Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI HIPERTROPI KELENJAR PROSTAT
HANSEN THOMAS SUKANDAR
dr. I Putu Kurniyanta Sp. An
BAGIAN / SMF ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD /
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
BAB I BATASAN 1
BAB II MASALAH 2
2.1 Masalah Umum 2
2.2 Masalah Khusus pada reseksi trans-urethra 3
BAB III PENATALAKSANAAN 5
3.1 Evaluasi 5
3.2 Persiapan Praoperatif 7
3.3 Premedikasi 9
3.4 Pilihan Anestesi 9
3.5 Pemantauan selama anestesi 10
3.6 Terapi cairan dan transfuse darah 11
3.7 Pemulihan anestesi 12
3.8 Pasca bedah 12
DAFTAR PUSTAKA 13
1
I. BATASAN
Pada praktek anestesi, prosedur bedah urologi mencakup 10-20%. Pasien yang
menjalani prosedur genitourinari berasal dari segala usia, tetapi kebanyakan
berasal dari kalangan lansia yang memiliki riwayat medis seperti gangguan
ginjal. Beberapa posisi operasi seperti litotomi, Trendelenburg, pendekatan
transurethral, dan litotripsi mempersulit tak hanya anestesi tapi juga teknik
bedah.1,2
Tindakan anestesia dan reanimasi pada operasi hipertrofi kelenjar prostat
umumnya dilakukan menggunakan dua pendekatan yaitu reseksi trans-urethrae
(TURP) dan prostatektomi terbuka, tetapi sekarang dominan lebih sering
digunakan adalah prosedur TURP. Urologis dan ahli bedah prostat menganggap
TURP lebih sederhana dan lebih aman daripada prostatektomi terbuka. Belum
ada penelitian yang mengamati angka kematian antara pasien yang dilakukan
prosedur TURP dan prostatektomi retropubik atau suprapubiK.3,4
Hipertrofi kelenjar prostat merupakan penyebab tersering obstruksi saluran
kemih pada pasien geriatri laki laki. Walau lebih sering terapi berupa medikasi
farmakologi saja, terkadang diperlukan intervensi bedah. TURP adalah operasi
yang paling sering dilakukan dan indikasi dilakukan adalah adanya uropati
obstruktif, penumpukan kalkulus, dan episode retensi urin yang berkali kali.
Pasien dengan adenokarsinoma juga dapat dilakukan prosedur TURP. TURP
biasa dikerjakan dengan anestesi regional dan pasien harus ditelusuri riwayat
gangguan organ lain. Mortalitas pada prosedur TURP adalah 1% walaupun
terpengaruh usia dan faktor penyakit comorbid (seperti infark mikardium,
edema paru, gangguan ginjal). Komplikasi tersering TURP adalah retensi
sumbatan, gagal untuk mengosongkan kantung kemih, hematuria, infeksi
saluran kemih, sindrom TURP, perforasi kantung kemih, sepsis, dan
hipotermia.2
2
II. MASALAH
Masalah yang timbul pada operasi hipertrofi kelenjar prostat dapat
diklasifikasikan menjadi masalah umum yang disebabkan karena umur dan
gangguan fungsi ginjal akibat obstruksi serta masalah khusus berupa masalah
masalah yang dihadapi oleh dokter bedah maupun anestesi saat operasi.
2.1 Masalah umum
a. Usia tua dengan segala permasalahannya
Kebanyakan pasien yang akan menerima operasi reseksi hipertropi
kelenjar prostat adalah pasien geriatri yang disertai dengan
berbagai penyakit penyerta. Insiden-insiden penyakit seperti
gangguan jantung dan penyakit kardiovaskular, kardiovaskular,
elektrokardiogram abnormal (EKG), penyakit paru obstruktif
kronik, dan diabetes mellitus. Kemungkinan pasien juga memiliki
riwayat gangguan ginjal secondary karena uropati obstruktif.
Pasien pasien ini terkadang mengalami dehidrasi karena terapi
diuretik jangka panjang dan pembatasan asupan cairan sehingga
menyebabkan kehilangan elektrolit.3 Perhatian lebih harus
diberikan pada pasien dengan gangguang sirkulasi seperti sindrom
koroner tidak stabil, gagal jantung kongestif, aritmia, atau penyakit
katup jantung.4,7
b. Gangguan fungsi ginjal dan kadar air tubuh
Pasien tua berada pada resiko lebih tinggi dari efek samping untuk
obat-obatan karena berbagai alasan farmakokinetik. Seseorang
yang berumur 40 tahun yang sehat memiliki kadar air tubuh total
sebesar 55% pada wanita dan 60% pada laki-laki. Semakin tua,
kadar air akan semakin menurun bahkan sampai 50%. Akibatnya,
dosis yang sama dari obat yang diberikan untuk orang dewasa
yang sehat apabila diberikan pada orang yang tua konsentrasinya
3
berbeda. Konsentrasi yang lebih tinggi meningkatkan risiko efek
samping dan metabolisme pada pembuangan obat larut air melalui
ginjal lebih besar. Faktor yang berpengaruh pada pembuangan di
pasien geriatri adalah penurunan massa ginjal, aliran darah kortikal
dan laju filtrasi glomerulus.5
2.2 Masalah khusus pada operasi reseksi trans-urethra
a. Posisi Litotomi
Posisi litotomi adalah posisi yang paling sering digunakan pada
pasien urologi dan ginekologi. Kegagalan dalam posisi akan
menimbulkan nyeri tekanan, perlukaan pada saraf, atau sindrom
kompartemen. Dua orang diperlukan untuk membantu pasien
berposisi litotomi di awal dan di akhir. Bagian kaki tempat
menumpu harus dilengkapi bantalan agar tidak menggangu
sirkulasi. Kerusakan pada saraf tibial akan berakibat kehilangan
fungsi dorsiflexi pada kaki. Fleksi yang berlebihan pada paha akan
melukai saraf obturator dan menarik saraf sciatic. Saraf yang
paling sering terluka pada pasien litotomi adalah plexus
lumbosacral. Plexus brachialis juga dapat terluka apabila terlalu
hiperekstensi ke axilla.
Pasien litotomi juga akan mengalami pengurangan kapasitas
residual paru-paru yang dapat menyebabkan atelektasis dan
hipoksia. Elevasi pada kaki menyebabkan peningkatan sirkulasi
sentral dan dapat memperparah gagal jantung kongestif, kardiak
output juga meningkat. Terlalu cepat menurunkan kaki dari posisi
litotomi dapat mengurangi aliran darah balik ke vena dan dapat
menyebabkan hipotensi. Setelah kembali dari posisi litotomi,
tekanan darah pasien harus diawasi.2,6,7
4
Gambar 1. Posisi litotomi A: strap stirrups B: Bier-Hoff Stirrups
C: Allen Stirrups.2
b. Penyulit cairan irigasi, bisa menimbulkan intoksikasi cairan.
Cairan irigasi tidak boleh berupa elektrolit karena mengganggu
aliran listrik saat kauterisasi.2 Cairan irigasi yang digunakan
adalah glycine 1,5% bersifat hipotonis dengan osmolaritas 220
mosm/L. Perlu diperhatikan hal ini dapat menyebabkan sindrom
TURP. Sindrom TURP adalah sindrom yang disebabkan karena
absorpsi cairan irigasi yang bersifat hipotonis. Cairan diserap dari
sirkulasi umum vena prostat yang terbuka. Hal ini menyebabkan
volume overload, intoksikasi cairan, hipo-osmolaliti, dan
hyponatremia. Gejala sindrom TURP meliputi: perubahan pada
susunan saraf pusat, agitasi, mual , muntah, bingung, gangguan
penglihatan, kejang, dan koma. 7
c. Pasien geriatri juga berisiko terkena hipotermia karena cairan
irigasi yang dingin dan temperature rendah pada kamar operasi.
5
Gunakan selimut, bantalan penghangat dan cairan irigasi serta
intravena yang hangat.2,7
d. Perforasi kantung kemih terkadang disebabkan karena intrumen
bedah atau overdistensi dari kantung kemih. Keluhan seperti nyeri
perut, distensi, abdominal kaku, mual, muntah, atau sampai shock,
sulit dilakukan apabila pasien dalam anestesi umum.
e. Infeksi dan bakteremia disebabkan karena bakteri dan saluran
kemih masuk ke pembuluh darah dan dapat menyebar secara
sistemik. Hal ini bisa dihindari dengan pemberian antibiotik.2,7
f. Pendarahan yang sulit dipantau ditangani pada sistoskopi.
Golongan darah harus crossmatched dan bisa diberikan terutama
pada pasien anemia.2 Darah yang hilang tergantung pada besar
prostat dan durasi operasi. Estimasi kehilangan darah sekitar 7-20
ml/g dari jaringan yang dipotong dan 2-5 ml/menit selama waktu
operasi.2,7
III. PENATALAKSANAAN
3.1 Evaluasi
a. Penilaian status presen pasien prabedah dapat dinilai melalui
anamnesis dengan pasien sendiri atau dengan orang lain (keluarga
atau pengantarnya). Anamnesis yang dilakukan meliputi :
• Identitas pasien
• Anamnesis yang berkaitan dengan penyakit
• Anamnesis Umum:
i. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau
sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit
bedah yang diderita,yang bisa mempengaruhi anestesia
atau dipengaruhi oleh anestesia.
ii. Riwayat pemakaian obat yang mudah berinteraksi
dengan obat anesthesia seperti kortikosteroid, diuretik,
6
obat antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotika
golongan aminoglikosida dan lain lain.
iii. Riwayat operasi terdahulu untuk mengetahui kondisi
pasien perioperatif sebelumnya.
iv. Kebiasaan yang berpengaruh pada kesehatan seperti
merokok, meminum alkohol, atau penyalahgunaan
obat.3
b. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang
yang lain sesuai dengan indikasi.
• Tanda tanda vital seperti Glasgow Coma Scale,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat
badan dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI.
• Kondisi psikis pasien, apakah pasien gelisah, takut, atau
sedang kesakitan karena hal ini mempengaruh tanda
tanda vital pasien.
• Evaluasi fungsi paru dari hasil foto thorax, fungsi
kardiovaskular dan fungsi ginjal. Blood Urea Nitrogen
dan Serum Kreatinin harus diperhatikan karena
berpengaruh pada metabolisme, pilihan dan dosis obat
yang diberikan.
• Evaluasi hemodinamik, penyakit metabolic,
gastrointestinal, hepato-bilier, dan endokrin
• Pemeriksaan darah dengan menilai Hb, Ht, eritrosit,
leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa perdarahan
dan masa pembekuan.
c. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif maka dapat
disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society
7
of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik
praanestesia menjadi 5 (lima) kelas, yaitu :
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit
sistemik.
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
Apabila pembedahannya dilakukan secara darurat,
dicantumkan tanda E (emergency) di belakang angka.3
3.2 Persiapan Praoperatif
a. Persiapan rutin3
• Persiapan di ruang perawatan meliputi persiapan psikis dan
persiapan fisik. Untuk persiapan psikis yang dapat dilakukan
antara lain; (1) Pasien dan atau keluarganya akan diberikan
penjelasan agar mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan yang direncanakan; (2) Pasien yang menderita
stress berlebihan atau pasien yang tidak kooperatif akan
diberikan obat sedatif. Pemberian obat sedatif dapat dilakukan
secara oral pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi
hari, 60 sampai 90 menit sebelum ke IBS. Untuk persiapan
8
fisik yang dapat dilakukan antara lain; (1) Menghentikan
kebiasaan seperti merokok, minum minuman keras dan obat-
obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesia atau
minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik; (2)
Tidak memakai prostesis atau aksesoris; (3) Tidak
mempergunakan cat kuku atau cat bibir; (4) Program puasa
untuk pengosongan lambung; (5) Pasien dimandikan pagi hari
menjelang ke kamar operasi, pakaian diganti dengan pakaian
khusus kamar operasi.
Selain persiapan psikis dan fisik, juga dilakukan persiapan lain
seperti membuat surat persetujuan tindakan medis, dan apabila
dipandang perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan
sistemik yang dijumpai pada saat evaluasi prabedah seperti
transfusi, dialisis, fisioterapi, dan lain-lainnya sesuai dengan
prosedur tetap tatalaksana masing-masing penyakit yang
diderita pasien.
• Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS)
Mengevaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien
serta kelengkapan lainnya, konsultasi di tempat apabila
diperlukan, memberikan premedikasi, dan memasang infus.
• Persiapan di Kamar Operasi
Persiapan yang dilakukan di kamar operasi adalah; (1) meja
operasi dengan aksesoris yang diperlukan; (2) mesin anestesia
dengan sistem aliran gasnya; (3) alat-alat resusitasi antara lain
: alat bantu nafas, laringoskop, pipa jalan nafas, alat hisap,
defibrilator, dan lain-lain; (4) obat-obat anestesia yang
diperlukan; (5) obat-obat resusitasi misalnya adrenalin,
atropin, aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain; (6) tiang
infus dan plester; (7) alat pantau tekanan darah, suhu tubuh,
9
EKG, pulse oksimeter dan kapnograf; (8) kartu catatan medik
anestesia; (9) selimut penghangat.
b. Persiapan khusus:
i. Donor darah
ii. Kanulasi vena sentral dan pengukuran Central Venous
Pressure (CVP) untuk memantau intoksikasi air dan
volume overload.7
3.3 Premedikasi
Pada pasien dengan hipertensi, obat antianginal seperti beta-blocker
terus dilanjutkan sampai saat bedah untuk mencegah rebound
hypertension dan takikardia karena putus obat. ACE inhibitor atau
reseptor antagonis angiotensin II ada kemungkinan menunjukkan
hipotensi selama operasi karena pengurangan volume intravaskular.
Disarankan ACE inhibitor dan reseptor antagonis angiotensin II
dihentikan pada hari operasi dan dilanjutkan setelah volume
intravascular stabil untuk menghindari disfungsi ginjal.4 Obat yang
dapat menyebabkan kebingungan atau delirium postoperasi seperti
scopolamine harus dihindari.7
3.4 Pilihan Anestesi
Pada reseksi trans-uretrae, anestesi regional dianggap sebagai pilihan
terbaik. Anestesi diberikan pada area yang diblokir yaitu area S2-S4
untuk memblokir persarafan urethra, prostat, dan leher kantung kemih,
blok sampai T10-T12 untuk kantung kemih. Blok subarachnoid
dilakukan di L3-L4 atau L4-L5 pada posisi duduk. Obat yang
digunakan adalah bupivacaine dengan dosis 2,5-3ml 0,5%.6,7 Anestesi
regional dipilih untuk prosedur TURP karena beberapa alasan :
10
• Dapat menunjukkan dan memonitor kondisi mental pasien saat
masih sadar sehingga dapat mendeteksi dini adanya sindrom
TURP.
• Menyebabkan vasodilatasi dan kembalinya darah dari
ekstrimitas perfier sehingga mengurangi resiko overload
sirkulasi.
• Menurunkan tekanan darah sehingga mengurangi pendarahan
selama operasi.
• Mengurangi insiden hipertensi dan takikardi yang sering pada
anestesia umum.
• Menyediakan akses analgesia postoperatif yang lebih mudah.
• Jika dibandingkan dengan anestesia umum, analgesia regional
sedikit menimbulkan kejadian trombosis pascabedah, juga
lebih sedikit menyembunyikan gejala dari sindroma TURP
atau perforasi buli-buli.6,7
3.5 Pemantauan Selama Anestesi
a. Dalam pemantauan rutin pasien yang menjalani anestesia dan
reanimasi, tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di
dalam kamar bedah selama pemberian anastesia/analgesia. Hal ini
bertujuan agar tenaga anestesia yang berkualifikasi harus selalu
ada untuk memantau pasien dan memberi antisipasi segera
terhadap perubahan abnormal yang terjadi. Selama pemberian
anestesia/analgesia, jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dasn
sirkulasi pasien harus dievaluasi secara teratur jalan nafas,
oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu tubuh pasien.
Pemantauan jalan nafas selama anestesia dilakukan baik dengan
teknik sungkup maupun intubasi trakea secara lengkap dan
kontinyu. Pada pola nafas spontan, pemantauan dilakukan melalui
gejala/tanda sebagai berikut: terdengar suara nafas patologis,
11
gerakan kantong reservoir terhenti atau menurun, tampak gerakan
dada paradoksal. Pada nafas kendali: tekanan inflasi terasa berat,
dan tekanan positif inspirasi meningkat.
Ventilasi dievaluasi dengan diagnostik fisik, dilakukan secara
kualitatif dengan mengawasi gerak naik turunnya dada, gerak
kembang kempisnya kantong reservoar atau auskultasi suara
nafas.
Pemeriksaan terhadap fungsi sirkulasi pasien dengan menghitung
denyut nadi, mengukur tekanan darah menggunakan tensimeter,
EKG, dan tekanan vena sentral. Produksi urin juga diperhatikan
untuk melihat perfusi ginjal. Apabila dicurigai atau diperkirakan
akan atau terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus
diukur secara kontinyu pada daerah sentral tubuh melalui esofagus
atau rektum dengan termometer khusus yang dihubungkan dengan
alat pantau yang mampu menayangkan secara kontinyu.
b. Pemantauan Khusus terhadap kasus reseksi trans-uretrae disertai
dengan resiko tinggi payah jantung, dilakukan pemantauan:
• Tekanan vena sentral untuk mengetahui kondisi volume darah
pasien karena pasien beresiko mengalama overload sirkulasi
disebabkan oleh absorbsi cairan irigasi.4
• Pemeriksaan kadar natrium plasma karena pilihan pemberian
cairan pada pasien yang menjalani prosedur TURP adalah
normal saline yang mengantung sodium 154 mEq/L.3,4
3.6 Terapi Cairan dan Transfusi Darah
Pada pendarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah
pasien berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila
terjadi pendarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan
transfusi darah.3 Pada pasien dengan sindrom TURP, terapi restriksi
12
cairan, dengan pemberian diuretik (furosemid), larutan garam
hipertonik untuk hyponatremia simptomatik secara lambat
peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L per hari.6 Darah yang hilang
tergantung pada besar prostat dan durasi operasi. Estimasi kehilangan
darah sekitar 7-20 ml/g dari jaringan yang dipotong dan 2-5 ml/menit
selama waktu operasi.2,7
3.7 Pemulihan Anestesia
Prosedur anestesi regional pasien setelah prosedur TURP adalah perbaikan
dari posisi litotomi. menurunkan kedua tungkai mendadak akan
menurunkan aliran balik darah vena yang menyebabkan hipotensi.
Tekanan darah selalu segera diukur setelah tungkai diturunkan.6 Posisi
kepala elevasi lebih tinggi untuk pernafasan yang lebih baik. sungkup
muka atau nasal kanula dengan oksigen untuk mencegah hipoksemia dan
hipoventilasi. Pasien dengan anestesi regional juga beresiko untuk
mengalami mual muntah setelah pulih, karena itu diberikan antiemetik
berupa ondansentron 4 mg intravena tidak diencerkan.1 Berikan nutrisi
cairan yang mengandung air, elektrolit, karbohidrat, dan asam amino.3
3.8 Paska Bedah
a. Pada paska bedah, pasien dirawat di ruangan pulih sampai terjadi
proses pemulihan dari anestesia durante. Perhatian khusus
ditujukan pada depresi pernafasan pasien. Pasien harus mampu
untuk bernafas spontan tanpa ada penurunan kesadaran. Pada
pasien dengan gangguan hemodinamik dan penyakit pernafasan,
pasien segera dikirim ke ruang terapi intensif untuk terapi lebih
lanjut.
b. Perhatian terhadap usaha penanggulangan nyeri luka operasi dan
nyeri akibat tarikan fiksasi kateter urin. Sambungkan jarum
13
dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan,
suntikan obat analgetik lokal secara perlahan-lahan. Kombinasi
epidural bupivakain ditambah dengan morfin atau fentanyl akan
memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada penggunaan
anestesi lokal saja. Narkotik epidural memberikan efek analgesik
yang dominan. pemberian fentanil 50-100mcg, sufentanil 20-30
mcg, atau morphin 3-5 mg dapat menghilangkan nyeri pada orang
dewasa dengan baik, akan tetapi depresi nafas yang tertunda
dengan morphin mernerlukan perhatian khusus selama 12-24 jam
setelah pemberian..1
c. Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah beberapa observasi 60
menit setelah pemberian narkotik, antibiotik, antiemetic,
penghentian oksigen, dan tindakan lain yang diberikan spesialis
anestesi.3 Pasien dikirim ke PostAnesthesia Care Unit (PACU)
apabila disupervisi anestesis.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol, W.M. Anesthesiology.
2nd ed. New York : Mc Graw Hill, 2012 : 822-1141
2. Morgan GE., Mikhail MS. Anesthesia for Genitourinary Surgery, In : Clinical
Anesthesiology, 5th ed., Connecticut : Applenton & Lange. 2013 : 687 - 705
3. Mangku, G., Senapathi, T.G.A. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : PT
Macanan Jaya Cemerlang, 2017 : 196 – 198.
4. Yao and Artusio. Anesthesiology Problem-Oriented Patient Management. 7th
ed. Wolter’s Kluwer. 2012 : 645 – 729
5. Maurizio Gallieni and Giovanni Cancarini. Drugs in the elderly with chronic
kidney disease: beware of potentially inappropriate medications. Nephrol
Dial Transplant (2015) 30 (3): 342-344.
6. Bisri Tatang, Thaib Roesli, Rehatta Margaretta, et al. Modul Pendidikan
Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi. Kolegium Anestesi dan Reanimasi
Indonesia 2008 : 275-292
7. Lee.C.Y, Manual of Anesthesia. McGrawHill (2006) : 557 – 564.