Upload
adelita-yuli-hapsari
View
242
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
eklamsi
Citation preview
JOURNAL READING
PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSI
Disusun Oleh:
Adelita Yuli Hapsari (030.10.003)
Riana Rahmadhany (030.10.235)
Dokter Pembimbing :
dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 20 APRIL 2015 s/d 26 JUNI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
1
LEMBAR PENGESAHAN
Journal reading dengan judul
”PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSI”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kebidanan dan
Kandungan
di RSUD Karawang periode 20 April 2015 – 26 Juni 2015
Karawang, Juni 2015
(dr. Unggul Yudatmo,Sp.OG)
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Journal reading “Patogenesis dan terapi eklamsi”
ini. Adapun penulisan kasus ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan Ilmu Kebidanan dan Kandungan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
periode 20 April 2015 – 26 Juni 2015
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Unggul
Yudatmo,Sp.OG, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan
dalam penyusunan kasus ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak
yang turut serta membantu penyusunan kasus ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat
waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam kasus ini,
penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
bagi perbaikan kasus ini. Terima kasih.
Karawang, Juni 2015
(Penulis)
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. 2
KATA PENGANTAR…....................................................................................... 3
DAFTAR ISI…...................................................................................................... 4
TERJEMAHAN PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA
Pendahuluan................................................................................................... ........ 5
Cakupan masalah.................................................................................................... 6
Riwayat Eklamsi................................................................................................. 6
Prognosis eklamsi................................................................................................ 7
Manajemen.............................................................................................................. 9
Manajemen eklamsi segera.................................................................................. 10
Konfirmasi diagnosis................................................................................................ 11
Pencegahan berulang................................................................................................ 12
Kontrol tekanan darah.............................................................................................. 14
Patogenesis dan terapi eklamsi................................................................................. 14
Pertimbangan persalinan........................................................................................... 15
Dapatkah kejang eklamsi dicegah ?.......................................................................... 16
Hasil terapi jangka panjang pada wanita eklamsi..................................................... 18
Apakah wanita dengan pre-eklamsia/eklamsia beresiko mengalami hipertensi
kronis di kemudian hari ?......................................................................................... 19
Kesimpulan............................................................................................................... 19
JURNAL : PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA................................... 21
4
PATOGENESIS DAN TERAPI EKLAMSIA
Joong Shin Park, Michael A. Belfort and Errol R. Norwitz
Pendahuluan
Eklamsi mengacu pada terjadinya
satu atau lebih kejadian kejang umum
dan/atau koma pada preeklamsi tanpa
adanya penyebab neurologis yang lain.
Preeklamsi adalah gangguan multi sistem
pada kehamilan dan masa nifas, yang
merupakan komplikasi dari 6-8% dari
seluruh kehamilan (ACOG, 1996,2002).
Preeklamsi ditandai dengan onset
hipertensi yang baru terjadi (tekanan darah
≥ 140/90), proteinuria (≥2+ dalam sampel
urin random atau ≥300 mg dalam urin
tampung 24 jam) dengan atau tanpa
adanya edema setelah umur kehamilan 20
minggu. Eklamsi merupakan tahap akhir
dari preeklamsi, berdasarkan nomenklatur.
Sekarang jelas, bahwa kejang adalah salah
satu manifestasi klinis kategori “berat”
preeklampsi. Manifestasi lain yang
termasuk, diantaranya, HELLP syndrome
(Hemolysis, Elevated Liver Enzyme and
Low Platelets), Disseminated Intravascular
coagulopathy / DIC, gagal ginjal,
kerusakan sel hati, pankreatitis, gagal
jantung kongestif, edema pulmo, gangguan
pertumbuhan janin intrauterin.
Pengetahuan mengenai
patofisiologi preeklamsi masih sedikit
yang diketahui. Ini merupakan penyakit
pada kehamilan, lebih tepatnya, gangguan
pada plasenta sejak diketahui adanya
kehamilan yang terdapat adanya trofoblas
tetapi tidak terdapat adanya jaringan fetus
(complete molar pregnancies) (Goldstein
dan Berkowitz,1994). Gambaran mengenai
perkembangan dari preeklamsi dimulai
sejak awal kehamilan. Tanda patologis
pada preeklamsi muncul akibat kegagalan
invasi trofoblas pada 8-18 minggu
kehamilan, yaitu proses yang bertanggung
jawab atas kerusakan lapisan muskularis
arteri spiralis. (Brosens et el, 1972;Cross et
al,1994;Meekins et al.,1994). Seiring
dengan berjalannya proses kehamilan,
kebutuhan metabolik fetoplasenta semakin
meningkat, namun arteri spiralis tidak
dapat mengakomodasi peningkatan aliran
darah tersebut. Ini mengarah pada
berkembanganya “disfungsi plasenta”
yang akan bermanifestasi klinis sebagai
preeklamsi. Pada Publikasi baru-baru ini,
dikatakan bahwa soluble fms-like tyrosine
kinase 1 (sFlt1), antagonis of VEGF dan
faktor pertumbuhan plasenta, merupakan
5
“toxemia factor” yang dikeluarkan oleh
plasenta dan menyebabkan vasospasme
yang luas dan kerusakan endotel, yang
merupakan tanda patologis pada
preeklamsi (Maynard et al,2003). Walapun
menarik, hipotesis ini tetap harus
divalidasi.
Cakupan Masalah
Meskipun sudah terdapat kemajuan
dalam hal deteksi dan manajemen,
preeklamsi masih menjadi penyebab kedua
terbanyak kematian ibu di United State
(setelah terjadi tromboemboli), terhitung
hampir 15% dari seluruh kematian ibu
(Rochat et al 1988). Diperkirakan eklampsi
merupakan faktor penyebab kematian ibu
sampai 10 % di negara berkembang dan
diperkirakan terjadi sekitar 50,000
kematian ibu per tahun di seluruh dunia
(Duley,1992).
Di United States dan negara-negara
berkembang, insiden eklampsi relatif stabil
yaitu sekitar 4-5 per 10,000 kelahiran
(Douglas dan Redman,1994). Di negara
berkembang, dilaporkan kejadian
bervariasi 6-7 per 10,000 kelahiran.
Tingkat kejadian tertinggi pada wanita
nulipara berkulit tidak putih dengan latar
belakang sosial ekonomi rendah. Insiden
puncaknya terjadi pada usia remaja dan
usia dibawah dua puluh tahun, tapi juga
meningkat pada usia diatas 35 tahun.
Riwayat eklamsi
Hampir setengah dari kasus eklamsi terjadi
pada prematur dan lebih dari seperlima
pada usia kehamilan dibawah 31 minggu
(Douglas dan Redman, 1994). Pada kasus
eklamsi yang terjadi saat aterm,
mayoritasnya ( hampir 75%) terjadi saat
intrapartum atau dalam 48 jam sebelum
kelahiran. Secara tradisional, kejang yang
terjadi lebih dari 48 jam setelah kelahiran
tidak dianggap sebagai eklamsi. Namun,
sekarang semakin jelas, bahwa kasus late
postpartum eklamsi, yaitu kejang yang
terjadi lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
empat minggu post partum dapat terjadi
dan bahkan terhitung sampai 16% dari
semua kasus eklamsi (Lubarsky et
al.,1984). Eklamsi yang terjadi sebelum
umur kehamilan 20 minggu sangat jarang
terjadi dan harus dipikirkan kemungkinan
penyebabnya adalah kehamilan mola.
6
Kasus eklamsi antepartum biasanya terjadi
lebih dramatis dengan terjadinya kejang
multipel dan komplikasi maternal yang
meningkat sampai 71%, termasuk DIC,
gagal ginjal, kerusakan sel hati, ruptur
liver, perdarahan intraserebral,
cardiorespiratory arrest, aspirasi bronkial,
edema paru akut, dan perdarahan post
partum (Lopez-Liera, 1992).
Prognosis eklamsi
Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap maternal yang diakibatkan oleh
eklamsi telah dirangkum pada tabel 29.1.
Laporan kejadian kematian ibu yang
berhubungan dengan eklamsi bervariasi
antara 0,4% dan 13,9% (Douglas dan
Redman,1994;Lopez-Liera,1992). Pada
analisa retrospektif dari 99 kasus, Lopez –
Liera (1992) melaporkan secara
keseluruhan tingkat kematian maternal
adalah 13.9% (138/990). Tingkat kematian
ibu tertinggi (22% [12/54]) terlihat dalam
subgrup wanita dengan eklamsi dini (<28
minggu masa kehamilan). Tingkat
kematian ibu dan kecacatan yang parah
paling rendah terjadi pada wanita yang
menerima perawatan prenatal reguler yang
ditangani oleh dokter yang berpengalaman
pada tertiary centers(Conde-Agudelo dan
Kafury-Goeta, 1997,Sibai 1990).
Faktor – faktor yang berpengaruh
terhadap janin sebagai akibat dari eklamsi
dirangkum pada tabel 29.2. Secara
keseluruhan kematian perinatal pada kasus
eklamsi terjadi sekitar 9% – 23% (Douglas
dan Redman,1994; Lopez-Liera 1990).
Sesuai dugaan, kematian perinatal sangat
berhubungan dengan umur kehamilan dan
mungkin melebihi 90% pada wanita hamil
yang mengalami eklamsi sebelum
kehamilan 28 minggu (Lopez-Liera,1990).
Kematian janin terutama terjadi akibat
solusio plasenta, asfiksia intrauterine, dan
akibat komplikasi dari prematuritas.
Tabel 29.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap maternal yang diakibatkan oleh eklamsi
Faktor Efek jangka pendek Efek jangka panjang
Proteinuria ≥5 g/24 jam Tidak ada efek Tidak ada efek
Berhubungan dengan
HELLP syndrome
↑ Kematian ibu (3-28%)
↑ eklamsi (50%)
↑ gagal ginjal (8%-66%)
↑ koagulapati (30%-38%)
↑ Hipertensi kronik (33%)
↑Preeklamsi berulang (37%)
↑ HELLP syndrome
berulang (3-5%)
7
Peningkatan tekanan darah
secara drastis
↑ struk -
Durasi kejang yang
berhubungan dengan gagagl
ginjal akut
Tidak ada efek
↑ kematian ibu (34%)
Tidak ada efek
↑ dialisis (10-20%)
berhubungan dengan
hipertensi
Usia kehamilan ≤ 28 minggu - ↑ kekambuhan (20-50%)
↑ hipertensi kronik (18%)
Riwayat preeklamsi - ↑ hipertensi kronik (15-
25%)
↑ preeklamsi berulang (19-
47%)
↑ eklamsi berulang (2-21%)
↑solusio plasenta (2-3%)
Ras afrika – amerika ↑ kematian ibu
↓HELLP syndrome
↑ hipertensi kronik
Berhubungan dengan
diabetes
- ↑ hipertensi kronis
Terkait dengan solusio
plasenta
↑ kematian ibu (24%)
khususnya yang lebih tua,
wanita multipara
-
Multipara ↑ kematian ibu
↑ HELLP syndrome
-
Terkait dengan perdarahan
intrakranial atau koma
- ↑ kekambuhan (37%)
↑ neurologic sequele
*efek jangka pendek mengarah kepada kejang itu sendiri dan perawatan selama di rumah
sakit
*efek jangka panjang mengarah follow up setelah keluar dari rumah sakit
Tabel 29.2 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap janin sebagai akibat dari eklamsi
Faktor Efek jangka pendek Efek jangka panjang
Proteinuria ≥5g/24 jam Tidak ada efek Tidak ada efek
Terkait dengan HELLP ↑ kematian perinata (23- Tidak ada efek
8
syndrome 40%)
Penigkatan tekanan darah
secara drastis
↑ kematian ibu -
Durasi kejang Tidak ada efek Tidak ada efek
Terkait gagal ginjal akut ↑ kelahiran prematur (72%) -
Usia kehamilan ≤ 28 minggu ↑ kematian perinatal -
Riwayat eklamsi ↑ kematian perinatal (2-4%) -
Terkait solusio plasenta ↑ kematian perinatal (41-
45%)
-
Terkait pertumbuhan janin
terhambat
↑ kematian perinatal -
Ras afrika – amerika ↑ kematian perinatal -
Usia maternal > 35 tahun ↑ kematian perinatal karena
hipertensi kronis
-
Terkait hipertensi kronik ↑↑ kematian perinatal -
*efek jangka pendek mengarah kepada kejang itu sendiri dan perawatan selama di rumah
sakit
*efek jangka panjang mengarah follow up setelah keluar dari rumah sakit
Manajemen
Dapatkah kita memprediksi kejang
pada eklamsi?
Hubungan antara hipertensi, gejala dan
tanda iritasi kortikal (nyeri kepala,
gangguan penglihatan, mual, muntah,
demam, hiperrefleksia) dan kejang masih
belum jelas dan tidak dapat diprediksi.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa
mayoritas wanita mengalami satu atau
lebih gejala yang mendahului sebelum
terjadinya kejang pada eklamsi. Pada
analisis retrospektif pada 383 kasus
eklamsi di United Kingdom, Douglas dan
Redman (1994) melaporkan bahwa 59%
(227/383) pasien dengan eklamsi
mengalami gejala prodormal seperti nyeri
kepala, gangguan penglihatan (skotomata,
amaurosis, blurred vision, diplopia,
homonimous hemianopsia) atau nyeri
epigastrium. Pada 38% (146/383) kasus,
eklamsi merupakan manifestasi pertama
yang muncul pada penyakit hipertensi
yang berhubungan dengan kehamilan.
Walaupun besarnya kenaikan tekanan
darah berhubungan baik dengan insiden
9
terjadinya gangguan serebrovaskular. Pada
studi yang dilakukan United Kingdom,
Swedia, Scotlandia, United Stated
menunjukkan bahwa 20%-38% pasien
yang mengalami eklamsi mempunyai
tekanan darah maksimal yang kurang dari
140/90 sebelum terjadinya kejang.
(Douglas dan Redman, 1994; Moller dan
Lindmark, 1986; Sibai et al, 1981b,1986c).
Pada review yang dibuat oleh Sibai et al
(1986c) pada 179 konsekutif kasus,
faktor-faktor yang ditemukan paling tidak
bertanggungjawab secara parsial yang
menjadi penyebab gagalnya pencegahan
eklamsi adalah kesalahan dokter (36%),
kegagalan magnesium (13%), late
postparum onset (12%), early onset
(kurang 21 minggu) 3%, onset solusio
(18%), kurangnya perawatan prenatal
(19%). Maka dari itu, banyak kasus
eklamsi yang tidak dapat dicegah,
walaupun wanita yang sudah menerima
perawatan prenatal secara reguler.
Manajemen eklamsia segera
Manajemen yang segera pada kejang
eklamsi termasuk mempertahankan fungsi
vital maternal, mengontrol kejang dan
tekanan darah, pencegahan kejang
berulang dan evaluasi kelahiran. Jika
melihat kasus seperti itu, Manajemen yang
segera pada kejang eklamsi termasuk
mempertahankan fungsi vital maternal,
mengontrol kejang dan tekanan darah,
pencegahan kejang berulang dan evaluasi
kelahiran.
Kejang pada eklamsi hampir selalu
sembuh sendiri dan tidak lebih dari 3-4
menit. Obat-obatan seperti benzodiazepin
telah digunakan dengan keberhasilan untuk
menghentikan kejang yang sedang
berlangsung. Diazepam yang diberikan
secara cepat melalui intravena yang masuk
ke dalam sistem saraf pusat akan berhasil
menghentikan kejang dalam waktu satu
menit dan akan mampu mengontrol kejang
selama lima menit pada lebih dari 80%
pasien (Delagado-Escueta et al). Pada
kasus-kasus eklamsi, pemberian obat-
obatan seperti itu jarang dibutuhkan.
Memang, beberapa hasil investigasi
mendapatkan bahwa terapi seperti itu
sebaiknya dihindari pada kasus kejang
eklampsi karena efek depresi yang besar
pada fetus. Ini menjadi berdampak
signifikan secara klinis ketika dicapai
dosis total maternal dari diazepam
mencapai 30 mg, namun apabila kejang
berlangsung lebih dari 3-4 menit, ini dapat
menjadi alasan diberikannya
benzodiazepin (seperti diazepam 5-10 mg
iv, diulang sesuai indikasi sampai dosis
maksimum 50 mg ) atau magnesium sulfat
(2- 4 gr intravena diulang setiap 15 menit
sampai dosis maksimum 6 gr) untuk
10
mendapatkan hasil yang diinginkan. Dosis
pemberian Magnesium sulfat ini dianggap
aman bahkan pada keadaan insufisiensi
renal.
Transient fetal bradikardia yang
berlangsung paling tidak 3 – 5 menit
adalah suatu hal yang biasa ditemukan
setelah terjadi kejang eklamsi dan tidak
membutuhkan persalinan segera.
Resolusi dari aktivitas kejang ibu biasanya
berhubungan dengan kompensasi takikardi
pada fetal dan bahkan dengan penurunan
denyut jantung janin sementara yang khas
kembali setelah 20-30 menit.
Konfirmasi diagnosis
Kejang pada eklamsi secara klinis dan
elektrocephalografi tak dapat dibedakan
dengan kejang umum tonik klonik. Tidak
semua wanita dengan eklamsi
membutuhkan pemeriksaan pencitraan
kepala. Namun, pasien yang tidak dapat
terkontrol dengan cepat kejang dan
tekanan darah, kejangnya dapat lebih lama
dari 10 menit, terjadi lebih dari awal
walaupun dalam terapi magnesium sulfat
ataupun tidak, dapat terjadi kejang post
partum, dapat menyebabkan gangguan
neurologis sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Diagnosis banding eklamsi
dijelaskan pada tabel 29.3. Walaupun pada
studi neuroimaging tidak terbukti berguna
dalam manajemen preekampsia/eklamsi,
beberapa penelitian telah membuktikan
kesempatan untuk mengetahui penyebab
dasar kejang pada eklamsi. Hampir
setengah wanita dengan eklamsi akan
mengalami transient abnormalitas pada
CT-scan kepala (brown et al, 1988;
Royburt et al, 1991), biasanya paling
sering terdapat gambaran white matter
hypodensities (Fredriksson et al, 1989).
Pada studi MRI pada 10 wanita yang
mengalami eklamsia, Digre et al, (1993)
mendokumentasikan temuan (termasuk
adanya edema cortical dan perdarahan)
pada 9 wanita. Pada studi otopsi
menunjukkan bahwa lebih dari 50%
wanita yang meninggal dalam 2 hari
setelah mengalami kejang eklamsi terbukti
adanya perdarahan serebral, petekiae
kortikal primer termasuk lobus oksipital
(Sheehan dan Lynch, 1973). Data ini telah
dikonfirmasi oleh data berikutnya
(Crawford et al, 1987; Dierckx dan
Appel,1989). Yang masih menjadi
pertanyaan pada kejang eklamsi adalah
penyebab atau konsekuensi dari
perdarahan intraserebral yang masih belum
jelas. Efek dari eklamsi pada risiko
selanjutnya pada serebrovaskuler tidak
dapat dievaluasi secara sistematis. Pada
suatu laporan (Salerni et al.,1988), terdapat
gambaran perdarahan intraserebral pada
11
daerah yang sebelumnya di identifikasi
sebagai area “ischemic infarction” pada
pasien eklamsia, dimana kejang
mendahului terjadinya perdarahan. Namun
apakah ini terjadi pada semua kasus atau
tidak masih belum diketahui.
Hasil dari studi invasif dan functional
imaging masih jadi pertentangan.
Beberapa studi angiografi melaporkan
terjadinya vasospame yang luas pada
pembuluh darah intrakranial pada pasien
dengan pre-eklamsia/eklamsia (Trommer
et al, 1988; will et al, 1987), dimana studi
lain tidak mampu mengkonfirmasi
observasi tersebut (Zunker et al, 2003).
Beberapa investigator telah menggunakan
teknologi SPECT (single photon emission
CT) dan atau PET (positron emission
tomography) untuk menginvestigasi
perubahan neuropathofisiologi pada pre-
eklamsia/eklamsia (Naidu et al, 1997;
Schwartz et al, 1992; Zunker et al, 2003),
namun data yang didapatkan masih belum
meyakinkan.
Tabel 29.3 Diagnosis kejang eklamsi
Trauma serebrovaskular (mis : perdarahan hemoragik, trombosis vena serebral)
Penyakit hipertensi (mis : hipertensi enselopathy, pheochromocytoma)
Space occupying lesion of the central nervous system (mis : tumor otak, abses)
Gangguan metabolik (mis : hipoglikemi, uremia, inappropiate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxication)
Infeksi (mis : meningitis, ensefalitis) Idiopatik trombositopenia purpura Epilepsi idiopatik
Pencegahan berulang
Tanpa pengobatan, sekitar 10% wanita
eklamsi mengalami kejang berulang.
Meskipun terdapat ketetapan bahwa pasien
dengan eklamsi memerlukan terapi
antikonvulsan untuk mencegah kejang
lebih lanjut, komplikasi kejang berulang
(kematian sel saraf, rhabdomiolisis,
asidosis metabolik, pneumonia aspirasi,
edema pulmo neurogenik, dan gagal nafas
serta kemungkinan cedera
serebrovaskular), pemilihan pengobatan
masih kontroversial. Pengobatan regimen
12
alternatif dalam mengatasi eklamsi secara
lengkap terdapat dalam tabel 29.4.
Para dokter kebidanan sudah lama
menggunakan MgSO4 (Magnesium
Sulfate) sebagai terapi pilihan kejang pada
eklamsi, sedangkan ahli saraf lebih sering
menggunakan fenitoin atau diazepam
sebagai anti kejang. Perbedaan pendapat
ini telah terbantahkan oleh hasil penelitian
secara klinis. Pada tahun 1995, pengujian
oleh suatu kelompok secara kolaborasi
melaporkan dalam penelitian secara
prospektif terdapat 905 wanita eklamsi
yang mendapatkan magnesium sulfat atau
diazepam secara acak, dan 775 wanita
eklamsi yang secara acak mendapat
magnesium sulfate atau fenitoin. Hasil
penghitungan awal terdapat kekambuhan
kejang dan kematian ibu. Wanita yang
mendapat magnesium sulfate 52% lebih
rendah mengalami kekambuhan kejang
dibandingkan dengan pasien yang
mendapatkan diazepam (13,2% [60/453]
vs 27,9%[126/452], berturut-turut). Tidak
ada perbedaan secara signifikan terhadap
mortalitas dan/atau morbiditas baik janin
maupun ibu dalam kedua kelompok
tersebut. Demikian pula pada wanita yang
mendapatkan magnesium sulfate 67%
lebih kecil memiliki resiko kejang
dibandingkan pasien dengan fenitoin
(5,7% [22/388] vs. 17,1% [66/387],
berturut-turut). Pada penelitian ini, wanita
yang mendapatkan magnesium 8% lebih
kecil mendapatkan alat bantu ventilator
dan 5% lebih rendah berkembang menjadi
pneumonia dibandingkan dengan wanita
yang mendpatkan fenitoin. Tidak ada
perbedaan signifikan antara kematian ibu
dan janin. Pada penelitian Cochrane 2001
juga telah dilaporkan bahwa magnesium
sulfate lebih aman dan lebih baik daripada
“lytic coctail” (berisi hidroklorida
prometazin, klorpromazine, dan
hidroklorida meperidin) sebagai
pencegahan kejang berulang pada wanita
eklamsi. (Duley dan Gulmezoglu,2001)
Terapi megnesium sulfat memiliki
keuntungan lain, yakni harga lebih
terjangkau dan lebih mudah digunakan
dibandingkan fenitoin (penggunaan
pemantau jantung jika diberikan melalui
infus ≥50mg min-1) dan kurang sedatif
dibandingkan diazepam. Selain itu,
magnesium secara selektif meningkatkan
aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
pada pasien pre-eklamsia, dimana hal
tersebut tidak tampak pada pasien dengan
fenitoin (Gerthoffer et al., 1987).
Dosis regimen Magnesium sulfat yang
biasa digunakan untuk loding dose 4-6
gram secara intravena yang diberikan
dalam waktu 20 menit, diikuti 2-3 gr per
jam secara intravena kontinyu. Fase
pemeliharaan diberikan jika refleks patela
13
muncul (hilangnya refleks tendon
merupakan tanda awal hipermagnesemia),
pernafasan yang lebih dari 12 kali per
menit, dan urine output lebih dari 100 ml
per 4 jam. Pemberian lanjutan serum
magnesium tidak diberikan pada wanita
yang berpotensial mengalami keracunan
magnesium. Ada juga yang tidak
menampakkan ambang konsentrasi secara
jelas untuk memastikan pencegahan
kejang, meskipun rata-rata berkisar 4,8-
8,4mg/dl direkomendasikan. (sibai et al.,
1981a). Dosis harus disesuaikan terhadap
respon klinik setiap individu.
Aktivitas magnesium sebagai antikonvulsif
masih belum diketahui. Beberapa
mekanisme telah diajukan, termasuk
vasodilatasi selektif terhadap
serebrovaskular (Belfort dan Moise, 1992),
perlindungan sel endotel dari radikal
bebas, pencegahan masuknya kalsium ke
sel iskemik dan atau antagonis kompetitif
terhadap reseptor glutamat N-metil-D-
aspartat (epileptogenik) (Roberts, 1995).
Kontrol tekanan darah
Eklamsi menyebabkan 15-20% perdarahan
serebral. Dan sering dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah secara
signifikan (≥170/120). Dalam hal ini,
kontrol peningkatan tekanan darah
diperlukan oleh semua pasien.
Bagaimanapun, pengontrolan tekanan
darah tidak menampakkan efek penyakit
dan tidak mencegah terjadinya kejang
berulang. Terapi medikamentosa pada
hipertensi ringan tidak direkmendasikan,
karena penggunaan antihipertensi untuk
mengontrol peningkatan tekanan darah
yang ringan pada keadaan pre-eklamsia
tidak merubah penyakit tersebut dan tidak
mengurangi morbiditas dan mortalitas
perinatal. (Magee et al., 1999; Sibai, 1996;
vonDadelszen et al., 2000).
Belum diketahui secara jelas ada atau
tidaknya penetapan terapi emergensi
(Lindenstorm et al., 1995). Banyak
peneliti yang merekomendasikan terapi
antihipertensi diteruskan pada tekanan
diastolik ≥105-110mmHg dan sistolik
≥160mmHg untuk mencegah terjadinya
kelainan serebrovaskular (National High
Blood Pressure Program, 2000). Meskipun
acuan terapi ini belum diuji secara
prospektif. Pemilihan terapi awal termasuk
hidralazin (5 mg IV diikuti 5-10 mg bolus
selama 20 menit) atau labetalol (10-20 mg
IV dan diulang 10-20 menit dosis ganda
dengan tidak lebih dari 80 mg dalam dosis
tunggal kumulatif maksimal dalam
300mg ). Pembuluh darah otak pada
wanita yang mengalami hipertensi kronis
memungkinkan dapat mentolerasi tekanan
sistolik yang lebih tinggi tanpa mengalami
kerusakan, ketika dewasa muda dengan
tekanan darah rendah yang masih dalam
14
batas normal dapat memulai terapi dari
tingkat terendah.
Resiko stroke hemoragik secara
langsung berkaitan dengan derajat
peningkatan sistolik, kurang berkaitan dan
tidak bergantung pada tekanan diastolik
(Lindenstorm et al.,1995).
Patogenesis dan terapi eklamsi
Meskipun demikian, tekanan diastolik
berperan penting dalam kaitannya
eklamsia yang mempengaruhi perfusi ke
otak, yang mana bergantung terhadap
tekanan rata-rata maternal, tekanan
diastolik dan tekanan rata-rata kecepatan
aliran diastolik pada arteri medial otak
yang dihitung dengan velocimetri doppler
(Belfort et al., 2003). Telah di hipotesiskan
bahwa vasospasme serebri dan terjadinya
iskemi merupakan penyebab utama
eklamsia. Namun, percobaan yang
membandingkan magnesium sulfat dan
nimodipine dalam mencegah eklamsi tidak
mendukung hipotesis (Belfort et al., 2003).
Dalam kasus ini, nimodipine – calsium
channel blocker merupakan vasodilator
spesifik serebri (Belfort et al., 1994; van
Gijn dan Rinkel, 2001) – seharusnya dapat
digunakan meskipun tidak lebih baik
daripada magnesium sulfat dalam
mencegah eklamsi. Meskipun begitu,
penelitian yang dilakukan oleh Belfort et
al, (2003) menunjukkan bahwa
magnesium sulfat intravena secara
signifikan lenih baik dibandingkan
nimodipin oral dalam mencegah kejang
eklamsi. Pada wanita dengan pre-eklamsi
berat. Beberapa laporan terakhir
menyebutkan bahwa hemodinamik serebri
berubah pada pasien dengan pre-eklamsia
dan dapat dijelaskan dari laporan tersebut,
sejak diusulkan bahwa penyebab primer
kerusakan serebri pada pre-eklamsia
adalah peningkatan tekanan perfusi serebri
(overperfusi), dibandingkan vasospasme
dan penurunan tekanan aliran darah
serebral (Apollon et al., 2000; Belfort et
al., 2002). Peningkatan tekanan perfusi
aliran darah serebral, dipercaya
meningkatkan barotrauma serebral dan
edema vasogenik (Belfort et al., 2003).
Hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa eklamsia dapat juga terjadi pada
tekanan darah rendah. Wanita dengan pre-
eklamsia berat lebih sering memiliki
tekanan perfusi serebral yang tinggi
dibandingkan pada pasien pre-eklamsi
ringan dan wanita pre-eklamsi dengan
peningkatan tekanan perfusi serebri lebih
sering bergejala dibandingkan mereka
yang memiliki tekanan perfusi yang
normal. (Belfort et al., 2002). William dan
wilson (1990) telah mendemonstrasikan
peningkatan tekanan perfusi serebri pada
wanita eklamsi, dengan demikian
mendukung teori barotrauma serebral.
15
Pertimbangan persalinan
Hanya persalinan yang merupakan terapi
yang efektif terhadap pre-eklamsia /
eklamsia. Persalinan segera tidak
diperlukan termasuk seksio sesaria. Dalam
menentukan persalinan dengan induksi dan
persalinan pervaginam harus
dipertimbangkan sesuai individu
berdasarkan paritas, usia kehamilan,
pemeriksaan serviks (skor Bishop),
keinginan ibu untuk meneran, status janin
dan presentasi. Secara umum, kurang dari
1-3 wanita dengan pre-eklamsi berat
dengan (usia kehamilan < 32 minggu)
keadaan serviks matang dapat berhasil
melahirkan pevaginam (ACOG, 1999;
Alexander et al., 1999; Nassar et al.,
1998). Pematangan serviks dapat
meningkatkan skor Bishop, namun
perpanjangan induksi harus disingkirkan.
Menurut anastesi, teknik neuroaksial
(epidural, spinal) lebih baik pada wanita
dengan pre-eklamsi/eklamsi meskipun
perlu pemantauan secara ketat dan tidak
adanya resiko trombositopeni (Program
nasional tekanan darah tinggi, 2000).
Dalam studi acak, 80 wanita pre-eklamsi
berat dengan epidural, kombinasi spinal-
epidural, atau anastesi umum
menunjukkan hasil yang sama (Wallace et
al., 1995). Hipotensi menjadi perhatian
utama dalam regional anastesi sejak pre-
eklamsi didapatkan adanya peningkatan
volume darah. Edema jalan nafas dan
kekambuhan hipertensi dengan intubasi
telah menjadi persoalan pada anastesi
umum.
Pre-eklamsi/eklamsi selalu diakhiri dengan
persalinan, meskipun perlu waktu
beberapa hari atau minggu. Diuresis (> 4l
per hari) dipercaya paling akurat sebagai
indikator klinis tetapi tidak menjamin
dapat menghindari kejang. (Miles et al.,
1990)
Dapatkah kejang eklamsi dicegah ?
Terapi anti kejang dapat digunakan untuk
mencegah kejang eklamsi awal pada
wanita pre-eklamsi berat. Dua penelitian
besar telah mendemonstrasikan
keuntungan magnesium sulfat daripada
fenitoin dalam pencegahan eklamsi
(Belfort et al., 2003; Coetzee et al., 1998;
Lucas et al., 1995). Rumah sakit Parkland,
sebagai contoh, secara random 2138
wanita pre-eklamsi yang melakukan
persalinan mendapat megnesium sulfat
atau fenitoin (Lucas et al,. 1995). Kejang
eklamsi dialami oleh 10 dari 1089 wanita
yang mendapatkan feniotin dibandingkan
dengan tidak ada wanita dari 1049 wanita
yang mendapatkan magnesum sulfat
(P=0,004). Maternal dan neonatal
menunjukkan efek yang hampir sama.
Data ini ddukung oleh studi di Afrika
16
Selatan dimana 685 wanita pre-eklamsi
berat secara acak mendapatkan profilaksis
anti kejang dengan magnesum sulfat atau
plasebo (Coetzee et al., 1998). kejadian
eklamsia lebih rendah pada kelompok
yang mendapatkan magnesium sulfat
(0,3% vs. 3,2% [P=0,003]).
Terapi anti konvulsi secara umum
diberikan selama persalinan atau ketika
terapi antenatal dengan deksametason atau
pematangan serviks yang direncanakan
pada pasien pre-eklamsi. Profilaksis
kejang secara kontinyu diberikan sampai
24-48 jam setelah partus, ketika resiko
kejang berkurang.
Telah banyak diperdebatkan apakah
semua wanita dengan pre-eklamsia perlu
profilaksis kejang atau tidak.
Keberhasilan dan keamanan magnesium
sulfat sebagai profilaksis anti kejang
pada wanita pre-eklamsi berat telah
digambarkan dalam penelitian terbesar
The Magpie Trial, (2002) (Percobaan
magnesium sulfat dalam pencegahan
eklamsi). Lebih dari 10.000 wanita
(hamil atau 24 jam persalinan) dengan
tekanan darah ≥140/90 mmHg dan
proteinuria ≥ +1 perawat masih ragu
mengenai kegunaan pemberian
magnesium sulfat (4 gr IV loading dose
dilanjutkan 1 gr per jam melalui infus
atau 5 gr IM bokong yang dilanjutkan 5
gr IM setiap 4 jam) atau plasebo selama
24 jam. Sekitar 25% pasien dengan
penyakit berat dan 75% diberikan anti
hipertensi. Penemuan terbesar dari
percobaan bahwa magnesium sulfat :
Menurunkan resiko konvulsi
eklamsi secara signifikan (0.8% vs.
1.9%; RR 0.42, 95% CI, 0.29-0.60).
untuk mencegah konvulsi, 63 wanita
dengan pre-eklamsi berat atau 109 wanita
denga pre—eklamsi ringan sampai
sedang perlu diterapi.
Menunjukkan dapat menurunkan
kematian ibu (0.2% vs. 0.4%; RR 0.55,
95% CI, 0.26-1.14); dan
Pencegahan konvulsi tidak
menghiraukan beratnya pre-eklamsia,
usia kehamilan atau paritas.
Morbiditas ibu, mortalitas perinatal serta
morbiditas neonatus hampir sama di kedua
kelompok. Terapi magnesium sulfat harus
dipertimbangkan dalam pencegahan
eklamsia pada semua wanita dengan pre-
eklamsi (Megpai Trial, 2002; Roberts et
al., 2002; Shets dan Chalmers, 2002),
termasuk pada mereka yang bukan
penyakit berat, meskipun beberapa penulis
menanyakan nilai terapi pada semua
wanita pre-eklamsi untuk mencegah
kejang di beberapa pasien (0.6-3.2%) (Hall
et al., 2000). Sekitar 10-15% wanita pada
masa persalinan dengan pre-eklamsi ringan
akan berkembang menjadi gejala pre-
eklamsi berat (hipertensi berat, sakit
17
kepala, gangguan penglihatan, nyeri
epigaster, dan kelainan laboratorium)
(Livingstone et al., 2003; Witlin dan Sibai,
1998).
Kesimpulannya, WHO, Federation
Internationale de Gynecologie et
d’Obstetrique, dan perhimpunan
internasional mengenai hipertensi dalam
kehamilan merekomendasikan terapi
magnesium sulfat untuk mencegah dan
sebagai terapi eklamsi (Roberts et al.,
2002). The American College of
Obstetricians and Gynecologist
merekomendasikan penggunaan
magnesium sulfat pada wanita dengan pre-
eklamsi berat. Kejadian kejang lebih
rendah pada pada wanita hipertensi tanpa
proteinuria (< 0,1%) (Coetzee et al.,
1998). Oleh karena itu, hal tersebut aman
terhadap profilaksis kejang pada wanita.
Hasil terapi
Hasil Jangka Panjang pada Wanita
Eklamsi
Prognosis jangka panjang pada ibu
tergantung dari berat ringannya suatu
penyakit. Kerusakan sel hepar, disfungsi
renal, DIC, dan hipertensi dapat di atasi
dengan persalinan. Tetapi, kerusakan
serebrovaskular dapat menyebabkan gejala
sisa neurologi
Komplikasi sindrom HELLP terjadi pada
4-14% pasien pre-eklamsia berat atau
eklamsi dan telah dikaitkan dengan
perburukan maternal dan/atau perburukan
perinatal (Sibai, 1990; Sibai et at., 1986a,
1995). Kejadian sindroma ini lebih tinggi
pada pasien multipara, terutama pada pre-
eklamsi dan atau eklamsi yang terlambat
didiagnosis. Secara keseluruhan kematian
perinatal rata-rata mencapai 36,7%
(41/112) telah dilaporkan Sibai et al.
(1993b) terdapat 5 kematian ibu (1.1%)
dan kehidupan ibu secara signifikan: DIC
pada 92 pasien (21%), abrupsio plasenta
pada 69 pasien (16%), gagal ginjal akut
pada 33 pasien (7.7%), 26 pasien dengan
edema paru (6%), 4 pasien dengan ruptur
hematom subskapular hepar (0.9%) dan 3
pasien dengan ARDS (Acute Respiratory
Distress Syndrome) (1%). Dengan catatan,
kejadian komplikasi maternal (terutama
edema paru dan gagal ginjal akut) tampak
lebih tinggi jika sindroma HELLP
berlanjut setelah persalinan Sibai et al.
(1993b). Kekambuhan rata-rata sindroma
HELLP pada hasil akhir kehamilan sekitar
2% (1/49) (Sibai et al. 1986a)
Gagal ginjal akut terjadi pada 1.8% pasien
dengan pre-eklamsi berat/eklamsi (Sibai et
al., 1990) dan hampir selalu terjadi tubular
nekrosis akut sekunder. Hal ini biasa
terjadi pada abrupsio plasenta dan DIC dan
berkaitan dengan perburukan
18
maternal/perinatal (termasuk kematian
maternal dan perinatal 10-13% dan 34-
41%, berturut-turut) (Sibai dan Ramadan,
1993; Sibai et al., 1990). Sekitar 30-50%
pasien dengan gagal ginjal akut
memerlukan terapi dialisis selama
kehamilan untuk memperbaiki azotemia
dan/atau hiperkalemia. Tindak lanjut
jangka panjang (rata-rata 4.0±3.1 tahun)
pada 31 pasien dengan pre-eklamsia
berat /eklamsi yang memiliki komplikasi
gagal ginjal akut 16 orang diantaranya
telah sembuh dan memiliki ginjal dengan
fungsi yang normal kembali. Pada pasien
yang memang memiliki kelainan parenkim
ginjal dan/atau hipertensi kronis, 9 dari 11
pasien yang berhasil (82%) telah
mendapatkan dialisis jangka panjang dan 4
orang yang berakhir dengan kematian
karena gagal ginjal stadium lanjut. Peneliti
menyimpulkan bahwa “Tatalaksana yang
tepat pada gagal ginjal akut pada pasien
dengan pre-eklamsi / eklamsi murni tidak
menyebabkan sisa fungsi yang buruk”
(Sibai et al., 1990). Pada penyakit ginjal
tidak jarang kambuh menjadi gagal ginjal
akut pada kehamilan.
Edema paru merupakan komplikasi yang
jarang pada pre-eklamsi berat/eklamsi
dengan kejadian sekitar 2-3%. Hal tersebut
lebih terlihat pada pasien yang memang
memiliki hipertensi kronis dibandingkan
pada pasien yang sebelumnya memiliki
tekanan darah normal (7.1% vs 1.7%,
berturut-turut) (Sibai et al. 1987).
Rangkaian 37 kasus yang terjadi secara
berurutan, Sibai dan koleganya (1987)
melaporkan kematian 4 orang ibu dan
kehidupan ibu secara signifikan. Seluruh
kematian perinatal pada hal ini sebesar
53% (18/39). Tercatat, 70% (26/37) pasien
ini berkembang mengalami edema paru
setelah persalinan dengan onset 71 hari
setelah peralinan. Hampir semua wanita
memiliki faktor predsiposisi terhadap
edema paru, termasuk kritaloid masif dan
atau infus koloid, prosedur pembedahan,
sepsis atau anemia.
Apakah wanita dengan pre-eklamsia/eklamsia beresiko mengalami hipertensi kronis di kemudian hari ?
Pada wanita yang memiliki riwayat pre-
eklamsi / eklamsi, menurut laporan resiko
terjadinya hiprtensi kronis berkisar mulai
dari 0% sampai 78% (rata-rata 23,8%)
(Chesley et al., 1976; Sibai et al., 1986b,
1991, 1992). Resiko meningkat pada
kelompok wanita baik yang memiliki
hipertensi dalam kehamilan maupun pada
wanita dengan eklamsi terkontrol.
Peningkatan resiko dari hipertensi yang
berkelanjutan hanya muncul rata-rata
setelah follow up lebih dari 10 tahun.
(Sibai et al., 1986b).
Selain hipertensi, wanita dengan riwayat
pre-eklamsi/eklamsi beresiko terhadap
19
diabetes. Dalam satu penelitian, insidensi
diabetes pada penelitian kohort yang
dipantau selama 25 tahun sebesar 8.3%,
yang mana 2.5 kali lipat lebih tinggi dari
yang diperkirakan. (Chesley et al., 1976).
Hal ini serupa dengan 5.6% insidensi
diabetes yang dilaporkan oleh Sibai et al.
(1986b) pada wanita dengan pre-eklamsi
berat/eklamsi yang dipantau selama 10
tahun.
Kesimpulan
Eklamsia adalah suatu kegawatdaruratan
obstetri yang terjadi pada 4-5 per 10.000
kelahiran hidup. Baik ibu maupun fetus
secara langsung beresiko mengalami
kematian atau disabilitas neurologi jangka
panjang. Target terapi utama yakni
memberikan keamanan pada ibu dan
selanjutnya kelahiran bayi dengan kondisi
yang optimal. Persalinan merupakan
tatalaksana yang paling efektif. Terapi
yang cepat dan efektif tanpa adanya
perdarahan serebrovaksular merupakan
prognosis yang baik bagi ibu. Prognosis
janin tergantung dari besarnya usia
kehamilan saat persalinan. Angka
kekambuhan pre-eklamsia pada kehamilan
berikutnya dilaporkan mencapai 12-68%
dan sekitar 10% dari wanita tersebut akan
mengalami kejang eklamsi pada kehamilan
berikutnya. Magnesium sulfat adalah obat
pilihan dalam pencegahan primer terhadap
kekambuhan kejang eklamsi.
20
JOURNAL
PATHOGENESIS AND TREATMENT OF ECLAMPSIA
21
22