18
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan warisan budaya. Sudah seharusnya masyarakat pewaris budaya untuk melestarikan. Akan tetapi pada kenyataannya masyarakat Indonesia masa kini, terutama generasi muda terjangkit xenosentrisme. Dampaknya adalah banyak kearifan budaya lokal yang tersimpan dalam cagar-cagar budaya mulai terpinggirkan. Era modern dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat memudahkan hubungan antar Negara. Menghilangnya sekat-sekat antar Negara membuat aliran pertukaran budaya semakin mudah. Arus budaya yang tidak lagi dapat dibendung berdampak pada masyarakat, terutama generasi muda terjangkit xenosentrisme. Masyarakat menganggap kebudayaan dan tradisi luar negeri lebih bagus daripada kearifan tradisi lokal. Situs sejarah yang menjadi cagar budaya dengan multifungsi baik wisata maupun edukasi, kini mulai tergeser oleh tempat-tempat wisata modern. Selain menurunnya minat masyarakat terhadap situs sejarah, rusaknya bangunan fisik situs juga perlu mendapat perhatian yang serius. Misalnya saja, Pendopo Agung, juga petilasan-petilasan raja-raja Majapahit yang ada di daerah Panggih kecamatan Trowulan terlihat kumuh dan tidak terawat. Tidak sedikit pula yang beralih fungsi menjadi tempat mesum dan mencari nomor togel. Usia situs yang kuna membutuhkan perawatan dengan teknik khusus serta finansial yang cukup. Selama ini selain dana dari pemerintah, pemasukan dana dari pengunjung merupakan sokongan dana yang vital. Apalagi tidak semua situs sejarah mendapat dana dari pemerintah karena belum mendapat SK penetapan cagar budaya. Apabila pendapatan pengelola situs menurun karena minat masyarakat menurun, maka berakibat pada kurang intensifnya perawatan situs. Hal ini semakin diperparah dengan ulah masyarakat yang kurang bertanggung jawab merusak bangunan situs 1

Tren Selfie Situs Situs sebagai Upaya Meningkatkan Minat Pelestarian Situs Bersejarah

  • Upload
    mboir

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan warisan budaya. Sudah

seharusnya masyarakat pewaris budaya untuk melestarikan. Akan tetapi pada

kenyataannya masyarakat Indonesia masa kini, terutama generasi muda terjangkit

xenosentrisme. Dampaknya adalah banyak kearifan budaya lokal yang tersimpan

dalam cagar-cagar budaya mulai terpinggirkan.

Era modern dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat memudahkan

hubungan antar Negara. Menghilangnya sekat-sekat antar Negara membuat aliran

pertukaran budaya semakin mudah. Arus budaya yang tidak lagi dapat dibendung

berdampak pada masyarakat, terutama generasi muda terjangkit xenosentrisme.

Masyarakat menganggap kebudayaan dan tradisi luar negeri lebih bagus daripada

kearifan tradisi lokal.

Situs sejarah yang menjadi cagar budaya dengan multifungsi baik wisata

maupun edukasi, kini mulai tergeser oleh tempat-tempat wisata modern. Selain

menurunnya minat masyarakat terhadap situs sejarah, rusaknya bangunan fisik situs

juga perlu mendapat perhatian yang serius. Misalnya saja, Pendopo Agung, juga

petilasan-petilasan raja-raja Majapahit yang ada di daerah Panggih kecamatan

Trowulan terlihat kumuh dan tidak terawat. Tidak sedikit pula yang beralih fungsi

menjadi tempat mesum dan mencari nomor togel.

Usia situs yang kuna membutuhkan perawatan dengan teknik khusus serta

finansial yang cukup. Selama ini selain dana dari pemerintah, pemasukan dana dari

pengunjung merupakan sokongan dana yang vital. Apalagi tidak semua situs sejarah

mendapat dana dari pemerintah karena belum mendapat SK penetapan cagar budaya.

Apabila pendapatan pengelola situs menurun karena minat masyarakat menurun,

maka berakibat pada kurang intensifnya perawatan situs. Hal ini semakin diperparah

dengan ulah masyarakat yang kurang bertanggung jawab merusak bangunan situs

1

seperti mencorat-coret gapura candi, mengambil ornament situs dan mengotori

lingkungan situs.

Dari segi kronologis, Indonesia merupakan Negara yang memiliki situs-situs

bersejarah yang cukup lengkap. Mulai dari zaman praaksara, baik situs paleolitikum,

mesolitikum, neolitikum dan paleometalik, hingga zaman aksara, dari munculnya

peradaban hindhu-budha, islamisasi nusantara, masa kolonialisasi hingga

kemerdekaan. Mojokerto merupakan salah satu kota yang memiliki situs tersebut

dengan cukup lengkap. Situs-situs tersebut merupakan bukti artefaktual yang sangat

penting untuk mengungkap arah gerak sejarah Indonesia dan identitas bangsa.

Banyaknya situs-situs sejarah yang penting ini tentu mengharuskan masyarakat

sebagai pewaris budaya untuk melestarikannya. Selain untuk memperpanjang usia

situs, pelestarian situs perlu dikembangkan agar generasi yang akan datang masih

dapat mempelajari secara nyata, bukan hanya melalui lisan dan tulisan. Generasi

muda kelak diharapkan dapat mengambil pelajaran dari sejarah dan mempertahankan

tradisi-tradisi yang mencerminkan kearifan bangsa.

Upaya pelestarian harus dilakukan dari dua sisi, yakni perawatan situs secara

fisik dan perawatan situs secara non fisik. Perawatan situs secara fisik dimaksudkan

supaya fisik situs tidak rusak bahkan hilang, sedangkan perawatan secara non fisik

dimaksudkan untuk mengangkat popularitas sehingga banyak diminati masyarakat.

Salah satu upaya yang diharapkan dapat mengangkat minat masyarakat terhadap

pelestarian situs sejarah adalah dengan mempopulerkan tren selfie situs yang akan

dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi situs-situs bersejarah di Mojokerto saat ini?

2. Apa sajakah pentingnya melestarikan situs bersejarah di Mojokerto?

3. Apa sajakah kendala dalam upaya melestarikan situs bersejarah?

4. Bagaimana upaya mempopulerkan tren selfie situs untuk meningkatkan minat

masyarakat terhadap pelestarian situs?

2

C. Tujuan

1. Untuk memaparkan kondisi situs-situs bersejarah di Mojokerto saat ini.

2. Untuk menjelaskan apa sajakah pentingnya melestarikan situs-situs

bersejarah di Mojokerto.

3. Untuk memaparkan apa sajakah kendala dalam upaya melestarikan situs

bersejarah.

4. Untuk menjelaskan bagaimana upaya mempopulerkan tren selfie situs untuk

meningkatkan minat masyarakat terhadap pelestarian situs bersejarah.

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Situs-Situs Bersejarah di Mojokerto

Mojokerto merupakan nama salah satu daerah di Jawa Timur. Terletak di lereng

gunung Welirang, gunung Arjuna dan gunung Penanggungan di selatan serta

ditengahnya dialiri sungai Brantas. Berdasarkan topografi tersebut, tidak

mengherankan apabila Mojokerto mempunyai banyak situs bersejarah. Dimulai masa

prasejarah, masa kejayaan kerajaan Majapahit, masa islamisasi Jawa hingga masa

kolonialisme. Menurut Wulandari (2013:179), “ Mojokerto merupakan wilayah

Propinsi Jawa Timur yang mempunyai banyak peninggalan bersejarah.

Kedudukannya penting sehingga banyak arkeolog dari Belanda yang datang ke

daerah itu untuk melakukan penelitian tentang benda-benda arkeologi yang terdapat

disana.”.

1. Situs Prasejarah Perning

Berdasarkan konsepsi lama, Soekmono membagi periodisasi prasejarah

Indonesia menjadi 2 zaman yakni, zaman batu meliputi paleolitikum, mesolitikum

dan neolitikum, serta zaman logam meliputi zaman tembaga, perunggu dan besi

(1990:22). Di Jawa tersebar beberapa situs prasejarah, salah satunya adalah situs

Perning yang terletak di desa Perning, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Situs

ini merupakan tempat ditemukannya fosil Homo modjokertensis (Pithecanthropus

modjokertensis). Fosil Homo modjokertensis yang ditemukan berupa atap tengkorak

anak-anak usia kisaran 5-7 tahun. Fosil tersebut ditemukan oleh R. Tjokrohandojo

yang bekerja sama dengan geolog asal Belanda, Johan Duyfjes.

Lokasi penemuan Homo modjokertensis ini ditetapkan oleh T. Jacob pada tahun

1976. Untuk menandai peristiwa penemuan fosil ini didirikan monumen berupa

sebuah tugu yang terbuat dari beton cor dilapisi marmer putih. Pada salah satu sisi

tugu tersebut terdapat empat baris tulisan “Pithecanthropus modjokertensis,

4

ditemukan oleh, R. Tjokrohandojo dan J. Duyfjes, Februari 1936.” (Widianto,

2011:69).

Situs Perning saat ini masih kurang dikenali oleh masyarakat luas. Jika

dibandingkan dengan situs Ngandong Pacitan dan situs Sangiran, situs Perning masih

kalah popularitasnya. Hal ini dibuktikan dengan minimnya kunjungan ke situs

Perning, baik berasal dari akademisi maupun masyarakat sekitar. Hal ini semakin

diperparah dengan aktivitas penambangan galian yang ada di sekitar lokasi penemuan

fosil. Apabila kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil kekayaan bukti parasejarah akan

musnah.

2. Situs Peninggalan Kerajaan Majapahit

Masa Indonesia madya adalah masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha. Pada

masa ini Indonesia mulai masuk ke dalam masa sejarah ditandai dengan penemuan

prasasti Yupa. Salah satu Kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara, bahkan

pengaruhnya hingga di seluruh Asia Tenggara, adalah Kerajaan Majapahit. Kerajaan

yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 M ini berpusat di hutan Tarik

(sekarang sekitar Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto). Sebagai pusat

Kerajaan, Trowulan merupakan kotaraja yang mempunyai banyak peninggalan

bersejarah, baik berupa candi, petirtaan, maupun petilasan raja-raja Majapahit.

Berdasarkan letaknya, situs peninggalan kerajaan Majapahit setidaknya bisa

diklasifikasi menjadi dua yakni kompleks percandian di Kecamatan Trowulan, dan

kompleks percandian di sekitar lereng gunung Penanggungan, Kecamatan Pacet dan

Trawas. Dalam kompleks percandian bukan hanya terdapat peninggalan berupa candi

saja, melainkan kolam, petirtaan, pendopo dan juga petilasan. Kompleks percandian

di sekitar lereng gunung Penanggungan merupakan mahakarya dari abad ke 10 M,

yakni masa kerajaan Mataram Kuna yang diperintah dari Mpu Sindok hingga

Airlangga. Kerajaan Mataram Kuna yang semula berpusat di Jawa Tengah kemudian

terjadi eksodus besar-besaran kerabat raja dan penduduk ke Jawa Timur. Menurut

Soejono berdasarkan prasasti Pucangan, Raja Airlangga memindahkan pusat

5

kekuasaan ke daerah Ngimbang, sekarang di sebelah utara Jombang-Mojokerto

(2009:202).

Perbedaan antara kompleks percandian yang ada di Trowulan dan yang ada di

lereng gunung Penanggungan adalah bahan penyusun candi. Kompleks percandian

Trowulan karena rata-rata dibangun masa Majapahit maka bahan penyusun candi

adalah batu-bata merah. Sedangkan kompleks percandian yang ada di lereng gunung

Penanggungan adalah percandian langgam Jawa Tengah yang menggunakan batu

andesit, karena rata-rata dibangun masa Mataram Kuna.

Kompleks percandian di daerah Trowulan diantaranya adalah candi Gentong,

candi Brahu, petilasan Hayam Wuruk di Desa Panggih, petilasan Watu Ombo, kolam

Segaran, candi Tikus, candi Bajang Ratu, Pendopo Agung, candi Wringin Lawang,

candi Minak Jinggo, Makam Siti Inggil, candi Kedaton, serta situs umpak dan lantai

segi enam Sentonorejo. Segala informasi tentang Kerajaan Majapahit dipusatkan

dengan didirikannya museum Trowulan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1987

atas persetujuan bupati Mojokerto saat itu, R.A.A. Kromodjojo Adinegoro.

Mayoritas candi-candi yang ada di Trowulan ramai dikunjungi masyarakat, baik

dari kalangan akademisi maupun umum. Keadaan lingkungan candi juga sudah

diperindah dengan dekorasi taman bunga yang rapi. Hanya saja salah satu candi yakni

candi Gentong terlihat sepi. Candi yang terletak hanya sekitar 75 meter dari candi

Brahu ini jarang sekali dikunjungi oleh masyarakat. Bentuk candi yang belum jelas

karena masih dalam proses perekonstruksian mengakibatkan sepinya pengunjung.

Lain halnya dengan petilasan Watu Ombo dan petilasan Hayam Wuruk yang

sangat jarang dikunjungi dan kalah populer dengan candi-candi lain di Trowulan.

Petilasan Watu Ombo merupakan petilasan Ratu Majapahit yang ke tiga yakni

Tribhuwana Wijayatunggadewi. Petilasan yang terletak di Desa Klinterjo, Kecamatan

Sooko ini berupa batu pipih dengan panjang 4 meter dan lebar 1,5 meter yang konon

merupakan tempat semedi dari sang ratu, selain itu juga terdapat sebuah yoni yang

berukuran cukup besar dimana ditengahnya terdapat sumber mata air (lihat gambar 1

dan 2). Petilasan Hayam Wuruk terletak di Desa Pangih, Kecamatan Trowulan

merupakan petilasan Raja Majapahit yang ke empat yakni Hayam Wuruk. Petilasan

6

ini berupa pendopo dan arca yang konon merupakan tempat belajar Hayam Wuruk

sewaktu kecil. Kedua petilasan ini terletak di tengah sawah masyarakat. Kurangnya

informasi serta letak petilasan yang terpencil mengakibatkan sepinya pengunjung.

Gambar 1 : petilasan Watu Ombo Gambar 2 : lingga yoni

Sumber : www.swetadwipa.blogspot.co.id Sumber : www.swetadwipa.blogspot.co.id/c-

2014/yoni-klinterjo.html

Dilihat dari nilai historis, gunung Penanggungan merupakan satu dari 9 gunung

suci di Jawa. Gunung Penanggungan sering disebut sebagai miniatur gunung Semeru

karena ada kemiripan di bagian puncaknya yakni berupa hamparan pasir dan batu

yang luas. Menurut kepercayaan Jawa kuna, gunung Penanggungan merupakan salah

satu bagian puncak Mahameru yang dipindahkan oleh dewata. Karena disakralkan,

gunung yang semula bernama gunung Pawitra ini disekujur lerengnya ditemui

berbagai peninggalan purbakala diantaranya petirtaan Jolotundo, candi Belahan,

candi Jedong, candi Bangkal, candi Gajah Mungkur, situs Kutogirang dan masih

banyak lagi.

Hampir kebanyakan situs-situs di lereng Penanggungan tidak dilalui jalur

pendakian, hal ini mengakibatkan sulit untuk menjangkau lokasi situs. Akan tetapi

apabila dibuat jalur pendakian maka dikhawatirkan terjadinya kegiatan vandalisme

atau perusakan situs oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kegiatan vandalisme

yang sering dilakukan adalah mencoret-coret batuan andesit situs. Kondisi semacam

7

ini seharusnya bukan diatasi dengan pembatasan akses ke situs, melainkan dengan

sosialisasi pentingnya melestarikan warisan cagar budaya.

3. Situs Religi Bersejarah

Masyarakat Nusantara sebelum masuknya Hindu-Buddha bukan masyarakat

yang belum mengenal agama. Di Jawa sendiri sudah terdapat kepercayaan animisme

dan dinamisme yang endemik, yakni kepercayaan kejawen atau Sangkaparaningrum.

Masuknya pengaruh kepercayaan luar seperti Hindu, Buddha maupun Islam tidak

bisa menghapus kepercayaan dan tradisi lama, melainkan timbul akulturasi antara

kepercayaan luar yang masuk dan budaya lokal. Perkembangan agama di Mojokerto

sudah dimulai sejak kejayaan Hindu-Budha seperti Kerajaan Mataram Kuna,

Kerajaan Singhasari, terlebih pada masa Kerajaan Majapahit.

Empat abad setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke XV, yakni sekitar abad

ke XIX candi-candi yang di duga merupakan tempat beribadatan ditemukan oleh para

arkeolog dari Belanda. Karena banyaknya tempat beribadatan kuno tersebut

dibangunlah Maha Vihara Mojopahit di Desa Bejijong, sekitar 2 kilometer dari lokasi

salah satu candi yakni Candi Brahu. Maha Vihara Majapahit memiliki luas

kesuluruhan 3 hektar, dan yang menarik adalah didepan vihara ini dibangun patung

budha tidur yang panjangnya 22,5 meter. Patung budha tidur ini diklaim patung

budha terbesar nomor tiga di dunia setelah patung budha di Thailand dan Vietnam

(lihat gambar 3). Vihara Mojopahit digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara-

upacara penting agama Budha seperti peringatan Asadha dan Waisak. Upacara yang

diselenggarakan di vihara ini kurang lebih diikuti oleh 5000 pengikut agama Budha di

seluruh Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Maha Vihara Mojopahit merupakan salah

satu kiblat peribadatan umat Budha di Indonesia.

8

Gambar 3 : patung Budha tidur di Maha Vihara Majapahit

Sumber : www.chockysihombing.blogspot.com

Selain situs religi Budha, juga terdapat situs pemakaman muslim pada masa

Majapahit. Situs makam Troloyo yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan

Trowulan. Pemakaman Troloyo diperkirakan sudah ada pada masa pemerintahan

Raja Hayam Wuruk (1334-1389 M). Hal ini dibuktikan dengan adanya nisan Syekh

Jamaluddin atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Syekh Jumadil Kubro

yang berangka 15 Muharram 797 H (1376 M). Dalam kompleks makam Troloyo juga

terdapat makam tokoh-tokoh penting pejabat Majapahit diantaranya Tumengung

Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Sunan Ngudung, dan beberapa patih serta

senopati.

Sangat disayangkan bahwa hampir semua nisan situs pemakaman kuno di Jawa

ditutup dengan kain mori putih. Hal ini menyebabkan pengunjung tidak bisa melihat

dan mempelajari nisannya, padahal ajaran-ajaran tokoh agama biasanya diabadikan

dalam nisannya. Selain itu, penutupan nisan dengan kain mori putih menimbulkan

kesan mistis sehingga disalah artikan oleh sebagian orang untuk hal-hal tertentu.

Kondisi seperti ini juga terjadi di situs makam Troloyo, bahkan banyak orang yang

mempercayai beberapa kuburan tokoh pejabat Majapahit untuk dimintai pesugihan,

pelet, dan aji-aji pemikat. Salah satu kuburan yang paling terkenal untuk urusan aji-

aji pemikat adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo. Masih melekatnya

9

tradisi animisme menyebabkan sulit untuk menetralkan kondisi mistis di makam-

makam kuno.

4. Situs Peninggalan Kolonialisme Belanda

Sepanjang Jalan Majapahit, Jalan Ahmad Yani, Jalan Hayam Wuruk dan jalan-

jalan lain sekitar alun-alun Mojokerto, apabila kita memperhatikan dengan cermat

terdapat beberapa bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur Eropa. Jalanan di

sekitar alun-alun pada masa pendudukan Belanda hingga sekarang merupakan pusat

perniagaan dan kantor-kantor pemerintahan. Terlepas dari terawat atau tidaknya

bagunan tua tersebut, setidaknya sudah bisa digambarkan bahwa pada masa

kolonialisme Belanda kemampuan arsitektur masyarakat sudah maju.

Bangunan tua yang terletak di Jalan Ahmad Yani adalah gedung Dinas

Pengairan Kota Mojokerto (lihat gambar 4) dan gedung bioskop Indra (lihat gambar

5). Bangunan tua Dinas Pengairan Kota Mojokerto merupakan peninggalan Belanda,

berdiri sejak tahun 1912. Saat ini gedung tua ini sudah tidak dipergunakan lagi,

namun kondisinya masih terawat dengan baik. Gedung bioskop Indra terletak di

sebelah selatan alun-alun Mojokerto. Gedung ini dibangun sekitar tahun 1920.

Kondisi gedung saat ini dibiarkan kosong dan menjadi sarang burung wallet.

Gambar 4 : gedung Dinas Pengairan Gambar 5 : gedung bioskop Indra masa kolonial

Kota MojokertoSumber : http://birobangunan.blogspot.co.id/2013/05/bangunan-kuno-peninggalan-belanda-di.html

10

B. Pentingnya Pelestarian Situs Bersejarah

Sama halnya dengan kekayaan sumber daya alam, benda-benda purbakala

mempunyai nilai tersendiri sebagai kekayaan sumber budaya bangsa. Dilihat dari

sudut pandang ilmu pengetahuan dan budaya, benda-benda purbakala akan menjadi

sumber-sumber bagi masyarakat pewaris budaya untuk meneliti dan mengkaji

kehidupan masa lampau sehingga ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah akan

berkembang. Selain itu, situs-situs bersejarah juga mengandung pelajaran tentang

filosofi bangsa apabila kita mampu memaknainya.

Sikap xenosentrisme, yakni sikap yang menganggap kebudayaan asing lebih

baik dari kebudayaan sendiri. Masyarakat mengatas namakan modernitas,

menjadikan kebudayaan Barat, terutama Eropa sebagai kiblat kehidupan sehari-hari.

Kebiasaan dan adat Indonesia yang khas budaya Timur seolah-olah tersisih. Budaya

baru seperti mode pakaian, cara dan sikap sosial dalam masyarakat, serta ideologi-

ideologi baru perlahan menggerus rasa nasionalisme. Contoh kecil saja, banyak orang

merasa bangga bila mampu membeli produk luar negri dengan harga yang tinggi,

meskipun produk lokal juga tidak kalah kualitasnya. Banyak orang merasa bangga

dan berkeinginan untuk berwisata ke luar negeri padahal banyak lokasi-lokasi wisata

dalam negeri yang tidak kalah eksotis.

Kebudayaan asing dianggap lebih berkelas karena masyarakat kurang belajar

dari sejarah. Apabila menengok beberapa abad silam, Nusantara pernah memiliki

kerajaan adidaya yang bahkan kekuasaannya diakui di seluruh kawasan Asia

Tenggara. Kerajaan Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lau bagi

bangsa Indonesia pada abad-abad berikutnya. Pada masa kebangkitan nasional, para

penggerak nasionalisme Indonesia merujuk Majapahit sebagai contoh Negara yang

gemilang di masa lalu. Nama Pancasila sebagai landasan Negara Indonesia yang baru

akan merdeka diambil oleh Ir. Soekarno dari salah satu mahakarya sastra masa

Majapahit, yakni kitab Sutasoma karya Mpu Prapanca.

Kerajaan Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam

bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk pendopo di ibu kota Majapahit

dalam kitab Nagarakertagama telah menginspirasi berbagai bangunan keraton di Jawa

11

serta pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Mulyana, (1965,

38-39) mengungkapkan bahwa kebesaran Majapahit dan berbagai intrik politik yang

terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tiada henti bagi para seniman

selanjutnya untuk menuangkan kreasinya terutama di Indonesia.

Kejayaan Majapahit di masa lalu bukan hanya untuk dibangga-bangakan saja,

melainkan menjadi pelecut nasionalisme, menjadi penyemangat anak bangsa untuk

meraih prestasi, menjadi motivasi seluruh warga Negara untuk berpartisipasi aktif

dalam mengembalikan kejayaan Indonesia. Melalui pelestarian situs sejarah, rasa

nasionalisme bisa ditumbuhkan kembali serta menjadi tameng untuk ideologi-

ideologi baru yang kurang sesuai dengan kearifan lokal. Oleh karena itu pengenalan

situs sejarah dirasa sangat vital dalam pembentukan karakter bangsa. Pelestarian situs

dimaksudkan agar masyarakat terutama generasi muda tidak hanya belajar sejarah

melalui dongeng saja, melainkan dengan data-data artefaktual yang nyata.

Selain aspek edukatif, pelestarian situs sejarah dapat dimaksimalkan sebagai

sarana pariwisata. Mojokerto merupakan daerah yang sangat kaya akan situs sejarah,

mulai dari kompleks percandian di Trowulan, kompleks percandian di lereng gunung

Penanggungan, situs religi bersejarah, hingga gedung-gedung tua peninggalan

Belanda di sekitar alun-alun kota. Pembenahan dan pengelolaan infrastruktur situs

akan menarik wisatawan baik lokal, nasional bahkan internasional. Meningkatnya

jumlah wisatawan sangat menguntungkan bagi industri lokal. Industri khas Mojokerto

seperti sandal dan sepatu kulit, kerajinan patung batu dan tembaga, serta jajanan khas

Mojokerto akan mendapat pasar baru untuk pemasaran produk.

C. Kendala dalam Upaya Pelestarian Situs Bersejarah

Kendala utama dalam upaya pelestarian situs adalah kurangnya kesadaran

sejarah dari masyarakat, baik masyarakat sipil maupun pemerintah. Hal ini tercermin

dari sikap vandalisme atau perusakan situs. Kegiatan vandalisme ini sangat

bervariasi, misalnya saja contoh yang paling nyata adalah merusak situs dengan

mencorat-coret situs, menaiki situs yang kontruksinya sudah rapuh bahkan mencuri

ornamen situs.

12

Di pihak pemerintah, dibangunnya Pusat Informasi Majapahit (PIM) dan

Majapahit Park di Trowulan di tuding merusak situs. Tanggal 3 November 2008,

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik meletakkan batu pertama

pembangunan Majapahit Park di tengah lapangan itu. Majapahit Park adalah proyek

ambisius pemerintah untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di

Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu, dengan tujuan menyelamatkan situs

dan benda- benda cagar budaya di dalamnya dari kerusakan dan menarik kedatangan

turis. Bangunan Trowulan Information Center (disebut juga Pusat Informasi

Majapahit), yang memakan lahan seluas 2.190 meter persegi dan dirancang oleh

arsitek Baskoro Tedjo itu adalah tahap pertama dari keseluruhan proyek senilai

Rp 25 miliar, yang direncanakan selesai dalam tiga tahun mendatang. Ironinya,

proyek pembangunan itu justru memakan korban situs itu sendiri, bahkan di tahap

yang paling awal. Tiang-tiang beton penyangga yang ditanam merusak situs-situs

yang masih terkubur didalam tanah.

Kurangnya kesadaran sejarah berakibat pada rasa tak acuh pada pelestarian situs

serta kurangnya rasa kepemilikan. Selain itu faktor dana juga menjadi kendala dalam

upaya pelestarian situs, terutama yang terletak di lokasi terpencil dan belum

mendapat SK dari pemerintah. Lokasi situs yang terpencil, kurangnya pengetahuan

masyarakat serta minimnya sokongan dana untuk pelestarian situs menjadi masalah

yang sangat krusial, oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang reolusioner untuk

menarik kembali minat masyarakat.

D. Upaya Mempopulerkan Tren Selfie Situs untuk Meningkatkan Minat

Masyarakat dalam Pelestarian Situs Sejarah

Semenjak perkembangan teknologi semakin pesat, masyarakat pun disuguhkan

dengan berbagai kemudahan dalam berkomunikasi. Komunikasi yang pada awalnya

berupa audio saja kemudian berkembang dengan visualisasi, bahkan kombinasi antara

audio-visual. Lebih jauh lagi awal abad ke 21 M mulai berkembang media sosial

seperti facebook, twitter, myspace hingga yang terbaru seperti BBM, instagram, path,

snapchat dan sebagainya.

13

Berbagai macam jenis media sosial menyediakan berbagai aplikasi seperti

unggah foto, video, unggah status serta berinteraksi melalui public coment maupun

privat chat. Dengan adanya aplikasi-aplikasi tersebut, lambat laun mempengaruhi

mode fashion serta kehidupan sehari-hari penggunanya. Sejalan dengan

perkembangan gadget dan media sosial, kemudian muncul fenomena baru dalam

masyarakat yakni selfie.

Selfie berasal dari bahasa Inggris Self yang artinya diri sendiri. Fenomena selfie

adalah fenomena populernya kegiatan memfoto diri sendiri dengan berbagai pose

untuk kemudian di unggah di media sosial. Pada perkembangannya kegiatan selfie ini

bukan lagi memfoto diri sendiri melainkan juga dengan orang lain. Singkatnya, selfie

merupakan bahasa kekinian dari berfoto-ria.

Aktivitas selfie ini telah menjadi suatu tren yang apabila dimanfaatkan dapat

menghasilkan keuntungan. Berawal dari setiap orang pasti ingin tampil menarik, baik

di dunia nyata maupun di dunia maya. Hal ini tentu membuka peluang pasar untuk

produk tertentu, misalnya pakaian, aksesoris, makanan bahkan untuk

mempromosikan suatu tempat wisata. Terbukti dengan merebaknya bisnis online

seperti yang memanfaatkan media sosial seperti facebook, BBM dan instagram.

Bukan hanya produk saja, tetapi tren selfie ini juga bisa mendongkrak sektor

pariwisata. Salah satu program televisi swasta yang mengusung tema pariwisita

dalam negeri adalah program yang mampu menjadi virus di masyarakat terutama di

dunia maya. Melalui jargon “My trip my adventure” banyak kalangan terutama anak

muda mulai menyukai kegiatan traveling ke tempat-tempat yang eksotis dalam

negeri. Mereka kemudian mengabadikan dalam sebuah foto yang di atur semenarik

mungkin dan mengunggahnya ke media sosial untuk mengundang perhatian publik.

Semakin banyak apresiasi melalui like atau love maka semakin tinggi kepuasan yang

didapat oleh si pengunggah.

Konsep seperti program televisi tersebut dapat dijadikan inspirasi dalam upaya

menarik minat masyarakat terutama generasi muda untuk melestarikan situs-situs

bersejarah. Apalagi kawasan situs merupakan tempat yang indah untuk dijadikan latar

selfie (lihat gambar 6, 7, 8, dan 9). Tren selfie situs dijadikan magnet untuk menarik

14

masyarakat agar mengunjungi situs-situs sejarah. Apabila banyak yang mengunjungi

situs maka dana yang masuk ke pengelola situs juga dapat digunakan untuk biaya

perawatan situs. Selain itu, tren selfie situs dapat dijadikan sarana pengenalan dan

menumbuhkan sikap kepemilikan terhadap situs sejarah. Media sosial kemudian

menjadi sarana publikasi selfie situs sehingga kegiatan selfie situs dengan jargon “My

culture my adventure” dapat dipublikasikan secara luas.

Gambar 6: situs candi Jedong Gambar 7: situs candi BrahuSumber : akun instagram @asli_mojokerto

Gambar 8: situs candi Wringin Lawang Gambar 9: situs candi TikusSumber: akun instagram @mojokertohitz

Pemerintah dapat mendukung kegiatan mempopulerkan tren selfie situs dengan

mengadakan kegiatan lomba selfie situs dengan mekanisme tertentu. Pemerintah

melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dapat pula mendukung kegiatan

15

pelestarian situs dengan mengadakan pemilihan duta selfie situs atau duta fotografi

situs, misalnya dengan mekanisme seperti program Raka-Raki Jawa Timur. Dalam

acara ini Dinas Pariwisata dan Kebudayan bisa menggandeng pihak swasta, yakni

produsen produk-produk yang digandrungi masyarakat terutama generasi muda serta

komunitas-komunitas pecinta fotografi dan situs-situs sejarah, sehingga pengaruh tren

selfie situs bisa tersebar luas.

Tren selfie situs bukan hanya sekadar ajang fotografi saja, melainkan juga

sarana edukatif untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan etnosentrisme.

Meningkatnya rasa kecintaan terhadap budaya lokal diharapkan dapat meningkatkan

upaya peningkatan pelestarian situs bersejarah. Apabila rasa kecintaan terhadap

sejarah meningkat, maka tindakan vandalisme dapat diminimalisir. Kecintaan

terhadap sejarah merupakan titik balik revolusi mental untuk mengembalikan

kejayaan bangsa di masa lalu.

16

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Kondisi situs bersejarah di Mojokerto pada umumnya masih belum

berfungsi maksimal sebagai mana mestinya.

2. Alasan pentingnya situs bersejarah untuk dilestarikan adalah karena sebagai

sarana edukasi, pariwisata dan ekonomi masyarakat.

3. Kendala dalam upaya pelestarian situs sejarah meliputi kurangnya kesadaran

sejarah, menurunnya popularitas situs sejarah serta minimnya dana.

4. Dipopulerkannya tren selfie situs melalui event lomba selfie situs, pemilihan

duta selfie situs dan duta fotografi situs diharapkan dapat meningkatkan

kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian situs sejarah.

B. Saran

Populernya tren selfie situs diharapkan dapat meningkatkan kecintaan

masyarakat terhadap pelestarian situs bersejarah terutama di Mojokerto. Kegiatan

selfie situs bukan hanya sekadar kegiatan berfoto ria, melainkan sebagai sarana

meningkatkan rasa nasionalisme dan revolusi mental untuk membangun masyarakat

yang melek sejarah.

17

DAFTAR RUJUKAN

1. Mulyana, Slamet. 1965. Menuju Puncak Kebesaran Majapahit. Jakarta: Balai

Pustaka.

2. Soejono, R.P. 2010. Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran (volume 2).

Jakarta: Balai Pustaka.

3. Soekmono, R. 1990. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (volume 1).

Yogyakarta: Kanisius.

4. Widianto, Harry. 2011. Nafas Sangiran, Nafas Situs Hominid. Sragen: Balai

Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

5. Wulandari, Ayu. 2013. Upaya Pelestarian dan Pemanfaatan Petirtaan Jalatunda :

AVATARA, e-journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya 1

(2). (Online), (http://ejournal.unesa.ac.id/article/9380/38/article.pdf), diakses

27 Maret 2016.

18