Upload
independent
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk mempertahankan
diri dan berkembangbiak, baik secara aseksual maupun secara seksual.
Reproduksi seksual ditandai dengan adanya pembuahan sel inti sperma terhadap
sel telur. Drosophila melanogaster merupakan salah satu spesies dari marga
Drosophila dan termasuk dalam kelas insekta yang melakukan proses reproduksi
secara seksual (Borror, 1992).
Pada peneitian ini yang digunakan sebagai objek penelitian adalah lalat
buah (D. melanogasster). D. melanogaster dipilih sebagai objek penelitian karena
mudah perawatan atau pengamatannya. Selain itu D. melanogaster merupakan
jenis hewan yang memiliki siklus hidup yang cepat dan mudah berkembangbiak.
Pernyataan ini diperkuat oleh Kimball (1983) yang menyebutkan bahwa
D.melanogaster dipakai dalam penelitian ada beberapa alasan, antara lain yaitu,
karena ukurannya sangat kecil sehingga mudah dipelihara dalam laboratorium,
siklus hidupnya relative pendek dan banyak disekitar kita sehingga mudah untuk
mendapatkannya.
D. melanogaster melakukan kopulasi untuk melestarikan keturunanya,
dimana kopulasi tersebut terdapat beberapa tahapan. Menurut Shorock (1972),
dalam Hartanti (1998) sebelum kopulasi D. melanogaster akan melakukan urutan
kegiatan yang disebut pacaran. Pada beberapa jenis strain D. melanogaster jantan
menarik betina untuk kawin dengan menggetarkan sayapnya dan biasanya
sebelum kopulasi berlangsung akan kejar-kejaran.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan perkawinan pada
D. melanogaster. Menurut Ehrman (1981) dalam Kusmindarti (1998) menyatakan
bahwa kemampuan kawin atau keberhasilan kawin dari D. melanogaster
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal atau faktor genetik
misalnya adanya hormon perkawinan (hormon feromon) dan faktor eksternal atau
faktor lingkungan, misalnya suhu atau temperatur, cahaya, kelembaban udara, dan
faktor lingkungan lainnya. Adanya mutan yang terjadi pada strain yang digunakan
akan mempengaruhi proses perkawinan karena tingkah laku yang berbeda antara
1
2
mutan-mutan tersebut sehingga berdampak pada keberhasilan kawin D.
melanogaster. Dalam kehidupannya, setiap hewan terlahir tidak hanya membawa
karakteristik tubuh dan morfologi tetapi juga mambawa tingkah laku innate
(insting) yang spesifik saat perkembangannya sebagai salah satu respon terhadap
kondisi lingkungannya. (Demir and Dickson, 2005)
Berdasarkan pengaruh ada tidaknya cahaya terhadap tingkah laku kawin
D. Melanogaster. Junaidi (1998) membagi spesies D. melanogaster menjadi 3
kelompok berdasarkan respon pengaruh cahaya terhadap tingkah laku kawin
mereka. Kelompok pertama terdiri dari spesies yang perkawinannya sama-sama
berhasil baik dalam kondisi terang maupun kondisi gelap. Kelompok kedua berisi
spesies yang tingkah lakunya terhambat oleh kondisi gelap dan kelompok ketiga
terdiri dari spesies yang tingkah lakunya terjadi pada kondisi gelap.
Berkenaan dengan perlakuan dengan kondisi gelap maupun terang dengan
adanya penelitian sebelumnya mengenai keadaan kondisi terang dan gelap,
Drosopila jantan akan memilih betina dengan kondisi kesehatan dan tubuh yang
memungkinkan terjadinya proses persilangan dalam penelitianya yang berjudul
“Fitness and Body Size in Mature Odonate” (Natalia Sokolovska, Locke Rowe
dan Frank Johansson. 2000).
Selain dipengaruhi oleh kondisi cahaya, perkawinan D. melanogaster juga
dipengaruhi oleh jumlah individu betina yang dikawinkan. Mc. Sheehy (1963)
dalam Fowler (1973) dalam Kusmindarti (1998) menyatakan bahwa jumlah
individu betina akan menentukan frekuensi kawin individu jantan beberapa jenis
Drosophila. Menurut Kowalsky (2004), keberhasilan kawin D. melanogaster juga
sering dikaitkan dengan macam strain. Beberapa strain D. melanogaster jantan
memiliki tingkah laku selektif dalam memilih betina yang akan dikawini.
Keadaan ini dipengaruhi karena adanya feromon yang dikeluarkan oleh individu
betina dan akan diterima oleh jantan sebagai sinyal kimia.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan suatu penelitian dari
pengaruh kondisi gelap dan jenis persilangan terhadap keberhasilan kawin dari D.
melanogaster. Oleh karena itu, disusunlah judul penelitian proyek penelitian
mengenai “Pengaruh Kondisi Cahaya dan Jenis Persilangan Terhadap
3
Keberhasilan Kawin Drosophila Melanogaster pada Strain cl >< cl, N >< N,
dan cl >< N, Beserta Resiproknya”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.2.1. apakah kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan kawin
Drosophila melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami
strain cl dan N?
1.2.2. apakah jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan kawin
Drosophila melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami
strain cl dan N?
1.2.3. Apakah interaksi antara kondisi cahaya dan jenis persilangan berpengaruh
terhadap keberhasilan kawin Drosophila melanogaster pada tipe
persilangan heterogami dan homogami strain cl dan N?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini sebagai
berikut :
1.3.1. untuk mengetahui kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan
kawin D. melanogaster pada tipe presilangan heterogami dan homogami
strain cl dan N;
1.3.2. Untuk mengetahui jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan
kawin D. melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami
strain cl dan N;
1.3.3. Untuk mengetahui interaksi antara kondisi cahaya dan macam persilangan
berpengaruh terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster pada tipe
presilangan heterogami dan homogami strain cl dan N.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut :
4
1.4.1 bagi mahasiswa, dapat menambah wawasan tentang genetika, memberikan
pengetahuan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan kawin D. melanogaster strain cl dan N, dan memotivasi
mahasiswa untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
1.4.2 bagi ilmu pengetahuan, dapat meemberikan informasi mengenai adanya
pengaruh kondisi cahaya dan jenis persilangan terhadap keberhasilan
kawin D. melanogaster strain cl dan N.
1.5. Asumsi Penelitian
Asumsi dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.5.1. kesuburan atau fertilitas semua induk betina maupun jantan dianggap
sama;
1.5.2. umur induk betina maupun jantan yang disilangkan dianggap sama;
1.5.3. semua faktor lingkungan kecuali pencahayaan dianggap sama untuk
masing-masing perlakuan (gelap dan kontrol);
1.5.4. kondisi medium yang digunakan dianggap sama.
1.6. Batasan Masalah
Penelitian yang dilakukan memiliki batasan masalah sebagai berikut:
1.6.1. strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain
cl dan N dan stoknya didapatkan dari Laboratorium Genetika Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang;
1.6.2. Penelitian ini dilakukan dengan menyilangkan strain cl dan N secara
homogami dan heterogami sebanyak 3 kali ulangan pada masing-masing
perlakuan;
1.6.3. jumlah D. melanogaster yang disilangkan pada setiap persilangan yang
dilakukan mempunyai perbandingan 1 individu jantan : 10 individu betina;
1.6.4. kondisi gelap dalam penelitian ini yaitu botol selai persilangan yang
dimasukkan ke dalam kardus yang dibungkus karbon hitam;
1.6.5. kondisi terang dalam penelitian ini yaitu botol selai persilangan yang
dimasukkan ke dalam kardus yang tidak dibungkus karbon hitam tetapi
diberi mika bening.
5
1.6.6. pengamatan terhadap keberhasilan kawin hanya mengacu pada indikator
ada tidaknya larva yang muncul dari induk betina yang telah dikawinkan;
1.6.7. batas waktu paling lama untuk menghitung ada tidaknya larva adalah
selama 7 hari;
1.7. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dalam laporan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.7.1. strain adalah suatu kelompok intraspesifik yang hanya memiliki satu atau
sejumlah kecil yang berbeda, biasanya secara genetis dalam keadaan
homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni, dalam hal ini strain
yang digunakan adalah strain cl dan N ;
1.7.2. persilangan adalah suatu usaha yang menyebabkan terjadinya perkawinan
antara dua individu yang berbeda jenis;
1.7.3. homogami adalah perkawinan antara dua strain yang sama;
1.7.4. heterogami adalah perkawinan antara dua strain yang berbeda;
1.7.5. kondisi terang atau kontrol yaitu kondisi dimana D.melanogaster
mendapatkan perlakuan dengan kardus diberi mika disetiap sisinya sebagai
tempat jalannya masuk cahaya dari luar kardus;
1.7.6. kondisi gelap atau eksperimen yaitu kondisi dimana tidak ada cahaya luar
yang dapat masuk ke dalam kardus yang telah dilapisi kertas karbon yang
berisi botol persilangan D.melanogaster;
1.7.4 indikator keberhasilan kawin D. melanogaster adalah perhitungan individu
betina yang berhasil kawin dengan individu jantan dengan melihat ada
tidaknya larva setelah 7 hari persilangan.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika D. melanogaster
Salah satu spesies dari genus Drosophila yang banyak di kembang-biakkan
adalah D. melanogaster. Sistematika D. melanogaster menurut (Borror,1992)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Drosophilidae
Genus : Drosophila
Spesies : D. melanogaster
2.2 Karakteristik D. melanogaster
D. melanogaster mempunyai poros anterior dan posterior (kepala-ekor)
dan poros dorsoventral (punggung-perut) dan mempunyai segmen ini menyusun
tiga bagian tubuh utama, yaitu kepala, thoraks, dan abdomen. seperti hewan
simetris bilateral lainnya. D. melanogaster jantan memiliki beberapa ciri,
diantaranya yaitu adanya pigmentasi pada abdomen posterior serta jenis dan bulu
kasar pada ruas dorsal pertama. Umumnya ukuran tubuh individu jantan lebih
kecil daripada ukuran tubuh betina. Sedangkan D. melanogaster betina memiliki
ciri, yaitu tidak adanya pigmentasi pada abdomen posterior serta tubuhnya lebih
besar daripada jantan.
2.3 Daur Hidup D. melanogaster
Drosophila melanogaster memiliki daur hidup yang singkat yaitu sekitar 2
minggu mulai dari telur, embrio, larva, pupa, dan penetasan.
7
Gambar 1. Daur hidup Drosophila melanogaster
Telur Drosophila melanogaster memiliki satu atau lebih filamen
respiratori pada bagian ujung anteriornya. Pada umumnya telur membutuhkan
waktu yang lebih lama tergantung pada beberapa faktor lingkungan, misalnya:
medium, temperatur, intensitas cahaya, dan tingkat kepadatan. Metamorfosis pada
Drosophila termasuk metamorfosis sempurna, yaitu dari telur → larva instar I →
larva instar II → larva instar III → pupa → imago. Perkembangan dimulai segera
setelah terjadi fertilisasi, yang terdiri dari dua periode. Pertama, periode embrionik
di dalam telur pada saat fertilisasi sampai pada saat larva muda menetas dari telur
dan ini terjadi dalam waktu kurang lebih 24 jam. Dan pada saat seperti ini, larva
tidak berhenti-berhenti untuk makan. Periode kedua adalah periode setelah
menetas dari telur dan disebut perkembangan postembrionik yang dibagi menjadi
tiga tahap, yaitu larva, pupa, dan imago (fase seksual dengan perkembangan pada
sayap).
Telur Drosophila berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasanya
diletakkan di permukaan makanan. Telur Drosophila dilapisi oleh dua lapisan,
yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput
tipis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan di anteriornya terdapat dua
tangkai.tipis. Korion mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur tersebut
(Borror, 1992). Larva Drosophila berwarna putih, bersegmen, berbentuk seperti
cacing, dan menggali dengan mulut berwarna hitam di dekat kepala. Saat kutikula
tidak lunak lagi, larva muda secara periodik berganti kulit untuk mencapai ukuran
dewasa. Kutikula lama dibuang dan integumen baru diperluas dengan kecepatan
8
makan yang tinggi. Selama periode pergantian kulit, larva disebut instar. Instar
pertama adalah larva sesudah menetas sampai pergantian kulit pertama. Dan
indikasi instar adalah ukuran larva dan jumlah gigi pada mulut hitamnya. Sesudah
pergantian kulit yang kedua, larva (instar ketiga) makan hingga siap untuk
membentuk pupa. Pada tahap terakhir, larva instar ketiga merayap ke atas
permukaan medium makanan ke tempat yang kering dan berhenti bergerak. Dan
jika dapat diringkas, pada Drosophila, destruksi sel-sel larva terjadi pada prose
pergantian kulit (molting) yang berlangsung empat kali dengan tiga stadia instar:
dari larva instar 1 ke instar II, dari larva instar II ke instar III, dari instar III ke
pupa, dan dari pupa ke imago (Ashburner, 2002). Larva yang dewasa biasanya
merayap naik pada dinding botol atau pada kertas tissue dalam botol. Dan disini
larva akan melekatkan diri pada tempat kering dengan cairan seperti lem yang
dihasilkan oleh kelenjar ludah dan kemudian membentuk pupa.
Saat larva Drosophila membentuk cangkang pupa, tubuhnya memendek,
kutikula menjadi keras dan berpigmen, tanpa kepala dan sayap disebut larva instar
4. Formasi pupa ditandai dengan pembentukan kepala, bantalan sayap, dan kaki.
Puparium (bentuk terluar pupa) menggunakan kutikula pada instar ketiga. Pada
stadium pupa ini, larva dalam keadaan tidak aktif, dan dalam keadaan ini, larva
berganti menjadi lalat dewasa (Ashburner, 2002).
2.4 Tingkah Laku Kawin D. melanogaster
Setiap makhluk hidup berusaha mempertahankan jenisnya dengan jalan
reproduksi atau memperbanyak diri. Salah satunya dengan melakukan
perkawinan. Perkawinan merupakan ciri khas dari D. melanogaster yang
berkaitan dengan tingkah laku (Shorrocks, 1972 dalam Yulianingsih, 1996). D.
melanogaster menggunakan visual, auditori, sinyal kimia pada sistem
perkawinan. Saat akan kawin D. melanogaster melakukan “pacaran”, individu
jantan mengeluarkan bunyi getaran dari sayap secara terus-menerus atau arista
pada antena, biasanya yang paling dekat dengan betina. Hal ini akan menjadi
suatu rangkaian suara yang akan berfungsi sebagai sinyal perkenalan pada D.
melanogaster (D.M. Lambert dan A.A Harper, 1985).
9
Shorrocks (1972) dalam Yulianingsih (1996) mengemukakan bahwa
individu betina dapat mengeluarkan suara yang dapat digunakan untuk menolak
kehadiran individu jantan. Tingkah laku ini biasanya dilakukan oleh individu
betina yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa tetapi bersifat responsif.
Individu mutan dimungkinkan memiliki tingkah laku kawin yang berbeda dengan
individu normal, sedangkan perkawinan mutan-mutan juga berbeda antara satu
sama lain. Hal ini tersebut mempengaruhi perkawinan D. Melanogaster.
Selama aktivitas perkawinanya Drosophila melanogaster akan melakukan
serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan perkawinan. Shorrock (1972)
mengatakan bahwa sebelum kopulasi Drosophila melanogaster akan melakukan
urutan kegiatan yang biasanya disebut pacaran. Tahap pacaran ini didahului
dengan proses Orientating kemudian dilanjutkan Penepukan tubuh betina oleh
kaki depan jantan (Tapping). Jika gejala di atas tidak muncul dapat diartikan
bahwa individu jantan dan betina merupakan spesies yang berbeda sehingga tidak
akan terjadi perkawinan (Shorrock, 1972)
Tahap awal yang dilakukan oleh Drosophila melanogaster selama pacaran
adalah individu jantan dan betina saling berhadapan dengan jarak 2 mm,
kemudian individu jantan akan mengikuti betina dengan bergerak berputar yang
bisanya disebut orientating. Shorrock, (1972) mngemukakan pula bahwa individu
jantan Drosophila melanogaster dapat juga melakukan kesalahan pada prosedur
tepukan, demikian pula jika urut-urutan kegiatan pacaran terputus karena sesuatu
sebab, individu jantan dapat kehilangan jejak dan pengalihan perhatianya kepada
individu betina yang lain. Pada keadaan dimana terdapat campuran populasi,
kadang-kadang individu betina yang lain itu ternyata tidak tergolong sesama jenis.
Andai kata demikian individu jantan tetap ‘mencarinya’, sekalipun individu betina
itu tidak harus mengizinkannya melakukan kopulasi, dikatakan bahwa tampaknya
individu betina tersebut tidak puas terhadap individu jantan, dan menyadari bahwa
yang bersangkutan tidak tergolong sesama jenis (Shorrock,1972).
Selanjutnya individu jantan melakukan Singing mengangkat sayapnya
membentuk sudut 90° dan menghasilkan suara yang khas bila individu betina
belum tertarik, maka yang jantan akan mengulangi kegiatan dari awal (Wilkinz,
1993 dalam Nusantari, 1997). Menurut Shorrock (1972) dalam Corebima (1993)
10
selanjutnya individu jantan akan memperlebar posisi sayapnya membentuk sudut
900 dari badannya (berada pada jarak yang paling dekat dengan individu betina)
sambil menggetarkanya selama periodik (scissoring). selama melakukan getaran
itu, individu jantan biasanya berada di depan individu betina dikatakan bahwa
gerakan tambahan dari sayap yang dilakukan di depan individu betina itu
merupakan pameran visual. Di samping itu, individu jantan dihasilkan oleh
individu jantan D. Melanogaster dihasilkan itu terulang 20 kali per detik.
Setelah itu sayap akan dipanjangkan dan dinaikkan kemudian digulung
dan diturunkan lagi (rowing). Tahap licking terjadi jika individu jantan menjilati
alat kelamin betina dengan mengunakan ‘belalainya’ (proboscis), mengatur posisi
tubuhnya dan akhirnya melakukan kopulasi. Jika individu betina telah reseptif,
individu jantan akan menaikinya kemudian terjadi kopulasi (Shorrock,1972).
Setelah tahap licking selanjutnya adalah tahap attenting kopulasion yang mana
Drosophila melanogaster akan mencoba untuk melakukan kopulasi (usaha
kopulasi). Kemudian tahap terakhir adalah kopulasi, yaitu individu jantan
memasukkan alat kelaminya ke dalam alat kelamin betina (Wilkinz, 1993 dalam
Nusantari, 1997).
11
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Perkawinan D.
Melanogaster
Pada serangga, perkawinan menyebabkan betina mengalami perubahan
tingkah laku dan fisiologis yang berlangsung selama beberapa hari. Setelah kawin,
betina meletakkan telurnya dan menolak pacaran dan kawin dari jantan
selanjutnya. Mereka menyimpan dan menggunakan sperma yang telah
diterimanya. Pada Drosophila melanogaster, perubahan tingkah laku itu didasari
oleh bagian dari sperma dan bagian dari cairan seminal. Cairan tersebut diyakini
menyebabkan pengurangan reseptivitas yang disebut dengan efek kopulasi, tapi
dalam masa yang lebih panjang hal itu disebut sebagai efek sperma. Hal itu
berhubungan dengan keberadaan sperma pada organ penyimpanan sperma pada
betina.
Pada Drosophila melanogaster akan mampu melakukan perkawinan
kembali sekitar 48 jam setelah perkawinan sebelumnya. Setelah melakukan
perkawinan pertama, Drosophila melanogaster tidak akan menerima jantan untuk
kawin lagi beberapa hari. Setelah kawin, betina Drosophila untuk sementara
menjadi tidak reseptif dimana mereka akan melakukan penutupan ovipositor
sebagai gerakan untuk menolak ajakan kawin dari jantan berikutnya. Respon
setelah kawin ini dipicu oleh hormon peptida sex. Hormon tersebut diaktivasi oleh
Sex Peptide Receptor (SPR) sebagai sub bagian pada neuron sensori sistem
reproduksi betina.
Aktifitas kawin Drosophila melanogaster di pengaruhi oleh faktor genetik
dan faktor lingkungan. Ehrman (1981) dalam Junaidi (1998) menyatakan bahwa
kegiatan “pacaran” D. melanogaster di mulai dengan orientasi atau periode
”pacaran”. Romeser (1973) dalam Junaidi (1998) mengemukakan bahwa orientasi
ini dapat dipengaruhi faktor-faktor eksternal (cahaya, kelembaban, dan suhu) atau
faktor internal misalnya adanya pengaruh hormon. Menurut Borror, D.J, (1992)
dalam Junaidi (1998), setiap individu memiliki substansi yang berfungsi sebagai
tanda-tanda kimiawi diantara anggota-anggota dari jenis yang sama yang
selanjutnya disebut dengan istilah feromon.
Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang
dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal
12
dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali
sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi.
Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat
mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies).
Feromon mempunyai peranan penting pada periode “pacaran” pada
Drosophila melanogaster yaitu bermula dari adanya rangsangan feromon-feromon
individu betina atas individu jantan untuk mulai melakukan kegiatan “pacaran”
dan feromon indiviu jantan mendorong betina untuk menerima kehadiranya
(Nusantari, 1997).
Corebima (1993) mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwa feromon-
feromon pada Drosophila merupakan senyawa-senyawa hasil metabolisme yang
berfungsi sebagai suatu “karangan bunga” bagi individu jantan. Feromon-feromon
itu adalah semacam hormon yang menyebar melalui udara yang berfungsi untuk
mempengaruhi tingkah laku “pacaran” individu jantan itu dirangsang oleh
feromon-feromon yang dihasilkan oleh strain-strain lain.
2.6 Hubungan Kondisi Gelap terhadap Keberhasilan Kawin D.
melanogaster
Setiap makhluk hidup mempunyai waktu tertentu ketika melakukan
aktifitas perkawinan. Ada beberapa jenis insekta lebih aktif ketika malam hari
daripada siang hari. Ketika siang hari aktifitas insekta biasanya dipengaruhi oleh
intensitas cahaya. Sedangkan ketika malam hari efek visual berpengaruh dalam
tingkah laku kawin Drosophila melanogaster, karena intensitas cahaya kurang
sekali diperlukan dalam proses penglihatan insekta ketika malam hari, karena
visualisasi tiap insekta maupun hewan lainnya tidak dalam keadaan seperti
normalnya. Dalam keadaan seperti ini peranan feromon sangat diperlukan untuk
mensukseskan proses kawin. Pernyataan dalam Kusmindarti (1998) menyatakan
bahwa pada Drosophila melanogaster feromon-feromon yang dihasilkan individu
betina diterima individu jantan untuk memulai kegiatan “pacaran’. Di lain pihak
feromon individu jantan mendorong individu betina untuk menerima
kehadirannya.
13
Menurut Kusmindarti (1998) pada mulanya individu betina Drosophila
melanogaster mengenal individu jantan secara visual. Akan tetapi karena dalam
kondisi gelap bahkan dalam keadaan dimana populasi tercampur, perkawinan
tetap berhasil sehingga dapat disimpulkan bahwa pengenalan individu jantan
D.melanogaster oleh individu betina bukan secara visual. Beberapa pendapat lain
yaitu misalnya menurut Junaidi (1998) menyatakan bahwa berdasarkan hasil
penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh kondisi gelap atau
terang terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. Tetapi kesimpulan hasil
penelitian tersebut berbeda dengan pernyataan dalam Corebima (1993) dalam
Junaidi (1998) yang menyatakan bahwa aktivitas kawin D.melanogaster lebih
maksimal tingkat keberhasilannya ketika periode terang. Berbeda pula halnya
dengan pernyataan yang lain dalam Corebima (1993) dalam Junaidi (1998) yang
menyatakan bahwa keberhasilan kawin Drosophila melanogaster lebih maksimal
terjadi pada periode gelap daripada periode terang. Berdasarkan pernyataan fakta
tersebut dapat dilihat bahwa perbedaan kondisi gelap terang diperkirakan bukan
satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan kawin Drosophila
melanogaster.
2.7 Kerangka Konseptual
Drosophila melanogaster merupakan salah satu spesies dari marga
Drosophila dan termasuk dalam kelas insekta yang melakukan proses reproduksi
secara seksual. Reproduksi seksual ditandai dengan adanya pembuahan sel inti
sperma terhadap sel telur. Setiap makhluk hidup berusaha mempertahankan
jenisnya dengan jalan reproduksi atau memperbanyak diri. Salah satunya dengan
melakukan perkawinan. Perkawinan merupakan ciri khas dari D. melanogaster
yang berkaitan dengan tingkah laku. Berdasarkan pengaruh ada tidaknya cahaya
terhadap tingkah laku kawin spesies D. melanogaster dibagi menjadi 3 kelompok
berdasarkan respon pengaruh cahaya terhadap tingkah laku kawin mereka.
Kelompok pertama terdiri dari spesies yang perkawinannya sama-sama berhasil
baik dalam kondisi terang maupun kondisi gelap. Kelompok kedua berisi spesies
yang tingkah lakunya terhambat oleh kondisi gelap dan kelompok ketiga terdiri
dari spesies yang tingkah lakunya terjadi pada kondisi gelap. Jenis persilangan:
14
persilangan sesama strain (satu jenis) dan persilangan berbeda strain (berbeda
jenis) akan mempengaruhi pola tingkah laku kawin. Jadi kondisi cahaya dan jenis
persilangan mempengaruhi pola tingkah laku kawin yang akan berpengaruh
terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster.
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis alternative dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan kawin D.melanogaster
pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl dan N;
B. jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan kawin
D.melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl
dan N;
Proses reproduksinya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti intensitas atau kondisi cahaya, macam
strain, dan jenis persilangan
Kondisi cahaya dapat mempengaruhi pola tingkah
laku kawin
Jenis persilangan: persilangan sesama strain (satu jenis) dan persilangan berbeda strain (berbeda jenis) akan mempengaruhi
pola tingkah laku kawin
keberhasilan kawin D. melanogaster
D. melanogaster adalah serangga yang mudah bereproduksi secara seksual
15
C. interaksi antara kondisi cahaya dan macam persilangan berpengaruh
terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster pada tipe presilangan
heterogami dan homogami strain cl dan N.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis eksperimen, karena objek penelitian diberi
perlakuan yang berbeda dan selanjutnya akan diamati serta dianalisis pengaruh
dan interaksinya. Setiap persilangan yang dilakukan terdiri atas 10 individu betina
dengan 1 individu jantan sebanyak 3 kali ulangan pada setiap perlakuan dan setiap
persilangan. Pengumpulan data dilakukan dengan melihat ada tidaknya larva yang
muncul selama waktu 7 hari setelah masing-masing dari 10 betina dipindahkan ke
10 botol balsam berbeda. Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan
anava ganda. Digunakan anava ganda karena ada lebih dari satu variabel bebas
yang diteliti, sedangkan rancangan percobaan yang dilakukan berupa Rancangan
Acak Kelompok (RAK) karena penelitian tidak dilakukan serempak.
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kondisi cahaya dan jenis
persilangan.
3.2.2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keberhasilan kawin D.
melanogaster yang diindikasikan dengan munculnya larva.
3.2.3. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah spesies lalat dan semua faktor
lingkungan kecuali intensitas cahaya.
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di ruang 310 gedung O5 Biologi FMIPA Universitas
Negeri Malang. Adapun pelaksanaan penelitian dilaksanakan mulai Bulan
September sampai Bulan Desember 2015.
3.4. Populasi dan Sampel
3.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis D.melanogaster dari
semua strain yang dibiakkan di laboratorium genetika (gedung O5) Biologi
FMIPA Universitas Negeri Malang.
17
3.4.2. Sampel
Sampel yang kami gunakan dalam penelitian kami adalah D.melanogaster
strain N dan cl.
3.5. Alat dan Bahan
3.5.1. Alat yang digunakan selama penelitian meliputi: mikroskop stereo, botol
selai, botol balsem, spons, kardus, selang, kain kasa, kertas pupasi, kertas
label, kertas karbon hitam, cotton bud, gunting, kertas label, spidol,
plastik, tisu, pisau, timbangan, panci, blender, pengaduk kayu, dan kompor
gas.
3.5.2. Bahan yang digunakan selama penelitian meliputi: D.melanogaster strain
n dan cl, pisang rajamala, tape, gula merah, yeast, dan air.
3.6. Prosedur Kerja
3.6.1. Pembuatan medium (satu resep)
a. Menyiapkan medium dengan komposisi bahan 700 gram pisang
rajamala, 200 gram tape, dan 100 gram gula merah. Kemudian 700
gram pisang rajamala dan 200 gram tape diblender sampai halus dan
memanaskan campuran 100 gram gula merah dengan air secukupnya.
b. Memasak campuran pisang dan tape yang telah dblender sekaligus
dengan campura gula merah dan air selama 45 menit, aduk hingga rata.
c. Setelah 45 menit, memasukkan medium ke dalam botol selai kemudian
tutup dengan spon. Kemudian merendam medium tersebut didalam
wadah berisi air hingga dingin.
d. Setelah medium dingin, membersihkan uap yang ada di botol selai
tersebut.
e. Menambahkan 5-7 butir yeast ke dalam botol selai yang berisi medium
dan juga memasukkan kertas pupasi dan tutup kembali botol tersebut.
3.6.2. Persiapan stok induk (peremajaan)
a. Menyiapkan botol yang telah berisi medium.
b. Memberi label pada tiap botol.
c. Mengambil beberapa induk strain N dan cl dari stok dengan
menggunakan selang.
d. Memasukkan induk strain tersebut ke dalam botol medium baru.
18
e. Mengamati perkembangan stok induk tersebut hingga terbentuk pupa.
f. Mengambil pupa yang sudah menghitam ke dalam selang ampul yang
sudah berisi irisan pisang dan menutup selang tersebut dengan spon.
g. Menunggu hingga pupa tersebut menjadi imago yang siap untuk
disilangkan.
3.6.3. Persilangan D. melanogaster
a. Menyiapkan botol yang telah berisi medium .
b. Menyilangkan D. melanogaster 1N♂ >< 10N♀, 1N♂ >< 10cl♀, 1cl♂
>< 10cl♀, dan 1cl♂ >< 10N♀ dari selang ampul ke dalam botol yang
berisi medium dan ditempatkan pada kondisi gelap.
c. Menyilangkan D. melanogaster 1N♂ >< 10N♀, 1N♂ >< 10cl♀, 1cl♂
>< 10cl♀, dan 1cl♂ >< 10N♀ dari selang ampul ke dalam botol yang
berisi medium dan ditempatkan pada kondisi terang atau normal.
d. Lalat yang disilangkan berumur maksimal 3 hari setelah menetas. Bila
lebih dari 3 hari tidak boleh disilangkan.
e. Memberi label sesuai jenis persilangan, ulangan, dan tanggal
pelaksanaan.
f. Meletakkan botol persilangan pada kardus yang telah dilapisi karbon
untuk perlakuan pada kondisi gelap dan meletakkan botol persilangan
pada kardus biasa untuk kontrol.
g. Membuat ulangan setiap persilangan sebanyak tujuh kali.
3.6.4. Isolasi betina D. melanogaster
a. Menyiapkan 10 botol balsem berisi medium siap pakai untuk tempat
isolasi betina hasil persilangan.
b. Setelah persilangan selam 2 hari, individu jantan dilepas dan masing-
masing individu betina yang telah disilangkan dipindah ke botol
balsam tersebut (masing-masing botol balsam 1 betina).
c. Menunggu individu betina yang berada dalam botol balsam selama 7
hari serta mengamati keberadaan larvanya.
d. Hasil pengamatan dicatat pada data pengamatan.
19
3.7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara
mengamati ada atau tidaknya larva setelah 7 hari pada masing-masing botol
balsam yang berisi individu betina dari hasil persilangan dan kemudian data yang
telah diperoleh dicatat ke dalam tabel 3.1.
Persilangan♂N >< ♀N ♂N >< ♀cl ♂cl >< ♀cl ♂cl >< ♀N
E K E K E K E K
U1-U3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Keterangan : E = Eksperimen (kondisi gelap)
K = Kontrol (kondisi terang)
3.8. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh terlebih dahulu diubah dalam bentuk prosentase
selanjutnya data prosentase ditransfornasikan, apabila data prosentase nilainya
sebesar 0% - 30% atau 70% - 100% maka menggunakan transformasi akar
kuadrat, apabila data prosentase nilainya sebesar 30% - 70% maka tidak perlu
ditransformasi, dan apabila data prosentase nilainya sebesar 0% - 100% maka
menggunakan transformasi arc sin. Karena data kami nilai prosentasenya nilainya
sebesar 0% - 100% maka kami menggunakan transformasi arc sin. Setelah itu
dilakukan uji statistik dengan uji Anava 2 Faktorial, apabila hasilnya signifikan
maka akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf 5%.
Analisis data tidak menggunakan teknik rekonstruksi kromosom, karena pada
penelitian ini hanya diamati ada atau tidaknya larva, sedangkan fenotipe anakan
tidak dipertimbangkan.
20
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA
4.1 Data Hasil Pengamatan
4.1.1. Hasil Pengamatan Fenotip D.melanogaster
Dalam penelitian ini kami menggunakan 2 macam strain D. melanogater
yaitu strain N dan cl yang memiliki karakteristik berbeda berdasarkan
morfologinya antara lain:
a. Strain N (wild – type)
- Mata berwarna merah
- Tubuh berwarna cokelat
kekuningan
- Sayap menutupi tubuh dengan
sempurna
- Faset mata halus
b. Strain cl (cloth)
- Mata berwarna cokelat
- Tubuh berwarna cokelat
kekuningan
- Sayap menutupi tubuh dengan
sempurna
- Faset mata halus
4.1.2. Data Hasil Pengamatan
Tabel 4.1 Data Hasil Pengamatan
Persilangan♂N >< ♀N ♂N >< ♀cl ♂cl >< ♀cl ♂cl >< ♀N
E K E K E K E K
U1 1
2
3
4
22
4 × ×
5 × ×
6
7 ×
8 ×
9 × ×
10 × ×
Keterangan : E = Eksperimen (kondisi gelap)
K = Kontrol (kondisi terang)
= ada larva
= tidak ada larva
4.2 Analisis Data
Tabel 4.2 Tabel ringkasan data hasil pengamatan
Tipe persilanganKondisi
Cahaya
Jumlah botol yang terdapat larva
∑Ulangan
I II III
♂N >< ♀NTerang 5 6 11
Gelap 6 7 13
♂N >< ♀clTerang 4 4
Gelap 6 6
♂cl >< ♀clTerang 5 5
Gelap 6 9 15
♂cl >< ♀NTerang 4 4
Gelap 8 6 14
Untuk analisis data penelitian ini, menggunakan analisis varian ganda
dengan Rancangan Acak Kelompok karena penelitian dilakukan tidak serempak.
Penggunaan analisis varian ganda dikarenakan dalam penelitian ini bertujuan
untuk menguji perbedaan keberhasilan kawin D. melanogaster dalam kondisi
23
terang (kontrol) dan kondisi gelap (eksperimen) serta untuk menguji apakah ada
pengaruh antara kondisi yang diberikan dengan macam strain yang digunakan
yaitu N dan cl.
Karena data yang diperoleh hanya pada ulangan 1 saja yang memiliki data
lengkap, baik persilangan pada kondisi terang (kontrol) maupun kondisi gelap
(eksperimen), maka perhitungan yang kami lakukan adalah dengan persentase.
Berikut adalah rumus persentase yang digunakan.
Persentase (%) = Σ keberhasilan kawin tiap persilangan
Σ botol balsam
Tabel 4.3 Ringkasan data hasil pengamatan dalam bentuk prosentase (%)
Tipe persilangan Kondisi Cahaya
Jumlah botol yang terdapat larva
Ulangan
I
♂N >< ♀NTerang 50
Gelap 60
♂N >< ♀clTerang 40
Gelap 60
♂cl >< ♀clTerang 50
Gelap 60
♂cl >< ♀NTerang 40
Gelap 80
x 100 %
24
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Kondisi Cahaya terhadap Keberhasilan Kawin D.
melanogaster strain N dan cl
Berdasarkan analisis data diatas data yang kami peroleh hanya pada
ulangan 1 saja yang memiliki data lengkap, baik persilangan pada kondisi terang
(kontrol) maupun kondisi gelap (eksperimen), maka perhitungan yang kami
lakukan adalah dengan persentase. Pada persilangan yang telah dilakukan,
mendapatkan hasil bahwa keadaan gelap lebih dominan memberikan hasil larva
lebih banyak daripada pada saat kondisi terang. Hal tersebut terjadi karena pada
saat kondisi terang, Drosopila jantan akan memilih betina dengan kondisi
kesehatan dan tubuh yang memungkinkan terjadinya proses persilangan.
Penelitian tersebut sejalan dengan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
(Natalia Sokolovska, Locke Rowe dan Frank Johansson: 2000) menjelaskan
bahwa adanya faktor lain yang berpengaruh terhadap proses kawin D
melanogaster yaitu kondisi kesehatan dan tubuh dari betina maupun jantan,
dimana kondisi tersebut akan mempengaruhi pemilihan betina oleh jantan untuk
siap dikawini.
Dalam kondisi gelap, D. melanogaster masih mampu melakukan
perkawinan, meskipun dalam kondisi ini D. melanogaster tidak dapat melakukan
orientasi visual. Menurut (Murray S Blum dan John M. Brand: 1972) Peran dari
hormon feromon sangat diperlukan pada kondisi ini. Feromon itu merangsang dan
mendorong timbulnya tingkah laku pacaran pada individu jantan. Ditambahkan
pula oleh Nusantari (1997), bahwa pada mulanya diduga betina D. melanogaster
mengenal individu jantan secara visual, akan tetapi karena dalam keadaan gelap
bahkan dalam keadaan populasi tercampur, perkawinan yang berlangsung selalu
berhasil. Maksudnya disini adalah bahwa meskipun dalam keadaan gelap D.
Melanogaster tidak mampu melakukan visualisasi, tahap persilangan atau
perkawinan dari D. melanogaster tersebut selalu berhasil. Hal ini dikarenakan
adanya stimulus dari hormon feromon yang dihasilkan oleh individu baik betina
maupun jantan. Dari hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengenalan
25
individu jantan D. melanogaster oleh individu betina bukan hanya secara visual,
tetapi dipengaruhi oleh feromon sehingga tanpa adanya cahaya D. melanogaster
dapat melakukan kopulasi.
Pada data hasil penelitian, dapat dibuktikan pengaruh dari pencahayaan
terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster. Jika dilihat dari data, total jumlah
betina yang mampu menghasilkan larva pada kondisi terang lebih sedikit
dibanding dengan kondisi gelap. Dari data tersebut jelas bahwa pada kondisi
terang terjadi proses seleksi betina oleh pejantan dengan faktor kondisi fisik,
sedangkan pada saat gelap pejantan tidak akan mengetahui kondisi fisik dari
betina sehingga pejantan hanya menggunakan feromon betina sebagai indikasi
kesiapan kawin sehingga proses seleksi akan lebih sedikit dan proses kawin akan
berlangsung lebih cepat tanpa memperhatikan seleksi betina oleh pejantan.
5.2 Pengaruh Macam Persilangan Terhadap Keberhasilan Perkawinan
Drosophila melanogaster Strain N dan cl.
Pada percobaan yang kami lakukan, yaitu menyilangkan Drosophila
homogami (♂N >< ♀N dan ♂cl >< ♀cl) dan heterogami (♂N >< ♀cl dan ♂cl ><
♀cl) diperoleh data bahwa homogami memiliki hasil yang lebih banyak
dibandingkan heterogami. Hal tersebut dikarenakan feromon dari homogami lebih
mudah dikenali daripada heterogami. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh (A.
DRAKE, E. RASHKOVETSKY, D. WONG, H. D. RUNDLE dan A. Ø.
MOOERS: 2005), Fertilisasi assortatif berarti perkawinan tidak acak (non-random
mating) berdasarkan induk jantan dan betina yang memiliki karakteristik sama
ataupun tidak sama. Fertilisasi assortatif terdiri dari dua macam yaitu fertilisasi
assortatif positif dan fertilisasi assortatif negatif. Fertilisasi assortatif positif dapat
disebut juga sebagai homogami, yang berarti sebagai perkawinan yang dilakukan
oleh dua individu (induk jantan dan betina) yang memiliki karakteristik fenotip
yang sama/mirip. Sedangkan fertilisasi assortatif negatif dapat disebut juga
sebagai heterogami, yang berarti sebagai perkawinan yang dilakukan oleh dua
individu (induk jantan dan betina) yang memiliki karakteristik fenotip yang
berbeda.
26
Fakta dari beberapa hasil eksperimen menjelaskan bahwa frekuensi
terjadinya homogami lebih banyak daripada frekuensi terjadinya heterogami. Hal
yang sama disebutkan bahwa perkawinan pada D. melanogaster cenderung
homogami karena dengan melakukan secara homogami maka ia mampu memilih
pasangan yang memiliki karakteristik fenotip yang sama/mirip.
Dari data hasil penelitian, homogami mempunyai tahapan yang relatif
lama bila dibandingkan dengan heterogami. Hal yang sama disebutkan bahwa
perkawinan pada D.melanogaster yang ditulis oleh (A. DRAKE, E.
RASHKOVETSKY, D. WONG, H. D. RUNDLE and A. Ø. MOOERS: 2005)
dimana D.melanogaster cenderung homogami atau memilih pasangan yang
memiliki karakteristik fenotip yang sama/mirip. Pada pengamatan tersebut dapat
dikatakan bahwa persilangan homogami memiliki kecenderungan lama tahap
kawin yang relatif lebih lama dibanding dengan persilangan heterogami. Hal
tersebut dikarenakan, D. melanogaster cenderung homogami atau memilih
pasangan yang memiliki karakter fenotip yang sama/mirip, sehingga
D.melanogaster merasa cocok dengan individu betina yang homogami sehingga
proses perkawinannya menjadi relatif lama.
5.3 Pengaruh Interaksi Antara Kondisi Gelap dan Macam Persilangan
Terhadap Keberhasilan Perkawinan Drosophila melanogaster Strain N
dan cl.
Pada persilangan dengan variabel cahaya, kami melakukan persilangan D
melanogaster pada tempat gelap dan tempat terang. Dalam artikel yang ditulis
Tristan A.F. Long dan Paige M. Miller (2008) masih adanya faktor lain yang
berpengaruh pada persilangan. Pada keadaan terang, pejantan akan memilih fisik
dari betina yang lebih mendukung untuk melakukan perkawinan. Fisik dari betina
yang dipilih oleh pejantan adalah kesehatan dan kesempurnaan badan. Namun
pada percobaan kami diasumsikan semua betina memiliki kesehatan yang sama.
Fakta percobaan membuktikan bahwa pada keadaan dengan pencahayaan,
pejantan akan tetap memilih betina dengan kualifikasi tertentu sehingga pejantan
akan mencari betina yang paling sempurna terlebih dahulu dari 10 betina yang
disediakan untuk dikawini, sehingga proses pemilihan betina tersebut akan
27
memperlambat laju perkawinan antara pejantan dan betina. Betina yang
disediakan juga tidak sepenuhnya memiliki tingkat keinginan untuk kawin yang
sama sehingga memperlambat laju perkawinan pejantan dan betina.
Pada keadaan gelap, pejantan tidak akan mendeteksi fisik dari betina.
Betina yang siap kawin adalah betina yang memiliki feromon yang lebih tajam
dari yang lain, jadi meskipun memiliki tubuh yang kurang sempurna akan tetapi
jika memiliki feromon yang tajam, maka betina tersebut akan dipilih terlebih
dahulu oleh pejantan sehingga dengan mengabaikan kondisi fisik dari betina
tersebut, pejantan akan segera mengawini para betina yang telah siap kawin.
(Natalia Sokolovska, Locke Rowe dan Frank Johansson: 2000)
Perkawinan pada D.melanogaster cenderung homogami atau memilih
pasangan yang memiliki karakteristik fenotip yang sama/mirip. Pada pengamatan
tersebut dapat dikatakan bahwa persilangan homogami memiliki kecenderungan
lama tahap kawin yang relatif lebih lama dibanding dengan persilangan
heterogami. Hal tersebut dikarenakan, D. melanogaster cenderung homogami atau
memilih pasangan yang memiliki karakter fenotip yang sama/mirip, D.
melanogaster merasa cocok dengan individu betina yang homogami sehingga tahap
perkawinannya menjadi relatif lama (A. DRAKE, E. RASHKOVETSKY, D.
WONG, H. D. RUNDLE and A. Ø. MOOERS: 2005).
Ada beberapa yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan waktu antara
persilangan satu dengan yang lainnya, yaitu pilihan individu jantan, terdapat strain
tertentu yang lebih tertarik dengan individu betina asing, individu betina virgin
dan individu betina yang sudah dikawini. Hal ini terlihat pada perkawinan mereka
yang sangat berhasil. Kemenarikan individu betina, individu betina yang tidak
menarik bagi individu jantan, kecil kemungkinanya untuk dipilih oleh individu
jantan sehingga berpengaruh terhadap kesuksesan kawin. Keengganan individu
betina, individu betina strain tertentu sangat enggan melakukan kopulasis
sehingga kesuksesan kawin lebih kecil. Individu betina yang kehilangan keengganan
kawin akan tinggi kesuksesan kawinnya dibandingkan individu yang
enggan menjalani kopulasi.
Persilangan D. melanogaster dalam percobaan yang kami lakukan ternyata
memberikan hasil bahwa kondisi gelap dan terang memberikan dampak dalam
28
penentuan fisik betina yang siap dikawini oleh pejantan sehingga pada persilangan
kondisi gelap akan mempercepat laju persilangan. Selain kondisi pencahayaan,
faktor homogami dan heterogami juga berpengaruh dalam penentuan kecocokan
sifat dan feromon, sehingga kecocokan tersebut akan mengurangi keengganan
untuk melakukan proses kawin sehingga homogami jelas akan lebih cepat dalam
melakukan proses identifikasi terutama feromon. Sehingga dapat segera
melakukan proses kawin.
29
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian diatas adalah:
6.1.1. Kondisi cahaya berpengaruh terhadap keberhasilan kawin D.melanogaster
pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl dan N. Keadaan
gelap lebih dominan memberikan hasil larva lebih banyak daripada pada
saat kondisi terang. Hal tersebut terjadi karena pada saat kondisi terang,
Drosopila jantan akan memilih betina dengan kondisi kesehatan dan tubuh
yang memungkinkan terjadinya proses persilangan.
6.1.2. Jenis persilangan berpengaruh terhadap keberhasilan kawin
D.melanogaster pada tipe persilangan heterogami dan homogami strain cl
dan N. Homogami memiliki hasil yang lebih banyak dibandingkan
heterogami. Hal tersebut dikarenakan feromon dari homogami lebih
mudah dikenali daripada heterogami.
6.1.3. Interaksi antara kondisi cahaya dan macam persilangan berpengaruh
terhadap keberhasilan kawin D. melanogaster pada tipe presilangan
heterogami dan homogami strain cl dan N. Kondisi gelap dan terang
memberikan dampak dalam penentuan fisik betina yang siap dikawini oleh
pejantan sehingga pada persilangan kondisi gelap akan mempercepat laju
persilangan. Selain kondisi pencahayaan, faktor homogami dan heterogami
juga berpengaruh dalam penentuan kecocokan sifat dan feromon.
6.2 Saran
Saran yang dapat diambil dari hasil penelitian tersebut adalah:
6.2.1. Sebaiknya dilakukan penelitian pada strain D. melanogaster yang lain
untuk mengetahui pengaruh kondisi gelap dan macam persilangan pada D.
melanogaster .
6.2.2. Mengingat jumlah D. melanogaster betina yang digunakan dalam satu
persilangan banyak maka hendaknya dalam penelitian yang sejenis
berikutnya perlu sering dilakukan peremajaan dalam jumlah banyak dan
30
berkala agar stok dan ampulan semakin banyak sehingga berpeluang
mendapatkan betina semakin besar.
6.2.3. Pada saat menyilangkan sebaiknya dilakukan dengan teliti agar tidak salah
dalam melakukan penyilangan.
6.2.4. Pada saat melakukan isolasi betina sebaiknya dilakukan dengan hati-hati
agar penelitian tidak gagal.
31
DAFTAR PUSTAKA
A. Drake, e. Rashkovetsky, d. Wong, h. D. Rundle and A. Ø. Mooers.2005.Variable assortative mating in replicate mating trials using Drosophila melanogaster populations derived from contrasting opposing slopes of ‘Evolution Canyon’, Israel.vol 10. Ed 00911. J. EVOL. BIOL. EUROPEAN SOC IETY FOR EVOLUTIONARY BIOLOGY.
Ashburner, Michael. 2002. Drosophila Genomics and Speciation. (Online), (http://www.gen.cam.ac.uk), diakses tanggal 31 Oktober 2015.
Corebima, AD. 1993. Genetika. Malang: OPF IKIP Malang.D.M.Lambert and A.A. Harper.1985. Mating Behaviour of D. melanogaster which
have been kept under constant darkness for about 27 years, (online), (http://Griffith.edu.au), diakses pada tanggal 31 Oktober 2015.
Demir and Dickson. 2005. fruitless Splicing Specifies Male Courtship Behavior in Drosophila. (Online) (http://www.cell.com/S0092-8674%2805%2900407-1#bcor1) diakses tanggal 26 Oktober 2015
Junaidi, A.J. 1998. Pengaruh Kondisi Gelap dan Terang Terhadap Kesuksesan Kawin Drosophila melanogaster Strain Normal (N), Eye Missing (eym) dan White (W). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UM.
Kimball, J., 1983. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Murray S Blum dan John M. Brand. 1972. Social Insect Pheromones: Their Chemistry and Function. Vol 12. Edisi 3. Halaman: 553-576. Oxvord Journal Life Science.
Natalia Sokolovska, Locke Rowe dan Frank Johansson. 2000. Fitness and Body Size in Mature Odonates. Vol 25. Halaman 239-248. Blackwell Science.
Nusantari, E. 1997. Kajian Perkawinan Kembali Individu Betina Drosophila melanogaster dan Peranannya pada Pengajaran Genetika dalam Pendekatan CBSA. Thesis tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang.
Shorrock, B. 1972. Drosophila. London: Ginn & Company Limited.Tristan A.F. Long dan Paige M. Miller. 2008. The Effect of Light Wavelength on
Mating, Copulation & Fitness in Drosophila Melanogaster. Enquiries Journal of Interdisciplinary Studies for High School Students.vol 3. Edisi 1. Halaman 1-8. Department of Ecology, Evolution, and Marine Biology, University of California, Santa Barbara.
Yulianingsih. 1996. Indeks Isolasi D. melanogaster Strain Normal, Strain Ebony dan Strain Yellow. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: FMIPA UM.