Upload
dophuc
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
1. BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Cuaca dan Iklim
Cuaca dan iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam sehingga
kehidupan baik manusia, hewan dan tumbuhan tidak terlepas dari pengaruh atmosfer
dan proses-prosesnya. Cuaca adalah keadaan atmosfer pada waktu tertentu yang
sifatnya berubah-ubah setiap waktu atau dari waktu ke waktu. Iklim adalah rata-rata
keadaan cuaca dengan jangka waktu yang cukup lama minimal 30 tahun dan sifatnya
tetap (Kartasapoetra, 2010). Cuaca merupakan keadaan sesaat dari atmosfer (sejam,
sehari, seminggu), sedangkan iklim merupakan keadaan atmosfer selama suatu periode
tertentu (Nasir dan Sugiarto, 1999).
Ilmu yang mempelajari cuaca disebut meteorologi, yakni cabang ilmu yang
membahas pembentukan dan perubahan cuaca serta proses-proses fisika yang terjadi di
atmosfer. Ilmu yang mempelajari iklim disebut klimatologi, yakni ilmu yang mengkaji
gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat fisik dan gejala-gejala cuaca tersebut mempunyai
sifat yang umum dalam jangka waktu yang relatif lebih lama pada atmosfer bumi
(Sabaruddin, 2012).
Cuaca dan iklim merupakan keadaan atau kondisi fisik atmosfer yang terbentuk
melalui interaksi dari berbagai unsur atau komponen yang disebut unsur-unsur cuaca
dan iklim yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Unsur-unsur tersebut meliputi
radiasi atau lama penyinaran matahari, suhu, kelembaban, tekanan udara, angin, awan,
presipitasi dan evaporasi (Sabaruddin, 2012). Unsur-unsur cuaca dan iklim berbeda dari
tempat yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena
pengendali iklim atau faktor iklim, yaitu ketinggian tempat, latitude (letak bintang),
daerah-daerah tekanan, arus-arus laut, dan permukaan tanah (Kartasapoetra, 2004).
Berikut ini merupakan penjelasan unsur-unsur cuaca/iklim (Kartasapoetra, 2004) :
a. Lama penyinaran matahari adalah tergantung pada posisi bumi mengelilingi
matahari. Jumlah radiasi matahari yang diterima bumi tergantung pada jarak dari
6
matahari, intensitas radiasi matahari, lama penyinaran matahari/panjang, hari/durasi
dan atmosfer.
b. Suhu/temperatur adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala
tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang bisa digunakan adalah
derajat celcius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa negara lain dinyatakan
dalam derajat Fahrenheit (oF). Suhu di permukaan bumi dipengaruhi oleh jumlah
radiasi yang diterima (per tahun, per hari, per musim), pengaruh daratan dan lautan,
pengaruh ketinggian tempat, pengaruh angin secara tidak langsung, pengaruh panas
laten, penutup tanah, tipe tanah dan sudut datang sinar matahari.
c. Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Keadaan
kelembaban udara di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya
kelembaban yang tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan kelembaban terendah
pada lintang 40o. Besarnya kelembaban pada suatu daerah merupakan faktor yang
dapat menstimulasi curah hujan. Di Indonesia, kelembaban tertinggi dicapai pada
musim hujan dan terendah pada musim kemarau.
d. Awan merupakan kumpulan titik-titik air yang banyak jumlahnya dan terletak pada
titik koordinat serta melayang-layang tinggi di udara. Setiap jenis awan mempunyai
kelembaban dan suhu masing-masing. Awan cumulus merupakan awan penyebab
terjadinya hujan, sedangkan awan cumulus nimbus mengakibatkan hujan besar.
e. Hujan merupakan salah satu dari bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan
yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Hujan
dapat terjadi karena adanya titik-titik kondensasi, amoniak, debu, dan asam
belerang. Titik-titik kondensasi mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari
udara. Satuan curah hujan diukur dalam mm atau inchi. Curah hujan merupakan
ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak
meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 mm berarti air hujan yang jatuh setelah
1 mm tidak mengalir, tidak meresap dan tidak menguap. Intensitas hujan adalah
banyaknya curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Hujan lebat dapat
diartikan sebagai intensitas besar, yang dapat menyebabkan erosi dan banjir.
f. Angin merupakan gerakan atau perpindahan masa udara dari satu tempat ke tempat
lain secara horizontal. Gerakan angin berasal dari daerah bertekanan tinggi ke
7
daerah bertekanan rendah. Angin mempunyai arah dan kecepatan. Arah angin
dilihat dari mana arah angin itu datang, misal dari barat disebut angin barat.
Ada 3 jenis iklim yang mempengaruhi Indonesia, yaitu iklim musim (iklim
muson), iklim tropika, dan iklim laut (Saragih, 2010 dalam Sodiq, 2013).
a. Iklim Musim (Iklim Muson).
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap
periode. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim
musim terdiri atas muson barat (angin musim barat daya) dan muson timur (angin
musim timur laut). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April
yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur
bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang bersifat kering yang
mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.
b. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas).
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim
tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau
dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis,
sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim
tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak
curah hujan atau hujan naik tropika.
c. Iklim Laut.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut
mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan
yang tinggi.
2. Siklus Hidrologi
Jumlah air di bumi adalah tetap. Perubahan yang dialami air di bumi hanya
terjadi pada sifat, bentuk, dan persebarannya. Air akan selalu mengalami perputaran dan
perubahan bentuk selama siklus hidrologi berlangsung. Air mengalami gerakan dan
perubahan wujud secara berkelanjutan meliputi wujud cair, gas, dan padat. Air di alam
8
dapat berupa air tanah, air permukaan, dan awan. Gambaran secara global penyebaran
air di dunia seperti tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penyebaran Air di Dunia (Maning, 1987 dalam Asdak 2004)
Kategori Presentase (%)
Air Asin:
- Laut
- Danau
97,3
0,01
Air Tawar :
- Air Es (Glacier)
- Akifer
- Kelembaban tanah
- Atmosfer
- Danau
- Sungai
2,14
0,61
0,005
0,001
0,009
0,0001
Total 100
Siklus hidrologi adalah perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian
ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti. Air akan
tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga dapat
dimanfaatkan oleh manusia atau makluk hidup lainnya. Dalam siklus hidrologi, energi
panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses
evaporasi pada permukaan vegetasi dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya
(Asdak, 2004).
Berikut ini penjelasan mengenai siklus hidrologi (Suripin, 2011) :
a. Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas matahari. Laju dan
jumlah penguapan bervariasi, terbesar terjadi di dekat equator, dimana radiasi
matahari lebih kuat.
b. Uap air yang dihasilkan dibawa udara yang bergerak. Dalam kondisi yang
memungkinkan, uap tersebut mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air,
yang pada gilirannya akan jatuh kembali sebagai presipitasi berupa hujan dan/atau
salju.
c. Presipitasi ada yang jatuh di samudera, di darat, dan sebagian menguap kembali
sebelum mencapai ke permukaan bumi. Presipitasi yang jatuh di permukaan bumi
menyebar ke berbagai arah dengan beberapa cara. Sebagian akan tertahan
sementara di permukaan bumi sebagai es atau salju, atau genangan air, yang dikenal
9
dengan simpanan depresi. Sebagian air hujan atau lelehan salju akan mengalir ke
saluran atau sungai yang disebut aliran permukaan. Jika permukaan tanah porus,
sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui peristiwa yang disebut infiltrasi.
Sebagian lagi akan kembali ke atmosfer melalui penguapan dan transpirasi oleh
tanaman.
Gambar 1. Siklus Hidologi (Suripin, 2011)
3. Anomali Iklim
Anomali iklim adalah penyimpangan iklim atau perubahan iklim jangka pendek.
Berikut ini adalah fenomena yang mempengaruhi iklim (anomali iklim) di Indonesia
(BMKG, 2014) :
a. El Nino dan La Nina
El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang
ditandai memanasnya suhu permukaan laut di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4)
atau anomali suhu permukaan laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata -
ratanya). Dampak El Nino di Indonesia sangat tergantung pada kondisi perairan
wilayah Indonesia. Fenomena El Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia
dengan diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis, baru akan terjadi bila
kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan
Indonesia cukup hangat, maka tidak akan berpengaruh terhadap berkurangnya
curah hujan secara signifikan di Indonesia. Wilayah Indonesia tidak seluruhnya
dipengaruhi oleh fenomena El Nino. La Nina merupakan kebalikan dari El Nino,
Laut
SungaiDanau
Evaporasi air laut
Evaporasi air
sungai
Evaporasi air
danau, kolam
Transpirasi
Evaporasi air hujan
Muka air tanah
Aliran air tanah
Mata air
Presipitasi
Inf iltrasi
Kondensasi
Aliran air tanah
Aliran permukaan
10
ditandai dengan anomali suhu permukaan laut negatif (lebih dingin dari rata-
ratanya) di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3.4). Fenomena La Nina secara umum
menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat bila dibarengi dengan
menghangatnya suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Dampak La Nina ini
tidak berpengaruh ke seluruh wilayah Indonesia.
b. Dipole Mode
Dipole Mode merupakan fenomena interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia
yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut
perairan pantai timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera. Perbedaan
nilai anomali suhu muka laut disebut sebagai Dipole Mode Indeks (DMI). Untuk
DMI positif, umumnya berdampak kurangnya curah hujan di Indonesia bagian
barat, sedangkan nilai DMI negatif, berdampak meningkatnya curah hujan di
Indonesia bagian barat.
c. Sirkulasi Monsun Asia – Australia
Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan tekanan udara di
Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola peredaran matahari
dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin di Indonesia umumnya adalah
pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah
tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang
berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin
timuran/tenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan
dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia.
d. Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zona/ ITCZ)
ITCZ merupakan daerah tekanan rendah yang memanjang dari barat ke timur
dengan posisi selalu berubah mengikuti pergerakan posisi matahari ke arah utara
dan selatan khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar khatulistiwa
yang dilewati ITCZ pada umumnya berpotensi terjadinya pertumbuhan awan-awan
hujan.
e. Suhu Permukaan Laut di Wilayah Perairan Indonesia
Kondisi suhu permukaan laut di wilayah perairan Indonesia dapat digunakan
sebagai salah satu indikator banyak-sedikitnya kandungan uap air di atmosfer, dan
11
erat kaitannya dengan proses pembentukan awan di atas wilayah Indonesia. Jika
suhu permukaan laut dingin berpotensi sedikitnya kandungan uap air di atmosfer,
sebaliknya panasnya suhu permukaan laut berpotensi cukup banyaknya uap air di
atmosfer.
4. Perubahan Iklim
iklim adalah perubahan yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung
oleh Perubahan aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer
secara global dan selain itu juga perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati
pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (IPCC, 2007). Perubahan iklim adalah
perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu
(LAPAN, 2002). Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang iklim dalam jangka
waktu berdekade ke jutaan tahun. Perubahan iklim merupakan perubahan musiman
jangka panjang dalam pola suhu, tetesan air, kelembaban, angin dan musim.
Hal-hal yang dapat menjadi bukti telah terjadi perubahan iklim di antaranya
adalah: perubahan curah hujan, pergeseran musim, perubahan pada suhu udara,
kelembaban, dan kecepatan angin serta seringnya kejadian iklim ekstrim (BMKG,
2011).
Perubahan iklim merupakan fenomena global, baik dari sisi penyebab,
konsekuensi maupun dampaknya, yang terkait aktivitas manusia di tingkat nasional
maupun lokal. Penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim adalah
adanya akumulasi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer terutama
karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), dan klorofluorokarbon
(CFC). Akumulasi tersebut telah mencapai tingkat yang membahayakan sistem iklim
bumi dan dampaknya menyebar ke seluruh dunia. Gangguan terhadap sistem ekologi
bumi yang ditimbulkan juga membawa perubahan pada cuaca, iklim, curah hujan,
gelombang panas dan berbagai gangguan alam lain yang bisa terjadi, dirasakan dan
diderita semua negara dan makluk hidup di bumi ini (Hadad, 2010).
Perubahan iklim mengakibatkan efek yang luas terhadap lingkungan hidup dan
sektor-sektor penghidupan, meliputi sumber air, pertanian, keamanan pangan, penyakit
menular, keragaman hayati dan kelestarian wilayah pantai (Kusnanto, 2011).
12
Perubahan iklim diukur berdasarkan perubahan komponen utama iklim, yaitu
suhu atau temperatur, musim (hujan dan kemarau), kelembaban dan angin. Dari
variabel-variabel tersebut variabel yang paling banyak dikemukakan adalah suhu dan
curah hujan (BMKG, 2011).
Berdasarkan data beberapa puluh tahun terakhir, pola hujan di sebagian wilayah
Indonesia sudah mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal musim hujan ada
yang mundur dan ada pula yang maju. Secara umum curah hujan musim hujan di
wilayah Indonesia bagian selatan ekuator (Jawa) dan kawasan Indonesia bagian timur
cenderung meningkat, sedangkan curah hujan musim kemarau cenderung menurun.
Musim kemarau yang terjadi di wilayah tersebut juga cenderung lebih lama (Ministry of
Environment Republic of Indonesia, 2007).
Minimum diperlukan panjang pengamatan data iklim sekitar 30 tahun untuk
dapat menggambarkan kondisi iklim (Organisasi Meteorologi Dunia atau World
Meteorological Organization/WMO, 2007).
5. Curah Hujan Areal (Areal Rainfall)
Ada tiga macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rata-
rata di atas areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar
atau pencatat (Soemarto, 1987).
a. Metode rata-rata aritmatik (aljabar)
Metode ini paling sederhana, pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun
dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi jumlah stasiun. Stasiun
hujan yang digunakan dalam hitungan adalah yang berada dalam DAS, tetapi stasiun di
luar DAS tangkapan yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode rata-rata
aljabar memberikan hasil yang baik apabila stasiun hujan tersebar secara merata di DAS
dan distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS (Triatmodjo, 2008).
b. Metode Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili
luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah
sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada
suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran
13
stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini stasium hujan
minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah
hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun.
Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rata-rata kawasan.
Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila
terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun,
maka harus dibuat lagi poligon yang baru (Triatmodjo, 2008).
c. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan
yang sama. Pada metode Isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua
garis Isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rata-rata dari kedua garis Isohyet
tersebut. Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman
hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus banyak dan tersebar
merata, metode Isohyet membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak
dibanding dua metode lainnya (Triatmodjo, 2008).
Dalam tugas akhir ini, perhitungan curah hujan areal di lokasi studi digunakan
metode Thiessen. Menurut Soemarto (1987), metode poligon Thiesen didasarkan pada
cara rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing penakar hujan mempunyai
daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus
terhadap penghubung antara dua pos penakar.
Gambar 2. DAS dengan perhitungan curah hujan poligon Thiessen
14
Misalnya A1 adalah luas daerah pengaruh pos penakar 1, A2 luas daerah
pengaruh pos penakar 2 dan seterusnya. Jumlah A1 + A2 + A3 + .... An = A adalah
merupakan jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi curah hujannya. Jika pos
penakar 1 menakar tinggi curah hujan d1, penakar 2 menakar d2 hingga pos penakar n
menakar dn, maka :
𝑑 =𝐴1. 𝑑1 + 𝐴2. 𝑑2 + 𝐴3. 𝑑3 + ⋯+ 𝐴𝑛 .𝑛
𝐴 =
𝐴𝑖 . 𝑑𝑖
𝐴
𝑛
1
.................. (1)
Jika 𝐴1
𝐴= 𝑃𝑖 yang merupakan prosentasi luas maka, 𝑑 =
𝐴𝑖 .𝑑𝑖
𝐴
𝑛1
Dimana :
A = Luas areal (km2 atau Ha)
d = Tinggi curah hujan rata-rata areal
d1, d2, d3,...dn = Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n
A1, A2, A3,...An= Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n
𝑃𝑖𝑛1 = jumlah prosentasi luas = 100%
6. Lahan Tadah Hujan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri atas tanah, iklim, relief,
hidrologi, vegetasi dan benda-benda di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor
tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan
manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO, 1975 dalam Arsyad, 2000).
Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia
terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup
baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua
golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan
pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar berdasarkan
penyediaan air dan lahan yang diusahakan, sehingga dikenal macam penggunaan lahan
seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan dan hutan.
Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau
desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).
Penggunaan lahan pertanian dibedakan menjadi dua yaitu lahan sawah (wet land)
dan bukan lahan sawah (non wetland). Lahan sawah (lahan basah/wet land)
15
dikelompokkan menjadi sawah irigasi, tadah hujan, pasang surut, tanah sawah lebak,
polder dll. Bukan lahan sawah (lahan kering/non wet land) dikelompokkan menjadi
tegal/kebun, ladang/huma, perkebunan, ditanami pohon/hutan rakyat, padang
penggembalaan/padang rumput, sementara tidak diusahakan dan lainnya (pekarangan
yang ditanami tanaman pertanian) (BPS, 2013).
Lahan basah dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu lahan basah alami
dan lahan basah buatan. Lahan basah alami adalah lahan dengan pengatusan (drainage)
buruk, bersifat basah sepanjang waktu atau selama bagian terbesar waktu. Lahan basah
buatan ialah lahan yang bentuknya sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
menambat air banyak untuk membuat tanah penuh air (waterlogged) atau untuk
mempertahankan genangan air pada permukaan tanah selama waktu tertentu. Teknik ini
biasanya diterapkan pada budidaya padi sawah (lahan basah buatan sinonim dengan
lahan sawah). Lahan basah buatan tidak terbatas pada keadaan iklim dan bentang lahan
tertentu (Notohadiprawiro, 2006).
Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, lapisan atas dan bawah
tubuh tanah (top soil dan sub soil) sepanjang tahun tidak jenuh air dan tidak tergenang
serta kelembaban tanah sepanjang tahun atau hampir sepanjang tahun berada dibawah
kapasitas lapang (Satari, 1977 dalam Guritno, 2011). Lahan kering dapat diartikan juga
sebagai tanah yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara permanen (Mulyadi,
1977 dalam Guritno, 2011).
Beberapa pengertian yang disarankan oleh Notohadiprawiro (1989) dalam
Suwardji (2003) adalah :
a. Daerah kering adalah kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi
potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah
hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi.
b. Lahan atasan (upland) adalah lahan dengan drainase alamiah lancar dan bukan
merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan
basah alamiah lain.
c. Lahan kering adalah lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan.
16
Para ahli pertanian di Indonesia telah mengambil kesepakatan bahwa arti lahan
kering adalah lahan dimana kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air
hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap. Pertanian lahan kering adalah
pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan
perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija,
perumputan pakan, perkebunan dan pekarangan termasuk dalam pertanian lahan kering.
Pemilahan lahan kering dan lahan basah tidak selalu tepat (Guritno, 2011).
Pertanian tadah hujan adalah pertanian yang mengacu pada sistem-sistem
pertanian yang tidak beririgasi dan hanya mengandalkan curah hujan untuk pasokan
airnya. Sekitar 80% dari lahan pertanian di dunia adalah sawah tadah hujan dan rasio ini
meningkat hingga 88% di daratan Asia Tenggara (Devendra dan Thomas, 2002).
Dalam suatu pergiliran tanaman, lahan yang sama dapat disebut lahan kering
pada waktu ditanami palawija (upland crop) dan menjadi lahan basah pada waktu
ditanami padi sawah (lowland rice) (Notohadiprawiro, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lahan tadah hujan
adalah lahan yang sumber air utamanya berasal dari curah hujan dan tidak ada sistem
irigasi teknis. Lahan tadah hujan (rainfed) dapat diusahakan secara sawah atau secara
tegal/ladang. Hal ini berarti bahwa dalam suatu pergiliran lahan yang sama, lahan tadah
hujan dapat berupa lahan kering pada waktu ditanami palawija dan lahan basah pada
waktu ditanami padi sawah (sawah tadah hujan).
a. Klasifikasi Iklim
Klasifikasi iklim pada umumnya sangat spesifik didasarkan pada tujuan
penggunaan, misalnya pertanian, penerbangan atau kelautan. Landasan klasifikasi iklim
menggunakan data unsur iklim, yaitu dengan memilih data unsur-unsur iklim yang
berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-
bidang tersebut (Lakitan, 2002). Klasifikasi Iklim dari Koppen, Mohr, Schimidt-
Ferguson sesuai bagi iklim yang ada di Indonesia, sedangkan Klasifikasi Oldeman,
Thornthwaite sesuai untuk iklim di dunia termasuk Indonesia. Dasar klasifikasi iklim
(Kartasapoetra, 2004), yaitu :
1) Klasifikasi Koppen berdasarkan pada curah hujan, temperatur dan vegetasi khusus
pada suatu daerah. Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim yaitu
17
Iklim A adalah tipe iklim hujan tropis (tropical rainy climates), iklim B adalah tipe
iklim kering (dry climates), iklim C adalah tipe iklim hujan cukup panas (temperate
rainy climates), iklim D adalah tipe iklim hujan salju (cold snowy forest climates)
dan iklim E adalah iklim kutub (polar climates). Klasifikasi iklim Koppen
ditujukan untuk kepentingan sektor kehutanan.
2) Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah
hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun waktu
satu tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila curah hujan >100 mm
per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar antara 100 – 60 mm dan
bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan. Klasifikasi iklim Mohr ditujukan
untuk kepentingan sektor kehutanan.
3) Klasifikasi Schmid-Ferguson (prinsip yang dikemukakan hampir sama dengan
klasifikasi Mohr), yaitu dengan mengambil bulan basah dan bulan kering
berdasarkan atas harga rata-rata dari curah hujan dari suatu bulan selama periode
panjang. Klasifikasi iklim Schmid-Ferguson ditujukan untuk kepentingan sektor
perkebunan dan kehutanan.
4) Klasifikasi iklim Thornthwaite memasukkan pengertian mengenai penguapan
karena vegetasi atau tumbuhan selain tergantung pada curah hujan juga pada air
yang menguap. Klasifikasi iklim Thornthwaite sesuai untuk keperluan tumbuhan
sedangkan untuk keperluan perikliman manusia serta makluk hidup lainnya kurang
sesuai.
5) Klasifikasi Oldeman didasarkan pada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama
pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklim berdasarkan jumlah bulan basah yang
berlangsung secara berturut-turut. Klasifikasi iklim Oldeman ditujukan untuk
kepentingan pertanian di Indonesia.
b. Klasifikasi Iklim Oldeman
Sistem klasifikasi iklim Oldeman merupakan sistem penggolongan iklim yang
tergolong baru dibandingkan lainnya. Oldeman et al. (1980) mengungkapkan bahwa
kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm/bulan sedangkan untuk tanaman
palawija adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang
sama adalah 75% maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan
18
diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan
air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan, sehingga
menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan
bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan
bulanan lebih kecil dari 100 mm.
Tipe utama klasifikasi Oldeman membagi 5 tipe iklim dan 4 sub divisi iklim.
Tipe iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut
yang terjadi dalam setahun. Sedangkan sub divisi iklim merupakan banyaknya jumlah
bulan kering berturut-turut dalam setahun.
Tabel 2. Klasifikasi Iklim menurut Oldeman berdasarkan Bulan Basah/Kering
Tipe Utama Bulan Basah
Berturut-turut
Tipe Utama Bulan Kering
Berturut-turut
A > 9 1 < 2
B 7 – 9 2 2 – 3
C 5 – 6 3 4 – 6
D 3 – 4 4 > 6
E < 3
Berdasarkan lima tipe utama dan empat sub divisi tersebut, Oldeman
mengelompokkan menjadi 17 daerah agroklimat mulai dari A1 sampai E4 dengan
penjelasan sebagai berikut (Sabaruddin, 2012) :
Tabel 3. Sistem Klasifikasi Oldeman dan Zona-Zona Agroklimatik Tipe/Zona
Klimatik
Bulan Basah (BB)
Berturut-turut
Bulan Kering (BK)
Berturut-turut
A1 > 9 < 2
A2 > 9 2 – 4 B1 7 – 9 < 2
B2 7 – 9 2 – 3
B3 7 – 9 4 – 6 C1 5 – 6 < 2
C2 5 – 6 2 – 3
C3 5 – 6 4 – 6 C4 5 – 6 > 6
D1 3 – 4 < 2
D2 3 – 4 2 – 3
D3 3 – 4 4 – 6 D4 3 – 4 > 6
E1 < 3 < 2
E2 < 3 2 – 3 E
3 < 3 4 – 6
E4 < 3 > 6
19
Gambar 3. Segitiga Oldeman Bagan Klasifikasi Iklim Pertanian
(Sabaruddin, 2012)
Tabel 4. Karakteristik Tiap Zona Agroklimatik Menurut Oldeman
Tipe Iklim Keterangan
A Sesuai untuk tanaman padi sawah secara terus menerus, namun
produksi berkurang karena fluks radiasi surya rendah sepanjang
tahun.
B1 Sesuai untuk padi terus menerus. Perlu penetapan waktu tanam.
Produksi tanaman lebih tinggi bila waktu panen jatuh pada musim
kemarau.
B2 – B4 Memungkinkan untuk penanaman padi dua kali setahun dengan
varietas umur pendek dan musim kemarau yang pendek cocok untuk
tanaman palawija.
C1 Menanam padi sawah sekali dan palawija dua kali setahun
C2 – C4 Setahun cukup menanam padi sawah sekali, namun untuk palawija
harus berhati-hati agar masa panen tidak jatuh pada musim kemarau.
D1 Tanam padi umur pendek satu kali dengan tingkat produksi tinggi
karena fluks energi radiasi surya tinggi.
D2 – D4 Hanya memungkinkan untuk tanam padi sekali dan palawija sekali
tergantung persediaan air.
E Daerah terlalu kering, mungkin hanya bisa menanam palawija sekali.
(Sumber: Sabaruddin, 2012)
20
7. Kebutuhan Air Pertanian Lahan Tadah Hujan
Pengairan atau irigasi berarti pemberian air pada tanaman untuk memenuhi
kebutuhan air bagi pertumbuhannya. Kegiatan-kegiatan pengairan menyangkut
penampungan air, penyaluran air ke lahan, dan pembuangan kelebihan air serta menjaga
kontinuitas air. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air pada air hujan
dalam jumlah yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman (Jumin, 2002).
Dalam pengairan dikenal istilah pemakaian air konsumptif dan kebutuhan air
tanaman. Pemakaian air konsumptif (consumptive water use) adalah jumlah air pada
suatu areal pertanaman yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan transpirasi,
pembentukan jaringan tanaman dan diuapkan dari permukaan tanah dan air (evaporasi),
serta diintersepsi tanaman. Kebutuhan air tanaman adalah pemakaian air konsumptif
ditambah jumlah air untuk mencapai kapasitas lapang dan perkolasi. Perkolasi adalah
bergeraknya air di dalam penampang tanah setelah tanah mencapai kapasitas lapang
atau jenuh. Untuk mengetahui jumlah air yang perlu disediakan untuk mengairi lahan
pertanian, diperlukan informasi atau data kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air
tanaman bergantung pada jenis dan umur tanaman, waktu atau periode pertanaman,
sifat-sifat fisik tanah, teknik pemberian air, jarak sumber air ke lahan pertanian, dan luas
areal pertanian yang akan diairi (Arsyad, 2000).
Penentuan kebutuhan air tanaman di daerah pertanian lahan tadah hujan sangat
tergantung pada evapotranspirasi, sedangkan pemenuhan kebutuhan airnya tergantung
kepada curah hujan dan kemampuan tanah menyimpan air. Curah hujan yang tidak
deras dan berlangsung lama akan lebih efektif mengisi lapisan pori tanah. Kemampuan
tanah menyimpan air ditentukan oleh tekstur, struktur dan kepadatan tanah. Tekstur liat
dengan ukuran butiran tanah kecil akan lebih mudah menyimpan air dibandingkan
tekstur tanah yang lebih besar seperti lempung, debu dan pasir. Kepadatan tanah yang
terlalu besar mempersulit penyimpanan air (Nasir, 1999).
8. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pertanian Lahan Tadah Hujan
Secara umum, perubahan iklim di Indonesia akan menyebabkan a) seluruh
wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah
dibandingkan wilayah subtropik, b) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan
curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Di
21
wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek akan menyulitkan
upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang
berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan. Meningkatnya hujan pada musim
hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan menurunnya hujan
pada musim kemarau akan meningkatkan resiko kekeringan. Di wilayah Indonesia
bagian utara, meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang
indeks pertanaman, namun kondisi lahan tidak sebaik di Jawa (Tim Sintesis Kebijakan
BBSDLP, 2008).
Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multidimensional,
mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian dan sistem produksi pertanian hingga
aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat
pada umumnya. Pengaruh tersebut dibedakan atas dua indikator, yaitu kerentanan dan
dampak. Secara harfiah, kerentanan (vulnerable) terhadap perubahan iklim adalah
kondisi yang mengurangi kemampuan (manusia, ternak, tanaman) beradaptasi dan/atau
menjalankan fungsi fisiologis/biologis, perkembangan/fenologi, pertumbuhan dan
produksi serta reproduksi secara optimal (wajar) akibat cekaman perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim adalah gangguan atau kondisi kerugian dan keuntungan baik
secara fisik maupun sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan
iklim (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011).
FAO (2007), menyatakan bahwa dampak perubahan iklim terhadap sektor
pertanian dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Dampak biofisik, yaitu:
1) Efek fisiologis pada tanaman, hutan dan ternak (kuantitas, kualitas)
2) Perubahan lahan, tanah dan sumber daya air (kuantitas, kualitas)
3) Peningkatan gangguan gulma dan hama
4) Pergeseran spasial dan temporal
5) Peningkatan permukaan air laut dan salinitas laut
6) Perubahan habitat biota laut termasuk sumberdaya perikanan laut
b. Dampak sosio ekonomi, yaitu :
22
1) Penurunan produktivitas dan produksi pertanian
2) Penurunan pendapatan nasional atau marginal Gross Domestik Bruto (GDP)
dari sektor pertanian
3) Fluktuasi harga di pasar internasional
4) Perubahan distribusi geografis rezim perdagangan
5) Peningkatan jumlah penduduk rawan pangan
6) Migrasi dan kerusuhan sipil (civil unrest)
Lahan tadah hujan merupakan wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim.
Produksi pertanian yang dihasilkan lahan tadah hujan sangat tergantung pada
ketersediaan air yang berasal dari curah hujan. Perubahan iklim menyebabkan
terjadinya peningkatan suhu udara, kenaikan permukaan laut, pergeseran pola curah
hujan, dan peningkatan kejadian ekstrim berupa banjir dan kekeringan (Sutrisno et al.,
2012), dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Peningkatan suhu udara berpengaruh pada peningkatan laju respirasi dan transpirasi
tanaman sehingga meningkatkan kebutuhan air tanaman dan mempercepat
pematangan buah dan biji yang dapat menurunkan kualitas hasil tanaman.
b. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan penyempitan lahan pertanian di
sepanjang pantai.
c. Pergeseran pola curah hujan mempengaruhi pertanaman lahan tadah hujan dan
menurunkan kualitas lahan serta mengubah kapasitas air irigasi. Pergeseran pola
curah hujan juga mempengaruhi waktu, musim serta pola tanam, menurunkan
produktivitas dan luas areal tanam serta areal panen karena adanya keterlambatan
musim tanam.
d. Iklim ekstrim seperti curah hujan yang sangat tinggi serta kekeringan yang sangat
lama mengakibatkan kerusakan tanaman dan kegagalan panen sehingga
produktivitas menurun. Iklim ekstrim juga merusak sumber daya lahan pertanian
beserta infrastrukturnya seperti jaringan irigasi. Peningkatan kelembaban udara
yang ekstrim meningkatkan intensitas serangan Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT).
23
Dampak utama perubahan iklim dan variabilitas iklim di agroekosistem lahan
kering adalah (Thomas et al., 2007) :
a. Penurunan hasil panen dan produktivitas pertanian yang mengancam ketahanan
pangan.
b. Pola curah hujan lebih tidak menentu dan kesulitan dalam menentukan jenis
tanaman, waktu tanam dan panen yang tepat dengan berbagai jangka waktu.
c. Mengurangi ketersediaan air, curah hujan yang ekstrim dapat meningkatkan
hilangnya air melalui limpasan.
d. Produktivitas tanaman menurun akibat peristiwa ekstrim seperti kekeringan dan
hujan deras yang berkepanjangan.
e. Berkurangnya kesuburan tanah melalui hilangnya karbon tanah dari erosi dan
dekomposisi yang lebih tinggi dari bahan organik tanah sebagai akibat dari suhu
yang lebih tinggi, serta berkurangnya kelembaban tanah dan kapasitas penyimpanan
air.
f. Produktivitas ternak menjadi rendah akibat peningkatan panas dan ketersediaan
pakan ternak menurun.
g. Perubahan risiko hama dan penyakit untuk tanaman dan hewan (dan manusia).
h. Perubahan agroekologi dan ancaman dari spesies tanaman invasif dan hewan baru.
i. Pengurangan keanekaragaman hayati spesies tanaman utama melalui perubahan
habitat.
j. Peningkatan kerentanan peternak karena produksi lahan tidak menentu akibat
perubahan pola curah hujan dan hilangnya vegetasi tutupan lahan.
9. Pengelolaan Air di Lahan Tadah Hujan sebagai Upaya Adaptasi Petani
Penduduk dunia tidak bisa tinggal diam menghadapi perubahan iklim yang tidak
hanya menimbulkan kerusakan ekosistem, tetapi juga keresahan sosial dan konflik
regional. Adaptasi terhadap perubahan iklim dan dampak yang timbul merupakan
upaya mendesak yang perlu dilakukan. Adaptasi sering dipersepsikan sebagai
mekanisme respon untuk meningkatkan daya tahan sistem alami dan sosial dan
mengurangi kerentanan terhadap efek negatif perubahan iklim. Tujuan adaptasi adalah
24
meminimalkan dampak negatif dan mengeksploitasi peluang-peluang yang
mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Kemampuan sistem alam dan sistem sosial
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim tidak sama antara satu daerah dan
daerah lainnya (Kusnanto, 2011).
Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem (termasuk
ekosistem, sosial-ekonomi, dan kelembagaan) untuk menyesuaikan dengan dampak
perubahan iklim, mengurangi kerusakan, memanfaatkan kesempatan, dan mengatasi
konsekuensinya (IPCC, 2001 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2011).
Adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor pertanian adalah berbagai
tindakan atau upaya penyesuaian diri secara manajerial, teknologi dan pola pertanian,
agar dampak perubahan iklim dapat diminimumkan bahkan dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produksi pertanian (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2011).
Pengelolaan air adalah komponen penting adaptasi terhadap tekanan iklim dan
tekanan sosial-ekonomi pada masa yang akan datang. Tekanan tersebut didorong oleh
perubahan ketersediaan air dan kebutuhan air untuk pertanian serta sektor-sektor lain.
Bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim untuk semua sistem produksi lahan adalah
melalui praktek-praktek penggunaan air irigasi untuk meningkatkan produktivitas.
Pengelolaan air dan peningkatan kinerja irigasi sangat penting untuk menjamin
ketersediaan air baik untuk produksi pangan atau kebutuhan manusia dan lingkungan
(FAO, 2007).
Berikut ini adalah teknik adaptasi dan pendekatan khusus pengelolaan air untuk
pertanian (FAO, 2004) :
a. Adopsi varietas atau spesies yang memiliki resistensi terhadap sengatan panas dan
kekeringan.
b. Modifikasi teknik irigasi, termasuk jumlah, waktu atau teknologi.
c. Adopsi irigasi suplementer pada tanaman tadah hujan.
d. Adopsi teknologi hemat air dengan panen air dan menjaga kelembaban tanah.
e. Memperbaiki pengelolaan air untuk mencegah genangan air dan erosi.
25
f. Modifikasi kalender tanaman, yaitu waktu atau lokasi tanam.
g. Pelaksanaan prakiraan iklim musiman.
h. Adaptasi aturan alokasi penggunaan air permukaan dan air tanah.
i. Adopsi langkah-langkah struktural dan nonstruktural untuk mengatasi banjir dan
kekeringan.
Pertanian lahan tadah hujan mempunyai potensi cukup besar dalam memenuhi
kebutuhan pangan saat sekarang dan masa depan melalui peningkatan produktivitas.
Peningkatan pertanian lahan tadah hujan dapat dilakukan dengan praktik-praktik
pengelolaan air, tanah dan lahan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan melalui
beberapa cara, antara lain (Liuzzi dan Hamdy, 2008) :
a. Meningkatkan produktivitas di daerah tadah hujan melalui peningkatan pengelolaan
kelembaban tanah dan irigasi suplementer.
b. Meningkatkan pengelolaan kesuburan tanah
c. Memperluas daerah pertanaman
Gambar 4. Beberapa Alternatif Pengelolaan Air pada Lahan Tadah Hujan
(Liuzzi dan Hamdy, 2008)
Konservasi lahan merupakan suatu cara penggunaan lahan atau tanah sesuai
dengan kemampuannya dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang
Pen
gel
ola
an
Air
Pertanian Lahan Tadah Hujan
Irigasi Suplementer
Paktik Konservasi Lahan (Field Conservation
Practices)
Pemanenan Air (Water Harvesting)
26
diperlukan. Konservasi lahan dilakukan dengan konservasi tanah dan air. Konservasi
tanah dan air merupakan dua hal yang saling berkaitan. Berbagai macam tindakan
konservasi tanah secara otomatis juga merupakan tindakan konservasi air. Pendekatan
dasar dalam konservasi tanah adalah sebagai berikut :
a. Menyediakan penutup tanah dengan tanaman atau mulsa agar tanah terlindung dari
pukulan hujan langsung.
b. Memperbaiki dan menjaga kondisi tanah agar tanah tahan terhadap penghancuran
dan pengangkutan, serta meningkatkan kapasitas infiltrasi.
c. Mengatur aliran permukaan sedemikian rupa sehingga mengalir dengan energi yang
tidak merusak, dengan cara (1) mengurangi aliran permukaan, (2) menahan aliran
permukaan, dan (3) mengendalikan aliran permukaan.
Konservasi tanah dapat dilakukan dengan metode vegetatif dan mekanik. Teknik
konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi maupun
sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran
permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik
sifat fisik, kimia maupun biologi. Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut
juga sipil teknis adalah upaya menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah
lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air.
Teknik ini meliputi: guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras
kredit, pematang kontur, teras kebun, barisan batu, dan teras batu. Khusus untuk tujuan
pemanenan air, teknik konservasi secara mekanis meliputi pembuatan bangunan resapan
air, rorak, dan embung (Agus et al., 1999).
Haryati (2011) menyatakan bahwa irigasi suplemen untuk tanaman diperlukan
sebagai pelengkap (complementary) apabila curah hujan tidak mencukupi untuk
mengkompensasikan kehilangan air tanaman yang disebabkan oleh evapotranspirasi.
Irigasi suplemen bertujuan untuk memberikan air yang dibutuhkan tanaman pada waktu,
volume dan interval yang tepat. Dengan menghitung neraca air tanah harian di zona
perakaran, maka volume dan interval irigasi dapat direncanakan.
Berdasarkan sarana irigasi yang digunakan, sistem irigasi suplemen terdiri atas:
1) irigasi permukaan (surface irrigation), 2) irigasi bawah permukaan (subsurface
irrigation), 3) irigasi sprinkle, 4) irigasi tetes, dan 5) kombinasi dari dua atau lebih
27
sistem (irigasi hybrid). Tersedianya sarana irigasi memungkinkan pemberian air dapat
dilakukan lebih teliti. Untuk irigasi tetes atau sprinkle, pemberian air dapat
dikombinasikan dengan pemupukan (Abdurrahman et al., 2008).
Irigasi permukaan adalah sistem irigasi yang menyadap air air langsung di sungai
melalui bangunan bendung maupun bangunan pengambilan bebas (free intake)
kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan
pertanian. Irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation) adalah sistem irigasi yang
meletakkan jaringan atau alat irigasinya di bawah permukaan tanah. Irigasi
sprinkle/curah (sprinkler irrigation) adalah salah satu metode irigasi di mana pemberian
air dilakukan dengan penyemprotan air ke udara, jatuh ke permukaan tanah seperti air
hujan atau metode pemberian air pada permukaan tanah melalui pipa-pipa bertekanan
tinggi dan mencurahkannya ke udara dalam bentuk butiran-butiran kecil seperti hujan.
Irigasi tetes adalah sistem irigasi untuk memasok air dan pupuk trsaring k dalam tanah
melalui suatu pemancar. Pasokan air yang diberikan mempunyai debit kecil dan konstan
serta tekanan rendah sehingga air akan menyebar di tanah baik ke samping maupun ke
bawah karena gaya kapiler dan gravitasi (Haryati, 2011).
Pemanenan air (water harvesting) adalah tindakan menampung air hujan dan
aliran permukaan untuk disalurkan ke tempat penampungan sementara dan atau tetap
(permanen) yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengairi tanaman yang
diusahakan pada saat diperlukan. Teknologi panen air selain berfungsi menyediakan
sumber air irigasi pada musim kemarau dapat pula berfungsi mengurangi banjir pada
musim hujan. Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk (1) menurunkan
volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah; (2) meningkatkan
ketersediaan air tanaman terutama pada musim kemarau; dan (3) mengurangi kecepatan
aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun (Agus et al., 2002).
Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada penggunaan lahan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan modifikasi kondisi agroklimat. Beberapa studi
simulasi menunjukkan pentingnya pengelolaan air irigasi sebagai teknik adaptasi untuk
mengurangi dampak perubahan iklim (IPCC, 2007).
28
11. Regresi Logistik
Regresi logistik (kadang disebut model logistik atau model logit) merupakan
salah satu bagian dari analisis regresi, yang digunakan untuk memprediksi probabilitas
kejadian suatu peristiwa, dengan mencocokkan data pada fungsi logit kurva logistik.
Regresi logistik dapat digunakan untuk memodelkan hubungan antara dua kategori
(binary) variabel hasil (variabel dependen/terikat) dan dua atau lebih variabel penjelas
(variabel independen/bebas). Estimasi model regresi logistik untuk masing-masing
variabel bebas memberikan perkiraan efek variabel tersebut terhadap variabel terikat
setelah menyesuaikannya dengan variabel bebas lainnya pada permodelan tersebut
(Robert, et.al, 2007 dalam Yamin dan Kurniawan, 2011).
Menurut Gujarati (1995), model logistik atau model logit adalah model regresi
non linear yang menghasilkan sebuah persamaan dimana variabel dependen bersifat
kategorikal. Kategori paling dasar dari model tersebut menghasilkan binary values
seperti angka 0 dan 1. Angka yang dihasilkan mewakilkan suatu kategori tertentu yang
dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya kategori tersebut. Probabilitas
dalam model logit diberikan seperti pada tabel berikut :
Tabel 5. Probabilitas
Yi Probabilitas
0 1-Pi
1 Pi
Total 1
Sumber : Gujarati 1995
Persamaan untuk regresi model logit diperoleh dari penurunan persamaan probabilitas
dari kategori-kategori yang diestimasi. Persamaan probabilitas tersebut adalah :
𝑷𝒊 = 𝑬 𝒀 =𝟏
𝑿𝒊 =
𝟏
𝟏+𝒆−(𝜷𝟏+𝜷𝟐𝑿𝒊) .................................... (2)
Persamaan tersebut dapat disederhanakan dengan mengasumsikan (𝛽1 + 𝛽2𝑋𝑖) adalah
Zi, sehingga mengahsilkan persamaan :
𝑷𝒊 =𝟏
𝟏+𝒆−𝒁𝒊 ........................ (3)
29
Pada persamaan (3) terlihat bahwa Zi berada dalam kisaran -∞ hingga +∞, dan Pi
berada dalam kisaran 0 hingga 1 dimana Pi memiliki hubungan nonlinier terhadap Zi.
Persyaratan regresi nonlinier adalah ketika Zi +∞, e-Zi
cenderung mendekati 0 dan
ketika Zi -∞, e-Zi
meningkat tidak terbatas. Nonlinieritas dalam Pi tidak hanya
terhadap X, namun juga terhadap β. Hal ini menimbulkan permasalahan estimasi
sehingga prosedur regresi ordinary least square (OLS) tidak dapat dilakukan. OLS
adalah persamaan regresi linier dengan menggunakan persamaan kuadrat kecil. Solusi
dari permasalahan tersebut adalah dengan melinierkan persamaan (3) dengan
menerapkan logaritma natural pada kategori 0 seperti pada persamaan :
𝟏 − 𝑷𝒊 =𝟏
𝟏+𝒆𝒁𝒊 .................................... (4)
Persamaan diatas dapat didistribusikan menjadi persamaan :
𝑷𝒊
𝟏−𝑷𝒊=
𝟏+𝒆𝒁𝒊
𝟏+𝒆−𝒁𝒊= 𝒆𝒁𝒊 .................................... (5)
Persamaan 𝑃𝑖
1−𝑃𝑖 disebut dengan rasio kecenderungan (odds ratio) terjadinya kategori
dengan nilai 1. Selanjutnya dengan menerapkan logaritma natural terhadap odds ratio
akan menghasilkan persamaan :
𝑳𝒊 = 𝒍𝒏 𝑷𝒊
𝟏−𝑷𝒊 = 𝒁𝒊 = 𝜷𝟏 + 𝜷𝟐𝑿𝒊 .................................... (6)
Dalam persamaan diatas, Li adalah log dari odds ratio yang tidak hanya linear terhadap
X, namun juga linear terhadap parameter β. Nilai β1 merupakan intercept yang berarti
bahwa probabilitas kepemilikan rumah adalah sebesar β1 ketika variabel-variabel lain
bernilai nol. Nilai β2 dan seterusnya merupakan ukuran kontribusi dari masing-masing
variabel yang menjadi faktor penentu variabel dependen. Nilai β2 yang positif memiliki
arti peningkatan nilai variabel tersebut sebesar satu satuan akan meningkatkan
probabilitas sebesar β2. Sedangkan nilai β2 yang negatif memiliki arti penurunan nilai
variabel tersebut sebesar satu satuan akan meningkatkan probabilitas sebesar β2.
Persamaan (6) merupakan persamaan regresi logistik sederhana (satu variabel
terikat dan satu variabel bebas), sedang untuk regresi logistik ganda (multiple regression
logistic) antara satu variabel bebas dengan beberapa variabel bebas maka persamaannya
adalah :
30
𝑳𝒊 = 𝒍𝒏 𝑷𝒊
𝟏−𝑷𝒊 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝑿𝟏 + 𝜷𝟐𝑿𝟐 + ⋯𝜷𝒏𝑿𝒏 ........................... (7)
Keterangan :
𝑙𝑛 𝑃𝑖
1−𝑃𝑖 = logodd (logit) : Logaritme natural dari odds. Odds : rasio
probabilitas suatu peristiwa untuk terjadi dan probabilitas suatu
peristiwa untuk tidak terjadi
𝛽0 = konstanta ( intersep)
𝛽1,𝛽2 …𝛽𝑛 = koefisien regresi variabel prediktor (slope)
𝑋1,𝑋2, . .𝑋𝑛 = variabel prediktor yg pengaruhnya akan diteliti.
𝑃𝑖 = probabilitas untuk terjadinya “peristiwa” dari variabel
dependen yg dikotomus
10. Asas Ilmu Lingkungan
Ilmu lingkungan adalah ekologi yang menerapkan berbagai asas dan konsep
kepada masalah yang lebih luas, yang menyangkut pula hubungan manusia dengan
dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan mengintegrasikan berbagai ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup (termasuk manusia) dengan
lingkungannya. Asas di dalam suatu ilmu yang sedang berkembang digunakan sebagai
landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model seperti pada
ilmu lingkungan (Soeriaatmadja, 1989).
Asas ilmu lingkungan terdiri dari 14 asas, antara lain :
a. Asas 1 : Semua energi yang memasuki sebuah organisasi hidup populasi atau
ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepas.
b. Asas 2 : Tak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efesien.
c. Asas 3 : Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semua termasuk
kategori sumber alam.
d. Asas 4 : Untuk semua kategori sumber alam, kalau pengadaannya sudah
mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun
dengan penambahan sumber alam itu sampai kesuatu tingkat
maksimum.
31
e. Asas 5 : Ada dua jenis sumber daya alam, yaitu sumber alam yang
pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang
tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.
f. Asas 6 : Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan dari
pada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya.
g. Asas 7 : Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam
lingkungan yang “mudah diramal”.
h. Asas 8 : Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson,
bergantung kepada nicia dalam lingkungan hidup itu dapat
memisahkan takson tersebut.
i. Asas 9 : Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomassa
dibagi produktivitas.
j. Asas 10 : Dalam lingkungan stabil perbandingan antara biomasa dengan
produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai asimtoot.
k. Asas 11 : Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksploitasi sistem yang
belum mantap (belum dewasa).
l. Asas 12 : Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada
kepentingan relatifnya di dalam keadaan suatu lingkungan.
m. Asas 13 : Lingkungan yang secara fisik mantap terjadinya penimbunan
keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang
kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.
n. Asas 14 : Derajat pola peraturan naik-turunnya populasi bergantung kepada
jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan
mempengaruhi populasi itu
Penelitian mengenai Adaptasi Petani Lahan Tadah Hujan terhadap Perubahan
Iklim dalam Memenuhi Kebutuhan Air Tanaman ini sesuai dengan asas lingkungan,
yaitu :
a. Asas 3 : Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman adalah kategori
sumber alam.
32
Perbedaan materi, energi, ruang, waktu dan keanekaragaman dapat mempengaruhi
kapasitas petani untuk beradaptasi terhadap lingkungannya. Kapasitas adaptasi
petani yang berkembang pada setiap komunitas berbeda-beda, begitu pula yang
terjadi pada petani lahan tadah hujan di Kabupaten Purworejo.
b. Asas 5 : Ada dua jenis sumber alam dasar, yaitu sumber alam yang
pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang
tidak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.
Air sebagai salah satu sumber alam, bila ketersediaannya diketahui secara stabil dan
kontinyu maka akan merangsang kenaikan pendayagunaan dalam kegiatan usaha
tani.
c. Asas 12 : Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada
kepentingan relatifnya dalam suatu lingkungan tertentu.
Perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan berupa
ancaman ketersediaan air. Hal ini akan mendorong petani lahan tadah hujan untuk
beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman dalam melakukan kegiatan
usahatani.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian mengenai adaptasi petani terhadap perubahan iklim telah dilakukan
oleh peneliti terdahulu antara lain :
1. Penelitian Fitri Kurniawati (2012) dengan judul Pengetahuan dan Adaptasi Petani
Sayuran Terhadap Perubahan Iklim (Studi Kasus : Desa Cibodas, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat) Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung.
Tujuan penelitian adalah mengetahui pengetahuan dan adaptasi petani sayuran
terhadap perubahan iklim serta untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam beradaptasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kombinasi metode kualitatif dan
kuantitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur, focus group
discussion (FGD) dan observasi.
33
Hasil penelitian menyatakan bahwa jumlah petani sayuran di Desa Cibodas yang
mengetahui adanya perubahan pada parameter iklim (seperti pergeseran musim,
peningkatan curah hujan, perubahan kecepatan angin dan peningkatan suhu udara)
yang menjadi indikator perubahan iklim masih rendah. Petani di Desa Cibodas
masih dalam tahap menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi
dengan pola adaptasi yang paling banyak diadopsi petani adalah dengan mengubah
teknik pengairan dan drainase, mengubah teknik pengolahan tanah, dan mengubah
teknik pengendalian OPT, sedangkan pola adaptasi yang tidak banyak diadopsi
adalah menggeser masa tanam dan mengubah pola tanam.
2. Penelitian Ubai Dresani (2013) dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Strategi Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim di Kabupaten Sleman dan
Gunungkidul. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Tujuan penelitian adalah mengetahui persepsi petani mengenai perubahan iklim,
mengetahui ragam strategi adaptasi petani terhadap perubahan iklim, dan
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi strategi adaptasi petani terhadap
perubahan iklim.
Metode analisis yang digunakan yaitu metode tabel, chi square, dan regresi logit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak tahu mengenai
perubahan iklim dan pemanasan global tetapi merasakan dampak perubahan iklim
seperti suhu semakin panas, penurunan produksi, kegagalan panen, kekeringan, lahan
sulit diolah, dan penurunan volume air irigasi. Strategi adaptasi yang dilakukan petani
antara lain usaha tani organik/semi organik, usaha tani hemat air, tumpangsari,
pergiliran tanaman, penggunaan varietas tahan kering, dan pengelolaan stok. Faktor
yang mempengaruhi kemungkinan petani melakukan strategi adaptasi terhadap
perubahan iklim adalah besarnya nilai produksi ternak, terjadi kekeringan lahan yang
diolah, dan keberadaan sumber air irigasi permanen.
34
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Perubahan Iklim - Pergeseran musim
- Peningkatan suhu udara- Perubahan Intensitas Hujan
- Iklim Ekstrim
Adaptasi Petani Lahan Tadah Hujan terhadap Perubahan Iklim dalam Memenuhi
Kebutuhan Air Tanaman dengan Pengelolaan Air, antara lain:
- Praktik Konservasi Lahan- Irigasi Suplementer - Panen Air/Water Harvesting
Perubahan Sistem Pertanian Lahan Tadah Hujan
Faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi petani:
- Faktor Internal : pengetahuan dan penguasaan
teknologi usahatani, kemampuan permodalan, keterampilan manajerial
- Faktor Eksternal : ketersediaan infrastruktur dan
paket-paket teknologi inovatif, kelembagaan
Ancaman Ketersediaan Air
Strategi Adaptasi Petani terhadapPerubahan Iklim dalam Memenuhi
Kebutuhan Air Tanaman