33
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan tulang wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari (Sjamsuhidajat, 2005): 1. Tulang hidung 2. Tulang arkus zigomatikus 3. Tulang mandibula 4. Tulang maksila 5. Tulang rongga mata 6. Gigi Gambar 2.1 fraktur maksilofasial menyeluruh 2.2 Etiologi 3

49340970-BAB-2.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 49340970-BAB-2.doc

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan

jaringan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang wajah.

Sedangkan yang dimaksud dengan tulang wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari

(Sjamsuhidajat, 2005):

1. Tulang hidung

2. Tulang arkus zigomatikus

3. Tulang mandibula

4. Tulang maksila

5. Tulang rongga mata

6. Gigi

Gambar 2.1 fraktur maksilofasial menyeluruh

2.2 Etiologi

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu

lintas adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian

dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka

3

Page 2: 49340970-BAB-2.doc

terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun (Sjamsuhidajat,

2005; Obuekwea, 2004).

Penyebab Persentase (%) Dewasa Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan / berkelahi Olahraga Jatuh Lain-lain

40-45 10-15 5-10 5 5-10

Anak-anak Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan / berkelahi Olahraga (termasuk naik sepeda) Jatuh

10-15 5-10 50-65 5-10

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi fraktur maksilofasial di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan

dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari

terminologinya (Sjamsuhidajat, 2005) :

a. Tipe fraktur

1) Fraktur simpel

Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada

kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk

greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan

jarang terjadi.

2) Fraktur kompoun

Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak

4

Page 3: 49340970-BAB-2.doc

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan

hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke

rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan

sobekan pada kulit.

3) Fraktur komunitif

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti

peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau

remuk.

Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun

dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

4) Fraktur patologis

keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,

seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang

sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

b. Perluasan tulang yang terlibat

1) Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

2) Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

c. Konfigurasi ( garis fraktur )

1) Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.

2) Oblique ( miring )

3) Spiral (berputar)

4) Komunitif (remuk)

d. Hubungan antar Fragmen

1) Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat

2) Undisplacement, bisa terjadi berupa :

a) Angulasi / bersudut

5

Page 4: 49340970-BAB-2.doc

b) Distraksi

c) Kontraksi

d) Rotasi / berputar

e) Impaksi / tertanam

Secara khusus, fraktur maksilofasila dibedakan menjadi fraktur tulang maksila, tulang

mandibula, tulang hidung , tulang zigomatikus, tulang orbita, dan gigi.

a. fraktur maksila dapat dibedakan :

1) Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

Fraktur orbita pada maksilofasial merupakan fraktur yang sering ditemui.

Perawatannya tergantung dari aspek penatalaksanaan trauma kraniofasial. Untuk

Pasien, gejala dapat melemahkan, yaitu dua akibat utama dari diplopia dan

enophthalmos. Jika penatalaksanaannya tidak benar maka masalah kosmetik dan

fungsi menjadi mustahil untuk diperbaiki.(touseef) Fraktur dasar orbita blow out

dapat merupakan trauma yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari kehancuran

tulang wajah yang luas. Fraktur dasar orbita blow out dapat timbul bersamaan dengan

fraktur lengkung zygomatik, fraktur daerah midfacial Le Fort II dan III, atau

bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita rim. Trauma atau kerusakan

iatrogenik dapat menyebabkan hypothesia wajah. Problematika yang umumnya

ditemui pada fraktur dasar orbita adalah hypothesia saraf infraorbita.

Fraktur dasar orbita blow out yang murni (fraktur dasar orbita yang berdiri

sendiri), terjadi karena jejas benturan terhadap bola mata dan kelopak mata atas.

Benda yang membentur biasanya cukup besar untuk tidak mengakibatkan perforasi

bola mata dan cukup kecil untuk tidak mengakibatkan fraktur rim orbita. Fraktur

dasar orbita blow out saja atau bersamaan dengan fraktur tulang wajah lainnya paling

sering ditemukan pada fraktur midfasial, setelah fraktur nasal. Mekanisme terjadinya

fraktur blow out terbagi menjadi dua teori, yaitu :

6

Page 5: 49340970-BAB-2.doc

1. Teori Buckling

Dalam teori ini dikemukakan bahwa jika kekuatan membentur lingkaran

orbita, kekuatan tersebut akan menyebabkan dinding orbita mengalami efek beriak.

Kekuatan yang membentur lingkar tersebut akan menyalurkan dayanya ke tulang

yang palinglemah, dinding yang tipis seperti kertas (terutama dasar), menyebabkan

tulang tersebut berubah bentuk dan bahkan fraktur. LeFort I menjelaskan mekanisme

penjalaran ini dan 70 tahun kemudian penelitian Fujino membantu menjelaskannya

2. Teori Hidrolik

Teori ini dikemukakan oleh Pfeiffer tahun 1943 sebagai perbandingan atas

hipotesis LeFort. Ia menyimpulkan bahwa sangat jelas tekanan benturan diterima oleh

bola mata disalurkannya ke dinding orbita dengan fraktur yang lembut. Oleh karena

itu dibutuhkan tekanan pada bola mata untuk menyebabkan luka secara langsung.

2) Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah yang

adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada wajah. Fraktur Le Fort diambil dari

nama seorang ahli bedah Perancis René Le Fort (1869-1951) yang

mendeskripsikannya pertama kali di awal abab 20.

7

Page 6: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.2 Le Fort Fraktur

Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu (Sjamsuhidajat, 2005):

a) Le Fort I

Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan

bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan yang

mungkin :

a. Prosesus arteroralis

b. Bagian dari sinus maksilaris

c. Palatum durum

d. Bagian bawah lamina pterigoid

8

Page 7: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.3 Fraktur Le fort 1

b) Le Fort II

Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar

orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga

kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur

“pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis, karena sangat mudah

digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang

melayang) ”

9

Page 8: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.4 Fraktur Le fort II

c) Le Fort III

Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid

junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral ke orbita,

sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga sebaga

“cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap

sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini :

keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.

10

Page 9: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.5 Fraktur Le fort II

2) Fraktur mandibula

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah :

a. Dento alveolar

b. Prosesus kondiloideus

c. Prosesus koronoideus

d. Angulus mandibula

e. Ramus mandibula

f. Korpus mandibula

g. Midline / simfisis menti

h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

11

Page 10: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.6 Fraktur pada daerah mandibula

3) Fraktur Zigoma

Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering

terjadi. Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma

yang lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1

dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah

dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi,

hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al. Zigoma mempunyai

peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma

dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma

harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat

Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah: fraktur stable after elevation:

(a) hanya arkus (pergeseran ke medial), (b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial

atau ke lateral. Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke

12

Page 11: 49340970-BAB-2.doc

medial); (b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en loc,

inferior, medial, posterior, atau lateral; (d) comminuted fracture.

4) Fraktur Nasal

2.4 Patofisiologi

Fraktur maksilofasial terjadi akibat dari trauma tumpul atau penetrasi. Cedera

tumpul jauh lebih umum, termasuk kecelakaan kendaraan, kekerasan, trauma yang

berhubungan dengan olahraga, kecelakaan kerja, dan jatuh. Sedanfkan yang termasuk

luka tembus antara lain luka tembak, luka tusuk, dan ledakan. Dampak massa,

densitas, dan bentuk objek, serta kecepatan, langsung mempengaruhi jenis dan

keparahan cedera wajah. Gaya yang dibutuhkan untuk berbagai patah tulang wajah

dapat diklasifikasikan sebagai dampak tinggi (lebih dari 50 kali gaya gravitasi [g])

atau dampak rendah (kurang dari 50 g) (Widell, 2008).

• Dampak Tinggi

o supraorbital rim: 200 g

o simfisis rahang bawah: 100 g

o Frontal-glabellar: 100 g

o Sudut rahang bawah: 70 g

• Dampak Rendah

o Zygoma: 50 g

o hidung tulang: 30 g

13

Page 12: 49340970-BAB-2.doc

Fraktur hidung sederhana adalah yang paling umum dari semua fraktur wajah.

Fraktur hidung harus dibedakan lebih serius dari nasoethmoidal (NOE) fraktur. NOE

fraktur meluas ke hidung melalui tulang ethmoid. Fraktur melalui ethmoid rentan

terhadap kebocoran cairan cerebrospinal (CSF) dari dural tears (Widell, 2008).

Fraktur lengkung Zygomatic cenderung terjadi pada 2-3 tempat di sepanjang

lengkung. Sering terjadi 3 patahan, 1 pada setiap akhir lengkungan dan sepertiga di

tengah, membentuk fraktur berbentuk V, ini sering mempengaruhi pada otot

temporalis di bawahnya, menyebabkan trismus (Widell, 2008).

Fraktur zygomaticomaxillary (tripod) terjadi akibat dari pukulan langsung ke

pipi. Fraktur terjadi pada artikulasi dari zygoma dengan maxilla tulang frontal dan

arch zygomatic dan sering meluas melalui dasar orbital. Karena saraf infraorbital

melewati dasar orbital, hipestesia sering terjadi dalam distribusi sensorik nya. Fraktur

alveolar terjadi tepat di atas tingkat gigi melalui bagian alveolar rahang atas. Biasanya

kelompok gigi longgar, dan darah dicatat pada garis gingiva (Widell, 2008).

2. 4 Diagnosis

a. Ananmnesis

• Prioritas pertama adalah untuk melakukan survei primer dan menjamin ABC,

pada fraktur maksilofasial disebabkan oleh trauma yang signifikan. Awalnya,

fokus pada penilaian patensi jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan fungsi

neurologis kotor, dan juga sebagai kontrol dari cervical spine (Widell, 2008).

• Setelah masalah mengancam kehidupan ditangani, dapatkan anamnesis

menyeluruh seperti:

o Alergi

o Obat-obatan

o riwayat kesehatan lalu

o Terakhir makan

O kejadian terinci yang menyebabkan cedera

• Tanyakan pertanyaan spesifik tentang cedera.

14

Page 13: 49340970-BAB-2.doc

Bagaimana mekanisme cedera?

Apakah pasien kehilangan kesadaran?

Apakah pasien memiliki masalah visual seperti penglihatan ganda atau

kabur?

Apakah pasien memiliki masalah pendengaran apapun, seperti

pendengaran menurun atau tinnitus?

Apakah gigi kontak seperti biasanya (oklusi normal)?

Apakah pasien mampu menggigit tanpa rasa sakit?

Apakah pasien mengalami mati rasa atau kesemutan pada wajah?

Pada wanita, tanyakan apakah cedera itu dari kekerasan atau jika

mereka merasa terancam oleh siapapun.

Pada anak-anak, mengajukan pertanyaan untuk menentukan apakah

pelecehan anak adalah satu masalah.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik lengkap wajah diperlukan, karena beberapa cedera

mudah terjadi. Bagian dari pemeriksaan khusus untuk tulang wajah

ditandai dengan asterisk (Widell, 2008).

inspeksi simetris wajah, cara yang termudah untuk melakukannya

adalah dengan melihat ke bawah dari ujung atas tempat tidur .

o Inspekai luka terbuka untuk mencari benda asing dan meraba untuk

cedera tulang .

o Palpasi struktur tulang supraorbital dan tulang frontal untuk fraktur

step-off.

o seksama memeriksa mata untuk melihat cedera, kelainan gerakan

mata, dan ketajaman visual

o Periksa hidung untuk deviasi dan pelebaran jembatan hidung, dan

meraba untuk permukaan mukosa dan Krepitus

15

Page 14: 49340970-BAB-2.doc

o Periksa hidung septum untuk hematoma septum dan Rhinorrhea,

yang mungkin melibatkan kebocoran CSF

o Palpasi zygoma sepanjang lengkungan serta artikulasi dengan tulang

frontal, tulang temporal, dan maxillae

o Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan langit-langit

secara keras dan lembut dengan mendorong maju dan mundur, lalu

naik dan turun, perasaan untuk gerakan atau ketidakstabilan

midface

o Periksa gigi untuk melihat patah tulang dan pendarahan di garis gusi

(tanda fraktur melalui tulang alveolar), dan uji stabilitas .

o Periksa gigi untuk memeriksa maloklusi dan step-off . periksan juga

perdarahan antara gigi pada garis gusi (tanda fraktur mandibula).

o Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri, bengkak, dan step-off

sepanjang simfisis, tubuh, sudut, dan anterior kondilus ke liang

telinga.

o Evaluasi supraorbital , infraorbital, alveolar inferior, dan distribusi

saraf mental untuk memeriksa adanya hipestesia atau anestesi.

Gambar 2.7 ekimosis sublingual

16

Page 15: 49340970-BAB-2.doc

Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak,

ketegangan dan krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin

mengalami epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan

CSF.

Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan

telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah,

dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.

Fraktur Zygoma pada: temuan fisik tampak bukit malar tertekan

dengan regangan ke arah zygoma atau fraktur arch zygomatic.

Seringkali ditandai edema, yang dapat mengaburkan adanya depresi

tulang. Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan

rahang. Pasien mungkin memiliki trismus atau kesulitan membuka

mulut dari kontak dengan dari otot temporalis saat lewat di bawah

zygoma tersebut (Widell, 2008; Venugopal, 2010).

Fraktur Tripod

Frakltur tripod terjadi jika terdapat benturan benda tumpul

langsung ke pipi dengan temuan fisik berupa edema periorbital ditandai

dan ekimosis. Malar difus yang dapat dilihat awalnya, tetapi

pembengkakan jaringan diatasnya sering mengaburkan temuan ini.

canthus Lateral mungkin tertekan jika zygoma tersebut bergeser ke

inferior. Hipestesia dari saraf infraorbital sering muncul, karena fraktur

dapat meluas melalui orbita ke daerah zygomaticomaxillary dimana

tempat keluarnya saraf (Widell, 2008).

Palpasi lengkung zygomaticomaxillary dari dalam mulut dapat

mengungkapkan fraktur step-off. Step-off mungkin akan ditemukan

pada sutura zygomaticofrontal atau pada lengkungan zygomatic juga.

Cedera mata dapat berhubungan dengan patah tulang ini, dengan

demikian, pemeriksaan mata menyeluruh adalah penting untuk

17

Page 16: 49340970-BAB-2.doc

didokumentasikan dan sebagai dasar tindakan (Widell, 2008; Venugopal,

2010).

Fraktur Le Fort

Temuan fisik fraktur Le Fort I: meliputi edema wajah dan

mobilitas dari palatum durum. Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi

seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara

lembut (Widell, 2008).

Fraktur Le Fort II: Temuan meliputi edema wajah ditandai

dengan telecanthus, pendarahan subconjunctival bilateral, dan mobilitas

rahang atas. Epistaksis atau Rhinorrhea CSS mungkin perlu

doperhatikan.

Fraktur Le Fort III: Temuan meliputi penampilan perpanjangan

wajah dan merata (yaitu, deformitas dishface). Rahang sering bergeser

belakang, menyebabkan maloklusi terbuka ke anterior. Memegang gigi

dan palatum durum serta menggerakannya secara lembut dapat

menggerakan semua tulang wajah dalam kaitannya dengan kranium.

Rhinorrhea CSF hampir selalu tampak namun mungkin tidak jelas

karena adanya epistaksis.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium

Sebagai pemeriksaan laboratorium rutin untuk pada semua trauma.

18

Page 17: 49340970-BAB-2.doc

Jika terjadi cedera yang yang memerlukan operasi direncanakan,

diperlukan tes laboratorium pra operasi (Widell, 2008).

2) Pemeriksaan Radiologis

Fraktur Nasal

o Patah tulang hidung dapat didiagnosis dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Foto polos hidung terdiri dari sudut lateral

mengerucut di bawah hidung dan foto Waters dapat

mengkonfirmasikan diagnosis tetapi kegunaan praktis bernilai kecil.

Jika edema telah diselesaikan dan tidak ada kelainan yang

ditemukan, x-ray tidak diperlukan (Widell, 2008).

o Jika deformitas berlanjut setelah resolusi edema, film diperlukan

dalam follow-up untuk membantu merencanakan rekonstruksi.

Fraktur nasal mudah diketahui tanpa pemeriksaan radiologis,

sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang efektif dpat

mengurangi biaya.

Fraktur Nasoethmoidal

o Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukkan

keterlibatan tulang ethmoidal, seperti rhinorrhea CSF atau pelebaran

jembatan hidung dengan telecanthus, pemeriksaan rotgen biasa

jarang digunakan.

o CT scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk

menentukan tingkat fraktur. Sebuah rekonstruksi 3-D dapat

diperlukan dalam membantu konsultan dalam operasi (Widell, 2008).

Fraktur Zygoma

o Jenis foto terbaik untuk mengevaluasi arkus zygomatic adalah sudut

submental, juga dikenal sebagai bucket handle view, karena

lengkungan tampak seperti pegangan ember.

19

Page 18: 49340970-BAB-2.doc

o fraktur juga dapat dilihat pada foto Waters, dan dalam beberapa

kasus pada foto Towne (Widell, 2008).

Fraktur Tripod

o Jika dicurigai fraktur tripod, foto polos harus disertai foto Waters,

Caldwell, dan posisi submental underexposed.

o Posisi Water merupakan posisi terbaik untuk mengevaluasi rima

orbital inferior, perpanjangan rahang atas dari zygoma, dan sinus

maksilaris.

o Posisi Caldwell dapat mengevaluasi bagian frontal dari zygoma dan

sutura zygomaticofrontal.

o Posisi submental underexposed dapat mengevaluasi arkus zygomatic.

o CT scan koronal tulang wajah sering digunakan untuk lebih

mengevaluasi fraktur, terutama dengan penggunaan rekonstruksi 3-

D untuk meningkatkan visualisasi dari reduksi fraktur. Jika diduga

kuat fraktur tripod, memeriksa CT scan secara langsung tanpa

pemeriksaan foto polos dapat mengurangi biaya (Widell, 2008).

20

Page 19: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.8 CT scan 3 dimensi

Fraktur Le Fort

o CT scan koronal tulang wajah telah menggantikan foto polos dalam

evaluasi fraktur Le Fort, terutama dengan penggunaan rekonstruksi

3-D. Karena fraktur Le Fort sering bercampur dari satu sisi ke sisi

lainnya, CT scan lebih unggul dari foto polos dan membuat visualisasi

dari lebih mudah dalam rekontruksi fraktur. Jika CT tidak tersedia,

dapat dilakukan dengan foto polos lateral, Waters, dan Caldwell

untuk mengevaluasi fraktur. Hampir semua fraktur Le Fort

menyebabkan darah berkumpul di sinus maksilaris (Widell, 2008).

o Fraktur Le Fort I: pemeriksaan radiologis menunjukkan pelebaran

fraktur ke horizontal di mandibula inferior, kadang-kadang

termasuk fraktur dari dinding lateral sinus, memanjang ke dalam

tulang palatina dan pterygoid.

o Fraktur Le Fort II: pemeriksaan radiologis menunjukkan gangguan

dari pelek orbital inferior lateral saluran infraorbital dan patah

tulang dari dinding medial orbit dan tulang hidung. fraktur

memperluas posterior ke dalam piring pterygoid.

o Fraktur Le Fort III pemeriksaan radiologis menunjukkan patah

tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial orbita,

dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di sutura

pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina (Widell, 2008).

2.5 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan pra-rumah sakit

21

Page 20: 49340970-BAB-2.doc

o ABC adalah prioritas pertama. Jika perlu, napas terus dijaga dengan

chin lift atau jaw thrust. Hindari rute intubasi nasotrakeal karena resiko

masuknya tabung ke intrakranial.

o Tempatkan pasien pada papan dan colar brace jika dicurigai cedera

tulang belakang dan servikal.

o Perlakukan hipoventilasi dengan intubasi dan kantung ventilasi.

o Kontrol luka dengan pendarahan aktif dengan bebat tekan (Widell, 2008;

Krausz, 2009).

b. Penatalaksanaan di IGD

o ABC merupakan prioritas. Meninjau kembali saluran napas sering. Awal

intubasi, sebelum edema terjadi, bisa membuat kontrol jalan napas jauh

lebih mudah daripada menunggu sampai masalah muncul dari obstruksi.

Jika intubasi dengan rute oral sulit dilakukan, maka dilakukan

cricotiroidotomi untuk mengamankan jalan napas (Widell, 2008; Krausz,

2009).

o Sebelum menggunakan pelumpuh otot pada saat intubasi, secara hati-

hati mengevaluasi jalan nafas dengan katung masker atau saluran napas

laring. Jika tidak dapat mengelola jalan napas, jangan menggunakan

pelumpuh otot. Panduan Serat optik atau intubasi bronchoscopic bisa

menjadi pilihan. Jika ragu, mempersiapkan cricothyrotomy sebelum

mencoba saluran udara dengan baik sedasi atau pelumpuh otot.

o Hindari godaan untuk fokus pada pemeriksaan deformitas wajah,

sehingga gagal untuk melakukan survei primer secara lengkap. kondisi

yang mengancam jiwa lain yang perlu didiagnosis dengan cepat dan tepat

disertai resusitasi secara kontinuitatum. Ikuti dengan survei sekunder

secara lengkap.

22

Page 21: 49340970-BAB-2.doc

o Evaluasi fraktur maksilofasial merupakan bagian dari survei sekunder.

Setelah tulang servikal jelas aman, pasien dapat diposisikan dalam posisi

setengah duduk dan boleh digunakan suction yang tersedia untuk

memudahkan pemeliharaan jalan napas.

o Pada epistaksis mungkin diperlukan tampon anterior untuk mengontrol

perdarahan. Tampon posterior kadang-kadang bisa diperlukan.

o Tangani hematoma septum untuk menghindari nekrosis tulang rawan

septum (Widell, 2008; Powers, 2005; Krausz, 2009).

c. Konsultasi

o Rujuk pasien dengan patah tulang wajah pada ahli bedah mulut dan

rahang atas, ahli bedah telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), atau

ahli bedah plastik yang berpengalaman.

o Konsultasikan dengan ahli bedah saraf jika didiagnosis atau dicurigai

terdapat kebocoran CSS.

o Lihat perawatan pasien dengan cedera beberapa ke dokter bedah dengan

pengalaman dalam perawatan trauma. Jika seorang ahli bedah dengan

pengalaman trauma tidak tersedia, transfer pasien ke pusat trauma

tingkat yang lebih tinggi.

o Insiden gangguan stres pasca trauma yang tinggi pada pasien dengan

luka wajah, maka harus dipertimbangkan konsultasi dengan seorang

psikiater (Widell, 2008).

d. Medikamentosa

Dengan memberikan analgesik yang memadai, termasuk opioid, NSAID,

atau anestesi lokal. Pemberian antibiotik profilaksis merupakan hal yang

kontroversial ketika diidentifikasi terdapat kebocoran CSF atau ketika fraktur

melibatkan sinus. Hal ini biasanya diserahkan kepada kebijaksanaan asumsi

23

Page 22: 49340970-BAB-2.doc

spesialis. Jika hidung telah ditampon untuk epistaksis, antibiotik profilaksis

harus digunakan untuk mencegah infeksi termasuk toxic shook syndrome. Jika

pasien memiliki luka terbuka, dilakukan imunisasi tetanus. Penggunaan

NSAID yaitu ibuprofen biasanya DOC untuk terapi awal. Pilihan lainnya terdiri

flurbiprofen, ketoprofen, dan naproxen (Widell, 2008; Venugopal, 2010; Powers,

2005).

e. Penatalaksanaan Operatif

Terapi pembedahan dengan menggunakan interosseus wiring sampai

saat ini masih cukup efektif untuk penanganan fraktur maksilofasial. Akan

tetapi dengan hams dipasangnya juga interdental wiring pada fraktur

mandibula dan maksila yang memerlukan interosseus wiring akan terjadi

berbagai masalah akibat pemakaian interdental wiring (Widell, 2008;

Venugopal, 2010).

Gambar 2.9 Interoseous wiring

Permasalahan yang mungkin terjadi adalah:

24

Page 23: 49340970-BAB-2.doc

o intake penderita menjadi kurang karena diet bentuk cair yang dihisap

dengan sedotan, ha1 ini mengakibatkan berat badan penderita cepat

menurun.

o rongga mulut tidak dapat dijaga kebersihannya sehingga kemungkinan

mendapat infeksi berupa gingivitis atau stomatitis sangat besar.

o karena immobilisasi yang lama maka sendi temporomandibula

mengalami kekakuan sehingga setelah interdental wiring dibuka, masih

memerlukan waktu lama agar penderita dapat membuka mulut penuh.

o perasaan tidak enak bagi penderita karena mulut yang selalu tertutup,

juga rasa nyeri bila ada bagian kawat

Penggunaan miniplate pada pembedahan fraktur maksilofasial sudah

lama digunakan di negara maju. Plat memberikan fiksasi yang stabil sehingga

pada umumnya tidak diperlukan lagi interdental wiring pada fraktur

mandibula dan maksila, dengan demikian penderita terbebas dari akibat-akibat

yang dapat ditimbulkan oleh interdental wiring. Kosmetik akan lebih baik

karena pendekatan operasi melalui intraoral. Satu-satunya kendala penggunaan

miniplate pada fraktur maksilofasial untuk penderita-penderita ialah masalah

harga plat yang relatif mahal, sehingga penggunaannya masih selektif bagi

mereka yang mampu (Venugopal, 2010).

25

Page 24: 49340970-BAB-2.doc

Gambar 2.10 Pemasangan Interdental wiring

f. Edukasi

o Jika dipasang arch band wiring, ajarkan pasien bagaimana melepaskan

crossband dalam keadaan darurat.

o Berikan petunjuk jika terjadi epistaksis.

o Diskusikan risiko gangguan stres pasca trauma.

2.6 Komplikasi

o Lanjutan CSF kebocoran dapat terjadi, meskipun kebanyakan berhenti

2-3 minggu setelah cedera.

o Meningitis dan abses yang infeksi serius dapat terjadi jika terdapat

kebocoran CSF.

o Sepsis

o Gangguan kosmetik akibat bekas luka dan kelainan bentuk wajah

o Cedera pada saraf infraorbital di tripod dan fraktur Le Fort II yang

meluas melalui foramen infraorbital tempat keluar saraf

o Gangguan stres Posttraumatic

26