68
FALSAFAH KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM, DAN PENEGAKAN HUKUM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai suatu instrumen yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan melekat pada setiap kehidupan sosial masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa adanya aturan hukum, maka kehidupan masyarakat akan tercerai-berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial yang harmonis. Narma hukum dapat berupa sebagai suatu perintah ataupun larangan yang bertujuan agar setiap individu

FALSAFAH KEADILAN WIRA

Embed Size (px)

Citation preview

FALSAFAH KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM,

DAN PENEGAKAN HUKUM

BAB  I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Hukum sebagai suatu instrumen yang keberadaannya

sangat dibutuhkan dan melekat pada setiap kehidupan

sosial masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan

menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa

adanya aturan hukum, maka kehidupan masyarakat akan

tercerai-berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu

kesatuan kehidupan sosial yang harmonis.

Narma hukum dapat berupa sebagai suatu perintah

ataupun larangan yang bertujuan agar setiap individu

anggota masyarakat dalam melakukan sesuatu tindakan yang

diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan bersama atau

sebaliknya agar masyarakat tidak melakukan suatu tindakan

yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat itu

sendiri. Jika tindakan yang diperintahkan itu tidak

dilakukan atau dengan kata lain suatu larangan dilanggar

maka keseimbangan harmoni masyarakat akan terganggu.

Karakteristik hukum sebagai norma atau kaidah selalu

dinyatakan berlaku secara umum dan universal yang dikenal

dengan asas equality before the law persamaan di depan hukum

untuk siapa saja dan dimana saja dalam wilayah negara

tanpa membeda-bedakan dari segi apapun atau tidak berlaku

secara diskriminatif kecuali jika dalam pelaksanaannya

ada oknum aparat penegak hukum dalam struktur hukum telah

memberlakukan hukum itu sendiri secara diskriminatif.

Dewasa ini masalah penegakan hukum merupakan suatu

persoalan yang sering dihadapi oleh setiap masyarakat.

Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan

karakteristiknya masing-masing mungkin memberikan corak

permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan

hukumnya. Namun demikian setiap masyarakat mempunyai

tujuan yang sama agar didalam masyarakat tercapai

kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang

formil.

Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu

pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat

eksteren dan dilain pihak terdapat ketentraman pribadi

interen. Demi tercapainya suatu ketertiban dan kedamaian

maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi

seseorang agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap

orang lain. Jika kepentingan itu terganggu maka hukum

harus melindunginya serta setiap ada pelanggaran hukum.

Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakan

tanpa membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum

secara diskriminatif.

     Dengan demikian, dalam upaya untuk menjaga

ketertiban kehidupan bermasyarakat maka hukum harus

ditegakan ditandai bahwa setiap kejahatan dan pelanggaran

terhadap hukum harus mendapatkan sanksi sesuai dengan

tingkat kejahatan dan pelanggaran itu sendiri. Sanksi

terdiri atas berbagai macam bentuk yang bertujuan

memberikan keadilan tidak saja kepada korban tetapi juga

sebagai tata nilai yang merekatkan tatanan kehidupan

bermasyarakat.

       Selain keadilan, tujuan lain dari hukum yaitu

adanya kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun keadilan

adalah tujuan yang tertinggi dari hukum. Kepastian hukum

adalah bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan

keadilan. Dengan kepastian hukum setiap perbuatan yang

terjadi dalam kondisi yang sama akan mendapatkan sanksi.

Adapun kemanfaatan dilekatkan pada hukum sebagai alat

untuk mengarahkan masyarakat yang tentu saja tidak boleh

melanggar keadilan.

                   Dalam praktek penegakan hukum yang sedang

berlangsung saat ini, pengutamaan nilai kepastian hukum

lebih menonjol dibanding dengan rasa keadilan dan

kemanfaatannya. Dengan demikian apabila hukum lebih

mengutamakan kepastian hukum maka dengan sendirinya

penegakannya akan menggeser nilai-nilai keadilan dan

kemanfaatan hukum demikian pula sebaliknya. Sehingga

dalam penerapannya banyak terjadi permasalahan-

permasalahan yang berkaitan dengan masalah penegakan

hukum dimana masyarakat merasa kecewa dengan adanya suatu

putusan hakim yang dinilai mencederai rasa keadilan

masyarakat dan hanya mementingkan penegakan hukum secara

prosedural semata.

           Oleh karena itu pentingnya memahami hakikat

tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan

dalam rangka penegakkan hukum untuk mewujudkan rasa

keadilan dengan adanya jaminan kepastian hukum dan

memberikan manfaat bagi masyarakat sehingga kepercayaan

masyarakat terhadap hukum dapat tetap terjaga dalam

menjaga ketertiban di masyarakat.

B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di

atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah

ini adalah sebagai berikut :

 1.   Bagaimanakah falsafah keadilan, kepastian

hukum dan penegakan hukum ?

2.   Bagaimanakah penegakan hukum yang

berkeadilan dan menjamin kepastian hukum ?

C.  Tujuan dan Manfaat

1.   Tujuan penulisan

               Tujuan penulisan makalah ini adalah :

a).     Untuk mengetahui bagaimanakah falsafah

keadilan, kepastian hukum dan penegakan hukum.

b).     Untuk mengetahui bagaimanakah penegakan

hukum yang berkeadilan dan menjamin kepastian

hukum.

2.   Manfaat Penulisan

                  Manfaat penulisan makalah ini

memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian ilmu hukum

pidana serta dapat menjadi bahan referensi kepada

mahasiswa, masyarakat dan praktisi hukum khususnya

tentang falsafah keadilan, kepastian hukum dalam

kaitannya dengan penegakan hukum.

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Konsep Keadilan

         Teori-teori hukum alam sejak Scorates tetap

mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori

hukum alam mengutamakan the search for justice.[1]  Terdapat

macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang

adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan,

peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara

teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles

dan teori keadilan sosial John Rawl.

      1. Teori Keadilan Aristoteles

           Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan

bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics,

politics,dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean

ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang

berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti dianggap

sebagai inti dari filsafat hukumnya karena hukum hanya

bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.[2] Yang

sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa

keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.

                   Namun Aristoteles membuat pembedaan

penting antara kesamaan numerik dan kesamaan

proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap

manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa

kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan

ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di

depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa

yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,

prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini

Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan

perdebatan seputar keadilan.

                   Lebih lanjut Aristoteles membedakan

keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan

korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang

kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan

distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap

problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami

dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif,

hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata

diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua

yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang

disebabkan oleh, misalnya pelanggaran kesepakatan,

dikoreksi dan dihilangkan.

                   Keadilan distributif menurut Aristoteles

berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-

barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis

jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah

distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan

nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil

boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai

kebaikannya yakni nilainya bagi masyarakat.[3]

                Di sisi lain, keadilan korektif berfokus

pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu

pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka

keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang

memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan

telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu

diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan

akan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang sudah

mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas

membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini

nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah

peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan

bidangnya pemerintah. [4]

                   Dalam membangun argumennya, Aristoteles

menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang

mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan

pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang

berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum

tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur-adukkan dengan

pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam

undang-undang dan hukum adat. Karena berdasarkan

pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu

dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada

komunitas tertentu sedangkan keputusan serupa yang lain,

kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap

merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah

umum manusia.[5]

      2. Keadilan Sosial menurut John Rawls

                   John Rawls dalam bukunya a theory of

justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference

principledan the principle of fair equality of opportunity. Inti the

difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan

ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling

besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.

                   Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam

prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek

seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan,

pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair

equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling

kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek

kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang

harus diberi perlindungan khusus.

                   Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-

prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori

utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan

Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang

diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang

akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan

demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga

berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari

apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh

jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum tetapi

tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama

diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung

dalam masyarakat.

                   Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan

harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga

paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling

lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi.

Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum

bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi

masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan

untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi

golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat

pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.

Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang

yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini

semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit,

agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus

ditolak.

                   Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa

maka program penegakan keadilan yang berdimensi

kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan

yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang

sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali

kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal

benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari

kelompok beruntung maupun tidak beruntung.[6]

                   Dengan demikian, prinsip perbedaan

menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian

rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama

kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi

keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini

berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua

hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap

kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan

menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan

politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus

memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan

kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang

dialami kaum lemah.

B.   Aliran Positivisme

         Positivisme adalah aliran sejak awal abad ke 19

amat  mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang

ilmu tentang kehidupan manusia terutama dalam kajian

bidang hukum. Aliran positivisme mengklaim bahwa ilmu

hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang

kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang mestinya

tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka

yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-

kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-

undangan. [7]

         Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau

dipositifkan sebagai norma dan tidak pernah

dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan

atau dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala

ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam

bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi. [8]

         Legal positivisme memandang perlu untuk

memisahkan secara tegas antara hukum dan moral, hukum

bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal.

Dalam kacamata positivisme tidak ada hukum kecuali

perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme

menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.

Hukum dipahami perspektif yang rasional dan logis,

keadilan hukum bersifat formal dan prosedural.

         Secara umum legal positivisme merupakan suatu

aliran yang melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan

teori hukum kodrat yang mengutamakan kekuatan moral yaitu

hidup sesuai dengan hukum yang tertulis dalam kodrat

manusia, sementara legal positivisme tidak mempersoalkan

kandungan subtantif yang normatif, etis maupun estetis,

disamping itu juga mengajarkan bahwa hukum positiflah

yang merupakan hukum yang berlaku dan hukum positif

disini adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun

oleh otoritas negara. [9]

         Diantara ajaran positivisme yang terpenting

adalah ajaran hukum positif yakni analytical

jurisprudence (ajaran hukum analitis) oleh Jhon Austin dan

Teori hukum murni menurut Hans Kelsen.

      1. Teori Hukum John Austin

                   Menurut ajaran ini hukum adalah perintah

penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur

perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang

tetap, logis dan tertutup. Dimana hukum dibagi dalam dua

jenis yaitu hukum dari tuhan untuk manusia dan hukum yang

dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia

dibedakan menjadi hukum yang sebenarnya dan hukum yang

tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya (hukum positif)

mempunyai empat unsur yaitu perintah, kewajiban, sanksi

dan kedaulatan. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum

yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. [10]

      2. Teori Hukum Murni Hans Kelsen

                   Pembahasan utama dalam teori hukum murni

adalah membebaskan ilmu hukum dari unsur-unsur ideologis

misalnya keadilan dipandang sebuah ide yang tidak

rasional, dan teori hukum murni, ia mempertahankan, tidak

bisa menjawab pertanyaan tentang apa yang membentuk

keadilan karena pertanyaan ini sama sekali tidak bisa

dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus di identikan

dengan legalitas dalam arti tempat keadilan berarti

memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui

aplikasi kesadaran atasnya.

              Teori hukum murni menurut Kelsen adalah sebuah

teori ilmu hukum positif yang berusaha menjawab

pertanyaan apa hukum itu, tetapi bukan pertanyaan apa

hukum itu seharusnya. Teori hukum murni

mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata dan

berusaha membebaskan ilmu pengetahuan dari campur tangan

ilmu-ilmu pengetahuan asing seperti psikologi dan etika.

Hukum tidak bisa dijadikan obyek penelitian sosial karena

itu obyek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat

diketahui secara teroritis tentang tiap jenis hukum pada

tiap waktu dan dalam tiap keadaan. [11]

C.   Asas Legalitas

         Jika kita berbicara mengenai kepastian hukum

maka terlebih dahulu seyogyanya kita membahas tentang

asas legalitas yang merupakan refleksi dari paham

positivisme, dimana asas tersebut memberikan pengaruh

yang sangat besar dalam penegakan dan kepastian hukum

atau dapat dijelaskan bahwa adanya penegakan hukum yang

merupakan wujud nyata dari kepastian hukum dilaksanakan

berdasarkan berlakunya asas legalitas.

         Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa

Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas.

[12] Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal

extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak

disebut dalam undang-undang. Diantara criminal extra

ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan

durjana/jahat).[13]

            Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini di

adopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang

yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-

wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih

dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.

[14] Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk

menerapkan hukum pidana.

            Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak

negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus

puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa

tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik.

Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi,

yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di

antaranya, berlakunya hukum pidana menurut

waktu (tempus) di samping menurut tempat (locus). Norma ini

sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.

[15]

            Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur

delik yang dilarang tetapi ternyata dilakukan sebelum

berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja

tidak dapat dituntut ke muka persidangan tetapi juga

pihak yang terkait tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih

dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat

dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas

legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.

         Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk

sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali,

artinya tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh

ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun

menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-

muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi

Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris dari Jerman

yang bernama von Feuerbach, yang berarti dikembangkan

pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang

sebagai ajaran klasik.

            Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des

Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach mengemukakan teorinya

mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach

beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha

preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah

mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena

melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan

hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.[16] Oleh

karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.

            Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf

Inggris Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan

adagiummoneat lex, priusquam feriat, artinya: undang-undang

harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum

merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.

[17] Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa

ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan

terlebih dahulu.

             Dalam tradisi sistem civil law, menurut Roelof

H Haveman  ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan

secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law),

retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi.[18]

      1.   Lex Scripta

                   Dalam tradisi civil law, aspek pertama

adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang,

dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-

undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku

(perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa

undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang

dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan

sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa

kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.

                   Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar

penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak

mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting

dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam

tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang

tersebut.

      2. Lex Certa

                   Dalam kaitannya dengan hukum yang

tertulis, pembuat undang-undang (legislatif) harus

merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang

disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes)[19]. Hal

inilah yang disebut dengan asas lex

certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus

mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen

sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu

mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.

                   Perumusan yang tidak jelas atau terlalu

rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan

menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena

warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-

ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman

perilaku.[20] Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar

penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak

mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting

dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam

tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang

tersebut.

                   Namun demikian, dalam prakteknya tidak

selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi

persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang

di terjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku

di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual

dipermasalahkan.[21]

      3. Non-retroaktif

          Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan

peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak

pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif).

Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-

wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi

manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar

undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam

prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat

penyimpangan-penyimpangan.

          Sebagai contoh pada kasus Bom Bali, kasus

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus

Tanjung Priok. Dimana dalam kasus-kasus tersebut asas

legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif.

Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini

dikarenakan karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus

tersebut yang sangat berbeda dengan jenis kejahatan

biasa.

                   Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr.

Romli Atmasasmita, prinsip hukum non-retroaktif tersebut

berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan

pelanggaran hak asasi manusia bukan pelanggaran biasa,

oleh karenanya prinsipnon-retroaktif tidak bisa dipergunakan.

      4. Analogi

                   Seperti disebutkan di sebelumnya, asas

legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa

saja yang dapat dipidana. Namun demikian dalam

penerapannya ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan

interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang

dilarang tersebut.[22] Dalam ilmu hukum pidana dikenal

beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu penafsiran

tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran

sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis

atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran

membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi.

[23]

                   Dari sekian banyak metode penafsiran

tersebut, penafsiran analogi[24] telah menimbulkan

perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua

kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara

ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu

perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan

tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang

berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat

atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga

kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan

lainnya.

                   Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam

analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz

analogiadalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali

tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht

analogiadalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai

kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan

hukum pidana.

                   Beberapa alasan yang menyetujui

dipakainya analogi, di antaranya adalah karena

perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga

hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan

masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa

penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat

menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam

perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini

tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.

[25]

                         Menurut Jan Remmelink, inti dari

penafsiran analogis singkatnya bagi pendukung pendekatan

ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam

batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka

akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru

(hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan

dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang

bersangkutan.[26] Dalam perkembangannya, karena trauma

pada saat pemerintahan Nazi, timbul keengganan yang besar

terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan

Belanda.

        

     

  

BAB III

PEMBAHASAN

A. Falsafah Keadilan, Kepastian Hukum dan Penegakan Hukum

      1. Falsafah Keadilan

                   Falsafah Keadilan merupakan kata yang

berasal dari bahasa yunani yaitu philos yang artinya

cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Dalam

perkembangannya falsafah disebut filsafat yaitu pandangan

hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan

konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.

Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang

yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu

secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan

menyeluruh dengan segala hubungan.

                   Dari pengertian diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa falsafah ialah mencari kebenaran dari

kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang

dimasalahkan, dengan berpikir secara sistematik dan

menyeluruh. Apabila seseorang berfikir demikian dalam

mengahadapi masalah dalam hubungannya dengan kebenaran

maka orang itu telah memasuki falsafah. Penuturan dan

uraian-uraian yang tersusun oleh pemikirannya itu adalah

falsafah-falsafah.

                   Sedangkan keadilan adalah kondisi

kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik

menyangkut benda atau orang serta keadilan merupakan

perkataan yang di agungkan dan di idamkan oleh setiap

orang dimanapun mereka berada. Dari pengertian diatas

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa falsafah keadilan

yaitu kebijaksanaan yang bersifat adil dan diinginkan

oleh masyarakat.

                   Dalam perkembangannya falsafah keadilan

sering dikaitkan dengan salah satu bidang pranata

kehidupan yaitu hukum karena keadilan merupakan tujuan

yang paling utama dari hukum. Problematik bila hukum

ternyata tidak mampu mewujudkan nilai keadilan dalam

kehidupan bermasyarakat. Keadilan adalah tolak ukur baik

buruknya suatu hukum.

                   Pemikiran tentang filsafat hukum dewasa

ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh penerapan

arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari juga

menunjukan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum

sehingga tidak tercapainya keadilan yang di inginkan.

Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi

tidak bermakna karena ditafsirkan untuk mencapai

kepentingan tertentu, hal ini dapat dibuktikan dengan

banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena

kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara

yang sistematik sehingga peradilan tidak mampu menemukan

keadaan yang sebenarnya.

                   Falsafah keadilan adalah untuk mencari

jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rasional

dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai

keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat keadilan tak

pernah selesai terkait dengan persoalan hukum yang selalu

mencari keadilan, hukum dan keadilan adlaah dua hal yang

berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum

dibuat dan ditetapkan adalah agar orang yang berada

dibawah naungan hukum tersebut menikmati dan merasakan

keadilan.

                   Akan tetapi kenyataannya hukum dapat atau

sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini

menimbulkan pertanyaan bagaimana kaitan antara keduanya,

serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling

khas dalam masyarakat untuk menciptakan tata kehidupan

masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk

tujuan keadilan sosial.

                   Peribahasa latin, berbunyi fiat justisia et

pereat mundus (ruat coelum) yang artinya hukum yang

berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus

kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya).

Pribahasa latin tersebut menyiratkan suatu komitmen yang

sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam

kehidupan bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat

untuk menyajikan seperangkat teks keadilan berdasarkan

cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk

meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa

untuk berdaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik

problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat

dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir

dari nilai yang diperjuangkan.

                   Hukum dan keadilan adalah permasalahan

lama akan tetapi selalu menarik pertalian antara

keduanya. Meskipun secara aktual setiap kali kita

dihadapkan dengan sikap kritis terhadap hukum dan

keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan

bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada

dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran

dan hukum, karena hal itu merupakan nilai dan kebutuhan

asasi bagi masyarakat manusia yang beradab. Keadilan

adalah milik dan untuk semua orang serta segenap

masyarakat dan tidak adanya keadilan akan menimbulkan

kehancuran dan kekacauan keberadaan serta eksistensi

masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan

kebencian terhadap orang lain tidak boleh mengakibatkan

sikap yang tidak adil.

                   Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih

luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan

pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang

keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak

mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik, dan

teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai

keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.

                   Namun pada garis besarnya perdebatan

mengenai keadilan terbagi atas dua arus pemikiran, yang

pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh

Plato, kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili

oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya

mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara

menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang

metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah

kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk

hidup dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut

kesadaran manusia berakal.

                   Sifat relativitas keadilan yang

diungkapkan di atas merupakan ragam dalam pemberian makna

secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls

misalnya, teori keadilan sosial bertujuan memberikan

dasar-dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa

pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional,

mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan

menjadi masyarakat pluralistik dengan kepentingan nilai

hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan.

Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu

tidak boleh didasarkan atas suatu nilai hidup tertentu,

melainkan haruslah dikendalikan oleh prinsip yang

menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip

itu adalah keadilan sosial.

                   Konsep keadilan menurut rawls, ialah

suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan

sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan

keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa

orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak

untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya

memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan

memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi

mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.

                   Namun secara umum, unsur-unsur formal

dari keadilan yang dikatakan oleh Rawls pada dasarnya

harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan

nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur

hak dan manfaat ditambah bahwa dalam diskursus hukum,

perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanspa

mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka

nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris juga, di

samping aspek idealnya. Maksudnya adalah diaktualisasikan

secara konkret menurut ukuran manfaatnya.

      2. Kepastian Hukum                  

                   Kepastian hukum merupakan suatu hal yang

hanya bisa dijawab secara normatif berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis, tapi

kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena

mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak

menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam

arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang

ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian hukum

merupakan suatu keadaan dimana perilaku manusia baik

individu, kelompok maupun organisasi terikat dan berada

dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum.

                   Dalam praktek kita melihat ada undang-

undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang

tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika

setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-

undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan

undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan

kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata

terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar

hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang

menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.

                   Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua

sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan

kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan

bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan

dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung

penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa

perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam

praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana

ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang

mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna

sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang

akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.

                   Sedangkan kepastian karena hukum

dimaksudkan bahwa karena hukum itu sendirilah adanya

kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga

daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan

hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin

adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa

akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan

kehilangan sesuatu hak tertentu.

                   Namun demikian, jika hukum diidentikkan

dengan perundang-undangan, maka salah satu akibatnya

dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang

belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan

hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian

juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan

kepastian undang-undang. Apabila kepastian hukum

diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam

proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan

kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.

                   Para penegak hukum yang hanya bertitik

tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam

undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai

rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di

sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup

(living law). Lebih jauh para penegak hukum harus

memperhatikan budaya hukum (legal culture) untuk memahami

sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran

masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang

berlaku.

      3. Penegakan Hukum

                   Penegakan hukum merupakan bentuk nyata

dalam melaksanakan hukum demi mewujudkan keadilan dan

kepastian hukum yang dilaksanakan oleh struktur hukum

yakni aparat penegak hukum terhadap materi atau substansi

hukum itu sendiri bagi para pelanggar hukum.

                   Penegakan hukum (law enforcement) dalam arti

luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan

hukum seta melakukan tindakan hukum terhadap setiap

pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh

subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun

melalui abitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa

lainnya (Alternative despute or conflicts resolution). [27]

                   Dalam pengertian yang lebih luas,

kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas

yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah

normatif yang mengatur dan mengikat pada subjek hukum

dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara

benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan

sebagaimana mestinya. [28]

                   Penegakan hukum dalam arti sempit

menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap

pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan

perundang-undangan, khususnya melalui proses peradilan

pidana yang melibatkan peran serta aparat kepolisian,

kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-badan

peradilan karena itu aktor-aktor utama yang peranannya

sangat menonjol dalam proses penegakan hukum adalah

polisi, jaksa, pengacara dan hakim. [29]

                   Penegakan hukum pada prinsipnya harus

dapat memberikan jaminan kepastian hukum serta manfaat

atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di

samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan

hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian

tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap

berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga

sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis),

belum tentu berguna bagi masyarakat.

                   Dalam pelaksanaan penegakan hukum,

keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak

identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum,

mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap

orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan

siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat

subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil

bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang

lain.

                   Para penegak hukum harus menerapkan hukum

tanpa kehilangan ruh keadilan. Hanya dengan demikian

hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai instrumen

yang diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan

tatanan kehidupan bermasyarakat bukan sebaliknya

mengorbankan manusia dan masyarakat yang menjadi tempat

keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh keadilan yang

menjadi tujuan keberadaan dan penegakan hukum itu

sendiri.

                   Mencermati pendapat Hans Kelsen,

penegakan hukum oleh hakim itu terikat pada teori

positivisme yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum

positif yang ditetapkan manusia. Dalam hal ini Hans

Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan itu mencakup

pengertian yang jernih dan bebas nilai. Dimana hakim

terikat dengan hukum positif yang sudah ada berdasarkan

paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya

sebagai corong undang-undang, artinya mau tidak mau hakim

harus benar-benar menerapkan suatu kejadian berdasarkan

konsep hukum yang sudah ada.

                   Dalam prakteknya konsep positivisme dalam

penegakan hukum ini ternyata sangat jauh dari keadilan

karena sering sekali hukum positif itu ketinggalan dengan

perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi sehingga

dalam penerapan teori positivisme tidak bisa serta merta

dilaksanakan dengan paham legisme.

                   Hakim boleh menerapkan teori ini pada

kasus yang aturan hukumnya jelas sehingga tinggal

menerapkan saja pada peristiwa konkret, namun dalam hal

peristiwa yang tidak ada aturan hukumnya hakim harus

menemukan dan menggunakan analogi untuk penemuan hukum.

Hukumnya harus diupayakan dengan cara menelusuri

peraturan yang mengatur peristiwa khusus yang mirip

dengan peristiwa yang hendak dicari hukumnya dengan jalan

argumentasi.

B. Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan menjamin

Kepastian Hukum

Secara teoretis terdapat tiga tujuan hukum yaitu

keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat

dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.

Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat

yang beradab.

Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota

masyarakat melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan

untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan

bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu

tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika

tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu

larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena

terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib

kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan.

Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan

tingkat pelanggaran itu sendiri.

Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak.

Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna

perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di

hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara

kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat

abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu

dapat dilahirkan dari rasionalitas tetapi juga ditentukan

oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan

norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan

juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak

dapat diwadahi dalam hukum positif.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum

dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan

keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah

pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan

tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya

kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa

yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.

Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan

dihadapan hukum tanpa diskriminasi.

Namun demikian antara keadilan dan kepastian hukum

dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang

menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih

cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang

dikatakan oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk

semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan

keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan

hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan

masyarakat di mana peristiwa itu terjadi

Dalam praktek penegakan hukum saat ini, rasa

keadilan masyarakat kerap terusik. Keadilan tidak selalu

sejalan dengan hukum meskipun penegakan hukum itu sendiri

harus sedekat mungkin dengan keadilan. Sejak lama para

pencari keadilan mendambakan penegakan hukum yang adil.

Berbagai putusan pengadilan sepertinya menggambarkan

kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

Biasanya para penegak hukum telah menjalankan

tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada dalam artian

aturan main yang formal. Contoh pada kasus tindak pidana

korupsi, sesuai hukum yang berlaku penyidik Polri atau

jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan

fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak

tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak,

sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan

hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan diterapkan.

Serta semua formalitas dan tata cara yuridis sudah

diikuti

Persoalannya mengapa terhadap penegakan hukum yang

demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas dan

masih saja dikatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia

ditengarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir.

Inilah masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai

keadilan, terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan

telah terisolasi dengan pemahaman makna kepastian hukum

saja, tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai

keadilan yang ada di masyarakat.

Seorang Filsuf terkenal bernama Socrates yang hidup

pada tahun 469 - 399 SM, filsuf dan kritikus yang paling

berpengaruh di Yunani pernah menyatakan hakekat hukum

adalah keadilan. Socrates dalam usahanya menemukan dan

mengajarkan prinsip-prinsip keadilan menyebutkan bahwa

keadilan yang sesungguhnya serta hukum yang benar itu

tidak akan ditemui dalam undang-undang yang dibentuk

penguasa-penguasa Negara. Akan tetapi keadilan bertempat

tinggal di dalam diri dan dalam kesadaran manusia itu

sendiri.

Selanjutnya Socrates menyebutkan bahwa dalam nurani

tiap insan bersemayamlah keadilan yang hakiki atau

sesungguhnya di situ mereka dapat mendengar bagaimana

irama dari degup jantung yang merah, bersih dan suci.

Hanya dengan degupan yang bersih, organ yang suci ini

(nurani) menjadi terlindungi dari kungkungan kabut

keserakahan, kelicikan, kecurangan, dan lain sebagainya.

Sehingga hukum serta perasaan keadilan dalam

pengertian sesungguhnya itu hanya akan ditemukan di dalam

nurani tiap-tiap insan, dan ia akan selalu mendampingi,

terutama manakala mereka menetapkan atau mengambil sebuah

keputusan (termasuk keputusan hukum itu sendiri). Apa

yang disampaikan filsuf besar pada masanya tersebut

sesungguhnya banyak terjadi dalam penegakan hukum di

Indonesia saat ini.

Penegakan hukum saat ini cenderung lebih menekankan

pada kepastian hukum dibandingkan dengan keadilan.

Penerapan hukum lebih bersifat positif legalistis yaitu

cara berhukum berdasarkan pada undang-undang. Akibat

penerapan hukum positif legalistis ini akan menggiring

penegakan hukum pada legisme. Hakim tidak boleh berbuat

selain daripada menerapkan undang-undang secara

tegas. Hakim hanya sekedar terompet undang-undang. Hanya

menyuarakan bunyi undang-undang tanpa mempertimbangkan

rasa keadilan masyarakat.

Begitu pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat

ini ditegakkan di samping nilai kepastian hukum, haruslah

menjamin keadilan dan kepastian hukum serta bermanfaat.

Selain itu penegakan hukum diterapkan tanpa diskriminasi.

Penegakan hukum yang tidak mengindahkan prinsip equality

before the law sehingga menghasilkan perilaku diskriminatif

akan merusak tatanan sistem, sekaligus akan menciderai

serta kegagalan dalam melaksanakan sistem yang

menimbulkan citra buruk pada semua kalangan masyarakat.

Dalam kajian filsafat hukum yang memfokuskan diri

pada hakikat dan cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai

keadilan subtantif, pada kenyataannya makna keadilan saat

ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat kaku, hanya

melihat sisi keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam

mewujudkan keadilan prosedural. Salah satu pendekatan

yang dapat dilakukan dalam mencapai penegakan hukum yang

berkeadilan substantif dapat dilakukan dengan menggunakan

pendekatan paradigma hukum progresif.

Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya

bukanlah sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman

gagasan brillian Satjipto Rahardjo yaitu  paradigma hukum

progresif yang mana lahir sebagai oposisi keilmuan

terhadap paham postivisme hukum.Gagasan ini kemudian

muncul kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik

ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Satjipto

Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru

mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif

berasal dari kata progress yang berarti kemajuan.

Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman,

mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di

dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat

dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya

manusia penegak hukum itu sendiri.

Dilihat dari kemunculannya hukum progresif bukanlah

sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa

sebab dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.

Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian

kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif

yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati

diri bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya

hukum di masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan

terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang sedang

terjadi dewasa ini.

Dalam proses pencariannya itu, Satjipto Rahardjo

kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab

menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di

Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai aparat

penegak hukum adalah dominasi terhadap paradigma

positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat pada

paham tersebut sehingga mempengaruhi kualitas dari

penegakan hukum.

Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai

keadilan di tengah-tengah rapuhnya penegakan hukum

Indonesia saat ini, menurut pemahaman penulis dalam

rangka menuju suatu keadilan substantif sesuai dengan

paradigma hukum progresif  yang pada aktualisasinya

selalu percaya diri dengan prinsip-prinsip kebenaran.

Keadilan substantif akan selalu mencerminkan diri pada

kenyataan hukum di masyarakat.

Setidaknya keadilan substantif sesuai dengan hukum

progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga

pemikiran pokok yaitu pertama menempatkan diri sebagai

kekuatan yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir,

asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis, analitis-

positivistik dan lebih mengutamakan tujuan daripada

prosedural.

Kemudian yang kedua didasarkan pada logika kepatutan

sosial dan tidak semata-mata berdasarkan pada logika

peraturan perundang-undangan yang bersifat  normatif.

Sehingga dalam hal ini keadilan substantif menurut hukum

progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani

ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus

pengendali aktivitas penegakan hukum ini.

Dan yang ketiga, paling utama keadilan substantif

menurut hukum progresif banyak bertumpu pada kualitas dan

kemampuan sumber daya manusia penegak hukumnya. Faktor

modalitas aparat penegak hukum menjadi amat penting

seperti empati, kejujuran dan keberanian. Faktor-faktor

itulah yang harus dikedepankan daripada hanya sekedar

menjalankan peraturan perundang-undangan yang bersifat

normatif secara mekanistis dan prosedural dalam hal

mencari kebenaran hakiki oleh aparat penegak hukum demi

mewujudkan penegakan hukum yang memenuhri rasa keadilan

masyarakat.

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

             Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.   a.  Falsafah Keadilan adalah berpikir secara mendalam dan

menyeluruh dalam upaya untuk mencari dan menemukan

hakikat kebenaran terhadap sesuatu permasalahan guna

mendapatkan jalan keluar secara rasional dengan

menggunakan hukum sebagai instrumennya untuk mewujudkan

keadilan yaitu kondisi dimana kebenaran ideal secara

moral mengenai sesuatu permasalahan yang sedang dihadapi.

  b.  Kepastian Hukum adalah suatu keadaan dimana perilaku

manusia baik individu maupun kelompok dalam masyarakat

yang terikat dan berada dalam koridor yang sudah

digariskan dan ditetapkan oleh aturan hukum yaitu

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  c.   Penegakan Hukum adalah upaya melaksanakan dan

menerapkan hukum demi mewujudkan keadilan dan menjamin

adanya kepastian hukum yang dilaksanakan oleh aparat

penegak hukum terhadap setiap pelanggaran atau

penyimpangan oleh subyak hukum terhadap materi atau

substansi hukum yang tertuang didalam peraturan

perundang-undangan sehingga menciptakan rasa keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam menjaga

ketertiban dalam masyarakat..

2. Penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin kepastian

hukum adalah upaya untuk melaksanakan, menerapkan,

mempertahankan dan menegakan hukum dalam bentuk peraturan

perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi

nilai-nilai dan rasa keadilan sebagai tujuan utama hukum

dengan tetap memberikan jaminan adanya kepastian hukum

serta manfaat bagi masyarakat.

B.   Saran-Saran

             Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan

sebagaimana telah disimpulkan diatas, maka disarankan :

1.   Diharapkan kepada aparat penegak hukum kiranya dalam

melaksanakan penegakan hukum lebih mengedepankan tujuan

utama hukum yaitu keadilan dengan tetap menjamin adanya

kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

2.   Kiranya aparat penegak hukum untuk lebih memahami

secara mendalam dan menyeluruh tentang hakikat dan tujuan

hukum sehingga tidak mudah terjebak dalam paradigma

positivisme yang hanya bertolak kepada aturan perundang-

undangan yang berlaku mengingat begitu pesatnya

perkembangan kehidupan sosial masyarakat sehingga

membutuhkan adanya penemuan-penemuan hukum yang baru

dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum. 

DAFTAR  PUSTAKA

[1] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII,

Yogyakarta, Kanisius, 1995 hal 196

[2] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif

Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004 hlm 24

[3] Carl Joachim Friedrich, op.cit, hlm 25

[4] ibid

[5] Carl Joachim Friedrich, op.cit, hlm 25

[6] John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University

Press, 1973, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair

Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 2006

[7] Soetandyo Wignjosoebroto, Positivisme dan Doktrin Positivisme

dalam Ilmu Hukum dan Kritik-kritik terhadap Doktrin Ini,Jakarta, 2007,

hlm 1-2.

[8] Ibid

[9] Ade Maman Suherma, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Civil

Law, Common Law, Hukum Islam, Cet 2, Raja Grafindo Persada,

2006, hlm 37

[10] W. Friedman, Teori-teori Filsafat Hukum, Kanisius,

Yogyakarta, 1998

[11] Muh. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran

Orientasi, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana,

1991, hlm 29.

[12]Lihat Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta,

Cetakan Ketujuh, 2000, hlm 23

[13] Ibid, hlm 23-24

[14] Ibid, hlm 24

[15] M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana,  Politea, Bogor

[16] Lihat M, Karfawi, Asas Legalitas dalam usul Rancangan KUHP

(Baru) dan Masalah-masalahnya, Jurnal Arena Hukum, 1987, hlm 9-

15

[17] Lihat M, Karfawi, op.cit, hlm 355

[18] Lihat Roelof. H. Heveman, The legality of Adat Criminal Law in

Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50

[19] Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan

sebutan pelanggaran dan kejahtan, kedua istilah ini

disebut dalam satu istilah tindak pidana

[20] Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal

Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan

Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT

Gramedia Jakarta, 2003, hlm 358

[21] Ibid

[22] Lihat Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana : Asas Hukum

Pidana Sampai pada Peniadaan Pidana, Armica, Bandung, 1995, hlm

67

[23] Ibid, hlm 68-72

[24] Baik Mulyatno maupun Sofyan Sastrawidjaja, analogi

dipadankan dengan kiyas.

[25] Lihat Jan Remmeling, op.cit. hlm 359

[26] Ibid

[27] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang

Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, Hlm 22

[28] Jimly Asshidiqie, op.cit. hlm 22

[29] Ibid

Buku-Buku

                                                            

      Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa

dan Nusamedia, Bandung.

      Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting

dari Kitab Undang-Undang Hukum. Pidana Belanda dan Padanannya dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Jakarta

      Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokrasi, PT.

Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

      John Rawls, A Theory of Justice, London, Oxford University Press,

1973, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan

dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

      Muh. Muslehuddin, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi,

Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana.

      M. Karfawi, 1987, Asas Legalitas dalam usul Rancangan KUHP (Baru) dan

Masalah-masalahnya, Jurnal Arena Hukum.

      M. Karjadi dan R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana,  Politea, Bogor.        

      Moeljatno, 2000,  Asas-asas Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Cetakan

Ketujuh

      R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor

      Roelof. H. Heveman, 2002, The legality of Adat Criminal Law in Modern

Indonesia, Tata Nusa, Jakarta

      Sofyan Sastrawidjaja, 1995, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai

pada Peniadaan Pidana, Armica, Bandung.

      Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII,

Kanisius, Yogyakarta   

      W. Friedman, 1998, Teori-teori Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.