31
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan berkembangbiak, baik secara aseksual maupun secara seksual. Reproduksi seksual ditandai dengan adanya pembuahan sel inti sperma terhadap sel telur. Drosophila melanogaster merupakan salah satu spesies dari marga Drosophila dan termasuk dalam kelas insekta yang melakukan proses reproduksi secara seksual (Borror, 1992). Pada peneitian ini yang digunakan sebagai objek penelitian adalah lalat buah (D. melanogasster). D. melanogaster dipilih sebagai objek penelitian karena mudah perawatan atau pengamatannya. Selain itu D. melanogaster merupakan jenis hewan yang memiliki siklus hidup yang cepat dan mudah berkembangbiak. Pernyataan ini diperkuat oleh Kimball (1983) yang menyebutkan bahwa D.melanogaster dipakai dalam penelitian ada beberapa alasan, antara lain yaitu, karena ukurannya sangat kecil sehingga mudah dipelihara dalam laboratorium, siklus hidupnya relative pendek dan banyak disekitar kita sehingga mudah untuk mendapatkannya. D. melanogaster melakukan kopulasi untuk melestarikan keturunanya, dimana kopulasi tersebut terdapat beberapa tahapan. Menurut Shorock (1972), dalam Hartanti (1998) sebelum kopulasi D. melanogaster akan melakukan urutan kegiatan yang disebut pacaran. Pada beberapa jenis strain D. melanogaster jantan menarik betina untuk kawin dengan menggetarkan sayapnya dan biasanya sebelum kopulasi berlangsung akan kejar-kejaran. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan perkawinan pada D. melanogaster. Menurut Ehrman (1981) dalam Kusmindarti (1998) menyatakan bahwa kemampuan kawin atau keberhasilan kawin dari D. melanogaster dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal atau faktor genetik misalnya adanya hormon perkawinan (hormon feromon) dan faktor eksternal atau faktor lingkungan, misalnya suhu atau temperatur, cahaya, kelembaban udara, dan faktor lingkungan lainnya. Adanya mutan yang terjadi pada strain yang digunakan akan mempengaruhi proses perkawinan karena tingkah laku yang berbeda antara 1

gelap terang genetika pada D. melanogaster

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk mempertahankan

diri dan berkembangbiak, baik secara aseksual maupun secara seksual.

Reproduksi seksual ditandai dengan adanya pembuahan sel inti sperma terhadap

sel telur. Drosophila melanogaster merupakan salah satu spesies dari marga

Drosophila dan termasuk dalam kelas insekta yang melakukan proses reproduksi

secara seksual (Borror, 1992).

Pada peneitian ini yang digunakan sebagai objek penelitian adalah lalat

buah (D. melanogasster). D. melanogaster dipilih sebagai objek penelitian karena

mudah perawatan atau pengamatannya. Selain itu D. melanogaster merupakan

jenis hewan yang memiliki siklus hidup yang cepat dan mudah berkembangbiak.

Pernyataan ini diperkuat oleh Kimball (1983) yang menyebutkan bahwa

D.melanogaster dipakai dalam penelitian ada beberapa alasan, antara lain yaitu,

karena ukurannya sangat kecil sehingga mudah dipelihara dalam laboratorium,

siklus hidupnya relative pendek dan banyak disekitar kita sehingga mudah untuk

mendapatkannya.

D. melanogaster melakukan kopulasi untuk melestarikan keturunanya,

dimana kopulasi tersebut terdapat beberapa tahapan. Menurut Shorock (1972),

dalam Hartanti (1998) sebelum kopulasi D. melanogaster akan melakukan urutan

kegiatan yang disebut pacaran. Pada beberapa jenis strain D. melanogaster jantan

menarik betina untuk kawin dengan menggetarkan sayapnya dan biasanya

sebelum kopulasi berlangsung akan kejar-kejaran.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan perkawinan pada

D. melanogaster. Menurut Ehrman (1981) dalam Kusmindarti (1998) menyatakan

bahwa kemampuan kawin atau keberhasilan kawin dari D. melanogaster

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal atau faktor genetik

misalnya adanya hormon perkawinan (hormon feromon) dan faktor eksternal atau

faktor lingkungan, misalnya suhu atau temperatur, cahaya, kelembaban udara, dan

faktor lingkungan lainnya. Adanya mutan yang terjadi pada strain yang digunakan

akan mempengaruhi proses perkawinan karena tingkah laku yang berbeda antara

1

2

mutan-mutan tersebut sehingga berdampak pada keberhasilan kawin D.

melanogaster. Dalam kehidupannya, setiap hewan terlahir tidak hanya membawa

karakteristik tubuh dan morfologi tetapi juga mambawa tingkah laku innate

(insting) yang spesifik saat perkembangannya sebagai salah satu respon terhadap

kondisi lingkungannya. (Demir and Dickson, 2005)

Berdasarkan pengaruh ada tidaknya cahaya terhadap tingkah laku kawin

D. Melanogaster. Junaidi (1998) membagi spesies D. melanogaster menjadi 3

kelompok berdasarkan respon pengaruh cahaya terhadap tingkah laku kawin

mereka. Kelompok pertama terdiri dari spesies yang perkawinannya sama-sama

berhasil baik dalam kondisi terang maupun kondisi gelap. Kelompok kedua berisi

spesies yang tingkah lakunya terhambat oleh kondisi gelap dan kelompok ketiga

terdiri dari spesies yang tingkah lakunya terjadi pada kondisi gelap.

Berkenaan dengan perlakuan dengan kondisi gelap maupun terang dengan

adanya penelitian sebelumnya mengenai keadaan kondisi terang dan gelap,

Drosopila jantan akan memilih betina dengan kondisi kesehatan dan tubuh yang

memungkinkan terjadinya proses persilangan dalam penelitianya yang berjudul

“Fitness and Body Size in Mature Odonate” (Natalia Sokolovska, Locke Rowe

dan Frank Johansson. 2000).

Selain dipengaruhi oleh kondisi cahaya, perkawinan D. melanogaster juga

dipengaruhi oleh jumlah individu betina yang dikawinkan. Mc. Sheehy (1963)

dalam Fowler (1973) dalam Kusmindarti (1998) menyatakan bahwa jumlah

individu betina akan menentukan frekuensi kawin individu jantan beberapa jenis

Drosophila. Menurut Kowalsky (2004), keberhasilan kawin D. melanogaster juga

sering dikaitkan dengan macam strain. Beberapa strain D. melanogaster jantan

memiliki tingkah laku selektif dalam memilih betina yang akan dikawini.

Keadaan ini dipengaruhi karena adanya feromon yang dikeluarkan oleh individu

betina dan akan diterima oleh jantan sebagai sinyal kimia.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan suatu penelitian dari

pengaruh kondisi gelap dan jenis persilangan terhadap keberhasilan kawin dari D.

melanogaster. Oleh karena itu, disusunlah judul penelitian proyek penelitian

mengenai “Pengaruh Kondisi Cahaya dan Jenis Persilangan Terhadap

3

Keberhasilan Kawin Drosophila Melanogaster pada Strain cl >< cl, N >< N,

dan cl >< N, Beserta Resiproknya”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.2.1. apakah kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan kawin

Drosophila melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami

strain cl dan N?

1.2.2. apakah jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan kawin

Drosophila melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami

strain cl dan N?

1.2.3. Apakah interaksi antara kondisi cahaya dan jenis persilangan berpengaruh

terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster pada tipe

persilangan heterogami dan homogami strain cl dan N?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini sebagai

berikut :

1.3.1. untuk mengetahui kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan

kawin D. melanogaster pada tipe presilangan heterogami dan homogami

strain cl dan N;

1.3.2. Untuk mengetahui jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan

kawin D. melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami

strain cl dan N;

1.3.3. Untuk mengetahui interaksi antara kondisi cahaya dan macam persilangan

berpengaruh terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster pada tipe

presilangan heterogami dan homogami strain cl dan N.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut :

4

1.4.1 bagi mahasiswa, dapat menambah wawasan tentang genetika, memberikan

pengetahuan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan kawin D. melanogaster strain cl dan N, dan memotivasi

mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih lanjut;

1.4.2 bagi ilmu pengetahuan, dapat meemberikan informasi mengenai adanya

pengaruh kondisi cahaya dan jenis persilangan terhadap keberhasilan

kawin D. melanogaster strain cl dan N.

1.5. Asumsi Penelitian

Asumsi dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.5.1. kesuburan atau fertilitas semua induk betina maupun jantan dianggap

sama;

1.5.2. umur induk betina maupun jantan yang disilangkan dianggap sama;

1.5.3. semua faktor lingkungan kecuali pencahayaan dianggap sama untuk

masing-masing perlakuan (gelap dan kontrol);

1.5.4. kondisi medium yang digunakan dianggap sama.

1.6. Batasan Masalah

Penelitian yang dilakukan memiliki batasan masalah sebagai berikut:

1.6.1. strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain

cl dan N dan stoknya didapatkan dari Laboratorium Genetika Jurusan

Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang;

1.6.2. Penelitian ini dilakukan dengan menyilangkan strain cl dan N secara

homogami dan heterogami sebanyak 3 kali ulangan pada masing-masing

perlakuan;

1.6.3. jumlah D. melanogaster yang disilangkan pada setiap persilangan yang

dilakukan mempunyai perbandingan 1 individu jantan : 10 individu betina;

1.6.4. kondisi gelap dalam penelitian ini yaitu botol selai persilangan yang

dimasukkan ke dalam kardus yang dibungkus karbon hitam;

1.6.5. kondisi terang dalam penelitian ini yaitu botol selai persilangan yang

dimasukkan ke dalam kardus yang tidak dibungkus karbon hitam tetapi

diberi mika bening.

5

1.6.6. pengamatan terhadap keberhasilan kawin hanya mengacu pada indikator

ada tidaknya larva yang muncul dari induk betina yang telah dikawinkan;

1.6.7. batas waktu paling lama untuk menghitung ada tidaknya larva adalah

selama 7 hari;

1.7. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dalam laporan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1.7.1. strain adalah suatu kelompok intraspesifik yang hanya memiliki satu atau

sejumlah kecil yang berbeda, biasanya secara genetis dalam keadaan

homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni, dalam hal ini strain

yang digunakan adalah strain cl dan N ;

1.7.2. persilangan adalah suatu usaha yang menyebabkan terjadinya perkawinan

antara dua individu yang berbeda jenis;

1.7.3. homogami adalah perkawinan antara dua strain yang sama;

1.7.4. heterogami adalah perkawinan antara dua strain yang berbeda;

1.7.5. kondisi terang atau kontrol yaitu kondisi dimana D.melanogaster

mendapatkan perlakuan dengan kardus diberi mika disetiap sisinya sebagai

tempat jalannya masuk cahaya dari luar kardus;

1.7.6. kondisi gelap atau eksperimen yaitu kondisi dimana tidak ada cahaya luar

yang dapat masuk ke dalam kardus yang telah dilapisi kertas karbon yang

berisi botol persilangan D.melanogaster;

1.7.4 indikator keberhasilan kawin D. melanogaster adalah perhitungan individu

betina yang berhasil kawin dengan individu jantan dengan melihat ada

tidaknya larva setelah 7 hari persilangan.

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sistematika D. melanogaster

Salah satu spesies dari genus Drosophila yang banyak di kembang-biakkan

adalah D. melanogaster. Sistematika D. melanogaster menurut (Borror,1992)

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Drosophilidae

Genus : Drosophila

Spesies : D. melanogaster

2.2 Karakteristik D. melanogaster

D. melanogaster mempunyai poros anterior dan posterior (kepala-ekor)

dan poros dorsoventral (punggung-perut) dan mempunyai segmen ini menyusun

tiga bagian tubuh utama, yaitu kepala, thoraks, dan abdomen. seperti hewan

simetris bilateral lainnya. D. melanogaster jantan memiliki beberapa ciri,

diantaranya yaitu adanya pigmentasi pada abdomen posterior serta jenis dan bulu

kasar pada ruas dorsal pertama. Umumnya ukuran tubuh individu jantan lebih

kecil daripada ukuran tubuh betina. Sedangkan D. melanogaster betina memiliki

ciri, yaitu tidak adanya pigmentasi pada abdomen posterior serta tubuhnya lebih

besar daripada jantan.

2.3 Daur Hidup D. melanogaster

Drosophila melanogaster memiliki daur hidup yang singkat yaitu sekitar 2

minggu mulai dari telur, embrio, larva, pupa, dan penetasan.

7

Gambar 1. Daur hidup Drosophila melanogaster

Telur Drosophila melanogaster memiliki satu atau lebih filamen

respiratori pada bagian ujung anteriornya. Pada umumnya telur membutuhkan

waktu yang lebih lama tergantung pada beberapa faktor lingkungan, misalnya:

medium, temperatur, intensitas cahaya, dan tingkat kepadatan. Metamorfosis pada

Drosophila termasuk metamorfosis sempurna, yaitu dari telur → larva instar I →

larva instar II → larva instar III → pupa → imago. Perkembangan dimulai segera

setelah terjadi fertilisasi, yang terdiri dari dua periode. Pertama, periode embrionik

di dalam telur pada saat fertilisasi sampai pada saat larva muda menetas dari telur

dan ini terjadi dalam waktu kurang lebih 24 jam. Dan pada saat seperti ini, larva

tidak berhenti-berhenti untuk makan. Periode kedua adalah periode setelah

menetas dari telur dan disebut perkembangan postembrionik yang dibagi menjadi

tiga tahap, yaitu larva, pupa, dan imago (fase seksual dengan perkembangan pada

sayap).

Telur Drosophila berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya

diletakkan di permukaan makanan. Telur Drosophila dilapisi oleh dua lapisan,

yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput

tipis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan di anteriornya terdapat dua

tangkai.tipis. Korion mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur tersebut

(Borror, 1992). Larva Drosophila berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti

cacing, dan menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Saat kutikula

tidak lunak lagi, larva muda secara periodik berganti kulit untuk mencapai ukuran

dewasa. Kutikula lama dibuang dan integumen baru diperluas dengan kecepatan

8

makan yang tinggi. Selama periode pergantian kulit, larva disebut instar. Instar

pertama adalah larva sesudah menetas sampai pergantian kulit pertama. Dan

indikasi instar adalah ukuran larva dan jumlah gigi pada mulut hitamnya. Sesudah

pergantian kulit yang kedua, larva (instar ketiga) makan hingga siap untuk

membentuk pupa. Pada tahap terakhir, larva instar ketiga merayap ke atas

permukaan medium makanan ke tempat yang kering dan berhenti bergerak. Dan

jika dapat diringkas, pada Drosophila, destruksi sel-sel larva terjadi pada prose

pergantian kulit (molting) yang berlangsung empat kali dengan tiga stadia instar:

dari larva instar 1 ke instar II, dari larva instar II ke instar III, dari instar III ke

pupa, dan dari pupa ke imago (Ashburner, 2002). Larva yang dewasa biasanya

merayap naik pada dinding botol atau pada kertas tissue dalam botol. Dan disini

larva akan melekatkan diri pada tempat kering dengan cairan seperti lem yang

dihasilkan oleh kelenjar ludah dan kemudian membentuk pupa.

Saat larva Drosophila membentuk cangkang pupa, tubuhnya memendek,

kutikula menjadi keras dan berpigmen, tanpa kepala dan sayap disebut larva instar

4. Formasi pupa ditandai dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki.

Puparium (bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada

stadium pupa ini, larva dalam keadaan tidak aktif, dan dalam keadaan ini, larva

berganti menjadi lalat dewasa (Ashburner, 2002).

2.4 Tingkah Laku Kawin D. melanogaster

Setiap makhluk hidup berusaha mempertahankan jenisnya dengan jalan

reproduksi atau memperbanyak diri. Salah satunya dengan melakukan

perkawinan. Perkawinan merupakan ciri khas dari D. melanogaster yang

berkaitan dengan tingkah laku (Shorrocks, 1972 dalam Yulianingsih, 1996). D.

melanogaster menggunakan visual, auditori, sinyal kimia pada sistem

perkawinan. Saat akan kawin D. melanogaster melakukan “pacaran”, individu

jantan mengeluarkan bunyi getaran dari sayap secara terus-menerus atau arista

pada antena, biasanya yang paling dekat dengan betina. Hal ini akan menjadi

suatu rangkaian suara yang akan berfungsi sebagai sinyal perkenalan pada D.

melanogaster (D.M. Lambert dan A.A Harper, 1985).

9

Shorrocks (1972) dalam Yulianingsih (1996) mengemukakan bahwa

individu betina dapat mengeluarkan suara yang dapat digunakan untuk menolak

kehadiran individu jantan. Tingkah laku ini biasanya dilakukan oleh individu

betina yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa tetapi bersifat responsif.

Individu mutan dimungkinkan memiliki tingkah laku kawin yang berbeda dengan

individu normal, sedangkan perkawinan mutan-mutan juga berbeda antara satu

sama lain. Hal ini tersebut mempengaruhi perkawinan D. Melanogaster.

Selama aktivitas perkawinanya Drosophila melanogaster akan melakukan

serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan perkawinan. Shorrock (1972)

mengatakan bahwa sebelum kopulasi Drosophila melanogaster akan melakukan

urutan kegiatan yang biasanya disebut pacaran. Tahap pacaran ini didahului

dengan proses Orientating kemudian dilanjutkan Penepukan tubuh betina oleh

kaki depan jantan (Tapping). Jika gejala di atas tidak muncul dapat diartikan

bahwa individu jantan dan betina merupakan spesies yang berbeda sehingga tidak

akan terjadi perkawinan (Shorrock, 1972)

Tahap awal yang dilakukan oleh Drosophila melanogaster selama pacaran

adalah individu jantan dan betina saling berhadapan dengan jarak 2 mm,

kemudian individu jantan akan mengikuti betina dengan bergerak berputar yang

bisanya disebut orientating. Shorrock, (1972) mngemukakan pula bahwa individu

jantan Drosophila melanogaster dapat juga melakukan kesalahan pada prosedur

tepukan, demikian pula jika urut-urutan kegiatan pacaran terputus karena sesuatu

sebab, individu jantan dapat kehilangan jejak dan pengalihan perhatianya kepada

individu betina yang lain. Pada keadaan dimana terdapat campuran populasi,

kadang-kadang individu betina yang lain itu ternyata tidak tergolong sesama jenis.

Andai kata demikian individu jantan tetap ‘mencarinya’, sekalipun individu betina

itu tidak harus mengizinkannya melakukan kopulasi, dikatakan bahwa tampaknya

individu betina tersebut tidak puas terhadap individu jantan, dan menyadari bahwa

yang bersangkutan tidak tergolong sesama jenis (Shorrock,1972).

Selanjutnya individu jantan melakukan Singing mengangkat sayapnya

membentuk sudut 90° dan menghasilkan suara yang khas bila individu betina

belum tertarik, maka yang jantan akan mengulangi kegiatan dari awal (Wilkinz,

1993 dalam Nusantari, 1997). Menurut Shorrock (1972) dalam Corebima (1993)

10

selanjutnya individu jantan akan memperlebar posisi sayapnya membentuk sudut

900 dari badannya (berada pada jarak yang paling dekat dengan individu betina)

sambil menggetarkanya selama periodik (scissoring). selama melakukan getaran

itu, individu jantan biasanya berada di depan individu betina dikatakan bahwa

gerakan tambahan dari sayap yang dilakukan di depan individu betina itu

merupakan pameran visual. Di samping itu, individu jantan dihasilkan oleh

individu jantan D. Melanogaster dihasilkan itu terulang 20 kali per detik.

Setelah itu sayap akan dipanjangkan dan dinaikkan kemudian digulung

dan diturunkan lagi (rowing). Tahap licking terjadi jika individu jantan menjilati

alat kelamin betina dengan mengunakan ‘belalainya’ (proboscis), mengatur posisi

tubuhnya dan akhirnya melakukan kopulasi. Jika individu betina telah reseptif,

individu jantan akan menaikinya kemudian terjadi kopulasi (Shorrock,1972).

Setelah tahap licking selanjutnya adalah tahap attenting kopulasion yang mana

Drosophila melanogaster akan mencoba untuk melakukan kopulasi (usaha

kopulasi). Kemudian tahap terakhir adalah kopulasi, yaitu individu jantan

memasukkan alat kelaminya ke dalam alat kelamin betina (Wilkinz, 1993 dalam

Nusantari, 1997).

11

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Perkawinan D.

Melanogaster

Pada serangga, perkawinan menyebabkan betina mengalami perubahan

tingkah laku dan fisiologis yang berlangsung selama beberapa hari. Setelah kawin,

betina meletakkan telurnya dan menolak pacaran dan kawin dari jantan

selanjutnya. Mereka menyimpan dan menggunakan sperma yang telah

diterimanya. Pada Drosophila melanogaster, perubahan tingkah laku itu didasari

oleh bagian dari sperma dan bagian dari cairan seminal. Cairan tersebut diyakini

menyebabkan pengurangan reseptivitas yang disebut dengan efek kopulasi, tapi

dalam masa yang lebih panjang hal itu disebut sebagai efek sperma. Hal itu

berhubungan dengan keberadaan sperma pada organ penyimpanan sperma pada

betina.

Pada Drosophila melanogaster akan mampu melakukan perkawinan

kembali sekitar 48 jam setelah perkawinan sebelumnya. Setelah melakukan

perkawinan pertama, Drosophila melanogaster tidak akan menerima jantan untuk

kawin lagi beberapa hari. Setelah kawin, betina Drosophila untuk sementara

menjadi tidak reseptif dimana mereka akan melakukan penutupan ovipositor

sebagai gerakan untuk menolak ajakan kawin dari jantan berikutnya. Respon

setelah kawin ini dipicu oleh hormon peptida sex. Hormon tersebut diaktivasi oleh

Sex Peptide Receptor (SPR) sebagai sub bagian pada neuron sensori sistem

reproduksi betina.

Aktifitas kawin Drosophila melanogaster di pengaruhi oleh faktor genetik

dan faktor lingkungan. Ehrman (1981) dalam Junaidi (1998) menyatakan bahwa

kegiatan “pacaran” D. melanogaster di mulai dengan orientasi atau periode

”pacaran”. Romeser (1973) dalam Junaidi (1998) mengemukakan bahwa orientasi

ini dapat dipengaruhi faktor-faktor eksternal (cahaya, kelembaban, dan suhu) atau

faktor internal misalnya adanya pengaruh hormon. Menurut Borror, D.J, (1992)

dalam Junaidi (1998), setiap individu memiliki substansi yang berfungsi sebagai

tanda-tanda kimiawi diantara anggota-anggota dari jenis yang sama yang

selanjutnya disebut dengan istilah feromon.

Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang

dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal

12

dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali

sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi.

Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat

mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies).

Feromon mempunyai peranan penting pada periode “pacaran” pada

Drosophila melanogaster yaitu bermula dari adanya rangsangan feromon-feromon

individu betina atas individu jantan untuk mulai melakukan kegiatan “pacaran”

dan feromon indiviu jantan mendorong betina untuk menerima kehadiranya

(Nusantari, 1997).

Corebima (1993) mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwa feromon-

feromon pada Drosophila merupakan senyawa-senyawa hasil metabolisme yang

berfungsi sebagai suatu “karangan bunga” bagi individu jantan. Feromon-feromon

itu adalah semacam hormon yang menyebar melalui udara yang berfungsi untuk

mempengaruhi tingkah laku “pacaran” individu jantan itu dirangsang oleh

feromon-feromon yang dihasilkan oleh strain-strain lain.

2.6 Hubungan Kondisi Gelap terhadap Keberhasilan Kawin D.

melanogaster

Setiap makhluk hidup mempunyai waktu tertentu ketika melakukan

aktifitas perkawinan. Ada beberapa jenis insekta lebih aktif ketika malam hari

daripada siang hari. Ketika siang hari aktifitas insekta biasanya dipengaruhi oleh

intensitas cahaya. Sedangkan ketika malam hari efek visual berpengaruh dalam

tingkah laku kawin Drosophila melanogaster, karena intensitas cahaya kurang

sekali diperlukan dalam proses penglihatan insekta ketika malam hari, karena

visualisasi tiap insekta maupun hewan lainnya tidak dalam keadaan seperti

normalnya. Dalam keadaan seperti ini peranan feromon sangat diperlukan untuk

mensukseskan proses kawin. Pernyataan dalam Kusmindarti (1998) menyatakan

bahwa pada Drosophila melanogaster feromon-feromon yang dihasilkan individu

betina diterima individu jantan untuk memulai kegiatan “pacaran’. Di lain pihak

feromon individu jantan mendorong individu betina untuk menerima

kehadirannya.

13

Menurut Kusmindarti (1998) pada mulanya individu betina Drosophila

melanogaster mengenal individu jantan secara visual. Akan tetapi karena dalam

kondisi gelap bahkan dalam keadaan dimana populasi tercampur, perkawinan

tetap berhasil sehingga dapat disimpulkan bahwa pengenalan individu jantan

D.melanogaster oleh individu betina bukan secara visual. Beberapa pendapat lain

yaitu misalnya menurut Junaidi (1998) menyatakan bahwa berdasarkan hasil

penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh kondisi gelap atau

terang terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. Tetapi kesimpulan hasil

penelitian tersebut berbeda dengan pernyataan dalam Corebima (1993) dalam

Junaidi (1998) yang menyatakan bahwa aktivitas kawin D.melanogaster lebih

maksimal tingkat keberhasilannya ketika periode terang. Berbeda pula halnya

dengan pernyataan yang lain dalam Corebima (1993) dalam Junaidi (1998) yang

menyatakan bahwa keberhasilan kawin Drosophila melanogaster lebih maksimal

terjadi pada periode gelap daripada periode terang. Berdasarkan pernyataan fakta

tersebut dapat dilihat bahwa perbedaan kondisi gelap terang diperkirakan bukan

satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan kawin Drosophila

melanogaster.

2.7 Kerangka Konseptual

Drosophila melanogaster merupakan salah satu spesies dari marga

Drosophila dan termasuk dalam kelas insekta yang melakukan proses reproduksi

secara seksual. Reproduksi seksual ditandai dengan adanya pembuahan sel inti

sperma terhadap sel telur. Setiap makhluk hidup berusaha mempertahankan

jenisnya dengan jalan reproduksi atau memperbanyak diri. Salah satunya dengan

melakukan perkawinan. Perkawinan merupakan ciri khas dari D. melanogaster

yang berkaitan dengan tingkah laku. Berdasarkan pengaruh ada tidaknya cahaya

terhadap tingkah laku kawin spesies D. melanogaster dibagi menjadi 3 kelompok

berdasarkan respon pengaruh cahaya terhadap tingkah laku kawin mereka.

Kelompok pertama terdiri dari spesies yang perkawinannya sama-sama berhasil

baik dalam kondisi terang maupun kondisi gelap. Kelompok kedua berisi spesies

yang tingkah lakunya terhambat oleh kondisi gelap dan kelompok ketiga terdiri

dari spesies yang tingkah lakunya terjadi pada kondisi gelap. Jenis persilangan:

14

persilangan sesama strain (satu jenis) dan persilangan berbeda strain (berbeda

jenis) akan mempengaruhi pola tingkah laku kawin. Jadi kondisi cahaya dan jenis

persilangan mempengaruhi pola tingkah laku kawin yang akan berpengaruh

terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster.

2.8 Hipotesis Penelitian

Hipotesis alternative dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

A. kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan kawin D.melanogaster

pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl dan N;

B. jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan kawin

D.melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl

dan N;

Proses reproduksinya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti intensitas atau kondisi cahaya, macam

strain, dan jenis persilangan

Kondisi cahaya dapat mempengaruhi pola tingkah

laku kawin

Jenis persilangan: persilangan sesama strain (satu jenis) dan persilangan berbeda strain (berbeda jenis) akan mempengaruhi

pola tingkah laku kawin

keberhasilan kawin D. melanogaster

D. melanogaster adalah serangga yang mudah bereproduksi secara seksual

15

C. interaksi antara kondisi cahaya dan macam persilangan berpengaruh

terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster pada tipe presilangan

heterogami dan homogami strain cl dan N.

16

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis eksperimen, karena objek penelitian diberi

perlakuan yang berbeda dan selanjutnya akan diamati serta dianalisis pengaruh

dan interaksinya. Setiap persilangan yang dilakukan terdiri atas 10 individu betina

dengan 1 individu jantan sebanyak 3 kali ulangan pada setiap perlakuan dan setiap

persilangan. Pengumpulan data dilakukan dengan melihat ada tidaknya larva yang

muncul selama waktu 7 hari setelah masing-masing dari 10 betina dipindahkan ke

10 botol balsam berbeda. Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan

anava ganda. Digunakan anava ganda karena ada lebih dari satu variabel bebas

yang diteliti, sedangkan rancangan percobaan yang dilakukan berupa Rancangan

Acak Kelompok (RAK) karena penelitian tidak dilakukan serempak.

3.2. Variabel Penelitian

3.2.1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kondisi cahaya dan jenis

persilangan.

3.2.2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keberhasilan kawin D.

melanogaster yang diindikasikan dengan munculnya larva.

3.2.3. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah spesies lalat dan semua faktor

lingkungan kecuali intensitas cahaya.

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang 310 gedung O5 Biologi FMIPA Universitas

Negeri Malang. Adapun pelaksanaan penelitian dilaksanakan mulai Bulan

September sampai Bulan Desember 2015.

3.4. Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis D.melanogaster dari

semua strain yang dibiakkan di laboratorium genetika (gedung O5) Biologi

FMIPA Universitas Negeri Malang.

17

3.4.2. Sampel

Sampel yang kami gunakan dalam penelitian kami adalah D.melanogaster

strain N dan cl.

3.5. Alat dan Bahan

3.5.1. Alat yang digunakan selama penelitian meliputi: mikroskop stereo, botol

selai, botol balsem, spons, kardus, selang, kain kasa, kertas pupasi, kertas

label, kertas karbon hitam, cotton bud, gunting, kertas label, spidol,

plastik, tisu, pisau, timbangan, panci, blender, pengaduk kayu, dan kompor

gas.

3.5.2. Bahan yang digunakan selama penelitian meliputi: D.melanogaster strain

n dan cl, pisang rajamala, tape, gula merah, yeast, dan air.

3.6. Prosedur Kerja

3.6.1. Pembuatan medium (satu resep)

a. Menyiapkan medium dengan komposisi bahan 700 gram pisang

rajamala, 200 gram tape, dan 100 gram gula merah. Kemudian 700

gram pisang rajamala dan 200 gram tape diblender sampai halus dan

memanaskan campuran 100 gram gula merah dengan air secukupnya.

b. Memasak campuran pisang dan tape yang telah dblender sekaligus

dengan campura gula merah dan air selama 45 menit, aduk hingga rata.

c. Setelah 45 menit, memasukkan medium ke dalam botol selai kemudian

tutup dengan spon. Kemudian merendam medium tersebut didalam

wadah berisi air hingga dingin.

d. Setelah medium dingin, membersihkan uap yang ada di botol selai

tersebut.

e. Menambahkan 5-7 butir yeast ke dalam botol selai yang berisi medium

dan juga memasukkan kertas pupasi dan tutup kembali botol tersebut.

3.6.2. Persiapan stok induk (peremajaan)

a. Menyiapkan botol yang telah berisi medium.

b. Memberi label pada tiap botol.

c. Mengambil beberapa induk strain N dan cl dari stok dengan

menggunakan selang.

d. Memasukkan induk strain tersebut ke dalam botol medium baru.

18

e. Mengamati perkembangan stok induk tersebut hingga terbentuk pupa.

f. Mengambil pupa yang sudah menghitam ke dalam selang ampul yang

sudah berisi irisan pisang dan menutup selang tersebut dengan spon.

g. Menunggu hingga pupa tersebut menjadi imago yang siap untuk

disilangkan.

3.6.3. Persilangan D. melanogaster

a. Menyiapkan botol yang telah berisi medium .

b. Menyilangkan D. melanogaster 1N♂ >< 10N♀, 1N♂ >< 10cl♀, 1cl♂

>< 10cl♀, dan 1cl♂ >< 10N♀ dari selang ampul ke dalam botol yang

berisi medium dan ditempatkan pada kondisi gelap.

c. Menyilangkan D. melanogaster 1N♂ >< 10N♀, 1N♂ >< 10cl♀, 1cl♂

>< 10cl♀, dan 1cl♂ >< 10N♀ dari selang ampul ke dalam botol yang

berisi medium dan ditempatkan pada kondisi terang atau normal.

d. Lalat yang disilangkan berumur maksimal 3 hari setelah menetas. Bila

lebih dari 3 hari tidak boleh disilangkan.

e. Memberi label sesuai jenis persilangan, ulangan, dan tanggal

pelaksanaan.

f. Meletakkan botol persilangan pada kardus yang telah dilapisi karbon

untuk perlakuan pada kondisi gelap dan meletakkan botol persilangan

pada kardus biasa untuk kontrol.

g. Membuat ulangan setiap persilangan sebanyak tujuh kali.

3.6.4. Isolasi betina D. melanogaster

a. Menyiapkan 10 botol balsem berisi medium siap pakai untuk tempat

isolasi betina hasil persilangan.

b. Setelah persilangan selam 2 hari, individu jantan dilepas dan masing-

masing individu betina yang telah disilangkan dipindah ke botol

balsam tersebut (masing-masing botol balsam 1 betina).

c. Menunggu individu betina yang berada dalam botol balsam selama 7

hari serta mengamati keberadaan larvanya.

d. Hasil pengamatan dicatat pada data pengamatan.

19

3.7. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara

mengamati ada atau tidaknya larva setelah 7 hari pada masing-masing botol

balsam yang berisi individu betina dari hasil persilangan dan kemudian data yang

telah diperoleh dicatat ke dalam tabel 3.1.

Persilangan♂N >< ♀N ♂N >< ♀cl ♂cl >< ♀cl ♂cl >< ♀N

E K E K E K E K

U1-U3

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Keterangan : E = Eksperimen (kondisi gelap)

K = Kontrol (kondisi terang)

3.8. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh terlebih dahulu diubah dalam bentuk prosentase

selanjutnya data prosentase ditransfornasikan, apabila data prosentase nilainya

sebesar 0% - 30% atau 70% - 100% maka menggunakan transformasi akar

kuadrat, apabila data prosentase nilainya sebesar 30% - 70% maka tidak perlu

ditransformasi, dan apabila data prosentase nilainya sebesar 0% - 100% maka

menggunakan transformasi arc sin. Karena data kami nilai prosentasenya nilainya

sebesar 0% - 100% maka kami menggunakan transformasi arc sin. Setelah itu

dilakukan uji statistik dengan uji Anava 2 Faktorial, apabila hasilnya signifikan

maka akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf 5%.

Analisis data tidak menggunakan teknik rekonstruksi kromosom, karena pada

penelitian ini hanya diamati ada atau tidaknya larva, sedangkan fenotipe anakan

tidak dipertimbangkan.

20

BAB IV

DATA DAN ANALISIS DATA

4.1 Data Hasil Pengamatan

4.1.1. Hasil Pengamatan Fenotip D.melanogaster

Dalam penelitian ini kami menggunakan 2 macam strain D. melanogater

yaitu strain N dan cl yang memiliki karakteristik berbeda berdasarkan

morfologinya antara lain:

a. Strain N (wild – type)

- Mata berwarna merah

- Tubuh berwarna cokelat

kekuningan

- Sayap menutupi tubuh dengan

sempurna

- Faset mata halus

b. Strain cl (cloth)

- Mata berwarna cokelat

- Tubuh berwarna cokelat

kekuningan

- Sayap menutupi tubuh dengan

sempurna

- Faset mata halus

4.1.2. Data Hasil Pengamatan

Tabel 4.1 Data Hasil Pengamatan

Persilangan♂N >< ♀N ♂N >< ♀cl ♂cl >< ♀cl ♂cl >< ♀N

E K E K E K E K

U1 1

2

3

4

21

5

6

7

8

9

10

U2 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 ×

2

3 ×

4 × ×

5 × ×

6

7 ×

8 ×

9 × ×

10 × ×

1 ×

2

3 ×

22

4 × ×

5 × ×

6

7 ×

8 ×

9 × ×

10 × ×

Keterangan : E = Eksperimen (kondisi gelap)

K = Kontrol (kondisi terang)

= ada larva

= tidak ada larva

4.2 Analisis Data

Tabel 4.2 Tabel ringkasan data hasil pengamatan

Tipe persilanganKondisi

Cahaya

Jumlah botol yang terdapat larva

∑Ulangan

I II III

♂N >< ♀NTerang 5 6 11

Gelap 6 7 13

♂N >< ♀clTerang 4 4

Gelap 6 6

♂cl >< ♀clTerang 5 5

Gelap 6 9 15

♂cl >< ♀NTerang 4 4

Gelap 8 6 14

Untuk analisis data penelitian ini, menggunakan analisis varian ganda

dengan Rancangan Acak Kelompok karena penelitian dilakukan tidak serempak.

Penggunaan analisis varian ganda dikarenakan dalam penelitian ini bertujuan

untuk menguji perbedaan keberhasilan kawin D. melanogaster dalam kondisi

23

terang (kontrol) dan kondisi gelap (eksperimen) serta untuk menguji apakah ada

pengaruh antara kondisi yang diberikan dengan macam strain yang digunakan

yaitu N dan cl.

Karena data yang diperoleh hanya pada ulangan 1 saja yang memiliki data

lengkap, baik persilangan pada kondisi terang (kontrol) maupun kondisi gelap

(eksperimen), maka perhitungan yang kami lakukan adalah dengan persentase.

Berikut adalah rumus persentase yang digunakan.

Persentase (%) = Σ keberhasilan kawin tiap persilangan

Σ botol balsam

Tabel 4.3 Ringkasan data hasil pengamatan dalam bentuk prosentase (%)

Tipe persilangan Kondisi Cahaya

Jumlah botol yang terdapat larva

Ulangan

I

♂N >< ♀NTerang 50

Gelap 60

♂N >< ♀clTerang 40

Gelap 60

♂cl >< ♀clTerang 50

Gelap 60

♂cl >< ♀NTerang 40

Gelap 80

x 100 %

24

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Kondisi Cahaya terhadap Keberhasilan Kawin D.

melanogaster strain N dan cl

Berdasarkan analisis data diatas data yang kami peroleh hanya pada

ulangan 1 saja yang memiliki data lengkap, baik persilangan pada kondisi terang

(kontrol) maupun kondisi gelap (eksperimen), maka perhitungan yang kami

lakukan adalah dengan persentase. Pada persilangan yang telah dilakukan,

mendapatkan hasil bahwa keadaan gelap lebih dominan memberikan hasil larva

lebih banyak daripada pada saat kondisi terang. Hal tersebut terjadi karena pada

saat kondisi terang, Drosopila jantan akan memilih betina dengan kondisi

kesehatan dan tubuh yang memungkinkan terjadinya proses persilangan.

Penelitian tersebut sejalan dengan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

(Natalia Sokolovska, Locke Rowe dan Frank Johansson: 2000) menjelaskan

bahwa adanya faktor lain yang berpengaruh terhadap proses kawin D

melanogaster yaitu kondisi kesehatan dan tubuh dari betina maupun jantan,

dimana kondisi tersebut akan mempengaruhi pemilihan betina oleh jantan untuk

siap dikawini.

Dalam kondisi gelap, D. melanogaster masih mampu melakukan

perkawinan, meskipun dalam kondisi ini D. melanogaster tidak dapat melakukan

orientasi visual. Menurut (Murray S Blum dan John M. Brand: 1972) Peran dari

hormon feromon sangat diperlukan pada kondisi ini. Feromon itu merangsang dan

mendorong timbulnya tingkah laku pacaran pada individu jantan. Ditambahkan

pula oleh Nusantari (1997), bahwa pada mulanya diduga betina D. melanogaster

mengenal individu jantan secara visual, akan tetapi karena dalam keadaan gelap

bahkan dalam keadaan populasi tercampur, perkawinan yang berlangsung selalu

berhasil. Maksudnya disini adalah bahwa meskipun dalam keadaan gelap D.

Melanogaster tidak mampu melakukan visualisasi, tahap persilangan atau

perkawinan dari D. melanogaster tersebut selalu berhasil. Hal ini dikarenakan

adanya stimulus dari hormon feromon yang dihasilkan oleh individu baik betina

maupun jantan. Dari hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengenalan

25

individu jantan D. melanogaster oleh individu betina bukan hanya secara visual,

tetapi dipengaruhi oleh feromon sehingga tanpa adanya cahaya D. melanogaster

dapat melakukan kopulasi.

Pada data hasil penelitian, dapat dibuktikan pengaruh dari pencahayaan

terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. Jika dilihat dari data, total jumlah

betina yang mampu menghasilkan larva pada kondisi terang lebih sedikit

dibanding dengan kondisi gelap. Dari data tersebut jelas bahwa pada kondisi

terang terjadi proses seleksi betina oleh pejantan dengan faktor kondisi fisik,

sedangkan pada saat gelap pejantan tidak akan mengetahui kondisi fisik dari

betina sehingga pejantan hanya menggunakan feromon betina sebagai indikasi

kesiapan kawin sehingga proses seleksi akan lebih sedikit dan proses kawin akan

berlangsung lebih cepat tanpa memperhatikan seleksi betina oleh pejantan.

5.2 Pengaruh Macam Persilangan Terhadap Keberhasilan Perkawinan

Drosophila melanogaster Strain N dan cl.

Pada percobaan yang kami lakukan, yaitu menyilangkan Drosophila

homogami (♂N >< ♀N dan ♂cl >< ♀cl) dan heterogami (♂N >< ♀cl dan ♂cl ><

♀cl) diperoleh data bahwa homogami memiliki hasil yang lebih banyak

dibandingkan heterogami. Hal tersebut dikarenakan feromon dari homogami lebih

mudah dikenali daripada heterogami. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh (A.

DRAKE, E. RASHKOVETSKY, D. WONG, H. D. RUNDLE dan A. Ø.

MOOERS: 2005), Fertilisasi assortatif berarti perkawinan tidak acak (non-random

mating) berdasarkan induk jantan dan betina yang memiliki karakteristik sama

ataupun tidak sama. Fertilisasi assortatif terdiri dari dua macam yaitu fertilisasi

assortatif positif dan fertilisasi assortatif negatif. Fertilisasi assortatif positif dapat

disebut juga sebagai homogami, yang berarti sebagai perkawinan yang dilakukan

oleh dua individu (induk jantan dan betina) yang memiliki karakteristik fenotip

yang sama/mirip. Sedangkan fertilisasi assortatif negatif dapat disebut juga

sebagai heterogami, yang berarti sebagai perkawinan yang dilakukan oleh dua

individu (induk jantan dan betina) yang memiliki karakteristik fenotip yang

berbeda.

26

Fakta dari beberapa hasil eksperimen menjelaskan bahwa frekuensi

terjadinya homogami lebih banyak daripada frekuensi terjadinya heterogami. Hal

yang sama disebutkan bahwa perkawinan pada D. melanogaster cenderung

homogami karena dengan melakukan secara homogami maka ia mampu memilih

pasangan yang memiliki karakteristik fenotip yang sama/mirip.

Dari data hasil penelitian, homogami mempunyai tahapan yang relatif

lama bila dibandingkan dengan heterogami. Hal yang sama disebutkan bahwa

perkawinan pada D.melanogaster yang ditulis oleh (A. DRAKE, E.

RASHKOVETSKY, D. WONG, H. D. RUNDLE and A. Ø. MOOERS: 2005)

dimana D.melanogaster cenderung homogami atau memilih pasangan yang

memiliki karakteristik fenotip yang sama/mirip. Pada pengamatan tersebut dapat

dikatakan bahwa persilangan homogami memiliki kecenderungan lama tahap

kawin yang relatif lebih lama dibanding dengan persilangan heterogami. Hal

tersebut dikarenakan, D. melanogaster cenderung homogami atau memilih

pasangan yang memiliki karakter fenotip yang sama/mirip, sehingga

D.melanogaster merasa cocok dengan individu betina yang homogami sehingga

proses perkawinannya menjadi relatif lama.

5.3 Pengaruh Interaksi Antara Kondisi Gelap dan Macam Persilangan

Terhadap Keberhasilan Perkawinan Drosophila melanogaster Strain N

dan cl.

Pada persilangan dengan variabel cahaya, kami melakukan persilangan D

melanogaster pada tempat gelap dan tempat terang. Dalam artikel yang ditulis

Tristan A.F. Long dan Paige M. Miller (2008) masih adanya faktor lain yang

berpengaruh pada persilangan. Pada keadaan terang, pejantan akan memilih fisik

dari betina yang lebih mendukung untuk melakukan perkawinan. Fisik dari betina

yang dipilih oleh pejantan adalah kesehatan dan kesempurnaan badan. Namun

pada percobaan kami diasumsikan semua betina memiliki kesehatan yang sama.

Fakta percobaan membuktikan bahwa pada keadaan dengan pencahayaan,

pejantan akan tetap memilih betina dengan kualifikasi tertentu sehingga pejantan

akan mencari betina yang paling sempurna terlebih dahulu dari 10 betina yang

disediakan untuk dikawini, sehingga proses pemilihan betina tersebut akan

27

memperlambat laju perkawinan antara pejantan dan betina. Betina yang

disediakan juga tidak sepenuhnya memiliki tingkat keinginan untuk kawin yang

sama sehingga memperlambat laju perkawinan pejantan dan betina.

Pada keadaan gelap, pejantan tidak akan mendeteksi fisik dari betina.

Betina yang siap kawin adalah betina yang memiliki feromon yang lebih tajam

dari yang lain, jadi meskipun memiliki tubuh yang kurang sempurna akan tetapi

jika memiliki feromon yang tajam, maka betina tersebut akan dipilih terlebih

dahulu oleh pejantan sehingga dengan mengabaikan kondisi fisik dari betina

tersebut, pejantan akan segera mengawini para betina yang telah siap kawin.

(Natalia Sokolovska, Locke Rowe dan Frank Johansson: 2000)

Perkawinan pada D.melanogaster cenderung homogami atau memilih

pasangan yang memiliki karakteristik fenotip yang sama/mirip. Pada pengamatan

tersebut dapat dikatakan bahwa persilangan homogami memiliki kecenderungan

lama tahap kawin yang relatif lebih lama dibanding dengan persilangan

heterogami. Hal tersebut dikarenakan, D. melanogaster cenderung homogami atau

memilih pasangan yang memiliki karakter fenotip yang sama/mirip, D.

melanogaster merasa cocok dengan individu betina yang homogami sehingga tahap

perkawinannya menjadi relatif lama (A. DRAKE, E. RASHKOVETSKY, D.

WONG, H. D. RUNDLE and A. Ø. MOOERS: 2005).

Ada beberapa yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan waktu antara

persilangan satu dengan yang lainnya, yaitu pilihan individu jantan, terdapat strain

tertentu yang lebih tertarik dengan individu betina asing, individu betina virgin

dan individu betina yang sudah dikawini. Hal ini terlihat pada perkawinan mereka

yang sangat berhasil. Kemenarikan individu betina, individu betina yang tidak

menarik bagi individu jantan, kecil kemungkinanya untuk dipilih oleh individu

jantan sehingga berpengaruh terhadap kesuksesan kawin. Keengganan individu

betina, individu betina strain tertentu sangat enggan melakukan kopulasis

sehingga kesuksesan kawin lebih kecil. Individu betina yang kehilangan keengganan

kawin akan tinggi kesuksesan kawinnya dibandingkan individu yang

enggan menjalani kopulasi.

Persilangan D. melanogaster dalam percobaan yang kami lakukan ternyata

memberikan hasil bahwa kondisi gelap dan terang memberikan dampak dalam

28

penentuan fisik betina yang siap dikawini oleh pejantan sehingga pada persilangan

kondisi gelap akan mempercepat laju persilangan. Selain kondisi pencahayaan,

faktor homogami dan heterogami juga berpengaruh dalam penentuan kecocokan

sifat dan feromon, sehingga kecocokan tersebut akan mengurangi keengganan

untuk melakukan proses kawin sehingga homogami jelas akan lebih cepat dalam

melakukan proses identifikasi terutama feromon. Sehingga dapat segera

melakukan proses kawin.

29

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian diatas adalah:

6.1.1. Kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan kawin D.melanogaster

pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl dan N. Keadaan

gelap lebih dominan memberikan hasil larva lebih banyak daripada pada

saat kondisi terang. Hal tersebut terjadi karena pada saat kondisi terang,

Drosopila jantan akan memilih betina dengan kondisi kesehatan dan tubuh

yang memungkinkan terjadinya proses persilangan.

6.1.2. Jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan kawin

D.melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl

dan N. Homogami memiliki hasil yang lebih banyak dibandingkan

heterogami. Hal tersebut dikarenakan feromon dari homogami lebih

mudah dikenali daripada heterogami.

6.1.3. Interaksi antara kondisi cahaya dan macam persilangan berpengaruh

terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster pada tipe presilangan

heterogami dan homogami strain cl dan N. Kondisi gelap dan terang

memberikan dampak dalam penentuan fisik betina yang siap dikawini oleh

pejantan sehingga pada persilangan kondisi gelap akan mempercepat laju

persilangan. Selain kondisi pencahayaan, faktor homogami dan heterogami

juga berpengaruh dalam penentuan kecocokan sifat dan feromon.

6.2 Saran

Saran yang dapat diambil dari hasil penelitian tersebut adalah:

6.2.1. Sebaiknya dilakukan penelitian pada strain D. melanogaster yang lain

untuk mengetahui pengaruh kondisi gelap dan macam persilangan pada D.

melanogaster .

6.2.2. Mengingat jumlah D. melanogaster betina yang digunakan dalam satu

persilangan banyak maka hendaknya dalam penelitian yang sejenis

berikutnya perlu sering dilakukan peremajaan dalam jumlah banyak dan

30

berkala agar stok dan ampulan semakin banyak sehingga berpeluang

mendapatkan betina semakin besar.

6.2.3. Pada saat menyilangkan sebaiknya dilakukan dengan teliti agar tidak salah

dalam melakukan penyilangan.

6.2.4. Pada saat melakukan isolasi betina sebaiknya dilakukan dengan hati-hati

agar penelitian tidak gagal.

31

DAFTAR PUSTAKA

A. Drake, e. Rashkovetsky, d. Wong, h. D. Rundle and A. Ø. Mooers.2005.Variable assortative mating in replicate mating trials using Drosophila melanogaster populations derived from contrasting opposing slopes of ‘Evolution Canyon’, Israel.vol 10. Ed 00911. J. EVOL. BIOL. EUROPEAN SOC IETY FOR EVOLUTIONARY BIOLOGY.

Ashburner, Michael. 2002. Drosophila Genomics and Speciation. (Online), (http://www.gen.cam.ac.uk), diakses tanggal 31 Oktober 2015.

Corebima, AD. 1993. Genetika. Malang: OPF IKIP Malang.D.M.Lambert and A.A. Harper.1985. Mating Behaviour of D. melanogaster which

have been kept under constant darkness for about 27 years, (online), (http://Griffith.edu.au), diakses pada tanggal 31 Oktober 2015.

Demir and Dickson. 2005. fruitless Splicing Specifies Male Courtship Behavior in Drosophila. (Online) (http://www.cell.com/S0092-8674%2805%2900407-1#bcor1) diakses tanggal 26 Oktober 2015

Junaidi, A.J. 1998. Pengaruh Kondisi Gelap dan Terang Terhadap Kesuksesan Kawin Drosophila melanogaster Strain Normal (N), Eye Missing (eym) dan White (W). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UM.

Kimball, J., 1983. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Murray S Blum dan John M. Brand. 1972. Social Insect Pheromones: Their Chemistry and Function. Vol 12. Edisi 3. Halaman: 553-576. Oxvord Journal Life Science.

Natalia Sokolovska, Locke Rowe dan Frank Johansson. 2000. Fitness and Body Size in Mature Odonates. Vol 25. Halaman 239-248. Blackwell Science.

Nusantari, E. 1997. Kajian Perkawinan Kembali Individu Betina Drosophila melanogaster dan Peranannya pada Pengajaran Genetika dalam Pendekatan CBSA. Thesis tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang.

Shorrock, B. 1972. Drosophila. London: Ginn & Company Limited.Tristan A.F. Long dan Paige M. Miller. 2008. The Effect of Light Wavelength on

Mating, Copulation & Fitness in Drosophila Melanogaster. Enquiries Journal of Interdisciplinary Studies for High School Students.vol 3. Edisi 1. Halaman 1-8. Department of Ecology, Evolution, and Marine Biology, University of California, Santa Barbara.

Yulianingsih. 1996. Indeks Isolasi D. melanogaster Strain Normal, Strain Ebony dan Strain Yellow. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: FMIPA UM.