31
1 PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk) Oleh: Abdullah Fikri A. LATAR BELAKANG Perkembangan peradaban manusia senantiasa berkembang sesuai dengan pola pikir manusia itu sendiri. Dalam bidang politik pemerintahan Islam pun demikian. Islam yang semula menjadi peradaban yang mendunia, akhirnya runtuh juga dengan peradaban barat. Hal ini disebabkan karena menjauhnya umat Islam dari pedoman hidup Islam dan adanya kemandegan dalam berijtihad. Hal-hal semacam itulah yang mengakibatkan masyarakat Islam menganggap bahwa Islam merupakan agama yang tidak berkembang. Munculnya permasalahan tersebut bersamaan pula dengan gencarnya barat dalam mengembangkan peradaban sekularisasi dan liberalisasi sehingga masyrakat Islam tertarik dan tergiur oleh perkembangan-perkembangan yang maju, seperti halnya teknologi, industry, dan ilmu pengetahuan. Turki Usmani sebagai lambang eksistensi kekhilafahan Islam, akhirnya runtuh pula dengan masuknya tokoh sekularis. Tokoh inilah yang menghapuskan KESULTANAN Turki yang kemudian ia ubah menjadi Turki modern sekular. Tokoh tersebut ialah Mustafa Kemal At-Taturk. Sekularisme yang ia bawa ternyata menghasilkan perubahan yang revolusioner bagi sejarah Turki. Paradigma atau ideologi akan mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dengan percaya diri. Demikian halnya dengan Kemal, ia memiliki ideologi sekularisme yang kuat dan mendasar sehingga Turki menurut dia harus menjadi Turki yang modern dengan meninggalkan sejarah panjang ke-Islaman. Dengan demikian Turki merupakan

PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI (Mustafa Kamal At-Taturk

Embed Size (px)

Citation preview

1

PEMIKIRAN POLITIK PEMERINTAHAN di TURKI

(Mustafa Kamal At-Taturk)

Oleh: Abdullah Fikri

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan peradaban manusia senantiasa berkembang sesuai dengan pola

pikir manusia itu sendiri. Dalam bidang politik pemerintahan Islam pun demikian.

Islam yang semula menjadi peradaban yang mendunia, akhirnya runtuh juga dengan

peradaban barat. Hal ini disebabkan karena menjauhnya umat Islam dari pedoman

hidup Islam dan adanya kemandegan dalam berijtihad. Hal-hal semacam itulah yang

mengakibatkan masyarakat Islam menganggap bahwa Islam merupakan agama yang

tidak berkembang. Munculnya permasalahan tersebut bersamaan pula dengan

gencarnya barat dalam mengembangkan peradaban sekularisasi dan liberalisasi

sehingga masyrakat Islam tertarik dan tergiur oleh perkembangan-perkembangan

yang maju, seperti halnya teknologi, industry, dan ilmu pengetahuan.

Turki Usmani sebagai lambang eksistensi kekhilafahan Islam, akhirnya runtuh

pula dengan masuknya tokoh sekularis. Tokoh inilah yang menghapuskan

KESULTANAN Turki yang kemudian ia ubah menjadi Turki modern sekular. Tokoh

tersebut ialah Mustafa Kemal At-Taturk. Sekularisme yang ia bawa ternyata

menghasilkan perubahan yang revolusioner bagi sejarah Turki. Paradigma atau

ideologi akan mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dengan percaya diri.

Demikian halnya dengan Kemal, ia memiliki ideologi sekularisme yang kuat dan

mendasar sehingga Turki menurut dia harus menjadi Turki yang modern dengan

meninggalkan sejarah panjang ke-Islaman. Dengan demikian Turki merupakan

2

negara baru yang terlepas dari sejarah panjangnya, baik sistem pemerintahan, bentuk

negara, dasar negara, bahkan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Perdebatan relasi agama dan negara dalam kajian politik Islam terus

mengalami perkembangan. Hal itu kemudian melahirkan tiga paradigma hubungan

agama dan negara, yaitu integralistik, simbiotik, dan sekularistik1.

1. Paradikma integralistik (unified paradig

Dalam paradigma ini agama dan negara menyatu (integrated) wilayah agama

meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan sekaligus

keagamaan. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah

pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya

diselenggarakan atas dasar “kedaulatan illahi” (divina sovereignty), karena

pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada

ditangan tuhan.

Paradigma ini dianut oleh kelompok si’ah. Hanya saja dalam term politik

si’ah untuk menyebut negara (addaulah) diganti dengan imamah

(kepemimpinan).

Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan

mempunyai fungsi penyelenggaraan kedaulatan Tuhan, negara perspektif

si’ah bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa

kekuasaan mutlak berada ditangan Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan

ayat Tuhan (syari’ah).Sebagian kalangan konserfatif suni (vundamentalis)

juga memiliki pendapat yang sama mengenai integrasi agama dan negara ini.

1 Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam Di

Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 22-30.

3

Dengan demikian, dalam perspektif paradigma integralistik pemberlakuan dan

penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang

niscaya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Khomaini bahwa dalam

negara Islam berwenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada

seorangpun berhak menetapkan hukum. Dan yang boleh berlaku hanyalah

hukum dari Tuhan.2

Pernyataan Khomaini ini diperkuat oleh pernyataan Abul Al-A’la Almaududi,

salah seorang tokoh pendukung paradigma ini,bahwa syariah adalah sekema

kehidupan yang sempurna yang meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan,

tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. 3

Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara-agama,

dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip

keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam agama

dan sekaligus negara.) Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum

agama. Masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan agama dan mana

aturan agama karena keduanya menyatu.Oleh karena itu, dalam paham ini,

rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat kepada agama

sebaliknya memberontak dan melawan agama yang berarti juga melawan

Tuhan. Negara dengan model demikian tentu saja sangat potensial terjadinya

otoritarianisme dan kesewenangan penguasa, karena rakyat tidak dapat

melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama.

Karena sifatnya yang demikian, maka para penulis barat, sejauh dengan

dikaitkan Islam sering melihat negara agama tidak compatible dengan

demokrasi.

2. Paradigma simbiotik (symbiotic paradigm)

2 Imam Khomaini, Islam And Revolution, Writings And Declarations of Imam Khomaini, Terjemah dananotasi Hamid Algar (Berkeley: 1981, hlm. 443 Abu Al-Ala Almawdudi, Islamic Law And Constitution, (Lahore: 1967,) hlm. 243.

4

Agama dan negara, menurut paradigma ini berhubungan secara simbiotik

yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.

Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat

berkembang. Sebaliknya negara juga memrlukan agama dalam bimbingan

etika dan moral spritual

Almawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka, bisa disebut sebagai

tokoh pendukung paradigma ini. Sebab dalam karyanya yang masyhur ia

mengatakan kepemimpinin negara merupakan instrumen untuk meneruskan

misi kenabian dalam memelihara agama danmengattur dunia.

Pemeliharaaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas

yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang simbiotik. Keduanya

merupakan dua dimensi dari misi kenabian.Dalam kerangka hubungan

simbiotik ini Ibnu Taimiah dalam As-siasah As-Syar’iah juga mengatakan

sesunguhnya ada kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan

kewajiban agama yangterbesar, sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak

bisa berdiri tegak.4

Ia pun menganggap bahwa penegakkan negara merupakan tugas suci

yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat untuk mendekatkan

manusia kepada Allah. Di dalam konsep ini, syariah (hukum Islam)

mendudukki posisi yang sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas

politik. Demikian juga negara memiliki peranan yang besar untuk

menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar. Dengan demikian,

dalam paradigma simbiotik ini masih tampak adanya kehendak

“mengistimewakan” penganut agama mayoritas untuk memberlakukan

hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara atau paling tidak karena

sifatnya yang simbiotik tersebut, hukum-hukum agama masih memiliki

peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara. Bahkan dalam masalah

4 Ibnu Taimiah Asiasah Assyariah

5

tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum

negara.

3. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)

Paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya,

paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara

dan pemisahan negara atas agama. Konsep ad-dunya al-alakhirah, ad-din ad-

dawla atau umur ad-dunya umur ad-din dikhotomikan secara diamentral.

Dalam konteks islam, atau paling tidak, menolak determinasi islam pada

bentuk tertentu dari negara.

Pemrakarsa paradigma sekularistik, salah satunya, adalah “Aliy “Abd

ar-Raziq (1887-1966 M), Seorang cendekiawan muslim dari mesir. Dalam

bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Abd-Al Raziq mengatakan bahwa

islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; islam tidak

mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan;

kekhalifahan termasuk kekhalifahan al-Khulaafa ar-Rasyidin, bukanlah

sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tapi sebuah sistem yang

duniawi. Ali-Abd Ar-Raziq sendiri menjelaskan pokok pandangan bahwa :

Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula

mendasarkan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat

mana mereka harus diperintah; tapi islam telah memberikan kita kebebasan

mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi

intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki dan dengan

mempertimbangkan sosial dan tuntutan zaman.

6

Dari ketiga corak pemikiran tersebut, maka pada makalah ini akan membahas

corak pemikiran politik sekular. Adapun tokoh yang akan dibahas adalah Mustafa

Kemal At-Taturk, pendiri Turki modern. Dengan konsep sekularnya kesultanan Turki

Usmani dapat dihancurkan. Dalam konteks ini, penulis memfokuskan pada salah satu

kajian fiqh siyasah yaitu dusturiah. Dengan melihat kebijakan-kebijakan yang

ditetapkannya dapat dinilai apakah sesuai dengan pandangan nomokrasi Islam dan

paradigma prophetik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan sebuah pokok

masalah, yaitu: Bagaimana pandangan nomokrasi Islam dan paradigma

prophetic terhadap politik pemerintahan Mustafa Kemal Attaturq?

7

C. Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui pandangan nomokrasi Islam dan paradigma

prophetic terhadap pemikiran politik At-Taturq.

D. Studi Pustaka

Berdasarkan penelusuran penulis, pembahasan mengenai politik

pemerintahan Mustafa Kemal At-Taturk dengan konsep nomokrasi

Islam dan paradigma prophetik belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu,

penulis berpendapat bahwa melakukan kajian seorang tokoh sekular

yang sangat fenomenal sangatlah menarik, terlebih dikaitkan dengan

konsep-konsep prophetik dan nomokrasi Islam yang merupakan ajaran

nilai-nilai moral politik dan norma universal dalam membangun sebuah

negara dan peradaban.

E. Kerangka Teori

Untuk melakukan analisis, penulis menggunakan teori nomokrasi Islam dan ilmu

sosial prophetik atau paradigma prophetik. Mengenai nomokrasi Islam tidak lepas dari

konsep negara hukum. Sebagai negara tentunya memiliki ideologi politik dalam

penyelenggaraan kenegaraan. Idiologi politik adalah suatu keyakinan dan kepercayaan

yang mampu meberikan penjelasan dan sekaligus justifikasi terhadap tertib politik

yang ada ataupun yang didambakan oleh suatu masyarakat, termasuk di dalamnya

strategi untuk merealisasikannya. Dalam arti yang luas strategi pencapaian ini

mencakup pula segenap proses, pengaturan kelembagaan, atau bahkan segala

8

programnya.5 Ideologi politik itulah yang kemudian dituangkan dalam sebuah hukum

dasar atau konstitusi sebuah negara, dalam hal ini adalah Turki modern.

Adapun negara hukum dapat dimaknai bahwa segala sesuatu yang terkait dengan

pelaksanaan ketatanegaraan harus didasarkan atas norma-norma hukum yang

berlaku. Hukum dijadikan dasar sebagai landasan untuk melaksanakan

ketatanegaraan guna mencapai keadilan baik keadilan prosedural maupun keadilan

substantif. Sumber hukum yang dijadikan dasar penyelenggaraan ketatanegaraan

adalah hukum dasar dalam suatu negara atau sering disebut dengan konstitusi.

Konstitusi sebagai norma yang universal dan abstrak serta norma yang tertinggi

perlu mendapatkan penjelasan-penjelasan lebih rinci agar dapat diimplementasikan.

Begitu juga dengan konstitusi dalam Islam. Al-Qur’an sebagai norma dasar Agama

Islam memerlukan penjelasan-penjelasan terhadapnya melalui As-Sunnah.

Ide negara hukum tidak lepas dari konsep nomokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,

sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu

dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah

nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum

sebagai kekuasaan tertinggi. Berangkat dari pengertian secara etimologis tersebut,

maka dalam konteks Fiqh Siyasah, nomokrasi Islam dapat diartikan sebagai aturan-

aturan Hukum Islam untuk melaksanakan kekuasaan dalam penyelenggaraan

ketatanegaraan. Hukum Islam yang dimaksud adalah representasi pemikiran Islam,

manifestasi yang paling khas dari pandangan hidup Islam, inti sari dari Islam itu

sendiri.6 Dengan demikian aspek kehidupan terutama aspek bermasyarakat dan

bernegara, secara nilai-nilai syari’at telah di ajarkan oleh Allah Swt melalui firman-

firman-Nya dan melalui tradisi para Rasul-Nya. Oleh karena itu, Nomokrasi Islam

5 Cheppy Hari Cahyono, Idiologi Politik, Cet. 2, (Yogyakarta: PT. Hanindita Grahawidya,1988), hlm. 7.

6 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Alih Bahasa: Joko Supomo, (Yogyakarta:Islamika, 2003), hlm. 1.

9

tidak dapat tercapai apabila tidak dengan menggunakan strategi-strategi politik.

Strategi tersebut akan berujung pada terwujudnya tujuan Fiqh Siyasah.

Mengenai konsep negara hukum, Muhammad Tahir Azhari7 mengemukakan

konsepnya mengenai negara hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Prinsip-

prinsip tersebut adalah:

a. Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah

b. Prinsip Musyawarah

c. Prinsip Keadilan

d. Prinsip Persamaan

e. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Asasi Manusia

f. Prinsip Peradilan Bebas

g. Prinsip Perdamaian

h. Prinsip Kesehteraan

i. Prinsip Ketaatan Rakyat

Di samping teori nomokrasi Islam, penulis pun menggunakan teori ilmu sosial

prophetik. Ilmu sosial prophetic yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan

mengubah fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk kea rah mana

transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa?. Oleh karena itulah,

ilmu sosial prophetic tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi

mengubah berdasar cita-cita etik dan prophetic tertentu. Dalam pengertian ini

maka ilmu sosial prophetic secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-

cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Bagi kita itu berarti

perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan

transendensi, suatu cita-cita prophetic yang diderifasikan dari misi historis

Islam. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial

prophetic. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi dan

7 “Negara Hukum; Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam,implementasinya pada periode Negara Madina dan masa kini”,

10

transendensi, ilmu sosial prophetic diarahkan untuk rekayasa masyrakat

menuju cita-cita sosioetiknya pada masa depan.8 Dengan demikian, berdasar

pada konsep ilmu sosial prophetic, dapat dikatakan bahwa paradigma

prophetic berangkat dari konsep ilmu sosial prophetik yang diharapkan dapat

menjadi perubahan sosial dalam system kemasyarakatan di sebuah negara.

Dalam konteks ini, paradigma prophetik digunakan untuk menilai pemikiran

politik dan kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal At-Taturq sebagai pemimpin

atau refolusioner negara Turki modern.

Dengan konsep nomokrasi Islam yang berarti negara diselenggarakan atas

dasar prinsip-prinsip al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga melahirkan

paradigma prophetik, maka sebuah negara dapat mewujudkan kemaslahatan

bagi rakyatnya. Kemaslahatan dapat dilihat dari praktik-praktik

penyelenggaraan negara baik yang berupa pengambilan kebijakan di

parlemen, fonis hakim dalam mengambil putusan, dan juga peraturan-

peraturan yang dikeluarkan oleh kepala negara baik itu presiden maupun raja.

Apabila sebuah negara telah terlepas dari konsep nomokrasi Islam dan

paradigma prophetik, maka penyelenggaraan negara akan jauh dari

kemaslahatan. Dalam maqasid syari’ah, ada lima hal yang perlu menjadi

perhatian bagi para pemimpin, yaitu menjaga agama, menjaga akal, menjaga

harta, menjaga keturunan, menjaga jiwa. Kelima tujuan dari pada syari’ah

inilah yang menjadi tujuan dalam fiqh siyasah. Oleh sebab itu, berdasarkan

dua teori di atas penulis mencoba menilai pemikiran politik At-Taturq pada

masa Turki modern, sehingga dapat diketahui perbedaan pemikiran sekular

dengan pemikiran integral dalam konsep hubungan negara dan agama.

F. Metodologi

1. Jenis Penelitian:

8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 482-485.

11

Adapun jenis penelitian pada makalah ini berupa studi pustaka

(library research), yaitu penelitian yang berdasarkan kajian-kajian

kepustakaan.

2. Pendekatan:

Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini ialah pendekatan

normative, yaitu sebuah pendekatan yang didasarkan atas norma-

norma yang ada di dalam teks-teks al-Qur’an maupun As-Sunnah.

3. Sumber Data:

Sumber data yang penulis peroleh ialah melalui buku-buku sebagai

data primer dan artikel-artikel sebagai data sekunder yang berkaitan

dengan pemikiran Kemal At-Taturq dan teori nomokrasi Islam

maupun paradigma prophetik.

G. Sistematika Pembahasan.

Adapun sistematika pembahasan pada tulisan ini ialah:

Bab pertama pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, pokok

masalah, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori, metodologi

penelitian, sistematika pembahasan.

Bab kedua teori, terdiri dari teori nomokrasi Islam dan paradigma

prophetik.

Bab ketiga mengenai data penelitian, yang terdiri dari biografi tokoh

(Mustafa Kemal At-Taturk), konsep politiknya dan kebijakan-kebijakan

yang dihasilkan.

Bab keempat penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran.

H. Pembahasan

A. Sekilas Tentang Turki Usmani

12

Sebelum membahas pemikiran politik Mustafa Kemal sebagai tokoh refolusi

Turki modern, maka penulis akan membicarakan sekilas mengenai Turki Usmani.

Hal ini disebabkan karena perjalanan Turki sangatlah panjang hingga menjadi Turki

modern. Sejarah panjang Turki Usmani inilah yang kemudian melahirkan Turki

modern melalui seorang tokoh pembaharu Turki.

Istilah Usmaniah diambil dari pemimpin yang kedua, yaitu Usman. Ketika

masih berupa komunmitas ini dipimpin oleh Usman yagn bernama Arthgrol bin

Sulaiman. Dia meninggal pada tahun 687H atau 1290 M ketika wilayagh

kekuasaannya berada dibawah kekuasaan Alaudin. Penunjukan Usman untuk

melangsungkan kepemimpinan ayahnya itu dilakukan oleh Alaudin. Kedekatan dan

kerjasama yang telah dibangun oleh Arthogrol dilanjutkan oleh Usman. DI antaranya

dia berjasa telah menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan

kota Broessa dengan kesetiaan yang ditunjukkan oleh Usman kepada Alaudin, maka

Sultan Alaudin memberikan gelar kehormatan “Bey” dan memberikan hadiah berupa

daerah kekuasaan dan diizinkan memakai mata uang sendiri.

Meninggalnya Alaudin mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah dinasti

Seljuk sehingga Usman mendapatkan kekuasaan yang luas dan menyatakan

kemerdekaan serta berkuasa dan berdaulat penuh atas wilayah yang ditempati.

Selanjutnya dinasti Usmani eksis selama 642 tahun )680-1342 H/1282-1924.

Secara garis besar, kepemimpinan kerajaan Usmani dapat dikelompokkan

menjadi lima periode. Periode pertama, yaitu masa pendirian dan pembentukan

kekuasaan setelah melepaskan diri dari dinasti seljuk. periode kedua, yaitu masa

pembenahan pertumbuhan dan ekspansi besar-besaran. masa inilah puncak kejayaan

dan kemenangan bagi kerajaan Usmaniah dengan ditandai takluknya kota

Konstantinopel yang kemudian dijadikan ibu kota dengan perubahan nama menjadi

Istambul. periode ketiga, merupakan periode dimana eksistensi kerajaan sudah mulai

13

terkoyak akibat serangan dari luar bahkan pada periode ini banyak wilayah dari

kekuasaan Usmaniah. periode keempat, yaitu masa dimana banyak gerakan-gerakan

sparatis yang mengakibatkan hilangnya secara perlahan-lahan kekuasaan kerajaan

Usmaniah. periode kelima, pada masa ini pengaruh barat sudah mulai nampak hal ini

dibuktikan dengan kebudayaan dan gaya administrasi ala barat. 9

Runtuhnya Turki Usmani yang ditandai dengan munculnya Republik Turki

menunjukkan bahwa kekuasaan Islam yang berada di dinasti Usmaniah telah hancur.

Namun demikian, dinasti Usmaniah dapat bertahan lama hingga kurang lebih 600

tahun, yang berarti pemerintahannya cukup kuat dan baik. Namun Mustafa Kemal

merupakan seorang tokoh yang dapat membuat sejarah dalam kancah perpolitikan

dunia, dimana dengan konsep sekularismenya dapat menghancurkan symbol

kekuasaan Islam. Hal ini menjadi koreksi bagi umat Islam betapa kuatnya pengaruh

barat mempengaruhi peradaban dunia. Selanjutnya mulai tahun 1924 Turki modern

lahir dengan bersamaan hilangnya lambing kekuasaan Islam yang berupa kesultanan

Turki Usmani.

B. Biografi singkat Mustafa Kemal

Mustafa lahir di Salonika pada tahun 1881. Ayahnya bernama Ali Reza

Efendi adalah seorang pegawe pabean, dan setelah pension menjadi pedagang

kayu. Menurut keinginan ibunya, Zubeyede Hanim, ia dikirm ke sekolah rakyat

setempat, namun Mustafa lari dari sekolah itu beberapa hari kemudian. Lalu ia

dimasukkan di sekolah rakyat Shemsi Efendi. Yang menggunakan metode

modern dalam pendidikannya. Ini adalah sekolah pilihan ayahnya. Ayahnya

meninggal dunia ketika Mustafa berusia tujuh tahun, dan kemudian diasuh oleh

ibunya.

9 Hamaman dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 146-154.

14

Sumber lain ada yang mengatakan bahwa Mustafa Kemal merupakan

orang Yahudi yang menyusup ke dalam pemerintahan dinasti Turki Usmani

yang kemudian secara perlahan-lahan menghancurkan dinasti tersebut. Namun

demikian, terlepas dari persoalan Mustafa Kemal seorang Yahudi atau bukan,

penulis menilai secara riwayat hidupnya ia berasal dari keluarga yang dapat

dikatakan religious. Perubahan-perubahan pandangan pada setiap manusia tidak

hanya dibentuk di dalam keluarganya saja. Pandangan-pandangan atau

kepribadian seseorang dapat dibentuk dari hasil pergaulan. Demikianlah yang

terjadi pada diri Mustafa Kemal yang memiliki pergaulan-pergaulan yang bebas

dalam peradaban mana pun, khususnya barat.

Setelah ayahnya meninggal, Mustafa diajak ibunya ke rumah pamannya

dan bekerja di lading. Pendidikan Mustafa dilanjutkan di Salonika, dimana

saudara perempuan ibunya berada di sana. Ia memasuki sekolah persiapan yang

merupakan Mektep dalam bentuk lama. Salah seorang gurunya, Keymak Hafis

pada suatu hari memberikan hukuman badan yang keras dengan dipukul hingga

berdarah karena Kemal berkelahi dengan kawan kelasnya. Neneknya tidak

setuju Kemal belajar di Mektep, dan oleh karena itu ia keluar dari sekolah itu.

Kemal tertarik di dunia militer, sehingga ia masuk sekolah militer menegah di

Salonika, yang bertentangan dengan keinginan ibunya. Dua tahun kemudian ia

masuk akademi militer di Manastir. Karena kurang memahami bahasa Prancis,

maka dengan diam-diam, ia memasuki sekolah Missi untuk belajar bahasa itu

beberapa bulan lamanya. Setelah tamat dari akademi militer, ia masuk perguruan

tinggi perang di Istambul, dan lulus pada bulan januari 1905 dengan pangkat

kapten staf. Ketika di akademi militer, Kemal terlibat dengan kegiatan-kegiatan

politik sehingga sempat ditahan beberapa bulan lamanya. Setelah dibebaskan ia

ditempatkan di Siria di Resimen Kavaleri yang sedang mengadakan tindakan

militer terhadap kaum Druz. Selama empat bulan berada di Siria, ia mendirikan

15

organisasi politik rahasia dengan nama Horriet Cemieti. Atas prestasinya, maka

salah satu pengajar di akademi militer memberikan Mustafa dengan sebutan

Kemal, sehingga namanya menjadi Mustafa Kemal.

C. Pemikiran Politik Mustafa Kemal

Tokoh utama gerakan nasionlisme Turki adalah Mustafa Kemal. Tetapi,

Ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan ideologi nasionalisme Turki.

Mustafa Kemal mendapatkan inspirasi dari para tokoh Usmani muda dan Turki

Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan

oleh Sulta Mahmud II. DI antara pemikir Turki yang meletakkan semangat

nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1975-1924).

Perbedaan yang menonjol antara kelompok Pan Turkisme dan kelompok

nasionalis adalah: pertama, masih berkeinginan untuk tetap mempertahankan

keutuhan wilayah Turki Usmani, sedang yang kedua tidak menginginkan hal

yang demikian dan telah memikirkan embriologi negara nasional Turki yang

dibangun atas kesatuan kebudayaan, karena baginya dan kalangan nasionalis

lainnya, negara Turki bukanlah merupakan wilayah kekuasaan Turki Usmani

sebagaimana yang diinginkan para Pan Turkis, akan tetapi Turki adalah tanah

Turan yang luas sebagaimana yang tertulis dalam genc Kalemler 1911: “negara

bangsa Turki, bukan kerajaan Turki, bukan juga Turkistan. Tetapi negeri mereka

adalahTuran yang luas.”

Zia menginginkan adanya pemisahan antara Dianet dan mu’amalat. Ia

mengatakan bahwa hukum yang terdapat dalam mu’amalat berasal dari adat dan

kemudian dikuatkan oleh wahyu AL-Qur’an. Dan adat itu bersifat dinamis,

maka hukum mu’amalat juga harus dinamis. Dinamika adat inilah yang harus

diantisipasi oleh pemerintah dan menjadi tugas pemerintah untuk tetap menjaga

dinamika mu’amalat.Sedangkan dianet adalah menjadi otoritas ulama untuk

senantiasa menjaganya agar tidak berubah. Oleh karena kodifikasi karya-karya

16

hukum Islam harus segera dirombak. Mu’amalat harus dikeluarkan dari bahasan

hukum Islam.

Pada kesempatan lain Zia berpendapat bahwa lembaga mufti besar

kerajaan harus dihapuskan. Sebagai pemelihara syari’ah, seorang mufti besar

menjadi tempat bertanya Sultan tentang keselarasan kebijakan kerajaan dengan

syari’at Islam selain itu, pada tangannyalah segala perundang-undangan menuju

untuk mendapatkan legalitas keagamaan. Untuk itu ia menginginkan bahwa

yurisdiksi mufti besar kerajaan, syaikh al-Islam, terhadap Mahkamah Syari’ah

diubah menjadi yurisdiksi kementrian kehakiman. Sedangkan yurisdiksi syaikh

Islam terhadap persoalan pendidikan diberikan kepada kementrian Ewkaf.10

Pemikiran Zia Gokalp sangat mempengaruhi Mustafa Kemal dalam

proses perpolitikannya. Konsep nasionalisme dan pembentukan negara atas

dasar kebudayaan menjadi landasan untuk mendirikan negara Turki. Langkah-

langkah politik dilakukan oleh Mustafa Kemal. Pada permulaan bulan Juli 1920,

ia telah mendirikan National Assembly, dewan Nasional, di Ankara. Pada saat

berdirinnya ia mengatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar dalam

praktik kenegaraan adalah kecenderungan populisme, yaitu pemerintahan rakyat.

Yang ia maksudkan dengan populisme adalah diberikannya secara langsung

kekuasaan, kedaulatan, kekuatan dan pemerintahan kepada rakyat. Hasilnya

adalah dalam law of vundamental organization, 20 Januari 1921 yang

merupakan kesepakatan grand national assembly, disebutkan bahwa yang

menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.

Kesepakatan ini jelas mendapatkan perlawanan dari pihak Istambul.

Setelah terjadi dialog antara kedua belah pihak, maka kesepakatan tentang

kekuasaan rakyat ditambah pernyataan bahwa format pemerintahan dalam

10 Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 142.

17

bentuk kesultanan dan khilafah tidak perlu dipertanyakan. Kesepakatan ini justru

merupakan kemenangan Kemal dan kawan-kawannya. Ia mengusulkan agar

kekuasaan Sultan dan khalifah akhirnya dipisah dan yang pertama kemudian

dihapuskan. Sdangkan khalifah hannya memiliki kekuasaan keagamaan saja.

Kompromi ini dimaksudkan untuk menjaga merembetnya oposisi keagamaan ke

persoalan politik dan pada saat yang sama untuk mengakhiri otokrasi sebagai

Sultan.

Mustafa Kemal kemudian memulai langkah pembaharuan berikutnya,

yaitu dengan menciptakan sebuah instrument politik baru. Pada tanggal 6

Desember 1922, ia mendirikan partai rakyat dan mengundang seluruh kalangan

terpelajar untuk berkomunikasi dengannya secara langsung. Pada tanggal 16

April 1923, grand national assembly membubarkan diri dan mempersiapkan

pengadaan pemilu. Anggota assembly baru hasil pemilu memiliki anggota 286

perwakilan dan pada tanggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai

presiden dan Fethi sebagai perdana menteri. Dengan ini negara baru Turki tidak

atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation

(bangsa), dengan ibu kota di tengah-tengah Turki yaitu Ankara.

Reformasi Mustafa Kemal berlanjut kepada reformasi dibidang

kelembagaan. Pada pidato pembukaan di dewan nasional 1 Maret 1924, Mustafa

mengemukakan tiga pendapat yang isinya menyelamatkan dan menjaga

stabilitas republik, pembentukan sistem pendidikan terpadu, dan keharusan

untuk mengurangi pengaruh Islam, dengan menghindarkannya untuk

dijadikannya instrument politik sebagaimana yang dilakukan sejak berabad-abad

yang silam. Pandangan ketiganya dijelaskan lebih lanjut dalam pertemuan partai

rakyat. Itu berarti juga membersihkan unsur-unsur Turki Usmani dalam republik

Turki. Selain itu, kebijakan tersebut berarti serangan Kemal secara terbuka

kepada kekuatan-kekuatan ortodoksi Islam yang telah begitu mapan. Pada

tanggal 3 Maret 1924, grand national assembly secara resmi menghapus

18

lembaga kesultanan dan khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan hari libur

nasional dirubah dari hari jumat ke hari minggu, dan keluar peraturan tentang

keharusan menggunakan busana barat.

Kebijakannya bukan tanpa halangan. Kelompok oposisi yang

menamakan dirinya sebagai progressive republican party, yang dahulu adalah

teman dekatnya semasa revolusi, akhirnya menjadi penentangnya. Dari kalangan

Islam konservatif, kalangan muslim di Mesir dengan diwakili syekh AL-Azhar

menentang pembaharuan semacam ini.

Terdapat beberapa usaha terencana yang mengarah pada sebuah

pemusatan kembali orientasi dan doktrin sosial politik. Pertama, reformasi

linguistik. Dengan pergantian huruf arab menjadi huruf latin, maka Turki

Language Asociation (Asosiasi BahasaTurki) melakukan Turkifikasi istilah-

istilah yang selama ini dipinjam dari bahasa Persi dan arab dan

menggantikannya dengan bahasa Turki yang ditemukan oleh para guru dan

muridnya dengan menerjunkan mereka ke desa-desa. Hasil dari upaya ini,

masyarakat Turki terpaksa membaca glossary (daftar istilah) saat membaca surat

harian. Kedua, reformasi kesejarahan. Penelitian besar-besaran dilakukan untuk

menggali kembali jejak-jejak sejarah Turki dan mengabaikan sejarah dinasti

Turki Usmani. Sehingga sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah menjadi

sarana pendidikan nasionalisme. Ketiga, muncul dan berkembang ideologi baru

Turki yang lebih dikenal dengan Kemalisme.11

Konsep pembaharuan politik Mustafa Kemal berawal dari tiga unsur

yang kemudian menjadi sebuah ideologi Kemalisme. Ketiga unsur tersebut ialah

nasionalisme, sekularisme, dan westernisme.12 Pertama, unsur nasionalisme

11 Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 148-150.

12 Lutfi Fahrul Rizal, Pemikiran Filsafat Politik Mustafa, the primusinterpares2.blogspot.com. Di akses pada tanggal 6 April 2013.

19

dalam pemikiran Mustafa Kemal diilhami oleh Ziya Gokalp (1875-1924) yang

meresmikan kultur rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam untuk

menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Dalam koridor pemahaman

Mustafa Kemal, Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah

dipribumikan ke dalam budaya Turki. Oleh karenanya, ia berkeyakinan bahwa

Islam pun dapat diselaraskan dengan dunia modern. Turut campurnya Islam

dalam segala lapangan kehidupan akan membawa kemunduran pada bangsa dan

agama. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu

menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena

peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam.

Kedua, unsur sekularisme. Unsur ini sebenarnya adalah implikasi dari

pemahaman westernisme Mustafa Kemal. Pada prinsip ini, salah seorang

pengikut setia Mustafa Kemal, Ahmed Agouglu menyatakan bahwa indikasi

ketinggian suatu peradaban terletak pada keseluruhannya, bukan secara parsial.

Peradaban Barat dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya

karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, tetapi karena keseluruhan

unsur-unsurnya. Peperangan antara Timur dan Barat adalah peperangan antara

dua peradaban, yakni peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban

Islam, agama mencakup segala-galanya mulai dari pakaian dan perkakas rumah

sampai ke sekolah dan institusi. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan

kehidupan membawa kepada mundurnya Islam, dan di Barat sebaliknya

sekularisasilah yang menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus

mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekularisasi terhadap

pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum. Menurut versi Mustafa

kemal, sekularisme bukan saja memisahkan masalah bernegara (legislatif,

eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi

peranan agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme

20

ini adalah lebih merupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang

berlaku di masa Usmani.

Ketiga, unsur westernisme. Dalam unsur ini, Mustafa Kemal berpendapat

bahwa Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru Barat

negara Turki akan maju. Unsur westernisme dalam prinsip pemikiran Mustafa

Kemal mendapat momennya ketika dalam salah satu pidatonya ia mengatakan

bahwa kelanjutan hidup suatu masyarakat di dunia peradaban modern

menghendaki perobahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu

pengetahuan mampu membawa perobahan secara terus-menerus, maka bangsa

yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua lagi usang tidak akan

dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus dirubah menjadi

masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner

harus dihancurkan.

Ketiga unsur tersebut melahirkan sebuah prinsip ideologi Kemalisme.

Prinsip-prinsip fundamental dan yang tidak berubah dari Kemalisme diterangkan

oleh Mustafa Kemal dalam manifestonya yang diumumkan pada 20 April 1931.

Enam prinsip tersebut terdiri dari republikanisme, nasionalisme, populisme,

etatisme, sekluarisme, dan revolusinarisme, diambil oleh partai republik rakyat,

dan dimasukkan dalam konstitusi.13 Kemal menerangkan prinsip-prinsip ini

beberapa tahun lamanya dalam berbagai pidatonya di dewan nasional agung,

juga kepada rakyat di banyak tempat.

Dengan keenam prinsip tersebut, maka Turki benar-benar berada pada

kondisi politik yang sekularis, liberalis, westernis, modernis. Namun, konsep

politik yang dipraktikkan oleh Kemal merupakan politik yang tidak bersandar

pada apa yang disebut dengan politik transcendental. Dengan demikian, ia

13 H. A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm.88.

21

hanya berambisi untuk menjadikan negara Turki sebagai negara yang berkiblat

ke peradaban barat, tanpa melakukan filterisasi kebudayaan dan peradaban.

Konsep sekularisasi Kemal Nampak jelas dalam kebijakan-kebijakannya. Seperti

menghapuskan kekhilafahan Usmani, menghapuskan Mahkamah Syari’ah,

menghapuskan Islam sebagai agama Turki, peraturan mengenai pelarangan

memakai jilbab. Di samping itu, ia menuntut penyamaan kedudukan wanita dan

laki-laki. Wanita-wanita Turki diberikan hak pilih dalam pemilihan Parlemen

sejak bulan Desember 1934. Undang-undang yang disetujui pada 28 Juni 1934

mengharuskan bahwa setiap orang Turki mempunyai nama keluarga mulai 1

Januari 1935. Dengan kata lain, Mustafa Kemal At-Taturk melakukan

pembaharuan bukan hanya reformasi saja. Dengan gerakan revolusionernya

itulah, segala aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, budaya, simbol-simbol

Islam telah dihapuskan.

Faktor utama yang mendorong Mustafa Kemal memilih sekularisme

ialah terjadinya kemunduran secara menyeluruh di kalangan umat Islam, baik

kehidupan kemasyarakatan maupun kehidupan ketatanegaraan yang ia anggap

akibat dari penggunaan system khilafah atau kesultanan yang menjadi

karakteristik system pemerintah Islam. Selain itu Mustafa Kemal melihat bahwa

dengan kehidupan yang sekular di barat menjadikan negara dan bangsa maju

dalam hal ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Menurutnya system

pemerintahan Islam itulah yang menyebabkan bangsa Turki mengalami

kemunduran sehingga perlu diadakannya perubahan-perubahan secara

refolusioner agar Turki menjadi maju. Karena factor-faktor itulah, maka Mustafa

Kemal selanjutnya memilih konsep sekularisme dan westernisme yang dia

anggap dapat merubah kehidupan bangsa Turki. Pemikiran Mustafa Kemal yang

demikian itupun dipengaruhi oleh pergaulan-pergaulannya dengan orang-orang

barat, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa dia terpengaruh dan

22

akhirnya terbukti dengan lahirnya Turki modern yang sekular dan memiliki

ideology Kemalisme.

Mustafa Kemal menjalankan pemerintahannya dengan pola otoriter,

meskipun ia menggunakan prinsip demokrasi. Dengan pola tersebut, maka

dalam menentukan kebijakan tidak ada oposisi yang dapat menggagalkannya.

Akibat tindakan yang radikal itu, dalam pemerintahannya terdapat usaha-usaha

untuk melakukan kudeta. Namun hal tersebut tidak mampu menumbangkan

posisi Mustafa. Akhirnya jabatannya berakhir ketika ia diserang penyakit dan

meninggal pada tanggal 10 Nopember 1938. Namun ideologi Kemalisme tetap

menjadi ideologi bangsa Turki pada generasi selanjutnya.

D. Analisis

Kekuasaan merupakan suatu hal yang pasti ada pada diri manusia.

Kekuasaan berdampak pada kepemimpinan. Bila sudah masuk dalam ranah

kepemimpinan, maka setiap individu manusia merupakan pemimpin, dan setiap

pemimpin akan dimintai pertanggunjawabannya. Pemimpin dalam hal ini bukan

hanya pemimpin dalam lingkup kelompok besar, namun pemimpin di sini

meliputi pemimpin dalam lingkup pribadi sampai dengan pemimpin dalam

lingkup yang lebih luas.

Pemimpin yang kita bahas pada makalah ini ialah pemimpin dalam

konteks sebuah negara. Kepemimpinan atau kekuasaan di sebuah negara

merupakan suatu hal yang sangat penting. Dengan kekuasaan seseorang akan

mampu membuat peraturan-peraturan sehingga diharapkan dengan peraturan-

peraturan tersebut dapat mengubah dari yang buruk menjadi baik, dari yang

kacau menjadi teratur dan lain sebagainya. Permasalahannya ialah apakah semua

23

pemegang kekuasaan mampu menjadi penguasa yang baik?. Sejarah telah

membuktikan, bahwa tidak semua penguasa mampu mewujudkan peradaban

yang baik. Dalam konteks ini, maka yang perlu kita kritisi ialah kepemimpinan

atau penguasa Turki modern yaitu Mustafa Kemal At-Taturk yang telah

melakukan revolusi Turki Islam dan mendirikan republic Turki. Selama kurun

waktu 15 tahun, ia telah menghasilkan berbagai macam kebijakan yang tentunya

kebijakan tersebut tidak berdasar pada nilai-nilai Islam, namun kebijakan yang

berdasar pada peradaban barat.

Sekularisme, liberalisme, modernisme dan westernisme merupakan

paham yang dihidupkan dalam negara Turki modern. Adobsi peradaban secara

total tersebut melahirkan pemimpin yang tidak memiliki nilai-nilai prophetik.

Seperti dalam filsafat Alfarabi, penguasa ideal adalah seorang Nabi atau

seseorang yang memiliki kualitas-kualitas prophetic. Para Nabi sempurna bukan

karena kebijaksanaan teoritisnya, melainkan karena tindakan-tindakan sebagai

pembuat pemberi hukum dan penuasa. Tindakan-tindakan itu seharusnya

mengarahkan manusia pada jalan kehidupannya dalam masayrakat di dunia ini,

dan dengan demikian, meratakan jalan, yaitu jalan mistis menuju kehidupannya

di hari nanti ke dunia spiritual akal.14

Menurut Al-farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang dari segi

kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan menasihati penguasa

tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified ruler atau penguasa tanpa

kualifikasi), penguasa subordinat (tingkat kedua) yang berkuasa dan sekaligus

dikuasai, dan yang dikuasai sepenuhnya.15

Untuk menilai kepemimpinan Mustafa Kemal sesuai dengan nomokrasi

Islam dan paradigma prophetik atau tidak, maka dapat dilihat dari dua

14 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam, ( Bandung: Mizan, 2003),hlm. 36-37.

15 Ibid: hlm. 61.

24

permasalahan, yaitu suksesi kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan

1. Suksesi kekuasaan.

Mustafa secara tersembuni menyusun kekuatan untuk mengambil

alih kekuasaan dari dinasti Usmani. Kegiatan-kegiatan

tersembunyinya dapat diketahui oleh pihak kerajaan, sehingga

Mustafa diperingatkan untuk menghentikan kegiatan-kegiatannya

yang bermaksud untuk memberontak. Namun peringatan pihak

kerajaan tidak dihiraukannya. Bahkan ia menyatakan perang terbuka

dengan menyatakan bahwa kekhalifahan bukan lagi sebagai lembaga

politik, namun hanya sebagai lembaga spiritual saja. Dengan

demikian, kekuasaan yang diperoleh oleh Mustafa tidak melalui

mekanisme atau sistem perpindahan kekuasaan yang baik, sehingga

menyebabkan tersingkirnya keluarga kerajaan dari negara Turki.

Sistem musyawarah nampaknya bukan jalan terbaik bagi Mustafa

untuk merebut kekuasaan dari tangan kerajaan. Untuk itulah ia

melakukan pemberontakan secara perlahan.

Dalam nomokrasi Islam kekuasaan merupakan amanah sehingga

sudah seharusnya bahwa amanah diberikan kepada orang-orang yang

berhak untuk menerimanya. Dalam konteks ini, kekuasaan

merupakan alat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bukan

justru sebaliknya. Tersingkirnya keluarga dinasti Usmani dan

hancurnya system kesultanan Turki menunjukkan bahwa sebagai

orang yang telah berkuasa tidak dapat menciptakan kedamaian dalam

memperoleh kekuasaanya. Sistem musyawarah yang menjadi salah

satu prinsip nomokrasi Islam tidak dipraktikkan oleh Mustafa dalam

proses pengambilan kekuasaan. Oleh sebab itu, berawal dari suksesi

25

yang tidak baik maka kebijakan-kebijakanyapun akan menimbulkan

kontrofersi di negaraTurki itu sendiri.

2. Kebijakan-kebijakan.

berbagai macam kebijakan yang dihasilkan telah melanggar hak-hak

kebebasan manusia. Seperti contoh, dalam berbusana perempuan

tidak diperbolehkan mengenakan jilbab. Artinya masyarakat tidak

diperbolehkan untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama (Islam)

termasuk dalam hal berbusana yang mana itu sebagai pelanggaran

atas kebebasan individu untuk melaksanakan ajaran agamanya

masing-masing. Sehingga dengan demikian, Mustafa tidak

menjunjung hakikat liberasi. Jika mengacu pada pendapat Tibi

mengenai sekularisem dan sekularisasi, ia membedakan makna dari

keduanya. Tibi membedakan antara sekularisme sebagai ideologi dan

sekularisasi sebagai proses sosial. Sekularisme merupakan suatu

konstruksi yang dapat mencakup ideologi irreligious dan anti agama

sementara sekularisasi merupakan proses sosial yang didasarkan pada

diferensiasi fungsional masyarakat.16 Dari pendapat Tibi tersebut,

dalam emahaman penulis, bahwa Mustafa Kemal telah jauh

melampaui batas-batas sekularisme. Bila memang sekularisme

sebagai ideologi dalam pemisahan agama dan negara, seharusnya

negara tidak mengurusi hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan

agama, baik itu ritual keagamaan maupun melakukan symbol-simbol

keagamaan. Selain kebijakan mengenai pelarangan memakai jilbab,

hal yang parah lagi dilakukannya ialah mengubah fungsi beberapa

masjid menjadi gereja dan beberapa masjid difungsikan sebagai

16 Muhammad Nur, Negara Indonesia Islam (Nii)No, Negara Indonesia Islami (Nii) Yes“Pergulatan Konsep Negara Dalam Peradaban Islam Modern”, Cet. Pertama (Yogyakarta: SukaPress, 2011), hlm.

26

museum. Ini sebuah tindakan yang tidak lagi berdasar pada prinsip-

prinsip penguasa yang baik. Tindakan tersebut cenderungamoral dan

sudah tidak pada batas-batas prinsip sekularisme barat. Artinya,

Mustafa telah jauh menerapkan sekluraisme dalam kehidupan publik,

khususnya dalam hal menjalankan ajaran agama, baik secara

ritualnya maupun menggunakan simbol-simbol keagamaan.

Selain itu, dalam kehidupan perekonomian Mustafa menerapkan

etatisme yang berarti melakukan pembangunan ekonomi dengan

system kapitalisme. Konsekuensinya ialah bahwa barat merupakan

infestor-infestor besar di dalam negara Turki. Dengan kapitalisme

berarti ekonomi liberal menjadi paham dalam kepemimpinan

Mustafa Kemal yang tentu saja dalam system kapitalis pemilik modal

besar akan semakin kaya sehingga menimbulkan kesenjangan sosial

yang berdampak pada pemerataan kesejahteraan masyarakatnya. Di

samping itu, pola ekonomi kapitalis tidak menjunjung tinggi

persamaan dalam melakukan persaingan dibidang ekonomi.

Munculnya oposisi melawan kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal

menunjukkan bahwa ketaatan rakyat sangat kecil dan keadilan

kurang atau bahkan tidak dirasakan oleh masyarakat. Kelompok

oposisi tersebut merupakan ekspresi dari kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah. Terlebih jika pemerintah melaksanakan

roda pemerintahannya dengan cara yang otoriter. Dengan demikian,

prinsip-prinsip nomokrasi Islam tidak ada di dalam pemerintahan

Mustafa Kemal.

Kedua aspek tersebut mengindikasikan bahwa memang pada sosok

Mustafa Kemal tidak terdapat apa yang disebut dengan paradigma prophetic.

Apabila dirinya memiliki kualitas prophetic, maka humanisasi, liberasi, dan

transendensi akan menjadi pedoman dalam memimpin Turki. Sebenarnya Turki

27

mengalami kemuduran bukan karena menggunakan system pemerintahan Islam

(kesultanan), namun Turki mengalami kemandegan akibat pemahaman Islam

yang tidak mendalam yang terjadi di kalangan umat Islam itu sendiri, termasuk

kalangan pejabat pemerintahan, sehingga dengan melihat kemajuan peradaban

barat, seakan-akan peradaban barat lebih maju dan lebih baik dibandingkan

dengan sistem pemerintahan Islam yang menyatukan agama dan negara.

Dalam pandangan paradigma prophetik pemerintahan Mustafa jauh dari nilai-nilaihumanisasi, liberasi, dan transendensi. Hal ini dapat dilihat dari cara Mustafa Kemalyang secara pragmatis mengadobsi seluruh budaya barat. Dalam aliran etika,pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yangmembuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaatsecara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibatpraktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagaikebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.Dengan demikian, patokan pragmatism adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Patokan aliranpragmatism yaitu Pertama, menolak segala intelektualisme, kedua, absolutism, ketigameremehkan logika formal.17

Pragmatisme Mustafa Kemal itulah justru mengakibatkan Turki berada

di dalam penjajahan bukan pada posisi yang bebas dari barat. Adapun

masyarakatnya telah dikekang hak-haknya sehingga secara tidak langsung

kebijakan-kebijakan yang ada justru tidak melindungi hak-hak asasi manusia.

Dengan kondisi yang demikian itu, maka dapat dipastikan bahwa transnndensi

Mustafa Kemal dalam memimpin Turki modern tidak ada, atau dengan kata lain

Mustafa Kemal tidak berpegang pada nilai-nilai keagamaan yang merupakan

prinsip dari nomokrasi Islam.

Pemisahan agama dan negara oleh barat, sebenarnya berangkat dari

pemikiran gereja yang statis sehingga menimbulkan ketidak majuan bangsa

17 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran FIlsafat dan Etika, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 171.

28

barat. Oleh sebab itu, campur tangan gereja dalam negara kemudian dipisahkan.

Dengan pemisahan tersebut diharapkan ajaran-ajaran gerega tidak mengganggu

jalannya penyelenggaraan negara. Ini menunjukkan, bahwa dalam konsep barat

penyatuan ajaran agama dan pelaksanaan kenegaraan tidak akan pernah

menjadikan peradaban maju.

Jika memahami Islam sama halnya dengan agama gereja, maka itu suatu

pemahaman yang keliru. Abdul Raziq merupakan tokoh Islam sekular, namun

dia dapat melihat Rasul dalam dua sisi. Pertama, ia adalah utusan yang diberi

wahyu dan pembawa risalah langit. Kedua, ia adalah seorang pemimpin politik

untuk negara Madinah. Bahkan ia adalah pemimpin politik pertama dalam

Islam.18 Raziq jelas memaparkan bahwa sebenarnya politik dan agama Islam

sendiri merupakan suatu hal yang integral, sehingga dalam berpolitik, agama

menjadi kontrol dalam bernegara. Meskipun Raziq juga menentang keberadaan

khilafah yang tidak memiliki dasar legitimasi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,

namun pernyataannya memberikan pemahaman bahwa integrasi politik dan

agama (Islam) telah dipraktikkan oleh Rasulullah, bahkan Rasulullah merupakan

pemimpin politik dan agama sekaligus yang pertama di dunia Islam. Denagn

demikian, pada dasarnya penyatuan Islam dengan politik bukan merupakan

factor mundurnya suatu peradaban.

Sejarah telah membuktikan, bahwa kepemimpinan Nabi sebagai politisi

dan juga sebagai agamawan tidak menjadikan Islam tenggelam, bahkan Islam

mengalami perkembangan yang pesat. Ini membuktikan bahwa pernyataan

sistem pemerintahan yang didasarkan atas sistem Islam menjadi penghambat

dalam modernisasi itu tidak benar. Jika memang pernyataan itu benar, maka

kekhilafahan Islam tidak akan bertahan lama. Kemunduran bahkan runtuhnya

sistem pemerintahan Islam disebabkan justru para penguasa Islam telah jauh dari

18 Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: PustakaSetia, 2010), hlm. 443-444.

29

pedoman Islam, yaitu Qur’an dan hadits. Oleh sebab itu, barat dapat

menggunakan momentum yang tepat untuk menyebarkan kulturnya sehingga

sebagian dari kalangan muslim hanyt dalam peradaban itu. Hal yang terpenting

saat ini adalah bagaimana umat Islam dapat melakukan filterisasi, mana yang

baik dari barat dan sesuai dengan kepribadian Islam, maka perlu untuk diambil

dan diterapkan. Namun demikian juga sebaliknya, tidak secara serta-merta

peradaban dari barat yang lebih maju harus diadobsi oleh umat Islam. Ini yang

terjadi pada Negara Turki, yang mana Mustafa serta-merta mengadobsi segala

apa yang ada dalam peradaban barat. Jika semua negara yang memiliki

masyarakat muslim demikian, maka secara terstruktur Islam akan punah. DI

sinilah pentingnya penguasa yang memiliki kualitas prophetic yang bisa

mengeluarkan umat muslim keluar dari belenggu peraddaban barat yang

semakin lama semakin menjadi massif.

Memahami bahwa Islam merupakan agama yang berparadigma inklusif, maka

sesungguhnya Islam dapat mengikuti arus perubahan zaman. Dengan

inklusifitasIslam sesungguhnya Islam bukanlah agama yang tidak haus akan

kemajuan peradaban. Oleh sebab itu, dengan paradigma Islam inklusif dan politik

transendental, maka umat Islam akan kembali menemukan kejayaan Islam dan

selektif dalam dunia modernisasi, sehingga peradaban Islam tidak lagi dijadikan

alasan sebagai penghambat proses modernisasi. Kemunduran Islam bukan karena

ajaranya, namun karena umatnya. Seperti pernyataan Muhammad Abduh, ia

menyatakan: “Al-Islam ya’lu wa la yu’la alaih, walakinnal Islam mahjubun bil

muslimin” (Islam itu mulia dan tidak ada yang lebih mulia, namun kemuliaan Islam

itu justru banyak tertutup oleh prilaku umat Islam itu sendiri). Dengan demikian,

kejayaan Islam dapat diraih kembali apabila seluruh umat Islam bersatu dan

berpegang teguh pada prinsip-prinsip ke-Islaman baik dalam ibadah

maupunkehidupan berbangsa dan bernegara.

30

Demikianlah analisis penulis terhadap politik pemerintahan Mustafa

Kemal At-Taturk, yang didasarkan pada teori nomokrasi islam dan paradigma

prophetik. .

I. KESIMPULAN

a.

Dari pembahasan mengenai perjalanan politik Mustafa Kemal At-Taturk,

maka dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan nomokrasi Islam dan

paradigma prophetik politik pemerintahan Mustafa Kemal At-Taturk tidak

sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi Islam dan paradigma prophetik. Hal

ini dapat dilihat dari sisi suksesi kepemimpinan dan produk-produk kebijakan.

Suksesi kekuasaan tanpa musyawarah serta munculnya oposisi dan kebijakan-

kebijakan yang jauh dari humanisasi, liberasi dan transendensi menunjukkan

tidakadanya nilai-nilai Islam di dalam pemerintahannya. Dengan demikian,

kemaslahatan dalam kepemimpinannya tidak tercapai, padahal seharusnya

seorang pemimpin dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan harus

berdasarkan pada kemaslahatan. Sebagaimana dalam Kaidah Ushul Fiqh

mengatakan Dengan kaidah ini, maka bertambah .”تصرف اإلمان منعوط بالمصلحة“

jelas bahwa pada dasarnya segala bentuk kebijakan para pemimpin penyelenggara

Negara, didasarkan atas kemaslahatan rakyatnya.

31

DAFTAR PUSTAKA

A. Mughni Syafiq, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997.Almawdudi, Abu Al-Ala. Islamic Law And Constitution, Lahore: 1967.

Azhari, Muhammad Tahir. “Negara Hukum; Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dariSegi Hukum Islam, implementasinya pada periode Negara Madina dan masa kini”, Jakarta: PrenadaMedia, 2004.Cahyono, Cheppy Hari. Idiologi Politik, Cet. 2, Yogyakarta: PT. Hanindita Grahawidya, 1988.Hamaman dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005.

Ibnu Taimiah Asiasah Assyariah

Khomaini Imam, Islam And Revolution, Writings And Declarations of Imam Khomaini, Terjemah dananotasi Hamid Algar (Berkeley: 1981.

1 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008.Lutfi Fahrul Rizal, Pemikiran Filsafat Politik Mustafa, the primus interpares2.blogspot.com.

Di akses pada tanggal 6 April 2013. H. A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern,(Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 88.

Nur Muhammad, Negara Indonesia Islam (Nii)No, Negara Indonesia Islami (Nii) Yes“Pergulatan Konsep Negara Dalam Peradaban Islam Modern”, Cet. Pertama Yogyakarta: Suka Press,2011.Praja, Juhaya S. Aliran-aliran FIlsafat dan Etika, Bogor: Kencana, 2003.

Schacht Joseph, Pengantar Hukum Islam, Alih Bahasa: Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika,2003.

Wahidd Marzuki, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam Di

Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2001.

Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2003.