29
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA (Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia) Oleh: Utawijaya Kusumah ABSTRAK Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam. Pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan- akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda. Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut. Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu, 1 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 2 Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori 1 Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia. 2 Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.

Pemikiran Islam Kontemporer

Embed Size (px)

Citation preview

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA(Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia)

Oleh: Utawijaya Kusumah

ABSTRAKPemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiranIslam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi)hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifatagresif yang berkembang dengan metode pemikiran barudalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.Pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah“di manakah pemikiran Islam kontemporer?”

Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yangcukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnyakebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semuaadalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yangmasih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islamkontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap NashrHamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda.

Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasanberfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuanklasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkanpuncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif.Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akansudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.

Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporersemakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masihdalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik.Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuatdengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membukalembaran masa lalu,1 untuk menggali inspirasi. Masalalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporeruntuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dandekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa IbnuRushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintugerbang pencerahan di Eropa. 2 Bahkan sampai saat initidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori

1Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar danmenguasai dunia.

2Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994),hal. 14.

komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga iadijuluki dengan al-syârih al-‘adham (komentator agung).Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektualIslam, baik di wilayah Timur maupun wilayah Barat,mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalamrangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam.

Kata Kunci: Pemikirdan, Islam, Kontemporer

A. Pendahuluan

Setiap pemikiran merupakan refleksi sekaligus

embrio dari gerak sosio-kultural yang berguna untuk

menjawab berbagai persoalan yang muncul. Di sini,

setiap pemikiran tidak selamanya absolut, tetapi

mengalami evolusi dan pasang surut, sebagaimana

ditengarai Ibnu Khaldun dalam mognum opus-nya Al-

Muqadimah. Ibnu Khaldun menggambarkan pasang-surut

peradaban Islam dengan tinjauan sosiologis. Lebih

jelasnya, pemikiran adalah produk eksperimentasi,

pengalaman dan kolaborasi-dialektik yang dinamis dengan

realitas.3 Demikian juga berbagai pemikiran yang

berkembang di Indonesia.

Mengkaji peta pemikiran Islam kontemporer di

Indonesia dibutuhkan beberapa perangkat metode untuk

menyingkap akar persoalan (isykâliyah), sehingga mencapai

sebuah kesimpulan yang mendekati kebenaran dan bersifat

obyektif. Diharapkan, atas dasar tersebut, muncul3 Mahmûd Amîn al-‘Alîm, Al-Fikr al-‘Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-

Tathbîq, Jurnal ‘A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait,1998, hal. 359.

teori-teori analisis untuk menyingkap pemikiran Islam

di Indonesia dalam rangka merekonstruksi pemikiran

Islam kontemporer di Indonesia.4 Yang mana secara

keseluruhan kajian ini berada dalam kerangka ijtihad

yang tentu saja absah, karena masih dalam proses

mencari dan membentuk, sehingga kilas-balik dan

dialektika bertebaran, bahkan kadangkala masih rigid dan

gamang.

Kendatipun demikian, makalah ini berusaha

mengetengahkan tiga model cara dalam membedah pemikiran

Islam kontemporer di Indonesia. Pertama, studi

strukturalis, yaitu menelaah pemikiran secara

menyeluruh dan melakukan komparasi dengan pemikiran

yang lain, sehingga menyingkap persoalan inti atau

diupayakan mencari dimensi yang hilang (al-bu’d a;-

mafqûd). Kedua, analisis historis, yaitu mengurai sisi

historitas pemikiran dalam kaitannya dengan struktur di4Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia telah mencapai pada

pluralitas teori dan bentuk. Teori-teori modern yang lahir diblantika pemikiran Barat, khususnya Amerika dan Eropa kian diimporke Indonesia. Hal itu secara langsung dipengaruhi oleh arusdialektika pemikiran yang berkembang di Barat dan mengilhamikecenderungan relativisme pemikiran. Selain itu, kehadiranintelektual Islam Indonesia di beberapa universitas, baik diAmerika, Perancis, Inggris, Belanda, dan negara-negara Baratlainnya, telah menyemarakkan dinamika intelektual, sepertiNurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan lain sebagainya.Sehingga teori semiotika, hermeneutika, fenomenologi dandekonstruksi menjadi trend baru pemikiran Islam kontemporer diIndonesia. Maka dari itu, pemikiran Islam kontemporer Indonesiasedang berkiblat ke Barat dan telah menghasilkan pemikiran yangbetul-betul brilian. Buktinya, para intelektual muslim Indonesiamulai tampil di pelbagai event internasional.

atas, sehingga ditemukan kebenaran ilmiah dalam

pemetaan. Ketiga, analisis ideologis, yaitu membaca

aspek ideologis yang terkandung dalam pemikiran serta

merta meletakkannya pada era tertentu serta latar

belakang politik dan ekonominya. 5

B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam

Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah

pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad

19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya

adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metodo

pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan

peradaban Islam. Muhammad Arkoun, pemikir muslim asal

Aljazair yang menetap di Perancis, pernah melontarkan

sebuah pertanyaan yang menggugah para intelektual

Islam, “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” 6

Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas

seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi

krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan

tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari

itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal

yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran

Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap

5Muhammad ‘Abid Al-Jâbiry, Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu’âshirah fîTurâtsinâ al-Falsafy, (Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby, 1990), hal.24.

6Muhammad Arkoun, Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu’âshir, Cet. II,(Bairut: Dâr el-Sâqy, 1996), hal. ii-viii.

Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda.

Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan

berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan

klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan

puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif.

Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan

sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.

Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer

semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih

dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik.

Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat

dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka

lembaran masa lalu,7 untuk menggali inspirasi. Masa

lalu adalah pemicu para intelektual muslim kontemporer

untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan

dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu

Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu

gerbang pencerahan di Eropa. 8 Bahkan sampai saat ini

tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori

komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia

dijuluki dengan al-syârih al-‘adham (komentator agung).

Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual

Islam, baik di wilayah Timur maupun wilayah Barat,

7Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar danmenguasai dunia.

8Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994),hal. 14.

mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam

rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam. 9

Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr. Athif

Iraqi, Guru Besar Filsafat di Universitas Kairo

menyatakan bahwa setelah wafatnya Ibnu Rushd, maka

berakhirlah masa filsafat Islam. Karena setelah itu

pemikiran-pemikiran filsafat tidak lagi lahir. 10 Maka

dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan

menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan

menentukan bagi tumbuh-kembangnya pemikiran Islam

kontemporer.

Selain Ibnu Rushd, intelektual muslim kontemporer

tidak bisa melupakan ketenaran sosiolog muslim, Ibnu

Khaldun. Dr. Misbâh al-‘Amily, menyatakan bahwa Ibnu

Khaldun adalah putra mahkota umat Islam yang

kecanggihan cakrawalanya menunjukkan bahwa pemikiran

Islam lebih unggul dari pada pemikiran Yunani. 11

Kendatipun pemikiran tersebut lebih mengedepankan

fanatisme Arab/Islam, tapi kecemerlangan masa lalu

merupakan nuqthat al-inthilâq (titik tolak) pemikiran Islam

kontemporer. Hassan Hanafi, penggagas “kiri Islam”,

9Tulisan mengenai filsafat Ibnu Rushd mulai diangkat padatahun 80-an dan puncaknya pada tahun 1999. kajian Ibnu Rushd kianmarak di dunia Islam dengan perayaan 8 abad atas wafatnya IbnuRushd.

10Lihat beberapa karya Dr. Athif Iraqi, seperti al-Falsafat al-Arabiyah wa al-Tharîq ilâ al-Mustaqbal, Al-‘Aql wa al-Tanwîr, dan lain-lain.

11Misbâh Al-‘Amily, Tafawwuq al-Fikr al-‘Araby ‘alâ al-Fikr al-Yûnâny biWasâiq Falsafah, (Bairut: Dâr el-Fikr, 1991), hal. 127.

sedang menapak tilas keberhasilan Ibnu Khaldun dengan

menyoroti pasang-surut pemikiran Islam pasca Ibnu

Khaldûn sampai sekarang. 12 Dengan demikian, filterisasi

terhadap pemikiran Islam klasik merupakan salah satu

kecenderungan umum dalam panggung pemikiran Islam

kontemporer, tak ubahnya reinkarnasi pemikiran.

Jadi dengan demikian, Islam kontemporer merupakan

gerakan pemikiran Islam di kalangan intelektual Islam

dalam menafsirkan kembali pemikiran Islam klasik dengan

situasi modern. Para tokohnya kebanyakan adalah para

intelektual Islam yang banyak belajar di lembaga-

lembaga pendidikan Barat maupun Eropa. Inti

pemikirannya adalah mengembalikan kejayaan dan

keunggulan pemikiran para intelektual Islam klasik pada

abad modern, sehingga melahirkan Islam modern.

Alasannya, karena pemikiran Islam klasik sangat relevan

dengan perkembangan peradaban modern. Sehingga, jika

peradaban Islam ingin berkembang dan maju di abad

12Dalam wawancara dengan reporter televisi Nilsat programkebudayaan, Hassan Hanafi menegaskan bahwa proyek pemikirannyaadalah follow up Ibnu Khaldun, sejarahwan muslim yang mampu membuatbunga rampai sosiologi Islam. Maka dari itu, ia berusahamelanjutkan proyek tersebut dengan menulis perjalanan peradabanIslam sejak Ibnu Khaldun hingga sekarang. Di antara buku yangbaru diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1999 yaitu Min al-Naql ilâal-Ibdâ’ jilid I. Buku tersebut mengupas sosiologi dan antropologipemikiran Islam dari proses nukil, komentar, tafsir, kemudiankreasi. Dalam waktu dekat akan diterbitkan buku terbarunya denganjudul Min al-Ibdâ’ ilâ al-Wâqi’ sebagai pelengkap dari proyek tersebut.Dengan demikian Hassan Hanafi ingin membuktikan bahwa pemikiranIslam kontemporer tidak bisa dipisahkan dari faktor sosiologis danproses yang panjang.

modern ini, maka pemikiran Islam harus ditafsirkan

sesuai dengan perkembangan zamannya.

C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia

Peta perkembangan pemikiran Islam kontemporer di

Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan

Islam kontemporer di dunia Islam umumnya. Hal ini

disebabkan karena para intelektual muslim Indonesia

banyak belajar di negara-negara Islam modern dan juga

di negara-negara Barat. Oleh karena itu, pemikiran

Islam kontemporer di Indonesia yang dilakukan oleh kaum

intelektual muslimnya sedikit terjadi kolaborasi

pemikiran antara pemikiran Islam kontemporer yang

berasal dari jazirah Arab dan pemikiran Islam

kontemporer yang dikembangkan oleh para Islamolog yang

ada di universitas-universitas di Barat.

Sebenarnya, perkembangan pemikiran Islam

kontemporer di Indonesia tidak lepas dari upaya mereka

dalam menafsirkan kembali Islam (baca: Al-Qur’ân).

Menurut Dawam Rahardjo13, kegiatan intelektual di dunia

Islam dewasa ini dikuasai oleh sekitar lima tema

sentral, yaitu: Pertama, “interpretasi kembali Al-Qur’an”.

Salah satu latar belakang gagasan interpretasi kembali

13M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan:Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Peny.),Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Cet. I (Jakarta: P3M, 1989), hal.1.

Al-Qur’an adalah keinginan untuk melakukan rekonstruksi

terhadap ajaran-ajaran Islam sebagai dasar pembinaan

suatu masyarakat modern. Pendekatan yang diambil

adalah mencari esensi-esensi ajaran Islam itu sendiri

atau menggali nilai-nilai yang paling fundamental.

Dari titik tolak inilah disusun teori-teori baru atau

konsep-konsep baru di berbagai bidang, misalnya tentang

masyarakat, negara, ekonomi, pendidikan, sosiologi,

lingkungan hidup, bahkan tentang bidang-bidang yang

lebih sempit, seperti administrasi. Tokoh-tokohnya di

antaranya adalah K.H. Imam Ghozali dari Solo, K.H.

Maksum dari Yogya, K.H. Moenawar Cholil sendiri yang

menerbitkan buku berjudul “Kembali kepada Al-Qur’an dan as-

Sunnah” pada tahun 1956. Kemudian T.M. Hasbi Ash-

Shiddieqy yang menggagas fiqih baru dan menyusun tafsir

(Tafsir Al-Bayân dan Tafsir An-Nûr). Tokoh lainnya

adalah Buya Hamka (tokoh Muhammadiyah) yang menulis

Tafsir Al-Azhar, dan Ustadz A. Hassan Bandung (tokoh

Persis) yang menulis Tafsir Al-Furqan.

Tema kedua, adalah “aktualisasi tradisi”. Tema ini

cenderung sebagai reaksi terhadap tema pertama

(Interpretasi Kembali Al-Qur’ân). Penganjur tema ini

bermaksud juga untuk melakukan pembaharuan pemikiran.

Tapi menurut tema ini, pembaharuan hendaknya jangan

dilakukan dengan membuat garis demarkasi dengan Islam

sejarah. Pembaharuan bukan harus berarti berimplikasi

berputus dengan sejarah, melainkan justeru bertolak

dari warisan sejarah. Tokoh terpenting yang mengusung

tema “aktualisasi tradisi” di antaranya adalah Mohammad

Natsir yang mengungkapkan kembali kebudayaan Islam

klasik pada akhir dasawarsa 30-an. Kemudian Nurcholis

Madjid yang menghidangkan kembali fragmen-fragmen

pemikiran para filsuf muslim masa lalu.

Tema ketiga adalah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi”. Gagasan ini awalnya dikembangkan oleh Ismail

Raji al-Faruqi yang telah menulis sebuah karya

monumental yang berjudul The Cultural Atlas of Islam pada

tahun 1986. Inti daripada gagasan Islamisasi ini

adalah memberikan esensi peradaban Islam modern dengan

nilai-nilai tauhid. Gagasan Islamisasi itu sendiri

sebenarnya telah dicetuskan secara formal dalam suatu

seminar internasional tahun 1982 di Islamabad, di mana

Ismail Raji Al-Faruqi adalah aktor intelektualnya.

Gema gerakan Islamisasi ini juga masuk ke Indonesia.

Salah satu tokohnya adalah A.M. Saefuddin yang mencoba

mengislamisasikan pemikiran ekonomi.

Tema keempat adalah mempunyai kaitan tertentu

dengan ide Islamisasi maupun interpretasi kembali Al-

Qur’an. Tema ini barangkali hanya terdengar di

Idonesia, melalui suara K.H. Abdurrahman Wahid (Gus

Dur), Ketua Dewan Syura PKB dan mantan Ketua PBNU,

yaitu tema “Pribumisasi Islam”. Tema ini sempat memancing

reaksi keras, karena contoh yang dikemukakannya di

antaranya adalah mengganti kata “Assalamu’alaikum”b

dengan “Selamat Pagi” atau “Selamat Malam”.

Dengan tema-tema tersebut maka lahirlah istilah

pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Gerakan

pemikiran Islam kontemporer tersebut intinya bermaksud

untuk meraih masa depan Islam. Tema-tema ini merupakan

tema tersendiri yang menjadi obsesi kaum cendekiawan

muslim Indonesia yang memiliki obsesi bagi maju dan

jayanya Islam di Indonesia.

Memang, Islam yang dibawa ke Indonesia itu bersifat

adaptable, maka ia bisa diterima dengan baik oleh banyak

orang. Kemungkinan Islam disesuaikan dengan berbagai

keadaan, itulah salah satu kekuatan Islam. Islam tidak

reaksioner, nammun elastis (lentur). Terlihat

misalnya, interpretasi Islam sebagai way of life di

Indonesia, semacam sintesis “Islamisasi” yang

diperjuangkan oleh para Wali Songo, sangat erat dengan

kebudayaan setempat, betapa pun tidak kecil pengaruh

kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi yang terjadi.

Tidaklah aneh apabila perkembangan Islam di Indonesia

bersifat periodik sebagaimana analisis Kuntowijoyo.

Menurut Kuntowijoyo14, Islam di Indonesia mengalami tiga

macam periode, yaitu:

1. Periode tradisi mistis-religius (…..-1900)14Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Cet. I

(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. 18.

2. Periode forulasi normatif (1900-1965)

3. Periode ide (1965-orde baru)

Periode pertama (….-1900_ ditandai dengan tradisi

mistis-religius. Misalnya pada abad ke-19 umat Islam

mengadakan perlawanan terhadap kekuatan kolonial dengan

ideologi yang bersifat utopis. Utopia, karena umat

Islam tidak merumuskan pikiran-pikirannya berdasarkan

aktualisasi sejarah, melainkan berdasrkan kepada mitos,

pandangan mistis menghenai masyarakat yang dirumuskan

dalam bentuk cita-cita Ratu Adil.

Periode kedua (1900-1965), yang mulanya Islam

dipahami secara mistis bergeser menjadi formulasi

normatif. Keudian berkembang menjadi ideologi, lalu

menjadi aksi. Dalam era ini, Syarekat Islam (SI) mulai

mengenal ideologi Komunsime dan Marhaenisme.

Sesudah kegagalan pemberontakan PKI (Partai Komunis

Indonesia) tahun 1965, tak terasakan lagi adanya

ancaman dari ideologi lain, sehingga muncul benih-benih

baru di mana Islam ditampakkan sebagai ilmu. Islam

yang menjadi ideologi dan aksi pada masa itu, ketika

zaman ilmu menjadi formulasi teoretis. Ia selanjutnya

berkembang menjadi disiplin ilu dan memiliki program

aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam. Program dan

planningnya kemudian direalisir dengna kegiatan

empiris. Dalam era ini Islam memasuki periode ide.

Mulai dari periode ide inilah kemudian berkembang

pemikiran-pemikiran Islam kontemporer.

Jadi, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia

dimulai sejak berkembangnya umat Islam Indonesia pada

periode ide, terutama setelah para intelektual Islam

Indonesia banyak bersentuhan dengan pembaharuan

pemikiran Islam, baik pengaruh dari dunia Islam sendiri

maupun dunia Barat.

Ormas Islam yang muncul pada periode pertaa, yang

paling menonjol hingga kini adalah Muhammadiyah (1912)

dan NU (1926). Kelahiran kedua ormas Islam ini

kemudian menimbulkan pandangan dikhotomis tentang corak

gerakan Islam di Indoensia. Pemikiran Muhammadiyah

yang bercorak rasional dan bermotto sebagai gerakan

tajdîd (pembaruan) dipandang sebagai gerakan modernis.

Sedangkan NU yang mendasarkan diri pada pola pemikiran

empat madzhab fikih (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan

Hambali), dan berpegang pada teologi Asy’ariyah dan

Maturidiyah, dilihat sebagai gerakan tradisionallis.

Anggota simpatisan kedua ormas itu tidak bisa

melepaskan diri dari kondisi politik yang berkembang.

Dapat dikatakan sejak tahun 1970-an terdapat dua

lapisan umat Islam yang terlibat dalam proses

mobilisasi vertikal, yaitu kelompok muslim politisi dan

kelompok muslim cendekiawan. Aspirasi kedua kelompok

ini pun berbeda. Kalau aspirasi muslim politisi

bercorak ideologi, sedangkan aspirasi muslim

cendekiawan bercorak intelektual tanpa terikat dengan

salah satu partai politik atau ormas.

Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun Islam telah

memasuki periode ide, tidak semua penggerak atau

pejuangnya, terutama kaum politisi, mampu menangkap

kecenderungan baru dari fokus kebudayaan yang

berkembang atau dominan saat itu.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah tumbangnnya

Orde Lama oleh Orde Baru, maka berakhirlah fokus

kebudayaan yang menganggap ideologi sebagai panglima.

Lalu hadirnya Orde Baru yang memusatkan programnya pada

pembangunan ekonomi, menggeser fokus kebudayaan ke

level yang memprioritaskan sektor ekonomi.

Kelompok muslim cendekiawan (penggerak Islam

kontemporer di Indonesia) cukup adaptif membaca suasana

tersebut bahwa jalur politik bukan satu-satunya cara

untuk memajukan Islam di Indonesia. Fokus kebudayaan

baru yang diprakarsai oleh Orde Baru lalu

ditafsirkannya sebagai peluang untuk melakukan

terobosan-terobosan non-politik yang lebih menyentuh

kebutuhan mendasar kaum muslimin.

Problematika ummat Islam di masa itu terjerat pada

pandangan dikhotomi antara Islam modern dan Islam

tradisional. Ini mengakibatkan terjadinya kemacetan

komunikasi bahkan dis-integrasi di dalam intern umat

Islam, seperti pertentangan masalah khilafiyah, juga

persoalan hubungan politik dan agama yang diklaim

sebagai masalah wajib. Padahal aneka keterbelakangan

umat seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan,

keterasingan, dan sebagainya merupakan fakta yang lebih

mendesak untuk segera ditanggulangi.

Tentu saja kehadiran visi baru tentang “Keharusan

Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” oleh

Nurcholis Madjid pada tahun 1970 merupakan dobrakan

budaya (cultur switch) sekaligus koreksi sehingga semakin

mempertajam pentingnya aksentuasi di bidang ide dan

ilmu dalam rangka merintis transformasi sosial budaya

yang lebih kontekstual. 15

Menurut Nurcholis Madjid, kaum muslimin Indonesia

sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam

pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam serta

kehilangan psychological striking force (kemantapan jiwa untuk

berinisiatif) dalam perjuangannya. Hal itu disebabkan

antara lain oleh budaya berfikir kuantitatif yang

membanggakan jumlah kau muslimin dan perolehan suara

dalam pemilu, dan sikap eksklusif di kalangan umat

Islam serta tidak adanya kebebasan berfikir.

Ia memberi solusi, hendaknya kaum muslimin

menemukan kembali gagasan kemajuan (idea of progress)

dalam khazanah nilai-nilai Islam dan berpola fikir15Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan

Muslim, Cet. I (Jakarta: LSI, 1987), hal. 243-252.

kualitatif. Salah satu anifestasi tentang idea of progress

di dalam Islam ialah kepercayaan akan masa depan

manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu

lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang selalu

terjadi pada tata nilai duniawi. Sebetulnya, sikap

reaksioner dan tertutup (eksklusif) terbit dari rasa

pesimis terhadap sejarah. Karena itu, Islam hanya

diteria sebagai agama (al-Dîn), bukan sebagai politik

praktis, sebagaimana jargon yang ia lontarkan “Islam

Yes, Partai Islam No”.

Pemikiran Nurcholis Madjid ini terlihat kemudian

diaplikasi oleh beberapa santri dari kalangan NU yang

umumnya pernah mengecap pendidikan akademis dan

beberapa aktivis Muhammadiyah, yang di antaranya

mungkin telah ter-“santri”-kan dalam bentuk kegiatan-

kegiatan transformasi sosial ekonomi kemasyarakatan.

Mereka dapat disebut di antaranya Abdurrahman Wahid,

Aswab Mahasin, Habib Hirzin, K.H. Sahal Mahfudh, Dawam

Rahardjo, Hadimulyo, K.H. Hamam Dja’far, Masdar F.

Mas’udi, Adi Sasono, Fachry Ali, K.H. Abdul Basith AS,

Ison Basuni, Ali Musthofa Trajutisna, Mansour Fakih,

Rum Topatimasang, dan sebagainya. Mereka kemudian

dikenal sebagai aktivis LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat) dan LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya

Masyarakat). bahkan kini ada satu LSM yang telah

menjadikan dirinya sebagai ormas, tidak tergantung

kepada founding-agency (lembaga donor dana), yaitu Pusat

Peranserta Masyarakat (PPM).

Kemudian, memasuki tahun 1985, Orde Baru

menggelindingkan keharusan berasas tunggal Pancasila

bagi Parpol, Golkar dan ormas-ormas, sebagai upaya

menyelesaikan pertentangan ideologi di antara kelompok-

kelompok masyarakat. Ternyata rekayasa politik dalam

bentuk asas tunggal itu dan segenap implikasinya

terhadap kehidupan intern umat Islam secara implisit

merupakan implementasi visi Nurcholis Madjid mengenai

“Islam Yes, Partai Islam No”. Visinya bahwa politik praktis

bukan panglima perjuangan dan sifatnya tidak sakral

telah menjadi kenyataan dewasa ini. Tidak ada lagi

fatwa pewajiban atau pengharaman terhadap salah satu

partai yang ada bilamana enjadi anggotanya. Asas

tunggal tidak saja menggusur idealisme partai Islam di

Indonesia, namun terutama mengukuhkan urgensi

memasyarakatkan ilmu dan ide ke tingkat pengambilan

keputusan.

Jika dikaji secara analitis dan historis,

sesungguhnya Pancasila dapat memeprtemukan wawasan

keislaman dan wawasan keindonesiaan. Sebab, ajaran-

ajaran Islam menyediakan bahan yang tak habis-habisnya

untuk pengisian konstitusional bagi pelaksanaan nilai-

nilai keislaman di Indonesia sehingga semakin relevan

dengan masalah-masalah bangsa dan negara.

Kemudian setelah Orde Baru “tumbang” pada tahun

1998 oleh gerakan reformasi mahasiswa, perkembangan

pemikiran Islam semakin tidak menentu dan ada upaya

mengembalikan “persoalan lama” kembali dihidupkan. Hal

itu ditandai dengan ramai-ramainya para pimpinan ormas

Islam memimpin partai politik, seperti Amien Rais

dengan PAN (Partai Amanat Nasional), Gus Dur mendirikan

PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), kalangan pendukung

Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB), dan

munculnya kecenderungan kaum intelektual ke gelanggang

politik praktis. Namun pada akhirnya yang memenangkan

pergulatan itu adalah kaum nasionalis agamis, yaitu

dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden.

Melihat sejarah perkembangan pemikiran tersebut di

atas, ternyata perkembangan pemikiran kontemporer Islam

di Indonesia tidak lepas dari pengaruh sosio-budaya dan

sosio-politik bangsa Indonesia. Semakin besar pengaruh

sosio-budaya, maka semakin modern pemikiran Islam kaum

intelektual Indonesia. Sebaliknya, semakin besar

pengaruh sosio-politik, maka pemikiran Islam kaum

intelektual muslim akan lebih tradisionalis. Dengan

demikian, perkembangan Islam kontemporer mengalami

pasanng-surut seiring berkembangnya sosio-budaya dan

sosio-politik bangsa Indonesia. Namun yang jelas,

berkembangnya Islam kontemporer di Indonesia terjadi

pada periode ide.

D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan

Setelah melihat perkembangan pemikiran Islam

kontemporer di Indonesia yang mengalami pasang-surut

seiring dengan adanya tarik-ulur kepentingan antara

kondisi sosio-budaya dan sosio-politik bangsa

Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran

Islam kontemporer di Indonesia di masa depan sangat

bergantung kepada kekuatan kedua kondisi tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa abad 21 sekarang telah

berada di depan mata kita. Bagaimana kaum muslimin

dapat berperan serta untuk memajukan Indonesia di masa

depan? Di sinilah peranan kaum intelektual muslim

sebagai pengusung Islam kontemporer itu dituntut.

Menurut hemat penulis, masa depan akan menyuguhkan

perubahan-perubahan dahsyat yang pasti mempengaruhi

manusia pasca-modern ke arah ultra-modern atau neo-

modern. Menurut Alvin Toffler, kini kita berhadapan

dengan era gelombang peradaban informasi-komunikasi

pasca peradaban industri. Peradaban ini ditandai

dengan superioritas akses informasi, bukan lagi alat

produksi atau lahan pertanian. T eknologi elektronika

dan komputer di zaman ini akan membuat 60% pekerjaan

bergerak di bidang jasa informasi. Komputer menjadi

trend global dan dapat mengkomunikasikan mansuia lintas

negara. Agen-agen sosialisasi, seperti orang tua,

guru, atau pemimpin agama, akan digeser oleh peranan

komputer dan dapat membentuk keluarga besar baru yang

dihubungkan secara elektronis. Adapun yang sanggup

bertahan adalah yang berorientasi ke masa depan dan

kreatif mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan. 16

Senada dengan Alvin Toffler, Soedjatmiko

mensinyalir proses globalisasi ekonomi nasional dan

bangkitnya suatu lapisan tradisional di dunia yang

menguasai modal, teknologi canggih, kepakaran tinggi,

akses informasi dan pasar, mau tidak mau akan sangat

berpengaruh dalam usaha pembangunan di Indonesia.

Atas dasar itu, mengkiprahkan diri untuk mendesain

format Islam demi masa depan Indonesia, sebagaimana

kata Nurcholis Nadjid, kaum muslimin harus pandai-

pandai mencari idea of progress yang terkandung di dalam

cita idel (das sollen) nilai-nilai Islam, kemudian

dijabarkan dalam kenyataan sosial sesuai dengan cita

realitas (das sein) Islam yang seutuhnya. Nilai-nilai

itu tersimpan di dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai

sumber hukum Islam.

Islam memiliki lima prinsip (kulliyat al-khams) yang

harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Prinsip pertama, jaminan atas jiwa seseorang

dari penindasan dan kesewenang-wenangan (hifdz al-nafs).

Prinsip kedua, perlindungan terhadap kebebasan16A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya,

Cet. I (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hal. 173.

berpendapat secara rasional (hifdz al-‘aql). Prinsip ketiga,

perlindungan atas harta benda sebagai hak milik (hifdz

al-mâl). Prinsip keempat, perlindungan atas kepercayaan

dan agama yang diyakini (hifdz al-dîn). Dan prinsip kelima,

jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl

wa al-‘irdl). 17

Lima dasar jaminan Islam terhadap ummatnya tersebut

menunjukkan betapa universalitas Islam tidak hanya

menyangkut komunikasi vertikal antara manusia dan Allah

Swt, tetapi juga bermuatan komunikasi horizontal antar

sesama manusia, serta bagaimana mengelola lingkungan

sekitar.

Bila disimpulkan secara sederhana, lima dasar

jaminan tersebut tercakup dalam terminologi nilai-nilai

dari: toleransi beragama, spiritualisme, keadilan

sosial, penghormatan terhadap hak-hak asasi dan

membelanya jika diinjak-injak, demokrasi, egalitarian

(sederajat), solidaritas, harmonitas, dan berkebudayaan

maju (progresif). Dalam era reformasi dan upaya

membangun kebangkitan kembali pemikiran Islam

kontemporer di Indonesia, maka nilai-nilai ini sangat

mendesak untuk ditransformasikan ke tengah realitas

sosial budaya, mengingat telah semakin kuatnya

penetrasi arus modernisasi beserta segala dampak

negatifnya.17Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri,

Cet. I (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 93.

Memasyarakatkan nilai-nilai jaminan Islam tersebut

pada hakekatnya melakukan inisiatif mengisi kegiatan

modernisasi supaya lebih bermakna transendental, yakni

mengandung roh-roh etis dan religius. Sehingga

modernisasi tidak berarti westernisasi (pem-Barat-an),

namun mengakomodir semangat rasionalitas yang

terkandung di dalamnya. Rasionalisasi cara berfikir

dan menginterpretasi konsep-konsep strategis yang

terkandung dalam Al-Qur’ân dan Hadits adalah agenda

utama yang harus ditanamkan dalam merangkai sistem

budaya dan sistem sosial kaum muslimin.

Kuntowijoyo mengklasifikasikan sosialisasi nilai-

nilai tersebut sebagai tiga macam gerakan kebudayaan,

yaitu: Islam sebagai sebagai gerakan intelektual, Islam

sebagai gerakan etik, dan Islam sebagai gerakan

estetik. 18 Sebagai gerakan intelektual, nilai-nilai

Islam diangkat menjadi konsep ilmu pengetahuan yang

dapat menandingi konsep-konsep yang dianut saat ini.

Al-Qur’an sangat kaya memuat nilai-nilai, maka sangat

perlulah sekarang diangkat menjadi suatu scientific untuk

memberi roh etis terhadap ilmu-ilmu modern. Sedangkan

sebagai gerakan etik, Islam dapat memberikan etos

tentang sesuatu. Jika etos kapitalisme adalah

pertumbuhan, maka Islam dapat menyempurnakannya dengan

pemerataan, keadilan, kebersamaan, dan sebagainya. Dan18Kuntowijoyo, “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”,

Majalah Pesantren, Nomor 3/Vol. III (Jakarta: P3M, 1986), hal.11.

sebagai gerakan estetik, Islam diaktualisasi untuk

menciptakan lingkungan yang lebih bermakna keislaman.

Tempat-tempat bekerja, misalnya, dilengkapi dengan

sarana mushalla atau masjid. Kesenian diberi nafas

keislaman dan sebagainya.

Atas dasar itulah, maka dalam kerangka membangun

pemikiran Islam kontemporer di masa mendatang, teori

Kuntowijoyo di atas terasa sesuai dengan makna sejarah

peradaban Islam yang telah berusia 15 abad yang silam.

Ajaran Islam yang tidak mengistimewakan suku Arab atas

suku asing (‘ajami) betul-betul menghilangkan batasan

etnis dan menolak segala tindakan diskriminatif.

Selain itu juga memberi ruang bagi kemajemukan

budaya dan politik. Tidak adanya doktrin absolut

tentang politik menunjukkan adanya dimensi

kosmopolitanisme yang kuat dalam Islam Indonesia.

Islam membebaskan pemeluknya untuk menata kehidupan

politik sesuai dengan tradisi dan corak budaya sebagai

sabda Nabi Sawq: “Antum a’lamu bî umuri dunyakum”

(Engkaulah yang lebih mengetahui urusan-urusan

duniamu).

Karena itu, sangatlah tepat dan strategis, apabila

perjuangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di

masa depan adalah memilih jalur gerakan kebudayaan dan

menitikberatkan sosialisasi nilai-nilai, bukan doktrin-

doktrin normatif yang seringkali cenderung

diideologikan. Politik praktis tidaklah untukdijadikan

tujuan, tetapi hanya salah satu wahana yang bersifat

kondisional.

Maka tantangan zaman yang kian meningkat di depan

kita hanya dapat dipenuhi jika terdapat perkembangan

intelektual Islam yang bercabang dua, yaitu suatu

intelektualisme yang mengambil inspirasi dari kekayaan

Islam klasik yang luwes, dan suatu usaha pengembangan

kemampuan menjawab tantangan zaman dengan membuka diri

(inklusif) kepada hal-hal baru yang lebih maju. 19

Atau menurut jargon klasik kalangan ulama,

bagaimana melaksanakan pedoman “al-muhafadhah ‘alal

qadîmishshalîh wal akhdzu di al-jadîd al-ashlâh”, memelihara yang

lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih

baik. Hal itu dapat dipenuhi jika kita selalu

menynempurnakan sistem budaya Islam tanpa menghilangkan

corak positif budaya lokal. Agenda ini amat menentukan

corak sistem sosial kaum muslimin yang hendak dibangun.

Dalam konteks perubahan yang selalu akan terjadi, masa

depan kebudayaan Islam di Indonesia sangat tergantung

kepada kreatifitas kaum muslimin dalam menjabarkan

nilai-nilai Islam dalam bentuk ruusan-rumusan yang

layak diaplikasikan.

Jadi, gerakan Islam di masa depan untuk membangun

kejayaan Islam kontemporer di Indonesia adalah gerakan19Nurcholis Madjid, “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik

Indonesia, Majalah Prisma, No. Ekstra, 1984, hal.21.

kebudayaan Islam, dalam artian bahwa Islam dijadikan

sebagai gerakan kebudayaan, yang di dalamnya adalah

mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang

termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits kepada ummat Islam

dan masyarakat Indonesia umumnya, baik dalam bentuk

pemikiran, sikap, dan perilaku. Dengan cara demikian,

insya Allah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia

akan terus maju dan dapat diterima oleh seluruh

kalangan bangsa Indonesia yang terkenal majemuk ini.

Amîn.

E. Kesimpulan

Dari hasil kajian dapat diperoleh kesimpulan

sebagai berikut:

1. Lahirnya Islam kontemporer di dunia Islam tidak

terlepas dari terjadinya persentuhan budaya berfikir

kaum intelektual muslim dengan tradisi keilmuan

Barat atau Eropa.

2. Islam kontemporer maksudnya adalah penafsiran Islam

yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits dengan

perkembangan pemikiran oleh kaum intelektual muslim

dalam membaca perubahan zaman.

3. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dipengaruhi

oleh interaksi pemikiran kaum intelektual muslim

Indonesia dengan kalangan pembaharu dan tradisi

keilmuan Barat.

4. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia mengalami

pasang-surut seiring dengan berkembangnya kondisi

sosio-budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia.

5. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia akan

mengalami perkembangan di masa depan apabila format

pemikiran dan pergerakan mengarah kepada gerakan

kebudayaan, bukan pada gerakan politik praktis.

KEPUSTAKAAN

Dawam Rahardjo, M. 1989. “Melihat ke Belakang, MerancangMasa Depan: Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan AbdulMun’im Saleh (Peny.). Islam Indonesia Menatap MasaDepan. Cetakan Pertama. Jakarta: P3M.

Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia.Cetakan Pertama. Yogyakarta: Shalahuddin Press.

-------------------------.1986. “Konvergensi Sosial danAlternatif Gerakan Kultural”. Majalah Pesantren, Nomor3/Vol. III. Jakarta: P3M.

Muhamad ‘Abid Al-Jâbiry. 1990. Nahnu wa al-Turâts: QirâatMu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy. Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-‘Araby.

Mahmûd Amîn al-‘Alîm. 1998. Al-Fikr al-‘Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq. Jurnal ‘A:am al-Fikr, Jilid26, Edisi III dan IV, Kuwait.

Misbâh Al-‘Amily. 1991. Tafawwuq al-Fikr al-‘Araby ‘alâ al-Fikral-Yûnâny bi Wasâiq Falsafah. Bairut: Dâr el-Fikr.

Muhammad Arkoun. 1996. Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu’âshir.Cetakan Kedua. Bairut: Dâr el-Sâqy.

Muhammad Kamal Hasan. 1987. Modernisasi Indoensia: ResponCendekiawan Muslim. Cetakan Pertama. Jakarta: LSI.

Murâd Wahbah. 1994. Madkhal ilâ al-Tanwîr. Kairo: Dâr el-Fikr.

Naufal Ramzy (Editor), A. 1993. Islam dan TransformasiSosial Budaya. Cetakan Pertama. Jakarta: Deviri Ganan.

Nurcholis Madjid. 1984. “Suatu Tatapan Islam terhadap MasaDepan Politik Indonesia. Majalah Prisma, No. Ekstra.

Said Aqiel Siradj. 1999. Islam Kebangsaan: Fiqh DemokratikKaum Santri. Cetakan Pertama. Jakarta: PustakaCiganjur.

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

A. Pendahuluan ……………………………………………. 1

B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam…

3

C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia ………….

5

D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan

11

E. Kesimpulan ……………………………………………. 17

KEPUSTAKAAN …………………………………………… 19