117
RELATIONS BETWEEN DIABETES MELLITUS ON THE INCIDENCE OF PULMONARY TUBERCULOSIS IN BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT MAKASSAR IN 2014 – 2015 HUBUNGAN DIABETES MELITUS TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT MAKASSAR TAHUN 2014 – 2015 OLEH: A. RAFIKA AZZAHRA D NIM 10542 0450 13 Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2017

relations between diabetes mellitus on

Embed Size (px)

Citation preview

RELATIONS BETWEEN DIABETES MELLITUS ON

THE INCIDENCE OF PULMONARY TUBERCULOSIS IN

BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

MAKASSAR IN 2014 – 2015

HUBUNGAN DIABETES MELITUS TERHADAP KEJADIAN

TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN

PARU MASYARAKAT MAKASSAR TAHUN 2014 – 2015

OLEH:

A. RAFIKA AZZAHRA D

NIM 10542 0450 13

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2017

i

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Skripsi, Februari 2017

A. RAFIKA AZZAHRA D, NIM 10542 0450 13

HUBUNGAN ANTARA DIABETES MELITUS TERHADAP KEJADIAN

TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU

MASYARAKAT MAKASSAR (BBKPM) TAHUN 2014 – 2015

xi + 83 halaman, 6 Tabel , 8 Gambar, 3 Lampiran

ABSTRAK

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan diabetes melitus terhadap kejadian tuberkulosis paru di

Balai Besar Kesehatan Paru Makassar.

Metode

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan case

control. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling.

Sampel adalah pasien di BBKPM Makassar dengan diagnosis tuberkulosis paru dan

penyakit paru infeksi kronis non tuberkulosis. Data diperoleh dari data sekender

yaitu melalui rekam medik dalam menentukan apakah terdiagnosis tuberkulosis paru

dan penyakit paru infeksi kronis non tuberkulosis serta memiliki riwayat diabetes

melitus atau tidak, kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS

(Statistical Product and service) for windows version 21 dengan uji Pearson Chi

Square.

Hasil

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 152 responden. Diperoleh data dari

kelompok kasus, 42 orang (75,0%) menderita diabetes melitus dan 34 orang (35,4%)

tidak menderita diabetes melitus. Sedangkan pada kelompok kontrol, 14 orang

(25,0%) menderita diabetes melitus dan 62 orang (64,6%) tidak menderita diabetes

melitus. Kemudian analisis statistik dengan Chi Square dengan taraf signifikansi p <

0,05 didapatkan hasil p = 0,000 dan Odd Ratio (OR) = 5,471.

Kesimpulan

Prevalensi diabetes melitus terhadap kejadian tuberkulosis paru di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Makassar cukup tinggi. Terdapat hubungan diabetes

melitus terhadap kejadian tuberkulosis paru dengan p-value 0,000 dan nilai odd ratio

5,471 yang sangat berisiko.

Daftar Pustaka : 37 (2006 – 2016)

Kata Kunci : Diabetes Melitus, Tuberkulosis Paru, Tuberkulosis

ii

FACULTY OF MEDICINE

MUHAMMADIYAH UNIVERSITY OF MAKASSAR

Undergraduate Thesis, Februari 2017

A. RAFIKA AZZAHRA D, NIM 10542 0450 13

RELATIONS BETWEEN DIABETES MELLITUS ON THE INCIDENCE OF

PULMONARY TUBERCULOSIS IN BALAI BESAR KESEHATAN PARU

MASYARAKAT MAKASSAR (BBKPM) IN 2014 – 2015

xi + 83 Pages, 6 Table, 8 Pictures, 3 Appendix

ABSTRACT

Objective

To determine the relationship between diabetes mellitus on the incidence of

pulmonary tuberculosis in Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.

Method

This study is a descriptive analytic with case control approach. Samples used are

patients with pulmonary tuberculosis and chronic infection lung disesase non

tuberculosis in BBKPM Makassar with purposive sampling method. Data obtained

are secondary data (medical record), this data use to determine the particular sample

diagnosed with pulmonary tuberculosis and chronic infection lung disease non

tuberculosis also with or without diabetes mellitus. And then the data were analyze

using SPSS (Statistical Product and Service Solutions) for windows version 21 with

a Pearson Chi Square test.

Result The number of samples involved in this study were 152 respondens. Data obtained in

case group, 42 peoples (75,0%) had diabetes mellitus and 34 peoples (35,4%)

without diabetes mellitus. Whereas in the control group, 14 peoples (25,0%) had

diabetes mellitus and 62 peoples (64,6%) without diabetes mellitus. Then, analysis

by Chi Square statistic with significance level p < 0,05 obtained result p = 0,000 and

Odd Ratio (OR) = 5,471.

Conclusion

The prevalence of diabetes mellitus on the incidence of pulmonary tuberculosis is

notice. There is the relationship between diabetes mellitus on the incidence of

pulmonary tuberculosis with p-value 0,000 and has a value of 5,471 odds ratio which

is categorized as Very Risky.

References : 37 (2006 – 2016)

Keywords : Diabetes Mellitus, Pulmonary Tuberculosis, Tuberculosis

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya,

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di Program studi Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis menghadapi berbagai rintangan

dan kesulitan. Namun, akhirnya semua itu dapat penulis atasi. Proses penyusunan

proposal penelitian ini pun banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.

Untuk segala doa dan dukungan yang tak terhingga penulis ucapkan terima

kasih kepada orangtua penulis, Drs. A. Dahrul, M.Si dan Hasnawati, S.T. Saudara-

saudaraku, Dhia Almira dan Muhammad Fachri Syawal yang senantiasa membantu,

mendukung, mendoakan penulis sehingga skripsi ini bisa selesai. Terima kasih

banyak untuk semua kasih sayang yang diberikan.

Dan tak kalah pentingnya ucapan terima kasih kepada dr. Ami Febriza M.

Kes, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan banyak waktunya dalam

membimbing, memberikan pengarahan dan koreksi sampai skripsi ini selesai. Dan

kepada penguji dr. Ummu Kalzum Malik, M.Med,Ed yang juga telah meluangkan

waktu untuk menguji dan memberikan pengarahan sampai skripsi ini selesai.

Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Machmud Ghaznawie, Sp.PA (K), Ph.D, selaku Dekan Program Studi

Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Makassar

2. dr. Rima Januari dan dr. H. Muh. Arief Alauddin Karuddin selaku penasehat

akademik yang selalu memberikan bimbingan dan arahan selama studi di

Fakultas Kedokteran.

3. Dosen dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar yang ikut memperlancar urusan skripsi ini

4. Kepala Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar atas izinnya dalam

melakukan penelitian.

iv

5. Saudara sejawat angkatan 2013 Riboflavin yang selalu mendukung dan turut

mendoakan penulis

6. Sahabat penulis Satt-va (Ilma, Dilo, Ulfa, Ken, Gina, Diba, Wiwi, Kiki, Faat,

Callung) yang telah memberikan dukungan dan turut mendoakan penulis

7. Teman satu pembimbing : Yuyu, Emi, Suci, dan Tisar

8. Teman-teman penulis yang tidak sempat ditulis namanya yang sangat

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu dengan berbesar hati penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi

perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Besar harapan penulis agar skripsi penelitian ini dapat diterima dan dapat

bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis secara khususnya.

Makassar, Februari 2017

Penulis

v

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR SIDANG UJIAN

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR SKRIPSI

RIWAYAT HIDUP PENULIS

ABSTRAK ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii

DAFTAR ISTILAH / SINGKATAN ............................................................ ix

BAB 1: PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian........................................................................... 7

D. Manfaat Penelian........................................................................... 8

BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9

A. Landasan Teori .............................................................................. 9

vi

1. Diabetes Melitus ....................................................................... 9

2. Tuberkulosis Paru ..................................................................... 23

3. Hubungan Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis ................... 42

B. Kerangka Teori .............................................................................. 47

BAB 3: KERANGKA KONSEP DAN DEFINIS OPERASIONAL .......... 48

A. Kerangka Konsep ......................................................................... 48

B. Defisnisi Operasional dan Kriteria Objektif.................................. 48

C. Hipotesis ........................................................................................ 51

BAB 4: METODE PENELITIAN................................................................. 52

A. Desain Penelitian........................................................................... 52

B. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 52

C. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................... 52

D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 56

E. Pengolahan Data dan Analisis Data .............................................. 56

F. Alur Penelitian ............................................................................... 59

G. Etika Penelitian ............................................................................. 60

BAB 5: HASIL PENELITIAN ...................................................................... 61

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................. 61

B. Hasil Penelitian ............................................................................. 61

BAB 6: PEMBAHASAN ................................................................................ 67

A. Analisis Univariat ......................................................................... 67

B. Analisis Bivariat ............................................................................ 68

C. Keterbatasan Penelitian ................................................................. 71

vii

BAB 7: TINJAUAN KEISLAMAN .............................................................. 73

A. Kesehatan dalam Prespektif Islam ................................................ 73

B. Makan dan Minum yang Berlebihan ............................................. 74

C. Tuberkulosis dalam Prespektif Islam ............................................ 77

BAB 8: PENUTUP ......................................................................................... 82

A. Kesimpulan ................................................................................... 82

B. Saran .............................................................................................. 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gejala DMT2 ................................................................................... 16

Tabel 2.2 OAT Lini Pertama ............................................................................ 39

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 ............................................... 40

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 ............................................... 40

Tabel 5.1 Karakteristik Pasien TB Paru dan Non TB Paru di BBKPM Makassar

Tahun 2014 – 2015 .......................................................................... 60

Tabel 5.2 Hubungan antara TB Paru dan Non TB Paru di BBKPM Makassar Tahun

2014 – 2015 ..................................................................................... 62

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Presentase Kasus TB di Inonesia Tahun 2008 - 2014 .................. 4

Gambar 1.2 Presentase Kasus Baru TB Paru di Makassar Tahun 2010 - 2014 5

Gambar 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus Berdasarkan Etiologi ..................... 10

Gambar 2.2 Alur Persinyalan Insulin ............................................................... 14

Gambar 2.3 Alur Penegakan Diagnosis DMT2 ............................................... 19

Gambar 2.4 Alur Penegakan Diagnosis Tuberkulosis ..................................... 37

Gambar 2.5 Kerangka Teori ............................................................................. 46

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 47

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Rekam Medik

Lampiran 2. Analisis Data

Lampiran 3. Surat

xi

DAFTAR SINGKATAN

ADA American Diabetic Associatiaon

BTA Basil Tahan Asam

DM Diabetes Melitus

DMT1 Diabetes Mellitus Tipe 2

DMT2` Diabetes Melitus Tipe 2

EASD European Association for the Study of Diabetes

HbA1C Hemoglobin Glikosilat

IDF International Diabetes Federation

IFN Interferon

GDPT Glukosa Darah Puasa Terganggu

GLUT Glucose Transporter

NGSP National Glycohaemoglobin Standarization Program

xii

OAT Obat Anti Tuberkulosis

PERKENI Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

PMO Pengawas Minum Obat

TB Tuberkulosis

TGT Toleransi Glukosa Terganggu

TTGO Tes Toleransi Glukosa Oral

WHO World Health Organization

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diabetes merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, satu dari

empat penyakit tidak menular yang ditargetkan untuk ditindak lanjuti oleh para

pemimpin dunia. Kasus dan prevalensi dari diabetes telah meningkat dengan cepat

selama beberapa dekade ini(1)

.

Menurut WHO, diperkirakan terdapat 422 juta orang dewasa yang hidup dengan

diabetes pada tahun 2014, dibandingkan pada tahun 1980 terdapat 180 juta jiwa.

Prevalensi ini naik dua kali lipat sejak tahun 1980, naik dari 4,7% menjadi 8,5%.

Diabetes menyebabkan 1,5 juta kematian pada tahun 2012. Glukosa darah yang lebih

tinggi dari optimal menyebabkan peningkatan jumlah masyarakat yang meninggal

yaitu 2,2 juta seiring dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler dan

lainnya.(1)

Menurut IDF di dunia terdapat 415 juta jiwa yang menderita diabetes melitus

dan diperkirakan akan meningkat menjadi 642 juta jiwa pada tahun 2040. Terdapat 5

juta jiwa yang meninggal setiap 6 detik akibat diabetes.(2)

Peningkatan insidensi DM

ini diduga akibat perubahan pola hidup warga yang sekarang lebih suka makan

makanan cepat saji dan kurang beraktivitas.

Seiring dengan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM di seluruh dunia,

untuk Indonesia WHO memprediksikan prevalensi pasien diabetes dari 8,4 juta pada

tahun 2000 menjadi 21,8 juta pada tahun 2030. Sama halnya dengan WHO,

2

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi akan terjadi peningkatan

kejadian penyakit diabetes dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada

tahun 2035. Walaupun berbeda dalam hal angka, kedua lembaga internasional

tersebut memprediksi adanya peningkatan penderita diabetes melitus 2 sampai 3 kali

lipat.(1,2)

Prevalensi DM di Asia Tenggara pada tahun 2014 adalah sebesar 8,3% dengan

kasus tidak terdiagnosa sebesar 52,8%. Kematian akibat DM pada penderita berusia

< 60 tahun adalah 53,8%. Diprediksikan prevalensi DM di Asia Tenggara pada tahun

2035 meningkat sebesar 10,1%. Indonesia menempati peringkat keempat dengan

prevalensi DM terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, China dan India pada

tahun 2011. (1,3)

Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, proporsi penduduk ≥

15 tahun dengan DM sebesar 6,9%. Prevalensi penderita DM berdasarkan

wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami peningkatan dari 1,1%

pada tahun 2007 menjadi 2,4% pada tahun 2013. Prevalensi DM yang terdiagnosa

dan atau ada gejala, tertinggi di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), dan

Sulawesi Selatan (3,4%). Sedangkan proporsi penduduk umur ≥ 15 tahun dengan

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan semakin

banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk menderita DM.(4,5)

Salah satu faktor risiko dari terjadinya DM adalah sering makan yang berlebih –

lebihan, sesungguhnya Allah SWT tidak suka yang berlebih apalagi mengenai makan

dan minum. Allah SWT berfirman:

3

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)

mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Sama hal nya dengan DM, Tuberkulosis (TB) juga merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Sekarang TB, diperingkat yang sama

dengan HIV yang merupakan penyebab kematian utama di dunia. TB merupakan

penyakit infeksi yang dosebabkan oleh basil Mycobacterium Tuberculosis.

Umumnya menyerang paru-paru (TB Paru) tetapi dapat juga menyerang tempat /

organ lain (TB Ekstraparu).(6)

Menurut WHO, sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB sebanyak

9,6 juta jiwa diperkirakan terdiagnosis TB pada tahun 2014: 5,4 juta pria, 3 juta

wanita dan 1,0 juta anak – anak. Secara global, 12% dari 9,6 juta jiwa ini kasus TB

baru dengan HIV+ dan jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33%

dari seluruh kasus di dunia(6)

. Terdapat 2 juta kematian akibat TB pada tahun 2002.

Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 jiwa(7)

.

India, Indonesia dan China memiliki jumlah kasus terbanyak di antara semua

negara(6)

. Proporsi pasien TB Paru di Indonesia terkonfirmasi mengalami

peningkatan signifikan dari tahun 1999 sampai dengan 2003 dari 7% menjadi 13%.

Kemudian prevalensi TB cenderung menurun dari tahun 2003 sampai 2014. Pada

tahun 2015 prevalensinya meningkat kembali menjadi 14%(8)

.

Menurut Riskesdas, prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru

oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007.

4

Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%),

DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%)(4)

.

Pada tahun 2014, jumlah kasus BTA (+) sebanyak 176.677 kasus, ini menurun

jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 2013 sebanyak 196.310 kasus.

Jumlah tertinggi dari kasus ini terdapat pada provinsi yang memiliki juumlah

populasi yang besar, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus baru

BTA (+) di provinsi tersebut hampir 40% kasus dari semua kasus di Indonesia(12)

. Ini

adalah gambaran presentase kasus TB di Indonesia dari tahun 2008 – 2014.

Gambar 1.1 Presentase Kasus TB di Indonesia

Tahun 2008 – 2014

Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2014, Kementerian Kesehatan

5

Menurut jenis kelamin, kasus TB lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan

wanita yaitu jumlahnya 1,5 kali lebih tinggi. Menurut kelompok usia, kasus baru

lebih banyak didapatkan pada kelompok usia 25 – 34 tahun sebanyak 20,76%, diikuti

kelompok usia 45 – 54 tahun sebanyak 19,57% dan kelompok usia 35 – 44 tahun

sebanyak 19,24%(12)

.

Menurut Dinas Kesehatan Kota Makassar menyatakan bahwa terdapat 78,12%

penemuan kasus TB paru pada tahun 2014 dimana tidak mengalami penurunan atau

peningkatan dibandingkan pada tahun 2013(13)

.

Gambar 1.2 Presentase Kasus Baru TB Paru di Makassar

Tahun 2010 - 2014

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun 2014

6

Seperti yang kita ketahui bahwa penularan droplet – droplet nuclei dari suatu

kuman TB yakni melalui udara dan bersumber dari penderita yang batuk atau bersin.

Hal ini terkait dalam perilaku pasien TB dalam melakukan tindakan pencegahan

penularan. Dalam suatu hadist tentang adab bersin yang diaplikasikan oleh Nabi

Muhammad SAW:

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Wazir Al Washiti]

telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari [Muhammad bin 'Ajlan] dari

[Sumaiya] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] bahwa apabila Nabi shallallahu

'alaihi wasallam bersin, beliau menutup wajahnya dengan tangan atau kainnya sambil

merendahkan suaranya." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (H.R. Tirmidzi

No. 2669).

Tingginya prevalensi TB di Indonesia dapat dipengaruhi oleh sistem imunitas

tubuh, seperti HIV, gizi buruk, kemiskinan dan kepadatan penduduk. Selain faktor –

faktor tersebut pada buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis

menyebutkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko tuberkulosis

paru.(9,14)

Hubungan antara Tuberkulosis Paru pada pasien penderita Diabetes Melitus

telah menarik perhatian para peneliti dunia sejak lama. Sejumlah penelitian yang

dilaporkan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

(IUALTD) membuktikan Diabetes Melitus Tipe 2 meningkatkan kemungkinan

7

menderita Tuberkulosis Paru menjadi 3 – 7 kali lipat. Pasien yang memiliki 2

penyakit ini membutuhkan penanganan yang hati – hati(15)

.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, sehingga peneliti tertarik

mengadakan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara Tuberkulosis Paru

dengan Diabetes Melitus khususnya di kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan diabetes melitus terhadap kejadian tuberkulosis paru

di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar tahun 2014 - 2015?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan diabetes meliitus terhadap tingkat kejadian

tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi karakteristik pasien tuberkulosis paru dan pasien

penyakit paru infeksi non tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat Makassar

b. Mengetahui prevalensi pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus di

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

c. Mengetahui prevalensi pasien tuberkulosis dengan non diabetes melitus

di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

8

d. Mengetahui prevalensi pasien penyakit paru infeksi non tuberkulosis

dengan diabetes melitus di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

Makassar

e. Mengetahui prevalensi pasien penyakit paru non tuberkulosis dengan non

diabetes melitus di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman langsung dalam

pelaksanaan penelitian.

2. Bagi Instansi Terkait ( Balai Kesehatan Paru dan Dinas Kesehatan)

Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran bagi program pemberantasan

penyakit tuberkulosis dan penyuluhan penyakit diabetes melitus.

3. Bagi Masyarakat

Memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk senantiasa memperhatikan

dan mengetahui bahwa diabetes melitus dapat menyebebakan tuberkulosis.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolik kronik dengan

karakteristik kondisi hiperglikemik kronik akibat dari pankreas yang tidak

menghasilkan insulin yang cukup (DM Tipe 1) , atau ketika tubuh tidak efektif

menggunakan insulin yang dihasilkan yang biasa disebut dengan resistensi

insulin (DM Tipe 2) atau bisa terjadi keduanya(1)

. Gangguan regulasi

metabolisme yang dihubungkan dengan DM menyebabkan perubahan

patofisiologi sekunder di berbagai sistem organ yang memaksakan beban yang

luar biasa pada penderita DM(10)

.

a. Epidemiologi

Penderita DM di dunia semakin meningkat selama 20 tahun terakhir ini, Ini

kemungkinan disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya masyarakat

yang obesitas, dan berkurangnya aktivitas fisik yang umumnya terjadi di negara

sedang berkembang. Di tahun 2000, diperkirakan terdapat 0,19% pada populasi

< 20 tahum, dan 8,6% pada populasi > 20 tahun. Prevalensi antara pria dan

wanita hampir sama, tetapi pada populasi > 60 tahun lebih banyak pada pria.

Untuk Indonesia, WHO memprediksikan akan terjadi kenaikan jumlah pasien

10

awalnya 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta di tahun 2010

(WHO).

b. Klasifikasi

American Diabetic Associatiaon (ADA) mengklasifikasikan diabetes dalam

empat group besar berdasarkan penyebabnya, yaitu: DM Tipe 1, DM Tipe 2,

Tipe Spesifik Lain dan Diabetes Gestasional (gambar II-1)(10)

.

Gambar 2.1 Klasifkasi Diabetes Melitus Berdasarkan Etiologi

(Sumber: Basic & Clinical Endocrinology 9th

Edition)

11

DM Tipe 1 terjadi akibat didominasi oleh rusaknya sel β pankreas dari

proses autoimun pada 95% kasus (Tipe 1a) dan idiopatik <5% (Tipe 1b). Tingkat

dari kerusakan ini bervariasi, ada yang cepat dan ada yang lambat. DM Tipe 1

biasanya berhubungan dengan ketosis pada kasus yang tidak ditangani. Ini

merupakan gangguan katabolik dimana secara umum sirkulasi insulin memang

tidak ada, plasma glukagon meningkat dan sel β pankreas gagal merespon semua

stimulasi insulinogenik(10)

. Setengah dari pasien dengan DM Tipe 1 didiagnosis

ketika masa kanak – kanak atau saat umur 10 tahun tetapi sekitar 5% dapat

terkena pada dewasa. Pasien dengan DM Tipe 1 membutuhkan pemberian

insulin yang teratur setiap hari untuk mengatur kadar glukosa dalam

tubuhnya(1,17)

.

DM Tipe 2 cenderung terjadi pada umur > 40 tahun (95%) dan biasa disebut

diabetes onset dewasa. Terjadi akibat tubuh tidak dapat menggunakan insulin

dengan baik (resistensi insulin)(17)

. Sirkulasi insulin endogen cukup untuk

mencegah ketoasidosis tapi tidak dapat mencegah hiperglikemia sehingga terjadi

peningkatan akibat resistensi insulin. Kombinasi genetik dan faktor lingkungan

menyebabkan resistensi insulin dan kehilangan sel β(10)

.

Tipe Lain dari DM termasuk kerusakan genetic autosomal dominan dari sel

β pankreas, kerusakan genetik lain dari sel β pankreas, diabetes dapat terjadi

ketosis, kerusakan genetic dari kerja insulin, diabetes pada neonates, diabetes

akibat penyakit dari exokrin pankreas, endocrinopati, obat – obatan atau bahan

12

kimia menginduksi diabetes, infeksi, bentuk tidak spesifik dari diabetes destruksi

autoimun, sindrom genetik lain yang berhubungan dengan diabetes(10)

.

Diabetes Gestasional merupakan kondisi sementara yang terjadi ketika

hamil dan pembawa risiko DM Tipe 2 dikemudian hari. Kondisi ini terjadi

ketika kadar glukosa darah diatas normal tetapi tetap dibawah kriteria diagnosis

diabetes. Wanita dengan diabetes gestasional memiliki risiko yang tinggi terjadi

komplikasi selama kehamilan dan persalinan(1,17)

.

c. Patofisiologi

(1) Diabetes Melitus Tipe 1

DM Tipe 1 merupakan hasil interaksi dari genetik, lingkungan, faktor

imunitas yang merupakan penyebab kerusakan dari sel β pankreas dan

defisiensi insulin(18)

.

(2) Diabetes Melitus Tipe 2

DM Tipe 2 (dulu diklasifikasikan sebagai non-insulin dependent

diabetes) terjadi pada individu yang mengalami peningkatan resistensi

terhadap insulin dan secara umum mengalami defisiensi insulin relative

bukan absolut seperti DM Tipe 1. Pasien penderita DM Tipe 2 ini biasanya

adalah orang dewasa yagn berusia > 40 tahun dengan obesitas. Mereka tidak

memerlukan insulin untuk bertahan hidup, walaupun seiring berjalannya

waktu kapasitas sekresi insulin mereka cenderung memburuk, dan sebagian

besar dari penderitanya memerlukan terapi insulin untuk mencapai kontrol

glukosa optimal(10)

.

13

Sebenarnya penyebab dari DMT2 belum diketahui dengan jelas.

Beberapa penyebabnya meliputi faktor genetik peningkatan usia, gaya hidup

monoton, dan obesitas abdominal visceral. Kelainan ini dapat semakin

memburuk seiring meningkatnya usia dengan adanya gradual displacement

sel β akibat deposisi amyloid intraislet(10)

.

Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci

dari berkembangnya DMT2. Penyakit DMT2 diawali dengan meningkatnya

resistensi insulin yang diikuti gangguan seksresi insulin, Kemudian,

penyakit DMT2 baru muncul ketika seksresi insulin tidak adekuat lagi untuk

menurunkan kadar gula darah. Sekresi insulin itu sendiri menjadi tidak

adekuat semata – mata karena meningkatnya resistensi terhadap insulin

endogen. Ada 3 karakteristik penyebab DMT2, yaitu reisitensi insulin,

berkurangnya sekresi insulin, dan peningkatan glukosa hati(18)

.

Menurunnya kemampuan insulin untuk berfungsi degan efektif pada

jaringan perifer merupakan gambaran DMT2. Mekanisme resistensi insulin

umumnya disebabkan oleh gangguan pascareseptor insulin. Polimorfisme

pada IRS-1 (gambar 2-2) berhubungan dengan intoleransi berbagai molekul

pascareseptor dapat berkombinasi dan memunculkan keadaan yang resisten

terhdap insulin. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan persinyalan PI-3-

kinase yang mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke

membrane plasma(18)

.

14

Gambar 2.2 Alur Persinyalan Insulin

(Sumber: Harrison’s Endocrinology 3rd

Edition)

Sekresi dan kesensitifitasan insulin saling berhubungan satu sama lain.

Resistensi insulin akan memicu seksresi insulin yang lebih banyak yang

bertujuan untuk menurunkan kadar glukosa darah, namun kurangnya sekresi

insulin akan segera menyebabkan kondisi hiperglikemia(18).

Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang

tinggi akan memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus menerus ke

dalam sirkulasi darah (hiperinsulinemia). Pada keadaan normal, seharunya

hal ini dapat membuat glukosa yang dikonversi menjadi glikogen dan

kolestrol, Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten terhadap insulin, hal

ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon terhadap insulin

mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa

(gluckoneogenesis). Hal ini akhirnya akan berujung pada terjadinya

hiperglikemia. Reduksi gula hati baru akan terus meningkat akibat

15

terjadinya ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin

di otot rangka(16,18)

.

d. Manifestasi Klinis

(1) Diabetes Melitus Tipe 1

Pemantauan jangka panjang menunjukkan bahwa gejala klinis

bervariasi, bisa mendadak dalam beberapa hari menjadi Ketoasidosis

Diabetik atau dalam beberapa minggu menunjukkan gejala klasik DM.

Penelitian Diabetes Prevention Trial menunjukkan bahwa 73% pasien yang

didiagnosis DMT1 tidak menunjukkan gejala klinis(22)

.

Sebagian besar penderita DMT1 mempunyait riwayat perjalanan

klinis yang akut. Biasanya gejala polyuria, polodipsia, polifagia, dan berat

badan yang cepat menurun terjadi antara satu sampai dua minggu sebelum

diagnosis ditegakkan. Apabila gejala klinis ini disertai dengan hipoglikemi

maka diagnosis DM tidak diragukan lagi(22)

.

Perjalanan alamiah penyakit DMT1 ditandai dengan adanya periode

“remisi” (parsial) yang dikenal sebagai periode honeymoon. Periode ini

terjadi akibat berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga

pankreas menseksresikan kembali sisa insulin. Periode ini akan berakhir

apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis ada

tidaknya periode ini harus dicurigai apabila seorang penderita baru DMT1

sering mengalami serangan hipoglikemia. Apabila dosis insulin yang

dibutuhkan sudah mencapai < 0,5 U/kg/BB/hari maka dapat dikatakan

penderita berada pada periode “remisi”(22)

.

16

(2) Diabetes Melitus Tipe 2

Ketika peningkatan buang air kecil dan haus mungkin menjadi gejala

pada beberapa pasien DMT2, banyak pasien lain memiliki onset yang

tersembunyi dan membahayakan dari hiperglikemi dan awalnya

asimptomatis(21)

.

Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

klasik DMT2 pada tabel 2.1. Selain gejala klasik yang mudah diingat

dengan abreviasi 3P (polifagia, polydipsia, polyuria) terdapat pula beberapa

gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien dan mengarahkan diagnosis

pada DMT2(16)

.

Tabel II.1 Gejala DMT2

Gejala Klasik DM Gejala Lain DM

Poliuria Badan Lemah

Polidipsia Kesemutan

Polifagia Gatal

Penurunan Berat Badan Pandangan Kabur

Disfungsi Erektil

Pruritus Vulvae

(Sumber: Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, PERKENI)

17

Tes gula darah plasma sewaktu adalah cara yang paling mudah

unutk mendeteksi DMT2. Tes ini mengukur kadar glukosa darah pada

waktu tertentu. Jika terliat gejala DMT2 dengan disertai kadar gula darah

diatas 200 mg/dl atau lebih, dokter dapat menegakkan diagnosis DMT2(16)

.

Metode lain untuk mendiagnosis DMT2 adalah tes gula darah puasa.

Syarat untuk melakukan puasa minimal 8 jam baru kemudian diukur tes

gula darah puasanya. Selanjutnya, pasien diberi glukosa sebanyak 75 gram

yang dilarutkan dalam 250 mL air. Dua jam setelah pemberian beban

glukosa pasien kembali diukur kadar glukosa darahnya. Diagnosis DMT2

dapat ditegakkan apabila hasil kadar glukosa darah setelah pemberian beban

glukosa tersebut ≥ 200 mg/dL(16).

Pada tahun 2006, PERKENI, ADA, European Association for the

Study of Diabetes (EASD) dan International Diabetes Federation (IDF)

telah menyetujui penggunaan HbA1c sebagai salah satu alat diagnosis

DMT2. Prinsip tes HbA1c adalah mengukur kadar glukosa yang berikatan

dengan hemoglobin. Pada penderita DMT2, hasil tes akan menunjukkan

angka hemoglobin yang terglikosilasi di atas 7%. Pada orang normal, angka

tersebut hnya berkisar antara 4 – 5,9%(16).

e. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2

Menurut PERKENI, diagnosis DMT2 dapat ditegakkan melalui 3 cara(16)

:

(1) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam

atau

18

(2) Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

atau

(3) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengna keluhan

klasik.

atau

(4) Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization

Program (NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria

DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: Toleransi

Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu

(GDPT)(16)

.

(1) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100 – 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2 jam < 140 mg/dl;

(2) Toleransi Glukosa Tergnggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma

2 jam setelah TTGO antara 140 – 149 mg/dl dan glukosa plasma puasa

< 100 mg/dl;

(3) Bersama – sama didapatkan GDPT dan TGT

(4) Diagnosis presiabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan 5,7 – 6,4%

19

Alur peneggakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 digambarkan pada

gambar 2. 3(16)

Gambar 2.3 Alur Penegakkan Diagnosis DMT2

(Sumber: Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, PERKENI)

f. Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas

hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi:

(1) Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki

kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi. akut.

20

(2) Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

(3) Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian

glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui

pengelolaan pasien secara komprehensif.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan

pertama, yang meliputi:

(1) Riwayat Penyakit

(a) Usia dan karakteristik saat onset diabetes.

(b) Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat

perubahan berat badan.

(c) Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.

(d) Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,

termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh

tentang perawatan DM secara mandiri.

(e) Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang

digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.

(f) Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar

hiperglikemia, hipoglikemia).

(g) Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan

traktus urogenital.

21

(h) Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,

mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan,

dll.

(i) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa

darah.

(j) Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung

koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk

penyakit DM dan endokrin lain).

(k) Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.

(l) Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status

ekonomi.

(2) Pemeriksaan Fisik

(a) Pengukuran tinggi dan berat badan.

(b) Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah

dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi

ortostatik.

(c) Pemeriksaan funduskopi.

(d) Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

(e) Pemeriksaan jantung.

(f) Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

(g) Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan

vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).

22

(h) Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka

hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas

lokasi penyuntikan insulin).

(i) Tanda - tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe

lain.

g. Pencegahan

Pencegahan unutk diabetes melituss sama halnya dengan penyakit lain

terdapat 3 prinsip utama yaitu, primer, sekunder, dan tersier(16)

.

(1) Pencegahan primer adalah upaya yang ditujujan pada kelompok yang

memiliki faktor risiko, yakni mereka yang berpotensi untuk menderita

DM dan kelompok intoleransi glukosa.

(a) Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi: ras dan etnik, riwayat

keluarga dengan DM, umur, riwayat diabetes gestasional, dan

riwayat bayi lahir dengan berat badan rendah.

(b) Faktor risiko yang bisa dimodifikasi: berat badan lebih, kurangnya

aktivitas fisik, hipertensi, dislipedemia, dan diet tak sehat.

(c) Faktor lain: penderita Polycystic Ovarian Syndorome, penderita

sindrom metabolik yang ada riwayat toleransi glukosa terganggu

atau glukosa darah puasa terganggu, dan penderita dengan riwayat

penyakit kardiovaskular.

(2) Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat

timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM.

23

(3) Pencegahan tersier adalah upaya yang ditujukan pada kelompok

penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya

mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan meningkatkan kualitas

hidup pasien.

2. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium Tuberculosis. TB umumnya menyerang paru, namun

juga dapat menyerang bagian tubuh lainnya. Penyakit ini dapat menyebar

melalui udara, seperti saat penderita TB batuk. TB lebih banyak menyerang pria

daripada wanita, dan lebih banyak terdapat pada usia produktif, dua pertiga

kasus TB diperkirakan terjadi pada oran dengan usia 15 – 59 tahun.6

a. Epidemiologi

Pada tahun 2013, terdapat 9 juta kasus baru tuberkulosis di seluruh

dunia dengan 1,5 juta jiwa meninggal karena tuberkulosis. Di Amerika,

diperkirakan 11 juta jiwa terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis dan di

tahun 2013 terdapat 9582 kasus aktif21

.

India, Indonesia dan China memiliki jumlah kasus terbanyak di

antara semua negara6. Proporsi pasien TB Paru di Indonesia terkonfirmasi

mengalami peningkatan signifikan dari tahun 1999 sampai dengan 2003

dari 7% menjadi 13%. Kemudian prevalensi TB cenderung menurun dari

24

tahun 2003 sampai 2014. Pada tahun 2015 prevalensinya meningkat

kembali menjadi 14%8.

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh

tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan

2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%),

Papua (0.6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan

Papua Barat (0.4%)4.

b. Klasifikasi

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanan Tuberkulosis Paru di

Indonesia mengklasifikasian tuberkulosis dalam dua kategori utama,

yaitu(7)

:

(1) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura.

(a) Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi

dalam:

(i) Tuberkulosis Paru BTA (+)

Sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

menunjukkan hasil BTA positif

Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan

BTA positif dan kelainan rafiologik menunjukkan

gambaran tuberkulosis aktif

25

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

BTA positif dan biakan positif

(ii) Tuberkulosis Paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA

negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik

menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respon

dengan pemberian antibiotic spektrum luas

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA

negatif dan biakan Mycobacterium Tuberculosis positif

Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA

belum diperiksa

(b) Berdasarkan tipe penderita

Tipe penderita yang ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu:

(i) Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat

pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT

kurang dari satu bulan (30 dosis harian)

(ii) Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

kemudian kembali lagi berobat dengan dahak BTA positif

atau biakan positif.

26

Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran

radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus

dipikirkkan beberapa kemungkinan: Infeksi sekunder,

Infeksi jamur, TB paru kambuh.

(iii) Kasus pindahan (transfer in) adalah penderita yang sedang

mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudia

pindah berobat ke kabupaten. Penderita pindahan tersebut

harus membawa surat rujukan / pindah

(iv) Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat

paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih,

kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita

tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA

positif.

(v) Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih

tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan

ke – 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau

penderita dengan hasil BTA negatif, gambaran radiologik

positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2

pengobatan dana tau gambaran radiologik ulang hasilnya

perburukan.

(vi) Kasus kronik adalah penderuita dengan hasil pemeriksaan

dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang

kategori 2 dengan pengawasan ayng baik.

27

(vii) Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik negatif dan

gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,

terlebih gambaran radiologic serial menunjukkan

gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT

yang adekuat akan lebih mendukung.

Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi

TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT

selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran

radiologik.

(2) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, pericardium, kelenjar limfe, tulang

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur specimen positif, atau

histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstra paru

aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinis untuk diberikan

obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB ekstra paru dibagi

berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:

(a) TB ekstra paru jaringan

Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,

tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

(b) TB ekstra paru berat

28

Misalnya: meningitis, milier, pericarditis, peritonitis, peluritis

eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran

kencing dan alat kelamin.

c. Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.

Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik

(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman

TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.

Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup

menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian

kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan

kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag

yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat

tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus

Primer GOHN.(7,23)

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran

limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya

inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)

yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,

kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

29

antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis)

dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).(7)

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada

proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman

hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya

berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12

minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai

jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas seluler.(9,23)

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum

tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.

Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons

positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin

masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer

tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan

system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler

berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil

kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah

30

terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan.(9,23)

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.

Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,

tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di

jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama

bertahun-tahun dalam kelenjar ini.(7,23)

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang

terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional.

Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau

pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah

lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan

rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea

yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena

reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi

parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan

ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan

dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga

menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat

menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan

31

gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.(7,23)

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,

kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.

Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam

sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran

hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik.(23)

d. Manifestasi Klinis

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu

gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.(7)

(1) Gejala respiratorik:

(a) Batuk ≥ 3 minggu

(b) Batuk darah

(c) Sesak napas

(d) Nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada

gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila

bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita

mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena

32

iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang

dahak ke luar.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang

terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi

pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening,

pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,

sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &

kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

(2) Gejala sistemik:

(a) Demam

(b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat

badan menurun

e. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan

pemeriksaan penunjang lainnya(7)

.

(1) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan

penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.

Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior

33

terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus

inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara

napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-

tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik

tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi

ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai

tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar

getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan

metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran

kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

(2) Pemeriksaan Bakteriologik

(a) Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman

tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam

menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik

ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi

(termasuk biopsi jarum halus/BJH)

(b) Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut -

turut atau dengan cara:

34

(i) Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

(ii) Dahak Pagi ( keesokan harinya )

(iii) Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

(c) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain:

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain

(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan

lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan

jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:

(i) Mikroskopik

Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen dan

pewarnaan Kinyoun Gabbett

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin

(khususnya untuk screening).

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali

pemeriksaan ialah bila :

2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif

1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali,

kemudian bila:

1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif

bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala

bronkhorst atau IUATLD

(ii) Biakan

35

Pemeriksaan biakan Mycobacterium Tuberculosis dengan

metode konvensional ialah dengan cara : Egg base media

(Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) dan agar base media

Middle brook.

(3) Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto

lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik,

CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi

gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

(a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior

lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

(b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular

(c) Bayangan bercak milier

(d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:

(a) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

(b) Kalsifikasi atau fibrotik

(c) Kompleks ranke

(d) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

(4) Pemeriksaan Penunjang

36

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah

lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman

tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada

beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman

tuberkulosis secara lebih cepat, yaitu:

(a) Polymerase chain reaction (PCR)

(b) Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode: Enzym linked

immunosorbent assay (ELISA), Mycodot, Uji peroksidase anti

peroksidase (PAP), Uji Immunochromatographic Tuberculosis

(ICT Tuberculosis)

(c) Pemeriksaan BACTEC

(d) Pemeriksaan Cairan Pleura

(e) Pemeriksaan histopatologi jaringan

(f) Pemeriksaan darah

(g) Uji tuberkulin

37

Gambar 2. 4 Alur Diagnosis Tuberkulosis

(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014)

38

f. Tatalaksana(9)

(1) Tujuan pengobatan TB:

(a) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta

kualitas hidup

(b) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk

selanjutnya

(c) Mencegah terjadinya kekambuhan TB

(d) Menurunnya penularan TB

(e) Mencegah terjadinya TB resisten obat

(2) Tahap pengobatan TB:

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap

lanjutan dengan maksud:

(a) Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hati. Paduan pengobatan

pada tahap ini dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan

jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir

pengaruh dari sebgian kecil kuman yang mungkin sudah resisten

sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap

awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.

Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa

adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah

pengobatan selama 2 minggu.

(b) Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang

penting untuk membunuh sisa – sisa kuman yang masih ada dalam

39

tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh

dan mencegah terjadinya kekambuhan.

(3) Obat Anti Teberkulosis (OAT):

Pada tabel dibawah ini merupakan Oat lini pertama berikut dosis obat

yang ditetapkan baik secara internasional oleh WHO maupun naisonal

oleh PDPI

Tabel 2.1 OAT Lini Pertama

OAT

Dosis

Harian

Kisaran dosis

(mg/kgBB)

Maksimum

(mg)

Isoniazid 5 ( 4 – 6) 300

Rifampisin 10 ( 8 – 12 ) 600

Pirazinamid 25 ( 20 – 30) -

Etambutol 15 ( 15 – 20) -

Streptomisin 15 ( 12 – 18 ) -

(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014)

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

(a) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

(i) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

(ii) Pasein TB pasru terdiagnosis klinis

(iii) Pasien TB ekstra paru

40

Tabel 2.2. Dosis Padian OAT KDT Kategori 1

Berat Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama

16 hari

RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014)

(b) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah

diobati sebelumnya (pengobatan ulang):

(i) Pasien kambuh

(ii) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori

1 sebelumnya

(iii) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up)

41

Tabel 2. 3. Dosis Paduan OAT Kategori 2

Berat

Badan

Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

selama 16 hari

RH (150/150) +

E (400) Selama 56 hari Selama 28

hari

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

+ 500 mg

Streptomisin inj.

2 tablet

4KDT

2 tablet 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

+ 750 mg

Streptomisin inj.

3 tablet

4KDT

3 tablet 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

+ 1000 mg

Streptomisin inj.

4 tablet

4KDT

4 tablet 2KDT

+ 4 tab Etambutol

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

+ 1000 mg

Streptomisin inj.

5 tablet

4KDT

(> do maks)

5 tablet 2KDT

+ 5 tab Etambutol

(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014)

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam

bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT

KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas

dalam satu paket untuk satu pasien.

Menurut Pedomana Nasional Penatalaksanaan TB, tatalaksana

pengobatan pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM). Anjuran

pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus: Paduan OAT

yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien

TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol. Apabila

kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat

42

dilanjutkan sampai 9 bulan. Hati hati efek samping dengan

penggunaan Etambutol karena pasien DM sering mengalami

komplikasi kelainan pada mata. Perlu diperhatikan penggunaan

Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes

(sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Perlu

pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila

terjadi kekambuhan.(9)

3. Hubungan Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis

Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.

Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10 – 15% dan prevalensi

penyaki infeksi ini 2 – 5 kali lebih tinggi pada pasien DMT2 dibandingkan

dengan kontrol yang bukan DM(15)

.

Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada

pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan

mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal

tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat

sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang

penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu,

ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien

DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.(24)

Tingginya kadar gula darah pada pasien diabetes Melitus merupakan

media yang baik bagi Mycobacterium Tuberculosis unutk tumbuh, hidup, dan

berkembang biak. Terdapat juga peningkatan kadar gliserol dan nitrogen pada

43

pasien diabetes Melitus. Keadaan ini akan membantu pertumbuhan dari basil

tuberkulosis, di mana hal ini dianggap ikut berperan sebagai penyebab

terjadinya penyakit. Akibat gangguan immunologi tersebut menyebabkan

daya tahan tubuh dan kemampuan dalam memperbaiki jaringan yang

terinfeksi menurun. Sehingga psien diabetes Melitus rentan terserang

Mycobacterium Tuberculosis.

Imunitas alamiah dan adaptif berperan dalam mekanisme pertahanan

terhadap Mycobacterium Tuberculosis. Imunitas alamiah yang diawali oleh

ikatan antara Mycobacterium Tuberculosis dengan reseptor fagosit dan

masuknya Mycobacterium Tuberculosis ke dalam makrofag alveolar, sel

dendrit dan monosit merupakan kunci untuk terbentuknya imunitas adaptif

terhadap Mycobacterium Tuberculosis. Imunitas adaptif berupa imunitas yang

diperantarai oleh sel, akan menimbulkan resistensi terhdapap Mycobacterium

Tuberculosis dan menyebabkan terbentuknya hipersensitivitas terhadap

antigen TB. Imunitas alamiah dan imunitas adaptif tersbut akan menentukan

hasil akhir dari paparan terhadap Mycobacterium Tuberculosis.(25)

Ada 2 kemungkinan hasil akhirnya. Pertama, pada beberapa orang,

kuman TB ini langsung segera dieliminasi oleh pejamu setelah inhalasi.

Frekuensi dan penyebab dari penyembuhan spontan tidak diketahui dengan

pasti. Kedua, bertahannya infeksi melalui keberhasilan granuloma. Sebuah

fungsi respon imun alamiah dan adaptif yang kuat oleh pejamu dan

menghasilkan infeksi laten. Reaktivasi dari infeksi laten ini dapat terjadi

akibat beberapa faktor, seperti penuaan atau status imun dari pejamu. Pada

44

sejumlah kecil pejamu yang terinfeksi, imunitas adaptif gagal dan

terbentuklah infeksi primer.(25)

Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peranan penting

dalam respon imun adaptif terhadap Mycobacterium Tuberculosis. Apoptosis

atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan

peranan dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi

menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Sel Th1 yang

dipengaruhi IL-2 dalam perkembangannya dari naïve cells memiliki peranan

dalam pertahanan tubuh yaitu dengan menginduksi produksi sitokin yaitu

IFN-γ dan IL-2. IFN-γ merupakan sitokin yang menstimulasi makrofag unutk

membunuh Mycobacterium Tuberculosis yaitu dengan cara endositosis.

Endositosis Mycobacterium Tuberculosis ke dalam makrofag ini

menyebabkan terjadinya seksresi sitokin dan kemokin. IFN-γ yang

menstimulasi makrofag menyebabkan makrofag teraktivasi dan memproduksi

TNF-α untuk merekrut monosit. IFN-γ juga dapat meningkatkan presentasi

antigen sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 dan atau limfosit

sitotoksik. Selain itu, IFN-γ menstimulasi ekspresi dari inducible nitric oxide

synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO menyebabkan

timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya yang

mampu menyebabkan destruksi oksidatif pada bagian- bagian kuman, mulai

dari dinding sel hingga DNA.Sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10,

IL-13 dan berperan pada timbulnya imunitas hormonal.(25-28)

45

IFN-γ yang diprodusksi sel T dan sel NK juga merangsang makrofag

mensintesis TNF-α. TNF-α memiliki efek biologis merangsang makrofag

untuk mensekresi IL-1. IL-1 merupakan mediator inflamasi yang berperan

pada imunitas nonspesifik. IL-1 menginduksi makrofag untuk memproduksi

IL-6 yang mengakibatkan hipergloblinemia yang merupakan karakteristik

pada TB Paru. IL-6 juga merangsang sumsum tulang untuk memproduski

neutrophil. Disamping unutk menginduksi makrofag unutk memproduksi

sitokin IL-6, IL-1 juga menginduksi makrofag untuk memproduksi TNF-α

yang berperan penting pada immunopatologi pada tuberkulosis paru dan

meningkatkan ekspresi reseptor IL-2 unutj merangsang proliferasi sel T.

Proliferasi sel T meningkatkan produksi sitokin, seperti IFN-γ dan IL-4.(25-28)

Pada studi eksperimental pada sel plasma darah manusia didapatkan

bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB dengan atau

tanpa DM. Produksi IFN-γ spesifik Mycobacterium Tuberculosis pada pasien

diabetes Melitus sama bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang

sehat, tetapi produksi IFN-γ non spesifik berkurang secara signifikan pada

kelompok dengan diabetes melitus. Penurunan jumlah IFN-γ non spesifik

diduga berperan pada meningkatnya risiko pasien diabetes Melitus untuk

mengalami infeksi paru terlebih lagi pada pasien dengan kontrol gula darah

yang buruk(28)

.

Pada penelitian yang dilakukan di Semarang Utara pada tahun 2014,

hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara riwayat diabetes Melitus

dengan tuberkulosis paru dengan p-value = 0,038, OR=5,092; 95% CI=

46

0,981- 26,430; dapat disimpulkan bahwa prevalensi tuberkulosis paru dan

diabetes Melitus sebesar 16,7% dan diabetes Melitus berhubungan dengan

kejadian tuberkulosis paru. (29)

47

B. Kerangka Teori

Keterangan :

: Akibat

: Sebab

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Diabetes Melitus

Faktor Keturunan Faktor Risiko

Hiperglikemia

Produksi IL-12, Th1, IFN-γ, IL-1 dan TNF-α

Respon imun

Immunocompromised Infeksi Mycobacterium Tuberculosis

Tuberkulosis Paru

48

Tuberkulosis Paru

(Kasus)

Variabel Independen

Infeksi Paru Non

Tuberkulosis

(Kontrol)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian yang berjudul hubungan diabetes

melitus dengan tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

(BBKPM) Makassar tahun 2014 – 2015 dijelaskan dalam bagan berikut ini:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

B. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Variabel Independen : Diabetes Melitus

a. Definisi : Diabetes Melitus merupakan penyakit

metabolik menahun yang ditandai oleh kadar

glukosa lebih dari normal.

Diabetes Melitus

Variabel Dependen

Non Diabetes Melitus

Diabetes Melitus

Non Diabetes Melitus

49

b. Alat ukur : Menggunakan formulir check list untuk

mencatat hasil di dalam rekam medik DM di

BBKPM Makassar.

c. Cara ukur : Mencatat hasil dari rekam medik pasien DM

di BBKPM Makassar.

d. Hasil ukur : Berdasarkan riwayat DM dalam lembar

anamnesis dan pemeriksaan kadar gula darah

pasien DM yang tercantum dalam rekam

medik di BBKPM Makassar.

e. Skala : Nominal

f. Kriteria Obejektif :

(1) Diabetes Melitus : Apabila hasil diagnosa dokter

menyatakan diabetes melitus dan

pemeriksasan kadar glukosa lebih

dari normal.

(2) Bukan Diabetes Melitus : Apabila hasil diagnosa dokter

menyatakan bukan diabetes

melitus dan permeriksaan

glukosa normal.

2. Variabel Dependen : Tuberkulosis Paru

a. Definisi : Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis.

50

b. Alat Ukur : Menggunakan formulir check list untuk mencatat

hasil di dalam rekam medik pasien TB di BBKPM

Makassar.

c. Cara Ukur : Mencatat hasil dari rekam medik pasien TB di

BBKPM Makassar.

d. Hasil Ukur : Berdasarkan diagnosa TB Paru dan hasil

pemeriksaan yang tertulis di dalam rekam medik.

e. Skala : Nominal

f. Kriteria Objektif :

(1) TB Paru : Apabila hasil diagnosa dokter menyatakan

TB paru BTA (+) maupun TB paru BTA (-

). Hasil pemeriksaan TB paru BTA (+)

yakni BTA (+), gambaran klinik dan

kelainan radiologik aktif serta biakan

positif. Dan TB paru BTA (-) yakni BTA (-

), gambaran klinik dan kelainan radiologik

aktif serta biakan positif.

(2) Bukan TB Paru : Apabila hasil diagnosa dokter menyatakan

bukan TB paru berdasarkan hasil

pemeriksaan BTA (-), gambaran klinik dan

kelainan radiologik serta biakan negatif dan

didiagnosa sebagai pernyakit paru non

infeksi tuberkulosis

51

C. Hipotesis

a. Hipotesis Nol

Tidak ada hubungan antara diabetes melitus dengan tuberkulosis paru di

BBKPM Makassar.

b. Hipotesis Alternatif

Ada hubungan antara diabetes melitus dengan tuberkulosis paru di

BBKPM Makassar.

52

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan

case control (kasus kontrol). Subjek penelitiain yang diambil adalah pasien TB

paru yang berobat ke BBKPM Makassar. Pengumpulan data menggunakan data

sekunder dari rekam medik pasien. Dalam penelitian ini, pasien dibagi dalam

dua kelompok yakni pasien tuberkulosis paru sebagai kelompok kasus dan

pasien paru infeksi nontuberkulosis sebagai kelompok kontrol. Pasien yang

berobat dilihat apakah menderita diabetes melitus atau tidak.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

Makassar dan pengumpulan serta pengolahan data dilaksanakan pada 13

Desember 2016 – 13 Februari 2017.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

a. Populasi Target

Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita

infeksi paru (TB atau non TB).

b. Populasi Terjangkau

53

Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah pasien yang menderita

infeksi paru (TB atau non TB) dan memiliki rekam medik di BBKPM

Makassar.

2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah semua pasien tuberkulosis paru dan

pasien paru infeksi nontuberkulosis paru yang berobat di BBKPM Makasaar

tahun 2014 - 2015

3. Kriteria Seleksi

Kriteria Seleksi terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang

masing – masing memiliki persayaratan.

a. Kriteria Kasus

(1) Kriteria inklusi untuk kasus adalah:

(a) Pasien yang terdaftar namanya dalam rekam medik dan

didiagnosis sebagai tuberkulosis paru di BBKPM Makassar

(b) Pasien TB yang berobat di BBKPM Makassar usia di atas 15

tahun dan dibawah 60 tahun (usia produktif)

(2) Kriteria eksklusi untuk kasus adalah:

(a) Pasien yang rekam medik tidak lengkap

(b) Pasien usia dibawah 15 tahun dan diatas 60 tahun

b. Kriteria Kontrol

Kriteria inklusi untuk kontrol adalah:

54

(1) Pasien yang tercantum namanya dalam rekam medik yang

didiagnosis sebagai penyakit paru infeksi nontuberkulosis di BBKPM

Makassar

(2) Pasien infeksi paru nontuberkulosis yang berobat di BBKPM

Makassar usia di atas 15 tahun dan dibawah 60 tahun

Kriteria Eksklusi untuk kontrol:

(1) Pasien yang memiliki rekam medik tidak lengkap

(2) Pasien paru nontuberkulosis yang berobat di BBKPM Makassar usia

di bawah 15 tahun dan diatas 60 tahun

4. Besar Sampel

Untuk menerima dan menolak hipoteis dengan menngunakan tingkat

kemaknaan 0,05 (Zα = 1,960) dan 0,2 (Zβ = 0,842). Pada penelitian ini,

studi case control tidak berpasangan, maka besar sampel yang dibutuhkan

adalah

Nilai α = 5% = 0,05 hipotesis 2 arah Zα = 1,960

Nilai β = 20%, maka Zβ = 0,842

P2 = Proporsi efek pada kelompok kasus sebesar 16,7% (kepustakaan)

P1 – P2 = 0,2

P1 = 0,2 + P2

P1 = 0,2 + 0,167

P1 = 0,367

Q1 = 1 - P1

= 1 – 0,367

55

= 0,633

Q2 = 1 – P2

= 1 – 0,167

= 0,833

P = ��� ��� =

�,���,��� = 0,267

Q = 1 – P

= 1 – 0,267

= 0, 733

� = � ����2�� + ���2���� + ������ − �� ��

� = � �1,960√2.0,267.0,733 + 0,842√0,367.0,6330,167.0,8330,2 %�

� = � &1,960. 0,625 + 0,842.0,6090,2 (�

� = � &1,225 + 0,5130,2 (�

� = � &1,7380,2 (�

� = � = 3,0210,04

� = � = 75,52 ≈ 76

5. Teknik Sampling

Teknik pengambilan yang digunakan dalam penelitian ini yakni

dengan purposive sampling yang didasarkan pada pertimbangan tertentu

56

yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat – sifat yang

telah diketahui sebelumnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

a. Jenis Data

Data sekunder dari BBKPM Makassar 2014 - 2015

b. Sumber Daata

Dari rekam medik BBKPM Makassar 2014 - 2015

c. Instrumen Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, instrument yang digunakan yaitu laporan data rekam

medik yang dimasukkan dalam formulir check list di BBKPM Makassar

tahun 2014 – 2015.

E. Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang diperoleh melalui rekam medik dipindahkan menggunakan

software Microsoft Excel 2013 dan SPSS 21.0. Adapun langkah – langkah

dalam pengolahan data sebagai berikut :

a. Editing

Editing bertujuan untuk meneliti kembali jawaban menjadi lengkap.

Editing dilakukan dilapangan sehngga bila terjadi kekurangan atau

57

ketidaksengajaan kesalahan pengisian dapat segera dilengkapi atau

disempurnakan. Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan

data, memperjelas serta melakukan pengolahan terhadap data yang

dikumpulkan.

b. Coding

Coding yaitu memberikan kode angka pada atribut variable agar lebih

mudah dalam analisa data. Coding dilakukan dengan cara

menyederhanakan data yang terkumpul dengan cara memberi kode atau

simbol tertentu.

c. Tabulating

Pada tahap ini data dihitung, melakukan tabulasi untuk masing – masing

variable. Dari data mentah dilakukan penyesuaian data yang merupakan

pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat

dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.

d. Transfering

Transfering data yaitu memindahkan data dalam media tertentu pada

master tabel.

2. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer.

Adapun analisis yang akan dilakukan meliputi:

a. Analisis Univariat

58

Analisis univariat digunakan unutk mendiskripsikan karakterisitik dari

variabel penelitian. Hasil analisis dari masing – masing variabel

kemudian dimasukkan ke tabel distribusi frekuwensi.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan unutk mengetahui hubungan diantara dua

variabel. Dalam penelitian ini akan dibandingkan distribusi silang antara

kedua variabel yang berhubungan. Kemudian akan dilakukan uji statistik

untuk menyimpulkan hubungan antara kedua variabel tersebut

bermakana atau tidak. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini

adalah uji chisquare (x2) dengan ketentuan bila p<0,05 berarti H0 ditolak

dan Ha diterima, sedangkan nilai p≥0,05 berarti H0 diterima dan Ha

ditolak. Untuk melihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara

faktor risiko dan faktor efek dilihat melalui nilai Odds Ratio (OR).

59

F. Alur Penelitian

PENENTUAN POPULASI

KRITERIA INKLUSI KRITERIA EKSKLUSI

SAMPEL

Sampel dalam penelitian ini diambil dengan Purposive Sampling

STUDI CASE CONTROL

DESKRIPTIF ANALITIK

Pengumpulan data dengan

menggunakan data sekunder berupa

rekam medik

ANALISIS STATISTIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN

60

G. Etika Penelitian

1. Sebelum melakukan penelitian maka penelitian menyertakan surat pengantar

yang ditujukan kepada Balai Paru sebagai permohonan izin dalam

melakukan penelitian.

2. Menjaga kerahasiaan data responden yang terdapat pada rekam medik,

sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam penelitian

ini.

3. Mematuhi semua aturan dan tata tertib yang berlaku pada instansi tempat

penelitian.

61

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar dahulunya

bernama Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Makassar yang didirikan

pertama kali pada tanggal 27 Juni 1959 bertempat di Jl. HOS. Tjokroaminoto

dan diresmikan tanggal 30 April 1960 oleh Gubernur Sulawesi, A. Pangerang

Dg. Rani. Pada waktu itu dipimpin oleh dr. Med. WJ. Meyer, dokter

berkebangsaan Jerman.

Dengan adanya pengembangan kota, maka gedung BP4 dipindahkan ke

daerah pengembangan di Jl. A.P. Pettarani No. 43 dan diresmikan oleh Menteri

Kesehatan pada tanggal 13 November 1993. Setelah mengalami beberapa kali

pergantian pimpinan. Saat ini BBKPM Makassar dipimpin oleh dr. Syamsuridzal

Bali,MBA terhitung sejak tanggal 10 Desemer 2015.

Perubahan nama BP4 menjadi Balai Besar Keshatan Paru Masyarakat

Makassar dimulai sejak tanggal 14 September 2005 berddasarkan Permenkes RI

No. 1352/Menkes/PER/IX/2005 tentang Organisasi dan tata Kerja Unit

Pelaksana Teknis di Bidang Kesehatan Paru Masyarakat.

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan diabetes melitus terhadap

kejadian tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.

62

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang berobat di Poli Paru sebanyak

152 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yang terdiri dari 76 orang pasien

tuberkulosis paru sebagai kelompok kasus dan 76 orang pasien paru infeksi

nontuberkulosis sebagai kelompok kontrol.

1. Analisis Univariat

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, maka hasil

penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut :

63

Tabel 5.1 Karakteristik Pasien TB Paru dan Non TB Paru di

BBKPM Makassar Tahun 2014 – 2015

Sumber: Data Rekam Medik Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

Makassar Tahun 2014 – 2015

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa distribusi laki -

laki lebih besar pada kelompok TB Paru dan kelompok Penyakit Paru

Infeksi Non TB yaitu sebesar 49 orang (64.5%) untuk kelompok TB Paru

TB Paru Non TB Paru

N % N %

Jenis Kelamin

Laki - Laki 49 64.5 41 53.9

Perempuan 27 35.5 35 46.1

Umur

15 - <25 11 14.5 4 5.3

25 - <35 12 15.8 13 17.1

35 - <45 18 23.7 18 23.7

45 - <55 17 22.4 21 27.6

≥55 18 23.7 20 26.3

Diabetes Melitus

Iya 42 55.3 14 18.4

Tidak 34 44.7 62 81.6

64

dan sebesar 41 orang (53.9%) untuk kelompok Penyakit Paru Infeksi Non

TB Paru.

Distribusi umur menunjukkan bahwa pasien TB Paru yang

memeriksakan diri ke BBKPM Makassar pada tahun 2014 – 2015 baik laki

– laki maupun perempuan terbanyak pada usia 35 - <45 dan ≥ 55 tahun

yaitu sebesar 18 orang (237%). Untuk presentasi terkecilnya dengan rentang

usia 15 - < 25 tahun yaitu sebesar 11 orang (14.5%). Sementara pada pasien

penyakit paru infeksi non TB presentasi terbanyak pada usia 45 - < 55 tahun

yaitu sebesar 21 orang (27.6%) dan untuk presentasi terkecilnya pada usia

15 - >25 yaitu sebesar 4 orang (5.3%).

Distribusi pasien yang menderita diabetes melitus dan TB Paru yaitu

sebesar 42 orang (55.3%), yang menderita diabetes melitus dan penyakit

paru infeksi non TB Paru yaitu sebesar 14 orang (44.7%), yang tidak

diabetes melitus dan menderita TB paru yaitu sebesar 34 orang (18.4%) dan

yang tidak menderita diabetes melitus dan menderita penyakit paru infeksi

non TB Paru yaitu sebesar 62 orang (81.6%).

65

2. Analisis Bivariat

Tabel 5.2 Hubungan antara Diabetes Melitus Terhadap Kejadian

Tuberkulosis Paru di BBKPM Makassar Tahun 2014 – 2015

DM

TB Paru

Non TB

Paru

Jumlah

p-

Value

OR (95% CI)

N % N % N %

0,000

5,471 (2.622 –

11.413)

DM 42 75.0 14 25.0 56 100

Tidak DM 34 35.4 62 64.6 96 100

Jumlah 76 50.0 76 50.0 152 100

Sumber: Data Rekam Medik Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

Makassar 2014 – 2015.

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 152 pasien yang

menderita diabetes melitus dan TB Paru yaitu sebesar 42 orang (75.0%),

yang menderita diabetes melitus dan penyakit paru infeksi non TB Paru

yaitu sebesar 14 orang (25.0%), yang tidak diabetes melitus dan menderita

TB paru yaitu sebesar 34 orang (35.4%) dan yang tidak menderita diabetes

melitus dan menderita penyakit paru infeksi non TB Paru yaitu sebesar 62

orang (64.6%).

Selanjutnya untuk menganalisis data dalam penelitian ini dilakukan uji

Chis Square, dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,000 (p< 0,05)

66

maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Hal ini berarti

ada hubungan antara diabetes melitus terhadap kejadian tuberkulosis paru di

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar tahun 2014 –

2015.

Untuk mengetahui besar risiko pada diabetes melitus terhadap

kejadian tuberkulosis paru maka diketahui OR (95% CI) = 5.471 (2.622 –

11.413). Hal ini berarti penderita diabetes melitus mempunyai risiko 5 kali

untuk terjadinya tuberkulosis paru dibandingkan dengan yang tidak

menderita diabetes melitus.

67

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat

Berdasarkan hasil analisis univariat, penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi

laki – laki lebih besar pada kelompok TB Paru dan kelompok Penyakit Paru Infeksi

Non TB yaitu sebesar 49 orang untuk kelompok TB Paru dan sebesar 41 orang untuk

kelompok Penyakit Paru Infeksi Non TB Paru.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khalil IK di Iraq pada

tahun 2011 yang menyatakan bahwa rasio penderita Tuberkulosis Paru menurut

jenis kelamin adalah 5:1, ini berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lebih tinggi

pada laki-laki, yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas saluran pernafasan

sehingga menjadi lebih rentan untuk terinfeksi. Gangguan pada sistem imunitas

saluran pernafasan tersebut dapat berupa kerusakan bersihan mukosiliar akibat racun

pada asap rokok yang terhirup. Asap rokok tersebut juga dapat merusak sel-sel

fagosit di saluran pernafasan dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga

meningkatkan kerentanan tuberkulosis paru.(30)

Untuk distribusis usianya, pada pasien yang TB Paru terbanyak pada usia 35 -

<45 dan ≥ 55 tahun yaitu sebesar 18 orang. Untuk presentasi terkecilnya dengan

rentang usia 15 - < 25 tahun yaitu sebesar 11 orang. Sementara pada pasien penyakit

paru infeksi non TB presentasi terbanyak pada usia 45 - < 55 tahun yaitu sebesar 21

orang dan untuk presentasi terkecilnya pada usia 15 - >25 yaitu sebesar 4 orang.

68

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khalil IK di Iraq

pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa pasein yang berusia 40 – 59 tahun lebih

banyak yang menderita Tuberkulosis Paru yaitu sebanyak 32 orang dari 100 sampel

yang diteliti, ini berkaitan dengan adanya perubahan biologis yang terjadi pada tubuh

pasien, terutama pada jaringan paru, terkait dengan penuaan. Perubahan tersebut

dapat merusak sistem barier dan mekanisme klirens mikrobial pada sistem

pernafasan. Pasien usia lanjut juga lebih rentan mengalami malnutrisi. Hal tersebut

berkontribusi dalam menurunnya respon imun seluler terhadap M. tuberculosis.

Hiperglikemia yang semakin tidak terkontrol akibat fungsi sel beta yang lebih

terganggu dan faktor kontrol yang tidak teratur pada usia lanjut dapat semakin

mengganggu sistem imunitas tubuh sehingga juga menjadi penyebab tingginya

prevalensi TB paru pada pasien DM usia lanjut.(30)

B. Analisis Bivariat

Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan

antara diabetes melitus terhadap kejadian tuberkulosis dan diperoleh OR (95% CI) =

5.471 (2.622 – 11.413) yang berarti penderita diabetes melitus mempunyai risiko 5

kali untuk terjadinya tuberkulosis paru dibandingkan dengan yang tidak menderita

diabetes melitus.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fauziah DF et al di Ruang Rawat

Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M Djamil Padang, yang menyatakan bahwa terdapat

29 kasus TB paru dari 748 orang pasien DM tipe 2 (3,88%). Kasus DM tipe 2 dengan

69

TB paru terbanyak ditemukan pada kelompok jenis kelamin laki-laki (58,62%), usia

< 60 tahun (72,41%).(31)

Hasil penelitian Nadliroh Z et al di RSUP dr. Kariadi Semarang menyatakan

prevalensi terjadinya TB pada pasien DM adalah 9,1%. Usia rata-rata pasien yaitu

45-64 tahun (58,5%). (32)

Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Pealing L et al di United Kingdom

pada tahun 2015 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara diabetes melitus

dengan tuberkulosis paru dengan p-value sebesar 0,04.(33)

Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Saraswati

LD di Semarang Utara yang menyatakan bahwa prevalensi pasien DM dengan TB

Paru lebih banyak yaitu sebesar 26,7% yang memiliki risiko 5.091 kali lebih besar

dibandingkan yang tidak menderita diabetes melitus dibandingkan pasien DM

dengan penyakit paru infeksi non TB yaitu sebesar 6.7%. Penelitian ini juga

menyatakan adanya hubungan diabetes melitus dan tuberkulosis paru dengan p-value

sebesar 0,038.(29)

Kedua penelitian ini menyatakan bahwa memang di Indonesia insidensi DM dan

TB Paru di Indonesia masih tinggi dan juga menurut hasil penelitian yang dilakukan

oleh Alisjahbana et al dalam Indra Wijaya menyatakan bahwa lebih dari 10%

penderita TB Paru di dunia adalah penduduk Indonesia. Penelitian di Indonesia pada

tahun 2001 – 2015, melaporkan 40% penderita TB Paru memiliki riwayat DM,

ditemukan 60 kasus TB Paru di antara 454 penderita, risiko penderita DM untuk

mengalami TB Paru sebesar 4,7 kali.(34)

70

Penelitian yang dilakukan oleh Dooley KE et al di Taiwan menyatakan bahwa

diabetes melitus merupakan faktor risiko tersering pada pasien TB karena

kemungkinan terdapat gangguan imunitas berupa defek fungsi sel imun, mekanisme

pertahanan pejamu, dan peran sitokin. Aktivitas bakterisidal leukosit dan makrofag

yang berkurang serta proliferasi limfosit yang rendah juga ikut berperan penting

dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman TB pada pasien diabetes

melitus.(26)

Hasil dari semua penelitian sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Alius

Cahyadi dalam jurnalnya yang menyatakan bahwa adanya mekanisme yang

mendasari terjadianya tuberkulosis paru dengan riwayat diabetes melitus masih

belum dapat dipahami tetapi diperkirakan karena produksi dari IL-12, sel Th1, dan

IFN-γ menurun. Akibat penurunan dari IFN-γ dapat menurunkan aktivasi makrofag

dalam mengendositosis Mycobacterium Tuberculosis. Kondisi diabetes melitus juga

mengakibat menurunnya produksi dari IL-1 dan TNF-α, dimana penurunan produksi

IL-1 dapat menurunnya juga produksi IL-6 yang berfungsi untuk produksi neutrophil

yang menyebabkan menurunnya kemampuan membunuh secara oksidasi. Untuk

TNF-α, jika terjadi penurunan produksi akan juga ikut menurunnya produksi IL-2

yang menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T berkurang yang berperan dalam

membunuh bakteri.(25)

Menurut Tan JS, menyatakan bahwa diabetes melitus dapat mengakibatkan

individu rentan infeksi yang disebabkan oleh faktor predisposisi yaitu kombinasi

antara angiopati, neuropati, dan hiperglikemia. Gangguan mekanisme pertahanan

tubuh akibat gangguan fungsi granulosit, penurunan imunitas seluler, gangguan

71

fungsi komplemen dan penurunan respon limfokin dapat mengakibatkan lambatnya

penyembuhan luka.

Menurut Wijaya I, penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena

defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan

fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan

mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis

kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama

seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati saraf autonom

berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu

penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida, dan

peningkatan endogen produksi karbondioksida. Sel-sel efektor yang sering

berkontribusi terhadap infeksi M. tuberculosis adalah fagosit, yaitu makrofag

alveolar, perkursor monosit, dan limfosit sel-T. Makrofag alveolar, berkolaborasi

dengan limfosit sel-T, berperan penting dalam mengeliminasi infeksi tuberkulosis.

Pada penderita diabetes melitus, diketahui terjadi gangguan kemotaksis, fagositosis,

dan antigen presenting oleh fagosit terhadap bakteri M. tuberculosis; kemotaksis

monosit tidak terjadi pada penderita DM. Defek ini tidak dapat diatasi dengan terapi

insulin.

C. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian hubungan diabetes melitus terhadap kejadian tuberkulosis paru

di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar terdapat

keterbatasan yang bisa mempengaruhi hasil penelitian salah satu diantaranya yaitu

72

sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya jumlah minimalnya dan juga

banyak kendala dalam pengambilan rekam medik.

73

BAB VII

TINJAUAN ISLAM

A. Kesehatan Dalam Prespektif Islam

Sesungguhnya ajaran Islam sangat mengatur tuntuntan untuk hidup sehat karena

tujuan dari kehadiran Islam itu sendri adalah untuk memelihara agama, akal, jiwa,

jasmani, harta, dan keturunan umat manusia. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab,

setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan kesehatan yang sering digunakan

dalam kitab suci, yaitu sehat dan afiat. Dalam kamus Bahasa arab, kata afiat dartikan

sebagai perlindungan Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan

tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna, kecuali

bagi meraka yang mengindahkan petunjuk – petunjuk-Nya. Oleh karena itu, kata

afiat dapat diartikan berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan

ciptaannya.(35)

Nikmat dari Allah SWT itu sangat berlimpah tidak terkira, maka jika kamu mau

menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesuai

dengan

firman

Allah

SWT dalam Surah An–Nahl dan Al-Baqarah.

Terjemahan:

74

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S An-Nahl [16]: 18).

Terjemahan:

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 152)

Sudah jelas maksud dari kedua ayat diatas bahwa Allah SWT mengajarkan kita

untuk selalu mensyukuri nikmat yang diberikan dan di antara nikmat Allah SWT

yang berharga dan tidak ternilai adalah kesehatan(35).

B. Makan dan Minum Yang Berlebihan

Berdasarkan yang terkait dengan judul di atas, pandangan islam tentang sesuatu

yang berlebihan ada dalam QS. Al-A’raf: 31.

Terjemahan :

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)

masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang berlebihan-lebihan”.

75

Dalam ayat ini selain dikatakan mengenai memilih pakaian yang menutup

aurat, dalam ayat ini juga Allah SWT mengatur pula perkara makan dan minum

manusia agar tidak berlebih-lebihan untuk dapat mengatur dan memelihara

kesehatannya. Dengan makan dan minum yang terarur juga manusia lebih kuat

melakukan ibadah.

Rasulullah juga memberi petunjuk kepada kita mengenai makanan dan minuman

meliputi mencegah “over dosis”, menghindari makanan berlebihan dan aturan –

aturan lain yang harus diperhatikan berkenaan dengan makanan dan minuman.

Dalam Musnad Ahmad dan kitab – kitab lain diriwayatkan bahwa Nabi

bersabda:

Terjemahan:

“Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Abdul Malik Al Himshi] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Harb] telah menceritakan kepadaku [Ibuku] dari [Ibunya] bahwa dia berkata; saya mendengar [Al Miqdam bin Ma'dikarib] berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah anak Adam memenuhi tempat yang lebih buruk daripada perutnya, ukuran bagi (perut) anak Adam adalah beberapa suapan yang hanya dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika jiwanya menguasai dirinya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas." (Hadits Ibnu Majah Nomor 3340)

76

Terjemahan:

“Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] Telah menceritakan kepada kami [Abdush Shamad] Telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Waqid bin Muhammad] dari [Nafi'] ia berkata; Biasanya [Ibnu Umar] tidak makan hingga didatangnya kepadanya seorang miskin lalu makan bersamanya. Maka aku pun memasukkan seorang laki-laki untuk makan bersamanya, lalu laki-laki itu makan banyak, maka ia pun berkata, "Wahai Nafi', jangan kamu masukkan orang ini. sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Seorang mukmin itu makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus.” (H.R. Bukhari No. 4974)

Ayat dan hadist diatas berhubungan dengan judul skripsi penulis karena yang

telah diketahui bahwa salah satu faktor risiko dari diabetes melitus adalah pola hidup

yang tidak sehat contohnya yaitu makan dan minum yang berlebihan. Makanan dapat

menyerang, merugikan dan merubah fungsi normal tubuh jika jumlahnya

berlebihan.Sebagian besar penyakit terjadi karena konsumsi makanan yang

berlebihan atau melebihi porsinya. Selain akan menimbulkan penyakit, makan dan

minum yang berlebihan juga akan menyebabkan kurangnya ruang pernapasan. Ini

mengakibatkan orang menjadi malas untuk melakukan aktifitas. (36) Benar lah adanya

77

anjuran Rasulullah SAW saat makan yaitu berhentilah sebelum kenyang dan makan

lah sebelum lapar.

C. Tuberkulosis Dalam Prespektif Islam

Terdapat dua hal yang penting mengenai TB. Pertama, kuman penyakit TB

gampang menyebar jika tidak berhati - hati dan kedua, penderita TB membutuhkan

pengobatan lama dan pengawasan yang ketat dalam pengobatannya.(37)

Seperti yang kita ketahui bahwa penularan droplet – droplet nuclei dari suatu

kuman TB yakni melalui udara dan bersumber dari penderita yang batuk atau bersin.

Hal ini terkait dalam perilaku pasien TB dalam melakukan tindakan pencegahan

penularan.

Untuk itu hendaklah kita memperhatikan adab-adab yang diajarkan Rasulullah

SAW tatkala kita sedang bersin. Berikut ini adalah adab-adab yang harus kita

perhatikan ketika bersin. Semoga Allah Ta’ala memberikan pertolongan kepada kita

untuk mengamalkannya.

Meletakkan tangan atau baju ke mulut ketika bersin

Salah satu akhlaq mulia yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam ketika bersin adalah menutup mulut dengan tangan atau baju. Hal ini

sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam tatkala beliau bersin.

78

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

أن النبي صلى هللا عليه وسلم كان إذا عطس غطى زجهه بيده أو بثوبه وغص بها صوته

Terjemahan:

“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau meletakkan

tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan suaranya.” (H.R. at-Tirmidzi, no. 2745 dan beliau menshohihkannya.)

Di antara hikmahnya, kadangkala ketika seseorang itu bersin, keluarlah air

liur dari mulutnya sehingga dapat menggangu orang yang ada disebelahnya, atau

menjadi sebab tersebarnya penyakit. Maka tidak layak bagi seorang muslim

menyakiti saudaranya atau membuat mereka lari. Dan sebaik-baik petunjuk

adalah petunjuk Rasulullah SAW.

Mengecilkan suara ketika bersin

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW dalam hadits di atas.

Dan di dalam riwayat al Hakim:

إذا عطس أحدكم فليضع كفيه على وجهه وليخفض صوته

Terjemahan:

“Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan tangannya ke wajahnya dan mengecilkan suaranya.” (H.R. al-Hakim, IV/264. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 685)

79

Betapa banyaknya orang yang terganggu atau terkejut dengan kerasnya suara

bersin. Maka sudah selayaknya setiap muslim mengecilkan suaranya ketika bersin

sehingga tidak mengganggu atau mengejutkan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Hadis riwayat tersebut menjelaskan bagaimana dalam ajaran islam yang benar

agar orang lain yang tidak menderita penyakit TB tidak tertular.

Penyakit Tuberkulosis bukan saja merugikan bagi penderitanya tapi juga dapat

merugikan orang yang berada di sekitarnya jika pasien dan orang yang berada

disekitarnya tidak waspada. Sehingga pengobatan TB dalam pandangan Islam dalah

wajib. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW:

د بن مالك بن سنان الـخدري عن أبـي سعيد سع ى هللا عليه وسلم رضي هللا عنه أن رسول هللا صلـ قال : ال ضرر وال ضرار

Terjemahan:

“Dari Abu Sa’id Sa’d bin Mâlik bin Sinan al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan” (H.R. Mâlik dalam al-Muwaththa’; Ad-Dâraquthni; Al-Baihaqi; Al-Hâkim)

Maksud dari hadis ini yaitu sesuatu yang membahayakan dan dapat

menimbulkan bahaya bagi orang lain harus dihilangkan. Pengobatan TB harus

dilakukan secara tuntas. Haram hukumnya jika penderita TB melakukan pengobatan

medis setengah – setengah atau tidak tuntas. Karena kuman TB yang tidak diobati

80

justru akan semakin kebal dan pengobatannya di masa yang akan datang akan

semakin sulit harus menggunakan dosis yang lebih besar lagi.(37)

Sebagai orang yang mengetahui jika keluarga menderita TB kita harus

senantiasa untuk mengingatkan untuk pengobatan TB nya. Dalan pandangan islam,

mengawasi penderita TB minum obat sangat mulia dan dapat dikategorikan sebagai

“jihad”. Sungguh pun perkerjaan ini mengandung bahaya, tapi sebenarnya aspek

bahaya dapat dihindari jika ia mengerti prosedur medis menjadi pengawas minum

obat (PMO) bagi penderita TB. Selain itu, dalam hal ini yang harus dikedepankan

adalah aspek tolong menolongnya. Islam sangat mendorong umat Islam untuk saling

tolong menolong dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT:(37)

إن � ثم والعدوان واتقوا � وال تعاونوا على اإلالعقاب شديد

Terjemahan:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Dalam hadist juga ditegaskan:

81

Terjemahan:

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar] dan [Utsman] -keduanya anak Abu Syaibah- secara makna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu Mu'awiyah] -Utsman mengatakan- dan [Jarir Ar Razi]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [Washil bin Abdul A'la] berkata, telah menceritakan kepada kami [Asbath] dari [Al A'masy] dari [Abu Shalih] -Washil berkata; aku diceritakan dari Abu Shalih, kemudian keduanya sepakat- dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa meringankan satu kesusahan seorang muslim di dunia, maka Allah akan meringankan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya." Abu Dawud berkata, "Riwayat Utsman dari Abu Mu'awiyah tidak menyebutkan, "Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan." (H.R. Abu Daud No. 4295)

Maka dari itu, seorang PMO harus benar – benar meniatkan dirinya dalam

rangka menolong orang lain. Orang yang dapat menolong orang lain harus merasa

bersyukur karena dirinya dapat bermanfaat bagi orang lain. Karena Rasulullah SAW

sendiri bersabda bahwa orang yang paling baik adalah orang yang bisa bermanfat

bagi orang lain.(37)

Ingat, di dalam agama Islam, baik perintah atau larangan dari Allah SWT di

dalam al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW di dalam sunnahnya pasti ada makna,

manfaat dan hikmah yang tersurat dan tersirat di dalam yang dapat dibuktikan oleh

ilmu pengetahuan. Di dalam sunnah Nabi Muhammad SAW, segala sesuatu yang

dilarang atau diperintahkan harus dipatuhi karena pasti ada manfaat bagi manusia.

83

BAB VIII

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian distribusi jenis kelamin pasien tuberkulosis paru yang

paling banyak adalah laki – laki sebanyak 49 orang (64.5%) dan untuk

penyakit paru infeksi non tuberkulosis sebanyak 41 orang (53.9%).

2. Dari hasil penelitian distribusi umur pasien tuberkulosis paru yang paling

banyak adalah 35 - < 45 dan ≥ 55 sebanyak 18 orang (23.7%) dan untuk

pasien penyakit paru distribusi umur yang paling banyak adalah ≥ 55

sebanyak 20 orang (26.3%).

3. Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi pasien yang menderita

tuberkulosis paru dengan diabetes melitus lebih tingg yaitu sebanyak 42

orang (75,0%).

4. Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi pasien yang menderita

tuberkulosis paru tanpa diabetes melitus yaitu sebanyak 34 orang (35,4%).

5. Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi pasien yang menderita penyakit

paru infeksi non tuberkulosis dengan diabetes melitus yaitu sebanyak 14

orang (25,0%).

6. Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi pasien yang menderita penyakit

paru infeksi non tuberkulosis tanpa diabetes melitus yaitu sebanyak 62 orang

(64,6%).

84

7. Dari hasil uji analisis didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara diabetes melitus terhadiap kejadian tuberkulosis paru di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dengan p value 0.000 (α=0.05) dan

didapatkan bahwa pasien diabetes melitus 5, 471 atau 5 kali beresiko

terhadap kejadian tuberkulosis paru.

8. Dalam islam dianjurkan untuk tidak berlebih – lebihan karena akan ada

kerugian yang ditimbulkan khusunya kesehatan, ini sesuai dengan Q.S. Al-

A’raf Ayat 31.

9. Rasulullah SAW mengajarkan adab batuk yang baik untuk preventif

menyebarnya kuman Tuberkulosis yang dirawayatkan oleh H.R. Abu Daud.

B. Saran

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan mengadakan penelitian menggunakan metode lain dengan jumlah

responden yang lebih banyak dan mengendalikan variable-varibel pengganggu

lainnya untuk mendukung hasil penelitian yang sudah ada serta untuk

memperoleh hasil penelitian yang lebih valid.

2. Bagi Instansi Kesehatan (Balai Paru dan Dinas Kesehatan)

Dokter dan petugas kesehatan lainnya perlu melakukan upaya preventif bagi

masyarakat dengan diabetes melitus khususnya untuk mencegah kejadian

tuberkulosis paru dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan pasien

85

yang sedang berobat. Diharapkan pula bagi petugas kesehatan untuk melengkapi

data-data pasien di rekam medis.

3. Bagi Masyarakat

Masyarakat perlu melakukan pencegahan terhdapap diabetes melitus dan jika

sudah menderita diabetes melitus untuk senantiasa mengontrol kadar gula

darahnya. Dan juga lebih peka terhadap komplikasi dari diabetes melitus

khususnya tuberkulosis paru,

86

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Report on Diabetes. France: World Health

Organization. 2016

2. International Diabates Federation. Global Guidline for type 2 Diabetes.

Belgium: International Diabetes Federation. 2012. Diakses dari:

http://www.diabetesatlas.org/; http://www.idf.org/guidelines

3. Kementerian Kesehatan Indonesia. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat

Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014

4. BPPK Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakeses dari:

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/HasilRiskesdas2013.pdf

5. Mihardja L, Delima, Siswoyo H, Lannywati G, Soegondo S. Prevalence and

Determinants of Diabetes Mellitus and Impaired Glucose Tolerance in

Indonesia (A Part of Basic Health Research/Riskesdas). J Intern Med. 2009 Oct;

41:169

6. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015. Geneva: World

Health Organization. 2016.

7. PDPI. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia. Jakarta:

PDPI. 2011

8. Kementerian Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia

2010 – 2014. Jakarta. 2011

87

9. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

Jakarta. 2014

10. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s Basic & Clinical Endocrinology 9th

Edition. San Fransisco: A Lange Medical Book. 2011

11. Kementerian Keseehatan RI. Tuberkulosis: Temukan Obati Sampai Sembuh.

Jakarta. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015

12. Kementerian Kesehatan RI. Indonesia Health Profile 2014. Jakarta. 2015

13. Dinas Kesehatan Kota Makassar. Buku Saku Dinas Kesehatan Kota Makassar

Tahun 2014. 2015

14. Rieder HL, Yuan CC, Gie RP, Enarson DA. Crofton’s Clinical Tuberculosis

Third Edition. Malaysia Macmillan. 2009

15. WHO. Collaborative Framework for Care and Control of Tuberculosis and

Diabetes. Geneva. 2011

16. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di

Indonesia. Jakarta. 2015

17. Americam Diabetic Association. Complete Guidline to Diabetes Fifth Edition.

Canada. 2011

18. Jameson JL. Harrison’s Endocrinology 3rd

Edition. USA. Mc Graw Hill

Education. 2013

88

19. WHO. Definition and Diagnosis Diabetes Mellitus and Intermediate

Hyperglicemia. Geneva. 2006

20. Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of

Internal Medicine 19th

Edition. USA. Mc Graw Hill Education. 2015

21. Papadakis MA, McPhee SJ. Cuurent Medical Diagnosis & Treatment Fifty Fifth

Edition. USA. Mc Graw Hill Education. 2016

22. IDAI. Buku Ajar Endokrinologi Anak Edisi 1. Jakarta. 2010

23. American Thoracici Society. International Standars for Tuberculosis Care. San

Fransisco. 2014. Diakses dari: http://www.tbcare1.org/publications

24. Jeon CY, Murray MB. Diabetes Mellitus Increase The Risk of Tuberculosis: A

Systematic Review of 13 Observational Studies. Plos Medicine. 2008

25. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. J Indon

Med Assoc. 2011

26. Dooley Kelly E, Chaisson RE. Tuberculosis and Diabetes Mellitus: Convergence

of Two Epidemics. Lancet Infect Dis. 2009

27. Mansoori D, Jamaati HR. Arami S, Zadsar M.Abbasian L, Reza AE, et al.

Comparison of Lymphocyte Number anf Their Subsets Patients with Diabetes

Mellitus Type II, Tuberculosis and Concominant TB and Diabetes. NRITLD.

2008

28. Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, van der Ven-Jongekrijg, Ottenhoff

THM, van der Meer JWM, et al. The role of interferon gamma in the increased

89

tuberculosis risk in type 2 diabetes mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.

2008

29. Saraswati LD. Prevalensi Diabetes Mellitus dan Tuberkulosis Paru. Unnes J.

2014

30. Khalil IK. The relationship between tuberculosis and diabetes mellitus in

patients. Biology Journal of Al-Kufa University. 2011

31. Fauziah DF, Basyar M, Manaf A. Insidensi Tuberkulosis Paru pada Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M.

Djamil Padang. J Kes Andalas. 2016

32. Nadliroh Z, Kholis FN, Ngestiningsih D. Prebvalensi Terjaadinya Tuberkulosis

Paru Pada Pasien Diabetes Melitus di RSUP. Kariadi Semarang. Media Medika

Muda. 2015

33. Pealing L, Wing K, Mathur R, Merino DP, Smeeth L, Moore DAJ. Risk of

Tuberculosis in Patients With Diabetes: Population Based Cohort Study Using

UK Clinical Practice Research Datalink. BMC Medicine. 2015

34. Wijaya I. Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. J Indon Med

Assoc. 2015

35. Hasmahan A. Rahasia Kesehatan Rasulullah. Noura Books, Jakarta. 2012

36. Al Jauziyah, IQ, Buku Pintar Kedokteran Nabi. Fathan, Jakarta. 2013

37. Nafis C. Penanggulangan TB Perspektif Islam dalam Sosialisasi Program

Penanggulangan Penyakit TB di PB NU. 2007. Diakses dari:

90

http://nafisinstitute.blogspot.co.id/2007/12/penanggulangan-tb-perspektif-

islam.html

LAMPIRAN

Lampiran 1

Data Pasien TB Paru 2014 - 2015

No Nomor

Rekam

Medik

Umur (Tahun) Diagnosa

Laki

Laki Perempuan TB DM

1 59605 37 + +

2 62179 41 + +

3 61964 48 + +

4 40507 50 + +

5 40536 52 + +

6 42374 51 + +

7 42375 42 + +

8 62216 53 + +

9 61904 50 + +

10 60177 24 + +

11 63607 51 + +

12 59644 30 + +

13 60673 23 + +

14 61338 18 + +

15 62950 39 + +

16 60530 18 + +

17 59672 42 + +

18 63048 23 + +

19 62296 27 + +

20 59631 32 + +

21 61107 38 + +

22 35368 42 + +

23 62907 27 + +

24 30009 43 + +

25 62743 55 + +

26 57448 40 + +

27 57497 58 + +

28 66602 60 + +

29 48700 37 + +

30 535603 22 + +

31 59731 47 + +

32 31896 48 + +

33 35995 29 + +

34 32834 38 + +

35 60542 57 + +

36 52530 43 + +

37 40536 58 + +

38 532824 38 + +

39 58009 50 + +

40 67407 49 + +

41 59306 56 + +

42 38133 54 + +

43 59700 30 + -

44 60756 34 + -

45 62982 43 + -

46 62763 59 + -

47 59945 15 + -

48 37995 52 + -

49 61964 60 + -

50 63276 39 + -

51 60809 15 + -

52 62982 43 + -

53 60801 57 + -

54 60673 58 + -

55 62816 55 + -

56 63704 26 + -

57 59587 47 + -

58 37102 60 + -

59 60813 21 + -

60 61062 49 + -

61 62094 26 + -

62 61322 55 + -

63 63745 28 + -

64 62950 39 + -

65 60114 15 + -

66 594783 42 + -

67 47499 52 + -

68 57367 57 + -

69 59700 30 + -

70 60200 60 + -

71 59542 18 + -

72 48837 58 + -

73 66348 60 + -

74 55719 27 + -

75 48079 42 + -

76 65753 58 + -

Data Pasien Infeksi Non TB Paru 2014 - 2015

No

Nomor

Rekam

Medik

Umur (Tahun) Diagnosa

Laki

Laki Perempuan

Non

TB DM

1 52984 58 + +

2 61232 55 + +

3 63039 38 + +

4 62161 46 + +

5 55663 50 + +

6 42193 38 + +

7 52269 57 + +

8 316984 60 + +

9 30542 47 + +

10 67395 42 + +

11 35669 46 + +

12 43586 21 + +

13 55961 40 + +

14 57089 37 + +

15 59837 41 + -

16 43678 38 + -

17 606765 32 + -

18 60068 44 + -

19 53550 32 + -

20 61002 51 + -

21 60952 58 + -

22 62135 21 + -

23 65739 60 + -

24 33812 55 + -

25 48773 30 + -

26 58879 26 + -

27 61421 32 + -

28 52417 58 + -

29 48614 60 + -

30 61515 22 + -

31 59806 45 + -

32 47102 31 + -

33 56949 35 + -

34 35388 58 + -

35 61232 55 + -

36 42154 46 + -

37 59383 25 + -

38 68089 52 + -

39 64151 60 + -

40 54879 30 + -

41 48614 60 + -

42 67517 46 + -

43 49011 22 + -

44 63928 37 + -

45 36403 52 + -

46 57699 51 + -

47 66980 43 + -

48 41660 36 + -

49 63299 32 + -

50 57023 60 + -

51 68759 46 + -

52 63258 25 + -

53 55712 38 + -

54 57442 50 + -

55 48641 39 + -

56 63039 55 + -

57 34107 59 + -

58 66573 36 + -

59 59306 56 + -

60 57839 44 + -

61 69816 34 + -

62 55933 49 + -

63 50153 51 + -

64 66976 25 + -

65 39155 42 + -

66 36817 35 + -

67 68468 50 + -

68 67708 45 + -

69 41135 37 + -

70 55995 48 + -

71 47524 57 + -

72 67945 39 + -

73 55152 58 + -

74 57395 42 + -

75 35942 48 + -

76 66269 57 + -

Lampiran 2

Frequencies

Statistics

Jenis_Kelamin_

TB

Jenis_Kelamin_

NonTB

Umur_TB Umur_NonTB

N Valid 76 76 76 76

Missing 0 0 0 0

Frequency Table

Jenis_Kelamin_TB

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Laki - Laki 49 64.5 64.5 64.5

Perempuan 27 35.5 35.5 100.0

Total 76 100.0 100.0

Jenis_Kelamin_NonTB

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Laki - Laki 41 53.9 53.9 53.9

Perempuan 35 46.1 46.1 100.0

Total 76 100.0 100.0

Umur_TB

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

15 - <25 11 14.5 14.5 14.5

25 - <35 12 15.8 15.8 30.3

35 - <45 18 23.7 23.7 53.9

45 - <55 17 22.4 22.4 76.3

>=55 18 23.7 23.7 100.0

Total 76 100.0 100.0

Umur_NonTB

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

15 - <25 4 5.3 5.3 5.3

25 - <35 13 17.1 17.1 22.4

35 - <45 18 23.7 23.7 46.1

45 - <55 21 27.6 27.6 73.7

>=55 20 26.3 26.3 100.0

Total 76 100.0 100.0

Frequencies

Statistics

Jenis_Kelamin Umur TB DM

N Valid 152 152 152 152

Missing 0 0 0 0

Frequency Table

Jenis_Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

Laki-Laki 90 59.2 59.2 59.2

Perempuan 62 40.8 40.8 100.0

Total 152 100.0 100.0

Umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

15 - <25 15 9.9 9.9 9.9

25 - < 35 25 16.4 16.4 26.3

35 - < 45 36 23.7 23.7 50.0

45 - < 55 38 25.0 25.0 75.0

>= 55 38 25.0 25.0 100.0

Total 152 100.0 100.0

TB

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

TB Paru 76 50.0 50.0 50.0

TIdak TB Paru 76 50.0 50.0 100.0

Total 152 100.0 100.0

DM

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

Valid

DM 56 36.8 36.8 36.8

Tidak DM 96 63.2 63.2 100.0

Total 152 100.0 100.0

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

DM * TB 152 100.0% 0 0.0% 152 100.0%

DM * TB Crosstabulation

TB Total

TB Paru TIdak TB Paru

DM

DM

Count 42 14 56

Expected Count 28.0 28.0 56.0

% within DM 75.0% 25.0% 100.0%

% within TB 55.3% 18.4% 36.8%

Tidak DM

Count 34 62 96

Expected Count 48.0 48.0 96.0

% within DM 35.4% 64.6% 100.0%

% within TB 44.7% 81.6% 63.2%

Total

Count 76 76 152

Expected Count 76.0 76.0 152.0

% within DM 50.0% 50.0% 100.0%

% within TB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 22.167a 1 .000

Continuity Correctionb 20.612 1 .000

Likelihood Ratio 22.938 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 22.021 1 .000

N of Valid Cases 152

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for DM (DM /

Tidak DM)

5.471 2.622 11.413

For cohort TB = TB Paru 2.118 1.554 2.886

For cohort TB = TIdak TB

Paru

.387 .240 .624

N of Valid Cases 152

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : A. Rafika Azzahra D

Ayah : Drs. A. Dahrul, M. Si

Ibu : Hasnawati, S.T

Tempat, Tanggal Lahir : Makassar, 22 September 1995

Agama : Islam

Alamat : Jl.RSI. Faisal XV No. 31. R

Nomor Telepon/Hp : 081340166205

Email : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

TK Merpati Pos Makassar (1999)

SD Islam Athirah Makassar (2001-2006)

SMP Islam Athirah Makassar (2006-2011)

SMA Negeri 17 Makassar (2011-2013)

Universitas Muhammadiyah Makassar (2013-2017)