Upload
jeffry-simamora
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/22/2019 ABO Blok 24
1/17
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu
pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat
berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX
alpha) yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum
berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal.
Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah.
Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan
fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin
secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan
kematian. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis seperti inkompabilitas
ABO dan rhesus, sepsis neonatal, breast feeding jaundice, dan perdarahan intrakranial.
Anamnesis
Karena pada kasus ini pasiennya adalah seorang bayi, maka dilakukan allo-anamnesis pada
ibu pasien. Akan tetapi ada beberapa hal juga tentang ibu pasien yang akan ditanyakan (contoh:
golongan darah ibu).
Pada anamnesis hal-hal yang harus ditanyakan adalah sebagai berikut:
- Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa, dll.- Keluhan utama, sejak kapan.- Riwayat penyakit sekarang
o Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan: Sejak kapan? Bagaimana riwayat kelahiran? Ada demam atau tidak? Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?
8/22/2019 ABO Blok 24
2/17
Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?- Keluhan penyerta/keluhan lain- Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)
o Usia kehamilan?o Pasien adalah anak ke-berapa?
Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal yang sama (ikterikjuga/tidak) pada anak yang sebelumnya?
o Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit infeksitertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)
o Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-obatantertentu?
o Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah? (jika diketahui)o Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah
sakit?
o Adakah riwayat diabetes melitus?o Adakah riwayat penyakit berat yang lain?
- Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien)o Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak)o Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-obatan, dan
lain sebagainya)
o Apakah ada riwayat alergi?o Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak?o Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?o Apakah si bayi minum asi?
- Riwayat keluargao Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit yang sama?o Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?1
Pemeriksaan Fisik dan Penilaian Usia Kehamilan
Pemeriksaan fisik pertama kali pada bayi baru lahir memiliki banyak tujuan penting.
Pemeriksaan ini bisa berupa pemeriksaan fisik menyeluruh bayi sehat atau pemeriksaan untuk
8/22/2019 ABO Blok 24
3/17
mengonfirmasi diagnosis janin atau menentukan penyebab berbagai manifestasi penyakit
neonatus. Karena transisi dari kehidupan janin ke neonatus memerlukan penyesuaian
kardiopulmonal yang berarti, masalah pada transisi ini dapat segera dideteksi dalam ruang
pelahiran atau selama kehidupan hari pertama. Pemeriksaan fisik dapat juga menunjukkan
pengaruh kelahiran dan persalinan akibat asfiksia, obat-obat, atau trauma lahir. Lagipula,
pemeriksaan pertama bayi baru lahir merupakan cara yang penting untuk mendeteksi malformasi
atau deformasi kongenital. Malformasi kongenital merupakan akibat dari banyak penyebab yang
berbeda misalnya, trisomi kromosom, teratogen, atau sindrom yang dapat dikenali tanpa
penyebab yang dapat diidentifikasi. Malformasi kongenital yang berarti bisa terdapat sebanyak
1-3% dari semua kelahiran. Deformasi kongenital disebabkan oleh kompresi bagian-bagian janin
oleh uterus, biasanya bila tidak ada cairan amnion. Dengan demikian beberapa kasus kaki gada
(clubfoot) merupakan akibat dari kompresi kaki janin oleh dinding uterus.2
Pemeriksaan bayi perlu dilakukan dalam keadaan telanjang di bawah lampu yang terang,
yang juga berfungsi sebagai pemanas untuk mencegah kehilangan panas. Tangan serta alat yang
dipergunakan untuk pemeriksaan fisis harus bersih dan hangat.3
Tampilan
Pertama-tama, tampilan umum bayi harus dievaluasi. Tanda-tanda seperti sianosis,
pelebaran cuping hidung, retraksi interkostal, dan mendengkur memberikan kesan adanya
penyakit paru. Tali pusat, kuku, dan kulit yang ternodai oleh mekonium memberi kesan distres
janin dan kemungkinan pneumonia aspirasi. Tingkat aktivitas spontan, tonus otot pasif, kualitas
menangis, dan apnea merupakan tanda skrining yang berguna untuk mengevaluasi keadaan
sistem saraf pada mulanya.2
Tanda-Tanda Vital
Sesudah penampakan umum janin dievaluasi, pemeriksaan harus diteruskan denganpenilaian tanda-tanda vital, terutama frekuensi jantung (frekuensi jantung normal 120-160
denyut/menit), frekuensi pernapasan (frekuensi normal 30-60 pernapasan/menit), suhu (biasanya
pada mulanya dilakukan pengukuran per rektal dan kemudian melalui aksila), dan tekanan darah
(sering dicadangkan untuk bayi sakit). Selain itu, panjang tubuh, berat badan, dan lingkar kepala
harus diukur dan dicatat pada kurva pertumbuhan untuk menentukan apakah pertumbuhan
8/22/2019 ABO Blok 24
4/17
normal, terlalu cepat, atau terlambat menurut usia kehamilan tertentu.2
Usia Kehamilan
Usia kehamilan ditentukan dengan penilaian berbagai tanda fisik dan tanda-tanda
neurologis yang bervariasi menurut usia dan maturitas janin. Kriteria fisik merupakan tanda-
tanda yang matur seiring bertambahnya usia janin, termasuk peningkatan kekenyalan daun
telinga; peningkatan ukuran jaringan payudara, penurunan rambut lanugo halus dan imatur pada
punggung, dan pengurangan opasitas kulit.2
Gambar 1. Kriteria Maturitas Fisik
Kriteria neurologik merupakan tanda-tanda yang matur seiring usia kehamilan, termasuk
penambahan fleksi kaki, pinggul, dan lengan; penambahan tonus otot fleksor leher; dan
penurunan kelemahan sendi.2
8/22/2019 ABO Blok 24
5/17
Gambar 2. Kriteria Neuromuskular
Tanda-tanda ini ditentukan selama usia hari pertama dan ditentukan skornya. Skor
kumulatif dikorelasikan dengan usia kehamilan, yang biasanya akurat sampai 2 minggu.2
Tabel 1. Penilaian maturitas
Kulit
Kulit harus dievaluasi untuk kepucatannya, plethora (hipervolemia), ikterus, sianosis,
pewarnaan mekonium, petekhie, ekismosis, nevi kongenital, dan ruam neonatus. Ketidakstabilan
8/22/2019 ABO Blok 24
6/17
vasomotor dengan cutis marmorata, telangiektasia, flebektasia (mottling intermiten dengan
penonjolan vena), dan akrosianosis (kaki dan tangan) normal pada bayi prematur. Akrosianosis
juga dapat ditemukan pada bayi sehat cukup bulan pada hari pertama sesudah lahir. Perubahan
warna harlequin bersifat mencolok sementara, tetapi tanpa adanya ketidakstabilan vasomotor dan
membagi tubuh dari kepala sampai pubis melalui linea mediana, menjadi warna merah muda dan
pucat, masing-masing setengah.2
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran bilirubin diindikasikan jika ikterus pada usia kurang dari 24 jam dan
tampaknya signifikan pada pemeriksaan klinis.4
Gambar 3. Grafik Bilirubin Serum Total terhadap Usia Pasca Natal
Pemeriksaan lebih lanjut, selain bilirubin serum total, yang mungkin dibutuhkan (usia
8/22/2019 ABO Blok 24
7/17
Working Diagnosis
Inkompatibilitas golongan darah utama antara ibu dan janin biasanya mengakibatkan
penyakit yang lebih ringan daripada penyakit inkompatibilitas Rh. Antibodi ibu akan dibentuk
melawan sel B jika ibu adalah golongan A atau melawan sel A jika ibu adalah golongan B.
Namun biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A atau B. Walaupun
inkompatibilitas ABO terjadi pada 20-25% kehamilan, penyakit hemolitik hanya berkembang
pada 10% dari bayi-bayi ini, dan biasanya bayinya adalah golongan A1 yang sifatnya lebih
antigenik daripada A2. Antigenisitas faktor ABO yang rendah pada janin dan bayi baru lahir
dapat menyebabkan insidens penyakit hemolitik ABO berat yang relatif rendah dibandingkan
insidens inkompatibilitas antara golongan darah ibu dan anak. Walaupun antibodi terhadap faktor
A dan B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi "alamiah"), faktor-faktor ini biasanya
terdapat pada fraksi 19S (IgM) gama globulin, dan tidak melewati plasenta; namun, antibodi
terhadap antigen A univalen inkomplit (albumin aktif) yang terdapat pada fraksi 7S (IgG), dapat
melewati plasenta, sehingga penyakit hemolitik isoimun A-0 dapat ditemukan pada bayi pertama
yang dilahirkan. Ibu yang telah menjadi imun terhadap faktor A atau B dari kehamilan
inkompatibel sebelumnya juga menunjukkan antibodi dalam fraksi gama globulin 7S. Antibodi
"imun" ini terutama merupakan mediator penyakit isoimun ABO.5
Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk
positif lemah sampai sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah, yang kadang-kadang
mcmberi kesan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-satunya
kelainan laboratorium. Kadar hemoglobin biasanya normal tetapi dapat serendah 10-12 g/dL
(100-120 g/L). Retikulosit dapat naik sampai 10-15%, dengan polikromasia yang luas dan
kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10-20% bayi yang terkena, kadar serum bilirubin
tak terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih jika tidak dilakukan fototerapi.5
Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus akibatinkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut:
o Ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya,sedangkan janin memiliki golongan darah A, B, atau AB
o ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama
8/22/2019 ABO Blok 24
8/17
o terdapat anemia,retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervariasio kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.6Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.
Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung
kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi
dengan IgG. Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci.
Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membrane eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika
imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan
evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik. Disamping tes Coombs, diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24
jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah
tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.5
Different Diagnosis
Inkompatibilitas Rh
Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai Rhesus NEGATIF dan anak mempunyai
Rhesus POSITIF. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang
oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh ini dapat melalui
plasenta dan masuk ke peredaran darah janin dan selanjutnya mengakibatkan penghancuran
eritrosit janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialahpembentukan sel darah merah dilakukan oleh tubuh bayi secara berlebihan, sehingga akan
didapatkan sel darah merah berinti yang banyak. Oleh karena keadaan ini disebut Eritroblastosis
Fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, tetapi akan nyata pada
anak yang dilahirkan selanjutnya.7
8/22/2019 ABO Blok 24
9/17
Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang
inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai Rhesus POSITIF,
pengaruh kelainan inkompabilitas Rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.7
Bayi yang lahir mungkin mati (Still Birth) atau berupa Hidrops Fetalis yang hanya dapat
hidup beberapa jam dengan gejala edema yang berat, ascites, anemia dan hepatosplenomegali.
Biasanya bayi seperti ini mempunyai plasenta yang besar, bayi tampak pucat dan cairan
amnionnya berwarna kuning emas. Eritroblastosis fetalis pada saat lahir tampak normal, tetapi
beberapa jam kemudian timbul ikterus yang makin lama makin berat (hiperbilirubinemia) yang
dapat mengakibatkan kernicterus', hepatosplenomegali dan pada pemeriksaan darah tepi akan
didapatkan anemia, retikulositosis, jumlah normoblas dan eritroblas lebih banyak daripada biasa,
banyak sel darah (seri granulosit) muda. Kadar bilirubin direk dan indirek meninggi, juga
terdapat bilirubin dalam urin dan tinja.7
Pemeriksaan golongan darah ibu dan anak (Rh dan ABO), uji Coombs, riwayat mengenai
bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam waktu 24 jam sesudah lahir, kadar
hemoglobin darah tali pusat kurang dari 15 g%, kadar bilirubin dalam darah talipusat lebih dari 5
mg%, hati dan limpa membesar, kelainan pada pemeriksaan darah tepi dan lain-lain. Pengobatan
dengan transfusi tukar.7
Tabel 2. Perbedaan antara inkompatibilitas rhesus dan ABO
8/22/2019 ABO Blok 24
10/17
Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) karena
beberapa alasan:
o Penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama.o Penyakitnya hampir selalu lebih ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan
anemia yang bermakna.
o Sebagian besar isoantibodi A dan B adalah imunoglobulin M, yang tidak dapat menembusplasenta dan melisiskan eritrosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat menyebabkan
penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tidak menyebabkan hidrops
fetalisdan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetris.o Inkompatibilitas ABO dapat memengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak seperti
penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah.6
Etiologi
Antibodi ibu akan dibentuk melawan sel B jika ibu adalah golongan A atau melawan sel
A jika ibu adalah golongan B. Namun biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan
A atau B.8
Epidemiologi
Inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kausa tersering
penyakit hemolitik pada neonatus. Sekitar 20 persen bayi mengalami inkompatibilitas golongan
darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas
ABO hampir selalu menyebabkan penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus
neonatus atau anemia, tetapi bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun) dan terapi umumnya
hanya berupa fototerapi.6
8/22/2019 ABO Blok 24
11/17
Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit
janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan
fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigenseperti yang terdapat pada eritrosit
janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG
tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga
sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe
II). Hal ini akandikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel
darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal
darisumsum tulang) secara berlebihan.Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan
pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur
limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan
faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari
400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanyasedikit yang penting
sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi
menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya
terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. Hemolisis yang berat biasanya
terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan
di luar kandungan,amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua
dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darahmerah
(hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal
dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan
kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkanterjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya
menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernicterus.8
8/22/2019 ABO Blok 24
12/17
Manifestasi Klinis
Sebagian besar kasusnya ringan, dengan ikterus sebagai satu-satunya manifestasi klinis.
Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saat lahir; tidak ada pucat, dan hidrops
foetalis sangat jarang. Hati dan limpa tidak sangat membesar, jika ditemukan. Ikterus biasanya
muncul dalam 24 jam pertama. Kadang-kadang penyakit ini menjadi berat, dan gejala-gejala
serta tanda-tanda kernikterus berkembang dengan cepat.5
Anemia terjadi akibat hemolisis sejumlah besar eritrosit, dan hiperbilirubinemia dan
jaundis terjadi akibat ketidakmampuan hati mengonjugasi dan mengekskresi kelebihan bilirubin.
Bila bayi terserang hebat tanda anemia (terlihat, sangat pucat) dan syok hipovolemik sangat jelas.
Hipoglikemia dapat terjadi sebagai akibat hiperplasi sel pankreas.9
Penatalaksanaan Bilirubin Tidak Terkonjugasi
Pendekatan terapetik yang saat ini digunakan pada hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
ditujukan untuk menyingkirkan atau menguraikan bilirubin. Pendekatan tersebut mencakup:
fotokonversi atau peningkatan ekskresi bilirubin tidak terkojugasi (BTT) dengan fototerapi;
pengeluaran secara fisik BTT dengan transfuse tukar atau pengikatan intraluminal BTT di usus;
stimulasi ekskresi bilirubin oleh hati dengan fenobarbital; dan blockade konversi heme menjadi
bilirubin.8
Tabel 3. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubin (mg) 72 jam
8/22/2019 ABO Blok 24
13/17
15-19 Transfusi tukar Transfusi tukar
bila hemolisis
Terapi sinar +
>20 Transfusi tukar
1. Fototerapi.Bilirubin yang bersifat fotolabil, mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar
dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 sampai 470 nm); hal
ini menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat
polar; dengan demikian, turunan tersebut lebih larut dalam air daripada bilirubin asli dan lebih
mudah diekskresikan di urine. Bentuk isomeric bilirubin yang utuh ini diekskresikan dalam
empedu dalam keadaan tidak terkonjugasi, secara spontan direkonversi menjadi bilirubin tidak
terkonjugasi di dalam lumen usus dan diserap secara parsial di usus halus. Bilirubin, dalam
jumlah yang lebih kecil, juga secara irreversible dipecahkan oleh oksigen yang sangat reaktif
yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga diekskresikan di urine dan empedu.
Konsentrasi bilirubin serum maksimum pada bayi aterm dan premature yang terpajan ke cahaya
fluoresen intensif selama 1 sampai 3 bulan adalah sekitar 50% daripada bayi yang tidak disinar.
Fototerapi kurang efektif pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin bermanfaat untuk
mengurangi laju reakumulasi pigmen setelah transfuse tukar darah.8
Gambar 4. Panduan Fototerapi
8/22/2019 ABO Blok 24
14/17
Fototerapi harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi "kritis"; penurunan
konsentrasi serum mungkin belum tampak selama 12 sampai 24 jam. Fototerapi hars dilanjutkan
sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Transfuse tukar harus dilakukan
apabila fototerapi saja terbukti tidak efektif dalam mengendalikan kadar bilirubin serum. Karena
pemakaian fototerapi bukannya tanpa resiko, modalitas ini harus digunakan secara konservatif
disertai ketaatan terhadap petunjuknya. Penyulit yang dihadapi dalam fototerapi mencakup diare,
panas berlebihan dan dehidrasi. Dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat
penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, apabila juga terjadi
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Mata bayi harus dilindungi selama penyinaran utnuk mencegah
kerusakan retina.8
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan bayi antara lain (1) Diusahakan agar
bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi; (2)
Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya; (3) Bayi
diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak terbaik mendapatkan energi
yang optimal; (4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh yang
terkena cahaya dapat menyeluruh; (5) Suhu bayi dapat diukur secara berkala 4-6 jam/kali; (6)
Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam; (7)
Hemoglobin juga harus diperiksa secara berkala terutama pada penderita dengan hemolisis; (8)
Perhatikan hidrasi bayi dan (9) Lama terapi sinar dicatat.7
Gambar 5. Panduan Transfuse Tukar
8/22/2019 ABO Blok 24
15/17
2. Transfuse tukarDigunakan untuk menurunkan secara bermakna kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang
meningkat yang tidak responsive terhadap terapi sinar, namun masih banyak silang pendapat di
antara para dokter mengenai kapan saatnya menerapkan strategi ini. Rekomendasi sebelumnnya
untuk transfuse tukar adalah jika kadar serum >20 mg/dL dengan adanya hemolisis dengan
ambang yang lebih rendah untuk bayi dengan berat lahir rendah/premature dan dengan penyakit
lain.8
3. Mempercepat proses konjugasi.Pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai enzyme inducer' sehingga konjugasi
dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48
jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berartil Mungkin lebih bermanfaat diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.7
4. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin
dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kg BB. Albumin biasanya diberikan
sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh kaerna albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin
dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan
dengan transfusi tukar.7
5. Blockade perubahan heme menjadi bilirubin.Akhir-akhir ini banyak perhatian ditujukan pada modalitas terapetik yang menggunakan
strategi untuk mencegah pembentukan bilirubin. Inhibisi kompetitif heme oksigenase akan
menghambat penguraian heme. Metaloporfirin sintetik, seperti protoporfirin timah terbukti
menghambat heme oksigenasi, mengurangi kadar bilirubin serum dan meningkatkan ekskresi
heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi toksisitasnya belum diketahui,
obat-obat ini belum digunkana secara klinis untuk anak-anak.
8
8/22/2019 ABO Blok 24
16/17
Komplikasi
o KernikterusBilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak. Sebagian besar terikat dengan albimun dan
beredar dalam sirkulasi darah. Sebagian besar bilirubin bebas yang keluar dari peredaran darah
dan masuk ke dalam fraksi lemak sel-sel otak meyebabkan kerusakan sementara atau permanen
yang dikenal sebagai kernikterus. Jika sembuh maka akan ada gejala sisa akibat kerusakan otak ,
sering disertai koreoatetosis dan cacat mental.10
Kadar bilirubin tak terkonjugasi > 380 mol/l dianggap berbahaya pada bayi sehat. Akan
tetapi ambang ini dapat lebih rendah pada bayi prematur dan bayi sakit.10
Resiko akan meningkat jika kadar albumin rendah atau terdapat kompetisi dalam mengikat
albumin seperti misalnya asam lemak bebas dan obat-obatan seperti sulfonamid. Berbagai
penyakit juga dapat menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi.10
o Komplikasi terapi sinarSetiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi sinar,
penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi. Baik komplikasi segera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini
bersifat sementara yang dapat ditanggulangi. Kelainan yang mungkin timbul antara lain (1)
Peningkatan insensible water loss' pada bayi; (2) Frekuensi defekasi yang meningkat; (3)
Timbulnya kelainan kuli yang disebut flea bite rash' atau bronze baby syndrome'; dan (4)
Kenaikan suhu.7
Prognosis
Prognosis mengarah ke dubia ad bonam. Jika terapi perawatan bayi dilakukan dengan
pilihan yang tepat dan segera sesuai indikasi dapat menurunkan bilirubin tidak terkonjugasi
dengan signifikan dan bayi kembali normal.
8/22/2019 ABO Blok 24
17/17
Kesimpulan
Hipotesis diterima. Bayi perempuan usia 3 hari, kuning sejak usia < 24 jam, golongan
darah ibu O dan golongan darah bayi B, menderita anemia hemolitik et causa inkompanilitas
sistem ABO.
Daftar Pustaka
1. Miall L, Rudolf M, Levene M. Paediatrics at a glance. Second edition. USA: BlackwellPublishing, 2007.p.53
2. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatri nelson. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010.h.212-229
3. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis fisis pada anak. Edisi ke -2. Jakarta:Sagung Seto; 2009.h.146-158
4. Lissauer T, Fanaroff A. At a glance: neonatologi. Jakarta: Erlangga; 2009.h.96-1015. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Volume ke-1. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2000.h.619-236. Levenno KJ. Obstetri Williams: panduan ringkas. Edisi ke-21. Jakarta: EGC, 2009.h.307-117. Hassan R, Alatas H. Buku kuliah 3 ilmu kesehatan anak. Jakarta: FKUI; 1985.h.1095-11158. Alpers A. Buku ajar Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC, 2006.h. 1246-52, 1320-19. Wong DL. Buku ajar keperawatan pediatrik Wong. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2008.h.329-3110.Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC, 2008.h.61-2, 198-9