Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI
(Mustafa Kamal At-Taturk)
Oleh: Abdullah Fikri
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan peradaban manusia senantiasa berkembang sesuai dengan pola
pikir manusia itu sendiri. Dalam bidang politik pemerintahan Islam pun demikian.
Islam yang semula menjadi peradaban yang mendunia, akhirnya runtuh juga dengan
peradaban barat. Hal ini disebabkan karena menjauhnya umat Islam dari pedoman
hidup Islam dan adanya kemandegan dalam berijtihad. Hal-hal semacam itulah yang
mengakibatkan masyarakat Islam menganggap bahwa Islam merupakan agama yang
tidak berkembang. Munculnya permasalahan tersebut bersamaan pula dengan
gencarnya barat dalam mengembangkan peradaban sekularisasi dan liberalisasi
sehingga masyrakat Islam tertarik dan tergiur oleh perkembangan-perkembangan
yang maju, seperti halnya teknologi, industry, dan ilmu pengetahuan.
Turki Usmani sebagai lambang eksistensi kekhilafahan Islam, akhirnya runtuh
pula dengan masuknya tokoh sekularis. Tokoh inilah yang menghapuskan
KESULTANAN Turki yang kemudian ia ubah menjadi Turki modern sekular. Tokoh
tersebut ialah Mustafa Kemal At-Taturk. Sekularisme yang ia bawa ternyata
menghasilkan perubahan yang revolusioner bagi sejarah Turki. Paradigma atau
ideologi akan mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dengan percaya diri.
Demikian halnya dengan Kemal, ia memiliki ideologi sekularisme yang kuat dan
mendasar sehingga Turki menurut dia harus menjadi Turki yang modern dengan
meninggalkan sejarah panjang ke-Islaman. Dengan demikian Turki merupakan
2
negara baru yang terlepas dari sejarah panjangnya, baik sistem pemerintahan, bentuk
negara, dasar negara, bahkan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Perdebatan relasi agama dan negara dalam kajian politik Islam terus
mengalami perkembangan. Hal itu kemudian melahirkan tiga paradigma hubungan
agama dan negara, yaitu integralistik, simbiotik, dan sekularistik1.
1. Paradikma integralistik (unified paradig
Dalam paradigma ini agama dan negara menyatu (integrated) wilayah agama
meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan sekaligus
keagamaan. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah
pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya
diselenggarakan atas dasar “kedaulatan illahi” (divina sovereignty), karena
pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada
ditangan tuhan.
Paradigma ini dianut oleh kelompok si’ah. Hanya saja dalam term politik
si’ah untuk menyebut negara (addaulah) diganti dengan imamah
(kepemimpinan).
Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan
mempunyai fungsi penyelenggaraan kedaulatan Tuhan, negara perspektif
si’ah bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa
kekuasaan mutlak berada ditangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan
ayat Tuhan (syari’ah).Sebagian kalangan konserfatif suni (vundamentalis)
juga memiliki pendapat yang sama mengenai integrasi agama dan negara ini.
1 Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 22-30.
3
Dengan demikian, dalam perspektif paradigma integralistik pemberlakuan dan
penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang
niscaya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Khomaini bahwa dalam
negara Islam berwenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada
seorangpun berhak menetapkan hukum. Dan yang boleh berlaku hanyalah
hukum dari Tuhan.2
Pernyataan Khomaini ini diperkuat oleh pernyataan Abul Al-A’la Almaududi,
salah seorang tokoh pendukung paradigma ini,bahwa syariah adalah sekema
kehidupan yang sempurna yang meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan,
tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. 3
Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara-agama,
dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip
keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam agama
dan sekaligus negara.) Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum
agama. Masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan agama dan mana
aturan agama karena keduanya menyatu.Oleh karena itu, dalam paham ini,
rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat kepada agama
sebaliknya memberontak dan melawan agama yang berarti juga melawan
Tuhan. Negara dengan model demikian tentu saja sangat potensial terjadinya
otoritarianisme dan kesewenangan penguasa, karena rakyat tidak dapat
melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama.
Karena sifatnya yang demikian, maka para penulis barat, sejauh dengan
dikaitkan Islam sering melihat negara agama tidak compatible dengan
demokrasi.
2. Paradigma simbiotik (symbiotic paradigm)
2 Imam Khomaini, Islam And Revolution, Writings And Declarations of Imam Khomaini, Terjemah dananotasi Hamid Algar (Berkeley: 1981, hlm. 443 Abu Al-Ala Almawdudi, Islamic Law And Constitution, (Lahore: 1967,) hlm. 243.
4
Agama dan negara, menurut paradigma ini berhubungan secara simbiotik
yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.
Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara juga memrlukan agama dalam bimbingan
etika dan moral spritual
Almawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka, bisa disebut sebagai
tokoh pendukung paradigma ini. Sebab dalam karyanya yang masyhur ia
mengatakan kepemimpinin negara merupakan instrumen untuk meneruskan
misi kenabian dalam memelihara agama danmengattur dunia.
Pemeliharaaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas
yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang simbiotik. Keduanya
merupakan dua dimensi dari misi kenabian.Dalam kerangka hubungan
simbiotik ini Ibnu Taimiah dalam As-siasah As-Syar’iah juga mengatakan
sesunguhnya ada kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan
kewajiban agama yangterbesar, sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak
bisa berdiri tegak.4
Ia pun menganggap bahwa penegakkan negara merupakan tugas suci
yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat untuk mendekatkan
manusia kepada Allah. Di dalam konsep ini, syariah (hukum Islam)
mendudukki posisi yang sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas
politik. Demikian juga negara memiliki peranan yang besar untuk
menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar. Dengan demikian,
dalam paradigma simbiotik ini masih tampak adanya kehendak
“mengistimewakan” penganut agama mayoritas untuk memberlakukan
hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara atau paling tidak karena
sifatnya yang simbiotik tersebut, hukum-hukum agama masih memiliki
peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara. Bahkan dalam masalah
4 Ibnu Taimiah Asiasah Assyariah
5
tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum
negara.
3. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya,
paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara
dan pemisahan negara atas agama. Konsep ad-dunya al-alakhirah, ad-din ad-
dawla atau umur ad-dunya umur ad-din dikhotomikan secara diamentral.
Dalam konteks islam, atau paling tidak, menolak determinasi islam pada
bentuk tertentu dari negara.
Pemrakarsa paradigma sekularistik, salah satunya, adalah “Aliy “Abd
ar-Raziq (1887-1966 M), Seorang cendekiawan muslim dari mesir. Dalam
bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Abd-Al Raziq mengatakan bahwa
islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; islam tidak
mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan;
kekhalifahan termasuk kekhalifahan al-Khulaafa ar-Rasyidin, bukanlah
sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tapi sebuah sistem yang
duniawi. Ali-Abd Ar-Raziq sendiri menjelaskan pokok pandangan bahwa :
Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula
mendasarkan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat
mana mereka harus diperintah; tapi islam telah memberikan kita kebebasan
mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi
intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dan dengan
mempertimbangkan sosial dan tuntutan zaman.
6
Dari ketiga corak pemikiran tersebut, maka pada makalah ini akan membahas
corak pemikiran politik sekular. Adapun tokoh yang akan dibahas adalah Mustafa
Kemal At-Taturk, pendiri Turki modern. Dengan konsep sekularnya kesultanan Turki
Usmani dapat dihancurkan. Dalam konteks ini, penulis memfokuskan pada salah satu
kajian fiqh siyasah yaitu dusturiah. Dengan melihat kebijakan-kebijakan yang
ditetapkannya dapat dinilai apakah sesuai dengan pandangan nomokrasi Islam dan
paradigma prophetik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan sebuah pokok
masalah, yaitu: Bagaimana pandangan nomokrasi Islam dan paradigma
prophetic terhadap politik pemerintahan Mustafa Kemal Attaturq?
7
C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui pandangan nomokrasi Islam dan paradigma
prophetic terhadap pemikiran politik At-Taturq.
D. Studi Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis, pembahasan mengenai politik
pemerintahan Mustafa Kemal At-Taturk dengan konsep nomokrasi
Islam dan paradigma prophetik belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu,
penulis berpendapat bahwa melakukan kajian seorang tokoh sekular
yang sangat fenomenal sangatlah menarik, terlebih dikaitkan dengan
konsep-konsep prophetik dan nomokrasi Islam yang merupakan ajaran
nilai-nilai moral politik dan norma universal dalam membangun sebuah
negara dan peradaban.
E. Kerangka Teori
Untuk melakukan analisis, penulis menggunakan teori nomokrasi Islam dan ilmu
sosial prophetik atau paradigma prophetik. Mengenai nomokrasi Islam tidak lepas dari
konsep negara hukum. Sebagai negara tentunya memiliki ideologi politik dalam
penyelenggaraan kenegaraan. Idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan
yang mampu meberikan penjelasan dan sekaligus justifikasi terhadap tertib politik
yang ada ataupun yang didambakan oleh suatu masyarakat, termasuk di dalamnya
strategi untuk merealisasikannya. Dalam arti yang luas strategi pencapaian ini
mencakup pula segenap proses, pengaturan kelembagaan, atau bahkan segala
8
programnya.5 Ideologi politik itulah yang kemudian dituangkan dalam sebuah hukum
dasar atau konstitusi sebuah negara, dalam hal ini adalah Turki modern.
Adapun negara hukum dapat dimaknai bahwa segala sesuatu yang terkait dengan
pelaksanaan ketatanegaraan harus didasarkan atas norma-norma hukum yang
berlaku. Hukum dijadikan dasar sebagai landasan untuk melaksanakan
ketatanegaraan guna mencapai keadilan baik keadilan prosedural maupun keadilan
substantif. Sumber hukum yang dijadikan dasar penyelenggaraan ketatanegaraan
adalah hukum dasar dalam suatu negara atau sering disebut dengan konstitusi.
Konstitusi sebagai norma yang universal dan abstrak serta norma yang tertinggi
perlu mendapatkan penjelasan-penjelasan lebih rinci agar dapat diimplementasikan.
Begitu juga dengan konstitusi dalam Islam. Al-Qur’an sebagai norma dasar Agama
Islam memerlukan penjelasan-penjelasan terhadapnya melalui As-Sunnah.
Ide negara hukum tidak lepas dari konsep nomokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum
sebagai kekuasaan tertinggi. Berangkat dari pengertian secara etimologis tersebut,
maka dalam konteks Fiqh Siyasah, nomokrasi Islam dapat diartikan sebagai aturan-
aturan Hukum Islam untuk melaksanakan kekuasaan dalam penyelenggaraan
ketatanegaraan. Hukum Islam yang dimaksud adalah representasi pemikiran Islam,
manifestasi yang paling khas dari pandangan hidup Islam, inti sari dari Islam itu
sendiri.6 Dengan demikian aspek kehidupan terutama aspek bermasyarakat dan
bernegara, secara nilai-nilai syari’at telah di ajarkan oleh Allah Swt melalui firman-
firman-Nya dan melalui tradisi para Rasul-Nya. Oleh karena itu, Nomokrasi Islam
5 Cheppy Hari Cahyono, Idiologi Politik, Cet. 2, (Yogyakarta: PT. Hanindita Grahawidya,1988), hlm. 7.
6 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Alih Bahasa: Joko Supomo, (Yogyakarta:Islamika, 2003), hlm. 1.
9
tidak dapat tercapai apabila tidak dengan menggunakan strategi-strategi politik.
Strategi tersebut akan berujung pada terwujudnya tujuan Fiqh Siyasah.
Mengenai konsep negara hukum, Muhammad Tahir Azhari7 mengemukakan
konsepnya mengenai negara hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Prinsip-
prinsip tersebut adalah:
a. Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah
b. Prinsip Musyawarah
c. Prinsip Keadilan
d. Prinsip Persamaan
e. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Asasi Manusia
f. Prinsip Peradilan Bebas
g. Prinsip Perdamaian
h. Prinsip Kesehteraan
i. Prinsip Ketaatan Rakyat
Di samping teori nomokrasi Islam, penulis pun menggunakan teori ilmu sosial
prophetik. Ilmu sosial prophetic yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk kea rah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa?. Oleh karena itulah,
ilmu sosial prophetic tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi
mengubah berdasar cita-cita etik dan prophetic tertentu. Dalam pengertian ini
maka ilmu sosial prophetic secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-
cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Bagi kita itu berarti
perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan
transendensi, suatu cita-cita prophetic yang diderifasikan dari misi historis
Islam. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial
prophetic. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi dan
7 “Negara Hukum; Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam,implementasinya pada periode Negara Madina dan masa kini”,
10
transendensi, ilmu sosial prophetic diarahkan untuk rekayasa masyrakat
menuju cita-cita sosioetiknya pada masa depan.8 Dengan demikian, berdasar
pada konsep ilmu sosial prophetic, dapat dikatakan bahwa paradigma
prophetic berangkat dari konsep ilmu sosial prophetik yang diharapkan dapat
menjadi perubahan sosial dalam system kemasyarakatan di sebuah negara.
Dalam konteks ini, paradigma prophetik digunakan untuk menilai pemikiran
politik dan kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal At-Taturq sebagai pemimpin
atau refolusioner negara Turki modern.
Dengan konsep nomokrasi Islam yang berarti negara diselenggarakan atas
dasar prinsip-prinsip al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga melahirkan
paradigma prophetik, maka sebuah negara dapat mewujudkan kemaslahatan
bagi rakyatnya. Kemaslahatan dapat dilihat dari praktik-praktik
penyelenggaraan negara baik yang berupa pengambilan kebijakan di
parlemen, fonis hakim dalam mengambil putusan, dan juga peraturan-
peraturan yang dikeluarkan oleh kepala negara baik itu presiden maupun raja.
Apabila sebuah negara telah terlepas dari konsep nomokrasi Islam dan
paradigma prophetik, maka penyelenggaraan negara akan jauh dari
kemaslahatan. Dalam maqasid syari’ah, ada lima hal yang perlu menjadi
perhatian bagi para pemimpin, yaitu menjaga agama, menjaga akal, menjaga
harta, menjaga keturunan, menjaga jiwa. Kelima tujuan dari pada syari’ah
inilah yang menjadi tujuan dalam fiqh siyasah. Oleh sebab itu, berdasarkan
dua teori di atas penulis mencoba menilai pemikiran politik At-Taturq pada
masa Turki modern, sehingga dapat diketahui perbedaan pemikiran sekular
dengan pemikiran integral dalam konsep hubungan negara dan agama.
F. Metodologi
1. Jenis Penelitian:
8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 482-485.
11
Adapun jenis penelitian pada makalah ini berupa studi pustaka
(library research), yaitu penelitian yang berdasarkan kajian-kajian
kepustakaan.
2. Pendekatan:
Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini ialah pendekatan
normative, yaitu sebuah pendekatan yang didasarkan atas norma-
norma yang ada di dalam teks-teks al-Qur’an maupun As-Sunnah.
3. Sumber Data:
Sumber data yang penulis peroleh ialah melalui buku-buku sebagai
data primer dan artikel-artikel sebagai data sekunder yang berkaitan
dengan pemikiran Kemal At-Taturq dan teori nomokrasi Islam
maupun paradigma prophetik.
G. Sistematika Pembahasan.
Adapun sistematika pembahasan pada tulisan ini ialah:
Bab pertama pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, pokok
masalah, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori, metodologi
penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua teori, terdiri dari teori nomokrasi Islam dan paradigma
prophetik.
Bab ketiga mengenai data penelitian, yang terdiri dari biografi tokoh
(Mustafa Kemal At-Taturk), konsep politiknya dan kebijakan-kebijakan
yang dihasilkan.
Bab keempat penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran.
H. Pembahasan
A. Sekilas Tentang Turki Usmani
12
Sebelum membahas pemikiran politik Mustafa Kemal sebagai tokoh refolusi
Turki modern, maka penulis akan membicarakan sekilas mengenai Turki Usmani.
Hal ini disebabkan karena perjalanan Turki sangatlah panjang hingga menjadi Turki
modern. Sejarah panjang Turki Usmani inilah yang kemudian melahirkan Turki
modern melalui seorang tokoh pembaharu Turki.
Istilah Usmaniah diambil dari pemimpin yang kedua, yaitu Usman. Ketika
masih berupa komunmitas ini dipimpin oleh Usman yagn bernama Arthgrol bin
Sulaiman. Dia meninggal pada tahun 687H atau 1290 M ketika wilayagh
kekuasaannya berada dibawah kekuasaan Alaudin. Penunjukan Usman untuk
melangsungkan kepemimpinan ayahnya itu dilakukan oleh Alaudin. Kedekatan dan
kerjasama yang telah dibangun oleh Arthogrol dilanjutkan oleh Usman. DI antaranya
dia berjasa telah menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan
kota Broessa dengan kesetiaan yang ditunjukkan oleh Usman kepada Alaudin, maka
Sultan Alaudin memberikan gelar kehormatan “Bey” dan memberikan hadiah berupa
daerah kekuasaan dan diizinkan memakai mata uang sendiri.
Meninggalnya Alaudin mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah dinasti
Seljuk sehingga Usman mendapatkan kekuasaan yang luas dan menyatakan
kemerdekaan serta berkuasa dan berdaulat penuh atas wilayah yang ditempati.
Selanjutnya dinasti Usmani eksis selama 642 tahun )680-1342 H/1282-1924.
Secara garis besar, kepemimpinan kerajaan Usmani dapat dikelompokkan
menjadi lima periode. Periode pertama, yaitu masa pendirian dan pembentukan
kekuasaan setelah melepaskan diri dari dinasti seljuk. periode kedua, yaitu masa
pembenahan pertumbuhan dan ekspansi besar-besaran. masa inilah puncak kejayaan
dan kemenangan bagi kerajaan Usmaniah dengan ditandai takluknya kota
Konstantinopel yang kemudian dijadikan ibu kota dengan perubahan nama menjadi
Istambul. periode ketiga, merupakan periode dimana eksistensi kerajaan sudah mulai
13
terkoyak akibat serangan dari luar bahkan pada periode ini banyak wilayah dari
kekuasaan Usmaniah. periode keempat, yaitu masa dimana banyak gerakan-gerakan
sparatis yang mengakibatkan hilangnya secara perlahan-lahan kekuasaan kerajaan
Usmaniah. periode kelima, pada masa ini pengaruh barat sudah mulai nampak hal ini
dibuktikan dengan kebudayaan dan gaya administrasi ala barat. 9
Runtuhnya Turki Usmani yang ditandai dengan munculnya Republik Turki
menunjukkan bahwa kekuasaan Islam yang berada di dinasti Usmaniah telah hancur.
Namun demikian, dinasti Usmaniah dapat bertahan lama hingga kurang lebih 600
tahun, yang berarti pemerintahannya cukup kuat dan baik. Namun Mustafa Kemal
merupakan seorang tokoh yang dapat membuat sejarah dalam kancah perpolitikan
dunia, dimana dengan konsep sekularismenya dapat menghancurkan symbol
kekuasaan Islam. Hal ini menjadi koreksi bagi umat Islam betapa kuatnya pengaruh
barat mempengaruhi peradaban dunia. Selanjutnya mulai tahun 1924 Turki modern
lahir dengan bersamaan hilangnya lambing kekuasaan Islam yang berupa kesultanan
Turki Usmani.
B. Biografi singkat Mustafa Kemal
Mustafa lahir di Salonika pada tahun 1881. Ayahnya bernama Ali Reza
Efendi adalah seorang pegawe pabean, dan setelah pension menjadi pedagang
kayu. Menurut keinginan ibunya, Zubeyede Hanim, ia dikirm ke sekolah rakyat
setempat, namun Mustafa lari dari sekolah itu beberapa hari kemudian. Lalu ia
dimasukkan di sekolah rakyat Shemsi Efendi. Yang menggunakan metode
modern dalam pendidikannya. Ini adalah sekolah pilihan ayahnya. Ayahnya
meninggal dunia ketika Mustafa berusia tujuh tahun, dan kemudian diasuh oleh
ibunya.
9 Hamaman dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 146-154.
14
Sumber lain ada yang mengatakan bahwa Mustafa Kemal merupakan
orang Yahudi yang menyusup ke dalam pemerintahan dinasti Turki Usmani
yang kemudian secara perlahan-lahan menghancurkan dinasti tersebut. Namun
demikian, terlepas dari persoalan Mustafa Kemal seorang Yahudi atau bukan,
penulis menilai secara riwayat hidupnya ia berasal dari keluarga yang dapat
dikatakan religious. Perubahan-perubahan pandangan pada setiap manusia tidak
hanya dibentuk di dalam keluarganya saja. Pandangan-pandangan atau
kepribadian seseorang dapat dibentuk dari hasil pergaulan. Demikianlah yang
terjadi pada diri Mustafa Kemal yang memiliki pergaulan-pergaulan yang bebas
dalam peradaban mana pun, khususnya barat.
Setelah ayahnya meninggal, Mustafa diajak ibunya ke rumah pamannya
dan bekerja di lading. Pendidikan Mustafa dilanjutkan di Salonika, dimana
saudara perempuan ibunya berada di sana. Ia memasuki sekolah persiapan yang
merupakan Mektep dalam bentuk lama. Salah seorang gurunya, Keymak Hafis
pada suatu hari memberikan hukuman badan yang keras dengan dipukul hingga
berdarah karena Kemal berkelahi dengan kawan kelasnya. Neneknya tidak
setuju Kemal belajar di Mektep, dan oleh karena itu ia keluar dari sekolah itu.
Kemal tertarik di dunia militer, sehingga ia masuk sekolah militer menegah di
Salonika, yang bertentangan dengan keinginan ibunya. Dua tahun kemudian ia
masuk akademi militer di Manastir. Karena kurang memahami bahasa Prancis,
maka dengan diam-diam, ia memasuki sekolah Missi untuk belajar bahasa itu
beberapa bulan lamanya. Setelah tamat dari akademi militer, ia masuk perguruan
tinggi perang di Istambul, dan lulus pada bulan januari 1905 dengan pangkat
kapten staf. Ketika di akademi militer, Kemal terlibat dengan kegiatan-kegiatan
politik sehingga sempat ditahan beberapa bulan lamanya. Setelah dibebaskan ia
ditempatkan di Siria di Resimen Kavaleri yang sedang mengadakan tindakan
militer terhadap kaum Druz. Selama empat bulan berada di Siria, ia mendirikan
15
organisasi politik rahasia dengan nama Horriet Cemieti. Atas prestasinya, maka
salah satu pengajar di akademi militer memberikan Mustafa dengan sebutan
Kemal, sehingga namanya menjadi Mustafa Kemal.
C. Pemikiran Politik Mustafa Kemal
Tokoh utama gerakan nasionlisme Turki adalah Mustafa Kemal. Tetapi,
Ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan ideologi nasionalisme Turki.
Mustafa Kemal mendapatkan inspirasi dari para tokoh Usmani muda dan Turki
Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan
oleh Sulta Mahmud II. DI antara pemikir Turki yang meletakkan semangat
nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1975-1924).
Perbedaan yang menonjol antara kelompok Pan Turkisme dan kelompok
nasionalis adalah: pertama, masih berkeinginan untuk tetap mempertahankan
keutuhan wilayah Turki Usmani, sedang yang kedua tidak menginginkan hal
yang demikian dan telah memikirkan embriologi negara nasional Turki yang
dibangun atas kesatuan kebudayaan, karena baginya dan kalangan nasionalis
lainnya, negara Turki bukanlah merupakan wilayah kekuasaan Turki Usmani
sebagaimana yang diinginkan para Pan Turkis, akan tetapi Turki adalah tanah
Turan yang luas sebagaimana yang tertulis dalam genc Kalemler 1911: “negara
bangsa Turki, bukan kerajaan Turki, bukan juga Turkistan. Tetapi negeri mereka
adalahTuran yang luas.”
Zia menginginkan adanya pemisahan antara Dianet dan mu’amalat. Ia
mengatakan bahwa hukum yang terdapat dalam mu’amalat berasal dari adat dan
kemudian dikuatkan oleh wahyu AL-Qur’an. Dan adat itu bersifat dinamis,
maka hukum mu’amalat juga harus dinamis. Dinamika adat inilah yang harus
diantisipasi oleh pemerintah dan menjadi tugas pemerintah untuk tetap menjaga
dinamika mu’amalat.Sedangkan dianet adalah menjadi otoritas ulama untuk
senantiasa menjaganya agar tidak berubah. Oleh karena kodifikasi karya-karya
16
hukum Islam harus segera dirombak. Mu’amalat harus dikeluarkan dari bahasan
hukum Islam.
Pada kesempatan lain Zia berpendapat bahwa lembaga mufti besar
kerajaan harus dihapuskan. Sebagai pemelihara syari’ah, seorang mufti besar
menjadi tempat bertanya Sultan tentang keselarasan kebijakan kerajaan dengan
syari’at Islam selain itu, pada tangannyalah segala perundang-undangan menuju
untuk mendapatkan legalitas keagamaan. Untuk itu ia menginginkan bahwa
yurisdiksi mufti besar kerajaan, syaikh al-Islam, terhadap Mahkamah Syari’ah
diubah menjadi yurisdiksi kementrian kehakiman. Sedangkan yurisdiksi syaikh
Islam terhadap persoalan pendidikan diberikan kepada kementrian Ewkaf.10
Pemikiran Zia Gokalp sangat mempengaruhi Mustafa Kemal dalam
proses perpolitikannya. Konsep nasionalisme dan pembentukan negara atas
dasar kebudayaan menjadi landasan untuk mendirikan negara Turki. Langkah-
langkah politik dilakukan oleh Mustafa Kemal. Pada permulaan bulan Juli 1920,
ia telah mendirikan National Assembly, dewan Nasional, di Ankara. Pada saat
berdirinnya ia mengatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar dalam
praktik kenegaraan adalah kecenderungan populisme, yaitu pemerintahan rakyat.
Yang ia maksudkan dengan populisme adalah diberikannya secara langsung
kekuasaan, kedaulatan, kekuatan dan pemerintahan kepada rakyat. Hasilnya
adalah dalam law of vundamental organization, 20 Januari 1921 yang
merupakan kesepakatan grand national assembly, disebutkan bahwa yang
menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.
Kesepakatan ini jelas mendapatkan perlawanan dari pihak Istambul.
Setelah terjadi dialog antara kedua belah pihak, maka kesepakatan tentang
kekuasaan rakyat ditambah pernyataan bahwa format pemerintahan dalam
10 Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 142.
17
bentuk kesultanan dan khilafah tidak perlu dipertanyakan. Kesepakatan ini justru
merupakan kemenangan Kemal dan kawan-kawannya. Ia mengusulkan agar
kekuasaan Sultan dan khalifah akhirnya dipisah dan yang pertama kemudian
dihapuskan. Sdangkan khalifah hannya memiliki kekuasaan keagamaan saja.
Kompromi ini dimaksudkan untuk menjaga merembetnya oposisi keagamaan ke
persoalan politik dan pada saat yang sama untuk mengakhiri otokrasi sebagai
Sultan.
Mustafa Kemal kemudian memulai langkah pembaharuan berikutnya,
yaitu dengan menciptakan sebuah instrument politik baru. Pada tanggal 6
Desember 1922, ia mendirikan partai rakyat dan mengundang seluruh kalangan
terpelajar untuk berkomunikasi dengannya secara langsung. Pada tanggal 16
April 1923, grand national assembly membubarkan diri dan mempersiapkan
pengadaan pemilu. Anggota assembly baru hasil pemilu memiliki anggota 286
perwakilan dan pada tanggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai
presiden dan Fethi sebagai perdana menteri. Dengan ini negara baru Turki tidak
atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation
(bangsa), dengan ibu kota di tengah-tengah Turki yaitu Ankara.
Reformasi Mustafa Kemal berlanjut kepada reformasi dibidang
kelembagaan. Pada pidato pembukaan di dewan nasional 1 Maret 1924, Mustafa
mengemukakan tiga pendapat yang isinya menyelamatkan dan menjaga
stabilitas republik, pembentukan sistem pendidikan terpadu, dan keharusan
untuk mengurangi pengaruh Islam, dengan menghindarkannya untuk
dijadikannya instrument politik sebagaimana yang dilakukan sejak berabad-abad
yang silam. Pandangan ketiganya dijelaskan lebih lanjut dalam pertemuan partai
rakyat. Itu berarti juga membersihkan unsur-unsur Turki Usmani dalam republik
Turki. Selain itu, kebijakan tersebut berarti serangan Kemal secara terbuka
kepada kekuatan-kekuatan ortodoksi Islam yang telah begitu mapan. Pada
tanggal 3 Maret 1924, grand national assembly secara resmi menghapus
18
lembaga kesultanan dan khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan hari libur
nasional dirubah dari hari jumat ke hari minggu, dan keluar peraturan tentang
keharusan menggunakan busana barat.
Kebijakannya bukan tanpa halangan. Kelompok oposisi yang
menamakan dirinya sebagai progressive republican party, yang dahulu adalah
teman dekatnya semasa revolusi, akhirnya menjadi penentangnya. Dari kalangan
Islam konservatif, kalangan muslim di Mesir dengan diwakili syekh AL-Azhar
menentang pembaharuan semacam ini.
Terdapat beberapa usaha terencana yang mengarah pada sebuah
pemusatan kembali orientasi dan doktrin sosial politik. Pertama, reformasi
linguistik. Dengan pergantian huruf arab menjadi huruf latin, maka Turki
Language Asociation (Asosiasi BahasaTurki) melakukan Turkifikasi istilah-
istilah yang selama ini dipinjam dari bahasa Persi dan arab dan
menggantikannya dengan bahasa Turki yang ditemukan oleh para guru dan
muridnya dengan menerjunkan mereka ke desa-desa. Hasil dari upaya ini,
masyarakat Turki terpaksa membaca glossary (daftar istilah) saat membaca surat
harian. Kedua, reformasi kesejarahan. Penelitian besar-besaran dilakukan untuk
menggali kembali jejak-jejak sejarah Turki dan mengabaikan sejarah dinasti
Turki Usmani. Sehingga sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah menjadi
sarana pendidikan nasionalisme. Ketiga, muncul dan berkembang ideologi baru
Turki yang lebih dikenal dengan Kemalisme.11
Konsep pembaharuan politik Mustafa Kemal berawal dari tiga unsur
yang kemudian menjadi sebuah ideologi Kemalisme. Ketiga unsur tersebut ialah
nasionalisme, sekularisme, dan westernisme.12 Pertama, unsur nasionalisme
11 Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 148-150.
12 Lutfi Fahrul Rizal, Pemikiran Filsafat Politik Mustafa, the primusinterpares2.blogspot.com. Di akses pada tanggal 6 April 2013.
19
dalam pemikiran Mustafa Kemal diilhami oleh Ziya Gokalp (1875-1924) yang
meresmikan kultur rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam untuk
menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Dalam koridor pemahaman
Mustafa Kemal, Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah
dipribumikan ke dalam budaya Turki. Oleh karenanya, ia berkeyakinan bahwa
Islam pun dapat diselaraskan dengan dunia modern. Turut campurnya Islam
dalam segala lapangan kehidupan akan membawa kemunduran pada bangsa dan
agama. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu
menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena
peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam.
Kedua, unsur sekularisme. Unsur ini sebenarnya adalah implikasi dari
pemahaman westernisme Mustafa Kemal. Pada prinsip ini, salah seorang
pengikut setia Mustafa Kemal, Ahmed Agouglu menyatakan bahwa indikasi
ketinggian suatu peradaban terletak pada keseluruhannya, bukan secara parsial.
Peradaban Barat dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya
karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, tetapi karena keseluruhan
unsur-unsurnya. Peperangan antara Timur dan Barat adalah peperangan antara
dua peradaban, yakni peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban
Islam, agama mencakup segala-galanya mulai dari pakaian dan perkakas rumah
sampai ke sekolah dan institusi. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan
kehidupan membawa kepada mundurnya Islam, dan di Barat sebaliknya
sekularisasilah yang menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus
mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekularisasi terhadap
pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum. Menurut versi Mustafa
kemal, sekularisme bukan saja memisahkan masalah bernegara (legislatif,
eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi
peranan agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme
20
ini adalah lebih merupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang
berlaku di masa Usmani.
Ketiga, unsur westernisme. Dalam unsur ini, Mustafa Kemal berpendapat
bahwa Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru Barat
negara Turki akan maju. Unsur westernisme dalam prinsip pemikiran Mustafa
Kemal mendapat momennya ketika dalam salah satu pidatonya ia mengatakan
bahwa kelanjutan hidup suatu masyarakat di dunia peradaban modern
menghendaki perobahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu
pengetahuan mampu membawa perobahan secara terus-menerus, maka bangsa
yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua lagi usang tidak akan
dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus dirubah menjadi
masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner
harus dihancurkan.
Ketiga unsur tersebut melahirkan sebuah prinsip ideologi Kemalisme.
Prinsip-prinsip fundamental dan yang tidak berubah dari Kemalisme diterangkan
oleh Mustafa Kemal dalam manifestonya yang diumumkan pada 20 April 1931.
Enam prinsip tersebut terdiri dari republikanisme, nasionalisme, populisme,
etatisme, sekluarisme, dan revolusinarisme, diambil oleh partai republik rakyat,
dan dimasukkan dalam konstitusi.13 Kemal menerangkan prinsip-prinsip ini
beberapa tahun lamanya dalam berbagai pidatonya di dewan nasional agung,
juga kepada rakyat di banyak tempat.
Dengan keenam prinsip tersebut, maka Turki benar-benar berada pada
kondisi politik yang sekularis, liberalis, westernis, modernis. Namun, konsep
politik yang dipraktikkan oleh Kemal merupakan politik yang tidak bersandar
pada apa yang disebut dengan politik transcendental. Dengan demikian, ia
13 H. A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm.88.
21
hanya berambisi untuk menjadikan negara Turki sebagai negara yang berkiblat
ke peradaban barat, tanpa melakukan filterisasi kebudayaan dan peradaban.
Konsep sekularisasi Kemal Nampak jelas dalam kebijakan-kebijakannya. Seperti
menghapuskan kekhilafahan Usmani, menghapuskan Mahkamah Syari’ah,
menghapuskan Islam sebagai agama Turki, peraturan mengenai pelarangan
memakai jilbab. Di samping itu, ia menuntut penyamaan kedudukan wanita dan
laki-laki. Wanita-wanita Turki diberikan hak pilih dalam pemilihan Parlemen
sejak bulan Desember 1934. Undang-undang yang disetujui pada 28 Juni 1934
mengharuskan bahwa setiap orang Turki mempunyai nama keluarga mulai 1
Januari 1935. Dengan kata lain, Mustafa Kemal At-Taturk melakukan
pembaharuan bukan hanya reformasi saja. Dengan gerakan revolusionernya
itulah, segala aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, simbol-simbol
Islam telah dihapuskan.
Faktor utama yang mendorong Mustafa Kemal memilih sekularisme
ialah terjadinya kemunduran secara menyeluruh di kalangan umat Islam, baik
kehidupan kemasyarakatan maupun kehidupan ketatanegaraan yang ia anggap
akibat dari penggunaan system khilafah atau kesultanan yang menjadi
karakteristik system pemerintah Islam. Selain itu Mustafa Kemal melihat bahwa
dengan kehidupan yang sekular di barat menjadikan negara dan bangsa maju
dalam hal ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Menurutnya system
pemerintahan Islam itulah yang menyebabkan bangsa Turki mengalami
kemunduran sehingga perlu diadakannya perubahan-perubahan secara
refolusioner agar Turki menjadi maju. Karena factor-faktor itulah, maka Mustafa
Kemal selanjutnya memilih konsep sekularisme dan westernisme yang dia
anggap dapat merubah kehidupan bangsa Turki. Pemikiran Mustafa Kemal yang
demikian itupun dipengaruhi oleh pergaulan-pergaulannya dengan orang-orang
barat, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dia terpengaruh dan
22
akhirnya terbukti dengan lahirnya Turki modern yang sekular dan memiliki
ideology Kemalisme.
Mustafa Kemal menjalankan pemerintahannya dengan pola otoriter,
meskipun ia menggunakan prinsip demokrasi. Dengan pola tersebut, maka
dalam menentukan kebijakan tidak ada oposisi yang dapat menggagalkannya.
Akibat tindakan yang radikal itu, dalam pemerintahannya terdapat usaha-usaha
untuk melakukan kudeta. Namun hal tersebut tidak mampu menumbangkan
posisi Mustafa. Akhirnya jabatannya berakhir ketika ia diserang penyakit dan
meninggal pada tanggal 10 Nopember 1938. Namun ideologi Kemalisme tetap
menjadi ideologi bangsa Turki pada generasi selanjutnya.
D. Analisis
Kekuasaan merupakan suatu hal yang pasti ada pada diri manusia.
Kekuasaan berdampak pada kepemimpinan. Bila sudah masuk dalam ranah
kepemimpinan, maka setiap individu manusia merupakan pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggunjawabannya. Pemimpin dalam hal ini bukan
hanya pemimpin dalam lingkup kelompok besar, namun pemimpin di sini
meliputi pemimpin dalam lingkup pribadi sampai dengan pemimpin dalam
lingkup yang lebih luas.
Pemimpin yang kita bahas pada makalah ini ialah pemimpin dalam
konteks sebuah negara. Kepemimpinan atau kekuasaan di sebuah negara
merupakan suatu hal yang sangat penting. Dengan kekuasaan seseorang akan
mampu membuat peraturan-peraturan sehingga diharapkan dengan peraturan-
peraturan tersebut dapat mengubah dari yang buruk menjadi baik, dari yang
kacau menjadi teratur dan lain sebagainya. Permasalahannya ialah apakah semua
23
pemegang kekuasaan mampu menjadi penguasa yang baik?. Sejarah telah
membuktikan, bahwa tidak semua penguasa mampu mewujudkan peradaban
yang baik. Dalam konteks ini, maka yang perlu kita kritisi ialah kepemimpinan
atau penguasa Turki modern yaitu Mustafa Kemal At-Taturk yang telah
melakukan revolusi Turki Islam dan mendirikan republic Turki. Selama kurun
waktu 15 tahun, ia telah menghasilkan berbagai macam kebijakan yang tentunya
kebijakan tersebut tidak berdasar pada nilai-nilai Islam, namun kebijakan yang
berdasar pada peradaban barat.
Sekularisme, liberalisme, modernisme dan westernisme merupakan
paham yang dihidupkan dalam negara Turki modern. Adobsi peradaban secara
total tersebut melahirkan pemimpin yang tidak memiliki nilai-nilai prophetik.
Seperti dalam filsafat Alfarabi, penguasa ideal adalah seorang Nabi atau
seseorang yang memiliki kualitas-kualitas prophetic. Para Nabi sempurna bukan
karena kebijaksanaan teoritisnya, melainkan karena tindakan-tindakan sebagai
pembuat pemberi hukum dan penuasa. Tindakan-tindakan itu seharusnya
mengarahkan manusia pada jalan kehidupannya dalam masayrakat di dunia ini,
dan dengan demikian, meratakan jalan, yaitu jalan mistis menuju kehidupannya
di hari nanti ke dunia spiritual akal.14
Menurut Al-farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang dari segi
kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan menasihati penguasa
tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified ruler atau penguasa tanpa
kualifikasi), penguasa subordinat (tingkat kedua) yang berkuasa dan sekaligus
dikuasai, dan yang dikuasai sepenuhnya.15
Untuk menilai kepemimpinan Mustafa Kemal sesuai dengan nomokrasi
Islam dan paradigma prophetik atau tidak, maka dapat dilihat dari dua
14 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 2003),hlm. 36-37.
15 Ibid: hlm. 61.
24
permasalahan, yaitu suksesi kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan
1. Suksesi kekuasaan.
Mustafa secara tersembuni menyusun kekuatan untuk mengambil
alih kekuasaan dari dinasti Usmani. Kegiatan-kegiatan
tersembunyinya dapat diketahui oleh pihak kerajaan, sehingga
Mustafa diperingatkan untuk menghentikan kegiatan-kegiatannya
yang bermaksud untuk memberontak. Namun peringatan pihak
kerajaan tidak dihiraukannya. Bahkan ia menyatakan perang terbuka
dengan menyatakan bahwa kekhalifahan bukan lagi sebagai lembaga
politik, namun hanya sebagai lembaga spiritual saja. Dengan
demikian, kekuasaan yang diperoleh oleh Mustafa tidak melalui
mekanisme atau sistem perpindahan kekuasaan yang baik, sehingga
menyebabkan tersingkirnya keluarga kerajaan dari negara Turki.
Sistem musyawarah nampaknya bukan jalan terbaik bagi Mustafa
untuk merebut kekuasaan dari tangan kerajaan. Untuk itulah ia
melakukan pemberontakan secara perlahan.
Dalam nomokrasi Islam kekuasaan merupakan amanah sehingga
sudah seharusnya bahwa amanah diberikan kepada orang-orang yang
berhak untuk menerimanya. Dalam konteks ini, kekuasaan
merupakan alat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bukan
justru sebaliknya. Tersingkirnya keluarga dinasti Usmani dan
hancurnya system kesultanan Turki menunjukkan bahwa sebagai
orang yang telah berkuasa tidak dapat menciptakan kedamaian dalam
memperoleh kekuasaanya. Sistem musyawarah yang menjadi salah
satu prinsip nomokrasi Islam tidak dipraktikkan oleh Mustafa dalam
proses pengambilan kekuasaan. Oleh sebab itu, berawal dari suksesi
25
yang tidak baik maka kebijakan-kebijakanyapun akan menimbulkan
kontrofersi di negaraTurki itu sendiri.
2. Kebijakan-kebijakan.
berbagai macam kebijakan yang dihasilkan telah melanggar hak-hak
kebebasan manusia. Seperti contoh, dalam berbusana perempuan
tidak diperbolehkan mengenakan jilbab. Artinya masyarakat tidak
diperbolehkan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama (Islam)
termasuk dalam hal berbusana yang mana itu sebagai pelanggaran
atas kebebasan individu untuk melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing. Sehingga dengan demikian, Mustafa tidak
menjunjung hakikat liberasi. Jika mengacu pada pendapat Tibi
mengenai sekularisem dan sekularisasi, ia membedakan makna dari
keduanya. Tibi membedakan antara sekularisme sebagai ideologi dan
sekularisasi sebagai proses sosial. Sekularisme merupakan suatu
konstruksi yang dapat mencakup ideologi irreligious dan anti agama
sementara sekularisasi merupakan proses sosial yang didasarkan pada
diferensiasi fungsional masyarakat.16 Dari pendapat Tibi tersebut,
dalam emahaman penulis, bahwa Mustafa Kemal telah jauh
melampaui batas-batas sekularisme. Bila memang sekularisme
sebagai ideologi dalam pemisahan agama dan negara, seharusnya
negara tidak mengurusi hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan
agama, baik itu ritual keagamaan maupun melakukan symbol-simbol
keagamaan. Selain kebijakan mengenai pelarangan memakai jilbab,
hal yang parah lagi dilakukannya ialah mengubah fungsi beberapa
masjid menjadi gereja dan beberapa masjid difungsikan sebagai
16 Muhammad Nur, Negara Indonesia Islam (Nii)No, Negara Indonesia Islami (Nii) Yes“Pergulatan Konsep Negara Dalam Peradaban Islam Modern”, Cet. Pertama (Yogyakarta: SukaPress, 2011), hlm.
26
museum. Ini sebuah tindakan yang tidak lagi berdasar pada prinsip-
prinsip penguasa yang baik. Tindakan tersebut cenderungamoral dan
sudah tidak pada batas-batas prinsip sekularisme barat. Artinya,
Mustafa telah jauh menerapkan sekluraisme dalam kehidupan publik,
khususnya dalam hal menjalankan ajaran agama, baik secara
ritualnya maupun menggunakan simbol-simbol keagamaan.
Selain itu, dalam kehidupan perekonomian Mustafa menerapkan
etatisme yang berarti melakukan pembangunan ekonomi dengan
system kapitalisme. Konsekuensinya ialah bahwa barat merupakan
infestor-infestor besar di dalam negara Turki. Dengan kapitalisme
berarti ekonomi liberal menjadi paham dalam kepemimpinan
Mustafa Kemal yang tentu saja dalam system kapitalis pemilik modal
besar akan semakin kaya sehingga menimbulkan kesenjangan sosial
yang berdampak pada pemerataan kesejahteraan masyarakatnya. Di
samping itu, pola ekonomi kapitalis tidak menjunjung tinggi
persamaan dalam melakukan persaingan dibidang ekonomi.
Munculnya oposisi melawan kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal
menunjukkan bahwa ketaatan rakyat sangat kecil dan keadilan
kurang atau bahkan tidak dirasakan oleh masyarakat. Kelompok
oposisi tersebut merupakan ekspresi dari kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Terlebih jika pemerintah melaksanakan
roda pemerintahannya dengan cara yang otoriter. Dengan demikian,
prinsip-prinsip nomokrasi Islam tidak ada di dalam pemerintahan
Mustafa Kemal.
Kedua aspek tersebut mengindikasikan bahwa memang pada sosok
Mustafa Kemal tidak terdapat apa yang disebut dengan paradigma prophetic.
Apabila dirinya memiliki kualitas prophetic, maka humanisasi, liberasi, dan
transendensi akan menjadi pedoman dalam memimpin Turki. Sebenarnya Turki
27
mengalami kemuduran bukan karena menggunakan system pemerintahan Islam
(kesultanan), namun Turki mengalami kemandegan akibat pemahaman Islam
yang tidak mendalam yang terjadi di kalangan umat Islam itu sendiri, termasuk
kalangan pejabat pemerintahan, sehingga dengan melihat kemajuan peradaban
barat, seakan-akan peradaban barat lebih maju dan lebih baik dibandingkan
dengan sistem pemerintahan Islam yang menyatukan agama dan negara.
Dalam pandangan paradigma prophetik pemerintahan Mustafa jauh dari nilai-nilaihumanisasi, liberasi, dan transendensi. Hal ini dapat dilihat dari cara Mustafa Kemalyang secara pragmatis mengadobsi seluruh budaya barat. Dalam aliran etika,pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yangmembuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaatsecara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibatpraktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagaikebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.Dengan demikian, patokan pragmatism adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Patokan aliranpragmatism yaitu Pertama, menolak segala intelektualisme, kedua, absolutism, ketigameremehkan logika formal.17
Pragmatisme Mustafa Kemal itulah justru mengakibatkan Turki berada
di dalam penjajahan bukan pada posisi yang bebas dari barat. Adapun
masyarakatnya telah dikekang hak-haknya sehingga secara tidak langsung
kebijakan-kebijakan yang ada justru tidak melindungi hak-hak asasi manusia.
Dengan kondisi yang demikian itu, maka dapat dipastikan bahwa transnndensi
Mustafa Kemal dalam memimpin Turki modern tidak ada, atau dengan kata lain
Mustafa Kemal tidak berpegang pada nilai-nilai keagamaan yang merupakan
prinsip dari nomokrasi Islam.
Pemisahan agama dan negara oleh barat, sebenarnya berangkat dari
pemikiran gereja yang statis sehingga menimbulkan ketidak majuan bangsa
17 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran FIlsafat dan Etika, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 171.
28
barat. Oleh sebab itu, campur tangan gereja dalam negara kemudian dipisahkan.
Dengan pemisahan tersebut diharapkan ajaran-ajaran gerega tidak mengganggu
jalannya penyelenggaraan negara. Ini menunjukkan, bahwa dalam konsep barat
penyatuan ajaran agama dan pelaksanaan kenegaraan tidak akan pernah
menjadikan peradaban maju.
Jika memahami Islam sama halnya dengan agama gereja, maka itu suatu
pemahaman yang keliru. Abdul Raziq merupakan tokoh Islam sekular, namun
dia dapat melihat Rasul dalam dua sisi. Pertama, ia adalah utusan yang diberi
wahyu dan pembawa risalah langit. Kedua, ia adalah seorang pemimpin politik
untuk negara Madinah. Bahkan ia adalah pemimpin politik pertama dalam
Islam.18 Raziq jelas memaparkan bahwa sebenarnya politik dan agama Islam
sendiri merupakan suatu hal yang integral, sehingga dalam berpolitik, agama
menjadi kontrol dalam bernegara. Meskipun Raziq juga menentang keberadaan
khilafah yang tidak memiliki dasar legitimasi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
namun pernyataannya memberikan pemahaman bahwa integrasi politik dan
agama (Islam) telah dipraktikkan oleh Rasulullah, bahkan Rasulullah merupakan
pemimpin politik dan agama sekaligus yang pertama di dunia Islam. Denagn
demikian, pada dasarnya penyatuan Islam dengan politik bukan merupakan
factor mundurnya suatu peradaban.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kepemimpinan Nabi sebagai politisi
dan juga sebagai agamawan tidak menjadikan Islam tenggelam, bahkan Islam
mengalami perkembangan yang pesat. Ini membuktikan bahwa pernyataan
sistem pemerintahan yang didasarkan atas sistem Islam menjadi penghambat
dalam modernisasi itu tidak benar. Jika memang pernyataan itu benar, maka
kekhilafahan Islam tidak akan bertahan lama. Kemunduran bahkan runtuhnya
sistem pemerintahan Islam disebabkan justru para penguasa Islam telah jauh dari
18 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: PustakaSetia, 2010), hlm. 443-444.
29
pedoman Islam, yaitu Qur’an dan hadits. Oleh sebab itu, barat dapat
menggunakan momentum yang tepat untuk menyebarkan kulturnya sehingga
sebagian dari kalangan muslim hanyt dalam peradaban itu. Hal yang terpenting
saat ini adalah bagaimana umat Islam dapat melakukan filterisasi, mana yang
baik dari barat dan sesuai dengan kepribadian Islam, maka perlu untuk diambil
dan diterapkan. Namun demikian juga sebaliknya, tidak secara serta-merta
peradaban dari barat yang lebih maju harus diadobsi oleh umat Islam. Ini yang
terjadi pada Negara Turki, yang mana Mustafa serta-merta mengadobsi segala
apa yang ada dalam peradaban barat. Jika semua negara yang memiliki
masyarakat muslim demikian, maka secara terstruktur Islam akan punah. DI
sinilah pentingnya penguasa yang memiliki kualitas prophetic yang bisa
mengeluarkan umat muslim keluar dari belenggu peraddaban barat yang
semakin lama semakin menjadi massif.
Memahami bahwa Islam merupakan agama yang berparadigma inklusif, maka
sesungguhnya Islam dapat mengikuti arus perubahan zaman. Dengan
inklusifitasIslam sesungguhnya Islam bukanlah agama yang tidak haus akan
kemajuan peradaban. Oleh sebab itu, dengan paradigma Islam inklusif dan politik
transendental, maka umat Islam akan kembali menemukan kejayaan Islam dan
selektif dalam dunia modernisasi, sehingga peradaban Islam tidak lagi dijadikan
alasan sebagai penghambat proses modernisasi. Kemunduran Islam bukan karena
ajaranya, namun karena umatnya. Seperti pernyataan Muhammad Abduh, ia
menyatakan: “Al-Islam ya’lu wa la yu’la alaih, walakinnal Islam mahjubun bil
muslimin” (Islam itu mulia dan tidak ada yang lebih mulia, namun kemuliaan Islam
itu justru banyak tertutup oleh prilaku umat Islam itu sendiri). Dengan demikian,
kejayaan Islam dapat diraih kembali apabila seluruh umat Islam bersatu dan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip ke-Islaman baik dalam ibadah
maupunkehidupan berbangsa dan bernegara.
30
Demikianlah analisis penulis terhadap politik pemerintahan Mustafa
Kemal At-Taturk, yang didasarkan pada teori nomokrasi islam dan paradigma
prophetik. .
I. KESIMPULAN
a.
Dari pembahasan mengenai perjalanan politik Mustafa Kemal At-Taturk,
maka dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan nomokrasi Islam dan
paradigma prophetik politik pemerintahan Mustafa Kemal At-Taturk tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi Islam dan paradigma prophetik. Hal
ini dapat dilihat dari sisi suksesi kepemimpinan dan produk-produk kebijakan.
Suksesi kekuasaan tanpa musyawarah serta munculnya oposisi dan kebijakan-
kebijakan yang jauh dari humanisasi, liberasi dan transendensi menunjukkan
tidakadanya nilai-nilai Islam di dalam pemerintahannya. Dengan demikian,
kemaslahatan dalam kepemimpinannya tidak tercapai, padahal seharusnya
seorang pemimpin dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan harus
berdasarkan pada kemaslahatan. Sebagaimana dalam Kaidah Ushul Fiqh
mengatakan Dengan kaidah ini, maka bertambah .”تصرف اإلمان منعوط بالمصلحة“
jelas bahwa pada dasarnya segala bentuk kebijakan para pemimpin penyelenggara
Negara, didasarkan atas kemaslahatan rakyatnya.
31
DAFTAR PUSTAKA
A. Mughni Syafiq, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997.Almawdudi, Abu Al-Ala. Islamic Law And Constitution, Lahore: 1967.
Azhari, Muhammad Tahir. “Negara Hukum; Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dariSegi Hukum Islam, implementasinya pada periode Negara Madina dan masa kini”, Jakarta: PrenadaMedia, 2004.Cahyono, Cheppy Hari. Idiologi Politik, Cet. 2, Yogyakarta: PT. Hanindita Grahawidya, 1988.Hamaman dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005.
Ibnu Taimiah Asiasah Assyariah
Khomaini Imam, Islam And Revolution, Writings And Declarations of Imam Khomaini, Terjemah dananotasi Hamid Algar (Berkeley: 1981.
1 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008.Lutfi Fahrul Rizal, Pemikiran Filsafat Politik Mustafa, the primus interpares2.blogspot.com.
Di akses pada tanggal 6 April 2013. H. A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern,(Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 88.
Nur Muhammad, Negara Indonesia Islam (Nii)No, Negara Indonesia Islami (Nii) Yes“Pergulatan Konsep Negara Dalam Peradaban Islam Modern”, Cet. Pertama Yogyakarta: Suka Press,2011.Praja, Juhaya S. Aliran-aliran FIlsafat dan Etika, Bogor: Kencana, 2003.
Schacht Joseph, Pengantar Hukum Islam, Alih Bahasa: Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika,2003.
Wahidd Marzuki, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2001.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2003.