28
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 Definisi Mode Normal dalam Hak Lintas Transit di Selat Yang Digunakan Untuk Pelayaran Internasional OLEH Nama Penyusun : Petra Siti Sabrina NPM : 2014 200 185 PEMBIMBING I Wayan Parthiana, S.H., M.H. Penulisan Hukum Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2018

repository.unpar.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 7463... · UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM2019-11-13 · itu, segala bentuk kritik, saran maupun pertanyaan

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS HUKUM

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan

Tinggi Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

Definisi Mode Normal dalam Hak Lintas Transit di Selat Yang Digunakan

Untuk Pelayaran Internasional

OLEH

Nama Penyusun : Petra Siti Sabrina

NPM : 2014 200 185

PEMBIMBING

I Wayan Parthiana, S.H., M.H.

Penulisan Hukum

Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan

Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana

Program Studi Ilmu Hukum

2018

Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang

Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan

Pembimbing

( I Wayan Parthiana, S.H.,M.H. )

Dekan,

(Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.)

PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK

Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang

setinggi-tinginya, maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik

Parahyangan yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Petra Siti Sabrina

NPM : 2014200185

Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan

pikiran, bahwa Karya Penulisan Hukum yang berjudul:

DEFINISI MODE NORMAL DALAM HAK LINTAS TRANSIT DI SELAT

YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN INTERNASIONAL

adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah / Karya Penulisan Hukum yang

telah Saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan

akademik Saya pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau

mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang:

a. secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-

hak atas kekayaan intelektual orang lain, dan atau

b. dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai

integritas akademik dan itikad baik.

Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa Saya telah menyalahi dan atau

melanggar pernyataan Saya di atas, maka Saya sanggup untuk menerima akibat-

akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan

Universitas Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan

dalam bentuk apapun juga.

Bandung, 22 Mei 2018

Mahasiswa Penyusun Karya Penulisan Hukum

(________________________________)

Petra Siti Sabrina

2014200185

i

Abstrak

Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 (UNCLOS) membentuk

suatu rezim hukum yang secara komprehensif mengatur hak bagi kapal dan

pesawat udara untuk melintas di selat atau di atas permukaan selat yang digunakan

untuk pelayaran internasional. Rezim hukum tersebut berlaku pada selat yang

menghubungkan antara suatu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif

dan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif serta yang bertumpang

tindih dengan laut teritorial satu atau lebih negara pantai. Pada selat tersebut,

seluruh kapal dan pesawat udara memiliki hak lintas transit, yang digambarkan

sebagai bentuk dari pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan semata-

mata untuk tujuan transit yang langsung, terus-menerus dan secepat mungkin. Hak

lintas transit ini tidak dapat ditangguhkan.

Berdasarkan pasal 39 UNCLOS, seluruh kapal dan pesawat udara memiliki

kewajiban untuk menahan diri dari kegiatan lain selain transit yang terus-menerus

dan secepat mungkin dalam mode normalnya, kecuali dalam hal terjadi force

majeur atau berada dalam kesulitan. Dalam UNCLOS tidak ditemukan definisi

mode normal dan mode normal seperti apa yang harus dilaksanakan oleh kapal

dan pesawat udara pada saat transit. Ketiadaan ini membuka peluang bagi negara-

negara untuk menafsirkan mode normal itu sesuai dengan kepentingan masing-

masing yang bisa saja berbeda bahkan bertentangan satu dan yang lainnya. Untuk

menghindari hal tersebut, perlu ada kepastian mengenai apa itu mode normal dan

mode normal seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh kapal dan pesawat

udara yang melaksanakan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional.

Kata Kunci : Konvensi Hukum Laut PBB 1982, UNCLOS 1982, Selat, Selat yang

digunakan Untuk Pelayaran Internasional, Hak Lintas Transit, Mode Normal.

iii

Abstract

The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) establish a

comprehensive legal regime on the passage of ships and aircraft through and over

straits which are used for international navigation. That regime applies when such

straits connect one part of high seas or an exclusive economic zone to another part

of high seas or an exclusive economic zone and are constituted at least in part of

overlapping teritorial sea of a coastal state or more. In such straits, all ships and

aircraft enjoy the right of transit passage, defined as an exercise of freedom of

navigation and overflight solely for the purpose of continous and expeditious

transit. The right of transit passage may not be suspended.

Under article 39 of UNCLOS, all ships and aircraft must refrain from any activities

other than those incident to their normal modes of continuous and expeditious

transit unless rendered necessary by force majeure or by distress. There is no

definition of normal modes in the Convention and what kind of normal modes

should be done by ship and aircraft during transit. This lack of definition provides

a chance for countries to interpret the normal mode according to their own interests

that may be different even contradictory one and another. To avoid that matters,

there should be a certain definition of normal modes and what kind of normal modes

should be implemented by ships and aircraft while exercising the right of transit

passage in the straits used for international navigation

Keywords: UNCLOS 1982, Straits used for International Navigation, Transit

Passage, Normal Modes.

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang hanya karena izin dan karuniaNya

penulisan hukum yang berjudul “Definisi Mode Normal dalam Hak Lintas

Transit di Selat Yang digunakan Untuk Pelayaran Internasional” ini dapat

diselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Saya menyadari bahwa penyusunan penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa

adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu saya

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

2. Ibu Niken Savitri, S.H., MCL., selaku Wakil Dekan I bidang Akademik

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

3. Ibu Grace Juanita, S.H., M.Kn., selaku Wakil Dekan II bidang Sumber

Daya Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

4. Ibu Wurianalya Maria Novenanty, S.H., LL.M., selaku Wakil Dekan III

bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Universitas

Katolik Parahyangan

5. Ibu Prof. Dr. Catharina Dewi Wulansari, S.H., M.H., selaku dosen wali

saya yang telah membimbing dan mengarahkan saya selama menjadi

mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

6. Bapak I Wayan Parthiana, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing

penulisan hukum yang telah memberikan masukan, arahan dan

bimbingan dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

7. Bapak Adrianus Adityo Vito Ramon, S.H., LL.M (Adv) yang telah

banyak membantu dan memberikan masukan kepada saya sejak

penulisan proposal hingga akhir penulisan hukum ini. Terima kasih

vi

telah rela meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan selama

penulisan hukum ini.

8. Teman-teman terdekat saya di Fakultas Hukum Universitas Katolik

Parahyangan: Hilmy Mutiara, yang juga merangkap menjadi editor

dalam penulisan hukum ini; Fasya Yustisia dan Lusiana Iskandar yang

selalu mendukung dan mendengarkan keluh kesah selama penulisan

hukum ini; Andreina, Anggiariz, Bea + Chyka, Caesarya, Ce Cecillia,

Denia, Fairus, Gisya, Kimberly, Marty, Niken, Rifny, Stacia, Yuliana

dan Yola, words cannot describe how grateful I am for your kindness

and support. Thank you for always being there!

9. Irene, Nadhira dan Ratri yang menjadi teman diskusi dan bertukar

informasi selama penulisan hukum ini.

10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik

Parahyangan yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan

pembelajaran yang berharga selama saya menempuh pendidikan di

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

11. Seluruh Bapak dan Ibu Karyawan Tata Usaha dan Pekarya Fakultas

Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang telah bekerja sehingga

seluruh kegiatan yang di Fakultas Hukum Universitas Katolik

Parahyangan dapat berjalan dan terlaksana dengan baik.

12. Orang tua saya, Mami, (alm) Papi, Wa I dan Wa Papah, there are no

better words to use than ‘thank you’. Thank you for everything you’ve

done to me.

13. Kakak-kakak saya, Teteh Rinni, Aa Riza dan Kakak Juan dan Athariadi,

thank you for believing in me and your endless support.

14. Dan untuk kalian semua yang karena keterbatasan saya namanya luput

tertulis di lembar kertas ini, saya haturkan tertima kasih banyak.

Saya menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam

penulisan hukum ini mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh saya. Oleh karena

itu, segala bentuk kritik, saran maupun pertanyaan terhadap penulisan hukum ini

vii

dapat dikirimkan ke alamat surel saya [email protected] untuk menjadi

bahan perbaikan di masa yang akan datang.

Bandung, 2 Mei 2018

Petra Siti Sabrina

ix

DAFTAR ISI

Abstrak ……………………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xiv

BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 9

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 9

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................. 10

1.5 Metode Penelitian.................................................................................................... 10

1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................................. 12

BAB II: SELAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN

INTERNASIONAL .......................................................................................... 15

2.1 Selat Sebagai Rezim Hukum Khusus ...................................................................... 15

2.1.1 Awal Mula Pengaturan Selat Sebagai Rezim Hukum Khusus ......................... 15

2.1.2 Kodifikasi oleh Institut de Droit International dan International Law

Association ...................................................................................................... 16

2.1.3 The Hague Conference 1907 dan 1930 ............................................................ 18

2.1.4 Kasus Selat Corfu 1949.................................................................................... 22

2.1.5 International Law Commision dan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut

Teritorial dan Zona Tambahan ........................................................................ 26

2.1.6 Rezim Selat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 .................................... 29

2.2 Kategorisasi Selat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 .................................. 40

2.2.1 Selat yang diatur Secara Khusus dalam Suatu atau Bagian dari Suatu

Perjanjian Internasional yang Sudah Berlangsung Lama................................ 41

2.2.2 Selat di mana Terdapat Suatu Rute Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif

atau Rute Lainnya yang Memiliki Fungsi yang Sama Berkenaan dengan

Karakteristik Pelayaran dan Hidrografis ......................................................... 44

x

2.2.3 Selat yang Berada di antara Suatu Pulau dan Daratan Utama yang Memiliki

Rute yang Mengarah ke Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif ............... 45

2.2.4 Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional yang Berada di Suatu

Bagian dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif dan Laut Teritorial

Suatu Negara ................................................................................................... 46

2.3 Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional .............................................. 48

2.3.1 Faktor yang Harus dipenuhi Sebagai Selat yang digunakan untuk Pelayaran

Internasional .................................................................................................... 49

2.3.2 Definisi Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional ......................... 55

2.4 Perbedaan antara Selat Internasional dan Selat yang digunakan untuk Pelayaran

Internasional ............................................................................................................ 55

BAB III: HAK LINTAS TRANSIT ............................................................................... 65

3.1 Definisi dan Cakupan dari Hak Lintas Transit ........................................................ 65

3.1.1 Definisi Hak Lintas Transit .............................................................................. 65

3.1.2 Cakupan dari Hak Lintas Transit ...................................................................... 66

3.2 Hak Lintas Transit dan Kebebasan Pelayaran ......................................................... 67

3.3 Status Hak Lintas Transit dalam Hukum Kebiasaan Internasional ......................... 71

3.4 Hak Lintas Transit dan Hak Lintas Damai yang Tidak Dapat Ditangguhkan .... 78

3.5 Hak Lintas Transit, Hak Lintas Damai dan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan .... 82

3.5.1 Hak Lintas Transit dan Hak Lintas Damai ....................................................... 82

3.5.2 Hak Lintas Transit dan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan ................................ 85

3.6 Hak dan Kewajiban Negara Pantai .......................................................................... 88

3.7 Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara dalam Melaksanakan Hak Lintas

Transit ...................................................................................................................... 94

3.7.1 Hak yang dimiliki oleh Kapal dan Pesawat Udara ........................................... 94

3.7.2 Kewajiban yang dimiliki oleh Kapal dan Pesawat Udara ................................ 95

3.7.2.a. Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara ................................................... 95

3.7.2.b Kewajiban Khusus bagi Kapal .............................................................. 98

3.7.2.c Kewajiban Khusus bagi Pesawat Udara ................................................ 99

3.8 Keselamatan Pelayaran, Keamanan dan Perlindungan Lingkungan Laut ............. 100

3.8.1 Keselamatan Pelayaran .................................................................................. 100

3.8.2 Keamanan ....................................................................................................... 101

3.8.3 Perlindungan Lingkungan Laut ...................................................................... 102

3. 9 Kewajiban Mode Normal dalam Melaksanakan Hak Lintas Transit ................... 103

xi

BAB IV: MODE NORMAL DALAM PELAKSANAAN HAK LINTAS

TRANSIT ........................................................................................................ 111

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 123

5.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 123

5.2 Saran ..................................................................................................................... 124

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 127

xii

DAFTAR SINGKATAN

COLREGs : International Regulations for Preventing Collisions at Sea

ICAO : International Civil Aviation Organization

ICJ : International Court of Justice

IDI : Institut de Droit International

ILA : International Law Association

ILC : International Law Commission

IMCO : International Maritime Consultative Organization

IMO : International Maritime Organization

ITLOS : International Tribunal for the Law of the Sea

Konvensi : United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

Konvensi Wina 1969 : Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

MARPOL : : Convention for the Prevention of Pollution from Ships

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

TSS : Traffic Separation Scheme

SOLAS : International Convention for the Safety of Life at Sea

ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Selat Taiwan

Gambar 2.2 : Selat Messina

Gambar 2.3 : Selat Tiran

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Perbedaan Hak Lintas Transit dengan Hak Lintas

Damai yang Tidak Dapat Ditangguhkan

Tabel 3.2 : Hak dan Kewajiban yang dimiliki Oleh Negara Pantai

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada pertengahan abad ke-20, para ahli hukum mengakui bahwa walaupun

prinsip kebebasan pelayaran (freedom of navigation) diakui dan dinikmati oleh

seluruh pihak, namun tetap diperlukan suatu bentuk pengaturan untuk menjamin

kebebasan tersebut dan juga untuk mempertahankan kesetaraan dan kepentingan

seluruh pihak dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut1. Dalam laporan

Komisi Hukum Internasional pada tahun 1955 dalam rangka persiapan Konferensi

Hukum Laut PBB pertama dinyatakan bahwa :

“Any freedom that is to be exercised in the interests of all entitled to enjoy

it must be regulated. Hence, the law of the seas contains certain rules, most

of them already recognized in positive international law, which are

designed not to limit or restrict the freedom of the high seas but to safeguard

its interests of the international community.”

Dalam hukum laut modern, kebebasan pelayaran dianggap mempunyai peran

penting yang kemudian tercermin dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958

Kebebasan pelayaran di laut lepas dijamin dalam pasal 2 Konvensi tentang Laut

Lepas 19582, pasal 3 Konvensi tentang Landas Kontinen 19583 memastikan bahwa

status dari perairan di atas landas kontinen suatu negara merupakan laut lepas,

sehingga dijamin adanya kebebasan pelayaran. Dalam pasal 14 Konvensi tentang

1Michael A. Becker, The Shifting Public Order of the Oceans: Freedom of Navigation and the

Interdiction of Ships at Sea, Harvard International Law Journal 46, No.1 (2005), pada 170. 2Geneva Convention on the High Seas, 29 April 1958, 450 UNTS 11, pasal 2. 3Geneva Convention on the Continental Shelf, 29 April 1958, 499 UNTS 311, pasal 3.

2

Laut Teritorial dan Zona Tambahan 19584, dijamin perihal hak lintas damai untuk

seluruh jenis kapal, hak yang tidak dapat ditangguhkan pada selat yang digunakan

untuk pelayaran internasional pada pasal 16 ayat (4) dan pada pasal 23

mengindikasikan secara eksplisit bahwa kapal perang juga memiliki hak-hak

tersebut5.

Setelah Konvensi Hukum Laut PBB 19826 (untuk selanjutnya disebut Konvensi)

berlaku, seperti halnya konvensi hukum laut sebelumnya, Konvensi ini juga

memberikan jaminan atas kebebasan pelayaran. Beberapa contoh dari kebebasan

pelayaran yang dijamin dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dapat ditemukan

pada pasal 58 mengenai kebebasan pelayaran di zona ekonomi eksklusif, pasal 78

dan pasal 87 perihal laut lepas.7

Selain itu, di dalam Konvensi juga dikenal pelaksanaan kebebasan pelayaran

lainnya namun terbatas dengan syarat bahwa kebebasan pelayaran tersebut hanya

dapat dilakukan untuk tujuan transit secara terus menerus, langsung, dan secepat

mungkin melintasi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (pasal 38

Konvensi). Hak untuk melintas ini dikenal dengan istilah hak lintas transit yang

berlaku pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.

Sejak disepakatinya lebar laut teritorial yang seragam yaitu selebar 12 mil laut

diukur dari garis pangkal, membawa dampak terjadinya perubahan status selat yang

semula merupakan bagian dari laut lepas menjadi bagian dari laut teritorial satu

bahkan lebih Negara pantai.8 Perubahan status tersebut mengakibatkan lebih dari

100 selat9 dan kebanyakan diantaranya merupakan selat strategis yang dianggap

4Geneva Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone, 29 April 1958, 516 UNTS 205,

pasal 14, pasal 16 ayat (4) dan pasal 23. 5Stuart Kaye, Freedom of Navigation in the Indo-Pasific Region, Papers in Australian Maritime

Affairs, No.22 (2008), pada 4. 6United Nations Convention on the Law of The Sea, 10 Desember 1982, 1833 UNTS 3, pasal 58,

pasal 78 dan pasal 87. 7Rϋdiger Wolfrum, Freedom of Navigation : New Challenges, dalam Freedom of Seas, Passage

Right and the 1982 Law of the Sea Convention 80, 79-94 (Myron H. Nordquist, Tommy T.B. Koh

dan John Norton Moore eds, Martinus Nijhoff Publisher, Leiden, 2009). 8Thomas A. Clingan, Freedom of Navigation in a Post UNCLOS III Environment, Law and

Contemporary Problems 46, No.2 (1983), pada 103. 9 Id.

3

mempunyai peran penting sebagai jalur pelayaran dan perdagangan internasional,

menjadi berada di bawah rezim laut teritorial Negara pantai.

Sebagai bagian dari laut teritorial suatu Negara pantai, maka pada selat tersebut

berlaku yurisdiksi nasional dari Negara pantai. Walaupun berada dalam wilayah

Negara pantai, negara-negara maritim tetap dapat melintas di laut teritorial Negara

pantai berdasarkan hak lintas damai.

Dari sudut pandang negara-negara maritim, walaupun hak lintas damai yang

berlaku pada laut teritorial dapat diterima secara umum namun, pembatasan dari

Negara pantai dan kewenangan yang dimiliki Negara pantai seperti menayatakan

bahwa tindakan dari negara pengguna itu tidak damai atau bahkan menangguhkan

hak lintas damai, tidak memberikan jaminan kebebasan bagi mereka untuk bergerak

bebas10 karena kebebasan mereka untuk berlayar dan penerbangan di selat-selat

strategis dan memiliki peran penting sebagai jalur pelayaran menjadi terbatas.

Selain itu, negara-negara maritim merasa bahwa dengan adanya pembatasan

terhadap hak mereka untuk berlayar bebas berpengaruh terhadap kondisi ekonomi,

politik dan kepentingan militer mereka11.

Sebagai sebuah kompromi dari kepentingan Negara pantai yang kedaulatannya

diakui atas selat yang termasuk dalam bagian teritorialnya dan menjamin kebebasan

pelayaran (freedom of navigation) yang diajukan oleh negara-negara pengguna

selat, berlakulah suatu rezim hukum yang baru dikenal pada Konvensi Hukum Laut

PBB 1982 yaitu hak lintas transit yang berlaku pada selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional (straits used for international navigation). Hak lintas transit

ini digambarkan sebagai penyeimbang antara hak lintas damai dan kebebasan

pelayaran12.

Rezim hak lintas transit berarti bahwa pelayaran (navigation) tidak diatur oleh

rezim hukum perihal lintas damai tetapi diatur oleh rezim yang lebih terbuka/liberal

10Dinah Shelton dan Gary Rose, Freedom of Navigation: The Emerging International Regime, Santa

Clara Law Review 17, No.3 (1977), pada 533. 11Karin M. Burke dan Deborah A. DeLeo, Innocent Passage and Transit Passage in the United

Nations Convention on the Law of the Sea, Yale Journal of International Law 9, (1983), pada 400. 12Wolfrum, Freedom of Navigation, supra catatan no. 7, pada 81.

4

terhadap pelayaran (navigation). Dibawah rezim hak lintas transit ini, dapat

ditemukan kebebasan pelayaran dan kebebasan penerbangan bagi kapal dan

pesawat udara dengan pembatasan yaitu bahwa pelayaran dan penerbangan tersebut

hanya dilakukan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung

dan secepat mungkin saat melintasi atau terbang di atas selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional. Sementara itu, yurisdiksi Negara pantai dibatasi oleh

ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, walaupun Negara pantai masih

dimungkinkan untuk melakukan kontrol atas pelayaran.13

Hak lintas transit sebelumnya dikenal dengan istilah non-suspendable innocent

passage (lintas damai yang tidak dapat ditangguhkan) dan dapat ditemukan dalam

pasal 16 (4) Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan 1958

“There shall be no suspension of the innocent passage of foreign ships through

straits...”. Istilah mengenai hak ini pertama kali dinyatakan dalam putusan

Mahkamah Internasional dalam perkara yang melibatkan Britania Raya dan

Albania pada tahun 1949 yang dikenal dengan Corfu Channel Case14.

Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kapal memiliki hak lintas damai

yang tidak dapat ditangguhkan pada selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional. Perkara ini bermula pada tahun 1946 ketika empat kapal perang

Inggris melintasi selat Corfu yang memisahkan pulau Corfu (Yunani) dan daratan

Albania. Albania mengatakan bahwa selat Corfu bukanlah jalur yang dibutuhkan

untuk menghubungkan dua bagian dari laut lepas, oleh karena itu tidak berlaku hak

untuk melintas. Albania menjelaskan bahwa jalur perairan ini (Selat Corfu)

digunanakan secara khusus untuk jalur pelayaran lokal dari dan menuju pelabuhan

Corfu dan Saranda. Mahkamah Internasional menyetujui bahwa Selat Corfu

bukanlah jalur utama yang dibutuhkan untuk menghubungkan dua bagian dari laut

lepas namun menyatakan bahwa "it has nevertheless been a useful route for

international maritime traffic". Kriteria yang menentukannya adalah bahwa secara

geografis menghubungkan dua bagian dari laut lepas dan fakta bahwa selat Corfu

13 Id. 14 Corfu Channel (United Kingdom v Albania), 1949 I.C.J, (April 9).

5

digunakan untuk pelayaran internasional. Oleh karena itu, Selat Corfu Utara harus

dipertimbangkan sebagai bagian dari jalur pelayaran internasional dimana kapal

yang hendak melintas pada waktu damai tidak boleh dilarang oleh Negara pantai

dan Negara pantai tidak boleh mensyaratkan harus adanya izin melintas terlebih

dahulu.

“States in time of peace have a right to send their warships through straits

used for international navigation between two parts of the high seas without

the previous authorization of a coastal State, provided the passage is

innocent. Unless otherwise prescribed in an international convention, there

is no right for a coastal State to prohibit such passage through straits in time

of peace.” 15

Hak lintas transit berlaku pada selat yang termasuk dalam kategori selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional. Berdasarkan pasal 37 Konvensi, yang

dimaksud dengan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah

perairan sempit yang menghubungkan antara laut lepas atau zona ekonomi

eksklusif dan bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Hak

lintas transit dapat dinikmati oleh semua jenis kapal dan pesawat udara termasuk

kapal selam dan kapal perang.

Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan oleh

kapal dan pesawat udara yang dilakukan semata-mata untuk tujuan transit yang

terus menerus, langsung dan secepat mungkin saat melintasi suatu perairan sempit

yang menghubungkan antara laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian dari

laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian, persyaratan

untuk transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin tersebut, tidak

menutup kemungkinan melintasi selat untuk tujuan memasuki, meninggalkan atau

kembali dari Negara pantai yang berbatasan dengan selat, dengan memperhatikan

15Jon M. Van Dyke, Transit Passage Through International Straits, The Future of Ocean Regime-

Building : Essay in Tribute to Douglas M. Johnston, (2009), pada 180.

6

syarat yang ditetapkan oleh Negara tersebut untuk dapat memasuki wilayah Negara

pantai tersebut16.

Sewaktu melaksanakan hak lintas transit, baik kapal yang berlayar maupun

pesawat udara yang terbang di atas selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional harus memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal dan

pesawat udara sebagaimana ditentukan dalam pasal 39 ayat 1 Konvensi, yaitu:

(a) Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat;

(b) Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun

terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Negara

yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara apapun yang melanggar

asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa;

(c) Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus

menerus, langsung dan secepat mungkin dalam mode normal kecuali

diperlukan karena force majeur atau karena berada dalam kesulitan;

(d) Memenuhi ketentuan lain yang relevan dalam bab ini.

Seperti yang telah dikatakan diatas, hak lintas transit yang dikodifikasi dalam

Konvensi muncul dalam rangka mengakomodasi kepentingan negara maritim dan

Negara pantai serta kebutuhan masyarakat dunia. Walaupun demikian, beberapa

ketentuan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang lintas transit tidak terlepas dari

berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut kerap kali muncul

oleh karna keambiguan dalam bahasa ataupun pelaksanaan dari ketentuan-

ketentuan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang “ambigu” mengakibatkan negara-

negara menafsirkan sendiri ketentuan-ketentuan tersebut sesuai dengan

kepentingan dari negara yang bersangkutan17. Penafsiran yang dilakukan oleh

negara-negara sesuai dengan kepentingannya ini, seringkali menghasilkan

pernafsiran yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya.

16United Nations Convention on the Law of The Sea, 10 Desember 1982, 1833 UNTS 3, pasal 38

ayat (2). 17Burke & DeLeo,Innocent Passage, supra catatan no. 11, pada 405.

7

Salah satu ketentuan yang dianggap ambigu/ tidak jelas sehingga harus

ditafsirkan sendiri yaitu istilah “mode normal” atau normal modes seperti yang

dapat dijumpai dalam pasal 39 ayat 1 sub c Konvensi tentang kewajiban kapal dan

pesawat udara untuk menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara

terus menerus, langsung dan secepat mungkin dalam mode normal saat

melaksanakan hak lintas transit. Konvensi sendiri tidak memberikan definisi

tentang apa yang dimaksud dengan mode normal.

Dalam Letters of Transmittal and Submittal and Commentary tentang Law of the

Sea Convention yang dikeluarkan oleh United States Department of States,

Amerika Serikat menyatakan bahwa ketentuan dalam Konvensi perihal pelayaran

di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional memiliki peran yang sangat

penting bagi kepentingan keamanan nasional Amerika. Kapal dagang dan kapal

kargo, pesawat udara sipil, kapal militer angkatan laut, pesawat udara militer dan

kapal selam harus dapat melakukan transit di selat internasional, dengan bebas

dalam mode normalnya sebagai hak dan bukan sebagai bentuk dari kelonggaran

yang diberikan oleh Negara-negara pantai yang berbatasan dengan selat.18

Amerika menafsirkan mode normal dalam pelaksanaan hak lintas transit sebagai

mode normal dari pengoperasian kapal dan pesawat udara. Sebagai contoh, kapal

selam dapat melaksanakan hak lintas transit di bawah permukaan laut, pesawat

udara militer dapat terbang dalam formasi tempur dan dengan peralatan operasi

normalnya, kapal perang yang berlayar di permukaan laut dapat melakukan transit

dengan cara yang diperlukan bagi keamanan mereka, termasuk juga dalam formasi

steam in close serta menerbangkan dan mendaratkan pesawat udara militer, sesuai

dengan praktik pelayaran dan penerbangan.19

Selain dalam hak lintas transit, kewajiban mode normal atau normal modes ini

dapat ditemukan juga dalam hak lintas alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes

passage). Dalam publikasinya, International Maritime Organization menyatakan

18U.S Departement of States Dispatch Supplement, Law of the Sea Convention: Letters of

Transmittal and Submittal and Commentary, (Washington DC: The Bureau of Public

Affairs,Februari 1995), pada 12. 19 Id, pada 13.

8

bahwa mode normal dalam hak lintas alur laut kepulauan adalah cara normal atau

cara yang biasa dilakukan dalam penggunaan atau pengoperasian kapal atau

pesawat udara20.

Dalam pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 Tentang

Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak

Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan21, dinyatakan bahwa

kapal perang dan pesawat udara militer “...tidak boleh melakukan latihan perang-

perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan

mempergunakan amunisi.”. Sedangkan negara-negara dengan kekuatan maritim

berpendapat sebaliknya, mereka berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk

dari mode normal yang dilakukan oleh kapal perang.22

Berdasarkan contoh-contoh mode normal yang disebutkan di atas, dapat

diketahui bahwa penafsiran tentang mode normal ini seringkali tidak seragam

bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Lalu, apakah mode normal yang

dimaksud dalam hak lintas transit ini sama dengan mode normal dalam hak lintas

alur laut kepulauan sebagaimana telah diberikan definisinya oleh International

Maritime Organization (IMO) dalam Guidance for Ship Transiting Archipelagic

Waters?. Apabila mode normal dalam hak lintas transit berbeda dengan mode

normal yang dimaksud dalam hak lintas alur laut kepulauan, maka apa yang

dimaksud dengan mode normal dalam hak lintas transit dan bagaimana mode

normal yang seharusnya dilakukan oleh kapal dan pesawat udara dalam

pelaksanaan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional? .

Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tentang apa

yang dimaksud dengan mode normal dalam hak lintas transit di selat yang

20Intenational Matirime Organization, Guidance for Ship Transiting Archipelagic Waters, (8 Januari

1999), pada 2. 21Peraturan Pemerintah R.I., No.37 Tahun 2002, Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara

Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan,

L.N.R.I Tahun 2002 Nomor 71, Pasal 4 ayat (4). 22Sam Bateman , UNCLOS and its Limitation as the Foundation for a Regional Maritime Security

Regime , Institute of Defence and Strategic Studies, (2006), pada 19-20.

9

digunakan untuk pelayaran internasional serta bagaimana mode normal yang

seharusnya dilakukan oleh kapal dan pesawat udara termasuk juga kapal perang,

pesawat udara militer dan kapal selam saat melaksanakan hak lintas transit.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas, secara

tegas dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti untuk selanjutnya ditemukan

jawabannya adalah:

Bagaimana mode normal (normal modes) yang seharusnya dilakukan oleh kapal

maupun pesawat udara saat melaksanakan hak lintas transit yang berlaku pada selat

yang digunakan untuk pelayaran internasional ?

Untuk menjawab rumusan masalah yang utama tersebut, akan diteliti terlebih

dahulu rumusan masalah berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional ?

2. Bagaimana hak dan kewajiban kapal maupun pesawat udara saat

melaksanakan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang serta identifikasi

masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tentang definisi dari mode normal dalam pelaksanaan hak

lintas transit oleh kapal dan pesawat udara di selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional ;

2. Mengetahui tentang mode normal yang seharusnya dilakukan oleh kapal

maupun pesawat udara yang berlayar maupun terbang ketika

10

melaksanakan hak lintas transit di selat-selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap definisi dari mode normal yang seharusnya dilakukan oleh

kapal dan pesawat udara dalam melakukan hak lintas transit di selat yang digunakan

untuk pelayaran internasional, diharapkan memberikan sumbangsih dalam teoritis

ilmu pengetahuan khususnya Hukum Laut Internasional maupun praktis, yakni

dalam penerapannya.

Dalam teoritis ilmu pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat memberi

sumbangsih sumber pengetahuan mengenai definisi mode normal dengan

pemaparan dan penjelasan yang lebih dalam sehingga baik penulis maupun

pembaca dapat mengetahui dan memahami secara lebih komprehensif mengenai

mode normal yang seharusnya dilakukan oleh kapal maupun pesawat udara asing

dalam melakukan hak lintas transit di selat-selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional.

Dalam sisi praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangsih pada

penerapan konsep hak lintas transit ini dalam praktik hukum laut baik secara

nasional maupun internasional.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dapat dipahami

sebagai penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, data

sekunder atau penelitian yang menekankan pada penggunaan norma hukum

tertulis.23

23 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ( PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001), pada 13.

11

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan atau studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari dan menganalisis

sumber-sumber data yang relevan dengan penelitian.

Bahan-bahan yang menjadi sumber hukum untuk memperoleh data sekunder

dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber hukum primer :

1. Konvensi Hukum Laut Jenewa tentang Laut Teritorial dan Zona

Tambahan 1958 (Geneva Convention on the Territorial Sea and the

Contiguous Zone 1958);

2. Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969);

3. Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 (United

Nations on the Law of The Sea 1982);

4. Kebiasaan internasional terkait dengan pelaksanaan kebebasan

pelayaran, hak lintas damai, dll;

5. Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice).

b. Sumber hukum sekunder :

1. Doktrin-doktrin atau pendapat sarjana terkait kebebasan pelayaran,

selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, hak lintas transit

dan mode normal;

2. Buku-buku tentang hukum internasional dan hukum laut internasional;

3. Jurnal-jurnal terkait dengan hukum laut internasional, kebebasan

pelayaran, selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, hak

lintas transit dan mode normal;

Untuk mendukung data sekunder maka akan menggunakan alat pengumpul data

yang lain, yaitu, wawancara ke Direktorat Hukum dan Perjanjian Kewilayahan,

Direktorat Jendral Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri

Republik Indonesia.

12

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I – PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan hal apa yang menjadi latar belakang

dilakukannya penelitian ini, memberikan gambaran tentang adanya prinsip

kebebasan pelayaran (freedom of navigation) yang dikenal dan berlaku hingga saat

ini, prinsip kebebasan pelayaran modern yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut

PBB 1982, konsep hak lintas transit yang berlaku di selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional, interpretasi dari negara-negara mengenai aturan dalam

Konvensi Hukum Laut PBB 1982 terutama mengenai istilah mode normal dalam

hak lintas transit dan akan ditunjukan juga masalah hukum yang akan dijawab

melalui penelitian ini. Selain itu, dalam bab ini dijelaskan juga metode penelitian

yang akan digunakan, beserta dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dalam

bab ini akan dicantumkan juga mengenai sistematika penulisan dari penelitian ini

secara keseluruhan.

BAB II – SELAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN

INTERNASIONAL

Pada bab ini penulis akan memberikan penjelasan singat mengenai rezim hukum

khusus mengenai selat dan alasan mengapa selat perlu diatur dalam suatu rezim

khusus (sui iuris), memaparkan tentang kategorisasi selat dalam Bab III Konvensi

Hukum Laut PBB 1982, apa yang dimaksud dengan selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional, kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah selat

untuk dapat digolongkan sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional, perbedaan antara selat yang digunakan untuk pelayaran internasional

dengan selat internasional serta hak yang berlaku di selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional.

BAB III – HAK LINTAS TRANSIT

Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang hak lintas transit sebagai hak

yang dimiliki oleh semua kapal dan pesawat udara dimulai dari definisi dan

cakupan hak lintas transit termasuk juga di antaranya kapal perang, kapal selam dan

13

pesawat udara militer, keterkaitan antara hak lintas transit dan kebebasan pelayaran,

status hak lintas transit dan hukum kebiasaan internasional, hubungan dan

perbedaan antara hak lintas transit dan hak lintas damai yang tidak dapat

ditangguhkan (non-suspendable innocent passage), membahas secara singkat

mengenai persamaan dan perbedaan antara hak lintas transit, hak lintas damai dan

hak lintas alur laut kepulauan, hak dan kewajiban dari kapal maupun pesawat udara

asing ketika melaksanakan hak lintas transit, hak dan kewajiban dari negara pantai

yang berbatasan dengan selat terkait dengan pelaksanaan lintas transit, masalah

keamanan dan perlindungan lingkungan di selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional, serta contoh-contoh dan pendapat para ahli hukum tentang mode

normal yang harus ditaati dan dilakukan oleh kapal dan pesawat udara ketika

melaksanakan lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional

BAB IV – MODE NORMAL DALAM PELAKSANAAN HAK LINTAS

TRANSIT

Pada bab ini penulis akan menjawab pertanyaan hukum tentang definisi mode

normal dan mode normal yang seharusnya dilaksanakan oleh kapal dan pesawat

udara ketika melaksanakan hak lintas transit di selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional.

BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini penulis akan mencoba memaparkan ulang jawaban dari rumusan

masalah yang diajukan penulis pada Bab I secara ringkas dan komprehensif, dengan

kata lain penulis akan menyimpulkan untuk mempertegas apa yang telah penulis

teliti pada bab-bab sebelumnya. Setelah itu penulis akan mengajukan beberapa

saran setelah penulis menemukan apa yang penulis coba jawab dalam penelitian ini.