86
PENGARUH SERVICE QUALITY, CITRA PERUSAHAAN, CUSTOMER VALUE DAN SWITCHING COST TERHADAP LOYALITAS KONSUMEN DENGAN EXPERIENTIAL MARKETING SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA PT ASURANSI JASINDO KANTOR CABANG JEMBER PROPOSAL TESIS Disusun Oleh: ANGKAT SUMEKTO NIM. 130820101042 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS JEMBER 2014

Proposal Tesis: Experiential Marketing

  • Upload
    unej

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH SERVICE QUALITY, CITRA PERUSAHAAN,CUSTOMER VALUE DAN SWITCHING COST TERHADAP

LOYALITAS KONSUMEN DENGAN EXPERIENTIALMARKETING SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA

PT ASURANSI JASINDO KANTOR CABANG JEMBER

PROPOSAL TESIS

Disusun Oleh:

ANGKAT SUMEKTONIM. 130820101042

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMENPROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS JEMBER2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan Indonesia mencatat bahwa pertumbuhan perekonomian dunia tahun

ini lebih lambat dari tahun sebelumnya. Meskipun demikian secara umum perekonomian

domestik tetap tumbuh baik dengan stabilitas yang terjaga. Penurunan tersebut lebih

berkaitan dengan kondisi perekonomian global, dimana pertumbuhan ekonomi Eropa

mengalami kontraksi terkait dengan berlarut-larutnya penyelesaian krisis dikawasan

tersebut. Sementara itu, ekonomi AS tumbuh cukup baik meskipun dibayangi

kekhawatiran terhadap ancaman jurang fiskal (fiscal cliff). Di kawasan Asia, China dan

India, sebagai mitra dagang utama, Indonesia juga mengalami penurunan pertumbuhan

ekonomi. Perkonomian Indonesia tahun 2012 meskipun tumbuh cukup baik, secara

keseluruhan tumbuh sekitar 6,3% dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia

setelah China yang tumbuh sebesar 7,8% (YoY), namun lebih rendah dari asumsi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ini

juga lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yang mampu mencapai 6,5%. Kinerja

pertumbuhan ditopang oleh kuatnya permintaan domestik, terutama konsumsi rumah

tangga dan investasi, sementara penurunan kinerja ekspor masih berlanjut.

(bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/20)

Pada sektor industri asuransi, walaupun di negara maju cenderung menurun

searah perlambatan ekonomi, namun industri asuransi di Asia Tenggara termasuk di

Indonesia diprediksikan akan terus tumbuh berkembang di tahun-tahun yang akan

datang. Pada tahun 2013, bisnis premi asuransi di Indonesia sebagaimana dilaporkan

oleh Fitch Ratings, akan terdorong oleh semakin berkembangnya pasar domestik, dan

semakin menguatnya regulasi. Selain itu perkembangan sektor perasuransian akan

ditopang oleh meningkatnya kemakmuran di Indonesia dan kesadaran bencana alam.

(Laporan Tahunan PT Jasindo, 2012:19)

Penetrasi asuransi di Indonesia saat ini sebesar 1.7% masih tergolong rendah bila

dibandingkan dengan prosentase serupa di AS yang menembus 8.1%, di Inggris 11.8%

2

dan 4% di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Masih rendahnya

tingkat penetrasi ini merupakan peluang bagi Perusahaan untuk terus bekerja keras

mengisi peluang tersebut. (bisniskeuangan.kompas.com, 20/10/2013) Di sisi lain,

meningkatnya persyaratan regulasi, termasuk persyaratan modal minimum ke Rp. 70

miliar pada tahun 2012 dan Rp 100 miliar pada tahun 2013, akan mendorong konsolidasi

pasar yang lebih ketat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jumat 24 Januari 2014,

menerbitkan Surat Edaran Nomor 6/D.05/2013 tanggal 31 Desember 2013 tentang

penetapan tarif premi serta ketentuan biaya akuisisi pada lini usaha asuransi kendaraan

bermotor dan harta benda. Surat edaran ini juga mengatur jenis risiko khusus meliputi

banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami tahun 2014.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-perusahaan OJK, Firdaus Djaelani,

menjelaskan bahwa surat edaran ini mengatur penetapan batas atas dan batas bawah tarif

premi, kecuali untuk asuransi gempa bumi. Tarif batas atas ditetapkan dengan tujuan

untuk melindungi kepentingan masyarakat dari pengenaan premi yang berlebihan

(over-pricing), adapun penetapan tarif batas bawah dimaksudkan untuk mencegah tarif

premi yang tidak memadai, yang dapat menyebabkan perusahaan asuransi tidak mampu

membayar kewajibannya atas terjadinya klaim. Penetapan tarif batas bawah ini ditujukan

untuk melindungi kepentingan masyarakat pemegang polis. Dengan adanya penetapan

tarif batas atas dan batas bawah itu, bisa memberi ruang bagi perusahaan asuransi untuk

berkompetisi secara lebih sehat dan sekaligus mengakhiri era perang tarif yang selama

ini terjadi pada industri asuransi di Indonesia.

Dengan melihat potensi pasar yang masih prospektif membuat institusi

internasional/pemain asing begitu berminat untuk masuk ke pasar Indonesia. Ini

merupakan tantangan yang harus dihadapi mengingat mereka datang dengan dukungan

dana yang besar, keahlian teknik asuransi, riset pasar dan dukungan tekonologi informasi

yang canggih. (Laporan Tahunan PT Jasindo, 2012:20) Guna menghadapi perubahan

lingkungan usaha yang dinamis serta persaingan usaha yang semakin kompetitif maka

Perusahaan harus melakukan perbaikan-perbaikan untuk mencari cara yang

mendatangkan keuntungan dengan cara mendiferensiasikan diri mereka terhadap

pesaing. Salah satu strategi yang dapat menunjang keberhasilan dalam bisnis asuransi ini

3

adalah berusaha menawarkan kualitas jasa dengan kualitas pelayanan tinggi yang

nampak dalam kinerja yang tinggi dalam performa dari pelayanan yang ada

(Parasuraman, et al., 1985). Keberhasilan suatu organisasi dalam merealisasikan

tujuannya ditentukan oleh kemampuan organisasi bersangkutan dalam mengidentifikasi

kebutuhan dan keinginan pasar sasarannya dan memberikan kepuasan yang diharapkan

secara lebih efektif dan efisien dibandingkan para pesaingnya (Tjiptono, 2014:7) Pada

masa yang akan datang para pelanggan akan semakin memegang peran kunci

keberhasilan perusahaan, ini memaksa perusahaan-perusahaan untuk lebih beorientasi

eksternal dengan cara memberikan pelayanan dengan mutu sebaik mungkin kepada para

pelanggan mereka (Soetjipto, 1997).

Produk asuransi, baik kerugian maupun jiwa, antara satu asuransi dengan yang

lain, sebagian besar memiliki fitur-fitur yang serupa. Oleh karena itu tiap perusahaan

penerbit produk harus jeli dalam menjual produk jasa mereka. Mereka harus dapat

menciptakan keunggulan dari produk mereka dibandingkan dengan produk lainnya.

Pelayanan prima adalah faktor penting yang dapat menunjang loyalitas dari konsumen

(Caruana, 2002). Asuransi melihat pentingnya arti loyalitas konsumen, karena saat ini

konsumen lebih cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang memaafkan dan didekati

banyak produk. (Kotler and Keller, 2009 : 148) Teknologi informasi juga memberikan

peran yang cukup besar dalam konsumen menentukan pilihan untuk berbagai macam

produk yang dapat dipilih untuk membelanjakan uangnya.

Bloemer, et al., (1998) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi

perlu mendapatkan loyalitas konsumennya. Pertama : konsumen yang ada lebih

prospektif, artinya konsumen loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi.

Kedua : biaya mendapatkan konsumen baru lebih besar dibanding menjaga dan

mempertahankan konsumen yang ada. Ketiga : konsumen yang sudah percaya pada

institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat : biaya

operasi institusi akan menjadi efisien jika memiliki banyak konsumen loyal. Kelima:

institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial, dikarenakan konsumen lama

telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi. Keenam : konsumen loyal

akan selalu membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran

4

kepada orang lain untuk menjadi konsumen.

Loyalitas konsumen tergantung dari pengalaman yang dirasakan konsumen

dalam menggunakan jasa perusahaan (Dick and Basu, 1999). menyatakan bahwa

pengalaman konsumen dapat dilakukan melalui experiential marketing. Dengan adanya

experiential marketing, Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan

perkembangan jaman dan teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk

untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor. Dengan adanya experiential

marketing, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan

lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara langsung

melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, relate), baik sebelum maupun ketika

mereka mengkonsumsi sebuah produk atau jasa (Schmitt, 1999). Experiential marketing

sangat efektif bagi pemasar untuk membangun brand awareness, brand perception,

brand equity, maupun brand loyalty hingga purchasing decision dari pelanggan.

(Gronroos, 1984) Oleh karena itu pemasar juga harus berhati-hati dalam memilih sarana

yang benar dan media yang tepat agar tujuan pemasaran dapat tercapai seperti yang

diharapkan. (Fransisca, 2007).

Pembentukan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) merupakan bagian penting

dari perjalanan sejarah bangsa dan tanah air Indonesia. Sejarah tersebut bermula pada

tahun 1845 ketika dilaksanakannya nasionalisasi atas NV Assurantie Maatschappij de

Nederlander, sebuah perusahaan Asuransi Umum milik kolonial Belanda, dan Bloom

Vander, perusahaan Asuransi Umum Inggris yang berkedudukan di Jakarta. Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945 oleh

Proklamator RI, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, sekaligus meng-amanatkan

pelaksanaan pemindahan kekuasaan dan kepemilikan Kerajaan Belanda kepada

Pemerintah Indonesia. Termasuk, melakukan nasionalisasi terhadap dua perusahaan

tersebut dan mengubah nama ke-duanya menjadi PT Asuransi Bendasraya yang bergerak

di bidang Asuransi Umum dalam Rupiah dan PT Umum Internasional Underwriters

(UIU) yang bergerak pada bidang Asuransi Umum dalam valuta asing.

Kedua perusahaan hasil tindak lanjut nasionalisasi ini bertujuan untuk

memberikan manfaat yang maksimal kepada masyarakat dan memperkokoh keamanan

5

serta perekonomian negara. Adapun kebijakan nasionalisasi tersebut dilaksanakan

berdasarkan payung hokum Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang

Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasca implementasi kebijakan nasionalisasi dan

pribumi maka kemudian muncul sebuah inisiatif untuk mengoptimalkan fungsi dan

peran dari kedua perusahaan nasional tersebut dalam menghadapi tantangan sekaligus

mengisi era kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam perjalanan bersejarahnya, melalui Keputusan Menteri Keuangan

No.764/MK/IV/12/1972 tertanggal 9 Desember 1972, pemerintah Indonesia

memutuskan untuk melakukan merger antara PT Asuransi Bendasraya dan PT Umum

Internasional Underwriters (UIU) menjadi PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) sebagai

sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang usaha Asuransi

Umum. Pengesahan penggabungan tersebut selanjutnya dikukuhkan dengan Akta

Notaris Mohamad Ali Nomor 1 tanggal 2 Juni 1973.

Sebagai salah satu BUMN yang memiliki kinerja usaha gemilang di Indonesia,

seluruh saham PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) dimiliki oleh Negara Republik

Indonesia. Apalagi, perjalanan waktu telah membuktikan bahwa PT Asuransi Jasa

Indonesia (Persero) atau yang dikenal dengan Asuransi Jasindo, memang memiliki

pengalaman yang mumpuni, panjang dan matang di bidang Asuransi Umum bahkan

sejak era kolonial. Pengalaman ini memberikan nilai kepeloporan tersendiri bagi

keberadaan dan pertumbuhan kinerja Asuransi Jasindo hingga saat ini, sehingga berhasil

dalam meraih kepercayaan publik baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Dalam

menyuguhkan layanan profesional dan terbaiknya, Asuransi Jasindo senantiasa

memegang teguh nilai-nilai budaya perusahaan yang ditanamkan yaitu Asah, Asih dan

Asuh. Selain itu, Asuransi Jasa Indonesia juga berkomitmen untuk memberikan

pelayanan yang prima demi memenuhi kepuasan Tertanggung. Asuransi Jasindo juga

banyak mendapatkan dukungan reasuradur terkemuka dari seluruh belahan dunia, seperti

Swiss Re dan Partner Re, dalam memberikan back-up reasuransi, terutama

pertanggungan yang bersifat mega-risk.

Budaya Perusahaan merupakan suatu cerminan aturan perilaku yang umum

6

disebut dengan Kode Etik. Dalam menjalankan kegiatan usahanya serta menimbang

nature bisnis yang dijalankan Asuransi Jasindo erat dengan unsur “Trust”

(Kepercayaan), maka sebagai suatu organisasi, Asuransi Jasindo dituntut untuk memiliki

suatu aturan yang mengikat seluruh jajarannya dalam bertindak sesuai dengan standar

tertinggi dalam integritas profesional dan personal diseluruh aspek kegiatan perusahaan,

serta mematuhi seluruh undang-undang, tata tertib, peraturan dan kebijakan Perusahaan.

Berkenaan dengan hal tersebut, PT Asuransi Jasindo (persero) memiliki budaya

perusahaan yang harus dilaksanakan oleh seluruh jajaran PT Asuransi Jasa Indonesia

dari Direksi sampai dengan pegawai paling bawah yakni budaya “3A” Asah, Asih dan

Asuh. Asah, memuat pesan profesionalisme yang mengharuskan setiap sumber daya

manusia PT Asuransi Jasindo senantiasa mengasah keahlian dan kecerdasannya lewat

proses belajar secara terus menerus, sehingga pada gilirannya akan menghasilkan SDM

yang cerdas. Asih, mewajibkan setiap SDM di PT Jasindo saling menghormati dan

menghargai agar terdapat keharmonisan dan kenyamanan dalam lingkungan kerja. Asuh,

mengandung makna kepedulian akan perlunya memelihara solidaritas dan kesatuan tim

kerja yang harmonis, solid dan lebih mendasarkan pada kepentingan bersama

(perusahaan), bukan kepentingan individu.

Dalam perkembangannya, sejalan dengan upaya manajemen dan seluruh jajaran

pegawai serta untuk mengarahkan segala daya untuk meningkatkan mutu pelayanan dan

kepuasan pelanggan, maka kekuatan “3A” telah dijabarkan lebih lanjut melalui kata

kunci yaitu “CARE” Cepat, Akurat, Ramah dan Efisien yang secara sadar menyatakan

bahwa: (1) Cepat, berarti bahwa kecepatan pelayanan akan memberikan kepastian dan

ketenangan bagi tertanggung maupun calon tertanggung; (2) Akurat, berarti bahwa

keakurasian akan menjamin kepuasan tertanggung dalam memperoleh kepastian dalam

berasuransi dengan PT Jasindo; (3) Ramah, berarti bahwa keramahan merupakan wujud

dari budaya kerja yang bertujuan memberikan kenyamanan dan pengayoman dalam

kemitraan; (4) Efisien, menjamin nilai produk yang ditawarkan serta layanan yang

diberikan setara dengan kualitas yang diharapkan.

Experiential marketing sangat tepat diterapkan dalam bisnis jasa, dimana bisnis

jasa merupakan bisnis yang berdasarkan asas kepercayaan sehingga masalah kualitas

7

layanan menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan bisnis ini.

Kualitas layanan merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat layanan

yang dipersepsi (perceived service) dengan tingkat pelayanan yang diharapkan (expected

service) (Parasuraman, et al., 1985). Implikasinya, baik buruknya kualitas jasa

tergantung pada kemampuan penyedia jasa memenuhi harapan pelanggannya secara

konsisten (Tjiptono, 2014 : 268) Kualitas layanan dihasilkan oleh operasi yang dilakukan

perusahaan dan keberhasilan oleh proses operasi perusahaan ini ditentukan oleh banyak

faktor antara lain faktor karyawan, system teknologi dan keterlibatan konsumen.

(Asubonteng, 1996)

Penyampaian layanan yang berkualitas dewasa ini dianggap suatu strategi yang

esensial agar perusahaan sukses dan dapat bertahan (Buttle, F., 1996). Penerapan

manajemen kualitas dalam industri jasa menjadi kebutuhan pokok apabila ingin

berkompetisi di pasar domestik apalagi di pasar global (Fornel and Wernefelt, 1987).

Hal ini disebabkan kualitas pelayanan dapat memberi kontribusi pada kepuasan

konsumen, pangsa pasar dan profitabilitas. Oleh karena itu, perhatian para manajer saat

ini lebih diprioritaskan pada pemahaman dampak kualitas layanan terhadap keuntungan

dan hasil-hasil financial yang lain dalam perusahaan (Geykens, et al., 1999).

Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor kunci bagi keberhasilan

perusahaan jasa dan tidak dapat dipungkiri dalam dunia bisnis saat ini, karena tidak ada

yang lebih penting lagi bagi sebuah perusahaan jasa kecuali menempatkan masalah

kepuasan dan loyalitas terhadap konsumen melalui pelayanan sebagai salah satu

komitmen bisnisnya. (Parasuraman, 1997) Selain dari perusahaan asuransi yang

mengelola jasa secara murni, setiap perusahaan asuransi dengan produk apapun baik

disadari maupun tidak disadari, pasti bersinggungan dengan jasa. Komponen

jasa tersebut bahkan dapat menjadi bagian penting walaupun hanya menjadi

bagian minor dari keseluruhan kegiatan perusahaan.

Apabila kita kembali kepada hakekat bisnis jasa yang mana inti dari bisnis ini

adalah bagaimana memuaskan konsumen, yakni dengan cara memberikan layanan yang

berkualitas. Banyak faktor yang mendukung atau dapat dikatakan berpengaruh pada

kualitas pelayanan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas satu persatu secara detail pada

8

penelitian ini. Hal tersebut menjadi sangat penting dan menarik untuk dibahas sebab

dalam bidang jasa, kepuasan konsumen sangat bergantung atau bahkan bergantung

sepenuhnya terhadap kualitas layanan yang diberikan. Apabila kita kaji lebih dalam,

kepuasan konsumen tersebut akan berdampak lebih jauh lagi pada loyalitas konsumen

terhadap perusahaan. Dengan loyalitas konsumen, dapat dikatakan bahwa hal tersebut

adalah wujud nyata dari keberhasilan suatu perusahaan jasa dalam menjalankan segala

kegiatannya.

Kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan

serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan konsumen. Ada dua faktor

yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu expected service dan perceived service

(Gronroos, 1984). Kualitas harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pada

persepsi konsumen. Hal ini berarti citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut

pandang atau persepsi penyedia jasa melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi

konsumen. Baik buruknya kualitas pelayanan menjadi tanggung jawab seluruh bagian

organisasi perusahaan.

Dalam penelitian yang dilakukan Crosby dan Stephens (1987) pada industri jasa

menyebutkan bahwa ketidakpuasan merupakan salah satu penyebab beralihnya

konsumen. Penelitian lain Fornel (1992) juga menyebutkan bahwa konsumen yang puas

cenderung menjadi konsumen yang loyal. Sehingga apabila tingkat kepuasan konsumen

meningkat akan diikuti tingkat loyalitas konsumen. Menurut Ho and Wu, (1999) dalam

Saha and Zhao, (2005) hal-hal yang membentuk kepuasan konsumen adalah logistical

support, technical characteristhics, information characteristhics, home page

presentation dan product characteristhics. Sedangkan penelitian Selnes (1993),

Goodman, et al., (1995) dan Geykens, et al., (1999) menyatakan bahwa indikator yang

membentuk kepuasan konsumen adalah rasa senang, kepuasan terhadap pelayanan,

kepuasan terhadap sistem dan kepuasan finansial.

Semakin tingginya intensitas persaingan bisnis serta semakin homogennya

produk serta pelayanan membuat perusahaan asuransi, baik yang bergerak dalam bidang

kerugian maupun jasa, saat ini mengalami kesulitan untuk menerapkan strategi agar

unggul dari para pesaing mereka untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Pekerjaan

9

marketing tidak lagi sesederhana dulu, konsumen zaman sekarang sangat mudah

mendapat informasi dan membandingkan beberapa tawaran dari produk serupa

(Kertajaya, 2010:3) Kecenderungan yang ada adalah bahwa kegiatan pemasaran sudah

tidak lagi ditujukan untuk pertukaran atau transaksi yang terjadi sekali saja, tetapi sudah

mulai mengarah pada pertukaran yang terus menerus dan berkesinambungan. Jika pada

masa lalu proses pemasaran berakhir ketika transaksi jual beli telah terjadi, dimana

barang berpindah kepemilikan dari penjual ke pembeli, maka sekarang agar dapat

merangkul perubahan ini, pemasar di seluruh dunia memperluas konsep marketing untuk

berfokus pada emosi manusia, mereka memperkenalkan konsep baru seperti, emotional

marketing, relationship marketing, experiential marketing dan brand equity yang

berpandangan bahwa pemasaran seharusnya memberikan perhatian pada

transaksi yang sedang berlangsung dan memanfaatkannya sebagai dasar untuk hubungan

pemasaran yang berkelanjutan di masa depan. (Kertajaya, 2010:29 ) Dengan demikian

sebenarnya yang penting pada masa sekarang adalah bagaimana menciptakan loyalitas

konsumen.

Bloemer, et al., (1998) dalam penelitiannya menekankan akan arti pentingnya

pembentukan loyalitas perusahaan sebagai dasar bagi perusahaan untuk bertahan dan

menghadapi persaingan. Menurutnya loyalitas konsumen terhadap suatu perusahaan

dapat tumbuh disebabkan oleh beberapa faktor, seperti citra baik yang dimiliki

perusahaan tersebut, kualitas pelayanan yang diberikan dan kepuasan terhadap

perusahaan. Faktor-faktor tersebut memegang peran penting dalam meningkatkan posisi

persaingan perusahaan. Dick and Basu (1994) menyatakan bahwa Loyalitas pelanggan

dipandang sebagai kekuatan hubungan antara sikap relatif individu dan dukungan ulang.

Hubungan anatara penjual dan pembeli menjadi mediasi antara sosial norma dan faktor

situasional. Kognitif, afektif, dan konatif anteseden dari sikap relatif diidentifikasikan

sebagai kontributor terhadap loyalitas, bersama dengan konsekuensi motivasi, persepsi,

dan perilaku.

Sebuah perusahaan akan dapat bertahan jika memiliki citra yang baik di mata

publik. Publik akan memberikan dukungan, bantuan, serta kerjasama dengan perusahaan

apabila perusahaan tersebut dapat dipercaya, menurut Kotler (2009:258) citra merupakan

10

seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek.

Citra berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik,

asosiasi atau simbol-simbol tertentu terhadap suatu perusahaan. Bontis, et al. (2007)

mengatakan bahwa Loyalitas pelanggan dan kecenderungan rekomendasi pelanggan

dapat ditingkatkan dengan meningkatkan reputasi. Konsekuensinya adalah reputasi dapat

membantu untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Lebih jauh lagi penelitian

Schmitt, et al. (2009) mengemukakan bahwa Brand experience dikonseptualisasikan

sebagai sensasi, perasaan, kognisi, dan respon perilaku yang ditimbulkan oleh

rangsangan merek terkait yang merupakan bagian dari desain merek dan identitas,

kemasan, komunikasi, dan lingkungan. Para penulis membedakan beberapa dimensi

pengalaman dan membangun pengalaman skala brand yang meliputi empat dimensi:

sensorik, afektif, intelektual, dan perilaku. Dalam enam studi, Schmitt, et al. (2009)

menunjukkan bahwa skala ini dapat diandalkan, valid, dan berbeda dari langkah-langkah

merek lain, termasuk evaluasi merek, keterlibatan merek, keterikatan merek, kesenangan

pelanggan, dan brand personality. Selain itu, brand experience mempengaruhi kepuasan

konsumen dan loyalitas secara langsung maupun tidak langsung melalui asosiasi brand

personality.

Parves (2005) dalam Taufiq dan Suryadi (2009) memberikan definisi tentang

switching cost sebagai berikut; Switching cost include time and psycological effort

involved facing the uncertainty of dealing with a new service provider. Menurut Dick and

Basu, (1994) Switching cost is the sum of economic, psycological cost, and physical costs.

Switching cost includes the pshycological cost of becoming a customer of a new firm, and

the time effort involved in buying new brand (Reicheld and Sasser (1990) dalam

Tjiptono, 2014:380). Menurut Burnham (2003), switching cost adalah biaya yang harus

dikeluarkan segera, sebagai biaya dalam proses penggunaan produk atau jasa penyedia

layanan ketika pembelian kembali dilakukan.

Switching cost mendorong konsumen untuk merekomendasikan pada konsumen

yang lain (Gethok tular positif) (Tjiptono, 2014:381). Perubahan teknologi dan strategi

diferensiasi dari perusahaan menyebabkan switching cost menjadi faktor penting bagi

customer loyalty (Burnham, et al., 2003). Dalam penelitian Fornell (1992) juga

11

menemukan pengaruh positif antara switching cost terhadap customer loyalty. Taufiq dan

Suryadi (2009) menyatakan bahwa Switching cost mempengaruhi Customer Loyalty

secara positif.

Asuransi Jasindo sebagai perusahaan jasa telah memiliki Visi dan Misi

Perusahaan yang menjadi landasan bagi perusahaan untuk menetapkan

strategi-strategi bisnis yang akan dijalankan dalam memenangkan persaingan. Visi

Asuransi Jasindo “Menjadi perusahaan yang tangguh dalam persaingan global dan

menjadi market leader di pasar domestik”. Visi ini kemudian dijabarkan kedalam misi

perusahaan “menyelenggarakan usaha asuransi kerugian dengan reputasi internasinal

melalui peningkatan pangsa pasar, pelayanan prima dan tetap menjaga tingkat

kemampulabaan serta memenuhi harapan stakeholder”

PT. Asuransi Jasindo adalah salah satu perusahaan asuransi umum milik Negara

(BUMN). Asuransi Jasindo dituntut untuk mencari keuntungan seperti perusahaan

asuransi pada umumnya juga sebagai fungsi intermediary penggerak pembangunan,

Asuransi Jasindo dituntut menjalankan misi asuransi sebaik-baiknya. Untuk

melaksanakan visi dan misi serta tujuan perusahaan, maka disusun program kerja yang

dituangkan dalam Rencana Jangka Panjang (RJP) dan selanjutnya dijabarkan dalam

Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahunan. Penelitian ini berdasarkan

pada permasalahan atau kenyataan di lapangan (research problem), dimana PT Jasindo

belum dapat menjadi market leader di pasar domestik dan peringkat yang terus menurun

dari tahun ke tahun. Penelitian ini berdasarkan permasalahan atau kenyataan di lapangan

(research problem) secara total hasil underwriting neto ritel mengalami penurunan jika

dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya.

12

Tabel 1.1

Realisasi Perolehan Underwriting Netto Premi Ritel Tahun 2011-2012

(dalam jutaan Rupiah)

Class of BusinessRKAP

2012

Realisasi

2012

Realisasi

2011

Pengangkutan 13.011 17.701 12.562

Kebakaran 29.332 68.182 35.069

Kendaraan Bermotor 70.369 68.182 78.435

Aneka 70.228 4.601 26.367

Sumber: laporan keuangan tahunan PT Jasindo 2012

Hasil perolehan Underwriting Netto Premi Ritel dari Asuransi Kendaraan

Bermotor dan Aneka menurun dari tahun lalu dan tidak dapat mencapai target yang

ditetapkan, padahal apabila dibandingkan dengan bisnis korporasi, pendapatan premi

yang berasal dari bisnis ritel khusus nya pada Clas Of Business (COB) Kendaraan

Bermotor dan Aneka lebih memiliki tingkat risiko yang rendah dengan pembayaran

premi yang lancar

Adapun perubahan jumlah Premi Asuransi Jasindo dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2

Jumlah Premi Asuransi Jasindo Tahun 2008 - 2012

(dalam miliar rupiah)

Premi Bruto Premi Netto Rasio PN/PB

2008 2,597,531 806,503 31.05%

2009 2,814,727 926,404 32.91%

2010 2,860,463 1,074,312 37.56%

2011 3,346,255 1,226,255 36.65%

2012 3,839,824 1,254,011 32.66%

Sumber : Laporan Tahunan Asuransi Jasindo (2012)

13

Berdasarkan tabel 1.2 di atas menunjukkan adanya penurunan nilai rasio premi

netto terhadap premi bruto selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, yang dapat diartikan

bahwa PT Jasindo seharusnya meningkatkan perolehan premi dari sektor ritel baik dengan

penambahan bisnis baru dan mempertahankan pelanggan lama, mengingat pada sektor

tersebut memiliki tingkat risiko yang lebih rendah, dengan demikian hasil usaha

(Underwriting Result) dapat lebih besar.

Penurunan hasil usaha dan rasio hasil usaha yang signifikan pada tahun 2010 –

2012, hal ini dapat berarti bahwa Asuransi Jasindo belum dapat mengoptimalkan

perolehan premi dari sektor ritel. Selain itu, penurunan perolehan premi juga didukung

dengan data tentang posisi rating perusahaan-perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia,

hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.3 berikut:

Tabel 1.3

Peringkat asuransi terbaik di Indonesia

berdasarkan Asset diatas 500 milyar tahun 2012

Nama PerusahaanTotal Aset

(Jt)

Modal

Sendiri (Jt)RBC % PREDIKAT

1 Asuransi Raksa Pattikara 145,152 132.36 SANGAT BAGUS

2 Asuransi Adira Dinamika 2,637,893 956,698 337.00 SANGAT BAGUS

3 Asuransi Jaya Proteksi 1,039,059 365,098 197.29 SANGAT BAGUS

4 Asuransi Multi Artha Guna 1,051,934 636,405 302.00 SANGAT BAGUS

5 Tugu Pratama Indonesia 2,808,179 1,789,020 336.00 SANGAT BAGUS

6 Asuransi Wahana Tata 1,291,310 532,520 230.00 SANGAT BAGUS

7 Jasa Raharja Putera 803,167 387,950 308.00 SANGAT BAGUS

8 Asuransi Binda Dana Artha 1,106,155 404,626 283.53 SANGAT BAGUS

9 Asuransi Astra Buana 5,845,058 2,063,896 214.00 SANGAT BAGUS

10 Asuransi Ekspor Indonesia 967,459 692,884 782.00 SANGAT BAGUS

Sumber: Akademi Asuransi, Written By Afrianto Budi on Sabtu, 01 September 2012

Pada tabel tersebut diatas dapat terlihat bahwa PT Asuransi Jasa Indonesia tidak

mampu menembus daftar 10 Perusahaan Asuransi terbaik di Indonesia.

14

Tabel 1.4

Peringkat Asuransi Terbaik

dengan kriteria premi Rp 500 miliar keatas Tahun 2012

Peringkat Perusahaan Predikat

1 Asuransi Bangun Askrida Sangat Bagus

2 Raksa Pratikara Sangat Bagus

3 Jasaraharja Putera Sangat Bagus

4 Asuransi Adira Dinamika Sangat Bagus

5 Asuransi Indrapura Sangat Bagus

Sumber: Biro Riset Infobank, 14 July 2013 12:57 WIB

Dari tabel 1.4 diatas, dapat terlihat bahwa belum bisa menduduki posisi 5 besar

asuransi terbaik Indonesia berdasarkan perolehan premi diatas Rp. 500 miliar dalam

hal pengelolaan asset nya. Bahkan Asuransi Bina Dana Artha dan Asuransi Indrapura

yang terlihat kurang dikenal masyarakat dibandingkan Asuransi Jasindo mampu masuk

kedalam peringkat 10 besar. Pemeringkatan berdasarkan pendekatan terhadap laporan

keuangan publikasi misalnya untuk perusahaan asuransi umum di Indonesia dengan 10

kriteria, yaitu RBC, rasio likuiditas, dana jaminan/cadangan teknis, investasi/cadangan

teknis plus utang klaim, aktiva tetap/modal sendiri, pendapatan investasi netto/rata-rata

investasi, rasio beban klaim neto/pendapatan premi neto, rasio laba dengan rata-rata

modal sendiri (Biro Riset Info Bank, 2012)

Masyarakat sebagai pengguna jasa kini semakin selektif dalam memilih asuransi

untuk menjamin kemanan aset yang dimilikinya dari risiko-risiko kerugian akibat bencana

atau kecelakaan yang mungkin dialaminya. Dalam hal ini unsur loyalitas menjadi faktor

kunci bagi asuransi untuk memenangkan persaingan (Bloemer, 1997; Andreassen, 1994;

15

Caruana, 2002; Kandampully and Dudy, 1999; Mital et al., 1998). Bisnis asuransi

merupakan bisnis jasa yang berdasar pada azas kepercayaan yang didukung kualitas jasa

(service quality) yang diberikan (Parasuraman, et al., 1985, 1988; Zeithaml, 1996; Saha

and Zhao, 2005; Cronin and Taylor, 1992), Nilai Konsumen (Customer Value) (Chua,

2002; Widdis, 2001; Kandampully, 2009; Kotler dan Kertajaya, 2010; Woodruff, 1997;

Holbrook, 1994; Zeithaml, 1987), citra perusahaan (Corporate Image) (Aaker and Keller,

1990; Bloemer and Ruyter, 1998; Bontis and Booker, 2007; Fornel, 1992), Switching Cost

(Parves, 2005; Dick and Basu, 1994; Burnham, 2003; Fornell, 1992), Experiential

Marketing (Holbrook and Hirschman (1982); Schmitt, B., 1999, 2003; Kertajaya, 2004,

2005, 2006; Same and Larimo, 2012; Yang and He, 2011).

Begitu banyak hal yang ditawarkan pada konsumen, hal ini tentu membuat para

konsumen menjadi lebih leluasa dalam menentukan pilihannya. Sementara dampaknya

bagi produsen, hal ini menjadi tantangan yang membuat mereka harus bekerja lebih keras

untuk mempertahankan loyalitas konsumennya. Para ahli pemasaran sepakat bahwa

mempertahankan konsumen yang loyal lebih efisien daripada mencari pelanggan baru.

Karena itulah, upaya menjaga loyalitas konsumen merupakan hal penting yang harus

selalu dilakukan oleh produsen (Fajrianthi dan Farrah, 2005). Namun salah satu yang

sering dijumpai dalam praktik adalah fakta bahwa kendati pelayanan yang diberikan

perusahaan sudah cukup tinggi, namun tetap saja perusahaan tersebut kehilangan

pelanggan, salah satu penyebab adalah sebagaian besar riset/studi pemasaran berfokus

pada upaya mengetahui apakah kebutuhan saat ini terpenuhi atau tidak, namun tidak

meneliti lebih jauh mengenai kebutuhan pelanggan di masa yang akan datang, karena

kebutuhan pelanggan berubah dengan cepat dan kerapkali dramatis, maka mereka akan

mencari perusahaan yang dianggap paling bisa memenuhi kebutuhan baru tersebut.

Konsekuensinya, perusahaan jasa yang progresif harus secara proaktif mengidentifikan

kebutuhan pelanggan di masa datang (Tjiptono, 2014:386) sehingga dibutuhkan suatu

strategi pemasaran yang berorientasi pada nilai-nilai, pemasar yang tidak hanya

menganggap konsumen sebagai objek tapi melakukan pendekatan dengan memandang

mereka sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan pikiran, hati, dan spirit. Semakin

banyak konsumen yang berusaha mencari solusi terhadap kegelisahan mereka untuk

16

menciptakan dunia yang lebih baik. Dalam dunia yang penuh dengan kebingungan,

konsumen mencari perusahaan yang dapat memenuhi kebutuhan terdalam mereka dalam

bidang sosial, ekonomi, dan keadilan lingkungan pada misi, visi, dan nilai-nilainya.

Dalam produk yang dipilihnya, konsumen tidak hanya mencari pemenuhan fungsional

dan emosional namun juga pemenuhan spirit (Kotler dan Kertajaya, 2010:4).

Melalui Experiental Marketing, pemasar berusaha untuk mengerti, berinteraksi

dengan konsumen dan berempati terhadap kebutuhan mereka. Dengan strategi ini

diharapkan konsumen akan menjadi loyal, bersedia melakukan hubungan jangka panjang,

menggunakan produk dan jasa perusahaan secara terus menerus dan merekomendasikanya

kepada orang-orang terdekat mereka. Loyalitas ini akan diperoleh bila konsumen merasa

mereka mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai dibanding dengan bila mereka berpindah

ke merek lain (Schmitt, 1999). Keuntungan lain yang diperoleh perusahaan dari

konsumen yang loyal adalah bahwa mereka akan merekomendasikan merek, produk

perusahan atau produsen secara sukarela, sehingga dapat menghemat pengeluaran

perusahaan untuk aktivitas tersebut. Studi yang dilakukan Shaw and Ivens (2005) dalam

Yang and He (2011) menunjukkan bahwa 85% dari senior bisnis manajer percaya bahwa

diferensiasi semata-mata pada unsur-unsur tradisional, seperti harga, produk dan kualitas,

tidak lagi menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, dan bahkan, banyak dari

senior manajer memegang Customer Experience sebagai medan pertempuran kompetitif

berikutnya.

Hal ini yang menjadi alasan dilakukan penelitian mengenai experiental marketing

pada PT. Asuransi Jasindo, dimana Asuransi Jasindo selalu berusaha dalam membuat

terobosan-terobosan baru baik dalam hal peluncuran produk baru, image perusahaan,

bahkan promosi baik di televisi maupun di media massa yang dimaksudkan untuk

menambah bisnis baru dan mempertahankan pelanggan lama ternyata belum dirasa

optimal untuk membuat para konsumennya menjadi loyal, selain itu penelitian mengenai

experiential marketing di Asuransi Jasindo belum pernah diteliti sebelumnya.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya penurunan baik peringkat

17

maupun jumlah perolehan premi pada sektor ritel yang dicapai Asuransi Jasindo dan

turunnya peringkat posisi perusahaan dalam hal kualitas layanan yang berdampak pada

loyalitas konsumen PT Asuransi Jasindo. Data-data tersebut juga didukung oleh data

belum mampunya Asuransi Jasindo menduduki peringkat sepuluh besar perusahaan

asuransi terbaik pada tahun 2013. Hal ini memberikan gambaran

bahwa tingkat Loyalitas konsumen PT. Asuransi Jasindo belum cukup tinggi.

Sehingga, PT. Asuransi Jasindo diharapkan agar lebih memperhatikan experiential

marketing, service quality, customer value, citra perusahaan dan switching cost untuk

membantu meningkatkan loyalitas para konsumennya. Berdasarkan permasalahan

tersebut, maka pertanyaan penelitian (research question) dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Apa pengaruh service quality terhadap experiential marketing di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

2. Apa pengaruh customer value terhadap experiential marketing di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

3. Apa pengaruh citra perusahaan terhadap experiential marketing di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

4. Apa pengaruh service quality terhadap loyalitas konsumen di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

5. Apa pengaruh Customer value terhadap Loyalitas Konsumen di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

6. Apa pengaruh Citra Perusahaan terhadap Loyalitas Konsumen di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

7. Apa pengaruh Switching cost terhadap loyalitas konsumen di PT Asuransi Jasa

Indonesia?

8. Apa pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas konsumen di PT Asuransi

Jasa Indonesia?

18

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Untuk menganalisis pengaruh service quality terhadap experiential marketing

di PT Asuransi Jasa Indonesia.

b) Untuk menganalisis pengaruh customer value terhadap experiential marketing

PT Asuransi Jasa Indonesia.

c) Untuk menganalisis pengaruh citra perusahaan terhadap experiential

marketing PT Asuransi Jasa Indonesia.

d) Untuk menganalisis pengaruh keunggulan service quality terhadap loyalitas

konsumen PT Asuransi Jasa Indonesia.

e) Untuk menganalisis pengaruh customer value terhadap loyalitas konsumen PT

Asuransi Jasa Indonesia.

f) Untuk menganalisis pengaruh citra perusahaan terhadap loyalitas konsumen

PT Asuransi Jasa Indonesia.

g) Untuk menganalisis pengaruh Switching cost terhadap loyalitas konsumen PT

Asuransi Jasa Indonesia.

h) Untuk menganalisis pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas

konsumen PT Asuransi Jasa Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini;

1. Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Marketing mengenai

pentingnya pengelolaan terhadap variabel-variabel yang dapat mempengaruhi

Loyalitas Konsumen dan Experiential Marketing melalui Service Quality, Customer

value, Citra Perusahaan, Switching Cost dan dapat dijadikan sebagai tambahan

referensi atau bahan pembanding bagi penelitian sejenis selanjutnya

2. Manfaat praktis, yaitu dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui faktor mana

yang dominan dalam mempengaruhi loyalitas konsumen PT Asuransi Jasindo

19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kualitas Pelayanan (Service Quality)

Jasa bersifat intangible dan lebih merupakan proses yang dialami

pelanggan secara subyektif, di mana aktivitas produksi dan konsumsi berlangsung

pada saat bersamaan. Selama proses tersebut berlangsung, terjadi interaksi yang

meliputi serangkaian moment of truth antara pelaggan dan penyedia jasa

(Tjiptono, 2014:267) Dalam dimensi pemasaran jasa, konsep kualitas pelayanan

pertama kali diperkenalkan oleh Gronroos (1984) yaitu konsep Perceived Service

Quality dan Total Service Quality Models. Definisi kualitas pelayanan berfokus

pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan

penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2014; 266).

Dalam menghadapi persaingan antar perusahaan yang semakin ketat, maka

perusahaan bersaing untuk memikat agar para konsumennya tetap loyal dalam

memanfaatkan pelayanan yang diberikannya. Rust (1996) penyedia jasa harus

memperhatikan apa yang konsumen persepsikan atas jasa yang diberikan, tetapi

juga bagaimana mereka dapat merasakan kepuasan. Kedalaman dari perasaan ini

merupakan hasil dari seberapa jauh tingkat persepsi konsumen dapat sesuai

dengan apa yang mereka harapkan. Menurut Keller (2001 dan 2006) dan Aaker

and Keller (1990), persepsi kualitas dapat didefinisikan sebagai persepsi

konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan dari sebuah produk

atau jasa relatif terhadap alternatif-alternatif yang relevan dan sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai. Jadi kualitas yang dipersepsikan tidak dapat ditetapkan

secara obyektif karena kualitas yang dipersepsikan ini merupakan persepsi-

persepsi dan juga karena melibatkan apa yang penting bagi pelanggan (Aaker and

Keller, 1990). Oleh sebab itu, persepsi kualitas merupakan suatu penilaian global

yang berdasarkan pada persepsi konsumen akan apa yang mereka pikir dapat

membentuk suatu kualitas produk dan seberapa baik tingkat merek dalam

dimensi tersebut (Aaker and Keller, 1990).

20

Menurut Zeithaml (1996), persepsi kualitas (perceived quality) dapat

didefinisikan sebagai pendapat seseorang mengenai seluruh keunggulan produk

atau jasa. Persepsi kualitas adalah (1) berbeda dari kualitas sesungguhnya, (2)

memiliki tingkat keabstrakan yang lebih tinggi dibandingkan atribut spesifik dari

produk atau jasa, (3) sebuah penilaian yang global dimana pada beberapa kasus

menyerupai sikap, dan (4) penilaian yang berasal dari diri konsumen berdasarkan

apa yang ada dalam ingatannya. Dalam studinya mengenai pelanggan di Swedia,

Fornell (1992) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kualitas yang

dirasakan (kinerja) dan kepuasan. Cronin dan Taylor (1992) menemukan adanya

hubungan kausal yang kuat dan positif antara kualitas layanan keseluruhan dan

kepuasan. Parasuraman, et al., (1988) mendefinisikan kualitas layanan sebagai

suatu bentuk sikap, berkaitan tetapi tidak sama dengan kepuasan, sebagai hasil

dari pembandingan antara harapan dengan kinerja.

Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian penting adalah

kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Kualitas pelayanan berpusat

pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan

penyempaiannya untuk mengimbangi harapan konsumen. Ada dua factor yang

mempengaruhi service quality yaitu expected service dan perceived service

(Parasuraman, et al., 1985) Kualitas harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan

berakhir pada persepsi konsumen. Hal ini berarti citra kualitas yang baik

bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia jasa melainkan

berdasarkan sudut pandang atau persepsi konsumen. Rust, et al., 1996 (dalam

Tjiptono, 2014: 268) membagi harapan pelanggan menjadi 3 tipe, pertama, will

expectation, yaitu tingkat kinerja yang diprediksi atau diperkirakan konsumen

akan diterimanya, berdasarkan semua informasi yang diketahuinya. Tipe ini

merupakan tingkat harapan yang paling sering dimaksudkan oleh konsumen

sewaktu menilai service quality tertentu. Kedua, should expectation yaitu tingkat

kinerja yang dianggap sudah sepantasnya diterima konsumen. Biasanya tuntutan

dari apa yang seharusnya diterima jauh lebih besar daripada apa yang

diperkirakan bahkan diterima. Ketiga, ideal expectation yaitu tingkat kinerja

optimum atau terbaik yang diharapkan dapat diterima konsumen.

21

Menurut Asubonteng (1996) kualitas pelayanan dapat didefinisikan

sebagai perbedaan antara perkiraan konsumen atas performa pelayanan yang

utama dari pelayanan yang ditemukan dengan persepsi akan pelayanan yang

diterima. Parasuraman (1988), kualitas pelayanan ditentukan oleh perbedaan

antara perkiraan konsumen dari service yang disediakan dengan evaluasinya atas

pelayanan yang diterima. Sehingga dapat disimpulkan definisi kualitas pelayanan

adalah hasil perbandingan konsumen antara perkiraannya tentang pelayanan dan

persepsinya atas pelayanan yang di dapat.

Parasuraman, et al. (1985) mengidentifikasi faktor penentu dari kualitas

pelayanan yaitu access, communication, competence, courtesy, credibility,

reliability, responsiveness, security, tangibles, understanding/knowledge of

customer. Kemudian 10 dimensi ini dikembangkan dan disederhanakan menjadi

5 dimensi yang disebut SERVQUAL yaitu: tangibles, reliability, responsiveness,

assurance dan empathy untuk mengukur kualitas pelayanan (Parasuraman, et al.,

1988). (1) Tangible, yaitu fasilitas fisik yang ditawarkan kepada konsumen dan

materi komunikasi; (2) Empathy, yaitu kesediaan untuk peduli, memberikan

perhatian pribadi kepada konsumen, kemudahan untuk melakukan hubungan dan

pemantauan terhadap keinginan konsumen; (3) responsiveness yaitu kemauan

untuk membantu konsumen dan memberikan jasa dengan cepat; (4) reliability

yaitu konsistensi dari penampilan pelayanan dan keandalan pelayanan; dan (5)

assurance yaitu kemampuan, keterampilan, keramahan, kepercayaan dan

keamanan dari para petugas.

Kualitas layanan mendorong pelanggan untuk memberikan komitmen

kepada produk dan layanan suatu perusahaan sehingga berdampak kepada

peningkatan market share suatu produk (Aryani, et al., 2010). Kualitas layanan

sangat krusial dalam mempertahankan pelanggan dalam waktu yang lama.

Perusahaan yang memiliki layanan yang superior akan dapat memaksimalkan

performa keuangan perusahaan (Zeithaml, et al., 2006). Penelitian Goodman

(2005) menyebutkan bahwa dengan memelihara pelayanan yang baik bagi

konsumen, sehingga memberikan pengalaman yang baik bagi konsumen, dapat

meningkatkan rekomendasi positif bagi calon konsumen lain (Word of mouth)

22

sebesar 25-35%. Pelayanan baik yang konsisten meningkatkan kesediaan

merekomendasikan sebesar 32%, memberikan informasi secara proaktif

meningkatkan kesediaan merekomendasi sebesar 32%, hubungan personal di luar

jam kerja sebesar 26%, interaksi yang ramah 25%, dan kejutan yang

menyenangkan 22%, dimana hal tersebut mampu meningkatkan experiential

marketing.

Service quality jauh lebih sukar didefinisikan, dijabarkan, dan diukur bila

dibandingkan dengan kualitas barang. Bila ukuran kualitas dan pengendalian

kualitas telah lama dikembangkan dan diterapkan pada barang-barang berwujud

(tangible goods), maka untuk jasa berbagai upaya justru sedang dikembangkan

untuk merumuskan ukuran-ukuran semacam itu (Tjiptono, 2014: 266). Secara

garis besar dari sejumlah studi dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan

berkaitan dan menentukan loyalitas pelanggan secara signifikan (Parasuraman, et

al,. 1985; 1988; Tumpal, 2012; Aryani dan Rosinta, 2010; Rozikin, 2013; Taufiq

dan Suryadi, 2009; Caruana, 2002; Taylor and Baker, 1994; Sivadas and Baker-

Prewitt, 2000; Kandampuly and Dudy, 1999; Zeithaml, et al., 1996). Allred and

Adams (2000) mendapatkan hasil bahwa sebanyak 72 responden nya atau sekitar

27% menyatakan berpindah kepada provider lain apabila mereka mendapatkan

pelayanan yang buruk dan menyimpulkan bahwa secara signifikan Service quality

berpengaruh terhadap Loyalitas Konsumen, lebih lanjut lagi, Allred and Adams

(2000) mengatakan bahwa tidak mudah untuk memberikan pelayanan prima

namun hasilnya sangat luar biasa, pelayanan prima sangat penting untuk

melakukan diferensiasi bagi perusahaan terhadap kompetitornya, untuk

membangun hubungan jangka panjang dengan para karyawan dan para

konsumennya, untuk menciptkan nilai didalam harga yang bersaing, sebagai

inspirasi bagi para karyawan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik, dan untuk

meningkatkan profit secara substansi. Penelitian yang dilakukan oleh Caruana

(2002) menghasilkan bahwa Service Quality berpengaruh signifikan terhadap

Kepuasan dan Loyalitas konsumen.

23

2.1.2 Customer value

Kepuasan pelanggan, service quality/layanan, dan customer value

berkaitan erat. Meskipun para manajer kerapkali memperlakukan ketiga konsep

ini sebagai hal yang sama, berbagai riset terakhir menunjukkan bahwa ketiganya

berkaitan erat namun berbeda (Tjiptono, 2014:308). Kepuasan pelanggan

merupakan reaksi kognifit dan afektif terhadap insiden jasa/layanan atau

kadangkala terhadap relasi jasa jangka panjang (Rust and Zahorik, 1993).

Kepuasan (atau ketidakpuasan) dihasilkan dari pengalaman dalam interaksi

service quality dan membandingkan interaksi tesebut dengan apa yang

diharapkan (Oliver, 1980).

Istilah nilai (value) digunakan dalam berbagai konteks berbeda, salah

satunya dari Slywotzky (1996) dalam Woodruff (1999) menegaskan bahwa

menciptakan dan memberikan nilai pelanggan (customer value) superior kepada

high-value customers bisa meningkatkan nilai sebuah organisasi (value of an

organization). Dalam hal ini, high-value customers dan value of an organization

mencerminkan nilai dari sudut pandang organisasi. High-value customers

mengukur nilai moneter pelanggan individual bagi organisasi, sedangkan value of

an organization mengukur nilai moneter sebuah organisasi bagi para pemiliknya.

Sebaliknya, customer value didasarkan pada perspektif pelanggan organisasi

bersangkutan, dengan mempertimbangkan apa yang mereka inginkan dan yakini

bahwa mereka dapatkan dari pembelian dan penggunaan produk tertentu.

Dalam literatur pemasaran beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh beberapa peneliti diperoleh definisi tentang customer value. Customer value

merupakan keseluruhan penilaian konsumen tentang kegunaan atau utilitas suatu

produk yang berdasar pada persepsi tentang apa yang diterima dan apa yang

diberikan (Zeithaml, 1988). Anderson, et al., (1993) menyatakan bahwa nilai

pelanggan merupakan perceived worth dalam unit moneter atas serangkaian

manfaat ekonomik, teknis, layanan, dan sosial sebagai pertukaran atas harga yang

dibayarkan untuk suatu produk, dengan mempertimbangkan penawaran dan

harga dari pemasok yang tersedia. Monroe (1990) mengemukakan bahwa nilai

pelanggan adalah tradeoff antara persepsi pelanggan terhadap kualitas atau

24

manfaat produk dan pengorbanan yang dilakukan lewat harga yang dibayarkan.

Woodruff (1997) mendefinisikan nilai pelanggan sebagai preferensi perseptual

dan evaluasi pelanggan terhadap atribut produk, kinerja atribut, dan konsekuensi

yang didapatkan dari pemakaian produk yang memfasilitasi (atau menghambat)

pencapaian tujuan dan sasaran pelanggan dalam situasi pemakaian.

Konsep customer value memberikan gambaran tentang konsumen suatu

perusahaan, mempertimbangkan apa yang mereka inginkan, dan percaya bahwa

mereka memperoleh manfaat dari suatu produk (Woodruff, 1997). Kendati

demikian menurut Holbrook (1994) Perusahaan perlu memahami dan memenuhi

kebutuhan serta keinginan nasabah, manajemen perlu memberikan value yang

lebih kepada para nasabah sebagai bentuk keunggulan dan keunikan yang

dimiliki. Jika nasabah merasa memperoleh nilai (value) yang lebih dibandingkan

dengan pesaing, maka diharapkan mereka tidak akan beralih ke perusahaan lain

tetapi akan tetap menjadi nasabah yang loyal. Disamping itu nasabah akan

cenderung melakukan word of mouth communication kepada relasi-relasi

terdekatnya, agar mereka melakukan hal yang sama dengan dirinya, yaitu

menjadi nasabah pada perusahaan yang sama. Nasabah yang merasa

diperhatikan, mendapatkan manfaat sesuai yang dibutuhkan, serta yakin bahwa

perusahaan tersebut dapat dipercaya akan menjadi semakin loyal (Soegoto,

2011).

Customer value merupakan kualitas yang dirasakan konsumen yang

disesuaikan dengan harga relatif dari produk yang dihasilkan oleh suatu

perusahaan (Tjiptono, 2014:308). Dari konsep dan beberapa definisi tentang

customer value diatas dapatlah kita kembangkan secara komprehensif, bahwa

secara garis besar “customer value” merupakan perbandingan antara manfaat

(benefits) yang dirasakan oleh konsumen dengan apa yang konsumen keluarkan

(costs) untuk mendapatkan atau menkonsumsi produk tersebut. Sehingga

customer value merupakan suatu preferensi yang dirasakan oleh konsumen dan

evaluasi terhadap atribut-atribut produk serta berbagai konsekuensi yang timbul

dari penggunaan suatu produk untuk mencapai tujuan dan maksud konsumen

(Wooddruff, 1997).

25

Di dalam bisnis mencintai pelanggan berarti meraih loyalitas mereka

dengan cara memberikan nilai yang tinggi dan menyentuh perasahaan dan jiwa

mereka. Donald Calne mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara perasaan

dan akal adalah perasaan akan menghasilkan tindakan, sedangkan akal akan

menghasilkan sebuah kesimpulan, keputusan konsumen untuk membeli atau

menjadi pelanggan setia kepada suatu merek sangat dipengaruhi oleh perasaan

(Kotler, et al., 2010:180). Konsep customer value mengindikasikan suatu

hubungan yang kuat terhadap experiential marketing dari konsumen. Dimana

konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang evaluatif konsumen tentang

produk yang mereka konsumsi. Nilai yang diinginkan konsumen terbentuk ketika

mereka membentuk persepsi bagaimana baik buruknya suatu produk dimainkan

dalam situasi penggunaan (Widdis, 2001). Mereka mengevaluasi pengalaman

penggunaan pada atribut yang sama, seperti telah dijelaskan diatas bahwa atribut

yang dimaksud disini adalah merk dan keunggulan layanan atas produk. Nilai

yang diterima bisa mengarahkan secara langsung pada experiential marketing.

Experiential marketing sebenarnya lebih dari sekedar memberi peluang pada

konsumen untuk memperoleh pengalaman emosional dan rasional dalam

memberikan penilaian atas manfaat produk atau jasa yang dirasakannya (Widdis,

2001).

Dalam penelitian Kandampully, et al., (2009) menemukan bahwa

Customer value bersama dengan service quality dan citra perusahaan secara

signifikan berhubungan dan mempengaruhi loyalitas konsumen melalui kepuasan

konsumen, lebih lanjut lagi Kandampully menyimpulkan bahwa saat ini didalam

kompetisi global yang intens, memberikan kepuasan konsumen saja mungkin

tidak lagi efektif, manajemen seharusnya tidak hanya terfokus pada peningkatan

kepuasan konsumen tetapi juga pada meningkatkan harapan konsumen secara

luas termasuk pada service quality dan customer value. Kompetisi yang besar

akan selalu terhubung dengan level kualitas layanan dan customer value yang

lebih tinggi, harapan konsumen yang lebih besar lagi dan kepuasan konsumen

membentuk citra perusahan serta meningkatkan retensi konsumen. Oleh karena

itu, penyedia jasa seharusnya terus melakukan perbaikan baik dari service quality

26

maupun customer value. Manajer harus menentukan standar kualitas yang dapat

menjadi jaminan pelayanan yang diberikan. Proses dari keduanya yang

ditawarkan kepada konsumen seharusnya terus menerus di monitor bahwa

konsumen memiliki akses pada pelayanan jasa secara langsung. Juga, dalam

rangka untuk membedakan penawaran dari pesaing, manajemen harus

memastikan bahwa manfaat yang diperoleh dari konsumsi layanan terus

dipromosikan kepada pelanggan.

Riset yang dilakukan dua pakar pemasaran dari University of Western

Australia, Sweeny and Soutar (2001) dalam Fandy Tjiptono, (2014:310)

mengembangkan 19 item ukuran customer perceived value yang dikenal dengan

nama PERVAL (perceived value) yang dimaksudkan untuk menilai persepsi

pelanggan terhadap nilai (value) produk konsumen tahan lama pada level merk.

Skala ini dikembangkan berdasarkan konteks situasi pembelian ritel untuk

menentukan nilai-nilai konsumsi yang mengarah pada sikap dan perilaku

pembelian. Chua (2002) dalam Fandy Tjiptono (2014:311) mengadaptasi model

PERVAL ke dalam konteks jasa, dengan dimensi; 1) Nilai Fungsional

(Kinerja/Kualitas) yaitu kualitas hasil fisik dari menggunakan suatu produk atau

jasa. Nilai ini mencerminkan kemampuan produk/jasa melaksanakan fungsi

utamanya secara konsisten; 2) Nilai Sosial, manfaat produk/jasa yang ditujukan

untuk memuaskan keinginan seseorang dalam mendapatkan pengakuan atau

kebanggaan sosial; 3) Nilai Emosional, adalah kesenangan atau kepuasan

emosional yang didapatkan user dari suatu produk/jasa; 4) Nilai Interaksi Sosial,

manfaat produk/jasa yang membuat user/pengguna lebih memiliki kesempatan

untuk berinteraksi dan diterima di lingkungan sosial; 5) Nilai Fungsional (Harga),

adalah harga yang fair dan biaya-biaya finansial lainnya yang terkait dengan

upaya mendapatkan produk/jasa

2.1.3 Citra Perusahaan

Citra perusahaan didefinisikan sebagai sebuah persepsi mengenai kualitas

yang digabungkan dengan nama. Fungsi utama dari citra perusahaan adalah

menjadi fasilitas pilihan ketika pedoman instrinsik atau atribut-atribut tampak

27

sulit atau tidak mungkin untuk dilakukan. Pedoman instrinsik meliputi komposisi

fisik atau teknikal dari produk. Nama merk telah didefinisikan sebagai sebuah

pedoman ekstrinsik, sehingga menjadi sebuah atribut yang digabungkan dengan

jasa tetapi tidak menjadi bagian fisik jasa itu sendiri. Citra perusahaan dapat

menjadi informasi ekstrinsik petunjuk bagi pembeli baik yang ada dan potensi

yang mungkin atau tidak dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan (misalnya

kesediaan untuk memberikan kata positif dari mulut ke mulut) (Aaker and Keller,

1990). Citra Perusahaan diasumsikan berdampak pada pilihan pelanggan

perusahaan ketika atribut pelayanan sulit untuk dievaluasi, maka citra perusahaan

didirikan dan dikembangkan di benak konsumen melalui komunikasi dan

pengalaman, citra perusahaan diyakini dapat menciptakan efek halo pada

penilaian kepuasan pelanggan (Andreassen et al., 1997). Keberhasilan suatu

brand sering tergantung pada asumsi-asumsi tertentu tentang perilaku konsumen,

seperti (1) konsumen memegang keyakinan positif dan sikap yang

menguntungkan terhadap merek asli dalam memori mereka, (2) asosiasi positif

ini memfasilitasi pembentukan keyakinan positif dan sikap yang menguntungkan

terhadap brand, dan (3) asosiasi negatif tidak ditransfer ke atau diciptakan oleh

brand (Aaker dan Keller, 1990).

Citra perusahaan merupakan persepsi masyarakat terhadap perusahaan

yang dibentuk melalui proses komunikasi informasi baik yang disengaja maupun

tidak disengaja, yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh perusahaan.

(Prihastiti, 2012). Persepsi tersebut mungkin tidak selalu menggambarkan profil

perusahaan yang sebenarnya, apabila persepsi yang timbul positif maka dengan

sendirinya akan mendukung aktivitas perusahaan, demikian juga sebaliknya.

Dalam pemasaran, kesadaran dan image sebuah merek dan reputasi jasa

mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Pada konteks ini,

reputasi atau merek menjadi sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan

terhadap kesadaran pada merek dan image, keputusan konsumen dan kesetiaan

konsumen (Fornel, 1992). Citra perusahaan yang melekat pada benak konsumen

akan menambah pengalaman konsumen dalam memanfaatkan produk atau jasa

yang meningkatkan experiential marketing dan mengakibatkan loyalitas

28

konsumen terhadap produk perusahaan (Hazlet, 2003).

Dalam diferensiasi citra, penelitian yang dilakukan Fajrianti dan Farrah

(2005) menyatakan bahwa diferensiasi citra diperoleh dari suatu cara pemasaran

yang berbeda. Citra merupakan arti penting dalam bisnis. Citra yang penting bagi

seorang pelanggan adalah citra yang dirasakan memiliki perbedaan dari citra

pesaing, dalam hal ini, citra yang dimaksud berupa image dari produk dan

perusahaan, pelanggan merasakan adanya pengalaman yang berbeda terhadap

produk yang digunakan. Pembentukan citra yang unik melalui kegiatan

periklanan dan pensponsoran terbukti lebih efektif dalam mencapai penciptaan

image perusahaan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, keberadaan citra

perusahaan bersumber dari pengalaman dan atau upaya komunikasi sehingga

penilaian maupun pengembangannya terjadi pada salah satu atau kedua hal

tersebut. Citra perusahaan yang bersumber dari pengalaman memberikan

gambaran telah terjadi keterlibatan antara konsumen dengan perusahaan.

Keterlibatan tersebut, belum terjadi dalam citra perusahaan yang bersumber dari

upaya komunikasi perusahaan (Suwandi, 2007).

Aaker dan Keller (1990) dalam penelitiannya menguji pengaruh citra

perusahaan dan ekuitas merek terhadap kepuasan nasabah dan pengaruh

kepuasan nasabah terhadap loyalitas nasabah, dimana hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa citra yang baik dari perusahaan mampu meningkatkan

kepuasan dari konsumen akan produk perusahaan yang kemudian berdampak

pada loyalitasnya.

2.1.4 Switching Cost

Perilaku beralih merek terkait erat dengan biaya beralih (switching cost).

Porter, 1980 (dalam Burnham et al., 2003) mengemukakan bahwa switching cost

merupakan biaya satu waktu (one-time cost) dan bukan ongoing costs atau biaya

yang sewaktu-waktu dikeluarkan oleh konsumen pada waktu tertentu yang

berkaitan saat pelanggan melakukan proses beralih dari satu penyedia ke

penyedia lain. Berdasarkan perspektif ini, Burnham, et al., (2003) memberikan

definisi bahwa biaya beralih sebagai one-time costs yang dipersepsikan atau

29

diasosiasikan pelanggan dengan proses beralih dari penyedia jasa/produk yang

satu ke penyedia jasa/produk yang lain. Selanjutnya, switching cost tidak dibatasi

terhadap biaya obyektif maupun ‘ekonomis, namun bisa meliputi berbagai

macam biaya, seperti emosional, usah kognitif, risiko finansial, risiko sosial, dan

risiko psikologis (Fornell, 1992). Dick and Basu (1994) mendefinisikan bahwa

Switching cost adalah jumlah dari biaya ekonomi, biaya psikis, dan biaya fisik.

Pemahaman mengenai switching costs sangat penting dikarenakan dampak

signifikannya pada perilaku pembelian ulang, strategi pemasaran yang

diterapkan, dan struktur industri dan persaingan (Tjiptono, 2014:383). Selain itu,

switching costs juga berkonstribusi pada laba yang lebih besar, respon inelastis

terhadap harga, hambatan masuk bagi para pendatang baru maupun pesaing lain,

dan terciptanya keunggulan strategik berkesinambungan (Kerin, et al.,1992,

Porter, 1980 dalam Tjiptono, 2014:383)

Patterson and Smith (2003) menjelaskan bahwa dalam konteks pemasaran

jasa, terdapat beberapa jenis switching cost yang mempengaruhi keputusan

konsumen untuk beralih pemasok jasa: 1) continuity costs, dapat berupa

kehilangan perlakuan khusus seperti manfaat khusus, perlakuan spesial, perhatian

istimewa, dan sejenisnya. Sebagai pelanggan rutin biasanya seorang konsumen

mendapatkan sejumlah keistimewaan, seperti diskon harga, waktu menunggu

atau mengantri lebih singkat, periode membayar lebih panjang. Continuity costs

juga dapat berupa persepsi terhadap risiko atau ketidakpastian berkaitan dengan

tingkat kinerja penyedia jasa yang baru. Konsumen belum tentu yakin bahwa

penyedia jasa alternatif bisa lebih baik dibandingkan penyedia saat ini. 2)

Learning costs (setup costs) dapat berupa biaya pencarian (waktu, tenaga

termasuk biaya yang dikeluarkan untuk mencari dan mendapatkan penyedia jasa

alternatif yang handal), daya tarik alternatif yaitu estimasi pelanggan terhadap

kemungkinan kepuasan yang didapatkan dari relasi alternatif (maksudnya,

apabila pelanggan mempersepsikan bahwa penyedia jasa alternatif tidak lebih

atraktif dibandingkan penyedia jasa saat ini, maka kemungkinan besar pelanggan

tersebut tidak akan berganti pemasok, bahkan sekalipun ia tidak puas terhadap

penyedia jasa saat ini, Keharusan untuk menjelaskan ulang preferensi dan kondisi

30

pelanggan kepada penyedia jasa baru (pelanggan harus mengedukasi penyedia

jasa baru agar bisa memahami dengan jelas keinginannya). 3) sunk costs yaitu

persepsi konsumen terhadap waktu dan usaha emosional yang telah susah payah

dicurahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi yang akrab dengan

penyedia jasa (termasuk didalamnya adalah psychological discomfort

dikarenakan memutuskan hubungan interpersonal yang sudah bagus dengan

karyawan-karyawan atau penyedia jasa tertentu.

Burnham, et al. (2003) menyebutkan bahwa switching cost terbukti

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pembelian kembali.

Mereka mendefinisikan switching cost sebagai ”one time cost that consumer pay

to switch from one provider to another” atau biaya yang dikeluarkan sekali ketika

berpindah dari satu provider ke provider yang lain. Burnham, et al. (2003) dalam

penelitiannya merumuskan delapan segi dari switching cost dari penelitian-

penelitian sebelumnya dan kemudian mengelompokan menjadi tiga komponen

utama yang menjelaskan masing-masing tipe dari switching cost, yakni:

a. Procedural switching cost, yaitu tipe switching cost yang melibatkan

pengeluaran waktu dan usaha, terdiri dari:

1) Economic risk cost, adalah biaya untuk menerima ketidakpastian dari

sesuatu yang berpotensi menjadi hasil yang negatif ketika mengadopsi

penyedia jasa baru di mana konsumen yang bersangkutan tidak memiliki

informasi yang cukup mengenai provider baru tersebut (Klemperer, 1995;

Burnham, et al., 2003).

2) Evaluation cost, adalah waktu dan usaha yang dikeluarkan dalam

mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi alternatif

provider potensial sehingga konsumen tersebut dapat membuat keputusan

untuk beralih provider. (Samuelson and Zeckhauser 1988, Burnham, et al.,

2003).

3) Learning cost adalah waktu dan usaha yang dikeluarkan untuk

mendapatkan keahlian atau keterampilan baru dalam rangka agar dapat

menggunakan produk atau jasa baru secara efektif (Alba and Hutcinson

1987; Eliashberg and Robertson 1988; Wernerfelt 1985).

31

4) Setup cost adalah waktu dan usaha yang dikeluarkan yang disebabkan

oleh proses memulai hubungan dengan penyedia jasa baru atau mengatur

produk baru pada penggunaan awal (Burnham, et al., 2003; Klemperer,

1995). Setup cost untuk jasa didominasi oleh pertukaran informasi yang

dibutuhkan oleh penyedia jasa baru untuk menurunkan risiko penjualannya

dan untuk memahami kebutuhan spesifik konsumen..

b. Financial switching cost, yaitu tipe switching cost yang melibatkan kehilangan

sumber daya finansial yang dapat dihitung, terdiri dari:

1) Benefit loss cost adalah biaya kehilangan benefit dari provider yang

digunakan konsumen sekarang, misalnya kehilangan bonus-bonus dan

diskon-diskon yang tidak akan diberikan provider kepada pelanggan-

pelanggan baru (Guiltinan, 1989).

2) Monetary loss cost adalah pengeluaran finansial satu-kali yang terjadi

untuk berpindah provider di luar dari pengeluaran yang dibutuhkan untuk

membeli produk/jasa tersebut (Klemperer, 1995). Contohnya seperti

deposit atau initiation fees bagi konsumen baru (Guiltinan, 1989). Pada

tesis ini, sub dimensi monetary loss cost tidak diteliti karena tidak ada

deposit atau initiation fee yang harus dibayar oleh konsumen baru.

c. Relational switching cost yaitu tipe switching cost yang melibatkan

ketidaknyamanan psikologis dan emosi yang menyebabkan kehilangan

identitas dan memutuskan ikatan, dan terdiri dari:

1) Personal relationship loss cost adalah kehilangan yang disebabkan karena

memutuskan hubungan yang telah terbentuk dengan personel yang

berinteraksi dengan konsumen (Guiltinan 1989; Klemperer 1995).

2) Brand relationship loss cost adalah kecenderungan kehilangan yang

disebabkan karena memutuskan ikatan yang telah terbentuk dengan merek

atau perusahaan yang mana sebelumnya konsumen telah lama

berhubungan dengan merek dan perusahaan tersebut (Aaker, 1992).

2.1.5 Experiential Marketing

Schmitt (1999 dan 2003) telah menciptakan istilah baru, bukan

32

merupakan pemasaran tradisional yang disebut Experiential Marketing dan

memberikan kerangka strategis untuk Experiential Marketing. Pemasaran

tradisional tidak melihat konsumen sebagai pembuat keputusan rasional yang

peduli tentang fitur fungsional dan manfaat. Sebaliknya, Experiential Marketers

melihat konsumen sebagai manusia yang rasional dan emosional yang peduli

dengan terciptanya pengalaman yang menyenangkan (pleasurable experiences).

Dalam berbagai industri, banyak perusahaan sudah beralih dari sistem pemasaran

tradisional “features-and-benefits” dalam menciptakan pengalaman bagi para

pelanggan mereka. Perubahan kearah experiential marketing telah terjadi sebagai

akibat dari perkembangan simultan dalam lingkungan bisnis yang lebih luas.

Experiential Marketer mampu merubah konsumen mereka dari pembeli (yang

bisa tidak setia pada waktu dan dengan pilihan merek mereka yang kacau)

menjadi pengisah merek (word of mouth) yang menceritakan merek, kepribadian

dan pesan inti atau fitur kepada teman-teman mereka, keluarga, rekan kerja dan

masyarakat (Smilansky, 2009: 5).

Experiential marketing merupakan pendekatan pemasaran yang

melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan menciptakan pengalaman-

pengalaman positif yang tidak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan

fanatik terhadap produk tertentu (Schmitt, 1999). Dapat dikatakan experiential

marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap

brand/product/service untuk meningkatkan penjualan/sales dan brand

image/awareness. Experiential marketing lebih dari sekedar memberikan

informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas

keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga

membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran,

khususnya penjualan (Fransisca, 2007). Experiential marketing merupakan

sebuah pendekatan baru untuk memberikan informasi mengenai merek dan

produk. Hal ini terkait erat dengan pengalaman pelanggan dan sangat berbeda

dengan sistem pemasaran tradisional yang berfokus pada fungsi dan keuntungan

sebuah produk. Experiential marketing merupakan perpaduan praktek antara

pemasaran non tradisional yang terintegrasi untuk meningkatkan pengalaman

33

pribadi dan emosional yang berkaitan dengan merek. Inti experiential marketing

sangat penting dalam merefleksikan adanya bias dari otak kanan karena

menyangkut aspirasi pelanggan untuk memperoleh pengalaman yang berkaitan

dengan perasaan tertentu, kenyamanan dan kesenangan di satu pihak dan

penolakan atas ketidaknyaman dan ketidaksenangan di lain pihak (Wolfes, 2005).

Dalam studinya (berdasarkan dari lima dimensi experiential marketing

oleh Schmitt yaitu sense, feel, think, act, relate) Yang and He (2011) membagi

experiential marketing menjadi tiga dimensi pengalaman pelanggan yaitu,

Sensory Experience, Emotional Experience, dan Social Experience. Sensory

Experience mengacu pada estetika dan persepsi sensorik tentang lingkungan

belanja, suasana, produk dan layanan. Emotional Experience meliputi suasana

hati dan emosi yang dihasilkan selama perjalanan belanja. Social Experience

menekankan hubungan dengan orang lain dan masyarakat. Pada penelitian ini

mengungkapkan bahwa, selain mengejar kebahagiaan dan relaksasi, konsumen

melihat belanja dengan keluarga dan teman-teman sebagai bagian penting untuk

membangun hubungan sosial. Keterlibatan pelanggan pada tahap ini mencakup

lima hal yang di sebut sebagai Strategic Experiential Modules (SEMs)

dikembangkan oleh Schmitt (1999), yaitu merupakan modul yang dapat

digunakan untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi konsumen sense

(panca indera), feel (perasaan), think (pikiran), act (kebiasaan), relate (pertalian).

a. Sense (Sensory Experience)

Pada dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh produsen dapat

berpengaruh positif maupun negatif terhadap kepuasaan. Mungkin saja suatu

produk dan jasa yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera

konsumen atau mungkin juga konsumen menjadi sangat puas, dan akhirnya harga

yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi konsumen. Sense

marketing merupakan salah satu cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui

pengalaman yang dapat diperoleh konsumen lewat panca indra (mata, telinga,

lidah, kulit, dan hidung) (Schmitt, 1999) yang mereka miliki melalui produk dan

service (Kertajaya, 2005). Sense mungkin digunakan perusahaan untuk

34

memberikan diferensiasi produk yang pada intinya digunakan untuk

meningkatkan nilai pada produknya (Schmitt, 1999) Dengan kata lain,

pengalaman logika memungkinkan konsumen untuk menggabungkan emosional

dan unsur rasional dalam otak untuk membantu dirinya sendiri dalam membentuk

pengalaman indrawi terhadap sebuah merek. (Alkilani, et al., 2013). Sense

marketing memberikan arti sebenarnya dari nilai barang atau jasa dengan bantuan

pengalaman sensorik yaitu visual, akustik, sentuhan, rasa dan bau. Pendorong

utama di balik sense marketing adalah daya tahan kognitif dan ini membantu

untuk menambah nilai barang dan jasa estetis (Sharma and Sharma, 2011).

Dalam sense marketing terdapat tiga kunci strategi yang dapat digunakan untuk

menstimulasi sense marketing, yaitu :

1) Sense as Differentiator

Pengalaman yang diperoleh dari sense (panca indra) mungkin melekat pada

konsumen karena tampil dengan cara yang unik dan spesial. Cara yang

dilakukan untuk menarik konsumen melebihi batas normal sehingga produk

dan jasa tersebut sudah memiliki cara khusus yang sudah ada di benak

konsumen.

2) Sense as Motivator

Sense yang dapat memotivasi konsumen dengan tidak terlalu memaksa

konsumen tetapi juga jangan terlalu acuh terhadap keinginan konsumen.

3) Sense as Value provider

Sense sebagai nilai tambah dapat memberikan nilai unik kepada konsumen,

sense dipengaruhi oleh panca indra melalui panca indra konsumen dapat

menentukan nilai suatu produk.

b. Feel

Feel Marketing ditunjukan terhadap perasaan dan emosi konsumen

dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang

lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan

(Schmitt, 1999). Yang and He (2011) menegaskan bahwa pengalaman emosional

35

termasuk suasana hati dan perasaan dengan tujuan menciptakan pengalaman

afektif yang beragam mulai dari suasana hati kecil yang positif yang melekat

pada merek sampai pada emosi yang kuat pada sukacita dan kepuasan. Perasaan

yang paling kuat terjadi pada saat konsumen mengkonsumsi produk, Perasaan

tersebut muncul dari hasil kontak dan interaksi, dan mereka mengembangkan nya

dari waktu ke waktu, disertai dengan perasaan positif dalam situasi konsumsi,

konsumen menerima emosi positif (Schmitt, 1999). Feel adalah suatu perhatian-

perhatian kecil yang ditunjukkan kepada konsumen dengan tujuan untuk

menyentuh emosi pelanggan secara luar biasa (Kartajaya, 2004: 164). Feel

Marketing merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi experiential

marekting, feel dapat dilakukan dengan service dan layanan yang bagus serta

keramahan pelayanan.

Affective experience (Feel Marketing) adalah tingkat pengalaman yang

merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang

positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat (Schmitt,

1999). Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan affective experience sebagai

bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan

dipahami, yaitu :

1) Suasana hati (inner feelings/moods), merupakan affective yang tidak spesifik.

Suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang

spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif

atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap

apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih.

2) Emosi (emotion), lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan

pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, irihati, dan

cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang

(orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).

Sasaran dari kedual hal tersebut diatas adalah membangkitkan pengalaman afektif

sehingga ada rasa gembira dan bangga (Schmitt, 1999) ketika konsumen

memakai/menggunakan produk kita. Feel berhubungan dengan perasaan yang

paling dalam pada emosi pelanggan

36

c. Think

Think marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk

menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berfikir

kreatif (Schmitt, 1999). Think marketing adalah salah satu cara yang dilakukan oleh

perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan

melakukan customization secara terus-menerus (Kertajaya, 2004:165). Tujuan dari

think marketing adalah untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam

pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan kesadaran melalui proses berfikir

yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk dan jasanya.

Think ini mengikutsertakan pikiran yang terfokus maupun yang menyebar dari

customer melalui kejutan, intrik dan provokasi. Kampanye Think biasa digunakan

untuk produk-produk teknologi baru, sebuah contoh adalah kampanye Microsoft

“ kemana Anda Ingin Pergi Hari ini?" Tapi Think marketing tidak dibatasi hanya

untuk produk teknologi tinggi. Think marketing juga telah banyak digunakan

dalam desain produk ritel dan komunikasi di banyak industri lainnya (Schmitt,

1999).

d. Act

Act Marketing adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi

pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Schmitt, 1999). Act

marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam

hubungannya dengan Physical body, lifestyle, dan interaksi dengan orang lain.

Act marketing ini memberikan pengaruh positif terhadap kepuasaan konsumen.

Ketika act marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup pelanggan

maka akan berdampak positif terhadap kepuasan konsumen karena pelanggan

merasa bahwa produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya.

Pendekatan rasional untuk perubahan perilaku (yaitu, theories of reasoned

actions) hanyalah salah satu dari banyak pilihan perubahan perilaku. Perubahan

gaya hidup dan perilaku cenderung lebih memotivasi, inspirasional dan

emosional secara alami dan sering termotivasi oleh panutan (seperti bintang film

atau atlet). Iklan Nike "Just do it" sudah menjadi sesuatu yang klasik dalam act

marketing.

37

e. Relate

Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya

yang dapat menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu

menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya

dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan simbol

budaya dalam kampanye iklan dan desain Web yang mampu mengidentifikasikan

kelompok pelanggan tertentu. Harley-Davidson merupakan contoh kampanye

Relate yang mampu menarik beribu-ribu pengendara motor besar di Amerika

dalam rally di penjuru negara itu. Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo

berupa logo Harley-Davidson di lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka

menunjukkan kelompok referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya

Relate marketing adalah salah satu cara membentuk atau menciptakan

komunitas pelanggan dengan komunikasi. Relate marketing menggabungkan

aspek sense, feel, think, dan act dengan maksud untuk mengkaitkan individu

dengan apa yang diluar dirinya dan mengimplementasikan hubungan antara other

people dan other social group sehingga mereka bisa merasa bangga dan diterima

di komunitasnya (Schmitt, 1999).

2.1.6 Loyalitas konsumen

Orientasi perusahaan kelas dunia mengalami pergeseran dari pendekatan

konvensional ke arah pendekatan kontemporer dalam dekade terakhir ini.

Pendekatan konvensional menekankan kepuasan pelanggan, reduksi biaya,

pangsa pasar, dan riset pasar. Sedangkan pendekatan kontemporer berfokus pada

loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero defections, lifelong customers, oleh

sebab itu kepuasan konsumen harus dibarengi dengan loyalitas konsumen.

Konsumen yang benar-benar loyal bukan saja sangat potensial menjadi word-of-

mouth advertiser, namun juga kemungkinan besar loyal pada portofolio produk

dan jasa perusahaan selama bertahun-tahun (Tjiptono, 2014:391).

Menurut Bloemer et al. (1997) loyalitas adalah perilaku yang ditunjukkan

dengan pembelian rutin yang didasarkan pada unit pengambilan keputusan.

Banyak manfaat yang diterima oleh perusahaan dengan tercapainya tingkat

38

kepuasan pelanggan yang tinggi, yakni selain dapat meningkatkan loyalitas

pelanggan tapi juga dapat mencegah terjadinya perputaran pelanggan,

mengurangi sensitivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan

pemasaran, mengurangi biaya operasi yang diakibatkan oleh meningkatnya

jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi

bisnis (Fornell, 1992). Loyalitas merupakan konsep multi-dimensional yang

kompleks, salah satu penyebabnya adalah beragamnya definisi dan

operasionalisasi konsep ini. Fandy Tjiptono (2014:392) dalam bukunya

“Pemasaran Jasa: Prinsip, Penerapan dan Penelitian” mengutip beberapa definisi

loyalitas antara lain, Seth (1968) mendefinisikan loyalitas merek sebagai fungsi

dari frekuensi pembelian relatif suatu merek dalam situasi yang tergantung waktu

dan independen terhadap waktu. Reynolds, et al., (1974) merumuskan loyalitas

merek sebagai kecenderungan seseorang untuk selalu menunjukkan sikap yang

sama dalam situasi yang sama terhadap merek-merek yang sebelumnya dibeli.

Definisi Seth (1968) menekankan loyalitas merek dari sudut bandang behavioral,

sementara definisi Reynolds (1974) berfokus pada loyalitas sebagai sikap. Wilkie

(1994) berusaha mengintegrasikan perspektif sikap dan behavioral ke dalam

definisinya yaitu loyalitas merek adalah sikap yang favorable. Oliver (1999)

mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh

untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk/jasa yang disukai secara

konsisten di masa datang, sehingga menimbulkan pembelian merek atau

rangkaian merek yang sama secara berulang. Definisi serupa dirumuskan Sheth,

et al. (1999) dalam cakupan yang lebih luas, yaitu loyalitas pelanggan (customer

loyalty). Sheth and Mittal (2004), loyalitas pelanggan adalah komitmen

pelanggan terhadap suatu merek, toko, atau pemasok, berdasarkan sikap yang

sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Sementara

itu, loyalitas pelanggan dalam konteks pemasaran jasa didefinisikan oleh

Bendapudi and Berry (1997) sebagai respon yang terkait erat dengan ikrar atau

janji untuk memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan

biasanya tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama

atas dasar dedikasi maupun kendala pragmatis. Selnes (1993) mengatakan bahwa

39

kepuasan konsumen mempengaruhi perilaku pembeli dimana konsumen yang

puas cenderung menjadi loyal. Pendapat lainnya juga mendukung bahwa

kepuasan konsumen memiliki hubungan dengan loyalitas, diantaranya adalah

Andreassen (1994).

Dalam penelitian yang dilakukan Crosby and Stephens (1987) pada

industri jasa menyebutkan bahwa ketidakpuasan merupakan salah satu penyebab

beralihnya konsumen. Loyalitas dapat terbentuk apabila konsumen merasa puas

dengan mereka atau tingkat layanan yang diterima dan berniat untuk terus

melanjutkan hubungan (Selnes, 1993). Sehingga loyalitas konsumen merupakan

fungsi dari kepuasan konsumen, rintangan pengalihan dan keluhan konsumen

(Fornel, 1992). Perusahaan yang berusaha mempertahankan konsumennya adalah

perusahaan yang menjaga hubungan baik dengan konsumen yang loyal dengan

memberikan nilai yang superior sehingga dapat meningkatkan loyalitas (Bloemer

1997). Selanjutnya, menyatakan bahwa untuk mempertahankan loyalitas

konsumen dan keuntungan maka perusahaan wajib untuk mengetahui produk

atau jasa apa yang diharapkan oleh konsumen. Dick and Basu (1999) menyatakan

bahwa loyalitas hubungan konsumen yang paling ideal untuk dicapai oleh

perusahaan adalah loyalitas tindakan, karena konsumen telah menjadi tahan

terhadap provokasi pesaing dan produk lainnya, sehingga usaha pesaing tidak

akan mudah mendapat perhatian dari konsumen. konsumen yang loyal akan

sangat mungkin tetap mempertahankan loyalitasnya pada merek/ produk tertentu

karena adanya pemahaman konsumen terhadap produk itu (citranya) dan

penguatan atau dukungan dari berbagai faktor yang berasal dari produk antara

lain: kualitas, biaya, manfaat, kepuasan, keterlibatan, kesukaan, konsistensi-

kognitif, komitmen dan tindakan.

Ada beberapa indikator dalam mengukur loyalitas konsumen yaitu rebuy,

recention dan referral, indikator-indikator dalam penelitian ini diacu dari

penelitian Selnes (1993); Bloemer (1997); Tjiptono (2014:391), Dick and Basu

(1999) dan Fornell (1992) yaitu pembelian ulang, rekomendasi dan komitmen.

Pembelian ulang adalah kemauan konsumen untuk melakukan transaksi ulang

yaitu dengan memanfaatkan layanan yang disediakan (Bloemer, 1997; Selnes,

40

1993). Rekomendasi adalah pengkomunikasian secara lisan mengenai

pengalaman transaksi konsumen yang baik kepada orang lain (Selnes, 1993).

Sedangkan komitmen adalah kemauan konsumen untuk tetap memanfaatkan

pelayanan yang disediakan oleh perusahaan dimasa datang dan enggan untuk

berhenti sebagai konsumen (Fornell, 1992; Dick & Basu, 1999).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan experiential marketing telah banyak

dilakukan oleh peneliti - peneliti sebelumnya. Penelitian - penelitian tersebut

banyak memberikan masukan serta kontribusi tambahan bagi pihak-pihak lain

yang berkepentingan untuk melakukan pendekatan-pendekatan apa saja sehingga

penelitian tersebut dapat dikembangkan dan diaplikasikan dengan baik. Penjelasan

tentang penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian1 Fred Selnes 1993 an examination of the effect

of product performancebrand reputation,satisfaction and loyalty

Brand Reputation, Satisfaction,Loyalty & Performance Quality

Uji regresi dan Korelasi Performance Quality secara signifikan berpengaruh positifterhadap Satisfaction (All Models), Performance Qualitysecara signifikan berpengaruh positif (secara parsial/modeltertentu) terhadap Brand Reputation, Satisfaction secarasignifikan berpengaruh positif (hanya untuk insurancemodel), dan secara signifikan seluruh model berpengaruterhadap loyalitas konsumen

2 Andreassen 1994 Satisfaction, Loyalty andReputation as Indicators ofCustomer Orientation in thepublic sector

Reputation, Satisfaction &Loyalty

Uji Korelasi Terdapat hubungan yang kuat antara satisfaction danloyalty, peran reputation adalah semakin memperkuatloyalty, Reputation, Satisfaction & Loyalty adalah indikatorpeting pada orientasi pasar

3 P Asubonteng, K JMcCleary, J E Swan

1996 SERVQUAL Revisited: acritical review of servicequality

Expectations, performance, analysis factor bahwa dibutuhkan lebih dari adaptasi sederhana dari itemSERVQUAL untuk mengatasi kualitas pelayanan secaraefektif dalam beberapa situasi. manajer disarankan untukmempertimbangkan isu-isu yang sangat penting bagikualitas pelayanan di lingkungan khusus mereka danmemodifikasi skala sesuai kebutuhan

4 J Bloemer, K D Ruyter 1997 On the relationship betweenstore image, storesatisfaction and store loyalty

Satisfaction, Involvement,deliberation, store image, storeloyalty

Pearson correlation,Regression analysis

terdapat korelasi antara store satisfaction, involvement,deliberation, store image dan store lolyalty, variabelsatisfaction terbukti dapat menjadi variabel mediasi antarastore satisfaction dan brand loyalty, pengaruh kepuasankonsumen adalah positive, semakin tinggi kepuasan makaloyalitas semakin tinggi,store image tidak terbuktiberpengaruh positif terhadap store loyalty,store imagememiliki pengaruh tidak langsung terhadap store loyaltyyaitu melalui store satisfaction

5 A Parasuraman 1997 Reflections on GainingCompetitive AdvantageThrough Customer Value

customer value deskriptif analysis, crosssection analysis

hubungan antara nilai pelanggan dan nilai dari perspektiforganisasi perlu diteliti secara sistematis baik lintas-bagianantar perusahaan maupun dalam perusahaan masing-masing dari waktu ke waktu. sebagaimana penelitianWoodruff yang akurat, perusahaan mungkin menghadapibanyak hambatan organisasi untuk bersaing dalam halpenyampaian nilai pelanggan. beberapa hambatan iniberasal dari skeptisisme manajemen tentang nilai bersaingatas dasar nilai pelanggan. dengan demikian, bukti empirisyang sistematis, hubungan positif antara nilai pelanggan dannilai organisasi dapat memberikan dorongan untukmenerapkan strategi berbasis nilai dalam perusahaan yangmungkin enggan untuk melakukannya

Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian6 Burnham, et All. 2003 Consumer switching cost A

Typology, antecedents, andconsequences

Market characteristic (indi:product complexity, providerheteroginity), ConsumerInvestment (breadth of use,extent of modification), domainexpertise (indi: alternativeexperience, switchingexperience), ProceduralSwitching cost (indi: economicrisk costs, evaluation cost,learning costs, set-up cost),Financial Switching cost (indi:benefit loss costs, monetary lostcost), relational switching cost(indi: personal relationship losscost, brand relational loss cost),Loyalty (intention to stay withincumbent provider),Satisfaction

exploratory factor,Cronbach's alpha, andconfirmatory factoranalyses (CFAs)

First, it provides a typology of the switching costs thatconsumers perceive as well as validated scales formeasuring those costs. second, this research provides atheoretical framework of the antecedents that driveconsumer switching cost perceptions. third, this researchadds to recent research on switching cost consequences byfinding significant effects for three types of consumerswitching costs. Even within industries where objectiveswitching costs are low, we find that the level and types ofcosts that consumers associate with switching explain theirintentions better than their satisfaction does. While thisdoes not suggest that firms should abandon the pursuit ofcustomer satisfaction, it does highlight the need tounderstand, measure, and manage switching costperceptions

7 Taufik Abdurrahman,Nanang Suryadi

2008 Pengaruh Service Quality,Customer Satisfaction, danSwitching Cost terhadapCustomer Loyalty (studi padapelanggan Telepon Bergerakdi Kota Malang)

service quality (reliability,responsiveness, assurance,empathy, tangibles), customersatisfaction, switching cost(economic risk cost, evaluationcost, learning cost, setup cost,benefit loss cost, personalrelationship loss cost, brandrelationship loss cost),Customer Loyalty (cognitiveloyalty, affective loyalty,conative loyalty, action loyalty)

analysis, Cronbach's alpha,and confirmatory factor

service quality, satisfactin dan switching cost secarasignifikan mempengaruhi terciptanya customer loyalty danvariabel satisfaction memberikan pengaruh yang terbesardalam terbentuknya loyalty,

8 Herman Soegoto 2011 Pengaruh Nilai dankepercayaan TerhadapLoyalitas Nasabah Prioritas

Nilai Nasabah, kepercayaanNasabah dan Loyalitas Nasabah

analyses (CFAs) Nilai dan Kepercayaan Nasabah secara simultan dan parsialberpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Nasabah Prioritas

9 Bagus Aji indrakusuma,ismi Darmastuti

2011 Analisis PengaruhPendekatan ExperientialMarketing yangMenciptakan KepuasanKonsumen Pada PenggunaBlackberry Smartphone

Experiential marketing (sense,feel, think, act, relate),Kepuasan Konsumen

Analisis Regresi Berganda Tidak seluruh variabel experiential marketing (sense, feel,think, act, relate) berpengaruh positif dan signifikanterhadap kepuasan konsumen, secara parsial variabel think,act, relate mempunyai pengaruh positif dan signifikanterhadap kepuasan konsumen

Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian10 Aries Susanty dan Arief

Chandra P B2011 Atribut-Atribut Yang Menjadi

Prioritas untuk PeningkatanKualitas Layanan

SERVQUAL (Tangibles,Reliability, Rerponsiveness,Assurance, Empathy), Perceivedservice, expected service

Uji validitas, Uji Reliabilitas,SERVQUAL, IPM, QFD

Kesenjangan antara Perceived service dan expected serviceberpengaruh terhadap peningkatan kepuasan pelanggan.Atribut kualitas layanan yang harus ditingkatkan adalah :tangibles (kondisi fisik fasilitas komuniskasi, kebersihan,area parkir), Reliability (pelayanan informasi), responsivness(kecepatan dalam menanggapi keluhan)

11 Hendro Tumpal P 2012 Pengaruh Citra Perusahaandan Kualitas PelayananTerhadap KepuasanKonsumen

Citra Perusahaan, KualitasPelayanan, Kepuasan Konsumen

deskriptif presentase danregresi linear berganda

ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel citraperusahaan dan kualitas pelayanan terhadap kepuasankonsumen

12 Nurdini Prihastiti, YatriIndah Kusumastuti

2012 Corporate Image Analysis onThe Implementation ofCommunity RelationsPrograms by PLN

community relations, Prosespembentukan citra, CitraPerusahaan

Uji Korelasi Rank Spearman keterlibatan dalam program tidak memperlihatkan adanyahubungan dengan proses pembentukan citra, manfaatprogram memiliki hubungan dengan proses pembentukancitra, proses pembentukan citra pada sasaran programsecara signifikan mempengaruhi citra perusahaan

13 Lia Wita Kumala et al. 2013 Pengaruh ExperientialMarketing TerhadapKepuasan Pelanggan (surveypada pelanggan KFC malang)

Experiential Marketing(Communications, visualidentity, product presence, Co-Branding, Spatial Environment,Web sites, People dan Act),Kepuasan Pelanggan

Analisis Deskriptif, AnalisisRegresi Linear berganda

Experiential marketing terbukti secara signifikanberpengaruh terhadap loyalitas konsumen baik secarabersama sama maupun parsial dan variabel people memilikipengaruh paling dominan

14 Zahrina Razanah et al. 2013 Penerapan ExperientialMarketing Strategy danPengaruhnya TerhadapKepuasan dan Loyalitas(studi pada pelanggan BaksoCak Kar Malang)

Experiential marketing,Kepuasan Pelanggan, LoyalitasPelanggan

Path Analysis Experiential marketing terbukti memiliki pengaruh signifikanterhadap kepuasan pelanggan, Kepuasan pelanggan terbuktimemiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan,experiential marketing terbukti memiliki pengaruh signifikanterhadap loyalitas pelanggan

Peneliti Tahun Judul Variabel yg Diteliti Metodologi Penelitian Hasil Penelitian15 Lapido Patrick k A, Rahim

Ajao Ganiyu2013 Experiential Marketing: An

Insight into the Mind of theConsumer

Sensory Experience, EmotionalExperience, ThinkingExperience, Action Experience,Related Experience

Descriptive/ExplanatoryMethod

untuk mengelola secara menyeluruh pengalamanpelanggan, organisasi harus berusaha untuk secara efektifmengelola komponen afektif dari pelanggan, denganmenggunakan pendekatan serupa merancang dalammengelola aspek fungsional dari produk / jasa. Juga, karenabelanja adalah pengalaman, nilai uang adalah faktor yangsangat penting bagi sebagian besar pembeli; Oleh karena ituperitel harus berusaha untuk mengaktifkan perasaanpelanggan dimana mereka mendapatkan nilai dari uang nya.Pengecer juga perlu fokus lebih banyak pada barangdagangan dan berbagai produk di rak-rak mereka. Tokoharus terlihat, dan fasilitas dasar di dalam mal (misalnyatoilet, slot parkir, dll) harus dijaga dengan baik. Aspeklayanan pelanggan seperti kesopanan staf, pelayanan daripelayan toko, respons terhadap keluhan dapat benar-benarmembuat pengalaman berbelanja yang menyenangkan danmerupakan faktor penting yang menentukan keputusanpelanggan untuk mengunjungi dan melakukana kunjunganulang ke toko

16 Moh Rozikin 2013 Meningkatkan loyalitaspelanggan melalui kualitaspelayanan, nilai pelanggandan kepuasan pelangganpada pt. Adi sarana armada,tbk

Kualitas Pelayanan, NilaiPelanggan, Kepuasan Pelanggan,dan Loyalitas Pelanggan

Analisis Regresi LinierBerganda

Kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasandan loyalitas konsumen, Nilai pelanggan berpengaruh positifterhadap kepausan dan loyalitas konsumen, Kepuasanpelanggan berpengaruh positif terhadap loyalitaskonsumen,

17 K Alkilani, K C Ling, AnasAhmad A

2013 The Impact of ExperientialMarketing and CustomerSatisfaction on CustomerCommitment in The Worldof Social Network

sense, feel, think, act, relate,customer satisfaction,commitment

Multiple RegressionAnalysis

sense dan feel secara signifikan memiliki hubungan positifdengan customer satisfaction sebagaimana customersatisfaction berhubungan positif dengan commitment,penelitian ini menolak variabel think, act dan relate bahwavariabel tersebut tidak mempunyai hubungan dengancustomer satisfaction

18 Syafri, Sefnedi, Rika 2014 Peranan Switching CostMemoderasi HubunganKualitas Pelayanan danKepuasan Konsumenterhadap Loyalitas NasabahDeposito Bank BNI CabangSungai Penuh

Kualitas Pelayanan, KepuasanNasabah, Switching Cost,Loyalitas Nasabah

Hierarchical Regression ada pengaruh positif dan signifikan variabel kualitaspelayanan, kepuasan nasabah dan switching cost terhadaployalitas nasabah dan variabel switching cost terbukti dapatmemperkuat pengaruh kualitas pelayanan dan kepuasannasabah terhadap loyalitas nasabah

46

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Dari uraian dalam latar belakang, rumusan masalah serta tujuan dan

manfaat studi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengkaji

dan menganalisa 6 (enam) hubungan variabel penting yaitu: Service Quality

(SERVQUAL), Customer value (PERVAL), Citra Perusahaan, Switching Cost,

Experiential Marketing (SEMs) dan Loyalitas Konsumen.

Sebelum menyusun kerangka konseptual, studi ini dimulai dari kajian

teori tentang Loyalitas Konsumen yang mengulas tentang karakteristik pasar saat

ini dimana konsumen lebih cerdas, sadar harga, banyak menuntut, kurang

memaafkan dan didekati banyak produk. Teknologi informasi juga semakin

memberikan peran yang cukup besar dan memudahkan konsumen dalam

menentukan pilihan untuk berbagai macam produk yang dapat dipilih untuk

membelanjakan uangnya. Produk asuransi baik kerugian maupun jiwa, antara

satu asuransi dengan yang lain, sebagian besar memiliki fitur-fitur yang serupa.

Oleh karena itu tiap perusahaan penerbit produk harus jeli dalam menjual produk

jasa mereka. Mereka harus dapat menciptakan keunggulan dari produk mereka

dibandingkan dengan produk lainnya, mereka harus mendeferensiasikan produk

nya. Kualitas layanan merupakan salah satu faktor penting yang dapat

menunjang loyalitas dari konsumen dan sudah menjadi tanggung jawab semua

orang dalam organisasi dalam rangka menciptakan kualitas pelayanan, sehingga

pada akhirnya konsumen akan memperoleh tawaran pelayanan dengan kualitas

yang tinggi. Dalam pemasaran, kesadaran dan image sebuah merek dan reputasi

jasa mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Pada konteks ini, citra

atau reputasi atau merek menjadi sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan

terhadap kesadaran pada merek dan image, keputusan konsumen dan kesetiaan

konsumen. Perusahaan perlu memahami dan memenuhi kebutuhan serta

keinginan konsumen, manajemen perlu memberikan value yang lebih kepada

para konsumennya sebagai bentuk keunggulan dan keunikan yang dimiliki,

47

meskipun demikian, perpindahan konsumen dari penyedia jasa ke penyedia jasa

lainnya terkadang sulit dihindari sehingga diperlukan suatu rintangan (barriers)

untuk mencegahnya. selain itu diperlukan faktor kreativitas yang menjelaskan

tentang penciptaan gagasan atau ide-ide baru mencakup produk, proses produksi

sampai pada cara-cara pemasaran baru yaitu: experiential marketing.

Experiential marketing lebih menitikberatkan pada bagaimana perusahaan dapat

memberikan informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah

produk atau jasa yang dihasilkannya Pada saat tahapan pelanggan

mengkonsumsi produk, tedapat interaksi antara pelanggan dengan pemasar.

Artinya, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan

lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara

langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, relate), baik sebelum

maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Experiential

marketing sangat efektif bagi pemasar untuk membangun brand awareness,

brand perception, brand equity, maupun brand loyalty hingga purchasing

decision dari pelanggan. Teori-teori tersebut menuntun untuk berpikir secara

deduktif karena teori bersifat universal artinya berlaku umum dan di mana saja,

tetapi dapat diterapkan untuk kasus-kasus spesifik. Selanjutnya studi empirik

yang dikaji dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi wawasan dalam

menyusun tesis ini. Studi empirik merupakan suatu proses generalisasi dari

hal-hal yang bersifat umum. Ini berarti kajian atau studi empirik memberi

inspirasi untuk, berpikir induktif.

Proses berpikir merupakan interaksi antara proses berpikir deduktif dan

induktif, bukan dari salah satunya. Dari proses interaksi tersebut disusun

hipotesis. Hipotesis ini merupakan solusi sementara atas rumusan masalah yang

perlu dikaji kebenarannya, sehingga hipotesis memerlukan pengujian secara

statistik yang relevan sehingga menghasilkan konsep tesis. Konsep tesis di

dalamnya akan menghasilkan temuan-temuan yang mendukung teori atau

penelitian sebelumnya yang sudah ada. Secara rinci uraian tersebut dijelaskan

pada Gambar 3.1 berikut ini:

48

49

Kerangka konseptual disusun setelah adanya kerangka proses berpikir dengan

tujuan untuk menjelaskan variabel-variabel mana yang berkedudukan sebagai

variabel eksogen, variabel intervening dan variabel endogen terikat. Dengan

persepsi yang telah dibentuk melalui studi teoritik dan studi empirik akan lebih

jelas berapa banyak hipotesis yang harus disusun, variabel-variabel yang

terkandung dalam masing-masing hipotesis dan bagaimana hubungan pengaruh

antar variabelnya.

Pada kerangka konseptual ini akan terlihat secara keseluruhan pengaruh

langsung antara variabel Service quality (X1), Customer value (X2), Citra

Perusahaan (X3) terhadap Experiential Marketing (Y1) dan Loyalitas Konsumen

(Y2), Pengaruh langsung Variabel Switching Cost (X4) terhadap Loyalitas

Konsumen (Y2) dan Pengaruh langsung variabel Experiential Marketing (Y1)

terhadap Loyalitas Konsumen (Y2). Hubungan antar variabel ini lebih jelas dapat

digambarkan pada Gambar 3.2 berikut:

50

Sumber : Alkilani, et al. (2012);Tumpal (2012); Caruana (2002); Widdis (2001); Soegoto (2011); Syafri,et al. (2014); Goodman (2005); Smilansky (2009); Bloemer and Ruyter (1998); Selnes (1993);Goodman, et al., (1995); Geykens, et al., (1999); Febiana (2009); Hazlet (2005); Aaker andKeller (1990); Zeithaml, et al. (1996); Parasuraman (1985, 1988 dan 1996)

Gambar 3.2kerangka konseptual

Keterangan gambar:

X1.1 : Reliabilitas X4.1 : Biaya risiko ekonomik Y2.1 : Pembelian ulangX1.2 : Daya Tanggap X4.2 : Biaya evaluasi Y2.2 : RekomendasiX1.3 : Jaminan X4.3 : Set-up cost Y2.3 : komitmenX1.4 : Empati X4.4 : Biaya belajar X1 : Service QualityX1.5 : Bukti Fisik X4.5 : Benefit lost costs X2 : Customer ValueX2.1 : Nilai Fungsional X4.6 : Personal relationship loss cost X3 : Citra PerusahaanX2.2 : Nilai Sosial X4.7 : Brand relationship loss costs X4 : Switching CostX2.3 : Nilai Emosional Y1.1 : sense (panca indera) Y1 : Experiential MarketingX2.4 : Nilai Interaksi Sosial Y1.2 : feel (perasaan) Y2 : Loyalitas KonsumenX2.5 : Nilai Fungsional Y1.3 : think (pikiran) Hi : HipotesisX3.1 : Citra perusahaan dibanding

pesaingY1.4 : act (kebiasaan) : Garis Hubungan

X3.2 : Citra produk dimatakonsumen

Y1.5 : relate (pertalian)

X3.3 : Citra pelayanan yang memuaskan

ServiceQuality (X1)

X1.1

X1.2X1.3

X1.4 X1.5

CitraPerusahaan

(X3)

X2.5X2.4

X2.3

X2.2

X2.1

CustomerValue (X2)

X3.3

X3.2

X3.1

SwitchingCost (X4)

X4.7

X4.6X4.5X4.4X4.3X4.2

X4.1

ExperientialMarketing (Y2)

Y1.1 Y1.2Y1.3

Y1.4

Y1.5

LoyalitasNasabah

(Y2)

Y2.1

Y2.2

Y2.3

H1

H4

H2

H5

H3

H6

H7

H8

51

Sedangkan hubungan pengaruh antar variabel dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Penelitian Goodman (2005) menyebutkan bahwa dengan memelihara

pelayanan yang baik bagi konsumen dapat menanamkan suatu pengalaman

positif di benak konsumen, dalam studinya menyebutkan bahwa

keunggulan atribut pelayanan, dapat meningkatkan kesediaan konsumen

untuk merekomendasikan kepada konsumen lain. Quality service yang

konsisten meningkatkan kesediaan merekomendasikan sebesar 32%,

memberikan informasi secara proaktif meningkatkan kesediaan

merekomendasi sebesar 32%, hubungan personal di luar jam kerja sebesar

26%, interaksi yang ramah 25%, dan kejutan yang menyenangkan 22%,

dimana hal tersebut mampu meningkatkan experiental marketing. Allred and

Adams (2000) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa sebanyak 72

responden nya atau sekitar 27% menyatakan berpindah kepada provider lain

apabila mereka mengalami pelayanan yang buruk dan menyimpulkan bahwa

secara signifikan Service quality berpengaruh terhadap Loyalitas Konsumen

sedangkan Febiana (2009) menyimpulkan bahwa kualitas layanan

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas konsumen melalui

experiential marketing.

2. Konsep Customer value mengindikasikan suatu hubungan yang kuat

terhadap experiential marketing dari konsumen (Schmitt, 1999). Dimana

konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang evaluatif konsumen

tentang produk yang mereka konsumsi. Nilai yang diinginkan konsumen

terbentuk ketika mereka membentuk persepsi bagaimana baik buruknya

suatu produk dimainkan dalam situasi penggunaan. Mereka mengevaluasi

pengalaman penggunaan pada atribut yang sama, seperti telah dijelaskan

diatas bahwa atribut yang dimaksud disini adalah merk dan keunggulan

layanan atas produk. Nilai yang diterima bisa mengarahkan secara langsung

pada experiential marketing. Experiential marketing sebenarnya lebih dari

sekedar memberi peluang pada konsumen untuk memperoleh pengalaman

emosional dan rasional dalam memberikan penilaian atas manfaat produk

52

atau jasa yang dirasakannya (Widdis, 2001). Hasil penelitian Smilansky

(2009) menyebutkan adanya pengaruh Customer value terhadap Experiential

Marketing.

3. Citra Perusahaan diasumsikan berdampak pada pilihan pelanggan

perusahaan ketika atribut pelayanan sulit untuk dievaluasi, maka citra

perusahaan didirikan dan dikembangkan di benak konsumen melalui

komunikasi dan pengalaman, citra perusahaan diyakini dapat menciptakan

efek halo pada penilaian kepuasan pelanggan (Andreassen et al., 1997). Citra

perusahaan yang melekat pada benak konsumen akan menambah

pengalaman konsumen dalam memanfaatkan produk atau jasa yang

meningkatkan experiential marketing dan mengakibatkan loyalitas konsumen

terhadap produk perusahaan (Hazlet, 2003). Citra perusahaan didefinisikan

sebagai sebuah persepsi mengenai kualitas yang digabungkan dengan nama

(Aaker and Keller, 1990). Fungsi utama dari citra perusahaan adalah menjadi

fasilitas pilihan ketika pedoman instrinsik atau atribut-atribut tampak sulit

atau tidak mungkin untuk dilakukan. Pedoman instrinsik meliputi komposisi

fisik atau teknikal dari produk. Nama merek telah didefinisikan sebagai

sebuah pedoman ekstrinsik, sehingga menjadi sebuah atribut yang

digabungkan dengan jasa tetapi tidak menjadi bagian fisik jasa itu sendiri.

Menurut Sutisna (2001:332) Citra perusahaan tidak bisa direkayasa, artinya

citra tidak datang dengan sendirinya melainkan dibentuk oleh masyarakat,

dari upaya komunikasi dan keterbukaan perusahaan dalam usaha

membangun citra positif yang diharapkan. Upaya membangun citra tidak

bisa dilakukan secara serampangan pada saat tertentu saja, tetapi merupakan

suatu proses yang panjang. Karena citra merupakan semua persepsi atas

objek yang dibentuk oleh konsumen dengan cara memproses informasi dari

berbagai sumber sepanjang waktu. Sumber informasi dapat berasal dari

perusahaan secara langsung dan atau pihak pihak lain secara tidak langsung.

Citra perusahaan menunjukan kesan obyek terhadap perusahaan yang

terbentuk dengan memproses informasi setiap waktu dari berbagai sumber

informasi terpercaya. Perasaan puas atau tidaknya konsumen terjadi setelah

53

mempunyai pengalaman dengan produk maupun perusahaan yang diawali

adanya keputusan pembeli. Sehingga dapat disimpulkan keberadaan citra

perusahaan yang baik penting sebagai sumber daya internal obyek dalam

menentukan hubunganya dengan perusahaan.

4. Tumpal (2012); Aryani dan Rosinta (2010); Rozikin (2013); Taufiq dan

Suryadi (2009); Caruana (2002); Taylor and Baker (1994); Sivadas and

Baker-Prewitt (2000) menyimpulkan bahwa Kualitas Layanan berpengaruh

signifikan terhadap Loyalitas Konsumen. Studi yang dilakukan oleh

Parasuraman (1985, 1988 dan 1996) menyatakan bahwa salah satu aspek yang

perlu mendapatkan perhatian penting adalah service quality yang diberikan oleh

perusahaan dalam menghadapi persaingan antar perusahaan yang semakin ketat,

maka perusahaan bersaing untuk memikat agar para konsumennya tetap loyal

dalam memanfaatkan pelayanan yang diberikannya. Kualitas pelayanan

berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan

penympaiannya untuk mengimbangi harapan konsumen. Sementara kualitas

layanan telah terbukti sebagai unsur penting dalam meyakinkan pelanggan

untuk memilih salah satu organisasi daripada yang lainnya, banyak organisasi

telah menyadari bahwa mempertahankan keunggulan secara konsisten sangat

penting jika mereka ingin mendapatkan loyalitas pelanggan (Kandampuly and

Dudy, 1999)

5. Penelitian mengenai Customer value dilakukan oleh Soegoto (2011); Atmojo

(2010); Susanti (2012), dengan hasil bahwa Customer value berpengaruh

secara signifikan terhadap Loyalitas Konsumen. Sejalan dengan penelitian

dari Kandampuly and Dudy (1999) bahwa perusahaan perlu memahami dan

memenuhi kebutuhan serta keinginan konsumen, manajemen perlu

memberikan value yang lebih kepada para konsumen sebagai bentuk

keunggulan dan keunikan yang dimiliki. Jika konsumen merasa memperoleh

nilai (value) yang lebih dibandingkan dengan pesaing, maka diharapkan

mereka tidak akan beralih ke perusahaan lain tetapi akan tetap menjadi

konsumen yang loyal. Disamping itu konsumen akan cenderung melakukan

word of mouth communication kepada relasi-relasi terdekatnya, agar mereka

54

melakukan hal yang sama dengan dirinya, yaitu menjadi konsumen pada

perusahaan yang sama. Konsumen yang merasa diperhatikan, mendapatkan

manfaat sesuai yang dibutuhkan, serta yakin bahwa perusahaan tersebut

dapat dipercaya akan menjadi semakin loyal (Herman Soegoto, 2011).

6. Hasil penelitian dari Bontis and Booker (2007); Prihastiti dan Kusumastuti

(2012); Bloemer and Ruyter (1998); Tumpal (2012); Abd-El-Salam, et al.

(2013); Schmitt, et al., (2009) menyimpulkan bahwa Citra Perusahaan

berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen. Menurut Philip Kotler

(1997: 259) citra adalah seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki

seseorang terhadap suatu obyek. Sutisna (2001:83) mengemukakan, citra

adalah total persepsi terhadap suatu obyek yang dibentuk dengan memproses

informasi dan berbagai sumber setiap waktu. Dalam pemasaran, kesadaran

dan image sebuah merek dan reputasi jasa mempengaruhi keputusan

konsumen untuk membeli. Pada konteks ini, reputasi atau merek menjadi

sebuah masalah dari sikap dan kepercayaan terhadap kesadaran pada merek

dan image, keputusan konsumen dan kesetiaan konsumen (Fornel, 1992).

Hasil penelitian ini sejalan dengan Hu, Kandampully and Juwaheer (2009)

yang menyatakan bahwa Citra (image) perusahaan berpengaruh positif

terhadap behavioral intentions atau loyalitas. Penelitian Hart dan

Rosenberger III (2004) menyatakan bahwa Citra (image) perusahaan

berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan.

7. Hasil penelitian Syafri, et al. (2014); Taufiq dan Suryadi (2009); Rangga (2011)

menyimpulkan bahwa variabel Switching Cost berpengaruh secara signifikan

terhadap Loyalitas Konsumen. Switching cost mendorong konsumen untuk

merekomendasikan pada konsumen yang lain (Lee, 2004). Lebih jauh lagi

Jonathan Lee menyatakan bahwa semakin kecil biaya beralih akan semakin

memudahkan para konsumen untuk beralih. Perubahan teknologi dan strategi

diferensiasi dari perusahaan menyebabkan switching cost menjadi faktor penting

bagi customer loyalty. Dalam penelitian Cheng, et al. (2008) juga menemukan

pengaruh positif antara switching cost terhadap loyalitas konsumen. Hasil

penelitian sejalan dengan temuan Burnham, et al. (2003) yang menyebutkan

55

bahwa switching cost terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

perilaku pembelian kembali

8. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Razanah, et al. (2010); Kumala, et al.

(2010); Alkilani, et al. (2012); Kusumawati (2011); Musfar dan Novia (2012);

Febian (2009), menyimpulkan bahwa Experiential Marketing berpengaruh

terhadap terciptanya Loyalitas Konsumen. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Bernard Schmitt (1999) dalam studinya menyimpulkan bahwa

Experiential marketing bukan sekedar memberikan informasi dan peluang pada

konsumen untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari

produk atau jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang

berdampak pada loyalitas konsumen.

3.2 HIPOTESIS

Berdasarkan telaah teori dan kerangka konseptual di atas, maka pada

studi ini dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Service quality berpengaruh signifikan terhadap Experiential Marketing di

PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

2. Customer value berpengaruh signifikan terhadap Experiential Marketing di

PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

3. Citra Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Experiential Marketing di

PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

4. Service quality berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT

Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

5. Customer value berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT

Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

6. Citra Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT

Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

7. Switching Cost berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di PT

Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember;

8. Experiential Marketing berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas

Konsumen di PT Asuransi Jasa Indonesia Cabang Jember.

56

BAB IVMETODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan atau desain penelitian dalam arti sempit dimaknai sebagai

suatu proses pengumpulan dan analisis data penelitian. Dalam arti luas rancangan

penelitian meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Suatu desain

penelitian menyatakan struktur masalah penelitian maupun rencana penyelidikan

yang akan dipakai untuk memperoleh bukti empiris mengenai

hubungan-hubungan dalam masalah. Dalam penelitian ini mendiskripsikan

fakta-fakta dan melakukan uji hipotesa untuk melihat hubungan antar variable,

maka penelitian ini menggunakan desain penelitian penjelasan (explanatory

research/confirmatory research).

Penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan hubungan antara variabel

eksogen (independen), variable intervening (antara), dan variabel endogen

(dependen). Variabel Eksogen atau independent variable yang terdiri dari :

service quality (X1); Customer Value (X2); Citra Perusahaan (X3); Switching Cost

(X4). Variabel Endogen atau dependent variabel, terdiri dari : Experiential

Marketing (Y1) sebagai endogen intervening dan Loyalitas Konsumen (Y2)

sebagai endogen terikat. Hubungan-hubungan dijelaskan dalam suatu hubungan

struktual, dimana terjadi saling hubungan antara variabel-variabel tersebut baik

secara parsial, simultan, langsung dan tidak langsung.

4.2 Jenis dan Sumber Data

4.2.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber

aslinya. Data ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara atau menyebarkan

kuesioner kepada responden. Pada penelitian ini data primer meliputi data hasil

penyebaran kuesioner kepada responden.

57

4.2.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui

pihak lain, atau laporan historis yang telah disusun dalam arsip yang

dipublikasikan atau tidak. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini

berupa studi kepustakaan, jurnal, literatur-literatur yang berkaitan dengan

permasalahan, majalah-majalah perekonomian, laporan tahunan PT Jasindo dan

informasi dokumentasi lain yang dapat diambil melalui sistem on-line (internet).

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode

survey, yaitu dengan menyebarkan kuesioner pada sampel yang akan diteliti.

Penyebaran kuesioner dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan para

responden. Pertanyaan kuesioner dalam penelitian ini berupa pertanyaan tertutup

dan terbuka yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi data responden

yang merupakan gambaran umum responden secara demografis, dan bagian kedua

berisi daftar pertanyaan yang mewakili variabel penelitian.

4.4 Populasi dan Sampel

Populasi menurut Masri Singarimbun (1989:3) adalah jumlah

keseluruhan dari analisa yang cirinya dapat diduga. Populasi pada penelitian ini

dibatasi untuk segmen konsumen ritel yaitu pengguna jasa asuransi PT. Asuransi

Jasindo Kantor Cabang Jember pemegang polis asuransi kebakaran, asuransi

kendaraan dan asuransi aneka tahun 2013 yang yang berjumlah 986 orang.

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti; dipandang

sebagai suatu pendugaan terhadap populasi, namun bukan populasi itu sendiri.

Sampel dianggap sebagai perwakilan dari populasi yang hasilnya mewakili

keseluruhan gejala yang diamati. Bentler dan Chou (1987:91) dalam Latan

(2013:44) merekomendasikan jumlah sampel yang harus dipenuhi untuk estimasi

SEM adalah 5 kali (5:1) parameter yang diestimasi, lebih lanjut Schumacker dan

Lomax (2010) melakukan survey literatur dan menemukan bahwa ukuran sampel

antara 250-500 paling banyak digunakan pada berbagai jurnal dan artikel SEM.

58

Latan (2013:44) merekomendasikan ukuran sampel untuk pengujian model

menggunakan SEM adalah antara 100-200 apabila variabel laten yang digunakan ≥

6. Kline (2010) dalam Latan (2013:45) menyebutkan bahwa ukuran sampel yang

disarankan untuk penggunaan estimasi maximum likelihood (ML) adalah sebesar 200.

Penelitian ini menggunakan 29 indikator sehingga dengan menggunakan estimasi

berdasarkan jumlah parameter diperoleh ukuran sampel sebesar 145 responden.

Sesuai dengan pendapat Kline (2010) diatas penulis mengambil sampel sebanyak 200

dengan landasan bahwa model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

maximum likelihood (ML).

Teknik penentuan sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah

purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampling

dimana sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa yang dipilih adalah pihak

yang tepat untuk dijadikan sampel penelitiannya yaitu konsumen PT Jasindo yang

yang sudah merasakan jasa pelayanan (membeli polis Jasindo) minimal 2 tahun

secara berturut-turut untuk polis yang sama (Renewal), merupakan konsumen

perorangan (bukan konsumen korporasi) dan sudah pernah mengajukan klaim.

Selanjutnya distribusi sampel dilakukan secara proporsional untuk masing-masing

Class of Business konsumen Jasindo, dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1

Distribusi Sampel berdasarkan Class of Business

Class Of Business Populasi Proportional Sampel

Asuransi Kebakaran 310 (310/986)*200 63

Asuransi Kendaraan Bermotor 626 (626/986)*200 127

Asuransi Aneka 50 (50/986)*200 10

Jumlah 986 200

Sumber: data sekunder dikembangkan pada penelitian ini

4.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

4.5.1 Identifikasi Variabel

Berdasarkan dengan kerangka konseptual (Gambar 3.2, Bab III halaman

50), maka variabel-variabel di dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai

59

berikut:

1. Variabel eksogen (independen)

Variabel eksogen (independen) yaitu variabel yang hanya bertindak sebagai

predictor atau penyebab bagi variabel lain yang didalam model dan tidak

diprediksikan oleh variabel lain. Variabel eksogen (independen) dalam

penelitian ini terdiri dari : service quality (X1); Customer Value (X2); Citra

Perusahaan (X3); Switching Cost (X4).

2. Variabel intervening (antara)

Variabel intervening (antara) adalah variabel yang bertindak sebagai antara

bagi variabel eksogen dn variabel endogen. Variabel intervening digunakan

untuk melihat pengaruh tidak langsung antar suatu variabel terhadap variabel

lain. Variabel intervening (antara) penelitian ini adalah Experiential

Marketing (Y1)

3. Variabel endogen (dependen)

Variabel endogen (dependen) adalah variabel hasil dalam hubungan sebab

akibat atau suatu variabel yang menjadi pusat perhatian peneliti,

keragamannya ditentukan oleh variabel lain. Variabel endogen (dependen)

dalam penelitian ini adalah Loyalitas Konsumen (Y2)

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel dalam penelitian ini dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Service Quality (X1)

Service Quality merupakan upaya PT Jasindo untuk memenuhi

kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan dalam penyampaiannya yang

ditujukan untuk mengimbangi harapan konsumen. Dalam kualitas jasa ini kita

berbicara mengenai pencapaian momment of thruth, bagaimana mendapatkan

perhatian konsumen agar dapat mengkomunikasikan benefit-benefit dari produk

Jasindo yang ditawarkan dan menyediakan peralatan yang dibutuhkan oleh

konsumen untuk dapat mengalami benefit-benefit ini ketika mereka menggunakan

60

produk Jasindo. Dalam penelitian ini, pengukuran untuk kualitas jasa terbagi

menjadi 5 (lima) dimensi yaitu:

1. Reliabilitas (X1.1), yaitu kemampuan staf Jasindo dalam memberikan jasa

yang dijanjikan secara akurat dan andal;

2. Daya Tanggap (X1.2), yaitu kesediaan para staf Jasindo untuk membantu para

konsumen dan memberikan jasa secara cepat;

3. Jaminan (X1.3), mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat

dapat dipercaya yang dimiliki staf Jasindo; bebas dari bahaya, risiko atau

keragu-raguan;

4. Empati (X1.4), meliputi kemudahan dalam menjalin komunikasi yang baik

termasuk perhatian pribadi dan pemahaman atas kebutuhan spesifik para

pelanggan dengan staf Jasindo;

5. Bukti Fisik (X1.5), meliputi fasilitas fisik sesuai dengan jasa yang ditawarkan.

b. Customer Value (X2)

Nilai konsumen merupakan keseluruhan penilaian konsumen tentang

kegunaan produk Asuransi Jasindo yang berdasar pada persepsi tentang apa yang

diterima dan apa yang diberikan (dikorbankan). Skala pengukuran variabel ini

dikembangkan berdasarkan konteks situasi pembelian ritel untuk menentukan

nilai-nilai konsumsi yang mengarah pada sikap dan perilaku pembelian konsumen

Asuransi Jasindo. Dalam penelitian ini model PERVAL diadaptasi ke dalam

konteks industri jasa (Chua, 2002 dalam Fandy Tjiptono, 2014:311), dengan

dimensi pengukuran sebagai berikut:

1. Nilai Fungsional (Kinerja/Kualitas) (X2.1), adalah kualitas hasil dari

menggunakan produk Jasindo. Nilai ini mencerminkan kemampuan produk

Jasindo dalam melaksanakan fungsi utamanya secara konsisten;

2. Nilai Sosial (X2.2), manfaat produk Asuransi Jasindo yang ditujukan untuk

memuaskan keinginan seseorang dalam mendapatkan pengakuan atau

kebanggaan sosial;

61

3. Nilai Emosional (X2.3), adalah kesenangan atau kepuasan emosional yang

didapatkan konsumen dari suatu produk Asuransi Jasindo;

4. Nilai Interaksi Sosial (X2.4), merupakan manfaat produk Jasindo yang

membuat konsumen merasa lebih memiliki kesempatan untuk berinteraksi

dengan lingkungan sosial yang lebih luas;

5. Nilai Fungsional (Harga) (X2.5), adalah harga yang fair dan biaya-biaya

finansial lainnya yang terkait dengan upaya mendapatkan produk Jasindo.

c. Citra Perusahaan (X3)

Citra perusahaan adalah kesan yang diperoleh konsumen sesuai dengan

pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang PT Asuransi Jasindo, citra yang

dimaksud adalah Citra Asuransi Jasindo yang melekat pada benak konsumen yang

akan menambah pengalaman konsumen dalam memanfaatkan produk Jasindo

sehingga meningkatkan experiential marketing dan mengakibatkan semakin

tingginya loyalitas konsumen terhadap produk Jasindo, Variabel ini diukur dari

jawaban kuesioner mengenai;

1. Citra perusahaan dibanding pesaing (X3.1), didefinisikan bahwa Asuransi

Jasindo memililki reputasi yang lebih mengesankan di benak konsumen

dibanding asuransi lain;

2. Citra produk dimata konsumen (X3.2), didefinisikan bahwa produk Jasindo

lebih dapat dipercaya dan lebih dapat memenuhi kebutuhan konsumen

dibanding asuransi lain;

3. Citra pelayanan yang memuaskan (X3.3), didefinisikan bahwa pelayanan

Jasindo lebih baik daripada asuransi lain.

d. Switching Cost (X4)

Biaya beralih dipersepsikan atau diasosiasikan oleh konsumen Jasindo

sebagai biaya yang sewaktu waktu harus mereka tanggung apabila beralih ke

penyedia jasa lainnya. Biaya ini tidak terbatas pada biaya ekonomik, namun

meliputi berbagai macam biaya, seperti biaya pencarian, biaya transaksi, biaya

belajar, diskon pelanggan loyal, kebiasaan pelanggan, biaya emosional, usaha

kognitif, risiko finansial, risiko sosial dan risiko psikologis. Mengacu pada

62

penelitian Burnham, et al. (2003) yang merumuskan delapan segi dari switching

cost, yakni:

1. Biaya risiko ekonomik (X4.1), adalah biaya-biaya berkenaan dengan

ketidakpastian dan kemungkinan hasil negatif dikarenakan menggunakan

penyedia jasa baru yang tidak terlalu dipahami konsumen. Ketidakpastian

tersebut dapat berupa risiko kinerja, risiko finansial (klaim tidak terbayar),

maupun risiko kenyamanan (convenience risk);

2. Biaya evaluasi (X4.2), meliputi biaya waktu dan tenaga berkaitan dengan

usaha pencarian dan analisis yang diperlukan untuk membuat keputusan

beralih penyedia jasa;

3. Set-up cost (X4.3), merupakan biaya waktu dan tenaga berkaitan dengan

proses memulai relasi dengan penyedia jasa baru. Dalam konteks jasa

asuransi, biaya ini meliputi pertukaran informasi yang dibutuhkan agar

penyedia jasa baru mampu memahami kebutuhan spesifik konsumen

termasuk didalamnya resurvey dan pembaruan data/dokumen;

4. Biaya belajar (X4.4), adalah biaya waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk

memahami jaminan dari produk atau jasa asuransi yang baru secara efektif

dan benar;

5. Benefit lost costs (X4.5), adalah biaya-biaya berkenaan dengan hubungan

kontraktual yang menciptakan manfaat-manfaat ekonomik untuk tetap setia

pada Asuransi Jasindo. Bila beralih ke asuransi lain, pelanggan bisa

kehilangan point yang telah dikumpulkan, diskon, no claim bonus atau

manfaat–manfaat lain yang tidak diberikan kepada konsumen baru;

6. Personal relationship loss cost (X4.6), merupakan biaya psikologis berkenaan

dengan pemutusan ikatan emosional yang telah dibina dengan staff Jasindo

yang biasanya berinteraksi dengan konsumen. Familiaritas pelanggan dengan

karyawan Jasindo biasanya menciptakan perasaan nyaman tertentu yang

tidak bisa langsung didapatkan dari asuransi lain;

7. Brand relationship loss costs (X4.7), merupakan biaya psikologis berkaitan

63

dengan pemutusan ikatan emosional yang telah dibina dengan merek

Jasindo. Konsumen kerapkali memberikan makna khusus pada pembelian

yang dilakukan dan membentuk presepsi atau asosiasi yang menjadi bagian

dari sense of identity dirinya. Ikatan relasi berbasis merek atau perusahaan

ini akan hilang bila beralih penyedia jasa.

e. Experiential Marketing (Y1)

Experiential marketing merupakan pendekatan relasional dilakukan oleh

karyawan Jasindo yang melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan

menciptakan pengalaman-pengalaman positif yang tidak terlupakan, sehingga

konsumen mengkonsumsi dan fanatik terhadap produk Jasindo. Keterlibatan

pelanggan pada tahap ini mencakup lima hal yang di sebut sebagai Strategic

Experiential Modules (SEMs), yang dikembangkan oleh Schmitt (1999) yaitu

merupakan modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis

pengalaman bagi konsumen, meliputi;

1. sense (panca indera) (Y1.1) , merupakan salah satu cara pendekatan yang

dilakukan oleh karyawan Jasindo untuk menyentuh emosi konsumen dengan

cara-cara yang unik, memotivasi konsumen dengan tidak terlalu memaksa

konsumen tetapi juga tidak terlalu acuh terhadap keinginan konsumen sehingga

konsumen mendapatkan suatu pengalaman yang tidak terlupakan. Pengalaman

ini dapat diperoleh konsumen melalui panca indra (mata, telinga, lidah, kulit,

dan hidung);

2. feel (perasaan) (Y1.2), adalah suatu perhatian-perhatian kecil yang ditunjukkan

karyawan Jasindo kepada konsumen untuk menyentuh emosi pelanggan secara

luar biasa, dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang

kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan ketika mengkonsumsi produk

Jasindo;

3. think (pikiran) (Y1.3), konsep marketing ini bertujuan untuk mempengaruhi

pelanggan agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif dan dapat menciptakan

kesadaran melalui proses berfikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap

perusahaan, produk dan jasa asuransi Jasindo;

64

4. act (kebiasaan) (Y1.4), adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi

pelanggan Jasindo terhadap produk dan jasa yang bersangkutan.

5. relate (pertalian) (Y1.5), bertujuan untuk mempengaruhi konsumen dan

menggabungkan seluruh aspek sense, feel, think, act serta menitikberatkan

pada penciptaan persepsi positif Asuransi Jasindo di mata konsumen

f. Loyalitas Konsumen (Y2)

Asuransi Jasindo berusaha untuk mengerti, berinteraksi dengan

konsumen dan berempati terhadap kebutuhan mereka. Dengan strategi ini

diharapkan konsumen akan menjadi loyal, bersedia melakukan hubungan jangka

panjang, menggunakan produk dan jasa perusahaan secara terus menerus dan

merekomendasikanya kepada teman-teman dan orang terdekat mereka, meliputi:

1. Pembelian ulang (Y2.1), adalah kemauan konsumen untuk melakukan

transaksi ulang yaitu dengan memanfaatkan layanan yang disediakan;

2. Rekomendasi (Y2.2), adalah komunikasi secara lisan yang dilakukan

konsumen Jasindo mengenai pengalaman transaksi nya yang baik kepada

orang lain (word of mouth);

3. Komitmen (Y2.3), adalah kemauan konsumen untuk tetap memanfaatkan

pelayanan yang disediakan oleh asuransi Jasindo dimasa datang dan enggan

untuk berhenti sebagai konsumen.

4.6 Skala Pengukuran

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa kuesioner

yang terdiri atas sekumpulan pernyataan untuk mengukur variabel yang telah

ditentukan. Pengumpulan data akan dilakukan melalui kuesioner yang diserahkan

kepada masing-masing responden terpilih. Pengumpulan data dengan menggunakan

pernyataan tertutup yang diberikan kepada responden secara langsung. Pernyataan

tertutup sudah menggiring ke jawaban yang altenatifnya sudah ditemukan.

Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam

kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa

survei. Nama skala ini diambil dari nama Rensis Likert, yang menerbitkan suatu

65

laporan yang menjelaskan penggunaannya (Likert, 1932). Sewaktu menanggapi

pertanyaan dalam skala Likert, responden menentukan tingkat persetujuan mereka

terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia.

Dalam penelitian ini skala Likert diukur dengan pemberian skor dari 1 sampai 5.

Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari

sangat negatif sampai sangat positif, sebagai berikut:

1 = Sangat tidak setuju

2 = Tidak setuju

3 = Netral

4 = Setuju

5 = Sangat setuju

4.7 Teknik Analisis

4.7.1 Pengujian Reliabilitas dan Validitas

Model pengukuran menunjukkan bagaimana variabel manifest atau

observed variabel merepresentasi kontstruk laten untuk diukur yaitu dengan

menguji validitas dan reliabilitas konstruk laten tersebut melalui confirmatory

factor analysis (CFA). Untuk menguji validitas dapat menggunakan pendekatan

MTMM (MultiTrait-MultiMethod) yaitu menguji validitas konvergen dan

diskriminan (Campbell and Fiske, 1959 dalam Latan, 2013: 46). Validitas

konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (manifest

variabel) dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi, uji ini dapat dilihat

dari nilai loading faktor untuk tiap indikator konstruk. Nilai loading faktor yang

tinggi menunjukkan bahwa tiap indikator konstruk converge pada satu titik. Rule

of thumb yang biasanya digunakan untuk menilai validitas konvergen yaitu nilai

faktor harus > 0.7 dengan tujuan untuk mengkonfirmasi teori dan nilai average

variance extracted (AVE) harus lebih besar dari 0.5 (Latan, 2013: 46).

Lebih lanjut validitas diskriminan atau sering disebut juga divergent

validity berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur konstruk yang

berbeda seharusnya tidak berkorelasi dengan tinggi. Nilai validitas diskriminan

66

yang tinggi menunjukkan bahwa suatu konstruk adalah unik (Latan, 2013:47).

Cara untuk menguji validitas diskriminan yaitu dengan membandingkan akar

kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai korelasi antar konstruk

dalam model. Validitas diskriminan yang baik akan ditunjukkan dari akar kuadrat

AVE untuk tiap konstruk lebih besar dari korelasi antar konstruk dalam model

(Fornell and Larcker, 1981), dengan rumus sebagai berikut:

Dimana:

λi = loading factor

var = variance

εi = error variance

Fornell dan Larcker (1981), menyatakan bahwa pengukuran ini dapat

digunakan untuk mengukur reliabilitas component score variabel laten dan

hasilnya lebih konservatif dibandingkan dengan composite reliability. Nilai AVE

direkomendasikan harus lebih besar dari 0.50 mempunyai arti bahwa 50% atau

lebih variance dari indikator dapat dijelaskan (Latan, 2013:47)

Selain uji validitas, pengukuran model juga dilakukan untuk menguji

reliabilitas suatu konstruk. Reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi,

konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Latan (2013:48)

untuk mengukur reliabilitas konstruk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

dengan Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability atau sering disebut

reliability rho. Namun demikian penggunaan Cronbach’s Alpha untuk menguji

reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate)

sehingga lebih disarankan untuk menggunakan Composite Reliability dalam

menguji reliabilitas suatu konstruk (Raykov, 1998 dalam Latan, 2013:48). Rule of

Thumb biasanya digunakan untuk menilai reliabilitas konstruk yaitu nilai

Composite Reliability harus lebih besar dari 0.7 merupakan nilai cut-off yang

umumnya diterima. Untuk menghitung nilai Composite Reliability digunakan

rumus yang dikembangkan oleh Werts, et al. (1974) dalam Latan, (2013:48) di

67

bawah ini:

Dimana : λi = loading factor; var = variance; εi = error variance

4.7.2 Uji Asumsi Structural Equation Model (SEM)

Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada masing-masing

variabel laten, maka selanjutnya dilakukan uji asumsi Normalitas data,

Multikolinieritas data atau singularitas sebagai prasyarat yang harus dipenuthi

dalam permodelan SEM , sebagai berikut:.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam suatu model

regresi, variabel dependen, variabel independen atau keduanya memiliki distribusi

normal atau tidak. Distribusi data yang baik adalah data yang mempunyai pola

seperti distribusi normal tidak mengarah ke kiri atau ke kanan (singgih, 2001:34).

Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan nilai statistic

z untuk skewness dn kurtosisnya dan secara empiric dapat dilihat Critical Ratio

(CR). Jika digunakan tingkat signifikan 5,00% maka nilai CR yang berada

diantara -1,96 s/d 1,96 (-1,96 ≤ CR ≤ 1,96) dikatakan data berdistribusi normal,

baik secara univariat maupun secara mulruvariat (Ghozali, 2005:128).

b. Uji Multikoliearitas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Untuk mendeteksi

ada tidaknya multikolinieritas dalam model regresi dapat dilakukan dengan

melihat cara-cara sebagai berikut : (Sulistyo, 2010; 38)

1) Nilai R2 yang dihasilkan dalam model regresi sangat tinggi, tetapi secara

individual variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi

variabel dependen.

2) Dengan melihat nilai Variance Inflation Faktor (VIF) di sekitar angka 1 atau

memiliki toleransi mendekati 1, maka dikatakan tidak terdapat masalah

multikolinearitas.

68

4.7.3 Analisis Data

Analisis data dan interpretasi untuk penelitian yang ditujukan untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam rangka mengungkap fenomena

sosial tertentu. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk

yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Metode yang dipilih untuk

menganalisis data harus sesuai dengan pola penelitian dan variabel yang akan

diteliti. Tampilnya model yang rumit membawa dampak bahwa dalam

kenyataannya proses pengambilan keputusan manajemen adalah sebuah proses

yang rumit atau merupakan sebuah proses yang multidimensional dengan

berbagai pola hubungan kausalitas yang berjenjang. Oleh karenanya dibutuhkan

sebuah model sekaligus alat analisis yang mampu mengakomodasi penelitian

multidimensional itu. Berbagai alat analisis untuk penelitian multidimensional

telah banyak dikenal diantaranya 1) Analisis faktor eksplaratori, 2) Analisis

regresi berganda, 3) Analisis diskriminan. Alat-alat analisis ini dapat digunakan

untuk penelitian multidimensi, akan tetapi kelemahan utama dari teknik-teknik itu

adalah pada keterbatasannya hanya dapat menganalisis satu hubungan pada waktu

tertentu. Dalam bahasa penelitian dapat dinyatakan bahwa teknik-teknik itu hanya

dapat menguji satu variable dependen melalui beberapa variable independen.

Padahal dalam kenyataannya manajemen dihadapkan pada situasi bahwa ada

lebih dari satu variable dependen yang harus dihubungkan untuk diketahui derajat

interelasinya. Keunggulan aplikasi SEM dalam penelitian manajemen adalah

karena kemampuannya untuk mengkonfirmasi dimensi-dimensi dari sebuah

konsep atau factor yang sangat lazim digunakan dalam manajemen serta

kemempuannya untuk mengukur pengaruh hubungan-hubungan yang secara

teoritis ada (Latan, 2013:1).

Untuk menganalisis data digunakan The Structural Equation Modeling

(SEM) dari paket software statistik AMOS dalam model dan pengkajian hipotesis.

Model persamaan struktural, Structural Equation Model (SEM) merupakan suatu

teknik analisis multivariat generasi kedua yang menggabungkan antara analisis

faktor (Factor analysis) dan analisis jalur (path analysis) sehingga

memungkinakan peneliti untuk menguji dan mengestimasi secara simultan

69

hubungan antara multiple laten variabel independen dan multiple laten variabel

dependen dengan banyak indikator serta dapat menguji model dengan efek

mediator maupun moderator, model dalam bentuk non-linear dan kesalahan

pengukuran (Chin, 1998; Gefen et al., 2011; Garson, 2012 dalam Latan, 2013:1).

Untuk membuat pemodelan yang lengkap, perlu dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

a) Langkah Pertama, Merancang model berbasis teori

Langkah pertama dalam pengembangan model SEM adalah pencarian

atau pengembangan model yang mempunyai justifikasi teoritis yang kuat, di

dalam penelitian ni telah dinyatakan bahwa:

1) Variabel service quality (X1) berpengaruh terhadap Experiential Marketing

(Y1). Goodman (2005); Smilansky (2009); Febiana (2009). Allred and Adams

(2000) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa sebanyak 72 responden

nya atau sekitar 27% menyatakan berpindah kepada provider lain apabila

mereka mengalami pelayanan yang buruk dan menyimpulkan bahwa secara

signifikan Service quality berpengaruh terhadap Loyalitas Konsumen.

Penelitian Goodman (2005) menyebutkan bahwa keunggulan atribut

pelayanan, dapat meningkatkan kesediaan konsumen untuk

merekomendasikan kepada konsumen lain. Pelayanan baik yang konsisten

meningkatkan kesediaan merekomendasikan sebesar 32%, memberikan

informasi secara proaktif meningkatkan kesediaan merekomendasi sebesar

32%, hubungan personal di luar jam kerja sebesar 26%, interaksi yang ramah

25%, dan kejutan yang menyenangkan 22%, dimana hal tersebut mampu

meningkatkan experiental marketing.

2) Variabel Customer Value (X2) mengindikasikan suatu hubungan yang kuat

terhadap experiential marketing (Y2). (Widdis, 2001; Smilansky, 2009;

Schmitt, 1999). Dimana konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang

evaluatif konsumen tentang produk yang mereka konsumsi. Nilai yang

diinginkan konsumen terbentuk ketika mereka membentuk persepsi

bagaimana baik buruknya suatu produk dimainkan dalam situasi penggunaan.

70

Mereka mengevaluasi pengalaman penggunaan pada atribut yang sama,

seperti telah dijelaskan diatas bahwa atribut yang dimaksud disini adalah merk

dan keunggulan layanan atas produk. Nilai yang diterima bisa mengarahkan

secara langsung pada experiential marketing

3) Variabel Citra Perusahaan (X3) berpengaruh terhadap Experiential Marketing

(Y2). (Hazlet, 2005; Andreassen et al., 1997; Aaker and Keller, 1990). Fungsi

utama dari citra perusahaan adalah menjadi fasilitas pilihan ketika pedoman

instrinsik atau atribut-atribut tampak sulit atau tidak mungkin untuk

dilakukan. Pedoman instrinsik meliputi komposisi fisik atau teknikal dari

produk. Nama merek telah didefinisikan sebagai sebuah pedoman ekstrinsik,

sehingga menjadi sebuah atribut yang digabungkan dengan jasa tetapi tidak

menjadi bagian fisik jasa itu sendiri. Upaya membangun citra tidak bisa

dilakukan secara serampangan pada saat tertentu saja, tetapi merupakan suatu

proses yang panjang. Karena citra merupakan semua persepsi atas objek yang

dibentuk oleh konsumen dengan cara memproses informasi dari berbagai

sumber sepanjang waktu.

4) Variabel Service Quality (X1) berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas

Konsumen (Y2). Tumpal (2012); Aryani dan Rosinta (2010); Rozikin (2013);

Taufiq dan Suryadi (2009); Caruana (2002); Taylor and Baker (1994); Sivadas

and Baker-Prewitt (2000). Studi yang dilakukan oleh Parasuraman (1985,

1988 dan 1996) Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian penting

adalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan dalam menghadapi

persaingan antar perusahaan yang semakin ketat, maka perusahaan bersaing

untuk memikat agar para konsumennya tetap loyal dalam memanfaatkan

pelayanan yang diberikannya. Kualitas pelayanan berpusat pada upaya

pemenuhan kebutuhan dan keinginan serta ketepatan penyempaiannya untuk

mengimbangi harapan konsumen. Sementara kualitas layanan telah terbukti

sebagai unsur penting dalam meyakinkan pelanggan untuk memilih salah satu

organisasi daripada yang lainnya, banyak organisasi telah menyadari bahwa

mempertahankan keunggulan secara konsisten sangat penting jika mereka

ingin mendapatkan loyalitas pelanggan.

71

5) Variabel Customer Value (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap

Loyalitas Konsumen (Y2). (Kandampuly and Dudy, 1999; Soegoto, 2011;

Atmojo, 2010; Susanti, 2012). Perusahaan perlu memahami dan memenuhi

kebutuhan serta keinginan nasabah, manajemen perlu memberikan value yang

lebih kepada para nasabah sebagai bentuk keunggulan dan keunikan yang

dimiliki. Jika nasabah merasa memperoleh nilai (value) yang lebih

dibandingkan dengan pesaing, maka diharapkan mereka tidak akan beralih ke

perusahaan lain tetapi akan tetap menjadi nasabah yang loyal. Disamping itu

nasabah akan cenderung melakukan word of mouth communication kepada

relasi-relasi terdekatnya, agar mereka melakukan hal yang sama dengan

dirinya, yaitu menjadi nasabah pada perusahaan yang sama. Nasabah yang

merasa diperhatikan, mendapatkan manfaat sesuai yang dibutuhkan, serta

yakin bahwa perusahaan tersebut dapat dipercaya akan menjadi semakin loyal

6) Variabel Citra Perusahaan (X2) berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas

Konsumen (Y2). Bontis and Booker (2007); Prihastiti dan Kusumastuti

(2012); Bloemer and Ruyter (1998); Tumpal (2012); Abd-El-Salam, et al.

(2013); Schmitt, et al., (2009); (Fornel, 1992); Hu, Kandampully and

Juwaheer (2009); Hart dan Rosenberger III (2004). Citra merupakan total

persepsi terhadap suatu obyek yang dibentuk dengan memproses informasi

dan berbagai sumber setiap waktu. Dalam pemasaran, kesadaran dan image

sebuah merek dan reputasi jasa mempengaruhi keputusan konsumen untuk

membeli. Pada konteks ini, reputasi atau merek menjadi sebuah masalah dari

sikap dan kepercayaan terhadap kesadaran pada merek dan image, keputusan

konsumen dan kesetiaan konsumen.

7) Variabel Switching Cost (X4) berpengaruh secara signifikan terhadap

Loyalitas Konsumen (Y2). (Syafri, et al., 2014; Taufiq dan Suryadi, 2009;

Rangga, 2011; Cheng et al., 2008; Burnham, et al. (2003); Lee (2004).

Switching cost adalah biaya yang dikeluarkan sekali ketika berpindah dari satu

provider ke provider yang lain. Switching cost mendorong konsumen untuk

merekomendasikan pada konsumen yang lain Perubahan teknologi dan

strategi diferensiasi dari perusahaan menyebabkan switching cost menjadi

72

faktor penting bagi Loyalitas Konsumen (Burnham, et al., 2003).

8) Variabel Experiential Marketing (Y1) berpengaruh terhadap terciptanya

Loyalitas Konsumen (Y2). Razanah, et al. (2010); Kumala, et al. (2010);

Alkilani, et al. (2012); Kusumawati (2011); Musfar dan Novia (2012); Febrian

(2009); Schmitt (1999). Experiential marketing merupakan pendekatan

pemasaran yang melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan

menciptakan pengalaman-pengalaman positif untuk membangkitkan emosi

dan perasaan yang tidak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan

fanatik terhadap produk tertentu dan berdampak pada loyalitas nasabah.

b) Langkah Kedua, Pengembangan diagram alur untuk menunjukkan

hubungan kausalitas

Berdasarkan pengaruh antar variabel teoritis tersebut di atas, maka dapat

dibuat model di dalam bentuk diagram path untuk mempermudah peneliti melihat

hubungan-hubungan kausalitas yang ingin diuji. Konstruk-konstruk yang

dibangun dalam diagram alur dibagi menjadi dua kelompok, yaitu konstruk

eksogen dan konstruk endogen. Konstruk eksogen dikenal sebagai “source

variables” atau “independent variables” yang tidak diprediksi oleh variable yang

lain dalam model. Konstruk endogen adalah faktor-faktor yang diprediksi oleh

satu atau beberapa konstruk endogen lainnya, tetapi konstruk eksogen hanya

dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen

c) Langkah Ketiga: Konversi diagram alur kedalam serangkaian

persamaan struktural dan spesifikasi model pengukuran

Setelah teori/model teoritis dikembangkan dan digambarkan dalam

sebuah diagram alur, maka rangkaian persamaan dapat dibentuk untuk

mengkonversi spesifikasi model sebagai berikut:

1) Experiential Marketing (Y1) = λ0 + λ1X1 + λ2X2+ λ3X3+ Ɛ 1

2) Loyalitas Konsumen (Y2) = λ0 + λ1X1 + λ2X2 + λ3X3 + λ4X4 + β1Y1 + Ɛ 2

Mengingat model tersebut dikembangkan untuk menjawab

permasalahan penelitian dan berbasis teori, maka dinamakan model hipotetik

penelitian.

73

Persamaan spesifikasi model pengukuran (measurement model)

Menentukan pengukuran variabel terhadap konstruk serta menentukan

serangkaian matriks yang menunjukkan pengaruh langsung yang dihipotesakan

antar konstruk atau variabel Spesifikasi model pengukuran konstruk pada

penelitian ini, sebagai berikut :

d) Langkah Keempat: Pemilihan matriks input dan teknik estimasi atas

model yang dibangun

Perbedaan SEM dengan teknik-teknik multivariat lainnya adalah pada

input data yang digunakan untuk pemodelan dan estimasinya. SEM hanya

menggunakan matriks varians/kovarians atau matriks korelasi sebagai data input

untuk keseluruhan estimasi yang dilakukannya. Matriks kovarians digunakan

karena ia memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara

populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda, dimana tidak dapat disajikan

oleh korelasi. Penelitian ini menggunakan teknik estimasinya maximum likelihood

estimation (ML). Maximum Likelihood merupakan metode estimasi yang

dikembangkan oleh Lawley (194), ML akan menghasilkan estimasi parameter

yang terbaik (unbiased) apabila data yang digunakan memenuhi asumsi

multivariate normality dan akan bias jika dilanggarnya asumsi multivariate

normality. Ukuran sampel yang disarankan untuk penggunaan estimasi ML ini

adalah sebesar 200 (Kline, 2010) dalam Latan, 2013:45). ML juga mensyaratkan

spesifikasi model yang valid, serta menggunakan data dengan skala continous-

interval. ML tidak reboust jika menggunakan data ordinal atau non-normal. Jika

data mengandung missing value lebih dianjurkan untuk menggunakan FIML (Full

Information Maximum Likelihood). Kelemahan dari metode estimasi ini adalah

akan menjadi sangat sensitif dan menghasilkan goodnes of fit model yang tidak

stabil apabila data yang digunakan untuk estimasi model lebih besar dari 400

(Latan, 2013:45)

e) Langkah Kelima: Menilai Problem identifikasi

Pada prinsipnya adalah problem mengenai ketidakmampuan dari model

yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi

74

dapat muncul melalui gejala-gejala berikut ini :

1) Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar

2) Program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya

disajikan.

3) Muncul angka-angka yang aneh seperti adanya varians error yang negatif.

4) Munculnya korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang didapat

(missal ≥ 0.9)

Apabila problem identifikasi ini muncul pada saat estimasi maka

sebaiknya model tersebut dipertimbangkan ulang, antara lain dengan

mengembangkan lebih banyak konstruk.

f) Langkah Keenam: Evaluasi model

Pada langkah ini kesesuaian model dievaluasi, melalui telaah terhadap

berbagai kriteria goodness-of-fit. Latan (2013:51-68) mengutip dari berbagai

penelitian, beberapa indeks kesesuaian dan cut off value yang digunakan dalam

pengujian apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak.

1) χ2 (Chi-Square Statistic) Model yang diuji akan dipandang baik atau

memuaskan bila nilai chis-quare nya rendah. Semakin kecil nilai χ2 semakin

baik model itu (karena dalam uji beda chi-square, χ2 = 0, model dikatakan fit

jika mempunyai nilai chi-square sebesar p > 0.05, yang berarti benar-benar

tidak ada perbedaan antara input matriks kovarian yang diobservasi dengan

model yang diprediksi, H0 diterima (Latan, 2013:50).

2) CMIN/DF (χ2/df) atau sering disebut “nomal chi-square” merupakan kriteria

fit indicies yang dikembangkan oleh Wheaton et al. (1977). CMIN/DF adalah

ukuran yang diperoleh dari nilai chi-square dibagi dengan degree of freedom.

Carmines dan McIver (1981) menyatakan jika nilai CMIN/DF ≤ 3 dan ≥ 2

maka model dapat diterima. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Schumacker

dan Lomax (2010) bahwa nilai CMIN/DF yang dapat diterima adalah ≤ 2 dan

jika < 1 maka dapat disimpulkan bahwa model sangat fit.

3) GFI (Goodness of Fit Index), merupakan kriteria fit indices yang

dikembangkan oleh Joreskog dan Sorbom (1984) untuk metode estimasi

75

ML dan ULS dan dikembangkan lebih lanjut oleh Tanaka dan Huba (1985)

untuk metode estimasi GLS. GFI merupakan tingkat kesesuaian model

secara keseluruhan yang dihitung dari residual kuadrat model yang

diprediksi dibandingkan dengan data observasi yang sebenarnya. Nilai GFI

dapat dihitung dari 1 – chi-squares untuk default model dibagi dengan

chi-squares utuk null model. Nilai GFI akan berkisar antara 0 (poor fit)

sampai dengan 1,0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini

menunjukkan sebuah “better fit.” Nilai yang dianjurkan sebagai ukuran fit

model adalah > 0.09. Namun nilai GFI cenderung bias, akan overestimates jika

sampel yang digunakan besar dan akan underestimate jika sampel yang

digunakan kecil.

4) RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation) atau awalnya

disebut RMS merupakan kriteria fit indices yang dikembangkan oleh Steiger

and Lind (1980). RMSEA merupakan ukuran fit yang paling popular dan

banyak digunakan oleh peneliti di bidang SEM. Hal ini dikarenakan nilai

RMSE tidak overestimate atau underestimate dan tidak tergantung dari

besarnya jumlah sampel. RMSEA mengukur penyimpangan nilai parameter

suatu model dengan matriks kovarians populasinya (Browne and Cudeck,

1993). Nilai RMSE yang menunjukkan goodness of fit yang dapat diharapkan

bila model diestimasi dalam populasi. Nilai RMSEA yang ≤ 0.05

mengindikasikan fit model sangat baik (schumacker and Lomax, 2010;

Williams and Boyle, 2011), nilai RMSEA ≤ 0.06 - 0,08 mengindikasikan

goodness of fit model cukup baik (Chen et al., 2008; Hu and Bentler, 1999)

dan nilai RMSEA ≥ 1.00 mengindikasikan model perlu untuk diperbaiki

(Browne and Cudeck, 1993).

5) AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index), fit indices ini dikembangkan oleh

Joreskog dan Sorbom (1984). AGFI merupakan pengembangan dari GFI yang

disesuaikan dengan ratio degree of freedom ntuk proposed model dengan degree of

freedom untuk null model. Tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila

AGFI ≥ 0,90 (Schumacker and Lomax, 2010). Jika nilai AGFI > 1.0

mengindikasikan bahwa model just-identified dan jika < 0 mengindikasikan bahwa

76

model mempunyai fit yang buruk.

6) TLI (Tucker Lewis Index) atau sering disebut rho2, merupakan incremental

index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah

baseline model. TLI mirip dengan non-normed fit index (NNFI) pada

software. TLI merupakan salah satu fit index yang tidak terpengaruh ukuran

sampel, dimana nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya

sebuah model adalah > 0,90 (Schumacker and Lomax, 2010) namun oleh

beberapa peneliti disarankan mempunyai nilai >0.95 (Hu and Bentler, 1995)

dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit.

7) CFI (Comparative Fit Index), merupakan kriteria fit indices yang

dikembangkan oleh Bentler (1990) sehingga CFI juga dikenal dengan Bentler

Fit Index (BFI). CFI juga merupakan ukuran perbandingan antara model yang

dihipotesiskan dengan null model. CFI merupakan perbaikan dari NFI

sehinggat tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel dan merupakan ukuran fit

yang sangat baik untuk mengukur kesesuaian sebuah model. Nilai CFI

direkomendasikan untuk indikasi model fit adalah >0.90 (Schumacker and

Lomax, 2010) dan beberapa penaliti menyarankan nilai CFI yang

direkomendasikan adalah > 0.95 (Brown, 2006; Hu and Bentler, 1999).

Sebuah model dinyatakan layak jika masing-masing indeks tersebut mempunyai

cut of value seperti ditunjukkan pada tabel 3.1 berikut:

Tabel 4.2. Ringkasan Goodness of-fit Indices Model pada AMOS

Goodness of-fit index Cut-off Value

χ2 – Chi-square hitung < χ2 – Chi-square tableCMIN/DF 2.00 ≥ CMIN/DF < 5Significance Probability 0.05 ≤ P < 1GFI 0.90 ≤ GFI < 1RMSEA 0.08 ≤ RMSEA < 1AGFI 0.90 ≤ AGFI < 1TLI 0.95 ≤ TLI < 1CFI 0.95 ≤ CFI < 1

Sumber: Data sekunder dikembangkan untuk penelitian ini

Evaluasi model struktural bertujuan untuk mengetahui besarnya

77

persentase variance setiap variabel endogen dalam model yang dijelaskan oleh

variabel eksogen dengan melihat nilai R-squares. Nilai R-squares yang

direkomendasikan sebesar 0.25, 0.45 dan 0.65 (Latan, 2013:68) yang

menunjukkan bahwa model kuat, moderate dan lemah. Nilai R-squares > 0.85

mengindikasikan bahwa terjadi problem multikolinearitas antar variabel eksogen

atau independen.

Selanjutnya evaluasi model struktural juga dilakukan dengan melihat

signifikansi P-value sebagai dasar untuk menerima atau menolak hipotesis nol.

Nilai signifikansi yang digunakan (two-tailed) P-value 0.10 (significance level =

10%), 0.05 (significance level = 5%), dan 0.01 (significance level = 1%).

g) Langkah Ketujuh : Mengintepretasikan dan memodifikasi model

Setelah melakukan evaluasi model secara keseluruhan serta penilaian

goodness of fit dan didapatkan model yang diuji ternyata tidak fit maka perlu

dilakukan modifikasi atau respesifikasi model. Modifikasi model harus didukung

oleh teori karena tujuan dari SEM adalah untuk mengkonfirmasi teori. Modifikasi

model tidak dianjurkan hanya untuk mendapatkan model yang fit tanpa ada

justifikasi teoritis (Latan, 2013:68). Modifikasi model pada program AMOS dapat

dilakukan dengan melihat output modification index (MI). Output MI pada

covariances yang mempunyai nilai terbesar harus saling dikorelasikan. Sebagai

catatan otupun MI mensyaratkan data harus bebas missing value. Jika model telah

dimodifikasi maka model yang baru harus di cross-validated dengan data yang

baru. Jumlah sampel yang direkomendasikan untuk modifikasi model harus < 800

atau berkisar antara 200-400 (MacCallum et al., 1992 dalam Latan, 2013:69)

i

DAFTAR PUSTAKA

Aaker, David A. and Keller, Kevin Lane, 1990, Consumer Evaluations of BrandExtensions, Journal of Marketing, Vol. 54, No. 1 (Jan., 1990), pp. 27-41,Published by: American Marketing Association, Article Stable URL:http://www.jstor.org/stable/1252171

Abd-El-Salam, Eman Mohamed, Yehia Shawky, Ayman And El-Nahas, Tawfik,2013, The impact of corporate image and reputation on service quality, customersatisfaction and customer loyalty: testing the mediating role. Case analysis in aninternational service company, The Business & Management Review, Vol.3Number-2, January 2013

Adeosun, Ladipo Patrick Kunle, and Ganiyu, Rahim Ajao, 2013, ExperientialMarketing: An Insight into the Mind of the Consumer, Asian Journal ofBusiness and Management Sciences, www.ajbms.org, ISSN: 2047-2528Vol. 2 No. 7 [21-26]

Adriani Kusumawati, 2011, Analysing The Influence Of Experiential Marketing OnCustomer Satisfaction And Loyalty: The Case Of Hypermart MalangTown Square (Matos), Jurnal Manajemen Pemasaran Modern Vol. 3 No.1Januari - Juni 2011 Issn 2085-0972

Alba, Joseph W. and Hutchinson, J. Wesley, 1987, Dimensions of ConsumerExpertise, The Journal of Consumer Research, Vol. 13, No. 4. (Mar.,1987), pp. 411-454.

Alkilani, Khaled., Ling, Kwek Choon., & Abzakh, Anas Ahmad., 2013, The Impactof Experiential Marketing and Customer Satisfaction on CustomerCommitment in the World of Social Networks, Asian Social Science , Vol.9, No. 1 , January 2013

Allred, Anthony T., & Addams, H. Lon., 2000, Service quality at banks and creditunions: What do their customers say, Managing Service Quality Volume10 . Number 1 . 2000 . pp. 52±60, # MCB University Press . ISSN0960-4529

Anderson, Eugene W., & Sullivan, Mary W., 1993, The antecedents andconsequences of customer satisfaction for firms. Marketing Science, Vol.12, No. 2 (Spring, 1993), pp. 125-143.

Andreassen, Tor Wallin. & Lindestad, Bodil., 1998, The Effect of Corporate Image inthe Formation of Customer Loyalty, Journal of Service Research, August1998 1: 82-92

ii

Andreassen, Tor Wallin., 1994, Satisfaction Loyalty and Reputation as Indicators ofCustomer Orientation in The Public Sector, International Journal ofPublic Sector Management, Vol. 7 No. 2 1994, pp. 16-34

Asubonteng, Patrick., McCleary, Karl J. and Swan, John E., 1996, SERVQUALrevisited: a critical review: of service quality, The Journal Of ServicesMarketing, Vol. 10 No. 6 1996, Pp. 62-81 © MCB University Press,0887-6045

Barrett, J., Lye, A., & Venkateswarlu, P., 1999, Consumer Perceptions of BrandExtensions: Generalising Aaker & Keller’s Model, Journal of EmpiricalGeneralisations in Marketing Science, Volume Four

Bendapudy, Nelli. And Berry, Leornard L., 1997, Customers’ Motivations ForMaintaining Relationships With Service Providers, Journal of Retailing,Volume 73 (1), pp. 15-37, ISSN: 0022-4359, Copyright © 1997 by NewYork University

Bloemer, Josée., & Ruyter, Ko de., 1997, On the relationship between store image,store satisfaction and store loyalty. Eur. J. Mark., 32(5/6), 499-513.

Bloemer, Josée., Ruyter, Ko de., & Peeters, Pascal., 1998, Investigating Drivers ofLoyalty: the Complex Relationship Between Image, Service Quality andSatisfaction, International journal of marketing, Vol.17, No.7.

Bontis, Nick., Booker, Lorne D., & Serenko, Alexander, 2007, The mediating effectof organizational reputation on customer loyalty and servicerecommendation in the banking industry, Management Decision,45(9),1425-1445.

Bouchet, Dominique., 2003, What is ”Corporate Image” and “Corporate Identity” –and why do people talk so much about it?, Article, Department ofMarketing, University of Southern Denmark, Campusvej 55, DK-5230Odense M, Denmark, www.bouchet.dk

Brakus, J. Jo˘sko, Schmitt, Bernd H., and Zarantonello, Lia, Brand Experience: WhatIs It? How Is It Measured? Does It Affect Loyalty?, Journal of Marketing,Vol. 73 (May 2009), 52–68 © 2009, American Marketing AssociationISSN: 0022-2429 (print), 1547-7185 (electronic)

Budi W Soetjipto, 1997, Service Quality : Alternatif Pendekatan dan BerbagaiPersoalan di Indonesia, Manajemen Usahawan Indonesia vol. 26 no. 1(Jan. 1997), page 18-24.

Burnham, Thoma A., Frels, Judy K., & Mahajan, Vijay., 2003, Consumer switchingcost: A Typology, antecedents, and consequences, Journal of the Academyof Marketing Science, Vol. 31, No.2, pp. 109-126

iii

Buttle, Francis., 1996, SERVQUAL: review, critique, research agenda, EuropeanJournal of Marketing, Vol. 30 No. 1, 1996, pp. 8-32. © MCB UniversityPress, 0309-0566

Caruana, Albert., 2002, Service loyalty: the effects of service quality and themediating role of customer satisfaction. Eur. J. Mark., 36(7/8), 28-811.

Chakravarty, Sugato., Feinberg, Richard., and Rhee, Eun-Youn., 2004, Relationshipsand individuals bank switching behavior, Journal of Economic Psychology25 (2004) 507–527

Chow, Simeon., and Holden, Reed., 1997, Toward An Understanding Of Loyalty Themoderating role of Trust, Journal of Managerial Issues, Vol. IX, No.3.

Clarke, Ken., 2001, What Price on Loyalty When a Brand Switch is Just a ClickAway?,. Qualitative Market Research: An International Journal, 4 (3),160-168.

Cronin, J. Joseph, Jr. and Taylor Steven A., 1992, Measuring service quality: are-examination and extension. Journal of Marketing, Vol. 58, No. 1 (Jan.,1994), pp. 125-131

_________, 1994, SERVPERF versus SERVQUAL: Reconciling Performance-Basedand Perceptions Minus Expectations Measurement of Service Quality,Journal of Marketing, Vol. 58, No. 1 (Jan., 1994), pp. 125-131Published

Crosby, Lawrence A. and Stephens, Nancy., 1987, Effects of Relationship Marketingon Satisfaction, Retention, and Prices in the Life Insurance Industry,Source: Journal of Marketing Research, Vol. 24, No. 4 (Nov., 1987), pp.404-411 Published by: American Marketing Association, Stable URL:http://www.jstor.org/stable/3151388

David harianto dan dr. Hartono subagio, s.e., m.m., 2013, analisa pengaruh kualitaslayanan, brand image, dan atmosfer terhadap loyalitas konsumen dengankepuasan konsumen sebagai variabel intervening konsumen kedai deja- vusurabaya, jurnal manajemen pemasaran vol. 1, no. 1, (2013) 1-8

Dick, Alan S., and Basu, Kunal., 1994, Customer loyalty: Toward an integratedconceptual framework, Journal of the Academy of Marketing Science,Spring 1994, Volume 22, Issue 2, pp 99-113

Dwi Aryani dan Febrina Rosinta, 2010, Pengaruh Kualitas Layanan TerhadapKepuasan Pelanggan Dalam Membentuk Loyalitas Pelanggan, Bisnis &Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi Dan Organisasi, Volume 17, Nomor2, Mei—Agus 2010, Hlm. 114-126, Issn 0854-3844,

Eliashberg, J. and Robertson, T. S., 1988, New Product Preannouncing Behavior: AMarket Signaling Study, Journal of Marketing Research, Vol. 25, No. 3(Aug., 1988), pp. 282-292

iv

Faisal Rangga Buana dan Drs. H Mudiantono, Msc, 2011, Pengaruh KepercayaanMerek, Persepsi Switching Cost Dan Kepuasan Konsumen TerhadapLoyalitas (Studi Kasus Pada Konsumen Pertamax Di Semarang), Jurnal

Fajrianthi dan Zatul Farrah, 2005, Strategi Perluasan Merek dan Loyalitas Konsumen,INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005

Fandy Tjiptono, Ph.D., 2014, Pemasaran Jasa – Prinsip, Penerapan dan Penelitian,CV. Andi Offset, Yogyakarta

Fornel, Claes. dan Wernerfelt, Birger., 1987, Defensif Marketing Strategy byCustomer Complaint management: A Thoritycal Analisys, Journal ofMarketing Research, Vol. 24, No. 4 (Nov., 1987), pp. 337-346

Fornell, Claes., 1992, A national customer satisfaction barometer: the Swedishexperience. Journal of Marketing Research, 56, 6-21.

Fransisca Andreani, 2007, Experiential Marketing (Sebuah Pendekatan Pemasaran),Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol.2, No.1, April, pp.1-8

Geykens, Inge., Steenkamp, Jan-Benedict E. M., and Kumar, Nirmalya., 1999, AMeta – Analisys of Satisfaction in Marketing Channel Relationships,Journal of Marketing Research, Vol. 36, No. 2 (May, 1999), pp. 223-238.

Goodman, Paul S., Fichman, Mark., Lerch, F. Javier and Snyder, Pamela R., 1995,Customer Firm Relationships, Involment, and Customer Satisfactions,Academy of Management Journal, Vol. 38, No.5.

Grönroos, C., 1984, "A Service Quality Model and its Marketing Implications",European Journal of Marketing, Vol. 18 Iss: 4, pp.36 – 44

Grozeva, Vesela Dimitrova., 2010, Dynamic Competition With Customer RecognitionAnd Switching Costs: Theory And Application, Dissertation Directed By:Professor Daniel R. Vincent, Department Of Economics

Guiltinan, Joseph P. 1989. "A Classification of Switching Costs With Implications forRelationship Marketing." In 1989 AMA Winter Educators' Conference:Marketing Theory and Practice. Eds. Terry L. Childers, Richard P.Bagozzi, and J. Paul Peter. Chicago: American Marketing Association,216-220

Handro Tumpal P., 2012, Pengaruh Citra Perusahaan Dan Kualitas PelayananTerhadap Kepuasan Konsumen, Management Analysis Journal 1 (1)(2012), http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/maj

Hart, Allison E. & Rosenberger III, Philip J., 2004, The Effect of Corporate Image inthe Formation of Customer Loyalty: An Australian Replication.Australiasian Marketing Journal. 12 (3), 2004.

v

Hazlett, C,. 2003, Coming to a store near you: Experiential Marketing, RetailTraffic; May 2003, Vol. 32 Issue 5, p50, http:// www.retailtraficmag.com

Hengky Latan, 2013, Model Persamaan Struktural: Teori dan Implementasi AMOS21.0, Alfabeta, Bandung

Herman Soegoto, Pengaruh Nilai Dan Kepercayaan Terhadap Loyalitas NasabahPrioritas, Majalah Ilmiah Unikom Vol.7, No. 2

Hermawan Kertajaya, 2004, Marketing In Venus. Jakarta : Gramedia

_________, 2005, Empathy Has Significant Contribution In Service Studi Kasus padaSpa Martha Tilaar. Jurnal Martha Tilaar Group. h. 27-28

_________, 2006, Hermawan Kertajaya On Marketing. PT Gramedia. Jakarta.

Holbrook, Morris B., and Hirschman, Elizabeth C., 1982, The experiential aspects ofconsumption: Consumer fantasies, feeling and fun. Journal of ConsumerResearch, 9(2), 132-140. http://dx.doi.org/10.1086/208906

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/20/1433369/Industri.Asuransi.Indonesia.Berkembang

Hu, Hsin-Hui (Sunny), Kandampully, Jay., Juwaheer , Thanika Devi., 2009,Relationships and impacts of service quality, perceived value, customersatisfaction, and image: an empirical study, The Service IndustriesJournal, Vol. 29, No. 2, February 2009, 111–125

Iman Mulyana Dwi Suwandi, 2007, Citra Perusahaan, Seri Manajemen Pemasaran,http://oeconomicus.files.wordpress.com/2007/07/citra-perusahaan.pdf

Kandampully, J., & Duffy, R., 1999, Competitive Advantage through Anticipation,Innovation and Relationships. Management Decision, 37 (1), 51-56.

Keller, Kevin Lane, Prof., 2001, Building Customer-Based Brand Equity: A Blueprintfor Creating Strong Brands, Journal of Marketing Science Institute, ReportSummary # 01-107

_________, 2006, Building Strong Brands: Three Models for Developing andImplementing Brand Plans, Institute for Research in Marketing’s Carlsonon Branding, May 19-20, 2006

Kerin, Roger A.,Varadarajan, P. Rajan, and Peterson, Robert A., 1992. "First-MoverAdvantage: A Synthesis, Conceptual Framework, and ResearchPropositions." Journal of Marketing 56 (October): 33-52

Klemperer, Paul. 1987. "Markets With Consumer Switching Costs." The QuarterlyJournal of Economics 102 (May): 375-394.

vi

_________, 1995. "Competition When Consumers Have Switching Costs: AnOverview With Applications to Industrial Organization, Macroeconomics,and International Trade" Review of Economic Studies 62:515-539.

Kotler, Philip and Keller, Kevin Lane., 2009, Manajemen Pemasaran, Edisi 13, Jilid1, Erlangga, Jakarta.

Kotler, Philip, 2003, Marketing Insights From A to Z: 80 Konsep Yang HarusDipahami Oleh Setiap Manajer, Erlangga, Jakarta

Kotler, Philip, Hermawan Kertajaya, dan Iwan Setiawan, 2010, Marketing 3.0: Mulaidari Produk ke Pelanggan ke Human Spirit, Erlangga, Jakarta.

Lee, Jonathan and Lee, Janghyuk, 1999, The Influence of Switching Costs onCustomer Retention: a Study of the Cell Phone Market in France, in E -European Advances in Consumer Research Volume 4, eds. BernardDubois, Tina M. Lowrey, and L. J. Shrum, Marc Vanhuele, Provo, UT :Association for Consumer Research, Pages: 277-283.

Lia Wita Kumala, Zainul Arifin dan Sunarti Kumala, 2013, Pengaruh ExperientialMarketing Terhadap Kepuasan Pelanggan (Survei Pada Pelanggan KFCWarga Jl. Jendral Basuki Rachmad Rw. 02 Kelurahan Kauman KecamatanKlojen Kota Malang), Jurnal, Fakultas Ilmu Administrasi UniversitasBrawijaya Malang

Likert, Rensis., 1932, A Technique for the Measurement of Attitudes, Archives ofPsychology No. 140: 1–55, Volume 22 (1932-1933)

Masri Singarimbun dan S. Effendi, 1989, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES,Jakarta

Mittal, Vikas., Ross, William T. Jr., and Baldasare, Patrick M., 1998, TheAsymmetric Impact of Negative and Positive Attribute-Level Performanceon Overall Satisfaction and Repurchase Intentions, Journal of Marketing,Vol. 62, No. 1 (Jan., 1998), pp. 33-47

Moh Rozikin, 2013, Meningkatkan Loyalitas Pelanggan Melalui Kualitas Pelayanan,Nilai Pelanggan Dan Kepuasan Pelanggan Pada PT. Adi Sarana Armada,Tbk., Tesis, Fakultas Ekonomi Universitas Semarang

Muthiah, Krishnaveni, Dr. and Suja, S., 2013, Experiential Marketing – ADesigner of Pleasurable and Memorable Experiences, Journal of BusinessManagement & Social Sciences Research (JBM&SSR) ISSN No:2319-5614, Volume 2, No.3, March 2013

Newman, Karin., 2001, Interrogating SERVQUAL: a critical assessment of servicequality measurement in a high street retail bank. Int. J. Bank. Mark., 19(3),126-139.

vii

Nurdini Prihastiti dan Yatri Indah Kusumastuti, 2012, Coprorate Image Analysis onThe Implementation of Community Relations Programs by PLN, Sodality:Jurnal Sosiologi Pedesaan | April 2012, hlm. 106-124 , Vol. 06 No. 01,ISSN : 1978-4333

Oliver, Richard L., 1980, A cognitive model of the antecedent and consequences ofsatisfaction decisions. J. Mark., 17(10), 460-469.

Paramita Mega Susanti, 2012, Analisis Pengaruh Persepsi Kualitas Layanan, NilaiPelanggan Terhadap Kepuasan Pelanggan Di PT. PLN (Persero) AreaPelayanan Jaringan Semarang (Studi Kasus Di PT. PLN (Persero) UPJSemarang Selatan), Jurnal, Fakultas Ekonomi Universitas Semarang

Parasuraman, A, 1997, Reflections on Gaining Competitive Advantage ThroughCustomer Value, Journal of The Academy of Marketing Science, vol.25,No.2, p.154-161

Parasuraman, A., Zeithaml, Valarie A., and Berry, Leonard L., 1985, A ConceptualModel of Service Quality and Its Implications for Future Research,Journal of Marketing, Vol. 49 (Fall 1985), p. 41-50.

_________, 1988, A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer ConsumerPerceptions of Service Quality, Journal of Retailing, vol.64, p.12-40

Patterson, Paul G., & Smith, Tasman., 2003, A cross-cultural study of switchingbarriers and propensity to stay with service providers, Original ResearchArticle, Journal of Retailing, Volume 79, Issue 2, 2003, Pages 107-120

Rhenald Kasali, Cracking Value: Bersih, Bersinar dan Kompetitif, Gramedia PustakaUtama, Jakarta

Rust, Roland T., & Zahorik, Anthoni J., 1993, Customer satisfaction, customerretention, and market share, Journal of Retailing , Volume 69 Number 2summer 1993,p. 193-215.

Saha, Parmita. And Zhao, Yanni.2005, Relationship between online service qualityand customer satisfaction: A Study in Internet Banking, Master’s Thesis,Department of Business Administration and Social Schiences , Division ofIndustrial Marketing and e-Commerce, 2005:083 SHU-ISSN: 1404-5508

Same, Siiri And Larimo, Jorma, 2012, Marketing Theory: Experience Marketing AndExperiential Marketing, 7th International Scientific Conference “BusinessAnd Management 2012” May 10-11, 2012, Vilnius, Lithuania © VilniusGediminas Technical University, 2012

Samuelson, William and Zeckhauser, Richard, 1988. "Status Quo Bias in DecisionMaking?', Journal of Risk and Uncertainty 1:7-59, Kluwer AcademicPublisher

viii

Schmitt, Bernd, 1999, “Experiential Marketing”, Journal of Marketing Management,15:1-3, 53-67.

_________, 1999, Experiential Marketing: How to Get Customers to Sense, Feel,Think, Act, Relate to Your Company and Brands. New York: The FreePress.

_________, 2010, Experience Marketing: Concepts, Frameworks and ConsumerInsights, Foundations and Trends ®_ in Marketing, Vol. 5, No. 2 (2010)55–112_c 2011 B. Schmitt DOI: 10.1561/1700000027

Selnes, Fred., 1993, An Examination of the Effect of Product Performance on BrandReputation, Satisfaction and Loyalty, European Journal of Marketing 27(9), 19-35

Shara Fajar Febiana, 2009, Studi Tentang Experiential Marketing UntukMeningkatkan Loyalitas Nasabah Tesis, Magister Manajemen ProgramStudi Magister Manajemen Universitas Diponegoro

Sharma, Rachma and Sharma, Vishal, 2011, Experiential Marketing: AContemporary Marketing Mix, International Journal Of Management AndStrategy Issn: 2231-0703, Vol. No.Ii, Issue 3, July-Dec 2011 Issn:2231-0703

Sivadass, Eugene, and Prewitt, Jamie L. Baker, 2000, An Examination of theRelationship between Service Quality, Customer Satisfaction, and StoreLoyalty. International Journal of Retail & Distribution Management, 28(2), 73-82.

Smilansky, Shaz, 2009, Experiential marketing : a practical guide to interactivebrand experiences, Kogan Page Limited, London and Philadelphia

Swasta Basu D., 1999, Loyalitas konsumen Sebuah Kajian Konseptual SebagaiPaduan Bagi Peneliti, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 14 no.3,pp. 73-88

Syafri Antoni, 2014, Peranan Switching Costs Memoderasi Hubungan KualitasPelayanan dan Kepuasan Terhadap Loyalitas Nasabah Deposito Bank BNICabang Sungai Penuh, Jurnal Pemasaran, Syafri Antoni – Univ. BungHatta, Padang-2014

Taufiq Abdurrahman dan Nanang Suryadi, SE., MM., 2009, Pengaruh ServiceQuality, Customer Satisfaction Dan Switching Cost Terhadap CustomerLoyalty (Studi Pada Pelanggan Telepon Bergerak Di Kota Malang),Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 7, Nomor 1, Februari 2009,Terakreditasi SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2008 Issn: 1693-5241

ix

Taylor, Steven A. and Baker, Thomas L., 1994, An assessment of the relationshipbetween service quality and customer satisfaction in the formation ofconsumers purchase intentions. J. Retailing., 70(2), 163-178.

Tengku Firli Musfar dan Vivi Novia, 2012, Pengaruh Experiential MarketingTerhadap Customer Loyalty Pada Pelanggan Restoran Koki Sunda DiPekanbaru, Jurnal Ekonomi Volume 20, Nomor 4 Desember 2012

Verhoef, Peter C., Lemon, Katherine N., Parasuraman, A., Roggeveen, Anne, Tsiros,Michael, Schlesinger, Leonard A., 2009, Customer Experience Creation:Determinants, Dynamicsand Management Strategies, Journal of Retailing85 (1, 2009) 31–41, 0022-4359/$ – see front matter © 2008 New YorkUniversity. Published by Elsevier Inc. All rights reserved.doi:10.1016/j.jretai.2008.11.001

Wernerfelt, Birger. 1985. "Brand Loyalty and User Skills." Journal of EconomicBehavior and Organizations 6:381-385.

Widdis, P., 2001, Bringing brands to life: experiential marketing works by touchingcustomers hearts, Marketing Magazine

Wolves, D. B., 2005, Ageless Marketing Blog, http://agelessmarketing.typepad.com/ageless_marketing/2005/01/exactly_what_is.html, January 12, 2005

Woodruff, Robert B., 1997, Customer value: The next source for competitiveadvantage, Journal of the Academy of Marketing Science, Spring 1997,Volume 25, Issue 2, pp 139-153

Yamamoto, Gonca Telli, Prof. Dr., 2000, Understanding Customer Value Concept:Key To Success, Maltepe University, Faculty Of Economics AndAdministrative Sciences

Yang, Zi-Ying and He, Ling-Yun, 2011, Goal, customer experience and purchaseintention in a retail context in China: An empirical study. African Journalof Business Management, 5(16), 6738-6746.

Zahrina Razanah, Srikandi Kumadji dan Andriani Kusumawati, 2010, PenerapanExperiential Marketing Strategy Dan Pengaruhnya Terhadap KepuasanDan Loyalitas (Studi Pada Pelanggan Bakso Cak Kar Singosari – Malang),Jurnal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang

Zeithaml, Valarie A., 1988 Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: AMeans-End Model and Synthesis ofEvidence, Journal of Marketing, Vol.52, No. 3 (Jul., 1988), pp. 2-22

Zeithaml, Valarie A., Parasuraman, A., and Berry, Leonard L., 1996, TheBehavioral Consequences of Service Quality, Journal of Marketing, Vol.60, No. 2 (Apr., 1996), pp. 31-46