Upload
nguyendang
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA: SEBUAH REVIU
A REVIEW ON EDUCATIONAL DECENTRALIZATION IN INDONESIA
Lucia H. Winingsih Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Email: luciahw@yahoo.com
ABSTRAK
Berdasarkan Undang-Undang Nomer 221 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999, Indonesia mulai menerapkan kebijakan desentralisasi pada tahun 1999. Berdasarkan pada ke dua UU tersebut, Pemerintah Indonesia melimpahkan sebagian kewenangan dan tanggungjawab pelayanan sektor publik, termasuk sektor pendidikan, ke pemerintah daerah. Pada sektor pendidikan, dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dengan harapan bahwa sistem pendidikan akan lebih efisien, lebih bermutu dan lebih berkeadilan. Ada argumentasi bahwa dengan desentralisasi maka sistem pendidikan akan lebih responsif terhadap kebutuhan daerah yang bersangkutan. Namun, sebenarnya konsep desentralisasi itu sendiri mempunyai beberapa pengertian, dan masing pengertian akan mempunyai implikasi yang berbeda dalam pelaksanaannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas konsep desentralisasi, termasuk desentralisasi pendidikan; dan juga mendiskusikan bagaimana kebijakan ini diterapkan di Indonesia dan bagaimana pembiayan kebijakan desentralisasi terebut.
Kata kunci: desentralisasi, desentralisasi pendidikan, sektor publik, efisiensi.
ABTRACT
Indonesia has starting implemented decentralization policy in 1999. Through Law no. 22/1999 and 25/1999, the government of Indonesia transferred the authority and responsibility in delivering public sector, including education to the local government. It is expected that by decentralizing education system management to the local government, it will improve not only the efficiency but also the quality and equality of education. There is an argument that decentralization will bring the education system more efficient and more responsive to the local need. However, the concept of the decentralization transform in to several kind of form and type, in which it will have implication in its implementation. The article aims to review the concept of decentralization, including the educational decentralization; and also to review the decentralisation in Indonesia, including how to finance it.
Keywords: decentralisation, educational decentralisation, public sector, efficency.
PENDAHULUAN
Desentralisasi, dalam berbagai bentuk dan tingkatnya, dalam dua dasa warsa terakhir ini
telah diimplementasikan secara luas di berbagai negara, baik di negara maju maupun di
2
negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi
mengandung arti adanya proses pelimpahan sebagian wewenang dalam struktur
pengelolaan; pelimpahan sebagian kewenangan ini bisa terjadi dalam wujud kekuasaan
atau otoritas, sumber daya, dan tanggung jawab yang berasal dari Pemerintahan Pusat atau
unit di tingkat nasional kepada pemerintah daerah atau sub-unit dalam pemeritahan.
Cakupan, bentuk, dan tipe dari konsep desentralisasi juga sangat bervariasi; bisa devolusi,
delegasi, dekonsentrasi, atau bahkan privatisasi. Sebagai contoh, di negara-negara Amerika
Latin, telah menerapkan kebijakan desentralisasi dalam berbagai bentuk, tipe, dan
tingkatnya (Burki, Perry, and Dilinger, 1999).
Ada berbagai alasan mengapa sebuah negara menerapkan kebijakan desentralisasi. Alasan
yang paling umum yang terjadi di banyak negara karena terjadinya reformasi politik dan
reformasi ekonomi; dan ini merefleksikan tren global untuk memberikan “hak” atau
“suara” pada tuntutan lokal/daerah dan untuk membawa sistem politik dan sistem ekonomi
lebih dekat kepada pemerintah daerah. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor
trategis yang di didesentralisasikan ke pemerintah daerah. Argumen yang mendasari bahwa
dengan mendesentralisasikan pendidikan ke daerah, maka sistem pendidikan akan lebih
efisien, lebih berkualitas dan berkeadilan, dan dengan didesentralisasikan kewenangan
dalam mengelola pendidikan ke daerah, maka sistem pendidikan akan lebih responsif
terhadap kebutuhan daerah.
Kebijakan desentralisasi tersebut dalam penerapannya mempunyai tingkat yang
berbeda-beda, tergantung pada bentuk atau tipe desentralisasi yang di pilih dan pada
tingkat pemerintahan mana pelimpahan wewenang dan tanggung jawab tersebut
diserahkan. Oleh karena, kebijakan desentralisasi satu negara dan negara yang lain berbeda
satu sama lain. Penerapan kebijakan ini juga akan sangat tergantung pgada tujuan yang
ingin dicapai dari penerapan kebijakan tersebut. Seberapa luas pengertian desentralisasi
dan dan bagaimana penerapannya merupakan hal mendasar yang harus dipahami dalam
penerapan kebijakan tersebut. Artikel ini berusaha untuk memahami dan menganalisis
mengenai kebijakan desentralisasi, terutama desentralisasi dalam bidang pendidikan,
tersebut diterapkan; dan bagaimana pemerintah membiayai pelaksanaan program atau
kebijakan tersebut.
Secara umum, tujuan dari artikel ini yaitu untuk melakukan reviu dan pembahasan
3
mengenai kebijakan desentralisasi secara umum, dan dan secara khusus mengenai
kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Namun, secara lebih rinci, artikel ini
bertujuan untuk: i) mereviu konsep dan bentuk dari kebijakan atau program desentralisasi;
ii) mereviu desentralisasi pendidikan secara umum, dan melihat desentralisasi pendidikan
di Indonesia; dan iii) mereviu pembiayaan yang terjadi dalam masa desentralisasi.
Walaupun desentralisasi telah berjalan lebih dari dua dasa warsa di masyarakat
internasional dan lebih satu dasa warsa di Indonesia; namun reviu semacam ini masih
sangat diperlukan mengingat bahwa masih banyak negara-negara maju maupun negara
sedang berkembang yang menerapkan kebijakan ini; banyak negara yang menghadapi
permasalahan dalam penerapan kebijakan desentralisasi tersebut. Sebagai contoh, banyak
kebijakan desentralisasi yang ternyata tidak sesuai dengan tujuan awalnya sehingga perlu
reorientasi atau masalah lain yang muncul terkait dengan implementasi kebijakan ini.
KAJIAN LITERATUR DAN PEMBAHASAN
Konsep, Bentuk, dan Tipe Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah konsep yang sangat longgar, yang mempunyai arti yang
sangat bervariasi. Konsep yang digunakan akan mempunyai implikasi pada bentuk dan
dimensi dari konsep desentralisasi yang digunakan dan pada akhirnya akan berimplikasi
pada tingkat praktek/implementasinya. Desentralisasi itu sendiri berarti:
”to decentralize means to disperse objects away from a central point”(Lauglo, 1999).
Secara sederhana, pengertian desentralisasi adalah kebalikan dari sentralisasi. Namun,
sebenarnya pengertiannya tidaklah sesederhana itu. Konsep desentralisasi merupakan
sebuah konsep yang kompleks, mempunyai banyak dimensi dan tidak mudah untuk
didefinisikan (Litvak, Ahmad, dan Bird, 1999). Desentralisasi bisa mempunyai arti yang
berbeda-beda dalam konteks yang berbeda. Desentralisasi mempunyai multi arti, sehingga
dalam prakteknya konsep ini bisa digunakan sebagai alat atau solusi bagi berbagai macam
problem sesuai dengan tujuan (Strudwick, 1992; UNDP, 1999). Longgarnya konsep
desentralisasi ini juga seperti terlihat dalam Lauglo (1995):
…also argue that decentralization is a concept with highly imprecise notion, and it becomes more imprecise when the concept is used to denote the distribution of authority in organizations such as national educational system.
4
Kompleksnya konsep desentralisasi itu terlihat dari konsep desentralisasi itu tidak hanya
mengacu pada proses, namun juga pada kondisi/keadaan dari obyek yang berada jauh atau
berjarak dari Pusat (Pemerintahan Pusat). Hal ini menunjukkan adanya variasi dari
bentuk-bentuk organisasional yang berbeda, berdasarkan pada rasional dan implikasinya
dari adanya distribusi wewenang kepada agency, kelompok atau stakehorlder yang
berbeda.
Fiske (1996) menekankan bahwa konsep desentralisasi mengacu pada proses dari
berpindahnya tanggung-jawab dan kewenangan dalam membuat keputusan fungsi tertentu
dari level pemerintahan yang lebih tinggi ke level pemerintahan yang lebih rendah. Hal ini
mengenai berpindahnya kedudukan dari yang memerintah, mengenai pelimpahan sebagian
wewenang dari kedudukan/level tertentu ke level yg lain (McGinn and Welsh, 1999).
Sebagai contoh, berpindahnya wewenang dari Pusat ke tingkat Provinsi atau ke tingkat
kabupaten/kota ; atau bahkan bisa ke tingkat sekolah.
Berbagai ahli berpendapat bahwa desentralisasi bermanifestasi ke dalam empat bentuk,
yaitu politis, administratif, spatial/area, dan pasar. Pertama, desentralisasi politik terdiri
atas demokratisasi, partisipasi, dan perwakilan pemerintah. Sebagai contoh memberikan
wewenang untuk membuat keputusan di bidang pendidikan kepada penduduk atau
perwakilan mereka di tingkat yang lebih rendah, misal DPRD. Tujuan utama dari political
decentralization yaitu memberi wewenang politis kepada warganegara dan perwakilan
mereka melalui pemberian otonomi yang lebih besar dalam membuat keputusan dan
kontrol atas sumber daya yang mereka miliki. Kedua, desentralisasi administrasi yang
dipahami sebagai pelimpahan sebagian kewenangan dalam perencanaan, pengelolaan,
mencari dan mengalokasikan sumber daya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
organisasi publik di bawahnya. Desentralisasi bentuk ini, pada dasarnya lebih merupakan
strategi manajemen, karena kewenangan tetap berada di level teratas dari organisasi, tetapi
tanggungjawab dan kewenangan dalam perencanaan, manajemen, keuangan, dan kegiatan
lain dilimpahkan ke pemerintahan/organisasi/level yang lebih rendah (Fiske, 1996).
Strategi ini biasanya diambil sebagai tahap awal dari negara yang sangat sentralisasi
menuju kebijakan desentralisasi. Bentuk yang lain yaitu desentralisasi pasar atau yang
lebih sering disebut sebagai privatisasi. Dalam privatisasi, proses menciptakan kondisi dari
barang dan pelayanan lebih diserahkan pada mekanisme pasar.
5
Bentuk lain desentralisasi yakni desentralisasi geografis/ruang, yang biasanya digunakan
untuk pengembangan kota. Desentralisasi ini lebih menekankan pada penyebaran
penduduk kota dan aktivitas ekonomi secara geografis di antara penduduk, yang
didasarkan pada ukuran konsentrasi jumlah penduduk yang berbeda berdasarkan pada satu
atau lebih daerah metropolitan yang besar. Bentuk desentralisasi ini ditujukan untuk
membangun kapasitas organisasi publik dan swasta di kota-kota pinggiran (daerah
pendukung) untuk meningkatkan pendapatan asli mereka supaya bisa menyediakan
pelayanan, fasilitas dan aktifitas yang produktif yang dibutuhkan dalam pengembangan
ekonomi suatu daerah tertentu. Desentralisasi yang menyerahkan keputusan pada pasar,
sering diartikan sebagai proses privatisasi.
Di samping bentuk-bentuk desentralisasi, desentralisasi juga bermanifestasi dalam
beberapa tipe, yang dibedakan berdasarkan pada bagaimana kewenangan itu
didesentralisasikan atau lebih sering didefisinikan sebagai degrees of transfer of authority.
Secara umum ada 4 (empat) tipe desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan
privatisasi (Rondinelli, Nellis and Cheema, 1983; Strudwick, 1992; Fiske 1996; Florestal
& Cooper, 1997; Lauglo, 1999; McGinn and Welsh, 1999; UNDP, 1999).
Pertama, konsep dekonsentrasi sering dipahami sebagai:
…a transfer of functions, powers, and resources to the state offices of central agencies; in other words, a shift in responsibilities to lower levels within the same agency; with the purpose to remove some burden of central government in providing local services (McGinn and Welsh, 1999; UNDP, 1999).
Dalam dekonsentrasi hanya terjadi pelimpahan wewenang dan tanggungjawab manajemen
ke tingkat di bawahnya; dalam hal ini Pusat (Kementerian) masih memegang kontrol
karena dalam dekonsentrasi tidak termasuk pelimpahan sebagian wewenang ke tingkat
pemerintahan di bawahnya (Florestal and Cooper, 1997; Litvak, 1998). Kedua, delegasi,
di mana dalam pendelegasian tingkat pelimpahan tanggung jawab menjadi lebih intensif.
Di dalam konsep delegasi ini, pemerintah pusat (Kementerian) meminjamkan
wewenangnya ke level pemerintahan (atau ke semi otonomi organisasi) yang lebih rendah,
dengan pemahaman bahwa sewaktu-waktu wewenang yang didelegasikan ini bisa ditarik
kembali ke Pusat (Fiske, 1996). Sebagai contoh, wewenang dalam mengatur sekolah negeri
sering didelegasikan kepada perwakilan di pemerintahan yang lebih rendah yang berada di
propinsi atau di daerah. Seperti Indonesia pada jaman Orde Baru di mana masih menganut
6
prinsip sentralisasi, di mana Kantor Wilayah baik di tingkat Provinsi atau di tingkat
kabupaten/kota merupakan perwakilan dari Kementerian Pendidikan.
Konsep yang ketiga yaitu devolusi. Konsep devolusi mengindikasi pemberian otonomi
kepada pemerintah daerah. Devolusi menunjuk pada pelimpahan atas kontrol dari Pusat ke
pemerintahan yang lebih rendah. Ada empat aspek dalam devolusi, yaitu: i) body/unit yang
bertanggungjawab secara legal yang terpisah dari Pusat/Kementerian; ii) body/unit ini
bertindak secara mandiri, tidak berada di bawah Pusat/kementerian; iii) body/unit ini
bertindak sesuai wewenang yang diterimanya berdasarkan hokum dan undang-undang; dan
iv) body/unit ini bertindak hanya dalam dalam batas-batas geografis yang telah ditetapkan
berdasarkan hukum dan undang-undang. Dengan devolusi, unit yang sah secara
institusional ini bisa bertindak secara mandiri tanpa harus meminta izin dari Pemerintah
Pusat/Kementerian.
Konsep yang terakhir yaitu privatisasi. Konsep ini berakar dari faham neo-liberalisme yang
mendominasi arah reformasi dunia pada awal 1980an. Berprinsip pada pendapat bahwa
dengan adanya pasar bebas maka akan dapat meningkatkan kompetisi dan reformasi
ekonomi. Argumentasi dari pandangan ini yaitu bahwa dengan pasar bebas, dan bukan
diatur oleh Negara maka individu mempunyai kebebasan politik dan kebebasan dalam
menggunakan kesempatan sehingga pilihan bisa dimaksimalkan. Dengan memberikan
“kewenangan” pada sektor swasta dan bukan pada negara, maka prasyarat untuk
meningkatkan efisiensi yang lebih besar akan dapat dicapai. Pandangan ini juga
berpendapat bahwa privatisasi pendidikan dilakukan bertujuan untuk mengoptimalkan
pelayanan pendidikan dan meningkatkan efisiensi, efektifitas dan produktivitas. Oleh
karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut maka sektor pendidikan harus murni
berorientasi pada pasar. Tujuan utama dari pendapat ini adalah bahwa desentralisasi
pendidikan pada pasar akan mengurangi beban keuangan dan administrasi pemerintah
Pusat terhadap pendidikan.
Table 1. Aspek-aspek dalam Desentralisasi
Unit kemana wewenang di
transfer
Aspek pengelolaan yang ditransfer atau dibagi Tipe Desentralisasi Politis/
Pengambilan Keputusan
Manajemen Keuangan
Administrasi dan Pelayanan Publik
Unit lebih rendah Devolusi Devolusi Devolusi Devolusi
7
yang otonom
Unit lebih rendah yang tidak otonom penuh
Delegasi Delegasi Delegasi Delegasi
Unit lebih rendah/sub-unit
Perintah/Arahan Alokasi Penugasan Dekonsentrasi
External/Swasta Deregulasi Privatisasi Kontrak Divestasi
Sumber: UNDP, 1999.
Dalam pelaksanaannya, tipe-tipe desentralisasi ini tentu saja dimplementasikan secara
bervariasi. Beberapa negara mungkin mengadopsi hanya satu dari konsep atau kombinasi
lebih dari satu konsep, baik secara simultan atau berbeda tingkat pemerintahannya. Konsep
yang dipilih untuk diimplementasikan mempunyai implikasi yang berbeda-beda dalam
penerapannya (Rondinelli, Nellis, and Cheema, 1983). Sebagai contoh, Pemerintah
Indonesia menerapkan devolusi dan dekonsentrasi secara bersamaan, dan tentu saja
pelaksanaan implementasinya berbeda. Seperti yang terjadi hingga saat ini dekonsentrasi
dilakukan di tingkat provinsi dan devolusi dilakukan di tingkat pemerintah daerah,
sehingga kewenangan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Desentralisasi Pendidikan
Seperti telah disebutkan di atas, program desentralisasi telah menjadi tren internasional,
baik di negara maju maupun negara berkembang. Sektor pendidikan, tidak terkecuali, juga
mengikuti fenomena global ini, yaitu dengan memberikan wewenang atau otonomi dalam
pengambilan keputusan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, atau bahkan sekolah,
untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sekolah. Di samping itu, pada dasarnya, di
sebagian besar negara, program desentralisasi merefleksikan proses reformasi politik dan
ekonomi (World Bank, 2003).
Ada banyak alasan mengapa sektor pendidikan didesentralisasikan, dan alasan ini sangat
tergantung pada tujuan negara yang bersangkutan. Alasan-alasan tersebut antara lain
tekanan politis, stabilitas ekonomi makro, pelayanan umum, keadilan, effisiensi,
pemberantasan kemiskinan, peningkatan kapasitas, korupsi, pengelolaan, investasi
infrastruktur, dan penyediaan pelayanan sosial. Sebagai contoh, di negara-negara Amerika
8
Latin menerapkan desentralisasi dengan tujuan untuk mencapai stabilitas politik,
meningkatkan demokratisasi, dan meningkatkan efisiensi pengelolaan sektor publik oleh
Pemerintah. Sebaliknya, di Indonesia, penerapan program desentralisasi pada awalnya
lebih untuk menghindari disintegrasi, meningkatkan demokratisasi, dan lebih
meningkatkan penyediaan lapangan kerja.
Oleh karena itu, alasan dan tujuan dari implementasi program desentralisasi berbeda di tiap
negara, tergantung pada tujuan reformasi negara yang bersangkutan. Tujuan ini bisa
diarahkan pada peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan efisiensi administrasi,
efisiensi pembiayaan pendidikan, atau pendidikan yang berkeadilan. Sebagai contoh,
menurut para pendukung desentralisasi di tingkat sekolah, reformasi tersebut mendorong
peningkatan kualitas belajar-mengajar dengan memberi wewenang membuat keputusan
pada tingkat sekolah atau dengan mendorong guru dan daminisrator sekolah melakukan
tugasnya dengan lebih baik. Ada argumentasi bahwa dengan memberikan insentif terhadap
kinerja guru untuk lebih bermutu, maka akan membawa pada peningkatan akuntabilitas
dan kinerja sekolah (Paqueo, 2000).
Dalam desentralisasi pengelolaan administrasi, pendukung desentralisasi ini mengklaim
bahwa dengan memperkuat otoritas pada tingkat provinsi dan tingkat pemerintah daerah
akan menghasilkan sistem yang lebih efisien, karena ini akan memperkecil/membatasi
prosedur birokrasi dan memberikan motivasi pada pegawai untuk lebih produktif.
Argumentasi ini didasari pada anggapan bahwa sistem sentralisasi itu sangat birokratik dan
sia-sia. Bila birokrasi pendidikan dalam sebuah negara itu sangat tidak efisien, bahkan
korup; maka penerapan kebijakan desentralisasi sering dilihat sebagai alat untuk
menyediakan aliran, baik keuangan, ketenagaan, dan sumber daya yang lain ke sekolah.
Sebuah perencanaan program desentralisasi yang didesain dengan baik, dipercaya akan
bisa menciptakan sebuah kondisi yang bisa mendorong ke arah efisiensi administratif.
Program ini bisa mendorong penempatan fungsi-fungsi administrasi, seperti meningkatkan
penerimaan pajak, penerimaan guru, pengembangan kurikulum, dan fungsi yang lain pada
tempat yang tepat. Di samping itu, desentralisasi juga bisa menciptakan iklim atau suasana
yang ramah terhadap perencanaan pengajaran yang didesain dengan baik. Namun demikian,
desentralisasi bukanlah “obat” untuk memecahkan seluruh masalah-masalah yang dihadapi
sebuah sistem pendidikan.
9
Desentralisasi juga memusatkan perhatian pada bagaimana sumber daya pendidikan digali.
Dalam banyak hal, alasan ini menjadi sangat penting, terutama bila Pemerintah Pusat
tidak cukup mempunyai dana untuk mendanai sektor pendidikan, di mana kasus ini lebih
sering terjadi di negara sedang berkembang. Paqueo (2000) menyatakan bahwa:
… desentralisasi akan meningkatkan penerimaan bagi sektor pendidikan melalui keuntungan dari pajak daerah, dan secara bersamaan mengurangi biaya operasional. Model seperti ini bertujuan untuk mengurangi beban pembiayaan pendidikan dan di bebankan kepada pemerintah provinsi, pemerintah daerah, organisasi masyarakat, atau bahkan orangtua siswa. Alasan ini menarik bagi negara yangmempunyai hambatan keuangan, terutama di negara sedang berkembang. Asumsinya adalah bahwa peran aktif dari kelompok sosial akan meningkatkan sumber daya yang mungkin tersedia bagi pendidikan.
Kasus di Argentina merupakan contoh yang baik bagi pengalihan tanggung jawab
keuangan dari Pemerintah Pusat ke pemerintah daerah, yang pada akhirnya meningkatkan
alokasi pembiayaan pendidikan. Disebutkan bahwa keseluruhan pengeluaran pendidikan di
Argentina antara tahun 1975 sampai 1985 telah meningkat dari 16.6 persen menjadi 18.7
persen; sebagai akibat dari meningkatnya peran pemerintah regional/provinsi, pemerintah
daerah dan kelompok-kelompok sosial dalam pendanaan pendidikan (Burki, Perry and
Delinger, 1999).
Namun, ada kendala yang mungkin terjadi dengan dilimpahkannay wewenang membuat
keputusan dalam pembiayaan/pengeluaran ke pemerintah daerah, karena sering terjadi
Pemda lebih tertarik membelanjakan uangnya untuk fisik atau yang memberikan
keuntungan jangka pendek, seperti jalan-jalan atau gedung-gedung; daripada
menggunakannya untuk pendidikan. Oleh karena itu efek bagi sektor pendidikan, terutama
dalam masa-masa sulit, desentralisasi bisa mendorong terjadinya pengurangan sumber
daya keuangan bagi pendidikan (Hannaway and Carnoy, 1993); sehingga pembiayaan
pendidikan akan menurun porsinya. Di samping itu, di banyak negara yang menerapkan
kebijakan desentralisasi, walaupun pemerintah daerah kemudian memiliki
wewenang/otoritas penuh berdasarkan undang-undang untuk meningkatkan penerimaan
pajak, namun sering terjadi kemampun mereka terlalu lemah dan banyak yang masih
tergantung pada subsidi Pemerintah Pusat sehingga tidak ada usaha untuk memaksimalkan
wewenang yang dimilikinya tersebut (Rondinelli, Nellis, and Cheema, 1993), sehingga
wewenang tersebut hanya terbatas pada wewenang saja dan tidak bisa memberikan
10
keuntungan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh daerah.
Dalam kaitannya dengan pendidikan yang berkeadilan, konsekuensi negatif dari
desentralisasi yaitu meluasnya gap, terutama gap dalam prestasi siswa antara daerah yang
kaya dan daerah yang miskin (Maclure, 2001). Walaupun, pada dasarnya, pendidikan yang
berkeadilan – yang ditunjukkan dari jumlah uang yang masuk maupun hasil test score --
bukanlah tujuan utama dari kebijakan atau program desentralisasi. Namun tidak bisa di
sangkal bahwa daerah yang mempunyai sumber daya keuangan dan sumber daya manusia
yang melimpah akan mempunyai kondisi yang lebih baik dalam memaksimalkan
wewenang otoritas yang diperolehnya melalui desentralisasi/transfer wewenang tersebut.
Bahkan walaupun ada pencapaian hasil pendidikan secara universal, bisa dipastikan bahwa
sekolah mempunyai sumber daya yang lebih/berlimpah yang akan mendapatkan manfaat
yang paling besar (Florestal and Cooper, 1992). Oleh karena itu, dalam beberapa kasus,
pemerintah pusat telah berusaha untuk meminimalkan gap yang yang timbul yang
diakibatkan dari program desentralisasi. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia, formula yang digunakan dalam pemberian dana DAU bertujuan untuk
meminimalkan gap tersebut.
MacLure (2001) berpendapat bahwa pilihan dalam pendidikan dan MBS bisa
meningkatkan kinerja sekolah. Di dalam desentralisasi teori tersebut akan terjadi pada
keluarga yang berkecukupan. Teori tersebut lebih menekankan bahwa desentralisasi akan
membawa kebutuhan terhadap pendidikan yang lebih besar, terutama pada sebagian
masyarakat yang kurang terlayani. Sebagai contoh, di Burkina Faso, dengan
dilimpahkannya wewenang tanggungjawab pembiayaan pendidikan ke pemerintah lokal
(Pemda) telah meningkatkan secara langsung biaya pendidikan, namun juga kesempatan
bagi kelompok siswa yang relatif tidak mampu secara ekonomi untuk putus sekolah.
Contoh lain yaitu kasus yang terjad di Chili. Reformasi di Chili menggarisbawahi adanya
masalah dalam keadilan dalam pemerataan pendidikan, di mana program desentralisasi
sedikit menyumbang sekolah yang miskin di distrik untuk mengatasi masalah-masalah
yang mereka hadapi; daerah-daerah ini juga menunjukkan rendahnya prestasi siswa. Dalam
hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem yang terdesentralisasi sekalipun, peranan Pusat
masih sangat penting terutama untuk memastikan dan mengontrol standar minimum.
Ada argumentasi bahwa desentralisasi di samping merupakan aspek yang esensial dari
11
sebuah demokrasi, juga di klaim bisa meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam
pelayanan publik. Berbicara mengenai efisiensi dan efektivitas, tentu saja adalah bicara
mengenai kualitas. Oleh karena itu, berbicara mengenai kualitas pelayanan publik terkait
dengan berbicara mengenai bagaimana menyediakan pelayanan publik yang efisien dan
efektif. Terutama dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami penurunan, seperti
misalnya dalam kondisi kritis, di mana kondisi keuangan membebani Pemerintah dalam
berbagai level, efisiensi seringkali merupakan salah satu langkah yang dipilih, yang berarti
bahwa seluruh sistem pelayanan umum dari semua level diharuskan untuk lebih akuntabel
terhadap sumberdaya yang mereka gunakan.
Hal ini seperti yang juga terungkap dalam seminar internasional dalam sektor pendidikan
“Trends in the Planning and Funding of Educational Building” yang menyatakan bahwa:
“There is a need for monitoring and evaluation and a new emphasis on the management of educational resources. The effective management of resources is important at all levels of the (education) system, from the individual school, through the different layers of administration, to central ministries of education. There is no consideration of effective resource management can take place unless we take into account how decision-making processes at various levels operate. When we do that we come directly to the issue of decentralization. It mentioned that the best way to improve the effectiveness of services is to look at them at the point of delivery. That is where the term of effectiveness is judged, in education as in other spheres” (OECD, 2002).
Argumen dalam desentralisasi pendidikan bahwa dengan mendistribusikan tanggung jawab
dan wewenang secara lebih luas di dalam sistem pendidikan itu sendiri akan meningkatkan
efisiensi dari sistem tersebut dan sistem tersebut akan lebih responsif terhadap kebutuhan
dari konstituennya, di mana pada akhirnya akan memberikan kebebasan untuk berinovasi.
Dalam sebuah negara yang besar seperti Indonesia, kondisi-kondisi lokal sangat bervariasi
yang bisa menjadi hal menguntungakn untuk bereksperimen; dan inovasi yang bermula
dari kondisi lokal bisa menstimulasi peningkatan pendidikan bila sebuah daerah mau
belajar dari pengalaman yang terjadi di daerah lain.
Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Walaupun Pemerintah Indonesia baru menerapkan kebijakan desentralisasi pada tahun
2000, namun secara historis sebenarnya Indonesia telah mencoba menerapkan kebijakan
12
ini jauh sebelumnya. Otonomi daerah pernah diterapkan segera setelah Kemerdekaan
Indonesia; yang kemudian diikuti dengan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1957 untuk
memperbaharui Undang-Undang nomer 1 Tahun 1945. Namun, ini tidak berjalan karena
adanya gangguan keamanan. Kemudian, Undang-Undang nomer 5 Tahun 1974 mengenai
otonomi daerah, namun Undang-Undang ini pun tidak dilakukan, walaupun dalam
pembangunan 5 (lima) tahunan ditekankan pada pembangunan daerah. Kemudian, pada
tahun 1980, usaha desentralisasi penyediaan infrastruktur kota ke pemerintah daerah juga
dilakukan, karena Pusat sendiri tidak akan mampu untuk menyediakan kebutuhan kota
yang berkembang dengan pesat. Kemudian, pada tahun 1992, dengan Peraturan
Pemerintah Nomer 45/1992, Pusat mendevolusikan beberapa fungsi yang dimiliki oleh
Pusat ke pemerintah daerah (kabupaten/kota), dalam kurun waktu 4 (empat) tahun.
Peraturan Pemerintah ini menjadi sangat penting karena Pemerintah mulai menerima
argumen mengenai konsep federalisasi fiskal bahwa pelayanan publik akan lebih efisien
bila ditangani oleh tingkat pemerintahan yang tepat, yaitu di tingkat kabupaten/kota, dan
bukan tingkat provinsi. Pemerintah Daerah, sebelum Indonesia terkena krisis ekonomi,
Undang-Undang Nomer 18 tahun 1997 untuk memperluas wewenang pemerintah daerah
dalam perpajakan mulai diterapkan. Namun, seluruh usaha-usaha untuk memberi
wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah tersebut tidak begitu berhasil karena
peran Pusat masih sangat dominan saat itu, bahkan sejak sekitar tahun 1960-an dikenal
sebagai negara dengan sistem yang sangat centralized, dengan provinsi dan kota/kabupaten
sebagai lapis Pemerintah dibawah Pusat (Asanuma and Brodjonegoro, 2003).
Hingga pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomer 25 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Indonesia
mulai mengubah secara drastis beberapa prinsip dasar dalam hubungan antarpemerintah
(Alm, Aten, and Bhal, 2001). Pertama, Undang-Undang tersebut mengeliminasi hubungan
herarkis antara provinsi dan pemerintah daerah; dan pemerintah daerah menjadi otonom
penuh sehingga kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada gubernur; namun
bertanggung jawab kepada DPRD yang dipilih secara lokal. Namun sebaliknya provinsi
masih mempunyai hubungan herarkis dengan Pemerintah Pusat (Alm, Aten and Bahl,
2001).
Kedua, dengan beberapa keterbatasan, Undang-Undang tersebut mendekonsentrasi
beberapa tanggungjawab ke provinsi dan mendevolusi beberapa fungsi ke pemerintah
13
daerah; kecuali urusan terkait pertahanan dan keamanan, kebijakan keuangan dan fiskal,
hukum, dan agama yang masih tetap menjadi tanggungjawab Pusat yaitu 11 sektor publik,
termasuk sektor pendidikan menjadi tangungjawab pemerintah daerah. Di mana
pelimpahan sektor publik ini dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000.
Oleh karena itu berdasarkan pada Undang-Undang ini wewenang dalam pendidikan
didistribusikan kepada tiga tingkat pemerintahan, yaitu Pusat, Provinsi, dan Daerah, seperti
yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pembagian Wewenang antar Pemerintah
Pusat Provinsi Daerah
1. Pertahanan dan Keamanan 2. Sistim hukum 3. Pajak dan keuangan 4. Agama 5. Urusan luar negeri 6. Tugas khusus
Perencanaan ekonomi makro
Dana perimbangan Sistim administrasi
pemerintahan dan sistem kelembagaan ekonomi
Pengembangan sumber daya manusia/HRD
Pemanfaatan sumber daya alam dan hal-hal yang terkait tehnologi tinggi
Standardisasi dan konservasi nasional
1. Kewenangan yang meliputi hubungan antar pemerintah
2. Kewenangan yang berada di atas kemampuan pemerintah daerah
3. Kewenangan yang didelegasikan dari Pusat
4. Kewenangan lain terkait: Perencanaan makro tingkat
regional Training Alokasi SDM yg berpotensi,
dan kegiatan penelitian di tingkat provinsi
Pengelolaan pelabuhan di tingkat regional
Mengendalikan lingkungan l Promosi perdagangan,
budaya dan turisme Kontrol atas penyakit
1. Seluruh kewenangan yang bukan kewenangan Pusat dan Provinsi
2. Kewenangan wajib: Pekerjaan Umum Kesehatan Pendidikan dan Kebudayaan Pertanian Transportasi Industri dan Perdagangan Investasi Lingkungan Hidup Pertanahan Koperasi, dan Tenaga Kerja
Sumber: Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 atau Undang-Undang No 32 Tahun 2004
Dalam bidang pendidikan, wewenang masing-masing pemerintah, seperti yang disebutkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomer 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan
kewenangan Provinsi tersebut adalah sebagai berikut. Wewenang Pemerintah Pusat, antara
lain: 1) menetapkan standar nasional kompetensi peserta didik; 2) menetapkan kurikulum
nasional dan sistem penilaian; 3) menetapkan standar bahan pembelajaran, terutama untuk
mata pelajaran utama; 4) menetapkan syarat-syarat penggunaan ijazah; menetapkan
pedoman untuk pendanaan pendidikan; menetapkan syarat-syarat untuk siswa baru, pindah
sekolah, dan sertifikasi peserta didik; menetapkan kalender pendidikan; dan
mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh; serta mengatur keberadaan
14
sekolah asing/international yang beroperasi di Indonesia. Di samping itu, Pusat juga
mempunyai peranan untuk menentukan kebijakan yang mendukung pembangunan dalam
tingkat makro; dan menetapkan petunjuk standard pelayanan minimal yang harus di
lakukan oleh pemerintah daerah.
Pemerintah provinsi, setelah desentralisasi ini mempunyai wewenang yang lebih sedikit
dibandingkan pemerintah kabupaten/kota. Peranan mereka lebih sebagai fasilitator
terhadap pemerintah daerah. Wewenang mereka antara lain menetapkan kebijakan terkait
dengan peserta didik yang minoritas, di daerah terpencil, dan miskin; menyediakan
ketersediaan dan ketercukupan buku atau modul untuk TK, SD, SMP, SMA, dan
pendidikan non-formal; mengembangkan pendidikan tinggi, terlepas dari kurikulum,
akreditasi dan penempatan/rekrutmen personel; menyediakan sekolah luar biasa;
menyediakan dukungan administrasi untuk pengembangan karir pegawai; menyediakan
pendidikan dan training untuk promosi dan pengembangan teknis di tingkat provinsi; dan
mengalokasi serta mutasi pegawai yang potensial antar pemda atau dari pemda ke provinsi
atau sebaliknya. Dalam perkembangannya, peranan yang terakhir ini sulit dilaksanakan
karena pemerintah daerah juga mempunyai wewenang penuh terhadap pegawai di
lingkungannya.
Kemudian, selain wewenang Pusat dan provinsi seperti tersebut di atas, merupakan
wewenang pemerintah daerah, yaitu antara lain: i) mengelola dan menyelenggarakan
pendidikan dari tingkat TK sampai tingkat menengah; ii) menetapkan kurikulum muatan
lokal; iii) menyediakan, mendistribusikan, memelihara, dan memonitor fasilitas dan
infrastruktur pendidikan; iv) menyediakan, membimbing, mensupervisi, dan mengevaluasi
peserta didik, termasuk menyediakan ijazah bagi peserta didik yang lulus; v) memfasilitasi
partisipasi masyarakat; vi) merencanakan dan menyediakan buku untuk sekolah; vii)
merencanakan kebutuhan, pengangkatan, mutasi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK),
termasuk pengembangan karier pegawai; viii) mengembangkan dan mengevaluasi
kurikulum muatan lokal; ix) merencanakan, mengeavaluasi, dan menetapkan kurikulum
pendidikan non-formal; x) kerjasama pendidikan dengan luar negeri; xi) pembiayaan
pendidikan, termasuk menyediakan dan mengelola anggaran pendidikan; xii) menjaga
kualitas pendidikan berdasarkan pada guideline yang ditetapkan Pusat; xiii) mengelola
pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) secara penuh, termasuk merencanakan kebutuhan,
mengangkat pegawai, mutasi, memberhentikan, menetapkan pensiun, gaji,
15
insentif/tunjangan, kesejahteraan pegawai, pendidikan dan training pegawai berdasarkan
kebutuhan dan kemampuan daerah; dan melakukan supervisi dan pengawasan atas
penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan pegawai, dan pendanaan pendidikan di daerah
berdasarkan pada pedoman Pusat.
Pembiayaan: Sumber Pajak dan Sharing antar Pemerintah
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui menjadi
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang
Nomer 25 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomer 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan dasar
bagi hubungan pusat-daerah dalam era desentralisasi. Undang-Undang yang pertama
mendevolusi beberapa fungsi atau wewenang ke pemerintah daerah, dan Undang-Undang
yang ke dua mendukung kebijakan desentralisasi melalui menyediakan sumber-sumber
fiskal bagi pemerintah daerah (Asanuma and Brodjonegoro, 2003).
Untuk menjalankan tanggungjawab baru yang diterimanya, tentu saja pemerintah daerah
harus mempunyai sumber-sumber pajak yang dapat mendukung dalam membiayai
tanggung jawab baru tersebut. Dalam Undang-Undang tersebut juga disebutkan bahwa
pemerintah daerah harus mempunyai wewenang untuk menarik pajak dan ongkos; dan
bahwa Pusat harus menstransfer atau berbagi pendapatan kepada pemerintah daerah.
Pajak-pajak yang bisa dikumpulkan dan dimiliki oleh daerah antara lain: i) pajak hotel dan
restoran; ii) pajak iklan; iii) pajak bahan bangunan; iv) pajak atas penggunaan air; v) pajak
hiburan; vi) pajak bangunan; vii) dan pungutan atau retribusi lain-lain. Pemerintah daerah
tidak bisa meningkatkan pendapatan mereka melalui pajak dari ketentuan yang sudah
diberlakukan. Oleh karena itu, dari sisi penerimaan pajak, kesempatan pemerintah provinsi
maupun pemerintah daerah sangat terbatas, sehingga pendapatan dari pajak tidak bisa
diharapkan melebihi dari yang sudah ditetapkan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan sumber pendapatan dari pajak di daerah,
Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999 atau Undang-Undang Nomer 33 Tahun 2004 juga
memberikan kerangka tax sharing antara Pusat dan pemerintah daerah yang lebih adil.
Pendapatan Pusat yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan
16
gas, tambang, dan hutan harus dibagi berdasarkan proporsi antara Pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Ini merupakan ciri utama dari perencanaan keuangan dibawah
Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999, yang mempunyai implikasi penting dalam
distribusi pajak di antara pemerintah daerah yang sumber daya alamnya sangat bervariasi
(Asanuma and Brodjonegoro, 2003). Pajak pendapatan juga merupakan sumber
pendapatan yang di share antara Pusat, provinsi, dan daerah. Sebesar 20% dari pajak
pendapatan ini akan diterima oleh pemerintah daerah, dengan pembagian 40-60 antara
provinsi dan kabupaten/kota.
Table 3. Sumber Keuangan Pemerintah Daerah
Sumber Komponen 1 Pendapatan asli daerah
(PAD) a. Pajak b. Retribusi c. Pendapatan dari perusahaan and
local property d. Sumber-sumber lain
2 Dana perimbangan a. Pajak tanah dan bangunan , dan sumber-sumber alam
b. Dana alokasi umum (DAU) c. Dana alokasi khusus (DAK)
3 Dana pinjaman/loan a. Pinjaman dalam negeri b. Pinjaman luar negeri
4 Pedapatan resmi lain a. Hibah b. Hibah Darurat c. Lain-lain berdasar UU
Source: UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004
Di samping itu, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) juga
merupakan pelimpahan keuangan antarpemerintah, yaitu dari Pusat ke daerah. DAU adalah
block grant yang disediakan untuk seluruh daerah, dengan tujuan untuk mengisi
gap/perbedaan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal, kemudian didistribusikan
melalui formula yang didasarkan prinsip-prinsip yang secara umum menentukan daerah
yang miskin dan kurang berkembang harus menerima lebih dibandingkan dengan daerah
yang kaya. Pusat mempunyai kewajiban untuk mentransfer paling sedikit 25% dari
penghasilan domestiknya dalam bentuk DAU. DAU ini akhirnya menjadi instrumen untuk
mencapai keseimbangan fiskal, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Sebaliknya,
DAK hanya diberikan kepada daerah-daerah yang dipilih dengan tujuan khusus saja yang
akan menerima dana ini dan dana didistribusikan langsung dari Pusat dengan tujuan khusus
17
secara nasional. (Asanuma and Brodjonegoro, 2003). Misalnya: DAK untuk meningkatkan
dan mengembangkan perpustakaan sekolah atau DAK untuk pembangunan dan renovasi
gedung. DAK tidak bisa dialihkan untuk digunakan memenuhi kebutuhan lain.
Table 4. Dana Perimbangan antara Pusat dan Daerah
Dana perimbangan
Pusat Districts
Provinsi Daerah (produsen)
Daerah (Non-produsen)
1 Bagi hasil a. Pajak tanah dan bangunan 10 90
80 80
b. BPHTB 20 c. Tambang (umum) 20 - Sewa tanah 20 16 64 - Royalti 20 16 64 d. Tambang (minyak) 85 3 6 6 e. Tambang (Gas) 70 6 12 12 f. Hutan 20 16 64 g. Perikanan 20 80 - Areak perikanan 20 Didistribusikan secara adil ke seluruh daerah - Produk perikanan 20 Didistribusikan secara adil ke seluruh daerah 2 Dana Alokasi Umum (DAU) 10 90 3 Dana Alokasi Khusus (DAK) Di atur melalui perundangan
Source: UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004
Jelas bahwa keberadaan Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 atau Undang-Undang
Nomer 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999 atau Undang-Undang
Nomer 33 Tahun 2004 dimaksudkan untuk mendukung prinsip uang mengikuti fungsi.
Berdasarkan pada prinsip ini, skema transfer fiskal antar pemerintan (intergovernmental
transfer) dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa masing-masing pemerintahan (provinsi
dan daerah) mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang menjadi tanggungjawabnya
dengan menggunakan kamampuan/kapasitas fiskalnya (Asanuma and Brodjonegoro, 2003).
Oleh karena Indonesia menganut sistem kesatuan, maka dalam implementasi kebijakan
desentralisasi ini seluruh daerah harus diperlakukan secara sama dalam menutup gap antara
kebutuhan dan kapasitasnya. Harus diyakinkan bahwa seluruh daerah (provinsi maupun
kabupaten/kota) mampu untuk menyediakan pelayanan dasar bagi seluruh warganya.
Namun hal ini bukan berarti bahwa mengalokasikan jumlah yang sama kesetiap daerah
merupakan perlakuan adil, karena masing-masing daerah mempunyai kebutuhan dan
kapasitas yang berbeda-beda.
18
Alokasi harus di desain untuk bisa mengisi gap fiskal antara kebutuhan minimum mereka
dan kapasitas maksimum mereka. Oleh karena itu, DAU harus mampu untuk bertindak
menjadi dana perimbangan yang cukup untuk mengisi gap tersebut. Konsekuensinya,
bahwa setiap daerah akan menerima jumlah yang berbeda-beda. Perbedaan kebutuhan
daerah tergantung pada jumlah penduduk, kesulitan geografis, perbedaan kesejahteraan;
sementara perbedaan kemampuan fiskal suatu daerah tergantung pada pendapatan bagi
hasil pajak, bagi hasil non-pajak, dan pendapatan daerah. Daerah dengan kebutuhan yang
tinggi sementara kapasitas fiskalnya rendah akan menerima sejumlah besar DAU, dan
sebaliknya daerah yang mempunyai kebutuhan yang rendah namun mempunyai kapasitas
fiskal yang tinggil akan menerima DAU dengan jumlah yg kecil. Prinsip perimbangan
harus diterapkan secara optimal agar setiap daerah mendapat perlakuan yang adil
(Asanuma and Brodjonegoro, 2003). Dalam perkembangannya, di banyak daerah, DAU
merupakan sumber utama keuangan daerah.
Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999 atau Undang-Undang Nomer 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah ini sudah pasti merubah sistem
pelimpahan wewenang dari Pusat ke daerah, yang sebelumnya berdasarkan pada dana
Subsidi Daerah Otonom (SDO) sebagai pelimpahan dana rutin dan dana Inpres (Instruksi
Presiden). Kemudian dalam sistem pelimpahan yang baru, keduanya tergabung dalam
pelimpahan dana block grant yang disebut Dana Alokasi Umum (DAU). Total DAU yang
akan dilimpahkan adalah sebesar 25% dari total pendapatan domestik; dan distribusi di
antara pemerintah daerah akan diatur berdasarkan formula yang ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Daerah. Bagi hasil pendapatan ini juga dilakukan antara
pemerintah provinsi dan pemerintah daerah terhadap pajak atas tanah dan bangunan, pajak
atas pengalihan tanah dan bangunan, kehutanan, pertambangan, perikanan, pertambangan
minyak dan pertambangan gas; sumber-sumber pendapatan yang berasal dari pemerintah
daerah itu sendiri, seperti pendapatan dari sumber daya sendiri, sewa, denda keuntungan
dari perusahaan, pinjaman. Perimbangan fiskal ini memberikan tekanan yang cukup berat
pada anggaran Pusat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pada hasil pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal
19
sebagai berikut. Pertama, hasil dari reviu mengenai konsep desentralisasi
bermanifestasi ke dalam beberapa bentuk dan tipe, yang masing-masing mempunyai
pengertian yang sedikit berbeda satu sama lain, yang pada akhirnya mempunyai implikasi
di tingkat pelaksanaannya. Misalnya, antara dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi memberi
perbedaan yang jelas bagaimana sebuah kewenangan dan tanggung jawab ditransfer atau
dishare pada masing-masing tingkat pemerintahan. Pada devolusi, Pusat akan memberikan
kewenangan dan otonomi penuh pada daerah, sementara dekonsentrasi atau delegasi Pusat
masih sebagai pemegang penuh atas kewenangan tersebut. Indonesia lebih mengadopsi
dekonsentrasi pada tingkat provinsi, sementara devolusi pada ting kabupaten/kota.
Ke dua, hasil reviu mengenai desentralisasi pendidikan memberi gambaran bahwa dengan
memberikan wewenang atau otonomi dalam pengambilan keputusan yang lebih besar
kepada pemerintah daerah atau bahkan sekolah, akan meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas sekolah. Di samping itu, desentralisasi pendidikan juga diharapkan lebih
dapat memperkuat otoritas dalam pengelolaam administrasi di tingkat Pemerintah,
sehingga sistem akan lebih efisien dan akan memperpendek jalur birokrasi. Dengan
desentralisasi juga akan mendorong bagaimana sumber daya pendidikan digali dan
digunakan. Alasan ini menjadi sangat penting, terutama ketika Pusat tidak mempunyai
cukup dana untuk membiayai pendidikan. Namun kelemahannya bahwa bisa terjadi
pemerintah daerah lebih mengalokasikan dana pada pembangunan yang lebih bersifat fisik,
seperti pembangunan gedung dan bangunan, daripada ke pendidikan.
Ke tiga, hasil reviu mengenai penerapan desentralisasi Indonesia memperlihatkan bahwa
setelah melalui proses yang panjang untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi,
maka melalui Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah mendekonsentrasikan beberapa kewenangan ke provinsi dan mendevolusikan
beberapa kewenangan yang lain ke pemerintah daerah. UU ini juga mengatur pembagian
wewenang antara Pusat, provinsi, dan daerah. Dalam pembagian kewenangan ini juga
diatur mengenai pembagian pembiayaan, melalui pelimpahan fiskal yang formulanya
sudah ditentukan.
Saran
Berdasarkan pada simpulan tersebut di atas maka bisa disarankan beberapa hal sebagai
20
berikut. Pertama, dalam mengimplementasikan program/kebijakan desentralisasi harus
dipertimbangkan secara cermat implikasi dari bentuk atau tipe desentralisasi yang
diterapkan. Indonesia lebih menerapkan dekonsentrasi pada tingkat provinsi dan devolusi
pada tingkat kabupaten/kota, namun mestinya ini tidak menutup kemungkinan bila dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut perlu di evaluasi dan jika hasilnya ternyata tidak sesuai
dengan tujuan awal, maka memperbaiki proses pelimpahan kewenangan tersebut menjadi
keniscayaan. Ke dua, bervariasinya konsep, bentuk dan tipe desentralisasi yang bisa
diterapkan memberi pilihan bagi negara untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut,
namun konsekuensinya juga harus dipertimbangkan. Bila privatisasi akan dipilih namun
memberikan dampak yang ekstrim, maka harus mempertimbangkan pilihan tersebut. Ke
tiga, desentralisasi yang diterapkan di Indonesia sekaligus memberi kerangka pembiayaan
antara Pusat dan daerah. Namun, pelimpahan dana dari Pusat masih menjadi di sumber
dana utama bagi daerah. Oleh karena itu harus dicari kerangka pembiayaan yang
mendorong daerah untuk lebih mampu menggali dana daerah, apakan berbentuk kebebasan
menggali pajak daerah atau meningkatkan sumber-sumber penghasilan lain, sehingga
daerah bisa lebih mandiri dan bisa memenuhi kebutuhan daerah tanpa harus bergantung
pada dana Pusat.
Pustaka Acuan
Alm, Aten J., Robert H., and Bahl, R. 2001. ’Can Indonesia Decentralize Successfully? Plans,Problems and Prospects’. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37(1): 83 – 102.
Asanuma, S. and Brodjonegoro, B.2003. Indonesia’s Decentralization Policy: Origins, Issues and Prospects. http:www//icds.co.jp/sympo/pdf/S4(1).pdf.
Burki, Shahid J., Guillermo E. Perry, and William R. Dillinger. (1999). Beyond the Center: Decentralizing the State of Washington, D.C. The World Bank.
Fiske, Edward B. 1996. Decentralization of education: Politics and consensus. Washington DC: The World Bank.
Florestal, K. and R. Cooper. 1997. Decentralization of Education: Legal Issues. Washington, DC: World Bank.
Jane Hannaway and Martin Carnoy. 1993. Decentralization and School Improvement: Can We Fulfill the Promise? San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Lauglo, J.1999. Forms of Decentralisation and Their Implications for Education. Comparative Education, Volume 31, No. 1, page 5 – 29.
Litvack, J., J. Ahmad and R. Bird. 1999. Rethinking Decentralization in Developing Countries, TheWorld Bank: Poverty Reduction and Economic Management.
21
McClure, Maureen W. & N. Triaswati. 2001. Bridging the Generational Divide: A Strategy for School Improvement within the Context of Fiscal Decentralization.
McGinn, N. and T. Welsh. 1999. Decentralization of Education: Why, When, What and How? Fundamentals of Educational Planning No. 64. France: International Institute for Educational Planning, UNESCO.
Organisation for Economic Co-operation and Development. 2002. Programme on Educational Building: International Seminar on Educational Infrastructure. Mexico 2002.
Paqueo, V. and Lammert, J. 2000. Decentralization & School-Based Management Resource Kit. The World Bank.
PP No. 45 Tahun 1992 tentang Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.
PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi.
Rondinelli, Dennis A; John R. Nellis, and Shabbir G.Cheema. 1983. Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experiences. Working Papers No. 581. Management and Development Series No. 8. Washington, D.C.: The World Bank.
The World Bank. 2003. Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review. Overview Report. East Asia Poverty reduction and Economic Management Unit. 2003. http:///www-wds.worldbank.org
United Nation Development Program. 1999. Decentralization: A Sampling of Definition. United Nation Development Program and Government of Germany.
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1975 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Undang-Undang Nomer 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomer 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomer 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.