50
CASE REPORT GENERAL ANESTESI PADA PASIEN LAKI-LAKI USIA 42 TAHUN DENGAN REMOVAL OF IMPLANT UNION FRAKTUR CLAVICULA DEKSTRA Oleh : Astri Khaerunisa Putri, S.Ked J510145032 PEMBIMBING : dr. Damai S, Sp.An KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 1

Case report Anestesia ROI GA

Embed Size (px)

Citation preview

CASE REPORT

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN LAKI-LAKI USIA

42 TAHUN DENGAN REMOVAL OF IMPLANT UNION

FRAKTUR CLAVICULA DEKSTRA

Oleh :

Astri Khaerunisa Putri, S.Ked J510145032

PEMBIMBING :

dr. Damai S, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

1

CASE REPORT

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN LAKI-LAKI USIA

42 TAHUN DENGAN REMOVAL OF IMPLANT UNION

FRAKTUR CLAVICULA DEKSTRA

Yang Diajukan Oleh :

Astri Khaerunisa Putri, S.Ked J510145032

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari , Mei 2015

Pembimbing :

dr.Damai S, Sp.An (…………………………)

Kabag. Profesi Dokter

dr.Dona Dewi Nirlawati (......................................)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

2

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………….. 1

Halaman Persetujuan …………………………………………… 2

Daftar Isi ……………………………………………………….. 3

Daftar Gambar …………………………………………………. 4

Bab I Pendahuluan…………………………………………….. 5

Bab II Status Pasien……………………………………………..

Bab III Tinjauan Pustaka

A. Anestesi Umum…………………………………………..

B. Fraktur Clavicula……………………………………...…..

7

15

15

38

Bab IV Pembahasan ……………………………………………. 45

Bab V Kesimpulan………………………………………………

Daftar Pustaka

49

3

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skor Mallapati

Gambar 2. Oropharyng Airway

Gambar 3. Nasopharyng Airway

Gambar 4. Face Mask Anesthetia

Gambar 5. Anatomi Clavicula

Gambar 6. Fraktur Clavicula

BAB I

4

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari

berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan

penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,

pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan

nyeri menahun. Kata anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell

Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat

sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan

nyeri pembedahan. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada

suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra

anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan

anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.

Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa

anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca

anestesi.1,2,3

Removal of implant yang didefinisikan sebagai metode

pengangkatan pen pada fraktur yang telah terjadi penyambungan atau

union.1

Pemilihan jenis anestesi untuk Removal of impant (ROI)

ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan

umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi

dan perawat anestesi. Mengingat ROI merupakan tindakan bedah yang

dilakukan dengan general anestesi, sehingga perlu kewaspadaan terhadap

komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi

tindakan bedah dan anestesi. Adapun komplikasi yang terdapat pada

teknik general anestesi seperti mual, muntah, sakit tenggorokan,

menggigil, dan butuh waktu dalam pengembalian fungsi mental normal.

Terkait dengan kondisi hipotermia yang gawat (jarang terjadi) dimana

kondisi otot yang terkena paparan beberapa zat anestesi umum dapat

5

menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi hiperkarbia, asidosis

metabolik, dan hiperkalemia.1,3

BAB II

6

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Bp. J

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 42 tahun

Alamat : Ngentak 3/5 Waru Kebak kramat, Karanganyar

Diagnosis Pre Op : Union Fraktur Clavicula Dekstra

Tindakan Op : Removal of Implant

Tanggal Masuk : 6 Mei 2015

Tanggal Operasi : 7 Mei 2015

II. Anamnesis

i. Keluhan Utama

Pasien dengan rencana melepas pen

ii. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD Karanganyar untuk melakukan pelepasan

pen, dikarenakan kurang lebih 5 tahun yang lalu pasien mengalami

kecelakaan saat mengendarai sepeda motor yang mengakibatkan

tulang klavikula kanan patah

iii. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi Obat : disangkal

Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat makan makanan tidak berserat : diakui

iv. Riwayat keluarga

Riwayat Hipertensi : disangkal

7

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi Obat : disangkal

Riwayat keluhan serupa : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Fisik

a) Status Generalis

Keadaan Umum : Compos Mentis

Vital Sign :

- Tekanan darah : 130/80 mmHg

- Frekuensi Nadi : 84 x/ menit

- Frekuensi Nafas : 22x/ menit

- Suhu : 36,6 o C

Kepala

Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik(-/-) nafas cuping

hidung(-)

Leher

Retrraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), ↑JVP (-),

pembesaran kelenjar limfe (-/-)

Thoraks

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi :redup

Auskultasi :bunyi jantung S I-II irama regular, bising

jantung (-)

Paru

Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak di paru,

dan tidak ditemukannya retraksi intercostae.

Palpasi : Fremitus sama depan dan belakang

Perkusi :

Depan Belakang

8

Sonor Sonor Sonor Sonor

Sonor Sonor Sonor Sonor

Sonor Sonor Sonor Sonor

Auskultasi:

Depan Belakang

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler

Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler

Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan dada,tidak ada

darm contour, tidak ada darm steifung, ada luka bekas

operasi

Auskultasi : peristaltic usus (+) normal

Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :

Clubbing finger tidak ditemukan

Tidak ditemukan edema.

Akral hangat

b) Status Lokalis

Regio Clavicula Dekstra

Look: tampak jaringan parut di area clavicula dekstra

Feel: nyeri tekan (-) krepitasi (-)

Movement : dalam batas normal

9

+ +

+ +

2. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Darah Rutin

Hemoglobin 15,4 14.0 – 18.0

Leukosit 7.080 4000 - 10.000

Trombosit 278000 150000 -300000

CT 04.30 menit 2-8 menit

BT 2 menit 1-3 menit

Kreatinin 0,96 0,8-1,1

Ureum 22,7 10-50

Glukosa Sewaktu 87 70-150

c) Kesimpulan Konsul Anestesi

Seorang laki-laki usia 42 tahun dengan diagnosis union fraktur

clavicula dekstra yang akan dilakukan tindakan operasi ROI. Hasil

laboratorium darah dalam batas normal.

Kegawatan Bedah : (-)

Derajat ASA : I

d) Laporan Anestesi Pasien

- Diagnosis pra-bedah : Union Fraktur Clavicula Dekstra

- Diagnosis post-bedah : Post OP ROI

- Jenis pembedahan : mayor

Status Anestesi

Persiapan Anestesi

1. Persetujuan operasi tertulis

2. Puasa 8 jampre operatif

3. Infus RL pre-loading 1000cc

4. Jenis anestesi : General Anestesia

5. Teknik Anestesi : Inhalasi dengan Face Mask

6. Induksi : Propofol

10

7. Obat yang diberikan : Cefuroxime, Ketoprofen.

8. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,

perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi

anestesi.

9. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.

Penatalaksanaan Anestesi

Jenis anestesi : General Anestesi (GA)

Premedikasi : Ondancetron 1 amp

Ketoprofen 1 amp

Medikasi : Propofol 1 amp

O2 4 liter/menit

Teknik anestesi : * Pasien dalam posisi telentang

(supine)

* Cek infuse pasien, mesin

anestesi serta sistem sirkuitnya

dan gas anestesi yang akan

digunakan

* O2, N2O dan agent sudah

disiapkan (dibuka)

* Menyiapkan stetoskop, face

mask no. 3, suction

* setelah obat premedikasi dan

induksi masuk, kita

memastikan pasien sudah

11

dalam keadaan tidur, pasang

sungkup muka ukuran 3

(dewasa) dan diberikan

pemeliharaan anestesi dengan

sevofluran 2.0%

* mengawasi pola napas

pasien, bila tampak tanda-

tanda hipoventilasi berikan

napas bantuan intermiten

secara sinkron sesuai dengan

irama napas pasien, pantau

denyut nadi dan tekanan darah

* setelah operasi selesai,

hentikan aliran gas/obat

anestesi inhalasi dan berikan

oksigen 100% selama 2-5

menit

Respirasi : Spontan

Posisi : Telentang

Jumlah cairan

yang masuk

: Koloid = 500 cc ( HES)

Perdarahan selama

operasi

: ± 80 cc di tabung suction

Pemantauan selama anestesi :

Mulai anestesi : 09.20

12

Mulai operasi : 09.30

Selesai anestesi : 09.40

Selesai operasi : 09.35

Durasi Operasi : 15 Menit

Monitoring selama operasi.

Waktu Tekanan

darah

Nadi SpO2 Keterangan

09.20 120/80 80 99 Terpasang infuse HES

09.25 124/78 82 99 General anestesi

dilakukan

09.20 122/82 80 99 Pelaksanaan Operasi

09.25 124/80 80 99

09.30 124/81 82 99

09.35 120/79 80 99

1. Di Ruang Recovery

- Jam 09.45 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi

telentang, pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring

tanda vital, infuse RL, diberikan O2 3 liter per menit.

Tekanan darah: 120/80 mmHg; Nadi: 80x/menit, Suhu: 36C

- Jam 10.00 : pasien dalam kondisi stabil baik, dipindahkan ke

Bangsal Kantil 2

Monitoring Pasca Anestesi

Waktu Tekanan

Darah

Nadi RR Keterangan

13

09.45 120/80 80 20 O2 2L/mnt, Monitoring

tanda Vital

09.50 120/80 82 20 Monitoring tanda Vital

09.55 120/80 80 20 Monitoring tanda Vital

10.00 120/80 80 20 Monitoring tanda Vital

Aldrette Score 10

2. Instruksi Pasca Anestesi

a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun

<100 mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan

metoclopramide. Bila kesakitan, berikan Ketorolac 1 ampul.

b. Lain-lain

Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah orthopedi

Puasa sampai dengan flatus

Post operasi, cek Hb, bila < 10mg/dL dilakukan transfuse

sampai Hb≥10

Kontrol balance cairan

Monitor vital sign

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum (General Anestesi)

14

1. Definisi

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri

secara sentral yang dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan

untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada

pasien yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam

keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi

memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan

yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang

berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang

ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

Komponen anestesi yang ideal terdiri dari hipnotik, analgetik,

dam relaksasi otot.1

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan

secara inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai

ke tempat dimana akan dilakukan operasi. Satu hal yang perlu

dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu

menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien,

anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.2

Metode pemberian anestesi umum dapat dilihat dari cara

pemberian obat, terdapat 3 cara pemberian obat pada anestesi

umum2,3:

1. Parenteral

Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena

maupun intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan

operasi yang singkat atau untuk induksi anestesi. Obat anestesi

yang sering digunakan adalah1:

Pentothal

15

Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis

permulaan 4-6 mg/kg BB danselanjutnya dapat ditambah

sampai 1 gram.

Penggunaan:

- Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan

inhalasi.

- Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage,

reposisi, insisi abses.1

Ketalar (Ketamine)

Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50

mg/cc.Dosis: IV 1-3 mg/kgBB,IM 8-13 mg/kgBB1-3

menit setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.1

Penggunaan:

- Operasi-operasi yang singkat

- Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah1

2. Perectal

Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan

selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan

diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaanmata,

telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-

bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose

dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak. Syaratnya adalah:

- Rectum betul-betul kosong

- Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30

menit.

Obat-obat yang digunakan:

16

- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB

- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB1

3. Per inhalasi

Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam

paru-paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak

mengakibatkan narkose.1

Obat-obat yang dipakai:

a. Induksi halotan

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau

campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4

ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4

ltr/mnt.Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan,

untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai

konsentrasi yang diperlukan.1

b. Induksi sevofluran

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien

jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan

konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan

halotankonsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.1

c. Induksi dengan enfluran (ethran), isofluran (foran, aeran )

atau desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk

dan waktu induksi menjadi lama.1

Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-

sama udara inspirasi masuk ke dalam saluran pernafasan, di

dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi

darah. Demikian pula yang disuntikkan secara

intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke

17

dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi

darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan.

Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah

seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih

banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya

sedikit seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung

obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami

metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan

lain. 1

Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–

paru. Ekskresi bisa dalam bentuk asli atau hasil

metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat

paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain1:

- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).

- Faktor sirkulasi

- Faktor jaringan.

- Faktor obat anestesi.1,2

2. Stadium anestesi

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh

pemberi anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan

jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi.

Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat.

Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan

melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot

dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether1.

a. Stadium I

18

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi.

Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran.

Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.1

b. Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari

hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini

penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil

melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur,

lakrimasi (+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada,

dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau

defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan

dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur.

Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera

diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan

premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan

induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga

dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi1.

c. Stadium III

Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai

paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:

Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola

mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan

abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks

cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah

menghilang, tonus otot menurun.

Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan

paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur,

volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai

19

terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai

melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang

dan tonus otot makin menurun.

Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai

paralise seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan

abdominal lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis

otot interkostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi

hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan peritoneal

menghilang, tonus otot makin menurun.

Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise

diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan

lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi

paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi

flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani

negative.

d. Stadium IV

Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga

disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai

dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi

respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.1

3. Persiapan Anestesia Umum:

Praktek anestesi yang aman dan efisien memerlukan

personil bersertifikat, obat-obatan dan peralatan yang tepat, serta

keadaan pasien yang optimal.1

- Persyaratan minimum untuk anestesi umum

Kebutuhan infrastruktur minimum untuk anestesi umum

termasuk ruang yang cukup terang dengan ukuran yang

memadai, sebuah sumber oksigen bertekanan (paling sering di

pipa); perangkat hisap yang efektif; monitor yang sesuai

20

dengan standar ASA (American Society of Anesthesiologist) ,

termasuk denyut jantung, tekanan darah, EKG, denyut nadi

oksimetri, kapnografi, suhu, dan konsentrasi oksigen

terinspirasi dan dihembuskan dan zat anestesi yang

diaplikasikan.1

Selain ini, beberapa peralatan dibutuhkan untuk

memasukkan zat anestesi. Alat yang sederhana seperti jarum

dan jarum suntik, jika obat harus diberikan sepenuhnya

intravena. Dalam sebagian besar keadaan, ini berarti

membutuhkan tersedianya sebuah mesin yang memungkinkan

untuk mengetahui pemasukkan gas dan memelihara anestesi

tetap berjalan.1

- Menyiapkan pasien

Kondisi pasien harus cukup dipersiapkan. Metode yang

paling efisien adalah pasien ditinjau oleh orang yang

bertanggung jawab untuk memberikan anestesi dengan baik

sebelum tanggal operasi.1

Evaluasi praoperasi memungkinkan pemantauan

laboratorium yang tepat, perhatian terhadap kondisi medis

pasien yang terbaru atau yang sedang berlangsung, diskusi dari

setiap reaksi sebelumnya yang merugikan pribadi atau

keluarga untuk anestesi umum, penilaian status fungsional

jantung dan paru, dan rencana anestesi yang efektif dan aman.

Hal ini juga berfungsi untuk meredakan kecemasan dari

pembedahan yang tidak diketahui oleh pasien dan keluarga

mereka. Secara keseluruhan, proses ini memungkinkan untuk

optimasi pasien pada waktu perioperatif.1

Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi

memungkinkan pelaksana anestesi untuk fokus secara khusus

pada kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk

membuka mulut, gigi longgar atau bermasalah, keterbatasan

21

dalam rentang gerak leher, anatomi leher, dan presentasi

Mallampati (lihat di bawah). Dengan menggabungkan semua

faktor, rencana yang sesuai untuk intubasi dapat diuraikan dan

langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil untuk

mempersiapkan bronkoskopi serat optik, laringoskopi video,

atau berbagai intervensi sulit terhadap saluran napas lainnya1.

- Manajemen jalan napas

Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam manajemen jalan

napas, meliputi kondisi dibawah ini:

1. Rahang yang kecil atau mundur

2. Gigi rahang atas yang menonjol

3. Leher yang pendek

4. Ekstensi leher terbatas

5. Pertumbuhan gigi yang buruk

6. Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan

7. Trauma pada wajah

8. Fiksasi antar-gigi

9. Penggunaan cervical collar yang keras1

Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan

pengukuran orofacial untuk memprediksi intubasi sulit. Yang

paling banyak digunakan adalah skor Mallampati, yang

mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas

divisualisasikan melalui mulut terbuka.1

Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk

dengan mulut terbuka dan lidah yang menonjol tanpa

phonating. Pada banyak pasien yang diintubasi karena indikasi

emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin. Sebuah

penilaian sederhana dapat dilakukan pada pasien dalam posisi

terlentang untuk mendapatkan gambaran dari ukuran bukaan

mulut dan perkiraan lidah dan orofaring sebagai faktor dalam

keberhasilan intubasi (lihat gambar di bawah)

22

Gambar 1. Skor Mallampati

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi

prediksi intubasi sulit. Namun, tidak ada sistem penilaian yang

sensitive 100% atau spesifik 100% . Akibatnya, praktisi

mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka untuk

menilai jalan napas.1

Pelaksana anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua

faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih

teknik anestesi yang optimal sesuai kondisi pasien. Beberapa

pertimbangan dalam melakukan anestesi umum meliputi:1

4. Persiapan Pre-anestesia

Persiapan mental dan fisik pasien

a. Anamnesis

- Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan

pekerjaan

- Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang

mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti

penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik,

penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit

ginjal.

23

- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan

mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat

anestesi.

- Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa

kali dan selang waktunya, serta apakah pasien mengalami

komplikasi saat itu.

- Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi

jalannya anestesi misalnya merokok, alkohool, obat-obat

penenang atau narkotik.1,2

b. Pemeriksaan fisik

- Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat,

terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan

pasca bedah.1

- Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan

darah, frekuensi nadi, pola dan frekuensi pernafasan.1

- Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum,

sesak nafas, tanda-tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian

gigi palsu, trismus, persendian temporo mandibula.1

- Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu

atau ortopnu, sianosis, hipertensi1

- Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang

dapat membuat tekanan intra abdominal meningkat

sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.1

c. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin rutin,

pemeriksaan radiologi, dan lainnya.1

5. Perencanaan anastesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk

menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada

operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.1

6. Merencanakan prognosis

24

Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang berasal dari The American Society of Anesthesiologists

(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :1

- ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia

- ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang

- ASA 3: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga

aktivitas rutin terbatas

- ASA 4: pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat

- ASA 5: pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

- Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf

E.1,2,3

7. Persiapan pada hari operasi

Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :

Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.

Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-

6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak

puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi

lambung.

Pengosongan kandung kemih

Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).

Pemeriksaan fisik ulang

Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori

lainnya.

Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi

atau secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi1

8. Premedikasi

25

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan

bangun dari anestesi diantaranya :

Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam

Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya

sulfas atropindan hiosin

Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin

Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya

ondansetron

Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam

Mengurangi isi lambung

Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya

tracurium, sulfas atropine1

Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :

Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin

Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine,

misalnya diazepam dan midazolam. Diazepam dapat

dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum

induksi anesthesia

Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital,

sekobarbital

Antikolinergik, misal atropine dan hiosin

Antihistamin, misal prometazine

Antasida, misal gelusil

H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan

ranitidine. Ranitidine diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum

operasi1

9. Persiapan induksi

Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :

26

a. S : Scope (stetoskop, laringoskop)

Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut

lebih luas serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi

epiglotis, pita suara dan trakea.

Ada dua jenis laringoskop, yaitu:

- Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada

laringoskopi dewasa.

- Blade lurus.

b. T : Tube (pipa endotraceal, LMA)

- Pipa Endotrakeal

Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung

ke dalam trakea.

- Laringeal mask airway (LMA)

Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari

ventilasi face mask atau intubasi ET. Kontraindikasi

pemasangan LMA pada pasien-pasien dengan resiko aspirasi

isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan dukungan

ventilasi mekanik jangka waktu lama. LMA terdiri dari 2

macam : :

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas

standar dan lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya

berhubungan dengan esofagus

c. A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka,

pipa oropharing)

- Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)

Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah

dari dinding belakang faring. Alat ini berguna pada pasien

yang masih bernapas spontan, alat ini juga membantu saat

27

dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit

pipa endotrakheal (ETT)

Gambar 2. Oral pharyngeal airway Gambar 3. Nasopharyngeal airway

- Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)

Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat

bantu jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis tidak

mungkin memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya

trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).

- Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan

udara/gas anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke

jalan nafas pasien

Gambar 4. Face Mask Anesthesia

d. T : Tape (plaster)

Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi

supaya tidak terlepas

e. I : Introducer (stilet/ forceps Magill)

28

Stilet (mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa

endotrakeal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi

(Mc gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal

atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

f. C : Connection

Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi

dengan sungkup muka, serta penghubung-penghubung yang lain,

g. S : Suction

Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara

menyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.1,2,3

10. Keuntungan

- Menurunkan kesadaran dan ingatan pasien selama operasi

- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu

yang lama

- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas,

pernapasan, dan sirkulasi

- Dapat digunakan dalam kasus-kasus yang sensitif terhadap

zat anestesi local

- Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi

terlentang

- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur operasi

dengan durasi waktu yang tak dapat diprediksi atau pada

keadaan penambahan waktu operasi

- Dapat diberikan dengan cepat dan reversible1,2,3

11. Kekurangan

- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan

biaya yang terkait

- Membutuhkan persiapan pasien praoperasi

- Dapat menyebabkan fluktuasi perubahan fisiologis yang

memerlukan intervensi aktif

29

- Terkait dengan komplikasi kurang serius seperti mual atau

muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan

dibutuhkan waktu dalam pengembalian fungsi mental yang

normal

- Terkait dengan kondisi hipertermia yang gawat, sebuah

kondisi yang jarang, terkait dengan kondisi otot yang terkena

paparan beberapa (tidak semua) zat anestesi umum yang

dapat menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi

mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan

hyperkalemia.1

12. Cara memberikan anestesi

Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu

memberikan obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama

operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup

dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman

anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus

menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau

pemeliharaan.

Kedaaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan

anestesi. Pada operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot,

bila relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena

tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka

abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar,

operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan.

Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga

bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih

relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara

menambah dosis obat.1

Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah

dosis obat anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga

30

menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian

keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada

penderita yang sensitif atau memang sudah ada gangguan pada

organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik

tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan,

yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya

menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas

otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi. 1

Pada balance anestesi karena menggunakan muscle

relaxant, maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa

berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot

respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus

dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan,

penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas

penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian pelaksana

anestesi, karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik

respirasi kendali atau control respiration. 1

Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus

dalam keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance

anestesi maka ada beberapa keuntungan antara lain:

- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital

dapat dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat

anestesi inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita

cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan

oleh penderita yang tidak sadar.

- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita

bisa melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2

dalam darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi

otak. Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan

31

tekanan darah untuk operasi yang memerlukan tehnik

hipotensi kendali.

- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka

mempermudah tindakan operasi pada rongga dada

(thoracotomy) tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita

juga dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan

sekehendak kita tergantung keperluan. Dengan demikian

berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3

macam yaitu:

- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara

spontan.

- Respirasi kendali/respirasi terkontrol /balance anestesi:

pernafasanpenderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.

- Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih

kita berikan sedikit bantuan.1

Berdasarkan sistem aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat

anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open,

closed, dan semi closed.

1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak

ada hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita

dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan

tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju

udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi,

menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai

obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko

terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban

respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat

dilakukan respirasi kendali. 1

32

2. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan

reservoir bag selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah

dengan klep 1 arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar,

klep ini disebut non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat

keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding

system open.1

3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas

anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi

mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung

yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime.

Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi

dan oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk

diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui

klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka

pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang

menimbulkan polusi kamar operasi.1

4. Dalam system closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi

disini tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju

udara bebas. Penambahan oksigen dan gas anestesi harus

diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan

hipoksia dan anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak

berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa berakibat

tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya

alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat

anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada system closed dan

semiclosed juga disebut system rebreathing, karena udara

ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk

membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga

disebut system nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi

yang diinspirasi kembali, system ini tidak perlu sodalime. Untuk

33

menjaga agar pada system semi open tidak terjadi rebreathing,

aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya

diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi penderita.1

System Rebreathing Reservoir

bag

Sodalime Tingkat

polusi

kamar

operasi

Tingkat

keborosan

obat

Open - - - ++++ +++

Semi

open

- + + +++ ++

Semi

closed

+ + + ++ +

Closed + + + + -

Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena,

maka disebut anestesi intravena total (total intravenous

anesthesia/TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi

menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile

Inhalation and Maintenance Anesthesia)1

13. Pemulihan anestesi

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka

anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi.

Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi

aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan

oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya

ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-

angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. 1

34

Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli

juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan

dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah. Maka

terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke

alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut

kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari

alveoli akan berdifusi ke dalam darah. 1

Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat

oksigenisasi) difusi kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar

oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi obat

anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi

obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka

kadarnya di dalam darah makin menurun.1

Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam

darah, selain akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian

mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan

keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai

dengan turunnya kadar obatanestesi di dalam darah. Bagi penderita

yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya, berangsur-

angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat

metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.1

Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi

spontan tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal

menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang

menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi

(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita

masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita

sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan

penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah,

gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya

tekanan intra cranial.1

35

Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam

mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu

antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu

ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam.

Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi

dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat

pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan

reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase.2,3

Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun

napas sudah adekuat bagi penderita yang sebelumnya mendapat

muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi

setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam,

batuk, menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas.

Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh

muscle relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.1

Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan

ke ruang pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai

Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang

perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke

ICU, penilaian meliputi1,2,3:

Hal yang dinilai Nilai

1. Kesadaran:

Sadar penuh

Bangun bila dipanggil

Tidak ada respon

2

1

0

2. Respirasi:

Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk

Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan

Apnoe

2

1

0

36

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi

Perbedaan +- 20

Perbedaan +- 50

Perbedaan lebih dari 50

2

1

0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas

perintah:

4 ekstremitas

2 ekstremitas

Tidak dapat

2

1

0

5. Warna kulit

Normal

Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik

Cyanotic

2

1

0

B. Fraktur Clavicula

1. Definisi Fraktur

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,

tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami

kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan

trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Kebanyakan fraktur

terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan

membengkok, memutar dan tarikan.6

2. Insidensi dan Epidemiologi

Terdapat 5-10% fraktur clavicula dari semua jenis fraktur. Fraktur

ini kebanyakan terjadi pada pria yang berusia kurang dari 25 tahun,

namun juga lebih sering terjadi pada pria yang lebih tua, yaitu >55

tahun dan pada wanita >75 tahun.4,6

3. Etiologi

37

Menurut sejarah fraktur pada klavikula merupakan cedera yang

seringterjadi akibat jatuh dengan posisi lengan terputar/tertarik keluar

(outstrechedhand) dimana trauma dilanjutkan dari pergelangan tangan

sampai klavikula, namun baru-baru ini telah diungkapkan bahwa

sebenarnya mekanisme secara umum patah tulang klavikula adalah

hantaman langsung ke bahu atau adanya tekanan yang keras ke bahu

akibat jatuh atau terkena pukulan benda keras.6

Patah tulang dapat dibagi menurut ada tidaknya hubungan antara

patahan tulang dengan dunia luar, yaitu:4

1. Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit

masih utuh,tulang tidak menonjol melalui kulit.

2. Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena

adanyahubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka

potensial terjadi infeksi.3,6

Lokasi patah tulang pada klavikula diklasifikasikan menurut Dr. FL

Allman tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer pada tahun 1968,

yang membagi patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok :5

- Kelompok 1: patah tulang pada sepertiga tengah tulang klavikula

(insidensi kejadian 75-80%).Pada daerah ini tulang lemah dan

tipis. Umumnya terjadi pada pasien yang muda.

- Kelompok 2: patah tulang klavikula pada sepertiga distal (15-

25%). Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament

coracoclavicular yakni(yakni, conoid dan trapezoid).

Tipe 1. Patah tulang secara umum pada daerah distal tanpa

adanyaperpindahan tulang maupun ganguan ligament

coracoclevicular.

Tipe 2 A. Fraktur tidak stabil dan terjadi perpindahan

tulang, dan ligamentcoracoclavicular masih melekat pada

fragmen.

38

Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak

ataupunkedua-duanya.

Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang

melibatkanAC joint.

Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum,

sedangkan fragmenproksimal berpindah keatas.

Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa

fragmen.6

- Kelompok 3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal

(5%). Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera

neurovaskuler.6

4. Anatomi

Os clavicula (tulang selangka) berhubungan dengan os sternum di

sebelah medial dan di lateral tulang ini berhubungan dengan os

scapula pada acromion yang dapat diraba sebagai tonjolan di bahu

bagian lateral. Tulang ini termasuk jenis tulang pipa yang pendek,

walaupun bagian lateral tulang ini tampak pipih. Bentuknya seperti

huruf S terbalik, dengan bagian medial yang melengkung ke depan,

dan bagian lateral agak melengkung ke belakang. Permukaan atasnya

relatif lebih halus dibanding dengan permukaan inferior. Ujung medial

atau ujung sternal mempunyai facies articularis sternalis yang

berhubungan dengan discus articularis sendi atau articulatio

sternoclavicularis.6

39

Gambar 5. Anatomi clavicula

5. Patomekanisme

Fraktur clavicula paling sering disebabkan oleh karena

mekanisme kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu

kekuatan yang melebihi kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari

lateral bahu apakah itu karena jatuh, keeelakaan olahraga, ataupun

kecelakaan kendaraan bermotor.5,6

Pada daerah tengah tulang clavicula tidak di perkuat oleh otot

ataupun ligament-ligament seperti pada daerah distal dan proksimal

clavicula. Clavicula bagian tengah juga merupakan transition point

antara bagian lateral dan bagian medial. Hal ini yang menjelaskan

kenapa pada daerah ini paling sering terjadi fraktur dibandingkan

daerah distal ataupun proksimal.6

Gambar 6. Fraktur Clavicula

6. Manifestasi klinis

Gambaran klinis pada patah tulang klavikula biasanya penderita

datangdengan keluhan jatuh atau trauma. Pasien merasakan rasa sakit

bahu dandiperparah dengan setiap gerakan lengan. Pada pemeriksaan

fisik pasien akanterasa nyeri tekan pada daerah fraktur dan kadang-

kadang terdengar krepitasipada setiap gerakan. Dapat juga terlihat

kulit yang menonjol akibat desakan darifragmen patah tulang.

Pembengkakan lokal akan terlihat disertai perubahanwarna lokal pada

kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yangmengikuti

40

fraktur. Untuk memperjelas dan menegakkan diagnosis

dapatdilakukan pemeriksaan penunjang.4,5

Evaluasi pada fraktur clavicula yang standar berupa proyeksi

anteroposterior (AP) yang dipusatkan pada bagian tengah clavicula.

Pencitraan yang dilakukan harus cukup luas untuk bisa menilai juga

kedua AC joint dan SC joint. Bisa juga digunakan posisi oblique

dengan arah dan penempatan yang baik. Proyeksi AP 20-60° dengan

cephalic terbukti cukup baik karena bisa meminimalisir struktur toraks

yang bisa mengganggu pembacaan. Karena bentuk dari clavicula yang

berbentuk S, maka fraktur menunjukkan deformitas multiplanar, yang

menyebabkan susahnya menilai dengan menggunakan radiograph

biasa. CT scan, khususnya dengan 3 dimensi meningkatkan akurasi

pembacaan.5

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada fraktur clavicula ada dua pilihan yaitu

dengan tindakan bedah atau operative treatment dan tindakan non

bedah atau konsevatif.6

Pada orang dewasa dan anak-anak biasanya pengobatannya

konservatif tanpa reposisi, yaitu dengan pemasangan mitela. Reposisi

tidak diperlukan, apalagi pada anak karena salah-sambung klavikula

jarang menyebabkan gangguan pada bahu, baik fungsi maupun

keuatannya. Kalus yang menonjol kadang secara kosmetik

mengganggu meskipun lama-kelamaan akan hilang dengan proses

pemugaran. Yang penting pada penggunaan mitela ialah letak tangan

lebih tinggi daripada tingkat siku, analgetik, dan latihan gerak jari dan

tangan pada hari pertama dan latihan gerak bahu setelah beberapa

hari.Tindakan pembedahan dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal

berikut :5

Fraktur terbuka.

Terdapat cedera neurovaskuler.

41

Fraktur comminuted.

Tulang memendek karena fragmen fraktur tumpang tindih.

Rasa sakit karena gagal penyambungan (nonunion).

Masalah kosmetik, karena posisi penyatuan tulang tidak

semestinya (malunion).6

8. Komplikasi

Komplikasi akut:

- Cedera pembuluh darah

- Pneumouthorax

- Haemothorax

Komplikasi lambat :

- Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi

dalam waktu semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya

atau abnormal.

- Non union: kegagalan penyambungan tulang setelah 4 sampai

6 bulan4

9. Prognosis

Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak

bergantung pada berat ringannya trauma yang dialami, bagaimana

penanganan yang tepat dan usia penderita. Pada anak prognosis sangat

baik karena proses penyembuhan sangat cepat, sementara pada orang

dewasa prognosis tergantung dari penanganan, jika penanganan baik

maka komplikasi dapat diminimalisir.4

10. Terapi cairan perioperatif

Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

- Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang

selama operasi

42

- Penggantian cairan dan pemberian obat selama operasi4,5

Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pre Operasi

Pemberian cairan sebelum operasi diberikan karena pasien sebelum

operasi dipuasakan terlebih dahulu. Sehingga pasien dapat

mengalami defisit cairan. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24

jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB,

sedang 5 % BB, berat 7 % BB. Setiap kenaikan suhu 1⁰ C kebutuhan

cairan bertambah 10-15 %

2. Selama operasi

Selama proses operasi dapat terjadi kehilangan cairan karena proses

operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :

a. Ringan : 4 ml/ kgBB/ jam

b. Sedang : 6 ml/ kgBB/ jam

c. Berat : 8 ml/ kgBB/ jam

Bila terjadi perdarahan selama operasi, perdarahan dihitung kurang

dari 10% EBV maka cukup diganti dengan cairan kristaloid sebanyak

3 kali volume darah yang hilang. Apabila ada perdarahan lebih dari

10% maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma/ koloid/ dextran

dengan dosis 1- 2 kali darah yang hilang.4,5,6

3. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan

selama operasi ditambah cairan kebutuhan pasien sehari- hari.

Setelah operasi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi

dan anestesi. Biasanya akan dilakukan di dalam recovery room yaitu

ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Recovery

room atau ruang pemulihan adalah ruangan tempat pasien sebelum

dipindahkan ke bangsal.6

43

BAB IV

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk

dalam ASA I karena penderita berusia 42 tahun dan tidak memiliki

gangguan sistemik. Selain itu dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,

tidak ditemukan kelainan organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia

yang berarti. Berdasarkan diagnosis bedah pasien yaitu union fraktur

clavicula dekstra, rencana operasinya adalah removal of implant

sehingga jenis anestesi yang akan dilakukan adalah general anestesi

karena membuat pasien lebih tenang.

Obat-obatan premedikasi yang diberikan adalah ondancetron 1

ampul dan ketoprofen 1 ampul. Ondansetron merupakan suatu antagonis

reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan

dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke

dalam usus dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan

serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron diberikan pada

44

pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan

aspirasi pada pasien saat operasi. Ketoprofen adalah termasuk dalam

golongan obat anti inflamasi non steroid (AINS), derivat asam propionat.

Obat anti inflamasi non steroid merupakan obat yang mempunyai efek

analgesik (penghilang rasa sakit), antipiretik (penurun panas) dan

antiinflamasi (menghilangkan pembengkakan) dengan mekanisme

kerjanya adalah menghambat sintesa prostaglandin

Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi general

yaitu propofol sebanyak 1 ampul. Kerja propofol adalah hipnotik murni,

tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Melalui

mekanisme pada reseptor GABAA di hippocampus, propofol

menghambat pelepasan acethylcholine pada hippocampus dan kortek

prefrontal.

Teknik :

- Pasien dalam posisi telentang (supine)

- Cek infuse pasien, mesin anestesi serta sistem sirkuitnya dan gas

anestesi yang akan digunakan

- O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka)

- Menyiapkan stetoskop, face mask no. 3, suction

- Setelah obat premedikasi dan induksi masuk, kita memastikan pasien

sudah dalam keadaan tidur, pasang sungkup muka ukuran 3 (dewasa)

dan diberikan pemeliharaan anestesi dengan sevofluran 2.0%

- Mengawasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi

berikan napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama

napas pasien, pantau denyut nadi dan tekanan darah

- Setelah operasi selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan

berikan oksigen 100% selama 2-5 menit

Terapi cairan

45

Pasien sudah tidak makan dan minum ± 8 jam, namun sudah di pelihara

kekurangan cairannya dengan memberikan cairan infus selama di bangsal.

Untuk kebutuhan selama operasi berlangsung:

BB = 75 kg

a. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 2 x 75 = 150 cc/jam

b. Stress operasi (ringan) 4cc/kgBB/jam = 4 x 75 = 300 cc/jam

c. Pengganti puasa = 8 x 150 = 1200 cc/jam

Perdarahan <20 % EBV tidak perlu transfusi, cukup diganti dengan

kristaloid

Pemberian Cairan :

Kebutuhan cairan selama operasi ringan 15 menit

= pengganti puasa + maintenance + stress operasi

= (1/2 x 1200) + 150 + 300

= 1050 cc/ jam

= 263 cc untuk 15 menit

Operasi berlangsung selama 15 menit, sehingga kebutuhan cairan

pasien adalah sebanyak 263 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi

diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 80 cc.

Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 20 % Estimated Blood

Volume (EBV) harus dilakukan tindakan pemberian transfusi darah. Pada

pasien ini, perkiraan perdarahan adalah 100 cc, dimana EBV-nya adalah

4875 cc.

EBV laki-laki dewasa= 65 cc/kgBB = 65 x 75 cc = 4875 cc

Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 2,05 %

% EBV = 100/4875 x 100 % = 2,05 %

Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV

maka tidak diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan

(koloid 1flab) sudah cukup untuk menangani banyaknya perdarahan.

46

Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah

sebagai berikut :

1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 75x 2 cc = 150cc/jam

2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan

infuse 1 cc ~ 20 tetes adalah 150/60 x 20 tetes = 50

tetes/menit

Post operatif

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post

operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign

(tekanan darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3

liter/menit

Dari hasil Aldrrete score di dapatkan :

Aldrete Score Point Nilai Pada Pasien

Motorik 4 ekstermitas 2 √

2 ekstremitas 1

- 0

Respirasi Spontan + batuk 2 √

Nafas kurang 1

- 0

Sirkulasi Beda <20% 2 √

20-50% 1

>50% 0

Kesadaran Sadar penuh 2 √

Ketika dipanggil 1

- 0

Kulit Kemerahan 2 √

Pucat 1

Sianosis 0

Total 10

47

Apabila total Aldrete score >8 pasien sudah dapat dipindah ke bangsal.

Pada saat malam hari post operasi.

Sistem Pernapasan

Respiratory Rate : 20 x/mnt

Sistem Sirkulasi

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84x/mnt

Sistem Saraf Pusat

GCS : 15

Sistem Perkemihan

Dalam batas normal

Sistem Pencernaan

Bising usus : 5x/mnt

Sistem Muskuloskeletal

Dalam batas normal

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bp. J, usia 42 tahun, Berat badan 75 kg, Tinggi badan 175 cm.

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan union fraktur clavicula dekstra

dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan pasien

berencana melepas pen yang sudah dipasang sejak 1 tahun yang lalu.

Untuk rencana penatalaksanaan pasien ini dengan operatif, teknik

operatif removal of implant (ROI) dengan anestesi general.

Kebutuhan cairan selama operasi yaitu jumlah dari , pengganti

puasa, maintanance dan stress operasi (600 + 150 + 300 = 1050 cc) untuk

1 jam pertama karena pasien hanya memerlukan 15 menit untuk operasi

jadi hanya memerlukan cairan 263 cc, sedangkan cairan yang sudah

48

diberikan saat operasi adalah 500 cc, sehingga balance cairannya adalah

+247cc. Selama proses operasi tidak terjadi masalah gejolak

hemodinamik.

Di ruang pemulihan (recovery room), vital sign pasien dalam

batas normal dan nilai aldrette score mencapai 10 sehingga pasien

selanjutnya bisa dipindahkan ke bangsal.

B. Saran

- Persiapan preoperatif pada pasien perlu dilakukan agar proses

anestesi dapat berjalan dengan baik

- Perhatikan kebutuhan cairan pasien saat berlangsungnya operasi

- Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat

melihat keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.

DAFTAR PUSTAKA

1dr. Gde Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An.,

Editors; Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta.

2010.

2Desai, A. General Considerations.

http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.

3Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:

FK UI. 2009; 2: 29-96

4Pecci M., Kreher JB., Clavicle fracture. (Cited) January, 1st 2008. Available

from URL: http://www.aafp.org/afp/2008/0101/p.65.html

5Rubino LJ., Clavicle Fracture. (Cited) March, 7th 2012. Available from URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1260953-overview#a0199.

49

6Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC,

Jakarta, 2005,

50