Upload
untar
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
Pendahuluan
A.Latar Belakang Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak
tahun 2000. Undang-undang ini di buat untuk memenuhi
tuntutan reformasi yaitu mewujudkan suatu Indonesia
Baru, Indonesia yang lebih demokratis lebih adil, dan
lebih sejajtera.
Semenjak dilaksanakannya undang-undang ini secara
efektif, telah banyak perubahan perubahan yang timbul
pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Perubahan ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi
juga terjadi pada hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah sangat bersifat sentralistis. Dengan
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 ini, hubungan
1
antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih
bersifat desentralistis, dalam arti sebagian daerah.
Wewenang yang tetap dimiliki oleh pemerintah pusat
adalah wewenang di bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan
fiscal, serta agama.
Untuk mendorong peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat, undang-undang ini member
peluang kepada daerah-daerah yang memenuhu syarat dan
memiliki ptensi untuk dijadikan daerah otonom,
melalui pemekaran daerah.
Di samping itu, guna meningkatkan peranan DPRD
sebagai badan legislative daerah, DPRD yang selama
ini ditempatkan sebagai bagian dari pemerintahan
daerah sekarang di pisah dari pemerintah daerah dan
dikembalikan pada fungsi yang seharusnya sehingga
mempunyai kedudukan sederajat dengan pemerintah
daerah sebagai badan eksekutif daerah.
Di bidang keuangan, diatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah melalui UU No. 25
Tahun 1999. Hanya saja formula yang digunakan undang-
2
undang ini tidak memuaskan sebagian besar daerah
karena dalam pelaksanaannya, ternyata daerah yang
kaya menjadi semakin kaya dan daerah miskin tetap
miskin. Hal ini jelas tidak akan dapat mewujudkan
pemerataan dalam kesejahteraan sesuai dengan tujuan
pemberian otonomi itu sendiri. Apabila hal ini tidak
disikapi dengan cara yang lebih arif dan bijaksana
dengan membuat suatu formula yang lebih adil, yang
dapat mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat
di kemudian hari, hal ini akan bias menimbulkan
gejolak antardaerah, yang pada gilirannya akan bias
merusak keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ini telah banyak membawa kemajuan
bagu daerah dan juga bagu peningkatan kesejagteraan
masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenan
yang luas untuk mengelola kekayaan daerah guna
dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
Namun demikian di sisi lain, UU No. 22 Tahun 1999
dalam pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak
negative, antara lain tampilnya kepala daerah sebagai
3
raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang
yang dimiliki, serta tidak jelasnya hubungan
hierarkis dengan pemerintahan di atasnya. Di samping
itu, dengan dimilikinya wewenang yang luas dalam
pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, terbuka
peluang untuk tumbuhnya korupsi, klusi, nepotisme
(KKN) di daerah-daerah. Akibatnya terjadilah korupsi
secara besar-besaran di daerah, baik di kalangan
eksekutif maupun di kalangan legislative, serta
lahirnya perda-perda tentang retribusi dan pajak
daerah, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Banyak
hal lain yang bersifat negative sebagai akibat
pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, seperti “money
politic”, yang terjadi dalam pemilihan kepala
daerah/Laporan Pertanggjawaban (LPJ) dari kepala
daerah, sengketa antardaerah, baik sengketa
kewenangan maupun sengketa wilayah (perbatasan), dan
lain sebagainya.
Penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 betujuan untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
undang-undang tersebut, antara lain sebagaimana telah
dikemukakan di atas, dan juga merupakan konsekuensi
4
perubahan dalam tatanan kenegaraan akibat amandemen
UUD 1945, serta guna mengantisipasi arus globalisasi,
terutama berkaitan dengan peluang penanaman modal
asing di daerah. Penyempurnaan ini dilaksanakan
melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125 dan Tambahan Lebara Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) yang dengan tegas dalam pasal
239 menyatakan bahwa dengan berlakunya undang-undang
ini, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi.
B.Hal-hal Diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2004, sama dengan apa yang diatur
dalam UU No. 22 Tahun 1999. Hanya saja UU No. 32
Tahun 2004 lebih memperjelas dengan mempertegas hal-
hal yang sudah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999,
guna menutupi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam
UU No. 22 Tahun 1999 dimaksud, terutama mengenai
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara
provinsi dengan kabupaten/kota, serta antara sesame
5
daerah kabupaten/kota. Hubungan ini berkaitan dengan
masalah kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.
Undang-undang baru ini memperjelas dan mempertegas
hubungan kierarkis antara kabupaten/kota dengan
provinsi, antara provinsi dengan pemerintah pusat,
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan asas
kesatuan wilayah tadi. Berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan asas kesatuan wilayah, pemerintah
pusat berhak melakukan koordinasi, demikian juga
provinsi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian
juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping
itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala
daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas
pula. Hal ini terlihat dengan dipilih langsungnya
kepala daerah oleh rakyat, sehingga DPRD tidak dapat
lagi menjatuhkan kepala daerah, sebelum masa
jabatannya berakhir melalui suatu putusan politik
(pemungutan suara) semata-mata, tetapi terlebih
dahulu harus melalui suatu proses hokum di
pengadilan.
Perubahan yang sangat signifikan terhadap
perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan
6
tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung merupakan konsekuensi perubahan
tatanan kenergeraan kita akibat Amanademen UUD 1945.
Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur
mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi.
Penerapan otonomi daerah berdasarkan UU No.32 Tahun
2004 ini tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan
bertanggungjawab. Otonomi luas, dimaksudkan bahwa
kepala daerah diberikan tugas, wewenang hak dan
kewajiban, untuk menangani urusan pemerintahan yang
tidak ditangai oleh pemerintah pusat sehingga isi
otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memeiliki
banyak raga dan jenisnya. Di samping itu, daerah
diberikan keleluasan untuk menangani urusan
pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka
mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan
tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama
7
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai
dengan potensi dan karakteristik masing-masing
daerah.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang
dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan potensi dan
karakteristik daerah masing-masing. Dengan demikian,
isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak
selalu sama dengan daerah lainnya. Sementara itu,
otonomi yang bertanggung jawab, adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan
dengan tujuan pemberian otonomi yang ada dasarnya
untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatan
kesejahteraan rakyat.
Betapapun luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu
daerah, pelaksanaannya harus dalam kerangka negara
kesatuan Republik Indonesia.
Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus
menjami adanya hubungan yang serasi antara
masyarakat, pemerintah daerah dan DPRD. Kinerja
8
penyelenggara otonomi daerah, yaitu pemerintah daerah
dan DPRD, harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat dengan
selalu memerhatukan kepentingan dan pelayanan kepada
masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan
aspirasi masyarakat luas.
UU No. 32 Tahun 2004 antara lain mengatur hal-hal:
1.Pembentukan daerah dan kawasan khusus;
2.Pembagian urusan pemerintahan;
3.Penyelenggaraan pemerintahan;
4.Kepegawaian daerah;
5.Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah;
6.Perencanaan pembangunan daerah;
7.Keuangan daerah;
8.Kerja sama dan penyelesaian perselisihan;
9.Kawasan perkotaan;
10. Desa;
11. Pembinaan dan pengawasan; dan
12. Pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah.
9
dan Kawasan Khusus
A.Pembentukan daerah
Sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi
yang dianut UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, perlu dibentuk daerah-daerah
otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal
18 ayat (1),(2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang menyatakan:
Ayat (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang.
Ayat(2): Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten dan Kota, mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan
daerah sebelumnya, UU No.32 Tahun 2004, meletakkan
titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan kota.
11
Hal ini bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat.
Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah
pusat dan dengan pemerintahan lainnya. Hubungan ini
meliputih hubungan wewenang, keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya yang dilakukan secara adil dan selaras.
Hubungan-hubungan ini akan menimbulkan hubungan
administrasi dan kewilayahan antarsesama
pemerintahan. Hubungan administrasi adalah hubungan
yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan
penyelenggaraan system administrasi Negara.
Sementara itu, hubungan kewilayahan adalah hubungan
yang terjadi sebagai konsekuesi dibentuk dan
disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga
wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah
Negara yang bulat. Hal ini berarti betapapun
luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah,
pelaksanaan otonomi tersebut tetaplah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 ini, Negara
mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintah
daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan
istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti Daerah Khusus Ibu
Kota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Aceh (Nanggroe
Aceh Darussalam), Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
provinsi-provinsi di Papua. Bagi Daerah daerah ini
secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan
daerah daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan
tertentu, kepada daerah daerah tersebut, dapat
diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang
undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan
istimewa tersebut, secara umum berlaku UU No. 32
Tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan undang
udang tersendiri
Untuk daerah-daerah yang memeiliki status
istimewa dan diberikan otonomi khusus, selain
diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 ini, juga
diberlakukannya ketentuan khusus, yang diatur dalam
undang undang lain. Hal ini berlaku bagi Provinsi
Daerah Khusus ibukota (DKI), Provinsi Nanggroe Aceh13
Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Untuk Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, penyelenggaraan pemerintahannya tetap
berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, sedangkan untuk
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemilihan kepala
Daerah/wakil kepala daerah Dilakukan berdasarkan UU
No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Naggroe Aceh Darussalam dengan penyempurnaan
sebagai berikut.
a.Untuk pemilihan kepala daerah yang berakhir masa
jabatannya sampai dengan bulan april 2005
diselenggarakan pemilihan secara langsung
sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.
b.Untuk kepala daerah selain yang dimaksud pada
huruf (a), pemilihan kepala daerahnya
diselenggarakan sesuai dengan periode masa
jabatannya.
c.Kepala Daerah dan wakill kepala daerah yang
berakhir masa jabatannya sebelum UU No.32 Tahun
2004 ini disahkan sampai dengan bulan April 2005
sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang
penjabat kepala daerah.14
d.Penjabat Kepala Daerah tidak dapat menjadi calon
kepala daerah yang dipilih atau calon wakil
kepala daerah yang dipilih secara langsung
sebagaimana dimaksud UU No.18 Tahun 2001.
e.Anggota Komisi Independen pemilihan dari unsur
anggota komisi pemilihan umum republic Indonesia
diisi oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Disamping itu, Negara juga mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat
beserta hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian pemerintahan daerah dalam UU No.32
Tahun 2004 adalah:
1.Pemerintah daerah provinsi, yang terdiri dari
pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi.
2.Pemerintah daerah kabupaten/kota, terdiri atas
pemerintah kabupaten/kota dan DPRD
kabupaten/kota.
15
Sementara itu, pemerintah daerah terdiri dari
kepala daerah dan perangkat daerah.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan
beberapa daerah atau beberapa daerah yang
bersanding atau pemekaran dari suatu daerah menjadi
dua daerah atau lebih. Pemakaran daerah dapat
dilakukan mencapai batas minimal usia
penyelenggaraan pemerintahan, yaitu 10 tahun untuk
provinsi, 7 tahun untuk kabupaten/kota, dan 5 tahun
untuk kecamatan. Pembentukan daerah ditetapkan
dengan undang undang, yang isinya antara lain
mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,
kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan,
penunjukan penjabat kepala daerahm pengisian
keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan
dan dokumen, serta perangkat daerah. Dalam hal ini
yang dimaksud “cakupan wilayah”, khusus untuk
daerah yang berupa kepulauan atau gugusan pulau
pulau, dalam penentuan luas wilayahnya didasarkan
atas prinsip Negara kepulauan (archipelago
principles) yang pelaksanaannya diatur dengan
peraturan pemerintah.
16
Pembentukan suatu daerah harus memenuhi syarat
administrative, teknis dan fisik kewilayahan.
Syarat administrative untuk provinsi meliputi
adanya:
1.Persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah
provinsi;
2.Persetujuan DPRD dan gubernur provinsi induk;
3.Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Sementara itu, syarat administrasi untuk
kabupaten/kota meliputi adanya:
1.Persetujuan dari DPRD dan bupati/walikota yang
bersangkutan;
2.Persetujuan DPRD provinsi dan gubernur;
3.Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Persetujuan DPRD dalam hal ini diwujudkan dalam
bentuk Keputusan DPRD, yang diproses berdasarkan
pernyataan aspirasi sebagian besar masyarakat
setempat sedangkan persetujuan gubernur didasarkan
pada hasil kajian tim yang khusus dibentuk oleh
17
pemerintah provinsi bersangkutan. Tim dimaksudkan
mengikutsertakan tenaga ahli sesuai kebutuhan.
Syarat teknis meliputi factor yang menjadi
dasar pembentukan daerah, yang mencakup factor
kemampuan ekonomi, potensi daerah, pertahanan
keamanan dan factor lain yang memungkinkan
terselenggarakannya otonomi daerah. Faktor lain
dalam hal ini antara lain pertimbangan kemampuan
keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang
kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Syarat
fisik meliputi:
1.Paling sedikit lima kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi;
2.Paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan
kabupaten;
3.Paling sendikit empat kecamatan untuk pembentukan
kota;
4.Lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana
pemerintahan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, tujuan
pembentukan suatu daerah otonom pada dasarnya
18
adalah untuk memberdayakan daerah, termasuk
peningkatan kesejahteraan rakyat. Bagi daerah yang
tidak mampu meweujudkan kedua hal tersebut, berarti
daerah yang bersangkuta tidak mampu
menyelenggarakan hak otonominya. Daerah yang tidak
mampu menyelenggarakan hak otonominya dapat dihapus
dan digabungkan dengan daerah lain. Penhapusan dan
penggabungan ini dilakukan setelah melalui evaluasi
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Evaluasi dalam hal ini adalah penelitian dengan
menggunakan system pengukuran kinerja, serta
indicator-indikatornya, yang meliputi masukan
proses, keluaran, dampak. Pengukuran dan indicator
kinerja digunakan untuk membandingkan daerah dengan
daerah lainnya dengan angka rata-rata secara
nasional untuk masing-masing tingkat pemerintahan
atau dengan hasil tahun tahun sebelumnya untuk
masing masing daerah. Disamping itu, dievaluasi
juga aspek lain, yaitu keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, upaya
upaya dan kebijakan yang diambil, ketaatan terhadap
peraturan per-undang undangan dan kebijakan
nasional dan dampak dari kebijakan daerah. Pedoman19
untuk melakukan evaluasi ini diatur dalam peraturan
pemerintah.
B.Kawasan Khusus
Didalam daerah otonomi provinsi, kabupaten atau
kota, dapat dibentuk kawasan khusus. Kawasan khusus
adalah kawasan strategis yang secara nasional
menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut
politik, sosial budaya, lingkungan, dan
pertahanan/keamanan. Dalam kawasan khusus
diselenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu
sesuai kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat
berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan bebas,
kegiatan industry, dan sebagainya. Fungsi
pemerintahan tertentu dalam hal ini antara lain
pertahanan Negara, pendayagunaan wilayah, wilayah
perbatasan, dan pulau-pulau tertentu/terluar,
lembaga pemasyarakatan, pelestarian budaya dan
cagar alam, pelestarian lingkungan hidup, riset dah
teknologi.
Kawasan khusus yang berfungsi untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dibidang
pertahanan/keamanan Negara dapat berbentuk
20
pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru
kendali, dan pangkalan militer. Kawasan khusus lain
dapat berkendali dan pangkalan militer. Kawasan
khusus lain dapat berbentuk pengembangan kawasan
industry strategis, pengembangan prasarana
komunikasi, telekomunikasi, transportasi,
pelabuhan, daerah perdangan bebas, wilayah
exploistasi dan pengembangan sumber daya nasional,
laboratorium sosial, dan lembaga pemasyarakatan
khusus.
Khusus untuk wilayah perdagangan bebas dan/atau
pelabuhan bebas, harus ditetapkan dengan undang
undang, sedangkan untuk bentuk-bentuk lain
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tata cara
penetapan kawasan khusus ini diatur dalam peraturan
pemerintah. Dalam pembentukan khusus, pemerintah
pusat harus mengikut sertakan daerah dimana kawasan
khusus berada. Disamping itu, daerah dapat pula
mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membentuk
suatu kawasan khusus didaerahnya.
21
Bab 3
Pembagian urusan pemerintahan
Dalam penyelenggaraan otonomi luas, utusan
pemerintahan yang diserahkan pada daerah jauh lebih
banyak kita dibandingkan dengan urusan pemerintahan
yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat.
Menurut UU No.32 Tahun 2004, urusan pemerintahan
yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah
pusat adalah:
a.Politik luar negeri;
b.Pertahanan;
22
c.Keamanan;
d.Yustisi;
e.Moneter dan fiscal nasional; dan
f.Agama.
Didalam penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004,
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan urusan
pemerintahan dibidang:
a.Politik luar negeri adalah urusan pengangkatan
pejabat diplomatic dan penunujuk warga Negara
untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional,
menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan
perjanjian dengan Negara lain, menetapkan
kebijakan perdagangan luar negeri, dan
sebagainya;
b.Pertahanan, adalah misalnya mendirikan atau
membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai
dan perang, menyatakan Negara atau sebagian
Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan
mengembakan system pertahanan Negara dan
persenjataan, menetapkan kebijakan kebijakan
untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap
warga Negara dan sebagainya;
23
c.Keamanan, adalah misalnya mendirikan dan
membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan
keamanan nasional, menindak setiap orang yang
melanggar hokum Negara, menindak kelompok atau
organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan
Negara, dan sebagainya;
d.Moneter dan fiscal nasional, adalah misalnya
mencetak uang dan menetukan nilai mata uang
menetapkan kebijakan moneter/fiscal,
mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
e.Yustisi, adalah misalnya mendirikan lembaga
peradilan, mengangkat hakim dan jaksa mendirikan
lembaga permasyarakatan, menetapkan kebijakan
kehakiman dan imigrasian, member grasi, amnesty,
abolisi, membentuk undang-udang, peraturan
pengganti undang undang peraturan pemerintah dan
peraturan lain yang berskala nasional, dan
sebagainya;
f.Agama, adalah misalnya menetapkan hari libur
keagamaan yang berlaku secara nasional, member
hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama,
menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan
kehidupan keagamaan, dan sebagainya.24
Disamping itu, bagian tertentu urusan
pemerintahan lainnya yang berskala nasional yang
tidak diserahkan kepada daerah.
Selain 6 urusan pemerintahan yang telah
diuraikan diatas, sisanya menjadi wewenang
pemerintahan daerah. Dengan demikian, urusan yang
dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak
terbatas. Daerah dapat menyelenggarakan urusan
pemerintahan apa saja selain 6 bidang yang telah
dikemukakan diatas, asal saja daerah mampu
menyelenggarakannya, dan punya potensi untuk
dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi wewenang daerah, pemerintah daerah
menyelenggarakan otonomi seluas luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan
keikutsertaan daerah atau desa, termasuk
masyarakatnya atas pengunggasan atau kuasa dari
pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah untuk
25
melaksanakan urusan pemerintahan dibidang
tertentu. Pemberian tugas pembantuan harus
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia.
Disamping itu, terdapat bagian urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu
urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama
antara pemerintah pusan dan pemerintahan daerah
dengan demikian , pada setiap urusan yang
bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan
yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan ada
bagian urusan yang diserahkan provinsi, dan ada
pula bagian urusan yang diserahkan kepada
kabupate/kota. Untuk mewujudkan urusan yang
concurrent secara proposional antara pemerintah
pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota
disusunlah criteria yang meliputi eksternalistis,
akuntabilitas dan efisiensi, dengan
mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan
urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan
(Penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004).
26
Selanjutnya dijelaskan criteria-kriteria
berikut ini.
a.Kriteria eksternalistis yaitu pendekatan dalam
pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat local, urusan pemerintahan tersebut
menjadi wewenang kabupaten/kota; apabila regional
menjadi wewenang provinsi, dan apabila nasional,
menjadi wewenang pemerintah pusat.
b.Kriteria akuntabilitas yaitu pendekatan dalam
pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan
bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu
bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang
lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari
urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian,
akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan
lebih terjamin.
c.Kriteria efisiensi, yaitu pendekatan dalam
pembagian urusan pemerintahan dengan
27
mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personel, dana dan peralatan) untuk mendapatkan
ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang
harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian
urusan. Artinya, penanganan suatu bagian urusan
dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna apabila oleh daerah provinsi, dan/atau
daerah kabupaten/kota dibandingkan apabila
ditangani oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu,
bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah
provinsi dan/atau kabupaten/kota. Sebaliknya,
apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya
guna dan berhasil guna bila ditangani oleh
pemerintah pusat, bagian urusan tersebut tetap
ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk pembagian
bagian urusan harus disesuaikan dengan
memerhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya
bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya
guna dan hasil guna tersebut didasari dari
besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
dan besar kecilnya risiko yang dihadapi.
d.Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan
bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh28
tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat
saling berhubungan (interkoneksi), saling
tergantung (interindependensi), dan saling
mendukung sebagai satu kesatuan system dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana
diuraikan di atas, ditempuh melalui mekanisme
penyerahan atau pengakuan atas usul daerah terhadap
bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur
dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut,
pemerintah pusat melakukan verifikasi terlebih
dahulu sebelum member pengakuan atas bagian urusan
urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah.
Sementara itu, terjadap bagian urusan yang saat ini
masih menjadi urusan pemerintah pusat, dengan
criteria tersebut dapat diserahkan kepada daerah.
Walaupun berdasarkan otonomi luas yang dimiliki
oleh daerah, daerah dapat menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang apa pun di luar urusan yang
merupakan urusan pemerintah pusat. Namun, dalam
pelaksanaannya harus mendapat pengakuan dari
pemerintah pusat terlebih dahulu. Pengakuan ini
29
diberikan oleh pemerintah pusat terlebih setelah
melakukan verifikasi terhadap bagian urusan yang
diusulkan oleh daerah. Hal ini berbeda dengan
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyerahan
suatu urusan kepada daerah tidak memerlukan
pengakuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat.
Mengigat begitu luasnya otonomi yang dimiliki
oleh suatu daerah dan begitu banyak urusan yang
dapat diselenggarakan oleh daerah dan begitu banyak
urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah
daerah, UU No.32 Tahun 2004 membagi semua urusan
tersebut atas dua kelompok, yaitu urusan wajib dan
urusan pilihan.
Dalam menjalankan urusan pemerintahan, pemerintah
daerah mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah lainnya. Dari hal ini jelas
bagi kita, betapapun luasnya kewenangan yang
dimiliki oleh suatu daerah, dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan tertentu, tetap ada hubungan
dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
lainnya. Hubungan ini meliputi hubungan wewenang,
30
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya lainnya.
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan
sumber daya di wilayah paling jauh 12 mil laut
diukur dari garis pantai kea rah laut lepas
dan/atau kea rah perairan kepulauan. Apabila
wilayah laut antara dua provinsi kurang dari 24 mil
laut, kewenangan menelola sumber daya dibawah laut
dibagi sama jaraknya atau diukur sesuai prinsip
garis tengah dari wilayah antara dua provinsi
tersebut. Sementara itu, untuk kabupaten/kota
memperoleh sepertiga wilayah kewenangan provinsi.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi nelayan kecil
dalam melakukan penangkapan ikan. Mereka dapat
melakukan penangkapan ikan sejauh mereka sanggup
mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut
ini, selanjutnya akan diatur dengan undang-undang.
31
Bab 4
Penyelenggaraan Pemerintahan
A.Penyelenggaraan Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah
pemerintah daerah, dan DPRD. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, serta
dekosentrasi sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
menggunakan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan.
32
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah
daerah berpedoman pada asas umum penyelenggaraan
Negara, yang didalam Hukum Administrasi Negara
dikenal dengan “asas-asas umum pemerintahan yang
layak”. Di negeri belanda, asas asas umum
pemerintahan yang layak ini sudah diterima sebagai
norma hokum yang tidak tertulis, yang harus ditaati
oleh penyelenggara pemerintahan, terutama pejabat
Tata Usaha Negara, dalam membuat keputusan Tata
Usaha Negara. Sebelumnya dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas
asas ini sudah mulai diterima, walaupun secara
formal belum diakui sebagai sesuatu norma hokum
tidak tertulis yang harus ditaati oleh
penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah. Secara yuridis formal, hal semacam ini baru
diakui di Negara kita, dengan diundangkannya UU
No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), ditambah asas efisiensi dan asas
efektivitas, kemudian dalam Pasal 20 UU No. 32
Tahun 2004 ditegaskan bahwa asas-asas tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan33
pemerintahan daerah. Asas dimaksud disebut dengan
“asas umum penyelenggaraan Negara”, yang dirinci
antara lain:
1.Asas kepastian hokum;
2.Asas tertib penyelenggaraan Negara;
3.Asas kepentingan umum;
4.Asas keterbukaan;
5.Asas proporsionalitas;
6.Asas profesionalitas;
7.Asas akuntabilitas;
8.Asas efisiensi; dan
9.Asas efektivitas.
Hal ini sekarang lebih dikenal dengan sebutan “good
governance” (tata pemerintahan yang baik).
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan, terutama dalam penyelenggaraan
otonomi, daerah dibekali dengan hak dan kewajiban
tertentu.
Hak-hak daerah tersebut antara lain:
1.Mengatur dan mengurusi sendiri urusan
pemerintahannya;
34
2.Memilih pemimpin daerah;
3.Mengelola aparatur daerah;
4.Mengelola kekayaan daerah;
5.Memumngut pajak daerah dan retribusi daerah;
6.Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di
daerah;
7.Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang
sah; dan
8.Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam
peraturan perundang undangan.
Di samping hak-hak tersebut diatas, daerah juga
dibebani beberapa kewajiban, yaitu”
1.Melindungi masyarakat, menjaga persatuan,
kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
3.Mengembangkap kehidupan demokrasi;
4.Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
5.Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
6.Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
35
7.Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum
yang layak;
8.Mengembangkan sistemn jaminan sosial;
9.Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
11. Melestarikan lingkungan hidup;
12. Mengelola administrasi kependudukan;
13. Melestarikan nilai sosial budaya;
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-
undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang undangan.
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan
dalam bentuk rencana kerja pemerintah daerah dan
dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan
pembiayaan daerah, yang dikelola dalam system
pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-
asas yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan
keuangan daerah dilakukan secara efisien, efektif,
transparan, bertanggung jawab, terteib, adil, patuh
dan taat pada peraturan perundang-undangan.
B.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
36
Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Kepala daerah dibantu oleh
satu orang wakil kepala daerah. Kepala daerah
provinsi disebut gubernur dan wakil gubernur.
Sementara itu, kepala daerah kabupaten/kota disebut
bupati/walikota dan wakilnya disebut wakil
bupati/wakil walikota.
Di samping kewajiban tersebut di atas, kepala
daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan kepada
pemerintah pusat, dan memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginofrmasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat. Informasi
ini disampaikan melalui media yang tersedia di
daerah dan dapat diakses oleh public sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
pemerintah pusat disampaikan kepada presiden
melalui gubernur untuk bupati/walikota. Laporan
dimaksud disampaikan satu kali dalam satu tahun.
Dengan adanya ketentuan tentang laporan
37
penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, tidak
menutup kemungkinan adanya laporan lain, baik atas
kehendak kepala daerah atau atas pemerintah pusat
sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan sebagai dasar evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan
lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang
undangan. Tata cara pelaksanaan pelaporan dimaksud
di atas diatur dalam peraturan pemerintah. Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
pemerintah pusat dan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD diatur dalam Pasal
27 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004. Khusus mengenai
laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah
kepada DPRD, secara prinsip berbeda dengan
pertanggungjawaban kela daerah kepada DPRD,
sebagaimana diatur dalam Pasal 45, 46 UU No. 22
Tahun 1999. Dalam Pasal 46 UU No.1999 dijelaskan
apabila pertanggungjawaban seorang kepala daerah
kepada DPRD ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat
mengusulkan pemberhentiannya kepada presiden. Hal
ini di masa lalu sering menimbulkan money politic,
disaat seseorang kepala daerah menyampaikan laporan38
pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD. Akan tetapi
dengan diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, hal ini
tidak akan terjadi lagi karena kepala daerah hanya
wajib memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, bukan laporan
pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45, 46 UU No.22 Tahun 1999.
Disamping kewajiban yang diberikan kepada kepala
daerah dan wakil kepala daerah, menurut ketentuan
pasal 28 UU No. 32 Tahun 2004, kepala daerah dan
wakil kepala daerah dikenakan beberapa larangan,
yaitu:
1.Membuat keputusan yang secara khusus,
memberikan keuntungan bagi dirim anggota
keluarga, kroni, golongan tertentu, atau
kelompok politiknya yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, merugikan
kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok
masyarakat, atau mendiskriminasikan warga
Negara dan/atau golongan masyarakat luas;
39
2.Turut serta suatu perusahaan, baik milik
swasta, maupun milik Negara/daerah, atau dalam
yayasan bidang apapun;
3.Melaksanakan pekerjaan lain yang memberikan
keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan
daerah yang bersangkutan;
4.Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan
menerima uang, barangdan/atau jasa dari pihak
lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan
yang akan dilakukan;
5.Menjadi advokat atau kuasa hokum dalam suatu
perkara di pengadilan, selain mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan;
6.Menyalahgunakan wewenang dan melanggar
sumpah/janji jabatan; dan
7.Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara
lainnya, atau sebagai anggota DPRD.
Larangan ini sebenarnya agak sedikit berlebihan
lebihan karena beberapa larangan yang dicantumkan
dalam pasal ini sebenarnya telah merupakan
larangan secara umum, bahkan telah merupakan
40
suatu tindak pidana, seperti korupsi dan lain
lain. Namu demikian, pasal ini pada dasarnya
bertujuan untuk mewujudkan suatu pemerintahan
yang bersih dengan mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan dan
tindak pidana korupsi. Masalahnya hanya sejauh
mana pasal ini dapat dilaksanakan secara efektif
di lapangan. Jal ini sangat membutuhkan adanya
kemauan politif dari aparatur pemerintahan dan
kesadaran masing masing individu, baik sebagai
aparatur pemerintahan maupun sebagai warga
masyarakat.
C.Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah
Dalam system presidentil, presiden sebagai
kepala Negara/kepala pemerintahan, pada dasarnya
tidak dapat diberhentikan sebelum berakhir masa
jabatannya, terkecuali dengan alasan-alasan
tertentu. Hal ini juga berlaku bagi kepala daerah
pada dasarnya tidak dapat diberhentikan sebelum
berakhir masa jabatannya, terkecuali sebagaimana
41
diatur dalam pasal 29 UU No.32 Tahun 2004, yaitu
apabila:
1.Meninggal dunia;
2.Permintaan sendiri; atau
3.Diberhentikan;
Pemberhentian, sebagaimana dimaksud pada huruf
© diatas dapat dilakukan karena:
1.Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik
pejabat baru;
2.Tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turutselama enam bulan;
3.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala
daerah/wakil kepala daerah;
4.Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan
kepala daerah dapat wakil kepala daerah;
5.Melanggar larangan bagi kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah.
Dalam ketentuan pasal 29 di atas jelas bagi
kita bahwa seorang kepala daerah tidak bisa
lagi diberhentikan karena laporan
42
Pertanggungjawaban (LPJ) ditolah untuk kedua
kalinya oleh DPRD, sebagaimana berlaku pada era
UU No.22 Tahun 1999 yang lalu. Di masa
berlakunya UU No.22 Tahun 1999, seorang kepala
daerah dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh
DPRD kepada presiden, karena laporan
pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah yang
bersangkutan ditolah untuk kedua kalinya oleh
DPRD. Putusan mengenai pemberhentian dimaksud
biasanya diambil melalui voting, layaknya
seperti yang berlaku pada system parlementer.
Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah karena meninggal dunia,
mengundukan diri, berakhir masa jabatannya dan
tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut turut selama enam bulan, dan
diberitahukan kepada pimpinan DPRD untuk
diputuskan dalam rapat paripurna. Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan tidak melaksanakan
tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap adalah menderita sakit, yang
43
mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak
berfungsi secara normal, yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau
tidak diketahui keberadaannya. Pemberhentian
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
karena mengundurkan diri (permintaan sendiri),
tidak menghapus tanggung jawab yang
bersangkutan selama memegang jabatan.
Mengenai pemberhentian kepala daerah dan
wakil kepala daerah karena dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban
kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan
melanggar larangan bagi kepala daerah dan/ atau
wakil kepala daerah, dilaksanakan dengan
ketentuan.
Dengan adanya ketentuan sebagaimana
dikemukakan di atas, seseorang kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah tidak dapat lagi
diberhentikan secara wewenang wewenang oleh
DPRD melalui voting, tanpa adanya suatu proses
hokum, untuk membuktikan kesalahan dari kepala
44
daerah dan /atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan. Ketentuan ini mirip dengan proses
impeachment sebagaimana yang berlaku di Amerika
Serikat.
DPRD menggunakan hak angketnya untuk
menanggapi kasus tersebut. Hak angket baru bisa
dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Rapat
Paripurna DPRD dihadiri oleh sekurang kurangnya
¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPRD yang hadir. Apabila dalam
penyeledikan ditemukan bukti DPRD yang hadir.
Apabila dalam penyelidikan ditemukan bukti yang
menyatakan kepala daerah telah melakukan tindak
pidana sebagaimana dituduhkan, DPRD mengusulkan
proses penyelesaiannya kepada aparah penegak
hokum sesuai peraturan peundang undangan yang
berlaku. Apabila proses hokum telat berjalan,
dan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
dinyatakan bersalah karena melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana penjara paling
singkat lima tahun atau lebih berdasarkan
45
putusan pengadilan yang belum memperoleh
kekuatan hokum tetap, DPRD mengusulkan
pemberhentian sementara kepada presiden dengan
Keputusan DPRD. Berdasarkan Keputusan DPRD
tersebut, presiden menetapkan pemberhentian
sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya apabila putusan pengadilan
tersebut telah memperoleh kekuatan hokum tetap,
pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian hokum
tetap, pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian
berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD,
yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah
anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan
DPRD tersebut, presiden memberhentikan kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan. Undang undang baru ini memberikan
perlindungan kepada kepala daerah dan wakil
kepala daerah dari tindakan sewenang wenang
DPRD dengan mengatur secara jelas prosedur
46
hokum yang harus ditempuh untuk dapat
memberhentikan kepala daerah dan/atau kepala
daerah.
Seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang diberhentikan sementara, setelah
itu melalui proses pengadilan, ternyata
terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum
tetap, paling lambat dalam waktu tiga puluh
hari, presiden telah merehabilitasikan dan
mengaktifkan kembali kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang bersangkutan sampai akhir
masa jabatannya. Apabila kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang bersangkutan telah
berakhir masa jabatannya, presiden tidak perlu
mengaktifkannya lagim cukup merehabilitasi
saja. Tata cara pemberhentian sementara ini
lebih lanjut akan diatur dengan peraturan
pemerintah.
D.Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
Berdasarkan asas kesatuan administrasi dan
kesatuan wilayah, gubernur di samping sebagai
47
kepala daerah, karena jabatannya, berkedudukan
juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah
provinsi yang bersangkutan. Betapapu luasnya
otonomi yang dimiliki oleh kabupaten/kkota,
berdasarkan kedua asas tersebut di atas dan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat di wilayah provinsi yang bersangkutaan,
gubernur berwenang melakukan koordinasi,
supervise dan evaluasi terhadap daerah
kabupaten/kota yang ada dalam wilayah provinsi
yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di
atas, gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil
pemerintah pusat di wilayahnya memiliki tugas
dan wewenang:
1.Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota;
2.Koodinasi penyelenggaraan urusan pemerintah
pusat di daerah provinsi dan kabupaten/kota;
3.Koodinasi pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah
provinsi dan kabupaten/kota.
48
Dana yang di perlukan dalam pelaksaan tugas
dan wewenang tersebut diatas dibebankan pada
APBN dan dalam pelaksanaan tugas, dan atas
wewenang tersebut, gubernur bertanggung jawab
kepada presiden. Kedudukan keuangan dan tata
cara pelaksaan tugas dan wewenang tersebut
diatur dalam peraturan pemerintah.
E.Perangkat Daerah
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (2)
UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah terdiri
dari kepala daerah dan perangkat daerah.
Perangkat daerah provinsi terdiri atas
secretariat daerah, secretariat DPRD, dinas
daerah dan lembaga teknis daerah. Sementara
itu, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri
atas secretariat daerah, secretariat DPRD,
dinas daerah dan lembaga teknis daerah,
kecamatan dan kelurahan.
Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretarias
daerah yang mempunyai tugas dan kewajiban
membantu kepala daerah, dalam menyusun
kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan
49
lembaga teknis daerah. Dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung
jawab kepada kepala daerah. Apabila sekretaris
daerah berhalangan dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, tugasnya dilaksanakan oleh
penjabat yang ditunjuk oleh kepala daerah.
50
Bab 5
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
A.Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat
Salah satu tujuan reformasi adalah untuk
mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu
Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa
dicapai dengan mengembalik kedaulatan ke tangan
rakyat. Selama ini, baik di masa orde baru
maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuhnya
berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan
di tangan lembaga legislative. Bahkan di era
reformasi ini, kedaulatan seolah-olah berada di
tangan partai politik. Partai politik, melalui
fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat
melakukan apa pun, yang berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan Negara, bahkan dapat
memberhentikan presiden sebelum berakhir masa
jabatannya, seperti layaknya pada Negara dengan
system presidentil. Di daerah daerah, DPRD
melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan
kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.
51
B.Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
Daerah, sebagai bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, seharusnya
sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Di
samping alas an tersebut di atas, ada
beberapa alas an lain, yang mengharuskan kita
melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung.
C.Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Secara Langsung
1.Penyelenggara
Dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Tahun
1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
perubahan yang paling siginifikan yang
terdapat dalam undang-undang baru, adalah
52
mengenai pemilihan kepala daerah secara
langsung.
2.Panitia Pengawas (Panwas)
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, pengawasan
dilakukan panitia pengawas (panwas) yang
dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD.
3.Pemantau
Pemantauan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah, dapat dilakukan oleh
pemantau pemilihan yang berasal dari LSM dan
badan hokum dalam negeri. Pemantau untuk
dapat melakukan pemantauan, harus memenuhi
syarat antara lain:
a)Bersifat independen;
b)Mempunyai sumber dana yang jelas.
Berdasarkan hasil penelitian, KPUD
menetapkan pasangan calon minimal dua
pasangan calon yang dituangkan dalam
berita acara penetapan pasangan calon.
Sayangnya, dalam undang undang ini tidak
53
diatur bagaimana jalan keluarnya apabila
pasangan calon yang memenuhi syarat
berdasarkan hasil penelitian KPUD hanya
satu pasangan. Kita berharap jalan keluar
untuk mengatasi masalah ini akan kita
temukan dalam peraturan pemerintah sebagai
peraturan pelaksana dari UU No. 32 Tahun
2004.
Dalam kegiatan kampanye, pasangan calon wajib
menyampaikan visi, misi dan program secara lisan,
maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian
materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan,
tertib, dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan
bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah berhak mendapatkan informasi atau
data dari pemerintah daerah, seusatu ketentuan
perundang undangan.
Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh
wilayah provinsi; untuk pemilihan dan gubernur
wakil gubernur di seluruh wilayah kabupaten/kota,
54
untuk pemilihan bupati/walikota dan wakil
bupati/wakil walikota.
Dalam rangka mewujudkan rasa keadila dan
pemberian perlakuan yang sama kepada pasangan
calon, media cetak dan media elektronik memberi
kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk
menyampaikan tema dan materi kampanye, memasang
iklan, dalam rangka kampanye. Di samping itu
pemerintah daerah harus memberikan kesempatan yang
sama kepada pasangan calon, untuk menggunakan
fasilitas umum.
Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai
negeri sipil, TNI dan Polri, sebagai peserta
kampanye dan juru bicara kampanye dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selama masa
kampanye semua pejabat Negara, dan kepala desa,
dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan
calon.
Kampanye yang mempersoalkan dasar Negara
Pancasila, dan pembukaan UUD Negara Republik
55
Indonesia tahun 1945, menghina seseorang, agama,
ras, golongan, calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah, menghasut atau mengadu domca partai
politik, perseorangan, dan/atau kelompok
masyarakat, menggunakan kekerasan, ancaman
kekerasan, atau menganjurkan menggunakan kekerasan
kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau
mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sah,
merupakan tidak pidana, dan akan dikenakan sanksi
jika dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Berbeda dengan pemilu legislative dan pemilu
presiden dan wakil presiden, kewenangan memutus dan
memeriksa sengketa hasil perhitungan suara, ada
pada mahkamah konstitusi. Sebaiknya, untuk
memeriksa dan memutus sengketa hasil perhitungan
suara pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, juga diserahkan pada Mahkamah Konstitusi.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 24c ayat
(1) UUD 1945, yang antara lain menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang memnutus perselisihan
tentang hasil pemilhan umum. Sementara itu,
56
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
pada dasarnya merupakan pemilihan umum, hanya saja
pemilihan umum yang bersifat local. Di samping itu,
ada beberapa alas an praktis yaitu:
1)Mahkamah Konstitusi sudah cukup berpengalaman,
memeriksa dan memutus sengketa hasil penghitungan
suara pada Pemilu 2004.
2)Beban tugas dan pekerjaan Mahkamah Konstitusi
tidak seberat Mahkamah Agung. Seperti kita
ketauji Mahkamah Agung, sebagai puncak berbagai
macam peradilan yang ada dalam system peradilan
kita, sudah dibebani oleh tumpukan berbagai
perkara.
Apabila calon wakil kepala daerah terpilih
berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih
tetap dilantik sebagai kepala daerah terpilih tetap
dilantik sebagai kepala daerah. Selanjutnya kepala
daerah yang baru dilantik mengusulkan dua orang
calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk
dipilih. Sebaliknya, apabila calon kepala daerah
terpilih yang berhalangan tetap, calon wakil kepala
daerah terpolih, dilantik menjadi kepala daerah.
57
Selanjutnya kepala daerah yang baru dilantik
mengusulkan dua orang calon wakil kepala daerah
kepada DPRD untuk dipilih.
Jika pasangan calon terpilih yang berhalangan
tetap, partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calonnya memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dibawah pasangan calon terpilih,
mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk
dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala
daerah selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh
hari. Demikian juga halnya dalam pemilihan wakil
kepala daerah sebagai pengganti wakil kepala daerah
yang berhalangan tetap harus dilakukan selambat
lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
Dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun
2004, anggota tentara nasional Indonesia (TNI) dan
anggota kepolisian Negara republic Indonesia tidak
menggunakan hak memilihnya sepanjang belum diatur
dalam undang undang.
58
Bab 6
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
A.Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya
disingkat DPRD, merupakan lembaga perwakilan rakyat
daerah dan merupakan salah satu unsure
penyelenggara pemerintahan daerah di samping
59
pemerintah daerah, DPRD memiliki tiga fungsi utama,
yaitu:
1.Fungsi legislasi, yaitu membentuk peraturan
daerah;
2.Fungsi anggaran, yaitu menetapkan anggaran;
3.Gunsi pengawasan, yaitu melakukan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan
peraturan perundang undangan
Berdasarkan ketiga fungsi tersebut di atas, DPRD
mempunyai tugas dan wewenang yaitu:
1.Membentuk perda, yang dibahas dengan kepala
daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
2.Membahas dan menyetujui rancangan perda tentang
APBD bersama dengan kepala daerah;
3.Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
perda dan perundang undangan lainnya, peraturan
kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah
dalam melaksanakan program pembangunan daerah,
dan kerja sama internasional di daerah;
4.Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah/wakil kepala daerah kepada presiden
60
melalui Menteri Dalam Negeri melalui gubernur
bagi DPRD kabupaten/kota;
5.Memilih wakil kepala daerah apabila hal terjadi
kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
6.Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah;
7.Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah
daerah;
8.Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah;
9.Membentuk pantia pengawas pemilihan kepala
daerah;
10. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPID
dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
11. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang
membebeani masyarakat dan daerah.
61
Disamping tugas dan wewenang tersebut di atas, DPRD
juga melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
diatur dalam peraturan perundang undangan.
Dari tugas dan wewenang sebagaimana dikemukakan di
atas ada perubahan yang cukup signifikan untuk
mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara
kepala daerah dan DPRD, yaitu sebagai berikut.
a)Tidak ada lagi tugas dan wewenang DPRD untuk
memilih kepala daerah, sebagaimana diatur dalam
UU No.22 Tahun 1999. Menurut UU No.32 Tahun 2004,
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
langsung oleh Rakyat.
b)Tidak ada lagi tugas dan wewenang DPRD untuk
meminta pertanggungjawaban kepala daerah,
sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1999.
Menurut UU No.32 Tahun 2004, DPRD hanya berwenang
meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
dari kepala daerah.
Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa DPRD tidak
dapat lagi menjatuhkan seorang kepala daerah
sebelum berakhir masa jabatannya, terkecuali
62
apabila seorang kepala daerah dinyarakan bersalah
secara hokum dan atau diberhentikan karena alasan-
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU No.32
Tahun 2004.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya DPRD
diberikan hak, yaitu:
1.Hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta
keterangan kepada kepala daerah, mengenai
kebijakan pemerintah daerah yang penting dan
strategis, yang berdampak luas pada kehidupan
masyarakat, daerah dan Negara;
2.Hak angket, yaitu pelaksanaan fungsi pengawasan
dari DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap
suatu kebijakan tertentu kepala daerah, yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan masyarakat, daerah dan Negara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang
undangan.
3.Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPRD untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala
daerah atau mengenai kejadian luar biasa, yang
terjadi di daerah, disertai dengan rekomendasi
63
penyelesaiannya atau sebagai tidak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
B.Alat Kelengkapan DPRD
Untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya,
DPRD dilengkapi dengan beberapa alat kelengkapan
yang terdiri dari:
1.Pimpinan;
2.Komisi;
3.Panitia musyawarah;
4.Panitia anggaran;
5.Badan kehormatan;
6.Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat
kelengkapan DPRD tersebut diatur dalam peraturan
tata tertib DPRD. Penyusunan tata tertib DPRD
ini, dilakukan dengan berpedoman pada peraturan
perundang undangan.
Khusus mengenai badan kehormatan, dibentuk dan
ditetapkan oleh DPRD dengan keputusan DPRD, yang
anggotanya terdiri dari:
64
a.Untuk DPRD kabupaten/kota, yang beranggotakan
sampai dengan 34 orang, anggota badan
kehormatan berjumlah 3 orang, sedangkan untuk
DPRD yang beranggotakan 35 orang sampai 45
orang, anggota badan kehormatan berjumlah 5
orang.
b.Untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai
dengan 74 orang, anggota badan kehormatan
berjumlah 5 orang, sedangkat untuk DPRD yang
beranggotakan 75 orang sampai 100 orang,
anggota badan kehormatan berjumlah 7 orang.
Anggota badan kehormatan dipilih dari dan oleh
anggota DPRD pimpinan badan kehormatan terdiri
dari seorang ketua dan seseorang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota badan kehormatan
sendiri. Badan kehormatan dalam menjalankan tugas
dan wewenang dibantu oleh secretariat, yang
secara fungsional dilaksanakan oleh sekretarias
DPRD.
Tugas badan kehormatan adalah:
65
1.Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan
moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga
martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik
DPRD;
2.Meneliti dugaan pelanggaran yang dilaksanakan
anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan
kode etik DPRD serta sumpah/janji;
3.Melakukan penyelidikan, verifikasi dan
klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD,
masyarakatdan/atau pemerintah;
4.Menyampaikan kesimpulan atas hasil
penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada poin (3) sebagai
rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh DPRD.
C.Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD
Ada beberapa larangan yang dikenakan terhadap
anggota DPRD, yaitu:
1.Merangkap jabatan sebagai:
a.Pejabat Negara lainnya;
b.Hakim pada badan peradilan;
c.Pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri,
pegawai pada BUMN, BUMD, dan/atau badan lain,
yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD;66
2.Melakukan pekerjaan sebagai pejabat structural
pada lembaga pendidikan swasta, akuntan public,
advokat/pengacara, notaries dokter praktif, dan
pekerjaan lain, yang ada hubungannya dengan
tugasm wewenang, dan hal sebagai anggota DPRD;
3.Melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Anggota DPRD yang melakukan pekerjaan,
sebagaimana dimaksud pada poin(2) diatas, wajib
melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi
anggota DPRD. Bagi anggota DPRD yang tidak
memenuhi kewajiban, untuk melepaskan pekerjaan
tersebut di atas, diberhentikan oleh pimpinan
DPRD berdasarkan hasil pemeriksaan badan
kehormatan DPRD. Pelaksanaan ketentuan mengenai
larangan tersebut diatas diatur dalam peraturan
tata tertib DPRD, yang disusun dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
Anggota DPRD diberhentikan antar waktu sebagai
anggota dilakukan karena:
1.Meninggal dunia;
67
2.Mengundurkan diri atas permintaan sendiri
secara tertulis; dan
3.Diusulkan oleh partai politik yang
bersangkutan.
Disamping itu, anggota DPRD dapat diberhentikan
antar waktu karena:
1.Tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama enam bulan;
2.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota
DPRD;
3.Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan,
dan/atau melanggar kode etik anggota DPRD.
4.Tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD;
5.Melanggar larangan bagi anggota DPRD;
6.Dinyatakan bersalah, berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum
tetap karena melanggar tindak pidana dengan
ancaman pidana 5 tahun penjara atau lebih.
Pemberhentian anggota DPRD dengan alasan
tersebut diatas disampaikan oleh pimpinan DPRD
68
kepada menteri dalam Negeri melalui gubernur bagi
anggota DPRD kabupaten/kota, untuk diresmikan
pemberhentiannya. Pelaksanaan ketentuan
pemberhentian antarwaktu tersebut di atas diatur
dalam peraturan tata tertib DPRD dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
anggota DPRD tidak dapat dituntut dihadapan
pengadilan karena pernyataannya, pertanyaan
dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan
ataupun tertulis dalam rapat DPRD sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan tata tertib dank
ode etik DPRD. Ketentuan ini tidak berlaku
apabila anggota DPRD yang bersangkutan
mengumumkan materi yang telah disepakati dalam
rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal
yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman
rahasi Negara dalam peraturan perundang undangan.
Sehubungan dengan hal ini, anggota DPRD tidak
dapat diganti antarwaktu karena pernytaan,
pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan
69
dalam rapat DPRD.
D.Penggantian Antarwaktu (PAW)
Anggota DPRD yang berhenti atau diberhentikan
antarwaktu digantikan oleh calon pengganti dengan
ketentuan sebagai berkut.
1.Calon pengganti dari anggota DPRD yang terpilih
sebagai memenuhi angka BPP atau memperoleh
suara lebih dari setengah angka BPP adalah
calon yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dalam daftar peringkat perolehan
suara pada daerah pemilihan yang sama.
2.Calon pengganti dari anggota DPRD yang terpilih
tidak berdasarkan angka BPP atau memperoleh
suara lebih dari setengaj angka BPP adalah
calon yang ditetapkan berdasarkan nomor urut
berikutnya dari daftar calon di daerah
pemilihan yang sama.
3.Calon pengganti, sebagaimana dimaksud pada poin
1 dan 2 diatas, mengundurkan diri atau
meninggal dunia, diajukan calon pengganti, pada
urutan berikutnya dalam daftar calon.
70
Seandainya apabila tidak ada lagi calon dalam
daftar calon anggota DPRD pada daerah pemilihan
yang sama, pengurus partai politik yang
bersangkutan dapat mengajukan calon baru sebagai
pengganti dengan ketentuan sebagai berikut.
a.Calon pengganti diambil dari daftar calon
anggota DPRD dari daerah pemilihan yang
terdekat dalam kabupaten/kota yang bersangkutan
atau daftar calon anggota DPRD kabupaten.kota
dari kecamatan yang terdekat untuk pengganti.
b.Calon pengganti tersebut pada huruf a,
dikeluarkan dari daftar calon anggota DPRD dari
daerah pemilihannya.
Selanjutnya apabila tidak ada lagi calon dalam
daftar calon anggota DPRD dari daerah pemilihan
di kabupaten/kota yang sama, atau di kecamatan
yang sama, untuk calon anggota DPRD
kabupaten/kota, pengurus partai politik yang
bersangkutan dapat mengajukan calon baru, yang
diambil dari daftar calon anggota DPRD dari
kabupaten/kota terdekat atau kecamatan terdekat
untuk calon pengganti anggota DPRD kabupaten/kota
71
yang bersangkutan. Anggota DPRD pengganti
antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan yang
digantikannya.
Untuk dilakukan verifikasi, pimpinan DPRD
menyampaikan kepada KPU provinsi atau
kabupaten/kota yang bersangkutan nama anggota
DPRD yang diberhentikan dan nama calon pengganti
antarwaktu yang diusulkan oleh pengurus partai
politik yang bersangkutan.
Bab 7
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD)
A.Pemilihan Anggota DPRD
1.Asas dan system
72
Pemilihan anggota DPRD merupakan satu rangkaian
dengan pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat
(DPR) dan dewan perwakilan daerah (DPD) yang diatur
dalam UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dewan perwakilan
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. Menurut
undang undang ini, pemilu kita menganut asas
langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil.
Kemudian oleh KPU ditambahkan dua asas lagi, yaitu
transparan dan bertanggung jawab. Penerapan asas
ini bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang lebih
dekokratis dan berkualitas. Pemilu yang lebih
demokratis dilaksanakan dengan system pemilu secara
langsung, dimana pemilih dapat memilih secara
langsung, calon-calon yang akan mewakili mereka di
dewa nantinya. Hanya saja dalam menerapkan system
ini, pembuat undang-undang belum sepenuh hati
menerimanya sehingga undang-undang ini melahirkan
suatu system yang bersifat kompromi, yang kemudian
dikenal dengan “system proporsional dengan daftar
calon terbuka” padahal sebenarnya yang diinginkan
oleh masyarakat adalah pemilihan langsung dengan
system distrik seperti yang berlaku dalam pemilihan73
anggota DPRD. System proporsional dengan daftar
calon terbuka ini pada dasarnya tetap merupakan
system proporsional, hanya saja diberikan sedikit
peluang kepada pemilih untuk memilih, calonnya
secara langsung.
Ternyata system ini melalui pasal 107 UU No. 12
Tahun 2003, menimbulkan banyak masalah dalam
praktiknya dilapangan menurut ketentuan pasal 107
ayat (2), nama calon yang mencapai angka BPP,
ditetapkan sebagai calon terpilih. Pengertian angka
BPP disini adalah jumlah suara sah dalam satu
daerah pemilihan dibagi dengan jumlah kursi yang
tersedia di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Angka BPP ini ternyata relative sangat besar
sehinga sulit bagi calon-calon yang tidak mencapai
angka BPP. Penetapan sebagai calon terpilih
ditentukan berdasarkan nomor urut. Di sinilah
pangkal masalahnya, yaitu tidak konsistennya
pembuat undang-undang di dalam menerapkan system
pemilu langsung. Apabila tidak ada calon mencapai
angka BPP, penentuan calon terpilih kembali ke
nomor urut. Padahal seharusnya, bedasarkan suara
terbanyak. Dari hal ini jelas bagi kita bahwa74
partai-partai politik yang duduk di DPR, yang ikut
merumuskan Pasal 107 ini, belum sepenuhnya ikhlas
menerima system pemilu langsung secara murni.
Mereka masih tetap menginginkan perana partai
politik dlaam menentukan calon-calon yang akan
duduk di dewan, dengan tetap mempertahankan
penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut.
Apabila kita betul-betul menginginkan adalnya
pemilu yang lebih demokratis dan berkualitas,
dimana anggota dewa betul-betul merasakan dirinya
sebagai wakil rakyat, penetuan calon terpilih
berdasarkan nomor urut ini harus ditinggalkan dan
diganti dengan suara terbanyak.
B.Pencalonan Anggota DPRD
Calon anggota DPRD diusulkan oleh partai politik
yang dinyatakan sebagai peserta pemilu setelah
melaui verifikasi yang dilakukan oleh KPU
berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002. Seorang calon
anggota DPRD, hanya dapat dicalonkan dalam satu
lembaga perwakilan pada satu daerah pemilihan.
Untuk dapat dicalonkan sebagai anggota DPR,
seseorang harus:
75
1.Terdaftar sebagai anggota partai politik peserta
pemilu yang dibuktikan dengan kartu tanda
anggota.
2.Memenuhi syarat:
a.Warga Negara Republik Indonesia yang berumur 21
tahun atau lebih;
b.Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.Berdomisili di wilayah Negara kesatua republic
Indonesia.
d.Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam
bahasa Indonesia;
e.Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau
sederajat;
f.Setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cinta Proklamasi 17
Agustus 1945;
g.Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya,
atau bukan orang terlibat langsung G30S/PKI,
atau organisasi terlarang lainnya; (syarat ini
suda dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah
Konstitusi)76
h.Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hokum tetap;
i.Tidak sedang menjalani pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hokum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih;
j.Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan dari dokter yang
berkompeten; dan
k.Terdaftar sebagai pemilih.
Calon anggota DPRD yang diajukan oleh partai
politik peserta pemilu merupakan hasil seleksi
secara demokrasiti dan terbukan, sesuai dengan
mekasnisme internal partai politik yang
bersangkutan.
Partai-partai politik peserta pemilu yang
mengajukan calon anggota DPRD, menyampaikan
kepada KPUD yang bersangkutan dan wajib
menyerahkan:
77
1.Surat pencalonan yang ditandatangani oleh
pimpinan partai politik, sesuai dengan
tingkatnya;
2.Surat pernyataan kesediaan menjadi calon
anggota DPRD;
3.Daftar riwayat hidup setiap calon;
4.Surat pernyataan bertempat tinggal yang
didatangani oleh calon yang bersangkutan;
5.Foto kopi tanda bukti penyerahan daftar
kekayaan yang dimiliki setiap calon dari
instansi yang berwenang;
6.Surat-surat keterangan sesuai dengan
persyaratan.
C.Pemungutan Suara
Pemungutan suara pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD
diselenggarakan serentakm yaitu pada hari libur
atau hari yang diliburkan. Pemberian suara
dilakukan dengan mecoblos salah satu tanda gambar
partai politik peserta pemilu dan mecoblos salah
satu tanda gambar partai politik peserta pemilu dan
mecoblos satu calon dibwah tanda gambar partai
politik peserta pemilu dalam surat suara. Surat
suara dimaksud memuat nomor, dan tanda gambar78
partai politik peserta pemilu dan calon untuk satu
daerah pemiluhan. Untuk pemilu anggota DPRD
provinsi atau DPRD kabupaten/kota, masing-masing
ditetapkan daerah pemilhan sebagai berikut:
1.Daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah
kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.
2.Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota
adalah kecamatan atau gabungan kecamatan.
D.Penetapan Calon Terpilih
KPU menetapkan hasil pemilu DPR, DPD dan DPRD
secara nasional dan diumumkan selambat lambatnya
tiga puluh hari setelah pemungutan suara. Penentuan
jumlah kursi anggota DPRD dari setiap partai
politik peserta pemilu didasarkan atas seluruuh
hasil penghitungan suara sah yang diperoleh di
suatu daerah pemilihan. Dari hasil penghitungan
suara sah yang diperoleh partai politik peserta
pemilu di suatu daerah pemilihan, ditetapkan angka
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dengan cara membagi
jumlah suara sah seluru partai politik peserta
pemilu, dengan jumlah kursi anggota DPRD yang
bersangkutan.
E.Keanggotaan DPRD79
Susunan dan kedudukan DPRD diatur dalam UU No.22
Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPRD,
DPD dan DPRD. DPRD teridiri dari atas anggota
partai politik peserta pemilu yang dipilih
berdasarkan hasil pemilihan umum. Anggota DPRD
provinsi berjumlah sekurang-kurangnya 35 orang dan
sebanyak-banyak 100 (seratus) orang. Sementara itu,
anggota DPRD kabupaten/kota sekurang-kurangnya 35
orang dan sebanyak-banyaknya 40 orang. Keanggotaan
DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri
Dalam Negeri atas nama presiden dan anggota DPRD
kabupaten/kota, dengan keputusan gubernur atas nama
Menteri Dalam negeri. Anggota DPRD berdomisili di
masing masing ibu kota provinsi atau
kabupaten/kota. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5
tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD
yang baru mengucapkan sumpah/janji.
F.Pimpinan DPRD
DPRD dipimpim oleh seorang ketua dan sebanyaknya
tiga orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh
anggota DPRD dalam siding paripurna DPRD. Sebelum
Pimpinan DPRD secara definisif ditetapkan, DPRD
dipimpin oleh Pimpinan Sementara, yang terdiri dari80
satu orang ketua, dan seorang wakil ketua yang
berasal dari dua partai politik peserta pemilu yang
memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua. Dalam
hal ini terdapat lebih dari satu partai politik
peserta pemilu yang memperoleh kursi terbanyak
sama, ketua dan wakil sementara ditentukan secara
musyawarah oleh wakil partai politik yang
bersangkutan. Pimpinan DPRD secara definitive
sebelum memangku jabatannya, juga mengucapkan
sumpah/janji dengan dipandu oleh ketua pengadilan
tinggi setempat, dengan bunyi yang sama dengan
sumpah/janji anggota DPRD.
Bab 8
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
A.Peraturan Daerah (Perda)
Kewenangan membuat peraturan daerah (perda),
merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang
81
dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya,
peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam
penyelenggaraang otnomi daerah.
Perda di tetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD, untuk
penyelenggaraan otonomi yang dimiliki oleh
provinsi/kabupaten/kota, serta tugas pembantuan.
Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dengan memperhatikan cirri khas masing-
masing daerah. Perda yang dibuat oleh satu daerah,
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang undangan yang lebih
tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat
setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran
daerah.
B.Peraturan Kepala Daerah
Peraturan kepala daerah, yang di dalam UU No.22
Tahun 1999 disebut keputusan kepala daerahm pada
dasarnya sama. Penyebutan peraturan kepala daerah,
dasarnya sama. Penyebutan peraturan kepala daerah
bertujuan untuk memperjelas bahwa kepuptusan kepala
daerah yang dimaksud, berisi ketentuan peraturan82
(keputusan yang bersifat in abstracto). Hal ini
untuk mencegah timbulnya kerancuan dengan keputusan
kepala daerah yang bersifat inkoncrito (keputusan
berkenan objek tertentu atau tidak bersifat
mengatur secara umum).
Untuk melaksanakan suatu perda, kepala daerah
berdasarkan kuasa undang-undang, menetapkan
peraturan kepala daerah. Sama halnya dengan perda,
peraturan kepala daerah juga tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan kepala daerah baru mempunyai kekuatan
mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam
berita daerah oleh sekretaris daerah. Agar perda
dan peraturan kepala daerah bisa berfungsi secara
efektif, harus dilakukan hal di antaranya:
1.Mensosialisasi perda dan peraturan kepala daerah
dengan menyebarluaskan ke tengah-tengah
masyarakat, terutama stake holders yang
bersangkutan;
2.Melakukan upaya penegakan hokum khusus perda.
Untuk itu, dibentuk satuan polisi pamong praja.
Di samping tugasnya menyelenggarakan ketertiban83
umum dan ketentraman masyarakat menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,
polisi pamong praja juga bertugas melakukan
uapaya penegakan hokum, khusus perda. Pembentukan
polisi pamong praja ini berpedoman pada peraturan
pemerintah.
Anggota satuan polisi pamong praja juga dapat
diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil
sesuai ketentuan perundang-undangan. Penyidikan
dan penuntutan terhadap pelanggaran perda
dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntuk umum
sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu
penyidik dari polri dan penuntut dari kejaksaan.
Disamping itu, melalui perda dapat juga di tunjuk
pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan
yang termuat dalam perda.
84
Sesuai dengan asas kesatuan administrasi,
pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen
pegawai negeri sipil daerah, dalam satu kesatuan
penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara
nasional. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pegawai
negeri sipil daerah, adalah pegawai negeri sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan
UU No.8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian.
Manajemen pegawai negeri sipil daerah dimaksud meliputi
penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pension, kesejahteraan, hak
dan kewajiban, kedudukan hokum, pengembangan
kompetensi, dan pengendalian jumlah.
Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan
dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi
ditetapkan oleh gubernur. Sementara itu, pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan
eselon II pada pemerintahan daerah kabupaten/kota
ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi
dengan gubernur.
Perpindahan pegawai negeri sipil
antarkabupaten/kota dalam satu provinsi, ditetapkan
86
oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala
badan kepegawaian Negara. Badan kepegawaian Negara
(BKN) yang dimaksud dalam hal ini adalah badan
kepegawaian Negara dan dalam hal tertentu dapat
dilakukan oleh kantor regional badan kepegawaian
Negara, sedangkan perpindahan pegawai negeri sipil
antar kabupaten/kota dan antar provinsi ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri, setelah memperoleh pertimbangan
kepala badan kepegawaian Negara. Selanjutnya, kota ke
departemen/lembaga pemerintah non departemen (LPND)
atau sebaliknya, ditetapkan oleh menteri dalam negeri,
setelah memperoleh pertimbangan kepala badan
kepegawaian Negara.
87
Bab 10
Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan Daerah
Salah satu ukuran keberhasilan suatu daerah
otonom dapat dilihat dari kemampuan dalam
pengelolaan keuangan daerah. Pengeloalaan keuangan
daerah yang baik akan bermuara pada peningkatan
pendapatan asli daerah dan meningkatnya usaha-usaha
pembangunan. Dalam hal ini yang dimaksud keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dan
uang yang dapat dijadika milik daerah yang
88
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas
beban anggran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Sementara itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah
didanai dari dan atas bebas APBN. Administrasi
pendanaan penyelenggaraan kedua jenis urusan
pemerintahan tersebut dilakukan secara terpisah.
89