89
BAB 1 Pendahuluan A.Latar Belakang Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini di buat untuk memenuhi tuntutan reformasi yaitu mewujudkan suatu Indonesia Baru, Indonesia yang lebih demokratis lebih adil, dan lebih sejajtera. Semenjak dilaksanakannya undang-undang ini secara efektif, telah banyak perubahan perubahan yang timbul pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Perubahan ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga terjadi pada hubungan antara pemerintah pusat dan daerah sangat bersifat sentralistis. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 ini, hubungan 1

PELAKSANAAN OTONOMI LUAS DENGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG

  • Upload
    untar

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 1

Pendahuluan

A.Latar Belakang Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak

tahun 2000. Undang-undang ini di buat untuk memenuhi

tuntutan reformasi yaitu mewujudkan suatu Indonesia

Baru, Indonesia yang lebih demokratis lebih adil, dan

lebih sejajtera.

Semenjak dilaksanakannya undang-undang ini secara

efektif, telah banyak perubahan perubahan yang timbul

pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Perubahan ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi

juga terjadi pada hubungan antara pemerintah pusat

dan daerah sangat bersifat sentralistis. Dengan

diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 ini, hubungan

1

antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih

bersifat desentralistis, dalam arti sebagian daerah.

Wewenang yang tetap dimiliki oleh pemerintah pusat

adalah wewenang di bidang politik luar negeri,

pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan

fiscal, serta agama.

Untuk mendorong peningkatan dan pemerataan

kesejahteraan masyarakat, undang-undang ini member

peluang kepada daerah-daerah yang memenuhu syarat dan

memiliki ptensi untuk dijadikan daerah otonom,

melalui pemekaran daerah.

Di samping itu, guna meningkatkan peranan DPRD

sebagai badan legislative daerah, DPRD yang selama

ini ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan

daerah sekarang di pisah dari pemerintah daerah dan

dikembalikan pada fungsi yang seharusnya sehingga

mempunyai kedudukan sederajat dengan pemerintah

daerah sebagai badan eksekutif daerah.

Di bidang keuangan, diatur perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan daerah melalui UU No. 25

Tahun 1999. Hanya saja formula yang digunakan undang-

2

undang ini tidak memuaskan sebagian besar daerah

karena dalam pelaksanaannya, ternyata daerah yang

kaya menjadi semakin kaya dan daerah miskin tetap

miskin. Hal ini jelas tidak akan dapat mewujudkan

pemerataan dalam kesejahteraan sesuai dengan tujuan

pemberian otonomi itu sendiri. Apabila hal ini tidak

disikapi dengan cara yang lebih arif dan bijaksana

dengan membuat suatu formula yang lebih adil, yang

dapat mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat

di kemudian hari, hal ini akan bias menimbulkan

gejolak antardaerah, yang pada gilirannya akan bias

merusak keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.

Secara umum UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah ini telah banyak membawa kemajuan

bagu daerah dan juga bagu peningkatan kesejagteraan

masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenan

yang luas untuk mengelola kekayaan daerah guna

dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat di daerah.

Namun demikian di sisi lain, UU No. 22 Tahun 1999

dalam pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak

negative, antara lain tampilnya kepala daerah sebagai

3

raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang

yang dimiliki, serta tidak jelasnya hubungan

hierarkis dengan pemerintahan di atasnya. Di samping

itu, dengan dimilikinya wewenang yang luas dalam

pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, terbuka

peluang untuk tumbuhnya korupsi, klusi, nepotisme

(KKN) di daerah-daerah. Akibatnya terjadilah korupsi

secara besar-besaran di daerah, baik di kalangan

eksekutif maupun di kalangan legislative, serta

lahirnya perda-perda tentang retribusi dan pajak

daerah, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Banyak

hal lain yang bersifat negative sebagai akibat

pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, seperti “money

politic”, yang terjadi dalam pemilihan kepala

daerah/Laporan Pertanggjawaban (LPJ) dari kepala

daerah, sengketa antardaerah, baik sengketa

kewenangan maupun sengketa wilayah (perbatasan), dan

lain sebagainya.

Penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 betujuan untuk

memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada

undang-undang tersebut, antara lain sebagaimana telah

dikemukakan di atas, dan juga merupakan konsekuensi

4

perubahan dalam tatanan kenegaraan akibat amandemen

UUD 1945, serta guna mengantisipasi arus globalisasi,

terutama berkaitan dengan peluang penanaman modal

asing di daerah. Penyempurnaan ini dilaksanakan

melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 125 dan Tambahan Lebara Negara Republik

Indonesia Nomor 4437) yang dengan tegas dalam pasal

239 menyatakan bahwa dengan berlakunya undang-undang

ini, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

dinyatakan tidak berlaku lagi.

B.Hal-hal Diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

UU No. 32 Tahun 2004, sama dengan apa yang diatur

dalam UU No. 22 Tahun 1999. Hanya saja UU No. 32

Tahun 2004 lebih memperjelas dengan mempertegas hal-

hal yang sudah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999,

guna menutupi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam

UU No. 22 Tahun 1999 dimaksud, terutama mengenai

hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara

provinsi dengan kabupaten/kota, serta antara sesame

5

daerah kabupaten/kota. Hubungan ini berkaitan dengan

masalah kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.

Undang-undang baru ini memperjelas dan mempertegas

hubungan kierarkis antara kabupaten/kota dengan

provinsi, antara provinsi dengan pemerintah pusat,

berdasarkan asas kesatuan administrasi dan asas

kesatuan wilayah tadi. Berdasarkan asas kesatuan

administrasi dan asas kesatuan wilayah, pemerintah

pusat berhak melakukan koordinasi, demikian juga

provinsi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian

juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping

itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala

daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas

pula. Hal ini terlihat dengan dipilih langsungnya

kepala daerah oleh rakyat, sehingga DPRD tidak dapat

lagi menjatuhkan kepala daerah, sebelum masa

jabatannya berakhir melalui suatu putusan politik

(pemungutan suara) semata-mata, tetapi terlebih

dahulu harus melalui suatu proses hokum di

pengadilan.

Perubahan yang sangat signifikan terhadap

perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan

6

tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah secara langsung.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

secara langsung merupakan konsekuensi perubahan

tatanan kenergeraan kita akibat Amanademen UUD 1945.

Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur

mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam

rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi.

Penerapan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun

2004 ini tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan

bertanggungjawab. Otonomi luas, dimaksudkan bahwa

kepala daerah diberikan tugas, wewenang hak dan

kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang

tidak ditangai oleh pemerintah pusat sehingga isi

otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memeiliki

banyak raga dan jenisnya. Di samping itu, daerah

diberikan keleluasan untuk menangani urusan

pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka

mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan

tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama

7

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai

dengan potensi dan karakteristik masing-masing

daerah.

Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang

dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan

yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh

dan berkembang sesuai dengan potensi dan

karakteristik daerah masing-masing. Dengan demikian,

isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak

selalu sama dengan daerah lainnya. Sementara itu,

otonomi yang bertanggung jawab, adalah otonomi yang

dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan

dengan tujuan pemberian otonomi yang ada dasarnya

untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatan

kesejahteraan rakyat.

Betapapun luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu

daerah, pelaksanaannya harus dalam kerangka negara

kesatuan Republik Indonesia.

Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus

menjami adanya hubungan yang serasi antara

masyarakat, pemerintah daerah dan DPRD. Kinerja

8

penyelenggara otonomi daerah, yaitu pemerintah daerah

dan DPRD, harus selalu berorientasi pada peningkatan

kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat dengan

selalu memerhatukan kepentingan dan pelayanan kepada

masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan

aspirasi masyarakat luas.

UU No. 32 Tahun 2004 antara lain mengatur hal-hal:

1.Pembentukan daerah dan kawasan khusus;

2.Pembagian urusan pemerintahan;

3.Penyelenggaraan pemerintahan;

4.Kepegawaian daerah;

5.Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah;

6.Perencanaan pembangunan daerah;

7.Keuangan daerah;

8.Kerja sama dan penyelesaian perselisihan;

9.Kawasan perkotaan;

10. Desa;

11. Pembinaan dan pengawasan; dan

12. Pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah.

9

Bab 2

Pembentukan Daerah

10

dan Kawasan Khusus

A.Pembentukan daerah

Sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi

yang dianut UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, perlu dibentuk daerah-daerah

otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal

18 ayat (1),(2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945, yang menyatakan:

Ayat (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah provinsi, dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan

kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah

yang diatur dengan undang-undang.

Ayat(2): Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah

Kabupaten dan Kota, mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan.

Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan

daerah sebelumnya, UU No.32 Tahun 2004, meletakkan

titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan kota.

11

Hal ini bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan

kepada masyarakat.

Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah

pusat dan dengan pemerintahan lainnya. Hubungan ini

meliputih hubungan wewenang, keuangan, pelayanan

umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya

lainnya yang dilakukan secara adil dan selaras.

Hubungan-hubungan ini akan menimbulkan hubungan

administrasi dan kewilayahan antarsesama

pemerintahan. Hubungan administrasi adalah hubungan

yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan

penyelenggaraan system administrasi Negara.

Sementara itu, hubungan kewilayahan adalah hubungan

yang terjadi sebagai konsekuesi dibentuk dan

disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga

wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah

Negara yang bulat. Hal ini berarti betapapun

luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah,

pelaksanaan otonomi tersebut tetaplah dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

12

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 ini, Negara

mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintah

daerah yang bersifat khusus dan istimewa.

Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan

istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk

pemerintahan yang lain, seperti Daerah Khusus Ibu

Kota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe

Aceh Darussalam), Daerah Istimewa Yogyakarta, dan

provinsi-provinsi di Papua. Bagi Daerah daerah ini

secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan

daerah daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan

tertentu, kepada daerah daerah tersebut, dapat

diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang

undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan

istimewa tersebut, secara umum berlaku UU No. 32

Tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan undang

udang tersendiri

Untuk daerah-daerah yang memeiliki status

istimewa dan diberikan otonomi khusus, selain

diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 ini, juga

diberlakukannya ketentuan khusus, yang diatur dalam

undang undang lain. Hal ini berlaku bagi Provinsi

Daerah Khusus ibukota (DKI), Provinsi Nanggroe Aceh13

Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. Untuk Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, penyelenggaraan pemerintahannya tetap

berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, sedangkan untuk

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemilihan kepala

Daerah/wakil kepala daerah Dilakukan berdasarkan UU

No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi

Naggroe Aceh Darussalam dengan penyempurnaan

sebagai berikut.

a.Untuk pemilihan kepala daerah yang berakhir masa

jabatannya sampai dengan bulan april 2005

diselenggarakan pemilihan secara langsung

sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.

b.Untuk kepala daerah selain yang dimaksud pada

huruf (a), pemilihan kepala daerahnya

diselenggarakan sesuai dengan periode masa

jabatannya.

c.Kepala Daerah dan wakill kepala daerah yang

berakhir masa jabatannya sebelum UU No.32 Tahun

2004 ini disahkan sampai dengan bulan April 2005

sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang

penjabat kepala daerah.14

d.Penjabat Kepala Daerah tidak dapat menjadi calon

kepala daerah yang dipilih atau calon wakil

kepala daerah yang dipilih secara langsung

sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.

e.Anggota Komisi Independen pemilihan dari unsur

anggota komisi pemilihan umum republic Indonesia

diisi oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Disamping itu, Negara juga mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat

beserta hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian pemerintahan daerah dalam UU No.32

Tahun 2004 adalah:

1.Pemerintah daerah provinsi, yang terdiri dari

pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi.

2.Pemerintah daerah kabupaten/kota, terdiri atas

pemerintah kabupaten/kota dan DPRD

kabupaten/kota.

15

Sementara itu, pemerintah daerah terdiri dari

kepala daerah dan perangkat daerah.

Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan

beberapa daerah atau beberapa daerah yang

bersanding atau pemekaran dari suatu daerah menjadi

dua daerah atau lebih. Pemakaran daerah dapat

dilakukan mencapai batas minimal usia

penyelenggaraan pemerintahan, yaitu 10 tahun untuk

provinsi, 7 tahun untuk kabupaten/kota, dan 5 tahun

untuk kecamatan. Pembentukan daerah ditetapkan

dengan undang undang, yang isinya antara lain

mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,

kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan,

penunjukan penjabat kepala daerahm pengisian

keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan

dan dokumen, serta perangkat daerah. Dalam hal ini

yang dimaksud “cakupan wilayah”, khusus untuk

daerah yang berupa kepulauan atau gugusan pulau

pulau, dalam penentuan luas wilayahnya didasarkan

atas prinsip Negara kepulauan (archipelago

principles) yang pelaksanaannya diatur dengan

peraturan pemerintah.

16

Pembentukan suatu daerah harus memenuhi syarat

administrative, teknis dan fisik kewilayahan.

Syarat administrative untuk provinsi meliputi

adanya:

1.Persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan

bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah

provinsi;

2.Persetujuan DPRD dan gubernur provinsi induk;

3.Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Sementara itu, syarat administrasi untuk

kabupaten/kota meliputi adanya:

1.Persetujuan dari DPRD dan bupati/walikota yang

bersangkutan;

2.Persetujuan DPRD provinsi dan gubernur;

3.Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Persetujuan DPRD dalam hal ini diwujudkan dalam

bentuk Keputusan DPRD, yang diproses berdasarkan

pernyataan aspirasi sebagian besar masyarakat

setempat sedangkan persetujuan gubernur didasarkan

pada hasil kajian tim yang khusus dibentuk oleh

17

pemerintah provinsi bersangkutan. Tim dimaksudkan

mengikutsertakan tenaga ahli sesuai kebutuhan.

Syarat teknis meliputi factor yang menjadi

dasar pembentukan daerah, yang mencakup factor

kemampuan ekonomi, potensi daerah, pertahanan

keamanan dan factor lain yang memungkinkan

terselenggarakannya otonomi daerah. Faktor lain

dalam hal ini antara lain pertimbangan kemampuan

keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang

kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Syarat

fisik meliputi:

1.Paling sedikit lima kabupaten/kota untuk

pembentukan provinsi;

2.Paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan

kabupaten;

3.Paling sendikit empat kecamatan untuk pembentukan

kota;

4.Lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana

pemerintahan.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tujuan

pembentukan suatu daerah otonom pada dasarnya

18

adalah untuk memberdayakan daerah, termasuk

peningkatan kesejahteraan rakyat. Bagi daerah yang

tidak mampu meweujudkan kedua hal tersebut, berarti

daerah yang bersangkuta tidak mampu

menyelenggarakan hak otonominya. Daerah yang tidak

mampu menyelenggarakan hak otonominya dapat dihapus

dan digabungkan dengan daerah lain. Penhapusan dan

penggabungan ini dilakukan setelah melalui evaluasi

terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Evaluasi dalam hal ini adalah penelitian dengan

menggunakan system pengukuran kinerja, serta

indicator-indikatornya, yang meliputi masukan

proses, keluaran, dampak. Pengukuran dan indicator

kinerja digunakan untuk membandingkan daerah dengan

daerah lainnya dengan angka rata-rata secara

nasional untuk masing-masing tingkat pemerintahan

atau dengan hasil tahun tahun sebelumnya untuk

masing masing daerah. Disamping itu, dievaluasi

juga aspek lain, yaitu keberhasilan dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, upaya

upaya dan kebijakan yang diambil, ketaatan terhadap

peraturan per-undang undangan dan kebijakan

nasional dan dampak dari kebijakan daerah. Pedoman19

untuk melakukan evaluasi ini diatur dalam peraturan

pemerintah.

B.Kawasan Khusus

Didalam daerah otonomi provinsi, kabupaten atau

kota, dapat dibentuk kawasan khusus. Kawasan khusus

adalah kawasan strategis yang secara nasional

menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut

politik, sosial budaya, lingkungan, dan

pertahanan/keamanan. Dalam kawasan khusus

diselenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu

sesuai kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat

berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan bebas,

kegiatan industry, dan sebagainya. Fungsi

pemerintahan tertentu dalam hal ini antara lain

pertahanan Negara, pendayagunaan wilayah, wilayah

perbatasan, dan pulau-pulau tertentu/terluar,

lembaga pemasyarakatan, pelestarian budaya dan

cagar alam, pelestarian lingkungan hidup, riset dah

teknologi.

Kawasan khusus yang berfungsi untuk

menyelenggarakan fungsi pemerintahan dibidang

pertahanan/keamanan Negara dapat berbentuk

20

pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru

kendali, dan pangkalan militer. Kawasan khusus lain

dapat berkendali dan pangkalan militer. Kawasan

khusus lain dapat berbentuk pengembangan kawasan

industry strategis, pengembangan prasarana

komunikasi, telekomunikasi, transportasi,

pelabuhan, daerah perdangan bebas, wilayah

exploistasi dan pengembangan sumber daya nasional,

laboratorium sosial, dan lembaga pemasyarakatan

khusus.

Khusus untuk wilayah perdagangan bebas dan/atau

pelabuhan bebas, harus ditetapkan dengan undang

undang, sedangkan untuk bentuk-bentuk lain

ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tata cara

penetapan kawasan khusus ini diatur dalam peraturan

pemerintah. Dalam pembentukan khusus, pemerintah

pusat harus mengikut sertakan daerah dimana kawasan

khusus berada. Disamping itu, daerah dapat pula

mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membentuk

suatu kawasan khusus didaerahnya.

21

Bab 3

Pembagian urusan pemerintahan

Dalam penyelenggaraan otonomi luas, utusan

pemerintahan yang diserahkan pada daerah jauh lebih

banyak kita dibandingkan dengan urusan pemerintahan

yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat.

Menurut UU No.32 Tahun 2004, urusan pemerintahan

yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah

pusat adalah:

a.Politik luar negeri;

b.Pertahanan;

22

c.Keamanan;

d.Yustisi;

e.Moneter dan fiscal nasional; dan

f.Agama.

Didalam penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004,

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan urusan

pemerintahan dibidang:

a.Politik luar negeri adalah urusan pengangkatan

pejabat diplomatic dan penunujuk warga Negara

untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional,

menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan

perjanjian dengan Negara lain, menetapkan

kebijakan perdagangan luar negeri, dan

sebagainya;

b.Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau

membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai

dan perang, menyatakan Negara atau sebagian

Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan

mengembakan system pertahanan Negara dan

persenjataan, menetapkan kebijakan kebijakan

untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap

warga Negara dan sebagainya;

23

c.Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan

membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan

keamanan nasional, menindak setiap orang yang

melanggar hokum Negara, menindak kelompok atau

organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan

Negara, dan sebagainya;

d.Moneter dan fiscal nasional, adalah misalnya

mencetak uang dan menetukan nilai mata uang

menetapkan kebijakan moneter/fiscal,

mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;

e.Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga

peradilan, mengangkat hakim dan jaksa mendirikan

lembaga permasyarakatan, menetapkan kebijakan

kehakiman dan imigrasian, member grasi, amnesty,

abolisi, membentuk undang-udang, peraturan

pengganti undang undang peraturan pemerintah dan

peraturan lain yang berskala nasional, dan

sebagainya;

f.Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur

keagamaan yang berlaku secara nasional, member

hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama,

menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan

kehidupan keagamaan, dan sebagainya.24

Disamping itu, bagian tertentu urusan

pemerintahan lainnya yang berskala nasional yang

tidak diserahkan kepada daerah.

Selain 6 urusan pemerintahan yang telah

diuraikan diatas, sisanya menjadi wewenang

pemerintahan daerah. Dengan demikian, urusan yang

dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak

terbatas. Daerah dapat menyelenggarakan urusan

pemerintahan apa saja selain 6 bidang yang telah

dikemukakan diatas, asal saja daerah mampu

menyelenggarakannya, dan punya potensi untuk

dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan

rakyat.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi wewenang daerah, pemerintah daerah

menyelenggarakan otonomi seluas luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan.

Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan

keikutsertaan daerah atau desa, termasuk

masyarakatnya atas pengunggasan atau kuasa dari

pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah untuk

25

melaksanakan urusan pemerintahan dibidang

tertentu. Pemberian tugas pembantuan harus

disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta

sumber daya manusia.

Disamping itu, terdapat bagian urusan

pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu

urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian

atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama

antara pemerintah pusan dan pemerintahan daerah

dengan demikian , pada setiap urusan yang

bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan

yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan ada

bagian urusan yang diserahkan provinsi, dan ada

pula bagian urusan yang diserahkan kepada

kabupate/kota. Untuk mewujudkan urusan yang

concurrent secara proposional antara pemerintah

pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota

disusunlah criteria yang meliputi eksternalistis,

akuntabilitas dan efisiensi, dengan

mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan

urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan

(Penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004).

26

Selanjutnya dijelaskan criteria-kriteria

berikut ini.

a.Kriteria eksternalistis yaitu pendekatan dalam

pembagian urusan pemerintahan dengan

mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan

dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan

tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan

bersifat local, urusan pemerintahan tersebut

menjadi wewenang kabupaten/kota; apabila regional

menjadi wewenang provinsi, dan apabila nasional,

menjadi wewenang pemerintah pusat.

b.Kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam

pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan

bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu

bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang

lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari

urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian,

akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan

pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan

lebih terjamin.

c.Kriteria efisiensi, yaitu pendekatan dalam

pembagian urusan pemerintahan dengan

27

mempertimbangkan tersedianya sumber daya

(personel, dana dan peralatan) untuk mendapatkan

ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang

harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian

urusan. Artinya, penanganan suatu bagian urusan

dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil

guna apabila oleh daerah provinsi, dan/atau

daerah kabupaten/kota dibandingkan apabila

ditangani oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu,

bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah

provinsi dan/atau kabupaten/kota. Sebaliknya,

apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya

guna dan berhasil guna bila ditangani oleh

pemerintah pusat, bagian urusan tersebut tetap

ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk pembagian

bagian urusan harus disesuaikan dengan

memerhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya

bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya

guna dan hasil guna tersebut didasari dari

besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat

dan besar kecilnya risiko yang dihadapi.

d.Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan

bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh28

tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat

saling berhubungan (interkoneksi), saling

tergantung (interindependensi), dan saling

mendukung sebagai satu kesatuan system dengan

memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana

diuraikan di atas, ditempuh melalui mekanisme

penyerahan atau pengakuan atas usul daerah terhadap

bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur

dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut,

pemerintah pusat melakukan verifikasi terlebih

dahulu sebelum member pengakuan atas bagian urusan

urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah.

Sementara itu, terjadap bagian urusan yang saat ini

masih menjadi urusan pemerintah pusat, dengan

criteria tersebut dapat diserahkan kepada daerah.

Walaupun berdasarkan otonomi luas yang dimiliki

oleh daerah, daerah dapat menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang apa pun di luar urusan yang

merupakan urusan pemerintah pusat. Namun, dalam

pelaksanaannya harus mendapat pengakuan dari

pemerintah pusat terlebih dahulu. Pengakuan ini

29

diberikan oleh pemerintah pusat terlebih setelah

melakukan verifikasi terhadap bagian urusan yang

diusulkan oleh daerah. Hal ini berbeda dengan

undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyerahan

suatu urusan kepada daerah tidak memerlukan

pengakuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat.

Mengigat begitu luasnya otonomi yang dimiliki

oleh suatu daerah dan begitu banyak urusan yang

dapat diselenggarakan oleh daerah dan begitu banyak

urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah

daerah, UU No.32 Tahun 2004 membagi semua urusan

tersebut atas dua kelompok, yaitu urusan wajib dan

urusan pilihan.

Dalam menjalankan urusan pemerintahan, pemerintah

daerah mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat

dan pemerintah daerah lainnya. Dari hal ini jelas

bagi kita, betapapun luasnya kewenangan yang

dimiliki oleh suatu daerah, dalam menyelenggarakan

urusan pemerintahan tertentu, tetap ada hubungan

dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

lainnya. Hubungan ini meliputi hubungan wewenang,

30

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya

alam, dan sumber daya lainnya.

Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan

sumber daya di wilayah paling jauh 12 mil laut

diukur dari garis pantai kea rah laut lepas

dan/atau kea rah perairan kepulauan. Apabila

wilayah laut antara dua provinsi kurang dari 24 mil

laut, kewenangan menelola sumber daya dibawah laut

dibagi sama jaraknya atau diukur sesuai prinsip

garis tengah dari wilayah antara dua provinsi

tersebut. Sementara itu, untuk kabupaten/kota

memperoleh sepertiga wilayah kewenangan provinsi.

Ketentuan ini tidak berlaku bagi nelayan kecil

dalam melakukan penangkapan ikan. Mereka dapat

melakukan penangkapan ikan sejauh mereka sanggup

mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut

ini, selanjutnya akan diatur dengan undang-undang.

31

Bab 4

Penyelenggaraan Pemerintahan

A.Penyelenggaraan Pemerintahan

Penyelenggara pemerintahan daerah adalah

pemerintah daerah, dan DPRD. Dalam menyelenggarakan

pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas

desentralisasi, tugas pembantuan, serta

dekosentrasi sesuai dengan peraturan perundang

undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah

daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan

menggunakan asas desentralisasi dan tugas

pembantuan.

32

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah

daerah berpedoman pada asas umum penyelenggaraan

Negara, yang didalam Hukum Administrasi Negara

dikenal dengan “asas-asas umum pemerintahan yang

layak”. Di negeri belanda, asas asas umum

pemerintahan yang layak ini sudah diterima sebagai

norma hokum yang tidak tertulis, yang harus ditaati

oleh penyelenggara pemerintahan, terutama pejabat

Tata Usaha Negara, dalam membuat keputusan Tata

Usaha Negara. Sebelumnya dalam praktik

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas

asas ini sudah mulai diterima, walaupun secara

formal belum diakui sebagai sesuatu norma hokum

tidak tertulis yang harus ditaati oleh

penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun di

daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini baru

diakui di Negara kita, dengan diundangkannya UU

No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas

efektivitas, kemudian dalam Pasal 20 UU No. 32

Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut

dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan33

pemerintahan daerah. Asas dimaksud disebut dengan

“asas umum penyelenggaraan Negara”, yang dirinci

antara lain:

1.Asas kepastian hokum;

2.Asas tertib penyelenggaraan Negara;

3.Asas kepentingan umum;

4.Asas keterbukaan;

5.Asas proporsionalitas;

6.Asas profesionalitas;

7.Asas akuntabilitas;

8.Asas efisiensi; dan

9.Asas efektivitas.

Hal ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan “good

governance” (tata pemerintahan yang baik).

Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi

pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan

otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban

tertentu.

Hak-hak daerah tersebut antara lain:

1.Mengatur dan mengurusi sendiri urusan

pemerintahannya;

34

2.Memilih pemimpin daerah;

3.Mengelola aparatur daerah;

4.Mengelola kekayaan daerah;

5.Memumngut pajak daerah dan retribusi daerah;

6.Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di

daerah;

7.Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang

sah; dan

8.Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam

peraturan perundang undangan.

Di samping hak-hak tersebut diatas, daerah juga

dibebani beberapa kewajiban, yaitu”

1.Melindungi masyarakat, menjaga persatuan,

kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

3.Mengembangkap kehidupan demokrasi;

4.Mewujudkan keadilan dan pemerataan;

5.Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

6.Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

35

7.Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum

yang layak;

8.Mengembangkan sistemn jaminan sosial;

9.Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

11. Melestarikan lingkungan hidup;

12. Mengelola administrasi kependudukan;

13. Melestarikan nilai sosial budaya;

14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-

undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan

perundang undangan.

Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan

dalam bentuk rencana kerja pemerintah daerah dan

dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan

pembiayaan daerah, yang dikelola dalam system

pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-

asas yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan

keuangan daerah dilakukan secara efisien, efektif,

transparan, bertanggung jawab, terteib, adil, patuh

dan taat pada peraturan perundang-undangan.

B.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

36

Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan

wakil kepala daerah. Kepala daerah dibantu oleh

satu orang wakil kepala daerah. Kepala daerah

provinsi disebut gubernur dan wakil gubernur.

Sementara itu, kepala daerah kabupaten/kota disebut

bupati/walikota dan wakilnya disebut wakil

bupati/wakil walikota.

Di samping kewajiban tersebut di atas, kepala

daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan

laporan penyelenggaraan pemerintahan kepada

pemerintah pusat, dan memberikan keterangan

pertanggungjawaban kepada DPRD, serta

menginofrmasikan laporan penyelenggaraan

pemerintahan daerah kepada masyarakat. Informasi

ini disampaikan melalui media yang tersedia di

daerah dan dapat diakses oleh public sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Laporan

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada

pemerintah pusat disampaikan kepada presiden

melalui gubernur untuk bupati/walikota. Laporan

dimaksud disampaikan satu kali dalam satu tahun.

Dengan adanya ketentuan tentang laporan

37

penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, tidak

menutup kemungkinan adanya laporan lain, baik atas

kehendak kepala daerah atau atas pemerintah pusat

sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan

lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang

undangan. Tata cara pelaksanaan pelaporan dimaksud

di atas diatur dalam peraturan pemerintah. Laporan

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada

pemerintah pusat dan laporan keterangan

pertanggungjawaban kepada DPRD diatur dalam Pasal

27 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004. Khusus mengenai

laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah

kepada DPRD, secara prinsip berbeda dengan

pertanggungjawaban kela daerah kepada DPRD,

sebagaimana diatur dalam Pasal 45, 46 UU No. 22

Tahun 1999. Dalam Pasal 46 UU No.1999 dijelaskan

apabila pertanggungjawaban seorang kepala daerah

kepada DPRD ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat

mengusulkan pemberhentiannya kepada presiden. Hal

ini di masa lalu sering menimbulkan money politic,

disaat seseorang kepala daerah menyampaikan laporan38

pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD. Akan tetapi

dengan diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, hal ini

tidak akan terjadi lagi karena kepala daerah hanya

wajib memberikan laporan keterangan

pertanggungjawaban kepada DPRD, bukan laporan

pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal

45, 46 UU No.22 Tahun 1999.

Disamping kewajiban yang diberikan kepada kepala

daerah dan wakil kepala daerah, menurut ketentuan

pasal 28 UU No. 32 Tahun 2004, kepala daerah dan

wakil kepala daerah dikenakan beberapa larangan,

yaitu:

1.Membuat keputusan yang secara khusus,

memberikan keuntungan bagi dirim anggota

keluarga, kroni, golongan tertentu, atau

kelompok politiknya yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, merugikan

kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok

masyarakat, atau mendiskriminasikan warga

Negara dan/atau golongan masyarakat luas;

39

2.Turut serta suatu perusahaan, baik milik

swasta, maupun milik Negara/daerah, atau dalam

yayasan bidang apapun;

3.Melaksanakan pekerjaan lain yang memberikan

keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung

maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan

daerah yang bersangkutan;

4.Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan

menerima uang, barangdan/atau jasa dari pihak

lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan

yang akan dilakukan;

5.Menjadi advokat atau kuasa hokum dalam suatu

perkara di pengadilan, selain mewakili

daerahnya di dalam dan di luar pengadilan;

6.Menyalahgunakan wewenang dan melanggar

sumpah/janji jabatan; dan

7.Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara

lainnya, atau sebagai anggota DPRD.

Larangan ini sebenarnya agak sedikit berlebihan

lebihan karena beberapa larangan yang dicantumkan

dalam pasal ini sebenarnya telah merupakan

larangan secara umum, bahkan telah merupakan

40

suatu tindak pidana, seperti korupsi dan lain

lain. Namu demikian, pasal ini pada dasarnya

bertujuan untuk mewujudkan suatu pemerintahan

yang bersih dengan mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan dan

tindak pidana korupsi. Masalahnya hanya sejauh

mana pasal ini dapat dilaksanakan secara efektif

di lapangan. Jal ini sangat membutuhkan adanya

kemauan politif dari aparatur pemerintahan dan

kesadaran masing masing individu, baik sebagai

aparatur pemerintahan maupun sebagai warga

masyarakat.

C.Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala

daerah

Dalam system presidentil, presiden sebagai

kepala Negara/kepala pemerintahan, pada dasarnya

tidak dapat diberhentikan sebelum berakhir masa

jabatannya, terkecuali dengan alasan-alasan

tertentu. Hal ini juga berlaku bagi kepala daerah

pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum

berakhir masa jabatannya, terkecuali sebagaimana

41

diatur dalam pasal 29 UU No.32 Tahun 2004, yaitu

apabila:

1.Meninggal dunia;

2.Permintaan sendiri; atau

3.Diberhentikan;

Pemberhentian, sebagaimana dimaksud pada huruf

© diatas dapat dilakukan karena:

1.Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik

pejabat baru;

2.Tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara

berturut-turutselama enam bulan;

3.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala

daerah/wakil kepala daerah;

4.Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan

kepala daerah dapat wakil kepala daerah;

5.Melanggar larangan bagi kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah.

Dalam ketentuan pasal 29 di atas jelas bagi

kita bahwa seorang kepala daerah tidak bisa

lagi diberhentikan karena laporan

42

Pertanggungjawaban (LPJ) ditolah untuk kedua

kalinya oleh DPRD, sebagaimana berlaku pada era

UU No.22 Tahun 1999 yang lalu. Di masa

berlakunya UU No.22 Tahun 1999, seorang kepala

daerah dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh

DPRD kepada presiden, karena laporan

pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah yang

bersangkutan ditolah untuk kedua kalinya oleh

DPRD. Putusan mengenai pemberhentian dimaksud

biasanya diambil melalui voting, layaknya

seperti yang berlaku pada system parlementer.

Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil

kepala daerah karena meninggal dunia,

mengundukan diri, berakhir masa jabatannya dan

tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara

berturut turut selama enam bulan, dan

diberitahukan kepada pimpinan DPRD untuk

diputuskan dalam rapat paripurna. Dalam hal

ini, yang dimaksud dengan tidak melaksanakan

tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap adalah menderita sakit, yang

43

mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak

berfungsi secara normal, yang dibuktikan dengan

surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau

tidak diketahui keberadaannya. Pemberhentian

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah

karena mengundurkan diri (permintaan sendiri),

tidak menghapus tanggung jawab yang

bersangkutan selama memegang jabatan.

Mengenai pemberhentian kepala daerah dan

wakil kepala daerah karena dinyatakan melanggar

sumpah/janji jabatan kepala daerah dan wakil

kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban

kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan

melanggar larangan bagi kepala daerah dan/ atau

wakil kepala daerah, dilaksanakan dengan

ketentuan.

Dengan adanya ketentuan sebagaimana

dikemukakan di atas, seseorang kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah tidak dapat lagi

diberhentikan secara wewenang wewenang oleh

DPRD melalui voting, tanpa adanya suatu proses

hokum, untuk membuktikan kesalahan dari kepala

44

daerah dan /atau wakil kepala daerah yang

bersangkutan. Ketentuan ini mirip dengan proses

impeachment sebagaimana yang berlaku di Amerika

Serikat.

DPRD menggunakan hak angketnya untuk

menanggapi kasus tersebut. Hak angket baru bisa

dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Rapat

Paripurna DPRD dihadiri oleh sekurang kurangnya

¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil

dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPRD yang hadir. Apabila dalam

penyeledikan ditemukan bukti DPRD yang hadir.

Apabila dalam penyelidikan ditemukan bukti yang

menyatakan kepala daerah telah melakukan tindak

pidana sebagaimana dituduhkan, DPRD mengusulkan

proses penyelesaiannya kepada aparah penegak

hokum sesuai peraturan peundang undangan yang

berlaku. Apabila proses hokum telat berjalan,

dan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah

dinyatakan bersalah karena melakukan tindak

pidana dengan ancaman pidana penjara paling

singkat lima tahun atau lebih berdasarkan

45

putusan pengadilan yang belum memperoleh

kekuatan hokum tetap, DPRD mengusulkan

pemberhentian sementara kepada presiden dengan

Keputusan DPRD. Berdasarkan Keputusan DPRD

tersebut, presiden menetapkan pemberhentian

sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya apabila putusan pengadilan

tersebut telah memperoleh kekuatan hokum tetap,

pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian hokum

tetap, pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian

berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD,

yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah

anggota DPRD dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah

anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan

DPRD tersebut, presiden memberhentikan kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah yang

bersangkutan. Undang undang baru ini memberikan

perlindungan kepada kepala daerah dan wakil

kepala daerah dari tindakan sewenang wenang

DPRD dengan mengatur secara jelas prosedur

46

hokum yang harus ditempuh untuk dapat

memberhentikan kepala daerah dan/atau kepala

daerah.

Seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah yang diberhentikan sementara, setelah

itu melalui proses pengadilan, ternyata

terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum

tetap, paling lambat dalam waktu tiga puluh

hari, presiden telah merehabilitasikan dan

mengaktifkan kembali kepala daerah dan wakil

kepala daerah yang bersangkutan sampai akhir

masa jabatannya. Apabila kepala daerah dan

wakil kepala daerah yang bersangkutan telah

berakhir masa jabatannya, presiden tidak perlu

mengaktifkannya lagim cukup merehabilitasi

saja. Tata cara pemberhentian sementara ini

lebih lanjut akan diatur dengan peraturan

pemerintah.

D.Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan

kesatuan wilayah, gubernur di samping sebagai

47

kepala daerah, karena jabatannya, berkedudukan

juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah

provinsi yang bersangkutan. Betapapu luasnya

otonomi yang dimiliki oleh kabupaten/kkota,

berdasarkan kedua asas tersebut di atas dan

kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat di wilayah provinsi yang bersangkutaan,

gubernur berwenang melakukan koordinasi,

supervise dan evaluasi terhadap daerah

kabupaten/kota yang ada dalam wilayah provinsi

yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di

atas, gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil

pemerintah pusat di wilayahnya memiliki tugas

dan wewenang:

1.Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah kabupaten/kota;

2.Koodinasi penyelenggaraan urusan pemerintah

pusat di daerah provinsi dan kabupaten/kota;

3.Koodinasi pembinaan dan pengawasan

penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah

provinsi dan kabupaten/kota.

48

Dana yang di perlukan dalam pelaksaan tugas

dan wewenang tersebut diatas dibebankan pada

APBN dan dalam pelaksanaan tugas, dan atas

wewenang tersebut, gubernur bertanggung jawab

kepada presiden. Kedudukan keuangan dan tata

cara pelaksaan tugas dan wewenang tersebut

diatur dalam peraturan pemerintah.

E.Perangkat Daerah

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2)

UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah terdiri

dari kepala daerah dan perangkat daerah.

Perangkat daerah provinsi terdiri atas

secretariat daerah, secretariat DPRD, dinas

daerah dan lembaga teknis daerah. Sementara

itu, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri

atas secretariat daerah, secretariat DPRD,

dinas daerah dan lembaga teknis daerah,

kecamatan dan kelurahan.

Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretarias

daerah yang mempunyai tugas dan kewajiban

membantu kepala daerah, dalam menyusun

kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan

49

lembaga teknis daerah. Dalam melaksanakan tugas

dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung

jawab kepada kepala daerah. Apabila sekretaris

daerah berhalangan dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya, tugasnya dilaksanakan oleh

penjabat yang ditunjuk oleh kepala daerah.

50

Bab 5

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

A.Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat

Salah satu tujuan reformasi adalah untuk

mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu

Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa

dicapai dengan mengembalik kedaulatan ke tangan

rakyat. Selama ini, baik di masa orde baru

maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuhnya

berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan

di tangan lembaga legislative. Bahkan di era

reformasi ini, kedaulatan seolah-olah berada di

tangan partai politik. Partai politik, melalui

fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat

melakukan apa pun, yang berkaitan dengan

kepentingan bangsa dan Negara, bahkan dapat

memberhentikan presiden sebelum berakhir masa

jabatannya, seperti layaknya pada Negara dengan

system presidentil. Di daerah daerah, DPRD

melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan

kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.

51

B.Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah

Daerah, sebagai bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah, seharusnya

sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil

presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Di

samping alas an tersebut di atas, ada

beberapa alas an lain, yang mengharuskan kita

melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah secara langsung.

C.Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah Secara Langsung

1.Penyelenggara

Dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun

1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,

perubahan yang paling siginifikan yang

terdapat dalam undang-undang baru, adalah

52

mengenai pemilihan kepala daerah secara

langsung.

2.Panitia Pengawas (Panwas)

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah, pengawasan

dilakukan panitia pengawas (panwas) yang

dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD.

3.Pemantau

Pemantauan pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah, dapat dilakukan oleh

pemantau pemilihan yang berasal dari LSM dan

badan hokum dalam negeri. Pemantau untuk

dapat melakukan pemantauan, harus memenuhi

syarat antara lain:

a)Bersifat independen;

b)Mempunyai sumber dana yang jelas.

Berdasarkan hasil penelitian, KPUD

menetapkan pasangan calon minimal dua

pasangan calon yang dituangkan dalam

berita acara penetapan pasangan calon.

Sayangnya, dalam undang undang ini tidak

53

diatur bagaimana jalan keluarnya apabila

pasangan calon yang memenuhi syarat

berdasarkan hasil penelitian KPUD hanya

satu pasangan. Kita berharap jalan keluar

untuk mengatasi masalah ini akan kita

temukan dalam peraturan pemerintah sebagai

peraturan pelaksana dari UU No. 32 Tahun

2004.

Dalam kegiatan kampanye, pasangan calon wajib

menyampaikan visi, misi dan program secara lisan,

maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian

materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan,

tertib, dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan

bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil

kepala daerah berhak mendapatkan informasi atau

data dari pemerintah daerah, seusatu ketentuan

perundang undangan.

Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh

wilayah provinsi; untuk pemilihan dan gubernur

wakil gubernur di seluruh wilayah kabupaten/kota,

54

untuk pemilihan bupati/walikota dan wakil

bupati/wakil walikota.

Dalam rangka mewujudkan rasa keadila dan

pemberian perlakuan yang sama kepada pasangan

calon, media cetak dan media elektronik memberi

kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk

menyampaikan tema dan materi kampanye, memasang

iklan, dalam rangka kampanye. Di samping itu

pemerintah daerah harus memberikan kesempatan yang

sama kepada pasangan calon, untuk menggunakan

fasilitas umum.

Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai

negeri sipil, TNI dan Polri, sebagai peserta

kampanye dan juru bicara kampanye dalam pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selama masa

kampanye semua pejabat Negara, dan kepala desa,

dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang

menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan

calon.

Kampanye yang mempersoalkan dasar Negara

Pancasila, dan pembukaan UUD Negara Republik

55

Indonesia tahun 1945, menghina seseorang, agama,

ras, golongan, calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah, menghasut atau mengadu domca partai

politik, perseorangan, dan/atau kelompok

masyarakat, menggunakan kekerasan, ancaman

kekerasan, atau menganjurkan menggunakan kekerasan

kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau

mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah,

merupakan tidak pidana, dan akan dikenakan sanksi

jika dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang undangan yang berlaku.

Berbeda dengan pemilu legislative dan pemilu

presiden dan wakil presiden, kewenangan memutus dan

memeriksa sengketa hasil perhitungan suara, ada

pada mahkamah konstitusi. Sebaiknya, untuk

memeriksa dan memutus sengketa hasil perhitungan

suara pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah, juga diserahkan pada Mahkamah Konstitusi.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 24c ayat

(1) UUD 1945, yang antara lain menyatakan bahwa

Mahkamah Konstitusi berwenang memnutus perselisihan

tentang hasil pemilhan umum. Sementara itu,

56

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,

pada dasarnya merupakan pemilihan umum, hanya saja

pemilihan umum yang bersifat local. Di samping itu,

ada beberapa alas an praktis yaitu:

1)Mahkamah Konstitusi sudah cukup berpengalaman,

memeriksa dan memutus sengketa hasil penghitungan

suara pada Pemilu 2004.

2)Beban tugas dan pekerjaan Mahkamah Konstitusi

tidak seberat Mahkamah Agung. Seperti kita

ketauji Mahkamah Agung, sebagai puncak berbagai

macam peradilan yang ada dalam system peradilan

kita, sudah dibebani oleh tumpukan berbagai

perkara.

Apabila calon wakil kepala daerah terpilih

berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih

tetap dilantik sebagai kepala daerah terpilih tetap

dilantik sebagai kepala daerah. Selanjutnya kepala

daerah yang baru dilantik mengusulkan dua orang

calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk

dipilih. Sebaliknya, apabila calon kepala daerah

terpilih yang berhalangan tetap, calon wakil kepala

daerah terpolih, dilantik menjadi kepala daerah.

57

Selanjutnya kepala daerah yang baru dilantik

mengusulkan dua orang calon wakil kepala daerah

kepada DPRD untuk dipilih.

Jika pasangan calon terpilih yang berhalangan

tetap, partai politik atau gabungan partai politik

yang pasangan calonnya memperoleh suara terbanyak

pertama dan kedua dibawah pasangan calon terpilih,

mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk

dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala

daerah selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh

hari. Demikian juga halnya dalam pemilihan wakil

kepala daerah sebagai pengganti wakil kepala daerah

yang berhalangan tetap harus dilakukan selambat

lambatnya dalam waktu enam puluh hari.

Dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun

2004, anggota tentara nasional Indonesia (TNI) dan

anggota kepolisian Negara republic Indonesia tidak

menggunakan hak memilihnya sepanjang belum diatur

dalam undang undang.

58

Bab 6

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

A.Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya

disingkat DPRD, merupakan lembaga perwakilan rakyat

daerah dan merupakan salah satu unsure

penyelenggara pemerintahan daerah di samping

59

pemerintah daerah, DPRD memiliki tiga fungsi utama,

yaitu:

1.Fungsi legislasi, yaitu membentuk peraturan

daerah;

2.Fungsi anggaran, yaitu menetapkan anggaran;

3.Gunsi pengawasan, yaitu melakukan pengawasan

terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan

peraturan perundang undangan

Berdasarkan ketiga fungsi tersebut di atas, DPRD

mempunyai tugas dan wewenang yaitu:

1.Membentuk perda, yang dibahas dengan kepala

daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

2.Membahas dan menyetujui rancangan perda tentang

APBD bersama dengan kepala daerah;

3.Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan

perda dan perundang undangan lainnya, peraturan

kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah

dalam melaksanakan program pembangunan daerah,

dan kerja sama internasional di daerah;

4.Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala

daerah/wakil kepala daerah kepada presiden

60

melalui Menteri Dalam Negeri melalui gubernur

bagi DPRD kabupaten/kota;

5.Memilih wakil kepala daerah apabila hal terjadi

kekosongan jabatan wakil kepala daerah;

6.Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada

pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian

internasional di daerah;

7.Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja

sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah

daerah;

8.Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban

kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah;

9.Membentuk pantia pengawas pemilihan kepala

daerah;

10. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPID

dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

11. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja

sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang

membebeani masyarakat dan daerah.

61

Disamping tugas dan wewenang tersebut di atas, DPRD

juga melaksanakan tugas dan wewenang lain yang

diatur dalam peraturan perundang undangan.

Dari tugas dan wewenang sebagaimana dikemukakan di

atas ada perubahan yang cukup signifikan untuk

mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara

kepala daerah dan DPRD, yaitu sebagai berikut.

a)Tidak ada lagi tugas dan wewenang DPRD untuk

memilih kepala daerah, sebagaimana diatur dalam

UU No.22 Tahun 1999. Menurut UU No.32 Tahun 2004,

kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih

langsung oleh Rakyat.

b)Tidak ada lagi tugas dan wewenang DPRD untuk

meminta pertanggungjawaban kepala daerah,

sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1999.

Menurut UU No.32 Tahun 2004, DPRD hanya berwenang

meminta laporan keterangan pertanggungjawaban

dari kepala daerah.

Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa DPRD tidak

dapat lagi menjatuhkan seorang kepala daerah

sebelum berakhir masa jabatannya, terkecuali

62

apabila seorang kepala daerah dinyarakan bersalah

secara hokum dan atau diberhentikan karena alasan-

alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU No.32

Tahun 2004.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya DPRD

diberikan hak, yaitu:

1.Hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta

keterangan kepada kepala daerah, mengenai

kebijakan pemerintah daerah yang penting dan

strategis, yang berdampak luas pada kehidupan

masyarakat, daerah dan Negara;

2.Hak angket, yaitu pelaksanaan fungsi pengawasan

dari DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap

suatu kebijakan tertentu kepala daerah, yang

penting dan strategis serta berdampak luas pada

kehidupan masyarakat, daerah dan Negara yang

diduga bertentangan dengan peraturan perundang

undangan.

3.Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPRD untuk

menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala

daerah atau mengenai kejadian luar biasa, yang

terjadi di daerah, disertai dengan rekomendasi

63

penyelesaiannya atau sebagai tidak lanjut

pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

B.Alat Kelengkapan DPRD

Untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya,

DPRD dilengkapi dengan beberapa alat kelengkapan

yang terdiri dari:

1.Pimpinan;

2.Komisi;

3.Panitia musyawarah;

4.Panitia anggaran;

5.Badan kehormatan;

6.Alat kelengkapan lain yang diperlukan.

Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat

kelengkapan DPRD tersebut diatur dalam peraturan

tata tertib DPRD. Penyusunan tata tertib DPRD

ini, dilakukan dengan berpedoman pada peraturan

perundang undangan.

Khusus mengenai badan kehormatan, dibentuk dan

ditetapkan oleh DPRD dengan keputusan DPRD, yang

anggotanya terdiri dari:

64

a.Untuk DPRD kabupaten/kota, yang beranggotakan

sampai dengan 34 orang, anggota badan

kehormatan berjumlah 3 orang, sedangkan untuk

DPRD yang beranggotakan 35 orang sampai 45

orang, anggota badan kehormatan berjumlah 5

orang.

b.Untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai

dengan 74 orang, anggota badan kehormatan

berjumlah 5 orang, sedangkat untuk DPRD yang

beranggotakan 75 orang sampai 100 orang,

anggota badan kehormatan berjumlah 7 orang.

Anggota badan kehormatan dipilih dari dan oleh

anggota DPRD pimpinan badan kehormatan terdiri

dari seorang ketua dan seseorang wakil ketua yang

dipilih dari dan oleh anggota badan kehormatan

sendiri. Badan kehormatan dalam menjalankan tugas

dan wewenang dibantu oleh secretariat, yang

secara fungsional dilaksanakan oleh sekretarias

DPRD.

Tugas badan kehormatan adalah:

65

1.Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan

moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga

martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik

DPRD;

2.Meneliti dugaan pelanggaran yang dilaksanakan

anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan

kode etik DPRD serta sumpah/janji;

3.Melakukan penyelidikan, verifikasi dan

klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD,

masyarakatdan/atau pemerintah;

4.Menyampaikan kesimpulan atas hasil

penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi

sebagaimana dimaksud pada poin (3) sebagai

rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh DPRD.

C.Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD

Ada beberapa larangan yang dikenakan terhadap

anggota DPRD, yaitu:

1.Merangkap jabatan sebagai:

a.Pejabat Negara lainnya;

b.Hakim pada badan peradilan;

c.Pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri,

pegawai pada BUMN, BUMD, dan/atau badan lain,

yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD;66

2.Melakukan pekerjaan sebagai pejabat structural

pada lembaga pendidikan swasta, akuntan public,

advokat/pengacara, notaries dokter praktif, dan

pekerjaan lain, yang ada hubungannya dengan

tugasm wewenang, dan hal sebagai anggota DPRD;

3.Melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Anggota DPRD yang melakukan pekerjaan,

sebagaimana dimaksud pada poin(2) diatas, wajib

melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi

anggota DPRD. Bagi anggota DPRD yang tidak

memenuhi kewajiban, untuk melepaskan pekerjaan

tersebut di atas, diberhentikan oleh pimpinan

DPRD berdasarkan hasil pemeriksaan badan

kehormatan DPRD. Pelaksanaan ketentuan mengenai

larangan tersebut diatas diatur dalam peraturan

tata tertib DPRD, yang disusun dengan berpedoman

pada peraturan perundang-undangan.

Anggota DPRD diberhentikan antar waktu sebagai

anggota dilakukan karena:

1.Meninggal dunia;

67

2.Mengundurkan diri atas permintaan sendiri

secara tertulis; dan

3.Diusulkan oleh partai politik yang

bersangkutan.

Disamping itu, anggota DPRD dapat diberhentikan

antar waktu karena:

1.Tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara

berturut-turut selama enam bulan;

2.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota

DPRD;

3.Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan,

dan/atau melanggar kode etik anggota DPRD.

4.Tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD;

5.Melanggar larangan bagi anggota DPRD;

6.Dinyatakan bersalah, berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum

tetap karena melanggar tindak pidana dengan

ancaman pidana 5 tahun penjara atau lebih.

Pemberhentian anggota DPRD dengan alasan

tersebut diatas disampaikan oleh pimpinan DPRD

68

kepada menteri dalam Negeri melalui gubernur bagi

anggota DPRD kabupaten/kota, untuk diresmikan

pemberhentiannya. Pelaksanaan ketentuan

pemberhentian antarwaktu tersebut di atas diatur

dalam peraturan tata tertib DPRD dengan

berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

anggota DPRD tidak dapat dituntut dihadapan

pengadilan karena pernyataannya, pertanyaan

dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan

ataupun tertulis dalam rapat DPRD sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan tata tertib dank

ode etik DPRD. Ketentuan ini tidak berlaku

apabila anggota DPRD yang bersangkutan

mengumumkan materi yang telah disepakati dalam

rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal

yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman

rahasi Negara dalam peraturan perundang undangan.

Sehubungan dengan hal ini, anggota DPRD tidak

dapat diganti antarwaktu karena pernytaan,

pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan

69

dalam rapat DPRD.

D.Penggantian Antarwaktu (PAW)

Anggota DPRD yang berhenti atau diberhentikan

antarwaktu digantikan oleh calon pengganti dengan

ketentuan sebagai berkut.

1.Calon pengganti dari anggota DPRD yang terpilih

sebagai memenuhi angka BPP atau memperoleh

suara lebih dari setengah angka BPP adalah

calon yang memperoleh suara terbanyak urutan

berikutnya dalam daftar peringkat perolehan

suara pada daerah pemilihan yang sama.

2.Calon pengganti dari anggota DPRD yang terpilih

tidak berdasarkan angka BPP atau memperoleh

suara lebih dari setengaj angka BPP adalah

calon yang ditetapkan berdasarkan nomor urut

berikutnya dari daftar calon di daerah

pemilihan yang sama.

3.Calon pengganti, sebagaimana dimaksud pada poin

1 dan 2 diatas, mengundurkan diri atau

meninggal dunia, diajukan calon pengganti, pada

urutan berikutnya dalam daftar calon.

70

Seandainya apabila tidak ada lagi calon dalam

daftar calon anggota DPRD pada daerah pemilihan

yang sama, pengurus partai politik yang

bersangkutan dapat mengajukan calon baru sebagai

pengganti dengan ketentuan sebagai berikut.

a.Calon pengganti diambil dari daftar calon

anggota DPRD dari daerah pemilihan yang

terdekat dalam kabupaten/kota yang bersangkutan

atau daftar calon anggota DPRD kabupaten.kota

dari kecamatan yang terdekat untuk pengganti.

b.Calon pengganti tersebut pada huruf a,

dikeluarkan dari daftar calon anggota DPRD dari

daerah pemilihannya.

Selanjutnya apabila tidak ada lagi calon dalam

daftar calon anggota DPRD dari daerah pemilihan

di kabupaten/kota yang sama, atau di kecamatan

yang sama, untuk calon anggota DPRD

kabupaten/kota, pengurus partai politik yang

bersangkutan dapat mengajukan calon baru, yang

diambil dari daftar calon anggota DPRD dari

kabupaten/kota terdekat atau kecamatan terdekat

untuk calon pengganti anggota DPRD kabupaten/kota

71

yang bersangkutan. Anggota DPRD pengganti

antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan yang

digantikannya.

Untuk dilakukan verifikasi, pimpinan DPRD

menyampaikan kepada KPU provinsi atau

kabupaten/kota yang bersangkutan nama anggota

DPRD yang diberhentikan dan nama calon pengganti

antarwaktu yang diusulkan oleh pengurus partai

politik yang bersangkutan.

Bab 7

Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD)

A.Pemilihan Anggota DPRD

1.Asas dan system

72

Pemilihan anggota DPRD merupakan satu rangkaian

dengan pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat

(DPR) dan dewan perwakilan daerah (DPD) yang diatur

dalam UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dewan perwakilan

daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. Menurut

undang undang ini, pemilu kita menganut asas

langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil.

Kemudian oleh KPU ditambahkan dua asas lagi, yaitu

transparan dan bertanggung jawab. Penerapan asas

ini bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang lebih

dekokratis dan berkualitas. Pemilu yang lebih

demokratis dilaksanakan dengan system pemilu secara

langsung, dimana pemilih dapat memilih secara

langsung, calon-calon yang akan mewakili mereka di

dewa nantinya. Hanya saja dalam menerapkan system

ini, pembuat undang-undang belum sepenuh hati

menerimanya sehingga undang-undang ini melahirkan

suatu system yang bersifat kompromi, yang kemudian

dikenal dengan “system proporsional dengan daftar

calon terbuka” padahal sebenarnya yang diinginkan

oleh masyarakat adalah pemilihan langsung dengan

system distrik seperti yang berlaku dalam pemilihan73

anggota DPRD. System proporsional dengan daftar

calon terbuka ini pada dasarnya tetap merupakan

system proporsional, hanya saja diberikan sedikit

peluang kepada pemilih untuk memilih, calonnya

secara langsung.

Ternyata system ini melalui pasal 107 UU No. 12

Tahun 2003, menimbulkan banyak masalah dalam

praktiknya dilapangan menurut ketentuan pasal 107

ayat (2), nama calon yang mencapai angka BPP,

ditetapkan sebagai calon terpilih. Pengertian angka

BPP disini adalah jumlah suara sah dalam satu

daerah pemilihan dibagi dengan jumlah kursi yang

tersedia di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Angka BPP ini ternyata relative sangat besar

sehinga sulit bagi calon-calon yang tidak mencapai

angka BPP. Penetapan sebagai calon terpilih

ditentukan berdasarkan nomor urut. Di sinilah

pangkal masalahnya, yaitu tidak konsistennya

pembuat undang-undang di dalam menerapkan system

pemilu langsung. Apabila tidak ada calon mencapai

angka BPP, penentuan calon terpilih kembali ke

nomor urut. Padahal seharusnya, bedasarkan suara

terbanyak. Dari hal ini jelas bagi kita bahwa74

partai-partai politik yang duduk di DPR, yang ikut

merumuskan Pasal 107 ini, belum sepenuhnya ikhlas

menerima system pemilu langsung secara murni.

Mereka masih tetap menginginkan perana partai

politik dlaam menentukan calon-calon yang akan

duduk di dewan, dengan tetap mempertahankan

penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut.

Apabila kita betul-betul menginginkan adalnya

pemilu yang lebih demokratis dan berkualitas,

dimana anggota dewa betul-betul merasakan dirinya

sebagai wakil rakyat, penetuan calon terpilih

berdasarkan nomor urut ini harus ditinggalkan dan

diganti dengan suara terbanyak.

B.Pencalonan Anggota DPRD

Calon anggota DPRD diusulkan oleh partai politik

yang dinyatakan sebagai peserta pemilu setelah

melaui verifikasi yang dilakukan oleh KPU

berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002. Seorang calon

anggota DPRD, hanya dapat dicalonkan dalam satu

lembaga perwakilan pada satu daerah pemilihan.

Untuk dapat dicalonkan sebagai anggota DPR,

seseorang harus:

75

1.Terdaftar sebagai anggota partai politik peserta

pemilu yang dibuktikan dengan kartu tanda

anggota.

2.Memenuhi syarat:

a.Warga Negara Republik Indonesia yang berumur 21

tahun atau lebih;

b.Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.Berdomisili di wilayah Negara kesatua republic

Indonesia.

d.Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam

bahasa Indonesia;

e.Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau

sederajat;

f.Setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara,

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dan cita-cinta Proklamasi 17

Agustus 1945;

g.Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai

Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya,

atau bukan orang terlibat langsung G30S/PKI,

atau organisasi terlarang lainnya; (syarat ini

suda dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah

Konstitusi)76

h.Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hokum tetap;

i.Tidak sedang menjalani pidana penjara

berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hokum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana

penjara 5 tahun atau lebih;

j.Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil

pemeriksaan kesehatan dari dokter yang

berkompeten; dan

k.Terdaftar sebagai pemilih.

Calon anggota DPRD yang diajukan oleh partai

politik peserta pemilu merupakan hasil seleksi

secara demokrasiti dan terbukan, sesuai dengan

mekasnisme internal partai politik yang

bersangkutan.

Partai-partai politik peserta pemilu yang

mengajukan calon anggota DPRD, menyampaikan

kepada KPUD yang bersangkutan dan wajib

menyerahkan:

77

1.Surat pencalonan yang ditandatangani oleh

pimpinan partai politik, sesuai dengan

tingkatnya;

2.Surat pernyataan kesediaan menjadi calon

anggota DPRD;

3.Daftar riwayat hidup setiap calon;

4.Surat pernyataan bertempat tinggal yang

didatangani oleh calon yang bersangkutan;

5.Foto kopi tanda bukti penyerahan daftar

kekayaan yang dimiliki setiap calon dari

instansi yang berwenang;

6.Surat-surat keterangan sesuai dengan

persyaratan.

C.Pemungutan Suara

Pemungutan suara pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD

diselenggarakan serentakm yaitu pada hari libur

atau hari yang diliburkan. Pemberian suara

dilakukan dengan mecoblos salah satu tanda gambar

partai politik peserta pemilu dan mecoblos salah

satu tanda gambar partai politik peserta pemilu dan

mecoblos satu calon dibwah tanda gambar partai

politik peserta pemilu dalam surat suara. Surat

suara dimaksud memuat nomor, dan tanda gambar78

partai politik peserta pemilu dan calon untuk satu

daerah pemiluhan. Untuk pemilu anggota DPRD

provinsi atau DPRD kabupaten/kota, masing-masing

ditetapkan daerah pemilhan sebagai berikut:

1.Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah

kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.

2.Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota

adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.

D.Penetapan Calon Terpilih

KPU menetapkan hasil pemilu DPR, DPD dan DPRD

secara nasional dan diumumkan selambat lambatnya

tiga puluh hari setelah pemungutan suara. Penentuan

jumlah kursi anggota DPRD dari setiap partai

politik peserta pemilu didasarkan atas seluruuh

hasil penghitungan suara sah yang diperoleh di

suatu daerah pemilihan. Dari hasil penghitungan

suara sah yang diperoleh partai politik peserta

pemilu di suatu daerah pemilihan, ditetapkan angka

Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dengan cara membagi

jumlah suara sah seluru partai politik peserta

pemilu, dengan jumlah kursi anggota DPRD yang

bersangkutan.

E.Keanggotaan DPRD79

Susunan dan kedudukan DPRD diatur dalam UU No.22

Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPRD,

DPD dan DPRD. DPRD teridiri dari atas anggota

partai politik peserta pemilu yang dipilih

berdasarkan hasil pemilihan umum. Anggota DPRD

provinsi berjumlah sekurang-kurangnya 35 orang dan

sebanyak-banyak 100 (seratus) orang. Sementara itu,

anggota DPRD kabupaten/kota sekurang-kurangnya 35

orang dan sebanyak-banyaknya 40 orang. Keanggotaan

DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri

Dalam Negeri atas nama presiden dan anggota DPRD

kabupaten/kota, dengan keputusan gubernur atas nama

Menteri Dalam negeri. Anggota DPRD berdomisili di

masing masing ibu kota provinsi atau

kabupaten/kota. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5

tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD

yang baru mengucapkan sumpah/janji.

F.Pimpinan DPRD

DPRD dipimpim oleh seorang ketua dan sebanyaknya

tiga orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh

anggota DPRD dalam siding paripurna DPRD. Sebelum

Pimpinan DPRD secara definisif ditetapkan, DPRD

dipimpin oleh Pimpinan Sementara, yang terdiri dari80

satu orang ketua, dan seorang wakil ketua yang

berasal dari dua partai politik peserta pemilu yang

memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua. Dalam

hal ini terdapat lebih dari satu partai politik

peserta pemilu yang memperoleh kursi terbanyak

sama, ketua dan wakil sementara ditentukan secara

musyawarah oleh wakil partai politik yang

bersangkutan. Pimpinan DPRD secara definitive

sebelum memangku jabatannya, juga mengucapkan

sumpah/janji dengan dipandu oleh ketua pengadilan

tinggi setempat, dengan bunyi yang sama dengan

sumpah/janji anggota DPRD.

Bab 8

Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

A.Peraturan Daerah (Perda)

Kewenangan membuat peraturan daerah (perda),

merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang

81

dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya,

peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam

penyelenggaraang otnomi daerah.

Perda di tetapkan oleh kepala daerah setelah

mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk

penyelenggaraan otonomi yang dimiliki oleh

provinsi/kabupaten/kota, serta tugas pembantuan.

Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih

lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, dengan memperhatikan cirri khas masing-

masing daerah. Perda yang dibuat oleh satu daerah,

tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang undangan yang lebih

tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat

setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran

daerah.

B.Peraturan Kepala Daerah

Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No.22

Tahun 1999 disebut keputusan kepala daerahm pada

dasarnya sama. Penyebutan peraturan kepala daerah,

dasarnya sama. Penyebutan peraturan kepala daerah

bertujuan untuk memperjelas bahwa kepuptusan kepala

daerah yang dimaksud, berisi ketentuan peraturan82

(keputusan yang bersifat in abstracto). Hal ini

untuk mencegah timbulnya kerancuan dengan keputusan

kepala daerah yang bersifat inkoncrito (keputusan

berkenan objek tertentu atau tidak bersifat

mengatur secara umum).

Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah

berdasarkan kuasa undang-undang, menetapkan

peraturan kepala daerah. Sama halnya dengan perda,

peraturan kepala daerah juga tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Peraturan kepala daerah baru mempunyai kekuatan

mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam

berita daerah oleh sekretaris daerah. Agar perda

dan peraturan kepala daerah bisa berfungsi secara

efektif, harus dilakukan hal di antaranya:

1.Mensosialisasi perda dan peraturan kepala daerah

dengan menyebarluaskan ke tengah-tengah

masyarakat, terutama stake holders yang

bersangkutan;

2.Melakukan upaya penegakan hokum khusus perda.

Untuk itu, dibentuk satuan polisi pamong praja.

Di samping tugasnya menyelenggarakan ketertiban83

umum dan ketentraman masyarakat menyelenggarakan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,

polisi pamong praja juga bertugas melakukan

uapaya penegakan hokum, khusus perda. Pembentukan

polisi pamong praja ini berpedoman pada peraturan

pemerintah.

Anggota satuan polisi pamong praja juga dapat

diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil

sesuai ketentuan perundang-undangan. Penyidikan

dan penuntutan terhadap pelanggaran perda

dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntuk umum

sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu

penyidik dari polri dan penuntut dari kejaksaan.

Disamping itu, melalui perda dapat juga di tunjuk

pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan

penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan

yang termuat dalam perda.

84

Bab 9

Kepegawaian Daerah

85

Sesuai dengan asas kesatuan administrasi,

pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen

pegawai negeri sipil daerah, dalam satu kesatuan

penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara

nasional. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pegawai

negeri sipil daerah, adalah pegawai negeri sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan

UU No.8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian.

Manajemen pegawai negeri sipil daerah dimaksud meliputi

penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan,

pemberhentian, penetapan pension, kesejahteraan, hak

dan kewajiban, kedudukan hokum, pengembangan

kompetensi, dan pengendalian jumlah.

Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan

dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi

ditetapkan oleh gubernur. Sementara itu, pengangkatan,

pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan

eselon II pada pemerintahan daerah kabupaten/kota

ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi

dengan gubernur.

Perpindahan pegawai negeri sipil

antarkabupaten/kota dalam satu provinsi, ditetapkan

86

oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala

badan kepegawaian Negara. Badan kepegawaian Negara

(BKN) yang dimaksud dalam hal ini adalah badan

kepegawaian Negara dan dalam hal tertentu dapat

dilakukan oleh kantor regional badan kepegawaian

Negara, sedangkan perpindahan pegawai negeri sipil

antar kabupaten/kota dan antar provinsi ditetapkan oleh

Menteri Dalam Negeri, setelah memperoleh pertimbangan

kepala badan kepegawaian Negara. Selanjutnya, kota ke

departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND)

atau sebaliknya, ditetapkan oleh menteri dalam negeri,

setelah memperoleh pertimbangan kepala badan

kepegawaian Negara.

87

Bab 10

Keuangan Daerah

Pengelolaan Keuangan Daerah

Salah satu ukuran keberhasilan suatu daerah

otonom dapat dilihat dari kemampuan dalam

pengelolaan keuangan daerah. Pengeloalaan keuangan

daerah yang baik akan bermuara pada peningkatan

pendapatan asli daerah dan meningkatnya usaha-usaha

pembangunan. Dalam hal ini yang dimaksud keuangan

daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dan

uang yang dapat dijadika milik daerah yang

88

berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas

beban anggran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Sementara itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah

didanai dari dan atas bebas APBN. Administrasi

pendanaan penyelenggaraan kedua jenis urusan

pemerintahan tersebut dilakukan secara terpisah.

89