27
BAB I PENDAHULUAN Manusia dalam hidup di dunia ini mempunyai dua macam akhlak/perilaku/tingkah laku, ada akhlak terpuji dan ada juga yang tercela. Akhlak yang terpuji akan berdampak positif pada pelakunya begitu juga akhlak tercela yang akan membawa dampak negatif. Membahas dan menghilangkan sifat-sifat tercela ini bagi mahasiswa maupun di kalangan masyarakat umum sangatlah penting, karena dengan kita mengetahui sifat-sifat ini kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ini termasuk usaha tahliyyah mengosongkan/membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat terpuji. Sifat tercela ini adalah terjemahan dari pada bahasa arab sifahul mazmumah”, artinya sifat-sifat yang tidak baik yang tidak membawa seseorang manusia kepada pekerjaan- pekerjaan atau akibat-akibat yang membinasakan. Imam Ghazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sifat-sifat muhkilat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan, sifat-sifat yang tercela ini beliau sebut juga sebagai suatu kehinaan. Pada dasarnya sifat-sifat yang tercela 1

Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia dalam hidup di dunia ini mempunyai dua macam

akhlak/perilaku/tingkah laku, ada akhlak terpuji dan ada juga yang tercela.

Akhlak yang terpuji akan berdampak positif pada pelakunya begitu juga akhlak

tercela yang akan membawa dampak negatif.

Membahas dan menghilangkan sifat-sifat tercela ini bagi mahasiswa

maupun di kalangan masyarakat umum sangatlah penting, karena dengan kita

mengetahui sifat-sifat ini kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal

tersebut. Ini termasuk usaha tahliyyah mengosongkan/membersihkan diri dan jiwa

lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat terpuji. Sifat tercela ini adalah

terjemahan dari pada bahasa arab “sifahul mazmumah”, artinya sifat-sifat yang

tidak baik yang tidak membawa seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan

atau akibat-akibat yang membinasakan.

Imam Ghazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sifat-sifat muhkilat,

yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan,

sifat-sifat yang tercela ini beliau sebut juga sebagai suatu kehinaan. Pada dasarnya

sifat-sifat yang tercela dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu maksiat lahir dan

maksiat batin.

Maksiat lahir adalah segala sifat yang tercela yang dikerjakan oleh

anggota lahir seperti mulut, tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan maksiat batin

adalah segala sifat yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.1

Agama Islam mengajarkan hal-hal yang baik dalam segala aspek

kehidupan manusia, Islam adalah ajaran yang benar untuk memperbaiki manusia

dalam membentuk akhlaknya demi mencapai kehidupan yang mulia baik di dunia

maupun di akhirat.

BAB II

1Asmaran AS, Pengantar Study Ahlaq, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 183

1

Page 2: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akhlak Buruk/Akhlak Tercela

Akhlak Madzmumah adalah perbuatan yang tercela yang dapat merugikan

dirinya sendiri dan orang lain, atau perangai yang tercermin dari tutur kata,

tingkah laku dan sikap yang tidak baik. Akhlak yang tidak baik, itu bisa

dibaca/dilihat dari gerak-gerik yang tidak baik, tidak baik dan ujung-ujungnya

merugikan orang lain. Tiang dari akhlak tercela itu adalah ”Nafsu Jahat”.

Dengan demikian, akhlak (perilaku) tercela adalah semua sikap dan

perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik

bagi pelakunya ataupun orang lain.

Adapun macam-macam akhlak yang buruk atau tercela yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

1. Buruk Sangka (Suuzhan)

Buruk sangka adalah merupakan suatu perbuatan yang timbulnya dari

lidah, tidak ada buruk sangka terhadap seseorang, jika lidah tidak

bicara/mengata-ngatai.

Sesungguhnya prasangka buruk terhadap seorang muslim disertai

fakta yang benar merupakan kendaraan melalui jalan yang kasar dan aib, serta

dapat menjadi wabah kemadlaratan bagi masyarakat Islam. Prasangka buruk

bukanlah suatu dosa bila hanya bisikan hati sesaat dalam jiwa manusia.2

Prasangka dihasilkan dari perbuatan dan perkataan seseorang atau

gerak gerik orang yang mendapat tuduhan tertentu dari orang lain. Biasanya

prasangka timbul bila seseorang berada dalam situasi yang sulit. Secara

psikologis prasangka dapat melahirkan kecenderungan hati untuk menuduh

orang lain yang menganggap jelek diri kita. Oleh karena itu Nabi bersabda :

2Al-Ghazali, Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 21.

2

Page 3: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

الله رسول اّن عنه، الله رضي ابىهريرة حديث

: ِإ�ّن� �َف َو�الَّظ�َّن� �ي�اُك#ْم! ا قال َوسلْم عليه صلىالله

} البخارى } رَواه د�ي!ث� �ال!َح ا�ُك!َذ�ُب# الَّظ�َّن�“Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : hendaklah kamu menjauhkan dari sangkaan”, karena sesungguhnya sangkaan itu omongan yang paling berdusta”. (HR. Bukhari).3

Sering kita melihat orang yang menuduh orang lain jelek, dan

berusaha untuk mengintai orang lain tanpa hak, setelah meneliti dan

menemukan suatu kesimpulan dia berghibah (membicarakan kejelekan)

terhadap saudaranya yang muslim. Orang yang berbuat seperti itu sama saja

dengan melakukan tiga dosa, yaitu dosa karena berprasangka, dosa dari

menyelidiki kejelekan orang lain, dan dosa dari membicarakan kejelekan

orang lain. Begitulah prasangka jelek itu akan menarik manusia berbuat dosa

lebih banyak. Oleh karena itu Allah SWT melarang attjassus “mengintip-

intip” dan ghibah. Setelah melarang suudzan “buruk sangka” sebagai

peringatan terhadap orang Islam agar tidak menempatkan diri pada posisi

yang menjurus kepada suudzan terhadap orang muslim yang adil dan terjaga

dari perbuatan dosa.4

Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis

ghibah yang diperbolehkan yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan

yang benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Ada enam

jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu:5

a. Orang yang terdzolimi mengadukan kedzoliman yang dilakukan orang

lain kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan

3Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Imani, 1999), hlm. 190

4Hasan Ayyub, Etika Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1994), hlm. 124 5http://www.google.co.id/search?q=abu+huroiroh+tentang+ghibah+dan+buhtan&ie=utf-

8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-GB:official&client=firefox-a, diakses tanggal 2o Oktober 2012 jam 13.30

3

Page 4: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan

mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku” atau “Dia telah berbuat

demikian kepadaku.”

b. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan

mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang

diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah

dia!”

c. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa) dengan mengatakan: ”Si

Fulan telah mendzolimi diriku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang

harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan

buruknya kepadaku?”

Atau ungkapan semisalnya, Hal ini diperbolehkan karena ada

kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan

dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah berbuat demikian

kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzolim kepada istrinya” atau

“Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya. Meskipun demkian

menyebut nama seseorang tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun

ketika beliau mengadukan (suaminya) kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya

Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”

a. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya

memperingatkan kaum muslimin dari perawi-perawi cacat supaya tidak

diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para

penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka

diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib

demi menjaga kemurnian syari’at.

b. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara

terang-terangan, seperti menggunjing orang yang suka minum minuman

keras, dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya

dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.

4

Page 5: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

c. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah masyhur

dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si

buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama

tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan

untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik

jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan. (Syarhun

Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).

2. Takabur dan Tahasud

عَّن عنه الله رضي مسعود بَّن عبدالله َوعَّن

: �ن�َة �ال!َج ُل# َال�ي�د!ُخ# قال َوسلْم عليه صلىالله النبي

{ رَواه ُك�ب!ر9 م�َّن! ة9 َذ�ر� �ال �ْث!َق م� ل!ب�ه� �َفىَق ُكاّن مَّن

مسلْم{“Dari Abdillah ibn Mas’ud r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda : tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong, walaupun hanya sebesar atom”. (HR. Muslim).6

Takabur artinya : sombong, congkak atau merasa dirinya lebih tinggi

dari orang lain, baik kedudukan, keturunan, kebagusan, petunjuk, dan lain-

lain.

Takabur itu terbagi atas 2 macam yaitu:

d. Takabur batin : yang merupakan pekerti di dalam hati

e. Takabur lahir : yang merupakan kelakuan-kelakuan yang keluar dari

anggota badan, kelakuan-kelakuan ini amat banyak sekali bentuknya dan

oleh karena itu sukar untuk dihitung dan diperinci satu persatu.

Jelasnya ialah orang yang menghinakan saudaranya sesama muslim

melihatnya dengan mata ejekan, menganggap bahwa dirinya lebih baik dari

yang lain, suka menolak kebenaran, sedangkan ia telah mengetahui bahwa

itulah yang sesungguhnya benar, maka jelaslah bahwa orang tersebut

6Imam Nawawi, Op.cit., hlm. 576

5

Page 6: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

dihinggapi penyakit kesombongan dan mengabaikan hak-hak Allah, tidak

mentaati apa yang diperintahkan olehnya serta melawan benar-benar pada zat

yang maha kuasa.

Takabur itu hukumnya haram, kecuali pada 2 tempat:7

a. Sombong terhadap orang yang sombong

b. Sombong diwaktu peperangan terhadap orang-orang kafir.

Tahasud

: رسول قال قال عنه الله رضي هريرة ابى عَّن

: ِإ�ّن� �َف �د �س �ال!َح �َو �ي�اُك#ْم! ا َوسلْم عليه صلىالله الله

�َط�َب �ال!َح الن�ار# ُك#ُل# اَت�اْء! �ُك�َم ن�اِت� �س �الَح ُكُل ياْء �د �س � ال!َح

} ابودَود} اُخرجه

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasul bersabda takutlah kamu terhadap akibat hasud, sebab hasud itu dapat memakan (menghilangkan) semua kebaikan, seperti makannya api terhadap kayu bakar.8

Hasud adalah al-munafasah “bersaing”. Perbuatan hasud ini tidak

terjadi kecuali karena suatu nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang,

barang siapa yang membenci nikmat dan menginginkan hilangnya nikmat dari

saudaranya Muslim maka orang itu termasuk orang yang hasud. Oleh karena

itu definisi hasud adalah membenci nikmat yang diberikan Allah kepada

orang lain dan menginginkan hilangnya nikmat itu, sekalipun dengan cara

memberi kuasa kepada orang lain untuk menghilangkan nikmat itu.9

3. Membuka aib orang lain

الله رسول اّن عنه الله رضي هريرة ابى َوعَّن

الله# : قالوا ال!ِغ�ي!ب�َة#؟ �م �َو!ّن �َت�د!ر# ا قال َوسلْم عليه صلىالله

: ��ي!َت ا �ر �ا�َف �ال �ق ه# �اي�ْك!ر �ب�َم �اَك �ا�ُخ �َك َذ�ُك!ر# قال اعلْم# ل#ه# و! س# � َو�ر

7Anwar Mas’ari, Ahlaq al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 210 8Bulughul Maram, hlm. 761 9Hasan Ayyub, Op.cit., hlm. 113

6

Page 7: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

: و!ل# اَت�َق# �م ي!ه� َف� �ُك�اّن ا�ّن! �ال �ق ، و!ل# اا�ق# �م ىا�ُخ�ى َف� �ُك�اّن � ا�ّن

{ . رَواه َّت�ه# �ب�ه د! �َق �َف و!ل# اَت�َق# �م ي!ه� َف� ي�ْك#َّن! ل�ْم! ا�ّن! �َو د�اْغ!َّت�ب!َّت�ه#، �َق � َف

مسلْم{

Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bertanya : “Tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu? Para sahabat berkata: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui, beliau bersabda : “Yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya. Ada seorang sahabat bertanya : bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu itu maka berarti kamu telah menggunjingnya tidak terjadi pada saudaramu, maka kamu benar-benar membohongkannya” (Riwayat Muslim).10

Ghibah/menggunjing adalah merupakan suatu perbuatan tercela yang

timbulnya dari lidah. Ghibah dengan buruk sangka adalah suatu perbuatan

yang hampir-hampir sama, hanya ada perbedaannya sedikit.

Ghibah (menggunjing) membicarakan kejelekan orang dibelakang

orangnya.

Buruk sangka suatu anggapan tentang orang lain yang boleh jadi

benar/salah dengan berdasarkan data-data yang jauh sekali dari kebenaran.

Buruk sangka terhadap seseorang sangatlah dicela oleh Islam. Sebab hal ini

bisa mengakibatkan pertumpahan darah, karena itu Islam menyuruh menjauhi

sifat tersebut.

Buruk sangka dikatakan perkataan dusta karena dua hal : benarnya

belum tentu, sedang salah lebih besar dan pasti. Seperti halnya Ghibah,

keduanya mencemarkan kehormatan seseorang yang ditimpa buruk sangka.

Humazah yakni mengumpat orang yang menusuk perasaan

seseorang, melukai hati dan memburuk-burukkan orang lain.

Lumazah penggunjing yang suka daging sesama manusia

disebabkan gemar mengumpat.11

10Imam Nawawi, Op.cit., hlm 393 11Al-Ghazali, Op.cit., hlm. 64

7

Page 8: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

4. Boros

الله رضي دMه� �ج عَّن �ب�ي!ه� ا عَّن ع�ي!َب9 ُش# َوبَّن ع�َم!ر� َوعَّن

: ُك#ُل! َوسلْم عليه صلىالله الله رسول قال قال عنهْم

. ي!ل�َة9 َح� �م �َو�َال ٍف9 �ر �س ْغ�ي!ر� َف�ى د�ْق! �َت�َص �َو ال!ب�ْس! �َو ُب! �ر َو�اُش!

} ارّي} �ل�ل!ب#خ ه# �َوعل�َق َواحَمد، ابودَود اُخرجه

Dari Amr Putra Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : bersabda Rasulullah SAW, makan, minum, dan berpakaianlah serta bersedekahanlah dengan tidak lebih berlebihan dan bukan tujuan sombong”. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad). Imam Bukhari menyatakan ta’liqnya.12

Pada hakikat sesungguhnya harta benda itu adalah merupakan nikmat

yang besar dari Allah SWT. Karena itu berlaku boros dan berroyal dengan

harta itu hukumnya haram sebab ada nash yang mencegah hal itu. Demikian

juga dihukumi dengan haram kikir membelanjakan harta benda; sebaik-baik

penggunaan harta yaitu secara pertengahan dan sedang-sedang, tidak berlebih-

lebihan dan berlaku kikir.

Boros/royal terhadap benda yaitu penggunaan harta benda secara

berlebihan tanpa ada manfaatnya baik untuk kepentingan duniawi maupun

kepentingan ukhrawi, sehingga kemanfaatan harta itu menjadi sia-sia dan

tidak memberikan manfaat, misalnya membuang harta ke dalam lautan /

membakarnya ke dalam api, tidak memetik buah-buahan yang telah masak di

pohon sehingga ia menjadi busuk / rusak dan tidak bisa diambil

kemanfaatannya.13

12Bulughul Maram, hal. 13Anwar Mas’ary, Op.cit., hlm. 228

8

Page 9: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

B. Faktor-faktor Penyebab Buruknya Akhlak

Akhlak, memiliki sebab-sebab yang dapat menjadikannya tinggi dan

mulia, dan sebaliknya juga mempunyai sebab-sebab yang dapat menjadikannya

merosot dan jatuh ke dalam keterpurukan., di antaranya yaitu :

1. Lemah Iman

Lemahnya iman merupakan petanda dari kerendahan dan rusaknya

moral, ini disebabkan kerana iman merupakan kekuatan (untuk membina

akhlak) dalam kehidupan seseorang.

Iman seseorang merupakan pedoman dan pegangan yang terbaik bagi

manusia dalam rangka mengarungi hidup dan kehidupan ini. Iman menjadi

sumber pendidikan paling luhur, mendidik akhlak karakter dapat mengatur

keseimbangan yang harmonis tersebut manusia dapat mengatur keseimbangan

yang harmonis antara rohani dan jasmani. Iman yang baik akan dpat

menimbulkan/membuahkan akhlak yang baik.14

Banyak juga orang berpendapat bahwa suasana keagamaan tergantung

pada ruang dan waktunya, artinya iman itu bisa bertambah dan berkurang

dalam menghadapi ujian dan godaan, dia tetap menjadi pedoman hidup yang

sekali-sekali tidak boleh ditinggalkan dalam ajaran Islam yaitu yang dikenal

dengan adanya Rukun Islam. Dengan adanya Rukun Islam tersebut, serta

meyakini terhadap apa-apa yang terkandung dalam Rukun Islam itu sendiri.

Dengan kata lain bahwa kita percaya kepada yang terkandung di dalamnya.

Semuanya ini akan membuahkan akhlak bagi seseorang jika ia benar-benar

mempercayainya dengan sepenuh hatinya, dan tidak ada lagi keraguan

padanya maka iman itu otomatis akan membuahkan akhlak yang terpuji,

dengan sabat dan syukur.15

2. Tabiat/ watak asli14Rusydi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal Dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1986), hlm. 62. 15Ibid.,

9

Page 10: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

Ada sebagian orang yang memang memiliki tabi'at/watak asli yang

buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Tabi'at ini lebih

mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang

diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.

Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan

oleh naluri (instink). Naluri merupakan tabiat yang di bawa manusia sejak

lahir. Jadi merupakan suatu pembawaan asli. Dalam bahasa Arab disebut

“garizah” atau fitrah” dan dalam bahasa Inggris disebut instink.16

Pada dasarnya manusia memiliki tiga dorongan nafsu pokok yang

dalam hal ini disebut juga naluri yaitu:17

a. Dorongan nafsu (naluri) mempertahankan diri.

b. Dorongan nafsu (naluri) mengembangkan diri.

c. Doronan nafsu (naluri)

mengembangkan/mempertahankan jenis.

Dengan dimilikinya ketiga naluri pokok itu, maka kebiasaan-kebiasaan

ataupun tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia yang diperbuatnya

sehari-hari mendapat dorongan atau digerakkan oleh ketiga naluri tersebut,

oleh karena itu, menurut teori ini, untuk memotivasi seseorang harus

berdasarkan naluri mana yang akan dituju dan akan dikembangkan.

3. Lingkungan

Lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat bagi perilaku

seseorang, karena seperti dikatakan pepatah bahwa seseorang adalah anak

lingkungannya. Kalau dia hidup dan terdidik dalam lingkungan yang tidak

mengenal makna adab dan akhlak serta tidak tahu tujuan hidup yang mulia,

maka akhlaknya akan rusak sebagai mana hasil didikan lingkungannya.

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu bersama manusia lain dan

selalu membutuhkan oang lain dan tingkah lakunya selalu berhubungan 16Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoroe, 1983), hlm 57-58.17M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.

75.

10

Page 11: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

dengan orang lain, dan manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya (orang

lain). Adapun faktor yang berhubungan antara manusia dengan manusia

lainnya ini disebut dengan lingkungan sosial. Hubungan tersebut dapat

berbentuk hubungan antara individu dengan individu lain.

Hubungan juga dapat berlangsung dalam situasi kekeluargaan di

rumah, situasi di sekolah, lingkungan masyarakat dan lain-lain.

Perkembangan dan perilaku individu dipengaruhi oleh lingkungan

ekonomi yaitu lingkungan yang berkenaan dengan cara manusia mengatur dan

memenuhi kebutuhan hidupnya terutama kebutuhan sandang, papan dan

pangan, serta kebutuhan yang lain.18

Dengan demikian baik usaha ataupun perbuatan manusia, lingkungan

akan sangat berpengaruh sekali. Seperti halnya dengan orang-orang yang

tinggal di lingkungan yang tidak baik, sedikit banyaknya akan terpengaruh

baik itu terhadap lingkungan maupun masyarakat di sekitarnya. Begitu juga

halnya dengan cara pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, seperti orang

yang tinggal di daerah yang cuacanya baik untuk tanaman-tanaman sayur-

sayuran, maka profesinya juga akan disesuaikan dengan iklim di daerah

tersebut.

C. Dampak Akhlak Buruk

Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu

seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:19

1. Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di

dalam hati, dan maksiat mematikan itu.

2. Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang

hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."

18Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 97 – 98.

19www.dakwatuna.com

11

Page 12: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

3. Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada

terasa kelezatan.

4. Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti

perasaan di kegelapan malam.

5. Terhalangnya ketaatan.

6. Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.

7. Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum

kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan

kebaikan lagi.

8. Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia

merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.

9. Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan

dan kejayaan.

10. Maksiat merusak akal, sedang kebaikan membangun akal.

D. Upaya Menanggulangi Akhlak yang Buruk

Dalam rangka menciptakan akhlak yang baik haruslah disertai dengan

iman dan ilmu karena ini adalah merupakan dasar dalam pembentukan akhlak

yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang menyebutkan bahwa

sebaik-baiknya, pembantu iman adalah ilmu. Maksudnya adalah ketika seseorang

berhasrat meneguhkan imannya maka jalannya adalah ilmu. Bahkan dengan sebab

ilmu pulalah sebenarnya seseorang dapat menemukan Tuhannya. Singkatnya,

ilmu merupakan modalitas utama menggapai keimanan yang sempurna atau

haqqul yakin. Karena tidak akan tercipta keyakinan dalam iman jika tidak disertai

ilmu.20

Suara hati berperan untuk memperingatkan manusia dari perbuatan buruk

dan berusaha mencegahnya. Jika seseorang terjerumus melakukan keburukan,

hatinya merasa tidak senang/menyesal dan ia memberikan isyarat untuk

20Yani http//aula hikmah wordpress.com/2007/12/16/rantai iman-ilmu-akal lemah lembut.

12

Page 13: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

mencegah dari keburukan yang merupakan kekuatan yang mendorong manusia

melakukan perbuatan yang baik. Jika seseorang berhasil melaksanakan yang baik

dari panggilan hatinya, maka merasa gembira dan puaslah karena dia merasa

menemukan kemuliaan. Ahli etika berpendapat bahwa suara hati itu sering

mengingatkan manusia dari kehidupan yang membahayakan dirinya.

Maka hubungan antara akhlak dengan ilmu sangat erat, hal tersebut

disebabkan mempunyai titik pangkal yang sama yaitu hati nurani. Jadi keduanya

merupakan gambaran jiwa sanubari yang bersifat kejiwaan.

Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, yang mana aspek tersebut

memiliki kebutuhannya masing-masing. Pada aspek rohani (spiritual) ada banyak

faktor yang berpengaruh dalam pembentukan akhlak, seperti suara hati, perasaan,

instink, ‘azam dan iradah. Menmurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu

dibentuk, karena akhlak adalah instink yang dibawa manusia sejak lahir. Akan

tetapi ada juga yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan,

latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang

mendukung pendapat yang ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang

cenderung pada akhlak. Seperti ibnu Sina, al-Ghazali yang termasuk mengatakan

bahwa akhlak adalah hasil usaha.21

Pada kenyataannya di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui

berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus

dikembangkan. Ini menunjukkkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan

pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi

muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada

orangtua, dan sayang kepada sesama makhluk. Karena itu jugalah adanya

pengaruh aneka spiritual dalam pembentukan akhlak.

Akhlak merupakan perilaku yang tampak terlihat dengan jelas, baik dalam

kata-kata maupun perbuatan yang dimotivasi oleh dorongan karena Allah. Namun

demikian, banyak pula aspek yang berkaitan dengan sifat batin ataupun pikiran

21Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 156-158.

13

Page 14: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

seperti akhlak diniyah yang berkaitan dengan berbagai aspek yaitu pola perilaku

kepada Allah, sesama manusia, dan pola perilaku kepada alam.22

Seperti melaksanakan ibadah, seperti puasa, kalau salah satu dari kondisi

spiritual itu tidak ada, maka ibadah puasa tersebut tidak akan terlaksana,

meskipun terlaksana tapi akan terasa tidak sempurna, tapi kalau kondisi spiritual

itu menyatu maka ibadah puasa tersebut akan terlaksana dengan baik dan

sempurna.

Jika spiritualnya seseorang itu baik, maka ia menjadi orang yang paling

cerdas dalam kehidupannya. Untuk itu yang terbaik bagi kita adalah memperbaiki

hubungan kita kepada Allah, yaitu menguatkan sandaran vertikal kita dengan cara

memperbesar taqwa dan menyempurnakan tawakkal serta memurnikan

pengabdian kepada-Nya.

Dalam pengendalian ini peran akal dan ketenangan batin termasuk hal

yang paling utama. Ada beberapa hal yang Insya Allah bermanfaat untuk

mengendalikan emosi diri seseorang, yaitu:23

1. Bersikap tenang.

Orang yang bisa mengendalikan emosi dalam jiwanya adalah orang

yang bersikap tenang. Karena orang yang tidak tenang tidak mempunyai

pikiran yang jernih. Hanya dengan sikap tenanglah seseorang akan bisa

mencari jalan ke luar dari berbagai macam permasalahan.

2. Berpikir sebelum bertindak.

Kita harus berpikir terlebih dahulu terhadap apa yang akan kita

kerjakan itu mendatangkan akibat yang baik, maka kerjakanlah dengan

sungguh-sungguh dan maka tidak tinggalkan jauh-jauh.

3. Memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diri

sendiri.

22Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, (Banda Aceh: Pena, 2005), hlm. 56. 23Danah Zohar, SC Spiritual Capital, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), hlm. 118-20.

14

Page 15: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

Salah satu tanda orang yang memiliki tingkat emosi yang baik apabila

ia bisa memperlakukan orang lain sebagaimana ia memperlakukan dirinya

sendiri. Karena yang diinginkan seseorang adalah agar dirinyadiperlakukan

dengan baik.

4. Sabar.

Sabar adalah menerima apa yang datangnya dari Allah apa adanya,

yaitu tidak berlebihan dan tidak dikuranginya. Dalam artian ketika kita

diperintahkan dengan suatu perintah, maka kita harus melaksanakannya

dengan ikhlas, dan kita dilarang dengan suatu larangan maka kita tidak

melanggar apa yang dilarang-Nya dengan ikhlas. Begitu juga apabila kita diuji

dengan sesuatu ujian, maka kita harus menerimanya dengan ikhlas.

5. Menundukkan hawa nafsu.

Sesungguhnya nafsu yang ada dalam diri kita/manusia ketika belum

tunduk kepada kebenaran maka ia akan mendorong manusia berbuat jahat.

Adapun hal yang bisa menundukkan hawa nafsu, yaitu:

a. Berpegang teguh pada kebenaran.

b. Mendirikan shalat.

c. Puasa.

15

Page 16: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

BAB III

KESIMPULAN

Akhlak tercela dalam Islam sangat membahayakan dalam pergaulan

sehari-hari. Jadi sia-sialah segala amal kebaikan apabila penyakit hati berada

dalam hati kita dan akan mengganggu pula ketenangan jiwa kita. Oleh sebab itu

apabila penyakit hati sudah mulai bersarang dan berkembang di dalam hati

segeralah diobati dengan jalan zuhud (tidak tertarik dan mementingkan kepada

keduniawian).

Manusia yang mulia bukanlah yang banyak harta bendanya, tinggi

kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan bangsawan, akan tetapi yang

terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah swt. maupun akhlak terhadap

sesama manusia.

Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih

adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah SWT. Dengan

sinar itu, hati akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana

akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji dan mana perbuatan yang tercela.

Maka dari itu kita harus selalu berdoa kepada Allah SWT agar hati kita selalu

mendapatkan cahaya dari-Nya.

16

Page 17: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Ghazali. Bahaya Lidah, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

AS, Asmaran. Pengantar Study Ahlaq, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Ayyub, Hasan. Etika Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1994.

Basyir, Damanhuri. Ilmu Tasawuf, Banda Aceh: Pena, 2005.

Bulughul Maram.

Hamka, Rusydi. Etos Iman, Ilmu dan Amal Dalam Gerakan Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.

http://www.google.co.id/search?q=abu+huroiroh+tentang+ghibah+dan+buhtan&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-GB:official&client=firefox-a, diakses tanggal 2o Oktober 2012 jam 13.30

Mas’ari, Anwar. Ahlaq al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.

Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Imani, 1999.

Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

www.dakwatuna.com

Ya’qub, Hamzah. Etika Islam, Bandung: Diponegoroe, 1983.

Yani http//aula hikmah wordpress.com/2007/12/16/rantai iman-ilmu-akal lemah lembut.

17

Page 18: Akhlak Buruk (Akhlak Tercela)

Zohar, Danah. SC Spiritual Capital, Bandung: Mizan Media Utama, 2005.

18