diasosiasikan sebagai sikap yang negatif. Saat ada kawan menghadapi
12
bermasalah dengan jabatannya, dia pun kasak-kusuk untuk mengisi
posisi kawan itu. Dia melihat permasalahan itu sebagai peluang atau
kesempatan untuk mengisi posisi kawan yang tengah dililit masalah.
Mengambil kesempatan dalam kesempitan, begitu kira-kira bahasa
ungkapannya. Namun, semangat itu, sekali lagi semangat
oportunistik, justru harus dimiliki oleh para calon entrepreneur.
Wirausaha Oportunistis memulai bisnisnya dengan keahlian
manajemen yang rumit dan pengetahuan teknis memadai.
1.5 Proses Kewirausahaan
Salah satu pembahasan penting dalam kewirausahaan adalah proses
kewirausahaan, yaitu suatu proses yang melibatkan seluruh fungsi,
tindakan dan kegiatan yang berhubungan dengan peluang dan penciptaan
organisasi (Bygrave, 2004). Proses kewirausahaan merupakan proses
penciptaan usaha baru yang sangat kompleks dalam konteks
kewirausahaan (Hisrich 2005: 39; Baron, 2004: 169). Fungsi ini mencakup
pengembangan produk atau jasa, memperoleh sumber daya, merancang
organisasi dan pengembangan strategi untuk mengeksploitasi kesempatan
(Shane, 2003).
Menurut Carol Noore yang dikutip oleh Bygrave, proses
kewirausahaan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari dalam maupun
dari luar diri pribadi, seperti pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan
dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk “locus of control”, kreativitas, keinovasian, implementasi, dan pertumbuhan yang
kemudian berkembang menjadi wirausaha yang besar. Secara internal,
keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari individu,
seperti locus of control, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, dan pengalaman.
Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang memengaruhi seperti
model peran, aktivitas, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembang
menjadi kewirausahaan melalui proses yang dipengaruhi
lingkungan, organisasi, dan keluarga.
13
Mengutip Bygrave (2004), Nassif (2010) menjelaskan proses
kewirausahaan (entrepreneurship process) sebagai suatu rangkaian
tahapan dan peristiwa (events) yang saling mengikuti satu dengan yang
lain. Tahapan tersebut adalah:
Pertama: Inovasi atau Ide/konsepsi usaha (the idea or conception of
the business).
Kedua: Peristiwa yang memicu operasi (the event that triggers the
operations).
Ketiga: Implementasi (implementation).
Keempat: Pertumbuhan (growth).
Proses kewirausahaan tersebut dan faktor-faktor yang
memengaruhinya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Proses Kewirausahaan
14
(2) Sifat penasaran.
(3) Kesanggupan menanggung risiko.
(4) Nilai pribadi.
(5) Pendidikan.
(6) Pengalaman.
(7) Pengakuan kesempatan.
Faktor lingkungan yang mendorong inovasi adalah:
(1) Adanya peluang.
(2) Pengalaman.
(3) Kreativitas.
2) Triggering Event (Pemicu)
Beberapa faktor personal yang menjadi pemicu atau yang memaksa
seseorang untuk terjun ke dunia bisnis adalah:
(1) Adanya ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang sekarang.
(2) Adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
(3) Tidak ada pekerjaan lain.
(4) Dorongan karena faktor usia.
(5) Keberanian menanggung risiko.
(6) Komitmen dan minat tinggi terhadap bisnis.
Faktor- faktor lingkungan yang menjadi pemicu bisnis adalah:
(1) Sumber-sumber yang bisa dimanfaatkan, misalnya tabungan,
modal, warisan, memiliki bangunan yang strategis.
(2) Mengikuti latihan-latihan atau kursus bisnis.
3) Implementation (pelaksanaan)
Beberapa faktor personal yang mendorong pelaksanaan dari sebuah
bisnis adalah sebagai berikut:
(1) Siap mental secara total.
(2) Adanya manajer pelaksana sebagai tangan kanan atau pembantu
utama.
(3) Adanya komitmen yang tinggi terhadap bisnis.
(4) Adanya visi atau pandangan yang jauh ke depan guna mencapai
keberhasilan.
15
4) Growth (Proses Pertumbuhan)
(1) Adanya tim yang kompak dalam menjalankan usaha sehingga
semua rencana dan pelaksanaan operasional berjalan produktif.
(2) Adanya strategi yang mantap sebagai produk dari tim yang
kompak.
(3) Adanya produk yang dibanggakan, atau keistimewaan yang
dimiliki misalnya kualitas makanan, lokasi usaha, manajemen,
personalia, dsb.
(4) Adanya konsumen dan pemasok barang yang kontinu.
(5) Adanya pihak investor yang memberikan fasilitas keuangan
adanya kebijaksanaan pemerintahan yang menunjang berupa
peraturan bidang ekonomi yang menguntungkan.
Sementara menurut Leech dan Melicher (2012), proses kewirausahaan
meliputi: mengembangkan peluang, mengumpulkan sumber daya,
mengelola dan membangun operasi, semua dengan tujuan menciptakan
nilai. Gambar 2 memberikan suatu gambaran grafis dari proses ini.
Gambar 2. Model Proses Kewirausahaan
16
ditempatkan sebagai komponen dan persimpangan dari ekonomi, hukum,
dan sosial lingkungan.
1.6 Startup Company
Startup Company atau sering juga disebut Startup business adalah
perusahaan yang baru didirikan oleh wirausaha. Kata startup sendiri
merupakan serapan dari Bahasa Inggris yang berarti tindakan atau proses
memulai sebuah organisasi baru atau usaha bisnis. Menurut Wikipedia,
startup merujuk pada perusahaan yang belum lama beroperasi.
Perusahaan-perusahaan ini sebagian besar merupakan perusahaan yang
baru didirikan dan berada dalam fase pengembangan dan penelitian untuk
menemukan pasar yang tepat. Definisi lebih konkrit dijelaskan oleh David
McClure bahwa startup adalah perusahaan yang belum menemukan target
konsumen, produk dan cara menjualnya. Inilah yang membedakan startup
dari perusahaan atau korporasi yang sudah lama berdiri. Startup company
sering juga disebut dengan istilah new venture.
Tidak ada lembaga atau ketentuan yang mengatur sebuah perusahaan
bisa disebut sebagai startup atau bukan, tetapi ada literatur (pendapat)
yang bisa dijadikan landasan untuk melakukan identifikasi. Rama
Mamuaya, founder DailySocial.net dalam Tekno Jurnal menyebutkan ciri-
ciri startup adalah:
1) Beroperasi (umur) kurang dari tiga tahun.
2) Memiliki kurang dari 20 karyawan.
3) Memiliki pendapatan kurang dari $100.000 per tahun.
Jika dikorelasikan dengan definisi yang dijabarkan oleh David
McClure, maka perusahaan tidak lagi disebut startup jika telah:
1) Selesai merancang produknya.
2) Menemukan target konsumennya.
3) Mampu menjual produk tersebut kepada target konsumen.
17
1.7 Manfaat mempelajari kewirausahaan
Mempelajari pengetahuan dan praktik kewirausahaan mempunyai
beberapa manfaat. Manfaat tersebut akan memberikan pilihan karier untuk
berperan menjadi:
1. Wirausaha (entrepreneurs).
2. Wiramanajer (intrapreneurs).
3. Wirakaryawan (innopreneurs).
4. Ultramanajer (ultrapreneur).
5. Pendidik/pemikir.
Wirausaha adalah orang yang menjalankan usahanya sendiri,
wiramanajer adalah orang yang memiliki kemampuan sebagai wirausaha,
tetapi tidak menjalankan usaha sendiri melainkan menjalankan usaha atau
memimpin usaha orang lain. Wiramanajer adalah manajer yang meng-
implementasikan ide-ide wirausaha menjadi sesuatu yang menguntungkan
bagi organisasi/perusahaan (Pinchott III, 1985). Tanri Abeng yang pernah
menjadi manajer Bakri Group dan PT Multi Bintang adalah contoh
seorang wiramanajer yang berhasil. Wirakaryawan adalah para karyawan
yang memiliki kemampuan sebagai wirausaha tetapi, karena sebab-sebab
tertentu mereka memilih untuk bekerja di suatu perusahaan/organisasi.
Mereka adalah karyawan dari segala lapisan manajemen yang dapat
mengimplementasikan ide-ide yang inovatif di dalam struktur perusahaan
yang ada. Ultramanajer adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk membuka bidang usaha baru di berbagai tempat dengan pendekatan
yang inovatif. Belajar kewirausahaan dapat pula dimanfaatkan untuk
menjadi pendidik atau pemikir dalam kewirausahaan. Mereka adalah
orang-orang yang mempelajari kewirausahaan, tetapi bukan bermaksud
untuk menjadi pelaku yang berhubungan dengan kewirausahaan,
melainkan untuk kepentingan pendidikan atau menganalisis sesuatu yang
membutuhkan pengetahuan tentang kewirausahaan.
Thomas W Zimmerer et. al. (2005) merumuskan manfaat
kewirausahaan adalah sebagai berikut:
18
1. Memberi peluang dan kebebasan untuk mengendalikan nasib sendiri.
2. Memiliki usaha sendiri akan memberikan kebebasan dan peluang bagi
pebisnis untuk mencapai tujuan hidupnya. Pebisnis akan mencoba
memenangkan hidup mereka dan memungkinkan mereka untuk
memanfaatkan bisnisnya guna mewujudkan cita-citanya.
3. Memberi peluang melakukan perubahan.
4. Semakin banyak wirausaha yang memulai usahanya, karena mereka
dapat menangkap peluang untuk melakukan berbagai perubahan yang
menurut mereka sangat penting. Mungkin berupa penyediaan
perumahan sederhana yang sehat dan layak pakai, dan mendirikan
daur ulang limbah untuk melestarikan sumber daya alam yang
terbatas. Pebisnis kini menemukan cara untuk mengombinasikan
wujud kepedulian mereka terhadap berbagai masalah ekonomi dengan
sosial dengan harapan untuk menjalani hidup yang lebih baik.
5. Memberi peluang untuk mencapai potensi diri sepenuhnya.
6. Banyak orang menyadari bahwa bekerja di suatu perusahaan
seringkali membosankan, kurang menantang, dan tidak ada daya tarik.
Hal ini tentu tidak berlaku bagi seorang wirausaha, bagi mereka tidak
banyak perbedaan antara bekerja atau menyalurkan hobi atau
bermain, keduanya sama saja. Bisnis-bisnis yang dimiliki oleh
wirausaha merupakan alat untuk menyatakan aktualisasi diri.
Keberhasilan mereka adalah suatu hal yang ditentukan oleh
kreativitas, antusias, inovasi, dan visi mereka sendiri. Memiliki usaha
atau perusahaan sendiri memberikan kekuasaan kepada mereka,
kebangkitan spiritual dan mampu mengikuti minat atau hobinya
sendiri.
7. Memiliki peluang untuk meraih keuntungan.
8. Walaupun pada tahap awal, uang bukan daya tarik utama bagi
wirausaha, keuntungan berwirausaha merupakan faktor motivasi yang
penting untuk mendirikan usaha sendiri. Kebanyakan pebisnis tidak
ingin menjadi kaya raya, tetapi kebanyakan diantara mereka yang
menang menjadi berkecukupan. Hampir 75% yang termasuk dalam
daftar orang terkaya (Majalah Forbes) merupakan wirausaha generasi
pertama. Menurut hasil penelitian, Thomas Stanley dan William
19
Danko, pemilik perusahaan sendiri mencapai 2/3 dari jutawan
Amerika Serikat. Orang-orang yang bekerja memiliki perusahaan
sendiri empat kali lebih besar untuk menjadi jutawan daripada orang-
orang yang bekerja untuk orang lain (karyawan perusahaan lain).
9. Memiliki peluang untuk berperan aktif dalam masyarakat dan
mendapatkan pengakuan atas usahanya.
10. Pengusaha atau pemilik usaha kecil seringkali merupakan warga
masyarakat yang paling dihormati dan dipercaya. Kesepakatan bisnis
berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati adalah ciri
pengusaha kecil. Pemilik menyukai kepercayaan dan pengakuan yang
diterima dari pelanggan yang telah dilayani dengan setia selama
bertahun-tahun. Peran penting yang dimainkan dalam sistem bisnis di
lingkungan setempat serta kesadaran bahwa kerja memilki dampak
nyata dalam melancarkan fungsi sosial dan ekonomi nasional adalah
merupakan imbalan bagi manajer perusahaan kecil.
11. Memiliki peluang untuk melakukan sesuatu yang disukai dan
menumbuhkan rasa senang dalam mengerjakan.
12. Kebanyakan wirausaha yang berhasil memilih masuk dalam suatu
bisnis tertentu karena memang tertarik dan menyukai pekerjaan
tersebut. Mereka menyalurkan hobi atau kegemaran untuk dijadikan
pekerjaan dan mereka senang melakukannya. Wirausaha harus
mengikuti nasihat Harvey McKey. Menurut McKey: “Carilah dan
dirikan usaha yang Anda sukai dan Anda tidak akan pernah terpaksa
harus bekerja sehari pun dalam hidup Anda”. Meraih penghargaan
terbesar bagi pebisnis/wirausaha bukan tujuannya, melainkan lebih
kepada proses atau perjalanannya.
Jadi, sebenarnya kewirausahaan adalah modal hidup setiap manusia.
Bila kewirausahaan dipelajari sejak dini, banyak hal yang dapat diasah
sebagai bekal hidup kelak, di antaranya sebagai berikut:
1. Kemampuan merumuskan tujuan hidup atau tujuan usaha. Dalam
merumuskan tujuan hidup dan tujuan usaha diperlukan perenungan
dan koreksi yang berulang-ulang.
20
2. Kemampuan untuk memotivasi diri. Hal ini dilakukan dalam rangka
melahirkan semangat yang menyala-nyala. Kemampuan tersebut
dijelaskan menjadi tiga hal: memanfaatkan kekuatan, peluang, dan
menutup kelemahan (need of achievement, need of affiliation, dan
need of power).
3. Kemampuan berinisiatif atau kebiasaan berinisiatif.
4. Kemampuan berinovasi, yaitu kemampuan untuk berkarya dan
berdaya cipta.
5. Kemampuan membentuk modal, baik berupa modal sosial dan modal
materiil.
6. Kebiasaan mengatur waktu atau disiplin waktu.
7. Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama.
8. Kebiasaan diri dalam mengambil hikmah.
21
2. MOTIVASI BERWIRAUSAHA
2.1 Pengertian Motivasi
Berbagai istilah digunakan untuk menyebut kata “motivasi” (motivation)
atau motif, antara lain kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish),
dan dorongan (drive). Istilah motivasi, berasal dari bahasa Inggris,
motivation. Sedangkan istilah “motivation” berasal dari bahasa Latin, “movere” yang berarti “menggerakkan” (“to move”), sehingga menurut Kamus Webster (1983), motivasi didefinisikan sebagai “kekuatan (force),
rangsangan (stimulus) atau pengaruh (influence). Motivasi biasanya
dikaitkan dengan konsep lain seperti dorongan (drive), keinginan (want),
hasrat (desire), kepentingan (interest), niat (intention) harapan
(expectation) dan kebutuhan (need). Dalam hal ini akan digunakan istilah
motivasi yang diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi menunjuk kepada sebab, arah,
dan persistensi perilaku.
Motivasi adalah suatu dorongan psikologis yang mengarahkan
seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi yang ada pada setiap orang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu, diperlukan
pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat motivasi, serta kemampuan
tehnik menciptakan situasi sehingga menimbulkan motivasi atau dorongan
bagi mereka untuk berbuat dan berperilaku sesuai apa yang dikehendaki
oleh individu lain atau organisasi.
Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong
keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna
mencapai tujuan (Handoko, 2003). Sementara Stevenson (2001)
mendefinisikan motivasi sebagai insentif, dorongan, atau stimulus untuk
bertindak di mana motivasi adalah semua hal verbal, fisik atau psikologis
yang membuat seseorang melakukan sesuatu sebagai respons.
22
2.2 Teori motivasi
Motivasi sangat diperlukan oleh seseorang untuk mencapai apa yang
diinginkan. Untuk menjadi sukses banyak sekali rintangan dan halangan
yang menghadang di depan. Tapi, dengan berbekal motivasi dan inspirasi
yang besar, seseorang bisa terus maju ke depan. Maju untuk sukses dan
mendapatkan apa yang diinginkan.
Motivasi berbeda dengan motif. Motivasi adalah kemauan untuk
berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan,
impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Motif
dengan kekuatan sangat besar menentukan perilaku seseorang.
Suatu organisme (manusia atau hewan) yang dimotivasi akan terjun
ke dalam suatu aktivitas secara lebih giat dan lebih efisien daripada tanpa
motivasi. Selain menguatkan organisme itu, motivasi cenderung
mengarahkan perilaku (orang yang lapar dimotivasi untuk mencari
makanan untuk dimakan, orang yang haus untuk minum, orang yang
kesakitan untuk melepaskan diri dari stimulus atau rangsangan yang
menyakitkan. (Atkinson & Hilgard, 1983).
Sampai abad 17 dan 18, para pakar filsafat masih berkeyakinan bahwa
konsepsi rasionalisme merupakan konsep satu-satunya yang dapat
menerangkan tindakan-tindakan yang dilakukan manusia. Konsep ini
menerangkan bahwa manusia adalah makhluk rasional dan intelek yang
menentukan tujuan dan melakukan tindakannya sendiri secara bebas
berdasarkan nalar atau akalnya. Baik buruknya tindakan yang dilakukan
oleh seseorang sangat tergantung dari tingkat intelektual orang tersebut.
Pada masa-masa berikutnya, munculnya pandangan mekanistik yang
beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia timbul dari
adanya kekuatan internal dan eksternal, di luar kontrol manusia itu sendiri.
Hobbes (abad ke-17) mengemukakan doktrin hedonismenya yang
menyatakan bahwa apapun yang diberikan oleh seseorang atas
perilakunya, sebab-sebab terpendam dari semua perilakunya itu adalah
adanya kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari
kesusahan.
23
Teori motivasi yang sangat populer adalah Teori Hierarki Kebutuhan
yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Teori ini mampu menjelaskan
motivasi orang melakukan kegiatan usaha. Maslow membagi tingkatan
motivasi ke dalam hierarki kebutuhan dari kebutuhan yang rendah sampai
yang berprioritas tinggi yang dapat mendorong orang untuk melakukan
kegiatan usaha. Ada lima tingkat atau hierarki kebutuhan tersebut, yaitu:
1. kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti: rasa lapar, haus,
istirahat dan sex;
2. kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata,
akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual;
3. kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
4. kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya
tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan
5. aktualisasi diri (self-actualization), dalam arti tersedianya kesempatan
bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam
dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Bila satu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul
tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Namun ini tidak berarti tingkat
kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi semuanya secara
memuaskan. Bisa saja kebutuhan lebih rendah belum dapat memuaskan
sama sekali, tetapi sudah muncul tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi.
Dari setiap jalannya menuju pemenuhan kebutuhannya masing-masing,
manusia memilih jalannya masing-masing, ada yang menjalani
profesionalisme menurut gelar akademisnya masing-masing seperti dokter,
ilmuwan, guru dan lain-lain, ada juga yang memilih bekerja pada orang
lain atau dalam sebuah instansi seperti kantor atau instansi. Namun yang
paling unik adalah pemenuhan kebutuhan lewat jalan wirausaha.
Kebanyakan orang berwirausaha karena tidak suka bekerja di bawah
sistem yang mengikat dan ingin menjalani bisnis di tangan sendiri. Namun
yang menarik seringkali wirausaha diawali dengan kesenangan pribadi
terhadap suatu produk baik barang atau jasa. Misalnya seorang wirausaha
berbisnis umpan untuk memancing, berangkat dari kesenangannya
memancing. Atau pengusaha sepatu lukis beranjak dari kegemarannya
24
melukis dan menggambar. Ini bukan sekadar mencari uang, namun lebih
ke arah mencari kepuasan pribadi dan aktualisasi diri si pelaku wirausaha,
di mana di dalamnya manusia akan melakukan terapan Teori Hierarki
Kebutuhan. Didorong oleh kebutuhan memenuhi fisiologis dan rasa aman,
manusia akan menjalin relasi networking dan afiliasi sosial untuk
membangun jaringan bisnis. Tujuan utamanya adalah uang, namun
kepuasan dan proses beraktualisasi diri menjadi pembahasan unik tentang
mengapa seseorang berwirausaha. Jadi dari begitu banyak motivasi
seseorang tentang keinginan mendirikan suatu usaha, alasan-alasan
kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, kesempatan untuk
mengaktualisasikan potensi diri, kesempatan meraih manfaat finansial,
kesempatan memberikan kontribusi kepada masyarakat, dimanfaatkan
untuk meraih pengakuan dari masyarakat.
Teori Kebutuhan McClelland (McClelland‟s Theory of needs) dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori ini
berfokus pada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan pencapaian (need for
achievement), kebutuhan kekuasaan (need for power), dan kebutuhan
hubungan (need for affiliation). Seseorang melakukan kegiatan usaha
dimotivasi oleh:
1. Motif berprestasi (need for achievement)
Orang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan
mendapatkan prestasi dan pengakuan dari keluarga maupun
masyarakat.
2. Motif berafiliasi (need for affiliation)
Orang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan
untuk berhubungan dengan orang lain secara sosial kemasyarakatan.
3. Motif kekuasaan (need for power)
Orang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan
mendapatkan kekuasaan atas sumber daya yang ada. Peningkatan
kekayaan, pengusahaan pasar sering menjadi pendorong utama
wirausaha melakukan kegiatan usaha.
Banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui motivasi manusia
untuk berprestasi. Kebutuhan untuk berprestasi ini ada, karena orang-orang
25
memiliki dorongan kuat untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi
pribadi ketimbang imbalan terhadap keberhasilannya. Mereka bergairah
untuk melakukan sesuatu secara lebih baik dan lebih efisien dibandingkan
sebelumnya.
Teori Herzberg (Teori Dua Faktor) diakui telah memberikan
kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang
dikembangkannya dikenal dengan “Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu:
1. Faktor motivasional
Faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong seseorang untuk
berprestasi yang sifatnya intrinsik, bersumber dalam diri seseorang,
seperti pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan
bertumbuh, kemajuan dalam karier, dan pengakuan orang lain.
2. Faktor hygiene atau “pemeliharaan”
Faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya
ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan
perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang. Faktor ekstrinsik
mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan
rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para
penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi,
kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori
Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih
berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat
intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
Menurut Davis dan Newstrom (1996), seseorang melakukan sesuatu
karena dorongan-dorongan prestasi, afiliasi, kompetensi, dan kekuasaan.
1. Motivasi prestasi (achievement motivation), adalah dorongan dalam
diri seseorang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam
mencapai tujuan. Entrepreneur berorientasi dan bekerja keras apabila
mereka memandang bahwa mereka akan memperoleh kebanggaan
26
pribadi atas upaya mereka, hanya terdapat sedikit risiko gagal, dan
memperoleh balikan (return) spesifik tentang prestasi di waktu lalu.
2. Motivasi afiliasi (affiliation motivation), adalah dorongan untuk
berhubungan dengan orang-orang atas dasar sosial. Orang-orang yang
bermotivasi afiliasi bekerja lebih baik apabila mereka dipuji karena
sikap dan kerja sama mereka yang menyenangkan.
3. Motivasi kompetensi (competence motivation), adalah dorongan
untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan dalam
memecahkan masalah, dan berusaha keras untuk inovatif. Umumnya,
mereka cenderung melakukan pekerjaan dengan baik karena kepuasan
batin yang mereka rasakan dari melakukan pekerjaan itu karena
penghargaan yang diperoleh dari orang lain.
4. Motivasi kekuasaan (power motivation), adalah dorongan untuk
memengaruhi orang-orang dan mengubah situasi. Orang-orang yang
bermotivasi kekuasaan ingin menimbulkan dampak dan mau memikul
risiko untuk melakukan hal itu.
Dari pendapat Davis dan Newstrom dapat ditarik kesimpulan bahwa
motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri manusia maupun dari
dorongan dari pihak luar untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Dalam “Entrepreneurs Handbook”, yang dikutip oleh Yuyun Wirasasmita (1994: 8), dikemukakan beberapa alasan mengapa seseorang
berwirausaha, yakni:
1. Keuangan.
2. Sosial.
3. Pelayanan.
4. Pemenuhan diri.
Menurut Zimmerer (1996), ada beberapa peluang yang dijadikan
motivasi yang dapat diambil dari kewirausahaan, yaitu:
1. Peluang untuk memperoleh kontrol atas kemampuan diri,
2. Peluang untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki secara penuh,
3. Peluang untuk memperoleh manfaat secara finansial,
4. Peluang untuk berkontribusi kepada masyarakat dan untuk
menghargai usaha-usaha seseorang.
27
Sujuti Jahja (1977) menambahkan ada empat nilai motivasi
kewirausahaan dengan ciri masing-masing, sebagai berikut:
1. Wirausaha yang berorientasi kemajuan untuk memperoleh materi,
ciri-cirinya pengambil risiko, terbuka terhadap teknologi, dan
mengutamakan materi.
2. Wirausaha yang berorientasi pada kemajuan, tetapi bukan untuk
mengejar materi. Wirausaha ini hanya ingin mewujudkan rasa
tanggung jawab, pelayanan, sikap positif, dan kreativitas.
3. Wirausaha yang berorientasi pada materi, dengan berpatokan pada
kebiasaan yang sudah ada, misalnya dalam perhitungan usaha dengan
kira-kira, sering menghadap ke arah tertentu (aliran Fengshui) supaya
berhasil.
4. Wirausaha berorientasi pada nonmateri, dengan bekerja berdasarkan
kebiasaan, wirausaha model ini biasanya tergantung pada
pengalaman, berhitung dengan menggunakan mistik, paham
etnosentris, dan taat pada tata cara leluhur.
Keanekaragaman ini menyebabkan perbedaan dalam perilaku yang
berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan. Adanya risiko yang cukup besar,
banyaknya waktu dan energi yang dibutuhkan tidak menurunkan semangat
munculnya wirausaha-wirausaha baru. Seorang wirausaha termotivasi
untuk melakukan kegiatan usaha dengan berbagai alasan:
1. Independensi.
2. Pengembangan diri.
3. Pekerjaan yang tidak memuaskan.
4. Penghasilan.
5. Keamanan.
28
3. PERAN WIRAUSAHA
3.1 Wirausaha dan Kekayaan
Dalam kewirausahaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya
merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang
berorientasi dari sebuah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin
mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha
yang sudah sangat sukses dan kaya, tetapi tidak pernah menampilkan diri
sebagai orang yang hidup mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya
belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan
pakaian dan perhiasan yang amat mencolok.
Terkait kekayaan akhirnya terpulang pada masing-masing individu.
Keadaan kaya miskin, sukses gagal, naik dan jatuh merupakan keadaan
yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak
peduli betapapun piawainya seseorang. Ilmu kewirausahaan hanya
menggariskan bahwa seorang wirausaha yang baik adalah sosok
pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa saat
jatuh.
Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wirausaha” yang menunjukkan arti ke arah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata
wirausaha itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial,
golongan ataupun kelompok elite tertentu. Di Indonesia, di penghujung
abad ke 20 ini kewirausahaan boleh dikatakan baru saja diterima oleh
masyarakat sebagai salah satu alternatif dalam meniti karier dan
penghidupan. Seperti diketahui, umumnya rakyat Indonesia mempunyai
latar belakang pekerja pertanian yang baik. Dengan hidup di alam
penjajahan hampir 3,5 abad lamanya, nyaris tidak ada figur panutan dalam
dunia kewirausahaan. Yang ada hanya pola pemikiran feodalisme,
priyayiisme, serta elitisme yang satu diantaranya sekian banyak ciri-cirinya
adalah mengagungkan status sosial sebagai pegawai, terutama pegawai
negeri (kontras dengan status leluhur yang petani).
29
3.2 Wirausaha dan Kesejahteraan
Dr. David McClelland, seorang sosiolog terkenal dari Harvard dalam
bukunya “The Achieving Society” (Van Nostrand, 1961), menyatakan bahwa negara bisa makmur apabila minimal 2 persen dari jumlah
penduduknya menjadi pengusaha. Peran entrepreneur dalam menentukan
kemajuan suatu bangsa/negara telah dibuktikan oleh beberapa negara maju
seperti Amerika, Jepang, plus tetangga terdekat Indonesia yaitu Singapura
dan Malaysia. Di Amerika sampai saat ini sudah lebih dari 12 persen
penduduknya menjadi entrepreneur, dalam setiap 11 detik lahir
entrepreneur baru dan data menunjukkan 1 dari 12 orang Amerika terlibat
langsung dalam kegiatan entrepreneur. Itulah yang menjadikan Amerika
sebagai negara adi kuasa dan super power. Selanjutnya Jepang, lebih dari
10 persen penduduknya sebagai wirausaha dan lebih dari 240 perusahaan
Jepang berskala kecil, menengah dan besar bercokol di bumi Indonesia.
Padahal Jepang mempunyai luas wilayah yang sangat kecil dan sumber
daya alam yang kurang mendukung (kurang subur), namun dengan
semangat dan jiwa entrepreneurship-nya menjadikan Jepang sebagai
negara terkaya di Asia.
Mengintip jumlah pengusaha tetangga terdekat yang satu rumpun
dengan Indonesia, yaitu Singapura dan Malaysia, fakta menyebutkan lebih
dari 7.2 persen pengusaha Singapura dan lebih dari 3 persen pengusaha
Malaysia menjadikan pertumbuhan ekonomi negaranya melaju semakin
jauh meninggalkan Indonesia.
Untuk Indonesia, jumlah 2 persen dari 250 juta penduduk berarti 5
juta pengusaha. Indonesia ternyata masih belum mencapai jumlah
minimal, karena jumlah pengusaha Indonesia pada tahun 2016 “hanya” 1.65 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Selain itu kebanyakan usaha
yang ada di Indonesia masih bersifat mikro (kecil), sehingga memberikan
peluang relatif terbatas bagi terbukanya lapangan pekerjaan. Indonesia
lebih dikenal sebagai negara pengirim tenaga kerja ke luar negeri (baca
TKI), karena sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Kita tidak bisa menyalahkan negara asing yang menguasai dan
mengeksploitasi banyak sumber daya alam di Indonesia. Logika ekonomi
30
berlaku dari zaman dahulu hingga sekarang, bahwa negara yang kaya,
maju dan kuat akan menguasai aset-aset negara yang lemah. Indonesia
perlu segera melakukan introspeksi dan mengembangkan diri agar aset
sumber daya yang begitu kaya mampu kita kembalikan lagi untuk
kemakmuran rakyat.
Logika bahwa negara akan makmur dengan minimal 2 persen
pengusaha adalah apabila dari seratus penduduk sebuah negara, terdapat 2
orang menjadi pengusaha yang masing-masing memiliki 25 orang pekerja,
maka dari semua penduduk yang ada akan mendapat lapangan pekerjaan.
Apabila setiap orang sudah menanggung kehidupan istrinya (asumsi
istrinya tidak bekerja), maka hampir rata-rata setiap rumah tangga akan
memperoleh peluang kerja.
Pengusaha seringkali merupakan orang-orang yang tekun, ulet, kreatif
dan selalu berpikiran ke depan, serta memiliki tujuan yang jelas untuk
dirinya maupun orang lain. Rata-rata pengusaha adalah orang yang mampu
memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang ada di
lingkungan sekitarnya, dari yang kurang bermanfaat menjadi sesuatu yang
bisa diolah dan dijual. Mengubah sesuatu yang tidak bernilai, bahkan
sampah (limbah) menjadi bernilai. Oleh karena itu, pengusaha akan
mendorong kemakmuran sebuah negara.
Sama dengan bidang kehidupan manusia yang lainnya, tidak semua
pengusaha kaya adalah pengusaha baik dan pendukung kemakmuran
negara. Dalam dunia bisnis, selalu ada pengusaha yang layak disebut
sebagai pahlawan, namun ada juga pengusaha yang layak disebut
pecundang, pengkhianat, penipu bahkan perampok uang negara atau
pengeksploitasi sumber daya alam tanpa bertanggung jawab. Mereka
memang kaya dari hasil bisnisnya, namun cara mereka mendapatkannya
dengan menghalalkan segala cara. Mereka (baca: para pengusaha hitam)
bukanlah orang-orang sukses, karena mereka hanya mementingkan dirinya
sendiri dan tidak peduli pada nasib orang lain bahkan suka menindas. Cara
untuk membatasi pengusaha hitam adalah dengan memperbanyak
pengusaha yang dilandasi dengan prinsip kebaikan.
Menurut Peter Drucker, rata-rata pengusaha yang sukses
membutuhkan 5 sampai 7 tahun untuk proses belajar yang harus dilalui
31
dengan kesabaran, ketekunan dan keuletan. Sebanyak 80 persen orang
yang memulai bisnis gagal pada 2 tahun pertama. Sebesar 15 sampai 17
persen gagal dan berhenti bisnis pada tahun ke 4. Yang sanggup bertahan,
sebagian besar hanya sekadar bertahan menjadi pengusaha kecil
(pengusaha yang tidak punya sistem bisnis) dan hanya sedikit yang jadi
pengusaha besar. Maka semangat, kesabaran dan keuletan para pengusaha
adalah sesuatu yang layak dihargai, karena semangat pengorbanan dan
perjuangannya.
Indonesia membutuhkan upaya dan dorongan yang terus-menerus dan
berkelanjutan agar memiliki banyak pengusaha. Semakin banyak orang
yang memiliki jiwa wirausaha akan mampu melahirkan banyak pengusaha.
Semakin banyak pengusaha akan semakin banyak lapangan pekerjaan.
Semakin banyaknya lapangan pekerjaan, memudahkan rakyat memilih
pekerjaan yang paling disukai dan cocok dengan keahliannya, juga
memilih perusahaan yang mampu memberikan pelayanan dan
kesejahteraan yang terbaik. Indonesia membutuhkan upaya dan dorongan
yang terus-menerus dan berkelanjutan agar memiliki banyak pengusaha,
karena seseorang yang menjadi pengusaha pada dasarnya membutuhkan
semangat dan tekad yang besar.
3.3 Wirausaha dan Pengangguran
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlimpah merupakan salah satu aset
paling berharga bagi suatu negara. Keberhasilan dan kemajuan suatu
negara sangat erat hubungannya dengan jumlah penduduk dan tentunya
bukan sekadar kuantitas penduduk yang besar saja, tetapi juga kualitas.
Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan penduduk yang
relatif banyak. Dengan jumlah total penduduk sekitar 250 juta orang,
Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat keempat di dunia (setelah
Cina, India dan Amerika Serikat). Selanjutnya, Indonesia juga memiliki
populasi penduduk yang muda karena sekitar setengah dari total penduduk
Indonesia berumur di bawah 30 tahun. Jika kedua faktor tersebut
digabungkan, indikasinya Indonesia adalah negara yang memiliki kekuatan
tenaga kerja yang besar, yang akan berkembang menjadi lebih besar lagi
32
ke depan. Oleh karena itu, kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja
sangat penting diupayakan di Indonesia.
Adapun masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia
yaitu mulai dari penduduknya yang miskin, tingkat pengangguran tinggi,
rendahnya tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat, mahalnya
harga pangan, mahalnya biaya pendidikan, jaminan kesehatan untuk
masyarakat di desa-desa terpencil masih sangat kurang, dan masih banyak
juga masalah-masalah lainnya. Angka pengangguran tertinggi yang
dihadapi oleh tenaga kerja muda usia 15 sampai 24 tahun, jauh lebih tinggi
dari angka rata-rata pengangguran secara nasional. Mahasiswa yang baru
lulus dari universitas dan siswa sekolah kejuruan dan menengah
mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di pasar kerja nasional.
Hampir setengah dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia hanya
memiliki ijazah sekolah dasar saja. Semakin tinggi pendidikannya,
semakin rendah partisipasinya dalam kekuatan tenaga kerja Indonesia.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Tahun 2010-2016.
dalam juta 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tenaga Kerja 116.5 119.4 120.3 120.2 121.9 122.4 127.8
- Bekerja 108.2 111.3 113.0 112.8 114.6 114.8 120.8
- Menganggur 8.3 8.1 7.3 7.4 7.2 7.6 7.0
Sumber: BPS, 2016.
Terjunnya jutaan penduduk Indonesia ke dunia kerja setiap tahun
merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk menstimulasi
penciptaan lahan kerja baru agar dapat menyerap para pencari kerja.
Pengangguran muda adalah salah satu kekhawatiran yang membutuhkan
tindakan cepat. Indonesia harus bekerja keras dan kreatif jika
ingin survive dan menang dalam persaingan yang kini sudah memasuki
peradaban kreatif, yaitu peradaban yang menempatkan kreativitas dan
inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki kemampuan kreatif, inovatif, dinamis, dan proaktif
terhadap tantangan yang ada. Setiap individu harus berusaha untuk
menjadi produktif, memiliki kemandirian yang tinggi, mampu melihat
33
peluang dan tantangan yang ada, mampu memiliki kemampuan dalam
pengambilan keputusan, mampu memahami dan mengimplementasikan
manajemen bisnis, serta berguna dan memberikan manfaat baik untuk
dirinya maupun untuk orang lain, organisasi, masyarakat, dan negara.
Wirausaha adalah individu yang berpikir, mempunyai alasan kuat dan
melakukan tindakan untuk mengonversi ide menjadi peluang dan
menciptakan nilai (Leech & Melicher, 2012: 7). Menambah jumlah
wirausaha (entrepreneur) untuk membangun lapangan kerja baru demi
mengurangi tingkat pengangguran merupakan salah satu upaya
memenangkan persaingan.
Peran wirausaha dalam mengatasi pengangguran dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Terciptanya lapangan pekerjaan
Dengan adanya lapangan pekerjaan yang diciptakan oleh para
wirausaha tentunya dapat membantu perekonomian masyarakat
melalui penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan hal ini
akan dapat mengurangi tingkat kriminalitas yang ada di masyarakat.
2. Mengurangi tingkat pengangguran masyarakat.
Dengan adanya usaha yang didirikan oleh para wirausaha tentunya
dapat membantu masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan dengan
cara menyerap tenaga kerja mereka untuk membantu kelangsungan
atau proses dari usaha yang didirikan oleh wirausaha tersebut.
Wirausaha pemula pada umumnya tergolong usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM). UMKM memiliki proporsi sebesar 99,99 persen dari
total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia atau sebanyak 52,76 juta unit
dan memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja sebesar 97,3 persen dari
total angkatan kerja yang bekerja (BPS, 2009).
3.4 Wirausaha dan Pembangunan Ekonomi
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 menunjukkan bahwa UMKM
terbukti berkontribusi sebesar 56,92 persen dari total Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia atau setara dengan Rp. 1.213,25 Triliun. Selain itu,
UMKM memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap investasi di
34
Indonesia yaitu sebesar Rp. 222,74 Triliun atau 51,80 persen dari total
investasi pada tahun 2008.
Tanpa wirausaha pembangunan ekonomi dapat terhambat, karena
wirausahalah yang menggerakkan dan mengombinasikan faktor produksi
alam, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan barang dan jasa yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, wirausaha memiliki
peran yang sangat penting dalam perekonomian. Peran wirausaha dalam
pembangunan ekonomi bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. Meningkatkan investasi
Dengan adanya usaha yang dimiliki oleh para wirausaha tentunya
dapat menarik investor asing untuk berinvestasi atau menanamkan
modalnya di Indonesia. Adanya investasi asing akan dapat menambah
devisa negara dan membantu perekonomian masyarakat Indonesia.
2. Meningkatkan jumlah UKM
Wirausaha juga tidak terlepas dari usaha kecil. Wirausaha seringkali
dikaitkan dengan situasi kegiatan bisnis seseorang yang dimulai
dalam skala usaha kecil dan umumnya dikelola sendiri. UKM selalu
digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting dalam
pembangunan perekonomian di Indonesia. Industri kecil
menyumbang pembangunan dengan berbagai jalan, menciptakan
kesempatan kerja, untuk perluasan angkatan kerja, urbanisasi, dan
menyediakan fleksibilitas kebutuhan serta inovasi dalam
perekonomian secara keseluruhan. Pemberdayaan usaha kecil
merupakan kunci bagi kelangsungan hidup sebagian besar masyarakat
Indonesia. Usaha kecil dapat digunakan sebagai penggerak utama
dalam mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia dan
berfungsi sebagai kunci pemacu ekspor serta peningkatan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
3. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Banyaknya wirausaha yang bermunculan di Indonesia tentunya dapat
meningkatkan produktivitas dari berbagai produk yang diciptakan
oleh para wirausaha. Produk-produk tersebut nantinya dapat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Sehingga para wirausaha
yang melihat peluang tersebut dapat berlomba-lomba untuk mencari
35
inovasi yang lebih baru lagi. Oleh karena itu, wirausaha mampu
meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila PDB
meningkat berarti pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Selain itu
produk yang bernilai tambah atau inovasi-inovasi yang baru dapat
menjadikan masyarakat lebih kreatif dalam menyampaikan ide-ide
dan kreasinya. Mereka bisa menciptakan barang yang dirasa perlu dan
penting untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri sehingga tidak
perlu mengimpor dari luar negeri.
4. Meningkatkan pendapatan per kapita
Apabila wirausaha mampu meningkatkan PDB dengan persentase
peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan persentase peningkatan
jumlah penduduk, maka pendapatan per kapita meningkat. Jika
pendapatan per kapita meningkat, maka kesejahteraan masyarakat
atau taraf hidup masyarakat juga meningkat. Apabila wirausaha yang
ada di Indonesia dapat bertambah dari tahun ke tahun, maka
kemiskinan dan pengangguran dapat berkurang, dan kehidupan
masyarakat pun menjadi sejahtera.
5. Memberikan kemudahan dan kenyamanan hidup
Berbagai inovasi dan kreasi wirausaha dalam menciptakan produk-
produk baru mampu memberikan kemudahan dan kenyamanan hidup
bagi manusia. Mesin Cuci, AC, Televisi, Handphone, Kamera, Kapal
Pesiar, Jasa Titipan Kilat, Jasa Salon Kecantikan adalah contoh-
contoh barang dan jasa yang memberikan kemudahan dan
kenyamanan hidup.
6. Mendorong kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
Setiap perusahaan besar umumnya memiliki divisi R & D (Research
& Development), yakni divisi penelitian dan divisi pengembangan.
Divisi ini akan merekrut dan membiayai penelitian yang dilakukan
ilmuwan, pakar dan sejumlah ahli tertentu untuk mengembangkan
produk perusahaan. Sebagai bukti, dulu handphone hanya bisa
digunakan untuk menelepon. Sekarang dengan ukuran yang lebih
kecil, handphone bisa memberikan berbagai layanan, seperti kirim
dan terima pesan, kirim dan terima gambar, merekam gambar, radio,
dan lain-lain.
36
7. Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak
Pada umumnya wirausaha akan membayar pajak penghasilan, pajak
perseroan (bila perusahaannya berbentuk PT), pajak ekspor (bila
wirausaha mampu mengekspor produknya), pajak penjualan (PPN),
serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Apabila
pengusaha dan orang-orang yang makmur semakin banyak, maka
pendapatan pajak yang diperoleh pemerintah akan semakin
meningkat. Untuk sekarang ini, masih sedikit warga Negara Indonesia
yang memiliki NPWP atau orang-orang yang layak membayar pajak
pribadi. Pada tahun 2015, dari total 250 juta jiwa penduduk Indonesia,
tercatat baru 11% atau 27 juta jiwa yang memiliki NPWP. Dari 27
juta jiwa tersebut diketahui hanya 10 juta yang menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) ke Ditjen Pajak.
Mengingat pentingnya peran wirausaha dalam pembangunan
ekonomi, pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan jumlah wirausaha.
Pemerintah telah merencanakan untuk membentuk kurang lebih tujuh juta
pengusaha kecil yang mandiri dan berdaya saing tinggi. Serta
meningkatkan status 50.000 pengusaha kecil menjadi pengusaha
menengah.
37
4. ILMU DAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN
4.1 Ilmu Kewirausahaan
Pada awal-awal kewirausahaan dikenalkan kepada masyarakat dan dunia
pendidikan, terdapat pandangan berbeda-beda tentang kewirausahaan,
antara lain:
1. Kewirausahaan adalah ilmu pengetahuan (knowledge)
Kewirausahaan adalah sebuah pengetahuan yang merupakan hasil uji
coba di lapangan, dikumpulkan, diteliti, dan dirangkai sebagai sumber
informasi yang berguna bagi orang lain yang membutuhkannya,
sehingga kewirausahaan bisa dimasukkan kedalam disiplin ilmu baik
itu yang bersifat teori ataupun yang bersifat empiris (hasil uji
lapangan).
2. Kewirausahaan adalah suatu bentuk kepribadian atau sikap
Unsur yang terkandung dalam karakteristik kewirausahaan adalah
sikap positif, kepribadian yang ulet, pantang menyerah, menjadi
contoh bagi yang lain dan tidak mudah puas diri. Jadi kewirausahaan
dipandang sebagai sebuah kepribadian atau sikap, namun banyak
orang berkata bahwa kewirausahaan itu adalah sebuah filosofi.
3. Kewirausahaan adalah sebuah filosofi
Kita tahu, hidup adalah sebuah pilihan dan sukses adalah akumulasi
dari pilihan-pilihan kita yang tepat dalam menuju kesatu arah yaitu
mimpi. Fondasi kesuksesan untuk menjadi wirausaha yang cerdas
adalah filosofi hidup dan bekerja. Oleh karena itu, kewirausahaan bisa
digolongkan dalam sebuah filosofi hidup atau landasan hidup dalam
meniti karier guna meraih kesuksesan.
4. Kewirausahaan adalah skill atau keterampilan
Dikarenakan kewirausahaan adalah penggabungan dua konsep
penting, yaitu pengetahuan dan pengalaman yang dirasakan serta
dilakukan melalui jatuh-bangun untuk menjadi terampil dan akhirnya
menjadi sebuah keahlian dalam menjalankan roda bisnis. Seperti
seorang samurai dengan pedangnya (Katana), keduanya tidak
terpisahkan antara pengetahuan tentang menggunakan pedang,
materialnya, dan latihan yang terus-menerus diperbaiki sehingga
38
mencapai sebuah kesempurnaan hingga disebut ahli pedang. Untuk
itu, kewirausahaan juga merupakan sebuah keterampilan.
5. Kewirausahaan adalah seni (art)
Tepat sekali, dalam menemukan ide, inspirasi, dan peluang bisnis
Anda maka dibutuhkan imajinasi, visualisasi, dan pemikiran yang
terkadang harus berlawanan dengan logika. Berpikir berbeda untuk
menentukan ide-ide brilian. Semua itu membutuhkan kreativitas,
inovasi yang benar-benar baru sehingga unsur dan kekuatan seni
untuk menemukan ide dalam cara mengatasi kesulitan,
mengendalikan sumber daya manusia (SDM) juga pelanggan
sehingga sangat besar pengaruh kekuatan seni dalam ilmu
kewirausahaan. Layaknya seorang samurai yang tanpa seni bela diri
maka ia akan sulit menang.
6. Kewirausahaan adalah sebuah profesi
Telah dibahas sebelumnya bahwa setelah lulus sekolah atau kuliah
adalah mencari kerja (job seeker) atau menciptakan lapangan kerja
(job creator). Baik menjadi pekerja (employee) atau berwirausaha
harus bersikap profesional. Untuk itu, menjadi wirausaha juga
merupakan sebuah profesi sebagai pilihan hidup yang harus dilakukan
secara profesional (profesional dalam arti jujur, terbuka, komitmen,
konsisten, tepat janji, tanggung jawab, tahu batas hak-haknya,
mengerti etika profesi dan berdisiplin).
7. Kewirausahaan adalah naluri
Banyak orang ingin menjadi wirausahawan yang sukses, tetapi tidak
banyak yang berhasil, karena kewirausahaan itu membutuhkan naluri
untuk menemukan sebuah peluang dan ide bisnis yang akhirnya
menjadi sebuah bisnis yang sukses. Oleh karena itu, bisa dikatakan
bahwa wirausahawan yang sukses pasti mempunyai naluri yang kuat
tentang bagaimana menemukan inspirasi, ide dan peluang-peluang
baru.
8. Kewirausahaan adalah mimpi
Bahkan cita-cita yang terpendam sejak ia masih remaja atau dewasa
seperti Bill Gates yang bermimpi ingin mendapatkan uang atau
39
penghasilan 1 juta $ di usia 25 tahun dan mimpi itu benar-benar
terwujud setelah ia memilih menjadi wirausaha sebagai pilihan hidup.
9. Kewirausahaan adalah pilihan hidup
Tujuan hidup seseorang dalam menghidupi keluarganya adalah
menjadi karyawan (pekerja) atau menjadi pengusaha (wirausaha),
sehingga tidak salah jika orang memilih menjadi wirausaha sebagai
pilihan hidup. Terbukti bahwa setelah ia selesai bekerja atau pensiun
banyak yang memilih menjadi wirausaha dalam mengisi hari tuanya.
Saat itu kalangan akademisi terutama menyangsikan bahwa
kewirausahaan adalah ilmu. Oleh karena itu, kehadiran kewirausahaan
sebagai mata kuliah atau konsentrasi atau jurusan sangat lamban di respons
oleh beberapa lembaga pendidikan formal, bahkan di beberapa tempat
sempat diwarnai penolakan. Setelah melalui perdebatan dan penelusuran
yang panjang, perlahan-lahan kewirausahaan dapat diterima sebagai ilmu.
Kewirausahaan sejatinya merupakan suatu disiplin ilmu yang
mempelajari tentang nilai (value), kemampuan (ability), dan perilaku
(behavior) seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk
memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin dihadapinya.
Dalam konteks bisnis, menurut Thomas W. Zimmerer (1996),
kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan
kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di
pasar.
Dahulu, kewirausahaan adalah urusan pengalaman langsung di
lapangan. Sebab itu kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir,
sehingga kewirausahaan tidak dapat dipelajari dan diajarkan. Sekarang
kewirausahaan dipahami bukan hanya sebagai bakat bawaan sejak lahir
atau urusan lapangan, tapi juga dapat dipelajari dan diajarkan.
Sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada paradigma
pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi yang menuntut
adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini sedang
terjadi perubahan paradigma pendidikan. Menurut Soeharto
Prawirokusuma (1997), Pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai
suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen, karena:
40
1. Kewirausahaan berisi “body of knowledge” yang utuh dan nyata (distinctive), yaitu ada teori, konsep, dan metode ilmiah yang
lengkap.
2. Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi “venture start-up” dan “venture-growth”, ini tidak jelas masuk dalam kerangka pendidikan manajemen umum yang memisahkan antara manajemen
dan kepemilikan usaha.
3. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek
tersendiri.
4. Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan
berusaha dan pemerataan pendapatan.
Disiplin ilmu kewirausahaan dalam perkembangannya mengalami
evolusi yang pesat, yaitu berkembang bukan hanya pada dunia usaha
semata, melainkan juga pada berbagai bidang seperti bidang industri,
perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan institusi- institusi lainnya,
misalnya birokrasi pemerintah, perguruan tinggi, dan swadaya lainnya.
Pada mulanya, kewirausahaan berkembang dalam bidang perdagangan.
Dalam bidang-bidang tertentu, kewirausahaan telah dijadikan kompetensi
inti dalam menciptakan perubahan, pembaharuan, dan kemajuan.
Kewirausahaan tidak hanya dapat digunakan sebagai kiat-kiat bisnis
jangka pendek, tetapi juga sebagai kiat kehidupan secara umum yang
berjangka panjang untuk menciptakan peluang.
Objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan
seseorang yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut
Soemahamidjaja (1997: 14-15), kemampuan seseorang yang menjadi
objek kewirausahaan, meliputi:
1. Kemampuan merumuskan tujuan hidup/usaha.
2. Kemampuan memotivasi diri untuk melahirkan suatu tekad kemauan
yang menyala-nyala.
3. Kemampuan untuk berinisiatif.
4. Kemampuan berinovasi, yang melahirkan kreativitas (daya cipta)
setelah dibiasakan berulang-ulang akan melahirkan motivasi.
5. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal.
41
6. Kemampuan untuk mengatur waktu dan membiasakan diri untuk
selalu tepat waktu dalam segala tindakan melalui kebiasaan yang
selalu tidak menunda pekerjaan.
7. Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama.
8. Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari
pengalaman yang baik maupun menyakitkan.
4.2 Teori Dasar Kewirausahaan
Teori digunakan untuk menjelaskan sebuah fenomena. Fenomena yang
dimaksud di sini adalah kehadiran entrepreneurship yang mempunyai
kontribusi besar dalam pengembangan ekonomi. Teori tersebut terdiri dari
konsep dan konstruk. Teori adalah “sekumpulan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang saling berhubungan” yang menunjukkan pandangan sistematis terhadap sebuah fenomena dengan merinci hubungan
antar variabel, dengan tujuan untuk menerangkan dan memprediksi
fenomena.
Beberapa teori yang menjelaskan dan memprediksi fenomena
mengenai kewirausahaan adalah sebagai berikut:
1. Neo Klasik
Teori ini memandang perusahaan sebagai sebuah istilah teknologis, di
mana manajemen (individu-individu) hanya mengetahui biaya dan
penerimaan perusahaan dan sekadar melakukan kalkulasi matematis
untuk menentukan nilai optimal dari variabel keputusan. Pendekatan
neoklasik tidak cukup mampu untuk menjelaskan isu mengenai
kewirausahaan. Grebel menyatakan, “There is no space for an
entrepreneur in neoclassical theory”. Lalu di mana letak teori
kewirausahaan? Tapi sebagai titik awal, Neo Klasik masih mengakui
keberadaan pihak manajemen atau individu-individu yang nantinya
berperan sebagai entrepreneur atau intrapreneur, yang akan
dijelaskan pada teori-teori selanjutnya.
2. Sc
42
keseimbangan diperlukan tindakan dan keputusan aktor (pelaku)
ekonomi yang harus berulang-ulang dengan “cara yang sama” sampai mencapai keseimbangan. Jadi kata kuncinya “berulang dengan cara yang sama”, yang menurut Schumpeter disebut “situasi statis”, dan situasi tersebut tidak akan membawa perubahan. Schumpeter
berupaya melakukan investigasi terhadap dinamika di balik perubahan
ekonomi yang diamatinya secara empiris dan akhirnya menemukan
unsur explanatory-nya yang disebut “inovasi“. Aktor ekonomi yang membawa inovasi tersebut disebut entrepeneur. Jadi entrepreneur
adalah pelaku ekonomi yang inovatif yang akan membuat perubahan.
3. Austrian School
Austrian School adalah sekolah ekonomi yang pemikirannya
didasarkan pada konsep metodologi individualisme. Bahwa fenomena
sosial merupakan hasil dari motivasi dan tindakan individu. Masalah
ekonomi mencakup mobilisasi sosial dari pengetahuan yang
tersembunyi (belum diketahui umum) yang terfragmentasi dan
tersebar melalui interaksi dari kegiatan para entrepreneur yang
bersaing (Adaman dan Devine, 2000). Ada dua konsep utama, yaitu
(1) pengetahuan tersembunyi (orang lain belum tahu) yang dikaji oleh
Hayek; dan (2) kewirausahaan yang dikaji oleh Mises. Intinya
mobilisasi sosial dari pengetahuan terjadi melalui tindakan
entrepreneurial. Seorang entrepreneur akan mengarahkan usahanya
untuk mencapai potensi keuntungan dan dengan demikian mereka
mengetahui apa yang mungkin atau tidak mungkin mereka lakukan.
Pengetahuan atau informasi baru tersebut dimanfaatkan untuk
memperoleh keuntungan. Penemuan pengetahuan tersembunyi
merupakan proses perubahan yang berkelanjutan dan proses inilah
yang merupakan titik awal dari pendekatan Austrian terhadap
kewirausahaan. Ketika dunia dipenuhi ketidakpastian, proses tersebut
kadang mengalami sukses dan gagal. Namun seorang entrepreneur
selalu berusaha memperbaiki kesalahannya.
4. Kirzerian Entrepreneur
Teori Kirzer menyoroti tentang kinerja manusia, keuletannya,
keseriusannya, kesungguhannya, untuk swa (mandiri), dalam
43
berusaha, sehingga maju mundurnya suatu usaha tergantung pada
upaya dan keuletan sang pengusaha. Kirzer memakai pandangan
Misesian tentang “human action” dalam menganalisis peranan entrepreneurial. Menurut Kirzer, dengan memanfaatkan pengetahuan
yang superior, seorang entrepreneur bisa menghasilkan keuntungan.
Kirzer juga mengatakan, “This insight is simply that for any
entrepreneurial discovery creativity is never enough: it is necessary
to recognize one‟s own creativity”.
Pandangan berbagai disiplin ilmu terhadap kewirausahaan dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Teori ekonomi memandang bahwa lahirnya wirausaha disebabkan
karena adanya peluang, dan ketidakpastian masa depanlah yang akan
melahirkan peluang untuk dimaksimalkan, hal ini berkaitan dengan
keberanian mengambil peluang, berspekulasi, menata organisasi, dan
melahirkan berbagai macam inovasi. Menurut Cantilon,
wirausahawan adalah orang yang mengambil risiko dengan jalan
membeli barang sekarang dan menjualnya kemudian dengan harga
yang tidak pasti. Jadi, wirausahawan adalah penanggung risiko. Bila
kewirausahaan kita pahami menurut teori yang mengutamakan
peluang usaha, maka mengembangkan wirausaha bisa berwujud
tindakan-tindakan sebagai berikut:
o Secara sengaja menciptakan peluang ekonomi.
o Menyebarkan informasi tentang peluang ekonomi.
o Menawarkan insentif agar orang mau menanggung risiko,
menjadi innovator dan membangun organisasi.
2. Teori Sosiologi lebih mempelajari tentang, asal-usul budaya dan nilai-
nilai sosial di suatu masyarakat, yang akan berdampak pada
kemampuannya menanggapi peluang usaha dan mengolah usaha. Para
ahli sosiologi mencoba menerangkan mengapa berbagai kelompok
sosial (kelompok ras, suku, agama, dan kelas sosial) menunjukkan
tanggapan yang berbeda-beda atas peluang usaha. Mereka meneliti
faktor-faktor sosial budaya yang menerangkan perbedaan
kewirausahaan antara berbagai kelompok itu. Hagen mengemukakan
44
teori bahwa dalam kelompok itu orang didorong menjadi wirausaha
karena sebagai kelompok mereka dipandang rendah oleh kelompok
elite dalam masyarakatnya. Kelompok yang makin direndahkan
kedudukan sosialnya makin besar kecenderungan kewirausahaannya.
3. Teori psikologi lebih menekankan pada motif individu yang
melatarbelakangi dirinya untuk berwirausaha, apabila sejak kecil
ditanamkan untuk berprestasi, maka lebih besar kemungkinan seorang
individu lebih berani dalam menanggapi peluang usaha yang
diperolehnya. Perintis teori psikologi adalah David McCleland, ia
menalarkan adanya hubungan antara perilaku kewirausahaan dengan
kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement atau nAch).
Selanjutnya secara empiris ia menemukan korelasi positif antara
kuatnya nAch dan perilaku wirausaha yang berhasil. nAch terbentuk
pada masa kanak-kanak dan antaranya ditentukan oleh bacaan untuk
Sekolah Dasar. Ini berarti itu harus ditanamkan sejak dini. Namun
motif berprestasi bisa ditingkatkan melalui latihan pada orang dewasa.
4. Teori perilaku, mempelajari bagaimana seorang wirausahawan harus
memiliki kecakapan dalam mengorganisasikan suatu usaha,
mengelola keuangan dan hal-hal terkait, membangun jaringan, dan
memasarkan produk, dibutuhkan pribadi yang supel dan pandai
bergaul untuk memajukan suatu usaha. Wesper memandang perilaku
wirausaha sebagai kerja. Ia menyimpulkan bahwa keberhasilan
seseorang wirausaha tergantung pada:
a. Pilihan tempat kerjanya sebelum mulai sebagai wirausaha.
b. Pilihan bidang usahanya, kerja sama dengan orang lain.
c. Kepiawaian dalam mengamalkan manajemen yang tepat.
Ducker memandang kewirausahaan sebagai perilaku, bukan sebagai
sifat kepribadian. Kewirausahaan adalah praktik kerja yang bertumpu
pada konsep dan teori, bukan intuisi. Karena itu kewirausahaan dapat
dipelajari dan dikuasai secara sistematik dan terencana. Ia
menyarankan tiga macam unsur perilaku untuk mendukung
berhasilnya praktik kewirausahaan:
45
a. Inovasi bertujuan.
b. Manajemen-wirausaha.
c. Strategi-wirausaha.
Menurut Ducker dasar pengetahuan kewirausahaan adalah inovasi,
artinya cara baru memanfaatkan sumber daya untuk menciptakan
kekayaan. Untuk membuahkan inovasi kita memperhatikan
perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita secara sistematis. Ini
menyangkut kepekaan dan keterampilan diagnostik, dua macam
kemampuan yang bisa dipelajari lewat latihan.
Teori perilaku beda dengan teori-teori yang dibicarakan sebelumnya,
karena mengutamakan kemampuan yang bisa dipelajari dan dikuasai
sendiri oleh orang yang mau menjadi wirausaha. Ini berarti bahwa
berhasil atau tidaknya seorang wirausaha tidak terutama
ditentukan oleh faktor-faktor di luar kuasa dirinya, tetapi sebagian
besar ditentukan sendiri olehnya. Berpangkal dari teori perilaku, kita
bisa berupaya mengembangkan wirausaha dengan keyakinan bahwa
kewirausahaan bisa dipelajari dan dikuasai. Kewirausahaan adalah
pilihan kerja, pilihan karier. Jadi, untuk mengembangkan wirausaha
kita bisa menciptakan peluang ekonomi dan peluang belajar
kewirausahaan secara sengaja dan terencana.
46
5. PENGEMBANGAN KEWIRAUSAHAAN DI
INDONESIA
5.1 Dasar Hukum Kewirausahaan
Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap
penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subjek hukum baik orang
perorangan atau badan hukum. Selain itu dasar hukum juga dapat berupa
norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi landasan atau dasar bagi pembentukan peraturan perundang-
undangan yang lebih baru dan atau yang lebih rendah derajatnya dalam
hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Bentuk yang
disebut terakhir ini juga biasanya disebut sebagai landasan yuridis yang
biasanya tercantum dalam considerans peraturan hukum atau surat
keputusan yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga tertentu.
Pelaksanaan pengembangan kewirausahaan di Indonesia, tentu harus
dilakukan dengan berlandaskan pada norma hukum atau ketentuan-
ketentuan yang relevan agar dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa
produk hukum yang dapat dipergunakan sebagai landasan dalam
pengembangan kewirausahaan antara lain:
1. Inpres No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakat-
kan dan Membudayakan Kewirausahaan.
2. UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
3. PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.
4. PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kecil.
5. Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.
6. Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang
Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang
Terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan.
7. Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha
Kecil dan Menengah.
47
8. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan
Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan.
9. Pengaturan usaha berskala mikro dan kecil diatur dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2011
Tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda,
serta Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan.
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2013
Tentang Susunan Organisasi, Personalia, Dan Mekanisme Kerja
Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda.
13. Perpres 27 Tahun 2013 tentang Inkubator Wirausaha.
5.2 Kerangka Pengembangan Kewirausahaan
Kerangka pengembangan kewirausahaan di Indonesia dapat dilakukan
dengan beberapa strategi sebagai berikut:
1. Memperbaiki pendidikan kewirausahaan, yaitu sistem pendidikan
kewirausahaan yang menyebar dari sekolah dasar sampai ke
perguruan tinggi dan melakukan kerja sama dengan dunia industri
melalui kegiatan magang kewirausahaan.
2. Menyediakan infrastruktur (prasarana) yang tidak terbatas hanya pada
transportasi dan komunikasi, melainkan juga infrastruktur pendidikan,
baik formal maupun nonformal.
3. Menyediakan informasi seluas-luasnya bagi wirausahawan yang
berada pada tahapan start-up melalui layanan internet.
4. Membuka akses selebar-lebarnya dalam pendanaan terutama bagi
UKM.
5. Membuat program komunikasi dan inisiatif bagi kewirausahaan.
Program-program untuk member penyuluhan kewirausahaan melalui
media massa diikuti oleh program insentif sebagai penghargaan.
48
6. Menetapkan bidang-bidang yang mudah dimasuki oleh wirausawan
baru (khususnya di bidang perdagangan dan kerajinan) serta
mendorong wirausahawan yang sukses di bidang industri manufaktur.
Ada pula yang mengelompokkan strategi pengembangan
kewirausahaan ke dalam 3 (tiga) langkah strategis yaitu:
1. Meningkatkan kemampuan kewirausahaan
Untuk meningkatkan kemampuan kewirausahaan dilakukan melalui
langkah-langkah:
a. Mengembangkan kewirausahaan bagi para pengusaha dan calon
pengusaha untuk meningkatkan kinerja perusahaan terutama
melalui peningkatan etos kerja, kreativitas dan inovasi,
produktivitas, kemampuan membuat keputusan dan mengambil
risiko, serta kerja sama yang saling menguntungkan dan dengan
menerapkan etika bisnis.
b. Meningkatkan kinerja perusahaan yang bermanfaat bagi
masyarakat dan perekonomian nasional terutama melalui;
penciptaan lapangan kerja baru, penciptaan barang dan jasa yang
lebih bermutu dan atau lebih beragam, peningkatan daya saing
perusahaan, baik di pasar dalam negeri ataupun di pasar
Internasional.
c. Mengembangkan kewirausahaan masyarakat luas yang
diharapkan akan mendorong peningkatan kegiatan dan kinerja
usaha dan ekonomi masyarakat melalui peningkatan etos kerja,
disiplin efisiensi, dan produktivitas nasional.
d. Menyebarluaskan asas pokok kewirausahaan sebagai pedoman
praktis bagi semua pihak yang berminat dan terkait dengan
pengembangan kewirausahaan serta bagi yang ingin mengetahui,
menghayati lebih mendalam dianjurkan untuk mengikuti
kegiatan pembudayaan kewirausahaan.
2. Membudayakan kewirausahaan
Membudayakan kewirausahaan ialah mengarahkan wirausaha
terutama kepada kegiatan ekonomi yang rasional, menguntungkan,
49
berkelanjutan, dan dapat ditiru oleh masyarakat. Langkah untuk
pencapaiannya dilakukan melalui:
1. Kegiatan ekonomi yang rasional terutama kegiatan-kegiatan yang
ditangani atau diorganisasikan dalam perusahaan. Dengan
demikian, sifat rasional dari kegiatan tersebut dapat diukur
dengan ukuran kinerja yang lazim.
2. Menawarkan kegiatan pada masyarakat yang menguntungkan
bagi peserta program dan masyarakat pada umumnya.
3. Menawarkan kegiatan yang berkelanjutan dan dapat ditiru oleh
masyarakat. Di samping itu membudayakan kewirausahaan harus
secara intensif, komprehensif, dan terpadu, yang pencapaiannya
dilakukan melalui:
(1) Skala prioritas sasaran
Persiapan dan perencanaan yang baik, dengan
memperhatikan efektivitas dari berbagai kegiatan.
(2) Kegiatan secara komprehensif dan terpadu, mencakup
kegiatan prapelatihan, pelatihan, bimbingan dan konsultasi,
magang dan studi banding, promosi dan temu usaha, serta
peningkatan akses pasar dan pemberian bantuan perkuatan
secara selektif.
(3) Penekanan pada kesesuaian kondisi dinamis masing-masing
peserta atau kelompok peserta program yang dibina.
(4) Kegiatan peningkatan semangat, sikap dan perilaku
kewirausahaan.
3. Memberdayakan sumber daya
Mendayagunakan sumber daya adalah menggunakan sumber daya
yang tersedia, baik yang ada pada Departemen maupun Instansi yang
terkait dan masyarakat serta teknologi informasi.
Langkah-langkah yang dilakukan:
(1) Sumber daya yang tersedia di berbagai Departemen/Instansi
Pemerintah berupa aparat pembina (termasuk penyuluh,
konsultan dan widyaiswara), sarana dan prasarana, serta
anggaran perlu dikerahkan dan didayagunakan dengan baik
untuk melaksanakan dan menunjang pengembangan
50
kewirausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Sumber daya utama untuk membudayakan kewirausahaan pada
para pengusaha kecil dan koperasi pada khususnya adalah para
pengusaha itu sendiri melalui upaya pengembangan diri sambil
melaksanakan kegiatan usaha atau learning by doing. Dalam
upaya mempermudah akses calon wirausaha baru terhadap
sumber-sumber permodalan untuk modal kerja, sebaiknya
lembaga keuangan mikro dan koperasi simpan pinjam
diberdayakan. Dengan tersebarnya koperasi-koperasi diharapkan
kesulitan permodalan yang dihadapi oleh wirausaha. Oleh karena
itu, lembaga keuangan mikro perlu diberdayakan agar lebih
mampu melayani calon anggota, dan anggotanya.
5.3 Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2016), tingkat pengangguran
terbuka di Indonesia ada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang atau 5,5
persen. Kontribusi lulusan perguruan tinggi terhadap pengangguran pada
tahun 2016 meningkat dari 5,34 persen menjadi 6,22 persen. Indonesia
adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah.
Memang ironis menyaksikan dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak
lulusan pendidikan tinggi menenteng ijazahnya ke sana-ke mari melamar
pekerjaan, tetapi mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Sebaliknya bisa
disaksikan seseorang yang dengan pendidikan formal minim, tetapi bisa
sukses luar biasa dalam pekerjaannya. Ambil contoh Andre Wongso, yang
mengaku SDTT (Sekolah Dasar Tidak Tamat), sekarang sukses sebagai
pakar motivasi yang andal dan ternama di Indonesia. Begitu juga Bob
Sadino yang pendidikan formalnya terbatas, tetapi sukses dalam usaha
agrobisnisnya. Kemudian fenomena lainnya, di tengah-tengah tingkat
pengangguran yang tinggi, banyak perusahaan justru kesulitan mencari
tenaga kerja.
Lalu, mengapa begitu banyak pengangguran di negara yang kaya
sumber daya alam dan keramahan iklim ini, serta di tengah kesulitan
51
perusahaan mendapatkan tenaga kerja? Adakah yang salah dengan
pendidikan formal kita? Atau bahkan, seperti dinyatakan Ivan Illich dalam
bukunya Deschooling Society (1972), pendidikan formal terlalu banyak
menyerap biaya, hasilnya kurang optimal, dan lebih parah lagi banyak
menghasilkan tenaga pemalas yang tidak terampil dan hanya menjurus
kepada pekerjaan formal, tanpa mau tahu dengan kondisi riil di lapangan.
Mestinya pendidikan seperti dinyatakan Paulo Freire dalam
bukunya Pedagogy of the Oppressed (1972) merupakan ajang pembebasan
kesadaran atau dialogika yang memancing mereka untuk berdialog,
membiarkan mereka mengucapkan sendiri perkataannya, mendorong
mereka untuk menamai dan dengan demikian untuk mengubah dunia.
Konsep pendidikan yang ada pada kita sekarang ini cenderung berbentuk
institusi bank menurut konsep Freire, di mana pihak pendidik secara searah
memberikan pengetahuannya kepada peserta didik sehingga bisa
terkumpul segepok ilmu.
Bercermin dari kenyataan itu, tentu ada yang salah dengan pendidikan
kita sekarang ini. Pendidikan formal yang diberikan di bangku sekolah
maupun perguruan tinggi hanya terpaku pada penguasaan hard skills.
Bahkan sangatlah kurang dengan mengaitkan kenyataan yang terjadi di
dunia realitas. Penelitian menunjukkan, keberhasilan seseorang bukan
ditentukan oleh kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang
sangat penting. Tingkat kecerdasan cuma menyumbang sekitar 20-30
persen keberhasilan, selebihnya ditentukan soft skills. Penelitian National
Association of Colleges and Employers (NACE) pada tahun 2005
menunjukkan hal itu, di mana pengguna tenaga kerja membutuhkan
keahlian kerja berupa 82 persen soft skills dan 18 persen hard skills.
Soft skills, menurut Berthall (dalam Diknas, 2008), adalah tingkah
laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan
memaksimalkan kinerja seseorang manusia (misal pelatihan,
pengembangan kerja sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan, dan lain-
lain). Dengan demikian, kemampuan soft skills tercermin dalam perilaku
seseorang yang memiliki kepribadian, sikap, dan perilaku yang dapat
diterima dalam kehidupan bermasyarakat.
52
Selaras dengan kemampuan soft skills, maka para peserta didik perlu
dibekali dengan pendidikan kemampuan kewirausahaan
(entrepreneurship) yang andal. Dengan dibekali pengetahuan
kewirausahaan yang memadai, disertai segi-segi praktisnya, para lulusan
mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai, sehingga tidak
merasa kebingungan ketika harus memasuki pasaran kerja.
Freire menekankan, dalam pendidikan perlu dipakai prinsip
konsientisasi yang merujuk pada penguasaan problem diri sendiri dan
situasi di mana peserta didik hidup serta tumbuh kesadaran dalam
menentukan kedudukan, nilai-nilai dan harapan hidup peserta didik
terhadap relasinya dengan dan bersama dunia. Tujuan penerapan prinsip
konsientisasi adalah agar peserta didik tidak menjadi manusia yang
terasing dan terkucilkan dari diri sekaligus lingkungan hidupnya.
Berdasarkan pemikiran Freire tersebut, maka agar pendidikan bisa
lekat dengan masyarakat dan lingkungannya, dapat mempersiapkan
seseorang menuju dunia kerja yang makin sulit, keras, serta membutuhkan
berbagai keahlian yang mendukung, perlu diberikan pendidikan
kewirausahaan.
Mata pelajaran atau mata kuliah kewirausahaan perlu diberikan
kepada semua peserta didik dari TK sampai perguruan tinggi. Pelajaran
kewirausahaan harus disajikan secara sistematis dan terstruktur, serta
disesuaikan dengan tingkatan pendidikan dan usia peserta didik. Kemasan
pelajaran haruslah dapat menarik minat peserta didik, dan bukan sekadar
hafalan yang diperlukan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan.
Para wirausaha dapat diundang ke sekolah untuk menerangkan dan
menceritakan kiat-kiat sukses usahanya, yang tentunya memerlukan
perjuangan dan pengorbanan sangat besar. Semangat kerja dan kegigihan
dalam meraih sukses, tentunya merupakan teladan untuk memacu kerja
keras dan mengeliminasi budaya santai yang masih lekat menghinggapi
mayoritas masyarakat.
Kegiatan magang kerja di suatu usaha sangatlah penting untuk
mengerti dunia riil wiraswasta. Para peserta didik bisa melihat langsung
bagaimana praksis dari teori-teori yang telah diperolehnya (mulai aspek
produksi, akuntansi, pemasaran, hingga sumber daya manusia) bisa
53
diterapkan dalam kegiatan riil. Deviasi antara teori dan praksis tentunya
merupakan kekayaan yang tidak ternilai, dalam kaitannya untuk
pengembangan intelektual dan kematangan memasuki dunia kerja.
Alangkah menariknya jika pendidikan kewirausahaan ditindaklanjuti
dengan praktik di tempat menuntut ilmu. Berbagai gerai perlu didirikan
seperti penjual makanan, simpan pinjam, jasa tiket transportasi, perbankan,
kursus bahasa asing, dan sebagainya. Para peserta didik secara bergantian
mendapat tugas berpraktik di situ, dengan target-target yang telah
ditentukan. Belum lagi, dengan adanya klinik kewirausahaan, para peserta
didik bisa melihat permasalahan yang muncul dan solusi pemecahannya
yang tepat.
Pendidikan kewirausahaan dengan model konsientiasi yang bergerak
dari tataran teoretis dan praktis, tentunya membutuhkan dana yang relatif
besar, juga membutuhkan peran serta para stakeholders. Tentunya sudah
waktunya pihak pemerintah, swasta, dan dunia perbankan turut serta
memajukan dunia pendidikan di Indonesia, agar masyarakat makin cerdas.
Yang lebih penting, bisa mempersiapkan peserta didik memasuki dunia
kerja dengan kualitas prima.
Menurut Prof. Lester C. Thurow dalam bukunya Building Wealth,
tidak ada institusi yang dapat menggantikan peran individu para
entrepreneur sebagai agen-agen perubahan. Sejalan dengan itu founder
Universitas Ciputra, Ir. Ciputra menyatakan bahwa mereka yang paling
siap dan paling mudah untuk dididik dan dilatih kecakapan wirausaha
adalah mereka yang sekarang berada di bangku sekolah. Ir. Ciputra
meyakini bahwa menjadi entrepreneur dapat dipelajari (pendekatan event
studies) dan Indonesia perlu melakukan quantum leap (lompatan kuantum)
dalam mengembangkan kewirausahaan.
Terdapat 3 (tiga) gagasan lompatan kuantum, yaitu:
1. Pada level pendidikan dasar dan menengah harus terdapat kurikulum
yang mengajarkan tentang kewirausahaan.
2. Entrepreneur harus diciptakan dan dikembangkan pada level
pendidikan tinggi.
54
3. Harus terdapat Gerakan Nasional Kewirausahaan yang dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat agar gerakan ini dapat menjangkau
masyarakat di luar bangku sekolah.
Pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan permintaan ekspor dan
efisiensi industri telah banyak didiskusikan. Potensi yang belum tergarap
adalah kekuatan internal kewirausahaan dan inovasi yang dilandasi
IPTEK. Inovasi diibaratkan bahan bakar, sementara kewirausahaan adalah
mesin. Keduanya menjadi sumber kesempatan kerja, pendapatan dan
kesejahteraan. Kebutuhan pendidikan kewirausahaan semakin relevan
dengan perubahan lingkungan global yang menuntut adanya keunggulan,
pemerataan, dan persaingan. Peranan perguruan tinggi dalam
melaksanakan pembelajaran kewirausahaan menjadi sangat penting.
Dahulu, pola pembelajaran kewirausahaan tidak secara formal
dilembagakan. Bekal motivasi dan sikap mental entrepreneur terbangun
secara alamiah, lahir dari keterbatasan dan semangat survival disertai
keteladanan kerja keras dari dosen atau model contoh. Mahasiswa yang
terlatih tempaan secara fisik dan mental melalui pembiasaan dalam
kehidupan sehari-hari, akan menjadi tangguh untuk mengambil keputusan
dan memecahkan masalah. Peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang ke
tepian, dijiwai benar. Mahasiswa menjadi terlatih melihat sisi positif suatu
sumber daya dan ditransformasikan menjadi manfaat yang nyata.
Pola pengembangan kewirausahaan masa lalu dianggap tidak
sistematik menghasilkan entrepreneur. Entrepreneur lebih ditentukan oleh
bakat atau karakter individu, atau bawaan lahir, tidak atas proses yang
direncanakan. Fenomena sekarang menunjukkan bahwa kewirausahaan
adalah suatu disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan. Menurut
Ciputra, kompetensi kewirausahaan bukanlah ilmu magic.
Sudah disepakati bahwa wirausaha dapat dibentuk oleh lingkungan
melalui pendidikan dan pelatihan. Bagaimana peran pendidikan dalam
proses pembentukan kewirausahaan? Masih ada perdebatan mengenai
pertanyaan ini. Meskipun seorang wirausaha belajar dari lingkungannya
dalam memahami dunia wirausaha, namun ada pendapat yang mengatakan
bahwa seorang wirausaha lebih memiliki street-smart daripada book-
55
smart, maksudnya adalah seorang wirausaha lebih mengutamakan untuk
belajar dari pengalaman (street-smart) dibandingkan dengan belajar dari
buku dan pendidikan formal (book-smart). Pandangan ini masih perlu
dibuktikan kebenarannya. Jika pendapat tersebut benar, maka secara tidak
langsung usaha-usaha yang dilakukan untuk mendorong lahirnya jiwa
kewirausahaan melalui jalur pendidikan formal pada akhirnya sukar untuk
berhasil.
Chruchill (1987) memberi sanggahan terhadap pendapat ini,
menurutnya masalah pendidikan sangatlah penting bagi keberhasilan
wirausaha. Bahkan dia mengatakan bahwa kegagalan pertama dari seorang
wirausaha adalah karena dia lebih mengandalkan pengalaman daripada
pendidikan. Namun dia juga tidak menganggap remeh arti pengalaman
bagi seorang wirausaha, baginya sumber kegagalan kedua adalah jika
seorang wirausaha hanya bermodalkan pendidikan tapi miskin pengalaman
lapangan. Oleh karena itu, perpaduan antara pendidikan dan pengalaman
adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan wirausaha.
Pendidikan kewirausahaan mulai dirintis sejak 1950-an di beberapa
negara seperti Eropa, Amerika, dan Kanada. Bahkan sejak 1970-an banyak
universitas yang mengajarkan kewirausahaan atau manajemen usaha
kecil. Pada tahun 1980-an, hampir 500 sekolah di Amerika Serikat
memberikan pendidikan kewirausahaan. Kebijakan pemerintah Indonesia
yang berpihak pada pengembangan budaya kewirausahaan sudah dimulai
sejak tahun 1995 dan terus berkembang hingga kini. Di awal kebijakan
tersebut Presiden RI saat itu menginstruksikan kepada seluruh masyarakat
dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program-program
kewirausahaan. Sejak saat itu gerakan pendidikan kewirausahaan mulai
diprogramkan oleh berbagai organisasi, baik organisasi bidang pendidikan
dasar, menengah dan pendidikan tinggi, serta organisasi pemerintah dan
swasta. Melalui gerakan ini diharapkan budaya kewirausahaan dapat
menjadi bagian etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, yang pada
akhirnya dapat dilahirkan wirausaha-wirausaha baru yang andal, tangguh
dan mandiri.
Pendidikan kewirausahaan diawali dengan pembentukan pola pikir
wirausaha dilanjutkan dengan pembentukan perilaku kreatif dan inovatif
56
agar dapat berkreasi. Kreasi-kreasi yang dapat dihasilkan wirausaha
meliputi creation of wealth, enterprise, innovation, change, employment,
value, dan growth (Morris, Lewis dan Sexton, 1994: 22). Melalui
kemampuan menghasilkan kreasi-kreasi tersebut, maka seseorang dapat
disebut sebagai wirausaha dalam bidang apapun. Sebagai contoh, seorang
business entrepreneur dituntut untuk mampu menciptakan creation of
wealth, enterprise, innovation, employment, value dan growth; sedangkan
seorang intrapreneur sebaiknya memiliki kemampuan creation of
innovation, change, value yang secara tidak langsung akan menumbuhkan
creation of wealth, enterprise, innovation, change, employment, value, dan
growth bagi organisasi di mana seseorang tersebut bergabung/bekerja.
Bagaimana pentingnya pengembangan kewirausahaan dan pendidikan
kewirausahaan bagi bangsa Indonesia kiranya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Indonesia di awal abad 21 dilihat dari segi jumlah penduduk telah
menjadi negara terbesar kelima di dunia, dengan sebagian besar
penduduknya adalah angkatan kerja, dan sebagian dari jumlah itu
adalah tenaga muda alumni Perguruan Tinggi. Jumlah penduduk yang
besar tersebut bisa saja merupakan potensi apabila berkualitas baik,
tetapi apabila tidak jumlah penduduk yang besar itu akan menambah
bertanya beban pembangunan.
2. Menurut penelitian, terdapat korelasi antara jumlah penduduk yang
berkewirausahaan dan tingkat kemakmuran suatu masyarakat.
3. Telah terbukti tingkat kemajuan dan keterbelakangan suatu negara
tidak terletak pada jumlah penduduk, kekayaan alam, luas wilayah,
warna kulit atau suku bangsa, atau lamanya kemerdekaan yang telah
dialami, tetapi terletak pada kualitas manusianya.
4. Dalam usaha mencerdaskan dan menyejahterakan bangsa dibutuhkan
wirausaha-wirausaha yang tidak hanya berpendidikan dan
berpengetahuan luas serta menguasai teknologi (Intellectual
Quotient), namun juga perlu memiliki EQ (Emotional Quotient) dan
SQ (Spiritual Quotient).
57
Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia
secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman
dan keterampilan sebagai wirausaha. Pada dasarnya, pendidikan
kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-
kegiatan pendidikan di sekolah. Pelaksanaan pendidikan kewirausahaan
dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor),
peserta didik secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidikan.
Pendidikan kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum dengan cara
mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan
pendidikan kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, program pendidikan kewirausahaan di sekolah dapat
diinternalisasikan melalui berbagai aspek.
1. Pendidikan kewirausahaan terintegrasi dalam seluruh mata
pelajaran
Yang dimaksud dengan pendidikan kewirausahaan terintegrasi di
dalam proses pembelajaran adalah internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan ke dalam pembelajaran sehingga hasilnya
diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, terbentuknya
karakter wirausaha dan pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan ke
dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas
pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran,
selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi)
yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan
peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi
nilai-nilai kewirausahaan dan menjadikannya perilaku. Langkah ini
dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan ke
dalam pembelajaran di seluruh mata pelajaran yang ada di sekolah.
Langkah pengintegrasian ini bisa dilakukan pada saat menyampaikan
materi, melalui metode pembelajaran maupun melalui sistem
penilaian.
Dalam pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan ada banyak
nilai yang dapat ditanamkan pada peserta didik. Apabila semua nilai-
58
nilai kewirausahaan tersebut harus ditanamkan dengan intensitas yang
sama pada semua mata pelajaran, maka penanaman nilai tersebut
menjadi sangat berat. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai
kewirausahaan dilakukan secara bertahap dengan cara memilih
sejumlah nilai pokok sebagai pangkal tolak bagi penanaman nilai-
nilai lainnya. Selanjutnya nilai-nilai pokok tersebut diintegrasikan
pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, setiap mata pelajaran
memfokuskan pada penanaman nilai-nilai pokok tertentu yang paling
dekat dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan.
Nilai-nilai pokok kewirausahaan yang diintegrasikan ke semua
mata pelajaran pada langkah awal ada 6 (enam) nilai pokok, yaitu:
mandiri,
kreatif,
pengambil risiko,
kepemimpinan,
orientasi pada tindakan,
kerja keras.
Integrasi pendidikan kewirausahaan di dalam mata pelajaran
dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap perencanaan,
silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dirancang agar
muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk
mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan. Cara menyusun silabus
yang terintegrasi nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan
mengadaptasi silabus yang telah ada dengan menambahkan satu
kolom dalam silabus untuk mewadahi nilai-nilai kewirausahaan yang
akan diintegrasikan. Sedangkan cara menyusun RPP yang terintegrasi
dengan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan cara mengadaptasi
RPP yang sudah ada dengan menambahkan pana materi, langkah-
langkah pembelajaran atau penilaian dengan nilai-nilai
kewirausahaan.
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan kewirausahaan mengusahakan agar peserta didik
59
mengenal dan menerima nilai-nilai kewirausahaan sebagai milik
mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan
pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan
keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui
proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan
kegiatan yang terkait dengan nilai-nilai kewirausahaan.
Pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan dalam silabus dan RPP
dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
untuk menentukan apakah nilai-nilai kewirausahaan sudah
tercakup di dalamnya.
Mencantumkan nilai-nilai kewirausahaan yang sudah tercantum
di dalam SK dan KD ke dalam silabus.
Mengembangkan langkah pembelajaran peserta didik aktif yang
memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan
integrasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku.
Memasukan langkah pembelajaran aktif yang terintegrasi nilai-
nilai kewirausahaan ke dalam RPP.
2. Pendidikan kewirausahaan yang terpadu dalam kegiatan ekstra
kurikuler
Kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat
mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh
pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan
berkewenangan di sekolah/madrasah. Visi kegiatan ekstra kurikuler
adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta
tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna
untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Misi ekstra kurikuler
adalah (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat
mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan
60
kesempatan peserta didik mengekspresikan diri secara bebas melalui
kegiatan mandiri dan atau kelompok.
3. Pendidikan kewirausahaan melalui pengembangan diri
Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah.
Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan karakter
termasuk karakter wirausaha dan kepribadian peserta didik yang
dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan
masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan
pengembangan karier, serta kegiatan ekstra kurikuler. Pengembangan
diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pengembangan
kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta
didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah.
Pengembangan diri secara khusus bertujuan menunjang
pendidikan peserta didik dalam mengembangkan: bakat, minat,
kreativitas, kompetensi, dan kebiasaan dalam kehidupan, kemampuan
kehidupan keagamaan, kemampuan sosial, kemampuan belajar,
wawasan dan perencanaan karier, kemampuan pemecahan masalah,
dan kemandirian. Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram
dan tidak terprogram. Kegiatan terprogram direncanakan secara
khusus dan diikuti oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pribadinya. Kegiatan tidak terprogram dilaksanakan secara
langsung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah
yang diikuti oleh semua peserta didik. Dalam program pengembangan
diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dapat
dilakukan melalui pengintegrasian kedalam kegiatan sehari-hari
sekolah misalnya kegiatan „business day‟ (bazar, karya peserta didik,
dll.).
61
4. Perubahan pelaksanaan pembelajaran kewirausahaan dari teori
ke praktik
Dengan cara ini, pembelajaran kewirausahaan diarahkan pada
pencapaian tiga kompetensi yang meliputi: penanaman karakter
wirausaha, pemahaman konsep dan skill, dengan bobot yang lebih
besar pada pencapaian kompetensi jiwa dan skill dibandingkan
dengan pemahaman konsep. Dalam struktur kurikulum SMA, pada
mata pelajaran ekonomi ada beberapa Kompetensi Dasar yang terkait
langsung dengan pengembangan pendidikan kewirausahaan. Mata
pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung
(eksplisit) mengenalkan nilai-nilai kewirausahaan, dan sampai taraf
tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-
nilai tersebut. Salah satu contoh model pembelajaran kewirausahaan
yang mampu menumbuhkan karakter dan perilaku wirausaha dapat
dilakukan dengan cara mendirikan kantin kejujuran, dsb.
5. Pengintegrasian pendidikan kewirausahaan ke dalam
bahan/buku ajar
Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling
berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada proses
pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata-mata
mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task)
yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan
adaptasi yang berarti. Penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan
dapat dilakukan ke dalam bahan ajar baik dalam pemaparan materi,
tugas maupun evaluasi.
6. Pengintegrasian pendidikan kewirausahaan melalui kultur
sekolah
Budaya/kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah di mana
peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru,
konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya,
dan antar anggota kelompok masyarakat sekolah. Pengembangan
nilai-nilai dalam pendidikan kewirausahaan dalam budaya sekolah
mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru,
konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta
62
didik dan menggunakan fasilitas sekolah, seperti kejujuran, tanggung
jawab, disiplin, komitmen dan budaya berwirausaha di lingkungan
sekolah (seluruh warga sekolah melakukan aktivitas berwirausaha di
lingkungan sekolah).
7. Pengintegrasian pendidikan kewirausahaan melalui muatan lokal
Mata pelajaran ini memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu oleh daerah
yang bersangkutan. Oleh karena itu, mata pelajaran muatan lokal
harus memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai
luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan
lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali peserta didik
dengan keterampilan dasar (life skill) sebagai bekal dalam kehidupan
sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Contoh anak yang
berada di lingkungan sekitar pantai, harus bisa menangkap potensi
lokal sebagai peluang untuk mengelola menjadi produk yang
memiliki nilai tambah, yang kemudian diharapkan anak mampu
menjual dalam rangka untuk memperoleh pendapatan. Integrasi
pendidikan kewirausahaan di dalam MULOK, hampir sama dengan
integrasi pendidikan kewirausahaan terintegrasi di dalam mata
pelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Cara
menyusun RPP MULOK yang terintegrasi dengan nilai-nilai
kewirausahaan dilakukan dengan mengadaptasi RPP MULOK yang
sudah ada dengan menambahkan pada materi, langkah-langkah
pembelajaran atau penilaian dengan nilai-nilai kewirausahaan. Prinsip
pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan
kewirausahaan mengusahakan agar peserta didik mengenal dan
menerima nilai-nilai kewirausahaan sebagai milik mereka dan
bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan
mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses berpikir,
bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk
63
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan
kegiatan yang terkait dengan nilai-nilai kewirausahaan.
5.4 Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi
Bukti nyata kebijakan pemerintah terkait kewirausahaan adalah dengan
memasukkan mata kuliah Kewirausahaan dalam kurikulum pembelajaran,
khususnya di tingkat perguruan tinggi negeri, di mana tingkatan ini
merupakan tahap akhir sebelum para mahasiswa memasuki dunia kerja
yang sebenarnya. Banyaknya pengangguran serta kurangnya minat
berwirausaha menjadi auto kritik terhadap peran perguruan tinggi.
Perguruan tinggi memiliki peran yang besar dan memiliki peluang untuk
menanamkan sikap mental kewirausahaan, sehingga lulusannya tidak
hanya ahli pada suatu bidang akademi namun juga mampu melahirkan
wirausahawan-wirausahawan baru yang siap menjadi pahlawan ekonomi.
Selama ini muncul kritik bahwa perguruan tinggi hanya memberikan ilmu
dan keterampilan tertentu untuk diaplikasikan di sebuah perusahaan yang
sudah mapan. Perguruan tinggi mendidik mahasiswanya untuk menjadi
pencari kerja, lolos seleksi dan wawancara serta bekerja dengan baik di
perusahaan besar dan mendapatkan karier puncak di perusahaan tersebut.
Ketika daya serap perusahaan itu sudah tidak mencukupi untuk
menampung seluruh lulusan perguruan tinggi, maka pengangguran tidak
bisa terelakkan karena para lulusan tidak memiliki pengetahuan untuk
menciptakan lapangan kerja baru. Mahasiswa hanya bisa menciptakan
inovasi-inovasi baru atau pengembangan sebuah produk, namun belum
mampu menjadikannya bernilai secara ekonomi dan bisa dijual di pasar
dalam bentuk produk-produk yang kreatif yang diminati oleh konsumen.
Penting sepertinya kita mencontoh salah satu perguruan tinggi di
Amerika yaitu MIT (Massachusetts Institute Technology) di mana dalam
kurun waktu tahun 1980-1996 di tengah pengangguran terdidik yang
semakin meluas dan kondisi ekonomi, sosial politik yang kurang stabil,
MIT mengubah arah kebijakan perguruan tingginya dari High Learning
Institute and Research University menjadi Entrepreneurial
University. Meskipun banyak pro kontra terhadap kebijakan tersebut
64
namun selama kurun waktu diatas (16 tahun) MIT mampu membuktikan
lahirnya 4 ribu perusahaan dari tangan alumni-alumninya dengan
menyedot 1.1 juta tenaga kerja dan omzet sebesar 232 miliar dolar per
tahun. Sungguh prestasi yang amat sangat spektakuler, sehingga mengubah
kondisi Amerika menjadi negara super power. Kebijakan inilah yang
selanjutnya ditiru dan diikuti oleh banyak perguruan tinggi sukses di dunia.
Berkaca pada kesuksesan negara maju seperti Amerika dan Eropa
yang hampir seluruh perguruan tingginya menyisipkan materi
entrepreneurship di setiap mata kuliahnya. Negara-negara di Asia seperti
Jepang, Singapura dan Malaysia juga menerapkan materi-materi
entrepreneurship minimal di dua semester. Itulah yang menjadikan negara-
negara tetangga Indonesia tersebut lebih maju dan melakukan lompatan
panjang dalam kesuksesan pembangunan negaranya.
Untuk itu sebuah keharusan bagi setiap perguruan tinggi segera
mengubah arah kebijakan perguruan tingginya dari High Learning
University and Research University menjadi Entrepreneurial
University atau menyeimbangkan kedua arah kebijakan tersebut, sehingga
arah kebijakan keduanya tercapai, baik yang bersifat High Learning
University and Research University maupun yang bersifat Entrepreneurial
University. Dengan paradigm change tersebut pada akhirnya akan
melahirkan entrepreneur-entrepreneur muda sukses layaknya ”pahlawan-
pahlawan muda” yang akan mampu membangkitkan bangsa ini dari
berbagai keterpurukan.
Dalam konteks pendidikan kewirausahaan, tampaknya partisipasi
mahasiswa dan kemampuan perguruan tinggi perlu disinergikan, agar
menyediakan layanan sebaik-baiknya dalam pembentukan student
entrepreneur. Dengan demikian, melalui pendidikan dapat direncanakan
kebutuhan jumlah maupun kualitas entrepreneur.
Menurut Eels (1984) dam Mas‟oed (1994), dibandingkan dengan tenaga lain, tenaga terdidik S1 memiliki potensi lebih besar untuk berhasil
menjadi seorang wirausaha, karena memiliki kemampuan penalaran yang
telah berkembang dan wawasan berpikir yang lebih luas. Seorang sarjana
juga memiliki dua peran pokok, pertama sebagai manajer dan kedua
sebagai pencetus gagasan. Peran pertama berupa tindakan untuk
65
menyelesaikan masalah, sehingga pengetahuan manajemen dan keteknikan
yang memadai mutlak diperlukan. Peran kedua menekankan pada perlunya
kemampuan merangkai alternatif-alternatif. Dalam hal ini bekal yang
diperlukan berupa pengetahuan keilmuan lengkap.
Perguruan Tinggi sebagai penghasil sumber daya manusia berkualitas,
dituntut untuk ikut serta dalam pembangunan bangsa dan negara dengan
membentuk manusia-manusia yang cerdas dan berjiwa entrepreneur
mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif sehingga bisa menang
dalam persaingan global. Pendidikan kewirausahaan harus dipandang
secara luas dalam teknologi keterampilan yang dapat di ajarkan dan
karakteristik yang dapat membangkitkan motivasi para mahasiswa,
sehingga dapat menolong mereka untuk mengembangkan rencana baru dan
rencana inovatif sebuah usaha bisnis baru.
Bagaimana implementasi pengembangan kewirausahaan di
perguruan tinggi di Indonesia? Program pendidikan kewirausahaan ini
dimasukkan dalam kurikulum dengan kisaran bobot per semester antara 2
sampai 3 SKS, dengan pertemuan/sesi tatap muka di kelas 3 jam per
minggu, sementara dalam sistem politeknik bisa berarti 2 kali 3 jam
pertemuan kelas dalam satu minggu. Pelaksanaan kuliah pun tidak akan
jauh berbeda dengan pengajaran mata kuliah lainnya yaitu dalam bentuk
klasikal pengajaran teori di dalam kelas di mana mahasiswa umumnya
merupakan peserta yang pasif. Padahal dalam setiap proses pembelajaran
supaya efektif, peserta didik atau mahasiswa harus terlibat di dalam
pengalaman belajarnya (American Assembly College of International
Business, dikutip oleh Lawrence dkk., 2005). Selain jumlah jam pertemuan
per minggu yang terbatas yang perlu dipertanyakan, apakah tujuan
pengajaran/pendidikan telah dirumuskan sesuai dengan karakteristik
kewirausahaan yang dijadikan salah satu mata kuliah, sesuaikah dengan
kaidah dari konsep tujuan pendidikan yang dianut? Bagaimanakah
rancangan bentuk kegiatan pembelajarannya, serta evaluasi pengajaran
yang akan diterapkan? Di samping itu bagaimana komitmen perguruan
tinggi yang bersangkutan untuk mengembangkan pendidikan kewirausaha-
an ini? Terakhir bagaimana keterlibatan pemerintah dalam upaya ini serta
program apa saja yang telah dilakukan? Banyak pertanyaan dapat diajukan
66
dari berbagai sudut penilaian, namun akan dibatasi pada pembahasan
masalah yang berkaitan dengan perumusan tujuan pendidikan, rancangan
serta kandungan aktivitas pembelajaran dari pendidikan kewirausahaan.
Pendidikan tinggi, perlu mengajarkan tiga kompetensi kepada
mahasiswanya, yakni:
menciptakan kesempatan (opportunity creator),
menciptakan ide-ide baru yang orisinal (inovator), dan
berani mengambil risiko dan mampu menghitungnya (calculated risk
taker).
Peran yang dilakukan perguruan tinggi adalah (Vallini and Simoni, 2007):
internalisasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam kurikulum,
peningkatan keterampilan (transfer knowledge) dalam bisnis,
manajemen, dan teknologi,
dukungan berwirausaha (business setup).
Menurut ASHE Higher Education Report (2007), keberhasilan studi
mahasiswa ditentukan oleh dua ukuran, yakni:
jumlah waktu dan upaya mahasiswa terlibat dalam proses
pembelajaran, dan
kemampuan perguruan tinggi menyediakan layanan sumber daya,
kurikulum, fasilitas dan program aktivitas yang menarik partisipasi
mahasiswa untuk meningkatkan aktualisasi, kepuasan dan
keterampilan.
Karakter keilmuan kewirausahaan didesain untuk mengetahui (to
know), melakukan (to do), dan menjadi (to be) entrepreneur. Tujuan
pendidikan to know dan to do terintegrasi di dalam kurikulum program
studi, terdistribusi di dalam matakuliah keilmuan. Integrasi dimaksudkan
untuk internalisasi nilai-nilai kewirausahaan. Dalam tahapan ini, perguruan
tinggi menyediakan matakuliah kewirausahaan yang ditujukan untuk bekal
motivasi dan pembentukan sikap mental entrepreneur. Sementara itu
tujuan to be entrepreneur diberikan dalam pelatihan keterampilan bisnis
praktis. Mahasiswa dilatih merealisasikan inovasi teknologi ke dalam
praktik bisnis.
67
Gambar 3. Tujuan Pendidikan Kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi telah difasilitasi oleh
Dikti sejak tahun 1997 dengan adanya program pengembangan
kewirausahaan di perguruan tinggi yang menawarkan berbagai kegiatan
yaitu Kuliah Kewirausahaan (KWU), Magang Kewirausahaan (MKU),
Kuliah Kerja Usaha (KKU), Konsultasi Bisnis dan Penempatan Kerja
(KBPK), dan Inkubator Wirausaha Baru (INWUB). Dalam
perkembangannya Dikti menawarkan program yang dikemas sebagai
program kreativitas mahasiswa (PKM) yang memfasilitasi mahasiswa
untuk berkreasi dalam berbagai bidang meliputi bidang penelitian,
pengabdian kepada masyarakat, penerapan teknologi, artikel ilmiah,
gagasan tertulis, karsa cipta, dan kewirausahaan.
Sejak tahun 2009 Dikti menyediakan skim bagi mahasiswa yang
berminat sebagai job creator melalui Program Mahasiswa Wirausaha
(PMW). PMW menjembatani para mahasiswa memasuki dunia bisnis riil
melalui fasilitasi start-up business. Sungguh menarik melihat kemauan
pemerintah yang menyediakan dana sebesar Rp. 110 miliar pada tahun
2009 untuk mengembangkan pendidikan kewirausahaan di perguruan
tinggi. Dengan pendidikan kewirausahaan tersebut, diharapkan para
lulusan perguruan tinggi tidak hanya mencari kerja, tetapi bisa sebagai
pencipta lapangan kerja. Kebijakan tersebut dilaksanakan dalam upaya
meningkatkan kualitas lulusan pendidikan tinggi dengan mengimplemen-
68
tasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerja
sama tim maupun mengembangkan kemandirian dan mengembangkan
usaha melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang ditekuni. Hal
ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 yang
menyatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi antara lain adalah membentuk
insan yang kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan berjiwa
wirausaha.
Di lain sisi, aktivitas ekstra kurikuler mahasiswa yang sistematik juga
dapat membangun motivasi dan sikap mental entrepreneur. Pembinaan
mahasiswa dalam berbagai kegiatan minat dan bakat, keilmuan,
kesejahteraan atau keorganisasian lainnya mampu memberikan
keterampilan untuk berwirausaha, dalam pengertian wirausaha bisnis,
wirausaha sosial maupun wirausaha corporate (atau intrapreneur).
Sebagian para tokoh politik, CEO atau komisaris perusahaan besar
dulunya adalah para aktivis mahasiswa. Mahasiswa yang aktif dalam unit
pers (atau koran kampus) juga sukses menjadi wirausaha dalam industri
penerbitan. Mahasiswa tim robotika menjadi tim kreatif jasa industri
permesinan. Mahasiswa teknik informatika menjadi wirausaha software
house. Mahasiswa dalam forum kajian agama menjadi pendakwah.
Mahasiswa pecinta alam menjadi wirausaha jasa outbound.
Perguruan tinggi pada umumnya terdiri dari beberapa fakultas atau
himpunan sumber daya pendukung, yang dapat dikelompokkan menurut
jurusan, yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan akademik,
vokasi, atau profesi dalam satu rumpun disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olah raga (PP No. 17, 2010). Setiap fakultas atau
jurusan dapat menghasilkan lulusan yang dapat menekuni berbagai profesi
sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari. Profesi yang dihasilkan
perguruan tinggi antara lain guru, dosen, peneliti, akuntan, bankir, ahli
ekonomi, ahli hukum, ahli telekomunikasi, pengacara, teknokrat, arsitek,
dokter, psikolog, dan profesi-profesi lainnya. Saat ini beberapa perguruan
tinggi, menyediakan mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib
yang harus diikuti oleh semua mahasiswa dari semua fakultas yang ada di
universitas. Tentunya universitas menyadari bahwa lulusan dari setiap
jurusan/fakultas akan memiliki profesi yang sangat bervariasi. Namun
69
demikian, semua mahasiswa diwajibkan menempuh mata kuliah
kewirausahaan apapun bidang ilmu yang ditekuninya. Perguruan tinggi
yang demikian itu memiliki pemahaman bahwa pendidikan kewirausahaan
bukanlah pendidikan usaha, sehingga dapat dipelajari oleh semua
mahasiswa dari berbagai bidang ilmu.
Pendidikan kewirausahaan merupakan pendidikan dan pelatihan yang
memungkinkan mahasiswa untuk mengembangkan dan menggunakan
kreativitas mereka, mengambil inisiatif, tanggung jawab dan risiko.
Dengan demikian, pendidikan kewirausahaan bukan pendidikan usaha
(enterprise education), sehingga pendidikan kewirausahaan tidak hanya
berfokus pada bisnis (UNESCO, 2008). Pendidikan kewirausahaan di
Perguruan Tinggi bukan berarti pendidikan untuk membuka usaha (bisnis),
melainkan harus dimaknai sebagai pendidikan untuk membangun karakter
wirausaha, pola pikir wirausaha, dan perilaku wirausaha. Luaran
pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dapat menjadi entrepreneur
atau business entrepreneur dan intrapreneur sebagai academic
entrepreneur, corporate entrepreneur maupun social entrepreneur.
Pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi juga dilakukan
melalui program ekstra kurikuler kompetensi kewirausahaan kepada
mahasiswa. Mahasiswa peserta memperoleh fasilitas materi pelatihan,
magang hingga penyediaan modal untuk praktik bisnis. Aktivitas ekstra
kurikuler mahasiswa yang sistematik juga dapat membangun motivasi dan
sikap mental entrepreneur. Perguruan tinggi dapat mendirikan program
vokasional yang memberikan keterampilan wirausaha, setara diploma atau
kursus. Ada pula program ekstensi yang memberi peluang para wirausaha
untuk kuliah.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang wirausaha
yang memiliki potensi sukses adalah mereka yang mengerti kegunaan
pendidikan untuk menunjang kegiatan serta mau belajar untuk
meningkatkan pengetahuan. Lingkungan pendidikan dimanfaatkan oleh
wirausaha sebagai sarana untuk mencapai tujuan, pendidikan di sini berarti
pemahaman suatu masalah yang dilihat dari sudut keilmuan atau teori
sebagai landasan berpikir.
70
Perguruan tinggi berperan serta dalam menyejahterakan bangsa,
membangun ekonomi yang kini masih terpuruk. Berdasarkan kondisi
objektif masyarakat, khususnya Perguruan Tinggi sebagai penghasil
sumber daya manusia berkualitas, ternyata masih belum mampu
menghasilkan lulusan yang siap untuk berusaha secara mandiri memulai
usahanya sendiri dan bukan hanya menunggu “diberi pekerjaan” oleh industri. Hal ini di tandai dengan adanya:
angka pengangguran lulusan PT yang cukup tinggi,
kesulitan mencari kerja dengan masa tunggu yang cukup lama,
over supplied lulusan secara kuantitas tetapi under supplied lulusan
secara kualitas,
perilaku jiwa kewirausahaan lulusan masih rendah,
relevansi lulusan dengan kebutuhan pasar kerja masih kurang,
kecakapan hidup rendah ditandai dengan lemahnya komunikasi verbal
dan memalui media tulis, lemahnya penguasaan bahasa asing dan
lemahnya penggunaan teknologi informasi,
kurang mampu bersaing dengan global,
masih lemahnya jalinan kemitraan dengan dunia industri.
Menurut data Direktorat Jendral Pemuda dan Pendidikan Luar
Sekolah Departemen Pendidikan Nasional dari 75.3 juta pemuda
Indonesia, 6,6 persen yang lulus sarjana. Dari jumlah tersebut 82 persen
nya bekerja pada instansi pemerintah maupun swasta, sementara hanya 18
persen yang berusaha sendiri atau menjadi wirausahawan. Padahal
semakin banyak lulusan PT yang menjadi wirausahawan akan dapat
mempercepat pemulihan ekonomi.
Melihat kondisi tersebut, maka perguruan tinggi sudah selayaknya
mampu berperan aktif menyiapkan sumber daya manusia terdidik yang
mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan baik lokal, regional
maupun internasional. Maka diperlukan pendidikan berbasis
kewirausahaan yaitu pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan
metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill)
mahasiswanya melalui kurikulum yang terintegrasi. Pendidikan yang
demikian berorientasi pada pembentukan jiwa kewirausahaan
71
(entrepreneurship) yaitu jiwa keberanian dan kemauan menghadapi
permasalahan hidup dan kehidupan secara wajar, berjiwa mandiri, tangguh
dan berdaya saing, dan berjiwa kreatif untuk mencari solusi dalam
mengatasi permasalahan tersebut.
Keterpaduan yang sinergik antara penguasaan ilmu dan teknologi
(termasuk kejelian menerapkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat),
keahlian pemasaran (termasuk komersialisasi hasil penelitian dan
pengembangan), keuangan (financial cost) dan manajemen produksi akan
meningkatkan penciptaan dan pertumbuhan wirausaha-wirausaha baru.
Selama ini para akademisi, ilmuwan, perencana maupun peneliti Indonesia
yang terlalu sedikit yang menaruh minat dalam bidang kewirausahaan,
sehingga mengakibatkan sebagian besar dari hasil-hasil penelitian dan
pengembangan hanya bernilai akademis saja dan hanya beberapa produk
penelitian yang bisa dikomersialkan dan dapat Pengembangan memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pengembangan budaya kewirausahaan di Perguruan Tinggi
dilaksanakan untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan pada para
mahasiswa dan juga staf pengajar serta diharapkan menjadi wahana
pengintegrasian secara sinergi antara penguasaan sains dan teknologi
dengan jiwa kewirausahaan. Tumbuh kembangnya budaya kewirausahaan
di Perguruan Tinggi diharapkan bahwa hasil-hasil penelitian dan
pengembangan selain bernilai akademis, juga mempunyai nilai tambah
(added value) bagi kemandirian perekonomian daerah maupun nasional.
Demikian pula para lulusan Perguruan Tinggi tidak hanya berorientasi dan
mampu menjadi pekerja saja, tapi juga berorientasi dan mampu bekerja
mandiri, menciptakan usaha baru (startup company) dan mengelola
perusahaan atau industri sendiri, yang tidak tertutup kemungkinannya
menjadi industri atau perusahaan besar. Situasi ini akan membuka peluang
lebih besar bagi terwujudnya Industrial Park yang telah sejak lama
menjadi cita-cita di banyak Perguruan Tinggi. Dengan demikian,
hubungan sinergik antara pengembangan sains dan teknologi dengan
penerapannya untuk kemandirian bangsa Indonesia dalam bidang
teknologi dan ekonomi akan terwujud dengan dukungan penuh Perguruan
Tinggi.
72
Pengembangan konsep atau ide-ide yang didasarkan pada
pengetahuan baru, metode-metode, desain produk dan produk-produk yang
bisa dikomersialisasikan dapat dilakukan melalui suatu wadah yang
dinamakan inkubator bisnis perguruan tinggi. Jadi Inkubator bisnis
perguruan tinggi merupakan suatu institusi atau tempat untuk
menumbuhkembangkan usaha baru (start-up company) menjadi usaha
kecil dan menengah (UKM) yang berdaya saing, tangguh dan mandiri. Jika
usaha baru tersebut berbasis inovasi/teknologi maka inkubatornya disebut
inkubator teknologi.
Di Indonesia, usaha-usaha untuk menanamkan jiwa dan semangat
kewirausahaan di perguruan tinggi terus digalakkan dan ditingkatkan,
tentunya dengan berbagai metode dan strategi yang membuat mahasiswa
tertarik untuk berwirausaha. Pada umumnya perguruan tinggi di Indonesia
melakukan hal-hal berikut ini untuk mengembangkan kewirausahaan:
a. Mendirikan Pusat Pengembangan Kewirausahaan, Inkubator
Bisnis, atau UKM Center
Berbagai kampus telah mendirikan unit kerja khusus untuk
pengembangan kewirausahaan dengan berbagai sebutan, seperti
Entrepreneurship Development Center (EDC) dan Inkubator Bisnis di
Universitas Udayana, BSI Entrepreneruship Center (BEC) di Bina
Sarana Informatika Bandung, Pusat Inkubator Bisnis ITB, Koperasi
kesejahteraan Mahasiswa (KOKESMA) ITB, Community Business
and Entrepreneurship Development (CDED) di STMB Telkom,
Community Entrepreneur Program (CEP) UGM, Center for
Entrepreneur Development and Studies (CEDS) di UI, UKM Center
di FEUI, Center for Entrepreneurship, Change, and Third Sector
(CECT) di Universitas Tri Sakti, Binus Entrepreneurship Center
(BEC) di Binus, dan lain-lain. Melalui pusat kewirausahaan
dilaksanakan berbagai program kewirausahaan, baik untuk tujuan
pembenihan, pembinaan, maupun pengembangan usaha.
73
b. Menyusun kurikulum kewirausahaan
Lembaga pendidikan formal di Indonesia, sekali pun sekolah bisnis,
masih belum berorientasi mencetak wirausaha baru atau membuka
usaha sendiri. Sekolah bisnis yang ada di Indonesia, terlebih pada
tingkat S-2, lebih mengarah pada intrapreneurship daripada
entrepreneurship. Di Indonesia sebetulnya banyak mahasiswa yang
menghasilkan inovasi baru, tapi sayangnya inovasi tersebut tidak
berlanjut menjadi suatu produk atau jasa yang dapat dipasarkan
dengan baik. Ini suatu indikasi belum adanya integrated link serta
belum adanya jiwa dan semangat entrepreneurship pada
penyelenggara perguruan tinggi. Mindset pengelola penyelenggara
pendidikan yang demikian tentu tidak sejalan dengan semangat
penumbuhan kewirausahaan. Kurikulum yang kurang terintegrasi
misalnya bisa dilihat dari kurikulum yang lebih menonjolkan aspek
pengetahuan (cognitive) daripada sikap maupun keterampilan
berwirausaha (attitude). Kondisi yang demikian mengakibatkan
lulusan perguruan tinggi hanya mengerti usaha pada tataran teori.
Kurangnya integrated link antara penyelenggara perguruan tinggi dan
lembaga pembiayaan serta pemasaran menjadikan pengembangan
semangat serta kemampuan berwirausaha lebih sulit.
Mesikpun ketinggalan, perguruan tinggi harus mulai sadar akan
pentingnya kewirausahaan di kampus dan menjadikan mata kuliah
kewirausahaan sebagai hal terpenting yang harus diberikan kepada
mahasiswa. Perguruan tinggi seperti UI, UNDIP, ITB, UNPAD, IPB,
UGM, STT dan STMB Telkom, President University, UKSW,
Paramadina, UNPAR, USU, Univ. Semarang, BSI, BINUS, Tri Sakti,
UNUD dan yang lainnya memberikan materi kewirausahaan tidak
sebatas formalitas belaka. Dalam merumuskan sistem/metode
pembelajaran dan pelatihan kewirausahaan, perguruan tinggi harus
dengan sungguh-sungguh merancang mata kuliah kewirausahaan
untuk mahasiswanya, dimulai dari pembuatan silabus, satuan acara
pengajaran (SAP), slide presentasi, modul teori, modul praktikum/
praktik, pembuatan buku panduan, dan sebagainya. Rumusan itu
tentunya harus dikerjakan oleh sebuah tim yang benar-benar ahli dan
74
berpengalaman di berbagai bidang keilmuan. Namun pada umumnya
perguruan tinggi belum melibatkan praktisi/pelaku usaha serta
motivator entrepreneurship sebagai tim penyusun pembelajaran
kewirausahaan, sehingga mata kuliah/materi yang diberikan masih
cenderung kurang aplikatif.
c. Melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan diluar
jam pelajaran biasa (di luar intrakurikuler), dan kebanyakan materinya
di luar materi intrakurikuler yang fungsi utamanya untuk
menyalurkan dan mengembangkan minat dan kemampuan mahasiswa
dalam berwirausaha. Kegiatan ini dapat meliputi tahap motivasi
kewirausahaan, penyusunan business plan, kompetisi business plan,
dan pendampingan usaha untuk perluasan akses pasar dan
permodalan, pameran dan festival wirausaha, dan sebagainya.
d. Membentuk unit usaha mahasiswa
Salah satu kesungguhan perguruan tinggi dalam mewujudkan
mahasiswanya untuk menjadi seorang entrepreneur adalah perlu
membentuk beberapa unit usaha yang dikelola oleh mahasiswa,
apapun jenis usahanya tentunya harus sesuai dengan kesepakatan
antara mahasiswa dengan institusi kampus. Unit-unit usaha yang
dibentuk ini dapat dijadikan sebagai salah satu pengalaman berharga
bagi mahasiswa sebelum terjun membuka usaha secara mandiri.
e. Meningkatkan kapasitas dosen
Setidaknya perguruan tinggi harus mempersiapkan dosen agar
memiliki kemampuan sebagai berikut:
Mampu memberikan paradigma baru tentang pentingnya
kewirausahaan.
Mampu mengubah/mengarahkan mindset mahasiswa menjadi
seorang yang memiliki jiwa entrepreneurship.
Mampu menginspirasi dan memotivasi mahasiswa agar mandiri.
Mampu memberikan contoh karya nyata kewirausahaan dan
menyuguhkan success story.
75
Mampu menghasilkan lulusan menjadi entrepreneur atau
intrapreneur sukses.
Program peningkatan kapasitas dosen ini dapat melalui berbagai cara
diantaranya melalui program sebagai berikut:
Program Short course entrepreneurship (program pelatihan
kewirausahaan untuk dosen).
Program seminar/workshop/lokakarya/TOT entrepreneurship.
Program pemagangan dosen di dunia usaha.
Program sarasehan dengan mitra usaha/dunia usaha.
Program pembinaan/pendampingan dosen baru.
f. Membangun sinergi dengan pihak lain
Hal ini penting dilakukan oleh perguruan tinggi dalam rangka tiga
tujuan, yakni: (1) meningkatkan kualitas SDM dosen dan mahasiswa;
(2) membuka peluang magang usaha bagi dosen dan mahasiswa; (3)
membuka peluang kerja sama usaha khususnya untuk mahasiswa/
alumni. Dengan sinergi ini diharapkan mahasiswa terutama dapat
menganalisa dan mengamati bentuk usaha nyata sehingga mempunyai
gambaran ketika kelak berwirausaha. Untuk mewujudkan mahasiswa/
alumninya sebagai seorang entrepreneur, perguruan tinggi ber-
kewajiban memberikan kemudahan bagi mahasiswanya dalam
membuka usaha, salah satunya adalah dengan cara menjadi fasilitator
dan mediator antara mahasiswa dengan dunia keuangan (perbankan/
non-perbankan) dalam hal kemudahan kredit usaha bagi mahasiswa.
Kerja sama ini dapat menjadi trigger bagi mahasiswa untuk
menjadi entrepreneur muda. Tidak sedikit dari mahasiswa
berkeinginan untuk berwirausaha namun terkendala dengan modal
(dana). Kerja sama inilah yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi.
g. Entrepreneurship Award
Salah satu pemicu meningkatnya semangat kewirausahaan dari
mahasiswa adalah dilaksanakannya secara rutin perlombaan/kejuaraan
kewirausahaan. Perlombaan kewirausahaan mahasiswa dengan
memberikan award bagi mahasiswa juga dapat menjadi salah satu
langkah perguruan tinggi dalam meningkatkan minat wirausaha
76
mahasiswa. Perlombaan ini dapat berupa business plan atau
entrepreneurial expo.
5.5 Pengembangan Kewirausahaan Melalui Inkubator Wirausaha
Inkubator Wirausaha adalah suatu lembaga intermediasi yang melakukan
proses inkubasi atau suatu proses pembinaan, pendampingan, dan
pengembangan yang diberikan kepada wirausaha atau calon wirausaha
yang bersedia. Istilah “inkubator” dikenal sebagai suatu alat untuk
membantu bayi yang lahir prematur sehingga bisa hidup normal.
Pemerintah berpandangan bahwa inkubator wirausaha merupakan suatu
wahana yang dapat secara efektif untuk menumbuhkembangkan jiwa
kewirausahaan, kemampuan, jejaring (network), dan wawasan berusaha.
Hal ini sehubungan dengan perlu dikembangkannya wirausaha baru
yang tangguh, kreatif dan profesional untuk meningkatkan daya saing
nasional, karena wirausaha yang seperti itu akan memilki kemampuan
daya saing dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu bahwa selama ini pada
umumnya wirausaha yang ada masih berorientasi lokal dan belum
sepenuhnya mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi
entrepreneurship serta belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi tepat
guna.
Di beberapa negara termasuk negara maju sekalipun, Jepang, Korea
dan China sistem Inkubator Wirausaha (sering juga disebut inkubator
bisnis) telah dianggap berhasil dan sangat dirasakan manfaatnya oleh
pemerintah dengan naiknya jumlah dan nilai komoditas ekspor dan
semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Bahkan di Jepang,
Inkubator Wirausaha melakukan pembimbingan dan pembinaan dalam
continuous improvement atau Kaizen sehingga para wirausahawan dapat
berkembang lebih dinamis dan memiliki kemampuan untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang dihadapi. Di Jepang dan Korea telah terbukti
bahwa dengan sistem Inkubator Wirausaha dapat menumbuhkan wirausaha
baru dan mampu menyerap tenaga kerja yang signifikan.
Di Korea, pemerintahnya memberikan dukungan kebijakan dalam 3
program untuk menumbuhkan Inkubator Wirausaha; yaitu di bidang
77
Lokasi, Pendanaan, serta Teknologi dan SDM. Sebagai contoh program di
bidang Lokasi, diluncurkannya kebijakan deregulasi batas lokasi serta
pengecualian pajak lokasi, di bidang Pendanaan diluncurkannya kebijakan
diversifikasi sumber pendanaan, serta di bidang Teknologi dan SDM
diberikannya pendanaan terhadap pengembangan teknologi.
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengikuti jejak
keberhasilan negara-negara yang mengembangkan inkubator wirausaha
dengan diterbitkannya Peraturan Presiden RI Nomor 27 Tahun 2013
tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha tertanggal 11 April 2013.
Dengan dikeluarkannya kebijakan seperti itu, maka sebenarnya sudah
terbuka peluang bagi para ahli, praktisi, serta akademisi untuk berperan
aktif serta mengambil manfaat bagi pengembangan wirausaha maupun
pengembangan bagi para penyelenggara itu sendiri. Selain itu bagi para
penyelenggara terbuka lebar kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak
asing (luar negeri). Dalam perkembangannya akan tumbuh keyakinan
bahwa nantinya bangsa Indonesia akan memilki kemampuan untuk
bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam
penciptaan pengembangan wirausaha baru melalui inkubator wirausaha:
1. Tujuan
Tujuan inkubator wirausaha adalah menciptakan dan mengembangkan
usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi
serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik
dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. Sasaran
Sasaran inkubator wirausaha adalah:
a) penumbuhan wirausaha baru dan penguatan kapasitas wirausaha
pemula (start-up) yang berdaya saing tinggi;
b) penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai
ekonomi dan berdaya saing tinggi;
c) peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi;
78
d) peningkatan aksesibilitas wirausahawan atau calon wirausaha-
wan untuk mengikuti program Inkubasi;
e) peningkatan kemampuan dan keahlian pengelola Inkubator
Wirausaha untuk memperkuat kompetensi Inkubator Wirausaha;
dan
f) pengembangan jejaring untuk memperkuat akses sumber daya
manusia, kelembagaan, permodalan, pasar, informasi, dan
teknologi.
3. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaannya, inkubator wirausaha diharapkan mampu
memfasilitasi dan memberikan pelayanan dalam hal: penyediaan
ruang, sarana dan prasarana, bimbingan dan konsultasi, penelitian,
pengembangan usaha serta akses penggunaan teknologi, pelatihan dan
peningkatan keterampilan, akses pendanaan, penciptaan jaringan
(network) dan kerja sama, serta manajemen HAKI (Hak Kekayaan
Intelektual). Para wirausaha dan calon wirausaha memilki kesempatan
untuk mendapatkan bimbingan, pembinaan, pelatihan, penggunaan
teknologi, serta kemudahan lain dari para ahli, praktisi, serta
akademisi.
4. Penyelenggara
Pihak Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan/atau
masyarakat dapat menjadi penyelenggara Inkubator Wirausaha. Hal
ini juga memungkinkannya pihak institusi pendidikan dalam format
pengabdian pada masyarakat untuk menjadi Inkubator Wirausaha
yang menerapkan latar belakang keilmuannya untuk pengembangan
wirausaha. Pengembangan wirausaha di Indonesia saat ini lebih
banyak dilaksanakan oleh Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi.
Penyelenggaraan Inkubator Wirausaha oleh dunia usaha atau
masyarakat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Berbentuk badan usaha.
b) Memiliki sumber daya manusia pengelola yang memadai.
c) Mempunyai sumber pendanaan yang jelas dan berkelanjutan.
d) Memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
79
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendirian Inkubator
Wirausaha di mana Inkubator Wirausaha dalam penyelenggaraan
program Inkubasi, memfasilitasi dan memberikan pelayanan berupa:
a) Penyediaan ruang kerja.
b) Dukungan fasilitas perkantoran.
c) Bimbingan dan konsultasi usaha.
d) Bantuan penelitian dan pengembangan usaha serta akses
penggunaan teknologi.
e) Pelatihan dan pengembangan keterampilan.
f) Akses pendanaan.
g) Penciptaan jaringan usaha dan kerja sama.
h) Manajemen atas Hak Kekayaan Intelektual.
5. Peserta
Perorangan atau Badan Usaha dapat menjadi Peserta Inkubasi
(Tenant), dan untuk dapat mengikuti seleksi calon Peserta Inkubasi
(Tenant) yang berasal dari perseorangan, paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai berikut: memiliki proposal bisnis yang prospektif;
dan memiliki potensi dan kemampuan kewirausahaan. Sedangkan
untuk dapat mengikuti seleksi calon Peserta Inkubasi (Tenant) yang
berasal dari Badan Usaha, paling kurang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) Memiliki proposal bisnis yang prospektif.
b) Memiliki potensi dan kemampuan kewirausahaan.
Calon Peserta Inkubasi (Tenant) yang lulus seleksi untuk mengikuti
program Inkubasi, menandatangani surat perjanjian Inkubasi dengan
penyelenggara Inkubator Wirausaha. Kemudian Program Inkubasi
diutamakan bagi perseorangan dan/atau badan usaha yang sedang
memulai usaha (startup). Jangka waktu program Inkubasi Peserta
Inkubasi (Tenant) paling lama 3 (tiga) tahun. Jangka waktu program
Inkubasi dapat diperpanjang oleh penyelenggara Inkubator Wirausaha
paling lama 1 (satu) tahun dengan mempertimbangkan sifat (nature)
dan prospek bisnis yang diinkubasi.
80
6. Pendanaan
Pendanaan untuk penyelenggaraan Inkubator Wirausaha dapat
diperoleh dari: calon peserta inkubasi (tenant); Inkubator Wirausaha
yang bersangkutan; masyarakat; Pemerintah pusat; Pemerintah
Daerah; dan/ atau sumber lain yang sah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
7. Koordinator
Pelaksanaan pengembangan Inkubator Wirausaha, dikoordinasikan
oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Untuk membantu
pelaksanaan koordinasi, dapat dibentuk Kelompok Kerja yang
susunan keanggotaan dan tugasnya ditetapkan oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
Gambar 4. Pengembangan Kewirausahaan Melalui Inkubator
Wirausaha.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak adalah
tentang evaluasi hasil dari proses pelaksanaan inkubator wirausaha, yang
nantinya menggambarkan tentang keberhasilan pelaksanaan dan
keberhasilan wirausaha itu sendiri, bahwa perlu dilakukan monitoring
terhadap aspek PQCDSME (Productivity, Quality, Cost, Delivery, Safety,
Moral, dan Environment) sebelum dan sesudah pelaksanaan inkubasi. Hal
ini belum tersirat secara detail di dalam kebijakan pemerintah tersebut,
sehingga pihak Kementerian Koperasi dan UKM yang memiliki tanggung
81
jawab dalam penetapan norma, standar, prosedur, serta kriteria dalam
penyelenggaraan Inkubator Wirausaha perlu mengembangkan perangkatan
untuk evaluasi hasil.
Berbagai kementerian dan lembaga di Indonesia menyediakan
program insentif kepada pengusaha pemula melalui inkubator wirausaha,
seperti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian
Koperasi dan UKM, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian
Koordinator Perekonomian, Kementerian Tenaga Kerja, Bank Indonesia,
dan sebagainya.
Pada gambar berikut ini disajikan contoh pengelolaan program
pendidikan dan pengembangan kewirausahaan di Universitas Udayana
Denpasar.
Gambar 5. Manajemen Pendidikan dan Pengembangan Kewirausahaan
di Universitas Udayana Denpasar.
Dari Gambar 5 tersebut di atas dapat diketahui bahwa Universitas
Udayana menyiapkan dua unit kerja untuk menangani program
kewirausahaan, yaitu Entrepreneurship Development Center (EDC) untuk
tahap pembenihan dan penempaan. EDC berada dibawah pengawasan
Wakil Rektor III (bidang Kemahasiswaan). Selanjutnya mahasiswa
wirausaha dan alumni yang produknya telah memasuki pasar, dibina lebih
82
lanjut di Inkubator Bisnis untuk tahap pengembangan usaha. Inkubator
Bisnis merupakan salah satu unit kerja yang berada di bawah Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM).
5.6 Penyebab Kegagalan Pendidikan Kewirausahaan
Seperti diketahui, gerakan kewirausahaan sudah dilakukan pemerintah
sejak 12 tahun lalu. Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun
1995 mencanangkan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan
Membudayakan Kewirausahaan. Tujuannya untuk menumbuhkan budaya
kreatif, inovatif, di masyarakat, baik di kalangan dunia usaha, pendidikan,
maupun aparatur pemerintah. Namun, dalam perjalanannya, gerakan
tersebut kurang mendapat dukungan. Program yang dijalankan pemerintah
dalam mengimplementasikan Inpres tersebut malah salah arah. Contohnya
program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) dari
Departemen Pendidikan Nasional; serta Tenaga Kerja Pemuda Mandiri
Profesional (TKPMP) dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Banyak sarjana peserta program TKPMP ataupun SP3 setelah proyek
selesai, tidak menjadi wirausaha, tetapi kembali menjadi pencari kerja.
Setidaknya terdapat tiga hal yang menghambat perkembangan minat
lulusan perguruan tinggi untuk berwirausaha, yaitu: Pertama,
persoalan mindset (pola pikir). Banyak sarjana yang masih berpikir sebagai
pencari kerja, bukan pencipta kerja. Kedua, persoalan kurikulum
kewirausahaan yang belum memadai secara kuantitas dan kualitas. Hal
tersebut terlihat dari kurang banyaknya perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pembelajaran kewirausahaan. Jika ada, kurikulumnya
belum terintegrasi dengan baik. Kurikulum yang kurang terintegrasi
misalnya bisa dilihat dari kurikulum yang lebih menonjolkan aspek
pengetahuan (cognitive) daripada sikap maupun keterampilan
berwirausaha (attitude). Kondisi demikian mengakibatkan lulusan
perguruan tinggi hanya mengerti usaha pada tataran teori.
Kurangnya integrated link antara penyelenggara perguruan tinggi dan
lembaga pembiayaan serta pemasaran menjadikan pengembangan
semangat serta kemampuan berwirausaha lebih sulit. Lebih ironis lagi,
83
sekolah bisnis di Indonesia belum berorientasi mencetak wirausaha baru
atau membuka usaha sendiri. Sekolah bisnis yang ada di Indonesia,
terlebih pada tingkat S-2, lebih mengarah pada intrapreneurship dari pada
entrepreneurship. Hal ini dapat dilihat misalnya mayoritas mahasiswa
sekolah bisnis berasal dari karyawan perusahaan besar. Artinya, target
pasar sekolah bisnis masih pada karyawan perusahaan besar dan bukan
individu yang ingin menjadi pengusaha. Mindset pengelola penyelenggara
pendidikan yang demikian tentu tidak sejalan dengan semangat
penumbuhan kewirausahaan.
Jika dibandingkan, kurikulum kewirausahaan di perguruan tinggi
Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan universitas-universitas
terkemuka di Kanada, Amerika, dan Jepang. Di Jepang, misalnya, hasil
kreasi mahasiswa tentang suatu produk dikembangkan dan didorong oleh
penyelenggara perguruan tinggi dengan menghubungkannya pada lembaga
keuangan (modal ventura) serta pasar yang akan menerima produk
tersebut. Di Indonesia sebetulnya banyak mahasiswa yang menghasilkan
inovasi baru, tapi sayangnya inovasi tersebut tidak berlanjut menjadi suatu
produk atau jasa yang dapat dipasarkan dengan baik. Ini suatu indikasi
belum adanya integrated link serta belum adanya jiwa dan
semangat entrepreneurship pada penyelenggara perguruan tinggi.
Faktor ketiga yang menghambat perkembangan minat lulusan
perguruan tinggi untuk berwirausaha adalah kurangnya kesungguhan dari
pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam menciptakan wirausaha dari
kalangan mahasiswa. Hal ini terlihat dari masih rendahnya dorongan bagi
sarjana agar berwirausaha, serta terbatasnya dukungan permodalan dan
peluang pasar bagi wirausaha baru.
Pengembangan kewirausahaan bagi generalis muda (mahasiswa dan
sarjana) memerlukan dukungan yang lebih serius dan berkelanjutan dari
lembaga pendidikan dan para pemangku kepentingan.
84
Gambar 6. Dukungan Pemangku Kepentingan.
Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi berkaitan dengan
membangun karakter wirausaha, pola pikir wirausaha, dan perilaku
wirausaha yang selalu kreatif dan inovatif, menciptakan nilai tambah atau
nilai-nilai baik (values), memanfaatkan peluang dan berani mengambil
risiko. Untuk menghadapi tantangan masa depan yang sangat kompetitif,
diperlukan perilaku kewirausahaan pada semua bidang pekerjaan atau
profesi. Oleh karena itu, pendidikan kewirausahaan dapat dilaksanakan di
perguruan tinggi dan diberlakukan kepada semua mahasiswa tanpa
memandang bidang ilmu yang dipelajari, karena pendidikan
kewirausahaan bukan pendidikan bisnis.
85
6. SINERGITAS DALAM PENGEMBANGAN
KEWIRAUSAHAAN
6.1 Pengertian Sinergi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “sinergi” bisa didefinisikan sebagai kegiatan atau operasi gabungan. Sinergi juga bisa dimaknai
sebagai bentuk kerja sama yang dihasilkan melalui kolaborasi masing-
masing pihak tanpa adanya perasaan kalah. Merujuk pada definisi tersebut,
ciri khas sinergi adalah keragaman atau perbedaan, bukan keseragaman.
Mengingat bermodalkan keragaman atau perbedaan, maka sinergi adalah
saling mengisi dan melengkapi perbedaan untuk mencapai hasil yang lebih
besar daripada jumlah per bagian. Sinergi membangun dan memastikan
hubungan kerja sama internal yang produktif serta kemitraan yang
harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya
yang bermanfaat dan berkualitas. Tujuan Sinergi adalah memengaruhi
perilaku orang secara individu maupun kelompok saat saling berhubungan,
melalui dialog dengan semua golongan, di mana persepsi, sikap dan opini
sangat penting bagi tercapainya kesuksesan.
Konsep bersinergi diantaranya berorientasi pada hasil dan positif,
perspektif beragam mengganti atau melengkapi paradigma, saling kerja
sama dan tujuan sama serta adanya kesepakatan, dan diusahakan seefektif
mungkin serta merupakan suatu proses. Bersinergi juga berarti saling
menghargai perbedaan ide, pendapat, dan bersedia saling berbagi. Dengan
demikian, bersinergi tidak mementingkan diri sendiri, namun berpikir
menang-menang dan tidak ada pihak yang dirugikan atau merasa
dirugikan. Pada akhirnya, bersinergi bertujuan memadukan bagian-bagian
yang terpisah. Sinergi membutuhkan proses, sehingga tidak bisa dilakukan
secara instan.
Meski menyatukan perbedaan yang ada, sinergi berbeda dengan
kompromi. Kompromi adalah model dalam mencari jalan keluar dengan
masing-masing pihak menurunkan egonya. Meski sama-sama menang dan
tidak ada yang kalah, namun harga tawarnya menjadi berkurang.
Sementara, sinergi lebih membicarakan jalan keluar yang baik bagi semua
pihak tanpa merugikan harga.
86
Sinergitas berasal dari kata sinergi, dapat disebut pula dengan
sinergisme ataupun sinergisitas. Covey mengartikan sinergisitas sebagai:
“Kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar daripada dikerjakan sendiri sendiri”. Selain itu gabungan beberapa unsur akan menghasilkan suatu produk yang
lebih unggul. Oleh sebab itu, sinergisitas dalam pembangunan berarti
keterpaduan berbagai unsur pembangunan yang dapat menghasilkan
keluaran lebih baik dan lebih besar. Covey menambahkan sinergisitas akan
mudah terjadi bila komponen-komponen yang ada mampu berpikir sinergi,
terjadi kesamaan pandang dan saling menghargai.
Sinergitas merupakan proses memadukan beberapa aktivitas dalam
rangka mencapai satu hasil yang berlipat. Sinergitas memang banyak
digunakan, namun ada pula yang menyebutnya dengan Sinergisme. Untuk
menggambarkan kelipatan hasil dari sinergitas, kita gunakan pendekatan
matematika. Jika masing-masing aktivitas secara terpisah memberikan
output masing-masing 1 hasil, sehingga secara total menghasilkan 2 hasil,
maka ketika Aktivitas I + Aktivitas II dilakukan terpadu dan dapat
mengeluarkan output > 2 hasil, misalnya menjadi 3 hasil atau 4 hasil.
Aktivitas terpadu tersebut disebut bersinergi. Keterpaduan 2 aktivitas
tersebut tentunya tidak selalu dikerjakan bersamaan, tetapi sangat
tergantung karakteristik dari masing-masing aktivitas. Apabila 2 aktivitas
tersebut bersifat komplementer, maka memang harus dilakukan
bersamaan, karena keduanya saling isi-mengisi. Tetapi apabila 2 aktivitas
tersebut bersifat substitusi, maka aktivitasnya tidak harus bersamaan, tetapi
dapat saling menggantikan, atau bergiliran.
Sebuah produk akhir yang dilakukan dengan model ban berjalan,
aktivitas masing-masing disinergikan oleh ban berjalan, dan aktivitas
keseluruhannya dapat digolongkan berkarakter komplementer. Sementara
itu, apabila produk akhirnya dikerjakan di tempat yang statis, tetapi justru
pekerjanya yang saling berganti dalam periode waktu tertentu, katakanlah
setiap 2 jam, maka aktivitas masing-masing pekerja disinergikan oleh
periode waktu, dan aktivitas keseluruhan dapat digolongkan berkarakter
substitusi.
87
Contoh sinergitas beberapa aktivitas yang berkarakter komplementer
ditemukan antara lain pada industri mobil, industri makanan/minuman,
serta industri elektronik. Masing-masing pekerja berada di suatu tempat
tertentu untuk mengerjakan satu komponen tertentu masing-masing yang
terhubung oleh ban berjalan. Di ujung awal ban berjalan dikerjakan
komponen awal, sementara di ujung akhir ban berjalan dikerjakan
komponen akhir, yang berarti produk secara utuh terselesaikan di ujung
akhir ban berjalan ini.
Kunci untuk tercapainya sinergitas adalah koordinasi dan kerja sama,
sebab tanpa koordinasi dan kerja sama pasti berat sekali untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan. Koordinasi berasal dari kata bahasa
Inggris coordination yang berarti being co-ordinate, yaitu adanya
koordinat yang bersamaan dari dua garis dalam bidang datar yang dapat
diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada koordinat tertentu.
Koordinasi adalah penyerasian yang teratur usaha-usaha untuk
menyiapkan jumlah yang cocok menurut mestinya, waktu dan pengarahan
pelaksanaan hingga menghasilkan tindakan-tindakan harmonis dan terpadu
menuju sasaran yang telah ditentukan (George R. Terry). Sebagaimana
pengertian sinergi, koordinasi itu juga kata yang mudah diucapkan, tetapi
sulit diterapkan. Oleh karena itu, dari pengertian sinergi dan koordinasi,
kiranya dapat dijelaskan bahwa bagian-bagian atau kegiatan-kegiatan yang
secara kooperatif berinteraksi, bermakna integrasi, sedangkan produktif
bermakna efektif dan efisien. Dengan demikian, sinergi memberi makna
atau arti yang relatif dianggap sama dengan koordinasi. Jadi tidak salah
apabila koordinasi = sinergi.
Dari beberapa pengertian sinergi tersebut dapat diketahui orientasi
konsep bersinergi antara lain:
Berorientasi pada hasil dan positif.
Perspektif beragam mengganti atau melengkapi paradigm
kebersamaan.
Saling bekerja sama dan bertujuan yang sama.
Melalui sinergi, kerja sama dari paradigma yang berbeda akan
mewujudkan hasil lebih besar dan efektif sehubungan proses yang dijalani
88
menunjukkan tujuan yang sama. Bersinergi berarti saling menghargai
perbedaan ide, pendapat dan bersedia saling berbagi. Bersinergi tidak
mementingkan diri sendiri, namun berpikir menang-menang dan tidak ada
pihak yang dirugikan atau merasa dirugikan. Bersinergi bertujuan
memadukan bagian-bagian yang terpisah.
6.2 Sinergi Triple Helix
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa data BPS menunjukkan masih
terjadi gap yang cukup besar antara pencari kerja terdaftar usia produktif
dengan penempatan atau pemenuhan tenaga kerja. Fenomena ini muncul
karena masyarakat Indonesia, khususnya usia produktif belum mampu
mengubah paradigma berpikir dari orientasi sebagai job seeker (pencari
kerja) menjadi job creator (pencipta lapangan kerja). Jumlah penduduk
Indonesia yang begitu besar serta usia produktif yang banyak merupakan
suatu potensi lahirnya wirausaha-wirausaha muda dengan dukungan dari
berbagai pihak.
Pemerintah lewat Perguruan Tinggi memiliki peran sentral untuk
memberikan pendidikan dan bekal ilmu yang tidak hanya semata bersifat
teoritik, tetapi juga sangat diperlukan dukungan spirit kewirausahaan,
selain juga memberikan gambaran peta perekonomian yang up to date.
Dari gambaran tersebut, dapat diartikan bahwa keberadaan kewirausahaan
sebagai sebuah spirit menjadi suatu hal yang mendesak di Indonesia,
terkait dengan fenomena hyper competition (persaingan yang semakin
kompetitif) di lingkungan bisnis dan perubahannya yang tidak pasti. Di sisi
lain, masih tingginya angka pengangguran terbuka di Indonesia termasuk
oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan tinggi menjadi perhatian
serius dari para pemangku kepentingan dalam hal ini: Pemerintah, pelaku
industri dan akademisi Perguruan Tinggi yang kemudian disebut sebagai
sistem Triple Helix. Karena terdiri dari unsur Academic, Business and
Government, sinergi ini sering disebut sinergi ABG. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa bukan hanya akademisi saja yang berperan dalam
pengembangan kewirausahaan, melainkan juga kaum intelektual yang
tidak hanya terdapat di perguruan tinggi tetapi juga di seluruh lapisan
89
masyarakat. Oleh karena itu, sebagian orang menyebutnya sebagai sinergi
BIG (Business, Intellectual, dan Government).
Upaya pengembangan budaya kewirausahaan diharapkan tidak saja
mampu mengubah paradigma berpikir dari job seeker ke job creator,
melainkan juga memperbaiki kualitas pelaku ekonomi Indonesia yang
mengedepankan kreativitas dan inovasi. Tugas ini tidak dapat dibebankan
pada salah satu unsur saja, melainkan memerlukan sinergitas dari multi
pihak. Kolaborasi Triple Helix diharapkan mampu berperan sebagai
penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
vital bagi proses pengembangan budaya kewirausahaan yang saling
bersinergi.
Gambar 7. Triple Helix - ICT Technology Network. Sumber: ICT Technology Network.
Teori mengenai Triple Helix pada awalnya dipopulerkan oleh
Etzkowitz dan Leydersdorff sebagai metode pembangunan kebijakan
berbasis inovasi. Teori ini menekankan pentingnya penciptaan sinergi tiga
kutub yaitu intelektual, bisnis dan pemerintah. Tujuan dari teori ini adalah
90
pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan. Dari
sinergi ini diharapkan terjadi sirkulasi ilmu pengetahuan berujung pada
inovasi yang memiliki potensi ekonomi atau kapitalisasi ilmu pengetahuan
(knowledge capital).
Triple Helix sebagai aktor utama harus selalu bergerak melakukan
sirkulasi untuk membentuk knowledge spaces, consensus space, dan
innovation spaces. Sirkulasi ini selalu berusaha menciptakan kebaruan
(inovasi) dan inovasi sering mengubah struktur yang telah ada, atau
Destruksi Kreatif (Joseph Schumpeter, 1934) yang berarti, munculnya
inovasi baru di dalam industri akan menggusur industri-industri lama yang
tidak kreatif dan tergantikan dengan industri yang lebih kreatif.
Gambar 8. Triple Helix
91
1. Ruang Ilmu Pengetahuan (knowledge space)
Di sini individu-individu dari berbagai disiplin ilmu mulai
terkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pertukaran informasi, ide-ide
dan gagasan-gagasan. Wacana-wacana dan konsepsi tumbuh subur
dan senantiasa dimantapkan.
2. Ruang Konsensus (consensus space)
Di sini mulai terjadi bentukan-bentukan komitmen yang mengarah
pada inisiatif tertentu dan proyek-proyek, pembentukan perusahaan-
perusahaan baru. Diperkuat pula oleh sirkulasi informasi yang
kredibel dan netral sehingga menumbuhkan rasa kepercayaan
individu-individu yang bersangkutan hingga menjadi dukungan-
dukungan terhadap konsensus.
3. Ruang Inovasi (innovation space)
Di sini inovasi yang tercipta telah terformalisasi dan bertransformasi
menjadi knowledge capital, berupa munculnya realisasi bisnis,
realisasi produk baru, partisipasi dari institusi finansial (misalnya,
Seed Capital, Angel Capital, Venture Capital) dan dukungan
pemerintah berupa insentif, penegakan hukum yang tegas terhadap
pelanggaran HKI, dan sebagainya.
Peran setiap unsur yang bersinergi dalam pengembangan
kewirausahaan (sinergia BIG), dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Business (bisnis)
Aktor bisnis merupakan pelaku usaha, investor dan pencipta
teknologi
92
2. Pembentuk Komunitas dan Entrepreneur kreatif, yaitu sebagai
motor yang membentuk ruang publik tempat terjadinya sharing
pemikiran, mentoring yang dapat mengasah kreativitas dalam
melakukan bisnis di industri kreatif, business coaching atau
pelatihan manajemen pengelolaan usaha di industri kreatif.
Dalam menjalankan perannya, bisnis dituntut untuk
menggunakan kemampuan konseptual yang tinggi, mampu
menciptakan variasi baru berupa produk dan jasa, mahir
berorganisasi, bekerja sama, berdiplomasi (semangat kolaborasi
dan orkestrasi), tabah menghadapi kegagalan yang dialami,
menguasai konteks teknikal dan kemampuan perencanaan
finansial.
2. Intellectuals (Intelektual)
Intelektual di sini memiliki peran sebagai agen yang menyebarkan
dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi,
serta sebagai agen yang membentuk nilai
93
semangat disipliner dan eksperimental tinggi, menghargai
pendapat yang berseberangan (empati dan etika), mampu
memecahkan masalah secara kreatif, menjalankan observasi yang
bersifat lintas sektoral, menggunakan teknologi ICT dengan
fasih, menjadi anggota forum pengayaan ilmu pengetahuan dan
seni baik secara nasional maupun internasional, formal maupun
non
94
penciptaan kota kreatif (creative city), yang mampu
mengakumulasi dan mengonsentrasikan energi dari individu
95
Dalam model Triple Helix I peran pemerintah mendominasi
pihak lainnya (lingkaran spiral) lain. Perkembangan sistem inovasi
dan kemitraan dan kelembagaan dikendalikan oleh pemerintah.
Pemerintah sebagai mediator dalam mengatur hubungan industri,
transfer teknologi dan peraturan institusional.
2. Triple Helix II, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 10
didefinisikan sebagai suatu sistem komunikasi yang terdiri dari
operasi pasar, inovasi teknologi yang memengaruhi perubahan di
masa depan dan kontrol antarmuka. Antarmuka fungsi-fungsi yang
berbeda ini beroperasi dalam modus terdistribusi untuk menghasilkan
bentuk-bentuk baru komunikasi seperti dalam transfer teknologi yang
berkelanjutan atau dalam undang-undang paten.
Gambar 10. Model Triple Helix II - Model Laizzes Faire.
Sumber : Taufik, 2010.
Model Triple Helix II terdiri atas tiga lingkaran kelembagaan
yang terpisah dengan garis batas yang kuat, dan hubungan antara
lingkaran tersebut sangat terbatas. “Ketegasan” peran secara “tradisional” mencirikan model ini. Misalnya, peran perguruan tinggi
adalah menyediakan SDM (melalui pendidikan tinggi secara formal)
dan lebih banyak melaksanakan riset dasar. Sementara itu peran
pemerintah dibatasi oleh “kaidah” umum intervensi menurut pandangan arus utama ekonomi (mainstream economics), yaitu
mengatasi kegagalan pasar.
96
3. Model Triple Helix III
Gambar 11 mengungkapkan perkembangan pola kemitraan yang
kompleks dan dinamis antara ketiga aktor utama sistem inovasi. Para
aktor berperan dalam penciptaan infrastruktur pengetahuan dalam
bentuk lingkaran spiral yang tumpang-tindih (overlapping), di mana
setiap lingkaran mengambil peran pihak lainnya dan pada
antarmukanya berkembang organisasi-organisasi hibrida (hybrid
organization).
Gambar 11. Model Triple Helix III - Model Organisasi Hibrida. Sumber : Taufik, 2010.
Dalam Triple Helix III, kelembagaan universitas, industri, dan
pemerintah, di samping melakukan fungsi-fungsi tradisional mereka,
masing-masing juga menggunakan peran pihak lain, antara lain
dengan menggunakan jasa universitas untuk menumbuhkan industri,
atau melihat kuasi-peran pemerintah sebagai pengelola inovasi lokal
dan regional.
Beberapa fitur penting dalam model Triple Helix III adalah terutama
pada (Taufik, 2010):
Transformasi hubungan perguruan tinggi – industri – pemerintah
dalam menghasilkan pengetahuan. Peran pihak yang terlibat
97
dalam hubungan ini terintegrasi dalam “aliran pengetahuan” melalui intermediaries.
Interaksi rekursif. Hubungan antarpihak lebih merupakan proses
yang terus-menerus berkembang.
Peran dan batasan yang “kabur” (fuzzy border) antara berbagai
aktor. Perguruan tinggi misalnya turut mengambil peran
pengembangan kewirausahaan (entrepreneurial), sebaliknya
swasta juga turut berperan dalam dimensi akademis.
Tingkat analisis mikro dalam konteks kelembagaan
(institusional). Kelembagaan dalam hal ini bukan saja
menyangkut “organisasi”, tetapi juga hubungan, interaksi, dan peraturan/kebijakan, serta hal lain yang memengaruhinya.
Menurut pandangan Leydesdorff dan Etzkowitz sebagaimana yang
dikutip oleh Taufik (2010), Triple Helix pada intinya merupakan suatu
model untuk menganalisis inovasi dalam suatu ekonomi berbasis
pengetahuan. Konsep atau pendekatan yang telah disampaikan dapat terus
diperluas sesuai dengan dinamika perubahan dan konteksnya. Lebih lanjut,
Taufik (2010) mengemukakan bahwa perkembangan perspektif bentuk dan
hubungan antar berbagai aktor dalam inovasi tidak terjadi begitu saja
melainkan terbentuk atau terbangun dalam evolusi sosial, teknik dan
ekonomi dari masyarakat modern yang cenderung mengubah diri mereka
dan berinteraksi di antara mereka dengan penataan ulang konfigurasi yang
pada gilirannya akan membentuk suatu tipologi kemitraan sebagai fungsi
komunikasi dan koordinasi antara lembaga-lembaga yang terkait.
Dalam konteks program pengembangan budaya kewirausahaan,
upaya bersama ini dapat tergambar pada Tim Koordinasi Nasional
Pengembangan Wirausaha Kreatif di Kementerian Koordinator
Perekonomian RI, mendorong pengembangan kewirausahaan nasional
melalui tiga jalur terpadu Tri Tunggal Kewirausahaan yaitu Pembenihan,
Penempaan dan Pengembangan, Joewono (2011):
1. Tahap Pembenihan
Pembenihan kewirausahaan dimaksudkan untuk menanamkan atau
mencangkokkan benih kewirausahaan pada target group yang
98
potensial menjadi wirausaha. Pembenihan dilakukan melalui
kampanye terpadu above the line dan below the line menggunakan
media massa dan beragam pertemuan dengan audient berjumlah
banyak. Pembenihan dimaksudkan untuk meningkatkan minat dan
tekad para calon wirausaha agar termotivasi untuk memulai bisnis
baru. Kegiatan pembenihan kewirausahaan yang dilakukan antara lain
penyelenggaraan Creative Entrepeneur Dialog pada bulan Desember
2010 dan Pencanangan Gerakan Kewirausahaan Nasional pada bulan
Februari 2011 bertempat di SMESCO. KADIN dan DIKTI pada
beberapa tahun terakhir ini juga mengadakan seminar dan pelatihan
dan dosen di belasan kota untuk mengobarkan semangat berwirausaha
di kampus yang diikuti ribuan calon wirausaha baru dengan semangat
tinggi. Kalangan BUMN, perusahaan swasta dan berbagai lembaga
swadaya masyarakat telah memberi perhatian besar pada program
pembenihan kewirausahaan.
2. Tahap Penempaan
Pada kebanyakan calon wirausaha yang sudah punya tekad
berwirausaha, diperlukan program penempaan dalam bentuk pelatihan
teknis dan praktis untuk memulai bisnis baru. Para penyelenggara
pelatihan dan kursus di pemerintahan, perusahaan dan masyarakat
perlu memberi porsi lebih besar pada penyelenggaraan program
penempaan wirausaha. Kegiatan mentoring dalam bentuk konsultasi
bisnis baru, konseling dan pendampingan sangat diperlukan oleh para
calon wirausaha agar berani dan bisa memulai bisnis barunya.
3. Tahap Pengembangan
Bagi wirausaha yang sudah memulai bisnisnya dan membutuhkan,
perlu disediakan fasilitasi untuk memperlancar pengembangan
bisnisnya agar tercipta wirausaha-wirausaha baru Indonesia yang
berdaya saing global. Fasilitasi yang diberikan di tahap
pengembangan antara lain peningkatan akses permodalan,
pemanfaatan teknologi, akses pasar, dan pengembangan daya saing.
Pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong
inovasi perlu dioptimalkan dalam pengembangan kewirausahaan
99
nasional, termasuk di dalamnya pengembangan lembaga dan fasilitas
inkubator bisnis dan teknologi.
Gambar 12. Tri Tunggal Kewirausahaan.
6.3 Sinergi BIGFaCoM
Telah diuraikan bahwa pengembangan budaya kewirausahaan memerlukan
sinergi berbagai pihak. Triple Helix yang dikenal dengan sinergi BIG
(Business, Intellectual, Government) merupakan salah satu sinergi yang
diterapkan dalam program kewirausahaan. Sinergi BIG juga sering disebut
sinergi ABG (Academician, Business, Government). Ketiga unsur tersebut
merupakan unsur utama dalam pengembangan kewirausahaan yang efektif.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan kewirausahaan di perguruan
tinggi dihadapkan pada berbagai kondisi sebagai berikut:
1. Pengembangan wirausaha di perguruan tinggi pada umumnya
menyasar mahasiswa dan alumni berusia 18-25 tahun, baik program
diploma, S1 maupun S2. Kendali orang tua dan keluarga kepada
generasi muda kelompok usia 18-25 tahun pada umumnya masih
cukup kuat. Survei yang dilakukan kepada mahasiswa Universitas
Udayana Denpasar tahun 2010, menunjukkan hasil sebagai berikut:
(1) Sebanyak 56% responden (mahasiswa) menyatakan dirinya salah
jurusan; (2) Sebanyak 90% dari mereka mengaku salah jurusan,
karena mengikuti kemauan orang tua; (3) Sebanyak 80% responden
berminat menjadi wirausaha; dan (4) Sebanyak 70% dari responden
100
mengikuti kegiatan kewirausahaan secara sembunyi-sembunyi, karena
tidak disetujui orang tua. Selain itu terdapat fakta bahwa sebesar 60%
dari wirausaha baru yang dibentuk melalui Program Wirausaha
Mahasiswa menghentikan kegiatan usahanya dan menjadi pekerja
pada tahun kedua setelah memperoleh seed capital. Sekitar 65% dari
mereka menyatakan demi memenuhi permintaan orang tua dan
sisanya karena keinginan sendiri untuk tujuan mengumpulkan modal
usaha dan mencari pengalaman. Hasil survei tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar orang tua (masyarakat) masih menghendaki
anaknya sebagai pekerja (terutama PNS) atau berorientasi job seeker.
Tidak semua orang tua rela anaknya belajar berwirausaha dan
menekuni profesi sebagai wirausaha, karena dianggap terlalu berisiko.
Bahkan orang tua masih lebih memilih menggunakan uang yang
dikumpulkannya untuk menombok agar anaknya diterima bekerja
daripada menggunakannya untuk membantu permodalan usaha
anaknya. Tidaklah mudah bagi seseorang untuk menjadi wirausaha
apabila tidak memperoleh dukungan keluarga (family).
2. Kewirausahaan tidak akan dapat berhasil dengan baik apabila hanya
mengandalkan pelajaran di dalam kelas yang lebih banyak bersifat
teoretis. Kewirausahaan didesain untuk mengetahui (to know),
melakukan (to do), dan menjadi (to be) entrepreneur. Tujuan
pendidikan to know dan to do terintegrasi di dalam kurikulum
program studi, terdistribusi di dalam matakuliah Kewirausahaan.
Learning to know masih dapat dilakukan di dalam kelas, tetapi to do
dan to be entrepreneur membutuhkan praktik nyata di lapangan dan
berinteraksi dengan para pelaku. Kewirausahaan tidak cukup hanya
berbasis hafalan. Dalam implementasinya, dibutuhkan magang
(internships) dan sharing di luar kelas dengan para wirausaha muda
lainnya atau dengan wirausaha/pengusaha sukses. Hal ini dapat
dilakukan dengan mudah dan murah apabila mahasiswa wirausaha
tergabung dalam komunitas wirausaha muda.
3. Informasi Kewirausahaan sebagai suatu sistem mencakup
pengumpulan, pengolahan, penyampaian, pengelolaan, dan
penyebarluasan data dan/atau informasi tentang kewirausahaan. Data
101
dan informasi kewirausahaan seyogianya disajikan secara akurat,
cepat, dan tepat guna serta mudah diakses oleh masyarakat.
Penyebarluasan data/informasi kewirausahaan sangat penting, karena
dapat menyangkut hak masyarakat untuk memperoleh informasi
terlebih lagi yang berkaitan dengan peluang pembinaan, akses
permodalan, akses pasar bagi wirausaha dan pengambilan keputuan
bagi pemangku kepentingan. Kecepatan dan kemudahan mengakses
informasi kewirausahaan dapat membantu mempercepat tercapainya
tujuan pengembangan kewirausahaan. Peningkatan arus informasi
akan mempermudah akses masyarakat terhadap informasi
kewirausahaan. Kemudahan akses informasi akan mendorong
peningkatan aktivitas kewirausahaan dan perubahan pola pikir
masyarakat dari berorientasi job seeker agar menjadi job creator. Hal
ini tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa keterlibatan media.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas dan agar pergerakan
kewirausahan dapat mencapai tujuannya secara lebih efektif, maka
dilakukan pengembangan sinergi BIG yang terdiri dari tiga unsur utama
(Business, Intellectual, Government) menjadi sinergi BIG FaCoM dengan
menambahkan 3 unsur pendukung, yaitu Family, Community, dan Media.
Sinergi BIG FaCoM dapat digambarkan sebagai berikut:
102
Gambar 13. Sinergi BIG FaCoM. Sumber: Sutrisna Dewi, 2015.
Peran keenam unsur tersebut dalam pengembangan kewirausahaan
dapat dijelaskan sebagai berikut:
(ii) Business.
(iii) Intellectual.
(iv) Government.
(v) Family.
Keluarga terdiri dari kepala keluarga (ayah), ibu dengan anak-
anaknya. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama-tama dalam
kehidupan manusia tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai
manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.
Keluarga merupakan tempat aktivitas utama kehidupan seorang
individu berlangsung, sehingga keluarga menjadi institusi pertama
dan utama pembangunan sumber daya manusia (Soerjono, 2004).
Buchari Alma (2009) menyatakan bahwa latar belakang timbulnya
minat berwirausaha adalah lingkungan keluarga, pendidikan, nilai-
Sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
103
nilai (values) personal, usia, dan riwayat pekerjaan. Selain itu, Wasty
Soemanto mengatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan salah
satu tempat pelaksanaan pendidikan kewirausahaan selain lingkungan
sekolah, dan masyarakat. Situasi yang dialami orang tua pada era
mereka, belum tentu sama dengan situasi yang terjadi pada era anak-
anak mereka. Oleh karena itu, dalam pengembangan kewirausahaan di
kalangan generasi muda, hendaknya keluarga turut dilibatkan agar
keluarga dapat mengetahui dan memahami tren pendidikan dan
orientasi masyarakat saat ini, sehingga terjadi persamaan persepsi.
Dengan harapan terjadi peningkatan dukungan keluarga terhadap
aktivitas kewirausahaan di kalangan generasi muda dan mempercepat
terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dari job seeker ke job
creator.
(vi) Community.
Manusia sebagai mahluk sosial di dalam kehidupannya harus
berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan
kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Proses
komunikasi dalam komunikasi bisnis merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan sosial masyarakat yang mampu menjamin eksistensi
individu maupun kelompok masyarakat (komunitas). Dimaksud
community di sini adalah komunitas, yaitu sebuah kelompok sosial
dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya
memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas
manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,
kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko, dan
sejumlah kondisi serupa yang lain. Komunitas berasal dari bahasa
Latin communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian menjadi communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak” (Tubbs and Moss, 2013).
Peran komunitas dalam pengembangan kewirausahaan adalah
sebagai berikut: sebagai sumber informasi; wahana komunikasi dan
promosi bisnis; arena diskusi untuk pemecahan masalah dan
menghadapi persaingan; ajang berbagi rahasia sukses; dan sarana
saling memberi dukungan antaranggota.
104
(vii) Mass Media
Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan
kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol
tetapi juga dalam pengertian pengembangan tatacara, mode, gaya
hidup dan norma-norma. (Mc Quail, 1987: 1). Media massa sangat
berperan dalam perkembangan atau bahkan perubahan pola tingkah
laku dari suatu masyarakat, oleh karena itu kedudukan media massa
dalam masyarakat sangat penting. Dengan adanya media massa,
masyarakat yang tadinya dapat dikatakan tidak beradab dapat menjadi
masyarakat yang beradab. Hal itu disebabkan, oleh karena media
massa mempunyai jaringan yang luas dan bersifat massal sehingga
masyarakat yang membaca tidak hanya orang per orang tapi sudah
mencakup jumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan pembaca, sehingga
pengaruh media massa akan sangat terlihat di permukaan masyarakat.
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam
masyarakat modern telah memainkan peranan yang begitu penting.
Menurut McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories,
ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.(McQuail, 2000:
66): Pertama, melihat media massa sebagai window on event and
experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan
khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media
merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in
society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai
peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa
adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak
“bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka
faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari
suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing
dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan
oleh para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas
untuk mengetahui apa yang mereka inginkan. Ketiga, memandang
media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai
105
hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu,
informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para
pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-
apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian. Keempat, media
massa seringkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau
interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas
berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam. Kelima,
melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan
berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga
memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik. Keenam,
media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat
berlalulalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang
memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif. Pendeknya, semua
itu ingin menunjukkan, peran media dalam kehidupan sosial bukan
sekadar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi
dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan
dalam proses sosial.
106
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. 2011. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta.
Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/.
Bygrave, W. D. 2004. The entrepreneurial process. The portable MBA in
entrepreneurship. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Dewi, Sutrisna. 2015. Strategi Pengembangan Kewirausahaan Melalui
Sinergi BIG FaCoM. Makalah Seminar.
Grebel, Thomas ; Pyka, Andreas ; Hanusch, Horsch. 2003. Evolutionary
Approach to the Theory of Entrepreneurship, Industry and
Innovation, Vol. 10, No. 4, December.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen. Cetakan Kedelapanbelas.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Hisrich, R. D. 2005. Entrepreneurship. Sixth Edition. New York:
McGraw-Hill.
Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Kewirausahaan
Nasional.
Joewono, Handito. 2011. Strategi Pengembangan Kewirausahaan
Nasional Sebuah Rekomendasi Operasional, INFOKOP, Vol. 19,
Juli.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, http://www.kbbi.web.di.
Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang
Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang
Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat
Kemitraan.
Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil
dan Menengah.
Leach dan Melicher.2012. Entrepreneurial Finance. Edisi keempat. USA:
South-Western Cengage Learning. http://www.CengageBrain.com.
McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory. Fourth Edition.
London: SAGE Publications Ltd
107
Nassif. 2010. Understanding the Entrepreneurial Process: a Dynamic
Approach. Brazilian Administration Review. Curitiba, v. 7, n. 2,
art. 6, pp. 213-226, Apr./June 2010. http://www.anpad.org.br/bar
BAR.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2011 tentang
Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda, serta
Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2013 tentang
Susunan Organisasi, Personalia, dan Mekanisme Kerja Lembaga
Permodalan Kewirausahaan Pemuda.
Peraturan Presiden RI Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan
Inkubator Wirausaha.
Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan.
PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kecil.
PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.
Shane, Scott Andrew. 2003. A General Theory of Entrepreneurship: The
Individual-opportunity Nexus. Edward Elgar Publishing.
Suryana. 2013. KEWIRAUSAHAAN Kiat dan Proses Menuju Sukses.
Jakarta Penerbit Salemba Empat.
Taufik, Tatang Ahmad. 2010. Kemitraan dalam Pemusatan Sistem Inovasi
Nasional. Jakarta: Dewan Riset Nasional.
Thurik, Wennekers dan Zoetermeer. 2002. Entrepreneurship and
Economic Performance: a Macro Perspective, SCALES-paper
N200220.
Tubbs & Moss. 2013. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar.
Bandung: Rosdakarya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Webster, Merriam. http://www.merriam-webster.com.
108
PROFIL
Nama : Sayu Ketut Sutrisna Dewi TTL : Denpasar, 27 November 1963 Pendidikan : Sedang menyelesaikan studi
S3. Pekerjaan/Jabatan sekarang:
Dosen FEB Unud.
Ketua Inkubator Bisnis Unud.
Ketua Pusat Pengembangan Kewirausahaan Unud.
Founder Indonesia YES (Young
Entrepreneur School).
Ketua Jaringan Pengusaha Hindu Indonesia (JAPHA).
Founder PRASCITA Empowerment.
Ketua Yayasan Gatra Wirausaha. Penghargaan:
Pengelola Program Wirausaha Terbaik Nasional 2010 (Mendiknas).
Pembina Kegiatan Kemahasiswaan Terbaik 2011 (Rektor Unud).
The Best Government Public Services 2013 (Markplus).
Penggerak Wirausaha Terbaik Nasional 2013 (Menpora).
Indonesia Small Medium Business Entrepreneur Award 2014 (Majalah Wirausaha dan Keuangan).
Top 10 L‟Oreal Women of Worth Indonesia 2014.
Dosen berprestasi Universitas Udayana 2016.
Email : sutrisnadewi@yahoo.co.id HP : 087824629422 Ph/Fax : 0361 – 227056 Alamat kantor: Gedung Hiswana Migas Bali Lantai 1 – Jl. Kepundung 12 Denpasar.
Recommended