95

Kolaborasi Soetomo – Airlangga COVID-19

Embed Size (px)

Citation preview

PERJALANAN PANJANG KOLABORASI PENELITIAN SOETOMO-AIRLANGGA PADA MASA PANDEMI

COVID-19

Luaran Jilid 1

Editor : Prof. Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., SpDV-K, FINSDV, FAADV

Dr. Damayanti Tinduh, dr., Sp.KFR-K apt.Dra. Siti Farida, SpFRS. FISQua

Fani Arsyad, dr, M.Kes Imam Mu’if, SKM

Cover Illustrator : Syailendra Balindo

i

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa

karena rahmat dan karunia NYA kami bisa menyelesaikan buku Perjalanan

Panjang Kolaborasi Penelitian Soetomo-Airlangga di RSUD Dr Soetomo

pada Masa Pandemi Covid-19. Buku ini kami dedikasikan sebagai

rekomendasi dari hasil penelitian tim kolaborasi Konsorsium Covid-19

RSUD Dr. Soetomo & Universitas Airlangga dan didedikasikan bagi para

peneliti dan klinisi yang telah berkontribusi dalam penanganan pandemi

Covid- 19.

Sebagaimana diketahui bahwasannya pandemi ini dalam

waktu singkat telah menelan ratusan korban jiwa, termasuk tenaga

kesehatan. Langkah cepat dan tepat dilakukan para peneliti dan klinisi

RSUD Dr Soetomo dan Universitas Airlangga, untuk menemukan upaya

memutus mata rantai penyebaran Covid-19 secara komprehensif.

Kolaborasi penelitian ini bersifat translasional, melibatkan kolaborasi

sumber daya manusia, sumber dana dan ranah penelitian yang beragam.

Buku Perjalanan Panjang Kolaborasi Penelitian Soetomo-Airlangga

pada Masa Pandemi Covid-19 merupakan rangkuman dari hasil

penelitian dan rekomendasi dari kolaborasi berbagai penelitian yang

dilaksanakan di RSUD Dr Soetomo.

Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada

para peneliti, sponsor, institusi terkait, para research assistance dan tim

editor buku atas tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk mewujudkan

buku rekomendasi ini. Penyempurnaan maupun pengembangan penelitian

di masa mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan mengingat akan

perkembangan situasi yang begitu dinamis. Semoga buku ini dapat

membantu dan bermanfaat bagi tenaga kesehatan di seluruh wilayah

Indonesia.

Surabaya, Desember 2021

Direktur Utama RSUD Dr. Soetomo

Dr. Joni Wahyuhadi, dr. SpBS (K)

KATA PENGANTAR

ii

iii

COVID-19 adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus SARS-COV2, dengan peradangan saluran pernafasan sebagai manifestasi klinis yang paling banyak ditemui. Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia hingga pada tanggal 11 Maret 2020 WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. COVID-19 pertama kali ditemukan dan diumumkan di Indonesia secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 2 Maret 2020 dengan 2 kasus yang telah terkonfirmasi melalui pemeriksaan PCR. Pada tanggal 15 April, data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan jumlah pasien yang terinfeksi 4.839 orang, meninggal 459 orang, dan sembuh 426 orang.

Virus SARS-COV2 memasuki tubuh manusia, bereplikasi dan menyebabkan penyakit klinis melalui 4 mekanisme utama seperti digambarkan pada bagan di bawah ini.

Patogenesis Kematian Infeksi SARS.Cov-2

(Reff: Domingoa P,MuraI,Pomara V,Corominas H,Casademontc J,de BenitoN.The four horsemen of aviral Apocalypse: The pathogenesis of SARS-CoV-2 infection (COVID-19). EBioMedicine 58 (2020) 102887)

Mekanisme ini merupakan urutan proses yang didahului oleh invasi dan infeksi virus ke dalam tubuh manusia, yang kemudian diikuti proses parallel hiperinflamasi dan aktivasi aksis ACE2/ANG(1-7), yang kemudian bermuara pada proses hiperkoagulasi dan dapat berakhir dengan bertahan hidup atau mengalami komplikasi akibat penyakit primer maupun sekunder yang berujung pada kematian. Tentu saja tingkat keparahn klinis ini tergantung pada banyak faktor yang terlibat, antara lain umur, jenis kelamin, faktor komorbid, penanganan awal, rujukan, perawatan tanpa/dengan alat bantu pernapasan dan penanganan lain.

PENDAHULUAN

iv

Peningkatancepat jumlah kasus, levelkeparahan klinisyang disertaiangka kematian yang tinggi mendorong upaya-upaya untuk mengenali karakteristik virus dan kondisi klinis infeksi COVID-19 untuk dapat coping terhadap perkembangan penyakit ini. Diperlukan upaya promotif dan preventif baik bagi masyarakat umum dan tenaga kesehatan untuk menurunkan angka transmisi COVID-19. Hal ini harus melingkupi aspek interaksi agent-host-environment yang perlu digali lebih dalam, serta upaya inovasi teknologi kesehatan untuk mengembangkan alat-alat pengaman. Di samping itu diperlukan upaya kuratif dan rehabilitatif bagi para pasien infeksi COVID-19 untuk mengurangi angka morbiditas, peningkatan derajat keparahan klinis dan kematian, serta peningkatan kualitas hidup. Hal ini melibatkan aspek diagnostik, prognostik, kuratif dan rehabilitatif. Aspek pendukung yang menyokong peningkatan pelayanan juga perlu mendapat perhatian, yaitu penelitian biomolekuler untuk pengembangan obat dan vaksin, pengembangan inovasi teknologi Kedokteran dan upaya surveilans-epidemiologi. Sebagai Rumah Sakit Pendidikan Utama dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo bertanggung jawab atas keberlangsungan pendidikan profesi, sehingga asesmen tentang pendidikan profesi juga perlu mendapat perhatian danrekomendasi untuk pelaksanaannya.

Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan holistik yang baik bagi pasiennya, dengan tetap menjaga keselamatan para tenaga kesehatan yang bekerja. Sehingga untuk meningkatkan kualitas pelayanan tersebut, perlu berbagai rekomendasi yang didasarkan pada bukti ilmiah, sehingga diperlukan aktivitas penelitian yang mendukung dan terintegrasi dengan pelayanan. Terkait hal tersebut, dalam masa pandemic COVID- 19, dibentuklah Kolaborasi Penelitian RSUD Dr. Soetomo – Universitas Airlangga pada masa pandemi COVID-19 yang terdiri dari kelompok peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang saling berkolaborasi dan berinteraksi untuk membentuk penelitian terintegrasi dan translasional untuk memberikan dukungan bukti ilmiah terhadap upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, pengembangan obat dan vaksin melalui penelitian biomolekuler, pengembangan inovasi teknologi kedokteran, surveilans-epidemiologi dan Pendidikan profesi.

Penelitian ini dapat terlaksana karena tersedia sumber dana internal dan eksternal. Sumber dana internal berasal dari RSUD Dr. Soetomo dan Universitas Airlangga, sumber dana external berasal dari pendanaan dari kementrian maupun swasta (dana Corporate Social Responsibility dari berbagai perusahaan). Jumlah penelitian dalam konsorsium ini terus bertambah, mengikuti peningkatan kebutuhan penyediaan bukti ilmiah sebagai rekomendasi tata-laksana pada pasien.

Dalam buku ini dilaporkan … hasil penelitian di RSUD Dr. Soetomo sejak bulan April hingga Oktober 2021 yang sudah selesai dan dipublikasikan. Jumlah ini masih akan terus bertambah dengan bertambahnya pengusulan protokol penelitian untuk dilakukan telaah etiksebelum penelitiandimulai.

v

No Perusahaan Penelitian

1 ProEM1 Probiotik untuk Nakes

2 PT Biotis Pengembangan Vaksin

3 PT Berkembang Selaras Jaya

Kolaborasi Penelitian PK- Paru terkait Modalitas Laboratorium Untuk Pemeriksaan Covid-19

4 PT Petrokimia Pendeteksian Sars-CoV2 di Lingkungan RSUD Dr. Soetomo

5 PT Saba Indomedika

Penelitian Sarang Walet untuk Nakes

6 PT Transmedic Indonesia

Kit Aferesis untuk TPK

7 BINUS Penelitian TPK

8 PT IGM Penelitian Epidemiologi

9 Taher Foundation Pengembangan Vaksin

10 IDS Medical System Indonesia

Uji Netralisasi Antibodi pada Sel Kultur yang diinfeksi dengan Isolat Virus Sars-CoV2

11 PT Esa Medika Dermatitis Kontak

DAFTAR NAMA PERUSAHAAN PEMBERI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

vi

PROMOTIF & PREVENTIF Angka penularan virus SARS-COV2 yang tinggi membawa risiko besar bagi

keselamatan para tenaga kesehatan yang bekerja merawat para pasien tersebut karena frekuensi pertemuan yang tinggi pada masa perawatan. Usaha yang tepat

dan komprehensif dibutuhkan untuk mencegah jatuh korban dari kalangan tenaga kesehatan mulai dari penggunaan alat perlindungan diri yang tepat, menjaga jarak

fisik, persisten mencuci tangan, menjaga sanitasi barang-barang yang sering disentuh, asupan nutrisi yang baik, jadwal kerja dan istirahat yang seimbang,

aktivitas fisik berupa olahraga yang memadai dan sebagainya.

Judul Halaman

Efek Imunoprotektif Edible Bird's Nest (Sarang Walet) pada Tenaga Medis di RSUD Dr. Soetomo

2

Optimalisasi Durasi Suplementaasi Edible Bird’s Nest (Sarang Walet) Terhadap Respons Imun Tenaga Kesehatan di RSUD Dr.Soetomo

3

Efek Imunoprotektif Suplemen Echinacea & Vitamin C pada Tenaga Medis di RSUD Dr. Soetomo

4

Efek Imunomodulasi Probiotik pada Tenaga Medis di RSUD Dr. Soetomo

5

Anxiety and Resilience of Healthcare Workers During COVID- 19 Pandemic in Indonesia

6

Analisis Faktor Resiko Burnout Pada Residen Garda Terdepan Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

7

Hubungan antara Tingkat Stres dan Kadar Kortisol Saliva dan Faktor Penyebab Stres Residen Anesteriologi dan Terapi Intensif pada Era Pandemi Covid-19

8

Kecemasan dan Resiliensi yang memengaruhi Burn out, Kortisol dan IL-6 serum Nakes Garda Depan COVID-19

9

Dermatitis Kontak pada Tenaga Kesehatan akibat Pandemi COVID-19 di Surabaya, Indonesia

10

Intervensi Olahraga Zumba untuk Peningkatan Ketahanan Fisik Nakes Garda Depan Penanganan Covid-19

11

1

Kesimpulan : Edible Bird’s Nest (EBN 20%) memiliki efek imunoprotektif terhadap virus-virus saluran pernafasan pada tenaga medis kesehatan yang telah mengonsumsinya selama 14 hari.

Rekomendasi : Produk suplementasi nutrisi seperti halnya EBN 20% , walaupun hanya mengandung 20%, ternyata berhasil melindungi tenaga kesehatan dari infeksi selesma.

2

Latar Belakang : Edible Bird’s Nest (EBN) atau sarang burung walet

merupakan salah satu bahan alami yang dianggap mempunyai banyak

khasiat di antaranya meningkatkan sistem imun tubuh. Edible Bird’s Nest

dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, khususnya imunitas

humoral dan imunitas seluler melalui efek stimulasi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui efek imunoprotektif Edible Bird's Nest

(EBN) pada tenaga medis di RSUD Dr Soetomo, sebagai upaya

pencegahan resiko terpapar COVID-19.

Desain Penelitian : Uji klinis eksperimental pre and post-test design

pada 100 orang tenaga medis yang terlibat dalam penanganan COVID-19

di RSUD Dr. Soetomo. Subjek dilakukan pemeriksaan awal TNF alpha, IL-

1 beta, IFN beta sebelum pemberian EBN. Subjek penelitian diberikan

EBN 70 ml sehari selama 14 hari kemudian dievaluasi kembali kadar TNF

alpha, IL-1 beta, IFN beta post pemberian EBN. Penelitian ini tidak

menggunakan kontrol.

Hasil Penelitian :

• Dari hasil uji Wilcoxon, tidak terdapat perbedaan bermakna pada TNF-

dan IL-1, antara pre- dan post- (p > 0,05). Sedangkan pada IFN-

terdapat perbedaan bermakna antara pre- dan post- (p < 0,05). Secara

umum ketiga sitokin proinflamasi tersebut mengalami penurunan.

• Dari hasil sub analisis, subjek penelitian dengan kadar TNF- serum

awal yang lebih rendah (median 4,684 pg/ml, rentang 0,865 – 11,150

pg/ml), suplementasi EBN selama 14 hari dapat meningkatkan kadar

TNF- serum (p<0,000). Sedangkan pada subjek penelitian dengan

kadar TNF- serum awal yang lebih tinggi (median 2,003 pg/ml,

rentang 1,118 – 11,551 pg/ml), suplementasi EBN selama 14 hari dapat

menurunkan kadar TNF- serum (p<0,000).

• Pada subjek penelitian dengan kadar IFN- serum awal yang lebih

rendah (median 0,702 pg/ml, rentang 0,205 – 3,628 pg/ml),

suplementasi EBN selama 14 hari dapat meningkatkan kadar IFN-

serum (p<0,050). Sedangkan pada subjek penelitian dengan kadar IFN-

serum awal yang lebih tinggi (median 1,356 pg/ml, rentang 0,208 -

3,877 pg/ml), suplementasi EBN selama 14 hari dapat menurunkan

kadar IFN- serum (p<0,050).

• Pada subjek penelitian dengan kadar IL-1β serum awal yang lebih

rendah (median 0,231 pg/ml, rentang 0,144 -2,913 pg/ml),

suplementasi EBN selama 14 hari dapat meningkatkan kadar IL-1β

serum (p<0,000). Sedangkan pada subjek penelitian dengan kadar IL-1β

serum awal yang lebih tinggi (median 0,382 pg/ml, rentang 0,183 -

3,207 pg/ml), suplementasi EBN selama 14 hari dapat menurunkan

kadar IL-1β serum (p<0,000).

Efek Imunoprotektif Edible Bird's Nest (Sarang Walet) pada Tenaga Medis di RSUD Dr. Soetomo

1. Wulandari La 2. Soegiarto Gb 3. Yudhawati Ra 4. Prakoeswa CRSc 5. Narendra MRa 6. Luminpauw Ia 7. Arief Ya 8. Soraya Fd 9. Wigianita MRd

aDep/KSM Ilmu Penyakit Paru & Kedokteran Respirasi bDep/KSM Ilmu Penyakit Dalam cDep/KSM Dermatologi & Venereologi dAsisten Penelitian

Ucapan Terimakasih : 1. Anisa Octaviani,

S.KM 2. Astri Nur Amalia,

S.KM 3. Antonius Erbano

(Regional Head East Java and Batara Prodia)

4. Eko Praptiningsih (Regional Marketing Manager East Java and Batara Prodia)

5. Atika, S.Si, M.Kes (Analisis Statistik)

3

Kesimpulan : Edible Bird’s Nest (EBN 99%) memiliki efek imunomodulasi dan proteksi terhadap kejadian ISPA pada tenaga medis Kesehatan. Suplementasi selama 14 hari memberikan efek yang lebih bermakna ketimbang selama 10 hari.

Rekomendasi : Berdasarkan efikasi suplementasi selama 10 hari dan 14 hari, maka sebaiknya suplementasi diberikan minimum selama 14 hari.

Latar Belakang : Dokter dan tenaga kesahatan saat ini

memegang peran penting terhadap penanggulangan COVID-

19, oleh karena itu tenaga kesehatan harus tetap menjaga

imunitas tubuh agar dapat memberikan pelayanan yang

optimal. Edible Bird’s Nest (EBN) atau sarang burung walet

memperkuat sistem kekebalan tubuh namun belum ada data

tentang durasi optimal dari penggunaan suplementasi Edible

Bird's Nest (EBN) dalam upaya mengurangi resiko infeksi pada

tenaga kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

durasi optimal suplementasi Edible Bird's Nest (EBN) terhadap

tenaga kesehatan di RSUD Dr Soetomo, sebagai upaya

pencegahan resiko terpapar COVID-19.

Desain Penelitian : Uji klinis eksperimental pre and post-test

design pada 50 orang tenaga medis yang terlibat dalam

penanganan COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo. Sampel dievaluasi

TNF alpha, IL-1 beta, IFN beta, dan IL-6 sebelum pemberian

EBN. Subjek kemudian diberikan EBN (99%) 70 ml sehari

selama 14 hari. Evaluasi respons penggunaan EBN dilakukan

dua kali, yaitu evaluasi TNF alpha, IL-1 beta, IFN beta, dan IL-6

pada 10 hari konsumsi (hari ke-11) dan 14 hari konsumsi (hari

ke-15). Penelitian ini tidak menggunakan kontrol.

Hasil Penelitian :

• Berdasarkan hasil analisis uji beda ANOVA Friedman, kadar serum TNF alpha, IL-1 beta, IFN beta, subjek penelitian sebelum, sesudah 10 hari dan sesudah 14 hari pemberian suplementasi EBN didapatkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05).

• Setelah suplementasi EBN selama 10 hari didapatkan peningkatan bermakna kadar serum TNF alpha (p<0,05), namun didapatkan penurunan kadar IL-1 beta, dan kadar IFN beta, walaupun tidak bermakna (p > 0,05).

• Setelah suplementasi EBN selama 14 hari didapatkan penurunan kembali kadar serum TNF alpha (dari kadar setelah 10 hari) sehingga dibandingkan nilai awal tidak ada perbedaan bermakna, Terjadi penurunan lebih lanjut kadar IL-1 beta, dan IFN beta yang bermakna (p < 0,05).

Optimalisasi Durasi Suplementaasi Edible Bird’s Nest (Sarang Walet) Terhadap Respons Imun Tenaga Kesehatan di RSUD Dr.Soetomo

1. Wulandari La 2. Soegiarto Gb 3. Felani Ra 4. Fendy AAa 5. Burhanuddin Ma 6. Kolibu Ra 7. Setiawan FDa 8. Fonda T 9. Soraya Fc 10.Wigianita MRc

aDep/KSM Ilmu Penyakit Paru & Kedokteran Respirasi bDep/KSM Ilmu Penyakit Dalam cAsisten Penelitian

Ucapan Terimakasih : 1. Anisa Octaviani, S.KM 2. Astri Nur Amalia, S.KM 3. Antonius Erbano (Regional Head East Java and Batara Prodia) 4. Eko Praptiningsih (Regional Marketing Manager East Java and Batara Prodia) 5. Atika, S.Si, M.Kes (Analisis Statistik)

4

Efek Imunoprotektif Suplemen Echinacea & Vitamin C pada Tenaga Medis di RSUD Dr. Soetomo

1. Soegiarto Ga

2. Wulandari Lb

3. Prakoeswa CRSc

4. Hapsari Na

5. Suci YDa

6. Pratiwy Pa

7. Munandar Ib

8. Prawono DHb

9. Nugroho FAb

10.Soraya Fd

11.Wigianita MRd

aDep/KSM Ilmu

Penyakit Dalam bDep/KSM Ilmu

Penyakit Paru &

Kedokteran Respirasi cDep/KSM Dermatologi

& Venereologi dAsisten Penelitian

Ucapan Terimakasih :

1. Anisa Octaviani,

S.KM

2. Astri Nur Amalia,

S.KM

3. Antonius Erbano

(Regional Head East

Java and Batara

Prodia)

4. Eko Praptiningsih

(Regional Marketing

Manager East Java

and Batara Prodia)

5. Atika, S.Si, M.Kes

(Analisis Statistik)

Latar Belakang : Echinacea diklaim memiliki sifat merangsang kekebalan dan dapat mengurangi keparahan gejala dan durasi flu atau infeksi virus respirasi lainnya, terutama jika digunakan pada tahap awal infeksi. Selain penggunaan suplemen yang mengandung ekstrak Echinacea, vitamin C merupakan suplemen yang paling popular dikonsumsi oleh masyarakat untuk melindungi diri dari infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek imunoprotektif preparat Echinacea sp. dan vitamin C pada tenaga medis di RSUD Dr Soetomo, sebagai upaya pencegahan resiko terpapar COVID-19.

Desain Penelitian : Uji klinis eksperimental pre and post-test design pada 105 tenaga medis yang bertugas menangani Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok yaitu N1 (35 subjek) diberi Imboost Force ES yang mengandung 1000 mg ekstrak Echinacea purpurea, 400 mg Black Elderberly, dan 10 mg zinc picolinate 1 sebanyak 1 kaplet per hari, N2 (35 subjek) diberi vitamin C 1000 mg sebanyak 1 kaplet per hari dan N3 (35 subjek) diberi Imboost Force ES-1 kaplet per hari dan vitamin C 500 mg sebanyak 1 kaplet per hari. Ketiga kelompok mengonsumsi preparat yang diberikan selama 30 hari. Tidak ada kontrol dalam penelitian ini.

Hasil Penelitian : • Hasil Uji Wilcoxon pada subjek dengan pemberian vitamin C pre dan post menunjukkan perbedaan bermakna TNF-, IFN-,dan IL-6 (p < 0,05). • Hasil Uji Wilcoxon pada subjek dengan pemberian imboost pre dan post didapatkan perbedaan bermakna TNF-, IFN-, dan IL-6 (p < 0,05). • Hasil Uji Wilcoxon pada subjek dengan pemberian imboost dan vit. C pre dan post didapatkan perbedaan bermakana pada data TNF- (p < 0,05), dan hasil uji t berpasangan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada IFN- dan IL-6 (p < 0,05). • Hasil Uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna TNF-, IFN-, IL-6 dan IL-10 antar perlakuan (p > 0,05). • Dalam hal kadar TNF-: Peningkatan yang terbesar didapatkan pada kelompok yang mendapatkan Imboost Force, disusul berikutnya pada kelompok yang mendapatkan Vitamin C saja, dan kelompok kombinasi Imboost Force + vitamin C. • Dalam hal kadar IFN-: Penurunan yang terbesar didapatkan pada kelompok yang mendapatkan Kombinasi Imboost Force + vitamin C, disusul berikutnya pada kelompok yang mendapatkan Vitamin C saja, dan kelompok Imboost Force saja • Dalam hal kadar IL-6: Peningkatan yang terbesar didapatkan pada kelompok yang mendapatkan Imboost Force, disusul berikutnya pada kelompok yang mendapatkan Vitamin C saja, dan kelompok kombinasi Imboost Force + vitamin C • Dalam hal kadar IL-10: Penurunan yang terbesar didapatkan pada kelompok yang mendapatkan vVitamin C, disusul berikutnya pada kelompok yang mendapatkan kombinasi Imboost Force + vitamin C, dan kelompok Imboost Force saja

Kesimpulan : Echinacea, vitamin C, dan kombinasi Echinacea + vit C memberikan efek imunomodulasi pada tenaga medis yang telah mengonsumsinya selama 30 hari. Efek modulasinya bervariasi tergantung dari jenis sitokin yang dijadikan target pemeriksaan.

5

Kesimpulan : Probiotik memiliki efek imunomodulasi pada tenaga medis yang telah mengonsumsinya selama 28 hari. Suplementasi selama 28 hari dapat mencegah kejadian ISPA pada tenaga medis

Rekomendasi : Penelitian ini mengkonfirmasi efek positif probiotik pada kelainan ekstraintestinal termasuk kejadian ISPA yang mendukung rekomendasi bahwa pemberian probiotik dapat digunakan untuk mencegah kejadian ISPA pada tenaga kesehatan.

Latar Belakang : Jumlah kasus positif COVID-19 yang terus bertambah, membuat tenaga medis menjadi kewalahan dan menyebabkan resiko terpapar COVID-19 menjadi semakin besar. Tenaga medis harus tetap menjaga imunitas tubuh agar tidak mudah terinfeksisehingga dapat melaksanakan pelayanan secara maksmimal. Probiotik sudah lama diketahui memiliki efek imunomodulasi, termasuk untuk menghadapi virus-virus saluran napas, namun belum pernah diteliti sebelumnya apakah pemberian probiotik juga dapat memberikan proteksi terhadap virus corona. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membuktikan efek imunomodulasi preparat probiotik pada tenaga medis di RSUD Dr Soetomo, sebagai upaya meningkatkan ketahanan tubuh untuk melawan virus-virus saluran napas, terutama saat mereka bertugas melayani pasien-pasien COVID-19.

Desain Penelitian : Penelitian ini merupakan uji klinis eksperimental pre and post-test design, pada 100 tenaga medis yang menangani COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Subjek mendapatkan suplementasi probiotik berupa sirup konsentrat yang mengandung mikro-organisme yang terdiri dari Lactobacillus casei EMRO 002, Lactobacillus casei EMRO 213, Lactobacillus plantarum EMRO 009, Lactobacillus fermentum EMRO 211, dan Lactobacillus rhamnosus EMRO 014, Rhodopseudomonas palustris EMRO 201 serta beberapa zat tambahan berupa air, madu, molase, jus lidah buaya dan asam sitrat (PRO EM-1) sebanyak 2x 15 cc per hari untuk dikonsumsi selama 4 minggu (28 hari). Tidak ada kontrol dalam penelitian ini.

Hasil Penelitian :

• Berdasarkan hasil analisis uji beda Wilcoxon test, setelah suplementasi larutan probiotik selama 28 hari didapatkan penurunan kadar serum TNF-, IL-1, IFN-, IL-6, IL-10 dibandingkan nilai awal. Namun yang menunjukkan kemaknaan (p < 0,05) hanya penurunan kadar TNF- dan kadar IFN-.

• Suplementasi larutan probiotik selama 28 hari dapat mencegah kejadian ISPA pada subyek penelitian didukung dengan tidak adanya perbedaan bermakna skor selesma pada subyek penelitian sebelum dan sesudah suplementasi (p < 0.05).

Efek Imunomodulasi Probiotik pada Tenaga Medis di RSUD Dr. Soetomo

1. Soegiarto Ga 2. Prakoeswa CRSb 3. Sudarmo SMc 4. Endaryanto Ac 5. Wulandari Ld 6. Tinduh De 7. Farida Sf 8. Soraya Fg 9. Wigianita MRg

aDep/KSM Ilmu Penyakit Dalam bDep/KSM Dermatologi & Venereologi cDep/KSM Ilmu Kesehatan Anak dDep/KSM Ilmu Penyakit Paru & Kedokteran Respirasi eDep/KSM Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi fStaf Litbang gAsisten Penelitian

Ucapan Terimakasih : 1. Anisa Octaviani, S.KM 2. Astri Nur Amalia, S.KM 3. Antonius Erbano (Regional Head East Java and Batara Prodia) 4. Eko Praptiningsih (Regional Marketing Manager East Java and Batara Prodia) 5. Atika, S.Si, M.Kes (Analisis Statistik)

Conclusion: A significant correlation was found between the level of resilience and anxiety experienced by healthcare workers during the COVID-19 pandemic. The lower the resilience, the higher the anxiety experienced.

Recommendation : consideration for psychiatric assistance and procurement of policies to increase the resilience of healthcare workers to

Introduction: The COVID-19 pandemic has an impact on the physical health and mental health of the community, including healthcare workers. Several studies have shown symptoms of depression, anxiety, and sleep disorders in healthcare workers during this pandemic. However, not many studies have examined the resilience of healthcare workers during this pandemic. Resilience is a person’s ability to rise and adapt when times are difficult and is considered to have a protective effect on mental problems.

Purpose: This study aims to determine the correlation between resilience and anxiety in healthcare workers during COVID-19 pandemic.

Materials and Methods: This research was a cross-sectional study with observational analytic methods. The respondents were healthcare workers at Dr. Soetomo Hospital as the COVID-19 referral hospital in Surabaya, East Java, Indonesia. Data were collected from 10 to 16 June 2020 by distributing online questionnaires through the Google form application. There were three questionnaires used: demographic data, the State-Trait Anxiety Inventory (STAI) questionnaire, and the Connor– Davidson Resilience Scale (CR-RISC) questionnaire.

Results: The 227 respondents had filled out the questionnaire online with 33% had high state anxiety and 26.9% had high trait anxiety. The mean score of the respondents’ resilience was 69 ± 15.823. The Spearman correlation test showed a significant relationship between anxiety and resilience (p< 0.05), both S-Anxiety and T-Anxiety.

avoid mental health problems. 6

Anxiety and Resilience of Healthcare Workers During COVID-19 Pandemic in Indonesia

1. Yunias Setiawati1,2

2. Joni Wahyuhadi3,4

3. Florentina Joestandari5

4. Margarita M Maramis1,2

5. Atika Atika6

1Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia; 2Department of Psychiatry, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia; 3Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia; 4Department of Neuro Surgery, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia; 5Human Resource Department, Dr Soetomo General Hospital, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia; 6Department of Public Health, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

Acknowledgments Thanks and highest appreciation were conveyed to the Dean of Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, who facilitated this research

Setiawati Y, Wahyuhadi J, Joestandari F, Maramis MM, Atika A, 2021. Anxiety and Resilience of Healthcare Workers during COVID-19 Pandemic in Indonesia. Journal of Multidisciplinary Healthcare 2021:14

7

Latar Belakang : Usaha yang tepat dan komprehensif dibutuhkan untuk mencegah jatuhnya korban dari kalangan tenaga kesehatan mulai dari penggunaan alat perlindungan diri yang tepat, asupan nutrisi yang baik, jadwal kerja dan istirahat yang seimbang, aktivitas fisik yang memadai dan sebagainya. Diperlukan ketahanan fisik dan mental bagi tenaga kesehatan di garda terdepan. Kondisi kesehatan mental para petugas medis berada dalam kondisi serius dan berbahaya. Dalam studi berbasis survei mengenai kesehatan mental dari 1.257 petugas kesehatan yang merawat pasien Covid-19 di Tiongkok, ditemukan bahwa 50% melaporkan gejala depresi, 45% melaporkan kecemasan, 34% melaporkan insomnia, dan 71,5% melaporkan tekanan psikologis. Kondisi ini berpotensi menurunkan imunitas dan dapat mempengaruhi kinerja, misalnya pelayanan yang kurang optimal, ketidaktelitian, mudah lelah, kurang empatik, dan lain-lain. Stres adalah setiap stimulus yang mengganggu keseimbangan tubuh yang dapat memicu berbagai proses neuroendokrin di dalam tubuh. Selain itu, keterbatasan alat perlindungan diri, keterbatasan tenaga kesehatan, dan kekurangan partisipasi aktif masyarakat tentang hidup sehat akan menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi sehingga memberikan stresor mental berat bagi tenaga kesehatan. Diperlukan resiliensi atau daya tahan terhadap stressor yang baik untuk menghindari terjadinya gangguan kesehatan mental.

Desain Penelitian : Analitik observasional dengan studi cohort dan eksperimental dengan desain Randomized Control Trial, pada peserta program pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi dan Ilmu Penyakit Dalam yang bertugas di Ruang Isolasi Khusus (RIK) RSUD Dr. Soetomo.

Hasil Penelitian Sebelum bekerja di RIK Setelah isolasi mandiri

Tingkat Kecemasan Sedang Menurun

Derajat Depresi Ringan Meningkat

3 Dimensi Tingkat burn-out a. Kelelahan emosional b. Depersonalisasi c. Pencapaian pribadi

Rendah Sedang Tinggi

Menurun Menurun Menurun

Kualitas tidur 1 bulan terakhir Buruk Buruk

Kesimpulan : Residen menunjukkan tingkat kecemasan sedang, mengalami depresi ringan dan mengalami kualitas tidur yang buruk dalam interval satu bulan

Rekomendasi : Diperlukan pemantauan Kesehatan mental berkala bagi Residen yang menangani kondisi bencana yang berlangsung berkepanjangan.

Analisis Faktor Resiko Burnout Pada Residen Garda Terdepan Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1. Rehatta NMa

2. Midian Aa

3. Ibrahim Ya

4. Malika RAa

5. Jaury VMACb

6. Primadita Eb

aDep/KSM Anestesiologi & Kedokteran Intensif bResearch Assistance

Ucapan Terimakasih: Tenaga Kesehatan Ruang Isolasi Khusus (RIK)

8

Kesimpulan & Rekomendasi : 1. Tingkat stres residen anestesiologi berdasarkan PSS-10

berkorelasi linear terhadap kadar kortisol saliva di era pandemi COVID-19.

2. Faktor stres paling dominan yakni perasaan kesal akibat sesuatu terjadi secara mendadak dan gugup jika terjadi hal diluar kendali.

3. PSS-10 layak dipertimbangkan sebagai modalitas alat ukur dalam menilai tingkat stress residen anestesi di era pandemi COVID-19

Abstrak

Pandemi COVID-19 berdampak pada proses pendidikan residen anestesi yang merupakan salah satu garda depan pelayanan medis. Situasi seperti ini akan menambah stres dan beban mental yang berpotensi menurunkan imunitas tubuh dan kualitas pelayanan. Kortisol saliva merupakan biomarker stres yang reliabel dalam mengukur tingkat stres karena bersirkulasi akut dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara kadar kortisol saliva dengan tingkat stres residen anestesiologi dan terapi intensif di era pandemi COVID-19 yang diukur menggunakan perceived stress scale (PSS-10).

Metode penelitian observasional analitik dilakukan pada 40 residen anestesiologi usia 28-39 tahun dan dalam masa putaran stase ruang isolasi khusus (RIK) dan ruang resusitasi (RES) yang menangani pasien terpapar COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Agustus-September 2020.

Hasil perhitungan statistik dengan Uji Spearman, hubungan antara PSS-10 dan kadar kortisol, tingkat stres ringan (25% vs 67,5%) dan stres sedang (75% vs 37,5%) secara statistik bermakna (p=0,005; r=0,388) Simpulan: Tingkat stres residen anestesiologi berdasarkan PSS-10 berkorelasi linear terhadap kadar kortisol saliva di era pandemi COVID-19. Faktor stres paling dominan yakni perasaan kesal akibat sesuatu terjadi secara mendadak dan gugup jika terjadi hal diluar kendali. PSS-10 layak dipertimbangkan sebagai modalitas alat ukur dalam menilai tingkat stress residen anestesi di era pandemi COVID-19.

Hubungan Antara Tingkat Stres Dan Kadar Kortisol Saliva Dan Faktor Penyebab Stres Residen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Pada Era Pandemi COVID-19

1. Andre Kurniawana

2. Arie Utariania

3. Hamzaha

4. Nalinib

aDep/KSM Anestesiologi & Kedokteran Intensif

bDep/KSM Kesehatan Jiwa

Jurnal Syntax Transformation Vol. 2 No. 2, Februari 2021 p-ISSN : 2721-3854 e- ISSN : 2721-2769 Sosial Sains

Kesimpulan : Walaupun tingkat resiliensi tenaga kesehatan cukup tinggi, namun paparan stressor terus menerus dalam waktu lama akan menyebabkan burn-out, yang lebih prominen pada dimensi personal achievement

Rekomendasi : • Memantau kadar IL-6 serum dan jumlah sel CD4 sebagai penanda kondisi burn out • Mencegah kejadian depresi • Melakukan seleksi psikologis dan pemeriksaan marker biologis sebelum tenaga

kesehatan bekerja khususnya untuk situasi bencana yang berkepanjangan.

9

Latar Belakang : Diperlukan ketahanan fisik dan mental bagi tenaga kesehatan di garda terdepan. Kondisi kesehatan mental para petugas medis berada dalam kondisi serius dan berbahaya. Dalam studi berbasis survei mengenai kesehatan mental dari 1.257 petugas kesehatan yang merawat pasien Covid-19 di Tiongkok, ditemukan bahwa 50% melaporkan gejala depresi, 45% melaporkan kecemasan, 34% melaporkan insomnia, dan 71,5% melaporkan tekanan psikologis. Kondisi ini berpotensi menurunkan imunitas dan dapat mempengaruhi kinerja, misalnya pelayanan yang kurang optimal, ketidaktelitian, mudah lelah, kurang empatik, dan lain-lain. Stres adalah setiap stimulus yang mengganggu keseimbangan tubuh yang dapat memicu berbagai proses neuroendokrin di dalam tubuh. Selain itu, keterbatasan alat perlindungan diri, keterbatasan tenaga kesehatan, dan kekurangan partisipasi aktif masyarakat tentang hidup sehat akan menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang terjadi sehingga memberikan stresor mental berat bagi tenaga kesehatan. Diperlukan resiliensi atau daya tahan terhadap stressor yang baik untuk menghindari terjadinya gangguan kesehatan mental.

Desain Penelitian : Analitik observasional dengan studi cohort dan eksperimental dengan desain Randomized Control Trial pada residen yang bertugas di Ruang Isolasi Khusus RSUD Dr. Soetomo.

Hasil Penelitian : Dampak psikologis berupa kecemasan umum dialami petugas kesehatan sebesar hampir 30% dari tenaga kesehatan terkena kecemasan yang sangat. Dengan waktu berjalan, dapat berdampak burn out atau kelelahan fisik dan mental walaupun kemampuan resiliensi rata-rata pada 75% dari tenaga kesehatan dalam batas normal. Burn out yang terjadi lebih mengenai personal achievement dibandingkan kelelahan emosional dan depersonalisasi. Hal ini dapat dipahami karena para residen merasakan terganggunya ritme dan tujuan pesonal dari akademiknya. Pada mereka yang masih tergolong sehat fisik dan dengan kondisi psikologis yang dialaminya masih dapat bertugas, ditemukan ada hubungan antara kondisi burn out dengan marker biologis IL-6 dan CD4.

Kecemasan dan Resiliensi yang memengaruhi Burn out, Kortisol dan IL-6 serum Nakes Garda Depan COVID-19

Ucapan Terimakasih: Tenaga Kesehatan Ruang Isolasi Khusus (RIK)

3 Faculty of Medicine, Hang Tuah University, Surabaya,

INDONESIA.

(E-mail: [email protected])

1. Maramis, MM1 2. Rehatta, NM1 3. Hanindito, E1 4. Chafid, AMP1 5. Tinduh, D1 6. Hayyan, AJA1 7. Wardani, NK1 8. Masrifah, D1 9. Setiawati, Y1 10. Agustina1 11. Soetjipto1 12. Muhdi, N1 13. Tarmono1 14. Chafid, APP1 15. Prasetyo, RV1 16. Widodo1 17. Pandin, MGR1 18. Jaury, VAMC1 19. Primadita, E1 20. Irawan, RA1 21. Rizqi, FA1 22. Ibrahim, Y1 23. Malika, RA1 24. Arsyad, F1 25. Chuanardi, W2 26. Tayibnapis, NA3 27. Tang, SCN2 28. Chandita, KD2

1 Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya,

INDONESIA

(E-mail: [email protected] ) 2 Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya,

INDONESIA.

(E-mail: [email protected],

[email protected], [email protected])

10

Dermatitis Kontak pada Tenaga Kesehatan akibat Pandemi COVID-19 di Surabaya, Indonesia

1. Prakoeswa CRS 2. Sawitri 3. Damayanti 4. Astindari 5. Anggraeni S 6. Umborowati MA 7. Yuindartanto A

Dep/KSM Dermatology & Venereology

Latar Belakang : Dermatitis kontak adalah peradangan berupa ruam gatal kemerahan pada kulit dengan spongiosis atau edema interselular pada epidermis karena interaksi dari bahan iritan maupun alergen eksternal dengan kulit. Canadian Centre for Occupational Health (CCOHS) pada tahun 2016 26 menyatakan dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) adalah kondisi kulit yang disebabkan oleh paparan terkait pekerjaan. Inflamasi kulit yang terjadi pada DKAK dapat disebabkan oleh alergen atau iritan yang berkontak langsung dengan kulit tersebut berasal dari tempat kerja (Wolff et al, 2009). Adanya pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), maka sebagai upaya pencegahan penularan terhadap tenaga kesehatan yang merawat pasien dengan infeksi Covid-19 adalah dengan pemakaian alat pelindung diri (APD) diantaranya dengan penggunaan hand sanitizer, lebih sering mencuci tangan, penggunaan masker, kacamata googles, face shield, hazmat, sepatu tertutup, dan penutup sepatu. Penggunaan APD tersebut ternyata menimbulkan beberapa masalah kesehatan kulit yang dialami tenaga kesehatan yang bekerja sebagai garda terdepan pencegahan infeksi Covid-19 seperti yang dialami oleh tenaga kesehatan di China (Elston, D., 2020). Sampai saat ini belum ada data epidemiologi tentang DKAK pada tenaga kesehatan akibat penggunaan APD serta penilaian kualitas hidup tenaga kesehatan yang mengalami DKAK akibat penggunaan APD selama pandemi Covid-19 di Surabaya.

Desain Penelitian : Analitik Observasional pada 30 orang tenaga kesehatan yang bertugas di RIK RSUD Dr. Soetomo. Akan dilakukan pemeriksaan bahan APD dan patch test pada subyek penelitian terkait dengan perubahan kulit yang terjadi pasca penggunaan APD saat bertugas.

Hasil Penelitian : Dari 30 subyek penelitian, didapatkan hasil sebagai berikut : • Keluhan terbanyak adalah kulit kering (50%) dan diikuti gatal pada kulit

(43,3%); dengan manifestasi klinis terbanyak adalah deskuamasi (50%) dan diikuti eritema (33,3%).

• Penyebab DKAK tersering adalah penggunaan oppotape sebagai perekat hazmat dan sarung tangan (40%), diikuti sarung tangan (36,6%) dengan durasi pemakaian masing-masing selama 3-6 jam.

• Dari 30 subyek, didapatkan 20 subyek dengan hasil positif pada patch test dengan rincian hasil sebagai berikut :

• (+) = 11 subyek (36,6%) • ethylene diamine 1% = 6 subyek • Benzophene 3% = 4 subyek • Lanolin 100% = 1 subyek

• (++) = 7 subyek (23,3%) • Lanolin 100% = 6 subyek • Nickle Sulphate 5% = 1 subyek

• (+++) = 2 subyek (6,6%) • Lanolin 100% = 1 subyek • Nickle sulphate 5% sebanyak 1 pasien

Kesimpulan : Durasi penggunaan APD yang cukup lama, dan adanya alergi pada individu dapat memicu terjadinya DKAK. Manifestasi DKAK yang paling sering terjadi adalah kulit kering dan rasa gatal.

Rekomendasi : Penggunaan pelembab (moisturizer) diperlukan untuk mempertahankan kelembaban kulit sebelum menggunakan APD. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada kasus DKAK yang disebabkan karena alergi

11

Kesimpulan : Latihan Zumba dapat memperkuat dan mempertahankan kebugaran kardiorespirasi, meningkatkan jumlah limfosit dan mempertahankan kadar sIgA pada PPDS yang bekerja di bangsal perawatan Covid-19.

Rekomendasi : Untuk mempertahankan system imunitas dan kebugarannya, tenaga kesehatan disarankan melakukan olahraga aerobik intensitas ringan hingga sedang selama 45-50 menit, 3x/minggu. Salah satu olahraga yang disarankan adalah Latihan Zumba, karena mudah, menyenangkan dan terjangkau.

Latar Belakang : Olahraga yang dilaksanakan dalam bentuk latihan yang terstruktur dan terencana, dapat memberikan manfaat penjagaan kebugaran, mencegah depresi, dan membantu meningkatkan imunitas tubuh, yang dapat dilihat pada dinamika Immunoglobilin A dan sel T helper. Intensitas latihan yang dianjurkan untuk meningkatkan kadar komponen imunitas dalam tubuh sendiri adalah intensitas sedang yaitu berkisar antara 40%-60% dari kapasitas jantung maksimal. Aktivitas fisik berupa olahraga dapat meningkatkan beberapa parameter imunitas tubuh dan menurunkan kecemasan, depresi, dan mood negatif. Salah satu latihan fisik yang sekarang banyak diminati adalah Zumba, yang merupakan program latihan yang mengkombinasikan tarian latin dan aerobik, yang menyebabkan tubuh bergerak menyeluruh dalam koreografi informal. Zumba dapat menjadi salah satu pilihan bentuk latihan fisik yang mudah, menyenangkan dan murah yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Desain Penelitian : Randomized Controlled Trial pada peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi dan Ilmu Penyakit Dalam yang bertugas merawat pasien Covid-19 di Ruang Isolasi Khusus Covid-19. Diberikan program latihan senam zumba 3x per minggu, 45-50 menit per sesi. Kelompok kontrol adalah PPDS Anestesi dan Ilmu Penyakit Dalam yang yang bertugas merawat pasien Covid-19 di Ruang Isolasi Khusus Covid-19, namun tidak mendapat intervensi latihan zhumba.

Hasil Penelitian :

• Tidak terdapat perbedaan VO2max antara kelompok intervensi senam Zumba dan kelompok kontrol pada 3 titik evaluasi (sebelum bekerja di RIK, setelah bekerja di RIK dan setelah isolasi mandiri), walaupun VO2max pada kelompok intervensi menunjukkan peningkatan sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan penurunan.

• Terdapat penurunan IL-6 serum baseline pada kedua kelompok, namun penurunan pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan kelompok kontrol

• Tidak terdapat perubahan Neutrophyl Lympocyte Ratio (NLR) pada kedua kelompok, namun kelompok intervensi menunjukkan peningkatan jumlah limfosit yang bermakna pasca bertugas di RIK, dan kemudian menurun pada akhir siolasi mandiri. Sebaliknya jumlah limfosit menurun pada kelompok control

• Terdapat penurunan bermakna sIgA pada kelompok kontrol pasca bekerja di RIK, sedangkan sIgA tidak mengalami penurunan bermakna pada kelompok intervensi.

• Tidak terdapat perbedaan dinamika pada PHQ-9, peningkatan kadar kortisol serum dan perbedaan jumlah sel CD4 pada kedua kelompok pada 3 titik evaluasi.

Intervensi Olahraga Zumba untuk Peningkatan Ketahanan Fisik Nakes Garda Depan Penanganan COVID-19

1. Tinduh Da

2. Hayyan AJAa

3. Wardani NKa

4. Ayub DMa

5. Maramis MMb

6. Midian Ac

7. Jaury VAMCd

8. Primadita Ed

aDep/KSM Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi bDep/KSM Ilmu Kesehatan Jiwa cDep/KSM Anestesiology & Kedokteran Intensif dResearch Assistance

Ucapan Terimakasih: Tenaga Kesehatan Ruang Isolasi Khusus (RIK)

12

13

DIAGNOSTIK & PROGNOSTIK

Variabilitas klinis infeksi COVID-19 sangat tinggi, sehingga upaya diagnostik perlu mendapat perhatian karena akan sangat menentukan Tindakan perawatan

lanjutan (dalam ruang isolasi, karena penularan terjadi sangat cepat). Di samping itu penentuan prognosis juga krusial karena memengaruhi penetapan regimen

terapi pada pasien tersebut.

Judul Halaman

Uji Diagnostik Antibodi SARS-CoV-2 dengan Metode Chemiluminescence

16

Uji Diagnostik Total Antibodi Sars-CoV-2 dengan alat Rosche Cobas-E 601

17

Uji Diagnostik Antibodi Sars-Cov-2 dengan Alat Lifotronic ECL- 8000

18

Uji Diagnostik Antibodi Sars-CoV-2 dengan Alat Mindray CL- 900i CLIA

19

Uji Validasi Rapid Diagnostik Test RIGHA 20

Hubungan antara Skor Penapisan COVID-19 dengan hasil pemeriksaan RT-PCR Sars-CoV-2 di RSUD Dr. Soetomo

21

Pola Diagnostik Pasien Suspek Covid-19 Menggunakan Skor Covid-19, Tes PCR dan Tes Serologi di RS Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia

22

Korelasi Sistem Skoring Derajat Keparahan Radiologis X-ray Thoraks pada Pasien Terkonfirmasi Covid-19 TSUD dr. Soetomo Surabaya

23

CT Scan Finding Characteristics of Confirmed Covid-19 Patients based on Clinical Symptom Onset Patterns

24

Evolution of chest CT scan manifestations in a patient recovered from COVID-19 severe pneumonia with acute respiratory distress syndrome

25

Management of Severe COVID-19 patient with negative RT- PCR for SARS-CoV-2: Role of clinical, radiological and serological diagnosis

26

14

Judul Halaman

Soetomo COVID-19 Prognostic Score: a multi-parametric odel for early predicting disease severity of COVID-19 in the limited- resource hospital

27

Peran Diagnostik dan Prediktif Parameter NLR, d-NLR, MLR, PLR dan ALC pada Pasien COVID-19 di RSUD Dre. Soetomo Surabaya

28

Platelet to Lymphocyte Ratio (PLR), Absolute Lymphocyte Count (ALC), IL1B and IL-10 as a Predictor of 7 day and 14 day mortality of COVID-19 Patients in Indonesia

29

The Trend of Platelet-to-Lymphocyte Ratio (PLR) and Absolute- Lymphocyte-Count (ALC) in the Severity of COVID-19 Patients

30

Dinamika nilai Platelet-to Lymphocyte Ratio (PLR) pada pasien Diabetes Mellitus dengan infeksi COVID-19

31

Parameter hematologic dan koagulopati sebagai predictor kelangsungan hidup pasien dengan COVID-19 derajat sedang hingga berat di bangsal non-ICU: studi pusat tunggal di Rumah Ssakit Rujukan Utama di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

32

Peran evaluasi PPT pada COVID-19 sebagai predictor mortalitas: Laporan Penelitian dua rumah sakit rujukan COVID-19 di Surabaya, sebagai episenter kedua COVID-19 di Indonesia

33

Comparison of APTT and Thromboelastography (TEG) to Blooding Incidents in Critical COVID-19 Patients Treated Heparin Treatment in Indonesia

34

Perbandingan Parameter Clotwaveform analysis sysmex cs- 2500 dengan D-Dimer pada Pasien COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

35

Hubungan Kadar D-Dimer terhadap Derajat Keparahan Pasien COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo

36

Analysis of Clinical Chemistry Parameters in ICU and Non-ICU Covid-19 Patients at Dr. Soetomo Hospital

37

The Relation of Urine Albumin Creatinine Ratio (UACR) and Acute Kidney Injury (AKI) Incidence on COVID-19 Patients

38

Relationship between Renal Angina Index and D-Dimer Improvement Towards Acute Kidney Injury in COVID-19 Patients in Special Isolation Room of Dr. Soetomo Hospital Surabaya

39

15

Judul Halaman

Use of Neutrophyl Percentage to Albumin Ratio (NPAR, Lactate to Albumin Ratio (LAR) and SOFA Score as a Predictor of Mortality in COVID-19 Patients with Sepsis

40

Correlation of Surfactant Protein-D (SPD) serum levels with ARDS Severity and Mortality in COVID-19 Patients in Indonesia

41

The Correlation between Surfactant Protein-D (SP-D) serum level and Intubation Time on COVID-19 Patients

42

Association of serum KL-6 levels on COVID-19 severity: A cross- sectional study design with purposive sampling

43

Karakteristik Natural Killer (NK) Cell dan Limfosit T pada Pasien COVID-19 di Surabaya, Indonesia

44

Soluble Cluster of Differentiation 25 (sCD-25) as a Predictor of Mortality of COVID-19 Patients in Surabaya, Indonesia

45

Soluble Cluster of Differentiation 163 (sCD163) sebagai Prediktor Mortalitas Pasien COVID-19

46

Correlation of IL-1 level and Body Temperature to the Severity of Acute Respiratory Distress Syndrome and Mortality in COVID-19 Patients

47

Correlation between CRP, IL-6 level, Severity and Mortality in Patients with COVID-19 Infection in Indonesia

48

Correlation between IL-6, CRP and LDH in COVID-19 Patients 49

Hubungan Kadar Interleukin-1β dan Interleukin-6 dengan kadar serum Feritin dan Mortalitas Pasien COVID-19

50

Analisis Faktor Risiko Oxygenation Index, Oxygen Saturation Index dan Rasio PaO2/FiO2 sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Penumonia COVID-19 dengan ARDS di Ruang Perawatan Intensif Isolasi Khsus RSUD Dr. Soetomo

51

Analisis Citrulinated Histion H3 (Cit-H3) dan Indeks Trombosit sebagai Prediktor Penurunan Rasio PaO2/FiO2 dan Mortalitas Pasien COVID-19

52

Penggunaan Ventilatory Ratio dan Alveolar Dead Space Fraction sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien COVID-19 dengan Acute Respiratory Distress Syndrome

53

16

Kesimpulan & Rekomendasi : Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tes serologi IgG SARS-CoV-2 Abbott architect i1000SR dapat digunakan untuk mendukung penegakan diagnosis pada kecurigaan infeksi virus SARS-CoV-2 dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Perkembangan antibodi yang terbentuk berdasarkan waktu setelah onset gejala menunjukkan tingkat positivitas IgG yang cenderung meningkat dan stabil hari ke 8-14 dan 15-21.

Pendahuluan: Infeksi virus COVID-19 merupakan masalah kesehatan global dan dinyatakan sebagai suatu pandemi oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Diagnosis pasti untuk COVID-19 adalah dengan pemeriksaan rRT-PCR. Modalitas lain yang dikembangkan untuk membantu diagnosis COVID-19 adalah pemeriksaan serologi. Tes serologi membutuhkan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.

Tujuan: Menganalisis nilai diagnostik IgG SARS-CoV-2 Abbott architect i1000SR.

Metode: Penelitian ini adalah uji diagnostik observasional analitik dengan rancangan cross sectional, dilakukan pada Mei- Agustus 2020 di Laboratorium RSUD Dr. Soetomo. Melibatkan 80 sampel PCR SARS- CoV-2 positif dan 50 sampel PCR negatif.

Hasil Penelitian: Didapatkan sebanyak 130 sampel penelitian terdiri dari 80 sampel positif dan 50 sampel negatif COVID-19, performa diagnostik IgG SARS-CoV-2 Abbott architect i1000SR menunjukkan hasil sensitivitas sebesar 85%, spesifisitas 100%, nilai prediksi positif 100%, nilai prediksi negatif 80,6% dan akurasi 90,77%.

Uji Diagnostik Antibodi SARS-CoV-2 dengan Metode Chemiluminescence

Tambunan BA

Maulana MB

1. Residen Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya

2. Staf Pengajar Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya

17

Kesimpulan & Rekomendasi : Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tes serologi Total antibodi SARS-CoV-2 ROSCHE COBAS-E 601 dapat digunakan untuk mendukung penegakan diagnosis pada kecurigaan infeksi virus SARS-CoV-2 dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik.

Latar belakang: WHO menyatakan penyakit COVID- 19 yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV2 sebagai suatu pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020. Dampak yang diakibatkan cukup besar sehingga perlu cepat dan tepat dalam diagnosis COVID 19. Diagnostik pasti untuk COVID-19 adalah dengan pemeriksaan rRT-PCR. Modalitas lain yang dikembangkan untuk membantu diagnosis COVID-19 adalah pemeriksaan serologi total antibody.

Tujuan Penelitian: Menganalisis nilai diagnostik Total Antibodi SARS-CoV-2 ROSCHE COBAS-E 601

Metode: Penelitian ini adalah uji diagnostik observasional analitik dengan rancangan cross sectional, dilakukan pada Mei- Agustus 2020 di Laboratorium PARAHITA. Total Melibatkan 87 sampel dengan 47 diantaranya terkonfirmasi PCR SARS-CoV-2 dan 40 sampel harsil PCR negatif. Data yang diperoleh menggunakan program excel dan statistik SPSS versi 22. Nilai p < 0.05 dianggap signifikan.

Hasil Penelitian: Dari 87 sampel penelitian terdiri dari 47 sampel positif dan 40 sampel negatif COVID- 19, didapatkan performa diagnostik Total Antibody SARS-CoV-2 ROSCHE COBAS-E 601 dengan hasil sensitivitas 78%, spesifisitas 100%, nilai prediksi positif 100%, nilai prediksi negatif 78% . Didapatkan juga peningkatan Titer antibodi sejak hari 0 dengan mean 2.637, mean hari ke 3 12.38 hari ke- 6 20.06.

Uji Diagnostik Total Antibodi SARS-CoV- 2 dengan Alat Rosche Cobas-E 601

Butar Butar Y

Aryati

1. Residen Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya

2. Staf Pengajar Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr

18

Aryati

Syamsuddin, IK

Wardhani, P

Dep/KSM Patologi Klinik

Kesimpulan & Rekomendasi : Uji serologi IgM dan IgG anti-SARS- CoV-2 dengan Lifotronic eCL8000 ECLIA dapat digunakan untuk mendukung penegakan diagnosis pada kecurigaan infeksi virus SARS-CoV-2 dengan sensitivitas (IgM 91,6%, IgG 93,05%) dan spesifisitas (IgM 87,03%, IgG 88,88%) yang cukup baik

Latar Belakang : Diagnosis pasti untuk COVID-19 adalah dengan pemeriksaan rRT-PCR. Modalitas lain yang dikembangkan untuk membantu penegakan diagnosis COVID-19 adalah pemeriksaan serologi. Uji serologi dapat mendeteksi adanya paparan SARS-CoV-2 masa lalu yang tidak bisa dideteksi oleh rRT-PCR atau untuk sampel swab nasofaring yang menghasilkan negatif palsu. Agar memiliki nilai prediksi positif yang memadai, uji serologi membutuhkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Tujuan Penelitian : Mengevaluasi pemeriksaan IgM dan IgG SARS-CoV-2 dengan menggunakan Lifotronic ECL-8000. Pengujian ini mendeteksi antibodi IgM terhadap protein N dan SRBD SARS-CoV-2 serta IgG terhadap protein SRBD SARS-CoV-2.

Desain Penelitian : Penelitian observasional analitik dengan pendekatan uji diagnostik menggunakan rancangan cross sectional pada pasien COVID-19 dan non-COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo, untuk mengevaluasi nilai diagnostik meliputi sentivitas, spesifisitas, Positive Predictive Value (PPV), Negative Predictive Value (NPV) dan akurasi pemeriksaan IgM dan IgG anti-SARS-CoV-2 dengan menggunakan Lifotronic ECL-8000.

Hasil Penelitian : Penelitian ini menggunakan total 126 sampel yang terdiri dari 73 sampel yang didapat dari pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dan 53 sampel didapat dari pasien non- COVID-19 dengan rRT-PCR di Laboratorium Departemen Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo.

Tabel nilai diagnostik IgM dan IgG anti-SARS-CoV-2 Lifotronic ECL-8000

SARS-CoV-2 Lifotronic eCL8000

ECLIA

Sensi (%)

Spesi (%)

PPV (%)

NPV (%)

Akurasi (%)

IgM anti SARS-

CoV-2 91,6 87,03 90,4 88,67 89,68

IgG anti SARS-

CoV-2 93,05 88,88 91,78 90,56 91,26

Uji Diagnostik Antibodi SARS-CoV-2 dengan Alat Lifotronic ECL-8000

19

Kesimpulan & Rekomendasi Validitas pemeriksaan antibodi SARS CoV-2 dengan alat Mindray CL-900i CLIA, untuk IgM sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 91,7%, sedangkan IgG sensitivitas 88,9% dan spesifisitas 94,4%. Tes serologi IgM dan IgG anti SARS-CoV-2 Mindray CL-900i CLIA dapat digunakan untuk mendukung penegakan diagnosis pada kecurigaan infeksi virus SARS-CoV-2 dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik.

Latar Belakang. COVID-19 adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus SARS-CoV- 2. Virus SARS-CoV-2 merupakan virus single stranded RNA. Tes untuk mendeteksi virus SARS CoV-2 yaitu tes serologi yang mendeteksi antibodi SARS CoV-2 dan tes molekuler yang mendeteksi RNA virus.

Tujuan. Mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan antibodi SARS CoV-2 menggunakan alat Mindray CL-900i CLIA.

Metode. Jenis penelitian cross sectional dengan sampel penelitian merupakan penderita demam dan gangguan sistem pernapasan yang dirawat di RSUD dr. Soetomo Surabaya, total terdapat 90 subjek penelitian yang terbagi dalam 2 kelompok.

Hasil. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 90 sampel yang terdiri dari 54 sampel IVS dengan hasil RT-PCR SARS-CoV-2 positif dan 36 sampel non-IVS yaitu orang dengan hasil RT-PCR SARS-CoV-2 negatif. Hasil uji parameter IgM anti SARS-CoV-2 nilai Sensitivitas 90,7 %, Spesifisitas 91,7%, PPV 94, 23% dan NPV 86,8%. Hasil uji parameter IgG anti SARS-CoV-2 nilai Sensitivitas 88,9%, Spesifisitas 94,4%, PPV 96% dan NPV 85%.

Uji Diagnostik Antibodi SARS-CoV-2 dengan Alat Mindray CL-900i CLIA

Savitri BL1

Aryati 2

1PPDS Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

2Staf Pengajar, Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia

20

Latar Belakang : Alat deteksi cepat berbasis LFI untuk mendeteksi

infeksi COVID-19 menunjukkan keunggulan, antara lain sangat

mudah diaplikasikan, dapat dilakukan dimanapun, dan tidak

memerlukan tenaga terlatih. Keunggulan lain Kit deteksi berbasis

LFI adalah bermanfaat untuk diagnostic cepat, dapat digunakan

untuk skrining massal di lapangan, dan dapat digunakan untuk

menguji herd immunity masyarakat. Oleh karena itu, UGM

bersama UNAIR dan Laboratorium Hepatika, FK UNRAM akan

mengembangkan test diagnostik LFIA tersebut, sehingga setelah

dilakukan validasi dapat segera diaplikasikan pada masyarakat

yang lebih luas.

Desain Penelitian : Penelitian cross-sectional pada spesimen

darah atau serum didapatkan dari laboratorium penguji Covid-19:

FK-KMK UGM, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan

Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta, Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Rerservoir Penyakit

(B2P2VRP) Salatiga, FK UNS, dan RSUD Dr. Soetomo. Spesimen

akan dianalisis menggunakan alat RIGHA. Hasil analisis akan

dibandingkan dengan uji standar baku emas yaitu RT-PCR. Analisis

statistik akan dilakukan untuk mendapatkan nilai kappa, spesifitas,

sensitifitas, positive predictive value (PPV), dan Negative

predictive value (NPV).

Hasil Penelitian : Dari 304 spesimen yang di dapatkan di RSUD Dr.

Soetomo, terdapat 115 pasien dengan hasil positif, 83 pasien

dengan hasil positif palsu, 75 pasien dengan hasil negatif, dan 31

pasien dengan hasil negatif palsu. Dari data tersebut, hasil analisis

akurasi menunjukkan sensitivitas sebesar 78.77%, spesifisitas

sebesar 47.47%, positive predictive value sebesar 58.08%,

negative predictive value sebesar 70.75%, dan tingkat akurasi

keseluruhan sebesar 62.50%.

Tabel hasil uji akurasi RI-GHA dibandingkan swab RT-PCR

Kesimpulan : Rapid Diagnostik RIGHA sesuai bila digunakan sebagai screening test karena sensitivitas 78.77%

Rekomendasi: dilakukan uji validasi dengan rapid test antigen terhadap gold standar PCR

Uji Validasi Rapid Diagnostik Test RIGHA

1. Prakoeswa CRSa

2. Nugraha Jb

3. Soedarsonoc

4. Wulandari Lc

5. Kloping YPd

6. Varanita SVb

aDep/KSM Dermatologi & Venereologi bDep/KSM Patologi Klinik cDep/KSM Paru & Kedokteran Respirasi dResearch Assistance

Ucapan terima kasih: Tenaga kesehatan yang membantu pengumpulan data di ruangan rawat inap.

21

Kesimpulan & Rekomendasi : Tidak terdapat hubungan secara signifikan antara skor penapisan COVID-19 dengan hasil pemeriksaan RT-PCR SARS- CoV-2.

Latar Belakang : Manifestasi klinis COVID19 dapat berupa asimtomatik atau simptomatik. Kasus asimptomatik bisa menyebabkan virus Sars-CoV-2 menyebar dengan cepat antar manusia. Penapisan awal dapat menjadi alat untuk memprediksi pasien dengan COVID19. RSUD Dr.Soetomo mengeluarkan pedoman sistem skor penapisan COVID19 namun belum ada penelitian mengenai tingkat resiko pasien dengan kejadian infeksi COVID19. Tujuan dari penelitian ini mengetahui hubungan antara skor penapisan COVID19 dengan hasil pemeriksaan RT- PCR Sars-Cov-2 pada pasien yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo.

Desain Penelitian : Uji Diagnostik dengan desain Observasional Cross Sectional pada pasien COVID19 dan non-COVID19 di RSUD Dr. Soetomo, untuk mengevaluasi hubungan skor penapisan COVID-19 dengan pemeriksaan PCR SARS-CoV-2

Hasil Penelitian :

• Total subyek penelitian yang dievaluasi sebanyak 106 orang, dan didapatkan hasil rerata usia pada risiko rendah yaitu 26,6 tahun (14,15%), risiko sedang 33 tahun (49,05%) dan risiko tinggi 34 tahun (36,80%).

• Tidak terdapat hubungan antara skor penapisan COVID19 dengan hasil pemeriksaan RT-PCR Sars- CoV-2 (p=0,421)

• Tidak terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan RT-PCR Sars-CoV-2 dengan kriteria mayor (p=0,885), minor A (p=0,825), B (p=0,503) dan C (p=0,082).

Hubungan antara skor penapisan COVID- 19 dengan hasil pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2 di RSUD Dr. Soetomo

1. Puspa 2. Hasanah M

Dep/KSM Patologi Klinik

22

Kesimpulan & Rekomendasi : Pemeriksaan radiologi awal yang dipadukan dengan gejala klinis Covid-19 merupakan hal terpenting untuk memprediksi adanya penyakit ini

Pendahuluan : Untuk mengetahui pola diagnostik COVID- 19 menggunakan RT-PCR atau tes antibodi cepat pada kelompok pasien suspek.

Metode : Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo (RS rujukan covid-19 yang memiliki 1500 tempat tidur). Penelitian menggunakan data pasien suspek Covid- 19 yang dirawat inap di RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Hasil : Ada 200 pasien suspek COVID-19 yang terdaftar dalam penelitian ini, keluhan utama batuk, demam, sesak, masing-masing sekitar 69,5%, 75%, dan 76,5%. Meski bukan gejala umum, tampaknya anosmia (14%) khas untuk COVID-19. Berdasarkan sistem skoring ini, sebanyak 196 pasien berisiko tinggi terinfeksi COVID-19, dan 125 (64%) di antaranya akhirnya menunjukkan hasil tes PCR positif. Uji PCR sebagian besar positif (62,5%), sedangkan uji serologi (uji rapid imunoglobulin) sebagian besar non reaktif, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara PCR dan uji serologis (p=0,16 OR: 1,5 (0,84-71). Variabel yaitu skor covid-19, immunoglobulinrapid test, dan pemeriksaan radiologi, hanya hasil pemeriksaan radiologi yang dapat dijadikan prediktor kuat hasil PCR positif (p=0,005, OR: 1,68 (0,17-16,43). Kami menemukan bahwa radiografi dada yang abnormal merupakan parameter yang baik untuk mendiagnosis COVID-19, (OR:2.92; 95% CI, 1.34 -6.34).

Pola Diagnostik Pasien Suspek COVID-19 menggunakan Skor COVID-19, Tes PCR dan Tes Serologi di RS Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia

1. Ashariati A 2. Bintoro UY 3. Diansyah MN 4. Amrita PNA 5. Savitri M 6. Romadhon PZ

Dep/KSM Ilmu Penyakit Dalam

23

Kesimpulan & Rekomendasi : Ketiga sistem skor melalui pencitraan X-Ray Thorax menunjukkan merupakan metode yang reliable untuk mengevaluasi derajat keparahan infeksi COVID-19. Klasifikasi Brixia menunjukkan prosedur terbaik di antara ketiga sistem klasifikasi tersebut, namun klasifikasi ini hanya dapat dilakukan oleh spesialis Radiologis. Di sisi lain, klasifikasi Warren dan General Hospital Dr. Soetomo lebih mungkin dilaksanakan oleh dokter umum. Skoring ini mungkin bermanfaat untuk memberi informasi pada dokter sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan penanganan COVID-19 lebih lanjut bagi masing-masing pasien tergantung pada derajat keparahan penyakit.

Latar Belakang : Penanganan pasien COVID-19 membutuhkan metode deteksi, identifikasi, monitoring dan terapi yang efisien dan akurat serta tersedia di semua Rumah Sakit. Selain marker klinis dan laboratorium, pencitraan X-Ray Thorax juga dapat mendeteksi pneumonia yang disebabkan oleh COVID-19. Modalitas ini cepat, sederhana, murah, dan aman digunakan pada pasien COVID-19. Sistem skoring pencitraan X-Ray Thorax COVID-19 yang sudah established adalah klasifikasi Warren dan Brixia. Tujuan penelitian ini untuk menentukan nilai sistem skoring melalui pencitraan X- Ray Thorax dalam mengevaluasi derajat keparahan COVID-19.

Desain Penelitian : Data dikumpulkan dari rekam medik pasien COVID-19 yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya dari bulan Mei-Juni 2020, yang menjalani pemeriksaan X-ray Thorax. Masing-masing gambar diskor menggunakan 3 tipe klasifikasi, yaitu skor General Hospital Dr. Soetomo, Warren, dan Brixia. Skor dianalisis dengan membandingkan korelasi masing-masing skor dengan kondisi klinis dan marker laboratorium untuk menentukan nilainya dalam mengevaluasi derajat keparahan infeksi COVID-19. Keparahan penyakit didasarkan pada kondisi klinis dan marker laboratorium yang dikategorikan dalam 6 derajat yaitu : gejala ringan/tanpa gejala, pneumonia ringan, pneumonia berat, acute respiratory distress syndrome (ARDS), sepsis, dan syok septik.

Hasil Penelitian : Sejumlah 225 set data dari 225 pasien dievaluasi dan dianalisis. 115 pasien adalah laki-laki (51,1%) dan 110 wanita (48,9%). Ketiga sistem skoring secara signifikan berkorelasi dengan keparahan klinis penyakit, dengan kekuatan korelasi secara berurutan dari yang terkuat hingga yang terlemah adalah Brixia (p<0,01, r=0,232), Warren (p<0,01, r=0,209), dan General Hospital Dr. Soetomo (p<0,01, r=0,194). Ketiga sistem skoring ini berhubungan secara signifikan satu sama lain. Skor General Hospital Dr. Soetomo memiliki hubungan yang lebih kuat dengan Brixia (p<0,01, r=0.865) dibandingkan Warren (p<0,01, r=0,855). Brixia berkorelasi dengan Warren dengan r=0,857 (p<0,01).

Korelasi Sistem Skoring Derajat Keparahan Radiologis X-ray Thoraks pada Pasien Terkonfirmasi COVID-19 RSUD dr. Soetomo Surabaya

1. Setiawati R 2. Widyoningroem A 3. Handarini T 4. Hayati F 5. Basja AT 6. Putri ARDS 7. Permata SWL 8. Lengko JM 9. Thenata ML 10. Jaya MG 11. Andriani J 12. Tanadi MR 13. Kamal IH

Dep/KSM Radiologi

24

Conclusion : CT scans are able to reveal distinct confirmed COVID-19 findings that are variable according to clinical symptom onset. The typical finding in early phase is GGO with a bilateral predominantly peripheral distribution. The next phases have variable findings, with GGO, crazy paving pattern, and consolidation as the most common findings with bilateral predominantly peripheral distribution. This study also showed that most patients were in absorption phase with dominant findings of fibrosis. However, GGO, consolidation, and crazy paving patterns were still found. Cough and dyspnea were still found in this phase. These results show long-term COVID-19 findings from both the symptoms and CT scan findings.

Recommendation : considering to use CT scans to predict the prognosis of the patient related to infection process in the lung parenchyme.

Chest computed tomography (CT) scan is one of the main modalities to detect COVID-19 infection. Several CT scan findings are the hallmark to rapidly detect suspected COVID-19 infection, therefore timely treatment could be administered. This study aims to describe chest CT scan findings of confirmed COVID-19 patients based on clinical symptom onset patterns.

This study is a descriptive study with a retrospective design in confirmed COVID-19 patients. Data regarding characteristics of chest CT scan findings and the patient’s history including clinical symptoms onset were collected.

There were 123 subjects in this study. The study data were categorized into modified clinical symptom onset patterns which were early, progressive, peak, absorption, and advanced phases. Most of male (57%) and female (43%) patients that were admitted to the hospital were in absorption phase of the disease with fever, cough, and dyspnea as the most prevalent symptoms. Chest CT scan findings of absorption phase included GGO (ground glass opacity) in 28 patients (76%), crazy paving pattern in 18 patients (49%), consolidation in 22 patients (59%), and fibrosis in 31 patients (84%). Chest CT scan findings of confirmed COVID-19 patients vary depending on the phase of the disease. Risk factors and secondary bacterial infection may contribute to long-term persistence of symptoms.

CT Scan Finding Characteristics of Confirmed COVID-19 Patients based on Clinical Symptom Onset Patterns

1. Dewi Roziqo1 2. Anita

Widyoningroem2 3. Prijambodo2 4. Rosy Setiawati2

1 Resident, Department of Radiology, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, Indonesia 2 Radiologist, Department of Radiology, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, Indonesia

Acknowledgement We would like to thank Department of Radiology of Dr. Soetomo Hospital Surabaya, Indonesia in providing the data for analysing.

It will be published in Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology Vol no. 16 issue no. 1 January- March 2022

25

Conclusion & Recommendation : We presented a COVID-19 severe pneumonia case with neurological diseases comorbid (epilepsy controlled with antiepileptic drugs) which was complicated by ARDS. High body temperature, neutrophilia, lymphocytopenia, decreased CD4 T cells are risk factors for ARDS. Three follow-ups thin-section chest CT scan since the onset of symptoms revealed an improvement and the outcome was minimal GGO without pulmonary fibrosis or bronchiectasis.

Symptoms that are often found in SARS-CoV2 infection are fever and dry cough. Some patients complain of sore throat, runny nose, anosmia, or diarrhea. Based on the data of hospitalized patients, the majority of COVID 19 cases (around 80%) presented without symptoms (asymptomatic) or with mild symptoms, while the rest of the cases had severe symptoms or critical condition. In severe cases, patients complain of shortness of breath and/or had hypoxemia 1 week after the onset of the disease, and promptly develop into acute respiratory distress syndrome (ARDS), septic shock, and death. Ground-glass opacity (GGO), consolidation, reticular pattern are typical radiological features of COVID-19 pneumonia. In survived patients, these radiological features subsided or disappear.

A male patient with severe pneumonia due to coronavirus disease 2019 (COVID-19) had acute respiratory distress syndrome (ARDS) which developed in the second week since the first symptoms and improved without mechanical ventilation. The patient had epilepsy as a comorbid disease and his routinely consumed antiepileptic drugs were likely to cause alterations of the immune system. Ground-glass opacity (GGO), consolidation, and reticular pattern are typical radiological features of COVID-19 pneumonia. Less common findings were septal thickening, bronchiectasis, pleural thickening, and subpleural involvement. These radiological abnormalities evolve throughout the course of the disease. In this case report, a GGO lesion was seen in thin-section CT scans on the 30th and 45th day since the onset of symptoms. The consolidation subsided with time and on the 65th day, minimal GGO was seen in CT scan without pulmonary fibrosis and bronchiectasis.

Evolution of chest CT scan manifestations in a patient recovered from COVID-19 severe pneumonia with Acute Respiratory Distress Syndrome

1. Daniel Maranatha a* 2. Paulus Rahardjo b

3. Rikky Lusman c

a Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, Airlangga University, Dr Soetomo Academic Hospital, Indonesia b Department of Radiology, Faculty of Medicine, Airlangga University, Dr Soetomo Academic Hospital, Indonesia c Department of Internal Medicine, Mitra Keluarga Surabaya Hospital, Indonesia

Marantha D, Rahardjo P, Lusman R, 2021. Evolution of chest CT scan manifestations in a patient recovered from COVID-19 severe pneumonia with acute respiratory distress syndrome. Respiratory Medicine Case Reports 32:101342

26

Conclusion & Recommendation : The clinician should be aware with false- negative RT-PCR results, although nasopharyngeal RT-PCR is a gold standard for COVID-19 diagnosis. The diagnosis of COVID-19 should be made using the combination of RT-PCR, chest X-ray, chest CT scan, clinical manifestations, antibodies test, and exposure history of patients. This consideration is urgently required to identify, isolate, and treat the patients as soon as possible to reduce mortality rates and the risk of transmission

A real-time reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) is the gold standard in diagnosis for infection of severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), but the false-negative result is the problem in the prevention and control the pandemic of coronavirus disease 2019 (COVID- 19). A false-negative of RT-PCR test needs to be evaluated when the patient showed a high clinical suspicion for COVID-19.

We report a 36-year-old man with 4 times negative RT-PCR results, but clinical, radiological (chest X-ray and chest CT scan), and serological examinations showed a high suspicion of COVID-19. History of close contacted with COVID-19 confirmed patient was reported, and the wife of our case was also RT- PCR tested positive for SARS-CoV-2 in the next few days strengthen the COVID-19 diagnosis of our case patient. It is important to use the combination of RT-PCR, chest X-ray, chest CT scan, clinical manifestations, antibodies test, and exposure history of patients to diagnose COVID-19 and decide the early isolation and appropriate treatment.

Management of severe COVID-19 patient with negative RT-PCR for SARS-CoV-2: Role of clinical, radiological, and serological diagnosis

1. Soedarsono Soedarsono a,c,∗

2. Anna Febriani a,c , 3. Helmia Hasan,

MDa,c 4. Anita

Widyoningroem b,c

a Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia b Department of Radiology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia c Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, Indonesia

Soedarsono S, Febriani A, Hasan H, Widyoningroem A, 2021. Management of severe COVID-19 patient with negative RT-PCR for Sars-CoV-2: Role of Clinical, radiological and serological diagnosis. Radiology Case Reports 16: 1405-9

27

Introduction: Coronavirus disease 2019 (2019) has been transformed into a global pandemic, with high mortality in severely ill patients. The study aimed to develop a novel scoring system to prognosticate disease severity in COVID-19 that is effective and widely available in a limited medical resource setting.

Methods: Laboratory confirmed COVID-19 patients were enrolled in this retrospective cohort, divided into severe and non-severe group. We randomly assigned 70% of subjects to establish a novel scoring system, while the remaining 30% used for internal validation. The model was constructed by multivariate logistic regression using the first clinical, laboratory, and radiological findings. ROC and cross-tabulation were used to evaluate the performance of our score and compared with other models.

Results: A total of 599 patients were included. The predictors of Soetomo COVID-19 Prognostic Score consists of age, fever, certain comorbidities (diabetes, hypertension, cardiac disease, lung tuberculosis), respiratory rate, heart rate, SF ratio, WBC count, NLR, BUN, and RALE score. The area under ROC of the model indicated a good discrimination ability (training datasets 0.715 [95%CI 0.664-0.767, p <0.001]; testing datasets 0.720 [95%CI 0.638-0.802, p <0.001]). Our scoring system was superior to both qSOFA and MEWS in terms of predictive value. The sensitivity and specificity were 60.6% and 82.5%, respectively.

Conclusion & Recommendation : The developed scoring system accurately predicted significant proportion of severe disease in COVID-19 patients.

Soetomo COVID-19 Prognostic Score: a multi- parametric model for early predicting disease severity of COVID-19 in the limited-resource hospital

1. Hidayat AAe

2. Utariani Aa

3. Kurniati NDb

4. Setiawati Rc

5. Widyoningroem Ac

6. Syafa’ah Id

7. Putra DHe

8. Hafiz Me

9. Putri CPe

10. Ayomi DLe

aDep/KSM Anestesiology & Kedokteran Intensiif bDep/KSM Mikrobiologi Klinik cDep/KSM Radiology dDep/KSM Paru & Kedokteran Respirasi eResearch Assistance

Ucapan terima kasih : Petugas di bagian rekam medis.

28

Simpulan Dan Rekomendasi : NLR, d-NLR, MLR, PLR, dan ALC dapat digunakan sebagai prediktor derajat keparahan pada pasien COVID-19. ALC terbukti merupakan faktor independen yang dapat memprediksi derajat keparahan COVID-19. Penelitian lanjutan dengan skala yang lebih besar diperlukan untuk meneliti cut-off universal dengan mempertimbangkan faktor perancu berupa usia subjek dan waktu onset penyakit.

Pendahuluan: Indikator pemeriksaan laboratorium yang

sederhana, praktis dan murah sangat dibutuhkan untuk evaluasi

derajat keparahan penyakit dan memprediksi prognosis pasien

sehingga mengurangi angka kematian. Rasio gabungan parameter

hematologi seperti NLR, d-NLR, MLRdan PLR serta nilai ALC dapat

digunakan untuk membantu diagnosis, memprediksi luaran, dan

penilaian derajat keparahan COVID-19.

Metode: Penelitian studi retrospektif dengan menggunakan data

rekam medis 100 pasien COVID-19 dari bulan November 2020

hingga Maret 2021 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pasien

diklasifikasikan menjadi COVID-19 derajat ringan-sedang dan

berat-kritis. Rasio gabungan parameter hematologi ditentukan

berdasarkan hasil hitung darah lengkap dengan Sysmex XN-3000.

Analisis data menggunakan perangkat SPSS versi 22. Kurva ROC

digunakan untuk memprediksi derajat keparahan COVID-19.

Analisis multivariat dengan regresi logistik untuk menilai

kemampuan prediktor independen dari derajat keparahan COVID-

19. Kurva Kaplan-Meier untuk menilai kemampuan berbagai

penanda inflamasi sebagai prediktor prognosis pada pasien

COVID-19. p-value < 0,05 dianggap signifikan.

Hasil Penelitian: Subjek penelitian terbanyak adalah laki-laki

dengan usia rata-rata 53,31 ± 12,83 tahun. Kelompok COVID-19

derajat berat-kritis didominasi oleh laki-laki (72,4%) (p < 0,05).

Komorbid hepatitis dan kardiovaskular didapatkan lebih tinggi

pada kelompok COVID-19 derajat berat-kritis. Nilai ALC

didapatkan lebih rendah, sedangkan nilai NLR, d-NLR, MLR, dan

PLR didapatkan lebih tinggi pada kelompok COVID-19 derajat

berat-kritis. Hasil kurva ROC parameter NLR, d-NLR, dan ALC

memiliki akurasi yang cukup, sedangkan parameter MLR dan PLR

memiliki kemampuan akurasi yang rendah dalam memprediksi

derajat keparahan COVID-19. Nilai cut-off optimal dari NLR, d-

NLR, MLR, PLR, dan ALC dalam membedakan derajat keparahan

pasien COVID-19 adalah berturut-turut sebesar 7,865; 4,82; 0,455;

235 x 103, dan; 0,895 x 103. Hasil analisis multivariat menunjukkan

ALC terbukti berperan sebagai prediktor independen dari derajat

keparahan pada pasien COVID-19 (p = 0,004). Hasil analisis

menggunakan kurva Kaplan-Meier menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan rerata survival time berdasarkan cut-off optimal dari

NLR, d-NLR, MLR, PLR, dan ALC.

Peran Diagnostik dan Prediktif Parameter NLR, d-NLR, MLR, PLR, Dan ALC Pada Pasien COVID-19 Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Kiriwenno EL Indrasari YN

1. Residen Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya 2. Staf Pengajar Patologi Klinik Universitas Airlangga- RSUD Dr Soetomo Surabaya

29

Conclusion & Recommendation : PLR, ALC, IL10 can be used as predictors of 7-day and 14-day mortality.

ABSTRACT

Background: The worsening condition or mortality due to Covid-19 is thought to be caused by a cytokine storm. The 7-day and 14-day mortality represents mortality or severity from a cytokine storm and is slightly affected by secondary infection. This study aims to analyze whether PLR, ALC, IL1b, and IL10 can be predictors of 7-day and 14-day mortality in Covid-19 patients.

Methods: An observational-analytic study with a prospective cohort design of Covid-19 patients in a tertiary hospital in Indonesia. A total of 119 Covid- 19-confirmed patients admitted at RSUD Dr Soetomo Surabaya from July to October 2020 were eligible to this study. Blood samples were taken at the beginning of the admission and on the 6th day of treatment. Patients will receive treatment according to the Clinical Practice Guidelines for Covid-19 isolation treatment at RSUD Dr Soetomo.

Results: As a predictor of 7-day mortality, PLR day-0, ALC day-0, and IL10 day-0 were significant with p- value respectively p=0.001 (Cut-off >275.40; AUROC 0.669; RR 3.889), p=0,020 (Cut-off <1.175; AUROC 0.642; RR 2.694;) and p=0,011 (cut-off >3.175; AUROC 0.734; RR 4.67;). As a predictor of 14-day mortality, PLR day-0, ALC day-0, and IL10 day-6 were significant with p-value respectively p=0.002 (cut-off >275.40; AUROC 0.662; RR 2.500), p=0.016 (Cut-off <1.12; AUROC 0.662; RR 2.059), and p=0.001 (cut-off >3.175; AUROC 0.932; RR 23.5).

Keywords: Covid-19, early mortality, PLR, IL1b, IL10, 7-Day Mortality, 14-Day Mortality, Predictor.

Platelet to Lymphocyte Ratio (PLR), Absolute Lymphocyte Count (ALC), IL1β, and IL10 as a Predictor Of 7 Day and 14 Day Mortality of COVID-19 Patients in Indonesia

1.Wijaya MGS 2.Utariani A 3.Hamzah 4.Anindita DS 5.Hasan H 6.Airlangga PS

30

Conclusion & Recommendation : PLR tend to increase from day-0 of treatment and peak in day-3 or day-6 of treatment and then decreased gradually until day-14 of the treatment. Meanwhile, ALC tend to decrease from day-0 of treatment and reach the lowest point at day-6 of treatment and then increased gradually until day-14 of the treatment. PLR was significantly different among the severity in day-0 and day-3 with p-value <0.001 and 0.003. ALC was significantly different among the severity in day-0, day-3, day-6 and day-9 with p-value <0.001, 0.006, 0.024 and 0.001

Background: Cytokine storms and severe immune injury are suspected as the cause of the occurrence of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis and various another organ failure. The trend of Platelet-toLymphocyte Ratio (PLR) and Absolute Lymphocyte Count (ALC) were expected to show the inflammatory process and the cytokine storm in the severity of Covid-19 patients. This research’s purpose is to analyze the time course and dynamic changes of PLR and ALC in each severity.

Method: The research method used was an observational analytic study with a prospective cohort design. The research sample taken was Covid- 19 patients admitted from July to October 2020 who met the inclusion and exclusion criteria. PLR, ALC was counted from the CBC (Complete Blood Count) examination checked every three days. The PLR and ALC trend of 14-days were then analyzed.

Result: A total of 119 research subjects were involved in this study. PLR is significantly different at day-0 and the day-3 with p-value <0.001 and 0.003. On the 3rd day of treatment, PLR of moderate severity rose rapidly. Mild, severe and critical cases PLR rose until day-6. After the day-6, PLR of all severity class tend to decrease. ALC was significantly different on day-0, day-3, day-6 and day-9 with p- value <0.001, 0.006, 0.024 and 0.001. ALC day-0 in critical patients is the lowest, and tend to be the lowest throughout the 14 days. ALC in mild, moderate and severe declines until day 6, then began to rise until day 14.

The Trend of Platelet-To-Lymphocyte Ratio (PLR) and Absolute-Lymphocyte- Count (ALC) in the Severity of COVID-19 Patients

1. Wijaya MGS 1 2. Utariani A 2* 3. Hamzah 3 4. Semedi BP 4 5. Airlangga PS 4

1 Anesthesiologist; Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga Surabaya Indonesia. 2 Doctorate & Consultant of Pediatric Anesthesia; Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga Surabaya. 3 Doctorate & Consultant of Neuro Anesthesia; Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga Surabaya. 4 Consultant of Intensive Care; Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga Surabaya.

Wijaya MGS, Utariani A, Hamzah, Semedi BP, Airlangga PS, 2021. The Trend of Platelet-To-Lymphocyte Ratio (PLR) and Absolute- Lymphocyte-Count (ALC) in the Severity of Covid-19 Patients. International Journal of Scientific Advances 2(4):564-8 DOI: 10.51542/ijscia.v2i4.18 Available Online: www.ijscia.com

31

Kesimpulan & Rekomendasi : Nilai PLR lebih tinggi pada kelompok pasien yang mengalami control glikemik dan inflamasi yang lebih buruk, dan cenderung meningkat hingga hari ke-7 perawatan, namun pola dinamika PLR ini memiliki variabilitas yang tinggi.

Latar Belakang dan Tujuan Prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) makin meningkat tiap tahun. Di masa pandemi COVID-19 angka mortalitas penderita DM juga meningkat oleh karena penderita DM memiliki risiko terkena infeksi COVID-19 dengan derajat keparahan lebih berat. Respon inflamasi akibat respon imun terhadap virus merupakan kunci dari pathogenesis infeksi COVID-19. Beberapa penanda inflamasi yang sudah banyak digunakan sebagai prediktor prognosis pasien COVID-19 diantaranya neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR), Interleukin (IL) 6 dan C-reactive protein (CRP). Platelet-to-lymphocyte ratio (PLR) yang merupakan penanda inflamasi yang relatif murah dan mudah dilakukan dilaporkan juga dapat dipakai sebagai prediktor hasil luaran pasien COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna klinis dinamika PLR pada pasien DM dengan COVID-19

Desain Penelitian Prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) makin meningkat tiap tahun. Di masa pandemi COVID-19 angka mortalitas penderita DM juga meningkat oleh karena penderita DM memiliki risiko terkena infeksi COVID-19 dengan derajat keparahan lebih berat. Respon inflamasi akibat respon imun terhadap virus merupakan kunci dari pathogenesis infeksi COVID-19. Beberapa penanda inflamasi yang sudah banyak digunakan sebagai prediktor prognosis pasien COVID-19 diantaranya neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR), Interleukin (IL) 6 dan C-reactive protein (CRP). Platelet-to-lymphocyte ratio (PLR) yang merupakan penanda inflamasi yang relatif murah dan mudah dilakukan dilaporkan juga dapat dipakai sebagai prediktor hasil luaran pasien COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna klinis dinamika PLR pada pasien DM dengan COVID-19

Hasil Penelitian Total subyek peneltian adalah 117 pasien dengan 68 pasien masuk rumah sakit saat 1-3 hari sejak gejala pertama muncul dan 49 pasien masuk rumah sakit saat 4-5 hari sejak masuk rumah sakit. Rata-rata usia pasien yaitu 54 tahun dengan proporsi laki-laki 58,1% dan perempuan 41,9%. Sebagian besar pasien dengan riwayat diabetes selama kurang dari 5 tahun (47,8%) dan newly diagnosed diabetes (30,7%). Batuk, demam dan sesak napas merupakan gejala yang sering didapatkan pada pasien. Pasien dengan derajat berat (52,1%) dan sedang (36,7%) mendominasi pasien yang dirawat. Hipertensi merupakan komorbiditas lain yang paling banyak dijumpai. Hasil luaran meninggal sepertiga dari total pasien. Nilai PLR di atas nilai cut- off penelitian (224) didapatkan pada pasien dengan kontrol glikemik dan inflamasi yang lebih jelek. Nilai PLR cenderung naik sampai hari ke-7 perawatan dan cenderung turun sampai akhir perawatan. Pola PLR awal, pertengahan dan akhir perawatan menunjukkan pola yang tidak konsisten baik berdasarkan derajat sakit dan hasil luaran.

Dinamika nilai Platelet-to-lymphocyte ratio (PLR) pada Pasien Diabetes Melitus dengan infeksi COVID-19

1.Siagian, N 2.Novida, H 3.Pranoto, A 4.Hadi, U

Dep/KSM Penyakit Dalam

32

Kesimpulan & Rekomendasi : Penelitian ini menunjukkan bahwa parameter hematologi dan koagulasi abnormal pada sebagian besar pasien COVID-19 dan kelompok yang meninggal. Sedangkan jumlah neutrofil dan WBC meningkat, jumlah limfosit menurun secara signifikan pada manifestasi klinis berat. Penyakit jantung koroner merupakan penyakit mandiri prediktor kematian. Parameter hematologi & koagulasi dapat merupakan salah satu dari predictor perburukan klinis.

Latar Belakang : Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis risiko faktor kematian, parameter hematologi dan koagulasi pada COVID- 19 pasien di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, salah satu pusat rujukan untuk kasus kemungkinan pasien COVID-19 di Jawa Timur.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik retrospektif dengan mengambil data sekunder pada pasien dengan kemungkinan kasus COVID-19 yang dirawat di ruang isolasi rumah sakit dari Mei hingga September 2020.

Hasil : Dari 538 pasien kemungkinan COVID-19, 217 dinyatakan positif, dengan usia rata-rata 52,11±13,12 tahun, dan ada 38 kasus kematian. Parameter hematologi, seperti sel darah putih, neutrofil dan jumlah limfosit, berbeda secara signifikan pada kelompok yang meninggal. Di sisi lain, parameter koagulasi, yang terdiri dari D- dimer, CRP, PT, dan aPTT menunjukkan nilai yang sama secara signifikan pada orang yang meninggal kelompok. Analisis univatiate menyimpulkan bahwa penyakit ginjal kronis, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, jumlah WBC, NLR, dan PPT dapat memprediksi kematian, sementara analisis multivariat mengungkapkan bahwa penyakit jantung koroner adalah satu-satunya prediktor independen yang signifikan kematian.

Parameter hematologi dan koagulopati sebagai prediktor kelangsungan hidup pasien dengan COVID-19 derajat sedang hingga berat di bangsal non-ICU: studi pusat tunggal di rumah sakit rujukan utama di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

1.Ashariati A 2.Bintoro UY 3.Diansyah MN 4.Amrita PNA 5.Savitri M 6.Romadhon PZ

Dep/KSM Ilmu Penyakit Dalam

33

Kesimpulan & Rekomendasi : Parameter PPT berhubungan dengan patofisiologi COVID-19 dan dapat menjadi parameter prediktor mortalitas COVID-19 dan menjadi modalitas monitoring dengan spesifisitas serta sensitivitas yang cukup baik serta penentu agresivitas tatalaksana pada pasien.

Latar Belakang : COVID-19 merupakan penyakit infeksi SARS-CoV-2 yang menjadi pandemi global saat ini. Efek yang ditimbulkan oleh penyakit ini memberikan dampak yang signifikan terhadap seluruh aspek kehidupan manusia terutama pada Negara Indonesia sebagai Negara berkembang dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Perkembangan penanganan COVID-19 meliputi diagnosis, terapi, dan juga monitoring. Monitoring keadaan pasien dapat membantu klinisi dalam manajemen tatalaksana pasien. Parameter koagulasi merupakan pemeriksaan laboratoris yang relatif tersedia di seluruh fasilitas kesehatan baik di negara maju ataupun negara berkembang seperti Indonesia. Sistem imun merespon infeksi SARS-CoV-2 dengan berbagai mekanisme pertahanan yang melibatkan sel-sel imun, namun dalam patofisiologi COVID-19 telah dilaporkan bahwa hiper aktivasi sistem imun dapat menimbulkan efek samping kerusakan organ tubuh yang masif hingga kematian karena sepsis ataupun ARDS. Ketidakseimbangan sistem imun karena COVID-19 dapat memicu aktivasi Neutrophil Extracellular Traps yang dapat mempengarui faal koagulasi darah pasien, disamping keberadaannya pada mukus saluran pernapasan yang mengakibatkan pembuntuan saluran napas di paru-paru. Berdasarkan faktor tersebut, evaluasi peran parameter hemostasis dan juga D-dimer berpotensi dapat berperan sebagai prediktor mortalitas pasien.

Desain Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian analitikal observasional.

Hasil Penelitian : Subyek penelitian terdiri dari total 130 pasien suspek COVID-19 dan didapatkan 77 pasien dengan data parameter lengkap untuk analisis data. Pasien terdiri dari 48,05% laki-laki dan 51,92% perempuan. Umur pasien memiliki rentang usia 19 hingga 84 tahun dengan rata-rata 48,96 tahun. Diperoleh 48 pasien terkonfirmasi COVID-19 dan 29 pasien non-COVID-19. Pasien COVID-19 mengalami manifestasi klinis berupa sesak napas (44,16 %), batuk (44,16 %), demam (37,66 %), lemas (38,96 %), diare (14,29 %), dan nyeri kepala (7,9%). Ko-morbid pasien antara lain diabetes mellitus tipe 2 (25,97%), hyperthyroid (1,3%), keganasan (7,79%), penyakit ginjal kronis (14,29%), nefropati (3,90%), hepatitis B (2,6%), penyakit liver kronis (6,49%), penyakit paru-paru kronis (2,6%), hipertensi (36,36%) PAPO (1,3%), dan geriatri (9,09%). Pasien selanjutnya dibagi berdasarkan derajat COVID-19 menjadi ringan (16), sedang (20), berat (1), dan kritis (11). Pembagian pasien juga dibagi menjadi survivor (81,25%) dan non-survivor (18,75%) untuk evaluasi parameter mortalitas.

Hasil uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa PPT menunjukkan perbedaan signifikan jika dibandingkan pada pasien COVID-19 survivor dan non survivor (p=0,018). Sedangkan parameter hemoglobin dan leukosit tidak berbeda secara signifikan. Selanjutnya hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa PPT berhubungan dengan mortalitas COVID-19 dengan kekuatan rendah (R=0,343; p=0,016). Selanjutnya dilakukan analisis kurva ROC dan didapatkan parameter prediktor prognosis COVID-19 yang signifikan (p=0,03) berdasarkan PPT (cut-off value 11,35; dengan sensitivitas 88,9% & serta spesifisitas 54,1%).

Peran evaluasi PPT pada COVID-19 sebagai prediktor mortalitas: Laporan penelitian dua Rumah Sakit rujukan COVID-19 di Surabaya, sebagai episenter kedua COVID-19 di Indonesia

1.Ashariati A 2.Bintoro UY 3.Diansyah MN 4.Amrita PNA 5.Savitri M 6.Romadhon PZ

Dep/KSM Ilmu Penyakit Dalam

34

Conclusion & Recommendation: the APTT is less able to describe the bleeding conditions in critical COVID-19 patients treated with heparin in Indonesia.

Background: Hypercoagulation in COVID-19 is known to increase the risk of venous thromboembolism and death. Unfractionated Heparin (UFH) is an anticoagulant used to prevent venous thromboembolism. It is known that inadequate therapy can cause therapeutic targets not to be achieved. While large doses can increase the risk of bleeding. For this reason, the parameters for the success of UFH therapy with the APTT examination are still being debated. On the other hand, Thromboelastography (TEG), in addition to the APTT examination, is considered to be a better parameter. Therefore, this study was prepared with the aim of comparing APTT and Thromboelastography (TEG) to the incidence of bleeding in critically ill COVID-19 patients treated with heparin in Indonesia.

Methods: This study is an analytic observational study with a retrospective design. The method used is the total sampling method, through several inclusion criteria. The subjects of this study were divided into two groups, namely the bloody and non-bloody groups.

Results: This study showed that there were significant differences in the APTT of the two groups (p=0.002), significant differences in various TEG parameters (R time, K time, angle, MA and CI) between the two groups (p<0.05), but no significant difference. In addition, there was a significant difference in APTT and TEG between the two groups (p= 0.000).

Keywords: COVID-19, Hypercoagulation, Unfractionated Heparin (UFH), Thromboelastography (TEG), APTT

Comparison of APTT and Thromboelastography (TEG) to Blooding Incidents in Critical COVID-19 Patients Treated Heparin Treatment in Indonesia

1.Wijaya H 2.Setiawan P 3.Kusuma E 4.Utariani A

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

35

Kesimpulan & Rekomendasi: D-Dimer masih merupakan marker utama untuk menilai prognostik survival pasien covid. Nilai CWA dapat digunakan untuk membedakan antara covid dan non-covid, namun tidak terdapat perbedaan nilai CWA antara survivor dan non-survivor

Latar Belakang: Bukti saat ini menunjukkan adanya kondisi hiperkoagulasi pada pasien COVID-19. Kondisi ini dapat menyebabkan dampak klinis atau kematian yang signifikan, terutama pada pasien yang memiliki komorbiditas. Deteksi kondisi tersebut dapat dibuktikan dengan metode tertentu seperti trombelastogram, tetapi metode ini tidak tersedia secara luas di setiap fasilitas kesehatan.

PICO (Patient-Intervention-Control-Outcome): Populasi dari penelitian ini adalah pasien COVID- 19 di RSUD Dr Soetomo selama periode waktu Agustus-September 2020. Pengambilan data nilai CWA berdasarkan APTT dari pasien covid menggunakan alat Sysmex CS-2500. Pasien juga diambil data pemeriksaan D-Dimer dengan alat dan sampel yang sama dan dilakukan secara bersamaan. Penelitian ini tidak menggunakan kontrol. Outcome dari penelitian ini adalah nilai apakah ada perbedaan nilai CWA dan D-Dimer antara grup covid dan non-covid, serta grup survivor dan non-survivor sebagai estimasi prognostik.

Perbandingan Parameter Clotwaveform analysis Sysmex CS-2500 dengan D-Dimer pada Pasien COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Hernaningsih Y

Rahmawan PA

Dep/KSM Patologi Klinik

36

Kesimpulan & Rekomendasi : Kadar D-Dimer berhubungan dengan tingkat keparahan pasien COVID-19 dengan cut-off value 1130 ng/dl. Tingkat keparahan infeksi COVID-19 menjadi lebih tinggi bila kadar D-Dimer yang tinggi disertai komorbid Diabetes Mellitus/

Latar belakang : Secara global, lebih dari enam puluh juta kasus terkonfirmasi COVID-19 telah dilaporkan. Total kematian di seluruh dunia mencapai lebih dari 1.300.000 per November 2020. Pasien yang terinfeksi COVID-19 dapat mengalami perburukan klinis karena badai sitokin dan respons imun. Badai sitokin menyebabkan gangguan pada keseimbangan koagulasi; prokoagulan dan antikoagulan pada pejamu. Koagulopati menyebabkan peningkatan D-dimer. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan korelasi kadar D-Dimer dengan tingkat keparahan pasien COVID-19.

Desain : Penelitian dilakukan secara cross sectional analitik terhadap tingkat keparahan pasien COVID-19 yang terdiagnosis melalui hasil swab PCR positif. Penelitian dilakukan di ruang isolasi RSUD dr Soetomo Surabaya. Keparahan pasien dan kadar D-Dimer dihitung berdasarkan skoring pasien yang datang terdiagnosis COVID-19. Uji statistik Kolmogorov Smirnov digunakan untuk mengecek sebaran data. Analisis Spearman digunakan untuk menguji korelasi antara kadar D-Dimer dan keparahan COVID-19. Interpretasi signifikansi bila hasil uji korelasi didasarkan pada nilai p. Analisis statistik dinyatakan signifikan pada p<0,05.

Hasil : Korelasi antara kadar D-Dimer dengan keparahan pasien COVID-19 signifikan (p=0,00, Koefisien Korelasi 0,423). Median D-Dimer dari penelitian ini adalah 1130, D-Dimer > 1130 ng/ dl lebih parah 3,77x dibandingkan < 1130 ng/ dl. Penyakit penyerta juga mempengaruhi tingkat keparahan COVID-19. Diabetes mellitus berkorelasi dengan tingkat keparahan COVID-19 dengan 2,53x lebih parah dibandingkan pasien non diabetes mellitus. Pasien dengan D-dimer tinggi dan diabetes mellitus memiliki 4,01x lebih parah.

Hubungan Kadar D-Dimer terhadap Derajat Keparahan Pasien Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo

1. Christanti M 2. Bintoro UY

Dep/KSM Penyakit Dalam

37

Conclusion & Recommendation: The results showed that the ROC BUN, Crea, CRP, Albumin, AST, GGT and LDH curves were good parameters in showed the degree of severity, while ALT curve was not good as other parameters. The combination of BUN, Albumin and LDH examinations were a suitable predictor to determine the severity of COVID-19 patients.

Background: COVID-19, the early stage can causes acute respiratory symptoms, which is eventually followed by multi-organ failure. Patients with covid- 19 showed a fluctuation laboratories including variable renal and hepatic function parameters. The importance of analyzing biochemical factors through a combination of clinical chemical examinations were an appropriate way to evaluate the function of these organs, demonstrate the presence of hyperinflammatory conditions and determine the prognosis of the patient.

Objectives: To analyze clinical chemical parameters in ICU and non-ICU COVID-19 care, determine the demographic variables of ICU and Non-ICU patients, and assess the prognosis of these patients.

Method: This research is an observational analytic study with a cross-sectional design, was conducted from January to April 2021 at the Dr. Soetomo Hospital. 200 COVID-19 patients who met the study criteria, of which were 73 ICU patients and 127 NON- ICU patients. The data obtained using excel program and SPSS statistics version 22. P<0.05 was considered significant.

Result: In the study of 200 patient samples, mean age of 73 ICU patients were 5105 and 127 NON-ICU patients 52.8. From the 2 groups, CKD was significant as a comorbid factor. Comparison of clinical chemical parameters of the 2 groups showed a significant difference in the parameters of BUN, Crea, CRP, Albumin, AST, LDH and GGT (p<0.05). Statistically significant results on AUC were obtained for the parameters BUN (AUC=0.726, p=0.000), Crea (AUC=0.618, p=0.006), CRP (AUC=0.712, p=0.000), Albumin (AUC=0.714, p=0.000), ALT (AUC=0.644, p=0.001), LDH (AUC=0.790, p=0.000), GGT (AUC=0.620, p=0.005).

Analysis of Clinical Chemistry Parameters in ICU and Non-ICU COVID- 19 Patients at Dr. Soetomo Hospital

Novianti DA1

Puspitasari Y2

1 Resident, Clinical

Pathology, Faculty of

Medicine, Airlangga

University - Dr. Soetomo

Regional General

Hospital, Surabaya,

Indonesia

2Lecturer, Department of

Clinical Pathology,

Faculty of Medicine,

Airlangga University - Dr.

Soetomo Regional

General Hospital,

Surabaya, Indonesia

38

Conclusion & Recommendation: Urine Albumin Creatinine Ratio (UACR) examination shows a significant relation with Acute Kidney Injury (AKI) incidence in COVID-19 patients.

ABSTRACT

Background: Acute Kidney Injury (AKI) in COVID- 19 is poor prognostic factor and increases the risk of death. Urine Albumin Creatinine Ratio (UACR) test has better sensitivity for detecting microalbuminuria and provides advantages for routine clinical use. This study aims to analyze the relation of UACR to AKI incidence in COVID-19 patients.

Methods: This study is an observational analytic with a retrospective design and total sampling method, including all medical record data from November 2020 - February 2021. Patients were examined for UACR in the first 24 hours at RIK-1 and followed by AKI incidence for 7 days of treatment. Relation of UACR to AKI incidence was analyzed using Chi-square, contingency coefficients and Mann-Whitney test.

Results: 125 patients were found, of which 82 were male and 43 were female. UACR was divided into 3 categories, namely normal (11), microalbuminuria (51), macroalbuminuria (63). In addition, 55.2% had AKI and 44.8% did not have AKI. The results of statistical analysis showed there was a significant relation between UACR and AKI incidence (p: 0,000), UACR and ventilator use on incidence of AKI (p: 0.000). Mean SOFA 1 values were 6.00 and 6.15 in the microalbuminuria and macroalbuminuria groups who developed AKI.

Keywords: COVID-19, Urine Albumin Creatinine

Ratio (UACR), Acute Kidney Injury (AKI), SOFA

score

The Relation of Urine Albumin Creatinine Ratio (UACR) and Acute Kidney Injury (AKI) Incidence on COVID-19 Patients

1.Wijaya H 2.Utariani A 3.Semedi BP 4.Hamzah

Dep/KSM Anestesiology & Kedokteran Intensif

40

Conclusion & Recommendation : It can be concluded that there is a relationship which is significant between the Renal Angina Index on the incidence of Acute Kidney Injury (AKI). However, there was no significant relationship between increased D-Dimer levels and the incidence of acute kidney injury.

ABSTRACT

Since the World Health Organization (WHO) declared COVID-19 as pandemic in March 2020, the number of new case findings in Indonesia has continued to increase. As happened in the city of Surabaya. Even in severe cases deterioration is rapid and progressive. One of them is the high D-dimer level in COVID-19 patients, which indicates the presence of vascular thrombosis, resulting in organ failure syndromes such as Acute Kidney Injury (AKI). Such conditions clearly indicate that this virus attacks the kidneys. It is known that the prevalence of AKI is 17%, where 77% of AKI patients experienced severe COVID-19 infection, and 52% died. For this reason, this study was prepared with the aim of knowing the relationship between increased levels of D-Dimer Renal Angine Index and the incidence of Acute Kidney Injury (AKI) in COVID-19 patients in the Special Isolation Room of Dr. Soetomo Hospital Surabaya.

This study was a retrospective cohort analytic observational study with a sample size of 30. The Acute Kidney Injury criteria in this study used an increase in serum creatinine ≥ 0.3 mg / dL within 48 hours, or an increase in serum creatinine ≥ 1.5 times.

Through research conducted, it is known that the Renal Angina Index can be used to predict the incidence of AKI in this study with p <0.0001 and sensitivity 71%, specificity 21% (r: 0.43; strong CC> 0.3) with a limit of 7.

Keywords: renal angina index; D-dimer; acute kidney injury (AKI); COVID-19

Relationship between Renal Angina Index and D- Dimer Improvement Towards Acute Kidney Injury in COVID-19 Patients in Special Isolation Room of Dr. Soetomo Hospital Surabaya

1.Rasyid F, 2.Semedi BP, 3.Utariani A, 4.Aswin T

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

International Journal of Scientific Advances. Volume: 2 | Issue: 2 | Mar - Apr 2021 DOI: 10.51542/ijscia.v 2i2.15. ISSN: 2708-7972

Available Online: www.ijscia.com

40

Conclusion & Recommendation : SOFA score, LAR, and NPAR can be independent predictors of mortality in COVID-19 patients with sepsis.

ABSTRACT

Background: Sepsis in COVID-19 patients is associated with high mortality. SOFA score has been widely used and is a predictor of mortality in sepsis. A simpler scoring system is needed as a predictor of mortality so this study aims to analyze NPAR, LAR, and SOFA score as predictors of mortality in COVID-19 patients with sepsis.

Method: This study is an observational study with retrospective cohort design. Permission was granted by the Health Research Ethics Committee of Dr. Soetomo Surabaya Hospital. Total sampling was conducted on patients treated in special isolation room 1 Dr. Soetomo Hospital Surabaya in the period June-December 2020 that meets the criteria of inclusion and exclusion. SOFA score, RNA, and RLA are recorded on the first day of treatment and obtained from the patient's medical records. The data was analyzed using Pearson correlation tests for normal data distribution, Spearman for abnormal data distribution as well as logistic regression tests.

Results: There were 156 out of 183 samples of COVID- 19 patients with sepsis were found in special isolation room 1 that met the criteria. SOFA score has a significant relationship with mortality (p < 0.001), cut- off 4.5, AUC 0.811, sensitivity 78.5%, specificity 80.1%, RR 11,731 and 95% of CI: 3,376 – 22,178. LAR showed a significant association with mortality (p 0.012), cut- off 0.42, AUC 0.719, sensitivity 70.4%, specificity 75.3%, RR 9.147 and CI 95%: 1,814 – 26.113. NPAR also showed a significant association with mortality (p 0.014), cut-off 28.87, AUC 0.688, sensitivity 68.2%, specificity 70.5%, RR 5.123 and CI of 95%: 1,002 – 10,259.

Conclusion: SOFA score, LAR, and NPAR can be independent predictors of mortality in COVID-19 patients with sepsis.

Keywords: COVID-19, SOFA score, albumin lactate ratio, albumin neutrophil ratio, mortality

Use of Neutrophil Percentage to Albumin Ratio (NPAR), Lactate to Albumin Ratio (LAR), and SOFA Score as a Predictor of Mortality in COVID-19 Patients with Sepsis

1. Anas A 2. Utariani A 3. Airlangga PS

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

41

Conclusion & Recommendation : Serum levels of SP-D had a significant correlation with the severity of ARDS, but not with the mortality.

Background: The COVID-19 pandemic that lasted from 2019 to September 2021 has seen more than 221 million cases, where one of the main causes of death from COVID-19 is ARDS. Serum levels of Surfactant Protein-D (SP-D) are a specific indicator of lung injury and are known to predict the outcome of ARDS in non-COVID-19 patients, but the role of SP-D in ARDS due to COVID-19 is not fully understood. Therefore, this study wants to determine and analyze the correlation between SP-D serum levels with ARDS severity and mortality in COVID- 19 patients in Indonesia.

Method: This study was conducted during the period July-October 2020. SP-D serum levels were checked upon admission to the hospital, confirmed the diagnosis of ARDS and its grade according to the WHO criteria and then observed for 28 days to see the mortality.

Results: The mean serum level of SP-D from 76 patients were 39.33 ng/ml (SD ± 31.884 ng/ml). The statistical analysis showed that there is significant correlation between serum levels of SP-D and the severity of ARDS upon admission to the hospital (p = 0.04; rs = 0,236), but the correlation between serum levels of SP-D and mortality was not statistically significant (p = 0.89).

Keywords: Surfactant Protein-D (SP-D), ARDS Severity, Mortality, COVID-19

Correlation of Surfactant Protein-D (SP-D) Serum Levels with ARDS Severity and Mortality in COVID-19 Patients

1.Agustama A 2.Utariani A 3.Veterini AS

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

42

Conclusion & Recommendation: The examination of Surfactant Protein-D level did not show a meaningful correlation with intubation time on Covid- 19 patients.

ABSTRACT

Background: COVID-19 patients with ARDS who are admitted to the ICU needed tracheal intubation and mechanical ventilation, where the tracheal intubation strategy as early as possible with the good protocol ventilation management produce favorable patient outcomes. In performing the intubation needed to consider the right time to produce optimum outcome. The increase of Surfactant Protein-D serum level is a specific indicator of lung injury with severe ARDS and the duration of intubation. From that, the aims of this study to determine the correlation between Surfactant Protein-D (SP-D) and intubation time on COVID-19 patients.

Method: This observational analytic research with retrospective cohort design is conducted during March-August period and has obtained the ethics certificate from the Ethical Committee of Dr.Soetomo Surabaya. The examination of Surfactant Protein-D level is conducted on patients who have met the inclusion and exclusion criteria and the intubation time is recorded.

Results: In this research obtained 28 patients, where 20 patients are male and 8 patients are female. The comorbid factor that most affect the patient’s condition is Diabetes Mellitus. The average of Surfactant Protein-D serum level is 42,15 ng/ml (SD ± 32,71 ng/ml). The statistics analysis results showed that there is no meaningful correlation between Surfactant Protein-D serum level and intubation time (p: 0,304). In addition, it is also found that the SP-D level results which has no meaningful difference in the group of patients who died and survived (p: 0,159).

Keywords: Surfactant Protein-D Level, Intubation Time, COVID-19

The Correlation Between Surfactant Protein-D (SP- D) Serum Level and Intubation Time on COVID-19 Patients

1.Manoppo AF, 2.Veterini AS 3.Winariani

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

43

Conclusion: There was no significant association between serum KL-6 values on 0 days in the severity of COVID19

Recommendation : It is necessary to classify the severity of the subject on day 6.

Background: The main target of SARS-CoV2 is the alveolar type II (AT2) cells of the lung. SARS-CoV2 evades the innate immune system resulting in the release of proinflammatory cytokines (IL-1β, IL-6, TNF- α) which causes AT2 cell damage. Krebs von den Lungen (KL-6) is a specific biomarker of AT2 cell damage. KL-6 is produced in AT2 cells that are injured/regenerated.

Objective: Research that discusses the role of KL-6 in COVID-19 is still being debated and not much has been done in Indonesia.

Methods: This study was an analytical study with a prospective design on 75 COVID-19 patients who were treated. Subjects were divided into two large groups according to their degree of severity, 57 subjects with severe degrees and 18 subjects with non-severe degrees. The serum KL-6 levels were measured on days 0 and 6. Data were analyzed using paired t-test and independent t-test for data were normally distributed and Wilcoxon test and Mann Whitney test for data that were not normally distributed.

Result: In this study, the mean serum KL-6 for day 0 in the severe group was higher than the non-severe group with values of 45.70 U/mL and 44.85 U/mL. On day 6, the mean serum KL-6 in the severe group was lower than that in the non-severe group with values of 41.3 U/mL and 41.95 U/mL. Serum KL-6 in the severe group experienced an even greater decrease than the non-severe group.

Association of serum KL-6 levels on COVID-19 severity: A cross-sectional study design with purposive sampling

Suryananda TD Yudhawati R

Dep/KSM Paru & Kedokteran Respirasi

Suryananda TD, Yudhawati R, 2021. Association of serum KL-6 levels on Covid-19 severity: A cross-sectional study design with purposive sampling. Annals of Medicine and Surgery 69: 102673. https://doi.org/10.1016/j. amsu.2021.102673

44

Kesimpulan & Rekomendasi : Penurunan signifikan jumlah sel CD3, CD4, CD8 dan Sel NK pada pasien COVID-19 derajat berat-kritis, dan sedang dibandingkan kelopok ringan serta berhubungan dengan luaran klinis pasien yang buruk

Pendahuluan. Respons imun alamiah dan adaptif berperan penting dalam kontrol infeksi virus. Pada infeksi virus konvensional, proporsi limfosit umumnya akan meningkat, namun pada kasus infeksi influenza seperti pandemic H1N1 dan severe acute respiratory syndrome (SARS) terjadi limfopenia. Limfosit T adalah kunci utama sistem imun adaptif terhdap infeksi virus influenza A, dan dapat menurunkan keparahan gejala selama infeksi.

Metode. Sampel penelitian sebanyak 123 pasien terkonfirmasi COVID-19 diklasifikasikasikan berdasarkan derajat keparahan : 50 pasien derajat keparahan ringan, 37 pasien derajat keparahan sedang dan 39 pasien derajat keparahan berat- kritis dilakukan pemeriksaan Darah lengkap dan subset limfosit T (CD3, CD4, CD8) dan sel NK dengan Flowcytometri.

Hasil. Terdapat perbedaan signifikan jumlah sel CD 3 (P<0.001), CD4 (P < 0,001), CD8+ T cells (P < 0,001),dan NK cells (P < 0,001) pada ketiga kelompok. Pada kelompok berat-kritis terjadi penurunan limfosit yang disertai jumlah sel CD3, CD4, CD8, dan sel NK serta peningkatan WBC, dan netrofil. Berdasarkan outcome, Terdapat perbedaan signifikan jumlah sel CD 3 (P<0.001), CD4 (P < 0,001), CD8+ T cells (P < 0,001),dan NK cells (P < 0,001) antara kelompok Discharged dan death. Penurunan jumlah sel T, CD4, Cd8 dan sel NK menunjukkan adanya hubungan antara perubahan subset limfosit dengan patogenesis SARS-CoV-2 yaitu gangguan sistem imun seperti pada infeksi SARS. Peningkatan leukosit dengan penurunan jumlah CD3, CD4, CD8 dan sel NK berhubungan dengan luaran pasien yang buruk

Karakteristik Natural Killer (NK) Cell and Limfosit T pada pasien COVID-19 di Surabaya, Indonesia

Fitriah M Tambunan BA Prof. Dr. Nugraha J Aryati Hernaningsih Y

Dep/KSM Patologi Klinik

Akan terbit pada tahun 2022.Munawaroh Fitriah, Betty Agustina Tambunan, Hartono Kahar, Jusak Nugraha, Fauqa Arinil Aulia, Aryati, Resti Yudhawati, Sudarsono, Yetti Hernaningsih, 2021. Characteristics of Natural Killer (NK) Cell and T Lymphocyte in COVID-19 Patients in Surabaya, Indonesia. Research Journal of Pharmacy and Technology 15(5).

45

Conclusion : There was a difference in sCD25 levels in COVID-19 patients between the mild-moderate group by severe-critical. The level of sCD25 on day-0with a cut off of > 3.14 ng/mL (AUC 0.719, p = 0.001) can be used as a predictor of 30day mortality in COVID-19 patients with a sensitivity of 96.2%, a specificity of 47.4%.

Recommendation : Levels of sCD25 >3.14 ng/mL can be used as a predictor of mortality in COVID-19 patients

The purpose of this study was to analyze and determine the cut-off level of sCD25 as a predictor of mortality in COVID-19 patients. In an observational analytic study with a prospective cohort design, the study population was COVID-19 patients who were hospitalized at RIK RSUD Dr. Soetomo Surabaya for the period July 2020-December 2020. Sampling was taken by consecutive sampling, divided into two groups, mild-moderate and severe-critical groups. The examination of sCD25 levels in both groups was carried out on day-0 and day-6 of hospitalization using the sandwich ELISA method. The paired group statistical analysis used the Wilcoxon range test, the unpaired group used the Mann Withney U test. ROC curve analysis to determine the cut off level of sCD25 as a predictor of mortality.

There were a total of 83 study patients consisting of 36 patients in the mild-moderate group, 47 patients in the severe-critical group. There was a difference in sCD25 levels between mild-moderate COVID-19 patients who were treated on day-6 compared to day-0, whereas in the severe-critical group there was no difference in sCD25 levels. There was a difference in sCD25 levels in COVID-19 patients between the mild-moderate group by severe- critical. The level of sCD25 with a cut off of 3.14 ng/mL (AUC 0.719, p = 0.001) can be used as a predictor of mortality in COVID-19 patients with a sensitivity of 96.2%, a specificity of 47.4%. Levels of sCD25 >3.14 ng/mL can be used as a predictor of mortality in COVID-19 patients

Soluble Cluster of Differentiation 25 (sCD25) as a Predictor of Mortality of COVID-19 Patients in Surabaya, Indonesia

1. Zahraini H1, 2. Tambunan

BA2*, 3. Semedi BP3

1 Resident, Clinical Pathology, Faculty of Medicine, Airlangga University - Dr. Soetomo Regional General Hospital, Surabaya, Indonesia 2Lecturer, Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, Airlangga University - Dr. Soetomo Regional General Hospital, Surabaya, Indonesia 3Lecturer, Department of Anesthesiology and Reanimation, Faculty of Medicine, Airlangga University - Dr.

Soetomo Regional General Hospital, Surabaya, Indonesia

46

Kesimpulan & Rekomendasi : sCD163 tidak dapat digunakan sebagai

prediktor mortalitas pasien COVID-19, namun penelitian ini menemukan

kadar sCD163 dapat membedakan tingkat keparahan penyakit

berdasarkan kelompok ringan-sedang dan berat-kritis.

Pendahuluan : Makrofag berfungsi penting dalam imunitas dan pertahanan tubuh. SARS-CoV-2 yang masuk ke tubuh akan menginfeksi makrofag melalui ACE-2 dan menyebabkan makrofag teraktivasi. Makrofag dapat mengalami disregulasi fungsi dan dapat menyebabkan kegagalan organ pasien. Aktivitas makrofag dapat diketahui melalui sCD163. Penelitian ini bertujuan menganalisis sCD163 sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19.

Metode: Penelitian analitik observasional, kohort prospektif, dilakukan pada Juli - Desember 2020, menggunakan sampel pasien COVID-19 (n=82) yang di rawat di RIK RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pengambilan sampel secara consecutive sampling dalam dua kelompok yaitu kelompok ringan- sedang dan berat-kritis. Kadar sCD163 diperiksa pada hari ke-0 dan ke-6 rawat inap menggunakan metode sandwich ELISA. Analisis statistik kelompok berpasangan menggunakan wilcoxon range test, kelompok tidak berpasangan menggunakan mann withney u test. Analisis kurva ROC untuk menentukan cut off kadar sCD163 sebagai prediktor mortalitas

Hasil : Didapatkan sebanyak 36 pasien kelompok ringan- sedang dan 46 pasien kelompok berat-kritis dari total 82 pasien. Tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar sCD163 pada kelompok ringan-sedang yang dirawat pada hari ke-0 dibandingkan hari ke-6, begitu juga pada kelompok berat kritis. Terdapat perbedaan bermakna kadar sCD163 antara kelompok ringan-sedang dengan berat-kritis. Median sCD163 hari-0 dan hari-6 lebih tinggi pada kelompok ringan-sedang dibandingkan berat-kritis yaitu 430.45 ng/mL dan 380.60 ng/mL, dan median pada hari-6 sebesar 447.10 ng/mL dan 346,95 ng/mL

Soluble Cluster of Differentiation 163 (sCD163) sebagai Prediktor Mortalitas Pasien COVID-19

Sibargariang CM1 Tambunan B2

Semedi B3

1. Residen Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya 2. Staf Pengajar Patologi Klinik Universitas Airlangga- RSUD Dr Soetomo Surabaya 3. Staf Pengajar Anestesiologi- Reanimasi Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya

47

Conclusion & Recommendation : Body temperature does not correlate with the occurrence of ARDS, severity of ARDS, mortality, and IL-1β levels. IL-1β levels and transformation in IL-1β levels did not correlate with mortality, ARDS and severity of ARDS. ARDS, severity of ARDS, use of mechanical ventilation, secondary infection and length of stay were correlated with mortality.

ABSTRACT Introduction: IL-1β and IL-6 are cytokines which undertake a major role in cytokine storm and endogenous pyrogens. Several prior studies have displayed the effectiveness of IL-1β inhibitors in COVID- 19 patients so as to minimizes severity and mortality.

Objective: This study aims to analyze correlation between IL-1β and body temperature with ARDS severity and mortality in COVID-19 patients.

Material and Method: This research is an analytic observational study with a prospective cohort design. A total number of 54 patients have met the inclusion and exclusion criteria starting from July to September 2020. This study mainly applied the Spearman-Rho, Mann Whitney, free sample T2 test, and Chi-Square.

Result and Discussion: The correlation between body temperature and IL-1β levels in COVID-19 patients with ARDS did not show a statistical significance towards mortality and ARDS severity, in which this was shown in the analysis test on each of the variables studied where the p value > 0.05. Nonetheless, the occurrence of ARDS (p 0.022), the severity of ARDS (p 0.001), application of mechanical ventilation (p 0,00), secondary infection (p 0.00) and length of stay (p 0.042) were statistically significant on mortality.

Keywords: ARDS; COVID-19; Fever; IL-1β; Mortality; Severity

Correlation of IL-1 Level and Body Temperature to the Severity of Acute Respiratory Distress Syndrome and Mortality in COVID-19 Patients

1. Andriani I 2. Utariani A 3. Hamzah 4. Sulistiawan SS 5. Susila D

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

48

Conclusion & Recommendation : Examination of CRP and IL-6 was associated with severity, complications and mortality in COVID19 patients, except that IL-6 was not associated with mortality because it is influenced by the patient’s comorbid disease.

Background: IL-6 plays an important role in the occurrence of cytokine storm and is the major inducer of Creactive protein (CRP) gene expression in the liver. This study aims to analyze CRP and IL-6 levels as markers of severity and mortality in COVID-19 patients.

Methods: 50 subjects met the inclusion and exclusion criteria; the study was conducted using a retrospective observational cohort design and analyzed using Spearman-Rho and Mann Whitney test.

Results: There is relationship between CRP and the severity of COVID-19 with p value < 0.001 and r value 0.604. The severity of IL-6 and COVID-19 was also associated with a p-value of 0.017 and an R- value of 0.337. CRP was also associated with mortality with a p value of 0.004, where the baseline SOFA score was p < 0.001 and the r value was 0.551. IL-6 was associated with symptom onset with a p-value of 0.027 and an R-value of 0.314. Meanwhile, CRP and IL-6 were associated with mechanical ventilation treatment with p- values of 0.013 and 0.027, respectively. CRP also has a strong correlation with IL-6 levels with p value < 0.001 and r value 0.557.

Correlation Between CRP, IL-6 Level, Severity and Mortality in Patients with COVID-19 Infection in Indonesia

1. Andriani I, 2. Utariani A*, 3. Hanindito E 4. Airlangga PS

Anesthesiology and Intensive Care Department, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Dr. Soetomo General Hospital Surabaya Indonesia Andriani I, Utariani A, Hanindito E, Airlangga PS, 2021. Correlation Between CRP Il-6 Level, Severity and Mortality in Patients with

Covid-19 Indonesia. Journal

Infection in

of International

Scientific

Advances 2(4):618-27. DOI: 10.51542/ijscia.v2i4.27

49

Conclusions. There were significant positive correlations between IL-6, CRP, and LDH on the first day of admission on both male and female subjects which showed that IL-6 was associated with inflammatory response on the acute phase of COVID-19. However, on the 6th day of admission, IL-6 showed significant positive correlations with CRP and LDH only on male subjects, but not on female subjects

Introduction. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) caused by cytokine storm was the main cause of death of COVID-19. Interleukin-6 (IL-6) was known to have a major role in cytokine storm and associated with severe manifestations of COVID-19. However, IL-6 had pro- inflammatory and anti-inflammatory activities depending on its signaling type. CRP and LDH were inflammation markers and also associated with COVID-19 severity. The aim of this study was to evaluate the relationship between IL-6 activity with CRP and LDH levels with the severity of COVID-19 patients within 6 days of hospital admission.

Methods. This cross-sectional study was conducted from June 2020 to May 2021. This study recruited 86 patients with confirmed PCR positive for COVID-19 who were treated in the isolation ward of Dr. Soetomo Teaching Hospital, Surabaya, Indonesia. Examination of serum levels of IL-6, CRP, and LDH was performed on the first and sixth day of hospital admission. Spearman correlation was used to assess the correlation between IL-6, CRP, and LDH. Independent sample t-test and Mann Whitney U test were used to compare IL-6, CRP, and LDH between male and female subjects.

Results. It was found on the first day of admission the same significant correlation between IL-6 and CRP on males and females with rs=0,475 (p<0,01) and rs=0,663 (p<0,01) respectively. Correlation between IL-6 and LDH on the first day of admission on both males and females were also significant with rs=0,403 (p<0,01) and rs=0,484 (p<0,01) respectively. IL-6 and CRP on the sixth day of admission showed significant correlation on males with rs=0,621 (p<0,01), but not on females with rs=0,120 (p=0,586). IL-6 and LDH on the sixth day of admission also showed significant correlation on males with rs=0,544 (p<0,01), but not on females with rs=0,030 (p=0,893).

Correlation Between Interleukin-6, CRP and LDH in COVID-19 Patients

1. Adiatmaja CO1

2. Nugraha J1*

3. Utariani A2

1Clinical Pathology Department, Faculty of Medicine-Dr. Soetomo Teaching Hospital, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia 2Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine-Dr. Soetomo Teaching Hospital, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Acknowledgements We would like to thank all personnel of Isolation Ward in Dr. Soetomo Teaching Hospital for their support to obtain blood samples for this study.

50

3000

2000 Meninggal

1000 Hidup

0

H0 H1 H2 H3 H6

Latar Belakang : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) meningkat cepat hingga menyebabkan banyak kematian. Penyebab kematian utama adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS) akibat badai sitokin. IL-1β dan IL-6 merupakan sitokin pro inflamasi pemicu badai sitokin yang kemudian menyebabkan peradangan sistemik sehingga meningkatkan pelepasan feritin dan kerusakan jaringan. Pasien COVID-19 yang membutuhkan perawatan di rumah sakit diindikasikan mengalami peningkatan kadar IL- 1β, IL-6, dan feritin, baik pasien yang hidup maupun pasien yang meninggal selama masa perawatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara kadar IL-1β dan IL-6 dengan kadar serum feritin dan mortalitas pasien COVID-19 serta mencari perbedaan tren kadar serum feritin pada pasien COVID-19 yang bertahan hidup maupun yang meninggal selama perawatan.

Metode : Desain penelitian ini adalah studi analitik observasional dengan rancangan cohort retrospective. Sampel berasal dari pasien COVID-19 yang dirawat di ruang isolasi khusus RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari bulan Juli hingga Desember 2020. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pengukuran kadar IL- 1β, IL-6, dan feritin H0, serta pengumpulan data mortalitas dan data tambahan feritin H1,2,3, dan 6.

Hasil : Penelitian ini mengumpulkan 52 sampel; 36 pasien yang dapat bertahan hidup dan 16 pasien meninggal. Hasil analisis korelasi kadar IL-1β dan IL-6 dengan serum feritin masing-masing adalah korelasi negatif bermakna (rs= -0,284) dan korelasi positif bermakna (rs=0,333). Hasil uji beda kadar IL-1β, IL-6, dan serum feritin pada pasien yang bertahan hidup dan meninggal masing-masing didapatkan nilai p=0,383; 0,036; dan 0,020 (p<0,05). Hasil uji beda tren serum feritin di H0,1,2,3, dan 6 perawatan, baik yang bertahan hidup maupun yang meninggal masing-masing didapatkan nilai p=0,020; 0,000; 0,000, dan 0,000 (p<0,05). Kelompok pasien yang hidup memiliki tren kadar serum feritin yang menurun, sedangkan kelompok pasien meninggal memiliki tren yang fluktuatif dengan rerata yang lebih tinggi (Gambar 1).

Kesimpulan & Rekomendasi : Terdapat korelasi positif bermakna antara IL-6 dan serum feritin pada pasien COVID-19, namun IL-1β dan serum feritin memiliki korelasi negatif. Kadar IL-6 dan serum feritin pada kelompok pasien hidup dan meninggal berbeda bermakna, namun tidak dengan kadar IL-1β pada kelompok pasien hidup dan meninggal. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar serum feritin pasien COVID-19 yang bertahan hidup dengan yang tidak, dimana tren kadar serum feritin pada kelompok pasien hidup semakin menurun seiring lamanya hari perawatan, sedangkan pada kelompok pasien meninggal terdapat variasi dan fluktuatif tren kadar serum feritin dengan rerata kadar serum feritin yang lebih besar.

Hubungan Kadar Interleukin-1β dan Interleukin-6 dengan Kadar Serum Feritin dan Mortalitas Pasien COVID-19

Damayanti AN1 Hernaningsih Y1* Utariani A2

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran - Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia

2Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran - Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Indonesia

51

Kesimpulan : OI terbukti sebagai prediktor independen mortalitas pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS. OSI dan rasio PaO2 /FiO2 tidak dapat digunakan sebagai prediktor independen mortalitas pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS.

Rekomendasi : OSI dan rasio PaO2 /FiO2 tidak dapat digunakan sebagai prediktor independen mortalitas pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS. Perlu dilakukan pengembangan penelitian selanjutnya dengan menilai OSI sebagai pengganti OI, dengan periode penelitian yang lebih panjang, serta melibatkan sentra pendidikan yang lain.

Pada kasus berat, pneumonia COVID-19 terjadi perburukan secara cepat dan progresif yang menyebabkan ARDS. Pengukuran parameter oksigenasi seperti oxygenation index (OI) dan oxygen saturation index (OSI) pada beberapa penelitian menunjukkan superioritas dibanding dengan rasio PaO2 /FiO2 dalam menilai status oksigenasi dan derajat keparahan ARDS. Penelitian ini bertujuan melakukan analisis faktor risiko OI, OSI, dan Rasio PaO2 /FiO2 terhadap mortalitas pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS. Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain cohort-prospective terhadap pasien dewasa pneumonia COVID-19 dengan ARDS berdasar atas kriteria Berlin. Data perhitungan OI, OSI, dan rasio PaO2 /FiO2 diambil pada 30 menit pertama pascapemasangan ventilator mekanik. Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor risiko OI, OSI, dan rasio PaO2 /FiO2 terhadap mortalitas 28 hari pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS. Hasil penelitian didapatkan pada 77 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi, hanya variabel OI yang terbukti signifikan sebagai prediktor independen mortalitas dengan nilai p 0,043, sementara OSI dan rasio PaO2 /FiO2 tidak signifikan. Dari ketiga variabel, OI mempunyai AUC tertinggi, yakni 0,935 dibanding dengan variabel OSI dan rasio PaO2 /FiO2.

Analisis Faktor Risiko Oxygenation Index, Oxygen Saturation Index, dan Rasio PaO2/FiO2 sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Pneumonia COVID-19 dengan ARDS di Ruang Perawatan Intensif Isolasi Khusus RSUD Dr Soetomo

1.

2. 3.

Samuel Hananiel Rory, Arie Utariani, Bambang Semedi

Pujo

Samuel Hananiel Rory, Arie Utariani, Bambang Pujo Semedi, 2021. Analisis Faktor Risiko Oxygenation Index, Oxygen Saturation Index, dan Rasio Pao2 /Fio2 sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Pneumonia COVID-19 dengan ARDS di Ruang Perawatan Intensif Isolasi Khusus RSUD Dr Soetomo. JAP, Volume 9 Nomor 1, April 2021. https://doi.org/10.15851/ jap.v9n1.2275

52

Kesimpulan & Rekomendasi : Terdapat korelasi negatif signifikan antara PDW dengan PaO2/FiO2. P-LCR dan Cit-H3 berperan sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19.

Pendahuluan: COVID-19 parah mortalitasnya sangat tinggi akibat badai sitokin menyebabkan Neutrophil Extracellular Trap (NET) dan aktivasi trombosit. NET merusak jaringan alveolar. Penanda NET adalah Citrullinated Histon H3(Cit- H3). Aktivasi trombosit tergambarkan dari indeks trombosit. Indeks trombosit meliputi: jumlah trombosit, MPV, PDW, PCT dan P-LCR. Penelitian ini menguji hubungan cit-H3 serta indeks trombosit dengan rasio PaO2/FiO2 dan sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19.

Metode: Penelitian adalah studi cross sectional di RSUD Dr. Soetomo antara Juni 2020 - Juni 2021. Subjek penelitian pasien dewasa terkonfirmasi PCR COVID-19. Pengambilan spesimen darah dilakukan pada hari pertama dan ke-3 rawat inap. Pengukuran Cit-H3 dengan ELISA kompetitif. Indeks trombosit hari pertama dan rasio PaO2/FiO2 hari pertama dan ke-3 didapatkan dari rekam medis. Analisis ROC untuk cut off indeks trombosit dan CitH3 sebagai prediktor mortalitas

Hasil: Didapatkan 37 subjek penelitian, terdiri 19 pasien meninggal dan 18 pasien hidup. Korelasi Spearman antara PDW dan PaO2/FiO2 hari pertama signifikan dengan rs= -

0,292 (p<0,05). Korelasi CitH3 dangan PaO2/FiO2 tidak signifikan. P-LCR signifikan lebih tinggi pada kelompok meninggal dengan cutoff > 27% (AUC 0,697;sensitivitas 78,9%;spesifisitas 55,6%). CitH3 serum signifikan lebih tinggi pada kelompok meninggal pada hari pertama maupun ke-3. CitH3 meningkat signifikan pada hari ke-3 pada kelompok meninggal. Didapatkan cutoff prediktor mortalitas CitH3 hari pertama:10,65 ng/mL (AUC 0,703; sensitivitas 84,2%; spesifisitas 55,6%); hari ke-3: 12,45 ng/mL(AUC 0,716; sensitivitas 89,5%; spesifisitas 50%).

Analisis Citrullinated Histion H3 (CIT-H3) dan Indeks Trombosit sebagai Prediktor Penurunan Rasio PaO2/FiO2 dan Mortalitas Pasien COVID-19

Pramono, H. H Nugraha, J. Utariani, A

1. Residen Patologi Klinik Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya 2. Staf Pengajar Patologi Klinik Universitas Airlangga- RSUD Dr Soetomo Surabaya 3. Staf Pengajar Anestesiologi- Reanimasi Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya

53

Kesimpulan : nilai VR dan Vd/Vt dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19 dengan ARDS dan keduanya mempunyai korelasi yang kuat.

Rekomendasi : VR dapat menggantikan Vd/ Vt

Abstract

Latar belakang

Pada pasien COVID-19 dengan ARDS terjadi gangguan oksigenasi dan ventilasi. Menurut kriteria Berlin ARDS, oksigenasi diukur dengan PaO2 /FiO2 , namun tidak mengukur ventilasi alveolar yang diukur dengan dead space yang dapat terjadi akibat kondisi, seperti kerusakan endotel, mikrotrombus, dan penggunaan ventilator yang berlebih. Tujuan penelitian ini menganalisis penggunaan ventilatory ratio (VR) dan dead space fraction (Vd/Vt) sebagai prediktor mortalitas pasien COVID-19 ARDS.

Metode: Penelitian ini adalah analitik kohort retrospektif. Data dikumpulkan dari rekam medik pasien COVID-19 yang dirawat di RIK RSUD Dr. Soetomo periode Juni–September 2020 dengan teknik total sampling terhadap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi. Data yang dikumpulkan adalah nilai VR dan Vd/Vt (diambil dari data laboratorium), kondisi klinis pasien dan pengaturan ventilator 24 jam pertama setelah terintubasi.

Hasil: didapatkan 77 dari 80 subjek yang memenuhi kriteria. Nilai VR berhubungan dengan mortalitas secara signifikan dengan nilai p 0,001; cut off 1,84; sensitivitas 84,2%; spesifisitas 85%; RR 30,22; CI 95%: 7,31–124,89. Vd/Vt dan mortalitas menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap mortalitas dengan nilai p 0.001. Uji analisis Spearman VR dengan Vd/Vt didapatkan hasil korelasi yang kuat dengan koefisien korelasi 0,704 dan p 0,001.

Kata Kunci: ARDS, COVID-19, dead space fraction, mortalitas, ventilatory ratio

Penggunaan Ventilatory Ratio dan Alveolar Dead Space Fraction sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien COVID-19 dengan Acute Respiratory Distress Syndrome

1. 2. 3. 4. 5.

Putra MK Utariani A Semedi BP Waloejo CS Hardiono

Putra MK, Utariani A, Soemartono C, Semedai BPJ, Hardiono (2021) Penggunaan Ventilatory Ratio dan Alveolar Dead Space Fraction sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien COVID-19 dengan Acute Respiratory Distress Syndrome. JAP 9(1):10-7

DOI: https://doi.org /10.15851/jap.v9n1 pISSN: 2337-7909 eISSN: 2338-8463

54

55

TERAPETIK

Penyakit akibat Coronavirus baru atau Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) pertama dilaporkan pada Desember 2019 di Tiongkok. Hingga tanggal 15 April 2020, 1,9 juta orang di

dunia dinyatakan telah terinfeksi virus tersebut dan kematian yang diakibatkan telah mencapai 123 ribu orang. Per tanggal yang sama, 5.136 orang di Indonesia telah ditemukan terinfeksi oleh virus tersebut dan 469 orang diantaranya meninggal dunia. Sampai saat ini,

tidak ada terapi definitif untuk pengobatan SARS-CoV-2 ini. Untuk menguji efektivitas 4 jenis yang diadaptasi yaitu, Remdesivir, Lopinavir/Ritonavir, Interferon (β1α), dan Klorokuin atau

Hidroksiklorokuin, perlu dilakukan uji klinis acak. Selain itu perlu dievaluasi pula terapi plasma konvalesen yang diberikan bagi pasien dengan gejala berat. Pada awal tahun 2020

belum ada obat antiviral untuk COVID-19.

Judul Halaman

Repurposed Antiviral Drugs for Covid-19 – Interim WHO Solidarity Trial Results. WHO Solidarity Trial.

56

Terapi Plasma Konvalesen 57

Uji Klinik Favipiravir (AviganTM) pada pasien COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

58

Considering Role of Probiotic on Respiratory Disease: Is Probiotic Possible to Treat COVID-19?

59

Effect of Prone Position on Oxygenation, Ventilation, ROX Index and the need for Endotracheal Intubation of COVID-19 Patients

60

The Combination Effect of Respiratory Support Devices and Anti-COVID on Mortality and Length of Stay of COVID-19 Patients in the Special Isolation Room – Intensive Care Unit Dr. Soetomo General Academic Hospital

61

Berbagai Faktor yang Berpengaruh pada Kejadian Thrombocytopenia Pasca Pemakaian Heparin pada Pasien COVID-19

62

ROX Index as a Predictor of Intubation and 28-days Mortality in COVID-19 Acute Respiratory Failure: A Retrospective Study

63

Anti-SARS-CoV-2 Hyperimmune Immunoglobulin for Hospitalized Patients With COVID-19: A Randomized Controlled Trial. The ITAC (INSIGHT 013) Study Group

64

56

57

Kesimpulan : Pemberian Terapi Plasma Konvalesen tidak signifikan di dalam menurunkan mortalitas kasus pasien COVID-19 secara keseluruhan, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang hanya mendapat terapi standar tanpa tambahan plasma konvalesen). Namun, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil ini terutama nilai SOFA Score yang berkaitan dengan fungsi organ pada pasien. Didapatkan hasil yang bermakna antara rerata SOFA Score tertinggi pada pasien yang meninggal meski sudah mendapatkan terapi plasma konvalesen, dibanding yang hidup dengan terapi plasma konvalesen. Pada kasus COVID-19 dengan SOFA Score yang tinggi sudah terjadi kondisi yang kritis di mana terjadinya gagal organ multipel sehingga tingkat mortalitas juga tinggi, sehingga pemberian plasma konvalesen tidak berdampak signifikan. Namun, pada pasien COVID-19 dengan SOFA Score lebih rendah (4,17-4,79), yang diberi terapi plasma konvalesen sebagai tambahan dari terapi standar, dilaporkan memiliki angka survavibilitas yang lebih baik.

Terapi Plasma Konvalesen

Latar Belakang : Terapi plasma konvalesen dianggap sebagai salah satu terapi pilihan terakhir untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien dengan penyakit infeksi berat. Antibodi yang berada pada plasma pasien yang telah sembuh ditransfusikan dan diasumsikan dapat menekan proses viremia. Terapi ini telah dilakukan dalam beberapa pandemi oleh karena infeksi. Pada tahun 2014, plasma konvalesen direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan dalam penanganan outbreak penyakit Ebola. Terapi plasma konvalesen juga menjadi protokol penanganan infeksi Middle East Respiratory Syndrome-Coronavirus (MERS-CoV) pada tahun 2015. Penggunaan terapi plasma konvalesen telah dilaporkan terhadap beberapa pasien dengan COVID-19 dan disimpulkan bahwa terapi plasma konvalesen ini memiliki potensi efek terapeutik yang baik serta risiko rendah dalam penanganan infeksi COVID-19 dengan ARDS. Meskipun demikian, belum ada penelitian yang mengevaluasi efek terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 derajat berat atau kritis dengan jumlah pasien yang lebih banyak.

Desain Penelitian : Penelitian ini merupakan uji klinis, dengan desain non- randomized open label, dua kelompok intervensi (double-arm), dan satu stadium penelitian (one stage) untuk melihat efikasi dan profil keamanan pemberian transfusi plasma konvalesen pada pasien COVID-19 derajat berat atau kritis yang dirawat di rumah sakit. Terapi plasma konvalesen ini diberikan sebagai tambahan pada terapi standar yang berlaku di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Plasma yang diberikan disesuaikan dengan golongan darah pasien. Plasma konvalesen ditransfusikan dengan dosis 200ml/hari diberikan selama 2 hari. Selanjutnya pasien akan dilakukan pemantauan secara klinis, laboratoris, dan radiologis secara berkala dan diikuti sampai selesai masa perawatan, baik sembuh atau meninggal.

Hasil Penelitian : Dari 44 Pasien yang mendapatkan Terapi Plasma Konvalesen, 24 diantaranya hidup (55%) sedangkan 20 pasien meninggal (45%). Di antara 161 pasien yang tidak mendapatkan TPK maka didapatkan tingkat kematian sebesar 49% (79 pasien) dan hidup 51% (82 pasien). Berdasarkan uji Chi-Square didapatkan p- Value 0,670752 (p >0,05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan outcome akhir secara signifikan di antara kelompok yang mendapat plasma konvalesen dan yang tidak mendapatkan plasma konvalesen. Di antara pasien COVID-19 derajat kritis yang memakai ventilator mekanik dan mendapat terapi plasma konvalesen, didapatkan mortalitas sebesar 90% (18 pasien dari 20 pasien). Pasien yang mengalami perbaikan setelah mendapat terapi plasma konvalesen diantaranya 25% dengan terapi oksigen konservatif (6 pasien dari 24 pasien) ; 54% dengan HFNC / High Flow Nasal Canule (13 pasien dari 24 pasien) ; 13% dengan NIV / Non-Invasive Ventilation (3 pasien dari 24 pasien) ; serta hanya 8% yang bertahan setelah memakai ventilator mekanik (2 pasien dari 24 pasien). Namun, hasil monitoring parameter fungsi organ terkait sepsis pasien yang dihitung menggunakan SOFA Score (Sequential Organ Failure Assessment), menjukkan hasil yang bermakna. Di antara pasien kelompok intervensi yang hidup, didapatkan rata-rata SOFA Score awal sebesar 4,17 dan SOFA Score tertinggi selama perawatan sebesar 4,79. Diantara pasien kelompok intervensi yang mengalami kematian, didapatkan rata- rata SOFA Score awal sebesar 5,25 dan SOFA Score tertinggi selama perawatan sebesar 10,25. Nilai p-Value untuk SOFA Score awal antara yang hidup dan meninggal adalah sebesar 0,016 (p<0,05) dan untuk SOFA Score tertinggi sebesar

<0,00001 (p<0,05).

Semedi BP1

Soedarsono2

Ugroseno3

1Dep/KSM Anestesiologi & Kedokteran Intensif

2Dep/KSM Paru & Kedokteran Respirasi

3Dep/KSM Penyakit Dalam

58

Hasil Penelitian : Jumlah subjek penelitian yang di dapat mulai bulan Agustus 2020 sampai dengan Juni 2021 sebanyak 70 pasien dengan perincian pasien kriteria COVID-19 derajat kritis sebanyak 7 orang, derajat berat 28 orang dan derajat sedang 35 orang. Dari semua subjek penelitian sebanyak 52 (74.3%) subjek hidup dan 18 (25.7 %) subjek meninggal. Subjek penelitian yang meninggal 7 subjek dari pasien dengan COVID-19 derajat kritis dan 11 subjek dari pasien dengan COVID- 19 derajat berat.

Latar Belakang : Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) adalah suatu penyakit pandemi yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome 2 (SARS-CoV-2) yang belum mempunyai regimen pengobatan yang spesifik dan mortalitas yang substansial. Jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia terus meningkat. Oleh karena itu pentingnya untuk menemukan cara pengobatan yang baru. AviganTM (favipiravir) secara spesifik memblokade enzim RNA polimerase yang berhubungan dengan replikasi virus influenza baru atau re-emerging dengan tindakan kehati- hatian. Mekanisme antivirus tersebut diharapkan mempunyai efek pada SARS-CoV-2, virus korona tipe baru sebagai etiologi dari COVID-19. Di dalam favipiravir, ligand yang paling penting adalah 1RP, yaitu 6-fluoro-3- oxo-4-(5- O-phosphono-beta-D-ribofuranosyl)–3,4- dyhydropirazine-2- carboxamide. Favipiravir tidak dapat berikatan dengan glikoprotein E2 dan nukleokapsid, dan kekuatannya ikatanya dengan protein kapsul virus, F7a atau f1ab lebih tinggi daripada kekuatan ikatannya dengan porfirin. Penting dicatat kekuatan ikatan antara protein kapsul virus dan favipiravir 2700x lebih kuat dari ikatannya dengan profirin. Kekuatan utama fungsi dari protein kapsul virus korona adalah membantu virus untuk masuk ke dalam sel host, yang mana menunjukkan favipiravir secara efektif dapat mencegah virus korona menginfeksi sel manusia. Penelitian ini ingin memperlihatkan perbaikan klinis yang lebih baik dengan menggunakan Avigan (favipiravir) sebagai terapi tambahan terhadap Pengobatan standar pada Penderita COVID-19. PICO (Patient-Intervention-Control-Outcome) : Subjek penelitian adalah semua pasien yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo dengan diagnosis definitif COVID-19 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek peneliatian akan dibagi menjadi dua kelompok yang sama besar, yaitu : Kelompok 1 (Pengobatan standar + Favipiravir) dan Kelompok 2 (Pengobatan standar + Oseltamivir). Subjek Penelitian akan diberikan terapi Favipiravir (Avigan) atau Oseltamivir selama≤ 7 hari. Dosis Favipiravir diberikan pada subjek sebanyak 1600 mg tiap 12 jam (loading dose hari-1 ) dilanjutkan 600 mg tiap 12 jam ( hari ke-2 sampai ke-7). Dosis Oseltamivir sebanyak 75 mg tiap 12 jam selama 7 hari. Terapi dapat dihentikan sebelum hari ke-7 apabila sudah terdapat perbaikan klinis. Selama pemberian favipiravir atau Oseltamivir dilakukan pemeriksaan ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, Asam urat, EKG dan evaluasi efek samping pada hari ke- 1, 3 dan 7. Setelah hari terakhir pemberian dosis obat, dilakukan pengamatan selama 14 hari.

Uji klinik Favipiravir (AviganTM) pada pasien Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1. Soedarsonoa 2. Prakoeswa

CRSb 3. Permatasari Aa 4. Febriani Aa 5. Tinduh Dc 6. Qibtiyah Md

aDep/KSM Paru & Kedokteran Respirasi aDirektorat DikLit- SDM aBidang Litbang aInstalasi Farmasi

59

Conclusion: The ability of probiotics in the management of respiratory diseases provides hope for the management of COVID-19

Recommendation : further research are randomized control trials that are able to analyze the ability of probiotics, dosages and their processes in the management of respiratory diseases

Background: COVID-19 is a new variant of the corona

virus known as a pandemic disease. The number of

cases has increased every day around the world.

Unfortunately, treatment in management has not been

satisfactory.

Purpose: This study aims to examine the role of

probiotics in respiratory disease and the possibility of

managing COVID-19 through an analysis of its function.

Method: This study is a review. Quality journals until

2020 were searched in the Pubmed database for the

keywords ‘respiratory’ or ‘asthma’ or ‘pneumonia’ or

‘lung’ or ‘influenza’ and ‘COVID-19’. Compiled data

includesthe author, type of study, type of probiotic,

duration of intervention, target population, results,

conclusion and side effects that occurred

Results: We analyzed 9 experimental studies. Some

studies related to respiratory disorders used the

Lactobacillus Sp as probiotic. One research used

Fructooligosacharide as additional ingredient. The

research use different doses and timing of interventions

14 days - 6 months. The diseases covered in this report

are asthma, pneumonia, and influenza. Probiotics can

reduce symptomps, duration in hospitality risk, and

quality of life.

Considering Role of Probiotic on Respiratory Disease: Is Probiotic Possible to Treat COVID-19?

1. Kurniawati EM

2. Rahmawati NA

3. Veterini AS

Kurniawati EM,

Rahmawati NA, Veterini AS, 2021. Considering

Role of Probiotic on

Respiratory Disease: Is

Probiotic Possible to

Treat Covid-19? Indian

Journal of Forensic

Medicine & Toxicology,

April-June 2021,

5(2):4003-8

60

Conclusion: Prone position improved PF ratio and ROX index of patients with severe COVID-19 pneumonia. However, the improvement of ROX index could not decrease the need for endotracheal intubation

Background: Patients with severe COVID-19 experienced hypoxemia and hypercarbia. Prone position has been proved to improve oxygenation in ARDS study. This study aims to assess the effect of prone position on oxygenation (PF ratio), ventilation (PaCO2), ROX index, and association with the need for endotracheal intubation in severe COVID-19 patients.

Method: This is a prospective observational analytic study, with a total sampling technique during February – May 2021. Inclusion criteria were COVID- 19 patients who admitted to ICU with High Flow Nasal Cannule (HFNC). Patient in prone position for 180 minutes (according to clinical practice guidelines). PF ratio, PaCO2, and ROX index were observed in the supine position, 30, 60, 180 minutes in the prone position, 30 minutes after resupination, and every 24 hours during hospitalization in ICU. The need for endotracheal intubation observed during hospitalization in ICU.

Results: Participants in this study were 24 subjects. There were significant increases of PF Ratio after 30 minutes (110,32[126,42] mmHg, p= 0,000), 60 minutes (148,02[124,13] mmHg, p= 0,005), and 180 minutes (152,86[150,58] mmHg, p = 0,014) in prone compared to supine position (102,17[63,68] mmHg). There were no significant changes of PaCO2 during prone compared to supine position. There were significant increases of ROX index after 30 (4,98 [4,62], p = 0,000), 60 (5,50 [3,86], p = 0,007), 180 minutes in prone position (5,82 [4,02], p = 0,000), and 30 minutes after resupination (5,42 [3,43], p = 0,000) compared to supine position (4,24 [2,93]). Nine of ten subjects who met the endotracheal intubation criteria (ROX index < 3,85) at the supine position on the 1st day, need endotracheal intubation during hospitalization.

Keywords: COVID-19, endotracheal intubation, PaCO2, PF ratio, prone, ROX index.

Effect of Prone Position on Oxygenation, Ventilation, ROX Index, and the need for Endotracheal Patients

Intubation of COVID-19

1. Gunawan EJ 2. Setiawan P 3. Airlangga PS 4. Rahardjo E 5. Utariani A

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

61

Conclusion: Combination of anti-COVID lopinavir-ritonavir and HFNC showed a beneficial effect on the length of stay and mortality rate of COVID- 19 patients in intensive care due to lower degree of disease severity in patients who receive HFNC. A further large-scale, prospective, and multicenter study is necessary.

Background: The mortality of COVID-19 is still a global problem. The effectiveness and adverse effects of definitive COVID-19 therapy are not clearly explained, especially in critical care. Therefore, analysis of the effect of respiratory support and anti-COVID combination on the COVID-19 patients’ outcome in intensive care are needed.

Methods: An observational analytic study with cohort design was conducted at the Intensive Care Unit in the Special Isolation Room of Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia. Sampling was conducted from May-October 2020 on COVID-19 patients aged 18-65 who received respiratory support and anti-COVID drugs. Data collection was conducted through medical records.

Results: A total of 68 of 76 data were obtained because 8 were incomplete. The sample were divided into 6 groups: hydroxychloroquine (HCQ) and high-flow nasal cannula (HFNC), HCQ and ventilator, HCQ and combined respiratory support, lopinavir/ritonavir and HFNC, lopinavir/ritonavir and ventilator, lopinavir/ritonavir and combined respiratory support. Patients who received lopinavir/rotinavir and HFNC had the shortest length of stay among 6 groups (7.635.23 days; p =.04) and the greatest survival among 6 groups (16/19 [84.2%]; p=.00) The combination of respiratory support and anti-COVID showed no significant difference in P/F Ratio), day-1 CRP, and IL-6.

Key words: COVID-19, hydroxychloroquine, length of stay, lopinavir-ritonavir, respiratory support, mortality

The Combination Effect of Respiratory Support Devices and Anti-COVID on Mortality and Length of Stay of COVID-19 Patients in the Special Isolation Room – Intensive Care Unit at Dr. Soetomo General Hospital

1. Abadi A 2. Sumartono CW 3. Triyono EA 4. Purnomo W 5. Rehatta NM

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

62

Kesimpulan: Trombositopenia pada pasien COVID-19 yang diberikan antikoagulan terjadi mayoritas pada pasien dengan derajat berat dan kritis. Pada pasien COVID-19 dengan derajat berat dan kritis trombositopenia diikuti dengan peningkatan d-dimer, fibrinogen, ferritin, hsCRP, dan pemanjangan faal hemostasis. Perlu pertimbangan cut off parameter koagulasi yang tepat agar menghindari trombositopenia saat pemberian antikoagulan.

Latar Belakang : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) berkaitan erat dengan sistem koagulasi. Kejadian trombosis dapat muncul dari gangguan respon imun selama infeksi COVID-19 yang sering disebabkan badai sitokin. Antikoagulan merupakan obat yang rutin diberikan selama perawatan pada pasien COVID-19. Akibat pengaruhnya terhadap sistem imun, ada kekhawatiran terjadinya trombositopenia akibat heparin (heparin induced trombocytopenia/ HIT). Terlepas perannya yang menguntungkan dalam terapi COVID-19, kejadian trombocytopenia menyebabkan kekhawatiran terjadinya perdarahan. Tujuan dari penelitian ini mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian trombositopenia dengan pemakaian heparin pada pasien COVID-19.

Desain Penelitian: Kami menghitung jumlah sampel dan kami dapatkan 128 pasien COVID-19 dengan berbagai derajat dan akhirnya hanya 106 pasien yang kami analisis karena kelengkaapan data kejadian trombositopenia pada pemberian antikoagulan. Uji diagnostik dengan desain observasional cross sectional pada pasien COVID-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian trombositopenia dengan pemakaian antikoagulan (heparin, fondaparinux, enoxaparin, rivaroxaban) pada pasien COVID-19 yang diikuti pada pre, durante, dan post pemberian anticoagulan. Pasien dievaluasi semua parameter koagulasi meliputi trombosit, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), INR, D-dimer, ferritin, fibrinogen, dan high-sensitive C-reactive protein (hsCRP). Analisa statistik menggunakan analisa ChiSquare dan Fischer Exact test serta Mann Whitney U test. Kami menggunakan Histogram Subgroup analysis untuk melihat pola parameter koagulasi sebagai perbandingkan parameter koagulasi pada kelompok trombositopenia dan non-trombositopenia saat pre, durante, dan post pemberian antikoagulan. Kami analisa juga cut-off point nilai parameter koagulasi sebelum pemberian antikoagulan untuk mengetui presentase kejadian trombositopenia saat pemberian antikoagulan.

Hasil Penelitian: : • Total subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria penelitian sebanyak 106

pasien. Dari jumlah tersebut, 59 orang menggunakan heparin, 17 enoxaparin, 25 fondaparinux, dan 5 rivaroxaban. Dari seluruh jenis antikoagulan dan derajat COVID-19 terdapat 20 pasien yang mengalami trombocytopenia setelah menggunakan anti koagulan.

• Terdapat perbedaan signifikan pada lama perawatan (p =0.04), derajat berat penyakit (p=0.021), sepsis (p=0.006), kadar hsCRP (p=0.003) dan outcome kematian (p=0.028) pada pasien COVID-19 yang mengalami trombocytopenia.

• Secara umum, didapatkan adanya penurunan kadar trombosit dan d-dimer serta peningkatan feritin, fibrinogen, hsCRP pada pasien trombocytopenia. Sedangkan sub-analisa pada kasus COVID-19 berat dan kritis parameter laboratorium trombosit, ppt, appt, d-dimer, fibrinogen dan hsCRP mengalami peningkatan dibanding poopulasi normalnya.

• Terjadinya fenomena meningkatnya kembali kadar d-dimer pada pasien trombocytopenia memberikan dugaan bahwa nilai cut-off pemberian antikoagulan pada pasien COVID-19 perlu dipertimbangkan serta pada kasus berat pemberian antikoagulan saja tidak mampu mencegah progresifitas radang yang terjadi pada kasus COVID-19.

Berbagai Faktor yang Berpengaruh pada kejadian Trombocytopenia Pasca Pemakaian Heparin pada Pasien COVID-19

1.Ashariati A 2.Bintoro UY 3.Diansyah MN 4.Amrita PNA 5.Savitri M 6.Romadhon PZ

Dep/KSM Penyakit Dalam

63

Conclusion:

ROX is an index that can help identify the risk of intubation and 28-days mortality

Background: The main concern during high flow nasal cannula (HFNC) treatment in COVID-19 acute respiratory failure is delayed intubation and thus increasing the risk of death. The aims of this study is to analyze ROX index as a predictor for intubation and 28-days mortality in COVID-19 patients.

Methods: A retrospective analysis of COVID-19 patients admitted to ICU Dr. Soetomo Hospital in Surabaya, Indonesia, from July 2020 to December 2020 with acute respiratory failure. The data of ROX index were taken at the 1st hour, 2nd, 4th, 6th, 12th, 18th, 24th, and 48th hours of treatment in ICU with HFNC. Identification of ROX association with HFNC failure led to intubation and 28- days mortality was through Cox proportional hazards regression. The most specific cut off of the ROX index to predict intubation and 28-days mortality was assessed.

Result: Among 78 patients met the inclusion criteria, 26 (32.5%) patients required intubation. The 28-days mortality rate is 20 (25.6%) patients. The ROX index at hour 12 ≤ 4,85 (AUC 0.857; p<0.001; HR 4.7) and the ROX index at hour 48 ≤ 5.68 (AUC 0,858; p<0,001; HR 5.4) are predictor of intubation. The ROX index at hour 12 ≤ 4,745 is a predictor of 28-days mortality (AUC 0.85, sensitivity 80.0%, specificity 81.03%, PPV 59.26%, NPV 92.16%, p<0,001; HR 10.2).

Keyword: ROX Index, HFNC, ARDS, COVID-19

ROX Index as a Predictor of Intubation and 28-Day Mortality in COVID-19 Acute Respiratory Failure: A Retrospective Study

1. Nugraha PK,

2. Utariani A,

3. Setiawan P,

4. Semedi BP

Anesthesiology & Intensive Medicine Department

64

Conclusion & Recommendation

When administered with standard of care including remdesivir, SARS-CoV-

2 hyperimmune globulin did not demonstrate efficacy among patients

hospitalized with COVID-19 without end-organ failure.

Background

Passive immunotherapy using hyperimmune

immunoglobulin (hIVIG) to SARS-CoV-2, derived from

recovered donors, is a potential therapy for COVID-19.

Methods

In this international randomized, placebo-controlled

trial, hospitalized patients with COVID-19 who had

been symptomatic for up to 12 days and who did not

have acute end-organ failure received a single dose of

hIVIG, made by one of four manufacturers, or placebo

in addition to remdesivir when not contraindicated,

and other standard care. The primary outcome, pooled

over the 4 manufacturers of hIVIG, was measured at

day 7, by a seven-category ordinal endpoint that

considered pulmonary status and extrapulmonary

complications. The primary safety outcome was a

composite of grade 3,4 and serious adverse events

through day 7.

Results

593 participants were enrolled, 579 included in the

modified intention to treat analysis. Compared with

placebo, the hIVIG group did not have a significantly

greater odds of a more favorable outcome at day 7;

the adjusted odds ratio (OR) was 1.06 (95% CI 0.77 –

1.45, p = 0.72). Infusions were well-tolerated, though

reactions were more common in the hIVIG arm (18.5%

versus 9.5% for placebo, p=0.002). The primary safety

outcome was experienced by 16.6% of participants in

the hIVIG group and 15.1% in the placebo group

(OR=1.15; 95% CI:0.72 – 1.82; p=0.56). The treatment

effect did not differ according to hIVIG manufacturer

or time since symptom onset.

Anti-SARS-CoV-2 Hyperimmune Immunoglobulin for Hospitalized Patients With COVID-19: A Randomized Controlled Trial. The ITAC (INSIGHT 013) Study Group

The members of the writing group (Mark N. Polizzotto, Jacqueline Nordwall, Abdel G. Babiker, Andrew Phillips, David M. Vock, Nnakelu Eriobou, Vivian Khwaghe, Roger Paredes, Lourdes Mateu Pruñonosa, Srikanth Ramachandruni, Rejeev Narang, Mamta K Jain, Susana M. Lazarte, Jason V. Baker, Anne E.P. Frosch, Garyfallia Poulakou, K. Syrigos, Gretchen S. Arnoczy, Natalie A. McBride, Philip A. Robinson, Farjad Sarafian, Sanjay Bhagani, Hassan S. Taha, Thomas Lars Benfield, Sean T.H. Liu, Anastasia Antoniadou, Jens Ulrik Stæhr Jensen, Ioannis Kalomenidis, Adityo Susilo, Prasetyo Hariadi, Tomas

O. Jensen, Jose Luis Morales-Rull, Marie Helleberg, Sreenath Meegada, Isik Somuncu Johansen, Daniel Canario, Eduardo Fernández-Cruz, Simeon Metallidis, Amish Shah, Aki Sakurai, Nikolas Koulouris, Robin Trotman, Amy C. Weintrob, Daria Podlekareva, Usman Hadi, Kathryn M. Lloyd, Birgit Thorup Røge, Sho Saito, Kelly Sweerus, Jakob J. Malin, Christoph Lübbert, Jose Muñoz, Matthew J. Cummings, Marcelo H. Losso, Dan Turner, Christina C. Chang, Birgit Grund, Horace P. Holley, Fleur Hudson, Laura A. McNay, Daniel D. Murray, Sarah L. Pett, Mary C. Smolskis, Giota Touloumi, Mary Wright, Mittie K. Doyle, Sharon Popik, Christine Hall, Roshan Ramanathan, Huyen Cao, Elsa Mondou, Todd Willis, Joseph V. Thakuria, Leman Yel, Elizabeth Higgs, Virginia L. Kan, Jens D. Lundgren, James D. Neaton, H. Clifford Lane) assume responsibility for the overall content and integrity of this article. The affiliations of members of the writing group are listed in the Appendix.

Corresponding author: Mark N. Polizzotto, MD, PhD, The Kirby Institute, University of New South Wales, Sydney, Australia and St Vincent’s Hospital Sydney, Sydney, Australia. Email: [email protected]

65

INOVASI TEKNOLOGI KEDOKTERAN

Untuk dapat memberikan penanganan yang optimal dengan tetap menjaga

keselamatan tenaga Kesehatan yang memberikan layanan tersebut merupakan hal yang sangat penting, sehingga diperlukan upaya inovatif yang bersifat penelitian

terapan yang berujung pada hilirisasi produk, terutama untuk alat-alat yang dibutuhkan di ICU.

Judul Halaman

Pengembangan Video Laryngoscope Portable (SMART Laryngoscope) untuk Penanganan Pasien Infeksius

66

Pengembangan Sistem Pemantauan dan Operasi Jarak Jauh pada Ventilator Hamilton-C2 di Ruang ICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya

67

66

Latar Belakang : Jumlah kasus positif COVID-19 yang terus bertambah, menyebabkan tenaga medis memiliki resiko terpapar COVID-19 menjadi semakin besar. Tenaga medis harus terlindungi dengan baik dari segala kemungkinan terpapar dengan pasien atau spesimen yang infeksius. Dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif berada pada posisi yang kritis sangat mudah terinfeksi pada saat terutama melakukan intubasi pasien COVID-19. Sehingga perlu dibuat sebuah alat yang dapat mempermudah visualisasi area plica vokalis tanpa mendekatkan wajah dokter spesialis anestesiologi ke rongga mulut pasien. Pengembangan alat intubasi yang sudah ada menjadi lebih ergonomis, aman, mudah disterilisasi, portable dengan ukuran yang lebih ramah untuk segera dibawa pada situasi darurat, dan hasil rekaman video yang tersambung pada alat ini dapat menjadi media pendidikan dalam dunia pendidikan kedokteran. Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan alat kedokteran dalam bidang anestesiologi sebagai upaya untuk membantu pekerjaan dokter spesialis anestesiologi serta melindungi dari risiko terpapar infeksi yang lebih besar. Selain itu dengan adanya pengembangan inovasi teknologi ini dapat menciptakan inovasi industri teknologi kedokteran dalam negeri yang tidak kalah bersaing dengan dunia luar. Evaluasi hasil pengembangan teknologi video laryngoskop yang kami beri nama SMART Laryngoskop ini adalah dengan membandingkan penggunaannya dengan video laryngoskop konvensional.

PICO (Patient-Intervention-Control-Outcome): Subjek penelitian tahap 1 adalah uji coba pada manekin. Pada tahap 2 uji coba pada manusia yaitu pasien yang akan menjalani operasi elektif di Gedung Bedah Pusat Terpadu. Besar subyek penelitian tiap kelompok adalah 20 pasien. Kelompok terbagi 2, yaitu kelompok kontrol (yang menggunakan video laryngoskop) dan kelompok perlakukan (yang menggunakan SMART Laryngoskop). Data kecepatan waktu intubasi, proses kecepatan desinfeksi, dan kenyamanan penggunaan kedua jenis alat tersebut dikumpulkan dan dianalisis.

Hasil : Telah didapatkan prototype SMARY (Smart Wireless Laryngoscope), yang direncanakan untuk menjalani tahap uji klinis .

Pengembangan Video Laryngoscope Portable (SMART Laryngoscope) Untuk Penanganan Pasien Infeksius

1. Veterini AS1

2. Purnama IKE2

3. Windharto A2

4. Babgei AF2

5. Prasetya R2

6. Sulistiawan SS2

7. Kusuma E1

8. Semedi BP1

1Dep/KSM Anestesiologi & Kedokteran Intensif 2Institut Tehnologi 10 November Surabaya

Ucapan Terimakasih : 1. Khuril E. Oktavia, S.KM 2. Mulyantono 3. Ony Prasetyo, SH

Latar Belakang: Pengoperasian ventilator untuk pasien pengidap Covid-19 saat ini masih dilakukan secara manual. Hal ini tentunya berimbas pada meningkatnya risiko penularan Covid-19 pada tenaga medis yang bertugas langsung dalam memantau dan mengoperasikan ventilator tersebut. Selain itu akan menambah jumlah pemakaian Alat Pelindung Diri (APD), karena frekuensi untuk masuk ke ruang isolasi menjadi lebih sering. Oleh karena itu perlu dibuat sebuah alat untuk dapat mengoperasi ventilator jarah jauh untuk mengurangi risiko paparan infeksi di ruang isolasi. Dalam penanganan pasien Covid-19 di Ruang Intensif Care Unit (ICU) Rumah Sakit Dr. Soetomo telah dilengkapi dengan berbagai merk dan tipe ventilator, dimana pada saat ini ventilator tipe Hamilton-C2 adalah tipe yang paling banyak dipakai. Sehingga alat pengendali jarak jauh (remote ventilator) ini masih dikhususkan untuk jenis ventilator Hamilton C2. Remote ventilator adjuster ini akan mengurangi risiko paparan, mempermudah dan meningkatkan kenyamanan saat pengoperasian ventilator serta pengurangan penggunaan APD.

PICO (Patient-Intervention-Control-Outcome): Subjek penelitian tahap 1 adalah uji coba pada lung test. Uji tahap 2 dilakukan pada pasien ICU dengan beberapa kriteria inklusi: a. Pasien dengan mesin nafas Hamilton C2 di ruang ICU; b. Pasien tidak dalam kondisi syok; c. Pasien dengan kondisi ARDS ringan dalam proses weaning; d. Dewasa muda. Sedangkan kriteria ekslusi dari subyek penelitian adalah: a. Pasien dengan compliance paru yang buruk; b. Pasien Geriatri (>65 tahun) dan pediatri;c. Pasien dalam kondisi hemodinamik tidak stabil; d.Tindakan lung recruitment. Data yang diambil dan dianalisis dalam penelitian ini adalah tingkat kenyamanan dokter yang mengoperasikan remote ventilator; response time pengoperasian ventilator; dan jumlah penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).

Hasil : telah didapatkan prototype remote ventilator, yang direncanakan untuk menjalani tahap uji klinis.

67

Pengembangan Sistem Pemantauan dan Operasi Jarak Jauh pada Ventilator Hamilton-C2 di Ruang ICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1. Veterini AS1

2. Purnama IKE2

3. Windharto A2

4. Babgei AF2

5. Prasetya R2

6. Sulistiawan SS2 7. Kusuma E1

8. Semedi BP1

1Dep/KSM Anestesiologi & Kedokteran Intensif 2Institut Tehnologi 10 November Surabaya

Ucapan Terimakasih : 1. Khuril E. Oktavia, S.KM 2. Mulyantono 3. Ony Prasetyo, SH

68

69

PENDIDIKAN DOKTER

Program Pendidikan profesi dokter menemui tantangan yang besar pada saat semua kegiatan perkuliahan dan praktek dilaksanakan secara online sebagai upaya

pencegahan penularan infeksi COVID-19. Gambaran situasi pembelajaran klinik dari berbagai sudut pandang sangat diperlukan, untuk memberikan input bagi

penyiapan strategi pembelajaran yang efektif dalam situasi tatap muka dan hands- on training yang terbatas.

Judul Halaman

Undergraduate Online-based Clinical Rotation during the Pandemic: A Descriptive Evaluation

70

70

CONCLUSION & RECOMMENDATION

Medical education training must continue with all its limitations. The authors and participants agreed that the complexity of clinical exposure cannot simply be replaced by online platforms. Educators need to identify what important aspects need to be optimized when an institution decides to implement a combined strategy. This, of course, includes considerations for maintaining the safety and well-being of patients, students, and lecturers during the pandemic. What has been implemented in the beginning is often imperfect and each party needs to consistently implement, evaluate, review, and make improvements to the current online system with full commitment for the sake of the quality of medical education.

The COVID-19 pandemic has affected medical education training and has yet to end. Clinical rotations, a crucial stage for educating medical students, have undergone major adjustments. From the focus shifting of clinical staff to the COVID-19 treatment, withdrawing medical students from clinical placement, and also virtual teaching delivery.

The medical education process needs to move from emergency adjustments to a more established system. This study evaluated the perspectives of both the undergraduate medical students and the clinical staff regarding the online clinical rotations to identify the key issues and rooms for improvement.

From seven clinical departments matched with inclusion criteria and agreed to participate, we recorded their online clinical teaching sessions. The medical students and clinical staff to be involved in the recorded sessions were then invited for an in-depth interview. A total of 23 recorded learning sessions were evaluated, followed by an interview of 14 students and 7 staff members.

Most online sessions were reported to be running satisfactorily, despite some technical problems. Both groups agreed that they found time and place flexibility to be advantageous during online learning. However, this flexibility was also a burden, since some schedules become irregular.

The most critical discrepancies were related to clinical skills training and maintaining professional attitudes. Students complained about the difficulty in obtaining a comprehensive picture of the patient and also losing role models. The staff members support combining online with offline learning, as facing COVID-19 is a professional risk that cannot be avoided as a doctor. Therefore, it should be mitigated and trained. Simplification of the e-learning system altered to only “Zoom learning" was also noted.

This pandemic was considered a significant momentum for e-learning development. These key issues need to be addressed to optimize clinical learning during the pandemic.

Undergraduate Online-based Clinical Rotations during the Pandemic: A Descriptive Evaluation

1. Ummah FC1

2. Hasan H 1

3. Widodo1

4. Suryantoro SD 1

5. Prihatanto FSI 1

6. Kloping YP 1

7. Wigianita MR 1

8. Puspitasari E 1

9. Prastikautsar R 1

10. Rehatta NM 1

1Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Surabaya, INDONESIA (E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected])

Acknowledgement: The authors would like to express their appreciation for the support of Dr. dr Mia Ratwita Andarsini, Sp.A (K) and dr Indri Wahyuni, Sp.M (K) for their contribution to this study. Funding: This study was funded by the Research and Development Unit of Dr. Soetomo General-Academic Hospital.

71

BIOMOLEKULER DASAR UNTUK PENGEMBANGAN

OBAT DAN VAKSIN

Pengembangan obat/penanganan dan vaksin COVID-19 diawali dari peningkatan pemahaman tentang sifat-sifat virus COVID-19. Berbagai upaya untuk memahami cara kerja, virulensi dan interaksi virus ini dengan tubuh manusia akan membuka

peluang pengembangan obat/penanganan yang mendekati kebutuhan pasien COVID-19. Pemahaman karakteristik virus akan membuka peluang untuk pengembangan vaksin, yang merupakan upaya penting untuk mencegah

penularan pada kelompok rentan. Kemandirian pembuatan vaksin menjadi issue strategis dalam penanganan COVID-19.

Judul Halaman

Characterization of SARS-CoV-2 East Java isolate, Indonesia 72

Penelitian Pengembangan Vaksin Merah Putih 73

A Current Update in COVID-19 Associated Acute Respiratory Distress Syndrome: Focus on Mesenchymal Stem Cell Therapy

74

Initial Study on TMPRSS2 p.Val160Met genetic variant in COVID-19 patients

75

72

Conclusion: Based on molecular characterization and immunogenicity of SARS-CoV-2 East Java, Indonesia showed high titer and it has mutation in some regions.

Fedik Abdul Rantam 1,2, Cita Rosita Sigit Prakoeswa3, Damayanti Tinduh 4, Jusak Nugraha 5, Helen Susilowati1, Andi Yasmin Wijaya6, Ni Nyoman Tri Puspaningsih7, Dwiyanti Puspitasari8, Dominicus Husada8, Neneng Dewi Kurniati9, Aryati Aryati5 1Research Center for Vaccine Technology and Development, Institute of Tropical Disease, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 2Virology and Immunology Laboratory, Department of Microbiology, Faculty of Veterinary Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 3Professioal Education and Research, Dr. Soetomo General Academic Hospital, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 4Research and Development Board, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 5Clinical Pathology Department, Dr. Soetomo General Hospital, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 6Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 7Bioresource Engineering Group in Research Center for Bio-Molecule Engineering (BIOME), Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 8Pediatrics Department, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 9Clinical Microbiology Department, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia

Rantam FA, Prakoeswa CRS, Tinduh D et al. Characterization of SARS-CoV-2 East Java isolate, Indonesia [version 1; peer review: 2 approved, 1 approved with reservations] F1000Research 2021, 10:480 https://doi.org/10.12688/f1000re search.53137.1

Background: Incidents of SARS-CoV-2 in East Java increased steadily, and it became the second epicenter in Indonesia. The COVID-19 pandemic caused a dire multisectoral crisis all around the world. This study investigates and characterizes local isolates from East Java, Indonesia.

Methods: There were 54 patients suspected with SARS-COV-2 infection and 27 patients were COVID-19 positive. Virus isolates were obtained from COVID-19 inpatients’ nasopharyngeal swabs at the Dr Soetomo Teaching Hospital, Surabaya. There were only three isolates (#6, #11, #35) with good growth characteristics. Serial blind passage and cytopathic effect observation in the Vero E6 cell line were performed for virus isolation. Confirmation of the SARS- CoV-2 infection was proven by means of reverse transcriptase- polymerase chain reactions using SARS-CoV-2 specific primers, scanning electron microscopy, and scanning transmission electron microscopy examination. Whole genome sequencing was performed using ARTIC protocol. Furthermore, SARS-CoV-2 characterization was identified through a western blot using rabbit serum immunized with inactive SARS-CoV-2 vaccine and human natural COVID-19 infection serum.

Results: Spike gene analysis of three samples (#6, #11, #35) found that the D614G mutation was detected in all isolates, although one isolate exhibited the D215Y and E484D mutation. Based on whole genome analysis, those three isolates were included in clade 20A, and two isolates were included in lineage B.1.6 with one isolate belongs to lineage B.1.4.7.

FEI Quanta 650 FEG electron microscopy was performed in low vacuum SEM mode (80 Pa; 10 kV) at 80,000 magnification, and MAPS (Modular Automated Processing System) software observation was able to find several ovoidshaped multilobulated viral particles that were observed in SEM, with an estimated diameter ranging from 125.8-199.1 nm between filter membrane fibers. Further analysis in STEM showed SARS-CoV-2 viral particles with its surface spike proteins and internal diameter ranging from 120–200 nm (see Figure 2)

Spike gene analysis of three isolates from three patients found that only the D614G mutation was detected among the isolates, although in #35 isolates D215Y and E484D mutations were also present. Based on whole genome analysis, those three isolates were included in clade 20A, and two isolates were included in lineage B.1.6, with one isolate belonging to lineage B.1.4.7 (Table 1).

Characterization of SARS-CoV-2 East Java isolate, Indonesia

73

Ni Nyoman Tri Puspaningsih1 Fedik Abdul Rantam 2,3 Cita Rosita Sigit Prakoeswa4 Budi Santoso5 Delvac Oceandy6 Maria Inge Lusida7 Fadhil Ahsan5 Erry Gumilar 5 Damayanti Tinduh8 Aryati Aryati9 Jusak Nugraha9 Ismoedijanto10 Dominicus Husada10 Dwiyanti Puspitasari10 Munawaroh Fitriah9 Neneng Dewi Kurniati11 Vivi Setiawaty12 Sudirman13 Helen Susilowati2 Almando Geraldi1 Hana Apsari Pawestri1 Kartika Dewi Puspa1 Muhaimin Rifa’i1 Fatiha Khairunnisa1 M. Kamarudin1 Ardiansyah Bayu Nugroho5 Andi Yasmin Wijaya5 Nanda Yuli Rahmawati 5 Nizar Al Rhaazi 5

7Bioresource Engineering Group in Research Center for Bio-Molecule Engineering (BIOME), Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 2Research Center for Vaccine Technology and Development, Institute of Tropical Disease, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 3Virology and Immunology Laboratory, Department of Microbiology, Faculty of Veterinary Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 4Professioal Education and Research, Dr. Soetomo General Academic Hospital, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 5Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 6Faculty of Medicine, Manchester University, United Kingdom 7 Head of Institute of Tropical Disease, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 8Research and Development Board, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 9Clinical Pathology Department, Dr. Soetomo General Hospital, Faculty of Medicine, Airlangga University, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 10Pediatrics Department, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 11Clinical Microbiology Department, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, East Java, 60132, Indonesia 12Balitbangkes Kemenkes-RI, Indonesia 11PT Biotis, Indonesia

Penelitian Pengembangan Vaksin Merah Putih

Platform Vaksin (Debby van Riel et al., Nature Materials,August,2020)

Viral Vector

(AAV) Inactivated

Virus Protein subunit

(PeptAir)

PIC Ni Nyoman Tri Puspaningsih Delvac Oceandy

Fedik A. Rantam Cita RS Prakoeswa

Budi Santoso Fadhil Ahsan

Mulai 2020 2020 2020

Tahap Penelitian In Vitro

Telah terlaksana seluruh Tahap

Telah terlaksana seluruh Tahap

Telah terlaksana seluruh Tahap

Output Telah didapatkan model yang optimal

Kandidat VMP inactivated

Telah didapatkan 2 multiepitop terbaik yang telah divalidasi melalui ELISPOT

Uji Preklinis

Belum dilaksanakan

Tahap 1 Hewan Kecil sudah selesai Tahap 2 Hewan Besar sudah selesai

Belum dilaksanakan

Progress

Penyerahan Seed VMP 10 November 2021 Saat ini dalam proses pengajuan CPOB dan PPUK ke BPOM Persiapan Uji Klinis (3 Tahap)

74

Conclusion : although there is no standardized therapy for SARS Co-V2, MSC is a promising alternative treatment. MSCs are capable of dampening the over-reactivity inflammation cascade, decreasing infection, improving lung recovery, and increase the survival rate.

Recommendation : Further clinical trials regarding MSCs-based therapies in ARDS are urgently needed, including investigation regarding its safety.

Indonesia has been fighting the COVID-19 pandemic since the beginning of March 2020, and it doesn’t look that the situation is getting better any soon. Besides the country’s current strategies to minimize the rising mortality rate, a novel therapeutic intervention is required. After a thorough search in several databases, we found stem cells to be a likely candidate.

Regardless of the general use of stem cells, studies showed positive results regarding the efficacy of using these in lung injuries. Especially, mesenchymal stem cells (MSCs) are known for their easy accessibility and their diverse mechanisms of action, including MSCs immunomodulatory antiviral effect, and its ability to improve lung function. Moreover, some researches perceived these components to be applicable in COVID-19 patients with end stage acute respiratory distress syndrome (ARDS). While randomized clinical trials are still in progress, many case reports show MSCs to be an advantageous alternative to suppress the cytokine storm and help regulate the immune system.

This review summarizes the common functions of MSCs and highlights its therapeutic assets to fully tackle this global pandemic.

A Current Update in COVID-19 Associated Acute Respiratory Distress Syndrome: Focus on Mesenchymal Stem Cell Therapy

1. Nugraha D

2. Kloping NA

3. Yudhawati R

4. Purwandhono A

5. Hidayati HB

Nugraha D, Kloping NA, Yudhawati R, Purwandhono A, Hidayati HB. A current update in COVID-19 associated acute respiratory distress syndrome: Focus on mesenchymal stem cell therapy. Anaesth. pain intensive care 2020;24(6):671-681.

DOI: 10.35975/apic.v24i6.1404

Wulandari et al., 2021. Initial Study on TMPRSS2 p.Val160Met genetic variant in COVID-19 patients. Human Genomics 15:29. https://doi.org/10.1186/s40246-021-00330-7

Acknowledgment : 1. Anisa Octaviani, S.KM 2. Astri Nur Amalia, S.KM 3. Aldise Mareta Nastri, S.KM, M.Kes (ITD) 4. Rima Ratnanggana P, drh., M.Si (ITD) 5. Krisnoadi Rahardjo, S.KH, drh, M.Si

75

76

77

SURVEILANS & EPIDEMIOLOGI

Variasi gambaran klinis, outcome dan model upaya penanganan kasus COVID-19

yang sangat luas terkait kelompok populasi yang terkena, sehingga berbagai laporan tentang manifestasi klinis, outcome, pola pikir masyarakat berpotensi mengembangkan kreativitas modifikasi alur penanganan pelayanan COVID-19, baik yang ditujukan untuk pencegahan penularan dan upaya promotive dalam

msayarakat.

Judul Halaman

Gambaran Klinis dan Karakteristik Neonatus dari Ibu Terkonfirmasi COVID-2019 di Rumah Sakit Dr. Soetomo

78

Situation Report: Maternal Health Management during COVID-19 Pandemic at Soetomo General Hospital and Universitas Airlangga Academic Hospital, Surabaya Indonesia

79

The Circulation of SARS-CoV-2 Virus in Ward Environment of COVID-19 Intensive Care Unit, Dr. Soetomo Hospital Surabaya

80

Recurrent keratoconjunctivitis as the sole manifestation of COVID-19 infection: A case report

81

Survival of A Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) Patient With Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) In Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia

82

Epidemiologi Kematian Penderita COVID-19 (pilot project di RSUD Dr. Soetomo)

83

Survei Perilaku Masyarakat berhubungan dengan Pandemi COVID-19 di Jawa Timur

84

Neurosurgery at the Epicenter of the COVID-19 Pandemic in Indonesia: Experience from a Surabaya Academic Tertiary Hospital

85

78

Kesimpulan : Saat ini belum terbukti adanya penularan secara vertikal COVID 19, sementara itu transmisi horizontal diperkirakan sebagai sumber infeksi pada neonatus. Penerapan protokol kesehatan terbukti efektif mencegah infeksi terhadap neonatus.

Rekomendasi : Penerapan protokol kesehatan berupa pemakaian masker, cuci tangan dan menjaga jarak terbukti efektif mencegah infeksi pada neonatus. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami cara penularan, gejala dan hasil klinis pada neonatus

Latar belakang : Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) merupakan penyakit yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, Cina dan telah menyebar ke seluruh dunia. Data ibu hamil dan bayi baru lahir belum banyak dipublikasikan.

Tujuan : Untuk mendeskripsikan gambaran dan karakteristik klinis neonatus yang lahir dari ibu dengan infeksi severe acute respiratory syndrome-coronavirus (SARS-CoV-2) perinatal.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang dilaksanakan di ruang perawatan neonatal intensive care unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soetomo Surabaya pada tanggal April - Oktober 2020. Populasi adalah neonatus yang lahir dari ibu terkonfimasi COVID-19 di di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Data diperoleh dari rekam medik.

Hasil : Total terdapat 109 ibu dengan hasil pemeriksaan positif reverse transcription - polymerase chain reaction (RT PCR) COVID-19, dan hanya 2 bayi dengan hasil RT- PCR COVID-19 positif. Usia rata-rata ibu hamil 28±5,9 tahun. Sebanyak 29 bayi (26.61%) lahir kurang bulan. Cara persalinan didominasi oleh sectio caesaria sebanyak 64 ibu hamil (58,72%). Terdapat 23 bayi (21,11%) lahir dengan berat badan lahir <2500 gram dan 3 bayi dengan hasil negative RT-PCR COVID-19 meninggal.

Gambaran Klinis dan Karakteristik Neonatus dari Ibu Terkonfirmasi COVID- 2019 di Rumah Sakit Dr. Soetomo

1. Risa Etika 2. Kartika Darma

Handayani 3. Setya Mithra

Hartiastuti 4. Virani Diana 5. Aminuddin

Harahap 6. Oktavian Prasetya 7. Melinda Masturina

Sari Pediatri, Vol. 22, No. 5, Februari 2021

79

Conclusion : The maternal health service system in East Java Province, Indonesia, especially at Dr. Soetomo General Hospital and Universitas Airlangga Academic Hospitals, showed better adaptive changes. This encouraged the maternal service system can remain stable and consistent with providing quality care services during the COVID-19 pandemic. These changes have been adapted to existing national regulations, the latest evidence, and hospital resource conditions.

The case of COVID-19 in Indonesia has shown a significantly increasing curve. This condition affected the regulation of maternal health services in Indonesia, especially in East Java Province. The health services structure was a challenge in itself, where hospitals must be adaptive during the COVID-19 pandemic. This situation also caused changes in several components of maternal health services. The report focused on maternal services in two hospitals at East Java, Indonesia (Soetomo General Hospital and Universitas Airlangga Academic Hospital) that described five main components, including patient screening, hospital visit policies, intrapartum management, postpartum management, protection and safety for health workers, and funding issues. • Patient screening includes questionnaire questions that ask for

complaints and clinical symptoms related to COVID-19, using Early Warning System classify the risk in low, moderate and high risk

• Hospital visit policies to limit the number of hospital visitors. Visitors are screened for COVID-19 symptoms, but they also need to be asked about a history of comorbidities.

• Intrapartum management (labor) is based on obstetric indications regarding the wishes of the mother and family, except mothers with respiratory problems that require emergency measures in the form of c-section or vaginal birth.

• Postpartum management, it is recommended to separate a COVID-19 mother from her baby immediately, including avoiding delayed cord clamping because there is insufficient evidence of its benefits for the baby.

• Protection and safety for health workers with wearing masks and PPE at least level 2 at all times and be involved in maintaining social distance and often doing hand sanitation. Patients should be strongly recommended to wear masks during hospital visits and beyond when they are in close physical contact with other individuals outside the home.

• The Indonesian government has determined funding for health services due to COVID-19. The following are the criteria for the patients whose treatment costs can be claimed: a. Persons in Monitoring (ODP) over 60 years of age with or without concomitant diseases and ODP less than 60 years with concomitant diseases. b. Patients in Oversight (PDP) c. The patient confirmed COVID-19. This criterion applies to Indonesian citizens and foreigners at the service location in outpatient and inpatient care at referral hospitals and other hospitals.

Situation Report: Maternal Health Management during COVID-19 Pandemic at Soetomo General Hospital and Universitas Airlangga Academic Hospital, Surabaya Indonesia

1. Laksana MAC1,2*

2. Habibie PH1 3. Wardhana MP1 4. Gumilar KE2 5. Yusuf M1 6. Rahmadhany P2 7. Askandar B1 8. Ernawati1 9. Dewi ER3 10. Prasetyo B1 11. Rizki Pranadyan

R1

1Department of Obstetrics and Gynaecology, Faculty of Medicine Universitas Airlangga/ Soetomo General Hospital, Indonesia 2Department of Obstetrics and Gynaecology, Universitas Airlangga Academic Hospital, Indonesia 3School of Midwifery, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Indonesia

Laksana et al., 2020 Situation Report: Maternal Health Management during COVID- 19 Pandemic at Soetomo General Hospital and Universitas Airlangga Academic Hospital, Surabaya Indonesia. Systematic Reviews in Pharmacy Vol 11 (8): 467-71

80

Conclusion : SARS-CoV-2 virus is identified in air and surface of Covid-ICU wards, indicate the risk for Covid-19 transmission. It is important for Infection Prevention and Control (IPC) policy in clinical setting. Recommendation : These findings indicate the need of higher countermeasure such as vigorous decontamination and better ventilation airflow to reduce the risk of covid-19 transmission particularly among HCWs including those in laundry management.

The big problem for tackling the transmission of

covid-19 is to suppress the viral particle in the air

and environment. The severe covid-19 is

commonly managed in negative pressure ICU

ward. Covid-ICU room in Dr. Soetomo hospital is

comprising of 5 rooms, 2 beds per room. The

purpose of this study is to evaluate the

presentation of SARS-CoV-2 virus, that was

contaminating the room air, floor and other

surfaces inside the Covid-ICU.

Air samples were taken from all area, ante-room,

patient room, gallery, clothing room, nurse

station, ICU yard outside the room using air

sampler (As82 PURIVA H1) with capacity at 200

m2 /hour. Virus filter was put in port of air entry,

after air suction for 2 hours, then immersed in

VTM for rtRT-PCR (real time Reverse Transcriptase

PCR) examination. Samples of surfaces were done

by swabbing on floor, bed cover, door handle,

medical equipment, wall and other equipment, 5

locations for each.

Total of 39 air samples were collected and

examined with a PCR machine, 5 (12.8%) positive

namely 2 samples from gallery and 3 from one

room, whereas from 30 surfaces, 1 (3.3%) positive,

from sample of bed cover.

The Circulation of SARS-CoV-2 Virus in Ward Environment of COVID-19 Intensive Care Unit, Dr. Soetomo Hospital Surabaya

1. Koendhori EB* 2. Alimsarjono L 3. Oktaviani SRS 4. Widya AM 5. Kusumaningrum D 6. Naritha 7. Kurniati ND 8. Endraputra PN 9. Kuntaman K*

Acknowledgement: This work was supported by fund provided by the CSR of Petrokimia Company. We would like to express our gratitude to all staffs at Dr. Soetomo hospital for facilitating this study and also HCWs in covid-ICU for their assistance

Presented in : International Teleconference on Technology and Policy for Supporting Implementation of COVID-19 Recovery Plan in Southeast Asia (ITTP- COVID19) .

81

Conclusion : Keratoconjunctivitis may appear as the only manifestation of COVID-19 infection

Recommendation : Patients presenting with unexplainable eye symptoms should be evaluated for COVID-19 infection. Wearing not only face shield but also protective goggle should be mandatory for all healthcare workers during their time in hospital regardless of their specialties, in order to prevent the infection via ocular surface.

Introduction: Ocular symptoms are uncommon manifestations of coronavirus disease 2019 (COVID-19) infection. Earlier study reported that dry eye, blurred vision, foreign body sensation, tearing, itching, conjunctival secretion, conjunctival congestion, ocular pain, and photophobia are among the ocular symptoms that could be found in COVID-19 patients. However, there are only a few reports available regarding corneal involvement in this disease. Here we report a case of keratoconjunctivitis as the only symptom of COVID- 19 infection.

Case description: A 27-year-old man who worked as an obstetrics and gynecology resident came to the outpatient clinic with the chief complaints of eye discomfort, foreign body sensation, conjunctival hyperemia, lacrimation, and photophobia in his right eye for the past 3weeks. Fluorescence test showed a small corneal lesion. The patient was then diagnosed with keratoconjunctivitis. A week after the treatment, all symptoms were resolved. A month later, the patient came to the emergency room with the same eye complaints but with a more severe pain. The fluorescence test showed wider corneal lesion compared to last month. The result from the corneal swab is negative for bacterial or fungal infection, indicating a viral infection. Afterwards, reverse transcriptase polymerase chain reaction test from nasopharyngeal swab was performed and revealed that the patient was positive for COVID-19.

Recurrent keratoconjunctivitis as the sole manifestation of COVID-19 infection: A case report

1. Hutama SA1* 2. Alkaff FF2* 3. Intan RE1, 4. Maharani CD3, 5. Indriaswati L3 6. Zuhria I3

1 Faculty of Medicine Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia 2 Division of Pharmacology and Therapy, Department of Anatomy, Histology, and Pharmacology, Faculty of Medicine Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia 3 Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine Universitas Airlangga – Dr. Soetomo General Academic Hospital, Surabaya, Indonesia

Hutama SA, Alkaff FF, Intan RE, Maharani CD, Indriaswati L, Zhuria I, 2021. Recurrent keratoconjuntivitis as the sole manifestation of Covid- 19 infection: A case report. European Journal of Ophthalmology 1-5. https://doi.org/10.1177/112 06721211006583

82

Recommendation : This case highlights the importance of early diagnosis and effective treatment to the care of COVID-19 patient

An outbreak of coronavirus disease 2019 (COVID-19) caused by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV2) that began in Wuhan, China has spread rapidly in multiple countries of the world and has become a pandemic. Currently, there is no vaccine or specific antiviral for COVID-19. A study reported 7.3% of critical patients admitted to ICU, 71% of them required mechanical ventilation, and 38.5% of them were survived.

Herein, we reported a 54-year-old man with Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) of COVID-19 who survived the disease. Real-time reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) assay of nasopharyngeal and oropharingeal swabs were positive for SARS-CoV-2. Diagnosis of ARDS was also according to clinical symptoms, laboratory, chest radiograph, and chest CT scan. Alcaligenes faecalis and Candida albicans were also identified from sputum culture. Treatment for this patient was causal and supportive therapy, including antibiotic, antiviral, and antifungal therapy according to the culture results, fluid resuscitation, and oxygen supply from the mechanical ventilator. This patient was survived and discharged on hospital day-29. A fibrosis in parenchyma pulmonary and sensory peripheral neuropathy occurred after survived from ARDS. Monitoring of clinical, laboratory, and chest radiograph were continued after the patient discharged from the hospital.

Survival of A Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) Patient With Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) In Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia

1. Soedarsono1,4,

2. Bambang Pudjo

Semedi2,4,

3. Rosy

Setiawati3,4,

4. Resti Yudhawati

Meliana1,4,

5. Tutik

Kusmiati1,4,

6. Ariani

Permatasari1,4,

7. Arief

Bakhtiar1,4,

8. Irmi

Syafa’ah1,4,

9. Dwi Wahyu

Indrawanto1,4

1 Department of Pulmonology and

Respiratory Medicine, 2

Department of Anesthesiology and

Reanimation, 3 Department of

Radiology, Faculty of Medicine,

Universitas Airlangga, 4 Dr.

Soetomo Hospital, Surabaya,

Indonesia

Soedarsono et al, 2020.

Survival of a COVID-19

Patient with ARDS. Fol Med

Indones, Vol. 56 No. 3

September 2020 : 235-244

https://e-

journal.unair.ac.id/FMI/

83

Kesimpulan : Penetapan penyebab kematian dalam masa pandemik Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo tidak terlalu mudah, karena adanya interaksi berbagai proses penyakit dan komorbid yang mendasari, pemberian obat serta penggunaan alat bantu pernapasan. Penyebab kematian utama terkait Covid di RSUD Dr. Soetomo adalah Gagal Napas, Syok Septik dan Syok Kardiogenik.

Epidemiologi Kematian Penderita COVID-19 (pilot project di RSUD Dr. Soetomo)

Latar Belakang : Menurut data dari dashboard WHO, hingga 22 November 2020, angka kasus terkonfirmasi terinfeksi Covid-19 di dunia telah mencapai 57.274.018 orang, dengan angka kematian mencapai 1.368.000 orang (2,4% dari seluruh kasus terkonfirmasi) di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia pada waktu yang sama didapatkan 488.310 kasus terkonfirmasi (1.785,26 kasus terkonfirmasi per 1 juta penduduk) dengan jumlah kematian sebanyak 15.678 (57,32 kematian per 1 juta penduduk ; 3,2% dari seluruh kasus terkonfirmasi). Penetapan penyebab kematian terkait infeksi Covid-19 merupakan hal yang krusial dan perlu pemahaman pathogenesis penyakit tersebut. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus SARS-COV2 ini, menyebabkan peradangan saluran pernafasan sebagai manifestasi klinis yang paling banyak ditemui.

Desain Penelitian : observasional retrospektif.

Hasil Penelitian : Sejumlah total status pasien meninggal dalam rentang waktu April – Oktober 2020 yang teraudit 365 RM. Rerata usia pasien meninggal 53,6 + 15,9 (0-92) tahun dan rerata LOS : 5,3 + 5,1 (0-34) hari. Terdapat perbedaan bermakna antara usia pasien (p=0,041) yang konfirm terinfeksi Covid-19 (55,0 +14,3 tahun) dan probable Covid-19 (50,9+18,2 tahun) dan length of stay (0,000) antara pasien yang konfirm terinfeksi Covid-19 (6,2 +5,4 hari) dan probable Covid-19 (3,7+4,2 hari). Dari data penyebab kematian di RSUD Dr. Soetomo didapatkan pola kematian dengan penyebab kematian langsung Covid-19 yaitu Gagal Napas, Syok Kardiogenik dan Multiple Organ Dysfunction Syndrome. Faktor komorbid yang menyebabkan severitas dan prediktor kematian akibat infeksi Covid-19 dijelaskan pada grafik batang. Angka kematian per kelompok ruang perawatan secara khusus ditampilkan dalam grafik jumlah pasien, umur dan length of stay. Secara umum, umur menunjukkan diversity yang jelas pada usia yang lebih tua, kecuali pada pasien obsgin, di mana kematian pasien terkonfirmasi Covid-19 terjadi pada usia lebih muda karena terkait proses persalinan, dan kematian pada pasien probable Covid-19 terjadi pada usia lebih tua, terkait komplikasi keganasan pada sistem urogenital perempuan. Masa rawat (length of stay) pada pasien terkonfirmasi Covid-19 lebih panjang dibandingkan pasien probable Covid-19.

1. Wahyuhadi J 2. Prakoeswa CRS 3. Endaryanto A 4. Tinduh D 5. Subagyo Adi S 6. Semedi BP 7. Yudhawati R 8. Pratama A 9. Habibie P 10. Kloping YP 11. Wijaya MC 12. Putra DH 13. Thoriq M

Tim Audit Kematian RSUD Dr. Soetomo

84

Kesimpulan : Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di Jawa Timur mengenai COVID-19 tergolong baik. Pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Sikap masyarakat dipengerahui oleh tingkat pendidikan, penghasilan, dan perilaku responden. Perilaku masyarakat dipengaruhi jenis kelamin, penghasilan, dan sikap responden.

Latar Belakang : Pandemi COVID-19 telah menyebabkan tekanan pada situasi fisik dan mental pada manusia di seluruh dunia. Untuk menurunkan kecepatan infeksi, pemerintah mencanangkan gerakan physical distancing secara nasional. Kerjasama masyarakat sangat penting untuk memastikan keberhasilan strategi ini. Tujuan penelitian ini untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat Jawa Timur terhadap COVID-19. Desain Penelitian : Penelitian observasional cross-sectional. Suatu kuesioner tervalidasi untuk menilai domain pengetahuan, sikap dan perilaku digunakan dan sebarkan oleh dokter di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) pada masyarakat di area penanganannya pada bulan Juni 2020. Dilakukan analisis menggunakan ordinal regression analysis. Hasil Penelitian : Sejumlah 456 subyek penelitian berpartisipasi dalam penelitian ini. Kebanyakan partisipan memiliki pengetahuan excellent terkait penyakit ini (n =247, 54,2%), diikuti dengan acceptable (n = 138, 30,3%). Sikap acceptable (n = 209, 45,8%) dan excellent (n = 240, 52,6%) mendominasi perilaku partisipan. Hasil dari pengamatan perilaku menunjukkan masyarakat berada dalam kategori perilaku acceptable (n = 215, 47,1%) dan excellent (n = 239, 52,4%). Terkait dengan COVID-19, pengetahuan masyarakat secara signifikan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (OR: 2,371), sedangkan sikap masyarakat dipengaruhi tingkat pendidikan (OR: 1,786), income (OR: 1,263) dan perilaku (OR: 3,618). Jenis kelamin (OR: 3,799), income (OR: 1,325) dan sikap (OR: 3,616) memengaruhi perilaku masyarakat terkait penyakit ini.

Survei Perilaku Masyarakat berhubungan dengan Pandemi COVID- 19 di Jawa Timur

1. Notobroto HBa

2. Wulandari Lb

3. Tinduh Dc

4. Kloping YPd

5. Wijaya MCd

6. Putra DHd

aFakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga bKSM/Dep Paru & Kedokteran Respirasi cBidang Litbang dResearch Assistance

Ucapan terimakasih: Tenaga kesehatan yang membantu pengumpulan data

Conclusions & Recommendation : The neurosurgery service at an academic tertiary referral hospital in an LMIC experienced a significant reduction in cases. The university and program directors had to adapt to an off-campus and off-hospital policy for neurosurgical residents and undergraduate students. The hospital instituted a reorganization of residents for service. The digital environment found popularity during the outbreak to support the educational process.

85

Global outbreak of the novel coronavirus disease 2019 (COVID-19) has forced healthcare systems world-wide to reshape their facilities and protocols. Although not considered the frontline specialty in managing COVID-19 patients, neurosurgical service and training were also significantly affected. This article focuses on the impact of the COVID-19 outbreak at a low- and/or middle-income country (LMIC) academic tertiary referral hospital, the university and hospital policies and actions for the neurosurgical service and training program during the outbreak, and the contingency plan for future reference on preparedness for service and education.

Methods : The authors collected data from several official databases, including the Indonesian Ministry of Health database, East Java provincial government database, hospital database, and neurosurgery operative case log. Policies and regulations information was obtained from stakeholders, including the Indonesian Society of Neurological Surgeons, the hospital board of directors, and the dean’s office.

Results : The curve of confirmed COVID-19 cases in Indonesia had not flattened by the 2nd week of June 2020. Surabaya, the second-largest city in Indonesia, became the epicenter of the COVID-19 outbreak in Indonesia. The neurosurgical service experienced a significant drop in cases (50% of cases from normal days) along all lines (outpatient clinic, emergency room, and surgical ward). Despite a strict preadmission screening, postoperative COVID-19 infection cases were detected during the treatment course of neurosurgical patients, and those with a positive COVID-19 infection had a high mortality rate. The reduction in the overall number of cases treated in the neurosurgical service had an impact on the educational and training program. The digital environment found popularity in the educational term; however, digital resources could not replace direct exposure to real patients. The education stakeholders adjusted the undergraduate students’ clinical postings and residents’ working schemes for safety reasons.

Neurosurgery at the Epicenter of the COVID- 19 Pandemic in Indonesia: Experience from a Surabaya Academic Tertiary Hospital

1. Suryaningtyas W

2. Wahyuhadi J 3. Turchan A 4. Subagio EA 5. Parenrengi MA 6. Apriawan T 7. Fauzi AA 8. Bajamal AH

Suryaningtyas W, Wahyuhadi J, Turchan A, Subagio EA, Parenrengi MA, Apriawan T, Fauzi AA, Bajamal AH, 2020. Neurosurgery at the epicenter of the COVID-19 pandemic in Indonesia: experience from a Surabaya academic tertiary hospital.

Neurosurgical Focus 49(6):E5. https://thejns.org/doi/ abs/10.3171/2020.9.F OCUS20559