84
ANAK-ANAK REVOLUSI Mereka adalah korban Revolusi Rusia. Yang mereka miliki hanyalah perasaan senasib dan impian mereka : Kebebasan. Bab 1 Orang-orang menghilang. Setiap orang tahu itu. Namun, ketika Alex turun untuk sarapan dan menemukan seluruh keluarganya telah diambil – ibunya, ayahnya, adiknya, Nadia, dan neneknya – ia sama sekali tak dapat mempercayainya. Ia tidak mendengar suara apa pun karena kamar gilanya, sebuah celah sempit di lantai dua yang biasa digunakan untuk gudang, kecil, penuh barang, dengan jendela kecil dekat langit-langit yang menyiratkan sedikit cahaya. Ia sesungguhnya tak menyukainya, karena ia harus melewati kamar orang tuanya kemudian mendorong semua barang-barang yang disimpan di sana – baju-baju bekas, selimut, kardus-kardus – untuk sampai ke tempat tidurnya. Ia hanya bisa marah diam-diam ketika dulu orang tuanya menyuruhnya pindah dari kamar yang ditempatinya bersama Nadia, yang jendelanya menghadap ke kebun, agar Nadia mempunyai kamar sendiri. Namun, ia sudah dibiasakan untuk menurut tanpa protes. Ia sudah lama mengerti bahwa hak-hak anak kecil dibatasi oleh keinginan–keinginan orang tua. Sekarang ia bersyukur mungkin kamar gila itulah yang telah menyelamatkannya. Ketika OGPU, polisi rahasia, datang untuk menangkap setiap orang, mereka luput memeriksa gudang. Memang satu-satunya yang terbaik dari ruangan itu adalah keterasingannya. Seseorang dapat menyepi di sana tanpa terganggu oleh suara orang mengobrol atau oleh suara truk yang berjalan di atas jalan berbatu… bahkan oleh suara tembakan. Suatu tempat yang tenang untuk mengerjakan soal-soal matematika yang diberikan oleh gurunya, Katriana Sergyeva Sokolova. Ketika ia turun untuk sarapan, tak ada tanda-tanda dari siapa pun, tak ada api di perapian. Bahkan tak ada bau angit bubur gandum yang hangus. Tetapi yang menyadarkan Alex akan ketidakberesan yang mencekam hatinya adalah kursi yang tergeletak di ruang depan. Ibunya, yang begitu rapi, tak pernah membiarkan kursi tergeletak begitu saja. Alex mendirikan kursi itu dan memanggil penuh keraguan, “Mama? Papa?” Ketika tak ada jawaban, ia memanggil , ”Nadia?

ANAK-ANAK REVOLUSI

Embed Size (px)

Citation preview

ANAK-ANAK REVOLUSI

Mereka adalah korban Revolusi Rusia. Yang mereka miliki hanyalah perasaan senasib dan impian mereka :

Kebebasan.

Bab 1

Orang-orang menghilang. Setiap orang tahu itu. Namun,ketika Alex turun untuk sarapan dan menemukan seluruhkeluarganya telah diambil – ibunya, ayahnya, adiknya, Nadia,dan neneknya – ia sama sekali tak dapat mempercayainya. Iatidak mendengar suara apa pun karena kamar gilanya, sebuahcelah sempit di lantai dua yang biasa digunakan untuk gudang,kecil, penuh barang, dengan jendela kecil dekat langit-langityang menyiratkan sedikit cahaya. Ia sesungguhnya takmenyukainya, karena ia harus melewati kamar orang tuanyakemudian mendorong semua barang-barang yang disimpan di sana –baju-baju bekas, selimut, kardus-kardus – untuk sampai ketempat tidurnya. Ia hanya bisa marah diam-diam ketika duluorang tuanya menyuruhnya pindah dari kamar yang ditempatinyabersama Nadia, yang jendelanya menghadap ke kebun, agar Nadiamempunyai kamar sendiri. Namun, ia sudah dibiasakan untukmenurut tanpa protes. Ia sudah lama mengerti bahwa hak-hakanak kecil dibatasi oleh keinginan–keinginan orang tua.

Sekarang ia bersyukur mungkin kamar gila itulah yangtelah menyelamatkannya. Ketika OGPU, polisi rahasia, datanguntuk menangkap setiap orang, mereka luput memeriksa gudang.Memang satu-satunya yang terbaik dari ruangan itu adalahketerasingannya. Seseorang dapat menyepi di sana tanpaterganggu oleh suara orang mengobrol atau oleh suara truk yangberjalan di atas jalan berbatu… bahkan oleh suara tembakan.Suatu tempat yang tenang untuk mengerjakan soal-soalmatematika yang diberikan oleh gurunya, Katriana SergyevaSokolova.

Ketika ia turun untuk sarapan, tak ada tanda-tanda darisiapa pun, tak ada api di perapian. Bahkan tak ada bau angitbubur gandum yang hangus. Tetapi yang menyadarkan Alex akanketidakberesan yang mencekam hatinya adalah kursi yangtergeletak di ruang depan. Ibunya, yang begitu rapi, takpernah membiarkan kursi tergeletak begitu saja.

Alex mendirikan kursi itu dan memanggil penuh keraguan,“Mama? Papa?” Ketika tak ada jawaban, ia memanggil , ”Nadia?

Nenek? Di mana kalian?” Rumah yang dingin, dengan perapiannyayang mendingin, seperti menjawab “Tak ada seorang pun,” danperasaan membeku mulai terasa di dadanya. Begitu mencekik.Menakutkan. Mereka semua menghilang!

Seperti burung-burung di musim dingin, salju di musimsemi, sekarang orang-orang menghilang berbulan-bulan,bertahun-tahun. Tak seorang pun berani membicarakannya,kecuali secara sembunyi-sembunyi di rumah dengan tiraitertutup, tetapi Alex mengetahui bahwa orang-orang tertentubahkan seluruh keluarganya ditangkap dan dibuang. Dibuangkemana? Mengapa? Ia hanya tahu itu karena alasan politik.Karena Revolusi dan perang saudara, tak ada seorangpun yangbenar-benar aman. Peristiwa-peristiwa itu telah menjadi“musuh-musuh” rakyat awam yang tak pernah mengerti mengapamereka menjadi musuh. Ayah Alex pernah menceritakan hal itupadanya. Ia adalah seorang pendidik, kepala sekolah dibeberapa sekolah. Bukan pekerjaan politis – tidak kemudian. Iamenyuruh para guru agar tidak membicarakan masalah politikdengan murid-muridnya di kelas. Politik bukan urusan mereka. Ya, namun mengapa kemudian keluarga Levchenko ditangkap?Mereka telah digiring dari rumahnya ke sebuah mobil vantertutup pada suatu hari, ketika Alex baru pulang dari sekolah– Bapak Levchenko, seorang insiyur, menundukkan wajahnya yangpucat; istrinya menangis, dan anak-anak menempel padanya,tanpa membawa apa pun. Ayah Alex berkata, “Cobalah untuk tidakmemikirkan hal itu.” Alex telah mencoba, akan tetapi, hal ituselalu menjadi pikiran Alex di dalam kamar gilanya. Suatukali, beberapa tahun yang lalu, pamannya Dimitri di Moskowtelah mengiriminya sebuah batu yang berkilau. “Nantinya akanmenjadi emas,” tulisnya dalam surat, “kalau kamumenggenggamnya dan tidak memikirkan unta.” Alex telah mencobadan mencoba untuk menghilangkan pikiran tentang unta ketikamenggenggam batu itu, tetapi ia tidak bisa. Ia juga tidakpernah bisa melupakan keluarga Levchenko, seperti nasihatayahnya.

Di kamarnya yang kecil ia sering bertanya-tanya mengapahidup bisa begitu berbahaya bagi rakyat, meskipun ayahnyapernah mengatakan kepadanya bahwa pemerintahan yang baruadalah “pemerintahan rakyat.” Rakyat yang ditangkap atauditembaki, dan ribuan yang terlantar sepanjang jalan-jalan dipinggiran kota, berkeliaran, tanpa arah, dijadikan gelandanganoleh pemerintahan rakyat ini. Berbulan-bulan kota kehilangandaging, susu dan roti. Para petani kecil dipaksa menyerahkanpertaniannya dan menjadi anggota pertanian kolektif. Banyakyang lebih suka membakar ladangnya. Alex mengerti jika Tzarhanya mementingkan diri sendiri dan kejam sehingga menyebabkan

meletusnya revolusi dan perang saudara, tetapi mengapa keadaansekarang tidak lebih baik?

Ketika ia bertanya pada ayahnya, ayahnya menjawab denganhati-hati, ”Mungkin nanti akan membaik. Ingatkah kamu waktukelaparan? Bahkan rakyat seperti kita mengalami kesukaranmendapatkan bahan makanan dan ribuan rakyat mati kelaparan.Sekarang kamu masih bisa makan bubur gandum setiap pagi,bukan? Kita bisa makan sup pada malam hari dan kadang-kadangmakan daging. Ada roti dari gudang pemerintah hampir setiapsaat. Kamu harus lebih bijaksana, Alex, jangan memikirkanapakah pemerintah saat ini lebih baik atau lebih buruk. Kalaukamu menjalani hidupmu sesuai peraturan dan jujur, patuh,bekerja dengan baik, dan memikirkan urusanmu sendiri, kamuakan sejahtera.”

“Ya, tapi Ayah, polisi datang dan menangkapi orang-orang…”

“Menurut sejarahnya,” ayahnya menjawab, “revolusi selalumenyebabkan perubahan-perubahan. Bukankah kamu pernah membacatentang Revolusi Prancis di sekolah?”

“Orang-orang dipenggal!” Alex berteriak.“Ya,” jawab ayahnya, “Darah mengalir ke jalanan.”“Aku ingat pertempuran di jalan-jalan di Kovrov,” Alex

menambahkan, “Aku ingat darah. Aku ingat …”“Cobalah untuk tidak memikirkannya,” kata ayahnya. Dan

terulang lagi, batu yang tidak dapat menjadi emas.

Sebentar di pagi itu, Alex yang bingung dan ketakutanterus berjalan keliling dan keliling rumahnya, berharapmenemukan keluarganya. Akhirnya, ketakutan membuatnya dirinyamerasa ada dalam bahaya. Setelah keluarga Levchenko ditangkap,hari itu juga rumah keluarga Levchenko segera diisi olehkeluarga yang baru. Maka kembalilah Alex ke kamarnya dandengan cepat ia mengumpulkan barang-barangnya. Uang beberapakopek dalam kotak hitamnyan dimasukkan ke dalam saku jaketnya.Dipakainya mantel, scarf, dan topi. Dengan menyandang tassekolahnya, pergi keluar, menutup seluruh pintu. Disiramnyatanaman berbunga merah milik ibunya yang terletak di depanjendela dan disebarkannya remah-remah untuk burung-burungseperti biasa dilakukannya. Kemudian ia meninggalkan rumahsetelah sebelumnya mengunci pintu depan.

Kadang-kadang ia merasa seperti pencuri, berjalanmengendap-endap menjauhi rumahnya. Ia melihat ke kanan dan kekiri, memastikan tak ada orang yang memperhatikan dirinya,lalu berlari menyeberangi jalanan menuju ke jembatan. Untukpertama kalinya, ia tak tahu mau pergi ke mana; ia hanya ingin

segera pergi sebelum polisi rahasia datang lagi atau penghunibaru masuk ke rumahnya.

Tak tahu hendak ke mana, akhirnya Alex memutuskan bahwaia tak akan pergi ke mana pun tanpa terlebih dahulumemberitahukan Katriana Sergyeva apa yang telah terjadi. Diabukan hanya gurunya, tetapi juga sahabat keluarganya. Alexmerasa Katriana tak hanya mengagumi kepandaian matematikanya,namun juga dirinya. Dan Alex juga sangat mengaguminya. Dimatanya, Katriana sangat cantik, cerdas dan bijaksana. Makapergilah Alex ke sekolah.

Betapa waktu terasa merayap! Alex gelisah melalui hariitu namun ia lega tak seorang pun teman sekelasnya menanyakanapa pun tentang keluarganya. Ia tak pula memberitahu sahabatkaribnya, Grisha. Jagalah rahasia sendiri, jangan percayasiapa pun yang mungkin akan mengkhianatimu. Memang bukanGrisha, tapi kata-kata, sekali diucapkan, langsungbeterbangan.

Meskipun demikian, tak satu hal pun dapat menggoyahkankepercayaan Alex pada Katriana Sergyeva, rasanya tak sabarlagi ingin segera berbicara dengannya. Ketika pelajaranterakhir selesai, segara ia membereskan kertas-kertasnya danmenyuruh Grisha agar tidak menunggunya.

“Aku masih harus mengerjakan tugas,” katanya, meskipun iatak suka berbohong pada Grisha, hal itu harus dilakukannya.Makin sedikit yang diketahui Grisha, makin baik.

“Taruhan, pasti karena Katriana,” Grisha menggoda danmengejeknya, “Apa sih yang kamu lihat di karung tulang itu?”

Alex sudah terbiasa dengan ejekan itu, dan membalasnya,“Kamu cuma iri karena aku mengalahkanmu di matematika.” Bagusjuga aktingku, pikirnya, tetap ceria, tidak khawatir,sementara sepanjang hari itu hatinya terus menangis, kadang-kadang berteriak dalam penderitaan.

“Aku ke rumahmu setelah makan malam,” kata Grisha, “Nantikita jalan-jalan di sungai dan memperhatikan dengan obororang-orang memecahkan es.”

“Tidak, jangan hari ini,” jawab Alex cepat.“Baiklah, nanti aku datang dan kita main kartu,” kata

Grisha sambil berlari pulang.

Katriana memandang Alex dengan senyumnya yang menawan,“Saya mempunyai soal khusus yang kukira akan menghabiskanwaktumu semalaman untuk memecahkannya.”

“Bolehkah saya berbicara dengan anda?” tanya Alex. “Sayakira malam ini saya tidak akan bisa mengerjakan soal itu.”

“Ada masalah apa, Alex?” Katriana segera memahami nadaserius dan ketegangan Alex.

Sekarang tiba kesempatan bicara, namun tak tahu harusmulai dari mana. “Saya ingin … minta nasihat anda. Keluargasaya … mereka telah … menurut saya … Oh, Katriana Sergyeva,mereka telah hilang.” Setelah diucapkan, kata-kata menjadikebenaran. Betapa jeleknya bentuk kebenaran yang satu ini,seperti raksasa, hitam, mengerikan. Sekali lagi, Alexmerasakan dinginnya ketakutan.

“Oh, Alex! Alex, benarkah ini?” Cepat-cepat dia bangkitdan menutup pintu kelas. Lalu Alex bercerita tentang kejadianmenyedihkan di pagi itu.

“Mungkin saja mereka pergi karena ada pekerjaan pagiitu,” kata Katriana. “Mungkin sekarang ini mereka sudahkembali dan sedang menunggumu pulang.” Perasaan kasihanbercampur dengan kecemasan terdengar dalam suaranya.

Hanya sedetik saja pemikiran itu menjadi sebuah harapan,namun dalam hatinya, Alex tahu keluarganya takkan mungkinpergi, semuanya, begitu pagi tanpa memberitahukan kepadanya.“Tidak,” katanya. “Tidak mungkin.” Lalu diceritakannyatentang perapian yang dingin dan tentang kursi.

“Tetapi hanya sebuah kursi! Siapa pun dapat menjatuhkansebuah kursi. Jangan terlalu cepat menyimpulkan.” Sejenak diaberpikir, kemudian dari tasnya diambilnya sebuah kunci.“Menurut saya, ini yang harus kamu lakukan. Kamu tahu, kantempat tinggal saya. Kamar saya tepat di atas tangga di lantaitiga. Masuklah diam-diam dan tunggulah saya. Saya akanberusaha mencari informasi dulu.”

“Tapi anda bisa mendapat masalah!” protes Alex.“Saya akan sangat berhati-hati. Nah, sekarang cepat

pergi!”Air mata mencekik tenggorokan Alex. Ia menyadari apa

yang akan dilakukan Katriana sangat berbahaya, tapi iamelakukan apa yang diperintahkannya karena tak tahu lagi harusbagaimana. Usianya baru dua belas tahun, tapi hari ini iamerasa jauh lebih muda dari itu karena kecemasan danketidakpastian.

Ia berjalan menuju kompleks bangunan yang jaraknya hanyatiga blok dari sekolah dan menaiki tangganya. Menurutnyatempat ini sama sekali bukanlah tempat yang tepat untukKatriana – begitu kumuh, sedangkan Katriana begitu cerah danbercahaya. Seandainya ia mengakui kebenaran, mungkin ia akanberkata bahwa Katriana sebenarnya tidak secantik yangdibayangkannya. Ia memiliki kecantikan yang bisa mempengaruhihati orang-orang dan mengelabui mata mereka. Rambut hitamnyaterurai tak beraturan dari jepit yang dipakainya di ataskepalanya. Matanya yang bercahaya tampak kebesaran di wajahnya

yang kurus pucat. Seperti yang dikatakan Grisha, si tulang.Namun begitulah dia, pikir Alex.

Kamarnya kecil, tanpa cahaya yang cukup, namun terasanyaman. Itulah yang dirasakannya setelah masuk dan menutuppintu. Tempat tidur kecil ditutupi selimut tua berwarna merah.Di atasnya ada patung berwarna biru dan emas. Sebuah kursibeludru hijau terletak di depan sebuah meja yang ditutupitaplak sulaman yang halus. Di dinding, di atas peti kayu tua,ada lukisan musim panas, sebuah ladang dengan air sungai yangmengalir. Alex duduk di kursi dan menunggu, menatapi lukisan,membayangkan musim panas ketika ia berjalan di perbukitanbersama ayahnya. Ia berusaha memusatkan perhatiannya padalukisan itu dan tidak memikirkan kejadian mengerikan yangtengah dihadapinya. Sekali lagi, tampak seperti usahanya untuktidak memikirkan unta.

Hari sudah gelap ketika Katriana pulang dengansekeranjang makanan. Alex terbangun dari kantuknya danmenemukannya di dekat tungku. Dia berbicara dengan cepatsetelah Alex menyapanya.

“Maaf, kamu menunggu terlalu lama. Antrian roti begitupanjang sehingga saya khawatir kita akan kehabisan begitusampai giliran kita, makanya saya melakukan hal yang takpernah dilakukan – menyogok gelandangan yang menjualgilirannya. Saya tidak suka pada mereka. Sekali kitamemberikan uang pada mereka atau mereka bisa mencuri sesuatu,mereka akan terus-terusan ada di sekeliling kita. Saya tidakmengerti mengapa pemerintah tidak bertindak. Oh, baru sajasaya bilang. Saya sangat tahu pasti yang bisa dilakukan negaracuma membiarkan atau menangkapi mereka. Mereka terlalu banyakdan begitu miskin.”

Kemudian dia duduk di ujung tempat tidur dan menatapAlex. “Saya bicara melantur karena saya tak ingin menyampaikanyang sebenarnya. Kamu benar, Alex.”Alex hanya bisa menundukkan kepalanya. “Saya berjalan di depanrumahmu beberapa kali untuk melihat apakah ada kegiatan.Ketiga kalinya, saya melihat Grisha keluar dari pagar rumahmu.Saya pura-pura lewat. Saya bilang, ‘Selamat sore, Grisha.Pulang main?’ Jawabnya, ‘Tidak ada orang di rumah. Pastisemuanya pergi keluar.’ Lalu saya tunggu sampai senja danberjalan lewat lagi untuk melihat apakah ada lampu yangdinyalakan. Tidak ada apa-apa, Alex. Tentu, mereka memangpergi keluar, seperti kata Grisha, atau ….”

Hidup seperti berhenti. Alex membatin, “Tidak, tidak mungkinpada saat makan malam. Yang pasti tidak sejak pagi.” Ia merasakejadian itu menimpa orang lain dan ia sedang melihatnya.Suaranya terdengar jauh dan tak dapat didengar telinganya.

“Baiklah, kita tunggu sampai besok,” kata Katriana.“Sekarang, makanlah dulu roti dan sosis ini dan minum sedikitteh.” Dia menuangkan teh hitam panas ke dalam cangkir lalumengiris roti dan sosis. Kemudian mereka duduk bersamaditerangi cahaya dari perapian. Dalam mimpi-mimpinya, Alexselalu membayangkan dirinya duduk berdua di sini denganKatriana, meskipun ia belum pernah melihat kamar inisebelumnya. Sekarang detail mimpinya menjadi nyata – taplakbersulam, peti besar, kursi beludru hijau, lukisan di dinding.Mimpinya selalu indah, tapi kenyataan sekarang ini penuhkepahitan.

Pertanyaan Alex memecah kesunyian, “Mengapa merekamenangkap ayahku? Apa yang telah dilakukannya?”

“Apa yang telah dilakukan setiap orang? Ribuan!” Katrianameratap. “Ayahmu orang baik, tapi sekarang itu tidak cukup.Mungkin karena ia terlalu … baik, netral, tidak berpihak padapemerintahan yang baru. Kaum Bolshevik berpendapat bilaideologi komunis ingin berhasil, anak-anak harus diajarkansejak dini untuk berpikir seperti yang mereka inginkan. Tentusaja, itu menjadi salah satu tujuan organisasi pemudaKomsomol, dan sudah banyak remaja yang bergabung.”

“Tetapi ayahku sangat tegas. Aku harus menuruti apakatanya.”

“Mungkin saja. Tetapi apakah kamu selalu berpikir sepertiia berpikir?”

“Tidak,” jawab Alex, “Aku berpikir seperti yangkuinginkan dan ketika aku menjadi dewasa aku akan mampumelakukan apa yang kuinginkan dengan sebaik-baiknya.”

“Ya,” jawab Katriana, tersenyum, “Kuharap benardemikian.”

Tak seperti kamar gilanya, dari kamar Katriana, Alex bisamendengar kebisingan di jalanan, suara-suara kendaraan danteriakan anak-anak. Sekarang terdengar derap sepatu tentarapatroli yang berjalan dari tangsinya di bekas lumbung padi dipinggir kota. Para penduduk sudah mulai terbiasa dengantentara di sekitarnya, meskipun demikian, mereka masih merasaterganggu dengan suara-suara tembakan ketika para tentara ituberlatih.

“Sebenarnya saya ingin kamu tinggal di sini, Alex,” kataKatriana, “tapi tak bisa lama-lama. Tak lama lagi akanketahuan kalau keluargamu hilang, dan jika kamu terlihat,seseorang pasti akan menangkapmu. Dewan Kota akanmemerintahkan bagian anak-anak Komsomol untuk mengirimmu kepanti asuhan. Sekarang ini keadaan sangat buruk, penuh sesakdengan bezprizorni – anak-anak liar yang terlantar.” Wajahnyamurung, lalu berkata lagi, “Saya ingat mata anak-anak

gelandangan yang menjual tempat antrian tadi. Merekamenakutkan. Mereka sangat kasar. Kuharap ada orang yang dapatmelakukan sesuatu! Pemerintah terlalu sibuk mempertahankandiri daripada memperhatikan anak-anak itu.” Kembali kepermasalahan semula, “Alex, masih adakah saudaramu di dekat-dekat sini?”

“Tidak di dekat sini. Pamanku Dimitri tinggal di Moskow.”“Mungkin kau bisa ke sana. Kamu tahu tempat tinggalnya?”“Ia tinggal di dekat Jalan Tvershaya di sebuah rumah

dekat café. Kami pernah makan kue coklat dan rum di sanasekali. Seorang laki-laki memainkan balaika. Sudah sangatlama, tapi saya masih ingat.”

Wajah Katriana mencerah. “Bagus, kalau begitu, besok kitacoba mengirim kamu ke rumah pamanmu.” Mata hitamnya yangberlinang air mata memandang Alex. “Alex, jangan putusharapan. Mungkin keluargamu akan menghubungi pamanmu juga danpada suatu hari kalian akan bertemu lagi. Sekarang ini, kamuharus kuat dan memikirkan masa depanmu. Aku pun akan pergijuga. Selama ini aku belum pernah memberitahukan siapa pun.”

“Tetapi kemana anda akan pergi?” sejenak Alex melupakanpenderitaannya.

“Belum pasti. Menyeberangi salah satu perbatasan keSkandinavia, mungkin, lalu ke Kanada atau Amerika Serikat.”

“Ke luar negeri! Meninggalkan Rusia!”Katriana merendahkan suaranya dan berbisik. “Hanya dalam

mimpi. Cepat atau lambat, seluruh guru borjuis seperti saya,seperti ayahmu, akan digantikan oleh para pemuda kaumproletar. Kami dicurigai. Meski demikian, bukan berartisosialisme itu buruk. Mungkin saja baik. Hanya saja selalu adaorang baik dan orang jahat di semua sistem dan kadang-kadangorang baik disingkirkan oleh orang jahat. Kekuasaan menjadikanorang jahat.”

“Bagaimana anda akan pergi?” tanya Alex.“Ada saudaraku, Basil Sergyevitch, pustakawan di Istana

Anichkov di kota Petrograd – atau yang biasa kita sebut St.Peterburg. Sewaktu ia sedang belajar untuk menjadi pendeta,Pemerintah menutup seminari, sehingga ia kemudian bekerja diperpustakaan. Ia sudah banyak menolong orang keluar Rusia.Saya dapat pergi kepadanya. Hidup penuh ketakutan membuatkucepat tua. Dan apa yang ditakuti?”

Alex melihat kesedihan tergambar di wajahnya yang kurus.“Kita bahkan tidak tahu siapa dan apa yang menakuti,

makanya kita takut pada siapa pun dan apa pun.” Katrianamelanjutkan, “Sekarang, di musim dingin, orang dapat merasakankeputusasaan di mana pun. Pertama kelaparan, perang denganJerman, Revolusi, lalu perang saudara, kawan-kawan menghilang.

Kemudian kelaparan yang lebih parah lagi, orang-orangberdatangan di sepanjang jalan dari kota-kota lain mencarisesuatu untuk dimakan. Dan ribuan anak-anak gelandangan. Inibukan Rusia, Ibu Pertiwi yang kucintai. Pasti ada tempat lain yanglebih baik.”

“Kapan anda akan pergi?” tanya Alex sambil berharap diamungkin akan pergi bersamanya sekarang.

“Tak tahu. Saya tidak mungkin meninggalkan murid-murid ditengah-tengah tahun ajaran. Namun saya akan tetapmemikirkannya. Pasti.” Dia berhenti dan menepuk tangannya didepan wajahnya. “Saya terlalu banyak bicara sendiri padahalkamu yang sedang bermasalah. Alex, ingatlah alamat saudarakuini, kalau-kalau kamu berubah pikiran.”

Alex melihat betapa cantik dan nyatanya dia dalamperasaannya yang terdalam. Katriana membentangkan selimut dilantai dan Alex membaringkan diri di sana. Sambil berlutut,ditariknya selimut untuk menutupi bahu Alex.

“Selamat malam, Alex,” katanya, lembut.“Selamat malam, Katriana Sergyeva.”Anehkah jika ia langsung tertidur pulas dan tidak

bermimpi? Sepanjang malam itu, pikiran sadarnya dan pikirantidurnya melayang-layang dari kebenaran menuju ketenangangelap dari kedamaian yang semu.

Bab 2

Ketika Alex terbangun di pagi hari, Katriana telah pergi.Ada secarik pesan di samping sepotong keju dan tumpukan roti.“Diam di sini, jangan sampai terlihat orang lain.” Iamenghabiskan hari yang membosankan dalam kamar, melangkahmondar mandir seperti anjing terikat rantai. Ia mencobamembaca buku, namun tak dapat memusatkan perhatian pada kata-katanya. Sebagian pikirannya masih mengingat kejadian seharisebelumnya, meratapi keluarganya, membayangkan hari depannyadi Moskow bersama pamannya.

Ketika tiba waktunya Katriana pulang, ia mulai melihat-lihat ke jendela dari balik tirai-tirai yang tebal. Akhirnya,tampaklah dia berjalan, membawa buku dan keranjangnya, sambilmemperhatikan sekitarnya. Ia tak langsung memasuki gedung,namun membelok ke kanan. Tak lama, dia tampak lagi di sisilain jalan, dan sambil tetap waspada, menyeberangi jalan dan

dengan cepat memasuki gedung. Ketika tiba di kamarnya, diatersenyum, membawa sepanci masakan panas, tetapi Alex dapatmerasakan ketegangannya.

“Lihat,” katanya. “Nyonya Minsky, di lantai bawah,memberikan sup kentang lezat ini. Bagus, bukan? Beginilahcaranya membayarku karena aku telah mengajarkannya membaca.”

“Mengapa tadi anda berjalan melewati gedung?” tanyanya,khawatir. “Apakah ada yang membuntuti?”

“Tidak, saya hanya ingin lebih berhati-hati. Semua samasaja, menurut saya, yang paling baik bagimu adalah segerapergi ke Moskow secepat mungkin. Beberapa anak sekolah telahmemperhatikan rumahmu yang kosong.” Dia membuka sebuah bukudan berkata, “Saya telah membawa peta dari kelas. Lihat, inikota kita Kovrov dan di sini Moskow. Arahnya menuju barat.Besok kamu harus berjalan ke stasiun dan membeli karcis.Akhir-akhir ini kereta tidak lagi teratur, tapi pasti adasatu, cepat atau lambat. Setibanya kamu di Moskow, mintalahpada kusir kereta sewaan untuk mengantarkan kamu ke alamatpamanmu. Dalam satu hari kamu akan tiba di sana. Sekarang…”Dibukanya peti dan dikeluarkannya sebuah dompet kulit – “…inibeberapa rubel sudah kusiapkan. Untuk membeli tiket danmembayar kereta kuda. Saya akan memberikan bekal roti dansosis dan kamu bisa membeli teh di stasiun. Kamu harus pergipagi-pagi sekali, jadi sekarang makanlah sup ini dan kemudiansegera tidur.”

“Tapi, aku tak bisa menerima uangmu,” protes Alex. “Andaakan memerlukannya untuk perjalanan anda.”

“Sst, saya masih gurumu dan kamu harus melakukan apa yangsaya katakan. Besok dan hingga kau temukan pamanmu, baru kamubisa memutuskan sendiri.” Dia tersenyum, senyumnyamenghangatkan kamar itu dan mengusir kesepian yang dirasakanAlex sepanjang hari. Alex tahu, ia harus melakukan sepertiyang dikatakannya. Akan tetapi, meninggalkan rumah dankemudian pengasingan ini sangat menyakitkan, rasanya sepertidicakari serigala dan ditinggalkan berlumuran darah di atassalju.

Berjalan ke stasiun kereta api sudah biasa dilakukan Alexbersama ayahnya. Jaraknya hanya enam mil dan bila cuaca baik,sungguh menyenangkan berjalan di jalanan yang diteduhipepohonan. Apalagi di musim semi ketika semak-semak buah berryseolah-olah meminta para pejalan kaki memperlambat langkahnyauntuk memetik buahnya. Tapi tidak pagi ini. Gundukan salju disepanjang jalan membuat perjalanan menjadi terasa panjang danlambat.

Dini hari itu, Alex telah berpakaian lengkap dan hangat.Katriana telah menyiapkan sarapan paginya, teh panas dan -

sesuatu yang sangat jarang dan mewah – sebutir telur. Sosisdan roti telah dikemas dalam ransel. Dililitkannya scarf dileher Alex hingga menutupi dagunya, lalu ditariknya topi agarmenutupi dahi dan telinganya. Ketika dia mengulurkantangannya, tanda untuk berpisah, Alex membalas pelukannya,erat, sungguh berat berpisah dengannya, denganpersahabatannya, dengan kebaikannya, dengan satu-satunya orangdi Kovrov yang ia percayai. Dengan dorongan lembut,dilepaskannya pelukan itu. “Do svidanya, Alex” katanya lembutmendukung penuh harapan. “Selamat jalan, bukan selamatberpisah, namun sampai bertemu lagi.”

“Do svidanya,” balasnya, “Do svidanya, Katriana Sergyeva.” Kakinya melangkah berat di atas salju dan hatinya

menangis. ““Do svidanya, Katriana, do svidanya, Katriana…” Alexberusaha menuruti nasihatnya dan tidak lengah, memusatkanpikirannya pada apa yang mungkin terjadi. Ia memikirkan Moskowseperti yang diingatnya, cahaya lembut di malam hari, orang-orang tertawa di restoran, dan rumah hangat yang ditempatioleh pamannya sendirian. Pamannya, Dimitri bekerja untuksebuah surat kabar – Alex tahu itu – serta menulis artikel danbuku-buku kecil. Satu kali pernah ia membantu Alex menuliskarangan untuk tugas sekolahnya tentang perjalanannya keMoskow. Ia memperbaiki kata-kata dan tanda baca yang salah,tetapi katanya, tulisan itu bagus, sangat bagus. Alex inginmenjadi penulis juga jika ia sudah besar. Mungkin, sekarang iadapat mengajari aku menjadi penulis, harap Alex.

Kini tibalah ia di stasiun. Begitu kumuh. Orang-orangtidur bergelimpangan di mana-mana – di lantai, di bangku-bangku, di atas kopor-kopor dan karung surat. Ada juga yangtertidur menghadap ke dinding. Alex memaksakan diri berjalanmelalui orang-orang yang tertidur, menimbulkan gerutuan disana sini. Di jendela tempat penjualan karcis, dilihatnyapetugas karcis masih tidur juga. Alex menelan ludah. Iamengetuk. Tak ada apa-apa. Akhirnya ia menggapai lewat lubangloket dan mengetuk pelan-pelan lengan petugas karcis. Lelakitua itu terbangun dan menatap Alex melalui celah matanya yangmengantuk. “Ya, ya! Ada apa?”

“Tolong, satu tiket ke Moskow,” pinta Alex.“Karena itu kamu membangunkan saya!”“Maaf. Tapi bagaimana lagi caranya saya bisa beli tiket?”“Satu tiket, satu tiket! Yang perlu itu keretanya. Kamu tidak

lihat orang-orang ini? Mereka sudah menunggu sejak Selasa.Kereta sudah terlambat dua hari. Tidak perlu terburu-buruuntuk membeli tiket, tapi karena kamu sudah membangunkan saya,ini satu tiket untukmu.”

Sambil memegang tiket, Alex mencari-cari tempat untukmeletakkan ranselnya dan beristirahat menunggu kereta datang.Di sudut yang gelap, ia melihat tumpukan karung dan mulailahia menaikinya. Tiba-tiba kakinya terasa sangat sakit. Apakahada yang menggigitnya? Seekor tikus? Detik berikutnya, karung-karung itu bergerak dan terdengar teriakan. Sebuah wajahmuncul, lalu muncul lagi yang lain dan yang lain. Lalu, didepan matanya, hampir setengah tumpukan karung itu bangkit danmenjadi anak laki-laki berpakaian kotor, wajah-wajah merekayang kotor tampak sangat marah.

“Babi!” teriak anak yang tadi terinjak Alex dan iamendorong Alex hingga terjatuh ke lantai, namun jatuhnyatertahan oleh badan orang lain yang sedang tidur. Orang ituterbangun sambil memaki dan memukulnya. Alex melindungikepalanya dengan ransel yang talinya terkalung di lehernya.

“Maafkan saya,” teriak Alex mengatasi keributan. “Sayatidak lihat.”

“Memangnya kamu buta?” balas penyerangnya.Kepala Stasiun keluar dari balik jendela. Ia membawa

tongkat besar berujung tajam. “Kalau kalian bikin masalahlagi, tongkat ini akan bersarang di perut kalian.” Iamengarahkan tongkat itu ke hadapan Alex lalu ke hadapan anaklaki-laki yang mengamuk. Anak laki-laki itu kembali kekarungnya.

Alex berbaring di tempatnya terjatuh, kepalanya ada didekat sepatu orang lain, dan sepatunya pun dekat kepala orangyang lainnya. Ia berbaring tanpa tidur meskipun sangat lelah,sambil mendengarkan suara-suara gaduh di dekatnya. Namunbegitu ia hendak terlelap, tiba-tiba orang-orang terbangun,mengumpulkan barang-barang bawaannya dan bergegas ke dekatrel. Dan ya, tampak kereta perlahan-lahan memasuki stasiun,lokomotif uap tua diiringi rangkaian gerbongnya akhirnyaberhenti.

Lalu, orang-orang di kereta turun, meregangkan kakinya,dan membeli teh dari para pedagang yang bermunculan dariantara kerumunan. Alex meraih ranselnya untuk mengambil roti,dan bermaksud membeli teh untuk menghangatkan badan. Lenyap!Talinya pasti ada yang memotong. Terkejut dan panik, air mataterasa menggenangi mata dan kerongkongannya. Hanya sedikituang dan tiket yang masih ada. Ia harus menjaganya. Tanpa teh.Tanpa roti.

Gundukan kain-kain gombal telah menjelma lagi menjadianak-anak laki-laki yang sangat kotor dan jorok, sekarangmereka menyebar dan berbaur dengan kerumunan dari dalamkereta. Sebagian yang kecil-kecil, meminta-minta sedekah.

“Ini,” kata seorang wanita berpakaian indah kepadaanaknya, “berikan pada mereka sisa makanan kita. Tapi merekaharus bilang terima kasih. Anak-anak itu harus diajarkan sopansantun.”

Sebagian anak-anak laki-laki berdiri di atas bahutemannya, yang di atas berusaha meraih melalui jendela gerbongyang terbuka, barang-barang yang bisa diambil. Seorang wanitamenjerit, “Awasi barang-barang, kalau tidak anak-anak berandalitu akan merampasnya!”

Lonceng stasiun berdentang satu kali. Artinya lima menitlagi kereta berangkat. Alex pergi ke gerbong kelas dua danmemaksakan diri berlomba dengan penumpang lainnya. Berkali-kali ia kena sikut penumpang lain. Sementara itu, ia melihatpara penumpang kelas satu sedang duduk dengan nyaman dansantai, mengobrol sambil minum teh dari cangkir tiongkokmereka. Dari mana orang-orang berpakaian bagus itu datang danakan kemana mereka? Alex bertanya-tanya dalam hatinya. Banyaktentara berseragam berjalan naik dan turun atau berjalandengan wanita pendampingnya. Lonceng stasiun berdentang lagi,dan gerbong-gerbong mulai berjalan, perlahan.

Anak-anak gelandangan berdiri di samping kereta, meniru-niru para penumpang kelas satu, tertawa-tawa, merokok, salingmendorong. Para petugas berjalan memeriksa sepanjang kereta,memukuli ruang di bawah kereta dengan tongkat dan mengejaranak-anak yang berusaha ikut di bawah gerbong.

Sekarang, di barisan terakhir, Alex telah berada di dalamkereta, berdesakan seperti ikan sarden di bordes kereta dantidak dapat duduk. Bangku-bangku kayu di gerbong itu dipenuhioleh para petani berpakaian muzhik – celana panjang biru yangujungnya dimasukkan ke dalam sepatu boot, jaket berbahan kakudan topi yang ditalikan di belakang kepala. Ada petani yangjanggutnya tersisir, para wanita berkerudung menggendongbayinya. Mereka semua duduk dikelilingi barang-barangbawaannya. Gerbong itu sangat bising dan bau, dan Alex belumpernah merasa begitu tidak nyaman. Tetapi hanya beberapa jamlagi aku akan tiba di Moskow, pikirnya ketika kereta mulaimenambah kecepatannya. Kukira aku akan tahan denganketidaknyamanan ini..

Namun, tiba-tiba kereta berhenti mendadak sampai-sampaibeberapa penumpang yang duduk di bangku kayu ada yangterjatuh. Pintu gerbong dibuka oleh seorang petugas. “Keluar!”perintahnya pada orang-orang di sekitar Alex. “Setiap orangyang berdiri di jalur ini, keluar!” Di menit berikutnya, Alexsudah berdiri di jalanan di samping rel kereta api, memandangisepasukan tentara menaiki gerbong yang sudah dikosongkan.

“Tetapi kita sudah membeli karcis,” protes beberapapenumpang.

“Sayang sekali, tentara harus didahulukan. Anda bisamenunggu kereta berikutnya. Masinisnya akan menghentikankereta bila melihat anda.” jawab petugas itu.

“Jika ia melihat kita! Jika ada tempat! Jika keretanyadatang!” teriak seorang laki-laki.

“Kita harus berjalan kaki,” Alex mendengar perkataanseorang lelaki pada istrinya yang menggendong seorang anak.“Kereta berikutnya masih berhari-hari lagi dan pada saat ituanak kita sudah mati kelaparan.”

Kereta sudah tak nampak lagi, meninggalkan hanya bayangandebu dan asapnya.

“Bagaimana aku bisa berjalan kaki sampai Moskow?” jawabistrinya, “Jaraknya ratusan mil dan aku tak punya sepatu untukberjalan di salju.”

Suaminya berusaha menghiburnya, “Tapi kita tak punyapilihan. Apakah kita mau menunggu di sini sampai matikelaparan? Namun setiap kita melangkah, semakin dekat pulakita pada saudara sepupumu di Moskow juga berarti semakindekat pada makanan. Ayolah.”

Alex merasa pria itu berkata kepada dirinya juga. Iamengikuti pria itu dan keluarganya juga beberapa oranglainnya.

Apabila dilihat dari angkasa, rombongan orang itubagaikan buih kecil di dalam samudera manusia sepanjang jalan-jalan menuju Moskow; orang-orang di kereta kuda, orang-orangdi kereta salju, tetapi yang paling banyak adalah orang-orangyang berjalan kaki, mereka yang terseret dengan paksa untukmencari sesuatu yang lebih baik – sesuatu yang tidak begituburuk – daripada yang telah mereka tinggalkan. Dari yang telahdiketahui menuju pada yang tak diketahui.

Mula-mula Alex mencoba berpura-pura menjadi seorangpetualang di negeri asing, seorang perintis, pengembara,penjelajah, penemu. Di balik jalan-jalan, bukit-bukit, puncak-puncak bersalju yang asing terbentang dunia baru yangmenakjubkan dan ia menjadi orang pertama yang melangkahkankaki di sana. Satu hal yang diyakininya akan ada di sana. Iaakan bertemu dengan orang tuanya, adiknya dan neneknya. Iabermain dengan bayangannya sepanjang waktu, sambil sesekaliberhenti untuk mengulum salju bersih yang dipungutnya sepertiyang dilakukan orang lain. Sekarang jumlah rombongan bertambahbanyak. Lebih banyak orang yang bergabung, seperti saljumenuju jalan yang kasar. Selimut salju membekukan suara

perjalanan mereka, mematikan suara tangis bayi dan keluhanorang tua di bawah beban barang bawaannya. Siapa yang memimpin rombongan itu? Alex tak tahu. Iamengikuti pemimpin yang tak terlihat, ia percaya bahwa arahnyabenar. Cahaya pucat matahari yang tenggelam meyakinkan Alexbahwa ia berada di sebelah barat menuju Moskow. Rasanya hariitu adalah hari yang terpanjang dalam hidupnya. Ketika malammenjelang, ia menyelimuti dirinya di sebuah tempat penampunganyang dindingnya sudah setengah hancur. Ia makan lebih banyaksalju dan memijati kakinya sebelum terlelap dalam tidur yangpenuh kelelahan. Jika ia bermimpi, mimpinya tidak membekas. Iabenar-benar tak sadar dalam dunia gelap di mana tak adakelaparan.

Kedinginan yang amat sangat akhirnya membangunkannya.Tubuhnya gemetar kedinginan dan dengan susah payah ia berdiri,namun setelah ia sedikit menggerakkan badannya, ia merasalebih baik. Dilihatnya suami istri yang diikutinya sejak darikereta. Mereka telah menyalakan api unggun kecil di atas saljudan sedang memegangi bayi mereka di atas perapian sepertisedang memanggangnya. Pada saat yang sama, istrinya memungutsalju dengan sapu tangannya lalu diberinya pada bayinya untukdiisap.

“Kita pergi sekarang,” katanya pada Alex. “Kamu bisamenghangatkan diri di perapian ini, jika ingin.”

Alex menganggukkan terima kasihnya, duduk dan membukasepatunya. Dijulurkannya kakinya ke dekat api. Ia mencobamenutup api dengan badannya. Lalu, mengikuti cara wanita tadi,diisinya sapu tangannya dengan salju dan mulai mengunyahnya.Ia membayangkan sedang makan ketika mengunyah-ngunyah saljuitu.

Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah jalansempit. Ada banyak pemuda dan sedikit perempuan di antararombongan, berjalan sendirian maupun berkelompok. Merekatampak lebih tak peduli daripada orang-orang dari stasiun.Akhirnya Alex memberanikan diri berbicara. “Berapa lama kamusudah berjalan?” Ia bertanya pada seorang anak lelaki yangberjalan di dekatnya.

Anak lelaki itu menatapnya, lalu menjawab, “Tiga, empatbulan.”

“Bulan!” teriak Alex. “Kamu bilang bulan?”“Nanti juga kamu tahu.” Anak lelaki itu tertawa dan

berhenti menunggu temannya.Di sepanjang jalan ada tiang-tiang telegraf yang jatuh

dan tumpukan kawatnya. Para petani menjarah tiang-tiang itumencari minyak. Di sekitar padang bersalju berdiri sisa-sisa

lumbung yang dibakar. Tengah hari, Alex merasa sangat lelahsehingga harus beristirahat. Ia duduk di pinggir jalanan danmengamati orang-orang yang berjalan. Matanya menutup.

Namun seseorang membangunkannya. “Jangan tidur terlalulama, Nak,” terdengar suara kasar seorang wanita. “Kamu bisamembeku. Anginnya jahat. Bangun dan bergerak, kalau kamu masihingin hidup.”

Maka Alex berusaha berdiri lagi. Ia merasa kepalanyabegitu ringan, hampir tak terasa. Selama sisa hari itu iaserasa mengambang dalam tubuh yang bukan miliknya. Dan ketikasudah terlalu gelap untuk berjalan lagi, ia memasuki bekasbangunan gereja yang sudah dihancurkan. Bangku-bangkunya sudahtidak ada, patung-patung orang sucinya lenyap. Sampah danrongsokan di mana-mana dan orang-orang berbaring diantaranya. Alex menjatuhkan diri di samping sebuah dindingbatu, yang melindunginya dari tiupan angin. Di sana,dikelilingi arwah para orang suci dan martir yang tertolak, iatertidur.

Bab 3

Salju telah berhenti turun, tetapi angin malah semakindingin. Pohon mistletoe dan willow, yang begitu indah di musimsemi, tampak begitu menyeramkan dan hitam. Alex berusaha tidakmemikirkan sup. Ia berusaha tak memikirkan hangatnya uap supyang mengenai wajahnya ketika melihat ke dalam mangkuk,potongan besar kentang yang pedas, wortel, kacang, daun koldan irisan daging besar yang menghangatkan mulut dan perutnya.Ia mulai menghitung langkah-langkahnya, namun bayangan sup

datang lagi, mengambang bagaikan hantu di depannya, tak dapatdiraihnya. Ditambah lagi bayangan roti – tebal, berkulit,diolesi mentega kuning lembut. Kemudian tampak pula kue boludan buah. Dan sekarang sebuah cerek berisi air mendidih dansepoci teh hitam wangi.

Air ludah memenuhi mulut Alex, dan perutnya bertambahsakit ketika ia menelan ludah. Kepalanya terasa membesar dankaku, namun kosong, tak berbobot. Tubuhnya kedinginan, tetapiperhatiannya terpusat hanya pada kakinya, terasa sangat dingindan menyakitkan ketika menginjak salju, namun harus tetapbergerak – kaki kiri, kaki kanan, kaki kiri, kanan.

Sekarang ia semakin terkurung dalam kesengsaraannya danuntuk sebagian besar perasaannya tetap terasing dari parapejalan lainnya. Akhirnya ia melihat bahwa ada gedung-gedungterlantar di pinggir jalan yang menjadi semakin banyak ketikaia terus berjalan. Orang-orang di dekatnya mengatakan,“Moskow! Ini Moskow!” Alex memperhatikan, dan sejauhpandangannya ia dapat melihat matahari bersinar di atas kubah-kubah berwarna-warni – biru, hijau, emas – sebuah impiansurgawi. Ya, pasti cuma mimpi, karena di sekitarnya, di jalanini, matahari yang sama tampak sedingin angin yang menghembuskencang. Ia menarik kerahnya yang basah ke atas dan menurunkankepalanya seperti seekor kura-kura.

Segera gedung-gedung tua tampak semakin dekat dan tinggi– toko-toko dan rumah-rumah, jendela-jendelanya rusak dandiperbaiki asal-asalan. Dan seketika Alex tiba di sebuahlapangan dengan sebuah pasar kecil dan sedikit kios. Seorangwanita berpakaian petani memegang sebuah nampan besar di atasselendang yang melilit lehernya dan menjual beraneka warnabenang. Pada sebuah kios yang terdekat ada seorang pedagangmenjual setengah lusin apel, coklat dan buruk, tapi Alex pastitelah memakan semuanya seandainya ia bisa. Didekatinyapedagang itu, merogoh ke dalam sakunya yang terdalam dengantangannya yang membeku untuk mengambil sedikit lagi sisa uangkopek-nya. “Tolonglah,” katanya.

Pedagang mengamati uang recehan di tangan Alex. “Takcukup.”

“Tapi saya belum makan selama tiga hari.”“Memangnya saya harus memberikan apel kepada setiap orang

yang belum makan selama tiga hari? Tidak,” kata pedagang, danberbalik.

Alex berjalan mendekati wanita dengan gelondongan benang.“Bisakah anda menunjukkan arah ke Jalan Tvershaya?”

Wanita itu menarik benang-benangnya lebih dekat danmelindunginya. “Saya cuma tahu jalan dari sini ke kamar tidursaya,” katanya. “Tanyakan saja pada tentara.” Dan dia menunjuk

pada salah seorang dari sejumlah pria berseragam di dekatsitu.

Sejak meletusnya perang saudara, Alex selalu merasaketakutan pada tentara, pria yang datang di malam hari danmenangkapi kawan-kawannya. Maka ia tetap berdiri di sekitarsudut lapangan di bawah bayangan sebuah gedung, tak bisamengumpulkan keberaniannya untuk mendekati seseorang. Namun,tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan di atas bahunya. Iamenoleh dan dilihatnya wajah seorang pria berseragam.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini, eh?” tanya sitentara. “Pasti menunggu kesempatan mencuri dari para pedagangmiskin itu. Hari ini sedikit yang bisa dicuri. Dari mana kamumencuri mantel bagus ini?” tambahnya, sambil menarik kerahnya.“Dan topinya? Lebih baik kamu ikut saya ke pusat tahanan anak-anak.”

“Jangan, jangan!” Alex berteriak. “Saya bukan pencuri.”Tentara muda itu tertawa, “Memangnya kamu mau mengaku?”

Suaranya mengeras. “Ayo. Jangan buang-buang waktu. Kamu bukansatu-satunya gelandangan yang saya tangkap hari ini.”

“Tapi, dengarkanlah. Saya baru saja datang dari Kovrov.Saya sudah berjalan berhari-hari. Saya sedang mencoba mencaripaman saya di dekat Jalan Tvershaya. Berbicara pada wanita tuaitu.” Ia menunjuk pada penjual benang. “Saya bertanyakepadanya arah ke Jalan Tvershaya.”

Tentara melepas kerah Alex. “Benar begitu? Baiklah, sayaakan melepaskan kamu kali ini. Jalan Tvershaya tidak jauh dariKremlin. Perhatikan jalan itu dan kamu akan melihat menara-menara. Seberangi lapangan ini. Ambillah jalan berikut kekanan hingga akhirnya. Lalu belok kiri di atas bukit,seberangi lapangan besar, dan sampailah. Pergilah sekarang danjangan sampai saya melihat kamu lagi di sini!”

Alex membalikkan badannya dan berjalan menyeberangilapangan. Mengikuti petunjuk-petunjuk dari tentara itu, iaberjalan menyusuri jalan berikutnya hingga ujungnya, belokkiri, menaiki bukit dan menuju pinggiran Lapangan Merahdengan sebuah tembok tinggi Kremlin di luarnya. Kubah-kubahbesar dihancurkan dan tinggallah onggokan puing-puingnya.Lapangan yang sangat luas itu tampak kosong kecuali bagisedikit pejalan kaki dan dua buah kereta beroda kayu yangditarik bukan oleh kuda tetapi oleh petani.

Segera Alex tiba di Jalan Tvershaya. Ia dipenuhi olehharapan akan kehidupan yang baru. Ya, café tempat dulu ia danpamannya minum coklat panas dan makan kue-kue tampak dimatanya sekarang. Dan ini jalan kecil tempat rumah pamannya.Ya, benar di sini. Ia yakin akan mengenali rumah itu karenahiasan yang dipahat pada batu di atas pintu depan.

Tiba-tiba ia merasa sangat kelelahan, maka duduklah iasejenak di tangga batu sebelum ia menaikinya. Lalu, teringatakan ajaran kerapian yang selalu dipaksakan ibunya, iamembasuh wajah dan tangannya di salju. Ia melepaskan topinyayang basah dan merapikan rambutnya. Ia mencoba menyikatmantelnya yang kotor. Lalu ia menaiki tangga, jantungnyaberdebar dengan cepat. Ia menekan bel.

Pertama tidak ada jawaban, maka ditekannya bel sekalilagi. Akhirnya pintu dibukakan oleh seorang wanita tua,rambutnya menjuntai di bawah sebuah babushka, tubuhnyadibungkus pakaian yang tebal dan selendang. Ia berdirigemetaran di pintu.

“Cepatlah. Ada apa? Kami tidak ingin membeku sepertisekarang ini.”

“Selamat pagi, Bu. Saya mencari paman saya, DmitriAntonovich Protopov.”

“Saya tidak kenal Dmitri Antonovich,” kata wanita itusambil mencoba menutup pintu, tetapi Alex berdirimenghalanginya.

“Maaf, Bu, tetapi ia tinggal di sini. Ini rumahnya. Iaseorang wartawan. Pasti anda mengenalnya.”

“Yang saya ketahui hanyalah bahwa kamu membuat saya terusmembuka pintu di udara sedingin ini. Rumah ini bukan miliksiapa-siapa. Ini kepunyaan rakyat. Enam keluarga tinggal disini sekarang dan tidak ada yang bernama Protopov. Mungkindulu, tapi sekarang tidak lagi.”

“Lalu kemana ia pergi? Saya datang jauh-jauh dari Kovrovuntuk menemuinya. Hanya ia satu-satunya keluarga saya disini.” Ketakutan dan kecemasan tampak dalam suara Alex. Wanitaitu sedikit meramahkan wajahnya dan menampilkan sekilaskegugupan.

“Sungguh berita buruk buatmu. Kota ini penuh dengan anak-anak seperti kamu, menggelandang.” Dia merendahkan suaranyahingga seperti berbisik. “Pamanmu ditangkap sebulan yang lalu.Pergi saja ke kantor polisi dan cari di sana, meskipunmenurutku itu tidak bijaksana.” Ia menaikkan lagi suaranya.“Maaf, saya tidak bisa menolong kamu,” maka dengan pelan iamendorong Alex dan menutup pintu.

Alex menuruni tangga dan pelan-pelan kembali ke sudutlapangan yang terdekat. Salju putih turun, menutupi tanahdengan butir-butir putihnya yang segar. Namun tak sedingin apayang dirasakan Alex. Pedihnya rasa lapar dan dingin sekarangbercampur dengan kenyataan yang tak dapat diterimanya – iasebatang kara. Dengan lemah, ia bersandar di sebuah bangunan,dan melalui kelopak matanya yang setengah tertutup, iamemandang ke lapangan.

Seperti yang pertama, di lapangan ini juga ada sebuahpasar kecil. Para pedagang berdiri di belakang gerobak yangditutupi dengan beraneka ragam barang dagangan sepertikentang, kubis, lobak, apel. Ada kios sosis juga, namunsekarang Alex merasa sakit memikirkannya. Di sekitar kiosberdiri banyak toko, tetapi jendela-jendelanya yang dirusakdipalang atau dipasangi kain-kain rombengan, pintu-pintunyaditutupi papan. Tentara bersenapan berpatroli di jalan danAlex dapat membaca poster-poster dan spanduk-spanduk yangtergantung di dekatnya: KITA SEDANG MEMBANGUN SEBUAHMASYARAKAT, AGAMA ADALAH CANDU BAGI RAKYAT, KITA DIKELILINGIOLEH MUSUH. Gambar besar Lenin tergantung di gedung tepat diseberangnya.

Tiba-tiba saja, seperti burung yang beterbangan,segerombolan anak-anak menukik dari lorong di belakangnya.Tanpa berhenti mereka turun ke kios sayuran dan dengan satugerakan memasukinya. Lalu mereka berlari dengan cepat danmenghilang. Pedagang tua berteriak seperti orang kena tembak,orang-orang yang berdiri di sekitarnya hanya menolehkankepalanya lalu kembali lagi ke urusan mereka masing-masing.

Sekarang dari lorong yang sama merangkak sesosok kecilanak lelaki, pakaiannya compang-camping, kotor, dan kakinyadibalut kain-kain rombengan. Tiba-tiba, seperti anak-anaksebelumnya, ia pun kemudian berlari, melewati kios sayuran,merampas sebuah kubis yang tersisa, dan ketika si pedagangberteriak lagi, ia berlari ke belakang kios lainnya danbersembunyi di balik sebuah gerobak. Tetapi Alex dapat melihatsalah satu kakinya yang terjulur, terlihat seperti salju yangkotor atau sampah.

“Kemana larinya pencuri itu?” teriak si pedagang. Iabertanya kepada Alex. “Kamu.. Kamu sedang berdiri di sana.Kemana ia lari? Ke arah mana?”

Seorang tentara yang sedang berpatroli di lapanganbertanya dengan tajam kepada Alex, “Kamu, nak! Apa kamu lihat?Kemana perginya bajingan kotor itu?” Dari balik gerobak Alexmenangkap isyarat dari anak lelaki yang dengan cepat bergerakmenuruni lorong.

“Ia pergi ke arah sana,” Alex tercekat, suaranya membekudi tenggorokannya. Ia menunjuk ke seberang lapangan, ke arahyang berlawanan.

Tentara itu mengejar, sementara pedagang sayuran tua itumenggerutu, “Ia cuma buang-buang waktu. Mereka seperti ikan dijala yang penuh lobang. Pertanyaannya bukan apakah ia akanmenangkapnya. Pertanyaannya adalah, siapa yang akan matikelaparan lebih dulu, kita atau mereka?” Lalu ia mendorong

sayurannya yang tinggal sedikit ke dalam kiosnya danmenjaganya seperti seekor induk ayam.

Sekarang, di dekat tempat anak itu bersembunyi, Alexmelihat seorang anak lelaki tinggi dan berkulit gelap. Iamemandang Alex, lalu memberikan isyarat. Alex merasa ragutetapi kemudian berjalan menghampirinya, angin bertiup melaluipakaiannya, tubuhnya gemetaran di dalam mantelnya yang lembab.Namun, anak lelaki yang sedang dihadapinya hanya memakaimantel rombeng, celana panjang katun yang robek-robek dansebuah topi pekerja biasa ditarik ke bawah menutupi wajahnyayang keras dan lebar. Ia beberapa tahun lebih tua daripadaAlex.

“Mengapa kamu tidak membiarkan anak itu ditangkap?”tantangnya. Alex mundur dan menggelengkan kepalanya.

“Saya tidak tahu. Ia begitu kecil dan begitu…”“Begitu lapar,” anak lelaki tinggi itu berkata, dengan

hampir marah. “Ya, setiap orang lapar. Oh, mungkin kecualikamu,” tambahnya dengan culas, “kamu dengan mantel tebal dansepatu bagus dan topi yang hangat. Mungkin kamu punya rumahbagus dan perapian hangat dan makanan.”

“Tidak,” kata Alex, dan kekuatirannya membuatnya hampirmenangis. “Saya tidak punya rumah dan perapian. Saya belummakan selama tiga hari.”

“Lalu mengapa kamu tidak menjual saja mantelmu itusebelum ada yang mencurinya?” tanya anak lelaki itu. “Kamubersama komplotan?”

“Komplotan?” ulang Alex, tidak mengerti. “Saya tidakmengerti maksudmu. Saya baru saja tiba di Moskow. Saya datangmencari paman saya, tetapi sekarang saya tidak tahu apa yangharus dilakukan.”

“Setiap orang tahu apa yang harus dilakukan – cari makandan tempat tinggal.”

“Tapi di mana?” tanya Alex. “Kamu benar-benar lugu, ya?” kata anak lelaki itu. Ia

mengamati Alex dengan seksama. “Baiklah, kalau kamu lapar,ikutlah aku. Siapa namamu? Aku Peter.”

“Alex” jawabnya. Tingkah laku dan penampilan anak lelakiitu yang kasar menakutkan Alex, tetapi ajakan untuk makanterlalu sukar untuk ditolak. Dan ada sesuatu pada anak lelakiitu, di balik kekotorannya, di balik kekerasan tampangnya,yang berkesan padanya. Ia berwibawa hampir seperti … hampirseperti seorang ayah. Dan mengingat lagi keluarganya, Alexmerasakan kepedihan penderitaannya lagi. Dimanakah mereka?Akankah bertemu lagi?

Peter membalik tanpa berkata-kata lagi dan mulaimemenyusuri lorong, belok ke kiri ke lorong lainnya, keluar ke

jalanan tempat gedung-gedung yang ditutup. Mereka memanjattumpukan reruntuhan yang ditutupi salju, dan akhirnya setelahmengamati dengan penuh kewaspadaan, Peter membantu Alexmenuruni tangga batu ke dalam sebuah ruang bawah tanah darisebuah bangunan yang terlihat seperti akan runtuh. Merekamenyusuri sebuah koridor gelap ke belakang, dan kemudianketika Peter membuka beberapa papan dari sebuah temboktampaklah sebuah dunia yang belum pernah dilihat ataudimimpikan oleh Alex.

Ia kini berada di dalam sebuah ruang bawah tanah yangbesar dengan lantainya yang kotor. Ruangannya dipenuhi denganasap berjelaga yang tebal, penerangan temaram berasal daribelakang seperti pertunjukan di balik tirai tembus pandang.Penerangannya berasal api-api unggun kecil yang dibuat daripembakaran sampah, kertas dan kain rombengan. Ketika mata Alexsudah terbiasa dengan kegelapan, ia dapat melihat bahwa disana ada anak-anak berkelompok di setiap api unggun,mengobrol, tertawa, bertengkar, menyanyi, merokok, bermainkartu. Di mana pun Alex melihat ada sosok kumal tampak, bahkandi celah-celah tembok yang kecil seperti papan.

Beberapa di antara mereka mengucapkan salam kepada Peterketika mereka melihatnya, dan Peter berjongkok di salah satuapi unggun, menjulurkan tangannya ke atas baranya yang panas.Lalu ia menanggalkan sepatunya yang basah dan memberikanisyarat kepada Alex untuk duduk.

“Yang ini namanya Alex,” katanya. “Berikan ia sepotongroti dan air panas,” ia memerintah kepada seorang anak lelaki.

Anak itu melawan. “Mengapa ia?” protesnya. “Katanya tidakada roti sampai makan malam.”

“Ini adalah jatah makan malamnya,” Peter berkata dengantegas sambil menampilkan wajahnya yang keras kepada anak itu.“Ia belum makan tiga hari.” Anak itu menggerutu dan pergi kesebuah sudut tempat sebuah kantung rombengan tergantung padasebuah kayu. Segera ia kembali lagi dan melemparkan kepadaAlex sepotong kecil roti basi. Alex memakannya dengan lahap,sambil menganggukkan kepala tanda terima kasih. Lalu iameminum air panas dari sebuah mangkuk kayu dan ia merasa belumpernah mengalami kenikmatan ini.

“Yang itu Boris,” kata Peter. “Ia bertugas mengurusimakanan hari ini. Dan ini Kostia,” katanya sambil menunjukpada seorang anak lelaki berwajah tirus. “Kadang-kadang iadipanggil Si Penari, karena ia berjalan dan menari-nari dalamtidurnya. Badut itu namanya Ivan.” Ia menunjuk pada seoranganak lelaki berwajah bulat dan berhidung pesek. Anak itumenyambut perkenalan itu dengan menjulingkan matanya danmenyalami dengan tangan seorang anak yang berwajah sangat

pucat yang duduk di depannya. “Si albino ini namanya Leon, danini Miska,” kata Peter ketika seorang anak lelaki kecil yangdilihat Alex di lapangan datang dan berdiri di seberang apiunggun mereka.

Peter beranjak dan berjalan mendekati Miska. Ia menjewertelinganya, ”Apa yang kamu lakukan tadi di pasar, anak bodoh?”Ia mengguncang anak itu.

“Jangan, Peter! Aku cuma ingin mendapatkan bagiankuseperti yang lainnya.”

“Kamu mendapatkan bagian dengan tinggal di sini danmenjaga api menyala. Kamu bisa mendapatkan bagianmu dengananak-anak kecil lainnya yang mengemis dan mengamen. Apa yangbakal terjadi kalau kamu tertangkap, eh? Kita semua akan dalambahaya dan kamu sudah diberitahukan ratusan kali. Kalau kamusudah cukup besar untuk belajar mencuri, akan aku ajarkan,tapi bukan sekarang.” Peter mengguncangnya sekali lagi.“Mengerti?”

“Aku mengerti.”“Untuk meyakinkan bahwa kamu mengerti, tidak ada roti

untuk kamu malam ini. Kamu harus memberikan bagianmu kepadaAlex karena telah menyelamatkan kamu dari tentara.” Iamelepaskan si kecil Miska.

“Tapi, Peter,” Miska menangis. “Aku mengambil satukubis.”

“Baik. Tidak ada kubis, juga.”Kubis! Ya, Alex dapat mengenali melalui berbagai bebauan

yang tengik dan memuakkan di ruang bawah tanah itu bau masakansayur yang disukainya. Di sana, di dalam sebuah panci besar diperapian yang paling besar. Namun kelelahan menimpanyasekarang. Ia melepaskan sepatunya dan mencoba menghangatkanjari-jarinya dan ketika rasa dingin menghilang, tertidurlahia.

Ia dibangunkan oleh sebuah dorongan di bahunya. Miska sianak lelaki kecil memegang sebuah mangkuk kayu berisi rebusankubis panas. “Peter menyuruh saya memberikan ini kepadamu.”Wajahnya murung. “Tapi kamu sudah mendapatkan jatah rotimu.”Alex menganggukkan terima kasihnya pada anak itu. Sup iturasanya tidak enak, tetapi panas dan baik untuk tubuhnya. Alexteringat beberapa waktu yang lalu – mungkinkah itu hanyabeberapa hari yang lalu? – ketika ia menyingkirkan buburgandumnya karena rasanya sedikit gosong.

“Aku mendapat beberapa kubis,” kata Miska sambilmemandangi Alex yang sedang memakan kuah panas.

“Ya, aku tahu,” jawab Alex. “Sangat bagus.” Lalu kemudiania ingat bahwa anak lemah ini tak punya apa pun. “Sini,

makanlah sisaku.” Ia mengangkat mangkuk itu, dan tiba-tibasebuah lengan yang kuat membanting mangkuk dan isinya kelantai yang kotor.

“Kalau kataku ia tidak mendapat sup, ia tidak mendapatsup,” kata Peter dengan marah. “Kalau kamu tinggal di sini,kamu harus tahu kalau kata-kataku adalah hukum.”

“Tetapi aku tidak tinggal di sini,” teriak Alex. “Akutidak … Aku bukan ….”

“Kamu tidak apa?” tantang Peter. “Kamu tidak lapar? Kamutidak kedinginan? Kamu tidak sendirian, tanpa tempat tinggal?Kamu pikir kamu lebih baik dari kami karena kamu punyamantel?”

“Kami bisa punya mantel juga,” kata Kostia, badan begitukurus sehingga berat sebuah mantel dapat menjatuhkannya. Iasedang meletakkan sebuah sendok ke dalam ikatan topinyasetelah selesai menghabiskan supnya. “Kalau kita mendapatkansebuah mantel, kita menjualnya.”

“Kamu lebih baik kedinginan?” tanya Alex, keingintahuanmenyingkirkan rasa takutnya. Dalam cahaya api berjelaga yanganeh, wajah-wajah anak lelaki yang seperti orang kerdil danrambut yang kusut membuat mereka tampak seperti makhluk-makhluk dalam sebuah mimpi buruk.

“Kami lebih baik,” kata Kostia, “hangat dengan perutkenyang, tapi kami tidak mendapatkan semua yang kamiinginkan.”

“Tidak semuanya!” kata Ivan si badut, sambil menampilkantampang julingnya yang lain. “Tentu saja, kita mempunyai hampirseluruh kemewahan!” Lalu ia medorongkan punggungnya ke anak yanglain sehingga anak itu terjatuh ke tanah.

“Baiklah, aku akan pergi besok pagi,” kata Alex.“Silakan,” jawab Peter. “Tak ada yang memaksamu untuk

tinggal di sini. Kenyataannya, tidak mudah bergabung dengankelompok kami. Kami punya aturan.”

“Aturan apa?” tanya Alex.“Kamu tidak perlu tahu, karena kamu tidak akan tinggal

bersama kami,” kata Peter. “Tapi kelompok kami hampir samaseriusnya dengan organisasi Pemuda Komsomol.”

“Tapi tidak harus memberi hormat,” kata Leon sambilmengedipkan kelopak matanya yang pucat. “Atau berpawai untukrakyat yang merampas pertanian orang tuamu.”

“Atau mengkhianati orang tuamu,” sambung Kostia, “kalaukamu punya.”

“Kami bezprizorni adalah seperti binatang-bianatang liar,”kata Peter. “Mungkin kami sedingin anjing di salju dan selaparserigala di hutan, namun kami bebas.”

Kostia melangkah ke perapian, dan setelah menemukansebuah arang yang padam, diambilnya dan dipakainya untukmenghitamkan kulitnya yang terlihat dari sobekan di kakicelana panjangnya.

“Hitamkan aku juga, Kostia,” kata si kecil Miska, dan iamembungkukkan badannya ketika Kostia menghitamkan sebuahsobekan di pantat celananya. Beberapa anak yang lebih kecilberbaris di belakang Miska untuk dicoreti arang. Sambil dudukdi dekat api, Alex memperhatikan mereka berloncatan danbermain-main seperti ada permainan di sekolah.

Di sebuah sudut di dekatnya, Boris, penjaga makanan, dananak lainnya yang bernama Grigory, diam-diam menyalakan api diantara jari-jari kaki seorang anak lainnya yang sedang tidur.Alex ingin berteriak, tetapi anak itu sudah terbangun,memekik, dan menyingkirkan api. Lalu ia mendatangi danmenonjok Boris dan Grigory, dan mulailah sebuah perkelahiankecil. Di seluruh ruang bawah tanah itu sesekali terdengarnyanyian, batuk-batuk, dan teriakan. Benar-benar gaduh.

Kemudian Miska datang dan membungkukkan badan di dekatapi. Ia membawa sebuah buku bersampul merah yang sudah robek-robek dari balik bajunya dan membuka halaman-halamannya,mengamati gambar-gambar yang tercetak dengan bagus.

“Apa yang sedang kamu baca?” tanya Alex.“Tak tahu,” kata Miska. “Aku tidak bisa membaca. Peter

menemukannya di sebuah rumah dan memberikannya padaku.“Apakah Peter suka membacakannya untukmu?”“Oh, Peter juga tidak terlalu bisa membaca. Ia besar di

panti asuhan, dan di sana tidak diajarkan membaca.Alex tak bisa mempercayainya. Peter mungkin berusia empat

belas atau lima belas tahunan.“Sini,” katanya. “Biar kulihat. Aku akan membacakannya

sedikit untukmu. Oh, setiap orang tahu dongeng ini. Nenekkubiasa membacakannya untukku dulu.” Dan ia mulai membacakandongeng tentang leshy, si hantu dengan mata bulatnya yang besar,rambutnya yang panjang, dan kulitnya yang berwarna biru. Hantuini adalah pelindung para penjahat dan pencuri, dansuaranyalah yang terdengar menggema di antara pegunungan.

Ketika Alex membaca dongeng tua itu, ia teringat neneknyadan bau harum bunga lavender di bajunya. Tak lama, matanyaterasa berat dalam cahaya temaram, dan dialihkannya matanyadari buku. Miska telah tertidur nyenyak, kepalanya bersandardi bahu Alex dan di sekitarnya beberapa pendengar yangtertarik memandang ke arahnya dengan segan. Di sisi lain apiunggun, Peter mengamatinya. Lalu tanpa berkata apapun iamembaringkan diri dan tidur.

Ruangan itu menjadi tenang. Bisik-bisik masih terdengardi sudut ruangan, kepulan asap di sudut lain, suara tertawa disana, dan suara batuk di sana-sini. Tapi akhirnya Alextertidur juga. Ia terbangun di tengah malam dan melihat Miskatidur memeluknya, dan juga anak lain di sisi lainnya. Iamenyamankan tidurnya dengan selimut-selimut rombeng hidup inidi dekatnya. Dalam temaram cahaya Alex dapat melihat seluruhanak-anak bertumpukan seperti timbunan sampah, dan ia telahmenjadi bagian tumpukan itu, tumpukan manusia yang bermacam-macam, yang saling memberikan satu-satunya hal yang merekamiliki – sedikit kehangatan tubuh mereka.

Bab 4

Di pagi hari, api-api dinyalakan lagi, asapnya mencekik danberbau busuk. Panci-panci sudah dipasang untuk merebus air,dan sebentar saja sudah ada semangkuk air panas untuk setiapanak dan sepotong roti ditemukan Alex ada di piringnya. Hariini giliran Kostia mengurus makanan dan karena rasa tanggungjawabnya, ia mengukur setiap potong roti dengan teliti.

Sekarang alex dapat melihat ada sepasang burung di ruangbawah tanah itu, beterbangan, lalu makan biji-bijian yangdisediakan sedikit untuknya. Bagaimana meeka bisa hidup disini? Alex bertanya-tanya. Ia melihat seorang anak lelakikecil mencoba mengambil biji-bijian itu untuk dirinya sendiri.Dengan cepat, Boris menyingkirkannya. “Dasar pemalas!”teriaknya. “Biji-bijian itu kepunyaan burung-burungku, tahu?”

Boris yang melihat Alex memperhatikannya kemudianberlagak, “Kalau kamu memutuskan untuk tinggal dan belajar

berdagang,” katanya, “kamu bisa belajar dengan melihat aku.Aku yang terbaik. Sekarang ini, mungkin, kita hanyalahkentang-kentang kecil, tapi nanti kalau aku sudah bertambahbesar beberapa tahun lagi, aku akan benar-benar menjadipenjahat besar.” Ia melangkahi api unggunnya, sambil memegangseekor burung yang telah mendarat untuk memakan biji-bijianyang ada di jari-jarinya.

Aku harus benar-benar meninggalkan tempat ini sekarang,pikir Alex. Ia mencari-cari sepatunya yang telahditanggalkannya dekat perapian. Sepatunya hilang. Ia merangkakdi antara anak-anak itu di atas lantai yang kotor, mencarisepatunya. Pencariannya terlihat oleh beberapa anak danmenjadi tertawaan mereka.

“Itu orang atau anjing kurap yang kamu bawa itu, Peter?”Boris bertanya dengan suara keras yang sumbang. Dan sepatu ituada pada temannya Grigory, yang tampangnya lebih miripserigala daripada anak lelaki, dengan wajahnya yang dipenuhibintik-bintik dan telinganya yang meruncing. Ia sedangberbaring di atas punggungnya dan kakinya yang bersepatumenari-nari di udara.

“Baiklah,” Alex tertawa gugup. “Sekarang aku akan pergidan kamu boleh mengembalikan sepatuku.”

“Aku boleh, bukan?” Grigory mencoba meniru suara Alex.“Dengar itu, Boris! Aku boleh memberikan sepatunya. Aku jugaboleh menonjok hidungmu, babi.” Sambil merubah nada suaranya,ia berkata, “Kalau kamu ingin sesuatu buat penutup kakimu,ambil sendiri ‘sepatu’ dari sana,” dan ia menunjuk padatumpukan kain rombengan yang teronggok di sudut.

Alex ketakutan. Ini benar-benar keterlaluan, namun iaberusaha tidak menunjukkan ketakutannya. “Kalau cuma bercanda,bolehlah, tapi kamu tidak bisa mengambil begitu saja kepunyaanorang lain,” ia berkata masuk akal. “Bercandanya selesaisekarang, jadi tolong kembalikan.”

Boris berkata, “Dengar itu, kawan! Si Babi ini berkatakamu tidak boleh mengambil kepunyaan orang lain!” Ia mengambilsepatu dari kaki Grigory dan memakaikannya di kakinya.Semuanya tertawa. Alex menjadi semakin panik. “Katakan itukepada kaum Bolshevik!” Boris menggeram. “Katakan pada mereka,mereka tidak bisa mengambil tanah pertanian kecil ayahku. Ya,katakan pada mereka, mereka tidak bisa mengambil kepunyaanorang lain!”

“Ya, katakan pada mereka,” kata Grigory, seperti gemasuara dan bayangan Boris. “Mereka membakar rumah kami besertaseluruh isinya dan mencuri sapi dan ayam.”

“Sapi!” kata Leon. “Jangan katakan tentang sapi! Pajakjerami yang dibayarkan ayahku telah mengurangi makanan sapi

kami, sapi itu melemah dan mati. Setelah itu, kami tidak punyaapa-apa lagi.”

Peter, yang selama ini berdiam diri, sekarang mulaiberkata, “Menurut kalian, bagaimana kita hidup?” teriaknya.“Kita mengambil apa yang dipunyai orang lain.”

“Begitulah cara setiap orang hidup,” kata Kostia.“Tidak,” kata Alex, mempertahankan keyakinannya. “Ayahku

tidak pernah hidup seperti itu … tidak.”“Dan bagaimana cara ayahmu hidup?” tanya Peter.“Ia seorang guru. Ia bekerja untuk negara.”“Dan siapa yang diambil negara?” tanya Boris penuh

kemenangan.“Ayahku. Kenyataannya, sepatu itu mungkin milik ayahku.

Jadi, benar kan kalau aku yang memilikinya.”“Kembalikan sepatu itu,” kata Peter dengan tenang. “Kita

tidak saling mencuri.”“Ia bukan kelompok kita. Ia yang bilang sendiri.” Kata

Boris.“Kembalikan!” perintah Peter, dan Boris dengan marah

melepaskan sepatunya dan melemparkannya ke Alex.Darimana asalnya kekuasaan Peter itu? Alex bertanya-

tanya. Ia tidak lebih tua, bahkan tidak sebesar Boris. Merekaberdua berpakaian rombengan. Namun, pikirnya, ada yang laindengan Peter – ia memakai rombengan yang berbeda.

Miska duduk di samping Alex ketika ia sedang mengenakansepatunya. “Bacakan cerita itu sampai selesai, sebelum kamupergi,” katanya sambil menyodorkan buku. Beberapa anak yanglebih kecil datang mendekat mendengar permintaan ini.

“Aku tidak bisa,” Alex menggerutu. “Aku harus pergi.” Iamenghampiri Peter. “Terima kasih,” katanya.

“Sekarang kita seri,” kata Peter dengan kesal. “Tapiingat, begitu kamu pergi, kamu menjadi bulan-bulanan bagi kamiatau bagi yang lainnya di seluruh Moskow, yang mungkin sajatidak …… seramah kami.”

“Ramah!” kata Alex sambil memperhatikan leher-leher kasarmereka yang kotor di dalam kain rombengan yang bau, denganpertengkaran dan perkelahian mereka yang ramai.

“Jika kamu pikir kami kasar, tunggu sampai kamu bertemuyang lainnya.”

“Kuharap demikian,” gerutu Boris.Alex membalikkan badannya dan pergi menuju pintu keluar.

Ia merasa kegamangan di kakinya dan kepalanya pening. Peterdatang dan membuka papan-papan, lalu memimpinnya menurunilorong gelap dan menaiki tangga ke jalanan, lalu memberikanisyarat ketika jalan sudah jelas.

“Waspadalah,” ia meperingatkan Alex ketika ia sudahmencapai puncak tangga. “Kuharap kau mempunyai mata disekeliling kepalamu. Semoga berhasil.”

Ketika udara dingin menerpa Alex, perasaan anehmenyerangnya. Lututnya melemah dan ia jatuh seperti sebuahbatu di salju.

Ia kehilangan kesadarannya, kadang-kadang dirasakannyapanas api di atasnya, kadang-kadang yang dirasakannya hanyaes, tetapi ketika ia telah mendapatkan kembali kesadarannya,ia menyadari kalau ia telah berada lagi di ruang bawah tanah.Miska ada di sampingnya dan kelihatannya hanya ada satu ataudua anak lelaki lainnya, yang satu membawa air, satunya lagimenjaga api.

“Apa yang terjadi?” Alex bertanya kepada Miska, suaranyaterdengar aneh di telinganya. “Aku bermimpi aku sudahmeninggalkan tempat ini.”

“Kamu memang sudah meninggalkan tempat ini, tetapikembali lagi. Kukira kamu kembali untuk menyelesaikan ceritaini,” Miska berkata dengan ceria. Ia membawakan Alex semangkukair panas. “Ada ramuan khusus di sini. Peter menyuruhkumemberikannya untukmu.” Alex mengambil mangkuk dan meminumairnya yang terasa pahit. Lalu ia berbaring lagi, rasanyatidak berdaya sama sekali. “Kamu sakit,” kata Miska, “tetapimungkin kamu tidak akan mati. Aku tahu. Aku tahu bagaimanapenyakit itu. Setiap orang sakit.”

“Tetapi sekarang mereka semua ada di luar kedinginan,”Alex mengeluh.

“Tentu saja. Kita harus makan. Kalau kita tidak keluar,kita akan lebih sakit. Tetapi ada beberapa penyakit yangdilarang Peter masuk ke ruang bawah tanah ini. Kalau ada anak-anak yang menderita penyakit ini, ia tidak akan mengizinkannyamasuk kelompok ini. Ia akan menyerahkan mereka ke panti asuhankalau mereka mau pergi.”

“Dan apa yang dilakukan oleh panti asuhan kepada anak-anak tadi?”

“Oh, mereka akan menyediakan sebuah tempat di lantaiuntuk tidur dan sedikit makanan, kalau ada. Kalau mereka akanmati, mereka bisa mati di sana.” Miska tampaknya tidakmengkhawatirkan ataupun terpengaruh dengan kenyataan ini, “Akupernah satu kali di panti asuhan, di selatan. Petermengambilku.”

Alex tertidur lagi. Ketika ia bangun, ada kegaduhan disekitarnya karena anak-anak sudah kembali berkumpul di depanapi unggun yang sudah dinyalakan lagi, banyak suara mengobrolatau bertengkar.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Peter, ketika melihat Alexsudah bangun.

“Aku merasa aneh – lemah, panas dan dingin,” kata Alex.“Aku akan memberikan lagi ramuan demam kami.” Kata Peter,

lalu pergi ke sebuah tempat di tembok batu. Di sana adabungkusan-bungkusan kertas koran kecil berisi ramuan. Iamengambil satu bungkus, lalu dituangkan ke dalam air mendidih,dan membiarkannya larut selama beberapa menit. “Nanti, kalaukamu sudah sembuh, kamu harus menggantikan ramuan ini,”katanya. “Beginilah caranya agar persediaan obat kita tetapada.”

Alex terlalu lemah untuk menanyakan di mana ia bisamenemukan ramuan itu di tengah kota Moskow, tetapi ia meminumseduhan itu dan kemudian memakan sedikit bubur. Di hari-hariberikutnya, ia berbaring di lantai ruang bawah tanah itu,berkeringat, lalu kedinginan, tidur, akhirnya mulai merasalebih baik, ia mendengar kedatangan dan kepergian anak-anakitu, dan kebiasaan-kebiasaan mereka semakin dikenalnya. Iamelihat Ivan memutar-mutar mangkuk di ujung sebuah tongkat,memainkan bola-bola batu, kadang-kadang empat sekaligus. Iamelihat sendiri mengapa Kostia yang kadang-kadang dipanggil siPenari – pada suatu malam, dalam cahaya temaram api yang mulaipadam, bangun dari tidurnya dan berjalan perlahan-lahan denganlemah gemulai. Alex melihat juga Boris yang suka berkeliarandi dekat api unggun di manapun di ruang bawah itu, namun iatidur berdiri di sebuah sudut.

“Ia biasa tidur seperti itu,” Kostia menjelaskan. “Ketikakeluarganya terusir dari tanah pertanian mereka, Boris diambilmenjadi buruh oleh seorang tuan tanah yang kaya. Jikamajikannya menemukan Boris tertidur, ia akan memukulnya. Jadi,Boris belajar tidur sambil berdiri, sehingga ia kelihatannyabangun. Sekarang ia tidak bisa tidur dengan cara lainnya.”

Pada suatu malam yang sunyi di ruang bawah tanah, Alexyang berbaring di dekat Peter, berbisik, “Bagaimana kamumenemukan ruang bawah tanah ini, Peter?”

“Tidurlah,” kata Peter. “Tidur baik untuk menyembuhkandemam.”

“Tetapi aku sudah semakin baik.”Hampir seperti orang tua menghibur anaknya yang sakit,

Peter berkata, “Baiklah. Akan kuceritakan sedikit. Ayahkuterbunuh dalam perang, dan ibuku yang meninggal karenakelaparan selalu memberikan kepada adikku yang masih bayi danaku apapun yang ada untuk dimakan. Bibiku kemudian menyerahkankami ke panti asuhan di Jalan Ostrov. Di sana benar-benarmengerikan, tentu saja, tapi kukira sekarang tidak begituburuk. Di sana ada tempat tidur besi dan selimut, bubur encer

di pagi hari dan sup kubis di malam hari. Sekarang …” suaranyaterhenti.

“Dan bagaimana kamu bisa keluar dari sana?” tanya Alexdengan cepat.

“Ketika aku sudah cukup dewasa dan cukup cerdik, akumenyelinap keluar selama beberapa hari untuk mendapatkansedikit makanan untuk adikku. Dan kemudian …. kemudian ketikaaku kembali, adikku sudah meninggal. Ia dipukuli.”

“Siapa yang memukulnya?” tanya Alex, terkejut.“Aku tak dapat memastikan. Mungkin pimpinan panti, atau

salah seorang penghuninya.”“Lalu apa yang kamu lakukan?” Alex mencoba membayangkan

apa yang akan dilakukannya jika ia menemukan adik perempuannyadipukuli. Tapi ia menemukan adik perempuannya hilang …diculik! Dan apa yang dilakukannya? Tidak ada.

“Tidak ada,” kata Peter. “Aku hanya duduk dan melamunselama seminggu, setelah itu aku pergi dan tidak kembali lagi,kecuali mereka akan menangkapku suatu saat. Aku bersembunyi diseluruh kota, tak ingin bergabung dengan kelompok manapun.Mula-mula aku mengemis, tapi kemudian, … aku belajar tipuan-tipuan anak-anak jalanan. Kadang-kadang aku bisa mencurisepotong pakaian hangat dan menjualnya untuk mendapatkanmakanan. Dari sana, aku mengenal seorang tukang roti bernamaJacob karena aku suka membeli sedikit roti darinya. Ia adalahorang pertama yang kukenal setelah ayahku, yang kuhormati dankukagumi. Ia orangnya baik, tenang, kuat dan bijaksana. Kukiraaku ingin menjadi sepertinya. Pada suatu hari ia mengatakankalau ia memerlukan pekerja untuk menjaga ovennya dan mengirimroti ke tangsi tentara. Aku menawarkan diri dan mendapatkanpekerjaan itu.”

“Menjaga oven roti di musim dingin adalah pekerjaanterbaik yang bisa didapatkan – semua kehangatan yang kamuperlukan, sisa-sisa roti yang bisa dimakan kapanpun, tempattidur dekat perapian, dan uang beberapa kopek upah setiap kalimengantarkan roti. Namun, berapa lama hal-hal yang baik inibertahan? Sebelum musim dingin berakhir, OGPU datang danmenangkap tukang roti itu. Aku, saat itu sedang mengantarkanroti ke tangsi tentara di dekat sungai. Ketika aku kembali,toko sudah dikunci dan disegel.

“Aku menyesalkan apa yang terjadi pada orang tua itu.Kami biasanya suka membicarakan bermacam-macam hal: tentanghidup di … jalan baik, tentang hak-hak rakyat untuk memilihapa yang ingin mereka lakukan. Ia mulai mengajariku membaca.Ia mengajariku berdagang roti. Aku benar-benar bekerja sambilbelajar. Lalu semua berakhir.”

Peter berhenti berbicara cukup lama sehingga Alex mengiraia sudah tertidur. “Apa yang kamu lakukan kemudian?”

“Ketika kutemukan toko sudah ditutup, aku berjalanmemutar ke belakang dan masuk ke dalam melalui saluran yangbiasa dipakai untuk menjatuhkan kayu. Aku mendarat di dekattumpukan abu hangat dari oven yang sudah dihancurkan oleh paratentara, dan tidur di antara karung-karung tepung kosong.

“Beberapa hari kemudian tidak ada lagi toko-toko pribadidi jalan. OGPU berkeliling dengan van-nya dan menjadi satu-satunya yang bergerak di sana. Aku tidak tahu apa yang akandilakukan, yang kutahu tempat penampungan anak tidak sehangatruang bawah tanah toko roti bahkan meskipun tanpa oven.”

“Maka aku memunguti tepung yang berhamburan danmeletakkannya di baskom pengaduk tua, lalu pergi ke pasar danmenjualnya. Kemudian aku mengantri dan membeli sedikit sosis.Aku melakukan hal yang sama selama beberapa hari. Kemudiansalah seorang anak penghuni panti asuhan melihatku. Boris. Iaikut ke ruang bawah tanah bersamaku. Setelah itu, yang lainnyadari panti asuhan ikut juga bersama kami, kemudian anak-anakdari mana-mana. Kadang-kadang kami harus mengusir anak-anakyang tidak mau menuruti aturan kami. Aku ingin menjadiseseorang seperti Jacob si tukang roti, dan kami menyebutkelompok ini Kelompok Tukang Roti.” Ia berhenti. “Boris danaku … kami berbeda pandangan, tapi ini adalah ruang bawahtanahku dan aku lebih besar daripada Boris.”

“Tetapi sekarang Boris lebih besar,” kata Alex danbertanya-tanya apakah pengamatannya benar.

“Ya,” Peter menyetujui. “Boris sekarang lebih besar, tapilebih besar bukan segalanya. Sekarang tutup mulutmu dantidur.”

Hari ketika Alex merasa hampir menjadi dirinya lagi –lebih kurus, lebih lemah, namun di beberapa hal lain lebihkuat – pikirnya, hari itulah ia harus meninggalkan tempat ini.Tetapi, ia masih tinggal satu hari lagi. Apa yang menahannya?Ia tidak tahu. Tidak ada yang lebih baik dari ini, pikirnya –udara dingin, kekotoran, asap, kutu. Dan ia semakinmengenalnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi di luar sana dijalanan. Yang lebih buruk, ia menakuti apa yang diketahuinya.

“Aku harus pergi sekarang,” akhirnya ia berkata kepadaPeter.

“Oke,” kata Peter. “Tapi kamu harus mengganti lebih duluramuan yang pernah kami berikan untuk mengobati demammu.Demammu sangat lama dan kamu telah menghabiskannya. Sekarang

jika ada salah satu di antara kami sakit, kami tidak punyaapa-apa lagi.”

“Tetapi bagaimana caranya?” tanya Alex. “Tidak ada yangbisa tumbuh di musim salju, dan di manakah di Moskow initempat tumbuhnya?”

“Tentu saja ada di toko obat. Masih ada satu yang belumditutup di distrik ini.”

“Tapi aku tidak punya uang untuk membelinya.”“Memangnya aku tidak tahu?” Peter menjawab dengan tidak

sabar. “Kamu harus mengambilnya, begitulah yang selalu kamilakukan. Ayolah.”

“Tetapi aku tidak pernah mencuri apapun,” protes Alex.“Makanya kamu harus belajar,” kata Peter sambil tertawa.

“Ini ketrampilan, pekerjaan seperti yang lainnya.”“Tapi aku tidak mau belajar menjadi pencuri.”Peter tampak marah. “Dengar, aku sudah menolong kamu

sampai saat ini, tapi kamu punya hutang yang harus dibayar.Pergilah. Ivan akan bersamamu. Ia akan menyibukkan tukang obatdi depan toko, jadi kamu tidak akan sukar mengambil ramuandari stoples di belakang. Dan Kostia akan mengawasi di luar.Jika tidak begitu mudah, kukira aku akan menyuruhmu?”

Mereka pergi keluar, seorang-seorang melalui pintu ruangbawah tanah, dan seperti tikus-tikus mereka cepat-cepatberjalan menyusuri tembok melalui jalan dan lorong bersalju,menyeberangi Sungai Moskva yang besar, yang mengalir di tengahkota, menuju ke toko obat. Kostia menempatkan dirinya di luarsementara Alex ditemani Ivan pergi ke dalam toko. Ivan mulaibergerak cepat di antara botol-botol dan stoples-stoples,pura-pura akan menyentuh sesuatu, lalu bergerak ke tempatlain. Tukang obat datang dari balik konter kayu yang berat,tampak khawatir, mengawasi setiap gerakan Ivan.

“Jangan menyentuh apa pun,” katanya, sambil mengikutiIvan.

“Kawan,” kata Ivan, matanya yang lebar tampak lugu diwajahnya yang lucu. “Awasi aku baik-baik, aku tidak menyentuhapa pun. Tidak satu pun.” Ia mengangkat tangannya dan keluardi depannya, bergerak dengan cepat di depan toko.

Seperti yang diperintahkan, Alex, dengan jantungberdebar-debar, tanpa kesulitan menyelinap ke belakang tokodan menunduk di balik konter, ia dapat melihat stoples-stoplesyang dijajarkan dengan rapi – balsem, puyer, calla, chamomile,celandine … Dengan cepat Alex membuka tutup sebuah stoples danmemasukkan tangannya mengambil pucuk elecampane kering, ramuanpahit yang menyembuhkan demamnya. Satu genggam penuh di setiapsaku bajunya dan ia keluar di depan konter dan bersiap untukpergi.

Wajah tukang obat sekarang ini merah padam dan akansegera meledak. “Ini bukan tempat untuk berdiri,” ia berteriakkepada Ivan. “Ini toko saya. Keluar sekarang juga.”

“Toko anda?” tanya Ivan. “Maaf, kawan, kukira sekarangsemuanya adalah milik rakyat.” Alex memberikan isyaratpadanya. Ia ingin keluar. “Baiklah,” kata Ivan dengan sedih.“Kawanku dan aku akan pergi. Mari, Sergei,” katanya pada Alex.

Mereka bergabung kembali dengan Kostia di luar danberjalan cepat-cepat. “Secepat itukah kamu mengambilnya?”tanya Ivan. Alex mengangguk. Ia masih gugup, tapi kemudiandialihkan oleh penampilan Ivan yang dramatis.

“Kamu bisa menjadi aktor,” kata Alex. “Aku pernah melihatrombongan aktor keliling, dan kamu sebagus mereka. Benar.”

“Orang tuaku pernah di sirkus,” kata Ivan dengan bangga.“Aku anak sirkus. Demiikan juga semua kakak dan adikku. Kamisemua melakukan pertunjukan bersama-sama yang disebut Kincir.Ayahku akan menggantung terbalik di trapeze sambil memegangsebuah tali di giginya. Lalu dengan perlahan, menuju ke sebuahkincir, ia akan menarik masing-masing anak ke udara di atastali, berputar-putar, cahaya lampu mengarah pada kami,menunjukkan kami memakai kostum bersayap. Benar-benar luarbiasa.”

“Tetapi mengapa kamu meninggalkan sirkus?” tanya Alex.“Kukira kehidupan di sirkus menyenangkan.”

“Oh, itu,” kata Ivan. “Ayah dan ibuku ditangkap padasuatu malam setelah mereka melakukan pertunjukan dengan tali.Siapa yang tahu mengapa?”

Ketiga anak lelaki itu berjalan lambat-lambat dilapangan, sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalangdi sebuah pasar kecil – para petani dengan topi rajut dansepatunya, laki-laki dengan kaleng-kaleng, nenek-nenek tuadengan rok petani yang lebar dan babushka. Lalu seorang nyonyayang sedang berjalan dengan lambat sambil membawa belanjaan dikedua lengannya. Sambil mengendap-endap di belakangnya, Kostiamengeluarkan sebuah pisau kecil dan memotong sebagian bulu dibelakang mantel wanita yang tetap berjalan tanpa menyadaripakaiannya yang dirusak. Mulut Alex menganga melihatnya.

“Aku akan mendapat sosis untuk makan malam karena ini,”kata Kostia, sambil mengayunkan potongan bulu itu di mukaAlex. Mereka menyeberangi lapangan dan memasuki pasar lainnya,tempat Kostia menghilang sebentar dan kemudian kembali lagidengan sepotong besar sosis.

Di perempatan ini, di manapun mereka berjalan, menara-menara yang lancip dan kubah-kubah yang bercahaya dari Kremlindapat dilihat. Di atas semuanya, bendera merah berkibar,tetapi itu tidak berarti banyak bagi Alex. Ia hanya tahu bahwa

Revolusi telah menjatuhkan Tsar Nicholas, tetapi masihdiperdebatkan siapa yang sedang berkuasa. Ayahnya pernahberkata bahwa Lenin, kepala pemerintah, sedang sakit keras.

Ketiga anak lelaki berjalan menyusuri lorong dan jalandan menyeberangi lagi Sungai Moskva. Kembali ke ruang bawahtanah, anak-anak lelaki lainnya juga pulang dari mencaripenghasilan mereka. Peter tiba sambil membawa sebuah kuepudding yang bagus. “Bayangkan mendinginkan sebuah pudding dijendela, itu artinya memberikan hadiah untuk kita!” Iatertawa. “Apakah kamu mendapat ramuannya?” ia bertanya kepadaAlex.

“Ya, aku dapat sedikit,” kata Alex sambil mengosongkansaku-saku bajunya.

“Sedikit! Aku hanya menyuruh kamu mengambil sedikit. Inicukup untuk satu bulan! Kamu berbakat menjadi pencuri!”katanya, sambil menepuk bahu Alex.

“Ia seperti salah satu dari kita,” kata Ivan. “Bahkan akutidak melihatnya pergi ke balik konter.”

“Ia pintar,” kata Miska. “Aku tahu ia pasti bisa.Sekarang ia bisa tinggal bersama kita.”

Alex sangat terkejut dengan hal ini. Ia sudahmerencanakan untuk pergi segera setelah ia membayar hutangnya.Tetapi tiba-tiba ia merasa ditarik – ditarik ke dalamhangatnya pujian Peter dan kepercayaan Miska. Dekat di sekitarapi kecil ini ia merasa terlindung sementara dari kesepianjalanan karena anak-anak yang kotor dan ribut inimenerimanya.

“Kamu akan tinggal, Alex,” kata Miska sambil menarik-narik mantelnya.

“Baiklah, untuk sebentar saja,” kata Alex. “Sampai akudapat menentukan apa yang harus kulakukan.”

Sementara itu, pudding sudah dibagikan dalam potongan-potongan kecil. Tidak lebih dari sekecap rasa saja bagimasing-masing anak itu, tapi pengalaman ini mengenyangkansemangat mereka.

“Jika kamu tinggal di sini,” kata Peter, “kamu harusbekerja. Setiap orang di sini harus bekerja untuk makan. Dankamu harus mengikuti aturan-aturan kami.”

“Apa saja itu?” tanya Alex.“Tidak boleh mabuk-mabukan,” kata Boris dengan kesal.“Ia tidak suka itu,” Miska berbisik pada Alex.Alex tertawa, “Tapi aku tidak minum alkohol,” katanya.

“Aku tidak diperbolehkan, kecuali air dengan sedikit anggur.Lagipula, di mana kamu bisa mendapatkan anggur atau vodka?”

“Kamu tidak akan bertanya demikian jika kamu diambil olehkelompok lainnya,” kata Ivan. “Itulah yang mereka lakukan

dengan sebagian besar uang yang mereka curi – mereka membelivodka.”

“Atau kokain,” kata Grigory.“Dan tidak boleh ada kokain di sini, atau semacamnya,”

kata Peter. “Dan kamu tidak boleh membawa anak-anak yang sakittipus atau sipilis ke sini.”

Alex hampir tidak mempercayai aturan ini. Pikirnyamungkin seperti aturan-aturan sekolah – peraturan tentangtugas-tugas, mungkin, atau hukuman karena gagal melakukanpekerjaan mereka.

“Kelompok kami berbeda dengan kelompok lainnya,” lanjutPeter. “Ini adalah Kelompok Jacob si Tukang Roti. Kita ada disini karena jasanya.”

“Tapi ada berapa kelompok di sana?” tanya Alex.“Siapa yang tahu!” jawab Kostia. “Ratusan, kalau kita

pergi ke selatan, kamu akan lihat seperti sebuah sungai penuhanak lelaki.”

“Aku tak sabar ingin makan melon,” kata Miska, sambilmenelan ludah membayangkan buah segar itu. “Kapan kita pergike sana, Peter?”

“Di musim semi, seperti biasa. Kalau kita pergi sekarang,kita akan makan buah-buahan yang masih hijau, dan semua tahuitu tidak baik untuk kehidupan, lagipula di selatan, petaniyang miskin tidak punya dompet.” Semuanya tertawa. “Ada lagisatu aturan dan ini yang paling penting,” lanjut Peter. “Kitatidak boleh membunuh.”

“Membunuh!” Alex berteriak.“Dengar,” kata Peter hampir marah. “Ada banyak, banyak

gelandangan di seluruh kota besar dan kecil. Mereka semuamemerlukan apa yang kita perlukan – makanan, tempat untuktidur dan agar tetap hangat. Kita berusaha mendapatkannyadengan ketrampilan kita. Yang lainnya, tanpa ketrampilan,mendapatkannya dengan tinju, batu, dan pisau mereka. Jika kamuberada dalam bahaya, mungkin kamu harus melindungi dirimusendiri, tetapi kamu tidak boleh membunuh bila bersama kami.Bukan kesalahan mereka jika mereka mempunyai apa yang kitaperlukan, tapi bukan salah kita pula bila kita memerlukannya.Dan bagi yang tidak suka dengan aturan-aturan kami,” Petermenatap penuh arti dan menuduh seluruh ruang bawah tanah yangberasap itu – “ada kelompok lain yang akan mendapatkannya.”

Miska sekarang datang dengan buku merah tuanya. Ia tidakberkata apapun, hanya menekannya pada Alex. Sekali lagi Alexmembuka buku itu dan membacakan hantu-hantu yang hidup dalamcerita rakyat itu.

Miska mendengarkan, juga yang lainnya, dan wajah merekacemas seperti juga seluruh anak-anak Rusia ketika mereka

mendengar cerita ini. Namun, Alex bertanya-tanya, bagaimanamungkin anak-anak lelaki ini takut pada hantu-hantu inisedangkan mereka tidak pernah takut menjadi gelandangan dijalan-jalan kota ini.

Bab 5

“Hari ini,” kata Peter kepada Alex, “Kamu akan pergidengan Kostia dan Ivan lagi. Ini cara terbaik untuk memulai.

Yang akan kamu lakukan hanya berdiri mengawasi, sama sepertiyang kamu lakukan ketika menolong Miska.”

“Aku tidak sedang berdiri mengawasi waktu itu. Aku cumaberdiri di sana.”

“Ya begitu, kamu hanya berdiri di sana, dan kamu harusmeninggikan kerah bajumu hingga menutupi wajah, jadi tidakakan ada yang bisa mengenali kamu. Berhati-hatilah. Ingat,kalau kamu tertangkap, kita semua berada dalam bahaya.”

Alex mengikuti Kostia dan Ivan keluar dari ruang bawahtanah. Mereka berdua lebih kecil daripada Alex, tubuh kurusmereka dibalut kain-kain rombengan sama seperti yang dipakaiseluruh anggota kelompok. Berada di samping mereka, Alexmerasa berpakaian lebih bagus, meskipun kini mantelnya sudahsobek dan diliputi jelaga dan noda-noda minyak. Sepatunyahampir tidak bisa dilihat lagi tertutup lumpur yang mengeras.Anak-anak lelaki itu bergerak dengan cepat sambil merabatembok-tembok kelabu dari gedung-gedung di sana sampai merekamuncul di sebuah jalan di dekat pasar yang pernah dilihat Alexsebelumnya.

“Baiklah, sekarang,” kata Ivan. “Aku akan bersembunyi dilorong sana. Kamu bersandar di tembok berpura-pura sedangmenunggu seseorang. Kalau kelihatan ada tentara, cepatbersiul. Kamu bisa bersiul, kan?” tanyanya dengan cemas kepadaAlex.

“Ya, tapi bagaimana dengan Kostia?”“Kerjakan saja tugasmu. Ia akan mengerjakan bagiannya.”Alex bersandar di tembok. Angin dingin bertiup di

lapangan. Ditariknya kerah bajunya ke atas dan topinya kebawah. Sementara itu, agak jauh di jalan, Kostia tampak sedangmondar-mandir dengan tidak sabar, seperti Alex, seolah-olahsedang menunggu seseorang yang terlambat. Beberapa orang lewatdan tidak memperhatikan baik Alex maupun Kostia. Lalutampaklah seorang wanita gemuk di sebuah sudut. Dia memakaimantel wol yang hangat dan menyandang sebuah tas tangan yangbesar dan berat. Kostia tampak tidak memperhatikannya, tetapiketika wanita itu sudah di dekatnya, tiba-tiba ia menjatuhkandiri ke jalan tepat di kaki wanita itu sehingga dia kehilangankeseimbangan, terhuyung-huyung dan jatuh.

Alex merasa cemas. Apakah hal yang pernah terjadi padanyaterjadi juga pada Kostia – demam, mungkin? Ia akan berlarimendekatinya namun terhenti ketika dilihatnya Ivan muncul darilorong, merampas tas wanita itu, dan menghilang ke baliklorong bersama Kostia, yang tiba-tiba sudah bangkit lagi tepatdi belakangnya. Alex ingin menolong wanita itu, tetapi sesuatumenariknya. Ia berbalik dengan cepat dan mengikuti Kostia dan

Ivan yang sedang menunggunya di ujung lorong. Merekamenariknya ke sebuah tembok di sebuah tempat yang kosong.

Di sana, di belakang tumpukan sampah, Kostia membukapaksa tas itu. Aroma parfum yang muncul dari dalamnyamenghentakkan ingatan Alex sejenak dan membuatnya menutupmata. Kostia mengaduk-aduk isi tas seperti kelinci yang sedangmembuat lubang. Ia mendapatkan uang dua rubel dan sehelai saputangan. Ia memasukkan sapu tangan ke saku bajunya dan tas ituke balik jaketnya, menjadikannya tampak sedikit lebih gemuk.

Mereka menyeberangi jalan-jalan pagi itu ke pasar lainnyayang lebih teratur dan ramai daripada yang telah merekakunjungi sebelumnya. Ketika mereka berjalan, Alex terusmemperhatikan gerak-gerik anak-anak jalanan lainnya, kadang-kadang mereka berteriak-teriak seperti kawanan serigala,kadang-kadang diam. Di sana-sini anak-anak kecil mengemis dangadis-gadis muda sambil menggendong bayi meminta-minta, “Satukopek untuk makan bayiku, hanya satu kopek.”

Sekarang mereka berada di Lapangan Sverdlov, yang disekitarnya banyak gedung opera yang besar. Di pinggirlapangan, para kusir kereta yang memakai mantel bertambal yangtebal dan topi bulu, terlihat seperti beruang tidur ketikamereka sedang menunggu penumpangnya. Mereka terdiam sepertihalnya patung kereta dan kuda yang dipajang di tengahlapangan, yang sekarang sudah ditutupi.

Anak-anak lelaki itu membelok ke sebuah jalan tempatantrian orang memanjang seperti ular mengitari sebuah sudut.Ivan mendorong Alex masuk ke dalam antrian. “Kamu berdiri disini,” katanya.

“Tapi, mengapa?” tanya Alex.“Karena, di akhir antrian ini ada roti, Bodoh. Itu toko

pemerintah. Aku akan kembali sebelum kamu tiba di sana.Menari-narilah sedikit supaya kakimu tidak beku. Kostia akanberada di dekatmu.”

Segera Ivan menghilang, tetapi Kostia dengan lambatberjalan masuk dan keluar antrian sambil menyandang tas. Alexberdiri dengan gugup di atas kakinya yang membeku, dan ketikaia menunggu, seorang pria berpakaian bagus datang dan menekanuang satu kopek ke tangannya, katanya, “Tahan satu tempatuntukku, nak,” dan ia pergi dengan cepat. Lalu seorang wanitadatang dan melakukan hal yang sama. Ketika Kostiamenggabungkan diri dengannya, dengan gembira dan memegang uangdua rubel, Alex telah mengumpulkan uang recehan dari empatpelanggannya, yang telah kembali dan mengambil tempat didepannya.

Jadi sekarang, katanya pada diri sendiri, aku sepertianak lelaki yang pernah diberi uang satu kopek oleh Katriana

Sergyeva beberapa hari yang lampau. Dalam semangatnya ketikabelajar mencuri di lapangan pagi ini, dalam hari-hari yangdihabiskannya di ruang bawah tanah, tidaklah sejelas kali ini.Aku hanyalah seorang gelandangan seperti mereka, katanya padadirinya sendiri, dan sekali lagi perasan kehilangan yangmenyedihkan muncul.

“Alex! Dasar kerbau tolol!” Ivan mengejutkannya. “Kamuharus terus bergerak, kalau tidak kamu bisa membeku. Ini,hampir giliranmu. Mintalah dua roti,” dan ia memasukkan sebuahkoin ke tangan Alex.

Mereka semua mendapat yang terbaik, dua roti, dan sambilmengempitnya di bawah lengan, kembalilah mereka ke jalan yangsama. Di mana-mana, sekelompok anak-anak gelandangan hilirmudik di kota yang bersalju atau tiba-tiba muncul dari bawahgerobak usang, atau dari tempat pengemasan tua. Merekabergerombol di antara sampah dan debu di belakang lorong.Mereka beterbangan seperti burung-burung yang terlukamenghadang salju yang turun.

Bau harum roti mengusik ketiga anak laki-laki itu, namunmereka tak ingin mencicipinya. Makanan adalah milik bersamasetiap orang di kelompok mereka. Peter, yang baru saja pulang,bertemu dengan mereka dan mensyukuri sumbangan mereka untukmakan hari ini. Leon mengambil roti dan mengirisnya denganhati-hati dengan sebilah pisau pendek yang tajam yang disimpandi tembok. Salah seorang anak yang lebih tua melemparkansepotong sosis berukuran sedang ke atas meja pendek yangdibuat sendiri dari papan yang diletakkan di atas batu. Kostiamengosongkan sakunya yang berisi gandum.

“Inilah hasil pekerjaan pagi ini!” kata Peter ketikaanak-anak datang untuk meminta bagiannya. Gandum dimasak didalam panci berisi air mendidih, dan ketika kaki anak-anak itumulai menghangat, semangkuk bubur gandum yang encer dan panassudah siap untuk disantap.

“Kapan kamu mendapat gandum itu?” tanya Alex kepadaKostia.

“Tangan cepat, mata lambat,” jawabnya.“Kita akan menyimpan sosis ini untuk makan malam,” kata

Peter. “Dua kali makan lebih baik daripada satu kali.”“Hari yang baik jika kita bisa makan dua kali,” kata

Kostia.Dari perapian yang lain Boris mengerutu, “Hari yang baik

jika kita bisa makan sekali.”

Hari demi hari – Alex sudah tak bisa menghitung lagi – iabersama dengan anak-anak lelaki lainnya menjelajahi kota yang

dingin dari pagi hari hingga senja, mencari-cari makanan,melawan angin dan salju, menghindar dari para tentara danpolisi. Alex semakin terbiasa membedakan para aparat penegakhukum itu – polisi biasa berseragam hitam, bertopi merah,membawa pistol dan pentungan; OGPU berseragam warna khaki,bertopi hijau; dan tentara menyandang senapan dengan bayonet.

Dengan berlalunya waktu, Alex semakin menyatu dengananak-anak lelaki itu. Bahkan mantel dan sepatunya yang bagussudah begitu rombeng dan basah sehingga tak dapat dijual lagi.Namun pakaiannya masih membuatnya malu dan ia merasakankeirian beberapa anak lainnya ketika ia memasukkan kakinyayang dingin ke dalam sepatu basahnya, sementara merekamembungkus kaki mereka dengan kain-kain rombengan.

Tetapi anak-anak yang lebih kecil sangat mengagumikepandaiannya membaca sehingga bersama mereka Alex merasalebih dihargai – hampir seperti ayahnya. Ia menjadi seorangguru. Ia mulai mengajar beberapa anak yang ingin belajarmembaca. Satu kali ia membawakan ke dalam ruang bawah tanahsebuah pamflet yang dirobeknya dari sebuah jendela danmenggunakan huruf-hurufnya yang besar untuk mengajar mereka.

“Ini huruf A, ini huruf F dan G,” Dan ia mulai mengejahuruf-huruf di kertas itu. “Apakah kamu lihat kata-kata ini?Mereka tulis ‘dilarang’. Sekarang, kalau kalian melihat kataini pada rambu-rambu, kalian akan mengetahui apa yang merekatulis. Kalian dapat membacanya.” Anak-anak itu mengerti.

Kadang-kadang selama pelajaran membaca ini, Peter berdiamdi sekitar mereka di ujung lingkaran, sambil membungkuskakinya, sambil mengiris-ngiris dengan pisaunya, atau sambilberbaring dengan mata setengah terbuka. Alex tak pernahmengajaknya bergabung, meskipun ia menginginkannya. Ia memanglebih terpelajar, tetapi ia tidak merasa sebanding denganPeter di jalanan kota Moskow.

Cuaca sedang dingin ketika Alex tiba di kota ini dantidak pernah lebih baik, bahkan sekarang lebih pahit daripadasebelumnya. Burung kesayangan Boris sudah mati meninggalkan iadalam kemarahan. Ia menjejak-jejakkan kakinya di ruang bawahtanah dan nafasnya memburu. Alex merasakan kemarahan yangditunjukkannya.

Di bulan Januari yang dingin Alex dan Ivan berdiri dalamantrian yang panjang sambil mengutip uang dari tempat yangdijaganya. Antrian ini lebih panjang, dan lebih tertibdaripada antrian roti. Di dekatnya beberapa orang wanita tuamenjajakan teh yang diseduh dengan air panas dari cerek. Saljuturun dengan tenang di sekitar mereka. Gedung besar di depan

diselubungi dengan bendera merah bergaris hitam. Di dalamnyabersemayam jenazah Lenin.

Ketika para pelanggan mereka telah kembali menempatitempat mereka, Alex berkata, “Selagi kita masih di sini, marikita melihatnya.”

“Mengapa kamu ingin melihat orang mati?” tanya Ivan.Alex tidak tahu, tetapi beberapa menit kemudian ia telah

memandangi wajah Lenin yang telah wafat beberapa hari yanglalu. Pada suatu kali, ketika ia masih sangat kecil, ayahnyapernah mengajaknya melihat rombongan kereta Tsar. Apa yangakan dikatakan ayahnya sekarang jika ia tahu bahwa Alex kiniberdiri dan memandang wajah salah seorang yang telahmenjatuhkan pemerintahan Tsar?

Makanan semakin jarang ditemui. Toko roti pemerintah bukatidak teratur. Para pedagang dan penjual telah menghilang.Kostia dan Alex sedang berdiri di lapangan di depan sebuahgedung, dengan beberapa anak lelaki lainnya. Segerombolan anaklewat seperti badai, wajah-wajah mungil mereka memerah karenadingin, mata mereka gelap dengan lingkaran di sekelilingnya,berjalan bersama seperti gelombang menghadang angin. Salahsatu dari mereka adalah seorang anak perempuan kecil, yangberjuang untuk tetap bersama mereka, namun tersandung danjatuh ke salju yang terlalu dalam untuknya. Alex berharap anakperempuan itu berdiri dan berlari mengejar teman-temannya,tetapi tidak. Dia tergeletak di sana, terlantar di dekatpasar, air mata membeku di wajahnya. Karena itu, Alex berlarike tengah lapangan.

“Tinggalkan dia!” hardik Kostia, tetapi mungkin untukpertama kalinya Alex tidak mengindahkan perintah itu. Saljuyang tertiup angin akan segera menutup anak itu. Alexberlutut.

“Bangunlah!” katanya dengan tegas. “Kamu akan membeku.”Ia menjulurkan tangannya untuk menolongnya. Dia tampak sangatkecil, sangat pucat dilihat dari dalam tempat yang ditutupikotoran. “Mari,” kata Alex dan ia setengah menyeretnyamenyeberangi lapangan ke tembok tempat anak-anak berkumpul.

“Kamu seharusnya membiarkannya,” kata Kostia. “Paratentara pasti akan menemukannya. Sekarang apa yang akan kamulakukan kepadanya?”

“Tentu saja, membawanya ke ruang bawah tanah.”“Kita tidak menerima anak perempuan,” kata salah seorang

anak yang lebih besar. “Mereka terlalu merepotkan. Setiaporang tahu itu. Dan yang ini terlalu kecil.”

“Miska juga kecil,” kata Alex.

“Tetapi Miska cerdas dan ia tidak setengah mati, selainitu, ia laki-laki dan bisa tetap bersama-sama dengan kita,”jawab Kostia.

“Miska juga setengah mati ketika Peter menemukannya dipanti asuhan di selatan, Ivan menceritakannya kepadaku.” Alexmenepuk anak perempuan itu, “Siapa namamu?”

“Anya,” kata anak itu, matanya yang lebar, melihatketakutan ke arah anak-anak yang sedang ‘menghakiminya’.Badannya gemetaran dan Alex melepas mantel tebalnya danmelemparkannya kepadanya. Mantel itu tampak aneh di badannya.

“Mari, kita bawa dia ke panti asuhan,” kata Kostia.“Jangan!” teriak anak itu.“Tapi mereka akan merawat dan memberi makanan kepadamu,”

kata Alex.Anak itu memandangnya dengan pandangan yang sangat tajam

penuh kemarahan. “Aku pernah di sana,” kata Anya. “Abangku danaku melarikan diri dari sana.”

“Lalu, di mana sekarang Abangmu?” tanya Alex.“Tentara menangkapnya. Kata mereka, ia terlalu tua untuk

menjadi bezprizorni. Lalu ia dipenjarakan. Aku tak tahu di manaia sekarang.” Dia mulai menangis lagi.

“Kita tidak bisa mengobrol seharian di sini,” kata Kostiakepada Alex. “Bawa saja dia ke ruang bawah tanah, biar nantiPeter yang mengurusnya. Aku mau mencoba ke pasar yang lain danmencari sesuatu yang menarik.” Ia berlari seperti seekorbinatang berburu di atas salju, diikuti anak-anak lainnya.

Alex memimpin anak yang membeku itu menyusuri jalananmenuju ke ruang bawah tanah, yang mulai dianggapnya rumahsendiri. Miska yang sedang berada di dekat perapian berlarimenyambutnya ketika melihat ia datang. “Apa yang kamu bawa?Airnya hampir mendidih?” katanya.

“Kami tidak menemukan apapun,” kata Alex. “Tidak adamakanan di mana-mana.”

“Peter pasti akan menemukan sesuatu,” kata Miska. “Peterhampir selalu menemukan sesuatu. Siapa anak laki-laki itu?”

“Anak laki-laki ini seorang perempuan,” kata Alex sambiltertawa. “Namanya Anya. Dia terjatuh di salju dan ditinggalkankelompoknya. Maukah kau menjaganya sampai aku kembali nanti?”

“Anak perempuan?” tanya Miska. “Baiklah, mendekatlah keperapian agar hangat.”

Beberapa jam kemudian setiap orang kembali dengan tanganhampa, kecuali Peter yang datang terengah-engah. “Tadi hampirsaja,” katanya. “Nyaris. Aku mengambil ransum makan sianguntuk empat tentara dari barak. Mereka mengejar-ngejar aku keseluruh penjuru Moskow.” Ransum itu terdiri dari sejumlahkecil roti dan beberapa kentang rebus dingin. Tidak cukup

untuk sedemikian banyaknya anak-anak yang kelaparan, tapi yangpenting ada sesuatu untuk dimakan. Ketika Boris mengeluhkanbagiannya, Peter tertawa kecut, “Ini lebih banyak daripadayang dimiliki oleh empat tentara bodoh itu!”

Sekarang, di keremangan cahaya, tiba-tiba ia melihat Anyayang sedang tertidur di sudut. “Siapa itu?” Untuk pertamakalinya Alex melihat Peter memperlihatkan keterkejutannya.Biasanya ia selalu tampak menerima sesuatu apa adanya.

Kata Alex, “Namanya Anya. Dia diterlantarkan kelompoknya.Kami menemukannya di salju. Bolehkan dia tinggal di sini,Peter.”

“Kita tidak punya tempat untuk anak perempuan,” katanya,membuang muka.

“Tolonglah, Peter. Kita tidak bisa membuangnya di salju.”“Di sana tempat kamu menemukannya, bukan? Berdirilah!” Ia

memerintahkan Anya. “Lihat, betapa kecilnya dia. Siapa yangakan menjaganya ketika kita di luar? Katakan padaku!”

“Aku bersedia,” kata Alex. “Aku mengasuh adik perempuankudi rumah.”

“Aku juga mau,” kata Miska. “Dia tidak makan terlalubanyak makanan.”

“Sudahkah kalian menyisihkan makanan dari jatahnya?”tanya Peter. “Dia harus makan sesuatu sekarang.” Alex sudahpernah melihat Boris dan beberapa anak lainnya menyisihkansedikit makanan di baju mereka dari waktu ke waktu. Ia sendirihampir selalu kelaparan untuk dapat menyisihkan sedikit bagidirinya. Sekarang hanya Ivan yang maju ke depan.

Alex memandang anak-anak yang dapat dilihatnya dengancahaya api. Akhirnya Leon berkata, “Baiklah, ini ada sedikitlagi.” Ia mengambil dari balik bajunya. Miska membawasemangkuk air panas.

“Tak seorang pun harus menjagaku,” kata Anya setelah diamelahap habis makanannya. “Aku bisa menjaga diri sendiri. Akujuga bisa mengikat sepatuku sendiri.” Dan dia menunjukkan kakikecilnya yang dibungkus kain rombengan.

“Ini,” kata Peter. “Kami akan memberikan sepatu baruuntukmu.” Ia menunjukkan padanya tumpukan kain rombengan.“Kami akan memutuskan apa yang akan dilakukan kepadamu nanti.”

Di malam hari angin yang kencang meniup salju menutupipintu masuk ke ruang bawah tanah. Ketika mereka telahmembersihkan jalan yang menuju ke jalan raya, ternyata anginsedingin es masih bertiup, memukuli tubuh-tubuh yang takberpakaian layak. Hanya Peter yang bertahan di cuaca yangsemakin memburuk. Namun ia kembali dengan tangan hampa dankabar buruk.

“Hampir tidak ada apapun di Moskow,” katanya. “Parapetani sudah kehabisan persediaan kentang, kol, dan biji-bijian musim dinginnya dan setiap kereta yang datang dari luarkota dijarah.” Ia melihat ke seluruh kelompok anak-anak yangberkumpul mengelilingi perapian. “Kita harus membuat rencana,”katanya. “Ini terlalu cepat, tapi kukira kita harus pergi keselatan. Di sana tidak terlalu dingin dan pasti ada sesuatu ditanah – paling tidak akar-akaran.”

“Dan melon!” teriak Miska.“Belum ada melon, tolol!” kata Leon.“Kita akan pergi ke stasiun di pagi hari dan menunggu

kereta pertama yang ke selatan,” kata Peter. “Marilah kitamembuat perapian dari semua sampah yang ada, karena nanti kitatidak akan sehangat ini.”

Di perapian itu mereka membangkitkan harapan akan tanahperjanjian, dengan menyingkirkan kecemasan, kedinginan,kebasahan, gangguan kutu dan serangga, serta penderitaankarena perpisahan, kehilangan, dan kesepian.

Bab 6

Mereka ada di stasiun sebelum fajar menyingsing, nafasmereka menguap di udara yang membeku. Beberapa calon penumpangmenjejak-jejakkan salju sambil menunggu kereta yang akanmenuju ke selatan. Di sudut-sudut ada kekotoran dan karung-karung hidup yang hampir sama seperti yang dilihat Alex untukpertama kalinya di stasiun Kovrov.

Dalam waktu yang singkat tempat itu telah dipenuhi denganorang-orang berpakaian wool dan bulu binatang yang menunggukeberangkatan kereta ke daerah Kaukasus. Tetapi tak semuapenumpang berpakaian bagus. Para petani dan buruh yang membawabarang-barang bawaannya memenuhi gerbong yang kurang nyaman.Di peron, lusinan anak-anak berpakaian compang-camping sedangmengemis, mencopet, dan mengejek para penumpang.

“Seluruh penumpang masuk kereta!” Akhirnya petugas keretapun memanggil. Jantung Alex berdebar cepat ketika ia mengikutikelompoknya menyeberangi jalan kereta api ke samping kereta.

“Di mana kita akan duduk?” tanyanya pada Kostia.“Kita telah memesan tempat duduk.” Kostia tertawa

mengejek. Peter menunjuk lalu mendorong Ivan dan Leon. Merekamelompat ke bawah kereta, dan yang tampak menakutkan bagiAlex, mereka memanjat ke dalam kotak kecil berwarna hitam yangdiletakkan di bawah kereta.

“Tidak di dalam sana!” bisiknya kepada Kostia.“Di mana lagi, Yang Mulia? Di kereta kelas satu?”Peter menunjuk lagi pada kotak hitam di bawah gerbong

berikutnya, “Di sana, kalian berdua.”“Bagaimana dengan Anya?” tanya Alex.“Aku sendiri akan mencarikan tempat untuknya,” kata

Peter.

“Tapi kotak ini tidak cukup untuk seekor anjing,” protesAlex.

“Oh, memang benar,” kata Kostia. “Kotak itu memang untukanjing. Hanya saja akhir-akhir ini tidak terlalu banyak anjingyang bepergian, makanya kita bisa pakai tempatnya.”

Kereta mulai bergerak perlahan-lahan dan anginmendinginkan kotak-kotak itu. Dingin, lapar, cemas, dan lelah,ditambah dengan gerakan kereta api, akhirnya membuat Alextertidur dan ia tidak tahu berapa lama waktu sudah berlalu,ketika ia terbangun tiba-tiba. Kereta berhenti, badan danpunggungnya sakit. Seorang petugas berteriak, “Keluar,gelandangan!” dan anak-anak pun berlompatan keluar dari kotak.

“Di mana kita?” tanya Alex kepada Kostia.“Tidak tahu. Semua tampak sama – dingin – sampai kita

tiba di selatan. Mari, kita mungkin bisa mendapat sesuatuuntuk dimakan.” Ia memimpin Alex ke stasiun, di sana tampakMiska dan anak-anak lainnya. Ivan sedang menggendong Anya danmenyodorkan topinya kepada beberapa penumpang.

“Adikku sakit keras,” katanya. “Aku harus memberinya tehpanas.” Anya bergantung di lengannya. Seorang pria menjatuhkansekeping uang logam ke topi itu, lalu Ivan pergi ke tempatpenjual teh, bersama Anya, yang tiba-tiba sembuh, cepatberlari di belakangnya.

Kostia berkata, “Mari, kita beli sedikit teh dan roti.”“Tapi kita tidak punya uang.”“Sekarang punya,” kata Kostia sambil menunjukkan uang

beberapa kopek.“Kamu dapat dari mana?”“Tangan cepat -”“Mata lambat.” Alex tertawa. “Aku ingat.”Dan mereka kemudian naik ke kereta api lagi. Kali ini

semua kotak hitam tampak sudah terisi sebelum Kostia dan Alexmendapatkannya. “Baiklah, di sana ada pipa di bawah mesin,kalau kita cepat dan beruntung,” kata Kostia dan dengan cepatdipimpinnya Alex ke depan kereta. Mereka memanjat pipa karatanyang tidak cukup besar untuk menampung tubuh mereka. “Di sinisedikit hangat, akhirnya,” kata Kostia. “Inilah untungnya.”Hanya itulah satu-satunya untungnya. Alex sukar bernafas danbergerak di sana. Ia tak tahu berapa lama waktu telah berlalu.Seperti tak kunjung berakhir, karena ia begitu kesesakan dantidak nyaman.

Namun di suatu tempat dalam perjalanan itu terjadilahkeajaiban, dan Alex melihatnya seperti waktu yang bergulirmenuju hari yang lebih baik. Salju menjadi lebih tipis, lalubercampur dengan tanah coklat kekuningan, lalu semakinmenghilang. Beberapa jam kemudian, tampaklah tirai tipis

kehijauan di atas tanah. Padang rumput. Bahkan udara yangdingin serasa lembut dibandingkan dengan Moskow yang dinginmembeku.

Ketika Kostia dan Alex mengeluarkan kepala mereka daripipa, mereka melihat pemandangan yang tidak bersalju, kecualidi atas pegunungan yang jauh. Warna hijau tampak di kejauhandari rimbunan semak-semak dan pepohonan. Berisiknya suaramesin tak memungkinkan mereka bercakap-cakap bahkan memukulpunggung Kostia seperti yang diinginkan Alex pun tak mungkin.Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan ia meninggalkanrumahnya, baru kali ini ia merasa bahagia. Namun segera rasabersalah menderanya. Bagaimana mungkin aku tertawa dan merasabahagia? Pikirnya. Ia tak dapat percaya merasakan kebahagiaandan penderitaan dalam waktu yang sama.

Kereta melambat dan berhenti, lalu dari kotak-kotak dibawah gerbong, berlompatan, jungkir balik anak-anak yangmenghitam, tanpa mempedulikan teriakan para petugas, tertawa-tawa kepada para penumpang biasa. Ivan dan Kostia duduk disebuah bangku dan mulai mencopot selapis kain rombengan yangpenuh kotoran. Alex menanggalkan mantelnya dan mengibas-ngibaskannya. Kelompok itu segera berkumpul kembali.

“Di mana Anya?” Alex bertanya dengan cemas. Meskipun iasejak awal sudah bersedia memeliharanya sendiri, tampaknyasemua anak yang lain pun turut menjaganya. Anya terlihat adadi dekatnya, sedang memunguti biji-bijian berwarna kuningkehijauan, menyusunnya lalu memakannya.

“Kukira kita akan pergi ke gua,” kata Peter kepadamereka. “Ini masih awal tahun, mungkin belum banyak yangdatang ke sana.”

“Biasanya Peter tidak memperbolehkan kita tinggal bersamakelompok lain di gua karena penyakit mereka dan …. dan hallainnya,” kata Kostia kepada Alex. “Tapi aku pernah sekalitinggal di gua, sebelum bertemu Peter. Ada ratusan anak digua. Kepalanya adalah anak-anak yang lebih besar dan kitaharus memberikan hampir semua yang kita temukan kepada mereka.Mereka mengajarkan kita untuk menyelundupkan berbagai barangmelalui pegunungan untuk para tuan besar – orang-orang dariperkotaan.”

Sementara itu anak-anak dari berbagai kelompok jugakembali ke kelompok masing-masing dan menyebar ke berbagaiarah, berlarian sepanjang jalan, sambil melambai-lambaikankain rombengan seperti sayap di jalanan.

“Pertama kita makan,” kata Peter. “Lalu kita mencaritempat untuk tinggal.”

“Ayo, kita ke pasar,” sahut Boris.

“Jangan,” kata Peter. “Terlalu lambat untuk mendapatsesuatu di sana. Kita harus pergi ke ladang.”

“Tapi sekarang masih terlalu pagi,” keluh Boris. “Kitaharus menggali.”

“Itu tidak akan menyakiti kamu,” kata Kostia. “Peterbenar. Kita bisa mencopet ratusan dompet di pasar, tapi tidakakan menemui cukup roti.”

“Itupun seandainya ada roti untuk dibeli,” kata Peter.Maka kelompok yang terdiri dari lima belas anak itu

berangkat melompati pagar pembatas menuju ladang yangmembentang di hadapan mereka, mengarungi jalur-jalur tanahyang berwarna hijau pucat di beberapa tempat. Mereka berlombake sana dan mulai memunguti pucuk-pucuk hijau dari tanaman-tanaman yang asing, dan memakannya dengan rakus. “Berhati-hatilah,” Peter mengingatkan. “Perutmu bisa sakit. Lebih baikmenggali akar-akaran.”

“Perutku sudah kepalang sakit, jadi tidak masalah,” sahutIvan.

“Di sini, kelihatannya bagus,” kata Peter sambil mulaimenggali dengan tangan dan ujung sebatang tongkat kecil. Iamenarik dari tanah sebuah umbi kecil, akar yang masih mentahuntuk panen kentang tahun ini. Satu demi satu anak-anak itumulai mengabaikan rerumputan dan berubah menjadi sepertibinatang penggali, sambil berlutut membuangi tanah ke belakangmereka, untuk menemukan, dan memakan dengan rakus akar-akartanaman.

Sebelum mereka puas makan, seorang lelaki di atas kudayang pincang datang berteriak ke arah mereka, sambilmengacungkan cambuk. “Maling, bangsat, perusak panen. Pergi!Pergi!”

Anak-anak berlarian menyeberangi ladang, melompat kebawah ke dalam sebuah parit di dekat jalan, dan berlarisambil membungkukkan badan untuk menyembunyikan diri daripetani yang mengamuk. Lalu mereka membaringkan diri di dalamparit, tertawa-tawa dan mengunyah sisa-sisa akar hingga petaniitu menghilang sambil menyumpah-nyumpah di ladang yang kosong.

Meskipun angin berhembus dingin, namun ketiadaan saljuadalah anugerah dan harapan Alex kembali bangkit. Mereka masihharus mengemis untuk makanan, tetapi mereka lebih baik beradadi sini daripada mati kelaparan di Moskow. Mereka akan tinggaldi selatan dan menghangatkan tubuh serta mengisi perut kosongmereka, dan lalu …

Alex tak dapat berpikir tentang masa depan. Yang adatampaknya hanya sekarang. Antara sekarang dan masa depantergantung tirai besar yang gelap gulita sehingga ia tak dapatmelihat kedalamnya. Ia membayangkan dirinya pulang ke Kovrov

dan mendapatkan ibu, ayah, adik serta neneknya menunggunya.“Dari mana saja kamu, Alex? Kami merindukanmu. Duduklah untukmakan malam.” Dan mereka akan membawakan daging rebus yangdikelilingi beraneka macam sayuran. Dan sebuah kue manis yangdiisi dengan selai. Apakah itu masa depan?

Mereka sudah mulai mendaki bukit karang tempat sesekaliternak berkeliaran. “Mereka tidak berani lagi menggembalakandomba dan kambing,” kata Boris. “Mereka tahu kalau kita akanmengambil semuanya. Maukah kamu sekarang makan paha panggangyang lezat dari seekor anak domba musim semi, eh?”

“Bukan aku,” sahut Miska dengan suara murung. “Aku tidaklapar.” Semua tertawa.

Alex tercengang melihat gua yang begitu besar. Petermenyuruh mereka untuk mengikuti di belakangnya. Mereka masukdan Peter mendekati seorang anak lelaki yang ada di dekat apiunggun yang pertama. “Siapa ketuanya?” tanyanya.

“Siapa kamu?” kata anak itu sambil mengamati denganmatanya yang sipit. Alex tahu jenis wajah ini. Boris mempunyaiwajah ini. Orang-orang ini datang dari Mongolia. Merekamempunyai tampang dengan ciri-ciri oriental, merupakan salahsatu kelompok suku di Rusia.

“Aku Peter. Aku pemimpin kelompok ini. Kami baru sajadatang dari Moskow dan ingin bermalam di sini. Besok kami akanmencari tempat tinggal sendiri.”

Si mata sipit menggerutu. “Ada ruangan,” katanya. “Tapikami punya hak pertama atas segalanya. Kamu harus menunggugiliranmu.”

“Hak untuk apa?” bisik Alex kepada Ivan.“Air, salah satunya. Ada sebuah sungai.” Ia menunjuk, dan

Alex dapat melihat banyak anak mengantri dengan mangkuk dankaleng kecil.

“Peter tidak akan memperbolehkan kita minum air tanpadimasak,” kata Kostia, “karena airnya kotor dan banyak yangminum menjadi sakit.”

Peter menggiring kelompoknya ke sebuah sudut jauh darikelompok lainnya yang kelihatan seperti kelelawar yangmenggantung di dinding. Sambil beristirahat, Alexmemperhatikan kelompok lainnya. Sebagian besar mereka adalahkelompok yang kasar, tapi pikirnya, kami pun bukan kelompokyang ramah. Banyak perkelahian terjadi. Beberapa anakmenajamkan pisau kecil buatan sendiri di atas batu. Banyak diantara mereka yang kudisan, bermuka bopeng dan bengkak.“Jangan dekati mereka,” Peter mengingatkan. Tapi Alex melihatBoris dan Grigory, mengacuhkan peringatan itu, sedangbercakap-cakap dengan anak Mongolia itu.

Dan akhirnya rasa kantuk pun muncul di tempat asing ituseperti halnya di tempat lainnya.

Di pagi hari Boris dan Grigory sudah pergi, tetapi merekakemudian kembali ketika yang lainnya sedang bersiap-siap untukpergi ke kota.

“Dari mana kalian?” tanya Peter. “Kami hampir pergi tanpakalian.

“Apa urusanmu?” tanya Boris, lebih kasar daripadabiasanya.

“Kamu tahu ini adalah urusanku juga,” jawab Peter. “Darimana kalian?” Alex kira ia melihat Boris bertukar pandangdengan si Mongolia. Atau apakah ia cuma berkhayal?

“Aku mendapat air.”“Mana airnya?” tantang Peter.“Sudah kuminum.”“Kamu tahu kita harus merebus air di sini.”“Itu urusanmu juga?” kata Boris.“Mengapa Peter bertanya kepadanya seperti itu?” tanya

Alex kepada Kostia.“Karena anak-anak yang lain itu terlibat penyelundupan

obat,” jawab Kostia dengan ketus. “Peter tidak mengkhianatimereka, tapi ia tak ingin anggota kelompoknya bekerja untukmereka.”

Perut Miska terasa sangat sakit. “Ini seperti tahunlalu,” kata Peter. “Kamu makan terlalu banyak. Kamu harustinggal di sini ketika kami pergi ke kota.” Miska mengaduh danmelipat tubuhnya.

Mereka mengikuti Peter menuruni bukit melewati gubuk-gubuk petani dan pertanian-pertanian kecil. Alex dapat melihatmelalui pintu gubuk yang terbuka. Gubuk itu hanya berisibangku-bangku sederhana, sebuah meja dan sebuah tungku. Kulitkambing digantung pada paku, bunga-bunga matahari kering dibalok-balok kayu. Ini untuk pertama kalinya sejak dari KovrovAlex berada di kota yang penuh perumahan dan ia merasa sangatbersemangat.

Alex tercengang melihat kota yang begitu ramai. Jalanandipenuhi dengan orang-orang miskin berpakaian berwarna-warni,laki-laki berjenggot panjang, para wanita memakai celemekbergaris, rok tebal dan babushka. Banyak anak-anak gelandanganmemenuhi jalanan, mengemis. Truk terbuka berisi tentara lewatsilih berganti.

Alex berjalan di samping Ivan. “Ini tempat aku akanmembuka toko,” kata Ivan. Alex tertawa. Tetapi ia kemudianmelihat, Ivan membentangkan sehelai kain di tanah dan

menjatuhkan di atasnya uang dua kopek. Lalu ia meletakkankepalanya di antara kedua kakinya, dan tiba-tiba kakinya sudahmelayang ke atas. Ia berdiri di atas kepalanya. Lalu ia mulaimenggumamkan nyanyian. Sekarang Alex tertawa terbahak-bahakhingga tak dapat berhenti. Enak rasanya.

Beberapa pejalan kaki berhenti dan melihat Ivan. Ia mulaiberputar-putar, mendorong badannya dengan tangannya, hampirseperti berputar di kepalanya. Lalu ia merendahkan kakinya –ke depan, ke belakang, lalu sekali ke depan dan sekali kebelakang. Akhirnya dengan sebuah hentakan, ia berjungkirbalik. Orang-orang bertepuk tangan dan tersenyum. Ivan memberihormat. Seorang lelaki melempar sekopek ke atas kainnya.

“Lihat,” keluh Ivan. “Ini artinya selatan untukmu. Hanyasatu kopek. Tidak ada yang punya uang di sini. Mereka membelidengan barang, barter. Kamu harus jadi usahawan untuk bekerjadi pasar ini.”

Dan, benar saja, di sekitar mereka ada sebuah pasar yangsibuk dengan orang-orang yang bertransaksi kecil-kecilan disemua sudutnya. Tetapi tak ada sebuah tempat pun yang menjualbuah-buahan dan sayuran seperti yang mereka lihat di Moskow.

“Panen gagal di musim kering,” kata Ivan. “Kukira kitabisa mati kelaparan di sini hampir seperti di Moskow.”

“Setidaknya kita tidak mati kedinginan,” kata Alex,dengan sentuhan semangat bezprizorni yang mulai ia rasakan darihari ke hari, perasaan bahwa apa yang terjadi, terjadilah.

Ivan berdiri di atas kepalanya lagi, berputar-putarseperti gasing. “Apa yang bisa kulakukan?” tanya Alex. “Akutidak bisa berdiri di atas kepalaku.”

“Kamu jadi tukang panggil penonton,” kata Ivan. “Bilang,‘Mari, saksikan manusia yang berputar seperti gasing.’ ”

“Mari, saksikan manusia gasing,” teriak Alex.“Saksikanlah anak sirkus, bintang sirkus Moskow,” tambahnya.

Ivan tertawa, dan beberapa orang berhenti danmenyaksikannya memutar-mutar kakinya seperti kincir angin.Kali ini dua kopek mendarat di kainnya. Ivan melipat badannyalalu menggelinding seperti bola karet. Lalu ia merebahkantubuhnya ke sisi jalan dan beristirahat. Kerumunan pun bubar.

Ketika Ivan bangkit kembali, anak-anak lelaki melihatPeter berjalan ke arah mereka. Ia berjalan dengan cepat. “Ayo,pergi,” bisiknya, lalu Ivan dan Alex mengikutinya. Di belakangmereka di dalam kerumunan tampak dua polisi sedang mencari-cari.

“Jangan lihat ke belakang,” kata Peter. “Merekamencariku. Mereka tidak tahu karena tidak melihat wajahku.”

“Apa yang kamu dapatkan?” tanya Alex sambil menahannapas.

“Roti dari toko pemerintah.”“Kamu mencuri dari toko pemerintah!” teriak Ivan.“Apa lagi yang bisa dilakukan di tempat ini!”Kembali ke gua, Peter melemparkan sebungkah roti kepada

anak Mongolia yang sedang duduk di pintu masuk untukmemastikan dirinya mendapat bagian dari segala sesuatu.Miska,yang menggulung seperti siput sedang tidur.

“Bangunlah,” kata Peter sambil mengguncangnya denganperlahan. “Ikuti aku.”

Miska berdiri dengan gemetar. “Perutku masih sangatsakit,” katanya. Ia terlihat pucat dan lingkaran hitam membuatmatanya seperti tenggelam ke dalam kepalanya.

“Tidak apa-apa sekarang. Mari.”Mereka mulai memanjat lebih jauh ke bukit. Ivan membopong

Miska jika ia terjatuh di belakang. Anya seperti seekor tikuskecil di antara mereka berempat.

“Kemana kita akan pergi?” tanya Alex. “Dan mengapa kitapergi?”

“Naiklah lebih tinggi,” kata Peter, “karena kita tidakingin berurusan lagi dengan kelompok di gua. Aku tidakmenyukai mereka.”

“Kamu betul-betul bodoh,” gerutu Boris. “Kita bisa dapatuang banyak di sana. Memangnya anak-anak di gua itu kelaparan?Tidakkah kamu menghirup sup mereka tadi malam?”

“Kita bisa mendapat sup sendiri,” jawab Peter. “Kostiadan Leon bisa keluar menggali akar-akaran. Anak-anak lelakiyang kecil sudah mendapat rumput dan ranting untuk perapian.”

Mereka menetap di bawah sebuah cekungan batu karang –lebih seperti gua yang Alex kenal di perbukitan dekatrumahnya.

“Ini tidak bisa dibandingkan dengan gua yang besar” Borismengumpat. Sudah jauh-jauh memanjat, apa yang didapatkan?”

Peter tidak berkata apa-apa, tetapi ketegangan antara iadan Boris bertambah sehingga membuat yang lainnya merasa tidaknyaman. Peter segera merebus air dan menyeduh teh untuk Miskadan anak lain yang mengeluh sakit perut. Miska menggulung disebuah sudut gua sambil mengaduh terus menerus.

Setiap hari mereka turun ke kota, dan Ivan meneruskanatraksinya, sementara yang lainnya mencuri sisir kecil dansepotong kulit lalu menjualnya lagi untuk mendapatkan sedikitkopek. Dua kali Peter berhasil menyusup ke toko pemerintah dankembali ke gua dengan bajunya yang penuh roti.

Boris dan Grigory menjadi semakin bandel. Pada malam hariAlex melihat mereka menyelinap keluar gua lebih dari sekali,kembali di pagi hari, tertawa-tawa sambil saling menepuk

tangan. Lalu suatu pagi Peter manangkap basah mereka ketikakembali sambil mabuk.

“Baiklah,” kata Peter. “Ini akhirnya. Kalian harusmemilih tinggal di sini bersama kelompok kita dan mematuhiaturannya, atau pergi dengan teman-teman baru kalian dantinggal bersama mereka. Mengerti?”

“Bagaimana kamu bisa begitu bodoh!” bantah Boris.“Tidakkah kamu tahu bahwa mengambil sedikit kokain melaluipegunungan bisa menghasilkan uang yang cukup untuk membeliroti di toko pemerintah? Dan lebih lagi. Kami bisa membelisosis. Kami bisa membeli kentang. Ya! Kami, Grigory dan saya,tidak bodoh. Kami profesional.”

“Baiklah, kalau begitu,” kata Peter, dengan agak sedih,“kalian telah memilih jalan kalian. Selamat tinggal, Boris.Selamat tinggal, Grigory.”

“Lagipula, ini sudah waktunya kita pergi,” kata Boris.“Aku sudah bosan berkeliaran dengan sekelompok anak-anakkecil. Kami ingin bekerja dengan orang dewasa. Mari, Grigory.”Dan Grigory mengikuti Boris dengan patuh ketika ia mulaimenuruni bukit.

Kegiatan rutin setiap pagi dimulai hampir seperti ketikamereka berada di ruang bawah tanah toko roti di Moskow.Beberapa anak lelaki menjaga api, seorang bertugas memotongroti dengan ukuran yang sama; dan, seperti biasa, anak-anakyang lebih kecil mengumpulkan bahan bakar untuk perapian.Mereka baru saja menyelesaikan tugas sehari-hari ketika Kostiamelihat Boris di bawah perbukitan. “Lihat, itu Boris,”katanya. “Ia kembali. Mungkin ia tidak terlalu cocok denganteman-teman barunya.”

“Mana?” tanya Alex. “Aku tidak melihatnya.”“Ia ada di sana semenit yang lalu,” kata Kostia. “Aku

bisa melihatnya melambaikan tangan kepada Grigory.”“Mungkinkah kita menerimanya kembali, Peter?” tanya Leon.“Mengapa tidak?” jawab Peter. “Kalau ia bisa hidup

seperti kita semua.”Namun, ketika Boris muncul, dua orang asing lainnya – dua

polisi dari desa pun muncul. “Jangan bergerak!” teriak mereka.“Baiklah,” yang satu berkata. “Kami tahu siapa yang suka

merampok – yang tinggi.” Mereka mendekati Peter. “Jadi kaupikir kamu dapat mencuri dari toko pemerintah dan lolos begitusaja.” Mereka tertawa. “Tidak kalau kamu lari dengan cecungukseperti ini yang akan melaporkan kamu.”

“Anak-anak ini tidak melaporkan aku,” kata Peter. “Kukiraaku tahu yang melakukannya. Bagaimana pun, anda dapatmenangkap aku, tetapi tidak dapat menangkap yang lain, hanya

karena mereka gelandangan, seperti setengah penduduk negeriini.”

“Jangan mengajari kami tentang tugas kami,” teriak salahseorang polisi. “Kami diberitahukan bahwa kalian adalahkelompok penyelundup. Berdiri semua! Akhirnya berkurangsedikit bandit yang berkeliaran di kota.”

“Kemana mereka akan membawa kita?” Alex berbisik dengancemas kepada Ivan.

“Yang jelas bukan ke surga,” jawab Ivan.

Bab 7

Ketika Alex melihat rumah penampungan anak, yang pertamadipikirkannya, adalah mengapa harus menjadi masalah bilatertangkap? Ini benar-benar bangunan yang nyaman untuk tidurjika dibandingkan dengan di ruang bawah tanah dan gua. Merekamelewati pintu gerbang yang terkunci, yang dibukakan olehseorang lelaki tua yang tampak letih; lalu polisi menggiringmereka menuju pintu masuk dan menarik sebuah lonceng. Loncengberbunyi keras di pekarangan. Anak-anak lelaki merasa kesaldan membisu. Anya dan Miska menangis dan memegang erat Peter.Peter yang marah dan gelisah, terlihat tegang.

Wanita tua bertubuh mungil membuka pintu. Wajahnyadipenuhi kerutan, matanya begitu pucat sehingga tampaktransparan, rambutnya tersembunyi dalam sebuah scarf usang.

“Jangan tumpangan lagi!” dia bersungut-sungut. “Di manasaya harus menampung mereka?” Wanita mungil ini tampak sepertiseorang nenek dan Alex mengharap suara yang lembut sehinggakekasarannya mengejutkannya.

“Kota dipenuhi anak gelandangan awal tahun ini karenacuaca buruk di utara,” jawab salah seorang polisi. “Anda hanyaharus menjejalkan mereka.’

Wanita itu menggerutu, dan polisi meninggalkannya.“Cepat, cepat, anak-anak bodoh!” teriaknya kepada anak-anak.“Kalian membiarkan semua kedinginan.” Dan mereka mengikutinyamelalui sebuah pintu besar ke dalam sebuah bangsal yang jauhlebih dingin karena tak pernah tersentuh sinar matahari. Asapdan bau busuk seperti bau air selokan begitu tebal danmenyengat di ruangan itu, dan di menit berikutnya pertanyaanAlex pun terjawab.

Wanita tua itu memandang mereka. “Saya yakin telahmelihat kalian sebelumnya, jadi saya tidak perlu membuangwaktu. Kalian sudah tahu peraturannya. Dan kalian sudah tahuakibatnya kalau melanggarnya. Sekarang masuklah!” Dia membukasebuah pintu besar dan mendorong mereka ke dalam ruangan dibelakangnya. “Tunggu!” katanya. “Satu anak perempuan, ya? Diapergi ke bagian yang lain.” Lalu dia menarik Anya, yangmenangis keras ketika pintu ditutup.

Pemandangan di depan mereka mengingatkan Alex pada sebuahgambar di buku karangan Dante Inferno (Neraka), sebuah buku yangterletak di atas rak di rumahnya di Kovrov. Seperti di ruangbawah tanah dan di gua yang besar, ruangan itu diterangidengan api-api unggun kecil yang dikelilingi oleh anak-anakkotor yang duduk maupun berbaring. Tetapi jelaga di ruanganitu lebih pekat dan baunya lebih menyengat karena jendela yangrusak dijejali dengan kain-kain rombengan sehingga asap dan

bau terjebak di dalam. Lantainya ditutupi oleh tubuh-tubuh,dan lebih banyak lagi yang bergerombol di kasur yang kasar.Dari sana terdengar tangisan dan keluhan. Alex tak inginmelihat pemandangan ini dan Miska mengeluh.

Peter memimpin kelompoknya yang sengsara ke sebuah sudutyang gelap jauh dari api unggun. Mereka membaringkan diri dilantai sambil berusaha melupakan kejadian di pagi hari itu.

Tak lama penahan pintu dilemparkan dan pintu besar ituterbuka. Direktur tempat penampungan masuk, seorang pria yangburuk, kegemukan, tampak membawa sebuah cambuk dari kulit.

“Si Babi Mabuk masih ada di sini sejak tahun lalu!” bisikPeter. “Kukira sudah dipecat.”

“Maju kesini, kalian anak-anak yang baru dibawa masuk.”“Kita harus maju,” kata Kostia kepada Alex. “Atau ia

akan memukuli seluruh isi ruangan lalu mereka akan menunjukkita dan akan memukuli kita juga.” Peter dan kelompoknyaberdiri dan pergi ke pintu.

Pak Direktur memegang sebuah buku catatan. “Nama?”bentaknya, sambil menunjuk Kostia. “Berikutnya!” bentaknya.“Berikutnya.” Satu demi satu mereka memberitahukan nama, umurdan tempat kelahirannya. Ketika ia tiba pada Peter, iaberkata, “Kamu terlalu tua untuk di penampungan ini. Besokpagi kamu akan pergi bersama polisi ke penjara dan menyisakansedikit tempat lagi di sini.”

Mendengar ini, Miska berdiri, terhuyung-huyung karenademamnya, berteriak, “Jangan! Jangan mengirimnya ke penjara.”Dengan cepat, ditariknya mantel Pak Direktur sambil memohondengan sedih, “Jangan, anda tidak bisa melakukannya. Kami akanmati tanpa Peter!”

Cambuk kulit di tangan Pak Direktur mengayun dandipukulkan dengan keras. Suaranya terdengar seperti kayupatah, dan Miska terjatuh. Tanpa berkata lagi Pak Direkturberbalik dan berjalan keluar, membanting pintu.

Peter berlutut dan menggendong Miska. “Sediakan tempatuntuknya,” perintahnya, dan para anggota kelompoknya segeramengusir dengan paksa dua anak gelandangan dari sebuah kasur.Peter membaringkan Miska di atasnya. Darah mengalir dari lukapukulan cambuk. “Siapa yang punya vodka?” teriak Peter. “Ayo,babi. Aku tahu kalian punya. Berikan punyamu atau aku sendiriyang akan memukul kalian semua.”

Seorang anak lelaki didekatnya dengan perlahan memberikansebuah botol berisi seinci cairan di dalamnya. Petermengendusnya, meletakkan setetes di lidahnya, lalumeludahkannya di atas luka Miska. Napas Miska begitu lemahsehingga sukar didengar. “Kostia, Ivan, berbaringlah di dekatkakinya. Alex, berbaringlah di sisi sebelah sana, dan aku akan

berbaring di sisi sebelah sini. Kita harus berusaha menjaganyatetap hangat.”

Berbaring di samping Miska, Alex merasa seolah-olah iayang dipukul dan jantungnya berdebar. Meskipun demikian,kelelahannya akhirnya membuatnya tertidur ketika tubuhnyamenghangatkan si anak yang malang.

Di pagi hari Miska masiih belum membuka matanya dannapasnya masih lemah. Peter menggedor pintu hingga wanita tuadatang dan membukanya.

“Berhenti memukuli pintu,” teriaknya. “Buburmu akandiberikan kalau saatnya tiba.”

“Aku tidak peduli dengan makanan babi itu!” bentak Peter.“Ada anak yang sakit dan terluka parah di sini. Ia membutuhkanpertolongan. Obat-obatan. Beritahukan pada Direktur!”

“Lihat siapa yang memberi perintah?” sentak si wanitatua. Pintu dibanting dan Peter kembali kepada Miska, sambilmenggeram dan mengumpat tidak seperti Peter yang mereka kenal.

Tak lama kemudian sepanci bubur kelabu dibawa oleh siwanita tua dan penjaga gerbang. Anak-anak gelandangan segeramengerumuninya dan menciduk panci itu dengan mangkuk mereka.

“Sudah anda laporkan pada Direktur?” tanya Peter.“Sudah,” jawabnya“Ya! Lalu apa katanya?”“Memangnya apa?” bentaknya.“Dasar tua bangka!” amarah Peter meledak. “Babi! Ia

mungkin saja masih tidur di ranjang empuknya, mabuk vodka!”“Jangan berteriak kepada saya!” kata wanita itu. “Saya

cuma wanita tua yang harus hidup juga. Saya akan mengerjakanpekerjaan saya.” Dia menendangnya.

“Silakan,” Peter sekarang memohon. “Anak ini terlukaparah.”

Wanita tua itu memandang ke seluruh ruangan. “Mana anakitu?”

“Di sini,” jawab Peter, mendahuluinya ke kasur tempatMiska berbaring tak bergerak. “Luka di kepalanya akan membusukapabila tidak dibalut dengan benar, dan ia sedang sakit demamketika datang kemari. Ia sekarang sedang tidur namun tidakbisa bangun.”

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya wanita itu.Perkataannya hampir masuk akal. “Mereka bisa membaik ataumemburuk.”

“Katakan kepada direktur,” bentak Peter, ia mulai marahlagi. “Katakan pada direktur babi itu, anak yang dipukulnyasemalam memerlukan dokter.”

“Dokter!” Dia tertawa dan membuka pintu. Bahkan anak-anakgelandangan yang tak peduli pun melihat ke arah itu.

“Aku ingin menemukan Boris dan menonjok matanya,” kataKostia.

“Apa yang akan terjadi pada Boris akan menjadi hukumanberat,” kata Peter. “Ia akan hidup dengan para penjahat ituseumur hidupnya.”

Dan, Alex bertanya-tanya, bagaimana hidup kitaselanjutnya? Sekali lagi, ia tidak dapat melihat masa lalunyadi dalam ruang bawah tanah atau di gua, ditangkap dan dibawake sarang penyakit ini.

Sebagian kecil anak gelandangan itu telah berdiri, lalumenyelinap melalui jendela yang rusak dan keluar ke pekaranganbelakang tempat penampungan. Alex dapat melihat mereka salingmembantu melalui tembok dan menarik ke atas temannya yangterakhir.

“Tetapi kalau mereka dapat pergi keluar, mengapa merekakembali lagi?” tanyanya. “Mengapa kita tinggal di sini?”

“Jangan khawatir. Segera setelah Miska membaik, kitakabur,” kata Kostia. “Bagi yang lainnya, yang mereka inginkanhanyalah sebuah tempat untuk mabuk-mabukan vodka dan kokain.”

“Tempat ini seperti lelucon jika dibandingkan dengan diMoskow,” kata Ivan. “Di Moskow, sekali mereka memasukkan kamu,susah untuk kabur lagi.”

“Apakah seburuk ini?” tanya Alex. “Begitu …. Mengerikan.”“Semuanya mengerikan,” timpal Peter.Hari itu mereka bergantian menjaga Miska. Ketika malam

tiba, wanita tua dan penjaga gerbang masuk ke ruangan dengansepanci sup kacang, encer, buruk, dan asam, tetapi panas. Diamenuangkannya ke mangkuk-mangkuk mereka ketika merekamengerumuninya, sambil mengejek dan mengolok-olok dengan tawatersedak atau dengan dorongan kasar yang cepat.

Ketika malam menjelang, anak-anak lelaki kembali melaluijendela, sambil membawa botol vodka, rokok, dan baranglainnya. Kebisingan, asap, bau dan suasana penuh kebencianmembuat Alex ingin pergi melalui salah satu jendela itusendiri. Tetapi sekarang ia merasa tindakannya itu sepertimeninggalkan keluarganya.

Ketika gilirannya menjaga Miska, di tengah malam iamerasakan keheningan yang berbeda – asing, suatu keadaan yangtidak menentu. Suatu keadaan yang ia ketahui. Ketakutanmeliputinya dan ia membangunkan Peter.

“Peter, bangun dan lihat Miska!”Peter tergugah dan pergi ke kasur Miska. Ia berlutut di

sampingnya, meraba tangannya, kepalanya, lalu mendengarkandetak jantungnya. Kemudian ia memukulkan tinjunya ke lantaiyang keras dan menutup wajahnya dengan tangannya. Ketikaakhirnya Peter menegakkan kepalanya, wajahnya berkerut,

tangannya mengepal dan memukuli angin. Lalu ia menggapai keatas dan dengan lembut menutup wajah Miska dengan kainrombengan. Alex tak perlu diberitahu lagi oleh Peter. Ia sudahtahu sebelum memanggilnya ketika cahaya redup di wajah Miskamenghilang. Ia sudah tiada.

Peter menghampiri tempat anggota kelompoknya berbaring,membangunkan mereka satu per satu. “Ayo,” katanya parau. “Kitapergi sekarang. Miska sudah … meninggal.” Suaranya terdengartercekik ketika mengatakannya. Lalu Peter dengan jiwanya yangdipenuhi kebencian dan kemarahan, mendahului kelompok kecilnyamelalui tubuh-tubuh yang bergelimpangan menuju ke jendelasambil memberi isyarat agar mereka diam. Mereka menyelinapmelalui jendela dan tiba di pekarangan yang gelap.

“Mulailah memanjat tembok dan tunggu aku di sudut yangterjauh. Cepat.”

“Kamu akan kemana?” tanya Kostia.“Jangan pedulikan. Aku harus mengerjakan sesuatu.”“Kami akan mengerjakannya bersamamu,” kata Ivan.“Tidak, aku harus mengerjakannya sendiri. Diam, atau

kalian mengacaukan semuanya.”Peter memperhatikan mereka melintasi halaman yang gelap,

lalu berbalik dan berlari ke sebuah sudut gedung tempatsebatang pipa air dari batu dipasang menjulang ke lantai diatasnya. Seperti ular ia naik ke atanya, memasuki sebuahkoridor dan tanpa suara menyusuri dinding. Lalu dengan sangatperlahan, ia membuka pintu dan memasuki ruangan tempat SangDirektur sedang mengorok di tempat tidur empuknya, cambuknyaada di sampingnya, tungkunya menyala dengan terang dan tekokuningannya yang besar beruap.

Dalam satu langkah, Peter sudah ada di samping tempattidur dan telah merampas cambuknya, lalu membangunkan lelakiburuk itu dengan pukulan cambuknya. “Keparat!” bentak Peter.“Bangun! Bangun, kamu babi. Di sini kamu tidur di ranjangempuk, dengan perapian di dekatmu, sementara di bawah, anak-anak sakit” – suaranya tercekat – “kedinginan, kelaparan,mati. Aku ingin memperbaiki tangan kasarmu sehingga kamu tidakbisa lagi menyiksa anak lain untuk waktu yang lama.” Lalu iamengayunkan cambuk itu.

Sang direktur yang berbaring di sana tampak lumpuh, mulutdan matanya terbuka lebar, namun kemudian ia menyerang danberteriak, tangan gemuknya yang besar mencoba mencekik Peter.Seketika Peter menjatuhkan cambuk dan berusaha membebaskandiri dari cekikan, tetapi lelaki itu lebih kuat dari yangdikiranya. Mereka berdua berkelahi.

Teriakan direktur membuat wanita tua menghampiri pintu.Dia juga berteriak, namun hanya menonton perkelahian tanpa

bergerak. Kedua orang yang sedang berkelahi sekarang jatuhdari tempat tidur ke lantai, berat tubuh mereka membuat merekabergulung, yang satu di atas yang lain, hingga mereka terhentitiba-tiba di dekat meja yang di atasnya terletak teko.Benturan menyebabkan teko kuningan yang berat itu bergeser.Sejenak keseimbangannya bergoyang di ujung meja, lalu jatuhdengan benturan yang mengerikan, menumpahkan isinya yangmendidih ke atas direktur, dan teko yang berat itu menimpakepalanya. Cengkeramannya melemah.

Lengan Peter tersiram air panas. Ia menariknya kebelakang, tetapi melemahnya cengkeraman di lehernya lebihmelegakannya sehingga rasa sakit karena air panas tidak segeradirasakannya. Wanita tua itu menutup mulut dengan tangannya,menatap ngeri ke arah direktur yang tidak bergerak. SekarangPeter, sambil menahan napas, melihatnya. Ia membungkukkanbadannya dan meletakkan wajahnya ke dekat mulut lelaki itu. Iamenaikkan kelopak matanya, mendengarkan detak jantungnya.Lelaki itu tewas.

Peter berdiri. Dengan cepat ia bergerak ke arah pintu. Siwanita tua memiringkan punggungnya. Kemudian Peter mulaiberlari. Ia keluar dan masuk jalan yang sama ketika ia datang.Tetapi ia tidak segera menuju ke tembok tempat kelompoknyasedang menunggu. Sebaliknya, ia berlari mengelilingi bagianlain bangunan itu.

Setelah mendorong kain-kain rombengan yang menutupjendela, ia naik masuk ke dalam sebuah ruangan. Lalu iamencari-cari dalam ruangan itu, bergerak naik dan turun dibarisan anak-anak, kadang-kadang membalikkan badan seseorang.Akhirnya, ia menemukan Anya, sedang bergelung seperti anakkucing di dekat jendela, tidur mendengkur. Dengan hati-hati,ia mengangkatnya dan dengan cepat kembali ke jendela yangdimasukinya, sambil berbisik.

“Anya, ini aku, Peter. Kita akan pergi. Bangunlahsekarang.” Ia mendorongnya melalui jendela dan memanjatmendahuluinya. Anya masih mengantuk, tetapi dia mengikutinyamelintasi pekarangan.

Ivan sedang menunggu, dari jauh kelihatan hanya kepalanyadi atas tembok. Ketika ia melihat mereka mendekat, iaberjinjit, mengulurkan tangannya seperti artis trapeze danPeter menyerahkan Anya kepadanya. Lalu dengan bantuan Ivan,Peter memanjat tembok. Di belakang, lampu-lampu dinyalakan,dan teriakan-teriakan minta tolong si wanita tua dan penjagagerbang terdengar.

“Ikut aku,” kata Peter. “Cepat!” Mereka berlari tanpasuara menuruni jalanan sepi ke batas kota lalu melintasiladang yang gelap.

Pada akhirnya, mereka melalui jalan berbatu-batu hinggake kaki bukit. Ketika mereka tiba di sebuah tempat yang jauhdari tempat penampungan anak, yang lamanya satu jam kambinggunung memanjat, mereka beristirahat, sambil membaringkan diridi tanah berbatu di samping sebuah tebing.

Lalu Peter berkata, “Miska dibunuh oleh direktur yangkejam itu. Sekarang aku sudah mematikan pembunuhnya.”

Semua menatapnya, tak mempercayainya. “Kalian mengerti?”tanya Peter, hampir tanpa nada. “Aku sudah membunuhnya. Akutidak pernah bermaksud membunuh orang dalam hidupku.” Iamemukuli kepalanya, seolah-olah tidak percaya akan apa yangtelah terjadi. “Apa kata Jacob si tukang Roti sekarang! Tetapiaku sudah menyebabkan kematian orang lain dan aku harusmembayarnya. Pasti polisi akan mencariku, lalu mereka akanmenangkap aku.”

“Kita akan meninggalkan tempat ini,” sahut Kostia, cepat.“Mereka tidak akan menemukanmu. Kita kembali ke Moskow. Disana tak selamanya beku.”

“Jangan, musim dingin masih panjang, kamu bisa matikelaparan di sana,” jawab Peter.

“Lalu, pada akhirnya kita juga harus bermain lebihkasar,” kata Leon.

“Tidak!” tegas Peter.“Apa maksudmu, tidak? Kamu baru saja bilang habis

membunuh orang.”“Bukan untuk makanan, dan aku tidak bermaksud

melakukannya lagi. Itu kecelakaan, meskipun begitu, aku telahmembunuhnya.”

Alex mendengarkannya seolah-olah ia sedang mengambangjauh di atasnya, sorang saksi. Meskipun kelelahan karenamelarikan diri dari tempat penampungan, dan terkejut mendengarperkataan Peter, pikirannya terasa lebih jernih dibandingkanberbulan-bulan sebelumnya.

“Seandainya aku jadi kepala pemerintahan,” katanya, “akutidak akan membiarkan ribuan anak-anak kelaparan, harusmencuri bahkan membunuh untuk bertahan hidup. Hal pertama yangakan kulakukan adalah memastikan bahwa anak-anak mendapatkanmakanan dan tempat yang hangat untuk tidur.”

“Seperti tempat penampungan anak yang indah dengandirekturnya yang penyayang?” tanya Kostia menyindir. “Ha! Biarkuberitahukan sesuatu, tukang mimpi. Begitu pemerintahmelakukan sesuatu pada dirimu, kamu akan jadi budak. Jelek-jelek, bezprizorni bukan budak.”

“Ada tempat yang berbeda,” kata Alex dengan keyakinanyang tiba-tiba.

“Bagaimana kamu tahu?” tanya Kostia.

“Karena begitulah yang dikatakan guruku KatrianaSergyeva.”

“Dengar,” kata Leon. “Di sini sama saja, dengan Tsar ataukaum Bolshevik – rakyat tetap tidak punya apa-apa. Merekatidak bebas.”

“Tetapi kita bebas,” sahut Kostia. “Kita bebas!”Bagi Alex, ia merasa seolah-olah kebingungannya tiba-tiba

sirna dan sekarang ini, ia melihat peluang di masa depan.“Baiklah,” katanya. “Kita memang bebas. Tetapi apakah yangdapat kita lakukan dengan kebebasan kita? Maukah kita seumurhidup tidak melakukan apa pun, hanya mencari-cari makanan,kedinginan, dan memakai kain rombengan?” Di dalam pikiranAlex, waktunya bersama kelompok ini adalah suatu peralihandari masa lalunya di Kovrov dan masa depan yang takdiketahuinya. Sekarang ia sedang berpikir. Jika ini masadepan, aku tak menginginkannya. “Tidak,” katanya. “Harus adayang lain.” Dan bagai bergema dari bukit-bukit ke dalampikirannya, tergiang suara Katriana Sergyeva: “Pasti adatempat lain yang lebih baik.”

“Aku tidak mau hidup dengan cara lain,” sahut Leon. “Akupergi kemanapun aku mau. Aku pengembara dan penjelajah.”

“Kamu bodoh!” kata Ivan. “Tidakkah kamu ingat seperti apahidup dengan keluarga? Itu lebih baik daripada kebebasan.”

Sementara itu, Peter duduk membuka tutup kepalantangannya, sambil menatap kosong ke kegelapan. Sekarangkesunyian datang dan meliputi semuanya dan itu menakutkan bagiPeter dan mengingatkan kedukaan akan Miska. Ketakutan yang takterkatakan sewaktu mereka menendangi kerikil atau menggalitanah yang keras dengan tumit, tetapi ketakutan itu ada.

Beberapa saat Alex berjalan-jalan sendirian di malamhari. Ia mengenang Miska. Ia teringat kaki kecil Miska yangterbungkus kain rombengan di dekat gerobak ketika ia pertamamelihatnya, wajahnya yang bersemangat mendengarkannya membaca,tangannya yang dingin memeriksa demamnya dan memberinya teh.Memikirkan ini menyebabkan Alex merasakan kepedihan yang lebihmendalam daripada ketika ia kehilangan keluarganya – hidupterasa berhenti. Mungkinkah kehilangan yang pertama baruterjadi beberapa bulan yang lalu – bukan tahun? Ia merasajauh lebih tua.

Bab 8

Anak-anak membaringkan diri di antara bebatuan,beristirahat, sambil menunggu Peter memimpin mereka kembali,menjadi Peter yang biasanya yang bisa mengarahkan mereka.

Peter sedang menyendiri. Mula-mula ia berjalan ke tepisebuah aliran sungai kecil dan membasuh lengannya yang melepuhdi air yang dingin. Lalu ia berjalan ke pinggir tebing,berjalan mondar-mandir – gelisah, hatinya sangat berduka.

Alex berpikir, mungkin seperti itulah ia, ketika iaberlari menemui Katriana. Tetapi tak ada Katriana untuk Peter.Memikirkan Katriana sekarang, pikiran Alex kembali ke masalalu. Ia melihatnya di kamarnya yang kecil, matanya bercahaya,suaranya lembut, menghiburnya, menceritakan impian-impiannya,memberinya harapan. Hal ini mendorong Alex berjalan ke arahPeter.

“Peter,” sapanya dengan ragu. “Kamu sudah mendengarperkataanku tentang guruku, Katriana Sergyeva. Satu kalipernah ia memberitahuku tentang tempat-tempat di dunia iniyang rakyatnya bebas, bahkan di rumah mereka, tempat merekamemiliki tanah sendiri dan menyimpan hasil panennya. Peter,kita semua bisa pergi ke tempat itu. Aku punya paman yangpergi ke Amerika.”

“Amerika!” jawab Peter. “Itu menyeberangi lautan! Danbagaimana kamu tahu di sana berbeda daripada di sini?”

“Katriana tahu. Dia selalu berkata benar. Dan…,” tambahAlex sambil menekankan, “Katriana punya saudara lelaki diPetrograd.”

“Maksudmu Leningrad,” kata Peter.“Ya, aku lupa namanya sudah diganti sekarang. Saudaranya

bisa membantu orang-orang yang mau pergi ke sana, kata

Katriana. Dia juga ingin pergi sendiri, mungkin pada akhirtahun ajaran.”

Peter menatapnya. “Gurumu mau pergi? Kapan dia punyarumah dan pekerjaan dan makanan?”

“Ya, tetapi dia juga bilang tidak semuanya ada di sana.Katanya pikiranlah yang harus bebas.”

“Ya,” kata Peter. “Kupikir juga begitu. Sepertinya akumenyukai Katriana Sergyeva-mu. Apakah kamu juga mau pergi?”

“Dulu yang kupikirkan hanyalah bahwa keluargaku sudahtidak ada. Tetapi sekarang, dengan polisi yang mencarimu danapa yang terjadi pada Miska …” Ia seperti tercekik mengatakanitu dan keduanya saling memandang. Lalu Alex melanjutkan,“Baiklah…” Ia menunjuk pada anak-anak yang sedang berbaring dibukit. “Hal itu bisa saja terjadi pada mereka, pada kitajuga.”

Peter mengangguk. “Kamu tahu bagaimana menemukan saudaralelakinya?”

“Ya, kukira. Tetapi bagaimana kita sampai ke Leningrad?”“Jadi selama ini kamu belum mengerti juga, ya? Sepertinya

kami harus meninggalkan kamu,” kata Peter, ia mulai berjalansendirian.

Jawaban Peter membuat Alex sedikit tersinggung, namunpada saat yang bersamaan, Alex bahagia, karena jawaban ituterdengar seperti jawaban Peter yang biasanya. Akhirnya,mereka tidak terlantar lagi tanpa pemimpin. Dan ia jugamendengar gema suaranya sendiri yang berbicara pada Peter,memberitahukannya dan ia tercengang. Jika mereka pergi keLeningrad dan mungkin meninggalkan negeri ini, semua anak-anakini akan pergi karena ia sudah memikirkannya.

Matahari belum terbit ketika Peter kembali kekelompoknya dan berkata, “Semuanya bangun. Kita pergi.”

“Aku lapar,” kata Anya. “Aku ingin mencari makanan dulu.”“Nanti,” jawab Peter.“Kemana kita pergi?” tanya Leon.“Apa bedanya?” jawab Peter dengan ringan.Hanya Alex yang tahu tujuan mereka. Dan itu

menyenangkannya.

Di tengah hari, mereka sudah tiba di gunung yang tinggi.Jalan yang curam dan berbatu-batu memperlambat mereka, tetapimereka merasa lebih aman di ketinggian ini karena polisi tidakmungkin mau bersusah payah memanjat. Mereka terkena saljusekarang, dan mereka berhenti untuk beristirahat di pinggirsebuah jurang yang di bawahnya mengalir sebuah sungai berwarna

putih. Jauh di atas tebing-tebing dan hutan, seekor burungelang terbang di awan-awan.

“Bisakah kita menemukan makanan di tempat setinggi ini?”tanya Anya.

“Lihat,” kata Alex. “Tahukah kamu kalau ini bisadimakan?” Dan seperti yang pernah dibacanya, ia mengupas kulitkayu dari pohon betula putih. Dengan hati-hati dibuangnyalapisan kering di luarnya dan dari lapisan dalamnyadipungutnya bagian yang berserat tipis, lalu diberinya kepadaAnya. Dia memasukkannya ke dalam mulut, wajahnya cemberut,tetapi ia mengunyah dengan senang. Segera yang lainnyamelakukan hal yang sama, sambil menyimpan sedikit di bajumereka untuk bekal nanti.

Maka berjalanlah mereka sambil mengunyah kulit pohonbetula. Sore harinya, mereka sudah lelah, Alex dan Ivanmenggandeng Anya yang mengantuk. “Polisi akan mengawasistasiun kereta api,” kata Peter. “Jadi, kita tinggal di sinimalam ini. Kita akan membuat rencana besok pagi.”

Mereka membuat perapian dari ranting-ranting yang jatuhdan menghangatkan diri sambil mencairkan salju. Lalu merekamenggali-gali ke dalam salju untuk mencari dedaunan yangberjatuhan di musim gugur. Di sana mereka berbaring, salingmemunggungi berselimutkan dedaunan. Di kejauhan, terdengarlolongan serigala, tetapi tidak menakutkan bagi anak-anak ini.Bahkan, menurut Alex, di bulan-bulan yang telah lalu, ia tidurdi tempat yang lebih buruk.

Di pagi hari mereka menggali mencari akar-akaran di bawahsalju dan mengunyah kulit pohon betula lagi. Lalu merekamengikuti Peter melintasi puncak gunung dan memanjat turun kesisi yang lain. Mereka dapat melihat rel kereta api jauh dibawah mereka.

“Kukira polisi tidak akan mengawasi ke sini,” kata Peter,“tetapi lebih baik kita berhati-hati, kita akan turun sampaibenar-benar di atas stasiun. Kalau kita melihat kereta dikejauhan, kita harus bergegas turun, berdua-dua, tidakbergerombol. Jangan naik dulu ke kereta sampai keretameninggalkan stasiun. Kita bisa terjebak dalam kereta bilaketahuan.”

Mereka beristirahat sambil berjemur, menghangatkan tubuhmereka yang kedinginan di malam hari. Kemudian, “Itu keretadatang,” salah seorang berteriak.

Mereka menunggu ketika kereta memasuki stasiun danmenurunkan penumpangnya. Mereka hanya melihat seorang polisi,yang berseragam kumal, sedang mencoba memasang matanya dikeempat arah. Ketika lonceng kereta berbunyi dua kali, Peter

berteriak, “Sekarang!” dan mereka berlari cepat menurunilereng bukit dan memasuki halaman stasiun berduaan ataubertigaan tepat ketika kereta mulai berjalan pelan. Ketikakereta sudah keluar dari stasiun, mereka mengejarnya, tanpaterlihat oleh polisi karena tertutup oleh kereta. Merekameraih pegangan yang ada di luar dan mengayun ke atap kereta,lalu menolong Anya dan anak-anak yang lebih kecil lainnya.Lalu mereka duduk menyebar di atap kereta seperti burung elangyang terbang melintasi pedesaan menuju ke Moskow.

Hampir dua jam sebelum mereka tiba di stasiun berikutnya,dan ketika kereta berhenti mereka meluncur turun ke sampingkereta dan beristirahat di balik barang-barang dalam gerbong.

Ketika kereta mulai berjalan lagi, mereka lari menujusebuah kotak hitam di bawah gerbong. Mereka kembali ke kotasama seperti ketika melarikan diri ke selatan, lama danmembosankan, tetapi bedanya kali ini tidak semakin hangatmelainkan semakin dingin. Ketika mereka cukup jauh dari gunungdan merasa aman, mereka mulai mencari makanan di stasiun.

“Aku senang kita kembali ke Moskow, meskipun di sanadingin,” ujar Kostia. “Moskow adalah tempat apapun bisaterjadi. Setiap hari ada yang baru.”

“Kita tidak akan menetap di Moskow,” Peter sekarangberbicara.

“Lalu kemana kita akan pergi?” tanya Kostia.“Sekarang kita akan pergi ke Leningrad.” Pada saat itu

tampaknya Peter hanya akan memberitahukan sebatas apa yangperlu diketahui.

“Leningrad lumayan,” kata Leon. “Tetapi mengapa kitatidak tinggal saja di Moskow? Lagipula sekarang kita hampirtiba di sana. Aku sebal naik kereta api.”

“Aku juga,” sahut Anya.“Kita hanya akan melihat apakah ada sesuatu di

Leningrad,” tegas Peter.“Sekarang Peter menjadi terlalu sok memerintah,” bisik

Leon kepada Kostia.“Kamu tidak perlu ikut jika tidak mau,” tantang Kostia.

“Kamu hanya ikut Peter kalau mau saja. Sedangkan aku, akuingin mencoba Leningrad.”

Di Moskow, mereka harus mengganti stasiun, sambilberlarian melintasi jalan-jalan bersalju yang dikenalinya,bahagia terbebas dari kesesakan di kereta api, melompat,meloncat, untuk menyatakan semangat mereka yang tertahan.

“Perjalanan ke Leningrad lebih singkat,” kata Peter. “Inibagian yang mudah.” Dan kemudian sambil bergembira danbersemangat, mereka bermalam di stasiun, menunggu kereta pagiyang menuju Leningrad.

Hari sudah siang ketika mereka menjejakkan kaki di NevskyProspekt, Leningrad, tak jauh dari Istana Musim Dingin, tempattinggal para Tsar. Perjalanan kali ini hanya sekejap mata.Mereka mengikuti Peter ke Pelabuhan Tuchkov di atas SungaiNeva, yang masih membeku di tepinya, tempat para nelayan esberdiri. Setelah menuruni tangga pelabuhan mereka berjalanhingga menemukan tempat tinggal sementara di sebuah dermaga.

Setelah mereka menetap, Alex mengajak Peter berbicara.“Akankah kita segera mencari Basil Sergyevitch Sokolov?”tanyanya.

“Secepat mungkin,” kata Peter, “karena aku harusmengatakan kepada yang lain apa yang terjadi secepatnya.”

“Mengapa tidak mengatakannya sekarang?” tanya Alex.“Aku tidak ingin mereka terlalu berharap atau mulai

berdebat jika kita tidak yakin apa yang akan kita lakukan.”Alex mencatat bahwa Leon dan dua anak lainnya menghilang.

Mereka telah kembali lagi sekarang dengan membawa tiga ekorikan yang dicuri dari para nelayan. Mereka memakan ikan itumentah-mentah. Alex kesulitan menelannya tetapi ia merasakenyang setelah berhasil menelannya sedangkan Anya sama sekalitidak kesulitan menghisap tulang-tulang yang kecil.

“Kita tidak dapat semuanya menemui saudara gurumu,” kataPeter perlahan kepada Alex. “Mereka bisa melaporkan kita.Sini, biar kulihat kamu.” Peter menarik Alex. “Kamu masihpunya sepatumu, eh? Baiklah, itu sesuatu.” Ia berlari daripelabuhan ke jalan dan menyerok sedikit minyak dari rodasebuah kereta kuda yang sedang menunggu. Ia mengolesi minyakitu di atas sepatu Alex, lalu melapnya dengan kain robek daribajunya. “Lihat!” kata Peter. “Seperti baru! Kamu bisamenjualnya untuk makan malam yang enak sekarang.”

Alex mengangkat kakinya, memperlihatkan lubang besar disol sepatunya. “Tidak terlalu bagus untuk makan malam.” Iatertawa.

“Tempat ini bukan tempat yang buruk untuk makanan,” kataLeon. “Ada banyak ikan seperti ini di sungai. Kamu benar,Peter, akhirnya. Kukira kita sebaiknya tinggal di sini palingtidak hingga Moskow kembali hangat.”

Kata Peter, “Baiklah, kalau begitu. Aku akanmemberitahukan kalian bahwa kita ke Leningrad bukan untukmenetap. Kita datang kemari untuk mencari seseorang yang dapatmembantu kita keluar dari Rusia.”

Hening. Hanya bunyi pancingan dari para nelayan es disekitarnya yang terdengar. Lalu, “Keluar dari Rusia!” Kostiaberkata kepada yang lainnya.

“Alex mengetahui orang yang bisa mengurus ini,” kataPeter. “Ia akan mencarinya sekarang.”

“Tetapi aku tidak ingin meninggalkan Rusia,” kata Leon.“Dan kuberitahukan, di sini kita tidak kesulitan mendapatkanikan.”

“Kita tidak hanya pergi karena kesulitan mencarimakanan,” jawab Peter. “Kita akan pergi karena … karena …”

“Karena sekarang kita hanya anak kecil yang mencuri danharus dimasukkan ke tempat penampungan anak,” sambung Alex.“Akan tetapi, suatu hari nanti kita akan menjadi orang dewasayang mencuri, dan kita akan dimasukkan ke dalam penjara. Kitaakan pergi karena hal ini akan terjadi di sepanjang kehidupankita.”

Hening kembali. “Pikirkanlah,” kata Peter. “Tak seorangpun harus pergi kalau ia tidak mau.”

Anya pergi ke sungai dan menemukan air bersalju untukdituangnya ke dalam mangkuknya. “Cuci tanganmu,” pintanyakepada Alex.

“Ouch!” teriak Alex. “Dingin sekali!”“Masukkan wajahmu ke dalamnya,” suruh Anya. “Cuci.”Alex melakukan apa yang disuruhnya. Sekarang beberapa

anak lainnya mulai membersihkan lumpur, benang, jerami,rumput, debu yang menempel di tubuh Alex. Anya berdiri di atasbahu Kostia menyisir rambut Alex kemudian membersihkan topinyadan meletakkannya dengan hati-hati ke atas kepalanya. Diamemujinya, “Wah, tampannya,” katanya. Dia berjinjit danmenciumnya. Alex tersipu. Berapa lama sudah ada orang yangmenciumnya dan mengatakan kepadanya ia tampan.

“Semoga berhasil,” kata Peter. “Kami akan menunggu disini. Sekarang pergilah.”

Alex pergi menyusuri pelabuhan hingga Nevsky Prospekt,mencari Jalan Fotanka, yang menurut Katriana tidak jauh dariIstana Musim Dingin. Ia sudah berjalan hampir satu mil ketikaia melihat Istana Anichkov yang megah, yang dulunya istana IbuSuri, sekarang dipakai menjadi museum dan perpustakaan.

Terpana dengan megahnya bangunan itu, Alex menaikitangganya, menepis debu dari bajunya, dan membetulkan topinya.Ia memasuki aula yang sangat luas, gelap dan sunyi. Di sudut-sudutnya berdiri patung-patung batu. Di dinding-dindingnyatergantung lukisan-lukisan suram dengan pigura yang berat.Dengan hati-hati ia berjalan hingga tiba di tengah aula. Laluterdengar sebuah suara yang menggema, berkata, “Ya? Ada yangbisa kubantu?”

Alex terkejut. Ia tidak menjawab, namun berusaha mencariarah datangnya suara itu. Lalu dilihatnya seorang wanita tua

bertubuh mungil tak lebih besar dari dirinya, duduk di sudutyang gelap sedang merajut. Alex menelan ludah, lalu berkata,“Saya mencari Basil Sergyevitch Sokolov. Ia bekerja diperpustakaan.”

“Ya, ya, aku tahu. Ia berjalan dengan menyeret satu kaki.Pergilah melalui pintu kembar di sana ke dalam ruangan besardi dalamnya. Ia salah satu dari orang yang muda yang duduk dimeja panjang.”

Alex berterima kasih kepada wanita tua itu danmenyeberangi aula menuju pintu kayu kembar yang gelap namundipelitur seperti kaca. Kapan terakhir kali ia berada ditempat seperti ini! Ia membuka pintu dengan hati-hati dantampaklah sebuah ruangan besar dipenuhi rak buku dan kertas.Di sana-sini beberapa lelaki tua sedang membaca buku-bukutebal.

Di sebuah meja yang panjang dua lelaki yang lebih mudasedang menyortir kertas. Mereka menengadahkan kepala ketikaAlex masuk, dan Alex menundukkan matanya. Di bawah meja iabisa melihat kaki-kaki mereka. Apakah Basil yang memakaisepatu boot kulit yang disemir mengkilap atau yang bersepatutinggi hitam? Alex melihat wajah mereka. Yang satu mempunyaiwajah manis seperti Katriana, tetapi ia sangat pirang. Yanglain, berwajah bulat dan serius, tetapi rambutnya segelappintu kayu pohon oak. Seperti rambut Katriana juga. Alexmendekati meja itu, berjalan dengan ujung jari kakinya agartidak mengganggu orang lain.

“Ya?” pemuda berambut pirang bertanya dengan tegas. Alexmerasa takut dan bingung. Ia belum merencanakan apa yang harusdikatakannya.

“Saya …. mencari …. buku geografi,” jawab Alex.“Buku geografi! Buku geografi apa?”“Buku geografi …. Rusia, kamerad.”“Ah, sayangnya, semua buku geografi sudah tidak mutakhir

lagi petanya. Namun, sekarang belum ada peta yang menunjukkannama-nama baru kota dan yang lainnya.”

“Oh, begitu,” ujar Alex. Apakah lelaki ini Basil? Namunia tahu, yang paling bijaksana adalah bila tidak bertanyalebih lanjut, maka ia hanya berkata, “Terima kasih, kamerad,”dan bergegas meninggalkan ruangan. Apakah ia gagal dalam tugaspentingnya ini? Ia tak tahu.

Ia sekarang menunggu di seberang jalan dari IstanaAnichkov, sambil merapatkan kakinya agar tidak membeku,menunggu pemuda itu muncul di akhir waktu kerjanya. Ia menepuktangannya dan meniupnya.

Dan kemudian, lelaki yang tadi berbicara kepadanya,berjalan menyusuri Jalan Fontanka dengan cepat. Ia bukan

Basil. Alex segera mengetahuinya. Para pekerja di istana itubergegas keluar, sendiri maupun berdua pada waktu yang sama,lalu pintu yang besar terbuka dan seseorang berpakaian jakettebal dan topi bulu tampak menuruni tangga dengan perlahan.Sesampai di bawah, ia berhenti sejenak sebelum melanjutkanberjalan menyusuri jalanan menuju ke dermaga. Ia berjalandengan menyeret satu kakinya.

Alex melompat dan menghampirinya dari belakang. “Maaf,Tuan, dapatkah saya berbicara dengan anda? Saya teman KatrianaSergyeva…”

Lelaki itu tetap berjalan, tetapi ia menjawab tanpamenoleh. “Ikuti saja aku. Jangan berkata lagi. Berjalanlahagak di belakang dan dekati aku kalau aku berhenti.”

Alex membiarkan lelaki itu, yang sekarang diyakininyasebagai Basil, berjalan terlebih dahulu beberapa yard didepannya dan kemudian ia mengikutinya sampai mereka tiba ditepi Sungai Neva. Di sini Basil berhenti dan kemudian berjalanke dermaga. Ia melihat kedua arah, lalu mengangguk.

Alex mendekat. “Saya Alex, Tuan. Katriana adalah gurusaya, dia menyuruh saya mencari dan menemui anda.”

“Aku sudah menduga, akulah yang kau cari diperpustakaan,” jawab Basil. “Tetapi aku tidak bisa berbicaradenganmu di sana sehingga aku berharap kamu menunggu. Ya,Katriana sudah bercerita tentang kamu.”

“Katriana! Sudahkah anda bertemu dengannya?”“Sudah, dia sudah ke Leningrad.”“Apakah dia di sini?” Alex tak dapat menyembunyikan

kegembiraannya.“Tidak.”“Lalu, apakah dia sudah melakukan apa yang ingin

dilakukannya?”“Ya, sudah!”“Tetapi itu juga hal yang ingin saya lakukan sekarang! Di

mana Katriana?”“Dia sudah ada di luar negeri, menolong yang lainnya,”

jawab Basil.“Dapatkah saya juga ke sana?”“Kukira bisa diatur. Aku punya seorang teman yang punya

perahu kecil.”“Tetapi, Tuan, saya tidak sendiri. Ada anak-anak lelaki

lainnya yang seperti saya dan seorang anak perempuan.”“Murid-murid lainnya dari Kovrov?” Ia terkejut.“Bukan, mereka hanya anak-anak yang tidak punya rumah,

seperti saya.”“Di mana mereka?”

“Mereka di dekat sini, sedikit lebih jauh di bawahdermaga.”

“Kamu berjalan duluan dan aku akan mengikuti. Kita harussangat berhati-hati.”

Alex segera berjalan mendahului. Ada sedikit pejalan kakidi pelabuhan. Ia menunggu mereka lewat, lalu cepat-cepatmenuruni tangga ke dermaga yang lebih bawah tempat anak-anakmasih berkumpul bersama, beberapa tertidur, beberapa sedangbermain kartu. Namun begitu Alex datang, mereka semua langsungterbangun. “Apa katanya?” tanya Kostia.

Tetapi Alex tak sempat menjawabnya, sebab Basil jugasudah tiba di sana. “Ya, Tuhan!” serunya, setelah melihatkelompok itu, yang kini sedang berbaris seperti adapemeriksaan tentara. Dari raut wajahnya, Alex tahu, Basiltidak terlalu menyukai yang dilihatnya.

“Alex,” kata Basil. “Ini jumlah yang banyak. Terlalubesar untuk perahu yang kecil. Kami hanya bisa membawa kamudan satu atau dua lainnya. Yang lainnya belakangan. Aku tidakpernah membawa sekaligus banyak orang.”

“Tetapi saya tak dapat meninggalkan mereka,” jawab Alex.“Ini ide saya membawa mereka ke mari. Mereka teman-temanku.”Dan juga keluargaku, pikirnya. Basil berkata, “Aku haruspulang dulu dan berpikir. Aku akan bertemu lagi denganmu besokdi sini pada saat yang sama.” Dan ia pun pergi.

Sekali lagi, anak-anak itu berkumpul bersama di malamhari, sekarang sambil memperhatikan kapal-kapal nelayanmerayap di Sungai Neva yang dipenuhi es, bungkah-bungkah esyang memecah, lampu-lampu dari kapal-kapal yang berkedip-kedip. Melihatnya sambil merasakan kesunyian kota di malamhari, siapapun akan mengira semuanya baik, semuanya benar.

Di pagi hari, mereka menyebar untuk bekerja di jalanan,mencari makan. Ada banyak yang seperti mereka pekerjaannya.“Sama saja seperti di Moskow, hanya lebih indah,” kata Alexkepada Kostia.

“Kamu akan lihat,” sahut Kostia. “Di dunia ini semua samasaja. Apa yang membuatmu berpikir bahwa di tempat lain akanberbeda? Lenigrad seperti Moskow, hanya lebih kecil dan lebihmenarik. Di selatan juga seperti di utara, hanya lebih hangat.Ini masih di dunia dan begitulah adanya.”

“Tidak,” jawab Alex. “Kukira tidak demikian. Ini karenaRevolusi dan perang saudara, juga karena kelaparan, karenaTsar dan kaum Bolshevik. Itulah yang menyebabkan megapa disini begitu buruk.”

“Tetapi, bukankah di negara lain juga ada yang demikian?”

“Tidak.” Alex selalu terkejut pada apa yang tidakdiketahui oleh anak-anak yang tidak pernah bersekolah ini.“Hanya di Rusia yang ada semua itu. Namun tak ada yang tersisalagi untuk anak-anak. Terlalu banyak anak-anak seperti kitayang harus diurus oleh pemerintah.”

“Aku tidak ingin diurus oleh pemerintah,” bantah Kostia.“Baiklah, nanti kita lihat, siapa yang benar.”

Menjelang sore hari, mereka semua kembali ke dermagauntuk menunggu Basil. Alex sudah tak sabar lagi. Ia merasa adasebuah jam besar tergantung di atas kepalanya yang terusberdetik sepanjang sore itu. Ketika waktu yang dijanjikanBasil sudah berlalu, anak-anak semakin gelisah.

“Saudara gurumu itu tidak lebih baik dari pemerintah,”kata Leon. “Ia bekerja untuk mereka. Apa yang kau harapkan?”

Alex tidak menjawab.Lalu tiba-tiba Basil datang dengan terburu-buru. “Maafkan

aku,” katanya. “Polisi membawa tahanan di pelabuhan. Kukiralebih baik menunggunya.” Lalu ia berkata, “Dapatkah akumempercayai kalian semua? Kalian harus mengerti, aku beradadalam bahaya jika kalian tertangkap … jika salah seorang darikalian memberitahukan keterlibatanku.” Lalu lanjutnya, “Adabanyak yang seperti kalian, yang juga ingin pergi. Kalau akutidak di sini, lebih sedikit yang dapat pergi. Kita semuaharus saling membantu. Sekarang, siapa yang akan pergi?”

Setengah lusin tangan teracung. Lalu satu demi satu, lalutiga lagi, dan dua lagi. Lalu Leon berkata, “Ah, aku pun takingin meninggalkan kelompok,” dan mengacungkan tangannya pula.

Alex menepuk punggungnya, namun Basil memandangnya dengantajam. “Kamu yakin?” tantangnya. “Kamu jangan menjadi matarantai yang buruk.”

“Tidak,” jawab Leon. “Tidak akan.”“Baiklah,” kata Basil. “Sekarang, ini yang harus kalian

lakukan. Besok hari Sabtu. Kalian harus pergi ke stasiun pagi-pagi dan naik kereta pertama yang menuju perbatasan utara.Tetaplah di kereta sampai tempat pemberhentian yang terakhir,Oranienbaum. Kalian harus hati-hati. Tempat ini tepat diseberang teluk Finlandia, dan OGPU sedang mencari orang-orangyang melarikan diri. Juga banyak tentara yang pergi keOranienbaum untuk berlibur.”

“Kami akan berhati-hati,” jawab Peter. “Bila kami sudahtiba di sana, apa yang harus kami lakukan?”

Basil memberitahukan apa yang harus mereka lakukan. Laluia mengambil dari dompetnya sebuah pensil pendek dan secarikkertas kusut. Ia menghitung anak-anak itu, lalu menulis 12 daninisialnya, B, dalam huruf yang rapi dan indah. Lalu ia

membuat gambar yang mirip dengan kubah gereja berbentuk bawangdan di dalamnya ada sebuah salib kecil.

“Simpan ini baik-baik,” katanya pada Alex. “dan berikankepada nelayan bernama Nicholai, yang akan kalian jumpai diakhir perjalanan kalian. Kamu akan mengenalinya karenajenggotnya yang berwarna merah dan hitam. Ia orang baik. Iadahulu bersama-sama denganku di seminari.” Kemudian iamenyentuh bahu setiap anak. “Tuhan menyertai kalian,” katanya.

Malam menjelang di Pelabuhan Tuchkov. Kereta-kereta yangterakhir sudah berlalu. Burung-burung camar kembali kesarangnya. Dan anak-anak akhirnya tertidur di atas batu karangketidaktahuan.

Bab 9

Sekali lagi mereka berada di stasiun, sekali lagimenunggu dan berdesakan. Ketika akhirnya kereta datang,sebagian besar anak-anak melompat ke tempat mereka yangbiasanya di bawah gerbong, sedangkan Peter dan Alex memilihmemanjat ke atas gerbong agar mendapat udara yang segar.

Kereta tiba di tempat pemberhentian terakhir sebelummereka mengetahuinya. Anak-anak tetap berdiam di kotak-kotaknya atau di atas gerbong sampai seluruh penumpang telahturun dan para tentara telah berjalan ke rumah penginapan.Lalu, dengan mengikuti petunjuk dari Basil, mereka menyelinapmenyeberangi jalan kereta ke belakang stasiun. Seperti yangdikatakannya, ada sebuah jalan kecil yang memutar sedikit kearah barat laut. Matahari sudah condong ke barat.

Mereka membentuk satu barisan di belakang Peter danmengikuti jalan kecil itu ke sebuah padang yang terbuka. Jalanitu naik dan turun, sunyi dan kosong. Kata Basil, sekitar limamil panjangnya. Di kejauhan, tampak burung-burung camar danangin laut berhembus dari sana. Teluk Finlandia pasti terletakdi sana, pikir Alex.

Sekarang, di sepanjang jalan yang berdampingan denganpadang itu, mereka mendengar suara orang berbicara dan derapkaki. Lalu mereka melihat sebuah kereta kuda dengan enam orangtentara di atasnya sedang berbicara dan tertawa.

“Menunduk!” bisik Peter, dan semuanya bertiarap di antararerumputan kering yang bercampur selapis salju sementara paratentara itu lewat dengan perlahan. “Diamlah,” perintah Peter.“Mungkin ada yang lainnya.”

Anya kelelahan dan Alex menggendongnya di atas bahunya.Dia menjadi lebih tinggi di antara semuanya, dan kemudianberkata, “Ada beberapa rumah di sana. Dapatkah kalian

melihatnya?” Semenit kemudian mereka dapat melihatnya danpergi ke sana melalui semak-semak.

“Itu pasti tempatnya,” kata Peter. “Ada tiga rumah kecildi sana, seperti kata Basil.”

Sekali lagi, Alex disuruh menemui orang di sana. Merekamengawasi ketika ia menyeberangi jalan dan mendekati bangunan-bangunan beratap ilalang itu. Ia sudah diawasi. Seorang lelakikeluar dari rumah kecil yang pertama. Tinggi dan berbadankekar, memakai pakaian nelayan yang tebal, ia menunggu didepan pintu. Alex sangat takut dan bimbang. Ia mencari cirikhas yang dapat menentukan bahwa orang itu adalah Nicholai,tetapi ia tidak cukup dekat.

“Ada apa, kamerad?” tanya lelaki itu. Terlambat untukberbalik lagi. Alex pun mendekat dan setelah dekat, janggutlelaki itu dapat dilihatnya dalam keremangan cahaya senja,setengah merah, setengah hitam.

“Saya Alex,” katanya. “Apakah anda Nicholai?”“Mungkin,” jawab lelaki itu. “Mungkin juga bukan. Mengapa

kamu bertanya?”“Karena jika anda benar Nicholai, saya membawa surat dari

Leningrad untuk anda.”Lelaki itu memandang dengan gugup ke kanan dan ke kiri.

Jauh di kaki bukit, teluk tampak gemerlapan di bawah langityang dingin. Cahayanya semakin cepat sekarang. “Masuklah,”katanya. Dengan cepat Alex mengikutinya masuk ke rumah kecilitu dan lelaki itu menutup pintu dan jendela. Ia menyalakansebuah lampu minyak, lalu memeriksa catatan itu. “AkuNicholai,” katanya. “Mana yang lainnya?”

“Di seberang jalan di balik semak-semak.” Alex tampakbegitu merindukan kehangatan dan tempat tinggal di gubuk yangsederhana ini.

“Jemput mereka, sedikit demi sedikit. Aku akan memberikantanda bila pantai aman. Kita harus hati-hati. Kadang-kadangtentara datang berjalan-jalan.”

Setelah diberi tanda, Alex berlari menyeberangi jalanandan masuk ke semak-semak. “Keadaan baik!” bisiknya, tetapi iamerasa berteriak. Sekarang sebuah suara bising di kejauhanmemberitahukan adanya kereta tentara lain. Nicholai yangberdiri di ambang pintu, melambai kepada mereka.

“Selamat berlibur, kamerad,” teriaknya sambil tersenyum.Tetapi, ketika mereka telah lewat, wajahnya kembali serius. Iamengawasi mereka pergi, mengumpat, lalu memberikan tanda. Alexmendorong Anya dan Leon ke jalan mereka. Mereka menyeberangijalan dan masuk ke rumah. Kemudian, dua orang setiap waktu,sampai Alex dan Peter akhirnya bergabung dengan merekakembali.

Nicholai mengamati kelompok ini yang sudah berkumpuldalam ruangan kecil. “Mula-mula Basil mengirimkan satu orang,lalu dua, kemudian tiga. Sekarang lihat! Berapa banyak? Duabelas? Baiklah, ada dua belas bulan, dua belas murid Yesus,mengapa tidak dua belas anak gelandangan!” Ia berjalan keperapian, tempat air sedang dipanaskan, dan membuat “kopi”dari gandum tanah. Mereka bergiliran minum cairan panas darimangkuk-mangkuk kaleng. Ke dalam panci di belakang api,Nicholai memasukkan beberapa butir kentang untuk dimasak.

Alex terharu dengan apa yang sedang terjadi. Setelahberbulan-bulan, baru kali ini seorang lelaki dewasabertanggung jawab akan keselamatannya, menyediakan makanan dantempat tinggal. Anya tertidur dengan kepalanya di lututnya. Iaterkejut ketika menyadari air mata yang mengalir di wajah Anyaadalah air matanya.

Mula-mula Nicholai hanya berbicara sedikit, hanya untukmemperingatkan mereka agar tidak ribut. Setelah ia membagi-bagikan kentang rebus, ia berkata, “Aku dikenal di tempat inisebagai nelayan yang penyendiri dan pemarah. Aku dikira orangyang hidup sendiri. Kalian tidak boleh menyebabkan kaliansendiri dan aku dalam bahaya dengan membuat keributan. Kalauada orang mendekat, kalian harus bersembunyi di sini,” dan iamengangkat sebuah pintu rahasia di lantai. “Dan dengan cepat.”

Mereka kelelahan dan melupakan kegembiraan merekasehingga Nicholai tak perlu berkata lagi untuk menyuruh merekatidur di lantai. Nicholai sendiri tetap berjaga dengan mataterbuka sepanjang malam.

Menjelang dini hari, kadang-kadang suara mendentam diluar membangunkan semuanya. Lalu terdengar suara benda beratyang diseret. Anak-anak bersiap-siap memasuki pintu rahasia,namun Nicholai memberi tanda agar mereka tetap di tempatnya.Mereka berkumpul dengan mata membelalak dan ketakutan apabilapintu dibanting. Kemudian Nicholai berkata, “Mereka parapenyelundup alkohol. Mereka memakai gubuk yang lain sebagaimarkas. Mereka akan berangkat malam hari, tetapi kita harustetap diam sepanjang hari. Sekarang, kembali tidur.”

Siang itu dilewatkan dengan tidur dan beristirahat dengantenang di rumah kecil itu. Nicholai pergi keluar agar hidupnyatampak seperti biasa. Sebelum ia pergi, ia menggiring anak-anak ke ruang bawah tanah yang sempit, pengap, dan dingin.Tetapi ketika ia kembali, ia membawa seikat ikan yangdimasaknya di atas api dan memberikannya kepada anak-anakdengan air teh. Seperti yang diperkirakan olehnya, ketikamalam menjelang suara dentaman terdengar lagi, dan suaragerobak yang ditarik ke rumah. Lalu suara ringkik kuda dan

gemeretak gerobak yang menandakan keberangkatan parapenyelundup.

“Bagus!” kata Nicholai. “Aku akan mengatakan yangsesungguhnya; ketika mereka tiba kukira mereka sudah mengambilwaktu yang buruk. Tetapi kupikir sekarang mungkin itu adalahjawaban untuk permasalahan kita. Kalian lihat, perahukuterlalu kecil untuk kalian semua, tetapi perahu penyelundupbesar, dengan sisi-sisi yang tinggi untuk melindungi muatan.”

Ia mengisi sebuah termos dengan air segar, meletakkansedikit roti di karung kanvas, membawa keranjang memancingnya,dan berkata, “Mari. Sekarang kita akan mencobanya.”

Di kegelapan mereka mengikuti Nicholai turun ke tepianyang berpasir. Di pinggir airnya tampak lempengan es yanggemerlapan tertimpa cahaya bulan, saling bertabrakan antaralempeng yang satu dengan lainnya. Mereka bersembunyi di semak-semak sementara Nicholai mengamati situasi. Sebuah perahunelayan kecil berlabuh ke tepi pantai dan di dekatnya adasebuah perahu yang lebih besar. Nicholai melemparkanperlengkapannya ke sana.

Ia baru saja akan mengacungkan tangannya memberi tandaketika dua tentara tampak, berjalan menyusuri pantai. Ketikamereka melihat Nicholai, mereka berhenti untuk menyapanya,“Memancing di malam hari, kamerad?” tanya seorang tentara.

“Bukan,” jawab Nicholai, sambil berpura-pura sibuk dengantali perahunya. “Hanya mengamankan perahuku. Semalam perahukuhanyut karena esnya mencair.”

“Es-nya mulai pecah,” sahut tentara yang satu lagi.“Salah seorang dari kelompok kami mencoba berjalan di atasnyasemalam setelah minum vodka. Kami masih mencairkannya.” Merekatertawa terbahak-bahak.

Akankah mereka pergi? pikir Alex.“Kami seharusnya sedang berlibur,” kata tentara yang

pertama, “tetapi kami akan mendapat penghargaan jika kamimenangkap orang-orang yang melarikan diri. Kadang-kadang kamimenarik mereka seperti ikan, tetapi di cuaca seperti ini takbanyak yang mencobanya.”

“Aku dapat mengerti,” jawab Nicholai. “Sukar melaluilautan bila sebagian masih berupa es.”

Akhirnya tentara itu membalik dan mulai menyusuri pantailagi.

“Semua sama,” yang satu menyahut, “tetap berjaga. Andabisa datang ke asrama dan melapor. Kami ingin melihat bahwapenduduk soviet mengetahui kerajinan anda.”

“Terima kasih, kamerad,” jawab Nicholai.Di semak-semak, anak-anak menjadi kaku karena kedinginan

dan kecemasan. Nicholai menyuruh mereka berlari-lari kecil di

pantai sebelum ia mulai mengatur keberangkatan mereka. “Kitaharus mendorong perahu-perahu di atas es ini sedikit, tetapikalian harus hati-hati. Doronglah lebih jauh hingga sampai keperairan. Aku akan pergi dahulu, mendorong perahu yang besarbersama Peter dan Kostia. Alex, kamu mendorong perahu yanglebih kecil dengan Leon.” Ia mengangkat Anya dan memasukkannyake perahu yang lebih kecil. “Yang lainnya akan mengikuti daribelakang. Jangan bergerombol.”

Dengan diterangi hanya oleh sinar bulan dan bintang,Nicholai, Peter, dan Kostia mendorong perahu penyelundup yangbesar melalui lempengan es yang keras ke tempat yang es-nyamulai mencair. Lalu Nicholai kembali dan membantu yanglainnya. Ia mendorong perahu yang lebih kecil hingga denganhati-hati perahu itu memecah es dan mencapai perairan. Anyatersentak. “Keluarkan aku!” teriaknya. “Aku tak ingin pergi kelaut.”

“Diam!” perintah Nicholai sambil menepukkan tangannya kemulut Anya. “Kamu mau memberitahukan ke seluruh dunia kamu adadi sini? Baiklah. Ini beberapa teman untukmu.” Dan iamengangkat dua dari anak yang lebih kecil ke dalam perahu.Lalu ia meraih seutas tali di haluan dan mengikatnya padaburitan perahu yang lebih besar. “Yang lainnya, harapperhatikan sekarang,” katanya dan mulai memuat mereka diperahu yang lebih besar. “Berhati-hatilah sekarang. Anaklelaki yang paling ringan di depan, kemudian berikutnya, danseterusnya. Semuanya harus bersiap memegang bagian sampingperahu ketika perahu mulai memecah es.” Es mulai pecah ketikatiga anak lelaki dimasukkan, dan yang lainnya langsungmelompat ke perahu sebelum air membasahi kaki mereka.

Sekarang Nicholai menarik tali dan meraih perahu yanglebih kecil, sambil memindahkan tiga anak kecil ke perahu yanglebih besar dan menutupi mereka dengan karung-karung. Iamemberikan kepada Alex dan Peter sepasang dayung dan mengambildayung yang lain untuk dirinya. “Kita pergi ke arah sana.” Iamenunjuk. “Kita akan memakai bintang sebagai penunjuk. Kitaakan pergi ke arah utara dan timur. Sekarang, lihatlah lampudi asrama tentara. Dayunglah menjauhinya.”

Meskipun Peter dan Alex belum pernah memegang dayung,dengan cepat mereka memahami iramanya. Mereka mendayungbersama, dan perahu bergerak melawan angin dan air yang deras,memecah ombak yang besar. Setelah mencapai tengah laut, anak-anak yang masih kecil tertidur. Suara yang terdengar hanyalahsuara kayuhan dayung dan suara pukulan ombak ke sampingperahu.

Kepala Alex dipenuhi oleh banyak pemikiran. MeninggalkanRusia! Betapa terkejutnya ia dahulu ketika hal ini pertama

kali disebutkan oleh Katriana! Katriana. Basil mengatakanbahwa dia sudah benar-benar meninggalkan Rusia. Finlandia! Apayang akan mereka temukan di sana? Akankah ia bertemu dengankeluarganya kembali?

“Seperti apa nantinya, menurutmu, Peter?” tanyanya dengansuara nyaring.

Peter hanya mengangkat bahu. Alex telah memperhatikanbagaimana Peter semakin pendiam sejak meninggalnya Miska.Memang, kadang-kadang Peter masih memimpin mereka, tetapi iakini lebih banyak berdiam diri.

Tiba-tiba di malam yang gelap tampak seberkas cahayaterang dan mendekati mereka dengan cepat. “Diam,” Nicholaimemperingatkan. “Peter dan Alex, masuklah ke dalam karungseperti yang lainnya! Jangan ada yang berbicara.”

Cahaya itu mendekat dan ternyata berasal dari lentera dihaluan kapal yang dikemudikan oleh tentara.

“Berhentilah untuk pemeriksaan,” panggil seorang tentara.“Ahoy, kamerad,” jawab Nicholai. “Aku senang bertemu

anda. Dapatkah anda menunjukkan arah ke darat. Aku kehilangankompas.”

“Ya? Bagaimana mungkin nelayan sampai kehilangan kompas?Dan mengapa anda memancing malam-malam begini?”

“Aku ketiduran dan hanyut,” kata Nicholai dengan wajahtak bersalah.

“Kami harus memeriksa perahumu,” kata tentara itu.“Sekarang banyak penyelundupan, dengan memakai perahu sepertiini.”

Nicholai tertawa. “Penyelundup! Aku! Aku ini kuat benar,”katanya, “memangnya aku ini kelihatan cukup kuat mendayungperahu penuh hantu ini menyeberangi teluk sendirian? Aku tidakakan sampai ke rumah hingga hari Jumat depan.” Lalu ia tertawalagi.

Di bawah karung anak-anak gemetar ketakutan, dan Alexmemegangi Anya agar tidak meronta. Tentara itu baru saja akanmelompat ke perahu Nicholai ketika panggilan dari atas dekmenghentikannya.

“Jangan buang waktu,” kata seorang petugas. “Perlu empatorang untuk mendayung perahu yang penuh dengan hantu, duaorang paling sedikit.” Lalu sambungnya. “Pantai ke arah sana.Lebih baik tetap terjaga, kamerad, kalau tidak ingin bergabungdengan ikan-ikan di laut.”

Peter dan Alex kembali mendayung segera setelah kapaltentara itu menghilang dari pandangan, tetapi mereka tampakgugup dan waspada. Ketika mereka telah mendayung sekitar duajam dan semua tangannya sakit, Nicholai memanggil yanglainnya. Mereka meletakkan dayung di atas perahu dan percikan

airnya jatuh ke wajah anak-anak yang sedang tidur. Merekaterbangun dan bertanya, “Di mana kita?” Nicholai memberimereka seteguk air dan seiris roti.

“Apa yang terjadi pada kami ketika tiba di Finlandia,Nicholai?” tanya Ivan.

“Ada orang-orang di sana yang akan mengurus tempattinggal dan makanan kalian sampai kalian bisa memutuskansendiri apa yang akan dilakukan. Beberapa keluarga ada diFinlandia. Beberapa di antara kalian mungkin akan tinggal.Mungkin juga bepergian lebih jauh lagi … ke Polandia, keJerman, ke Inggris, bahkan ke Amerika.”

“Mengapa anda tidak pergi, Nicholai?” tanya Alex.“Suatu hari, mungkin, tetapi sekarang ini aku seorang

nelayan, dan masih banyak pekerjaan memancing yang harusdilakukan.”

“Bagaimana caramu membawa kembali kedua perahu ini?”Peter sekarang bertanya, setelah lama berdiam diri.

“Aku hanya akan membawa pulang yang kecil,” kataNicholai, “karena aku harus kembali dini hari agar semuanyatampak seperti biasanya. Jika perahu penyelundup hilangbersama dengan aku, mereka bisa menghubungkan aku dengan parapenyelundup. Juga terlalu makan banyak waktu untuk mendayungperahu yang besar sendirian, meskipun bisa saja dilakukan.Sesungguhnya aku berharap bisa menggunakannya lagi. Adapenutup bagus di bawah gubukku tempat aku bisamenyembunyikannya. Dan para penyelundup itu, tampaknya merekaharus mencari perahu baru.”

Alex berpikir. Ia dulunya calon pendeta yang belajar diseminari, tetapi sekarang ia berpikir seperti seorang pencuri… seperti kami.

Sekali lagi, dengan tangan yang pegal mereka mulaimendayung lagi. “Sudah tidak jauh lagi,” kata Nicholai memberisemangat. “Teruskan.”

Tak lama kemudian, ia berkata, “Sekarang berputar. Lihatcahaya di titik sana? Itu Finlandia. Pantainya ada di sisiyang akan kita tuju. Ini.” Ia meraih ke dalam keranjangpemancingnya dan mengambil sebatang lilin dan korek api.“Setelah kamu mendekat,” katanya, “nyalakan lilin ini dengankorek api. Pegang tinggi-tinggi. Jika kamu melihat ada cahayalagi sebagai jawaban, ikutilah arah cahayanya. Beberapa orangyang berjaga-jaga setiap malam akan menghampiri – meskipunmereka akan terkejut melihat betapa banyaknya kalian.” Setelahbeberapa menit mendayung, ia meletakkan dayungnya di kapal danberdiri di atas perahu.

“Selamat tinggal, teman-temanku. Aku masih harusmendayung agar tiba kembali sebelum siang, maka aku harus

mulai berangkat lagi. Kalian dapat menyelesaikan sisanyadengan mudah. Ini.” Ia menyerahkan dayungnya kepada Kostia danIvan. “Cobalah, kalian berdua.” Mereka pindah ke tempatduduknya. Kalian tahu apa yang harus dilakukan,” katanyasambil memandang Peter dan Alex. “Tuhan beserta dengankalian.” Lalu ia melangkah dari perahu yang lebih besar keperahu nelayannya yang kecil, melepaskan ikatan talinya, danmelambaikan tangannya untuk berpisah, kembali ke jalan yangtelah mereka lalui.

Anak-anak terkejut dengan gerakannya yang cepat.“Tunggu,” panggil Alex. “Kami harus … harus berterima kasih.Kami harus …”

“Dayunglah lurus dan kalian akan berterima kasihkepadaku,” sahut Nicholai.

Titik itu tampak semakin dekat. Lempengan es mulaimemecah terkena perahu. Tiba-tiba Peter yang pendiam kembalimenjadi Peter yang biasanya. “Oke. Sekarang kita nyalakanlilin ini,” perintahnya.

Ia mengambil lilin dan korek api serta menyalakannya.Semua anak-anak sekarang terjaga, mereka menjulurkan kepalanyake atas sisi perahu itu dan mengarahkan pandangannya kepantai, ketika Peter memegang lilin itu tinggi-tinggi. Merekamemandang ke arah kegelapan menunggu cahaya jawaban.

“Berapa lama lilin itu dapat menyala?” tanya Leon.“Tidak tahu,” jawab Peter. Cahaya lilin itu bergerak-

gerak ditiup angin.Dan akhirnya, seberkas cahaya tampak di pantai, di tempat

yang dikatakan oleh Nicholai. Cahaya itu bergerak dari kiri kekanan. Seseorang memberikan isyarat. Peter menggerakkanlilinnya ke arah yang sama. “Kemarilah sekarang,” katanya.“Ayo kembali mendayung.”

Sekarang lebih berat, tanpa tangan Nicholai yang kuat,meskipun Kostia dan Ivan sudah bekerja keras mendayung.Lempengan es sangat besar dan membuat perahu melambat. Namun,anak-anak lelaki itu masih bisa mendayung ke pantai sebelumperahu itu terperangkap di dalam es dan tidak bisa bergeraklagi.

“Keluar!” kata Peter. “Satu per satu. Berpegangan tangandan mulai berjalan ke arah cahaya itu. Pergilah!” Ia berdiridan meletakkan Anya di atas es. Yang lain mengikuti, Leonmendahului sampai mereka membentuk barisan, bergerak ke arahpantai, yang es-nya lebih padat.

Kostia dan Ivan keluar, kemudian Alex. “Ayo, Peter,” ajakAlex, sambil menahan perahu untuknya.

“Tidak,” jawab Peter lambat. “Aku tidak ikut.”“Apa?” teriak Alex.“Aku akan kembali dan … dan memancing bersama Nicholai.“Kamu tidak tahu apa pun tentang memancing.”Peter tertawa, dan tawanya ini terdengar hangat dan baik

untuk Alex karena terdengar seperti Peter. “Aku tahu mengenaimemancing yang ini. Aku akan kembali ke Moskow, mengajak anak-anak yang lain dan membawanya kepada Nicholai. Kukira aku akanmenjadi penghubung.” Ia terlihat bahagia untuk pertama kalinyasejak peristiwa menyeramkan di selatan. “Bergembiralah,”katanya.

“Tapi Peter, akankah kamu kembali kepada kami?”“Mungkin. Jika kami sudah memancing semua ikan di laut.”Sekali lagi Alex merasakan kepedihan karena perpisahan

yang sudah semakin dikenalnya sebagai kepedihan yang palingmenyakitkan, kepedihan yang sangat melukai dan tetap terasasakitnya.

“Jangan, Peter,” bujuknya. “Pergilah bersama kami. Kitaadalah satu … satu keluarga.” Hidup terasa berhenti lagi.

“Ya,” kata Peter. “Dan aku kembali bagi yang anggotakelurga yang lain. Do svidanya. Katakan itu kepada mereka semuauntukku.” Dan dengan sebuah tarikan dayung yang kencang, iameluncurkan perahu ke teluk, dan menghilang cepat ke dalamkabut.

Apakah kabut itu di atas air atau di mata mereka? Alexdan yang lainnya mulai berjalan dengan hati-hati melintasi eske arah daratan, menoleh dan mencoba melihat Peter dikejauhan, mereka tidak lagi merasa dingin atau lapar, karenakepedihan yang lain begitu kuat.

Sekarang mereka dapat melihat anak-anak di pantai, danyang lainnya, mungkin tiga atau empat orang dewasa. Suaramereka terbawa oleh es. Alex mendengar seseorang berbicaradengan aksen Rusia. “Tangkapan besar! Berapa ikan yang kitadapat malam ini? Ikuti kami, ikan.”

Ia melihat seseorang membentangkan dan membungkus Anyadengan selimut. Lalu ia mendengar suara seorang wanita,berbicara bahasa Rusia dengan sempurna. “Toivo, tolong gendonganak perempuan kecil ini.”

Dan Anya memprotesnya dengan suaranya yang ternyaring,“Aku bisa berjalan seperti yang lainnya.”

Ada sesuatu di suara wanita itu yang membuat jantung Alexserasa melompat dari dadanya. Lalu wanita itu menoleh,melihatnya, dan Alex memegang tangannya.

Sekali lagi, hidup dimulai.

T A M A T

Jakarta, 7 September 2007

Diterjemahkan oleh :

CATHERINE NATALIAEmail: [email protected]

Dari:

The Wild ChildrenBy Felice Holman

Published by Charles Scribner’s SonsReader’s Digest Condensed Books

Volume 1, 1985