Upload
buithuan
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRINSIP ETIKA BISNISBAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi
pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi,
teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan
tentang etika bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka prinsip-prinsip
dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik dan benar,
hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi
terhadap dunia bisnis.Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis secara umum
dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan beberapa
pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan
dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.
Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma
pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya
sendiri), mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang
berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan
kotor".
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul
berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka
bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan
hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi
karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan
berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan
etika itu sendiri.
Namun kalau bisnis punya etika,maka pertanyaan yang segera timbul
adalah manakah norma-norma atau prinsip etika yang berlaku dalam kegiatan
bisnis. Apakah prinsip-prinsip itu berlaku universal, terutama mengingat
kenyataan mengenai bisnis global yang tidak mengenal batas-batas negara dewasa
ini? Demikian pula, bagaimana caranya agar prinsip-prinsip tersebut bisa
1
operasional dalam kegiatan bisnis? Inilah beberapa pertanyaan yang ingin kami
jawab dalam bab ini. Pada akhir bab ini kami akan singgung secara sekilas apa
yang dikenal sebagai stakeholder, yang dengan itu memperlihatkan relevansi
sekaligus juga operasionalisasi etika bisnis, khususunya prinsip-prinsip etika
bisnis, dalam kegiatan bisnis suatu perusahaan.
B. Permasalahan
1. Manakah norma – norma atau prinsip etika yang berlaku dalam kegiatan bisnis?
2. Apakah prinsip-prinsip itu berlaku secara Universal?
3. Bagaimana caranya agar prinsip prinsip tersebut bisa operasional dalam
kegiatan bisnis?
C. Pembahasan
1. Beberapa prinsip umum etika Bisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia.
Demikian pula, prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang
dianut oleh masing – masing masyarakat. Bisnis Jepang akan sangat dipengaruhi
oleh sistem nilai masyarakat Jepang. Eropa dan Amerika Utara akan sangat
dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat tersebut dan seterusnya. Demikian pula,
prinsip – prinsip etika bisnis yang berlaku di dindonesia akan sangat dipengaruhi
oleh sistem nilai masyarakat kita. Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan,
prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah penerapan
dari prinsip etika pada umumnya. Disini secara umum dapat dikemukakan
beberapa prinsip etika bisnis tersebut.
Prinsip otonomi;
adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik
untuk dilakukan.
Untuk bertindak secara otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik itu.
ebebasan adalah unsur hakiki dari prinsip otonomi ini. Dalam etika,
2
Kebebasan adalah prasyarat utama untuk bertindak secara etis, karena
tindakan etis adalah tindakan yang, dalam bahasa kant, bersumber dari
kemauan baik serta kesadaran pribadi. Hanya karena seseorang mempunyai
kebebasan, ia bisa di tuntut untuk bertindak secara etis. Namun, kebebasan
saja belum menjamin bahwa seseorang bertindak membabi buta tanpa
menyadari apakah tindakannya itu baik atau tidak. Karena itu otonomi juga
mengandalkan adanya tanggung jawab. Ini unsur lain lagi yang sangat
penting dari prinsip ekonomi. Orang yang otonom adalah orang yang tidak
saja sadar akan kewajibannya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan
berdasarkan apa yang dianggapnya baik, melainkan juga adalah orang yang
bersedia mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta dampak
dari keputusan dan tindakannya itu, kalau seandainya bertentangan, dia sadar
dan tahu mengapa tindakan itu tetap diambilnya kendati bertentangan
dengan nilai dan norma moral tertentu. Sebaliknya, hanya orang yang bebas
dalam menjalankan tindakannya bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas
tindakannya.2 Ini unsur – unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang
lainnya. Dan kesediaan bertanggung jawab ini disebut sebagai kesediaan
untuk mengambil titik pangkal moral. Artinya dengan sikap dan kesediaan
untuk bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan dan
tindakan yang diambil bisa dimungkinkan proses pertimbangan moral.3Atau
di rumuskan secara lain, kesediaan bertanggung jawab merupakan ciri khas
dari mahluk bermoral. Orang yang bermoral adalah orang yang selalu
bersedia untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Otonomi dengan unsur
diatas merupakan prinsip yang sangat penting.
Pertama, Dengan otonomi pelaku bisnis dan karyawan dalam perusahaan
manapun tidak lagi diperlakukan sebagai sekadar tenaga yang dieksploitasi
sesuai kebutuhan bisnis dan demi kepentingan bisnis. Dengan kata lain,
dengan otonomi para pelaku bisnis benar – benar menjadi subyek moral yang
bertindak secara bebas dan bertanggung jawab atas tindakannya. Ini berarti
sebagai subyek moral tidak lagi sekedar bertindak dan berbisnis seenaknya
dengan merugikan hak dan kepentingan pihak lain.
Kedua, Otonomi juga memungkinkan inovasi, mendorong kreativitas,
meningkatkan produktivitas, yang semuanya akan sangat berguna bagi bisnis
3
modern yang terus berubah dalam persaingan yang ketat.
Ketiga, dengan prinsip otonomi, tanggung jawab moral juga tertuju
kepada semua pihak terkait yang berkepentingan (skateholders).
Prinsip kejujuran.
Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas
bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak
didasarkan atas kejujuran.
Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan
kontrak. Kejujuran ini sangat penting artinya bagi masing – masing
pihak dan sangat menentukan relasi dan kelangsungan bisnis masing-
masing pihak selanjutnya. Karena seandainya salah satu pihak
berlaku curang dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian tersebut,
selanjutnya tidak mungkin lagi pihak yang dicurangi itu mau menjalin
relasi bisnis dengan pihak yang curang tadi.
Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan
harga yang sebanding. Dalam pasar yang terbuka dengan barang dan
jasa yang beragam dan berlimpah ditawarkan kedalam pasar, dengan
mudah konsumen berpaling dari satu produk ke produk yang lain.
Maka cara-cara bombastis, tipu menipu, bukan lagi cara bisnis yang
baik dan berhasil. Kejujuran adalah prinsip yang justru sangat penting
dan relevan untuk kegiatan bisnis yang baik dan tahan lama.
Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
Kejujuran dalam perusahaan adalah inti dan kekuatan perusahaan itu.
Perusahaan itu akan hancur kalau suaana kerja penuh dengan akal-
akalan dan tipu-menipu. Kalau karyawan diperlakukan secara baik
dan manusiawi, diperlakukan sebagai manusia yang punya hak-hak
tertentu, kalau sudah terbina sikap saling menghargai sebagai
manusia antara satu dan yang lainnya, ini pada gilirannya akan
terungkap keluar dalam relasi dengan perusahaan lain atau relasi
dengan konsumen. Selama kejujuran tidak terbina dalam perusahaan,
relasi keluar pun sulit dijalin atas dasar kejujuran.
Prinsip keadilan
Menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan
4
yang adil, serta dapat dipertanggung jawabkan. Keadilan menuntut agar
setiap orang dalam kegiatan bisnis perlu di perlakukan sesuai dengan haknya
masing-masing dan agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya.
Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle)
Menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan
semua pihak. Kalau prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak
yang dirugikan hak dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan
secara positif menuntut hal yang sama, yaitu agar semua pihak berusaha
untuk saling menguntungkan satu sama lain. Prinsip ini terutama
mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis. Karena anda ingin untung dan
saya pun ingin untung, maka sebaliknya kita menjalankan bisnis dengan
saling menguntungkan. Maka, dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini
menuntut agar persaingan bisnis haruslah melahirkan win-win situation.
Prinsip integritas moral
Terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau
perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik
pimpinan atau orang-orangnya maupun perusahaannya. Dengan kata lain
prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan
perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Dan itu tercermin
dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik keluar maupun
kedalam perusahaan.
Dari semua prinsip diatas, Adam Smith akan menganggap prinsip
keadilan sebagai prinsip yang paling pokok. Menurut Adam Smith Prinsip no
harm, prinsip keadilan, (tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain),
tanpa prinsip ini bisnis tidak bisa bertahan. Hanya karena setiap pihak
menjalankan bisnisnya dengan tidak merugikan pihak manapun, bisnis itu
bisa berjalan dan bertahan.
Tentu saja prinsip lain pun sangat penting bagi kelangsungan bisinis. Tapi
yang menarik pada prinsip no harm adalah bahwa pada tingkat tertentu dalam
prinsip ini telah terkandung semua prinsip etika bisnis lainnya. Dalam prinsip
no harm sudah dengan sendirinya terkandung prinsip kejujuran, saling
5
menguntungkan, otonomi (termasuk kebebasan dan tanggung jawab),
integritas moral. Jadi, Prinsip no harm punya jangkauan yang luas mencakup
banyak prinsip lainnya. Prinsip no harm juga diterapkan menjadi hukum
tertulis yang demikian menjadi pegangan dan rujukan konkrit dengan
sanksinya yang jelas bagi semua pelaku ekonomi.Jadi prinsip ini pada
akhirnya menjadi lebih pasti, tidak hanya karena dijabarkan dalam berbagai
aturan perilaku bisnis yang konkret (perilaku mana saja yang dianggap
merugikan dan karena itu dilarang) melainkan juga karena didukung oleh
sanksi dan hukuman yang tegas. Dengan kata lain, pada akhirnya prinsip ini
menjadi dasar dan jiwa dari semua aturan bisnis dan sebaliknya semua
praktek bisnis yang bertentangan dengan prinsip ini harus dilarang. Maka,
misalnya monopoli, kolusi, nepotisme, manipulasi, hak istimewa,
perlindungan politik dan seterusnya harus dilarang karena bertentangan
dengan prinsip no harm yaitu karena semua praktek tersebut pada akhirnya
merugikan pihak tertentu: ada pelaku ekonomi yang tersisih secara tidak fair,
konsumen dipaksa untuk membayar harga yang lebih mahal, konsumen
ditipu, dan seterusnya. Demikian pula undang undang atau peraturan
mengenai lingkungan hidup,iklan,karyawan, semuanya berintikan prinsip no
harm ini.
2.Etos bisnis
Pertanyaan pertanyaan penting yang perlu di jawab adalah Bagaimana
menerapkan prinsip – prinsip etika bisnis ini sehingga benar – benar operasional.
Banyak perusahaan besar sesungguhnya telah mengambil langkah yang tepat ke
arah penerapan prinsip-prinsip etika bisnis ini, kendati prinsip yang mereka anut
bisa beragam atau sebagiannya merupakan varian dri prinsip-prinsip diatas dengan
pertama-tama membangun apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan
(corporate culture) atau lebih cenderung disebut sebagai etos bisnis yang
dimaksud dengan etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral
menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu
generasi ke generasi yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan
penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai
6
inti kekuatan dari yang sekaligus juga membedakannya dari perusahaan yang lain.
Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, disiplin, kejujuran,
tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa diskriminasi, dan seterusnya.
Umumnya etos bisnis ini mula pertama dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis
pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut, mengenai
bisnis yang baik. Visi atau filsafat bisnis ini sesungguhnya didasarkan pada nilai
tertentu yang dianut oleh pendiri perusahaan itu yang lalu dijadikan prinsip
bisnisnya yang kemudian menjelma menjadi sikap dan perilaku bisnis dalam
kegiatan bisnisnya sehari-hari dan menjadi dasar dari keberhasilannya. Maka,
terbangunlah suatu budaya, sebuah etos, sebuah kebiasaan yang ditanamkan
kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun terus
menerus dalam seluruh evaluasi dan penyegaran selanjutnya dalam perusahaan
tersebut. Demikian pula etos ini dapat berubah, dalam arti yang lebih baik, sesuai
visi yang dianut oleh setiap manajer yang silih berganti memegang perusahaan
tersebut. Yang lebih mengalami perubahan adalah penerapan visi dan prinsip etis
tadi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan perusahaan dan bisnis dalam
masyarakat.
Dirumuskan secara jelas, pada tingkat pertama ada nilai, nilai adalah apa
yang diyakini sebagai hal yang paling mendasar dalam hidup ini dan menyangkut
kondisi yang didambakan dan paling penting bagi seorang atau kelompok dan
yang sekaligus yang paling menentukan dalam hidup orang atau kelompok orang
itu. Nilai ini kemudiaan menjelma menjadi prinsip hidup. Nilai dan prinsip ini lalu
menentukan sikap seseorang atau kelompok orang. Sikap disini tidak lain adalah
kecenderungan seseorang untuk bertindak secara tertentu berdasarkan dan sesuai
dengan nilai yang dianutnya. Sikap kemudian menentukan perilaku yang
merupakan penghayatan konkret akan nilai dan prinsip dalam hidup sehari-hari.
Dalam perusahaan ini pun berlaku nilai, lalu menjadi prinsip dan kode etik
perusahaan yang menentukan sikap dan pola perilaku seluruh perusahaan dalam
kegiatan bisnisnya sehari-hari. Tidak mengherankan bahwa hampir setiap
perusahaan besar mempunyai kekhasannya sendiri yang menjadi simbol
keunggulannya. Pada umumnya perusahaan yang besar, berhasil, dan bertahan
lama berdasarkan perkembangan murni pasar (bukan karena perlindungan politik)
mempunyai etos semacam itu. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pada
7
waktunya nanti tidak hanya akan ada konsultan manajemen, legal, finansial,
melainkan juga ada konsultan bahkan audit etis yang terutama menyangkut sejauh
mana visi dan prinsip moral yang dianut suatu perusahaan benar-benar telah
dioperasionalkan dalam seluruh kegiatan bisnis perusahaan itu melalui perilaku
bisnis yang diperlihatkan seluruh staf mulai dari lapisan puncak sampai dibawah.
Tentu saja, berkembang tidaknya suatu etos bisnis dalam sebuah perusahaan
sangat ditentukan pula oleh gaya kepemimpinan dalam perusahan tersebut.
Kendati gaya kepemimpinan semacam manipulator ataupun administator
birokratis bisa sangat membawa hasil yang diinginkan, dalam banyak hal akan
sulit menumbuhkan etos bisnis yang baik, etos bisnis akan sulit berkembang
dalam sebuah perusahan. Karena gaya semacam itu terlalu memperalat karyawan
demi tujuan perusahaan atau pula terlalu kaku bertumpu pada aturan – aturan dan
prosedur birokratis yang berbelit belit. Sebaliknya, gaya kepemimpinan manajer
profesional yang menekankan kerja sama kelompok serta gaya kepemimpinan
yang bersifat transformatif akan lebih kondusif bagi berkembangnya etos bisnis
yang baik dalam suatu perusahaan. Pada kedua gaya yang disebut terkhir setiap
karyawan dalam satu dan lain cara bentuk dapat mempunyai sumbangan, andil,
dan peran yang sebisa mungkin dilibatkan dan dihargai demi keberhasilan
perusahaan. Bersamaan dengan itu, khususnya dalam gaya kepemimpinan
transformatif, setiap orang akan sebisa mungkin diberi kesempatan untuk tumbuh
dan berkembang sebagai manusia melalui pekerjaan yang dilakukannya dan
dengan demikian pada akhirnya bersama-sama mencapai apa yang menjadi tujuan
perusahaan.
3. Relativitas Moral dalam bisnis
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis
modern dewasa ini orang di tuntut untuk bersaing secara etis tanpa mengenal
adanya perlindungan dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan bisnis mau
tidak mau harus bersaing berdasarkan prinsip etika tertentu. Persoalannya,
demikian kata De George, etika siapa? Ini berlaku dalam bisnis global yang tidak
mengenal batas negara. Konkretnya, etika masyarakat mana yang harus diikuti
oleh sebuah perusahaan multinasional dari Amerika, misalnya, yang beroperasi di
8
Asia, dimana norma etika dan cara melakukan bisnis bisa berbeda sama sekali dari
yang ditemukan di Amerika?
Persoalan ini sesungguhnya menyangkut apakah norma dan prinsip etika
bersifat universal atau terkait dengan budaya. Untuk menjawab pertanyaan ini
menurut De George, kita perlu melihat terlebih dahulu tiga pandangan yang
umum. Pandangan pertama, bahwa norma etis berbeda antara satu tempat dengan
tempat yang lain. Maka prinsip pokok yang dipegang adalah di mana saja
perusahaan beroperasi, ikuti norma dan aturan moral yang berlaku dalam negara
tersebut. Pandangan kedua, bahwa norma sendirilah yang paling benar dan tepat.
Karena itu prinsip yang harus dipegang adalah bertindaklah dimana saja sesuai
prinsip yang dianut dan berlaku di negaramu sendiri. Pandangan ketiga, adalah
pandangan yang disebut De George immoralis naif yang mengatakan bahwa tidak
ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Karena pandangan ini tidak
benar, maka tidak akan di bahas disini. Akan tetapi pandangan peertama sedikit
didukung oleh A. MacIntyre, menekankan bahwa setiap komunitas mempunyai
nilai moral dan budaya sendiri yang sama bobotnya dan harus dihargai. Maka,
dalam kaitan dengan bisnis internasional, perusahaan multinasional harus
broperasi dengan dan berdasarkan nilai moral dan budaya yang berlaku di negara
tempat perusahaan itu beroperasi. Inti pandangan ini adalah bahwa tidak ada
norma atau prinsip moral yang berlaku universal. Maka, pokok yang harus di
pegang adalah bahwa prinsip dan norma yang dianut negara tuan rumah itulah
yang dipatuhi dan dijadikan pegangan. Namun, yang menjadi persoalan adalah
anggapan bahwa tidak ada nilai dan norma moral yang bersifat universal yang
berlaku di semua negara dan masyarakat; bahwa nilai dan norma yang berlaku di
satu negara berbeda dari yang berlaku di negara lain. Oleh karena kitu, menurut
pandangan ini norma dan nilai moral bersifat relatif. Ini tidak benar karena
bagaimanapun mencuri, merampas, tidak jujur pada orang lain dimanapun juga
akan di kecam dan dianggap sebagai tidak etis.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa pandangan ini tidak membedakan
antara moralitas dan hukum. Keduanya memang ada kaitan satu sama lain, namun
berbeda hakikatnya. Hukum adalah positivasi norma moral sesuai dengan
harapan dan cita – cita serta tradisi budaya suatu masyarakat atau negara. Jadi,
9
bisa saja hukum disatu negara berbeda dari hukum dinegara lain sesuai dengan
apa yang dianggap paling penting bagi kehidupan suatu negara dan sesuai dengan
pertimbangan negara tersebut. Tapi, ini lalu tidak berarti bahwa norma dan nilai
moral antara negara yang satu dan negara yang lain tidak sama. Bahwa prinsip
tidak boleh merugikan pihak lain dalam berbisnis merupakan prinsip universal
yang dianut dimana saja, tidak bisa di bantah. Bahwa di pihak lain di Amerika
ada undang-undang anti-monopoli ( karena monopoli merugikan banyak pihak)
sementara di Indonesia tidak ada undang-undang anti-monopoli (bahkan terjadi
monopoli ilegal) tidak berarti prinsip tidak merugikan orang lain tidak bersifat
universal. Persoalannya adalah bahwa perkembangan situasi dan kemauan politik
pemerintah berbeda sehingga ada situasi hukum yang berbeda.
Pandangan kedua mengenai nilai dan norma moral sendiri paling benar
dalam arti tertentu mewakili kubu moralisme; bahwa pada dasarnya norma dan
nilai moral berlaku universal, dan karena itu apa yang dianggap dan dianut
sebagai benar di negara sendiri harus juga diperlakukan di negara lain ( karena
anggapan bahwa di negara lain prinsip itu pun pasti berlaku dengan sendirinya).
Pandangan ini umumnya didasarkan pada anggapan bahwa moralitas menyangkut
baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, sejauh manusia
adalah manusia., dimanapun dia berada prinsip, nilai, dan norma moral itu akan
tetap berlaku.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Karena, ada bahaya
bahwa perusahaan luar memaksakan nilai dan norma moralnya yang sudah
dikodifikasikan dalam hukum tertulis tertentu untuk diberlakukan di negara
dimana perusahaan itu beroperasi. Ada bahaya bahwa perusahaan Amerika akan
memaksakan hukum bisnis tertentu ( yang dijiwai oleh prinsip moral tertentu) di
negara di mana perusahaan itu beropersi karena anggapan bahwa prinsip dan nilai
moral tertentu berlaku universal. Persoalannya, sering perkembangan ekonomi,
sosial, politik, negara tuan rumah belum semaju perkembangan ekonomi, sosial,
politik di negara asal suatu perusahaan sehingga hukum yang berlaku di negara
asal belum tentu bisa diterapkan begitu saja di negara tuan rumah ( kendati tidak
bisa disangkal bahwa norma moral yang menjadi dasarnya diakui di negara tuan
rumah). Namun menurut De George prinsip yang paling pokok yang berlaku
10
universal, khususnya dalam bisnis adalah prinsip integritas pribadi atau integritas
moral. Bagi de George, dalam bisnis modern bersaing secara etnis berarti
bersaing dengan penuh integritas pribadi.
Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi dibandingkan dengan
prinsip moral lainnya, yang menjadi alasan mengapa De George menganggapnya
sebagai prinsip moral paling universal bagi dunia bisnis. Pertama, prinsip
integritas pribadi tidak punya konotasi negatif seperti halnya pada prinsip-prinsip
moral lainnya, bahkan pada kata etika dan moralitas itu sendiri. Bagi banyak
orang, kata etika, apalagi prinsip etika, mempunyai nada moralitas dan paksaan
dari luar. Sebaliknya bertindak berdasarkan integritas pribadi berarti bertindak
sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima dan dianut diri sendiri dan
juga berarti memberlakukan pada diri sendiri norma-norma yang juga di tuntut
oleh etika dan moralitas. Dengan kata lain, prinsip integritas pribadi mengandung
pengertian bahwa norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima menjadi
milik pribadi dan tidak lagi bersifat aksternal. Ini berarti bersaing dengan
mempertaruhkan integritas pribadi berarti bersaing dalam bisnis sesuai dengan
nilai tertinggi yang dianut pribadi tersebut. Prinsip integritas moral disini
sesungguhnya sama dengan prinsip otonomi pada Khant. Hal yang sama berlaku
dalam perusahaan. Berbisnis dengan mempertahankan integritas moral perusahaan
berarti berbisnis dengan mematuhi norma dan prinsip moral yang sesungguhnya
sudah dijadikan etos bisnis tersebut. Maka, prinsip etika bisnis disini tidak lagi
menjadi sesuatu yang dipaksakan dari luar oleh masyarakat, oleh pihak lain,
ataupun oleh negara, melainkan justru telah dijadikan iklim, jiwa, semangat, etos
dari perusahaan tersebut. Secara maksimal, pelaku bisnis diharapkan mempunyai
kemauan baik dan kesadaran moral untuk berbisnis yang secara baik, dan tidak
sekedar dipaksa oleh prinsip dalam bentuk aturan-aturan bisnis yang ketat. Ini
mempunyai lingkup yang luas mencakup bertindak jujur, bertanggung jawab, atas
produk yang ditawarkan, fair dalam transaksi dagang, jaminan terhadap hak
karyawan, dan sebagainya. Yang menjadi persoalan adalah konsep integritas
pribadi atau inegritas moral lebih merupakan suatu konsep Amerika atau Barat
pada umumnya. Bagi Indonesia rasanya konsep ini tidak punya nilai dan muatan
moral sama sekali. Orang begitu mudah mengabaikannya. Orang begitu gampang
melakukan tindakan yang merusak integirtas pribadi atau nama baiknya sendiri.
11
Bahkan integritas pribadi hampir tidak kenal sama sekali. Berbagai kasus korupsi
dalam bentuk kasus korupsi dalam bentuk suap, kolusi, surat-surat sakti baik
dalam bidang politik-birokrasi maupun bisnis menunjukkan betapa integritas
pribadi di abaikan begitu saja. Kasus Eddy Tansil dan dugaan kolusi di MA
membuat kita mempertanyakan konsep integritas moral dan pribadi orang – orang
kita, bahkan dari orang – orang yang mempunyai kedudukan terhormat. Orang –
orang terhormat dalam masyarakat karena kedudukannya di bidang politik dan
bisnis ternyata tidak punya integritas pribadi sama sekali. Karena itu,prinsip
integritas pribadi yang dianggap De George sebagai prinsip moral paling universal
bagi dunia bisnis ternyata syarat dengan kandungan historis-kultural dan karena
itu relatif sifatnya.
Ini tidak berarti Prinsip integritas moral ditolak sama sekali. Prinsip ini
tetap penting. Hanya saja prinsip ini punya kelemahan yang tidak terelakkan
seperti prinsip moral lainnya: hanya berhenti sebagai imbauan. Oleh karena itu,
sebagai moralitas pada umumnya masyarakat tidak bisa berbuat banyak ketika
orang tertentu tidak peduli pada integritas moralnya. Maka,dalam konteks dimana
integritas pribadi dan moral mempunyai gema yang kuat. Tentu saja kita tetap
optimis bahwa dalam bsinis global yang mengandalkan mekanisme pasar yang
tidak pandang bulu, integritas pribadi lama kelaman dapat menjadi sebuah prinsip
yang menentukan bagi kegiatan bisnis yang etis. Ini terutama karena dengan
mengandalkan pasar global, praktik-praktik monopolistis dan kolusi relatif akan
tergusur sehingga orang mau tidak mau akan lebih mangandalkan integritas
pribadinya, yang ditunjukkan oleh keunggulan objektifnya dalam pasar.
4. Pendekatan stakeholder
Pendekatan Skateholder merupakan sebuah pendekatan baru yang banyak
digunakan, khususnya dalam etika bisnis, belakangan ini dengan mencoba
mengintegrasikan kepentingan bisnis disatu pihak dan tuntutan etika dipihak lain.
Dalam hal ini, pendekatan stakeholder adalah cara mengamati dan menjelaskan
secara analitis bagaimana berbagai unsur dipengaruhi dan mempengaruhi
keputusan dan tindakan bisnis. Pendekatan ini lalu terutama memetakan
hubungan – hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis pada umumnya untuk
12
memperlihatkan siapa saja yang punya kepentingan, terkait, dan terlibat dalam
kegiatan bisnis pada umumnya itu. Pada akhirnya, pendekatan ini memepunyai
satu tujuan imperatif: bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan
kepentingan semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder) dengan suatu
kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan dihargai. Sekaligus dengan pendekatan
ini bisa dilihat secara jelas bagaimana prinsip-prinsip etika bsinis yang dibahas
dalam bab ini menemukan tempatnya yang relevan dalam interaksi bisnis dari
sebuah perusahaan dengan berbagai pihak terkait.
Dasar pemikirannya adalah bahwa semua pihak yang punya kepentingan
dalam suatu kegiatan bisnis terlibat didalamnya karena ingin memperoleh
keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus di perhatikan dan dijamin.
Yang menarik, pada akhirnya pendekatan stakeholder bermuara pada prinsip
minimal yang telah disebutkan di depan: tidak merugikan hak dan kepentingan
manapun dalam suatu kegiatan bisnis. Ini berarti, pada akhirnya pendekatan
stakeholder menuntut agar bisnis papun perlu dijalankan secara baik dan etis
justru demi menjamin kepentingan semua pihak yang terkait dalam bisnis
tersebut. Yang juga menarik adalah bahwa sama dengan prinsip no harm.,
pendekatan ini pun memperlihatkan secara sangat gamblang bahwa pada akhirnya
pendekatan ini ditempuh demi kepentingan bisnis perusahaan yang bersangkutan.
Artinya, supaya bisnis dari perusahaan itu dapat berhasil dan tahan lama,
perusahaan manapun dalam kegiatan bisnisnya dituntut, atau menuntut dirinya,
untuk menjamin dan menghargai hak dan kepentingan semua pihak yang terkait
dengan bisnisnya. Karena salah satu saja dari pihak-pihak yang berkepentingan
dan terlibat didalamnya dirugikan, pihak tersebut tidak akan mau lagi menjalin
bisnis dengan perusahaan tersebut.
Pada umumnya ada dua kelompok stakeholder:
Kelompok primer; kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau
saham, kreditor, karyawan, pemasuk, konsumen, penyalur, dan pesaing
atau rekan.
Kelompok sekunder; terdiri dari pemerintah setempat, masyarakat pada
umumnya, dan masyarakat setempat. Yang paling penting diperhatikan
dalam suatu kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer karena
13
hidup matinya, berhasil tidaknya bisnis suatu perusahaan sangat
ditentukan oleh relasi yang saling menguntungkan yang dijalin dengan
kelompok tersebut. Yang berarti demi keberhasilan dan kelangsungan
bisnis suatu perusahaan, perusahaan tersebut tidak boleh merugikan
satupun kelompok stakeholder primer diatas. Dengan kata lain, perusahaan
tersebut harus menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok
tersebut; jujur, bertanggung jawab dalam penawaran barang dan jasa,
bersikap adil terhadap mereka, dan saling menguntungkan satu sama lain.
Disinilah kita menemukan bahwa prinsip etika menemukan tempat
penerapannya yang paling konkret dan sangat sejalan dengan kepentingan
bisnis untuk mencari keuntugan.
Dalam kaitan dengan kelompok sekunder, perlu dikatan bahwa dalam
situasi tertentu kelompok ini bisa sangat penting bahkan bisa jauh lebih penting
dari kelompok primer, dan karena itu bahkan sangat perlu diperhitungkan dan
dijaga kepentingan mereka. Misalnya, kelompok sosial semacam LSM baik
dilingkungan hidup, kehutanan, maupun hak masyarakat lokal bisa sangat
merepotkan bisnis atau perusahaan. Demikian pula pemerintah nasional maupun
asing, juga media massa dan masyarakat setempat. Dalam kondisi sosial,
ekonomi, politik semacam Indonesia, masyarakat setempat bisa sangat
mempengaruhi hidup matinya suatu perusahaan. Ketika suatu perusahaan
beroperasi tanpa memperdulikan kesejahteraan, nilai budaya, sarana dan prasarana
lokal, lapangan kerja setempat, dan seterusnya akan menimbulkan suasana sosial
yang sangat tidak kondusif dan tidak stabil bagi kelangsungan bisnis perusahaan
tersebut. Dengan demikian, dalam banyak kasus, perusahan yang ingin berhasil
dan bertahan dalam bisnisnya harus pandai menangani dan memperhatikan
kepentingan kedua kelompok stakeholder diatas secara baik. Dan itu berarti bisnis
harus dijalankan secara baik dan etis.
D. Kesimpulan
Demikian pula pemerintah nasional maupun asing,juga media massa dan
masyarakat setempat. Dalam kondisi sosial, ekonomi, politik semacam Indonesia,
masyarakat setempat bisa sangat mempengaruhi hidup matinya suatu perusahaan.
14
Ketika suatu perusahaan beroperasi tanpa memperdulikan kesejahteraan, nilai
budaya, sarana dan prasarana lokal, lapangan kerja setempat, dan seterusnya, akan
menimbulkan suasana sosial yang sangat tidak kondusif dan tidak stabil bagi
kelangsungan bisnis perusahaan tersebut Dengan demikian, dalam banyak kasus,
perusahan yang ingin berhasil dan bertahan dalam bisnisnya harus pandai
menangani dan memperhatikan kepentingan kedua kelompok stakeholder diatas
secara baik. Dan itu berarti bisnis harus dijalankan secara baik dan etis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rhenald Khasali. tanggal 26 Februari 2005 hal.10. “Masyarakat Kita Belum
Punya Budaya Korporatif”, Harian Kompas
2. Prof.Dr. Sondang P.Siagian, MPA. 1996. Etika Bisnis, Jakarta; PT Pustaka
Binaman Pressindo,
3. DR.A. Sonny Keraf. 1998. “Etika Bisnis; tuntutan dan Relevansinya” Jakarta;
Penerbit Kanisius.
4. De George, Ricarhard T. 1986. Busness Ethics, Ke-2. New york: MacMillan
Pub. Co.
5. Kant, Immanuel.1980. Foundations of the Metaphisics of Morals. Indianapolis:
Bobbs-Merrill Educations Pub.
6. Smith, Adam. 1965. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations. New York: Modern Library.
15
ETIKA BISNIS
Dosen Pengampu : Fitri Nugraheni. SE. MM
Disusun oleh :
1. Eko Budi Wibowo NIM : 2009-11-146
2. Saifuddin NIM : 2009-11-165
3. Retno Sri Widanarti NIM : 2009-11-009
4. Erwin Tyas Hapsari NIM : 2009-11-047
5. Zainal Abidin NIM : 2001-11-376
6. Nur Khalimah NIM : 2009-11-036
FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS MURIA KUDUS
TAHUN 2010
16