20
Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan Annisa Luthfiarrahman, Eva Latifah Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas penokohan dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak, yang berkisah tentang seekor ayam petelur yang ingin mengerami dan menetaskan telurnya sendiri. Tujuan penelitian ini adalah memaparkan perubahan yang terjadi pada unsur penokohan yang timbul akibat proses ekranisasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif-analitis dengan kajian struktural. Hasil penelitian menunjukkan perubahan terjadi terutama pada penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan yang menjelaskan latar. Perubahan tersebut mendorong adanya perbedaan pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara film dengan pesan pengarang novelnya. Madangeul Naon Amtak Novel and Film: An Analysis of Characterization Abstract This research discusses characterization in Madangeul Naon Amtak novel and film, which tell about a hen that wants to brood on its own eggs. The objective of this research is to explain the changes happened in characterization as a result of écran. The method applied is descriptive-analytic with structural study. The results show that changes happened mainly in characterization of main character and pheripheral characters which explain the settings. The changes lead to the message sent by film’s director being different from the one sent by novel’s writer. Keywords: characterization; écran; fable;novel adaptation Pendahuluan Seperti halnya kesusasteraan Indonesia, kesusasteraan Korea juga mengenal fabel, cerita yang tokohnya adalah binatang. Jika di Indonesia terdapat tokoh Si Kancil yang suka mencuri ketimun, maka di Korea terdapat tokoh beruang yang ingin berubah menjadi manusia. Hewan-hewan yang banyak muncul di fabel-fabel Korea di antaranya harimau, rubah, dan kelinci (Flinn, 2011). Selain itu, fabel-fabel Korea juga mengenal karakter gumiho, rubah berekor sembilan, yang tidak dikenal dalam fabel-fabel Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 312), fabel adalah “cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti)”. Dalam bahasa Korea, fabel disebut 우화 () (uhwa). 외국인을 위한 문학사’ (Oegugineul Wihan Munhaksa/Sejarah Kesusasteraan Korea untuk Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

Annisa Luthfiarrahman, Eva Latifah

Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak Penelitian ini membahas penokohan dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak, yang berkisah tentang seekor ayam petelur yang ingin mengerami dan menetaskan telurnya sendiri. Tujuan penelitian ini adalah memaparkan perubahan yang terjadi pada unsur penokohan yang timbul akibat proses ekranisasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif-analitis dengan kajian struktural. Hasil penelitian menunjukkan perubahan terjadi terutama pada penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan yang menjelaskan latar. Perubahan tersebut mendorong adanya perbedaan pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara film dengan pesan pengarang novelnya.

Madangeul Naon Amtak Novel and Film: An Analysis of Characterization

Abstract This research discusses characterization in Madangeul Naon Amtak novel and film, which tell about a hen that wants to brood on its own eggs. The objective of this research is to explain the changes happened in characterization as a result of écran. The method applied is descriptive-analytic with structural study. The results show that changes happened mainly in characterization of main character and pheripheral characters which explain the settings. The changes lead to the message sent by film’s director being different from the one sent by novel’s writer. Keywords: characterization; écran; fable;novel adaptation Pendahuluan

Seperti halnya kesusasteraan Indonesia, kesusasteraan Korea juga mengenal fabel, cerita

yang tokohnya adalah binatang. Jika di Indonesia terdapat tokoh Si Kancil yang suka mencuri

ketimun, maka di Korea terdapat tokoh beruang yang ingin berubah menjadi manusia.

Hewan-hewan yang banyak muncul di fabel-fabel Korea di antaranya harimau, rubah, dan

kelinci (Flinn, 2011). Selain itu, fabel-fabel Korea juga mengenal karakter gumiho, rubah

berekor sembilan, yang tidak dikenal dalam fabel-fabel Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 312), fabel adalah “cerita yang

menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi

pendidikan moral dan budi pekerti)”. Dalam bahasa Korea, fabel disebut우화 (寓話) (uhwa).

‘외국인을 위한 문학사’ (Oegugineul Wihan Munhaksa/Sejarah Kesusasteraan Korea untuk

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 2: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

Orang Asing) (Lee, 2012: 169) mendefinisikan 우화 sebagai “cerita dengan tokoh utama

hewan, tumbuhan, dan benda mati yang berbicara dan berperilaku seperti manusia, yang di

dalam perilaku tokoh-tokohnya itu terkandung satir dan nilai moral”. Dari kedua definisi

tersebut, bisa disimpulkan fabel merupakan cerita yang menggunakan binatang sebagai

tokohnya dan berisi pendidikan moral.

Madangeul Naon Amtak merupakan sebuah novel karya Hwang Sunmi, penulis yang

disebut-sebut sebagai penulis donghwa yang paling mewakili masa kontemporer, yang

diterbitkan pada 29 Mei 2000. Secara harfiah Madangeul Naon Amtak dapat diartikan sebagai

“Ayam yang Keluar ke Halaman”. Buku ini berhasil terjual lebih dari dua juta kopi di Korea

Selatan dan telah diterjemahkan ke lebih dari sepuluh bahasa termasuk bahasa Indonesia.

Edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Dwita Rizki Nientyas dan diterbitkan oleh

Penerbit Qanita (Mizan Group) pada Februari 2013 dengan judul Leafie: Ayam Buruk Rupa

dan Itik Kesayangannya. Edisi bahasa Polandia buku ini diberi penghargaan “Best Book of

the Year 2012” dan “Best Book of Spring 2012” oleh Granice.pl, sebuah organisasi literatur

ternama di Polandia (Chung, 2013).

Tokoh utama dari buku ini adalah seekor ayam petelur bernama 잎싹 (Ipssak) yang ingin

menetaskan telurnya sendiri. Keinginan tersebut menjadi hal yang mustahil karena setiap hari

telur-telurnya selalu diambil oleh majikannya untuk dikonsumsi. Suatu saat, Ipssak berhasil

kabur dari peternakan. Dalam perjalanan kaburnya dari peternakan, Ipssak nyaris dimangsa

oleh족제비 (Jokjebi/Musang), tetapi ia diselamatkan oleh 나그네 (Nageune), seekor bebek

liar. Ipssak lalu tinggal di rawa dan menemukan sebuah telur yang kemudian ia erami. Telur

itu ternyata merupakan telur bebek. Ipssak membesarkan bebek tersebut seperti anaknya

sendiri dan memberinya nama 초록멀이 (Chorokmeori). Bersama Chorokmeori, Ipssak

terlibat dalam beragam petualangan, mulai dari perjuangan melawan Jokjebi hingga

bertemunya Chorokmeori dengan koloninya.

Kesuksesan novel Madangeul Naon Amtak mendorong sutradara Oh Sungyoon dari

Studio Myung Films bekerja sama dengan Studio Odolttogi mengangkat cerita tersebut

menjadi film animasi. Dirilis pada 28 Juli 2011, film berdurasi 93 menit ini mencetak sejarah

box office di Korea Selatan sebagai film animasi produksi dalam negeri dengan jumlah

penonton terbanyak, lebih dari 2,2 juta orang (Leafie, A Hen, 2011). Film ini memenangkan

penghargaan Best Sitges Family Film Diploma di Sitges Film Festival 2011, Spanyol dan Best

Animated Feature Film di Asia Pacific Screen Awards 2011 yang digelar di Australia.

Seperti karya-karya sastra lain yang diangkat menjadi film, tidak semua bagian dalam film

Madangeul Naon Amtak sama dengan bukunya. Ada bagian-bagian dari buku yang diubah

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 3: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

atau dihilangkan. Karya sastra yang diangkat menjadi film dikatakan telah mengalami proses

ekranisasi. Pamusuk Erneste (1991: 60) mendefinisikan ekranisasi sebagai pelayarputihan,

pemindahan atau pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film. George Bluestone

(1957) seperti yang tertera dalam ‘문학비평 용어사전’ (Munhakbipyeong Yongeosajeon/

Kamus Istilah Kritik Sastra) (한국문학평론가협회, 2006: 241) berpendapat bahwa film

merupakan karya seni dalam bentuk reproduksi dan persepsi jika dipandang dalam konsep

bentuk novel. Walaupun sebuah film dibuat sesetia mungkin dengan karya sastra aslinya,

pasti akan terdapat perubahan akibat interpretasi subjektif penulis naskah film terhadap karya

sastra aslinya yang penggambarannya terbatas hanya melalui untaian kata-kata.

Setelah membaca buku dan menonton film Madangeul Naon Amtak, penulis tertarik untuk

untuk menjadikannya topik penelitian skripsi. Meskipun ada banyak bagian dari buku yang

diubah di sana-sini, hal tersebut tidak menghalangi film Madangeul Naon Amtak mendulang

kesuksesan seperti bukunya. Dari berbagai aspek yang mengalami perubahan, perubahan yang

lebih jelas untuk diamati terletak pada unsur intrinsiknya, terutama penokohan. Oleh karena

itu, penelitian ini hanya akan membahas mengenai penokohan kedua bahan sumber, yaitu

buku dan film.

Unsur intrinsik dari suatu karya sastra meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut

pandang. Dari kelima unsur tersebut, dalam film Madangeul Naon Amtak, yang mengalami

perubahan paling signifikan adalah penokohannya. Oleh karena itu, masalah yang diangkat

dalam penelitian ini ada dua. Yang pertama, bagaimana perubahan penggambaran penokohan

dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak yang ditimbulkan oleh proses ekranisasi?

Sementara yang kedua, apa pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel dan sutradara

film Madangeul Naon Amtak?

Sejalan dengan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan

penggambaran penokohan dalam novel dan film Madangeul Naon Amtak serta menjabarkan

perubahan apa saja yang terjadi dalam penokohan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga

bertujuan menjelaskan perbedaan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis novel dan

sutradara film kepada khalayak. Dengan membaca hasil penelitian ini, diharapkan pembaca

akan dapat memahami novel dan film Madangeul Naon Amtak dengan lebih baik.

Tinjauan Teoritis

Dalam sebuah cerita, tokoh memegang peranan yang penting. Tokoh hampir selalu

digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan, amanat, atau moral yang ingin

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 4: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Menurut Sudjiman (1992: 16), tokoh

merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai

peristiwa cerita. Kebanyakan tokoh berwujud manusia, tetapi ini tidak menutup kemungkinan

adanya tokoh yang memiliki wujud binatang atau benda-benda yang di‘manusia’kan.

Sudjiman (1992: 17-22) juga membagi tokoh ke dalam beberapa kelompok, sebagai berikut.

1. Berdasarkan fungsinya, tokoh terdiri atas:

a. tokoh sentral, meliputi tokoh protagonis dan tokoh antagonis;

b. tokoh bawahan;

c. tokoh andalan; dan

d. tokoh tambahan.

2. Berdasarkan cara menampilkannya, tokoh terdiri atas:

a. tokoh datar, yang watak tokohnya sampai akhir hanya sedikit sekali berubah;

b. tokoh bulat, yang memiliki lebih dari satu ciri watak yang digarap di dalam cerita; dan

c. tokoh lataran, yang berfungsi sebagai bagian dari latar cerita.

Dalam penelitian ini, penulis mengelompokkan tokoh-tokoh dalam novel dan film

Madangeul Naon Amtak ke dalam tiga kelompok, yaitu tokoh utama, tokoh bawahan, dan

tokoh latar. Penulis menambahkan kelompok tokoh latar karena mempertimbangkan novel

dan film Madangeul Naon Amtak memiliki cukup banyak tokoh bawahan yang

kemunculannya digunakan untuk menghiasi latar tempat dalam cerita.

Akhir-akhir ini dikenal istilah ekranisasi dan deekranisasi, yang terkait dengan

transformasi dari karya sastra dan film. Istilah ini berasal dari kata écran dalam bahasa

Perancis yang berarti “layar”. Transformasi dari karya sastra ke bentuk film disebut ekranisasi,

sementara sebaliknya disebut deekranisasi (Erneste, 1990: 60). Novel dan film, walau

memiliki metode ekspresi yang berbeda, memiliki satu denominator krusial yang sama, yaitu

narasi. Go (2013: 84) menyatakan inilah yang menyebabkan keduanya dapat diperbandingkan,

meski memiliki media yang berbeda.

Keberhasilan film yang diadaptasi dari novel tergantung pada sejauh mana sutradara

mampu menerjemahkan isi novel ke dalam bahasa film. Seperti yang tertera pada ‘문학비평

용어사전’ (한국문학평론가협회, 2006: 241), S. Field berpendapat, “Saat mengadaptasi novel,

tidak ada aturan yang menyatakan film harus setia kepada karya aslinya. Skenario tidak boleh

mengkopi begitu saja dari novel. Proses visualisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga

skenario yang dihasilkan mampu menjelaskan novel melalui video”. Selain itu, perbedaan

media yang digunakan juga menyebabkan film hasil adaptasi dari karya sastra pasti memiliki

perbedaan dengan karya sastra aslinya. Dick (2002: 256) berujar, “In the transfroming

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 5: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

process, characterization has been reduced to dialogue, which is all the playwright has at his

or her disposal”. Walaupun begitu, seberbeda apapun film hasil adaptasi dari karya sastra

aslinya, film hasil adaptasi tetap harus mengandung inti yang sama dengan karya sastra

aslinya. Ini sejalan dengan pendapat Krevolin (2003: 13) yang menyatakan film adaptasi yang

sempurna menangkap kebenaran dari karya asli dan membawanya ke layar lebar, bukan

sekedar melakukan transkripsi secara harfiah dan setia terhadap materi sumber, yang dalam

banyak hal mustahil untuk dilakukan.

Analisis film berpegang pada teori yang sama dengan analisis novel. Lee (2009: vii-viii)

berpendapat film meminjam sebagian besar pola ekspresi dari novel sejak kelahirannya

karena keduanya sama-sama memiliki narasi yang di dalamnya terkandung cerita atau alur.

Sementara itu, Joseph M. Boogs menyatakan dalam bukunya Cara Menilai Sebuah Film

(1992: 24) bahwa sastra dan film memiliki banyak unsur yang sama. “Meskipun keduanya

adalah media yang berbeda, keduanya mengkomunikasikan bermacam hal dengan cara yang

sama. Analisis film yang perspektif dibangun atas unsur-unsur yang dipakai dalam analisis

sastra”. Secara spesifik, Boogs (1992: 53-62) menjelaskan ada enam cara untuk menganalisis

tokoh dalam film. Cara pertama melalui penampilan, cara kedua melalui dialog, cara ketiga

melalui aksi eksternal dan internal serta reaksi tokoh lain, cara keempat melalui leitmotif dan

pemilihan nama (name-typing), cara kelima melalui analisis karakter baku dan stereotip, serta

cara keenam melalui analisis karakter statis dan karakter berkembang.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis dengan

kajian struktural. Penelitian dilakukan dengan urutan sebagai berikut. Pertama, penulis

mendeskripsikan penokohan dari masing-masing novel dan film. Kedua, penulis menganalisis

hubungan unsur penokohan dari novel dan film dengan kajian struktural. Setelah itu, penulis

mendeksripsikan perubahan unsur penokohan yang terjadi di film.

Analisis

Tidak seperti novel yang hanya memiliki aspek naratif, film juga memiliki aspek

sinematik sebagai pembentuknya. Aspek naratif merupakan hal-hal yang terkait dengan cerita

dari film itu sendiri. Sementara aspek sinematik berkaitan dengan perlakuan estetik yang

diberikan kepada cerita filmnya. Menurut Pratista (2008: 1), aspek sinematik dibagi menjadi

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 6: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

empat bagian, yaitu mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara. Mise-en-scene, yang

merupakan segala hal yang terletak di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam

proses produksi film, meliputi setting, kostum dan tata rias, pencahayaan, serta pemain dan

pergerakannya, sedangkan sinematografi mencakup kamera, framing, dan durasi gambar.

Dalam mengadaptasi novel menjadi film, aspek naratif dan aspek sinematik harus

memiliki kesesuaian antara satu sama lain. Inilah yang menyebabkan terjadinya ekranisasi.

Dari segi tokoh, misalnya, jumlah tokoh dapat mengalami penciutan atau justru mengalami

penambahan. Louis Giannetti (1998: 390-394) membagi model pendekatan adaptasi novel

menjadi film tiga, yaitu loose, faithful, dan literal. Pada pendekatan loose, sutradara hanya

mengambil intisari dari novel yang akan diadaptasi. Sutradara dapat menerjemahkan novel ke

dalam film secara bebas sesuai keinginannya, asalkan intinya tetap sama. Berlawanan dengan

loose, faithful mewajibkan sutradara untuk setia dengan novel aslinya. Seperti seorang

penerjemah, baik dalam aspek tema, tokoh, latar, alur, fokalisasi, dan motif, sutradara harus

mengikuti persis karya aslinya. Sementara itu, pendekatan literal sedikit berbeda dengan loose

dan faithful. Adaptasi dengan pendekatan ini biasanya tidak mengacu pada novel, tetapi pada

naskah drama. Karena naskah drama sudah memuat lakon, sutradara hanya mengubah latar

ruang dan waktu saja.

Berdasarkan data-data yang disajikan pada bab 3 dan bab 4, terlihat kalau sutradara Oh

Sungyoon mengguanakan pendekatan loose dalam mengadaptasi novel Madangeul Naon

Amtak. Inti cerita film sama dengan novel, yaitu tentang petualangan seekor ayam petelur

bernama Ipssak, yang memiliki mimpi mengerami telur dan menyaksikan kelahiran anak

ayam, setelah ia keluar dari peternakan kemudian membesarkan seekor anak bebek liar. Baik

film maupun novel sama-sama bertemakan perjuangan menggapai impian dan kasih sayang

ibu, tetapi di film, tema kasih sayang ibu terasa lebih kental. Sutradara Oh Sungyoon

menggunakan 62 menit untuk menceritakan perjuangan Ipssak membesarkan Chorok (mulai

adegan Chorok menetas sampai akhir cerita), dan hanya menggunakan 26 menit dalam

mengisahkan bagaimana Ipssak mengejar mimpinya (dari awal cerita sampai adegan Chorok

menetas). Sementara itu, pengarang Hwang Sunmi menghabiskan 79 dari 182 halaman novel

untuk menggambarkan Ipssak mengejar mimpinya.

Perbedaan media ekspresi antara novel dan film menuntut cara penyajian yang berbeda.

Tidak seperti novel, film tidak memiliki keleluasaan untuk menggambarkan pemikiran tokoh.

Di sisi lain, film membutuhkan konflik yang lebih intens dan klimaks yang lebih kuat

dibandingkan novel untuk ditampilkan secara visual. Demi mengejar dua hal tersebut, dalam

film Madangeul Naon Amtak ini, sutradara melakukan banyak penambahan, baik penambahan

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 7: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

tokoh maupun alur, mengubah hampir semua watak tokoh-tokoh di film, juga menggeser titik

berat tema film. Penyajian watak tokoh di film dilakukan lebih banyak melalui dialog-dialog

interaksi antartokoh. Beberapa tokoh diberikan ciri-ciri khusus yang membuatnya menjadi

tampak lebih menarik dan lebih hidup.

Dalam wawancara dengan Barry Welsh dari 10 Magazine Book Club, pengarang Hwang

Sunmi menyatakan banyak orang langsung menyangka novelnya bertemakan pengorbanan

seorang ibu karena tokoh utamanya adalah ayam betina. Berdasarkan pendapatnya,

sebenarnya ia hanya ingin menceritakan bagaimana manusia menjalani kehidupannya,

perjalanan panjang mengenai bagaimana manusia mengejar mimpi-mimpinya. Ia

menggunakan ayam betina karena ia memerlukan tokoh utama perempuan. Pilihan jatuh

kepada ayam betina karena ayam betina memiliki masa mengerami telur, yang ia jadikan

simbol sebagai proses manusia menjadi lebih dewasa. Selain itu, kata 마당 (madang/halaman)

dipilih sebagai judul karena melambangkan sebuah tempat yang luas dan banyak

tantangannya. Menurutnya Madangeul Naon Amtak secara harfiah berarti “a person going out

into the wild”. Ketika ditanya pendapatnya mengenai film animasi Madangeul Naon Amtak,

pengarang Hwang Sunmi mengatakan bahwa filmnya “quite different from my expectation”.

Ia juga sempat mengkhawatirkan popularitas para aktris dan aktor pengisi suara justru akan

mencuri perhatian masyarakat dari cerita filmnya sendiri. Akan tetapi, secara umum ia sangat

mengapresiasi kerja keras dari seluruh tim produksi (Montgomery, 2014).

Pada wawancara terpisah, sutradara Oh Sungyoon mengakui bahwa film Madangeul Naon

Amtak memiliki target kelompok usia yang lebih muda dibanding novelnya. Ia menjelaskan

ada dua hal yang mendasari penambahan unsur-unsur baru dalam film. Alasan pertama, cerita

novel dirasa cukup berat bagi anak-anak terutama dengan pemikiran Ipssak yang filosofis.

Oleh karena itu, ditambahkan tokoh-tokoh bawahan yang kental dengan unsur komedi. Alasan

kedua, jika dipandang dari perspektif skenario, cerita novel aslinya tidak memiliki klimaks.

Itu sebabnya sutradara Oh Sungyoon menambahkan adegan Turnamen Terbang yang

menghabiskan durasi selama sepuluh menit sendiri (Choi, 2011).

Berikut ini akan dipaparkan analisis perbandingan tokoh dan penokohan dalam novel dan

film Madangeul Naon Amtak. Pemaparan akan dibagi sesuai jenis tokoh, yaitu tokoh utama,

tokoh bawahan, dan tokoh latar, serta kemunculannya dalam novel dan film.

1. Tokoh Utama dalam Novel dan Film: Ipssak

Secara umum, penggambaran tokoh Ipssak dalam film sama dengan penggambaran dalam

novel. Di dalam kedua karya, Ipssak merupakan seekor ayam petelur yang ingin keluar dari

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 8: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

peternakan karena ingin mengerami telurnya sendiri dan melihat kelahiran anak ayam. Ia

dikeluarkan dari peternakan setelah dianggap mati lemas dan dibuang pemilik peternakan ke

lubang pembuangan ayam sekarat. Baik dalam novel maupun film, Ipssak diselamatkan oleh

Nageune dari serangan Aekkunun. Penggambaran fisik Ipssak di novel dan film juga relatif

sama, kecuali Ipssak di film digambarkan selalu menyelipkan sekuntum bunga berwarna ungu

di ekornya sejak tinggal di rawa.

Sebagai individu, baik dalam novel maupun film, Ipssak digambarkan memegang teguh

impiannya mengerami telur dan menyaksikan kelahiran anak ayam. Penggambaran dalam

novel dan film mengenai Ipssak sebagai individu yang tidak mudah menyerah pun tidak jauh

berbeda, yaitu pada saat diserang Aekkunun setelah ia dibuang ke lubang pembuangan ayam

sekarat, saat membebaskan Chorokmeori dari tangan peternak, dan saat mematuki tali yang

terikat di kaki Chorokmeori. Yang berbeda, di dalam novel, Ipssak memiliki kebiasaan

mengamati pohon akasia di depan ruang ternak dan berpikir mengenai banyak hal. Kebiasaan

ini tidak muncul pada tokoh Ipssak di film. Selain itu, Ipssak di novel mengungkapkan ide-ide

dan pendapatnya melalui pemikiran saja, karena ia tidak memiliki lawan bicara untuk berbagi

pikiran. Sementara di film, Ipssak digambarkan sebagai sosok yang ceria dan bawel. Ia

mengutarakan ide-ide dan pendapatnya secara bebas terutama kepada kedua temannya yaitu

Jjaek dan Dalsu. Hal lain yang juga ditampilkan di film tapi tidak muncul di novel adalah

kreativitas Ipssak dalam memberikan nama. Kebanyakan nama tokoh yang muncul di film

merupakan hasil kreasi Ipssak.

Dalam menghadapi tokoh lain, Ipssak di novel berkebalikan dengan Ipsask di film. Di

novel Ipssak selalu berhati-hati menghadapi tokoh-tokoh lain, karena tokoh-tokoh tersebut

selalu berusaha memisahkan Chorokmeori dari dirinya. Sebaliknya, di film, Ipssak menjadi

tokoh yang selalu menyapa tokoh lainnya terlebih dahulu. Keramahan dan kesukaannya

memberi nama bahkan terkadang dianggap sebagai tindakan sok akrab oleh Dalsu.

Sebagai ibu, Ipssak baik di novel maupun film digambarkan sama-sama menempatkan

Chorokmeori pada prioritas utamanya. Walau begitu, hubungan mereka berdua tidak selalu

baik. Ada masa-masa saat Chorokmeori tidak menyukai keberadaan Ipssak. Yang

membedakan, Ipssak di film melakukan lebih banyak usaha-usaha supaya bisa masuk ke

dunia Chorokmeori. Ia sampai mengikatkan daun di kaki-kakinya dan meminta Dalsu

mengajarkannya berenang ketika Chorokmeori berkata anak-anak bebek lain mengolok-

oloknya karena Ipssak tidak bisa berenang. Kasih sayang Ipssak sebagai ibu, baik dalam novel

maupun film, ditampilkan tidak hanya dicurahkan kepada Chorokmeori semata, tetapi juga

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 9: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

terhadap anak-anak Aekkunun yang masih sangat kecil-kecil. Dibanding sifat-sifat Ipssak

lainnya, sifat ibu yang penuh kasih sayang paling ditonjolkan di dalam film.

Tema kasih sayang ibu yang diwujudkan dalam bentuk spesifik berupa hubungan antara

ibu dan anak laki-lakinya, seperti hubungan antara Ipssak dan Chorokmeori, banyak diangkat

dalam film dan drama di Korea Selatan, contohnya dalam film 엄마 (Eomma/Mother) yang

dirilis tahun 2009. Hubungan antara ibu dan anak laki-lakinya sering digambarkan lebih kuat

dari pada hubungan antara ibu dengan anak perempuannya atau hubungan ayah dengan anak

laki-lakinya. Terkadang, sang ibu bahkan sampai lebih mengutamakan anak laki-lakinya

dibanding anak perempuannya, seperti yang terlihat dalam drama 농쿨째 굴러온 당신

(Neongkuljjae Gulleoon Dangshin/Unexpected You), 제빵왕 김탁구 (Jeppangwang Kim Tak

Gu/Baker King, Kim Tak Goo), dan King 2 Hearts. Lebih jauh, adakalanya kasih sayang ibu

terhadap anak laki-lakinya diceritakan terlalu berlebihan sampai-sampai sang ibu berusaha

mengendalikan hidup anak laki-lakinya. Konflik yang paling sering dimunculkan terkait

dengan tipe ibu seperti ini adalah sang ibu tidak menyetujui pasangan hidup pilihan anak laki-

lakinya dan berusaha sekuat tenaga memisahkan anak laki-lakinya dengan perempuan

tersebut. Banyak sekali drama-drama Korea yang menggunakan masalah tersebut sebagai

konflik utamanya, seperti drama 꽃보다 남자 (Kkotboda Namja/Boys Before Flowers), Secret

Garden, dan 응급남녀 (Eunggeup Namnyeo/Emergency Couple).

Baik dalam novel maupun film, keluarga halaman tidak ada yang menyetujui rencana

Ipssak untuk tinggal bersama mereka di halaman. Perlakuan mereka terhadap Ipssak pun tidak

ada yang bersahabat. Akan tetapi, reaksi Ipssak terhadap perlakuan keluarga halaman di film

berbeda dengan di novel. Ipssak di novel tidak melawan perlakuan kasar Ayam Betina dan

Anjing dan pergi begitu saja sesuai perintah Ayam Jantan. Ipssak di film, meskipun akhirnya

tetap pergi meninggalkan halaman seperti perintah Ayam Jantan, awalnya berusaha

menentang dan melawan Ayam Jantan. Saat Ayam Jantan berusaha menghalangi Ipssak,

Chorokmeori, dan Dalsu kabur dari peternakan setelah Ipssak dan Dalsu menyelamatkan

Chorokmeori dari peternak, Ipssak bahkan berani menyerang Ayam Jantan sampai jambul

besarnya yang palsu lepas.

Kejadian yang dialami Ipssak sejak dibuang ke lubang pembuangan ayam sekarat sampai

kelahiran Chorokmeori dimunculkan dalam urutan yang sama baik di novel maupun di film:

diselamatkan oleh Nageune dari serangan Aekkunun di lubang pembuangan ayam sekarat,

kembali ke halaman tetapi diusir oleh Ayam Jantan, tinggal di semak mawar, kemudian

menemukan Chorokmeori yang masih berbentuk telur dan mengeraminya. Perbedaan terdapat

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 10: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

pada tindakan Ipssak setelah Chorokmeori menetas. Di film, Ipssak langsung pergi ke rawa

seperti perintah Nageune. Sedangkan di novel, meskipun Nageune menyuruh Ipssak

membawa Chorokmeori ke bendungan, Ipssak justru kembali ke halaman, membuat

Chorokmeori ditangkap oleh peternak. Setelah membebaskan Chorokmeori dari peternak,

barulah Ipssak membawa Chorokmeori ke bendungan.

2. Tokoh Bawahan dalam Novel dan Film

Tokoh bawahan, baik dalam novel maupun film, memiliki interaksi yang paling intens

dengan Ipssak. Semua tokoh bawahan dalam novel muncul dalam film, tetapi ada tokoh

bawahan dalam film yang tidak muncul dalam novel. Analisis mengenai tokoh bawahan akan

dibagi menjadi dua yaitu tokoh bawahan baik dalam novel maupun dalam film serta tokoh

bawahan dalam film dan tidak dalam novel.

2.1 Tokoh Bawahan Baik dalam Novel Maupun dalam Film

Ada tiga tokoh bawahan yang muncul baik dalam novel maupun dalam film, yaitu

Chorokmeori, Nageune, dan Aekkunun.

2.1.1 Chorokmeori

Jika di dalam novel tokoh ini disebut Chorokmeori, di film, tokoh ini dipanggil Chorok

saja. Chorokmeori merupakan anak dari Nageune dan Ppoyan Ori. Ipssak adalah sosok

pertama yang dilihat Chorokmeori setelah menetas, sehingga ia menganggap Ipssak adalah

ibunya. Baik di novel maupun di film, Chorokmeori diceritakan tidak pernah bertemu dengan

kedua orang tuanya sama sekali.

Dibesarkan oleh seekor ayam betina membuat Chorokmeori mengalami krisis identitas.

Di novel dan di film digambarkan, seiring bertambahnya usia, Chorokmeori menyadari

perbedaan-perbedaan yang ada antara dirinya dan Ipssak. Chorokmeori tidak bisa belajar

mengenai berenang dan terbang dari Ipssak. Chorokmeori di novel belajar berenang secara

tidak sengaja ketika terjatuh ke dalam air, dan belajar terbang juga secara tidak sengaja ketika

dikejar-kejar Aekkunun. Chorok di film belajar berenang setelah meniru seekor katak dan

belajar menyelam dari Dalsu. Melalui anjuran Dalsu juga, Chorok di film belajar terbang pada

Kelelawar dan Burung Hantu, tetapi tidak berhasil. Pada akhirnya, sama seperti Chorokmeori

di novel, yang membuat Chorok di film bisa terbang adalah karena dikejar Aekkunun sampai

ke tepi jurang.

Chorokmeori di novel digambarkan sebagai individu yang penyendiri karena ditolak oleh

para bebek peliharaan di halaman dan kawanan bebek liar yang beristirahat di bendungan. Di

film, keinginan Chorok untuk bergabung dengan bebek-bebek lain lebih ditonjolkan.

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 11: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

Beberapa kali diperlihatkan adegan Chorok memperhatikan anak-anak bebek Mandarin di

rawa bermain-main dari jauh. Chorok di film sampai menyalahkan Ipssak sebagai penyebab

dirinya dijauhi oleh bebek-bebek lain. Penambahan karakter ini oleh sutradara kemungkinan

besar dilakukan untuk menonjolkan karakter ibu yang penuh kasih dari tokoh Ipssak, karena

kemudian diceritakan Ipssak berusaha belajar berenang demi Chorok.

Bagian Chorokmeori menjadi pasukkun di novel sebenarnya tidak dibahas secara

mendetail, tetapi di film bagian ini mendapat porsi yang cukup besar. Untuk kepentingan

jalan cerita yang menarik, sutradara mengangkat proses Chorok diangkat sebagai pasukkun

menjadi perlombaan terbang yang penuh dengan adegan-adegan seru yang dapat memacu

adrenalin penonton.

2.1.2 Nageune

Seperti halnya Chorokmeori, Nageune merupakan seekor bebek melewar. Ia adalah

pasangan dari Ppoyan Ori dan ayah dari Chorokmeori. Penggambaran Nageune di novel dan

di film tidak jauh berbeda. Ia merupakan sosok yang tidak banyak bicara dan sangat

membenci Aekkunun. Sebelum tinggal di halaman, Nageune adalah pasukkun bagi kawanan

bebek liar. Di film dijelaskan lebih lanjut bahwa Nageune memiliki kemampuan terbang yang

paling baik di antara bebek-bebek lain di kawanannya.

Sifat penuh perhitungan Nageune di novel digambarkan dengan detail yang berbeda di

dalam film. Di novel, Nageune menyuruh Ipssak membawa Chorok ke 저수지

(jeosuji/bendungan), sementara di film Nageune menyuruh Ipssak membawa Chorok ke 늪

(neup/rawa). Dalam film, sifat rela berkorban Nageune juga lebih dieksplor. Ia digambarkan

tidak hanya menjaga Ipssak dan Chorok dari intaian Aekkunun, tetapi dengan sengaja

menyediakan dirinya untuk dimangsa Aekkunun agar Ipssak dan Chorok memiliki lebih

banyak waktu untuk melarikan diri. Di sisi lain, sifat penyendiri Nageune mengalami

penciutan di film. Ketika menyelamatkan Ipssak dari lubang pembuangan ayam sekarat,

Nageune di film sudah tinggal di semak mawar bersama Ppoyan Ori, sehingga tidak ada

kesempatan untuk menunjukkan Nageune menyendiri dari bebek-bebek di halaman.

2.1.3 Aekkunun

Di dalam novel, ada empat musang yang muncul dalam cerita, tetapi hanya satu yang

menjadi fokusnya, yaitu musang yang paling besar dan yang paling kuat, tetapi di dalam film

hanya ada satu tokoh musang. Kata Jokjebi dan Aekkunun dipergunakan bergantian untuk

merujuk pada tokoh musang tersebut. Ada sedikit perbedaan dalam penggambaran fisik

Aekkunun dalam novel dan film. Dalam novel, Aekkunun baru kehilangan satu matanya di

tengah cerita, karena tidak sengaja terpatuk oleh Ipssak saat Aekkunun hendak memangsa

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 12: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

Chorok. Dalam film, Aekkunun sejak hanya memiliki satu mata. Ia kehilangan satu matanya

gara-gara berkelahi dengan Nageune ketika Nageune masih menjadi pasukkun.

Penggambaran karakter Aekkunun di film sama persis dengan di novel. Ia gigih dan tidak

mudah menyerah dalam berburu. Ia juga sangat protektif terhadap anak-anaknya dan rela

melakukan apa saja demi keselamatan anak-anaknya tersebut. Yang sedikit membedakan

Aekkunun di film dengan di novel adalah saat ia memangsa Ipssak di adegan terakhir. Di film,

diperlihatkan Aekkunun menangis tidak tega ketika menggigit Ipssak, sedangkan di novel

tidak ada penjelasan mendetail mengenai keadaan batin Aekkunun ketika menggigit Ipssak.

2.2 Tokoh Bawahan dalam Film dan Tidak dalam Novel

Ada dua tokoh bawahan dalam film yang tidak muncul dalam novel, yaitu Dalsu dan Jjaek.

Keduanya berperan sebagai sahabat Ipssak.

2.2.1 Dalsu

Keberadaan Dalsu terutama memiliki fungsi untuk menyegarkan cerita dalam film.

Pekerjaan Dalsu mencarikan rumah bagi hewan-hewan di rawa merupakan perwujudan dari

부동산 (budongsan/agen real estat) dalam kehidupan nyata. Detail ini, bersama ciri khas

Dalsu yang selalu berbicara menggunakan aksen Gyeongsangdo, meningkatkan kadar humor

dalam film. Selain itu, tokoh Dalsu juga digunakan sutradara untuk menunjukkan kekinian

film ini, dengan menggunakan frasa-frasa berbahasa Inggris dalam kalimatnya, seperti ‘all

stop’, ‘living consultant’, dan ‘welcome to my world’.

Di samping berperan sebagai teman Ipssak, Dalsu juga mengambil alih peran Pemimpin

Bebek di novel. Sama seperti Pemimpin Bebek, Dalsu mengkritik keputusan Ipssak

membesarkan Chorok, mengatakan bahwa Ipssak dan Chorok merupakan dua spesies berbeda

serta apa yang dilakukan Ipssak (mencoba belajar berenang) adalah tindakan yang menentang

hukum alam. Meskipun begitu, Dalsu tetap membantu Ipssak membesarkan Chorok. Ia

menolong Ipssak membebaskan Chorok dari tangan petani dan mengajarkan keterampilan

bebek kepada Chorok. Dalsu pulalah yang menemani Ipssak ketika Chorok sudah sibuk

dengan kawanan bebek liar di rawa.

2.2.2 Jjaek

Jjaek sudah menjadi sahabat Ipssak sejak Ipssak masih tinggal di ruang ternak. Tubuhnya

yang kecil dan bulat seperti bola dan matanya yang besar, membuat penampilan Jjaek sangat

menggemaskan. Jjaek yang ceria dan bawel membuat suasana menjadi lebih hidup. Ia sempat

mengomeli Ipssak saat Ipssak meneruskan mogok makan yang telah dilakukannya selama

beberapa hari. Dalam film ini, Jjaek mewakili suara kelompok pro-kemapanan. Ia tidak

mendukung Ipssak mewujudkan mimpinya keluar dari halaman untuk mengerami telur dan

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 13: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

menyaksikan kelahiran anak ayam. Ia menganggap hidup di peternakan sudah sangat

menyenangkan. Ipssak mendapat makan setiap hari dan hanya perlu bertelur saja.

Jjaek berperan besar dalam penyelamatan Chorok dari tangan Peternak yang hendak

memotong sayap bebek melewar tersebut. Ia yang pertama kali menyadari kalau bebek yang

ditangkap Peternak setelah hewan tersebut mengikuti para Bebek Peliharaan masuk ke

halaman adalah Chorok, anak Ipssak. Jjaek mengambil langkah tepat dengan langsung

mencari Ipssak dan memberitahukan apa yang terjadi pada Chorok. Saat Ipssak dan Dalsu

berjuang membebaskan Chorok, Jjaek turut membantu dengan jalan memimpin kawan-

kawannya sesama burung gereja menyerang Peternak dengan kotoran mereka.

3. Tokoh Latar dalam Novel dan Film

Tokoh latar dipergunakan baik oleh pengarang maupun sutradara untuk mendukung

penggambaran latar terutama latar tempat. Itu sebabnya terdapat cukup banyak perbedaan

jumlah tokoh latar. Analisis perbandingan tokoh latar akan dipaparkan menurut

kemunculannya dalam novel dan film.

3.1 Tokoh Latar Baik dalam Novel Maupun Film

Tokoh latar yang muncul baik dalam novel maupun film merupakan tokoh-tokoh yang

berada di peternakan. Salah satu fungsi kemunculan para tokoh latar berikut ini adalah

memperkuat latar peternakan dalam kedua karya. Tokoh latar yang muncul dalam kedua

karya adalah Ayam Jantan, Ayam Betina, Anjing, Bebek Peliharaan, dan Peternak.

3.1.1 Ayam Jantan

Baik dalam novel maupun film, Ayam Jantan digambarkan sebagai pemimpin yang galak

dan disegani. Perkataannya merupakan peraturan yang harus dipahami oleh para anggota

keluarga halaman. Ayam Jantan juga sangat menjunjung tinggi martabat ayam. Ia tidak akan

membiarkan kehormatan spesies ayam tercemar oleh apapun. Selain itu, Ayam Jantan juga

merupakan sosok yang sombong dan menganggap remeh anggota keluarga halaman lainnya.

Ia tidak suka jika dianggap sejajar dengan yang lain. Di film, Ayam Jantan marah besar

kepada Ipssak karena Ipssak memanggil Ayam Jantan dengan kata 너 (neo), yang berarti

“kamu”. Ipssak juga memberi nama ‘아침’ (Achim) yang berarti “pagi” karena Ayam Jantan

selalu bangun paling pagi dibanding hewan-hewan lain dan berkokok dengan lantang, tetapi

nama itu tidak pernah digunakan oleh Ayam Jantan di sepanjang film.

Dalam film, Ayam Jantan memiliki tubuh yang kecil, jauh lebih kecil dibandingkan kedua

Ayam Betina, bahkan masih lebih kecil dibandingkan dengan para Bebek Peliharaan. Meski

tubuhnya kecil, ia mempunyai jambul yang sangat besar sehingga terlihat tidak proporsional

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 14: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

dengan tubuhnya. Jambul besar ini di pertengahan cerita lepas dari kepala Ayam Jantan akibat

tendangan Ipssak. Jambul besar tersebut rupanya merupakan jambul plastik yang diikatkan di

kepala Ayam Jantan, sedangkan jambul asli Ayam Jantan sangat kecil. Lepasnya jambul palsu

itu membuat Ayam Jantan kehilangan kehormatannya. Setelah kejadian itu, para anggota

keluarga halaman tidak mendengarkan perkataan Ayam Jantan. Bahkan Ayam Jantan dipaksa

menyapu halaman saat para Bebek Peliharaan, Ayam Betina, dan para anak ayam bermain di

halaman. Ayam Jantan termasuk tokoh yang digunakan sutradara untuk meningkatkan unsur

humor dalam film. Selain proses lepasnya jambul palsu dari kepala Ayam Jantan, proses

Ayam Jantan minta dicarikan tempat tinggal kepada Dalsu juga mengundang gelak tawa

penonton.

3.1.2 Ayam Betina

Ayam Betina bisa dibilang merupakan tokoh latar yang mengalami perubahan paling

banyak di film. Di novel, hanya ada seekor ayam betina yang menjadi pasangan Ayam Jantan.

Di film, terdapat dua ekor ayam betina pasangan Ayam Jantan. Keduanya memiliki postur

tubuh yang sangat berlawanan. Ayam Betina 1, yang sudah memiliki anak-anak ayam,

bertubuh tinggi dan kurus. Sementara Ayam Betina 2, yang masih mengerami telur, bertubuh

gendut. Kedua ayam betina ini saling membenci satu sama lain. Ayam Betina 1 dan Ayam

Betina 2 tidak sesombong Ayam Betina di novel. Mereka berdua sering bermain kejar-kejaran

bersama anak-anak ayam dan para Bebek Peliharaan. Meski begitu, sama dengan

penggambaran Ayam Betina di novel, keduanya tetap tidak menyukai Ipssak dan sangat

menolak rencana Ipssak tinggal di halaman. Mereka beranggapan masuknya Ipssak di

keluarga halaman akan memperkeruh suasana, padahal keberadaan dua ayam betina dalam

keluarga halaman saja sudah sangat merepotkan.

3.1.3 Anjing

Di dalam novel, Anjing digambarkan sudah tua dan telah mengabdi di peternakan selama

bertahun-tahun. Itu sebabnya di novel ia terkadang juga dipanggil dengan sebutan Anjing Tua.

Ia sangat teguh memegang tugasnya menjaga gerbang. Akan tetapi karena ia sudah tua,

kemampuannya sudah sangat menurun sehingga di pertengahan cerita, ia tidak bisa mencegah

para musang memangsa salah satu anak ayam.

Berbeda dengan novel, di film usia Anjing tidak diperjelas. Ia memiliki nama 문지기

(Munjigi) yang berarti “penjaga pintu”. Nama itu diberikan oleh Ipssak. Chorok juga

menggunakan kata Munjigi untuk memanggil Anjing. Ciri khas Munjigi di film adalah ia

sangat senang jika bagian kepalanya dielus. Wajahnya akan merona merah, ekornya

bergoyang-goyang tidak bisa berhenti, dan sikapnya melunak kepada siapapun yang mengelus

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 15: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

kepalanya. Ciri khas Munjigi ini ditampilkan oleh sutradara untuk menambah kelucuan film.

Sifat Anjing lainnya yang tidak dimunculkan dalam film adalah ketakutannya terhadap Ayam

Betina. Di novel, Anjing mematuhi perkataan Ayam Betina karena Ayam Betina sering

mematuki kepalanya jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Di film,

Munjigi hanya patuh pada perkataan Ayam Jantan saja.

3.1.4 Bebek-bebek Peliharaan

Dalam novel tidak dirinci ada berapa ekor bebek peliharaan yang tinggal di halaman.

Mereka digambarkan sangat berisik dan dipimpin oleh Pemimpin Bebek. Kemunculan bebek-

bebek peliharaan di novel biasanya hanya untuk mendampingi keberadaan Pemimpin Bebek.

Di film, ada empat ekor bebek peliharaan yang tinggal di halaman. Karena formasi mereka

berempat saat berjalan nampak seperti tangga nada, Ipssak pun memberi mereka nama Do, Mi,

Sol, dan Do Tinggi. Berbeda dari di novel yang kemunculannya hanya sekilas saja, di film

keempat bebek ini banyak muncul.

Tidak ada yang menjadi pemimpin di antara Do, Mi, Sol, dan Do Tinggi, tetapi Sol

mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin keluarga halaman setelah jambul palsu lepas dari

kepala Ayam Jantan. Sama seperti Ayam Jantan, keempat bebek peliharaan ini juga

digunakan sutradara untuk meningkatkan unsur humor dalam film. Bentuk fisik mereka

berempat dan tingginya yang seperti tangga nada merupakan salah satu contoh yang dapat

memicu tawa penonton.

3.1.5 Peternak

Jika di dalam novel peternakan yang menjadi tempat tinggal keluarga halaman dikelola

oleh sepasang suami istri, di film peternakan tersebut hanya dikelola oleh seorang laki-laki tua

yang rambutnya sudah beruban. Peternak di film hanya menampilkan peran Bapak Peternak

di novel. Ia membuang Ipssak di awal cerita, lalu berniat memotong sayap Chorok di

pertengahan cerita. Dialog Peternak di film jauh lebih sedikit dibanding dialog Bapak dan Ibu

Peternak di novel. Penghilangan tokoh Ibu Peternak di film dikarenakan perannya yang tidak

terlalu signifikan dan tokohnya dapat terwakilkan oleh Peternak.

3.2 Tokoh Latar dalam Novel dan Tidak dalam Film

Hanya ada satu tokoh latar dalam novel yang tidak muncul dalam film, yaitu Pemimpin

Bebek. Pemimpin Bebek tidak muncul karena seperti yang telah dijelaskan pada poin 3.1.4 di

atas, dalam film tidak ada pemimpin di antara keempat Bebek Peliharaan. Peran Pemimpin

Bebek di novel sebagai sosok yang menganggap anak bebek harus hidup dengan bebek agar

bisa belajar keterampilan hidup bebek, digantikan oleh tokoh Dalsu di film. Sama seperti

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 16: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

tokoh Ibu Peternak, penghilangan tokoh Pemimpin Bebek ini juga dikarenakan karena

perannya tidak terlalu signifikan dan bisa digantikan oleh tokoh lain.

3.3 Tokoh Latar dalam Film dan Tidak dalam Novel

Tokoh latar dalam film yang tidak ada dalam novel merupakan tokoh-tokoh yang tinggal

di sekitar rawa. Tokoh-tokoh latar dalam film dan tidak dalam novel yang akan dibahas

adalah Kelelawar, Burung Hantu, Ppalgangmeori, dan para penghuni rawa. Tokoh-tokoh ini

dimunculkan sutradara untuk menguatkan latar rawa dalam film. Selain itu, ada juga tokoh-

tokoh yang dimunculkan untuk membuat film menjadi lebih menarik.

3.3.1 Kelelawar

Kelelawar merupakan guru terbang pertama Chorok. Pelajaran terbangnya tidak berhasil

dengan baik karena Chorok tidak bisa bergantung terbalik di stalaktit gua. Walaupun begitu,

Kelelawar mengajarkan satu hal penting kepada Chorok, yaitu untuk terbang dengan

menggunakan insting hewaninya. Ajaran Kelelawar itulah yang membantu Chorok bisa

melewati hutan dengan baik pada saat Turnamen Terbang. Ciri khas Kelelawar adalah selalu

berbicara menggunakan aksen Gyeongsangdo.

3.3.2 Burung Hantu

Sama seperti Kelelawar, Burung Hantu juga adalah guru terbang Chorok. Inti pelajaran

terbang dari Burung Hantu adalah keberanian. Akan tetapi, menurut Burung Hantu, yang

dilakukan Chorok pada saat latihan bukanlah terbang karena keberanian melainkan percobaan

bunuh diri. Sama seperti ajaran Kelelawar, ajaran Burung Hantu juga menolong Chorok

memenangkan Turnamen Terbang. Jika Kelelawar selalu berbicara menggunakan aksen

Gyeongsangdo, Burung Hantu selalu berbicara menggunakan aksen Jeollado. Burung Hantu

juga selalu tampak mengantuk setiap saat.

3.3.3 Ppalgangmeori

Ppalgangmeori merupakan pesaing terbesar Chorok dalam Turnamen Terbang. Sebelum

Chorok mengikuti Turnamen Terbang, Ppalgangmeori adalah kandidat juara terkuat.

Walaupun gaya berbicaranya sombong, Ppalgangmeori merupakan sosok yang menjunjung

tinggi sportivitas. Ia bertanding tanpa mencurangi Chorok, lalu memberikan selamat dengan

tulus ketika Chorok keluar sebagai juara turnamen. Sutradara memunculkan tokoh

Ppalgangmeori untuk menambah keseruan cerita, karena turnamen tidak mungkin

diselenggarakan jika tidak ada tokoh-tokoh yang menjadi pesaing Chorok.

3.3.4 Para Penghuni Rawa

Para penghuni rawa terdiri dari sepasang bebek Mandarin dan keempat anak-anaknya,

seekor burung bangau, seekor burung kecil, dan sepasang burung air. Tokoh-tokoh ini

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 17: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

memiliki fungsi utama sebagai penguat latar rawa. Banyak adegan yang menampilkan

beberapa penghuni rawa sedang beraktivitas sebagai latar belakangnya. Seluruh penghuni

rawa memiliki satu kesamaan, yaitu ingin mengusir Ipssak serta Chorok dari rawa. Burung

Bangau beralasan Ipssak terlalu berisik sehingga ia tidak bisa mencari ikan dengan tenang.

Pasangan bebek Mandarin mengatakan hubungan ibu dan anak antara Ipssak dan Chorok

yang berbeda jenis dapat menimbulkan kebingungan di antara anak-anak mereka. Walaupun

mereka sangat ingin mengusir Ipssak, tidak ada satupun dari penghuni rawa yang berani

berbicara langsung kepada Ipssak. Mereka justru berbicara kepada Dalsu dan meminta Dalsu

yang mengusir Ipssak. Sisi ini dimunculkan oleh sutradara untuk memperumit konflik batin

yang dialami Ipssak, karena pada saat bersamaan, Chorok juga mengatakan tidak ingin tinggal

bersama Ipssak lagi.

Kesimpulan

Madangeul Naon Amtak awalnya merupakan novel karya Hwang Sunmi yang diterbitkan

pada 29 Mei 2000. Novel tersebut terjual lebih dari dua juta kopi di Korea Selatan dan

diterjemahkan ke lebih dari sepuluh bahasa, serta meraih berbagai penghargaan. Berkat

kepopulerannya tersebut, novel ini diangkat ke layar lebar oleh sutradara Oh Sungyoon dalam

bentuk film animasi. Film ini dirilis pada 28 Juli 2011. Sama seperti novelnya, film

Madangeul Naon Amtak juga meraih berbagai penghargaan, bahkan dinobatkan sebagai film

animasi produksi dalam negeri dengan jumlah penonton terbanyak. Baik novel maupun film

Madangeul Naon Amtak berkisah seputar seekor ayam petelur yang memiliki impian

mengerami telurnya sendiri. Demi impiannya itu, ia kabur dari peternakan dan dikejar-kejar

oleh musang. Ia berhasil mengerami telur, tetapi ternyata telur yang dieraminya adalah telur

bebek. Ayam tersebut kemudian berjuang membesarkan anaknya yang berbeda spesies

tersebut hingga tumbuh dewasa.

Sebagai salah satu karya yang mengalami adaptasi dari novel ke film, Madangeul Naon

Amtak tidak luput dari perubahan-perubahan yang terjadi pada sejumlah aspek. Hal yang

paling mendasari perubahan-perubahan tersebut adalah perubahan genre dari novel ke film.

Novel dan film memiliki media ekspresi yang berbeda. Berbeda dengan novel, film tidak

memiliki keleluasaan untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran tokoh. Sementara itu, film juga

dituntut memiliki konflik dan klimaks yang menarik untuk disajikan secara visual.

Perubahan yang paling jelas terdapat pada penokohannya. Dari segi tokoh, jumlah tokoh

di film mengalami peningkatan yang cukup besar. Di film terdapat satu tokoh utama, lima

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 18: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

tokoh tambahan, dan dua belas tokoh latar, sedangkan di novel hanya terdapat satu tokoh

utama, tiga tokoh tambahan, dan tujuh tokoh latar. Peningkatan yang cukup besar pada jumlah

tokoh latar menurut penulis disebabkan keperluan sutradara untuk membangun latar suasana

yang kuat. Meskipun jumlah tokoh bertambah, ada tokoh dalam novel yang dihilangkan dan

perannya digantikan oleh tokoh lain dalam film, seperti yang terjadi pada tokoh Pemimpin

Bebek. Tokoh Pemimpin Bebek tidak ada dalam film, dan perannya digantikan oleh Dalsu.

Dari segi penokohan, beberapa tokoh juga mengalami perubahan yang cukup signifikan,

terutama tokoh utama, Ipssak. Di novel, Ipssak digambarkan sebagai tokoh yang memegang

teguh mimpinya, senang berpikir dan mengamati, perhatian, tidak mudah menyerah, dan ibu

yang penuh kasih sayang. Sedangkan di film, meski sama-sama memegang teguh mimpinya,

tidak mudah menyerah, dan penuh kasih sayang, Ipssak tampil sebagai tokoh yang ceria,

bawel, dan kreatif dalam memberi nama untuk tokoh lain. Di film, sutradara memberikan

porsi lebih besar untuk penggambaran sisi Ipssak sebagai ibu yang penuh kasih sayang, yang

berimbas kepada sedikitnya adegan untuk menggambarkan bagaimana Ipssak memegang

teguh impiannya mengerami telur. Pergeseran karakter Ipssak ini secara langsung

memengaruhi tokoh-tokoh lainnya, terutama tokoh Chorokmeori yang merupakan tokoh yang

paling banyak berinteraksi dengan Ipssak. Pada Chorokmeori ditambahkan karakter-karakter

yang dapat menonjolkan sisi ibu yang penuh kasih sayang pada Ipssak.

Selain perubahan karena menyesuaikan dengan penokohan tokoh utama yang berubah,

ada pula perubahan yang terjadi karena faktor komersial. Beberapa tokoh diubah karakternya

atau bahkan dimunculkan untuk membuat film menjadi lebih menarik. Salah satu tokoh yang

diubah karakternya adalah Ayam Jantan. Ia merupakan tokoh yang paling berkuasa di

keluarga halaman, kata-katanya adalah peraturan yang harus dipatuhi semua anggota keluarga

halaman. Di novel, Ayam Jantan muncul sebagai sosok yang berwibawa dan ditakuti oleh

tokoh-tokoh lainnya. Akan tetapi, di film ia muncul dengan tubuh yang jauh lebih kecil dari

para Ayam Betina. Ia juga memiliki jambul yang sangat besar, sehingga terlihat tidak

proporsional dengan tubuhnya. Menuju akhir cerita, terungkap kalau jambul besar itu ternyata

jambul palsu, dan jambul asli Ayam Jantan justru sangat kecil. Tokoh baru yang dimunculkan

dalam film di antaranya adalah Dalsu. Walaupun Dalsu juga menggantikan peran Pemimpin

Bebek, tetapi tujuan utama dimunculkannya adalah untuk meningkatkan kadar humor film

Madangeul Naon Amtak. Dalsu muncul sebagai tokoh yang bekerja sebagai agen budongsan

bagi para penghuni rawa yang bawel, selalu berbicara menggunakan aksen Gyeongsangdo,

dan terkadang menyelipkan frasa-frasa berbahasa Inggris dalam kalimatnya. Interaksi Dalsu

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 19: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

dengan tokoh-tokoh lain sangat menarik untuk dilihat, dan reaksi-reaksi yang dilontarkannya

tidak jarang mengundang gelak tawa.

Perubahan-perubahan yang terdapat dalam film Madangeul Naon Amtak membuat titik

berat tema film ini berbeda dengan novelnya. Tema besar kedua karya sama-sama membahas

tentang perjuangan seseorang menggapai apa yang diinginkan, diimpikannya selama ini dan

perjuangan ibu yang penyayang dalam membesarkan anaknya. Di novel, pengarang Hwang

Sunmi lebih mengelaborasi tema perjuangan mencapai mimpi. Hal ini nampak dari diulang-

ulangnya kalimat “Aku ingin mengerami telur dan melihat kelahiran anak ayam” dalam

banyak bab dan banyaknya halaman yang ia gunakan untuk mengisahkan perjuangan Ipssak

sampai telur Chorokmeori menetas. Sementara itu, sutradara Oh Sungyoon menekankan tema

perjuangan ibu membesarkan anaknya dalam film. Ini terlihat dari perubahan-perubahan

karakter yang terjadi, terutama tokoh utama dan tokoh-tokoh yang berinteraksi dengan tokoh

utama, serta durasi yang digunakan sutradara untuk menceritakan kehidupan Ipssak setelah

Chorokmeori menetas. Pengarang Hwang Sunmi seolah ingin menyemangati para

pembacanya, terutama anak-anak, bahwa mimpi itu harus dikejar. Lewat tokoh Ipssak, ayam

petelur yang ingin mengerami telurnya dan menyaksikan kelahiran anak ayam, ia seperti ingin

menyampaikan semustahil apapun sebuah mimpi, jika kita mengerahkan usaha yang

maksimal untuk mencapainya, pasti akan terwujud juga. Sedangkan sutradara Oh Sungyoon

seolah ingin menunjukkan betapa hebatnya kasih sayang ibu. Kasih ibu bisa menembus batas

perbedaan spesies pada kasus Ipssak dan Chorokmeori, dan tak terbatas kepada anak sendiri

saja, tetapi kepada anak orang lain juga, seperti pada kasus Ipssak dan anak-anak Aekkunun.

Daftar Referensi

Korpus

Buku: 황선미. (2012). 마당을 나온 암탉 (20 쇠). 파주: 사계절. (Hwang, Sunmi. (2012).

Madangeul Naon Amtak (cet. 20). Paju: Sakyejul)

Film: 오성윤 (감독). (2011). 마당을 나온 암탉. 서울: 명필름. (Oh, Sungyoon (dir). (2011).

Madangeul Naon Amtak. Seoul: Myung Films)

Sumber buku

고은정. (2013). 석사학위논문. 원작소설 영화화 과정의 서사변용 연구 – 이청준의

“벌레이야기”와 이문열의 “익명의 섬”을 중심으로. 광주여자대학교 사회개발대학원. (Go,

Eunjeong. (2013). Seoksahakwinonmun. Wonjaksoseol Yeonghwahwa Gwajeongui

Seosabyeon-yong Yeon-gu – Lee Cheongjun-ui “Beolleiyagi”wa Lee Mun-yeol-ui

“Ikmyeongui Seom”eul Jungsimeuro. Gwangjuyeojadaehakgyo Sahoegaebaldaehakwon)

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014

Page 20: Novel dan Film Madangeul Naon Amtak: Analisis Penokohan

이선이 엮음. (2012). 외국인을 위한 한국문학사. 서울: 한국문화사. (Lee Seonyi, et al. (2012).

Oegugineul Wihan Hangukmunhaksa. Seoul: Hangukmunhwasa)

이현주. (2009). 석사학위논문. 소설의 영화화 과정의 서사적 변이 양상 – 이청준의 “서편제”를

중심으로. 전북대학교 일반대학원. (Lee Hyeonju. (2009). Seoksahakwinonmun. Soseolui

Yeonghwahwa Gwajeongui Seosajeok Beyoni Yangsang – Lee Cheongjun-ui

“Seopyeonje”reul Jungsimeuro. Cheonbukdaehakgyo Ilbandaehakgyo)

한국문학평론가협회. (2006). 문학비평 용어사전. 서울: 국학자료원.

(Hangukmunhakpyeongrongahyeobhoe. (2006). Munhakbipyeong Yongeosajeon. Seoul:

Gukhakjaryowon)

Boogs, Joseph M. (1992). Cara Menilai Sebuah Film, terj. Asrul Sani. Jakarta: Yayasan Citra.

Erneste, Panusuk. (1991). Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.

Krevolin, Richard. (2003). Rahasia Sukses Skenario Film-Film Box Office. Bandung: Penerbit

Kaifa.

Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.

3). Jakarta: Balai Pustaka.

Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan (cet. 2). Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumber internet

Choi, Kwanghee. (2011, 28 Juli). “A million audience is a meaningful number”. Korean Film

Biz Zone. Diunduh 26 Mei 2014 pukul 02.23. <http://www.koreanfilm.or.kr/jsp/films/

interview.jsp?blbdComCd=601017&seq=11&mode=VIEW>.

Chung, Ahyoung. (2013, 7 Maret). “Korean fairytale selected as Best Book of Year in

Poland”. The Korea Times. Diunduh 18 Desember 2013 pukul 22:09.

<http://www.koreatimes.co.kr/www/news/culture/2013/03/386_131677.html>.

Flinn, Jennifer. (2011). “Animals in Korean Folklore”. Diunduh 11 November 2013 pukul

12:07. <http://blog.korea.net/?p=3392>.

“Leafie, A Hen Into The Wild exceeds 2million viewers, and enters top 10 of the most

viewed animations in Korea”. (2011, 5 September). Korea.com. Diunduh 18 Desember 2013

pukul 22:07. <http://en.korea.com/blog/enter/movie/leafie-a-hen-into-the-wild-exceeds-

2million-viewers-and-enters-top-10-of-the-most-viewed-animations-in-korea/>.

Montgomery, Charles. (2014, 26 Februari). “10 Magazine Book Club Interview of Hwang

Sun-Mi author of “The Hen Who Dreamed She Could Fly” by Barry Welsh”. [Video].

Diunduh 25 Mei 2014 pukul 23.36. < http://www.youtube.com/watch?v=-qZCVBn1N9s>.

Novel dan …, Annisa Luthfiarrahman, FIB UI, 2014