Upload
devi-triya
View
75
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang wajah.
Sedangkan yang dimaksud dengan tulang wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari
(Sjamsuhidajat, 2005):
1. Tulang hidung
2. Tulang arkus zigomatikus
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
Gambar 2.1 fraktur maksilofasial menyeluruh
2.2 Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian
dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
3
terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun (Sjamsuhidajat,
2005; Obuekwea, 2004).
Penyebab Persentase (%) Dewasa Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan / berkelahi Olahraga Jatuh Lain-lain
40-45 10-15 5-10 5 5-10
Anak-anak Kecelakaan lalu lintas Penganiayaan / berkelahi Olahraga (termasuk naik sepeda) Jatuh
10-15 5-10 50-65 5-10
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur maksilofasial di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan
dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya (Sjamsuhidajat, 2005) :
a. Tipe fraktur
1) Fraktur simpel
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk
greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan
jarang terjadi.
2) Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak
4
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan
hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke
rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan
sobekan pada kulit.
3) Fraktur komunitif
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau
remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun
dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
4) Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang,
seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang
sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
b. Perluasan tulang yang terlibat
1) Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
2) Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
c. Konfigurasi ( garis fraktur )
1) Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
2) Oblique ( miring )
3) Spiral (berputar)
4) Komunitif (remuk)
d. Hubungan antar Fragmen
1) Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat
2) Undisplacement, bisa terjadi berupa :
a) Angulasi / bersudut
5
b) Distraksi
c) Kontraksi
d) Rotasi / berputar
e) Impaksi / tertanam
Secara khusus, fraktur maksilofasila dibedakan menjadi fraktur tulang maksila, tulang
mandibula, tulang hidung , tulang zigomatikus, tulang orbita, dan gigi.
a. fraktur maksila dapat dibedakan :
1) Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)
Fraktur orbita pada maksilofasial merupakan fraktur yang sering ditemui.
Perawatannya tergantung dari aspek penatalaksanaan trauma kraniofasial. Untuk
Pasien, gejala dapat melemahkan, yaitu dua akibat utama dari diplopia dan
enophthalmos. Jika penatalaksanaannya tidak benar maka masalah kosmetik dan
fungsi menjadi mustahil untuk diperbaiki.(touseef) Fraktur dasar orbita blow out
dapat merupakan trauma yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari kehancuran
tulang wajah yang luas. Fraktur dasar orbita blow out dapat timbul bersamaan dengan
fraktur lengkung zygomatik, fraktur daerah midfacial Le Fort II dan III, atau
bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita rim. Trauma atau kerusakan
iatrogenik dapat menyebabkan hypothesia wajah. Problematika yang umumnya
ditemui pada fraktur dasar orbita adalah hypothesia saraf infraorbita.
Fraktur dasar orbita blow out yang murni (fraktur dasar orbita yang berdiri
sendiri), terjadi karena jejas benturan terhadap bola mata dan kelopak mata atas.
Benda yang membentur biasanya cukup besar untuk tidak mengakibatkan perforasi
bola mata dan cukup kecil untuk tidak mengakibatkan fraktur rim orbita. Fraktur
dasar orbita blow out saja atau bersamaan dengan fraktur tulang wajah lainnya paling
sering ditemukan pada fraktur midfasial, setelah fraktur nasal. Mekanisme terjadinya
fraktur blow out terbagi menjadi dua teori, yaitu :
6
1. Teori Buckling
Dalam teori ini dikemukakan bahwa jika kekuatan membentur lingkaran
orbita, kekuatan tersebut akan menyebabkan dinding orbita mengalami efek beriak.
Kekuatan yang membentur lingkar tersebut akan menyalurkan dayanya ke tulang
yang palinglemah, dinding yang tipis seperti kertas (terutama dasar), menyebabkan
tulang tersebut berubah bentuk dan bahkan fraktur. LeFort I menjelaskan mekanisme
penjalaran ini dan 70 tahun kemudian penelitian Fujino membantu menjelaskannya
2. Teori Hidrolik
Teori ini dikemukakan oleh Pfeiffer tahun 1943 sebagai perbandingan atas
hipotesis LeFort. Ia menyimpulkan bahwa sangat jelas tekanan benturan diterima oleh
bola mata disalurkannya ke dinding orbita dengan fraktur yang lembut. Oleh karena
itu dibutuhkan tekanan pada bola mata untuk menyebabkan luka secara langsung.
2) Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III
Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah yang
adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada wajah. Fraktur Le Fort diambil dari
nama seorang ahli bedah Perancis René Le Fort (1869-1951) yang
mendeskripsikannya pertama kali di awal abab 20.
7
Gambar 2.2 Le Fort Fraktur
Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu (Sjamsuhidajat, 2005):
a) Le Fort I
Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan
bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan yang
mungkin :
a. Prosesus arteroralis
b. Bagian dari sinus maksilaris
c. Palatum durum
d. Bagian bawah lamina pterigoid
8
Gambar 2.3 Fraktur Le fort 1
b) Le Fort II
Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris juga
kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga fraktur
“pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis, karena sangat mudah
digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang
melayang) ”
9
Gambar 2.4 Fraktur Le fort II
c) Le Fort III
Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid
junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral ke orbita,
sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga sebaga
“cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap
sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini :
keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.
10
Gambar 2.5 Fraktur Le fort II
2) Fraktur mandibula
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah :
a. Dento alveolar
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
d. Angulus mandibula
e. Ramus mandibula
f. Korpus mandibula
g. Midline / simfisis menti
h. Lateral ke midline dalam regio insisivus
11
Gambar 2.6 Fraktur pada daerah mandibula
3) Fraktur Zigoma
Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering
terjadi. Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma
yang lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1
dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah
dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi,
hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al. Zigoma mempunyai
peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma
dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma
harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah: fraktur stable after elevation:
(a) hanya arkus (pergeseran ke medial), (b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial
atau ke lateral. Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke
12
medial); (b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en loc,
inferior, medial, posterior, atau lateral; (d) comminuted fracture.
4) Fraktur Nasal
2.4 Patofisiologi
Fraktur maksilofasial terjadi akibat dari trauma tumpul atau penetrasi. Cedera
tumpul jauh lebih umum, termasuk kecelakaan kendaraan, kekerasan, trauma yang
berhubungan dengan olahraga, kecelakaan kerja, dan jatuh. Sedanfkan yang termasuk
luka tembus antara lain luka tembak, luka tusuk, dan ledakan. Dampak massa,
densitas, dan bentuk objek, serta kecepatan, langsung mempengaruhi jenis dan
keparahan cedera wajah. Gaya yang dibutuhkan untuk berbagai patah tulang wajah
dapat diklasifikasikan sebagai dampak tinggi (lebih dari 50 kali gaya gravitasi [g])
atau dampak rendah (kurang dari 50 g) (Widell, 2008).
• Dampak Tinggi
o supraorbital rim: 200 g
o simfisis rahang bawah: 100 g
o Frontal-glabellar: 100 g
o Sudut rahang bawah: 70 g
• Dampak Rendah
o Zygoma: 50 g
o hidung tulang: 30 g
13
Fraktur hidung sederhana adalah yang paling umum dari semua fraktur wajah.
Fraktur hidung harus dibedakan lebih serius dari nasoethmoidal (NOE) fraktur. NOE
fraktur meluas ke hidung melalui tulang ethmoid. Fraktur melalui ethmoid rentan
terhadap kebocoran cairan cerebrospinal (CSF) dari dural tears (Widell, 2008).
Fraktur lengkung Zygomatic cenderung terjadi pada 2-3 tempat di sepanjang
lengkung. Sering terjadi 3 patahan, 1 pada setiap akhir lengkungan dan sepertiga di
tengah, membentuk fraktur berbentuk V, ini sering mempengaruhi pada otot
temporalis di bawahnya, menyebabkan trismus (Widell, 2008).
Fraktur zygomaticomaxillary (tripod) terjadi akibat dari pukulan langsung ke
pipi. Fraktur terjadi pada artikulasi dari zygoma dengan maxilla tulang frontal dan
arch zygomatic dan sering meluas melalui dasar orbital. Karena saraf infraorbital
melewati dasar orbital, hipestesia sering terjadi dalam distribusi sensorik nya. Fraktur
alveolar terjadi tepat di atas tingkat gigi melalui bagian alveolar rahang atas. Biasanya
kelompok gigi longgar, dan darah dicatat pada garis gingiva (Widell, 2008).
2. 4 Diagnosis
a. Ananmnesis
• Prioritas pertama adalah untuk melakukan survei primer dan menjamin ABC,
pada fraktur maksilofasial disebabkan oleh trauma yang signifikan. Awalnya,
fokus pada penilaian patensi jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan fungsi
neurologis kotor, dan juga sebagai kontrol dari cervical spine (Widell, 2008).
• Setelah masalah mengancam kehidupan ditangani, dapatkan anamnesis
menyeluruh seperti:
o Alergi
o Obat-obatan
o riwayat kesehatan lalu
o Terakhir makan
O kejadian terinci yang menyebabkan cedera
• Tanyakan pertanyaan spesifik tentang cedera.
14
Bagaimana mekanisme cedera?
Apakah pasien kehilangan kesadaran?
Apakah pasien memiliki masalah visual seperti penglihatan ganda atau
kabur?
Apakah pasien memiliki masalah pendengaran apapun, seperti
pendengaran menurun atau tinnitus?
Apakah gigi kontak seperti biasanya (oklusi normal)?
Apakah pasien mampu menggigit tanpa rasa sakit?
Apakah pasien mengalami mati rasa atau kesemutan pada wajah?
Pada wanita, tanyakan apakah cedera itu dari kekerasan atau jika
mereka merasa terancam oleh siapapun.
Pada anak-anak, mengajukan pertanyaan untuk menentukan apakah
pelecehan anak adalah satu masalah.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lengkap wajah diperlukan, karena beberapa cedera
mudah terjadi. Bagian dari pemeriksaan khusus untuk tulang wajah
ditandai dengan asterisk (Widell, 2008).
inspeksi simetris wajah, cara yang termudah untuk melakukannya
adalah dengan melihat ke bawah dari ujung atas tempat tidur .
o Inspekai luka terbuka untuk mencari benda asing dan meraba untuk
cedera tulang .
o Palpasi struktur tulang supraorbital dan tulang frontal untuk fraktur
step-off.
o seksama memeriksa mata untuk melihat cedera, kelainan gerakan
mata, dan ketajaman visual
o Periksa hidung untuk deviasi dan pelebaran jembatan hidung, dan
meraba untuk permukaan mukosa dan Krepitus
15
o Periksa hidung septum untuk hematoma septum dan Rhinorrhea,
yang mungkin melibatkan kebocoran CSF
o Palpasi zygoma sepanjang lengkungan serta artikulasi dengan tulang
frontal, tulang temporal, dan maxillae
o Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan langit-langit
secara keras dan lembut dengan mendorong maju dan mundur, lalu
naik dan turun, perasaan untuk gerakan atau ketidakstabilan
midface
o Periksa gigi untuk melihat patah tulang dan pendarahan di garis gusi
(tanda fraktur melalui tulang alveolar), dan uji stabilitas .
o Periksa gigi untuk memeriksa maloklusi dan step-off . periksan juga
perdarahan antara gigi pada garis gusi (tanda fraktur mandibula).
o Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri, bengkak, dan step-off
sepanjang simfisis, tubuh, sudut, dan anterior kondilus ke liang
telinga.
o Evaluasi supraorbital , infraorbital, alveolar inferior, dan distribusi
saraf mental untuk memeriksa adanya hipestesia atau anestesi.
Gambar 2.7 ekimosis sublingual
16
Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak,
ketegangan dan krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin
mengalami epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan
CSF.
Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan
telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah,
dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.
Fraktur Zygoma pada: temuan fisik tampak bukit malar tertekan
dengan regangan ke arah zygoma atau fraktur arch zygomatic.
Seringkali ditandai edema, yang dapat mengaburkan adanya depresi
tulang. Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan
rahang. Pasien mungkin memiliki trismus atau kesulitan membuka
mulut dari kontak dengan dari otot temporalis saat lewat di bawah
zygoma tersebut (Widell, 2008; Venugopal, 2010).
Fraktur Tripod
Frakltur tripod terjadi jika terdapat benturan benda tumpul
langsung ke pipi dengan temuan fisik berupa edema periorbital ditandai
dan ekimosis. Malar difus yang dapat dilihat awalnya, tetapi
pembengkakan jaringan diatasnya sering mengaburkan temuan ini.
canthus Lateral mungkin tertekan jika zygoma tersebut bergeser ke
inferior. Hipestesia dari saraf infraorbital sering muncul, karena fraktur
dapat meluas melalui orbita ke daerah zygomaticomaxillary dimana
tempat keluarnya saraf (Widell, 2008).
Palpasi lengkung zygomaticomaxillary dari dalam mulut dapat
mengungkapkan fraktur step-off. Step-off mungkin akan ditemukan
pada sutura zygomaticofrontal atau pada lengkungan zygomatic juga.
Cedera mata dapat berhubungan dengan patah tulang ini, dengan
demikian, pemeriksaan mata menyeluruh adalah penting untuk
17
didokumentasikan dan sebagai dasar tindakan (Widell, 2008; Venugopal,
2010).
Fraktur Le Fort
Temuan fisik fraktur Le Fort I: meliputi edema wajah dan
mobilitas dari palatum durum. Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi
seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara
lembut (Widell, 2008).
Fraktur Le Fort II: Temuan meliputi edema wajah ditandai
dengan telecanthus, pendarahan subconjunctival bilateral, dan mobilitas
rahang atas. Epistaksis atau Rhinorrhea CSS mungkin perlu
doperhatikan.
Fraktur Le Fort III: Temuan meliputi penampilan perpanjangan
wajah dan merata (yaitu, deformitas dishface). Rahang sering bergeser
belakang, menyebabkan maloklusi terbuka ke anterior. Memegang gigi
dan palatum durum serta menggerakannya secara lembut dapat
menggerakan semua tulang wajah dalam kaitannya dengan kranium.
Rhinorrhea CSF hampir selalu tampak namun mungkin tidak jelas
karena adanya epistaksis.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai pemeriksaan laboratorium rutin untuk pada semua trauma.
18
Jika terjadi cedera yang yang memerlukan operasi direncanakan,
diperlukan tes laboratorium pra operasi (Widell, 2008).
2) Pemeriksaan Radiologis
Fraktur Nasal
o Patah tulang hidung dapat didiagnosis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Foto polos hidung terdiri dari sudut lateral
mengerucut di bawah hidung dan foto Waters dapat
mengkonfirmasikan diagnosis tetapi kegunaan praktis bernilai kecil.
Jika edema telah diselesaikan dan tidak ada kelainan yang
ditemukan, x-ray tidak diperlukan (Widell, 2008).
o Jika deformitas berlanjut setelah resolusi edema, film diperlukan
dalam follow-up untuk membantu merencanakan rekonstruksi.
Fraktur nasal mudah diketahui tanpa pemeriksaan radiologis,
sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang efektif dpat
mengurangi biaya.
Fraktur Nasoethmoidal
o Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukkan
keterlibatan tulang ethmoidal, seperti rhinorrhea CSF atau pelebaran
jembatan hidung dengan telecanthus, pemeriksaan rotgen biasa
jarang digunakan.
o CT scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk
menentukan tingkat fraktur. Sebuah rekonstruksi 3-D dapat
diperlukan dalam membantu konsultan dalam operasi (Widell, 2008).
Fraktur Zygoma
o Jenis foto terbaik untuk mengevaluasi arkus zygomatic adalah sudut
submental, juga dikenal sebagai bucket handle view, karena
lengkungan tampak seperti pegangan ember.
19
o fraktur juga dapat dilihat pada foto Waters, dan dalam beberapa
kasus pada foto Towne (Widell, 2008).
Fraktur Tripod
o Jika dicurigai fraktur tripod, foto polos harus disertai foto Waters,
Caldwell, dan posisi submental underexposed.
o Posisi Water merupakan posisi terbaik untuk mengevaluasi rima
orbital inferior, perpanjangan rahang atas dari zygoma, dan sinus
maksilaris.
o Posisi Caldwell dapat mengevaluasi bagian frontal dari zygoma dan
sutura zygomaticofrontal.
o Posisi submental underexposed dapat mengevaluasi arkus zygomatic.
o CT scan koronal tulang wajah sering digunakan untuk lebih
mengevaluasi fraktur, terutama dengan penggunaan rekonstruksi 3-
D untuk meningkatkan visualisasi dari reduksi fraktur. Jika diduga
kuat fraktur tripod, memeriksa CT scan secara langsung tanpa
pemeriksaan foto polos dapat mengurangi biaya (Widell, 2008).
20
Gambar 2.8 CT scan 3 dimensi
Fraktur Le Fort
o CT scan koronal tulang wajah telah menggantikan foto polos dalam
evaluasi fraktur Le Fort, terutama dengan penggunaan rekonstruksi
3-D. Karena fraktur Le Fort sering bercampur dari satu sisi ke sisi
lainnya, CT scan lebih unggul dari foto polos dan membuat visualisasi
dari lebih mudah dalam rekontruksi fraktur. Jika CT tidak tersedia,
dapat dilakukan dengan foto polos lateral, Waters, dan Caldwell
untuk mengevaluasi fraktur. Hampir semua fraktur Le Fort
menyebabkan darah berkumpul di sinus maksilaris (Widell, 2008).
o Fraktur Le Fort I: pemeriksaan radiologis menunjukkan pelebaran
fraktur ke horizontal di mandibula inferior, kadang-kadang
termasuk fraktur dari dinding lateral sinus, memanjang ke dalam
tulang palatina dan pterygoid.
o Fraktur Le Fort II: pemeriksaan radiologis menunjukkan gangguan
dari pelek orbital inferior lateral saluran infraorbital dan patah
tulang dari dinding medial orbit dan tulang hidung. fraktur
memperluas posterior ke dalam piring pterygoid.
o Fraktur Le Fort III pemeriksaan radiologis menunjukkan patah
tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial orbita,
dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di sutura
pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina (Widell, 2008).
2.5 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan pra-rumah sakit
21
o ABC adalah prioritas pertama. Jika perlu, napas terus dijaga dengan
chin lift atau jaw thrust. Hindari rute intubasi nasotrakeal karena resiko
masuknya tabung ke intrakranial.
o Tempatkan pasien pada papan dan colar brace jika dicurigai cedera
tulang belakang dan servikal.
o Perlakukan hipoventilasi dengan intubasi dan kantung ventilasi.
o Kontrol luka dengan pendarahan aktif dengan bebat tekan (Widell, 2008;
Krausz, 2009).
b. Penatalaksanaan di IGD
o ABC merupakan prioritas. Meninjau kembali saluran napas sering. Awal
intubasi, sebelum edema terjadi, bisa membuat kontrol jalan napas jauh
lebih mudah daripada menunggu sampai masalah muncul dari obstruksi.
Jika intubasi dengan rute oral sulit dilakukan, maka dilakukan
cricotiroidotomi untuk mengamankan jalan napas (Widell, 2008; Krausz,
2009).
o Sebelum menggunakan pelumpuh otot pada saat intubasi, secara hati-
hati mengevaluasi jalan nafas dengan katung masker atau saluran napas
laring. Jika tidak dapat mengelola jalan napas, jangan menggunakan
pelumpuh otot. Panduan Serat optik atau intubasi bronchoscopic bisa
menjadi pilihan. Jika ragu, mempersiapkan cricothyrotomy sebelum
mencoba saluran udara dengan baik sedasi atau pelumpuh otot.
o Hindari godaan untuk fokus pada pemeriksaan deformitas wajah,
sehingga gagal untuk melakukan survei primer secara lengkap. kondisi
yang mengancam jiwa lain yang perlu didiagnosis dengan cepat dan tepat
disertai resusitasi secara kontinuitatum. Ikuti dengan survei sekunder
secara lengkap.
22
o Evaluasi fraktur maksilofasial merupakan bagian dari survei sekunder.
Setelah tulang servikal jelas aman, pasien dapat diposisikan dalam posisi
setengah duduk dan boleh digunakan suction yang tersedia untuk
memudahkan pemeliharaan jalan napas.
o Pada epistaksis mungkin diperlukan tampon anterior untuk mengontrol
perdarahan. Tampon posterior kadang-kadang bisa diperlukan.
o Tangani hematoma septum untuk menghindari nekrosis tulang rawan
septum (Widell, 2008; Powers, 2005; Krausz, 2009).
c. Konsultasi
o Rujuk pasien dengan patah tulang wajah pada ahli bedah mulut dan
rahang atas, ahli bedah telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), atau
ahli bedah plastik yang berpengalaman.
o Konsultasikan dengan ahli bedah saraf jika didiagnosis atau dicurigai
terdapat kebocoran CSS.
o Lihat perawatan pasien dengan cedera beberapa ke dokter bedah dengan
pengalaman dalam perawatan trauma. Jika seorang ahli bedah dengan
pengalaman trauma tidak tersedia, transfer pasien ke pusat trauma
tingkat yang lebih tinggi.
o Insiden gangguan stres pasca trauma yang tinggi pada pasien dengan
luka wajah, maka harus dipertimbangkan konsultasi dengan seorang
psikiater (Widell, 2008).
d. Medikamentosa
Dengan memberikan analgesik yang memadai, termasuk opioid, NSAID,
atau anestesi lokal. Pemberian antibiotik profilaksis merupakan hal yang
kontroversial ketika diidentifikasi terdapat kebocoran CSF atau ketika fraktur
melibatkan sinus. Hal ini biasanya diserahkan kepada kebijaksanaan asumsi
23
spesialis. Jika hidung telah ditampon untuk epistaksis, antibiotik profilaksis
harus digunakan untuk mencegah infeksi termasuk toxic shook syndrome. Jika
pasien memiliki luka terbuka, dilakukan imunisasi tetanus. Penggunaan
NSAID yaitu ibuprofen biasanya DOC untuk terapi awal. Pilihan lainnya terdiri
flurbiprofen, ketoprofen, dan naproxen (Widell, 2008; Venugopal, 2010; Powers,
2005).
e. Penatalaksanaan Operatif
Terapi pembedahan dengan menggunakan interosseus wiring sampai
saat ini masih cukup efektif untuk penanganan fraktur maksilofasial. Akan
tetapi dengan hams dipasangnya juga interdental wiring pada fraktur
mandibula dan maksila yang memerlukan interosseus wiring akan terjadi
berbagai masalah akibat pemakaian interdental wiring (Widell, 2008;
Venugopal, 2010).
Gambar 2.9 Interoseous wiring
Permasalahan yang mungkin terjadi adalah:
24
o intake penderita menjadi kurang karena diet bentuk cair yang dihisap
dengan sedotan, ha1 ini mengakibatkan berat badan penderita cepat
menurun.
o rongga mulut tidak dapat dijaga kebersihannya sehingga kemungkinan
mendapat infeksi berupa gingivitis atau stomatitis sangat besar.
o karena immobilisasi yang lama maka sendi temporomandibula
mengalami kekakuan sehingga setelah interdental wiring dibuka, masih
memerlukan waktu lama agar penderita dapat membuka mulut penuh.
o perasaan tidak enak bagi penderita karena mulut yang selalu tertutup,
juga rasa nyeri bila ada bagian kawat
Penggunaan miniplate pada pembedahan fraktur maksilofasial sudah
lama digunakan di negara maju. Plat memberikan fiksasi yang stabil sehingga
pada umumnya tidak diperlukan lagi interdental wiring pada fraktur
mandibula dan maksila, dengan demikian penderita terbebas dari akibat-akibat
yang dapat ditimbulkan oleh interdental wiring. Kosmetik akan lebih baik
karena pendekatan operasi melalui intraoral. Satu-satunya kendala penggunaan
miniplate pada fraktur maksilofasial untuk penderita-penderita ialah masalah
harga plat yang relatif mahal, sehingga penggunaannya masih selektif bagi
mereka yang mampu (Venugopal, 2010).
25
Gambar 2.10 Pemasangan Interdental wiring
f. Edukasi
o Jika dipasang arch band wiring, ajarkan pasien bagaimana melepaskan
crossband dalam keadaan darurat.
o Berikan petunjuk jika terjadi epistaksis.
o Diskusikan risiko gangguan stres pasca trauma.
2.6 Komplikasi
o Lanjutan CSF kebocoran dapat terjadi, meskipun kebanyakan berhenti
2-3 minggu setelah cedera.
o Meningitis dan abses yang infeksi serius dapat terjadi jika terdapat
kebocoran CSF.
o Sepsis
o Gangguan kosmetik akibat bekas luka dan kelainan bentuk wajah
o Cedera pada saraf infraorbital di tripod dan fraktur Le Fort II yang
meluas melalui foramen infraorbital tempat keluar saraf
o Gangguan stres Posttraumatic
26