View
80
Download
3
Category
Preview:
DESCRIPTION
Rancangan Askep Injuri Kepala
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat
perhatian besar, apalagi cedera kepala ini sering menimpa golongan usia produktif. Dan
kebanyakan menimbulkan kematian pada manusia salah satunya adalah Head Injuri Great III
( Soemarno Markam 1992 ).
Head Injuri Great III juga disebut comusio cerebri adalah keadaan dimana penderita
setelah mendapat cedera kepala / kapitis mengalami penurunan kesadaran sejenak tidak lebih
dari 10 menit. Adanya riwayat pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Kemudian penderita
dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami defisit neurologi dan biasanya diertai dengan
retograd yaitu lupa akan kejadian pada waktu beberapa saat sesudah terjadi kecelakaan.
( Soemarno Markam 1992 ).
Statistik neagara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kapittis
mencakup 26 % dari jumlah segala macam kecelakaan 33 % kecelakaan yang berakhir pada
kematian menyangkut trauma kapitis. Diluar medan perperangan lebih dari 50 % trauma kapitis
yaitu terjadi karena kecelakaan lalu lintas selebihnya karena pukulan atau jatuh.
Menurut data yang punulis dapatkan dari buku register dari Ruang Rawat Penyakit
Saraf Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dari
tanggal 21 maret 2005 sampai dengan 13 mei 2005, didapatkan jumlah penderita yang dirawat
inap sebanyak 80 orang , dan yang menderita Head Injuri sebanyak 20 orang atau 25 % ( Buku
register Ruang Rawat Penyakit Saraf Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum dr.
Zainoel Abidin Banada Aceh ).
Adapun kegawat daruratan penyakit / masalah yang berperngaruh terhadap semua
aspek pasien adalah : beberapa usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi
akibat kecelakaan yang serius misalanya mematuhi undang-undang lalu lintas, pemakaian seat
belt, helm dan sebagainya ( RSU. P 1995 ).
1 | P a g e
Adapun peran perawat yang dilakukan pada Head Injuri Gret III ialah : memberikan
asuhan keperawatan, memberi rasa aman, mengurangi rasa khawatir, mempertahankan
hubungan yang harmonis utntuk membantu penyembuhan, melayani kebutuhan pasien dan
keinginan pasien serta perawatan berperan sebagai penyuluh kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Injury Kepala?
2. Apa etiologi dari Injury Kepala?
3. Klasifikasi dari Injury Kepala?
4. Apa manifestasi klinik Injury Kepala?
5. Bagaimana patofisiologi Injury Kepala?
6. Apa komplikasi Injury Kepala?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik Injury Kepala?
8. Bagaiamana penatalaksanaan Injury Kepala?
9. Bagaiamna asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan Injury Kepala?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui tentang konsep dasar asuhan keperawatan pada klien
dengan Injury Kepala
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian injury kepala.
b. Menjelaskan etiologi injury kepala.
c. Menjelaskan klasifikasi injury kepala.
d. Menjelaskan manifestasi klinis injury kepala.
e. Menjelaskan patofisiologi injury kepala.
f. Menjelaskan penatalaksanaan injury kepala.
2 | P a g e
D. METODE PENULISAN
Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yag diperoleh dari buku
ataupun sumber dari internet.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari 3 bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Isi yang terdiri dari pengertian, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologi,
dan penatalaksanaan Injury Kepala
BAB III : Asuhan Keperawatan pada klien Injury Kepala
BAB IV : Penutup terdiri dari Kesimpulan
3 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam
(Batica,2011)
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Borley, 2006)
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya
(Standar Pelayanan Mendis ,RS DR Sardjito)
Cendera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Mansjoer Arif
,dkk ,2000)
B. Etiologi
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh
Trauma benda tumpul
Kecelakaan kerja
Kecelakaan olahraga
Trauma Tembak
Pecahan Bom
Pukulan Langsung
Tabrakan
Peluru
4 | P a g e
C. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera
kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek, secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan :
1) Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2) Berat nya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
a) Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13–15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral
maupun hematoma.
b) Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9–12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma
intracranial.
5 | P a g e
Glascow Coma Scale (GCS)
No Respon Nilai
1.
2.
3.
Membuka Mata :
Spontan
Terhadap rangsangan suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Verbal :
Orientasi baik
Orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara tidak jelas
Tidak ada respon
Motorik :
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
3) Tipe Cedera Kepala
Tipe dari cedera kepala dapat meliputi :
1. Fraktur Tengkorak
Fraktur kepala dapat melukai jaringan pembuluh darah dan saraf-saraf dari otak,
meorbek durameter yang mengakibatkan perembesan cairan serebrospina,
6 | P a g e
dimana dapat membuka suatu jalan untuk terjadinya infeksi intracranial. Adapun
macam-macam dari fraktur tengkorak adalah:
a. Linear Fraktur adalah retak biasa pada bagian hubungan tulang dan tidak
merubah hubungan dari kedua fragmen.
b. Comminuted Fraktur adalah patah tulang dengan multiple fragmen dengan
fraktur yang multilinear
c. Depressed Fraktur . Fragmen tulang melekuk ke dalam.
d. Coumpound Fraktur. Fraktu tengkorak yang meliputi laserasi dari kulit
kepala, membrane mukosa, sinus paranasal, mata dan telinga atau
membrane timpani.
e. Fraktur dasar tengkorak. Fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak,
khususnya pada fossa anterior dan tengah. Fraktur dapat dalam bentuk salah
satu : linear, comminuted atau depressed. Sering menyebabkan rhinorrhea
atau otorrhea.
2. Cidera Serebral.
Cidera serebral dapat meliputi :
a. Komosio serebri. Adalah suatu kerusakan sementara fungsi
neurologi yang disebabkan oleh benturan pada kepala. Biasanya
tidak merusak struktur tetapi menyebabkan hilangnya ingatan
sebelum dan sesudah cidera, lesu, mual dan muntah. Biasanya
dapat kembali pada fungsi yang normal. Setelah komosio akan
timbul sindroma berupa sakit kepala, pusing, ketidakmampuan
untuk konsentrasi berupa minggu setelah kejadian.
b. Kontusio serebri. Benturan dapat menyebabkan perubahan dari
struktur dari permukaan otak yang mengakibatkan perdarahan
dan kematian jaringan dengan/tanpa edema. Kontusio dapat
berupa copu atau contracoup injury. Defisit neurologi serius dapat
terjadi. Gejala-gejala tergantung pada luasnya kerusakan.
7 | P a g e
c. Hematoma epidural Adalah perdarahan yang menuju ke ruang
antara tengkorak dan durameter. Kondisi ini terjadi karena
laserasi dari arteri meningea media. Gambaran klinik klasik yang
terlihat berupa: hilangnya kesadaran dengan diikuti perioe flaccid,
tingkat kesadaran dengan cepat menurun confusion sampai
dengan koma. Jika tidak ditangani akan menyebabkan kematian.
d. Hematoma subdural. Adalah perdarahan arteri atau vena
durameter dan arachnoid. Hematoma subdural akut dapat timbul
dalam waktu 48 jam, dengan gejala-gejala berupa sakit kepala,
mengantuk, agitasi, bingung dan dilatasi dan fiksasi pupil
ipsilateral. Untuk hematoma subakut subdural gejala-gejalanya
sama dengan yang akut, tetapi berkembang lebih lambat yaitu 2
hari sampai 2 minggu. Hematoma subdural kronik akibat trauma
kecil dapat berkembang lebih lama lagi
e. Hematoma Intracerebral. Adalah perdarahan yang menuju ke
jaringan serebral. Biasanya terjadi akibat cidera langsung dan
sering didapat pada lobus frontal atau temporal. Gejala-gejalanya
meliputi: sakit kepala, menurunnya kesadaran, hemiplegia
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral.
f. Hematoma subarachnoid. Hematoma yang terjadi akibat trauma,
meskipun pembentukan hematoma jarang. Tanda dan gejala-
gejalanya meliputi: kaku kuduk, sakit kepala, menurunnya tingkat
kesadaran, hemiparesis dan ipsilateral dilatasi pupil.
D. Manifestasi Klinis
1. Komosio Serebri
Muntah tanpa nausea
Nyeri pada lokasi cidera
Mudah marah
Pusing dan mata berkunang-kunang, ingatan sementara hilang
8 | P a g e
2. Kontusio Serebri
Perubahan tingkat kesadaran
Lemah dan paralisis tungkai
Kesulitan berbicara
Hilangnya ingatan sebelum dan pada saat trauma, sakit kepala
Perubahan dalam penglihatan
Tidak berespon baik rangsang verbal dan denyut nadi
Kelumpuhan saraf cranial Glasglow coma scale dibawah
3. Hematoma epidural
Luka benturan/penetrasi pada lobus temporal, dasar tengkorak.
Hilangnya kesadaran dalam waktu singkat mengikuti beberapa menit
sampai beberapa jam periode flasia, kemudian secara progresif turun
kesadarannya
Gangguan penglihatan
Perasaan mengantuk, ataksia, leher kaku yang menujukkan adanya
hematoma epidural fossa posterior
Kontraleral hemiparesis/paralisis
Kontralateral aktivitas kejang jacksonia
4. Hematoma subdural
Berubah-ubah hilang kesadaran
Sakit kepala
Otot wajah melemah
Tanda-tanda babinsky positif
Tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
Kronik
Gangguan Mental
Sakit kepala yang hilang timbul
Perubahan tingkah laku
Kelemahan yang hilang timbul pada satu tungkai pada sisi tubuh
9 | P a g e
Meningkat gangguan penglihatan
Penurunan tingkat kesadaran yang hilang timbul
Peningkatan Tekanan Intrakranial
E. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan
suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar
daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus
pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap
awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam,
percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur
tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian
langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi
dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas.
10 | P a g e
Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis
yang tergantung lokasi kerusakan. Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat
dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain.
Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar.
Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang
berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi
sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah
trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang
hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium
dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga
keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung
karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi
tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi
tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan
korteks serebri terputus.
11 | P a g e
F. Pathway
G. Komplikasi
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
12 | P a g e
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala, meliputi hal-
hal di bawah ini.
CT- scan , Mengidentifikasi adanya Hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
MRI
Angiografi serebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat oedema, perdarahan atau trauma.
EEG , untuk memperlihatkan berkembangnya gelombang patologis
Foto Rontgen, mendekteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang
PET (Positron Emission Tomography), mendeteksi perubahan aktivitas
metabolism otak.
Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subaraknoid
Kadar Elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intracranial.
Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
Analisis Gas Darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostik untuk menetukan
status respirasi, status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan
AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa.
I. Penatalaksanaan Medis
1. Non Pembedahan
13 | P a g e
Angkat Tangan klien dengan papan datar untuk mempertahankan posisi
kepala dan leher sejajar
Traksi ringan pada kepala
Terapi untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah kerusakan
otak sekunder sperti stabilitas system kardiovaskular dan fungsi
pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral yang adekuat
Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melalukan pemantauan TIK.
Bila terjadi peningkatan TIK,pertahankan oksigenisasi yang
adekuat:Pemberian manitol untuk menguragi edema kepala dengan
dehidrasi osmotic, hiperventilasi, meninggikan posisi kepala di tempat
tidur;kolaborasi bedah neuro untuk meningkatkan bekuan dan jahitan
terhadap laserasi di kepala. Pasang alat pemantau TIK selama pembedahan
atau dengan tekhnik aseptic di tempat tidur. Rawat klien Di ICU
Tindakan perawatan Pendukung yang lain, yaitu pemantauan ventilasi dan
pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit, dan keseimbangan
nutrisi. Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk
mengontrol jalan napas, penurunan volume darah serebral, dan
penurunan TIK , Pasang NGT bila terjadi penururnan motilitas lambung dan
peristaltic terbalik akibat cedera kepala.
2. Pembedahan
Kraniotomi diindikasikan utnuk:
Mengatasi subdural atau epidural hematoma
Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak tekontrol
Mengobati Hidrosefalus
3. Farmakologi
Glukokortikoroid (dexamethazone) untuk mengurangi edema
Diureik Osmotic (manitol) di berikan melalui jarum dengan filter untuk
mengeluarkan Kristal-kristal mikroskopis
14 | P a g e
Diuretik loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan
tekanan Intrakranial
Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi
mekanik untuk mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat
menibgkatkan resiko peningkatan tekanan intracranial
Pemberian terapi Antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah
trauma kepala yang menyebabkan kerusakan otak sekunder karena
hipoksia .
J. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
a. Anamnesis
1) Pengumpulan data klien baik subjketif maupun objektif pada gangguan system
persarafan sehubugan dengan cedera kepala bergantung pada bentuk, lokasi,
jenis cedera, dan adanya komplikasi pada organ vital lainya. Anamnesis pada
cedera kepala meliputi keluhan utama,riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial
2) Keluhan Utama
Sering menjadi alas an klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung
seberapa jauh dampak dari trauma kepala diserati penurunan tingkat kesadaran.
3) Riwayat Penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas,
jauh dari ketinggian, traumalangsung ke kepala. Pengkajian yang didapat,
meliputi tingkat esdaran menurun (GCS < 15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit
kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi
sekret pada saluran pernapasan, adanya likuor dari hidung dan telinga, serta
kejang. Adanya penurunanatau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak
responsive , dan koma.
15 | P a g e
4) Riwayat Penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obatan antikoagulan,aspirin, vasodilator, obat-obatan adiktif
dan konsumsi alkohol berlebihan.
5) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan
diabetes mellitus.
6) Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme kping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan akivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah .
Adanya perubahan hubungan dan peran klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan
klien measa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif.
Oleh karena klien harus menalani rawat inap, keadaan ini mungkin
member dampak pada status ekonomi klien, akibat biaya perawatan dan
pengoatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan
biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap
pada gaya hidup indivisu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas
dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam
hubungannya dengan peran social dan rencana pelayanan yang akan
16 | P a g e
mendukung adapatasi pada gangguan neurologis di dalam system dukungan
individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah Melakukan Anamnesis yang mengarah pada keluhan – keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system (B1 – B6)
dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3(Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.
1) Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umunya mengalami penurunan kesadaran (cedera
kepala ringan, GCS:13 – 15; cedera kepala sedang GCS: 9 – 12; cedera kepala
berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan pada tanda-
tanda vital.
2) B1 (Breathing)
Perubahan pada system pernapasan bergantung pada gradasi dari perubahan
jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan hasil dari
pemeriksaan fisik system ini akan didapatkan hasil seperti di bawah ini:
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunann otot bantu napas, dan peningatan frekuensi pernapasan. Ekspansi
dada: dinilai penuh/ tidak penh dan kesimetrisannya. Pada Observasi ekspansi
dada juga perlu dinilai: Retraksi dari otot-otot interkostal, substernal,
pernapasan abdomen., dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi).
Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
Pada Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga torak.
17 | P a g e
Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada torak/hematoraks
Pada Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma.
Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan,
klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat
diruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien
cedera kepala berat dengan pemasangan ventilator secara komprehensif
merupakan jalur keperawatan kritis.
Pada Klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian pada Inspeksi
pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
18 | P a g e
TIK meningkat
Hipoksemia
Hiperkapnia
Rangsang Simpatis
Me tahanan vaskuler sistemik dan tekanan darah
Peningkatan hambatan difusi O2 – CO2
Sistem pembuluh darah pulomonal tekanan darah
Edema Paru
Meningkatkan tekanan hidrostatik
3) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat. Hasil pemeriksaan
kardiovaskuler klien kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan
darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia, dan aritmia. Frekuensi
nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda
dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan oucat menunjukkan adanya
penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi janringan dan tanda-tanda awal dari syok. Pada beberapa
keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang tubuh untuk
melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini
akan meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan resiko terjadinya
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada system kardiovaskuler.
4) B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai deficit neurologis terutama akibat
pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan adanya perdarahan
baik bersifat hematom intraserbal, subdural, dan epidural. Pengkajian B3 (Brain)
merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
system lainnya.
19 | P a g e
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan.
Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa sampai koma.
Pengkajian Fungi Serebral. Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi
intelektual, lobus frontal, dan hemisfer.
Status Mental, Observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai gaya bicara,
ekspansi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien cedera kepala tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Fungsi Intelektual. Pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
Lobus Frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan
jika trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal
kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi.
Disfungsi ini dapat Ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh emosi yang labil,
bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerja sama .
Hemisfer . Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase sebelah
kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera
kepala yang hemisfer kiri, mengalami hemiparasee kanan, perilaku lambat dan
sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia
dan mudah frustasi.
20 | P a g e
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf cranial I-
XXII
Saraf I : Pada beberapa keadaan cedera kepala di area yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi
penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.
Saraf II. Hematom palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan
lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus. Perdarahan di ruang
intracranial,, terutama hemoragia subaraknoid, dapat disertai dengan
perdarahan di retina. Anomali pembuluh darah di dalam otak dapat
bermanifestasi juga di fundus. Akan tetapi dari segala macam kelainan di
dalam ruang intracranial, tekanan intracranial dapat dicerminkan pada
fundus.
Saraf III,IV, dan VI . Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada
klien dengan trauma yang merusak rongga orbita. Pada kasus-kasus trauma
kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda
serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda dini herniasi
tentorium adalah midriasis yang tidak berekasi pada penyinaran. Paralisis
otot ocular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala
terdapat anisokoria, bukan midriasis, melainkan miosis yang bergandengan
dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miotik adalah
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang
mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan berkontraksi.
Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan
21 | P a g e
Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup
baik serta tidak ada artofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
Pengkajian Sistem Motorik. Pada inspeksi umum, didapatkan hemiplegia
(Paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otakk yang berlawanan.
Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Tonus Otot. Didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan Otot. Pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan
otot didapatkan tingkat 0.
Keseimbangan dan Koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia.
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal.
Pemeriksaan reflex patologis, pada fase akut reflex fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari reflex fisiologis akan mencul kembali
didahului dengan reflex patologis.
Pengkajian Sistem Sensorik. Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi
terjadi ketidakmamuan untuk menginterprestasikan sensasi. Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata dan
korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan
dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan
hemiplegia kiri.
22 | P a g e
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam mneginterprestasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
5) B4(Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan
system perkemihan karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-
kadang control sfingter urinarius eksrternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan tekhnik steril. Inkontinensia
urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan, nafsu makan menurun, mual, dan muntah
pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya
inkontinensia alvi yng berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada
mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya Dehdrasi.
Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus
harus di kaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan Observasi bising
usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya
udara yang berasal dari sekitar slang endoktrakeal dan nasotrakeal.
23 | P a g e
7) B6(Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstermitas. Kaji
warna kulit, suhu, kelemahan, dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit;
warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstermitas, telinga,
hidung, bibir, dan membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane
mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau syok.
Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat
adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya
demam, dan infeksi. Integrasi kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus.
Adanya kesulitan untik beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/hemiplegic, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penatalksanaan saat awal terutama pada cedera kepala selain mempertahankan
fungsi ABCD (airway, breathing, dan circulation) dan menilai stataus neurologi
(disabilitas dan pajanan), penurunan risiko iskemi juga harus dilakukan. Keadaan
ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak
yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih
rendah.
Selain itu, perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang
meningkat disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
menunjukkan acidosis intraserebral dan meningkatkan metabolism intraserebral.
a.
24 | P a g e
b. Asuhan keperawatan
1. Risiko Tinggi Peningkatan TIK Berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan, baik berdifat
intraserebral,hematom, subdural hematom,maupun epidural hematom.
2. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema otak,
hematoma,penurunan tekanan darah sistemik/hipoksia.
3. Ketidakefektifan pola napas b.d difusi O2 terhambat
4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang kebutuhan tubuh b. d ketidakmampuan
pemasukan makanan atau mencerna makanan dan atau mengabsorbsi zat-zat gizi
karena faktor biologis.
No Dx. Keperawatan Tujuan Kriteria hasil Intervensi
1 Risiko Tinggi
Peningkatan TIK
Berhubungan dengan
desak ruang
sekunder dari
kompresi korteks
serebri dari adanya
perdarahan, baik
bersifat
intraserebral,hemato
m, subdural
hematom,maupun
epidural hematom.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
dalam waktu 2 x 24 jam
tidak terjadi peningkatan
TIK pada klien
Kriteria:
1. Klien tidak gelisah,
klien tidak mengeluh
nyeri kepala, mual –
mual dan muntah,
2. 2. GCS: 4,5,6,
tidak terdapat
papiledema. TTV dalam
batas normal.
1. Kaji faktor penyebab
dari situasi/keadaan
individu/penyebab
koma/penurunan
perfusi jaringan dan
kemungkinan
penyebab
peningkatan TIK
2. Memonitor tanda –
tanda vital tiap 24 jam
3. Evaluasi pupil, amati
ukuran,ketajaman,dan
reaksi terhadap
cahaya
4. Bantu klien jika
25 | P a g e
batuk,muntah
5. Observasi tingkat
kesadaran dengan GCS
6. Kolaborasi untuk
tindaka operatif
evakuasi darah dari
dalam intracranial
7. Berikan analgesik
narkotik, contohnya
kodein :
2 Gangguan perfusi
jaringan serebral
berhubungan dengan
edema otak,
hematoma,penuruna
n tekanan darah
sistemik/hipoksia.
dalam waktu 3 x 24 klien
dapat mempetahankan:
1. tingkat kesadaran
biasa/perbaikan,
kognisi adanya
fungsi motorik
dan sensorik.
2. Mendemonstrasik
an TTV Stabil dan
tak ada
peningkatan TIK
1. Kaji tingkat kesadaran
dengan GCS
2. Kaji pupil, ukuran,
respon terhadap
cahaya, gerakan mata
3. Evaluasi keadaan
motorik dan sensori
pasien
4. Monitor tanda vital
setiap 1 jam
5. Observasi adanya
edema periorbita
ekimosis diatas
osmatoid,rhinorrhea,
otorrhea
6. Pertahan kan kepala
tempat tidur 30-45
derajat dengan posisi
leher menekuk
26 | P a g e
7. Anjurkan pasien untuk
tidak menekuk
lututnya / fleksi,
batuk, bersin, feses
yang keras
8. Pertahankaan suhu
normal.
9. Monitor kejang dan
berikan obat
antikejang.
10. Lakukan aktivitas
keperawatan dan
aktivitas pasien
seminimal mungkin.
11. Pertahankan
kepatenan jalan
napas, suction jika
perlu, berikan oksigen
100 % sebelum
suction dan suction
tidak lebih dari 15
detik.
12. Berikan obat sesuai
program dan monitor
efek samping.
3 Ketidakefektifan pola
napas b.d difusi O2
terhambat
1. kaji frekwensi napas,
kedalaman, irama
setiap 1-2 jam.
2. Auskultasi bunyi napas
27 | P a g e
setiap 1-2 jam
3. Pertahankan
kebersihan jalan
napas, suction jika
perlu, berikan oksigen
sebelum suction.
4. Berikan posisi
semifowler.
5. Berikan oksigen sesuai
program.
4 Tidak efektifnya pola
napas berhubungan
dengan kerusakan
neuromuskular,
kontrol mekanisme
ventilasi, komplikasi
pada paru-paru.
1. Kaji frekwensi napas,
kedalaman, irama
setiap 1-2 jam.
2. Auskultasi bunyi napas
setiap 1-2 jam
3. Pertahankan
kebersihan jalan
napas, suction jika
perlu, berikan oksigen
sebelum suction.
4. Berikan posisi
semifowler.
5. Berikan oksigen sesuai
program.
5 Ketidak seimbangan
nutrisi kurang
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
1. Kaji kebiasaan makan
klien
28 | P a g e
kebutuhan tubuh b. d
ketidakmampuan
pemasukan makanan
atau mencerna
makanan dan atau
mengabsorbsi zat-zat
gizi karena faktor
biologis.
dalam waktu 3 x 24 jam
nutrisi terpenuhi sesuai
kebutuhan tubuh, dengan
criteria:
1. Klien mengatakan
keinginan untuk
makan
2. Makanan yang
disediakan sesuai
kebutuhan nutrisi
dapat dihabiskan
3. Berat badan
dalam batas
maksimal
2. Catat jumlah makanan
yang di makan
3. Kolaborasi dengan Tim
gizi dan dokter untuk
penentuan kalori diet
sesuai dengan
penyebab stroke
seperti hipertensi,
DM,dan penyakit
lainnya.
BAB IV
PENUTUP
29 | P a g e
Kesimpulan
Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik yang terjadi setelah
trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya (Standar Pelayanan Mendis ,RS DR Sardjito)
Cendera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. (Mansjoer Arif ,dkk ,2000)
30 | P a g e
Recommended