View
13
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan
Annisa Luthfiarrahman, Eva Latifah
Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Email: annisa.luthfiarrahman@ui.ac.id
Abstrak Penelitian ini membahas penokohan dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak, yang berkisah tentang seekor ayam petelur yang ingin mengerami dan menetaskan telurnya sendiri. Tujuan penelitian ini adalah memaparkan perubahan yang terjadi pada unsur penokohan yang timbul akibat proses ekranisasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif-analitis dengan kajian struktural. Hasil penelitian menunjukkan perubahan terjadi terutama pada penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan yang menjelaskan latar. Perubahan tersebut mendorong adanya perbedaan pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara film dengan pesan pengarang novelnya.
Madangeul Naon Amtak Novel and Film: An Analysis of Characterization
Abstract This research discusses characterization in Madangeul Naon Amtak novel and film, which tell about a hen that wants to brood on its own eggs. The objective of this research is to explain the changes happened in characterization as a result of écran. The method applied is descriptive-analytic with structural study. The results show that changes happened mainly in characterization of main character and pheripheral characters which explain the settings. The changes lead to the message sent by film’s director being different from the one sent by novel’s writer. Keywords: characterization; écran; fable;novel adaptation Pendahuluan
Seperti halnya kesusasteraan Indonesia, kesusasteraan Korea juga mengenal fabel, cerita
yang tokohnya adalah binatang. Jika di Indonesia terdapat tokoh Si Kancil yang suka mencuri
ketimun, maka di Korea terdapat tokoh beruang yang ingin berubah menjadi manusia.
Hewan-hewan yang banyak muncul di fabel-fabel Korea di antaranya harimau, rubah, dan
kelinci (Flinn, 2011). Selain itu, fabel-fabel Korea juga mengenal karakter gumiho, rubah
berekor sembilan, yang tidak dikenal dalam fabel-fabel Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 312), fabel adalah “cerita yang
menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi
pendidikan moral dan budi pekerti)”. Dalam bahasa Korea, fabel disebut우화 (寓話) (uhwa).
‘외국인을 위한 문학사’ (Oegugineul Wihan Munhaksa/Sejarah Kesusasteraan Korea untuk
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
Orang Asing) (Lee, 2012: 169) mendefinisikan 우화 sebagai “cerita dengan tokoh utama
hewan, tumbuhan, dan benda mati yang berbicara dan berperilaku seperti manusia, yang di
dalam perilaku tokoh-tokohnya itu terkandung satir dan nilai moral”. Dari kedua definisi
tersebut, bisa disimpulkan fabel merupakan cerita yang menggunakan binatang sebagai
tokohnya dan berisi pendidikan moral.
Madangeul Naon Amtak merupakan sebuah novel karya Hwang Sunmi, penulis yang
disebut-sebut sebagai penulis donghwa yang paling mewakili masa kontemporer, yang
diterbitkan pada 29 Mei 2000. Secara harfiah Madangeul Naon Amtak dapat diartikan sebagai
“Ayam yang Keluar ke Halaman”. Buku ini berhasil terjual lebih dari dua juta kopi di Korea
Selatan dan telah diterjemahkan ke lebih dari sepuluh bahasa termasuk bahasa Indonesia.
Edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Dwita Rizki Nientyas dan diterbitkan oleh
Penerbit Qanita (Mizan Group) pada Februari 2013 dengan judul Leafie: Ayam Buruk Rupa
dan Itik Kesayangannya. Edisi bahasa Polandia buku ini diberi penghargaan “Best Book of
the Year 2012” dan “Best Book of Spring 2012” oleh Granice.pl, sebuah organisasi literatur
ternama di Polandia (Chung, 2013).
Tokoh utama dari buku ini adalah seekor ayam petelur bernama 잎싹 (Ipssak) yang ingin
menetaskan telurnya sendiri. Keinginan tersebut menjadi hal yang mustahil karena setiap hari
telur-telurnya selalu diambil oleh majikannya untuk dikonsumsi. Suatu saat, Ipssak berhasil
kabur dari peternakan. Dalam perjalanan kaburnya dari peternakan, Ipssak nyaris dimangsa
oleh족제비 (Jokjebi/Musang), tetapi ia diselamatkan oleh 나그네 (Nageune), seekor bebek
liar. Ipssak lalu tinggal di rawa dan menemukan sebuah telur yang kemudian ia erami. Telur
itu ternyata merupakan telur bebek. Ipssak membesarkan bebek tersebut seperti anaknya
sendiri dan memberinya nama 초록멀이 (Chorokmeori). Bersama Chorokmeori, Ipssak
terlibat dalam beragam petualangan, mulai dari perjuangan melawan Jokjebi hingga
bertemunya Chorokmeori dengan koloninya.
Kesuksesan novel Madangeul Naon Amtak mendorong sutradara Oh Sungyoon dari
Studio Myung Films bekerja sama dengan Studio Odolttogi mengangkat cerita tersebut
menjadi film animasi. Dirilis pada 28 Juli 2011, film berdurasi 93 menit ini mencetak sejarah
box office di Korea Selatan sebagai film animasi produksi dalam negeri dengan jumlah
penonton terbanyak, lebih dari 2,2 juta orang (Leafie, A Hen, 2011). Film ini memenangkan
penghargaan Best Sitges Family Film Diploma di Sitges Film Festival 2011, Spanyol dan Best
Animated Feature Film di Asia Pacific Screen Awards 2011 yang digelar di Australia.
Seperti karya-karya sastra lain yang diangkat menjadi film, tidak semua bagian dalam film
Madangeul Naon Amtak sama dengan bukunya. Ada bagian-bagian dari buku yang diubah
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
atau dihilangkan. Karya sastra yang diangkat menjadi film dikatakan telah mengalami proses
ekranisasi. Pamusuk Erneste (1991: 60) mendefinisikan ekranisasi sebagai pelayarputihan,
pemindahan atau pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film. George Bluestone
(1957) seperti yang tertera dalam ‘문학비평 용어사전’ (Munhakbipyeong Yongeosajeon/
Kamus Istilah Kritik Sastra) (한국문학평론가협회, 2006: 241) berpendapat bahwa film
merupakan karya seni dalam bentuk reproduksi dan persepsi jika dipandang dalam konsep
bentuk novel. Walaupun sebuah film dibuat sesetia mungkin dengan karya sastra aslinya,
pasti akan terdapat perubahan akibat interpretasi subjektif penulis naskah film terhadap karya
sastra aslinya yang penggambarannya terbatas hanya melalui untaian kata-kata.
Setelah membaca buku dan menonton film Madangeul Naon Amtak, penulis tertarik untuk
untuk menjadikannya topik penelitian skripsi. Meskipun ada banyak bagian dari buku yang
diubah di sana-sini, hal tersebut tidak menghalangi film Madangeul Naon Amtak mendulang
kesuksesan seperti bukunya. Dari berbagai aspek yang mengalami perubahan, perubahan yang
lebih jelas untuk diamati terletak pada unsur intrinsiknya, terutama penokohan. Oleh karena
itu, penelitian ini hanya akan membahas mengenai penokohan kedua bahan sumber, yaitu
buku dan film.
Unsur intrinsik dari suatu karya sastra meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut
pandang. Dari kelima unsur tersebut, dalam film Madangeul Naon Amtak, yang mengalami
perubahan paling signifikan adalah penokohannya. Oleh karena itu, masalah yang diangkat
dalam penelitian ini ada dua. Yang pertama, bagaimana perubahan penggambaran penokohan
dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak yang ditimbulkan oleh proses ekranisasi?
Sementara yang kedua, apa pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel dan sutradara
film Madangeul Naon Amtak?
Sejalan dengan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
penggambaran penokohan dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak serta menjabarkan
perubahan apa saja yang terjadi dalam penokohan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan menjelaskan perbedaan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel dan
sutradara film kepada khalayak. Dengan membaca hasil penelitian ini, diharapkan pembaca
akan dapat memahami novel dan film Madangeul Naon Amtak dengan lebih baik.
Tinjauan Teoritis
Dalam sebuah cerita, tokoh memegang peranan yang penting. Tokoh hampir selalu
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan, amanat, atau moral yang ingin
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Menurut Sudjiman (1992: 16), tokoh
merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai
peristiwa cerita. Kebanyakan tokoh berwujud manusia, tetapi ini tidak menutup kemungkinan
adanya tokoh yang memiliki wujud binatang atau benda-benda yang di‘manusia’kan.
Sudjiman (1992: 17-22) juga membagi tokoh ke dalam beberapa kelompok, sebagai berikut.
1. Berdasarkan fungsinya, tokoh terdiri atas:
a. tokoh sentral, meliputi tokoh protagonis dan tokoh antagonis;
b. tokoh bawahan;
c. tokoh andalan; dan
d. tokoh tambahan.
2. Berdasarkan cara menampilkannya, tokoh terdiri atas:
a. tokoh datar, yang watak tokohnya sampai akhir hanya sedikit sekali berubah;
b. tokoh bulat, yang memiliki lebih dari satu ciri watak yang digarap di dalam cerita; dan
c. tokoh lataran, yang berfungsi sebagai bagian dari latar cerita.
Dalam penelitian ini, penulis mengelompokkan tokoh-tokoh dalam novel dan film
Madangeul Naon Amtak ke dalam tiga kelompok, yaitu tokoh utama, tokoh bawahan, dan
tokoh latar. Penulis menambahkan kelompok tokoh latar karena mempertimbangkan novel
dan film Madangeul Naon Amtak memiliki cukup banyak tokoh bawahan yang
kemunculannya digunakan untuk menghiasi latar tempat dalam cerita.
Akhir-akhir ini dikenal istilah ekranisasi dan deekranisasi, yang terkait dengan
transformasi dari karya sastra dan film. Istilah ini berasal dari kata écran dalam bahasa
Perancis yang berarti “layar”. Transformasi dari karya sastra ke bentuk film disebut ekranisasi,
sementara sebaliknya disebut deekranisasi (Erneste, 1990: 60). Novel dan film, walau
memiliki metode ekspresi yang berbeda, memiliki satu denominator krusial yang sama, yaitu
narasi. Go (2013: 84) menyatakan inilah yang menyebabkan keduanya dapat diperbandingkan,
meski memiliki media yang berbeda.
Keberhasilan film yang diadaptasi dari novel tergantung pada sejauh mana sutradara
mampu menerjemahkan isi novel ke dalam bahasa film. Seperti yang tertera pada ‘문학비평
용어사전’ (한국문학평론가협회, 2006: 241), S. Field berpendapat, “Saat mengadaptasi novel,
tidak ada aturan yang menyatakan film harus setia kepada karya aslinya. Skenario tidak boleh
mengkopi begitu saja dari novel. Proses visualisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
skenario yang dihasilkan mampu menjelaskan novel melalui video”. Selain itu, perbedaan
media yang digunakan juga menyebabkan film hasil adaptasi dari karya sastra pasti memiliki
perbedaan dengan karya sastra aslinya. Dick (2002: 256) berujar, “In the transfroming
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
process, characterization has been reduced to dialogue, which is all the playwright has at his
or her disposal”. Walaupun begitu, seberbeda apapun film hasil adaptasi dari karya sastra
aslinya, film hasil adaptasi tetap harus mengandung inti yang sama dengan karya sastra
aslinya. Ini sejalan dengan pendapat Krevolin (2003: 13) yang menyatakan film adaptasi yang
sempurna menangkap kebenaran dari karya asli dan membawanya ke layar lebar, bukan
sekedar melakukan transkripsi secara harfiah dan setia terhadap materi sumber, yang dalam
banyak hal mustahil untuk dilakukan.
Analisis film berpegang pada teori yang sama dengan analisis novel. Lee (2009: vii-viii)
berpendapat film meminjam sebagian besar pola ekspresi dari novel sejak kelahirannya
karena keduanya sama-sama memiliki narasi yang di dalamnya terkandung cerita atau alur.
Sementara itu, Joseph M. Boogs menyatakan dalam bukunya Cara Menilai Sebuah Film
(1992: 24) bahwa sastra dan film memiliki banyak unsur yang sama. “Meskipun keduanya
adalah media yang berbeda, keduanya mengkomunikasikan bermacam hal dengan cara yang
sama. Analisis film yang perspektif dibangun atas unsur-unsur yang dipakai dalam analisis
sastra”. Secara spesifik, Boogs (1992: 53-62) menjelaskan ada enam cara untuk menganalisis
tokoh dalam film. Cara pertama melalui penampilan, cara kedua melalui dialog, cara ketiga
melalui aksi eksternal dan internal serta reaksi tokoh lain, cara keempat melalui leitmotif dan
pemilihan nama (name-typing), cara kelima melalui analisis karakter baku dan stereotip, serta
cara keenam melalui analisis karakter statis dan karakter berkembang.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis dengan
kajian struktural. Penelitian dilakukan dengan urutan sebagai berikut. Pertama, penulis
mendeskripsikan penokohan dari masing-masing novel dan film. Kedua, penulis menganalisis
hubungan unsur penokohan dari novel dan film dengan kajian struktural. Setelah itu, penulis
mendeksripsikan perubahan unsur penokohan yang terjadi di film.
Analisis
Tidak seperti novel yang hanya memiliki aspek naratif, film juga memiliki aspek
sinematik sebagai pembentuknya. Aspek naratif merupakan hal-hal yang terkait dengan cerita
dari film itu sendiri. Sementara aspek sinematik berkaitan dengan perlakuan estetik yang
diberikan kepada cerita filmnya. Menurut Pratista (2008: 1), aspek sinematik dibagi menjadi
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
empat bagian, yaitu mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Mise-en-scene, yang
merupakan segala hal yang terletak di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam
proses produksi film, meliputi setting, kostum dan tata rias, pencahayaan, serta pemain dan
pergerakannya, sedangkan sinematografi mencakup kamera, framing, dan durasi gambar.
Dalam mengadaptasi novel menjadi film, aspek naratif dan aspek sinematik harus
memiliki kesesuaian antara satu sama lain. Inilah yang menyebabkan terjadinya ekranisasi.
Dari segi tokoh, misalnya, jumlah tokoh dapat mengalami penciutan atau justru mengalami
penambahan. Louis Giannetti (1998: 390-394) membagi model pendekatan adaptasi novel
menjadi film tiga, yaitu loose, faithful, dan literal. Pada pendekatan loose, sutradara hanya
mengambil intisari dari novel yang akan diadaptasi. Sutradara dapat menerjemahkan novel ke
dalam film secara bebas sesuai keinginannya, asalkan intinya tetap sama. Berlawanan dengan
loose, faithful mewajibkan sutradara untuk setia dengan novel aslinya. Seperti seorang
penerjemah, baik dalam aspek tema, tokoh, latar, alur, fokalisasi, dan motif, sutradara harus
mengikuti persis karya aslinya. Sementara itu, pendekatan literal sedikit berbeda dengan loose
dan faithful. Adaptasi dengan pendekatan ini biasanya tidak mengacu pada novel, tetapi pada
naskah drama. Karena naskah drama sudah memuat lakon, sutradara hanya mengubah latar
ruang dan waktu saja.
Berdasarkan data-data yang disajikan pada bab 3 dan bab 4, terlihat kalau sutradara Oh
Sungyoon mengguanakan pendekatan loose dalam mengadaptasi novel Madangeul Naon
Amtak. Inti cerita film sama dengan novel, yaitu tentang petualangan seekor ayam petelur
bernama Ipssak, yang memiliki mimpi mengerami telur dan menyaksikan kelahiran anak
ayam, setelah ia keluar dari peternakan kemudian membesarkan seekor anak bebek liar. Baik
film maupun novel sama-sama bertemakan perjuangan menggapai impian dan kasih sayang
ibu, tetapi di film, tema kasih sayang ibu terasa lebih kental. Sutradara Oh Sungyoon
menggunakan 62 menit untuk menceritakan perjuangan Ipssak membesarkan Chorok (mulai
adegan Chorok menetas sampai akhir cerita), dan hanya menggunakan 26 menit dalam
mengisahkan bagaimana Ipssak mengejar mimpinya (dari awal cerita sampai adegan Chorok
menetas). Sementara itu, pengarang Hwang Sunmi menghabiskan 79 dari 182 halaman novel
untuk menggambarkan Ipssak mengejar mimpinya.
Perbedaan media ekspresi antara novel dan film menuntut cara penyajian yang berbeda.
Tidak seperti novel, film tidak memiliki keleluasaan untuk menggambarkan pemikiran tokoh.
Di sisi lain, film membutuhkan konflik yang lebih intens dan klimaks yang lebih kuat
dibandingkan novel untuk ditampilkan secara visual. Demi mengejar dua hal tersebut, dalam
film Madangeul Naon Amtak ini, sutradara melakukan banyak penambahan, baik penambahan
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
tokoh maupun alur, mengubah hampir semua watak tokoh-tokoh di film, juga menggeser titik
berat tema film. Penyajian watak tokoh di film dilakukan lebih banyak melalui dialog-dialog
interaksi antartokoh. Beberapa tokoh diberikan ciri-ciri khusus yang membuatnya menjadi
tampak lebih menarik dan lebih hidup.
Dalam wawancara dengan Barry Welsh dari 10 Magazine Book Club, pengarang Hwang
Sunmi menyatakan banyak orang langsung menyangka novelnya bertemakan pengorbanan
seorang ibu karena tokoh utamanya adalah ayam betina. Berdasarkan pendapatnya,
sebenarnya ia hanya ingin menceritakan bagaimana manusia menjalani kehidupannya,
perjalanan panjang mengenai bagaimana manusia mengejar mimpi-mimpinya. Ia
menggunakan ayam betina karena ia memerlukan tokoh utama perempuan. Pilihan jatuh
kepada ayam betina karena ayam betina memiliki masa mengerami telur, yang ia jadikan
simbol sebagai proses manusia menjadi lebih dewasa. Selain itu, kata 마당 (madang/halaman)
dipilih sebagai judul karena melambangkan sebuah tempat yang luas dan banyak
tantangannya. Menurutnya Madangeul Naon Amtak secara harfiah berarti “a person going out
into the wild”. Ketika ditanya pendapatnya mengenai film animasi Madangeul Naon Amtak,
pengarang Hwang Sunmi mengatakan bahwa filmnya “quite different from my expectation”.
Ia juga sempat mengkhawatirkan popularitas para aktris dan aktor pengisi suara justru akan
mencuri perhatian masyarakat dari cerita filmnya sendiri. Akan tetapi, secara umum ia sangat
mengapresiasi kerja keras dari seluruh tim produksi (Montgomery, 2014).
Pada wawancara terpisah, sutradara Oh Sungyoon mengakui bahwa film Madangeul Naon
Amtak memiliki target kelompok usia yang lebih muda dibanding novelnya. Ia menjelaskan
ada dua hal yang mendasari penambahan unsur-unsur baru dalam film. Alasan pertama, cerita
novel dirasa cukup berat bagi anak-anak terutama dengan pemikiran Ipssak yang filosofis.
Oleh karena itu, ditambahkan tokoh-tokoh bawahan yang kental dengan unsur komedi. Alasan
kedua, jika dipandang dari perspektif skenario, cerita novel aslinya tidak memiliki klimaks.
Itu sebabnya sutradara Oh Sungyoon menambahkan adegan Turnamen Terbang yang
menghabiskan durasi selama sepuluh menit sendiri (Choi, 2011).
Berikut ini akan dipaparkan analisis perbandingan tokoh dan penokohan dalam novel dan
film Madangeul Naon Amtak. Pemaparan akan dibagi sesuai jenis tokoh, yaitu tokoh utama,
tokoh bawahan, dan tokoh latar, serta kemunculannya dalam novel dan film.
1. Tokoh Utama dalam Novel dan Film: Ipssak
Secara umum, penggambaran tokoh Ipssak dalam film sama dengan penggambaran dalam
novel. Di dalam kedua karya, Ipssak merupakan seekor ayam petelur yang ingin keluar dari
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
peternakan karena ingin mengerami telurnya sendiri dan melihat kelahiran anak ayam. Ia
dikeluarkan dari peternakan setelah dianggap mati lemas dan dibuang pemilik peternakan ke
lubang pembuangan ayam sekarat. Baik dalam novel maupun film, Ipssak diselamatkan oleh
Nageune dari serangan Aekkunun. Penggambaran fisik Ipssak di novel dan film juga relatif
sama, kecuali Ipssak di film digambarkan selalu menyelipkan sekuntum bunga berwarna ungu
di ekornya sejak tinggal di rawa.
Sebagai individu, baik dalam novel maupun film, Ipssak digambarkan memegang teguh
impiannya mengerami telur dan menyaksikan kelahiran anak ayam. Penggambaran dalam
novel dan film mengenai Ipssak sebagai individu yang tidak mudah menyerah pun tidak jauh
berbeda, yaitu pada saat diserang Aekkunun setelah ia dibuang ke lubang pembuangan ayam
sekarat, saat membebaskan Chorokmeori dari tangan peternak, dan saat mematuki tali yang
terikat di kaki Chorokmeori. Yang berbeda, di dalam novel, Ipssak memiliki kebiasaan
mengamati pohon akasia di depan ruang ternak dan berpikir mengenai banyak hal. Kebiasaan
ini tidak muncul pada tokoh Ipssak di film. Selain itu, Ipssak di novel mengungkapkan ide-ide
dan pendapatnya melalui pemikiran saja, karena ia tidak memiliki lawan bicara untuk berbagi
pikiran. Sementara di film, Ipssak digambarkan sebagai sosok yang ceria dan bawel. Ia
mengutarakan ide-ide dan pendapatnya secara bebas terutama kepada kedua temannya yaitu
Jjaek dan Dalsu. Hal lain yang juga ditampilkan di film tapi tidak muncul di novel adalah
kreativitas Ipssak dalam memberikan nama. Kebanyakan nama tokoh yang muncul di film
merupakan hasil kreasi Ipssak.
Dalam menghadapi tokoh lain, Ipssak di novel berkebalikan dengan Ipsask di film. Di
novel Ipssak selalu berhati-hati menghadapi tokoh-tokoh lain, karena tokoh-tokoh tersebut
selalu berusaha memisahkan Chorokmeori dari dirinya. Sebaliknya, di film, Ipssak menjadi
tokoh yang selalu menyapa tokoh lainnya terlebih dahulu. Keramahan dan kesukaannya
memberi nama bahkan terkadang dianggap sebagai tindakan sok akrab oleh Dalsu.
Sebagai ibu, Ipssak baik di novel maupun film digambarkan sama-sama menempatkan
Chorokmeori pada prioritas utamanya. Walau begitu, hubungan mereka berdua tidak selalu
baik. Ada masa-masa saat Chorokmeori tidak menyukai keberadaan Ipssak. Yang
membedakan, Ipssak di film melakukan lebih banyak usaha-usaha supaya bisa masuk ke
dunia Chorokmeori. Ia sampai mengikatkan daun di kaki-kakinya dan meminta Dalsu
mengajarkannya berenang ketika Chorokmeori berkata anak-anak bebek lain mengolok-
oloknya karena Ipssak tidak bisa berenang. Kasih sayang Ipssak sebagai ibu, baik dalam novel
maupun film, ditampilkan tidak hanya dicurahkan kepada Chorokmeori semata, tetapi juga
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
terhadap anak-anak Aekkunun yang masih sangat kecil-kecil. Dibanding sifat-sifat Ipssak
lainnya, sifat ibu yang penuh kasih sayang paling ditonjolkan di dalam film.
Tema kasih sayang ibu yang diwujudkan dalam bentuk spesifik berupa hubungan antara
ibu dan anak laki-lakinya, seperti hubungan antara Ipssak dan Chorokmeori, banyak diangkat
dalam film dan drama di Korea Selatan, contohnya dalam film 엄마 (Eomma/Mother) yang
dirilis tahun 2009. Hubungan antara ibu dan anak laki-lakinya sering digambarkan lebih kuat
dari pada hubungan antara ibu dengan anak perempuannya atau hubungan ayah dengan anak
laki-lakinya. Terkadang, sang ibu bahkan sampai lebih mengutamakan anak laki-lakinya
dibanding anak perempuannya, seperti yang terlihat dalam drama 농쿨째 굴러온 당신
(Neongkuljjae Gulleoon Dangshin/Unexpected You), 제빵왕 김탁구 (Jeppangwang Kim Tak
Gu/Baker King, Kim Tak Goo), dan King 2 Hearts. Lebih jauh, adakalanya kasih sayang ibu
terhadap anak laki-lakinya diceritakan terlalu berlebihan sampai-sampai sang ibu berusaha
mengendalikan hidup anak laki-lakinya. Konflik yang paling sering dimunculkan terkait
dengan tipe ibu seperti ini adalah sang ibu tidak menyetujui pasangan hidup pilihan anak laki-
lakinya dan berusaha sekuat tenaga memisahkan anak laki-lakinya dengan perempuan
tersebut. Banyak sekali drama-drama Korea yang menggunakan masalah tersebut sebagai
konflik utamanya, seperti drama 꽃보다 남자 (Kkotboda Namja/Boys Before Flowers), Secret
Garden, dan 응급남녀 (Eunggeup Namnyeo/Emergency Couple).
Baik dalam novel maupun film, keluarga halaman tidak ada yang menyetujui rencana
Ipssak untuk tinggal bersama mereka di halaman. Perlakuan mereka terhadap Ipssak pun tidak
ada yang bersahabat. Akan tetapi, reaksi Ipssak terhadap perlakuan keluarga halaman di film
berbeda dengan di novel. Ipssak di novel tidak melawan perlakuan kasar Ayam Betina dan
Anjing dan pergi begitu saja sesuai perintah Ayam Jantan. Ipssak di film, meskipun akhirnya
tetap pergi meninggalkan halaman seperti perintah Ayam Jantan, awalnya berusaha
menentang dan melawan Ayam Jantan. Saat Ayam Jantan berusaha menghalangi Ipssak,
Chorokmeori, dan Dalsu kabur dari peternakan setelah Ipssak dan Dalsu menyelamatkan
Chorokmeori dari peternak, Ipssak bahkan berani menyerang Ayam Jantan sampai jambul
besarnya yang palsu lepas.
Kejadian yang dialami Ipssak sejak dibuang ke lubang pembuangan ayam sekarat sampai
kelahiran Chorokmeori dimunculkan dalam urutan yang sama baik di novel maupun di film:
diselamatkan oleh Nageune dari serangan Aekkunun di lubang pembuangan ayam sekarat,
kembali ke halaman tetapi diusir oleh Ayam Jantan, tinggal di semak mawar, kemudian
menemukan Chorokmeori yang masih berbentuk telur dan mengeraminya. Perbedaan terdapat
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
pada tindakan Ipssak setelah Chorokmeori menetas. Di film, Ipssak langsung pergi ke rawa
seperti perintah Nageune. Sedangkan di novel, meskipun Nageune menyuruh Ipssak
membawa Chorokmeori ke bendungan, Ipssak justru kembali ke halaman, membuat
Chorokmeori ditangkap oleh peternak. Setelah membebaskan Chorokmeori dari peternak,
barulah Ipssak membawa Chorokmeori ke bendungan.
2. Tokoh Bawahan dalam Novel dan Film
Tokoh bawahan, baik dalam novel maupun film, memiliki interaksi yang paling intens
dengan Ipssak. Semua tokoh bawahan dalam novel muncul dalam film, tetapi ada tokoh
bawahan dalam film yang tidak muncul dalam novel. Analisis mengenai tokoh bawahan akan
dibagi menjadi dua yaitu tokoh bawahan baik dalam novel maupun dalam film serta tokoh
bawahan dalam film dan tidak dalam novel.
2.1 Tokoh Bawahan Baik dalam Novel Maupun dalam Film
Ada tiga tokoh bawahan yang muncul baik dalam novel maupun dalam film, yaitu
Chorokmeori, Nageune, dan Aekkunun.
2.1.1 Chorokmeori
Jika di dalam novel tokoh ini disebut Chorokmeori, di film, tokoh ini dipanggil Chorok
saja. Chorokmeori merupakan anak dari Nageune dan Ppoyan Ori. Ipssak adalah sosok
pertama yang dilihat Chorokmeori setelah menetas, sehingga ia menganggap Ipssak adalah
ibunya. Baik di novel maupun di film, Chorokmeori diceritakan tidak pernah bertemu dengan
kedua orang tuanya sama sekali.
Dibesarkan oleh seekor ayam betina membuat Chorokmeori mengalami krisis identitas.
Di novel dan di film digambarkan, seiring bertambahnya usia, Chorokmeori menyadari
perbedaan-perbedaan yang ada antara dirinya dan Ipssak. Chorokmeori tidak bisa belajar
mengenai berenang dan terbang dari Ipssak. Chorokmeori di novel belajar berenang secara
tidak sengaja ketika terjatuh ke dalam air, dan belajar terbang juga secara tidak sengaja ketika
dikejar-kejar Aekkunun. Chorok di film belajar berenang setelah meniru seekor katak dan
belajar menyelam dari Dalsu. Melalui anjuran Dalsu juga, Chorok di film belajar terbang pada
Kelelawar dan Burung Hantu, tetapi tidak berhasil. Pada akhirnya, sama seperti Chorokmeori
di novel, yang membuat Chorok di film bisa terbang adalah karena dikejar Aekkunun sampai
ke tepi jurang.
Chorokmeori di novel digambarkan sebagai individu yang penyendiri karena ditolak oleh
para bebek peliharaan di halaman dan kawanan bebek liar yang beristirahat di bendungan. Di
film, keinginan Chorok untuk bergabung dengan bebek-bebek lain lebih ditonjolkan.
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
Beberapa kali diperlihatkan adegan Chorok memperhatikan anak-anak bebek Mandarin di
rawa bermain-main dari jauh. Chorok di film sampai menyalahkan Ipssak sebagai penyebab
dirinya dijauhi oleh bebek-bebek lain. Penambahan karakter ini oleh sutradara kemungkinan
besar dilakukan untuk menonjolkan karakter ibu yang penuh kasih dari tokoh Ipssak, karena
kemudian diceritakan Ipssak berusaha belajar berenang demi Chorok.
Bagian Chorokmeori menjadi pasukkun di novel sebenarnya tidak dibahas secara
mendetail, tetapi di film bagian ini mendapat porsi yang cukup besar. Untuk kepentingan
jalan cerita yang menarik, sutradara mengangkat proses Chorok diangkat sebagai pasukkun
menjadi perlombaan terbang yang penuh dengan adegan-adegan seru yang dapat memacu
adrenalin penonton.
2.1.2 Nageune
Seperti halnya Chorokmeori, Nageune merupakan seekor bebek melewar. Ia adalah
pasangan dari Ppoyan Ori dan ayah dari Chorokmeori. Penggambaran Nageune di novel dan
di film tidak jauh berbeda. Ia merupakan sosok yang tidak banyak bicara dan sangat
membenci Aekkunun. Sebelum tinggal di halaman, Nageune adalah pasukkun bagi kawanan
bebek liar. Di film dijelaskan lebih lanjut bahwa Nageune memiliki kemampuan terbang yang
paling baik di antara bebek-bebek lain di kawanannya.
Sifat penuh perhitungan Nageune di novel digambarkan dengan detail yang berbeda di
dalam film. Di novel, Nageune menyuruh Ipssak membawa Chorok ke 저수지
(jeosuji/bendungan), sementara di film Nageune menyuruh Ipssak membawa Chorok ke 늪
(neup/rawa). Dalam film, sifat rela berkorban Nageune juga lebih dieksplor. Ia digambarkan
tidak hanya menjaga Ipssak dan Chorok dari intaian Aekkunun, tetapi dengan sengaja
menyediakan dirinya untuk dimangsa Aekkunun agar Ipssak dan Chorok memiliki lebih
banyak waktu untuk melarikan diri. Di sisi lain, sifat penyendiri Nageune mengalami
penciutan di film. Ketika menyelamatkan Ipssak dari lubang pembuangan ayam sekarat,
Nageune di film sudah tinggal di semak mawar bersama Ppoyan Ori, sehingga tidak ada
kesempatan untuk menunjukkan Nageune menyendiri dari bebek-bebek di halaman.
2.1.3 Aekkunun
Di dalam novel, ada empat musang yang muncul dalam cerita, tetapi hanya satu yang
menjadi fokusnya, yaitu musang yang paling besar dan yang paling kuat, tetapi di dalam film
hanya ada satu tokoh musang. Kata Jokjebi dan Aekkunun dipergunakan bergantian untuk
merujuk pada tokoh musang tersebut. Ada sedikit perbedaan dalam penggambaran fisik
Aekkunun dalam novel dan film. Dalam novel, Aekkunun baru kehilangan satu matanya di
tengah cerita, karena tidak sengaja terpatuk oleh Ipssak saat Aekkunun hendak memangsa
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
Chorok. Dalam film, Aekkunun sejak hanya memiliki satu mata. Ia kehilangan satu matanya
gara-gara berkelahi dengan Nageune ketika Nageune masih menjadi pasukkun.
Penggambaran karakter Aekkunun di film sama persis dengan di novel. Ia gigih dan tidak
mudah menyerah dalam berburu. Ia juga sangat protektif terhadap anak-anaknya dan rela
melakukan apa saja demi keselamatan anak-anaknya tersebut. Yang sedikit membedakan
Aekkunun di film dengan di novel adalah saat ia memangsa Ipssak di adegan terakhir. Di film,
diperlihatkan Aekkunun menangis tidak tega ketika menggigit Ipssak, sedangkan di novel
tidak ada penjelasan mendetail mengenai keadaan batin Aekkunun ketika menggigit Ipssak.
2.2 Tokoh Bawahan dalam Film dan Tidak dalam Novel
Ada dua tokoh bawahan dalam film yang tidak muncul dalam novel, yaitu Dalsu dan Jjaek.
Keduanya berperan sebagai sahabat Ipssak.
2.2.1 Dalsu
Keberadaan Dalsu terutama memiliki fungsi untuk menyegarkan cerita dalam film.
Pekerjaan Dalsu mencarikan rumah bagi hewan-hewan di rawa merupakan perwujudan dari
부동산 (budongsan/agen real estat) dalam kehidupan nyata. Detail ini, bersama ciri khas
Dalsu yang selalu berbicara menggunakan aksen Gyeongsangdo, meningkatkan kadar humor
dalam film. Selain itu, tokoh Dalsu juga digunakan sutradara untuk menunjukkan kekinian
film ini, dengan menggunakan frasa-frasa berbahasa Inggris dalam kalimatnya, seperti ‘all
stop’, ‘living consultant’, dan ‘welcome to my world’.
Di samping berperan sebagai teman Ipssak, Dalsu juga mengambil alih peran Pemimpin
Bebek di novel. Sama seperti Pemimpin Bebek, Dalsu mengkritik keputusan Ipssak
membesarkan Chorok, mengatakan bahwa Ipssak dan Chorok merupakan dua spesies berbeda
serta apa yang dilakukan Ipssak (mencoba belajar berenang) adalah tindakan yang menentang
hukum alam. Meskipun begitu, Dalsu tetap membantu Ipssak membesarkan Chorok. Ia
menolong Ipssak membebaskan Chorok dari tangan petani dan mengajarkan keterampilan
bebek kepada Chorok. Dalsu pulalah yang menemani Ipssak ketika Chorok sudah sibuk
dengan kawanan bebek liar di rawa.
2.2.2 Jjaek
Jjaek sudah menjadi sahabat Ipssak sejak Ipssak masih tinggal di ruang ternak. Tubuhnya
yang kecil dan bulat seperti bola dan matanya yang besar, membuat penampilan Jjaek sangat
menggemaskan. Jjaek yang ceria dan bawel membuat suasana menjadi lebih hidup. Ia sempat
mengomeli Ipssak saat Ipssak meneruskan mogok makan yang telah dilakukannya selama
beberapa hari. Dalam film ini, Jjaek mewakili suara kelompok pro-kemapanan. Ia tidak
mendukung Ipssak mewujudkan mimpinya keluar dari halaman untuk mengerami telur dan
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
menyaksikan kelahiran anak ayam. Ia menganggap hidup di peternakan sudah sangat
menyenangkan. Ipssak mendapat makan setiap hari dan hanya perlu bertelur saja.
Jjaek berperan besar dalam penyelamatan Chorok dari tangan Peternak yang hendak
memotong sayap bebek melewar tersebut. Ia yang pertama kali menyadari kalau bebek yang
ditangkap Peternak setelah hewan tersebut mengikuti para Bebek Peliharaan masuk ke
halaman adalah Chorok, anak Ipssak. Jjaek mengambil langkah tepat dengan langsung
mencari Ipssak dan memberitahukan apa yang terjadi pada Chorok. Saat Ipssak dan Dalsu
berjuang membebaskan Chorok, Jjaek turut membantu dengan jalan memimpin kawan-
kawannya sesama burung gereja menyerang Peternak dengan kotoran mereka.
3. Tokoh Latar dalam Novel dan Film
Tokoh latar dipergunakan baik oleh pengarang maupun sutradara untuk mendukung
penggambaran latar terutama latar tempat. Itu sebabnya terdapat cukup banyak perbedaan
jumlah tokoh latar. Analisis perbandingan tokoh latar akan dipaparkan menurut
kemunculannya dalam novel dan film.
3.1 Tokoh Latar Baik dalam Novel Maupun Film
Tokoh latar yang muncul baik dalam novel maupun film merupakan tokoh-tokoh yang
berada di peternakan. Salah satu fungsi kemunculan para tokoh latar berikut ini adalah
memperkuat latar peternakan dalam kedua karya. Tokoh latar yang muncul dalam kedua
karya adalah Ayam Jantan, Ayam Betina, Anjing, Bebek Peliharaan, dan Peternak.
3.1.1 Ayam Jantan
Baik dalam novel maupun film, Ayam Jantan digambarkan sebagai pemimpin yang galak
dan disegani. Perkataannya merupakan peraturan yang harus dipahami oleh para anggota
keluarga halaman. Ayam Jantan juga sangat menjunjung tinggi martabat ayam. Ia tidak akan
membiarkan kehormatan spesies ayam tercemar oleh apapun. Selain itu, Ayam Jantan juga
merupakan sosok yang sombong dan menganggap remeh anggota keluarga halaman lainnya.
Ia tidak suka jika dianggap sejajar dengan yang lain. Di film, Ayam Jantan marah besar
kepada Ipssak karena Ipssak memanggil Ayam Jantan dengan kata 너 (neo), yang berarti
“kamu”. Ipssak juga memberi nama ‘아침’ (Achim) yang berarti “pagi” karena Ayam Jantan
selalu bangun paling pagi dibanding hewan-hewan lain dan berkokok dengan lantang, tetapi
nama itu tidak pernah digunakan oleh Ayam Jantan di sepanjang film.
Dalam film, Ayam Jantan memiliki tubuh yang kecil, jauh lebih kecil dibandingkan kedua
Ayam Betina, bahkan masih lebih kecil dibandingkan dengan para Bebek Peliharaan. Meski
tubuhnya kecil, ia mempunyai jambul yang sangat besar sehingga terlihat tidak proporsional
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
dengan tubuhnya. Jambul besar ini di pertengahan cerita lepas dari kepala Ayam Jantan akibat
tendangan Ipssak. Jambul besar tersebut rupanya merupakan jambul plastik yang diikatkan di
kepala Ayam Jantan, sedangkan jambul asli Ayam Jantan sangat kecil. Lepasnya jambul palsu
itu membuat Ayam Jantan kehilangan kehormatannya. Setelah kejadian itu, para anggota
keluarga halaman tidak mendengarkan perkataan Ayam Jantan. Bahkan Ayam Jantan dipaksa
menyapu halaman saat para Bebek Peliharaan, Ayam Betina, dan para anak ayam bermain di
halaman. Ayam Jantan termasuk tokoh yang digunakan sutradara untuk meningkatkan unsur
humor dalam film. Selain proses lepasnya jambul palsu dari kepala Ayam Jantan, proses
Ayam Jantan minta dicarikan tempat tinggal kepada Dalsu juga mengundang gelak tawa
penonton.
3.1.2 Ayam Betina
Ayam Betina bisa dibilang merupakan tokoh latar yang mengalami perubahan paling
banyak di film. Di novel, hanya ada seekor ayam betina yang menjadi pasangan Ayam Jantan.
Di film, terdapat dua ekor ayam betina pasangan Ayam Jantan. Keduanya memiliki postur
tubuh yang sangat berlawanan. Ayam Betina 1, yang sudah memiliki anak-anak ayam,
bertubuh tinggi dan kurus. Sementara Ayam Betina 2, yang masih mengerami telur, bertubuh
gendut. Kedua ayam betina ini saling membenci satu sama lain. Ayam Betina 1 dan Ayam
Betina 2 tidak sesombong Ayam Betina di novel. Mereka berdua sering bermain kejar-kejaran
bersama anak-anak ayam dan para Bebek Peliharaan. Meski begitu, sama dengan
penggambaran Ayam Betina di novel, keduanya tetap tidak menyukai Ipssak dan sangat
menolak rencana Ipssak tinggal di halaman. Mereka beranggapan masuknya Ipssak di
keluarga halaman akan memperkeruh suasana, padahal keberadaan dua ayam betina dalam
keluarga halaman saja sudah sangat merepotkan.
3.1.3 Anjing
Di dalam novel, Anjing digambarkan sudah tua dan telah mengabdi di peternakan selama
bertahun-tahun. Itu sebabnya di novel ia terkadang juga dipanggil dengan sebutan Anjing Tua.
Ia sangat teguh memegang tugasnya menjaga gerbang. Akan tetapi karena ia sudah tua,
kemampuannya sudah sangat menurun sehingga di pertengahan cerita, ia tidak bisa mencegah
para musang memangsa salah satu anak ayam.
Berbeda dengan novel, di film usia Anjing tidak diperjelas. Ia memiliki nama 문지기
(Munjigi) yang berarti “penjaga pintu”. Nama itu diberikan oleh Ipssak. Chorok juga
menggunakan kata Munjigi untuk memanggil Anjing. Ciri khas Munjigi di film adalah ia
sangat senang jika bagian kepalanya dielus. Wajahnya akan merona merah, ekornya
bergoyang-goyang tidak bisa berhenti, dan sikapnya melunak kepada siapapun yang mengelus
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
kepalanya. Ciri khas Munjigi ini ditampilkan oleh sutradara untuk menambah kelucuan film.
Sifat Anjing lainnya yang tidak dimunculkan dalam film adalah ketakutannya terhadap Ayam
Betina. Di novel, Anjing mematuhi perkataan Ayam Betina karena Ayam Betina sering
mematuki kepalanya jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Di film,
Munjigi hanya patuh pada perkataan Ayam Jantan saja.
3.1.4 Bebek-bebek Peliharaan
Dalam novel tidak dirinci ada berapa ekor bebek peliharaan yang tinggal di halaman.
Mereka digambarkan sangat berisik dan dipimpin oleh Pemimpin Bebek. Kemunculan bebek-
bebek peliharaan di novel biasanya hanya untuk mendampingi keberadaan Pemimpin Bebek.
Di film, ada empat ekor bebek peliharaan yang tinggal di halaman. Karena formasi mereka
berempat saat berjalan nampak seperti tangga nada, Ipssak pun memberi mereka nama Do, Mi,
Sol, dan Do Tinggi. Berbeda dari di novel yang kemunculannya hanya sekilas saja, di film
keempat bebek ini banyak muncul.
Tidak ada yang menjadi pemimpin di antara Do, Mi, Sol, dan Do Tinggi, tetapi Sol
mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin keluarga halaman setelah jambul palsu lepas dari
kepala Ayam Jantan. Sama seperti Ayam Jantan, keempat bebek peliharaan ini juga
digunakan sutradara untuk meningkatkan unsur humor dalam film. Bentuk fisik mereka
berempat dan tingginya yang seperti tangga nada merupakan salah satu contoh yang dapat
memicu tawa penonton.
3.1.5 Peternak
Jika di dalam novel peternakan yang menjadi tempat tinggal keluarga halaman dikelola
oleh sepasang suami istri, di film peternakan tersebut hanya dikelola oleh seorang laki-laki tua
yang rambutnya sudah beruban. Peternak di film hanya menampilkan peran Bapak Peternak
di novel. Ia membuang Ipssak di awal cerita, lalu berniat memotong sayap Chorok di
pertengahan cerita. Dialog Peternak di film jauh lebih sedikit dibanding dialog Bapak dan Ibu
Peternak di novel. Penghilangan tokoh Ibu Peternak di film dikarenakan perannya yang tidak
terlalu signifikan dan tokohnya dapat terwakilkan oleh Peternak.
3.2 Tokoh Latar dalam Novel dan Tidak dalam Film
Hanya ada satu tokoh latar dalam novel yang tidak muncul dalam film, yaitu Pemimpin
Bebek. Pemimpin Bebek tidak muncul karena seperti yang telah dijelaskan pada poin 3.1.4 di
atas, dalam film tidak ada pemimpin di antara keempat Bebek Peliharaan. Peran Pemimpin
Bebek di novel sebagai sosok yang menganggap anak bebek harus hidup dengan bebek agar
bisa belajar keterampilan hidup bebek, digantikan oleh tokoh Dalsu di film. Sama seperti
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
tokoh Ibu Peternak, penghilangan tokoh Pemimpin Bebek ini juga dikarenakan karena
perannya tidak terlalu signifikan dan bisa digantikan oleh tokoh lain.
3.3 Tokoh Latar dalam Film dan Tidak dalam Novel
Tokoh latar dalam film yang tidak ada dalam novel merupakan tokoh-tokoh yang tinggal
di sekitar rawa. Tokoh-tokoh latar dalam film dan tidak dalam novel yang akan dibahas
adalah Kelelawar, Burung Hantu, Ppalgangmeori, dan para penghuni rawa. Tokoh-tokoh ini
dimunculkan sutradara untuk menguatkan latar rawa dalam film. Selain itu, ada juga tokoh-
tokoh yang dimunculkan untuk membuat film menjadi lebih menarik.
3.3.1 Kelelawar
Kelelawar merupakan guru terbang pertama Chorok. Pelajaran terbangnya tidak berhasil
dengan baik karena Chorok tidak bisa bergantung terbalik di stalaktit gua. Walaupun begitu,
Kelelawar mengajarkan satu hal penting kepada Chorok, yaitu untuk terbang dengan
menggunakan insting hewaninya. Ajaran Kelelawar itulah yang membantu Chorok bisa
melewati hutan dengan baik pada saat Turnamen Terbang. Ciri khas Kelelawar adalah selalu
berbicara menggunakan aksen Gyeongsangdo.
3.3.2 Burung Hantu
Sama seperti Kelelawar, Burung Hantu juga adalah guru terbang Chorok. Inti pelajaran
terbang dari Burung Hantu adalah keberanian. Akan tetapi, menurut Burung Hantu, yang
dilakukan Chorok pada saat latihan bukanlah terbang karena keberanian melainkan percobaan
bunuh diri. Sama seperti ajaran Kelelawar, ajaran Burung Hantu juga menolong Chorok
memenangkan Turnamen Terbang. Jika Kelelawar selalu berbicara menggunakan aksen
Gyeongsangdo, Burung Hantu selalu berbicara menggunakan aksen Jeollado. Burung Hantu
juga selalu tampak mengantuk setiap saat.
3.3.3 Ppalgangmeori
Ppalgangmeori merupakan pesaing terbesar Chorok dalam Turnamen Terbang. Sebelum
Chorok mengikuti Turnamen Terbang, Ppalgangmeori adalah kandidat juara terkuat.
Walaupun gaya berbicaranya sombong, Ppalgangmeori merupakan sosok yang menjunjung
tinggi sportivitas. Ia bertanding tanpa mencurangi Chorok, lalu memberikan selamat dengan
tulus ketika Chorok keluar sebagai juara turnamen. Sutradara memunculkan tokoh
Ppalgangmeori untuk menambah keseruan cerita, karena turnamen tidak mungkin
diselenggarakan jika tidak ada tokoh-tokoh yang menjadi pesaing Chorok.
3.3.4 Para Penghuni Rawa
Para penghuni rawa terdiri dari sepasang bebek Mandarin dan keempat anak-anaknya,
seekor burung bangau, seekor burung kecil, dan sepasang burung air. Tokoh-tokoh ini
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
memiliki fungsi utama sebagai penguat latar rawa. Banyak adegan yang menampilkan
beberapa penghuni rawa sedang beraktivitas sebagai latar belakangnya. Seluruh penghuni
rawa memiliki satu kesamaan, yaitu ingin mengusir Ipssak serta Chorok dari rawa. Burung
Bangau beralasan Ipssak terlalu berisik sehingga ia tidak bisa mencari ikan dengan tenang.
Pasangan bebek Mandarin mengatakan hubungan ibu dan anak antara Ipssak dan Chorok
yang berbeda jenis dapat menimbulkan kebingungan di antara anak-anak mereka. Walaupun
mereka sangat ingin mengusir Ipssak, tidak ada satupun dari penghuni rawa yang berani
berbicara langsung kepada Ipssak. Mereka justru berbicara kepada Dalsu dan meminta Dalsu
yang mengusir Ipssak. Sisi ini dimunculkan oleh sutradara untuk memperumit konflik batin
yang dialami Ipssak, karena pada saat bersamaan, Chorok juga mengatakan tidak ingin tinggal
bersama Ipssak lagi.
Kesimpulan
Madangeul Naon Amtak awalnya merupakan novel karya Hwang Sunmi yang diterbitkan
pada 29 Mei 2000. Novel tersebut terjual lebih dari dua juta kopi di Korea Selatan dan
diterjemahkan ke lebih dari sepuluh bahasa, serta meraih berbagai penghargaan. Berkat
kepopulerannya tersebut, novel ini diangkat ke layar lebar oleh sutradara Oh Sungyoon dalam
bentuk film animasi. Film ini dirilis pada 28 Juli 2011. Sama seperti novelnya, film
Madangeul Naon Amtak juga meraih berbagai penghargaan, bahkan dinobatkan sebagai film
animasi produksi dalam negeri dengan jumlah penonton terbanyak. Baik novel maupun film
Madangeul Naon Amtak berkisah seputar seekor ayam petelur yang memiliki impian
mengerami telurnya sendiri. Demi impiannya itu, ia kabur dari peternakan dan dikejar-kejar
oleh musang. Ia berhasil mengerami telur, tetapi ternyata telur yang dieraminya adalah telur
bebek. Ayam tersebut kemudian berjuang membesarkan anaknya yang berbeda spesies
tersebut hingga tumbuh dewasa.
Sebagai salah satu karya yang mengalami adaptasi dari novel ke film, Madangeul Naon
Amtak tidak luput dari perubahan-perubahan yang terjadi pada sejumlah aspek. Hal yang
paling mendasari perubahan-perubahan tersebut adalah perubahan genre dari novel ke film.
Novel dan film memiliki media ekspresi yang berbeda. Berbeda dengan novel, film tidak
memiliki keleluasaan untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran tokoh. Sementara itu, film juga
dituntut memiliki konflik dan klimaks yang menarik untuk disajikan secara visual.
Perubahan yang paling jelas terdapat pada penokohannya. Dari segi tokoh, jumlah tokoh
di film mengalami peningkatan yang cukup besar. Di film terdapat satu tokoh utama, lima
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
tokoh tambahan, dan dua belas tokoh latar, sedangkan di novel hanya terdapat satu tokoh
utama, tiga tokoh tambahan, dan tujuh tokoh latar. Peningkatan yang cukup besar pada jumlah
tokoh latar menurut penulis disebabkan keperluan sutradara untuk membangun latar suasana
yang kuat. Meskipun jumlah tokoh bertambah, ada tokoh dalam novel yang dihilangkan dan
perannya digantikan oleh tokoh lain dalam film, seperti yang terjadi pada tokoh Pemimpin
Bebek. Tokoh Pemimpin Bebek tidak ada dalam film, dan perannya digantikan oleh Dalsu.
Dari segi penokohan, beberapa tokoh juga mengalami perubahan yang cukup signifikan,
terutama tokoh utama, Ipssak. Di novel, Ipssak digambarkan sebagai tokoh yang memegang
teguh mimpinya, senang berpikir dan mengamati, perhatian, tidak mudah menyerah, dan ibu
yang penuh kasih sayang. Sedangkan di film, meski sama-sama memegang teguh mimpinya,
tidak mudah menyerah, dan penuh kasih sayang, Ipssak tampil sebagai tokoh yang ceria,
bawel, dan kreatif dalam memberi nama untuk tokoh lain. Di film, sutradara memberikan
porsi lebih besar untuk penggambaran sisi Ipssak sebagai ibu yang penuh kasih sayang, yang
berimbas kepada sedikitnya adegan untuk menggambarkan bagaimana Ipssak memegang
teguh impiannya mengerami telur. Pergeseran karakter Ipssak ini secara langsung
memengaruhi tokoh-tokoh lainnya, terutama tokoh Chorokmeori yang merupakan tokoh yang
paling banyak berinteraksi dengan Ipssak. Pada Chorokmeori ditambahkan karakter-karakter
yang dapat menonjolkan sisi ibu yang penuh kasih sayang pada Ipssak.
Selain perubahan karena menyesuaikan dengan penokohan tokoh utama yang berubah,
ada pula perubahan yang terjadi karena faktor komersial. Beberapa tokoh diubah karakternya
atau bahkan dimunculkan untuk membuat film menjadi lebih menarik. Salah satu tokoh yang
diubah karakternya adalah Ayam Jantan. Ia merupakan tokoh yang paling berkuasa di
keluarga halaman, kata-katanya adalah peraturan yang harus dipatuhi semua anggota keluarga
halaman. Di novel, Ayam Jantan muncul sebagai sosok yang berwibawa dan ditakuti oleh
tokoh-tokoh lainnya. Akan tetapi, di film ia muncul dengan tubuh yang jauh lebih kecil dari
para Ayam Betina. Ia juga memiliki jambul yang sangat besar, sehingga terlihat tidak
proporsional dengan tubuhnya. Menuju akhir cerita, terungkap kalau jambul besar itu ternyata
jambul palsu, dan jambul asli Ayam Jantan justru sangat kecil. Tokoh baru yang dimunculkan
dalam film di antaranya adalah Dalsu. Walaupun Dalsu juga menggantikan peran Pemimpin
Bebek, tetapi tujuan utama dimunculkannya adalah untuk meningkatkan kadar humor film
Madangeul Naon Amtak. Dalsu muncul sebagai tokoh yang bekerja sebagai agen budongsan
bagi para penghuni rawa yang bawel, selalu berbicara menggunakan aksen Gyeongsangdo,
dan terkadang menyelipkan frasa-frasa berbahasa Inggris dalam kalimatnya. Interaksi Dalsu
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
dengan tokoh-tokoh lain sangat menarik untuk dilihat, dan reaksi-reaksi yang dilontarkannya
tidak jarang mengundang gelak tawa.
Perubahan-perubahan yang terdapat dalam film Madangeul Naon Amtak membuat titik
berat tema film ini berbeda dengan novelnya. Tema besar kedua karya sama-sama membahas
tentang perjuangan seseorang menggapai apa yang diinginkan, diimpikannya selama ini dan
perjuangan ibu yang penyayang dalam membesarkan anaknya. Di novel, pengarang Hwang
Sunmi lebih mengelaborasi tema perjuangan mencapai mimpi. Hal ini nampak dari diulang-
ulangnya kalimat “Aku ingin mengerami telur dan melihat kelahiran anak ayam” dalam
banyak bab dan banyaknya halaman yang ia gunakan untuk mengisahkan perjuangan Ipssak
sampai telur Chorokmeori menetas. Sementara itu, sutradara Oh Sungyoon menekankan tema
perjuangan ibu membesarkan anaknya dalam film. Ini terlihat dari perubahan-perubahan
karakter yang terjadi, terutama tokoh utama dan tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan tokoh
utama, serta durasi yang digunakan sutradara untuk menceritakan kehidupan Ipssak setelah
Chorokmeori menetas. Pengarang Hwang Sunmi seolah ingin menyemangati para
pembacanya, terutama anak-anak, bahwa mimpi itu harus dikejar. Lewat tokoh Ipssak, ayam
petelur yang ingin mengerami telurnya dan menyaksikan kelahiran anak ayam, ia seperti ingin
menyampaikan semustahil apapun sebuah mimpi, jika kita mengerahkan usaha yang
maksimal untuk mencapainya, pasti akan terwujud juga. Sedangkan sutradara Oh Sungyoon
seolah ingin menunjukkan betapa hebatnya kasih sayang ibu. Kasih ibu bisa menembus batas
perbedaan spesies pada kasus Ipssak dan Chorokmeori, dan tak terbatas kepada anak sendiri
saja, tetapi kepada anak orang lain juga, seperti pada kasus Ipssak dan anak-anak Aekkunun.
Daftar Referensi
Korpus
Buku: 황선미. (2012). 마당을 나온 암탉 (20 쇠). 파주: 사계절. (Hwang, Sunmi. (2012).
Madangeul Naon Amtak (cet. 20). Paju: Sakyejul)
Film: 오성윤 (감독). (2011). 마당을 나온 암탉. 서울: 명필름. (Oh, Sungyoon (dir). (2011).
Madangeul Naon Amtak. Seoul: Myung Films)
Sumber buku
고은정. (2013). 석사학위논문. 원작소설 영화화 과정의 서사변용 연구 – 이청준의
“벌레이야기”와 이문열의 “익명의 섬”을 중심으로. 광주여자대학교 사회개발대학원. (Go,
Eunjeong. (2013). Seoksahakwinonmun. Wonjaksoseol Yeonghwahwa Gwajeongui
Seosabyeon-yong Yeon-gu – Lee Cheongjun-ui “Beolleiyagi”wa Lee Mun-yeol-ui
“Ikmyeongui Seom”eul Jungsimeuro. Gwangjuyeojadaehakgyo Sahoegaebaldaehakwon)
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
이선이 엮음. (2012). 외국인을 위한 한국문학사. 서울: 한국문화사. (Lee Seonyi, et al. (2012).
Oegugineul Wihan Hangukmunhaksa. Seoul: Hangukmunhwasa)
이현주. (2009). 석사학위논문. 소설의 영화화 과정의 서사적 변이 양상 – 이청준의 “서편제”를
중심으로. 전북대학교 일반대학원. (Lee Hyeonju. (2009). Seoksahakwinonmun. Soseolui
Yeonghwahwa Gwajeongui Seosajeok Beyoni Yangsang – Lee Cheongjun-ui
“Seopyeonje”reul Jungsimeuro. Cheonbukdaehakgyo Ilbandaehakgyo)
한국문학평론가협회. (2006). 문학비평 용어사전. 서울: 국학자료원.
(Hangukmunhakpyeongrongahyeobhoe. (2006). Munhakbipyeong Yongeosajeon. Seoul:
Gukhakjaryowon)
Boogs, Joseph M. (1992). Cara Menilai Sebuah Film, terj. Asrul Sani. Jakarta: Yayasan Citra.
Erneste, Panusuk. (1991). Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.
Krevolin, Richard. (2003). Rahasia Sukses Skenario Film-Film Box Office. Bandung: Penerbit
Kaifa.
Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.
3). Jakarta: Balai Pustaka.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan (cet. 2). Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumber internet
Choi, Kwanghee. (2011, 28 Juli). “A million audience is a meaningful number”. Korean Film
Biz Zone. Diunduh 26 Mei 2014 pukul 02.23. <http://www.koreanfilm.or.kr/jsp/films/
interview.jsp?blbdComCd=601017&seq=11&mode=VIEW>.
Chung, Ahyoung. (2013, 7 Maret). “Korean fairytale selected as Best Book of Year in
Poland”. The Korea Times. Diunduh 18 Desember 2013 pukul 22:09.
<http://www.koreatimes.co.kr/www/news/culture/2013/03/386_131677.html>.
Flinn, Jennifer. (2011). “Animals in Korean Folklore”. Diunduh 11 November 2013 pukul
12:07. <http://blog.korea.net/?p=3392>.
“Leafie, A Hen Into The Wild exceeds 2million viewers, and enters top 10 of the most
viewed animations in Korea”. (2011, 5 September). Korea.com. Diunduh 18 Desember 2013
pukul 22:07. <http://en.korea.com/blog/enter/movie/leafie-a-hen-into-the-wild-exceeds-
2million-viewers-and-enters-top-10-of-the-most-viewed-animations-in-korea/>.
Montgomery, Charles. (2014, 26 Februari). “10 Magazine Book Club Interview of Hwang
Sun-Mi author of “The Hen Who Dreamed She Could Fly” by Barry Welsh”. [Video].
Diunduh 25 Mei 2014 pukul 23.36. < http://www.youtube.com/watch?v=-qZCVBn1N9s>.
Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014
Recommended