Upload
truongdiep
View
239
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI
BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA
PENGGEMUKAN SAPI POTONG
(Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan
Cileungsi, Kabupaten Bogor)
OLEH
NHIMAS ANTYAN BANUMASTYA
H14070083
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2011
Nhimas Antyan Banumastya
H14070083
ANALISIS DAMPAK PEMBATASAN VOLUME IMPOR SAPI
BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA
PENGGEMUKAN SAPI POTONG
(Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan
Cileungsi, Kabupaten Bogor)
Oleh
NHIMAS ANTYAN BANUMASTYA
H14070083
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi : Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan
terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong
(Studi Kasus : PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan
Cileungsi, Kabupaten Bogor)
Nama : Nhimas Antyan Banumastya
NRP : H14070083
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Arief Daryanto M.Ec
NIP. 19610618 198609 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena
atas berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Dampak Pembatasan Volume
Impor Sapi Bakalan terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong
(Studi Kasus : PT. Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan Cileungsi,
Kabupaten Bogor)”. Peternakan merupakan topik yang sangat menarik karena
sektor peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam pemenuhan
kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan topik ini, khususnya untuk usaha penggemukan sapi potong di
wilayah Kabupaten Bogor. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:
1. Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam
proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Tanti Novianti, M.Si sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi
yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini.
3. Lukytawati Anggraeni, Ph.D sebagai dosen penguji dari komisi
pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara
penulisan skripsi yang baik.
4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu
Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada
penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
5. Kedua Orangtua tercinta (Alm.) Bapak Bambang Nugroho, SH. dan Ibu
Emma Setyowati, kakak Dhimas Annang Banumasetya serta segenap
keluarga besar, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi,
dukungan baik moril maupun material serta doa bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Pak Heri, Pak Giyono, Pak Marlan dan seluruh Staf PT.Widodo Makmur
Perkasa yang telah memberikan izin bagi penulis dan bersedia menjadi
tempat penelitian dalam skripsi ini.
7. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian RI, Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Jhony Liano (APFINDO),
Bapak Saptana (PSEKP), Anggun, dan Mbak Andin yang telah membantu
penulis memperoleh data dan memberikan pengetahuan dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Fifi, Ika, dan khususnya
Nyenyo atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.
9. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Opie, Aii, Amboii, Ayie, Ranin,
Inggy, Ajeng, Achuy, Michelle dan lainnya yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, serta Riandy Laksono atas sharing, motivasi, dukungan, dan
doanya untuk penulis selama ini.
10. Hipotesa, INTEL 2009 dan CER 2010 atas semangat dan kebersamaannya
yang luar biasa.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini
namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Nhimas Antyan Banumastya
H14070083
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nhimas Antyan Banumastya, lahir pada tanggal 29 Juli
1989 di Pontianak. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari
pasangan (Alm.) Bambang Nugroho,SH. dan Emma Setyowati. Penulis
mengawali pendidikannya pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 di SD
Rimba Putra Bogor. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat
pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 4 Bogor. Setelah itu,
penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 5 Bogor dan
lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai
mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu
Ekonomi dan mengambil Supporting Course pada beberapa mata kuliah tertentu.
Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung
dengan UKM MAX!! (Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Expression)
sebagai Vice Manager General Affair, HIPOTESA (Himpunan Profesi dan
Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai Ketua Divisi pada Divisi
Kerjasama dan Hubungan Eksternal dan organisasi IMEPI (Ikatan Mahasiswa
Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai Kepala Bidang POSDAM
(Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia) IMEPI Wilayah Jawa
Bagian Barat. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan
seperti AlfaMAX!! 2008, Hipotex-R 2008 dan 2009, Masa Pengenalan Fakultas
dan Departemen (MPF/D) 2009, FEMily Day 2009, Latihan Kepemimpinan dan
Organisasi (LKO) IMEPI Jabagbar 2010, dan kegiatan kepanitiaan lainnya.
Penulis juga aktif menjadi pengisi acara sebagai Master of Ceremony dan penyayi
solo pada beberapa acara internal kampus. Tahun 2011 penulis melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Dampak Pembatasan Volume Impor Sapi
Bakalan terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus :
PT.Widodo Makmur Perkasa, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)” untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah........................................................................... 9
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................... 14
1.4. Manfaat Penelitian............................................................................. 15
1.5. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................. 16
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN................... 17
2.1. Sejarah Sapi Potong........................................................................... 17
2.2. Jenis Sapi........................................................................................... 18
2.2.1. Jenis Sapi Lokal....................................................................... 18
2.2.2. Jenis Sapi Bukan Lokal........................................................... 19
2.3. Sapi Bakalan...................................................................................... 20
2.4. Usaha Penggemukan Sapi Potong..................................................... 20
2.5. Teori Perdagangan Internasional....................................................... 22
2.6. Teori Daya Saing............................................................................... 23
2.7. Teori Keunggulan Komparatif.......................................................... 24
2.8. Teori Keunggulan Kompetitif........................................................... 26
2.9. Teori Kebijakan Pemerintah.............................................................. 27
2.9.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output.............................. 27
2.9.1.1. Tipe Instrumen................................................................... 28
2.9.1.2. Kelompok Penerima........................................................... 31
2.9.1.3. Tipe Komoditas.................................................................. 32
ii
2.9.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input................................ 32
2.9.2.1. Kebijakan Input Tradable.................................................. 32
2.9.2.2. Kebijakan Input Non-tradable........................................... 34
2.10. Teori Matriks Kebijakan.................................................................... 35
2.11. Penelitian Terdahulu.......................................................................... 37
2.11.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Sektor Peternakan Sapi...... 37
2.11.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Daya Saing
dan Policy Analysis Matrix (PAM)...................................... 39
2.12. Kerangka Pemikiran........................................................................... 40
III. METODE PENELITIAN........................................................................... 44
3.1. Jenis dan Sumber Data...................................................................... 44
3.2. Metode Analisis ............................................................................... 45
3.3. Policy Analysis Matrix (PAM)......................................................... 45
3.3.1. Analisis Keuntungan .............................................................. 48
3.3.2. Analisis Efisiensi..................................................................... 49
3.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah............................................... 50
3.3.3.1. Kebijakan Output................................................................ 50
3.3.3.2. Kebijakan Input.................................................................. 51
3.3.3.3. Kebijakan Input-Output...................................................... 52
3.4. Penentuan Harga Bayangan............................................................... 54
3.4.1. Penentuan Harga Bayangan Input........................................... 55
3.4.2. Penentuan Harga Bayangan Output........................................ 57
3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar................................. 58
IV. GAMBARAN UMUM.............................................................................. 59
4.1. Sejarah Perusahaan............................................................................ 59
4.2 Letak Geografis Perusahaan.............................................................. 60
4.3. Jalur Tataniaga Perusahaan............................................................... 61
4.4. Manajemen Perusahaan..................................................................... 62
4.4.1. Manajemen Organisasi............................................................ 62
4.4.2. Manajemen Tenaga Kerja....................................................... 62
4.4.3. Manajemen Pemasaran............................................................ 63
iii
4.5. Struktur Organisasi........................................................................... 63
4.6. Kegiatan Perusahaan......................................................................... 65
4.6.1. Pemberian Pakan..................................................................... 65
4.6.2. Pemberian Air Minum............................................................. 65
4.6.3. Penimbangan Sapi................................................................... 66
4.6.4. Perbersihan Feses.................................................................... 66
4.7. Pemasaran Perusahan........................................................................ 67
4.8. Keragaan Sapi Bakalan yang Digunakan.......................................... 68
V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 70
5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan.................................... 70
5.2. Perbandingan Indikator PAM Usaha
Penggemukan Sapi Potong PT.Widodo Makmur Perkasa
untuk Sapi betina dan Sapi jantan..................................................... 74
5.2.1. Analisis Daya Saing................................................................ 75
5.2.2. Analisis Kebijakan Pemerintah................................................ 78
5.2.2.1. Kebijakan Output................................................................ 78
5.2.2.2. Kebijakan Input.................................................................. 78
5.2.2.3. Kebijakan Input-Output...................................................... 80
5.3. Analisis Sensitivitas............................................................................. 82
5.3.1. Kebijakan Pembatasan Volume Impor
Sapi Bakalan diperketat dengan Penurunan
Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen…................... 83
5.3.2. Kebijakan Pembatasan Volume Impor
Sapi Bakalan diperlonggar dengan Peningkatan
Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen…................... 85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 88
6.1. Kesimpulan........................................................................................ 88
6.2. Saran.................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 91
LAMPIRAN......................................................................................................... 94
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk Indonesia
Menurut Kelompok Makanan tahun 2005-2009
(gram/kaptita/hari)…................................................................................. 2
1.2. Produksi Daging di Indonesia Periode
2005-2010 (000 ton) …............................................................................ 3
1.3. Populasi Ternak (000 ekor) 2005-2009…................................................ 3
1.4. Perkembangan Produksi Daging Impor
di Jawa Barat (Ton) 2004-2009…............................................................ 7
1.5. Usaha Penggemukan Sapi Potong Kabupaten Bogor…........................... 13
2.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas….............................................. 28
2.2. Tabel Analisis Matriks Kebijakan…........................................................ 37
3.1. Tabel Analisis Matriks Kebijakan…........................................................ 48
4.1. Permintaan Sapi di Beberapa Rumah Potong Hewan….......................... 68
5.1. Policy Analysis Matrix (PAM)
Usaha Penggemukan Sapi Potong
PT.Widodo Makmur Perkasa Tahun 2010…........................................... 72
5.2. Perbandingan Indikator-Indikator PAM
pada Usaha Panggemukan Sapi Potong
PT.Widodo Makmur Perkasa untuk
Sapi betina dan Sapi jantan tahun 2010…................................................ 75
5.3. Perubahan Indikator Daya Saing
dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Usaha Penggemukan Sapi Potong pada Analisis Sensitivitas….............. 83
5.4. Tabulasi PAM dengan Penurunan
Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen….................................... 84
5.5. Tabulasi PAM dengan Peningkatan
Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen….................................... 86
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Perkembangan Volume Impor Daging Sapi
tahun 2004-2010…................................................................................... 4
1.2. Produksi Daging Sapi Provinsi Jawa Barat
Tahun 2004-2009…................................................................................. 5
1.3. Realisasi Impor Sapi Bakalan tahun 2005-2010….................................. 11
2.1 Pajak dan Subsidi pada Input Tradable…................................................ 32
2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable…......................................... 34
2.3. Kerangka Pemikiran….............................................................................. 44
4.1. Peta Potensi Wilayah Pengembangan
Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bogor…............................................. 61
4.2. Jalur Tataniaga PT.Widodo Makmur Perkasa…...................................... 62
4.3. Struktur Organisasi PT.Widodo Makmur Perkasa…............................... 64
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Alokasi Komponen Domestik-Asing….................................................... 95
2. Penentuan Harga Bayangan Sapi Bakalan…........................................... 96
3. Penentuan Harga Bayangan Sapi….......................................................... 96
4. Penentuan Harga Bayangan Pakan Konsentrat….................................... 97
5. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar…............................................... 98
6. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi
untuk Sapi betina…................................................................................... 99
7. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi
untuk Sapi jantan…................................................................................... 100
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki sumber daya alam
yang sangat melimpah terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian
mempunyai peran penting yaitu sebagai sektor yang dapat diandalkan untuk
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sektor peternakan merupakan bagian
integral dari sektor pertanian yang menjadi sektor utama penyedia pangan hewani
di Indonesia.
Pemahaman terhadap potensi penyediaan pangan hewani di Indonesia dan
upaya mencapai kemandirian atau swasembada memiliki tingkat urgensi yang
tinggi dan sangat strategis dalam kehidupan berbangsa. Hal ini dapat dipahami
karena daya saing suatu bangsa sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas
pangan, selanjutnya akan menentukan kualitas SDM-nya, sehingga menjadi
penentu kemajuan suatu bangsa (Daryanto, 2009).
Adanya pemahaman tersebut yang disertai dengan tingkat
pendidikan/pengetahuan masyarakat yang semakin maju, meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya asupan gizi, hal ini menyebabkan terjadinya
pergeseran pola konsumsi rumah tangga ke arah peningkatan konsumsi protein
hewani seperti daging, susu dan telur. Sapi merupakan salah satu hewan ternak
ruminansia yang memiliki peran peting dalam meningkatkan kesehatan dan
asupan gizi masyarakat. Produk hasil ternak sapi yaitu berupa susu, daging,
2
jerohan, dan berbagai produk lainnya yang mengandung protein hewani. Komoditi
daging sapi merupakan komoditi dengan konsumsi protein yang cukup tinggi.
Perubahan pola konsumsi yang menyertai peningkatan jumlah penduduk
Indonesia ini, merupakan penyebab utama terjadinya peningkatan produk
peternakan dalam negeri terutama daging sapi. Berdasarkan (Tabel 1.1) terlihat
bahwa rata-rata konsumsi protein dari daging penduduk Indonesia dalam periode
tahun 2005-2009 berada pada posisi keempat setelah beras, ikan,dan telur dan
susu. Tingkat konsumsi protein daging penduduk Indonesia rata-rata dari tahun
2005-2009 yaitu berkisar antara 2,3 – 2,4 gram/kapita/hari.
Tabel 1.1. Rata-rata Konsumsi Protein Penduduk Indonesia Menurut
Kelompok Makanan tahun 2005-2009 (gram/kapita/hari)
No. Komoditi 2005 2006 2007 2008 2009
1. Beras 23,42 23,33 22,43 22,75 22,06
2. Ikan 7,92 7,49 7,77 7,94 7,28
3. Telur dan Susu 2,56 2,51 3,23 3,05 2,96
4. Daging 2,47 1,95 2,62 2,40 2,22
5. Kacang-kacangan 5,78 5,88 6,51 5,49 5,19
6. Sayuran 2,64 2,66 3,02 3,01 2,58
7. Makanan Jadi 6,24 5,83 7,33 8,36 8,10
8. Lainnya 4,26 4,01 4,75 4,49 3.95
Jumlah 55,29 53,66 57,66 57,49 54,34
Sumber : Statistik Peternakan 2010, Direktorat Jenderal Peternakan.
Pada periode tahun 2005-2010 produksi daging sapi di Indonesia terus
mengalami peningkatan (Tabel1. 2) , namun ternyata peningkatan tersebut belum
dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, sehingga besarnya
permintaan masyarakat atas daging sapi akan lebih besar daripada produksinya.
Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi yaitu sebesar 399.660 ton, atau
setara dengan 1,70-2 juta ekor sapi potong, sementara tingkat produksi hanya
395.770 ton.
3
Tabel 1.2. Produksi Daging di Indonesia periode 2005-2010 (000 ton)
Jenis Daging 2006 2007 2008 2009 2010
Sapi Potong 395.8 339.5 392.5 409.3 435.3
Kerbau 43.9 41.8 39.0 34.5 37.3
Kambing 65.0 63.6 66.0 73.8 77.6
Domba 75.2 56.9 47.0 54.3 59.2
Babi 196.0 225.9 209.8 200.1 203.7
Kuda 2.3 2.0 1.8 1.8 1.8
Ayam Buras 341.3 294.9 273.5 247.7 259.9
Ayam Ras Petelur 57.6 58.2 57.3 55.1 60.8
Ayam Ras Pedaging 861.3 942.8 1.018.7 1.101.8 1.184.4
Itik 24.5 44.1 31.0 25.8 27.9
Kelinci - - - 0.1 0.1
Burung Puyuh - - - 0.2 -
Merpati - - - 0.3 0.5
Sumber : Statistik Peternakan 2010,Direktorat Jenderal Peternakan.
Dalam perkembangan populasi ternak, jumlah populasi dari ternak sapi
potong memang terlihat terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan
ini ternyata masih tergolong rendah (Tabel 1.3). Besarnya peningkatan populasi
sapi potong yang pertumbuhannya hanya 2,33 persen per tahun, ternyata belum
mampu mengimbangi laju permintaan akan daging sapi nasional.
Tabel 1.3. Populasi Ternak (000 ekor) 2005-2009 No. Ternak 2005 2006 2007 2008 2009
1. Sapi Potong 10.569 10.875 11.515 12.257 12.760
2. Sapi Perah 361 369 374 458 475
3. Kerbau 2.128 2.167 2.086 1.931 1.933
4. Kuda 387 398 401 393 399
5. Kambing 13.409 13.790 14.470 15.147 15.815
6. Domba 8.327 8.980 9.514 9.605 10.199
7. Babi 6.801 6.218 6.711 6.338 6.975
8. Ayam Buras 278.954 291.085 272.251 243.423 249.964
9. Ayam Ras Petelur 84.790 100.202 111.489 107.955 99.768
10. Ayam Ras Pedaging 811.189 797.527 891.659 902.052 991.281
11. Itik 32.405 32.481 35.867 38.840 42.318
Sumber : Statistik Peternakan 2010,Direktorat Jenderal Peternakan.
Jumlah populasi sapi potong saat iniyang ada, secara nyata ketersediaan
dalam negeri belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus
meningkat, maka pemerintah melakukan langkah antisipasif yaitu dengan
4
melakukan impor daging sapi serta impor sapi bakalan untuk digemukkan, dimana
jumlah impor tersebut dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang
cukup signifikan (Gambar 1.1).
Sumber : Pemasaran Internasional, Direktorat Jenderal Peternakan 2011 (diolah). *)angka sementara
Gambar 1.1. Perkembangan Volume Impor Daging Sapi tahun 2004-2010
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang berada di posisi kedua
dengan tingkat produksi daging sapi terbesar setelah Jawa Timur dengan rata-rata
produksi periode tahun 2004 sampai 2009 yaitu sebesar 87.457 ton (Statistik
Peternakan 2010,Dirjen Peternakan). Sebagai provinsi dengan tingkat produksi
yang cukup besar, maka jumlah produksi tiap tahunnya akan berdampak besar
pada ketersediaan daging sapi nasional. Perkembangan produksi daging sapi di
provinsi Jawa Barat sepanjang tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat pada Gambar
1.2.
5
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
90000
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
ton
Tahun
Produksi Daging Sapi
Sumber : Statistik Peternakan 2010,Dirjen Peternakan (diolah).
Gambar 1.2. Produksi Daging Sapi Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2009 Produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat cukup berfluktuatif sepanjang
tahun 2003 (79.029 ton) hingga 2006 (77.759 ton) dan mengalami penurunan yang
cukup signifikan pada tahun 2007 (50.646 ton) dikarenakan terjadinya kasus flu
burung dan anthrax yang menyebabkan produksi daging sapi berkurang, namun
terjadi peningkatan kembali pada tahun 2008 hingga 2009 (70.662 ton). Fluktuasi
produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat disebabkan oleh keadaan sosial
maupun kondisi alam dari tiap kabupaten dan kota yang berkontribusi dalam
penyediaan daging sapi serta muculnya banyak kendala yang dialami oleh
usahaternak sapi potong di Provinsi Jawa Barat. Namun, secara agregat tingkat
produksi daging sapi di Provinsi Jawa Barat masih relatif tinggi dibanding
provinsi lainnya.
Provinsi Jawa Barat terdiri dari tujuh belas kabupaten dan sembilan kota.
Setiap kabupaten dan kota yang terdapat di Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat
produksi daging sapi yang beragam. Kabupaten Bogor merupakan salah satu
kabupaten di provinsi Jawa Barat yang memiliki tingkat produksi daging sapi
6
lokal yang cukup fluktuatif walau volume dan perkembangannya tidak cukup
besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Perkembangan produksi daging sapi
lokal di Kabupaten Bogor mencapai jumlah produksi yang cukup tinggi yaitu pada
tahun 2006 (2.889 ton) lalu kembali mengalami penurunan pada sepanjang tahun
2008 hingga 2009 (1.374 ton) (Dinas Peternakan Jawa Barat,2011) . Namun, fakta
lain yang muncul adalah perkembangan produksi daging sapi impor di Kabupaten
Bogor mengalami perkembangan yang cukup signifikan bandingkan wilayah
lainnya di provinsi Jawa Barat dengan perkembangan yang cukup signifikan
terjadi pada tahun 2007 (6.194 ton) dan pada tahun 2009 yang mencapai 7.916
ton. Perkembangan yang terjadi pada periode tahun 2008 dan 2009 menjadikan
Kabupaten Bogor menduduki posisi kedua setelah Kabupaten Bandung yang
merupakan sentra pemasok daging sapi di Jawa Barat (Tabel 1.4).
7
Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Daging Impor di Jawa Barat (Ton)
2004-2009
NO.
KABUPATEN /
KOTA DAGING SAPI IMPOR
2004 2005 2006 2007 2008 2009
KABUPATEN
1 B O G O R 2.519 1.25 4.42 6.194 6.965 7.916
2 SUKABUMI 1.078 731 658 1.565 585 627
3 CIANJUR 1.481 893 869 1.102 1.639 855
4 BANDUNG 2.545 2.076 1.591 4.148 491 -
5 GARUT 1 2 - - - -
6 TASIKMALAYA - 6 8 29 794 466
7 CIAMIS - - - - - -
8 KUNINGAN 110 37 31 97 45 -
9 CIREBON 23 - 7 - - 3.132
10 MAJALENGKA - - - - - -
11 SUMEDANG 259 207 92 12 33 125
12 INDRAMAYU - 33 - - - -
13 SUBANG 7.627 8.557 - - - -
14 PURWAKARTA 555 690 831 861 791 657
15 KARAWANG - - 136 263 58 134
16 BEKASI - 2.138 1.699 113 191 483
17 BANDUNG BARAT
- - - - - 108
KOTA
18 BOGOR 2.28 2.022 1.5 1.41 2.384 3.334
19 SUKABUMI 338 325 278 684 702 1.053
20 BANDUNG 5.62 3.983 4.804 6.752 6.752 10.232
21 CIREBON - - - - - -
22 BEKASI - - - - - 586
23 DEPOK 1.845 1.909 2.199 1.514 2.259 4.334
24 CIMAHI - - - - - -
25 TASIKMALAYA 268 888 646 1.15 1.493 2.071
26 BANJAR - - - - - 778
JAWA BARAT 26.55 25.747 19.769 25.894 25.176 36.896
Sumber : Dinas Peternakan Jawa Barat,2011 (diolah).
8
Pertumbuhan impor daging sapi yang relatif lebih cepat dibandingkan
pertumbuhan daging sapi lokal menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging
sapi domestik belum mampu mengikuti pertumbuhan konsumsi daging sapi dalam
negeri khususnya di wilayah kabupaten Bogor. Hal ini mengindikasinya akan
mucul kecenderungan bahwa pengadaan daging sapi di Kabupaten Bogor akan
semakin tergantung pada daging sapi asal impor, dan akan berdampak pula pada
ketergantungan daging sapi impor untuk pemenuhan konsumsi daging nasional.
Berdasarkan kondisi yang ada, pemerintah berinisiatif untuk mengawali
upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong dalam negeri khususnya di
Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra produksi daging sapi dan di
Kabupaten Bogor yang merupakan daerah dengan tingkat perkembangan produksi
daging impor yang cukup tinggi. Peningkatan tersebut selain bertujuan untuk
memenuhi permintaan konsumen akan produk daging sapi di Kabupaten Bogor,
dapat juga dijadikan modal utama Kabupaten Bogor untuk meningkatkan daya
saing komoditi daging sapi, serta pada jangka panjang mengurangi ketergantungan
Indonesia terhadap negara pengekspor daging sapi, meningkatkan kegunaan
sumberdaya domestik yang dimiliki, serta mengurangi penggunaan devisa dalam
negeri.
Pemerintah juga telah mencanangkan Kegiatan Prioritas Pencapaian
Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014 yang merupakan keinginan
bersama dan menjadi program utama Direktorat Jenderal Peternakan. Salah satu
tujuan penting PSDS 2014 yaitu perkembangan populasi dan perbaikan
produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin
9
secara berkesinambungan. Tujuan ini harus seirama dengan peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan peternak, kelestarian lingkungan hidup dan
peningkatan daya saing, serta adanya kesinambungan atau keberlanjutan usaha
peternakan. Adapun skenario utama dalam PSDS 2014 meliputi 5 aspek, yakni
dari aspek perbibitan, pakan, budidaya, kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat vetenier (Blue Print PSDS 2014).
1.2. Perumusan Masalah
Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat
Indonesia mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur, dan susu lebih
banyak sehingga terjadi peningkatan pada jumlah permintaanya. Namun produksi
daging sapi dalam negeri saat ini secara nyata belum mampu memenuhi
permintaan tersebut terkait dengan pertambahan populasi sapi potong yang tidak
seimbang dengan kebutuhan konsumsi daging nasional, serta adanya berbagai
permasalahan dalam pengembangan usahaternak sapi potong.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di provinsi Jawa Barat
yang memiliki potensi yang besar dalam pengembangan usaha peternakan
khususnya peternakan sapi potong. Perkembangan populasi sapi potong di
Kabupaten Bogor yaitu 18.196 ekor pada tahun 2008 dan 17.472 ekor pada tahun
2009 (Buku Data Potensi Peternakan Kabupaten Bogor, 2009). Dengan jumlah
populasi ini, perkembangan produksi daging sapi lokal ternyata juga belum
mampu mengimbangi laju permintaan masyarakat, hal ini ditunjukkan oleh tingkat
perkembangan produksi daging sapi impor yang lebih besar dibandingkan tingkat
10
perkembangan daging sapi lokal bahkan pada tahun 2009 volume impor daging
sapi Kabupaten Bogor menduduki posisi kedua di Provinsi Jawa Barat yaitu
mencapai 7.916 ton.
Kebijakan impor sapi bakalan ataupun daging sapi terpaksa tetap
dilakukan oleh pemerintah karena tanpa adanya kebijakan tersebut, dimungkinkan
terjadi pengurasan pada sapi lokal yang akan berdampak buruk bagi usaha
peternakan sapi potong dan ketahanan pangan nasional. Peningkatan impor daging
sapi dan sapi bakalan setiap tahunnya juga akan menguras devisa Negara yang
sangat besar. Saat ini pengeluaran devisa Negara untuk impor tersebut telah
mencapai 5,1 trilyun rupiah per tahunnya. Pengurasan devisa Negara ini akan
terus berlanjut, apabila penyediaan daging produksi lokal tidak ditingkatkan secara
signifikan. Oleh karena itu, diperlukan terobosan untuk meningkatkan populasi
ternak sapi dan produksi daging lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal
yang belum diberdayakan secara optimal (Blue Print PSDS 2014).
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat beralasan jika pemerintah
menetapkan Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS)
Tahun 2014. Kegiatan ini ditujukan sebagai upaya pemerintah dalam peningkatan
populasi ternak dan produksi daging sapi, agar impor daging sapi dan bakalan
bertahap dapat dikurangi. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap ketahanan pangan, serta peningkatan kesejahteraan peternak
dan masyarakat. Salah satu kebijakan yang saat ini sudah diberlakukan yaitu
adanya pembatasan volume bakalan sapi dengan volume bakalan sapi sejumlah
500.000 ekor/tahun, kebijakan ini mulai berlaku sejak tahun 2010. Realisasi
11
kebijakan ini tampak pada terjadinya penurunan volume impor sapi bakalan pada
tahun 2010 (Gambar1. 3).
Sumber : APFINDO, 2011.
Gambar 1.3. Realisasi Impor Sapi Bakalan tahun 2005-2010
Dengan adanya kebijakan tersebut, menjadi suatu hal yang dilematis bagi
pemerintah dan peternak, karena impor sapi bakalan untuk selanjutnya digemukan
pada usaha penggemukan sapi ternyata tetap menjadi pilihan dibandingkan harus
mengimpor daging sapi, hal ini dikarenakan kualitas bakalan sapi impor yang
digunakan untuk produksi masih lebih baik dibanding sapi lokal. Namun di lain
sisi, ternyata usaha penggemukan sapi secara tidak langsung memiliki potensi
dalam meningkatkan daya saing domestik dibandingkan dengan impor daging
sapi. Menurut APFINDO (2011) sebagai asosiasi peternak sapi potong Indonesia,
peranan stategis dari usaha penggemukan sapi potong , antara lain :
1. Menghasilkan pertambahan nilai (value adding) dan penggandaan sumber
daya melalui kenaikan berat badan sapi yang dihasilkan dari kegiatan
penggemukan
12
2. Membantu mengurangi laju pengurasan sumber daya ternak sapi potong
lokal dan menjaga kesimbangan supply-demand dalam mengatasi laju
pertumbuhan demand/konsumsi daging terhadap kemampuan pertumbuhan
supply sapi lokal yang terbatas.
3. Menghasilkan output daging sapi segar yang memenuhi kaidah ASUH
(Aman, Sehat, Utuh, Halal)
4. Dengan nilai pasar mencapai sekitar 5 trilyun rupiah per tahun, dimana
sekitar 15 persen adalah input pakan, usaha penggemukan memberikan
multiplyer effect terhadap pertumbuhan ekonomi pedesaan dan tenaga
kerja, kemitraan komoditas pakan, pemanfaatan limbah kotoran sapi, serta
jasa transportasi.
PT.Widodo Makmur Perkasa yang terletak di Desa Mampir Kecamatan
Cileungsi merupakan salah satu usaha penggemukan sapi potong yang sangat
potensial di wilayah Kabupaten Bogor . PT.Widodo Makmur Perkasa merupakan
usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor dengan kapasitas produksi
yang tinggi di wilayah Kabupaten Bogor yaitu 5.000 ekor atau setara dengan
18,21 persen dari jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bogor. PT.Widodo
Makmur Perkasa merupakan salah satu sentra pemasok daging sapi di Kabupaten
Bogor (Tabel 1.5). Dengan jumlah kapasitas produksi ini, PT.Widodo Makmur
dapat menggambarkan secara umum keragaan usaha penggemukan sapi potong di
Kabupaten Bogor.
13
Tabel 1.5. Usaha Penggemukan Sapi Potong Kabupaten Bogor
No Nama Perusahaan /
Perorangan
Lokasi Kapasitas
Produksi
(ekor) Desa Kecamatan
1 PT. GRAHA NUSANTARA Pengasinan Gunung Sindur 6000
2 PT. TRIBAHAGIA CIPTA. M Pengasinan Gunung Sindur 250
3 HELLENA KWENTINO Curug Gunung Sindur 350
4 KOESBANDRIO Rabak Rumpin 500
5 PT. AUSINDO FEEDLOT INDUSTRY
Rabak Rumpin 3100
6 PT. RUMPINARY AI Rabak Rumpin 3000
7 PT. SINAR KATEL P Sumur Batu Babakan Madang
4000
8 PT. PRISMA MAHESA UNGGUL
Karang Tengah
Babakan Madang
3000
9 PT. WIDODO MAKMUR P Mampir Cileungsi 5000
10 PT. MEKAR UNGGUL SARI Mampir Cileungsi 2400
Sumber : Buku Data Potensi Peternakan Kabupaten Bogor 2010
Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan yang telah ditetapkan
pemerintah pada tahun 2010, secara langsung berdampak pada kelangsungan
produksi usaha penggemukan sapi potong di Indonesia tidak terkecuali
PT.Widodo Makmur Perkasa dan usaha penggemukan sapi potong lainnya di
Kabupaten Bogor yang sebagian besar masih menggunakan sapi bakalan impor.
Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan produksi daging sapi pada tahun 2008
yaitu sebesar 8.311 kg lalu meningkat pada tahun 2009 sebesar 11.153 kg, namun
terjadinya penurunan produksi daging sapi di Kabupaten Bogor pada tahun 2010
yaitu sebesar 10.790 kg (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor,
2010).
Terjadinya penurunan volume sapi bakalan impor secara langsung
mengurangi jumlah produksi yang berdampak pada terjadinya penurunan
14
pendapatan perusahaan. Kelangkaan yang terjadi pada sapi bakalan impor
menyebabkan terjadinya peningkatan harga sapi bakalan impor yang merupakan
input utama usaha penggemukan sapi potong. Penurunan pendapatan, peningkatan
harga input, serta peningkatan biaya produksi mempengaruhi tingkat keunggulan
komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor.
Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif ini mencerminkan tingkat daya
saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor khususnya di
PT.Widodo Makmur Perkasa.
Berdasarkan dinamika yang terjadi pada usaha penggemukan sapi potong
Indonesia dan khususnya di wilayah Kabupaten Bogor, maka perumusan masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tingkat daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif)
usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang digambarkan
oleh PT.Widodo Makmur Perkasa ?
2. Bagaimana dampak kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan
terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor
yang digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian
ini adalah
15
1. Menganalisis tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong di
Kabupaten Bogor yang digambarkan oleh daya saing PT.Widodo Makmur
Perkasa.
2. Menganalisis dampak kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan
terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor
yang digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
1. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan pertumbuhan
ekonomi dari sektor peternakan khususnya usaha penggemukan sapi
potong, yaitu dengan menetapkan kebijakan yang mendukung kinerja
usaha penggemukan sapi potong.
2. Memberikan informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak dalam
usaha penggemukan sapi untuk meningkatkan kinerja dan daya saing
usahanya.
3. Menambah khasanah literatur mengenai studi usaha penggemukan sapi di
Indonesia bagi pihak yang berkepentingan sehingga dapat menambah
wawasan baru bagi masyarakat.
4. Menambah informasi untuk penelitian dengan topik sejenis selanjutnya.
16
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1. Penelitian mengambil studi kasus di PT.Widodo Makmur Perkasa, dengan
asumsi bahwa PT.Widodo Makmur Perkasa merupakan usaha
penggemukan sapi potong yang dapat menggambarkan secara umum
keragaan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor dengan
jumlah populasi yaitu 18,21 persen dari total populasi sapi potong di
Kabupaten Bogor.
2. Data yang diolah adalah data produksi dan biaya produksi satu siklus
produksi / shipment usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur
Perkasa pada tahun periode bulan Juli 2010 yaitu ketika kebijakan
pembatasan volume impor sapi bakalan telah direalisasikan.
3. Jenis sapi bakalan yang diteliti adalah jenis sapi Brahman Cross betina dan
jantan yang merupakan jenis sapi yang paling banyak diimpor dan
digemukkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa.
4. Siklus produksi atau lamanya penggemukan untuk tiap jenis sapi berbeda
satu sama lain, yaitu 90 hari untuk betina dan 58 hari untuk jantan, hal ini
dikarenakan bobot awal yang berbeda yaitu rata-rata 321 kg/ekor untuk
sapi betina dan 314 kg/ekor untuk sapi jantan, serta tingkat produktivitas
sapi yang berbeda. Volume/jumlah sapi yang digemukkan pada penelitian
ini yaitu 851 ekor untuk sapi betina dan 646 ekor untuk sapi jantan.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Sapi Potong
Dari sejarahnya, semua bangsa sapi yang dikenal di dunia berasal dari
Homacodontidae yang dijumpai pada zaman Paleocene. Adapun jenis primitifnya
ditemukan pada zaman Pliocene di India, Asia. Perkembangan dari jenis-jenis
primitif itulah menghasilkan tiga kelompok nenek moyang sapi hasil penjinakan.
Adapun sapi yang dihasilkan dari jenis primitif, diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok besar yang memiliki genetik sapi yang penting untuk menghasilkan
keturunan yang berkualitas, yaitu :
1) Bos sondaicus atau Bos banteng, sampai sekarang ini masih bisa ditemui
hidup liar di daerah margasatwa yang dilindungi di pulau Jawa seperti
Pangandaran dan Ujung Kulon.
2) Bos indicus atau Sapi zebu, sampai sekarang mengalami perkembangan di
India dan Asia.
3) Bos Taurus atau sapi Eropa, sampai sekarang mengalami perkembangan di
Eropa.
Tiga kelompok nenek moyang tersebut, baik secara alamiah ataupun
karena peran serta manusia mampu mengalami perkembangan hasil prekawinan
atau persilangan yang menunjukan bangsa-bangsa sapi modern, baik tipe potong-
perah, tipe potong-kerja, tipe potong-murni.
18
2.2. Jenis-Jenis Sapi
2.2.1. Jenis Sapi Lokal
Jenis-jenis sapi yang sudah lama terdapat di Indonesia dan telah
berkembang secara turun temurun dikenal dengan sebutan sapi lokal. Jenis-jenis
sapi lokal tersebut tersebar di hampir semua daerah di Indonesia, tetapi ada pula
yang hanya terdaapt di daerah-daerah tertentu saja. Jenis sapi tersebut antara lain :
1) Sapi Bali, merupakan keturunan dari Bos banteng. Sapi Bali mempunyai
bentuk dan karakteristik yang sama dengan banteng dan tergolong sapi
yang cukup subur, sehingga sapi Bali sangat cocok untuk sebagai ternak
bibit yang potensial. Sapi Bali mempunyai fertilitas 83-86 persen
(Murtijdo 1990 dalam Rivai 2009), tipe pekerja yang baik, persentase
karkas yang tinggi, daging rendah lemak, dan daya adaptasi terhadap
lingkungajn.
2) Sapi Ongole, merupakan keturuan Bos indicus yang masuk ke Indonesia
melalui jalur perdangan. Sapi ini berwarna putih dan memiliki banyak
lipatan di bagian leher dan perut.
3) Sapi Peranakan Ongole, sapi ini juga dikenal sebagai sapi Sumba Ongole
merupakan hasil persilangan sapi Ongole asal India dengan sapi Madura
secara keturuan hasil perkawinan yang dikawinkan kembali dengan sapi
Ongole (grading up). Sapi ini berwarna putih dan berpunuk.
4) Sapi Madura merupakan sapi lokal yang mirip sapi Bali. Perbedaan yang
signifikan antara sapi Bali dan sapi Madura terletak pada keberadaan
punuk, sapi Bali tidak berpunuk sedangkan sapi Madura berpunuk.
19
2.2.2. Jenis Sapi Bukan Lokal
1) Sapi Limousin, merupakan sapi potong keturunan Bos taurus yang berhasil
di kembangkan di Perancis. Bentuk tubuhnya memanjang penuh daging
dan sangat padat, hampir mirip dengan singa. Berat badan sapi Limousin
betina bisa mencapai rata-rata 650 kg, dan sapi jantan mencapai berat rata-
rata 850 kg. Sapi Limousin mempunyai pertambahan berat badan yang
cukup tinggi sehingga banyak di impor dalam bentuk bakalan.
2) Sapi Charolais, merupakan sapi potong keturunan keturuan Bos taurus dan
banyak dikembangbiakkan di Amerika. Warna tubuhnya krem muda atau
keputih-putihan. Postur tubuhnya besar dan padat, tetapi kasar dengan
bobot badan jantan dewas dapat mencapai 1.000 kg, sedangkan betina
dewasa sekitar 750 kg.
3) Sapi Brahman , merupakan sapi yang termasuk dalam golongan sapi Zebu.
Sapi Brahman banyak disilangkan dengan jenis sapi lainnya dan
menghasilkan peranakan Amerika Brahman (Brahman Cross) , dimana
jenis sapi Brahman mempunyai pertambahan berat badan jantan dewasa
rata-rata 1100 kg dan betina dewasa 850 kg. Jenis sapi Brahman umumnya
di impor dari Australia dan Selandia Baru dalam bentuk bakalan untuk
digemukkan kembali. Jenis sapi ini merupakan jenis sapi yang digemukkan
pada penelitian di PT.Widodo Makmur Perkasa.
20
2.3. Sapi Bakalan
Menurut Sarwono (2003), sapi bakalan merupakan anak sapi jantan dan
sapi betina yang berumur 1-2 tahun untuk selanjutnya digemukkan. Keberhasilan
penggemukan sapi potong sangat tergantung pada pemilihan bibit atau bakalan
yang baik dan kecermatan selama pemeliharaan. Bakalan yang akan digemukkan
dengan pemberian pakan tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan
di pasar hewan atau sapi impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Sebaiknya
bakalan dipilih dari sapi yang memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah
digemukkan. Prioritas utama bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja,
dan sepasang gigi serinya telah tanggal. Usaha penggemukan sapi bertujuan
mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan bobot sapi yang dipelihara.
Pertumbuhan dan lama penggemukan ditentukan oleh faktor individu, ras (bangsa)
sapi, jenis kelamin, dan usia ternak bakalan. Laju pertumbuhan ternak pada usaha
penggemukan terletak pada pemilihan bakalan. Bakalan harus dipilih dari sapi
yang cepat besar.
2.4. Usaha Penggemukan Sapi Potong
Menurut The National Guidelines for Beef Cattle Feedlot in Australia (2nd
Edition) dalam Tawaf (2009) bahwa penggemukan sapi potong didefinisikan
sebagai suatu lokasi/kandang yang dilengkapi oleh fasilitas pakan dan minuman,
baik secara manual ataupun mekanis berguna bagi peningkatan produksi.
Penggemukan sapi potong menjamin formula pakan konsentrat yang digunakan
untuk mencapai target berat badan pada suatu periode tertentu.
21
Sugeng (2000), menyatakan bahwa penggemukan sebaiknya dilakukan
pada ternak sapi usia 12-18 bulan atau paling tua umur 2,5 tahun. Pembatasan usia
ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase
pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging, sehingga
bila pakan yang diberikan itu jumlah kandungan protein, mineral dan vitaminnya
mencukupi, sapi dapat cepat menjadi gemuk. Pemeliharaan sapi potong di
Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi-ekstensif, dan intensif. Pemeliharaan
secara intensif, hampir sepanjang hari berada di dalam kandang dan diberikan
pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat gemuk. Selanjutnya dikatakan
bahwa sapi-sapi yang dipelihara secara ekstensif, dilepas di padang
penggembalaan dan digembalakan sepanjang hari, mulai dari pagi hingga sore.
Menurut Siregar dalam Rivai (2009), sistem penggemukan ada tiga, yakni
sistem kereman, sistem pasture fattening dan sistem dry lot fattening.
Penggemukan berkisar antara 3-6 bulan. Sapi bakalan yang digunakan dalam
kereman umumnya sapi-sapi jantan yang berumur sekitar 1-2 tahun dalam kondisi
kurus dan sehat. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 3 kilogram per hari
dengan kenaikan berat rata-rata 0,33 kilogram per hari. Sistem pasture fattening
memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 8-10 bulan, dengan sapi
bakalan yang digunakan pada pasture fattening adalah sapi jantan atau betina
dengan umur minimal sekitar 2,5 tahun. Sapi jantan mempunyai pertumbuhan
relatif cepat dibandingkan sapi betina sehingga waktu penggemukannya relatif
singkat. Sistem dry lot fattening adalah sistem penggemukan dimana sapi berada
terus-menerus dalam kandang dan tidak di gembalakan ataupun dipekerjakan. Sapi
22
bakalan yang dipergunakan pada dry lot fattening umumnya sapi-sapi jantan yang
telah berumur dari 1 tahun dengan lama penggemukan sekitar 2-6 bulan.
2.5. Teori Perdagangan Internasional
Gagasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah adanya
perbedaan karunia sumber-sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara. Hal ini
merupakan suatu landasan teori yang sangat berpengaruh dalam ilmu ekonomi
internasional. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu
dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah
suatu negara dengan pemerintah negara lain. Berdasarkan teori perdagangan
internasional, motivasi utama melakukan perdagangan adalah memperoleh
keuntungan (Salvatore, 1997).
Manfaat langsung yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan
internasional antara lain adalah (Salvatore, 1997) :
1) Suatu negara mampu memperoleh komoditas yang tidak dapat diproduksi
di dalam negeri sehingga negara tersebut mampu untuk memenuhi
kebutuhan terhadap barang atau jasa yang tidak dapat diproduksi secara
lokal karena adanya keterbatasan kemampuan produksi
2) Negara yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi,
yaitu dapat mengekspor komoditas yang diproduksi lebih murah untuk
23
ditukar dengan komoditas yang dihasilkan negara lain jika diproduksi
sendiri biayanya akan mahal.
3) Perluasan pasar produk suatu negara, akan meningkatkan pendapatan
nasional nantinya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan
ekonomi, mampu memberikan peluang kesempatan kerja dan peningkatan
upah bagi warga dunia, menghasilkan devisa, dan memperoleh kemajuan
teknologi yang tidak tersedia di dalam negeri.
Sedangkan, manfaat secara tidak langsung yang diperoleh dari adanya
perdagangan internasional antara lain adalah :
1) Perluasan pasar di bidang promosi.
2) Meningkatnya kemampuan suatu negara untuk memperbaiki kualitas dan
mutu hasil produksi.
3) Terciptanya iklim persaingan yang sehat dan sarana pemasukan modal
asing.
4) Terciptanya peluang untuk meningkatkan teknologi.
2.6. Teori Daya Saing
Menurut Mudrajad (2005), daya saing merupakan kemampuan suatu
produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah
sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional tersebut
menguntungkan. Efisien tidaknya produksi suatu komoditi yang bersifat tradeable
bergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil
yang terjadi dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga
24
harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan.
Indikator daya saing adalah keuntungan dari pengusahaan suatu komoditi yang
dilihat dari sisi privat dan sosial. Sedangkan tingkat efisiensi pengusahaan suatu
komoditi dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitifnya.
Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu
produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan
biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar
internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh
laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya
produksinya (Simanjuntak 1992 dalam Novianti 2003). Dengan kata lain, daya
saing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik.
2.7. Teori Keunggulan Komparatif
Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang
diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal
dengan Model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law
of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah Negara
kurang efisien dibandingkan (memiliki keunggulan absolut terhadap) Negara lain
dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama
harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang
memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan
25
mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki
keunggulan komparatif (Salvatore,1997).
Teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh
Haberler (1936) yang mengemukakan Konsep keunggulan komparatif yang
berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Haberler
menyatakan bahwa biaya dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua
terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk
memproduksi satu unit tambahan pertama (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Heckscher-
Ohlin (1933), yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar
Negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O
menganggap bahwa setiap Negara akan mengekspor komoditas yang relatif
intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan
cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif
langka dan mahal (Salvatore, 1997).
Simatupang 1995 dalam Novianti 2003, mengemukakan bahwa untuk
meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi
pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian yang diarahkan
pada pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem keseluruhan yang dilandasi
prinsip-prinsip efisiensi dan berkelanjutan, dimana konsolidasi usahatani
diwujudkan melalui koordinasi vertikal sehingga produk akhir dapat dijamin dan
disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Keunggulan komparatif bersifat
dinamis. Artinya, suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor
26
tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan
negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang
mempengaruhinya.
2.8. Teori Keunggulan Kompetitif
Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang
lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif
atau sering disebut revealed competitive advantage, yang merupakan pengukur
daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Selanjutnya
dikatakan suatu negara atau daerah yang memiliki keunggulan komparatif maupun
kompetitif menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam, penguasaan
teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang
bersangkutan.Keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu
aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari
sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan
analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang menerima
manfaat tersebut (Kadariah et al., 1978).
Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu
aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai
tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan
kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau
mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan
27
suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Dalam hal ini, keunggulan
kompetitif digunakan untuk mengukur daya saing kegiatan ekonomi (produksi)
pada kondisi ekonomi aktual atau pada suatu perusahaan individu
(Novianti,2003).
2.9. Teori Kebijakan Pemerintah
Hingga saat ini, kebijakan pemerintah masih tetap dipraktekkan dalam
perdagangan baik perdangan domestik maupun internasional, khususnya oleh
Negara-negara yang sedang berkembang. Kebijakan pemerintah tersebut
diterapkan dalam rangka mejaga stabilitas produk dalam negeri atau pun sebagai
usaha meningkatkan ekspor untuk memperbesar devisa suatu negara.
Dalam penelitian ini, kebijakan pemerintah yang dimaksud yaitu
diberlakukan terhadap input seperti sapi bakalan, pakan ternak, tenaga kerja,
maupun output berupa sapi yang mengakibatkan adanya perbedaan antara harga
input atau output yang diterima produsen dengan harga yang seharusnya diterima
pada kondisi tanpa intervensi pemerintah atau pada pasar persaingan sempurna.
Pada akhirnya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output akan
mempengaruhi daya saing suatu komoditas.
2.9.1. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output
Pengaruh intervensi pemerintah pada harga output diterangkan oleh Monke
and Pearson 1989 dalam Novianti 2003, yang membagi ke dalam delapan tipe
kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan. Klasifikasi dari kebijakan
harga komoditas dapat dijelaskan pada Tabel 2.1.
28
Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas
Instrumen Dampak Pada
Produsen
Dampak pada
Konsumen
Kebijakan Subsidi
• Tidak merubah harga pasar dalam negeri.
• Merubah harga pasar dalam negeri.
Subsidi Pada Produsen
• Pada barang-barang subtitusi impor (S+PI ; S-PI).
• Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE ; S-PE).
Subsidi Pada Konsumen
• Pada barang-barang subtitusi impor (S+CI ; S-CI).
• Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE ; S-CE).
Kebijakan
perdagangan
(merubah harga pasar dalam negeri).
Hambatan pada barang impor (TPI)
Hambatan pada barang ekspor (TCE)
Sumber : Monke and Pearson, 1989. Keterangan: S+ = Subsidi S- = Pajak PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor TPI = Hambatan barang impor
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga
kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan
perdagangan, kedua, kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen dan
ketiga, tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor.
2.9.1.1. Tipe Instrumen
Dalam kebijakan pemerintah tipe instrumen, dibedakan pengertian antara
subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk
pemerintah. Apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif,
sedangkan dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada
dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik
29
agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau
produsen dalam negeri.
Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor
atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga
komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan
pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan
jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga
internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk
barang yang diimpor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit
(pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi
kuantitas yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga
internasional.
Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah
yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah
ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di
pasar dunia/harga internasional. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda
dalam tiga aspek, pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua
berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan.
a. Implikasi Pada Anggaran Pemerintah
Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah,
sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi
negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah.
30
b. Tipe Alternatif Kebijakan
Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang
orientasi ekspor (PE) dan barang subtitusi impor (SI) yaitu :
a. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI)
b. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE)
c. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI)
d. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE)
e. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI)
f. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE)
g. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI)
h. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)
Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan
membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah
demikian halnya bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan
sebelum ada kebijakan subsidi positif, sedangkan penerapan subsidi negatif
(pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika
diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi
produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi
sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan.
Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan
perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang
ekspor (TPE), Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan
atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang
31
efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan
ekspor atau impor (lawan dari hambatan perdagangan pada ekspor dan impor)
tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat
melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan, namun
kegiatan ini merupakan kebijakan subsidi bukan kebijakan perdagangan.
c. Tingkat Kemampuan Penerapan
Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas
tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan
hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable).
2.9.1.2. Kelompok Penerima
Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan
dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan
mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan
pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan,
pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika
produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan ketika
konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Pada
kondisi seperti ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu
pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi
dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka
keuntungan yang akan diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita.
Oleh karena itu, manfaat yang diperolah kelompok tertentu (konsumen,produsen
32
atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari
kelompok lainnya.
2.9.1.3. Tipe Komoditas
Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas
yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada
kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga pasar
internasional, dimana untuk barang yang dapat diekspor digunakan adalah harga
fob (free on board/ harga dipelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat
diimpor digunakan harga cif (cost insurance freight /harga di pelabuhan impor).
Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan
subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan
hambatan perdagangan yang berupa tarif kuota. Kebijakan subsidi pada harga
output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus
konsumen berubah.
2.9.2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input
Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input
non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif
dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak
diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input domestik (non
tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di
dalam negeri.
33
(a)S-II
2.9.2.1. Kebijakan Input Tradable
Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak
dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input
tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut ini :
Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S-II = Pajak untuk Imput Impor S+II = Subsidi untuk Impor Impor
Gambar 2.1 Pajak dan Subsidi pada Input Tradable
Gambar 2.1 (a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang
digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat
sehingga pada tingkat output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan
kurva suplai bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC,
yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan
ongkos produksi dari output Q2BCQ1. Gambar 2.1 (b) menggambarkan dampak
subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi
lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1
ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu
Q2 Q1
D
S1
S
D
B
C
A PW
P
Q1 Q2
S
S1
B
C A PW
P
(b)S+II
34
(a) S - N
perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output
dengan peningkatan nilai
input.
2.9.2.2. Kebijakan Input Non Tradable
Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak
dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi dalam
negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non
tradable. Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan
pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S-N = Pajak untuk Barang Non Tradable
S+N = Subsidi untu Barang Non Tradable
Gambar 2.2. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable
Pada Gambar 2.2 (a) dengan adanya pajak (Pc-Pp) menyebabkan produksi
yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang
sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif
(Gambar 2.2 (b)), adanya subsidi menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2,
D
(b) S + N
Q2 Q3
Pc
Pp
P
Pp’
Pp
Pd
Q3
D
Q1
D
S
B
C
A
Pd
Q1 Q2
B
C
A
Pc
P S
D
35
harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen
turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara
peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan
meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk
membayar.
2.10. Teori Matriks Kebijakan
Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Kebijakan digunakan untuk
menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem
komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas,
yaitu tingkat usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke
pengolahan, pengolahan maupun pemasaran (Monke and Pearson, 1989).
Tujuan dari penggunaan sebuah tabel PAM untuk analisis suatu usahatani
memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat, yaitu
sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual.
Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial
sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat
harga efisiensi (social opportunity cost). Tujuan lain dari analisis PAM adalah
menghitung transfer effects, sebagai dampak dari suatu kebijakan (Pearson et al.,
2005).
Metode PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasikan
tiga analisis yaitu analisis keuntungan yaitu keuntungan privat dan keuntungan
sosial/ekonomi, analisis daya saing (keunggulan kompetifif dan komparatif) serta
36
analasis dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem komoditas.
Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom (Tabel 2.2). Baris pertama
mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya
berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi
kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya
saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga
sosial (shadow price) atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa
adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara
baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi (Pearson et al.,
2005).Penerimaan dan biaya produksi pada harga finansial dan harga sosial dibagi
menjadi komponen tradable (asing) dan nontradable (domestik). Input yang
digunakan seperti sapi bakalan, pakan, peralatan, dan lain-lain dipisahkan
menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor domestik (Pearson et al.,
2005).
37
Tabel 2.2. Tabel Analisis Matriks Kebijakan
Uraian Penerimaan
Biaya
Keuntungan Input
Tradable
Faktor
Domestik
Privat
A B C D
Ekonomi
E F G H
Efek Divergensi
I J K L
Sumber : Pearson et al. (2005) Keterangan : A: Penerimaan Privat G: Biaya Input Domestik Sosial B: Biaya Input tradable Privat H: Keuntungan Sosial = E - (F+G) C: Biaya Input Domestik Privat I: Transfer Output (A - E) D: Keuntungan Privat = A - (B+C) J: Transfer Input tradable (B – F) E: Penerimaan Sosial K: Transfer Faktor domestik (C – G) F: Biaya Input tradable Sosial L: Transfer Bersih (D – H) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H
2.11. Penelitian Terdahulu
2.11.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Sektor Peternakan Sapi
Rivai (2009) melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan usaha,
analisis kelayakan aspek finansial dan analisis sensitivitas kelayakan usaha
fattening sapi potong di PT. Zagrotech Dafa International. Analisis dalam
penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif
dilakukan untuk mengkaji aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek
sosial, ekonomi dan lingkungan pada usaha fattening sapi potong pada
PT.Zagrotech Dafa International yang dijelaskan secara deskriptif. Analisis
kuantitatif digunakan untuk mengkaji kelayakan finansial usaha fattening sapi
potong berdasarkan criteria kelayakan investasi yaitu, Net Present Value (NPV),
38
Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio), Payback
Period (PP) dan analisis sensitivitas switching value. Hasil analisis aspek finansial
menunjukkan bahwa kedua skenario yaitu skenario I (modal sendiri) dan skenario
II (modal pinjaman) layak untuk dijalankan karena kedua skenario sudah
memenuhi criteria kelayakan investasi. Hasil analisis sensitivitas switching value
dengan dua variabel parameter yaitu peningkatan harga bakalan dan penurunan
sapi potong lebih sensitif. Dari kedua skenario menunjukkan bahwa skenario II
lebih sensitive (peka) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik itu
perubahan peningkatan harga bakalan sapi ataupun penurunan penjualan sapi
potong.
Nefri (2000) melakukan penelitian mengenai optimalisasi dan daya saing
usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Dengan menggunakan linear
programming, memperoleh hasil analisis keunggulan kompetitif dan komparatif
terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong memperlihatkan tingkat daya saing
yang masih relatif rendah baik sebelum ataupun setelah perbaikan pakan,dimana
nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat
pengembalian modal (ROI) 12-13 persen serta koefisien biaya sumberdaya
domestik (KBSD) 0.52-0.56. Pada saat kapasitas terpasang maksimal dan
perbaikan efisien usaha, daya saing perusahaan menunjukkan tingkat yang relatif
lebih tinggi dengan nilai efisiensi ongkos produksi (C/P ratio) 0.76 dan tingkat
pengembalian dengan modal (ROI) 29.3 persen serta koefisien biaya sumberdaya
domestik (KBSD) 0.35. Penelitian ini juga membahas tentang analisis
optimalisasi penyusunan pakan ternak sapi potong dengan pemanfaatan
39
sumberdaya yang tersedia; analisis optimalisasi produksi usaha peternakan sapi
potong dalam kondisi krisis ekonomi yang melanda dunia usaha di Indonesia;
analisis dampak perubahan berbagai faktor internal dan ekonomi eksternal
terhadap pola optimalisasi produksi ternak sapi potong; analisis daya saing
komoditi ternak sapi potong berdasarkan keunggulan kompetitif dan komparatif
pada suatu pengembangan usaha peternakan sapi potong; serta analisis dampak
perubahan berbagai faktor internal dan faktor ekonomi eksternal terhadap daya
saing komoditi ternak sapi potong.
2.11.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Daya Saing dan Policy Analysis Matrix
(PAM)
Kuraisin (2006) melakukan penelitian mengenai daya saing dan dampak
perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi. Dengan
menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisis menunjukkan
bahwa usahatani sapi perah pada ketiga skala usaha di Desa Tajurhalang
menguntungkan secara finansial dan secara ekonomi. Artinya komoditas susu
layak untuk diusahakan dan dikembangkan di Desa Tajurhalang baik dengan atau
tanpa kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu pada
ketiga skala usaha menyebabkan surplus produsen berkurang, keuntungan privat
lebih kecil dari keuntungan sosial dan tidak memberikan proteksi yang positif.
Dengan demikian secara keseluruhan kebijaksanaan pemerintah tidak memberikan
intensif bagi produsen untuk berproduksi. Berdasarkan hasil sensitivitas pada saat
terjadi masing-masing peningkatan harga pakan ternak sebesar 30 persen
penurunan harga susu sapi sebesar persen, dan analisis sensitivitas gabungan
menunjukan bahwa usahaternak sapi perah pada ketiga skala usaha tetap memiliki
40
keunggulan kompetitif dan komparatif. Karena nilai dari keuntungan finansial dan
ekonominya lebih dari nol sehingga tetap efisien untuk diusahakan.
Aliyatillah (2009) melakukan penelitian tentang analisis daya saing serta
dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di perkebunan Afdeling
Rajamandala. Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix
(PAM) menunjukkan bahwa pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling
Rajamandala efisien secara privat dan ekonomi serta memiliki keunggulan
kompetitif dan komparatif . Dampak kebijakan pemerintah yang ada terhadap
pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala juga secara umum dapat
dikatakan menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing
komoditi kakao. Penurunan produktivitas lebih dari 10 persen dan penurunan
harga kakao sebesar 5 persen akan menyebabkan komoditas kakao di perkebunan
Afdeling Rajamandala tidak berdayasaing baik dar segi keunggulan komparatif
maupun kompetitifmya sedangkan depresi dan apresiasi mempengaruhi dayasaing
kakao dalam segi keunggulan komparatifnya.
2.12. Kerangka Pemikiran
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup
diminati oleh masyarakat. Adanya permintaan yang tinggi akan daging sapi dalam
pasar nasional dan permintaan yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat dan
khususnya Kabupaten Bogor merupakan kesempatan untuk peternak memenuhi
peluang kekurangan pasokan daging sapi tersebut. Namun pada kenyataanya,
dengan populasi sapi potong di Kabupaten Bogor yang ada saat ini belum mampu
41
menghasilkan produksi daging sapi yang mampu mengimbangi laju permintaan
daging sapi di Kabupaten Bogor.
Kekurangan pasokan daging sapi yang terjadi di wilayah Kabupaten Bogor
menyebabkan pemerintah melakukan impor baik impor daging sapi maupun sapi
bakalan, hal ini yang menyebabkan tingkat perkembangan produksi daging sapi
impor di Kabupaten Bogor cukup tinggi di provinsi Jawa Barat. Untuk mengatasi
hal tersebut, maka pemerintah melakukan upaya-upaya sistematis yang dapat
menahan tekanan produk daging sapi impor. Upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dituangkan dalam bentuk paket-paket kebijakan. Impor sapi bakalan
masih menjadi pilihan pemerintah untuk menanggulangi kekurangan ketersediaan
daging sapi tersebut dibandingkan dengan impor daging sapi. Sejalan dengan
usaha untuk mencukupi pasokan daging sapi dalam negeri, pemerintah juga telah
mencanangkan Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS)
Tahun 2014 yang salah satu paket kebijakannya yaitu adanya pembatasan volume
impor sapi bakalan yang telah berlaku pada pertengahan tahun 2010. Hal ini
dilakukan pemerintah untuk tetap mempertahankan pasar domestik serta untuk
meningkatkan daya saing usahaternak sapi potong yang menjadi sektor utama
yang diandalkan sebagai pemasok komoditi daging sapi dalam negeri.
Metode PAM digunakan untuk menganalisis daya saing usaha
penggemukan sapi potong sesudah adanya kebijakan pembatasan volume impor
sapi bakalan, dengan keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan keuntungan
privat dan Rasio Biaya Privat (PCR), keunggulan kompetitif dianalisis
berdasarkan keuntungan social dan Rasio Biaya Sumber Daya Domestik (DRC).
42
Selain itu metode PAM juga bisa digunakan untuk menganalisis penerapan
kebijakan pemerintah pada harga output, kebijakan harga input, dan kebijakan
input-output. Kebijakan harga input dianalisis berdasarkan nilai transfer (input
transfer atau TI), koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient
on input atau NPCI), tingkat proteksi input nominal (nominal protection rate on
input atau NPRI) dan transfer faktor (factor transfer atau FT). Sebagai pereduksi
kelemahan dari PAM yang bersifat statis, dilakukan analisis sensitivitas untuk
mengetahui daya saing usahaternak sapi potong apabila terjadi perubahan harga
input maupun output. Terakhir, setelah diperoleh kesimpulan dari hasil analisis
yaitu memberikan saran kepada peternak dan pemerintah. Skema kerangka
pemikiran operasional penelitian disajikan pada Gambar 2.3.
43
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
• Produksi daging sapi lokal Kabupaten Bogor rendah
• Prospek usaha penggemukan sapi
potong di Kabupaten Bogor
Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan (PSDS 2014)
Policy Analysis Matrix (PAM)
Keunggulan Kompetitif
• Keuntungan Privat
• Rasio Biaya Privat (PCR)
Keunggulan Komparatif
• Keuntungan sosial
• Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
Dampak kebijakan pemerintah
• Kebijakan output
• Kebijakan input
• Kebijakan input output
Analisis Sensitivitas
Hasil Akhir
• Mengetahui daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa
• Mengetahui dampak kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang
digambarkan oleh PT.Widodo Makmur Perkasa
Daya saing sesudah kebijakan
44
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dengan mengambil lokasi pada
salah satu perusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Cileungsi,
Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di PT.
Widodo Makmur Perkasa dengan pertimbangan bahwa PT.Widodo Makmur
Perkasa merupakan usaha penggemukan sapi potong dengan kapasitas produksi
yang cukup besar yaitu sebesar 18,12 persen dari total polulasi sapi potong di
Kabupaten Bogor dan menjadi salah satu pemasok ketersediaan daging sapi di
wilayah Kabupaten Bogor, sehingga PT.Widodo Makmur Perkasa sudah dapat
menggambarkan secara umum kondisi usaha penggemukan sapi potong di
wilayah Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Januari hingga Mei
2011.
Data yang digunakan sebagai sample merupakan data primer dan sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber meliputi Badan Pusat Statistik (BPS),
Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Asosiasi Pengusaha
Feedlot Indonesia (APFINDO), Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Bogor serta informasi-informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang
diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan, dan internet yang digunakan
untuk melengkapi data dalam penelitian ini. Untuk input output yang dapat
diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan
harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga
45
CIF (Cost, Insurance and Freight) sedangkan untuk menghitung harga sosial
input non tradable digunakan harga imbangannya (opportunity cost).
3.2. Metode Analisis
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas
beberapa tahap. Pertama adalah penentuan input usaha penggemukan sapi potong.
Tahap ini diperoleh dari data input yang digunakan dalam berproduksi yang
bersumber dari PT.Widodo Makmur Perkasa.Tahap kedua adalah
pengidentifikasian input kedalam komponen input tradable dan non tradable,
penelitian ini menggunakan pendekatan langsung dimana input tradable yaitu
input yang diperdagangkan di pasar internasional baik diekspor maupun diimpor
dan identifikasi input non tradable yaitu input yang dihasilkan dipasar domestik
dan tidak diperdagangkan secara internasional. Alokasi komponen untuk
penelitian ini tersaji dalam Lampiran 1. Selanjutnya adalah penentuan harga
bayangan input dan output, kemudian dianalisis dengan menentukan Policy
Analysis Matrix (PAM) yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi
pemerintah dan Langkah terakhir adalah analisis sensitivitas.
3.3. Policy Analysis Matrix (PAM)
Menurut Pearson et al (2005), PAM (Policy Analisis Matriks) adalah alat
yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan
dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas
yaitu aktivitas usahatani (farm procuction), penyampaian dari usahatani ke
46
pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis
dayasaing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak
kebijakan pemerintah.
PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk
mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya
berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh
semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk
mengestimasi keunggulan ekonomi atau dayasaing dalam keunggulan komparatif.
Istilah ekonomi mengacu pada penerimaan dan biaya berdasarkan harga efisien
dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga
merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan
adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri
dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya
input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang
merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.
Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya :
1) Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang benar-
benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang
benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.
2) Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan
(shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau
harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan.
47
3) Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat
dipasarkan ke dalam komponen asing dan domestik.
4) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan
(Eksternalitas=0).
Dasar perhitungan harga PAM mempunyai empat tahap yaitu sebagai
berikut :
1) Penentuan masukan-masukan fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi
yang akan dianalisis.
2) Penarikan harga bayangan (shadow price) dari masukan dan keluaran.
3) Pemisahan seluruh biaya kedalam komponen asing dan domestik serta
menghitung besarnya penerimaan.
4) Menghitung dan menganalisis beberapa indikator yang bisa dihasilkan
oleh analisis PAM.
Selain itu analisis metode PAM juga memiliki beberapa kelebihan
diantaranya:
1) Analisis PAM adalah perhitungan yang dapat dilakukan secara
keseluruhan, sistematis, dan output dapat beragam.
2) Analisis dapat digunakan pada system komoditas dengan berbagai daerah,
berbagai tipe usahatani dan teknologi.
Matriks analisis kebijakan lebih jelasnya tersaji pada Tabel 3.1 berikut ini:
48
Tabel 3.1. Tabel Analisis Matriks Kebijakan
Uraian Penerimaan
Biaya
Keuntungan Input
Tradable
Faktor
Domestik
Privat
A B C D
Ekonomi
E F G H
Efek Divergensi
I J K L
Sumber : Pearson et al.(2005) Keterangan : A: Penerimaan Privat G: Biaya Input Domestik Sosial B: Biaya Input tradable Privat H: Keuntungan Sosial = E - (F+G) C: Biaya Input Domestik Privat I: Transfer Output (A - E) D: Keuntungan Privat = A - (B+C) J: Transfer Input tradable (B – F) E: Penerimaan Sosial K: Transfer Faktor domestik (C – G) F: Biaya Input tradable Sosial L: Transfer Bersih (D – H) Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E-F) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =B/F Koefisien Keuntungan (PC) = D/H
3.3.1. Analisis Keuntungan
1) Keuntungan Privat (Privat Profit/ PP)
PP = D = A – (B + C)
Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas
berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada
(Monke and Pearson, 1989). Jika keuntungan privat lebih besar atau sama dengan
nol menunjukkan bahwa secara privat pengusahaan suatu komoditas layak untuk
diteruskan. Begitu juga sebaliknya, jika nilainya kurang dari nol maka komoditas
tersebut tidak layak diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian.
49
2) Keuntungan Sosial (Social Profit/ SP)
SP = H = E – (F + G)
Keuntungan sosial merupakan indikator daya saing atau efisiensi dari sistem
usahatani pada kondisi tidak ada efek divergensi baik akibat kebijakan pemerintah
maupun distorsi pasar (Monke and Pearson, 1989). Jika nilai keuntungan sosial
lebih dari satu atau sama dengan nol menunjukkan bahwa secara ekonomi
pengusahaan suatu komoditas dapat dilanjutkan. Begitu juga sebaliknya, jika
nilainya kurang dari nol maka komoditas tersebut tidak layak diteruskan karena
dapat menimbulkan kerugian.
3.3.2. Analisis Efisiensi
1) Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio/ PCR)
PCR = C / (A – B)
Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah terhadap
harga privat. Nilai PCR mencerminkan berapa banyak sistem komoditas tersebut
dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi
kompetitif yakni break event setelah membayar keuntungan normal (D=0)
(Monke and Pearson, 1989). Suatu komoditas mempunyai keunggulan kompetitif
jika nilai PCR-nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan
nilai tambah sebesar satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktor domestik yang
dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan.
50
2) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/ DRC)
DRC = G / (E - F)
Rasio biaya sumberdaya domestik merupakan indikator keunggulan
komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat
untuk menghasilkan satu satuan devisa atau kemampuan sistem komoditi dalam
membiayai biaya faktor domestik pada harga sosial (Monke and Pearson, 1989).
Suatu usahaternak memiliki keunggulan komparatif jika nilai DRC lebih kecil dari
satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditas tertentu mempunyai efisiensi
secara ekonomi dalam pengalokasian sumberdaya atau memiliki keunggulan
komparatif
3.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah
3.3.3.1. Kebijakan Output
1) Transfer Output (TO)
TO = I = A – E
Transfer Output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas
harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial
(bayangan). Nilai TO menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output
sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial (Monke and
Pearson, 1989). Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya insentif masyarakat
terhadap produsen. Nilai TO yang positif berarti masyarakat harus membeli
dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan, dan
produsen menerima harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya diterima.
51
2) Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient
Outputs/ NPCO)
NPCO = A / E
Koefisien Proteksi Output atau Nominal Protection on Tradable Output
adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan
penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator
dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output (Monke and Pearson, 1989).
NPCO digunakan untuk mengukur dampak intensif kebijakan pemerintahan yang
menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat
dan social. Jika nilai NPCO lebih kecil dari satu menunjukkan adanya kebijakan
pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa subsidi negatif (pajak).
3.3.3.2. Kebijakan Input
1) Transfer Input (TI)
TI = J = B – F
Transfer Input adalah selisih antara biaya input tradable pada harga privat
dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya
kebijakan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable (Monke and
Pearson, 1989). Nilai TI yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada
input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima lebih kecil dibandingkan
tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan keuntungan yang diterima
secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
52
2) Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient on
Inputs/ NPCI)
NPCI = B / F
Koefisien proteksi input nominal merupakan indikator yang menunjukkan
tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. NPCI adalah rasio
antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya
input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi
adanya transfer input (Monke and Pearson, 1989). Nilai NPCI lebih besar dari
satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor
yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya
produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu berarti menunjukkan adanya
hambatan ekspor input sehingga produksi menggunakan input lokal.
3) Transfer Faktor (TF)
TF = K = C – G
Nilai TF menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Jika nilai
TF positif berarti terdapat subsidi negatif pada input non tradable(Monke and
Pearson, 1989) . Jika nilai TF negatif berarti terdapat subsidi positif pada input
non tradable.
3.3.3.3. Kebijakan Input – Output
1) Koefisien Proteksi Efektif ( Effective Protection Coefficient / EPC)
EPC = (A – B) / (B – F)
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas
53
dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan seberapa besar kebijakan pemerintah
bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif (Monke
and Pearson, 1989). Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah
apakah bersifat melindungi ataukah menghambat produksi domestic secara
efektif. Nilai EPC lebih besar sari satu menunjukkan tingginya proteksi
pemerintah dalam sistem produksi daging sapi, sedangkan nilai EPC kurang dari
satu berarti proteksi pemerintah terhadap sistem produksi daging sapi sangat
rendah
2) Transfer Bersih (TB)
TB = L = D – H
Transfer Bersih (TB) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-
benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. TB
menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap
penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani (Monke and
Pearson, 1989). TB digunakan untuk melihat ketidakefisienan dalam sistem
produksi. Jika nilai TB lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukkan
tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
dilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil akan menunjukkan
keadaan yang sebaliknya.
3) Koefisien Keuntungan ( Profitability Coefficient / PC)
PC = D / H
Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang
benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosial. KK
54
menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan
antara keuntungan privat dan sosial (Monke and Pearson, 1989). Nilai PC kurang
dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan
yang diterima produsen lebih kecil jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Sebaliknya, nilai PC lebih dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan
keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar.
4) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
SRP = L / H
Rasio subsidi produsen menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan
penerimaan total karena adanya kebijakan pemerintah. SRP memungkinkan untuk
membuat perbandingan antara besarnya subsidi perekonomian bagi sistem
komoditi pertanian (Monke and Pearson, 1989). Nilai SRP yang negatif
menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan
produsen mengeluarkan biaya produsen lebih kecil dari biaya imbangan untuk
berproduksi. Sebaliknya, nilai SRP yang positif menunjukkan kebijakan
pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya
produsen lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi.
3.4. Penentuan Harga Bayangan
Dalam melakukan analisis komparatif dalam konsep daya saing,
digunakan harga bayangan yaitu suatu harga yang lebih dekat menggambarkan
biaya imbangan terhadap masyarakat (Gittinger,1986) dan menggunakan harga
pasar untuk mengetahui keunggulan kompetitif. Untuk output yang sedang atau
55
kemungkinan untuk diimpor, harga yang dgunakan adalah c.i.f (cost insurance
freight) ditambah pengeluaran transfer (transfer payment) atau biaya tataniaga
lainnya. Harga bayangan untuk faktor produksi mencakup input sarana produksi
dan peralatan, dibedakan menjadi barang yang tradable (dapat diperdagangkan)
dan non tradable (tidak dapat diperdagangkan).
3.4.1. Penentuan Harga Bayangan Input
1) Sapi Bakalan
Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil impor. Harga bayangan
bakalan yang diimpor digunakan harga c.i.f yang dikonversikan ke rupiah dengan
nilai tukar bayangan dan ditambah dengan biaya transportasi dan biaya tataniaga
lainnya (transfer payment). Perhitungan harga bayangan sapi bakalan secara
lengkap disajikan pada Lampiran 2.
2) Tenaga Kerja
Menurut Gittinger (1986), di negara berkembang umumnya tenaga kerja
ahli (terdidik) jumlahnya sedikit, upah yang ditunjukkan umumnya sudah
menunjukkan nilai marjinal tenaga kerja. Di Negara berkembang banyak
pengangguraan dan adanya peraturan upah minimum menyebabkan upah yang
dibayarkan tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, yaitu lebih besar dari
social opportunity cost (Kadariah et al, 1978). Oleh karena itu harga bayangan
tenaga kerja haruslah lebih rendah dari tingkat upah pasarnya. Penentuan harga
bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan perhitungan yang dilakukan
Yudja (2001) dan Suryana (1980) dalam Emilya (2001) yaitu sebesar 80 persen
dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian.
56
3) Pakan Ternak
Hampir seluruh bahan baku penyusun konsentrat digolongkan sebagai
komponen tradable, sementara pakan hijauan digolongkan sebagai komponen non
tradable, maka penentuan harga bayangan konsentrat sama seperti penentuan
harga bayangan sapi bakalan. Sedangkan pakan hijauan diasumsikan sama dengan
harga pasar, dimana didekati dengan harga hijauan di tingkat petani yang
menggambarkan biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan hijauan.
Perhitungan harga bayangan pakan konsentrat disajikan pada Lampiran 3.
4) Bunga Modal
Tingkat bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Modal yang digunakan oleh petani pada
penelitian ini seluruhnya menggunakan modal sendiri. Untuk menghitung harga
bayangan bunga modal digunakan pendekatan suku bunga rill yaitu tingkat suku
bunga aktual dikurangi dengan inflasi ( 15 persen dikurangi inflasi 5,12 persen).
5) Listrik (pemeliharaan)
Biaya listrik dan air merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
pemeliharan, karena air yang digunakan yaitu menggunakan pompa air dengan
listrik, maka biaya air dianggap sama dengan biaya listrik. Menurut Sunandar
(2006), listrik merupakan komponen non-tradeable yang masih bersubsidi,
sehingga harga bayangan listrik ditentukan dengan harga pasar ditambah dengan
besarnya subsidi listrik pada tahun 2010 yaitu sebesar 25,6 persen.
57
6) Angkutan
Biaya angkutan merupakan biaya transpotasi yang digunakan untuk
melakukan kegiatan distribusi dan pemasaran. Angkutan yang dipakai
menggunakan bahan bakar minyak yang merupakan komponen non-tradeable
yang masih bersubsidi. Serupa dengan penentuan harga bayangan listrik, harga
bayangan angkutan ditentukan dengan harga pasar ditambah dengan besarnya
subsidi BBM pada tahun 2010 yaitu sebesar 36,7 persen.
7) Administrasi Kantor, Jalan dan Prasarana
Biaya administrasi kantor, jalan dan prasarana merupakan komponen non-
tradeable maka diasumsikan mempunyai harga bayangan yang sama dengan
harga pasarnya.
8) Bangunan,Kandang dan Peralatan
Biaya pembuatan bangunan dan kandang serta biaya penyusutannya
dianggap mempunyai harga bayangan yang sama dengan harga pasarnya
(diasumsikan komponen non tradable). Sedangkan untuk penysutan peralatan
juga merupakan komponen non tradable, diasumsikan harga bayangan sama
dengan harga pasarnya.
3.4.2. Penentuan Harga Bayangan Output
1) Sapi (Output)
Sapi merupakan output yang dihasilkan dari usaha penggemukan sapi
potong. Sapi termasuk komponen tradable karena diperdangkan di pasar
internasional, maka penenentuan harga bayangan sapi serupa dengan penentuan
harga banyangan sapi bakalan yaitu digunakan harga c.i.f yang dikonversikan ke
58
rupiah dengan nilai tukar bayangan dan ditambah dengan biaya transportasi dan
biaya tataniaga lainnya (transfer payment). Perhitungan disajikan pada Lampiran
3.
3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar
Menurut Gittinger (1986), harga bayangan nilai tukar diperoleh secara
sistematis dengan cara :
SER = OER (M + Ti) + (X – Sx) = OER/SCF
M + X
Keterangan : SER = nilai tukar harga bayangan (Rp/US$ 1) OER = nilai tukar resmi (Rp/US$ 1) X = nilai ekspor (Rp) M = nilai impor (Rp) Ti = penerimaan pemerintah dan pajak impor (Rp)
Sx = subsidi ekspor (penrimaan dari pajak ekspor dapat dianggap sebagai subsidi yang bernilai negative
Penentuan harga bayangan nilai tukar secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.
59
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Sejarah Perusahaan
PT.Widodo Makmur Perkasa merupakan salah satu perusahaan yang
bergerak dalam bidang perdagangan (trading) dan penggemukan (fattening) sapi
pedaging. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1997 di mulai di Klaten dengan
nama Koperasi Majelis Taklim Widodo Makmur. Kegiatan perusahaan pada awal
berdirinya hanya melakukan perdagangan sapi lokal yang didatangkan dari
Madura untuk kebutuhan daging di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat
khususnya Jakarta. Kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan pada tahun
pertama semakin meningkat yang ditandai dengan bertambahnya populasi sapi
yang ada sehingga dibutuhkan lahan lebih luas sebagai tempat penampungan
ternak sekaligus tempat penggemukan. Kebutuhan tersebut menjadi latar belakang
perusahaan untuk melanjutkan usaha ke kawasan Gunung Putri, Bogor, Jawa
Barat pada tahun 1999.
Sepanjang tahun 2000, kondisi pasar ternak sapi semakin membaik
dikarenakan permintaan daging sapi yang mengalami peningkatan, maka pada
tahun 2001 perusahaan melakukan ekspansi usaha di Cileungsi, Bogor, Jawa
Barat dengan kapasitas kandang 10.000 ekor. Sapi yang digemukkan adalah sapi
impor dari Australia, dikarenakan permintaan akan daging sapi impor semakin
meningkat dan sebaliknya populasi sapi bakalan lokal semakin menurun.
Berdasarkan akta notaris No. 1 tertanggal 1 April 2003 yang dibuat dihadapan
Notaris Durachman, SH, dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak
60
Asasi Manusia tanggal 2 Juni 2003 nomor : C-12140HT.01.01.TH.2003
perusahaan berubah nama menjadi PT.Widodo Makmur Perkasa.
Peningkatan jumlah sapi impor tersebut, mendorong perusahaan
mendirikan cabang feedlot di daerah Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2007 yang
disebut PT.Pasir Tengah dengan kapasitas kandang 12.000 ekor dan luas lahan
kurang lebih 50 ha. Anak perusahaan ini didirikan sebagai antisipasi terhadap
penyediaan ternak untuk kota Jakarta, Bandung dan sekitarnya, karena kebutuhan
daging sapi untuk konsumsi penduduk Jakarta belum terpenuhi serta
memanfaatkan peluang pasar sapi potong.
4.2. Letak Geografis Perusahaan
PT.Widodo Makmur Perkasa melakukan kegiatan usahanya di Kampung
Nyalindung Desa Mampir Rt 10/V Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Kantor pusat berlokasi di Ruko Cibubur Indah Blok F no.16 dengan alamat
Jalan Lapangan Tembak Jakarta TImur. Kisaran suhu di wilayah PT.Widodo
Makmur Perkasa antara 28°C-32°C dan memiliki curah hujan rata-rata setiap
tahun 1.950 mm3 . Daerah peternakan merupakan daerah perkebunan dan
persawahan yang memiliki topografi tanah yang relatif datar dengan sedikit tanah
yang berbukit-bukit dan berada di ketinggian 164 m dari permukaan laut (dpl).
Perusahaan didirikan di daerah perbukitan dengan tanah berwarna
kemerahan dan jarak rata-rata dengan pemukiman penduduk 30 meter dari lokasi
peternakan. Luas areal yang digunakan untuk peternakan adalah 30.000 m2. Batas
wilayah perusahaan adalah batas utara Desa Gandoang, batas timur Desa Situ
61
Sewu, batas selatan Desa Bojong dan batas barat Desa Dayeuh. Sejak tahun 2008,
daerah Cileungsi telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan dengan komoditas
unggulan di bidang peternakan yaitu sapi potong, dilihat dari potensi daerahnya di
wilayah Kabupaten Bogor, dan PT.Widodo Makmur Perkasa sebagai perusahaan
penggemukan sapi potong terbesar di kawasan tersebut (Gambar 4.1).
Tenjo
Gn. Sindur
Rumpin
Ciseen
gCiseeng
Parung
Tjr.
Halang Bj.
Gede
Gunung
Putri
Cileungsi
JasingaCigudeg
Sukajaya
Leuwi-
sadeng Cibung-
bulangCiam
pea
Rc.
Bungur
Kemang
Tenjo-
laya
Kota
BogorDra-
maga
Taman-
sari
Cigom-
bong
Cijeruk
Sukamakmur
Bbk.
Madang
Citeureup
Suka-
raja
Caringin
Ciawi
Ciungbu
langMg.mendung
Cisarua
Jonggol
Tanjung Sari
Klapanunggal
Sapi Potong
Keterangan:
Ciomas
Cibinong
Cariu
Pamijahan
Nanggung
Pr.
Panjang
Leuwiliang
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 4.1. Peta Potensi Wilayah Pengembangan Ternak Sapi Potong di
Kabupaten Bogor
4.3. Jalur Tataniaga Perusahaan
Jalur tataniaga merupakan bagian penting dalam keberlangsungan usaha di
PT.Widodo Makmur Perkasa karena jalur tataniaga dalam proses produksi, akan
menentukan besarnya biaya produksi serta akan menentukan kualitas bahan baku
dalam hal ini yaitu sapi potong hidup. Jalur tataniaga dalam usaha penggemukan
ini dari sapi bakalan hingga sampai kepada konsumen tersaji dalam Gambar 4.2.
62
Sumber : Arsip PT.Widodo Makmur Perkasa, 2011
Gambar 4.2. Jalur Tataniaga PT.Widodo Makmur Perkasa
4.4. Manajemen Perusahaan
4.4.1. Manajemen Organisasi
Keberhasilan suatu proyek/ usaha sangat ditentukan oleh kemampuan
manajemen yang bersangkutan untuk secara professional mengelola proyek/ usaha
tersebut. Penerapan sistem manajemen yang tepat, pemilihan dan penempatan
tenaga manajerial serta tenaga professional yang tepat akan mampu menciptakan
proyek yang nantinya dapat memberikan benefit yang signifikan bagi perusahaan.
Prinsip manajemen yang diterapkan pada perusahaan PT.Widodo Makmur
Perkasa ini, pada dasarnya mengacu pada sistem manajemen modern yang
meliputi perncanaan, organisasi, pelaksanaan dan pengawasan.
4.4.2. Manajemen Tenaga Kerja
Salah satu hal penting dalam menjalankan suatu usaha adalah bagaimana
mengelola sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan sehingga pihak
manajemen perusahaan bisa menyatukan dan mengarahkan sumber daya manusia
yang ada, kearah satu tujuan yang telah ditetapkan dan sekaligus perusahaan dapat
digemukkan
Pelabuhan Tanjung Priok Karantina
PT.Widodo Makmur Perkassa
Sapi bakalan dari Australia
RPH Perusahaan Pengolahan
Daging
Konsumen Lainnya
63
memperoleh manfaat yang maksimal. Kebutuhan akan tenaga kerja ini tentunya
disesuaikan dengan pos-pos yang tersedia dan kemampuan serta keterampilan
yang dimiliki. Banyaknya tenaga kerja PT.Widodo Makmur Perkasa saat ini yaitu
berjumlah ± 42 orang tediri dari 12 orang top manajerial dan 30 orang staf biasa.
Dalam rencana pengembangan usahanya, perusahaan juga akan merekrut pegawai
baru yang akan ditempatkan di lokasi peternakan dengan jumlah sekitar 6 orang
manajer dan 30 orang staf.
4.4.3. Manajemen Pemasaran
Hal pertama yang umumnya harus dipethatikan dalam manajemen
pemasaran ini antara lain adalah pemilihan pasar, yaitu mengetahui sampai sejauh
mana permintaan dan penawaran atas produk yang dihasilkan. Sebagai kelanjutan
dari pemilihan pasar diatas adalah penentuan harga jual, sifat jasa, strategi
pemasaran yang efektif & efisien, analisa pesaing dan market share yang ada.
Selain itu perusahaan perlu menjaga mutu pelayanan dan menepati jawdal
pelayanan baik kepada supplier maupun kepada konsumen.
4.5. Struktur Organisasi
Kegiatan operasional perusahaan akan dapat berjalan dengan baik apabila
ditunjang dengan adanya pembagian tugas pada masing-masing personal.
Pembagian tugas dan fungsi tersebut diatur sesuai dengan struktur organisasi yang
dimiliki perusahaan. Melalui struktur organisasi akan membatu dalam penentuan
tanggung jawab terhadap pekerjaan dan kepada siapa seseorang harus melaporkan
hasil kegiatannya.
64
Pemegang kekuasaan tertinggi pada PT.Widodo Makmur Perkasa adalah
Komisaris dan pelaksanaan kegiatan operasional dipimpin oleh Direktur Utama.
Pelaksanaan operasional di lapangan dipimpin oleh seorang Manager Farm yang
dibantu oleh seorang supervisor dalam melaksanakan tugasnya. Pembagian tugas
dan fungsi yang ada di PT.Widodo Makmur Perkasa dapat dilihat pada Gambar
4.3.
Sumber : Arsip PT.Widodo Makmur Perkasa, 2011
Gambar 4.3. Struktur Organisasi PT.Widodo Makmur Perkasa
Direktur Utama
Ir.Tumiyana
Chief Executive Officer
Bapak Nugroho
Bagian Keuangan
Bapak Marlan
Bagian Produksi
Bapak Ali Agus
Pemasaran
Indra G.
Feedmill
Ir.Ali M.
Keuangan
Sri R.
Logistik
Winanto
Feedlot
Ir.Heri
Data
Ir.Giyono
Kepala
Kandang
Mekanik
Peralatan
Staff
Pekerja
Feedmill
Keamanan
Sopir
Kondektur,
Montir
65
4.6. Kegiatan Perusahaan
4.6.1. Pemberian Pakan
Pakan yang digunakan PT.Widodo Makmur Perkasa ada dua jenis yaitu
hijauan dan konsentrat. Penentuan bahan pakan didasarkan pada kebutuhan
ternak, kandungan nutrisi bahan pakan serta memperhatikan faktor ekonomi.
Hijauan yang digunakan adalah jerami padi fermentasi sedangkan konsentrat yang
digunakan merupakan buatan sendiri. PT.Widodo Makmur Perkasa memperoleh
pakan dengan cara membeli, perusahaan mengusahakan pakan semurah mungkin
namun dengan kualitas konsentrat yang baik, dari segi kualitas maupun kuantitas
pakan. Karena pakan merupakan faktor terbesar yang berpengaruh pada faktor
produksi.
Pemberian pakan konsentrat di PT.Widodo Makmur Perkasa dilakukan
sebanyak 3 kali, yaitu pukul 09.00 WIB, 14.00 WIB dan 18.00 WIB sebanyak 6-8
kg per ekor perhari. Sedangkan pemberian jerami dilakukan 2 kali , yaitu pukul
07.00 WIB dan 13.00 WIB sebanyak 3-5 kg per ekor perhari. Pengaturan
pemberian pakan jerami dan konsentrat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi
kecernaan bahan pakan karena pada dasarnya ternak akan mengkonsumsi pakan
dengan baik daripada diberi pakan secara sekaligus. Hal ini juga akan
meningkatkan kecernaan pakan tersebut.
4.6.2. Pemberian Air Minum
Dalam pemberian pakan, pemberian minum juga harus diperhatikan
karena air memiliki peranan yang besar bagi tubuh ternak. Pemberian air minum
pada sapi di PT.Widodo Makmur Perkasa yaitu dengan pemberian air minum
yang disediakan pada masing-masing kandang secara melimpah dan tidak
66
dibatasi. Air minum idealnya diganti sebanyak dua kali sehari, namun karena
keterbatasan tenaga kerja di PT.Widodo Makmur Perkasa maka pembersihan
tempat air minum dilaksanakan dua minggu sekali.
4.6.3. Penimbangan Sapi
Ternak yang digemukkan di PT.Widodo Makmur Perkasa diperoleh dari
Australia dengan melakukan kerja sama antara perusahaan dengan Scott, Hallen
dan South East Asian Livestock Service (SEALS) sebagai eksportir. Pembelian
dilakukan atas dasar kepercayaan antara kedua belah pihak melalui telepon,
faximile maupun e-mail dan dilakukan per kelompok. Setelah ada kesepakatan
harga maka ternak dikirim melalui kapal laut yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung
Priok. Penentuan harga didasarkan pada bobot badan ternak saat tiba di Pelabuhan
Tanjung Priok.
Penimbangan sapi yang dilakukan di PT.Widodo Makmur Perkasa
dilaksanakan setiap satu minggu sekali, baik untuk penjualan maupun untuk
mengetahui pertambahan bobot badan harian (PBBH) per minggu. Penimbangan
untuk mengetahui PBBH umumnya hanya dilakukan secara acak atau sample
diambil dari setiap pen atau dari satu pen semua, sedangkan penimbangan untuk
penjualan dilakukan per ekor. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pertambahan
bobot badan harian dan harga jual pembeli.
4.6.4. Pembersihan Feses
Pembersihan feses di PT.Widodo Makmur Perkasa dilaksanakan setiap
dua minggu sekali. Pembersihan feses juga dapat dilihat dari keadaan iklim dan
cuaca sekitarnya. Pada musim hujan lantai kandang dapat dibersihkan dari feses,
67
air urine dan sisa-sisa pakan yang terjatuh di lantai kandang sebanyak satu minggu
sekali, jika lantai kandang sudah terlihat penuh dengan feses maka segera
dibersihkan dan seterusnya.
Feses mengalir dari kandang sapi ke bagian selokan yang sudah diarahkan
ke bagian penampungan feses berupa jalan selokan yang akan ditangani kemudian
oleh para pekerja untuk diolah dan dijadikan pupuk kompos yang siap dijual.
Kemiringan lantai kandang kurang lebih 5°, agar air dan feses dapat mengalir
sendiri ke tempat penampungan feses.
4.7. Pemasaran Perusahaan
Perdagangan sapi di kawasan Jabodetabek dan sekitarnya dijalankan oleh
beberapa peternak besar, salah satu diantaranya adalah PT.Widodo Makmur
Perkasa. Masing-masing peternak memiliki area pasar sendiri sesuai dengan letak
lokasi usaha masing-masing sehingga persaingan antara peternak yang satu
dengan yang lain tidak terlalu berdampak negatif. Persaingan yang ada saat ini
yaitu pada kualitas produk ternak sapi, bukan masalah harga. Karena harga satu
peternak dengan peternak lainnya relatif sama. Untuk mengatasi persaingan
tersebut perusahaan melakukan efisiensi produksi dengan tetap mmenghasilkan
ternak yang berkualitas. Orientasi pemasaran produk PT.Widodo Makmur Perkasa
yaitu pada kota-kota padat penduduk seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi
ditambah wilayah lain seperti Cianjur dan sekitarnya. Permintaan pasar di daerah
tersebut tersaji pada Tabel 4.1.
68
Tabel 4.1. Permintaan Sapi di Beberapa Rumah Potong Hewan
No. Wilayah Volume
(ekor/hari)
Total
(ekor/hari)
1.
Jakarta
RPH Priok 40
298
RPH Cakung 100
RPH Pulo Gadung 80
RPH Bekasi 28
RPH Lainnya 50
2.
Bogor
RPH Good Year 70
162
RPH Leuwiliang 20
RPH Cibinong 30
RPH Cileungsi 12
RPH Lainnya 30
3.
Cianjur
RPH Jebrod 36
220 RPH Cipanas 24
RPH Sukabumi 80
RPH Subang 80
4.
Tangerang
RPH Karawaci 160
472
RPH Ps.Kemis 70
RPH Ciputat 24
RPH Reni Jaya 36
RPH Bayur 62
RPH Gondrong 40
RPH Lainnya 80
5. Tidak terdaftar di RPH
400
Total 1.552 Sumber : Arsip PT.Widodo Makmur Perkasa
Dari total kebutuhan pasar 1.552 ekor sapi potong per hari, PT.Widodo Makmur
Perkasa dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar rata-rata 130 ekor per hari atau
sekitar 8,4 persen.
4.8. Keragaan Sapi Bakalan yang Digunakan
Jenis sapi bakalan yang digunakan pada usaha penggemukan ini adalah
sapi bakalan impor dari Australia berjenis Brahman Cross. Pada penelitian ini,
jenis sapi yang digemukkan yaitu Brahman Cross betina dan jantan yang
memiliki keragaan yang berbeda dari segi jumlah/ volume, bobot, serta lamanya
69
penggemukkan. Jumlah sapi betina yang digemukkan pada penelitian ini
berjumlah lebih banyak dibandingkan sapi jantan yaitu sebanyak 851 ekor, hal
tersebut dikarenakan sapi betina lebih diminati oleh para trader sapi potong hidup
karena selain dapat dipotong, sapi betina juga dapat menghasilkan bibit sapi yang
dapat dikembangbiakan. Sedangkan jumlah sapi jantan yang digemukkan
sebanyak 646 ekor. Rata-rata bobot awal sapi bakalan (per ekor) pada penelitian
ini yaitu 314 kg untuk sapi betina dan 321 kg untuk sapi jantan. Pertambahan
bobot yang terjadi akibat penggemukkan yang dilakukan pada usaha ini yaitu
dengan pertambahan bobot sebesar 32,75 persen dengan lama penggemukan 90
hari untuk sapi betina dan sebesar 13,82 persen dengan lama penggemukan 58
hari untuk sapi jantan. Penggemukan yang dilakukan pada usaha ini yaitu dengan
pemeliharaan secara intensif, sehingga rata-rata bobot sapi (per ekor) yang telah
siap untuk dijual yaitu 416 kg untuk sapi betina dan 366 kg untuk sapi jantan.
70
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan
Daya saing usaha penggemukan sapi potong diukur menggunakan metode
Policy Analysis Matrix (PAM) melalui analisis keunggulan komparatif dan
kompetitif. Tabel PAM juga dapat digunakan untuk menganalisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong. Pada penelitian
ini, daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor ditunjukkan
oleh daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa.
Daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa
dihitung dari dua jenis sapi bakalan yang berbeda yang merupakan input produksi
peternak, yaitu sapi betina dan sapi jantan. Perbandingan daya saing usaha
penggemukan sapi potong dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan
tabel PAM sapi betina dan sapi jantan pada tahun 2010 yang merupakan tahun
setelah terjadi kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan di Indonesia.
Perhitungan daya saing usaha penggemukan sapi potong ketika terjadi kebijakan
pembatasan volume impor sapi bakalan untuk sapi betina dan sapi jantan
menggunakan biaya produksi dan penerimaan pada tahun 2010 dengan
memperhitungkan inflasi yang terjadi.
Baris pertama Tabel PAM merupakan estimasi dari keuntungan privat
yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang
mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan
kegagalan pasar. Adapun rekapitulasi dari perhitungan budget privat usaha
71
penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan
sapi jantan disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Berdasarkan rekapitulasi pada
Lampiran tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan privat usaha
penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina yaitu
sebesar Rp 8.208.170.012, biaya input tradable sebesar Rp 6.632.765.231, dan
biaya faktor domestik Rp 553.028.738. Oleh karena itu diperoleh keuntungan
privat sebesar Rp 1.022.376.043 yang merupakan selisih dari total penerimaan
dan total biaya (tradable dan faktor domestik). Jumlah penerimaan privat untuk
sapi jantan yaitu sebesar Rp 5.367.775.336, biaya input tradable sebesar Rp
4.466.001.370, dan biaya input domestik Rp 278.944.047. Maka keuntungan
privat yang diperoleh sebesar Rp 622.829.919.
Baris kedua merupakan estimasi keuntungan sosial atau daya saing dalam
keunggulan komparatif yang tercermin dari keuntungan sosial. Rekapitulasi dari
perhitungan budget sosial usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur
Perkasa untuk sapi jenis betina dan sapi jenis jantan tersaji pada Lampiran 3 dan
4. Berdasarkan rekapitulasi tersebut, dapat dilihat bahwa jumlah penerimaan
sosial usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi
betina sebesar Rp 5.538.261.676, biaya input tradable sebesar Rp 4.898.687.144,
dan biaya input domestik sebesar Rp 499.783.650, sehingga diperoleh keuntungan
sosial sebesar Rp 599.143.026. Jumlah penerimaan sosial untuk sapi jantan yaitu
sebesar Rp 3.697.120.016, biaya input tradable sebesar Rp 3.408.355.323, dan
biaya input domestik Rp 256.238.451. Maka keuntungan privat yang diperoleh
sebesar Rp 272.547.734.
72
Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang
menggambarkan divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM
juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan,
kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan
yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Berdasarkan rekapitulasi
perhitungan budget privat dan sosial tersebut, kemudian diperoleh Tabel PAM
usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi jenis
betina dan sapi jenis jantan. Adapun hasil tabulasi dasar matriks kebijakan
pemerintah pada usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa
dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Penggemukan Sapi Potong
PT.Widodo Makmur Perkasa Tahun 2010
Uraian Penerimaan
Biaya
Keuntungan Input Tradable
Faktor
Domestik
Sapi Betina
Privat 8.208.170.012 6.632.765.231 553.028.738 1.022.376.043
Sosial 5.538.261.676 4.898.687.144 499.783.650 599.143.026
Divergensi 2.669.908.336 1.734.078.087 53.245.088 423.233.017
Sapi Jantan
Privat 5.367.775.336 4.466.001.370 278.944.047 622.829.919
Sosial 3.697.120.016 3.408.355.323 256.238.451 272.547.734
Divergensi 1.670.655.321 1.057.646.047 22.705.596 350.282.185
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat bahwa usaha penggemukan sapi
potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan sapi jantan memiliki
daya saing pada harga privat dan sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai
Keuntungan Privat (Privat Provit/PP) dan Keuntungan Sosial (Social Provit/SP)
untuk sapi betina yang bernilai positif, yaitu Rp 1.022.376.043 dan Rp
599.143.026 per shipment dan untuk sapi jantan yaitu Rp 622.829.919 dan Rp
73
272.547.734 per shipment. Besar nilai PP dan SP menunjukkan besar penerimaan
yang diterima perusahaan setelah membayar semua biaya input produksi. Nilai PP
lebih besar dibanding nilai SP menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan volume
impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor
untuk sapi betina dan sapi jantan menguntungkan bagi perusahaan karena
perusahaan menerima keuntungan yang lebih besar dibanding keuntungan yang
seharusnya diterima ketika tidak ada kebijakan tersebut.
Divergensi atau selisih antara penerimaan privat dan sosial bernilai positif
untuk sapi betina sebesar Rp 2.669.908.336 dan sapi jantan sebesar Rp
1.670.655.321 per shipment. Hal ini dikarenakan harga privat output (sapi) untuk
sapi betina dan sapi jantan lebih besar dibanding harga sosialnya. Perbedaan harga
privat dan sosial ini diindikasikan dikarenakan adanya kebijakan pemerintah
berupa penetapan kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan. Pembatasan
tersebut menyebabkan supply sapi bakalan impor berkurang, sehingga permintaan
akan sapi bakalan domestik meningkat dan harga sapi bakalan domestik naik. Hal
ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah berupa pembatasan volume
impor sapi bakalan menguntungkan bagi perusahaan, karena penerimaan yang
diterima pada kondisi aktual lebih besar dibanding yang seharusnya diterima
ketika tidak ada kebijakan tersebut.
Divergensi atau selisih antara biaya input tradable privat dan sosial juga
bernilai positif untuk sapi betina dan sapi jantan yaitu sebesar Rp 1.734.078.087
dan Rp 1.057.646.047 per shipment. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan
74
adanya kebijakan pemerintah, usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo
Makmur Perkasa harus membayar harga lebih tinggi dari harga ekonominya.
Divergensi atau selisih antara biaya faktor domestik privat dan sosial juga
bernilai positif untuk sapi betina dan sapi jantan yaitu sebesar Rp 53.245.088 dan
Rp 22.705.596. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan sapi potong
PT.Widodo Makmur Perkasa harus mengeluarkan biaya lebih atas faktor domestik
dibanding dengan biaya faktor domestik secara ekonomi. Alasan yang
menyebabkannya adalah adanya kebijakan mengenai Upah Minimun Regional.
5.2. Perbandingan Indikator PAM Usaha Penggemukan Sapi Potong
PT.Widodo Makmur Perkasa untuk Sapi betina dan Sapi jantan tahun
2010
Dampak kebijakan pemerintah berupa adanya pembatasan volume impor
sapi bakalan pada pertengahan tahun 2010 terhadap daya saing usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor khususnya di PT.Widodo Makmur
Perkasa untuk sapi betina dan sapi jantan dapat dilihat dari perbandingan indikator
tabel PAM untuk sapi betina dengan tabel PAM untuk sapi jantan (Tabel 5.1).
Perbandingan nilai indikator PAM kedua jenis sapi tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.2.
75
Tabel 5.2. Perbandingan Indikator-Indikator PAM pada Usaha
Panggemukan Sapi Potong PT.Widodo Makmur Perkasa untuk
Sapi betina dan Sapi jantan tahun 2010
No. Indikator
Nilai
Sapi betina Sapi jantan
Analisis Daya Saing
1. Keuntungan Privat (PP) 1.022.376.043 622.829.919
2. Keuntungan Sosial (SP) 599.143.026 272.547.734
3. Rasio Biaya Privat (PCR) 0,35 0,31
4. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,78 0,89
Dampak Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Output
5. Transfer Output (TO) 2.669.908.336 1.670.655.321
6. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 1,48 1,45
Kebijakan Input
7. Transfer Input (TI) 1.734.078.087 1.057.646.047
8. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1,35 1,31
9. Transfer Faktor 53.245.088 22.705.596
Kebijakan Input-Output
10. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 2,46 3,12
11. Transfer Bersih (NT) 423.233.017 350.282.185
12. Koefisien Keuntungan (PC) 1,71 2,29
13. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) 0,08 0,09
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
Tabel 5.2 menunjukkan perbedaan dari indikator daya saing usaha
penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan
sapi jantan pada tahun 2010. Adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi
bakalan mempengaruhi tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong di
PT.Widodo Makmur Perkasa khususnya untuk kedua jenis sapi bakalan tersebut.
5.2.1. Analisis Daya Saing
Analisis daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo
Makmur Perkasa setelah adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi
bakalan dapat dilihat dari tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif dari
76
usaha penggemukan sapi potong untuk kedua jenis sapi bakalan yang digunakan
tersebut. Keunggulan kompetitif dan komparatif diukur dari nilai indikator pada
PAM untuk sapi betina dan sapi jantan (Tabel 5.2). Indikator keunggulan
kompetitif antara lain Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya Privat (Privat Cost
Ratio/PCR). Keunggulan komparatif dapat diukur dari indikator Keunggulan
Sosial (SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource
Cost/DRC).
Keunggulan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo
Makmur Perkasa ditunjukkan oleh nilai Keuntungan Privat (PP) dan Rasio Biaya
Privat (PCR). Adapun nilai keuntungan privat untuk sapi betina dan jantan
bernilai positif seperti yang tercantum pada pembahasan sebelumnya. Dengan
demikian, sistem usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa
menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat.
Sementara itu, nilai PCR di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina yaitu
0,35 dan untuk sapi jantan yaitu 0,31. Hal ini mempunyai arti bahwa untuk
mendapatkan nilai tambah ouput sebesar satu satuan pada harga privat di
PT.Widodo Makmur Perkasa, diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang
dari satu satuan yaitu sebesar 0,35 untuk sapi betina dan 0,31 untuk sapi jantan.
Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka akan semakin besar tingkat
keunggulan kompetitif yang dimiliki. Berdasarkan nilai PCR tersebut, dengan
menggunakan input berupa sapi bakalan baik sapi betina maupun sapi jantan,
sistem usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa dapat
dikatakan efisien sacara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif.
77
Keunggulan komparatif adalah salah satu indikator untuk menilai apakah
usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa memiliki daya
saing dan mampu bertahan tanpa adanya intervensi pemerintah. Keunggulan
komparatif dapat dilihat dari keuntungan sosial (SP) dan nilai Rasio Biaya
Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC). Keuntungan sosial untuk
sapi betina dan jantan menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan
keuntungan privatnya. Hal ini berarti usaha penggemukan sapi potong di
PT.Widodo Makmur Perkasa lebih menguntungkan saat adanya intervensi dari
pemerintah terhadap input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Adapun
nilai DRC pada usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa
untuk sapi betina dan jantan yaitu 0,78 dan 0,89. Hal ini mengindikasikan bahwa
untuk melakukan penggemukan sapi bakalan menjadi sapi siap jual, PT.Widodo
Makmur Perkasa membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 78 persen
untuk sapi betina dan sebesar 89 persen untuk sapi jantan terhadap biaya impor
yang dibutuhkan. Dengan kata lain, usaha penggemukan sapi potong ini efisien
secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC<1 menunjukkan
bahwa walaupun tanpa kebijakan atau intervensi pemerintah, usaha penggemukan
sapi potong tetap efisien untuk dilakukan.
Perbandingan antara keunggulan kompetitif dan komparatif untuk sapi
betina dan jantan pada usaha pengemukkan sapi potong di PT.Widodo Makmur
Perkasa dapat dilihat dari nilai PCR yang lebih kecil dari nilai DRC. Hal ini
berarti usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa didukung
78
oleh kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung meningkatkan efisiensi
dalam melakukan aktifitas usaha.
5.2.2. Analisis Kebijakan Pemerintah
5.2.2.1. Kebijakan Output
Kebijakan pemerintah dalam output dapat dilihat dari dua indikator yaitu
transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (Nominal Protection
Coefficient Outputs/ NPCO). Nilai transfer output yang dihasilkan pada usaha
penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa untuk sapi betina dan
jantan bernilai positif yaitu Rp 2.669.908.336 dan Rp 1.670.655.321. Hal ini
berarti masyarakat atau konsumen membeli dengan harga yang lebih tinggi dari
harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Dengan kata lain,
masyarakat memberikan insentif terhadap PT.Widodo Makmur Perkasa dengan
adanya kebijakan pemerintah.
Nilai Koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio antara
penerimaan berdasarkan harga privat dengan permintaan berdasarkan harga sosial.
Nilai NPCO yang dihasilkan untuk sapi betina dan jantan yaitu 1,48 dan 1,45. Hal
ini berarti pemerintah memberikan proteksi pada usaha penggemukan sapi potong
PT.Widodo Makmur Perkasa dengan cara menaikkan harga output di atas harga
efisiensinya.
5.2.2.2. Kebijakan Input
Kebijakan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan output saja,
melainkan juga kebijakan yang berkaitan dengan input. Penerapakan kebijakan
berupa pembatasan volume impor sapi bakalan merupakan kebijakan yang
79
sebenarnya dilakukan pemerintah untuk melindungi produsen atau dalam hal ini
adalah peternak. Kebijakan pemerintah terhadap input produksi dapat dilihat dari
nilai transfer input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Nominal
pada Input (Nominal Protection Coefficient on Inputs/NPCI).
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input yang dihasilkan
untuk sapi betina dan jantan yaitu Rp 1.734.078.087 dan Rp 1.057.646.047. Hal
ini mengindikasikan bahwa dalam usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo
Makmur Perkasa, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi
dibandingkan dengan harga input tradable yang harus dikeluarkan pada harga
ekonomi. Dengan kata lain, harga sosial input tradable lebih rendah daripada
harga privatnya sehingga PT.Widodo Makmur Perkasa membayar input lebih
besar Rp 1.734.078.087 untuk sapi betina dan Rp 1.057.646.047 untuk sapi jantan
dari kondisi seharusnya akibat divergensi pemerintah.
Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah rasio antara biaya input
tradable berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga
sosial. Nilai NPCI yang diperoleh untuk sapi betina dan jantan adalah 1,35 dan
1,31 yang berarti pemerintah meningkatkan harga input tradable di pasar
domestik yang dihadapi PT.Widodo Makmur Perkasa di bawah harga dunia. Nilai
NPCI>1 menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap produsen input
tradable di pasar domestik. Dengan kata lain, adanya proteksi terhadap produsen
input tradable, akan berdampak kepada PT.Widodo Makmur Perkasa sebagai
sektor yang menggunakan input tersebut karena akan dirugikan dengan tingginya
biaya produksi
80
Transfer faktor (TF) adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat
yang diterima oleh PT.Widodo Makmur Perkasa untuk pembayaran faktor
produksi domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 53.245.088
untuk sapi betina dan Rp 22.705.596 untuk sapi jantan yang menunjukkan bahwa
harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih tinggi
dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga
ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input
domestik, misalnya subsidi kepada produsen input domestik yang digunakan oleh
PT.Widodo Makmur Perkasa. Kondisi ini mengakibatkan PT.Widodo Makmur
Perkasa sebagai salah satu usaha penggemukan sapi potong harus membayar input
domestik lebih mahal dari harga sosialnya, sementara produsen input domestik
mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 53.245.088 untuk sapi betina dan
Rp 22.705.596 untuk sapi jantan.
5.2.2.3. Kebijakan Input-Output
Analisis kebijakan Input-Output merupakan analisis gabungan antara
analisis input dan output. Analisa kebijakan input-output antara lain Koefisien
Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/ EPC), Transfer Bersih (TB),
Koefisien keuntungan (Profitability Coefficient/ PC), dan Rasio Subsidi Produsen
(SRP).
Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem usaha penggemukan sapi
potong di PT.Widodo Makmur Perkasa. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana
kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik.
81
Adapun nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu
2,46 untuk sapi betina dan 3,12 untuk sapi jantan yang menunjukkan bahwa
adanya proteksi pemerintah dalam sistem usaha penggemukan sapi potong.
Diindaksikan bahwa dampak kebijakan pemerintah secara tidak langsung
memberikan dukungan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong
dengan menetapkan harga output di atas harga efisiensinya atau dengan kata lain
usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa menerima insentif
dari konsumen. Secara umum, nilai EPC lebih dari satu mengandung arti bahwa
terdapat kebijakan pemerintah terhadap harga output dan input yang efektif
melindungi usaha penggemukan sapi potong.
Transfer bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengan
keuntungan bersih sosialnya. Nilai transfer bersih di lokasi penelitian adalah lebih
besar dari nol yaitu Rp 423.233.017 untuk sapi betina dan Rp 350.282.185 untuk
sapi jantan yang berarti adanya penambahan keuntungan untuk PT.Widodo
Makmur Perkasa yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai tersebut juga
mencerminkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output
akan meningkatkan surplus usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur
Perkasa sebesar Rp 423.233.017 untuk sapi betina dan Rp 350.282.185 untuk sapi
jantan.
Koefisien Keuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih
privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan
indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output,
kebijakan input asing, dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang
82
dihasilkan pada penelitian ini bernilai lebih dari satu yaitu 1,71 untuk sapi betina
dan 2,29 untuk sapi jantan. Angka teresbut menunjukkan keuntungan privat yang
diterima PT.Widodo Makmur Perkasa lebih besar dari keuntungan bersih
sosialnya. Artinya kebijakan pemerintah yang ada mengakibatkan keuntungan
yang diterima lebih besar jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
Rasio subsidi produsen (SRP) menunjukkan proporsi penerimaan pada
harga sosial di usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa
yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat
memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian
bagi sistem usaha penggemukan sapi potong. Nilai SRP yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 0,08 untuk sapi betina dan 0,09 untuk sapi jantan yang berarti
bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan usaha
penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa mengeluarkan biaya lebih
rendah 8 persen untuk sapi jenis betina dan 9 persen untuk sapi jantan dari biaya
opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang
ada secara tidak langsung menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan
daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa.
5.3. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubtitusi kelemahan metode
PAM yang bersifat statis yang hanya memberlakukan satu tingkat harga yang
sebenarnya sangat bervariatif. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk
mengetahui bagaimana kondisi daya saing usaha penggemukan sapi potong di
PT.Widodo Makmur Perkasa apabila terjadi perubahan kebijakan pada input
83
utama yaitu sapi bakalan. Pada penelitian ini, analisis sensitivitas yang akan
diperhitungkan yaitu perubahan jumlah/volume input sapi bakalan. Hasil tabulasi
analisis sensitivitas pada matriks PAM tercantum pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan
Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong pada
Analisis Sensitivitas
Perubahan Indikator
PCR DRC NPCO NPCI EPC PC SRP
Sapi betina
Normal 0,35 0,78 1,48 1,35 2,46 1,71 0,08
Volume Sapi Bakalan turun 10 persen
0,26 0,49 1,48 1,35 2,08 1,60 0,11
Volume Sapi Bakalan naik 10 persen
0,54 1,93 1,48 1,35 3,96 2,16 0,05
Sapi jantan
Normal 0,31 0,89 1,45 1,31 3,12 2,29 0,09
Volume Sapi Bakalan turun 10 persen
0,21 0,44 1,45 1,31 2,23 1,80 0,12
Volume Sapi Bakalan naik 10 persen
0.56 -36,25 1,45 1,31 -71,01 -9,58 0,07
Sumber: Data Primer, diolah (2011)
5.3.1. Kebijakan Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan diperketat
dengan Penurunan Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen
Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan merupakan salah satu paket
regulasi pemerintah dalam rangka mengurangi ketergantungan impor sapi bakalan
serta peningkatan pada peningkatan sumberdaya domestik. Ketika kebijakan
pembatasan volume sapi bakalan ini semakin diterapkan atau diperketat maka
jumlah/volume impor sapi bakalan akan semakin dikurangi. Hal ini sangat
mungkin terjadi untuk mendukung pencapaian PSDS 2014. Penetapan 10 persen
berdasarkan fakta bahwa dengan adanya kebijakan yang berlaku pada tahun 2010,
84
menyebabkan penurunan volume impor sapi bakalan sebesar 10 persen. Volume
sapi bakalan mengalami penurunan sebesar 10 persen yaitu 851 ekor menjadi 765
ekor untuk sapi betina dan 646 ekor menjadi 581 ekor untuk sapi jantan. Tabulasi
PAM untuk analisis sensitivitas yaitu dengan penurunan volume input sapi
bakalan sebesar 10 persen disajikan pada Tabel 5.4.
Table 5.4. Tabulasi PAM dengan Penurunan Volume Input Sapi Bakalan 10
persen
Uraian Penerimaan
Biaya
Keuntungan Input Tradable
Faktor
Domestik
Sapi betina
Privat 8.208.170.012 6.083.307.958 553.028.738 1.571.833.316
Sosial 5.538.261.676 4.518.262.710 499.783.650 979.567.460
Divergensi 2.669.908.336 1.565.045.248 53.245.088 592.265.856
Sapi jantan
Privat 5.367.775.336 4.066.202.233 278.944.047 1.022.629.056
Sosial 3.697.120.016 3.112.521.860 256.238.451 568.381.198
Divergensi 1.670.655.321 953.680.373 22.705.596 454.247.859
Sumber: Data Primer. diolah (2011)
Analisis sensitivitas ini mengakibatkan daya saing usaha penggemukan
sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa mengalami sedikit perubahan pada
tingkat keuntungan baik keuntungan privat maupun sosial untuk masing-masing
jenis. Namun perubahan penurunan harga sapi bakalan ini justru meningkatkan
daya saing usaha dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitifnya
dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini tercermin dari nilai PCR yang
semakin kecil yaitu 0. 26 untuk sapi betina dan 0.21 untuk sapi jantan (Tabel 5.3).
Sedangkan nilai DRC yang diperoleh juga semakin kecil yaitu 0.49 untuk sapi
betina dan 0.44 untuk sapi jantan.
85
Analisis efisiensi dengan skenario penurunan volume input sapi bakalan
sebesar 10 persen ini ternyata mendapatkan hasil tingkat daya saing yang paling
tinggi dibandingkan dengan skenario sensitivitas lainnya dan kondisi normal. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai PCR yang paling kecil yang berarti bahwa semakin
kecil nilai PCR maka semakin tinggi tingkat keuntungan kompetitif. Sedangkan
nilai DRC yang diperoleh juga menunjukkan nilai yang semakin kurang dari satu
yang berarti usaha menjadi semakin efisien dan memiliki keunggulan komparatif.
Nilai PCR dan DRC yang tercermin diperoleh dari kedua jenis sapi. Berdasarkan
fakta menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan
cukup efektif diterapkan pada usaha penggemukan sapi potong di PT.Widodo
Makmur Perkasa dan diharapkan juga berdampak secara merata bagi usaha
penggemukan sapi potong lainnya di Indonesia.
5.3.2. Kebijakan Pembatasan Volume Impor Sapi Bakalan diperlonggar
dengan Peningkatan Volume Input Sapi Bakalan sebesar 10 persen
Kebijakan pembatasan impor sapi bakalan diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan akan impor sapi bakalan. Namun. regulasi ini juga terkadang
menjadi dilematis apabila terjadi peningkatan permintaan dalam negeri akan sapi
potong untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi sementara sumberdaya domestik
secara nyata belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan tersebut.
Oleh karena itu. analisis sensitivitas ini menunjukkan kondisi apabila kebijakan
pembatasan impor sapi bakalan diperlonggar dan terjadi peningkatan volume
impor sapi bakalan. Penetapan 10 persen berdasarkan bahwa ketika kebijakan
pembatasan volume impor sapi bakalan belum diberlakukan. Indonesia mampu
melakukan impor sebesar 10 persen di atas volume setelah terjadinya kebijakan.
86
Volume sapi bakalan mengalami peningkatan sebesar 10 persen yaitu 851 ekor
menjadi 936 ekor untuk sapi betina dan 646 ekor menjadi 710 ekor untuk sapi
jantan. Tabulasi PAM untuk analisis sensitivitas yaitu dengan peningkatan volume
input sapi bakalan sebesar 10 persen disajikan pada Tabel 5.5.
Table 5.5. Tabulasi PAM dengan Peningkatan Volume Input Sapi Bakalan
10 persen
Uraian Penerimaan
Biaya
Keuntungan Input Tradable
Faktor
Domestik
Sapi betina
Privat 8.208.170.012 7.182.222.504 553.028.738 472.918.770
Sosial 5.538.261.676 5.279.111.578 499.783.650 218.718.591
Divergensi 2.669.908.336 1.903.110.926 53.245.088 254.200.179
Sapi jantan
Privat 5.367.775.336 4.865.800.507 278.944.047 223.030.782
Sosial 3.697.120.016 3.704.188.786 256.238.451 -23.285.729
Divergensi 1.670.655.321 1.161.611.721 22.705.596 246.316.511
Sumber: Data Primer. diolah (2011).
Analisis sensitivitas ini mengakibatkan daya saing usaha penggemukan
sapi potong di PT.Widodo Makmur Perkasa mengalami perubahan yang
diakibatkan oleh perubahan pada tingkat keuntungan sosial sapi jantan bernilai
negatif yaitu Rp 23.285.729 yang berarti bahwa ketika terjadi peningkatan volume
input sapi bakalan sebesar 10 persen maka usaha akan mengalami kerugian pada
tingkat harga sosial untuk sapi jantan .Perubahan peningkatan volume input sapi
bakalan ini mengakibatkan usaha penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur
Perkasa tidak memiliki daya saing usaha dari segi keunggulan komparatif untuk
sapi jantan. walaupun masih memiliki keunggulan dari segi keunggulan
kompetitif dibandingkan dengan kondisi normal. Hal ini tercermin dari nilai PCR
yaitu 0.54 untuk sapi betina dan 0.56 untuk sapi jantan . Sedangkan nilai DRC
yang diperoleh lyaitu 1.93 untuk sapi betina dan -36.25 untuk sapi jantan.
87
Perubahan yang cukup signifikan dibandingkan pada kondisi normal (Tabel 5.3).
Artinya. kebijakan ini menghasilkan usaha penggemukan sapi potong yang tidak
efisien secara ekonomi dan tidak memiliki keunggulan komparatif.
88
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor yang
diwakili oleh PT.Widodo Makmur Perkasa dapat dilihat dari analisis
keunggulan kompetitif dan komparatifnya. Indikator analisis keunggulan
kompetitif terdiri dari analisis keuntungan privat (Privat Profit / PP) dan
Rasio Biaya Privat (Privat Cost Benefit / PCR). Nilai keuntungan privat
bernilai positif menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong
PT.Widodo Makmur Perkasa memperoleh profit di atas normal sedangkan
nilai PCR menunjukkan nilai yang kurang dari satu. Hal ini menunjukkan
usaha ini efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Analisis
keungguluan komparatif terdiri dari analisis keuntungan sosial (Social
Profit/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource
Cost/DRC). Nilai keuntungan sosial bernilai positif, sedangkan nilai DRC
yang dihasilkan kurang dari satu, hal ini menunjukkan bahwa usaha
penggemukan sapi potong PT.Widodo Makmur Perkasa efisien secara
ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai PCR dan DRC yang
tercermin diperoleh dari kedua jenis sapi bakalan yang diproduksi.
2. Pengaruh adanya kebijakan pemerintah berupa pembatasan impor sapi bakalan
secara tidak langsung meningkatkan tingkat efisiensi yang berdampak pada
peningkatan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bogor
89
yang diwakili oleh PT.Widodo Makmur Perkasa. Kebijakan ini menyebabkan
PT.Widodo Makmur Perkasa mengeluarkan biaya lebih rendah dari
opportunity cost untuk berproduksi. menetapkan harga output di atas harga
efisiensinya, serta meningkatkan surplus usaha. Hal ini sesuai dengan hasil
analisis sensitivitas dengan skenario penurunan volume sapi bakalan, dimana
ketika kebijakan pembatasan impor sapi bakalan semakin diperketat maka
tingkat daya saingnya semakin meningkat.
6.2. Saran
1. Kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan terbukti sangat
mempengaruhi daya saing usaha penggemukan sapi potong. Namun dengan
adanya kebijakan ini justru meningkatkan daya saing usaha penggemukan sapi
potong dalam negeri. Kebijakan ini diharapkan disikapi dengan positif oleh
peternak sapi potong di Indonesia dengan cara meningkatkan efisiensi dalam
berproduksi serta mensubtitusi input yang masih bergantung dari impor
dengan penggunaan sumberdaya lokal.
2. Dengan adanya kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan, dari sisi
pemerintah juga diharapkan mengimbanginya dengan kebijakan lain yaitu
dengan adanya upaya nyata dalam hal pengembangan peternakan lokal yang
terpadu. Adapun upaya yang dilakukan yaitu melalui peningkatan populasi
dan produktivitas ternak sapi yang secara komprehensif mengarah kepada
pemberdayaan sumberdaya lokal dan secara sinergi melibatkan peran swasta
dan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat menuju tercapainya peningkatan
ketersediaan daging sapi produksi lokal yang optimal dan berkelanjutan
90
seperti tujuan utama Kegiatan Prioritas Pencapaian Swasembada Daging Sapi
Tahun 2014 (PSDS 2014) yaitu kegiatan ini diharapkan tidak hanya
memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional namun juga
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak serta memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional.
91
DAFTAR PUSTAKA
[APFINDO] Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia. 2011. Realisasi Impor Sapi
Bakalan. Sekretariat APFINDO. Jakarta.
Aliyatillah. F. M. 2009. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Komoditi Kakao [skripsi]. Departemen Agribisnis. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2010. Tabel Impor dan Ekspor menurut Bulan Tahun 2010
.Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Daryanto. A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.
. 2009. Swasembada Daging Sapi di Indonesia: Kinerja. Kendala dan
Strategi. Didalam : Rakorteknas Direktorat Jenderal Peternakan. Bandung 9
Desember 2009.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan 2008. Direktorat
Jenderal Peternakan. Jakarta.
. 2010. Buku Statistik Peternakan 2010.
Direktorat Jenderal Peternakan .Jakarta.
. 2010. Blue Print Kegiatan Prioritas
Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Direktorat Jenderal
Peternakan. Jakarta.
. 2010. Perkembangan Volume Impor Daging
Sapi 2004-2010. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta
. 2010. Volume dan Nilai Impor menurut Kode
HS 01 s/d 25 Januari-Oktober 2010. Direktorat Jenderal Peternakan.
Jakarta.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2010. Buku Data Potensi
Peternakan Kabupaten Bogor 2010. Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor. Bogor.
92
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2010. Perkembangan Produksi Daging
Impor Jawa Barat 2004-2009. www.disnak.jabarprov.go.id [13 Maret
2011].
Emilya. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Serta Dampak
Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan
Propinsi Riau. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gittinger. J. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi Kedua.
Diterjemahkan oleh Sutomo dan Mangiri. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Kadariah. L. Karlina. C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kuraisin. V. 2006. Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan
Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Kasus di Desa Tajurhalang.
Kecamatan Cijeruk. Kabupaten Bogor) [skripsi]. Departemen Ekonomi
Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Mudrajad. K. 2005. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif.
Erlangga, Jakarta.
Monke. and Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural
Development. Cornel University Press, New York.
Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.
Nefri. J. 2000. Optimalisasi dan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong.
[tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Novianti, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing
Komoditas Unggulan Sayuran [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pearson. S.. C. Goscth.. S. Bahri 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada
Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Rivai. A. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong (Fattening)
pada PT.Zagrotech Dafa International (ZDI) Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor [skripsi]. Program Sarjana Agribisnis Penyelenggaraan
93
Khusus Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Salvatore. D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.
Sarwono. B. 2003. Penggemukan Sapi Potong secara Cepat. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sudaryanto. T.. dan P. Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis :
Suatu Catatan Kerangka Analitis. Didalam: Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sugeng Y B. 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sunandar. 2006. Keunggulan Komparatif Usahaternak Sapi Potong di Kabupaten
Gunung Kidul. Didalam: Agros Vol.8 Nomer 1. Januari 2006: 43-46. BPTP,
Jawa Barat
Tawaf. R. 2009. Dampak Impor Daging Sapi dari Australia terhadap Bisnis
Feedlot di Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
95
Lampiran 1. Alokasi Komponen Domestik-Asing
Jenis Fisik Alokasi Komponen
Domestik Asing
Input
Sapi bakalan betina / jantan 100%
Pakan
Konsentrat 100%
Rumput 100%
Jerami 100%
Angkutan 100%
tenaga kerja 100%
penyusutan bangunan 100%
penyusutan peralatan 100%
bunga bank 100%
listrik(pemeliharaan) 100%
administrasi kantor 100%
jalan&prasarana 100%
Output Sapi 100%
96
Lampiran 2. Penentuan Harga Bayangan Sapi Bakalan
No. Keterangan sapi bakalan
1 FOB ($/kg) 0.23
2 Freight and Insurance ($/kg) 0.02
3 CIF Indonesia ($/kg) 0.25
4 Nilai Tukar ($/USD) 9.034
5 Premium Nilai Tukar (%) 99.56%
6 Nilai Tukar Equilibrium (Rp/$) 9.074
7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 2.290.91
8 Biaya retribusi (Rp/kg) 4.582.55
9 Biaya karantina (Rp/kg) 262.31
10 Biaya penanganan (Rp/kg) 293.48
11 Pajak (Rp/kg) 642.00
12 Nilai sebelum proses (rp/kg) 8.071.25
13 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 13.851.59
14 Biaya distribusi ke tingkat peternak (Rp/kg) : 386.92
15 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 14.238.51
Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)
Lampiran 3. Penentuan Harga Bayangan Sapi
No. Keterangan Sapi
1 FOB ($/kg) 0.21
2 Freight and Insurance ($/kg) 0.02
3 CIF Indonesia ($/kg) 0.23
4 Nilai Tukar ($/USD) 9.034
5 Premium Nilai Tukar (%) 99.56%
6 Nilai Tukar Equilibrium (Rp/$) 9.074
7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 2.095.24
8 Biaya retribusi (Rp/kg) 5.250.00
9 Biaya karantina (Rp/kg) 275.94
10 Biaya penanganan (Rp/kg) 300.00
11 Pajak (Rp/kg) 750.00
12 Nilai sebelum proses (rp/kg) 8.671.18
13 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 15.247.12
14 Biaya distribusi ke tingkat peternak (Rp/kg) : 386.92
15 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 15.634.03
Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)
97
Lampiran 4. Penentuan Harga Bayangan Pakan Konsentrat
No. Keterangan Konsentrat
1 FOB ($/kg) 0.09
2 Freight and Insurance ($/kg) 0.01
3 CIF Indonesia ($/kg) 0.10
4 Nilai Tukar ($/USD) 9.034
5 Premium Nilai Tukar (%) 99.56%
6 Nilai Tukar Equilibrium (Rp/$) 9.074
7 CIF Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) 935.56
8 Biaya retribusi (Rp/kg) 182.55
9 Biaya penanganan (Rp/kg) 100.00
10 Pajak (Rp/kg) 42.00
11 Nilai sebelum proses (rp/kg) 1.260.11
12 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 1.584.66
13 Biaya distribusi ke tingkat peternak (Rp/kg) : 50.00
14 Harga paritas impor di tingkat peternak (Rp/kg) 1.634.66
Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)
Keterangan Sumber Penentuan Harga Bayangan :
No. Uraian
1 Direktorat Jenderal Peternakan 2011
2 10% dari harga FOB untuk barang dari Australia
4 berdasarkan nilai tukar rata rata tahun 2010
5 perhitungan SCF berdasarkan data BPS tahun 2010
6 perhitungan SER berdasarkan data BPS tahun 2010 dan nilai tukar tanggal 28 Juli 2010
8 keterangan PT.Widodo Makmur
9 keterangan PT.Widodo Makmur
10 keterangan PT.Widodo Makmur
11 keterangan PT.Widodo Makmur
98
Lampiran 5. Penentuan Harga Bayangan Nilai Tukar
Uraian Jumlah (Rp)
Total Ekspor (Xt) 1425376420747980.00
Total Impor (Mt) 1225582108089630.00
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) 5454000000000.00
Penerimaan Pajak Impor (TMt) 17107000000000.00
Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt) 9034.00 Sumber : Badan Pusat Statistik. 2010
Nilai tukar : http://www.exchange-rates.org/Rate/USD/IDR/7-28-2010 [28 Juli 2010]
SCFt = Xt + Mt SERt = OERt
(Xt-TXt) + (Mt+TMt) SCFt
SCFt = 99.56% SERt = 9074
Keterangan:
StCF= Standart Convertion Factor/ premium nilai tukar (%)
SER t= Nilai tukar bayangan /equilibrium (Rp/$)
OER t= Nilai tukar resmi (Rp/$)
99
Lampiran 6. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi untuk Sapi betina
Jenis Fisik Satuan Harga
privat
Harga
Sosial Budget privat Budget sosial
input
tradable Sapi bakalan betina Rp/kg
20.565
14.238.51
5.494.572.731
3.804.244.342
Konsentrat Rp/kg
1.700
1.634.66
1.138.192.500
1.094.442.802
Input
non-
tradable Rumput Rp/kg
300
300
31.253.400
31.253.400
Jerami Rp/kg
150
150
20.235.600
20.235.600
Angkutan Rp/ekor
60.000
82.020
51.060.000
69.799.020
tenaga kerja Rp/HOK
35.000
28.000
68.906.250
55.125.000
penyusutan bangunan Rp
47.357.209
47.357.209
47.357.209
47.357.209
penyusutan peralatan Rp
40.431.506
40.431.506
40.431.506
40.431.506
bunga bank Rp
203.223.942
133.856.836
203.223.942
133.856.836
listrik(pemeliharaan) Rp
43.610.340
54.774.587
43.610.340
54.774.587
administrasi kantor Rp
5.849.155
5.849.155
5.849.155
5.849.155
jalan&prasarana Rp
41.101.336
41.101.336
41.101.336
41.101.336
Output Sapi Rp
23.171
15.634.03
8.208.170.012
5.538.261.676
Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)
100
Lampiran 7. Alokasi Budget Usaha Penggemukan Sapi untuk Sapi jantan
Jenis Fisik Satuan Harga
privat
Harga
sosial Budget privat Budget sosial
input
tradable
Sapi bakalan
jantan Rp/kg
19.242
14.238.51
3.997.991.370
2.958.334.632
Konsentrat Rp/kg
1.700
1.634.66
468.010.000
450.020.691
Input
non-
tradable Rumput Rp/kg
300
300
15.992.100
15.992.100
Jerami Rp/kg
150
150
12.955.650
12.955.650
Angkutan Rp/ekor
60.000
82.020
38.760.000
52.984.920
tenaga kerja Rp/HOK
35.000
28.000
44.406.250
35.525.000
penyusutan
bangunan Rp
18.994.837
18.994.837
18.994.837
18.994.837
penyusutan
peralatan Rp
16.216.958
16.216.958
16.216.958
16.216.958
bunga bank Rp
95.294.570
62.767.357
95.294.570
62.767.357
listrik(pemeliha
raan) Rp
17.491.979
21.969.926
17.491.979
21.969.926
administrasi
kantor Rp
2.346.079
2.346.079
2.346.079
2.346.079
jalan&prasaran
a Rp
16.485.625
16.485.625
16.485.625
16.485.625
Output Sapi Rp
22.699
15.634.03
5.367.775.336
3.697.120.016
Sumber : Data Primer. 2011 (diolah)