Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
FAKULTAS HUKUM
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014
Definisi Mode Normal dalam Hak Lintas Transit di Selat Yang Digunakan
Untuk Pelayaran Internasional
OLEH
Nama Penyusun : Petra Siti Sabrina
NPM : 2014 200 185
PEMBIMBING
I Wayan Parthiana, S.H., M.H.
Penulisan Hukum
Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan
Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum
2018
Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang
Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan
Pembimbing
( I Wayan Parthiana, S.H.,M.H. )
Dekan,
(Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.)
PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK
Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang
setinggi-tinginya, maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Petra Siti Sabrina
NPM : 2014200185
Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan
pikiran, bahwa Karya Penulisan Hukum yang berjudul:
DEFINISI MODE NORMAL DALAM HAK LINTAS TRANSIT DI SELAT
YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN INTERNASIONAL
adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah / Karya Penulisan Hukum yang
telah Saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan
akademik Saya pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau
mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang:
a. secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-
hak atas kekayaan intelektual orang lain, dan atau
b. dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai
integritas akademik dan itikad baik.
Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa Saya telah menyalahi dan atau
melanggar pernyataan Saya di atas, maka Saya sanggup untuk menerima akibat-
akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan
Universitas Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan
dalam bentuk apapun juga.
Bandung, 22 Mei 2018
Mahasiswa Penyusun Karya Penulisan Hukum
(________________________________)
Petra Siti Sabrina
2014200185
i
Abstrak
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 (UNCLOS) membentuk
suatu rezim hukum yang secara komprehensif mengatur hak bagi kapal dan
pesawat udara untuk melintas di selat atau di atas permukaan selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional. Rezim hukum tersebut berlaku pada selat yang
menghubungkan antara suatu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif
dan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif serta yang bertumpang
tindih dengan laut teritorial satu atau lebih negara pantai. Pada selat tersebut,
seluruh kapal dan pesawat udara memiliki hak lintas transit, yang digambarkan
sebagai bentuk dari pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan semata-
mata untuk tujuan transit yang langsung, terus-menerus dan secepat mungkin. Hak
lintas transit ini tidak dapat ditangguhkan.
Berdasarkan pasal 39 UNCLOS, seluruh kapal dan pesawat udara memiliki
kewajiban untuk menahan diri dari kegiatan lain selain transit yang terus-menerus
dan secepat mungkin dalam mode normalnya, kecuali dalam hal terjadi force
majeur atau berada dalam kesulitan. Dalam UNCLOS tidak ditemukan definisi
mode normal dan mode normal seperti apa yang harus dilaksanakan oleh kapal
dan pesawat udara pada saat transit. Ketiadaan ini membuka peluang bagi negara-
negara untuk menafsirkan mode normal itu sesuai dengan kepentingan masing-
masing yang bisa saja berbeda bahkan bertentangan satu dan yang lainnya. Untuk
menghindari hal tersebut, perlu ada kepastian mengenai apa itu mode normal dan
mode normal seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh kapal dan pesawat
udara yang melaksanakan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.
Kata Kunci : Konvensi Hukum Laut PBB 1982, UNCLOS 1982, Selat, Selat yang
digunakan Untuk Pelayaran Internasional, Hak Lintas Transit, Mode Normal.
iii
Abstract
The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) establish a
comprehensive legal regime on the passage of ships and aircraft through and over
straits which are used for international navigation. That regime applies when such
straits connect one part of high seas or an exclusive economic zone to another part
of high seas or an exclusive economic zone and are constituted at least in part of
overlapping teritorial sea of a coastal state or more. In such straits, all ships and
aircraft enjoy the right of transit passage, defined as an exercise of freedom of
navigation and overflight solely for the purpose of continous and expeditious
transit. The right of transit passage may not be suspended.
Under article 39 of UNCLOS, all ships and aircraft must refrain from any activities
other than those incident to their normal modes of continuous and expeditious
transit unless rendered necessary by force majeure or by distress. There is no
definition of normal modes in the Convention and what kind of normal modes
should be done by ship and aircraft during transit. This lack of definition provides
a chance for countries to interpret the normal mode according to their own interests
that may be different even contradictory one and another. To avoid that matters,
there should be a certain definition of normal modes and what kind of normal modes
should be implemented by ships and aircraft while exercising the right of transit
passage in the straits used for international navigation
Keywords: UNCLOS 1982, Straits used for International Navigation, Transit
Passage, Normal Modes.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang hanya karena izin dan karuniaNya
penulisan hukum yang berjudul “Definisi Mode Normal dalam Hak Lintas
Transit di Selat Yang digunakan Untuk Pelayaran Internasional” ini dapat
diselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
Saya menyadari bahwa penyusunan penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M., selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
2. Ibu Niken Savitri, S.H., MCL., selaku Wakil Dekan I bidang Akademik
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
3. Ibu Grace Juanita, S.H., M.Kn., selaku Wakil Dekan II bidang Sumber
Daya Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
4. Ibu Wurianalya Maria Novenanty, S.H., LL.M., selaku Wakil Dekan III
bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan
5. Ibu Prof. Dr. Catharina Dewi Wulansari, S.H., M.H., selaku dosen wali
saya yang telah membimbing dan mengarahkan saya selama menjadi
mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
6. Bapak I Wayan Parthiana, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing
penulisan hukum yang telah memberikan masukan, arahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
7. Bapak Adrianus Adityo Vito Ramon, S.H., LL.M (Adv) yang telah
banyak membantu dan memberikan masukan kepada saya sejak
penulisan proposal hingga akhir penulisan hukum ini. Terima kasih
vi
telah rela meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan selama
penulisan hukum ini.
8. Teman-teman terdekat saya di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan: Hilmy Mutiara, yang juga merangkap menjadi editor
dalam penulisan hukum ini; Fasya Yustisia dan Lusiana Iskandar yang
selalu mendukung dan mendengarkan keluh kesah selama penulisan
hukum ini; Andreina, Anggiariz, Bea + Chyka, Caesarya, Ce Cecillia,
Denia, Fairus, Gisya, Kimberly, Marty, Niken, Rifny, Stacia, Yuliana
dan Yola, words cannot describe how grateful I am for your kindness
and support. Thank you for always being there!
9. Irene, Nadhira dan Ratri yang menjadi teman diskusi dan bertukar
informasi selama penulisan hukum ini.
10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan
pembelajaran yang berharga selama saya menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
11. Seluruh Bapak dan Ibu Karyawan Tata Usaha dan Pekarya Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang telah bekerja sehingga
seluruh kegiatan yang di Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan dapat berjalan dan terlaksana dengan baik.
12. Orang tua saya, Mami, (alm) Papi, Wa I dan Wa Papah, there are no
better words to use than ‘thank you’. Thank you for everything you’ve
done to me.
13. Kakak-kakak saya, Teteh Rinni, Aa Riza dan Kakak Juan dan Athariadi,
thank you for believing in me and your endless support.
14. Dan untuk kalian semua yang karena keterbatasan saya namanya luput
tertulis di lembar kertas ini, saya haturkan tertima kasih banyak.
Saya menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan hukum ini mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh saya. Oleh karena
itu, segala bentuk kritik, saran maupun pertanyaan terhadap penulisan hukum ini
vii
dapat dikirimkan ke alamat surel saya [email protected] untuk menjadi
bahan perbaikan di masa yang akan datang.
Bandung, 2 Mei 2018
Petra Siti Sabrina
ix
DAFTAR ISI
Abstrak ……………………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xiv
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................. 10
1.5 Metode Penelitian.................................................................................................... 10
1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................................. 12
BAB II: SELAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN
INTERNASIONAL .......................................................................................... 15
2.1 Selat Sebagai Rezim Hukum Khusus ...................................................................... 15
2.1.1 Awal Mula Pengaturan Selat Sebagai Rezim Hukum Khusus ......................... 15
2.1.2 Kodifikasi oleh Institut de Droit International dan International Law
Association ...................................................................................................... 16
2.1.3 The Hague Conference 1907 dan 1930 ............................................................ 18
2.1.4 Kasus Selat Corfu 1949.................................................................................... 22
2.1.5 International Law Commision dan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan ........................................................................ 26
2.1.6 Rezim Selat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 .................................... 29
2.2 Kategorisasi Selat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 .................................. 40
2.2.1 Selat yang diatur Secara Khusus dalam Suatu atau Bagian dari Suatu
Perjanjian Internasional yang Sudah Berlangsung Lama................................ 41
2.2.2 Selat di mana Terdapat Suatu Rute Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif
atau Rute Lainnya yang Memiliki Fungsi yang Sama Berkenaan dengan
Karakteristik Pelayaran dan Hidrografis ......................................................... 44
x
2.2.3 Selat yang Berada di antara Suatu Pulau dan Daratan Utama yang Memiliki
Rute yang Mengarah ke Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif ............... 45
2.2.4 Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional yang Berada di Suatu
Bagian dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif dan Laut Teritorial
Suatu Negara ................................................................................................... 46
2.3 Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional .............................................. 48
2.3.1 Faktor yang Harus dipenuhi Sebagai Selat yang digunakan untuk Pelayaran
Internasional .................................................................................................... 49
2.3.2 Definisi Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional ......................... 55
2.4 Perbedaan antara Selat Internasional dan Selat yang digunakan untuk Pelayaran
Internasional ............................................................................................................ 55
BAB III: HAK LINTAS TRANSIT ............................................................................... 65
3.1 Definisi dan Cakupan dari Hak Lintas Transit ........................................................ 65
3.1.1 Definisi Hak Lintas Transit .............................................................................. 65
3.1.2 Cakupan dari Hak Lintas Transit ...................................................................... 66
3.2 Hak Lintas Transit dan Kebebasan Pelayaran ......................................................... 67
3.3 Status Hak Lintas Transit dalam Hukum Kebiasaan Internasional ......................... 71
3.4 Hak Lintas Transit dan Hak Lintas Damai yang Tidak Dapat Ditangguhkan .... 78
3.5 Hak Lintas Transit, Hak Lintas Damai dan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan .... 82
3.5.1 Hak Lintas Transit dan Hak Lintas Damai ....................................................... 82
3.5.2 Hak Lintas Transit dan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan ................................ 85
3.6 Hak dan Kewajiban Negara Pantai .......................................................................... 88
3.7 Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara dalam Melaksanakan Hak Lintas
Transit ...................................................................................................................... 94
3.7.1 Hak yang dimiliki oleh Kapal dan Pesawat Udara ........................................... 94
3.7.2 Kewajiban yang dimiliki oleh Kapal dan Pesawat Udara ................................ 95
3.7.2.a. Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara ................................................... 95
3.7.2.b Kewajiban Khusus bagi Kapal .............................................................. 98
3.7.2.c Kewajiban Khusus bagi Pesawat Udara ................................................ 99
3.8 Keselamatan Pelayaran, Keamanan dan Perlindungan Lingkungan Laut ............. 100
3.8.1 Keselamatan Pelayaran .................................................................................. 100
3.8.2 Keamanan ....................................................................................................... 101
3.8.3 Perlindungan Lingkungan Laut ...................................................................... 102
3. 9 Kewajiban Mode Normal dalam Melaksanakan Hak Lintas Transit ................... 103
xi
BAB IV: MODE NORMAL DALAM PELAKSANAAN HAK LINTAS
TRANSIT ........................................................................................................ 111
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 123
5.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 123
5.2 Saran ..................................................................................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 127
xii
DAFTAR SINGKATAN
COLREGs : International Regulations for Preventing Collisions at Sea
ICAO : International Civil Aviation Organization
ICJ : International Court of Justice
IDI : Institut de Droit International
ILA : International Law Association
ILC : International Law Commission
IMCO : International Maritime Consultative Organization
IMO : International Maritime Organization
ITLOS : International Tribunal for the Law of the Sea
Konvensi : United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
Konvensi Wina 1969 : Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
MARPOL : : Convention for the Prevention of Pollution from Ships
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
TSS : Traffic Separation Scheme
SOLAS : International Convention for the Safety of Life at Sea
ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Perbedaan Hak Lintas Transit dengan Hak Lintas
Damai yang Tidak Dapat Ditangguhkan
Tabel 3.2 : Hak dan Kewajiban yang dimiliki Oleh Negara Pantai
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada pertengahan abad ke-20, para ahli hukum mengakui bahwa walaupun
prinsip kebebasan pelayaran (freedom of navigation) diakui dan dinikmati oleh
seluruh pihak, namun tetap diperlukan suatu bentuk pengaturan untuk menjamin
kebebasan tersebut dan juga untuk mempertahankan kesetaraan dan kepentingan
seluruh pihak dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut1. Dalam laporan
Komisi Hukum Internasional pada tahun 1955 dalam rangka persiapan Konferensi
Hukum Laut PBB pertama dinyatakan bahwa :
“Any freedom that is to be exercised in the interests of all entitled to enjoy
it must be regulated. Hence, the law of the seas contains certain rules, most
of them already recognized in positive international law, which are
designed not to limit or restrict the freedom of the high seas but to safeguard
its interests of the international community.”
Dalam hukum laut modern, kebebasan pelayaran dianggap mempunyai peran
penting yang kemudian tercermin dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958
Kebebasan pelayaran di laut lepas dijamin dalam pasal 2 Konvensi tentang Laut
Lepas 19582, pasal 3 Konvensi tentang Landas Kontinen 19583 memastikan bahwa
status dari perairan di atas landas kontinen suatu negara merupakan laut lepas,
sehingga dijamin adanya kebebasan pelayaran. Dalam pasal 14 Konvensi tentang
1Michael A. Becker, The Shifting Public Order of the Oceans: Freedom of Navigation and the
Interdiction of Ships at Sea, Harvard International Law Journal 46, No.1 (2005), pada 170. 2Geneva Convention on the High Seas, 29 April 1958, 450 UNTS 11, pasal 2. 3Geneva Convention on the Continental Shelf, 29 April 1958, 499 UNTS 311, pasal 3.
2
Laut Teritorial dan Zona Tambahan 19584, dijamin perihal hak lintas damai untuk
seluruh jenis kapal, hak yang tidak dapat ditangguhkan pada selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional pada pasal 16 ayat (4) dan pada pasal 23
mengindikasikan secara eksplisit bahwa kapal perang juga memiliki hak-hak
tersebut5.
Setelah Konvensi Hukum Laut PBB 19826 (untuk selanjutnya disebut Konvensi)
berlaku, seperti halnya konvensi hukum laut sebelumnya, Konvensi ini juga
memberikan jaminan atas kebebasan pelayaran. Beberapa contoh dari kebebasan
pelayaran yang dijamin dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dapat ditemukan
pada pasal 58 mengenai kebebasan pelayaran di zona ekonomi eksklusif, pasal 78
dan pasal 87 perihal laut lepas.7
Selain itu, di dalam Konvensi juga dikenal pelaksanaan kebebasan pelayaran
lainnya namun terbatas dengan syarat bahwa kebebasan pelayaran tersebut hanya
dapat dilakukan untuk tujuan transit secara terus menerus, langsung, dan secepat
mungkin melintasi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (pasal 38
Konvensi). Hak untuk melintas ini dikenal dengan istilah hak lintas transit yang
berlaku pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Sejak disepakatinya lebar laut teritorial yang seragam yaitu selebar 12 mil laut
diukur dari garis pangkal, membawa dampak terjadinya perubahan status selat yang
semula merupakan bagian dari laut lepas menjadi bagian dari laut teritorial satu
bahkan lebih Negara pantai.8 Perubahan status tersebut mengakibatkan lebih dari
100 selat9 dan kebanyakan diantaranya merupakan selat strategis yang dianggap
4Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone, 29 April 1958, 516 UNTS 205,
pasal 14, pasal 16 ayat (4) dan pasal 23. 5Stuart Kaye, Freedom of Navigation in the Indo-Pasific Region, Papers in Australian Maritime
Affairs, No.22 (2008), pada 4. 6United Nations Convention on the Law of The Sea, 10 Desember 1982, 1833 UNTS 3, pasal 58,
pasal 78 dan pasal 87. 7Rϋdiger Wolfrum, Freedom of Navigation : New Challenges, dalam Freedom of Seas, Passage
Right and the 1982 Law of the Sea Convention 80, 79-94 (Myron H. Nordquist, Tommy T.B. Koh
dan John Norton Moore eds, Martinus Nijhoff Publisher, Leiden, 2009). 8Thomas A. Clingan, Freedom of Navigation in a Post UNCLOS III Environment, Law and
Contemporary Problems 46, No.2 (1983), pada 103. 9 Id.
3
mempunyai peran penting sebagai jalur pelayaran dan perdagangan internasional,
menjadi berada di bawah rezim laut teritorial Negara pantai.
Sebagai bagian dari laut teritorial suatu Negara pantai, maka pada selat tersebut
berlaku yurisdiksi nasional dari Negara pantai. Walaupun berada dalam wilayah
Negara pantai, negara-negara maritim tetap dapat melintas di laut teritorial Negara
pantai berdasarkan hak lintas damai.
Dari sudut pandang negara-negara maritim, walaupun hak lintas damai yang
berlaku pada laut teritorial dapat diterima secara umum namun, pembatasan dari
Negara pantai dan kewenangan yang dimiliki Negara pantai seperti menayatakan
bahwa tindakan dari negara pengguna itu tidak damai atau bahkan menangguhkan
hak lintas damai, tidak memberikan jaminan kebebasan bagi mereka untuk bergerak
bebas10 karena kebebasan mereka untuk berlayar dan penerbangan di selat-selat
strategis dan memiliki peran penting sebagai jalur pelayaran menjadi terbatas.
Selain itu, negara-negara maritim merasa bahwa dengan adanya pembatasan
terhadap hak mereka untuk berlayar bebas berpengaruh terhadap kondisi ekonomi,
politik dan kepentingan militer mereka11.
Sebagai sebuah kompromi dari kepentingan Negara pantai yang kedaulatannya
diakui atas selat yang termasuk dalam bagian teritorialnya dan menjamin kebebasan
pelayaran (freedom of navigation) yang diajukan oleh negara-negara pengguna
selat, berlakulah suatu rezim hukum yang baru dikenal pada Konvensi Hukum Laut
PBB 1982 yaitu hak lintas transit yang berlaku pada selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional (straits used for international navigation). Hak lintas transit
ini digambarkan sebagai penyeimbang antara hak lintas damai dan kebebasan
pelayaran12.
Rezim hak lintas transit berarti bahwa pelayaran (navigation) tidak diatur oleh
rezim hukum perihal lintas damai tetapi diatur oleh rezim yang lebih terbuka/liberal
10Dinah Shelton dan Gary Rose, Freedom of Navigation: The Emerging International Regime, Santa
Clara Law Review 17, No.3 (1977), pada 533. 11Karin M. Burke dan Deborah A. DeLeo, Innocent Passage and Transit Passage in the United
Nations Convention on the Law of the Sea, Yale Journal of International Law 9, (1983), pada 400. 12Wolfrum, Freedom of Navigation, supra catatan no. 7, pada 81.
4
terhadap pelayaran (navigation). Dibawah rezim hak lintas transit ini, dapat
ditemukan kebebasan pelayaran dan kebebasan penerbangan bagi kapal dan
pesawat udara dengan pembatasan yaitu bahwa pelayaran dan penerbangan tersebut
hanya dilakukan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung
dan secepat mungkin saat melintasi atau terbang di atas selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional. Sementara itu, yurisdiksi Negara pantai dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, walaupun Negara pantai masih
dimungkinkan untuk melakukan kontrol atas pelayaran.13
Hak lintas transit sebelumnya dikenal dengan istilah non-suspendable innocent
passage (lintas damai yang tidak dapat ditangguhkan) dan dapat ditemukan dalam
pasal 16 (4) Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan 1958
“There shall be no suspension of the innocent passage of foreign ships through
straits...”. Istilah mengenai hak ini pertama kali dinyatakan dalam putusan
Mahkamah Internasional dalam perkara yang melibatkan Britania Raya dan
Albania pada tahun 1949 yang dikenal dengan Corfu Channel Case14.
Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kapal memiliki hak lintas damai
yang tidak dapat ditangguhkan pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional. Perkara ini bermula pada tahun 1946 ketika empat kapal perang
Inggris melintasi selat Corfu yang memisahkan pulau Corfu (Yunani) dan daratan
Albania. Albania mengatakan bahwa selat Corfu bukanlah jalur yang dibutuhkan
untuk menghubungkan dua bagian dari laut lepas, oleh karena itu tidak berlaku hak
untuk melintas. Albania menjelaskan bahwa jalur perairan ini (Selat Corfu)
digunanakan secara khusus untuk jalur pelayaran lokal dari dan menuju pelabuhan
Corfu dan Saranda. Mahkamah Internasional menyetujui bahwa Selat Corfu
bukanlah jalur utama yang dibutuhkan untuk menghubungkan dua bagian dari laut
lepas namun menyatakan bahwa "it has nevertheless been a useful route for
international maritime traffic". Kriteria yang menentukannya adalah bahwa secara
geografis menghubungkan dua bagian dari laut lepas dan fakta bahwa selat Corfu
13 Id. 14 Corfu Channel (United Kingdom v Albania), 1949 I.C.J, (April 9).
5
digunakan untuk pelayaran internasional. Oleh karena itu, Selat Corfu Utara harus
dipertimbangkan sebagai bagian dari jalur pelayaran internasional dimana kapal
yang hendak melintas pada waktu damai tidak boleh dilarang oleh Negara pantai
dan Negara pantai tidak boleh mensyaratkan harus adanya izin melintas terlebih
dahulu.
“States in time of peace have a right to send their warships through straits
used for international navigation between two parts of the high seas without
the previous authorization of a coastal State, provided the passage is
innocent. Unless otherwise prescribed in an international convention, there
is no right for a coastal State to prohibit such passage through straits in time
of peace.” 15
Hak lintas transit berlaku pada selat yang termasuk dalam kategori selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional. Berdasarkan pasal 37 Konvensi, yang
dimaksud dengan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah
perairan sempit yang menghubungkan antara laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif dan bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Hak
lintas transit dapat dinikmati oleh semua jenis kapal dan pesawat udara termasuk
kapal selam dan kapal perang.
Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan oleh
kapal dan pesawat udara yang dilakukan semata-mata untuk tujuan transit yang
terus menerus, langsung dan secepat mungkin saat melintasi suatu perairan sempit
yang menghubungkan antara laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian dari
laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian, persyaratan
untuk transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin tersebut, tidak
menutup kemungkinan melintasi selat untuk tujuan memasuki, meninggalkan atau
kembali dari Negara pantai yang berbatasan dengan selat, dengan memperhatikan
15Jon M. Van Dyke, Transit Passage Through International Straits, The Future of Ocean Regime-
Building : Essay in Tribute to Douglas M. Johnston, (2009), pada 180.
6
syarat yang ditetapkan oleh Negara tersebut untuk dapat memasuki wilayah Negara
pantai tersebut16.
Sewaktu melaksanakan hak lintas transit, baik kapal yang berlayar maupun
pesawat udara yang terbang di atas selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional harus memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal dan
pesawat udara sebagaimana ditentukan dalam pasal 39 ayat 1 Konvensi, yaitu:
(a) Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat;
(b) Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Negara
yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara apapun yang melanggar
asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
(c) Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus
menerus, langsung dan secepat mungkin dalam mode normal kecuali
diperlukan karena force majeur atau karena berada dalam kesulitan;
(d) Memenuhi ketentuan lain yang relevan dalam bab ini.
Seperti yang telah dikatakan diatas, hak lintas transit yang dikodifikasi dalam
Konvensi muncul dalam rangka mengakomodasi kepentingan negara maritim dan
Negara pantai serta kebutuhan masyarakat dunia. Walaupun demikian, beberapa
ketentuan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang lintas transit tidak terlepas dari
berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut kerap kali muncul
oleh karna keambiguan dalam bahasa ataupun pelaksanaan dari ketentuan-
ketentuan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang “ambigu” mengakibatkan negara-
negara menafsirkan sendiri ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan
kepentingan dari negara yang bersangkutan17. Penafsiran yang dilakukan oleh
negara-negara sesuai dengan kepentingannya ini, seringkali menghasilkan
pernafsiran yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya.
16United Nations Convention on the Law of The Sea, 10 Desember 1982, 1833 UNTS 3, pasal 38
ayat (2). 17Burke & DeLeo,Innocent Passage, supra catatan no. 11, pada 405.
7
Salah satu ketentuan yang dianggap ambigu/ tidak jelas sehingga harus
ditafsirkan sendiri yaitu istilah “mode normal” atau normal modes seperti yang
dapat dijumpai dalam pasal 39 ayat 1 sub c Konvensi tentang kewajiban kapal dan
pesawat udara untuk menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara
terus menerus, langsung dan secepat mungkin dalam mode normal saat
melaksanakan hak lintas transit. Konvensi sendiri tidak memberikan definisi
tentang apa yang dimaksud dengan mode normal.
Dalam Letters of Transmittal and Submittal and Commentary tentang Law of the
Sea Convention yang dikeluarkan oleh United States Department of States,
Amerika Serikat menyatakan bahwa ketentuan dalam Konvensi perihal pelayaran
di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional memiliki peran yang sangat
penting bagi kepentingan keamanan nasional Amerika. Kapal dagang dan kapal
kargo, pesawat udara sipil, kapal militer angkatan laut, pesawat udara militer dan
kapal selam harus dapat melakukan transit di selat internasional, dengan bebas
dalam mode normalnya sebagai hak dan bukan sebagai bentuk dari kelonggaran
yang diberikan oleh Negara-negara pantai yang berbatasan dengan selat.18
Amerika menafsirkan mode normal dalam pelaksanaan hak lintas transit sebagai
mode normal dari pengoperasian kapal dan pesawat udara. Sebagai contoh, kapal
selam dapat melaksanakan hak lintas transit di bawah permukaan laut, pesawat
udara militer dapat terbang dalam formasi tempur dan dengan peralatan operasi
normalnya, kapal perang yang berlayar di permukaan laut dapat melakukan transit
dengan cara yang diperlukan bagi keamanan mereka, termasuk juga dalam formasi
steam in close serta menerbangkan dan mendaratkan pesawat udara militer, sesuai
dengan praktik pelayaran dan penerbangan.19
Selain dalam hak lintas transit, kewajiban mode normal atau normal modes ini
dapat ditemukan juga dalam hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes
passage). Dalam publikasinya, International Maritime Organization menyatakan
18U.S Departement of States Dispatch Supplement, Law of the Sea Convention: Letters of
Transmittal and Submittal and Commentary, (Washington DC: The Bureau of Public
Affairs,Februari 1995), pada 12. 19 Id, pada 13.
8
bahwa mode normal dalam hak lintas alur laut kepulauan adalah cara normal atau
cara yang biasa dilakukan dalam penggunaan atau pengoperasian kapal atau
pesawat udara20.
Dalam pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 Tentang
Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan21, dinyatakan bahwa
kapal perang dan pesawat udara militer “...tidak boleh melakukan latihan perang-
perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan
mempergunakan amunisi.”. Sedangkan negara-negara dengan kekuatan maritim
berpendapat sebaliknya, mereka berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk
dari mode normal yang dilakukan oleh kapal perang.22
Berdasarkan contoh-contoh mode normal yang disebutkan di atas, dapat
diketahui bahwa penafsiran tentang mode normal ini seringkali tidak seragam
bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Lalu, apakah mode normal yang
dimaksud dalam hak lintas transit ini sama dengan mode normal dalam hak lintas
alur laut kepulauan sebagaimana telah diberikan definisinya oleh International
Maritime Organization (IMO) dalam Guidance for Ship Transiting Archipelagic
Waters?. Apabila mode normal dalam hak lintas transit berbeda dengan mode
normal yang dimaksud dalam hak lintas alur laut kepulauan, maka apa yang
dimaksud dengan mode normal dalam hak lintas transit dan bagaimana mode
normal yang seharusnya dilakukan oleh kapal dan pesawat udara dalam
pelaksanaan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional? .
Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tentang apa
yang dimaksud dengan mode normal dalam hak lintas transit di selat yang
20Intenational Matirime Organization, Guidance for Ship Transiting Archipelagic Waters, (8 Januari
1999), pada 2. 21Peraturan Pemerintah R.I., No.37 Tahun 2002, Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan,
L.N.R.I Tahun 2002 Nomor 71, Pasal 4 ayat (4). 22Sam Bateman , UNCLOS and its Limitation as the Foundation for a Regional Maritime Security
Regime , Institute of Defence and Strategic Studies, (2006), pada 19-20.
9
digunakan untuk pelayaran internasional serta bagaimana mode normal yang
seharusnya dilakukan oleh kapal dan pesawat udara termasuk juga kapal perang,
pesawat udara militer dan kapal selam saat melaksanakan hak lintas transit.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, secara
tegas dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti untuk selanjutnya ditemukan
jawabannya adalah:
Bagaimana mode normal (normal modes) yang seharusnya dilakukan oleh kapal
maupun pesawat udara saat melaksanakan hak lintas transit yang berlaku pada selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional ?
Untuk menjawab rumusan masalah yang utama tersebut, akan diteliti terlebih
dahulu rumusan masalah berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional ?
2. Bagaimana hak dan kewajiban kapal maupun pesawat udara saat
melaksanakan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang serta identifikasi
masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tentang definisi dari mode normal dalam pelaksanaan hak
lintas transit oleh kapal dan pesawat udara di selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional ;
2. Mengetahui tentang mode normal yang seharusnya dilakukan oleh kapal
maupun pesawat udara yang berlayar maupun terbang ketika
10
melaksanakan hak lintas transit di selat-selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap definisi dari mode normal yang seharusnya dilakukan oleh
kapal dan pesawat udara dalam melakukan hak lintas transit di selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional, diharapkan memberikan sumbangsih dalam teoritis
ilmu pengetahuan khususnya Hukum Laut Internasional maupun praktis, yakni
dalam penerapannya.
Dalam teoritis ilmu pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat memberi
sumbangsih sumber pengetahuan mengenai definisi mode normal dengan
pemaparan dan penjelasan yang lebih dalam sehingga baik penulis maupun
pembaca dapat mengetahui dan memahami secara lebih komprehensif mengenai
mode normal yang seharusnya dilakukan oleh kapal maupun pesawat udara asing
dalam melakukan hak lintas transit di selat-selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional.
Dalam sisi praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangsih pada
penerapan konsep hak lintas transit ini dalam praktik hukum laut baik secara
nasional maupun internasional.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dapat dipahami
sebagai penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, data
sekunder atau penelitian yang menekankan pada penggunaan norma hukum
tertulis.23
23 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ( PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001), pada 13.
11
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan atau studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari dan menganalisis
sumber-sumber data yang relevan dengan penelitian.
Bahan-bahan yang menjadi sumber hukum untuk memperoleh data sekunder
dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber hukum primer :
1. Konvensi Hukum Laut Jenewa tentang Laut Teritorial dan Zona
Tambahan 1958 (Geneva Convention on the Territorial Sea and the
Contiguous Zone 1958);
2. Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969);
3. Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 (United
Nations on the Law of The Sea 1982);
4. Kebiasaan internasional terkait dengan pelaksanaan kebebasan
pelayaran, hak lintas damai, dll;
5. Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice).
b. Sumber hukum sekunder :
1. Doktrin-doktrin atau pendapat sarjana terkait kebebasan pelayaran,
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, hak lintas transit
dan mode normal;
2. Buku-buku tentang hukum internasional dan hukum laut internasional;
3. Jurnal-jurnal terkait dengan hukum laut internasional, kebebasan
pelayaran, selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, hak
lintas transit dan mode normal;
Untuk mendukung data sekunder maka akan menggunakan alat pengumpul data
yang lain, yaitu, wawancara ke Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan,
Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia.
12
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I – PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan memaparkan hal apa yang menjadi latar belakang
dilakukannya penelitian ini, memberikan gambaran tentang adanya prinsip
kebebasan pelayaran (freedom of navigation) yang dikenal dan berlaku hingga saat
ini, prinsip kebebasan pelayaran modern yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, konsep hak lintas transit yang berlaku di selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional, interpretasi dari negara-negara mengenai aturan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 terutama mengenai istilah mode normal dalam
hak lintas transit dan akan ditunjukan juga masalah hukum yang akan dijawab
melalui penelitian ini. Selain itu, dalam bab ini dijelaskan juga metode penelitian
yang akan digunakan, beserta dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dalam
bab ini akan dicantumkan juga mengenai sistematika penulisan dari penelitian ini
secara keseluruhan.
BAB II – SELAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN
INTERNASIONAL
Pada bab ini penulis akan memberikan penjelasan singat mengenai rezim hukum
khusus mengenai selat dan alasan mengapa selat perlu diatur dalam suatu rezim
khusus (sui iuris), memaparkan tentang kategorisasi selat dalam Bab III Konvensi
Hukum Laut PBB 1982, apa yang dimaksud dengan selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional, kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah selat
untuk dapat digolongkan sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, perbedaan antara selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
dengan selat internasional serta hak yang berlaku di selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.
BAB III – HAK LINTAS TRANSIT
Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang hak lintas transit sebagai hak
yang dimiliki oleh semua kapal dan pesawat udara dimulai dari definisi dan
cakupan hak lintas transit termasuk juga di antaranya kapal perang, kapal selam dan
13
pesawat udara militer, keterkaitan antara hak lintas transit dan kebebasan pelayaran,
status hak lintas transit dan hukum kebiasaan internasional, hubungan dan
perbedaan antara hak lintas transit dan hak lintas damai yang tidak dapat
ditangguhkan (non-suspendable innocent passage), membahas secara singkat
mengenai persamaan dan perbedaan antara hak lintas transit, hak lintas damai dan
hak lintas alur laut kepulauan, hak dan kewajiban dari kapal maupun pesawat udara
asing ketika melaksanakan hak lintas transit, hak dan kewajiban dari negara pantai
yang berbatasan dengan selat terkait dengan pelaksanaan lintas transit, masalah
keamanan dan perlindungan lingkungan di selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, serta contoh-contoh dan pendapat para ahli hukum tentang mode
normal yang harus ditaati dan dilakukan oleh kapal dan pesawat udara ketika
melaksanakan lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
BAB IV – MODE NORMAL DALAM PELAKSANAAN HAK LINTAS
TRANSIT
Pada bab ini penulis akan menjawab pertanyaan hukum tentang definisi mode
normal dan mode normal yang seharusnya dilaksanakan oleh kapal dan pesawat
udara ketika melaksanakan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional.
BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis akan mencoba memaparkan ulang jawaban dari rumusan
masalah yang diajukan penulis pada Bab I secara ringkas dan komprehensif, dengan
kata lain penulis akan menyimpulkan untuk mempertegas apa yang telah penulis
teliti pada bab-bab sebelumnya. Setelah itu penulis akan mengajukan beberapa
saran setelah penulis menemukan apa yang penulis coba jawab dalam penelitian ini.